You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai respon atas tuntutan reformasi pemerintah dengan cukup cepat telah
mela-kukan pembahan yang cukup mendasar atas berbagai UU dalam bidang politik
dari yang berwatak sentralistisotoritarian ke otonomi-demokratis. Setelah berhasil
menyusun tiga UU bidang politik yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu tahun
1999 pemerintah segera menyusulinya dengan UU baru dalam bidang politik khusus
mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah yakni UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Hubungan
Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini menyangkut
masalah yang sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) yang
selama era Orde Baru sangat timpang karena hampir seluruh kekuasaan bertumpu di
tangan pemerintah Pusat tepatnya di tangan Presiden.

Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini menjadi kehamsan paling


tidak dua
alasan. Pertama, demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan
otonomi daerah menjadi tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah satu
dari lima hati nurani global (global conciousnes) Kedua, pengalaman Indonesia
dengan sistem otoriter yang mengabaikan otonomi daerah terbukti telah menyimpan
api yang kemudian menyulut lahimya kritis politik, bahkan yang terjadi belakangan
ini krisis politik telah. memancing fenomena disintegrasi.

Demokrasi dan Otonomi


Ketika para pendiri negara Republik Indonesia bersepakat untuk mendirikan
sebuah negara berdasar prinsip demokrasi maka dengan sendirinya prinsip otonomi
daerah juga menyertainya. Hal ini menjadi niscaya karena salah satu tuntutan penting
bagi sebuah sistem demokrasi adalah adanya pemencaran kekuasaan baik secara
horizontal (ke samping) tinggi negara yang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA,
dan DPA, sedangkan pemencaran hodsontal ditandai oleh adanya desentralisasi dan
otonomi daerah. Bahwa adanya desentralisasi dan otonomi daerah diyakini oleh
Bapak-bapak pendiri negara Republik Indonesia sebagai bagian dari pelaksanaan
demokrasi dapat dipahami dari pemyataan Hatta bahwa:
“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak
hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di
kota, di desa, dan di daerah...Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap
bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 1


peraturan-peraturan sendiri) dan Zelfgbestuur (menjalankan peraturan peraturan
yang dibuat oleh Dewan yang lebih tinggi) ... Keadaan yang seperti itu penting
sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan
berlain-lain”. (Hatta, 1976 : 103).

Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus
menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada
jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan
dengan apa yang dikutip Robert Rienow (1966 : 573) dari Tocqueville yang
mengatakan juga bahwa suatu negara merdeka yang tidak membangun institusi
pemerintahan di tingkat daerah adalah pemerintahan yang tidak membangun
semangat kedaulatan rakyat sebab didalamnya tidak ada kebebasan. Salah satu
karakter menonjol dari demokrasi, kata Toqcueville, adalah adanya kebebasan
sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah minimal ada dua
macam : pertama, membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri persoalan-
persoalan di daerahnya sekaligus mencari pemecahannya; kedua, memberi
kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan beragam
untuk membuat aturan dan programnya sendiri.

Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor
yang menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah : pertama,
untuk mewujudkan prinsip kebebasan {liberty)\ kedua, untuk membiasakan rakyat
berupaya untuk mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan
langsung dengan dirinya; ke-tiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal
terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan dan kebutuhan beragam. Meskipun
begitu memang tidak dapat dipungkiri begitu saja kenyataan bahwa di negara yang
menganut sistem sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi, namun adanya
otonomi daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin tumbuhnya demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahannya.

(Kelsen, 1973 : 312). Atas dasar pemikiran yang demikianlah dapat dipahami
bahwa
undang-undang yang pertama kali lahir di negara Republik Indonesia adalah UU
tentang otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945.

1.2 Tujuan Umum

Tujuan umum dari makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui dan
memperluas pengetahuan, bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

1.3 Tujuan Khusus

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 2


Dapat kami paparkan tujuan-tujuan khusus Otonomi Daerah, diantaranya:
- Mengetahui masalah-masalah yang menjadi kewenangan atau acuan program
suatu daerah dalam meningkatkan produktivitas dalam bidang tertentu.
- Mengetahui sejauh mana arah dan sasaran suatu daerah dalam pencapaian
menuju sutu daerah yang otonom.
- Mengetahui tingkat keberhasilan dalam pencapaian program/bidang tertentu
sehingga suatu daerah bisa menjadi daerah otonom.

BAB II

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 3


Landasan Teori

1.1 Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan


mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan


pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau
"lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi
daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur
dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri."
Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah
masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan
keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan
tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi


kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan
bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.

Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar


negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-
bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi
daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan
keanekaragaman.

Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana
dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70
juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif
terhadap kesejahteraan?

Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa
lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik
daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia
merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin
menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah
masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem
bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak
konflik baik vertikal maupun horizontal.

Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa


pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem.

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 4


1.2 Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di
tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu,kekuasaan pemerintah
pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana
mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus
kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan
bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika
kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting
terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan
sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat
dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang
tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar
perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh
Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan
sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini
dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai
dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang
Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu
petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah
itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan
dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai
soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah
peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan,barulah peraturan daerah tersebut
disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan
penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan
tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada
pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk
mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor
yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur
masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk
membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.

1.3 Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 5


Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat
institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ
pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan
kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi
kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang
demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita
dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi
manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring
dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi
merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan
dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan
birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi
kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim
kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat
kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari
pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi
pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya.
Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan
dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam
iklim demokrasi dewasa ini.Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi
dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah
sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang
menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap
muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya.
Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat
menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para
pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam
waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat
besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana
mestinya.Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa
‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul
kehawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti
demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan
wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam
praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu,
otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi
masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.

1.4 Otonomi dan ‘Federal Arrangement’

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 6


Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terkandung
semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengan konsep
pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun
ditegaskan bahwa organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk
Negara Kesatuan(unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan
antara pusat dan daerah diatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada
umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau
kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam
sistem negara kesatuan (unitary),kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di
pusat. Dalam ketentuan Pasal 7UU tersebut, yang ditentukan hanyalah
kewenangan pusat yang mencakup urusan hubungan luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama, sedangkan
kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya)justru ditentukan berada
di kabupaten/kota.
Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945,yaitu Pasal 18 ayat (8)
dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-
daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing,kecuali kewenangan
di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,peradilan, moneter dan
fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-
undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki
daerah”. Hanya saja perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah PerubahanUUD
ini digunakan perkataan “‘memberikan’ otonomi yang luas kepada daerah-
daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 UU No.22 Tahun 1999 tertulis‘Pertahanan
Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18 ayat (8) UUD 1945 digunakan
koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih harus diteliti sejauhmana kedua hal
ini dapat dinilai mencerminkan kekurangcermatan para anggota Badan Pekerja
MPR dalam perumusan redaksi, atau memang hal itu dirumuskan dengan
kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangan daerah dalam rangka kebijakan
otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintah pusat kepada daerah[7], dan
bahwa pengertian pertahanan dan keamanan yang berdasarkan Pasal 2 Ketetapan
MPR tentang Pemisahan TNI dan POLRI No. VI/MPR/2000 memang telah
dipisahkan secara tegas, merupakan urusan-urusan yang berbeda, yaitu antara
peran tentara dan kepolisian[8].
Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubungan antara pusat dan daerah
tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahan Gubernur, dan hubungan
antara daerah propinsi dan daerah kabupaten serta kota tidak lagi bersifat
subordinatif, melalinkan hanya koordinatif. Elemen hubungan kekuasaan yang
bersifat horizontal ini dan ditetapkannya prinsip kekuasaan asli atau sisa yang
berada di daerah kabupaten/kota merupakan ciri-ciri penting sistem federal.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun struktur organisasi pemerintahan
Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita juga mengadopsi
pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federal arrangement’.
Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah-
daerah sudah seharusnya menyadari hal ini, sehingga pelaksanaan otonomi
daerah perlu segera diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihak yang bersikap
skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula lain sehubungan dengan

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 7


gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya juga menyadari adanya
pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut. Hanya dengan
keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala perubahan struktural
yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan
yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi penuh menyukseskan
agenda otonomi daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasi penuh itu
pulalah kita akan dapat menyukseskan agenda otonomi daerah ini,sehingga
dapat terhindar dari malapetaka yang jauh lebih buruk berupa disintegrasi
kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

1.5 Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan


Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan
terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap
berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum.Dalam UU No.22
Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah dayaj angkau
kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secara akademis,
organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap
sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai‘self
governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, pada pokoknya,
susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-norma hukum
adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik
masyarakat desa itu sendiri.
Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau
atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa.Biarkanlah masyarakat desa
mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan
bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat.Tidak perlu diadakan
penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara seperti yang
dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ ini sejalan pula
dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘stateand civil
society’ yang telah kita kembangkan dalam gagasan masyarakat madani.
Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa
dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan fungsi-
fungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan
masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanya fungsi-
fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yang tetap
harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau kekuasaan negara.
Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat tumbuh
berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk
menjadi bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.
Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadi urusan masyarakat perlu
dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusan dimaksudkan untuk
mendorong kemandirian dan keprakarsaan masyarakat sendiri,bukan
dimaksudkan untuk melepas beban dan tanggungjawab pemerintah Karena

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 8


didasarkan atas sikap yang tidak bertanggungjawab ataupun karena disebabkan
ketidakmampuan pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankan
kepadanya. Pelepasan urusan juga tidak boleh dilakukan tiba-tiba tanpa
perencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai yang pada
gilirannya justru dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda penguatan
sector masyarakat secara keseluruhan.

