Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini menyangkut
masalah yang sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) yang
selama era Orde Baru sangat timpang karena hampir seluruh kekuasaan bertumpu di
tangan pemerintah Pusat tepatnya di tangan Presiden.
Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus
menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada
jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan
dengan apa yang dikutip Robert Rienow (1966 : 573) dari Tocqueville yang
mengatakan juga bahwa suatu negara merdeka yang tidak membangun institusi
pemerintahan di tingkat daerah adalah pemerintahan yang tidak membangun
semangat kedaulatan rakyat sebab didalamnya tidak ada kebebasan. Salah satu
karakter menonjol dari demokrasi, kata Toqcueville, adalah adanya kebebasan
sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah minimal ada dua
macam : pertama, membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri persoalan-
persoalan di daerahnya sekaligus mencari pemecahannya; kedua, memberi
kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan beragam
untuk membuat aturan dan programnya sendiri.
Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor
yang menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah : pertama,
untuk mewujudkan prinsip kebebasan {liberty)\ kedua, untuk membiasakan rakyat
berupaya untuk mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan
langsung dengan dirinya; ke-tiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal
terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan dan kebutuhan beragam. Meskipun
begitu memang tidak dapat dipungkiri begitu saja kenyataan bahwa di negara yang
menganut sistem sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi, namun adanya
otonomi daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin tumbuhnya demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
(Kelsen, 1973 : 312). Atas dasar pemikiran yang demikianlah dapat dipahami
bahwa
undang-undang yang pertama kali lahir di negara Republik Indonesia adalah UU
tentang otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945.
Tujuan umum dari makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui dan
memperluas pengetahuan, bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
BAB II
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana
dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70
juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif
terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa
lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik
daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia
merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin
menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah
masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem
bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak
konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dasar Hukum
3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999
adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa
dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan
fungsi DPRD.
BAB III
MATERI
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut
tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada
prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana
dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta
jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap
kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya
otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan
paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas
pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih
menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era
otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep
otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan
otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem.
Dasar Hukum
2. Ketetapan MPR-RI
3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU
No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa
pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal
permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut
pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya
menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran
sebagai berikut :
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan
Otonomi Terbatas.
6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan
Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan,
Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku
ketentuan peraturan Daerah Otonom.
Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur
bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang
jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan
politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang
terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda.
Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah
menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh
pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.
Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat
tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara
(sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia
sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren
Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah
ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan
korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan
per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di Indonesia
mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5 juta/bulan
atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai
penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin
(angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). Indonesia memang negeri
yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan
semakin berlubang.
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar
tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan
sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan
yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya.
Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat
bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit
politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai
pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana
kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat
pemerintah pusat.
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru,
maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu
sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah
terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya
dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah
sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
2. DANA PERIMBANGAN
3. PINJAMAN DAERAH
1. Pemerintah pusat
1. Pinjaman bilateral
2. Pinjaman multilateral
BAB IV
Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan
fiskal
nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip
penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan
anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint.
Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu
mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran.
Sebaliknya, berdasarkan soft budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih dahulu
kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut.
Dalam pendekatan yang pertama, potensi merupakan pertimbangan utama, sementara
pada pendekatan kedua, kebutuhanlah yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko,
2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka Kadjatmiko (2006)
berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk digunakan.
Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005).
Elemen tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah,
perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi
daerah adalah melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP), reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar
Pelayanan Minimal (SPM).
Dana Perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan
dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu daerah dalam membiayai:
1. Kebutuhan khusus (UU No. 25 Tahun 2000 dan PP No. 104 Tahun 2000)
2. Kegiatan khusus (UU No. 33 Tahun 2004, PP No. 55 Tahun 2005, dan Nota
Keuangan dan RAPBN 2006)
DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai
dari dana tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional.
Hal-hal yang termasuk kebutuhan khusus yaitu:
1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi
umum dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional
2. kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah
penghasil.
KESIMPULAN
Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya-upaya
yang akan menjadi sasaran atau pedoman dalam peningkatan mutu dan sekaligus
dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu daerah yang otonom. Beberapa hal
tersebut diantaranya yaitu:
• Demokrasi
• Hukum
• Kepemimpinan nasional
• Fungsi lembaga tinggi negara
• Dan lembaga-lembaga tinggi negara
5. Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga negara
Indonesia.
Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does
Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia,
Washington D.C.
Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun
2007, Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon
I Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November.
Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget
Accountability, Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI,
Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ,
InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang Standar Biaya Tahun
Anggaran 2007
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga
Pelayanan Minimal