You are on page 1of 11

Membicarakan hubungan antara negara dan masyarakat pada hakikatnya adalah

membicarakan suatu hubungan kekuasaan, ialah antara yang berkekuasaan dan yang dikuasai.
Dalam banyak pembicaraan, 'negara' - yang terpersonifikasi dalam rupa para pejabat
penyelenggara kekuasaan negara, baik yang berkedudukan dalam jajaran yang sipil maupun
yang militer - itulah yang sering diidentiflkasi sebagai sang penguasa. Sementara itu, yang
seringkali hendak diidentifikasi sebagai pihak yang dikuasai tidaklah lain daripada si
'masyarakat', atau tepatnya para 'warga masyarakat' (yang dalam banyak perbincangan sehari-
hari disebut 'rakyat').

Konsep demokrasi - yang secara harafiah bermakna bahwa rakyat (demos) itulah yang
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi (kratein) berkonsekuensi logis pada konsep bahwa
sejak dalam statusnya yang di dalam kodrati, sampaipun ke statusnya sebagai warga negara,
manusia-manusia itu memiliki hak-hak yang karena sifatnya yang asasi tidak akan mungkin
diambil alih, diingkari dan/atau dilanggar (inalienable, inderogable, inviolable) oleh siapapun
yang tengah berkuasa. Bahkan, para penguasa itulah yang harus dipandang sebagai pejabat-
pejabat yang memperoleh kekuasaannya yang sah karena mandat para warga negara melalui
suatu kontrak publik, suatu perjanjian luhur bangsa yang seluruh substansi kontraktualnya
akan diwujudkan dalam bentuk konstitusi. Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang
modern, tak pelak lagi yang umumnya hendak diturut di dalam ihwal hubungan kekuasaan
antara negara dan masyarakat bukan lagi model klasik-otokratik (yang nyatanya telah kian
kehilangan kepopulerannya) itu.

Alih-alih, sepanjang sejarah dalam dua abad terakhir ini hubungan itu kian
digeserkan ke model yang demokratik, dengan keyakinan bahwa bukan kekuasaan negara itu
yang bersifat kodrati, melainkan hak-hak manusia individual warga negara itulah yang asasi
dan asali. Adalah proposisi paradigmatic model demokratik ini bahwasanya seluruh
kekuasaan para pejabat negara itu adalah dan hanyalah derivat saja dari hak-hak asasi
manusia warganya, yang oleh sebab itu haruslah diterima sebagai sesuatu yang limitatif
sifatnya.

Hubungan antara pekerja dengan pengusaha pada dasarnya bersifat “unik”. Disatu
pihak, dirasakan hubungan hukum yang tidak seimbang karena secara sosial ekonomi
pengusaha lebih kuat dibandingkan dengan sosial ekonomi pekerja. Akibatnya terdapat
hubungan yang rentan terhadap terjadinya perselisihan hubungan industrial. Di lain pihak
hubungan saling membutuhkan antara pekerja dan pengusaha merupakan embrio bagi
1
terciptanya hubungan kerjasama antara pekerja dengan pengusaha. Melihat hubungan yang
bersifat “unik” tersebut, maka diperlukan seperangkat peraturan perundang-undangan sebagai
pedoman bersikap para pelaku proses produksi barang maupun jasa dalam pelaksanaan hak
dan kewajiban masing-masing pihak, serta dapat dijadikan sebagai pedoman apabila terjadi
perselisihan hubungan industrial di perusahaan.

Hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan akan mendorong


pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu diperlukan mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang kondusif bagi terpeliharanya hubungan kemitraan antara pekerja
dengan pengusaha. Hal ini juga merupakan perwujudan pengakuan dan kesediaan
menghormati hak asasi masing-masing pelaku proses produksi. Di era industrialisasi,
perselisihan hubungan industrial terus meningkat dan semakin kompleks

Dari hasil pengamatan, perselisihan hubungan industrial dapat terjadi dengan


didahului ataupun tidak didahului oleh suatu pelanggaran hukum. Perselisihan hubungan
industrial yang didahului suatu pelanggaran hukum terjadi dalam beberapa bentuk :
a. Pengusaha tidak memenuhi hak normatif pekerja sebagaimana telah diperjanjikan atau
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan misalnya pengusaha
membayar upah pekerja di bawah upah minimum

b. Perlakuan pengusaha yang bersifat diskriminatif. Misalnya perbedaan pembayaran upah


berdasarkan perbedaan gender atau warna kulit.