Dasar Hukum

Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :

1. Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang


Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi
Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan
pemerintahan pusat dan daerah.

2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang


penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat
dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999
adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa
dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan
fungsi DPRD.

Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi


bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal
permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut
pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.

BAB III
MATERI

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 9


OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan


pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan
pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah
"wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola
untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih
luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan
mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari
ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial,
budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi


kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan,
dan kemampuan dalam berorganisasi.

Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut
tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada
prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana
dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta
jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap
kesejahteraan?

Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya
otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan
paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas
pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih
menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era
otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep
otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.

Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan
otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem.

Dasar Hukum

Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 10


1. Undang-undang Dasar

Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan


landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD
menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.

2. Ketetapan MPR-RI

Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah :


Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU
No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPRD.

Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa
pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal
permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut
pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.

Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah

Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya
menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran
sebagai berikut :

1. Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip


pembagian kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi


adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang
dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan
melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.

3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom.


Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten
dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 11


4. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah
administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99
kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah Kota.

Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah

Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah


sebagai berikut :

1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan


aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.

2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan


bertanggung jawab

3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan
Otonomi Terbatas.

4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga


tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah.

5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah


Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada
lagi wilayah administrasi.

6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan
Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan,
Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku
ketentuan peraturan Daerah Otonom.

7. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi


badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas
maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam


kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah.

9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari


Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 12


Empat Problem Otonomi Daerah

Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara


adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya
memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para
gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas
ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka.
Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan
pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai
uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun
para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur
dan kepala daerah yang didukung partai mereka.

Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur
bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang
jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan
politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang
terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda.
Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah
menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh
pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.

Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal


banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti
Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana
dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak
mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai
contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan
ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.

Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam


pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di
partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis.
Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan
pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai
dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan
perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih
terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan
melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan
butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan
dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan
subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang
berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.

Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat
tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara
(sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia
sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 13


Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa dibayangkan jika di
jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah”
bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan
daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC
baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami
mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.

Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep


otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini
adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando
pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun
juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan
dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan
korporasi justru semakin mengakar.

Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah
ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan
korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan
per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di Indonesia
mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5 juta/bulan
atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai
penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin
(angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). Indonesia memang negeri
yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan
semakin berlubang.

Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan


antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan
otonomi, harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis.
Kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi
baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional.

Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar
tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan
sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan
yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya.
Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat
bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit
politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai
pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :

1. UU No. 1 tahun 1945

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 14


Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada
dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan
pusat.

2. UU No. 22 tahun 1948

Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada


desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi
ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah
pusat.

3. UU No. 1 tahun 1957

Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana
kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat
pemerintah pusat.

4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi.


Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama
dari kalangan pamong praja.

5. UU No. 18 tahun 1965

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi


dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan
dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja

6. UU No. 5 tahun 1974

Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru,
maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu
sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah
terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya
dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.

7. UU No. 22 tahun 1999

Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah
sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 15


1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain.

2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan


nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standardisasi nasional.

3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka


desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan
yang diserahkan tersebut.

4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka


dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan
yang dilimpahkan tersebut.

5. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam


bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.

6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan


yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota.

7. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan


dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah.

8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di


wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut
meliputi:

o Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut


sebatas wilayah laut tersebut;

o Pengaturan kepentingan administratif;

o Pengaturan tata ruang;

o Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah


atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 16


o Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah


sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut
mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

10.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua


kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang
mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

11.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup


kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi.
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman
modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam


rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi


meliputi:

1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)

o Hasil pajak daerah

o Hasil restribusi daerah

o Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah


yang dipisahkan.

• Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan


asset daerah dan jasa giro

2. DANA PERIMBANGAN

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 17


o Dana Bagi Hasil

o Dana Alokasi Umum (DAU)

o Dana Alokasi Khusus

3. PINJAMAN DAERAH

o Pinjaman Dalam Negeri

1. Pemerintah pusat

2. Lembaga keuangan bank

3. Lembaga keuangan bukan bank

4. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)

o Pinjaman Luar Negeri

1. Pinjaman bilateral

2. Pinjaman multilateral

4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah;

o hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah


Kabupaten/Kota lainnya,

o penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

BAB IV

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 18


PEMBAHASAN

Proses Otonomi Daerah di Indonesia


Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang
(UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun
2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Otonomi Daerah menurut
UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam
kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan
negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan
dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha
pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu
upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah.
Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di
Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-
masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):


1. Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara
demokratis
2. Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan
kesejahteraan dan demokrasi
3. Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik
4. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada
yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence)
5. Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan

Konsep Kebijakan Fiskal Daerah


Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga
menyangkut paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi. Desentralisasi
ekonomi mencakup aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan
pada level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi,
dan deregulasi.

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 19


Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama proses
desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal meliputi:
a. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang
pelayanan publik
b. Peningkatan PAD
c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat
d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil
e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan
daerah

Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan
fiskal
nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip
penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan
anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint.
Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu
mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran.
Sebaliknya, berdasarkan soft budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih dahulu
kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut.
Dalam pendekatan yang pertama, potensi merupakan pertimbangan utama, sementara
pada pendekatan kedua, kebutuhanlah yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko,
2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka Kadjatmiko (2006)
berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk digunakan.
Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005).
Elemen tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah,
perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi
daerah adalah melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP), reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar
Pelayanan Minimal (SPM).

Otonomi Daerah dan Good Governance


Ketiga fase yang dijelaskan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan,
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah.
Proses ini membutuhkan penerapan prinsip-prinsip good governance yang
menyeluruh dan terpadu. Adapun prinsipprinsip good governance adalah:1
1. Partisipasi; mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang
menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang
diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi
berbagai isu yang ada, Pemerintah Daerah menyediakan saluran komunikasi
agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini
meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian
pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan
masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 20


pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan
mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
2. Penegakan hukum; mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi
semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan
kewenangannya, Pemerintah Daerah harus mendukung tegaknya supremasi
hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan
perundangundangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku di masyarakat. Di samping itu Pemerintah Daerah perlu
mengupayakan adanya peraturan daerah yang bijaksana dan efektif, serta
didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat perlu
menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN).
3. Transparansi; menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu
kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu proaktif
memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang
disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah Daerah perlu
mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet,
pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah Daerah
perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi.
Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses
masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara
mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur
pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada masyarakat.
4. Kesetaraan; memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat
untuk meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk
menjamin agar kepentingan pihak-pihak yang kurang beruntung, seperti
mereka yang miskin dan lemah, tetap terakomodasi dalam proses
pengambilan keputusan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kaum
minoritas agar mereka tidak tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan
disusun untuk menjamin adanya kesetaraan terhadap wanita dan kaum
minoritas baik dalam lembaga eksekutif dan legislatif.
5. Daya tanggap; meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan
terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah Daerah perlu
membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat dalam
hal penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk show,
layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat,
Pemerintah Daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan
secara periodik mengumpulkan pendapat masyarakat.
6. Wawasan ke depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang
jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan,
sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap
kemajuan daerahnya. Tujuan penyusunan visi dan strategi adalah untuk
memberikan arah pembangunan secara umun sehingga dapat membantu

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 21


dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif. Untuk menjadi visi yang
dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun secara terbuka dan
transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat, kelompok-
kelompok masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha. Pemerintah
Daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum konsultasi
masyarakat, serta membuat berbagai produk yang dapat digunakan oleh
masyarakat.
7. Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam
segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh
pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami bahwa mereka
harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada masyarakat. Untuk
mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas.
Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan
apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.
8. Pengawasan; meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta
dan masyarakat luas. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang
perlu memberi peluang bagi masyarakat dan organisasi masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi, dan pengawasan kerja,
sesuai bidangnya. Walaupun demikian tetap diperlukan adanya auditor
independen dari luar dan hasil audit perlu dipublikasikan kepada masyarakat.
9. Efisiensi dan efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada
masyarakat dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal
dan bertanggungjawab. Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan
masyarakat, dan didukung mekanisme penganggaran serta pengawasan yang
rasional dan transparan. Lembagalembaga yang bergerak di bidang jasa
pelayanan umum harus menginformasikan tentang biaya dan jenis
pelayananya. Untuk menciptakan efisiensi harus digunakanteknik manajemen
modern untuk administrasi kecamatan dan perlu ada desentralisasi
kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat keluruhan/desa.
10. Profesionalisme; meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara
pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat
dengan biaya yang terjangkau. Tujuannya adalah menciptakan birokrasi
profesional yang dapat efektif memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini perlu
didukung dengan mekanisme penerimaan staf yang efektif, sistem
pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif, penilaian, promosi,
dan penggajian staf yang wajar. Penerapan Otonomi Daerah dengan mengacu
pada prinsip-prinsip good governance tersebut difasilitasi oleh Pemerintah
Pusat dengan meningkatkan alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja
Negara (APBN) yang disalurkan ke daerah. Secara umum, sumber
pendapatan daerah terutama berasal dari:
1. Dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan
retribusi daerah.