c. Pekerja melakukan tindakan tidak disiplin atau kesalahan atau pelanggaran, misalnya :
malas, mengganggu pekerja lain, merusak alat, mencuri. Selanjutnya perselisihan hubungan
industrial yang tanpa didahului suatu pelanggaran dapat terjadi karena faktor :
a. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan ketentuan Perjanjian Kerja Bersama atau peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan. Misalnya dalam pemberian bonus, cuti panjang,
pembayaran uang lembur, dan lain-lain.

b. Tidak tercapai kesepahaman tentang syarat-syarat kerja, misalnya karena pengusaha tidak
mampu atau tidak bersedia memenuhi tuntutan pekerja atau serikat pekerja dalam hal
kenaikan upah, uang transpor, hak cuti, dan lain-lain.

2
c. Perselisihan hubungan industrial dilihat dari UU No. 22 Tahun 1957 adalah pertentangan
antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh
berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat
kerja dan atau keadaan perburuhan. Serta sesuai UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Pengertian perselisihan hubungan
industrial dari kedua pengertian diatas tersebut menggunakan istilah “pertentangan” yang
apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengarah terjadinya mogok kerja atau
penutupan perusahaan yang tidak saja merugikan kedua belah pihak.

Saat ini sistem hubungan industrial di Indonesia sedang dalam proses transisi, yaitu
dari sistem yang sangat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem
yang lebih terdesentralisasi dimana perusahaan dan pekerja/buruh berunding bersama
mengenai persyaratan dan kondisi pekerjaan di tingkat perusahaan. Meskipun demikian,
banyak komponen dalam sistem hubungan industrial yang masih dipengaruhi oleh praktek
pemerintah pusat di masa lalu yang paternalistik. Transisi ini sejalan dengan perubahan
dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas dimana rakyat Indonesia sedang mengubah
dirinya dari masyarakat yang dikawal ketat oleh regim yang otoriter menjadi masyarakat
yang lebih demokratis.

Di satu pihak, tuntutan pekerja/buruh untuk memperjuangkan perbaikan


kesejahteraan, seperti kenaikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik, dapat dipandang
sebagai tuntutan yang dapat difahami. Namun, dalam hal ini, kebijakan dan peraturan
perundangan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan ekonomi pekerja/buruh juga ikut
memberikan kontribusi terhadap timbulnya sejumlah aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi
pekerja/buruh. Pemogokan dan demonstrasi pekerja/buruh cenderung meningkat sejak
pertengahan tahun 2001.

Di lain pihak, pemulihan ekonomi akibat krisis ekonomi yang berjalan lambat,
ditambah dengan adanya gejala resesi global yang cenderung menurunkan laju pertumbuhan
ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang terkait dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi merupakan suatu dilema tersendiri bagi pengusaha dalam menghadapi tuntutan para
3
pekerja/buruhnya. Banyak pengusaha melaporkan bahwa kebijakan pemerintah menaikkan
upah minimum nominal sebesar 30-40% pada tahun 2001 telah memberatkan pengusaha.
Kebanyakan pihak pengusaha, terlepas dari beban "terlalu diatur", telah mentaati peraturan
dan kesepakatan yang baru. Hal ini sebagian disebabkan karena mereka mengikuti proses
negosiasi tripartit. Kesepakatan bersama di tingkat perusahaan telah mulai memainkan
peranan yang lebih penting dalam menentukan kondisi pekerja di banyak perusahaan di mana
serikat pekerja baru didirikan dari tahun 1997 sebagai bagian dari proses reformasi.

Hal yang penting diperhatikan adalah bahwa semua peraturan di waktu yang akan
datang yang disusun oleh pemerintah mempertimbangkan dengan hati-hati dalam
menciptakan keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha agar
protes-protes dan unjuk rasa pekerja dapat dihindari. Lebih lanjut, melihat adanya berbagai
opini dan pemahaman mengenai peraturan yang saat ini berlaku dan yang sedang diajukan,
maka pemerintah perlu memberikan pengarahan, pelatihan dan sosialisasi mengenai
peraturan atau undang-undang yang baru. Gerakan serikat pekerja/serikat buruh yang lebih
kuat berarti pemerintah tidak perlu lagi memainkan peran utama dalam perselisihan
hubungan industri, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator yang adil.

Beberapa instansi pemerintah sedang melakukan upaya serius agar sistem berjalan
dengan baik dimana situasi yang terjadi saat ini sangat berbeda, baik dalam lingkungan
Kelembagaan, politik, dan ekonomi, dari pemerintahan Soeharto. Meskipun demikian
peraturan yang ada atau yang sedang dirancang dan diusulkan seringkali mengecilkan
kreativitas yang sistem hubungan industrial yang lebih produktif. Di Indonesia, gerakan
serikat pekerja/serikat buruh yang lebih kuat berarti pemerintah tidak perlu lagi memainkan
peran utama dalam perselisihan hubungan industri, akan tetapi pemerintah akan lebih
berperan sebagai fasilitator dan regulator yang adil.

Namun hal ini akan berakibat pada berkurangnya pengaruh dan insentif bagi pejabat
pemerintah. Dalam sistem hubungan industrial yang lebih terbuka dan terdesentralisasi yang
menekankan pada dialog di tingkat perusahaan, dibutuhkan mekanisme penyelesaian
perselisihan industrial yang jelas, setara dan fungsional agar sistem tersebut dapat diandalkan
oleh semua pihak yang terlibat. Sekali lagi, ditekankan perlunya agar pemerintah menyusun
peraturan perundangan yang tidak saja memberikan kesetaraan dalam hak dan kewajiban bagi
semua pihak, tetapi juga agar pemerintah menyusun peraturan perundangan yang
memberikan kepastian bagi hubungan industrial. Lebih lanjut, untuk menghindari
4
kesalahpahaman dan informasi yang salah mengenai peraturan perundangan tersebut, di masa
yang akan datang sangatlah penting bahwa pemerintah memberikan pedoman dalam
memahami dan melaksanakan peraturan dan perundangan tersebut.

1. Melacak Mekanisme Outsourcing Dalam Industri Di Indonesia.

Perkembangan kapitalisme di era modern telah mencapai pada puncaknya


menghegemoni dunia. Kondisi ini didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan
transportasi yang berkembang cukup pesat. Batas-batas Negara menjadi tidak penting lagi,
hanya batas formalitas teritorial yang ada, tetapi tidak mampu membendung pernyebaran ide-
ide, inovasi, teknologi sehingga dunia menjadi sebuah kampung global. Menurut James J
dalam Francis Wahono, bahwa globalisasi merupakan pengintegrasian internasional individu-
individu dengan jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan politik yang
terjadi secara cepat dan mendalam, dalam takaran yang belum dialami sejarah dunia
sebelumnya.

Outsourcing merupakan turunan dari kapitalisme global. Dikatakan juga sebagai anak
kandung yang lahir dari rahim kapitalis, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari sifat dasar
kapitalis yaitu eksploitatif dan ekspansif. Perusahaan-perusahaan transnasional dan multi
nasional, semakin kuat mengcengkram Negara-negara yang sedang berkembang. Ekspansi
dan eksploitasi yang besar-besaran dilakukan demi akumulasi modal. Sebagai contoh
perusahaan NIKE selama periode 1989-1994 membuka lokasi pabrik baru di Cina, Indonesia
dan Thailand dimana upah sangat rendah.

Ekspansi besar-besaran perusahaan transnasional diiringi juga dengan model dan


format kerja yang mereka persiapkan (outsourcing), untuk diterapkan di wilayah
pengembangan perusahaan. Ini merupakan implementasi dari ciri globalisasi dimana
perusahaan transnasional melakukan peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai
sumberdaya dan kekuatan ekonomi.  Karena itu globalisasi adalah proses yang tidak adil
dengan distribusi-distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak seimbang.

Dari penjelasan diatas dapat diasumsikan bahwa perkembangan outsourcing di


Indonesai sebagai salah satu negara berkembang merupakan imbas dari hegemoni kapitalis.
Outsourcing di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an, model kerja ini

5
disahkan keberlakuannya melalui keputusan Menteri Perdagangan RI No. 264/KP/1989
Tentang Pekerjaan Sub-kontrak Perusahaan Pengelola di Kawasan Berikat.

Industri awal yang bersentuhan dengan outsource adalah industri perminyakan. Bahan
bakar yang dimanfaakan oleh konsumen akhir, mengalami proses panjang dan melalui
berbagai perusahaan outsourcing. Dimulai dari pemilik konsesi lahan, eksplorasi hingga
produksi, transportasi, semuanya dilakukan oleh perusahaan yang berbeda.