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 22


Dari kedua sumber pendapatan daerah tersebut masih didominasi oleh Dana
Perimbangan. Dana Perimbangan tersebut jumlahnya cenderung selalu meningkat
sejak digulirkan pada tahun 2001 baik dilihat dari nilai nominal maupun dari
persentasenya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan domestik
neto (PDN). Tabel 1 menunjukkan pekembangan Dana Perimbangan tahun 2003-
2006. DAU adalah komponen Dana Perimbangan yang paling besar. DAU
merupakan transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang berbentuk
block grant. DAU dihitung berdasarkan formula kesenjangan fiskal (selisih antara
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah). Sejak tahun 2001, formula DAU telah
mengalami beberapa kali perubahan. Formula DAU untuk tahun 2006 disusun
berdasarkan UU No. 33/2004 ditunjukkan oleh Gambar 1. DAU masih menjadi
sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata, persentase DAU
terhadap APBD berkisar antara 70-80 persen.

Dana Perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan
dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu daerah dalam membiayai:
1. Kebutuhan khusus (UU No. 25 Tahun 2000 dan PP No. 104 Tahun 2000)
2. Kegiatan khusus (UU No. 33 Tahun 2004, PP No. 55 Tahun 2005, dan Nota
Keuangan dan RAPBN 2006)
DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai
dari dana tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional.
Hal-hal yang termasuk kebutuhan khusus yaitu:
1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi
umum dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional
2. kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah
penghasil.

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 23


BAB V

KESIMPULAN

Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang/sektor yang sudah


menjamur diwilayah khususnya Indonesia, baik itu dari sektor industri, pertanian,
peternakan, perikanan, perkebunan dan sebagainya, maka persaingan pun akan
menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah wilayah untuk mewujudkan
suatu daerah yang otonom.

Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya-upaya
yang akan menjadi sasaran atau pedoman dalam peningkatan mutu dan sekaligus
dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu daerah yang otonom. Beberapa hal
tersebut diantaranya yaitu:

1. Adanya dasar hukum yang menjadi landasan dalam mewujudkan suatu


program otonomi daerah.
2. Tersedianya sumber daya manusia(SDM) yang berkualitas dan sumber daya
alam(SDA) yang memadai guna lancarnya otonomi tersebut.
3. Harus memperhatikan arah/sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
4. Kehidupan berpolitik.
diantaranya yaitu:

• Demokrasi pancasila dan Partisipasi masyarakat


• Kehidupan konstitusional Baik :

• Demokrasi
• Hukum
• Kepemimpinan nasional
• Fungsi lembaga tinggi negara
• Dan lembaga-lembaga tinggi negara

5. Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga negara
Indonesia.

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 24


DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Rusdi, 2007, “Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja”,


dipresentasikan dalam Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, World Bank
Institute, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas
Gadjah Mada (PPE-FEUGM), dan Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD),
Yogyakarta, 26-27 Januari.

Asian Development Bank, 2005, “Capacity Building to Support Decentralization in


Indonesia”, Technical Assistance Performance Evaluation Report.

Benu, Fredrik, 2006, “Anggaran Berbasis Kinerja”, dipresentasikan dalam Financial


Management Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen Keuangan RI,
Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ,
InWEnt, dan PPE-FE-UGM.

Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does
Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia,
Washington D.C.

Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun
2007, Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon
I Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November.

Kadjatmiko, 2006, “Local Fiscal Policy”, Budget Performance: Capacity Building


for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für
wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-
UGM.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman


Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata
Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan
Penyusunan Perhitungan APBD.

Kristiadi, J.B., 2006, “Preface”, Budget Performance: Capacity Building for


Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für
wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-
UGM.

Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget
Accountability, Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI,
Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ,
InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.

Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005,


“Strengthening Core Local Government Competencies”, Modul Pelatihan.

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 25


Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2006, “District
and Provincial Economic Development Training”, Modul Pelatihan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman


Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang Standar Biaya Tahun
Anggaran 2007

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi


Pemerintahan

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan


Standar

Pelayanan Minimal

Makalah Tentang Otonomi Daerah | 26

You might also like