Dewasa ini hampir seluruh industri baik kecil maupun skala besar yang dimiliki oleh
para kapitalis melalukan praktek outsourcing. Ada beberapa alasan industri melakukan
outsourcing yaitu pertama, efisiensi kerja dimana perusahaan produksi dapat melimpahkan
kerja-kerja operasional kepada perusahaan outsourcing; kedua, resiko operasional perusahaan
dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemanfaatan faktor produksi bisa
dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil mungkin; ketiga, sumber daya perusahaan
yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang lebih fokus dalam meningkatkan
produksi; keempat, mengurangi biaya pengeluaran (capital expenditure) karena dana yang
sebelumnya untuk investasi dapat digunakan untuk biaya operasional; kelima perusahaan
dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah; keenam, mekanisme kontrol
terhadap buruh menjadi lebih baik.  

Pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, merupakan


landasan hukum bagi pelegalan sistem outsourcing yang menguntungkan pihak penguasa
modal dan sebaliknya sangat merugikan kaum buruh. Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 adalah
landasan hukum bagi perusahaan outsourcing dan pengusaha berkonspirasi mempraktekkan
outsourcing. Bunyinya sebagai berikut :

“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada


perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis”.

Berbagai aksi protes menentang sistem outsourcing merupakan salah satu bentuk dari
resistensi terhadap kepitalisme. Dalam persfektif buruh, outsorcing menjadi sebuah batu
penghalang bagi peningkatan kelayakan hidup bagi mereka. Upah yang murah, tidak adanya
jaminan sosial dan lain sebagainya adalah indikasi dari pengingkaran kapitalisme terhadap
hak-hak buruh yang mencederai human rigth.

6
Untuk mempertegas mengenai mekanisme tersebut berikut uraian mengenai hubungan
kerja dan kedudukan buruh dalam model kerja outsourcing :

2.      Potret Hubungan Kerja Dalam Model Kerja Outsourcing.

Hubungan industrial di Indonesia sepanjang perjalanannya sering menunjukkan


bahwa buruh ditempatkan sebagai faktor produksi mirip sebagai faktor produksi yang
dikonstruksikan Karl Marx. Outsourcing didefinisikan sebagai model kerja yang
menambahkan unsur ’pelaksana perkerjaan’ diantara relasi buruh dan modal. Kondisi
tersebut menjadikan hubungan perburuhan semakin kabur, dan memperlemah bergaining
position buruh terhadap pemilik modal.

Dalam model kerja outsourcing adanya pergeseran ruang lingkup  hubungan


industrial. Awalnya yang terkenal dengan istilah tripartit atau hubungan antara buruh,
pengusaha dan pemerintah. Dalam model outsourcing menjadi empat lingkaran hubungan
yaitu buruh, perantara atau broker  (perusahaan oustsourcing), perusahaan inti (pemilik
modal) dan pemerintah. Outsourcing sebagai sebuah model perburuhan baru, melalui
beberapa tahapan dalam perekrutan. Ketersediaan tenaga kerja yang tinggi di pasar tenaga
kerja mengakibatkan turunnya harga buruh. Menurut Marx tersedianya tentara-tentara
cadangan yang banyak mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap hak-hak buruh.
Eksploitasi, PHK dan lain sebagainya diputuskan secara sepihak oleh pemilik modal.

Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak


mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana
mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam
outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya kesempatan
untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis dalam kontrak kerja.
Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada pemberhantian secara
langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan digantikan oleh tenaga-tenaga
outsourcing lainnya sebagai tentara-tentara cadangan.

Kondisi ini membebaskan industri-industri pengguna dari kewajiban-kewajiban


terhadap buruh kecuali hanya memberikan upah dari kerja buruh. Menurut Komang
Priambada, pihak pengusaha berpendapat bahwa ”Dari mana pekerja itu direkrut,
bagaimana datangnya dan lain-lain adalah bukan urusan kita sebagai pemakai”. Inilah satu

7
kondisi yang memperlihatkan bahwa pekerja adalah barang dagangan dan outsourcing tidak
lain hanyalah triffiking yang dilegalkan.

            Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan perusahaan
pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe ketergantungan
(dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang. Eggi Sudjana
menjelaskan bahwa kekuasaan yang menumpuk di tangan kelompok pemberi upah atau
borjuis dalam mengelola dan menguasai sumber-sumber daya yang terbatas. Sehingga dalam
prakteknya hubungan ketergantungan ini berjalan dengan berat sebelah, karena prinsip para
kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan yang menekankan pada efisiensi dan
produktivitas, sehingga buruh sering dieksploitasi.

            Hubungan perburuhan dalam sistem oousourcing sebagimana yang telah disebutkan
diatas sangat merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya konflik perbruhan merupakan
sebauh kegagalan poduk hukum dalam menampung dan mengeluarkan kebijakan yang
berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang tidak sehat disatu sisi pengusaha
diuntungkan dan dilain sisi buruh dirugikan. Inilah gambaran hubungan buruh dalam sistem
outsourcing.

3.      Kedudukan Buruh Dalam Model Kerja Outsourcing

Buruh dalam model kerja outsourcing menjadi sosok barang yang diperjualbelikan
dengan harga murah, tidak harus menunggu rongsok dan bisa langsung mengganti dengan
barang yang lain, dengan kualitas yang lebih bagus dan harga yang murah. Buruh adalah alat
atau faktor produksi setelah modal, signifikannya peran buruh sehingga ketidakhadiran
buruh, berakibat pada tidak akan tercipta akumulasi modal (capital). Idealnya buruh
ditempatkan ditempat yang layak dan dihargai dengan nilai yang tinggi, kerena merakalah
yang turut langsung menciptakan produk yang akan dikonsumsi konsumen.

Kanyataannya bahwa buruh selalu dikebiri disubordinatkan dan gerakan-gerakannya


selalu dilemahkan, karena dianggap akan membahayakan pemilik modal. Inilah wajah
kapitaslime, wajah penindasan terhadap hak-hak buruh. Outsourcing adalah model kerja yang
mencederai makna HAM dan Demokrasi. Celia Mather, mengungkapkan bahwa outsourcing
mengakibatkan tiga masalah utama yaitu pertama, tersingkirnya buruh dari meja atau
kesepakatan negosiasi; kedua, tidak adanya tanggung jawab hukum perusahaan terhadap

8
buruh; ketiga berkurangnya buruh tetap sehingga semua buruh masuk kedalam outsourcing,
kondisi buruh dalam ketidakpastian.

Menurut Celia Mather (2008 : 37), perusahaan inti melalui kontrator penyedia jasa
memberikan upah yang jauh lebih rendah daripada buruh tetap, mereka terhindar dari
penyediaan tunjangan-tunjangan seperti pensiun, asuransi kesehatan, kematian atau
kecelakaan, sakit dibayar, cuti dibayar, tunjangan melahirkan

Keberadaan buruh berstatus outsorcing pada gilirannya akan melemahkan perjuangan


kolektif buruh melalui serikat buruh, sebagai elemen pemaksa bagi terpenuhinya hak-hak
buruh. Sebab, buruh outsourcing bergerak sebagai individu yang mengadakan hubungan kerja
dengan perusahaan secara langsung, atau buruh yang disalurkan oleh lembaga outsourcing
(jasa penyalur tenaga kerja), kepada perusahaan, para pihak yang terlibat dalam perjanjian
dalam hal ini adalah jasa penyalur tenaga kerja dan perusahaan, sementara buruh outsorcing
sendiri berada di bawah kendali jasa penyalur.                                                    

Kebijakan Untuk Menyongsong Kehidupan Masa Depan

Kehidupan yang kian bersifat transnasional pada skala global memang tak pelak dan
tak terelakkan lagi akan terus memarakkan konsep hak-hak asasi manusia sebagai konsep
yang tak mungkin lain daripada yang universal itu, ialah, bahwa hak-hak asasi manusia itu
pada asasnya mestilah berlaku bagi manusia siapapun di manapun dalam kualifikasi sosial-
politik dan kultural yang apapun. Berseiring dengan kesadaran akan perlunya menggalakkan
kerjasama dan saling pengertian antar-bangsa, banyak kesepakatan – baik di kalangan para
pejabat pemerintahan maupun di kalangan para eksponen yang bergerak di luar organisasi
pemerintah – telah dicapai untuk mengupayakan implementasi nilai dan norma apapun yang
bersifat universal, sekalipun dengan tetap mengingati berbagai kemungkinan adanya kendala
yang berasal dari hal-hal yang sifatnya partikularistik.

Sekalipun para pengemban kekuasaan di banyak negeri berkembang – tak ayal juga di
Indonesia – beberapa waktu yang lalu hendak mengutamakan paham yang partikularistik,
ialah bahwa konsep hak-hak asasi adalah konsep yang pada hakekatnya relatif dan culturally
and politically bound, namun akhir -akhir ini mulai tersuarakan kesediaan untuk mengakui
universalisme konsep hak-hak asasi manusia itu, sekalipun dalam hal penerapannya orang
masih harus pula mengingati kondisi-kondisi dan idiomidiom sosio-kultural setempat.
Apapun juga yang telah dibicarakan, tak salah lagi setiap pengemban kekuasaan negara di

9
manapun didunia yang beradab ini telah amat tertuntut– secara moral, kalaupun tidak secara
konstitusional dan secara hukum – untuk menghormati hak-hak asasi manusia warga negara.
Yang partikular dan situasionalkultural itu sesungguhnya bukan hak-hak asasi itu sendiri
melainkan ketat atau longgarnya batasannya; sejauh mana, mengingat situasi dan kondisinya
yang relatif, realisasi hak itu boleh dibatasi atau digantungkan alias ditangguhkan (reserved)
dulu dalam hal pelaksanaannya.

Kebijakan nasional untuk mensukseskan pembangunan, acapkali menuntut kesediaan


khalayak awam untuk berkorban dan tidak mendahulukan hak-hak individualnya (betapapun
asasinya hak-hak itu). Dalam pelaksanaan misi pembangunan seperti ini pemerintah
mensyaratkan agar kegiatan-kegiatan politik dihentikan dengan pernyataannya bahwa "politik
no, pembangunan yes", lebih-lebih manakala untuk maksud itu stabilitas nasional (yang lebih
banyak diartikan sebagai tiadanya gangguan keamanan dan terpeliharanya ketertiban
masyarakat yang sebagian besar dituduhkan bersebab dari persoalan politik), maka dapat
dimengerti mengapa hak-hak sipil dan hak-hak politik acapkali gampang begitu saja
dilupakan – kalaupun tak diingkari – oleh para pejabat pemerintah Indonesia. Pengabdian
seperti itu kian nyata terjadi manakala keberhasilan para pejabat pemerintahan ipso facto
akan lebih sering ditentukan oleh prestasinya di bidang-bidang kamtibmas dan pembangunan
itu daripada prestasinya di bidang, penegakan hak-hak asasi manusia. Kurang jelasnya
pengakuan secara konstitusional tentang patut dihormatinya hak-hak sipil dan hak-hak politik
sebagai hak-hak manusia yang asasi – yang bawaan dan kodratnya yang universal, dan yang
karena itu tak dapat diganggu-gugat dan dialih-alihkan begitu saja oleh kekuasaan politik
manapun dan kapanpun juga telah pula acapkali menyebabkan pelaksanaan hak-hak manusia
tersebut itu mengalami kepincangan di Indonesia.

Namun, sementara itu, sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa yang mestinya
harus tahu dan mau memperlihatkan respek kepada seluruh usaha badan dunia ini, tak pelak
lagi Indonesia ini pun sebenarnya harus pula menghormati dan menyatakan komitmennya
pada apa yang telah dideklarasikan dan disepakatkan dalam konvenankonvenan yang dibuat
sebagai bagian dari upaya PBB merealisasi terlaksana dan tertegakkannya hak-hak manusia
di manapun, khususnya di negeri-negeri para anggotanya. Kesulitan dalam soal menaruh dan
mempertaruhkan komitmen – apakah akan terus mendahulukan upaya menjaga stabilitas
politik dan melaksanakan pembangunan apapun konsekuensinya ataukah mendahulukan
pengakuan terikat dan terbatasinya kekuasaan pemerintah di hadapan hak-hak sipil dan hak-
hak politik manusiamanusia warga negaranya – seperti ini acapkali dicoba diatasi dengan

10
pernyataanpernyataan yang bernada excuse, akan tetapi yang juga mencuatkan polemik
tentang hak-hak asasi manusia itu. Ialah, adakah hak-hak asasi itu bersifat universal ataukah

bersifat partikular, (yang karena itu bermakna relatif dan masih harus dikaji berlakutidaknya
dalam konteks-konteks kultural tertentu).

                                                                 

11

You might also like