Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan
bangsa Indonesia Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan
dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi
sebagai bahasa kerja.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak
ragam bahasa Melayu.Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad
ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya
sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses
pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak
dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan
"imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini
menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu
yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa
Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru,
baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa
Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar
warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia
sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi
sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya
atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas
di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat
resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa
Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
1
Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar
yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu
beberapa minggu.
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari
cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di
Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu
(sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna
yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu
menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa
Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan
penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-
dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon. Kata-kata
seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode
hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu
Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh
Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa
Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar
Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya Laporan Portugis, misalnya oleh
Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di
wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara
yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam
sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan
bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk
sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi,
selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan,
saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari
bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
2
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris
meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa
Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa
dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan
jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang
administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan
teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot,
dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur
bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah
penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk
biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau,
tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada
abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai
bahasa yang paling penting di "dunia timur".Luasnya penggunaan bahasa Melayu
ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan
menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan
bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses
pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di
Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya
juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu
Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa
pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad
ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar
oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari
istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk
bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa
yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu,
karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
3
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok
bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang
kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya
tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi
kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah
bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita
mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya
dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar
atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum..Dengan kata lain, kata
besar atau luas,dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum.
Sebaliknya, kata makro akan memberikan nuansa lain pada bahasa kita, misalnya,
nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
6
samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang
lain mengenai suatu hal.
Contoh lain yang menggambarkan fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang
sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis
merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita.
Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya,
pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat
melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.
7
Mengeksploitasi IPTEK
Dengan jiwa dan sifat keingintahuan yang dimiliki manusia, ditambah dengan
akal dan pikiran yang sudah diberikan Tuhan hanya kepada manusia, maka
manusia akan selalu mengembangkan berbagai hal untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia akan selalu akan
didokumentasikan supaya manusia lainnya juga dapat mempergnakannya dan
melestarikannya demi kebaikan manusia itu sendiri.
8
Bahasa yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa
yang terdiri dari 4 hal, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan
ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa dan pilihan kata, harus dimiliki dalam
penggunaan bahasa lisan dan tulis. Pengetahuan atas tanda baca dan ejaan
harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulis.
Kriteria yang akan digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar
adalah kaidah bahasa. Kaidah ini meliputi aspek, yaitu
1. Tata bunyi (Fonologi), misalnya kita telah menerima bunyi f, v dan z. Oleh
karena itu, kata-kata yang benar adalah fajar, motif, aktif, variabel, vitamin,
devaluasi, zakat, izin, bukan pajar, motip, aktip, pariabel, pitamin, depaluasi,
jakat, ijin. Masalah lafal juga termasuk aspek tata bumi. Pelafalan yang benar
adalah kompleks, transmigrasi, ekspor, bukan komplek, tranmigrasi, ekspot.
2. Tata bahasa (kata dan kalimat), misalnya, bentuk kata yang benar adalah
ubah, mencari, terdesak, mengebut, tegakkan, dan pertanggungjawaban, bukan
obah, robah, rubah, nyari, kedesak, ngebut, tegakan dan pertanggung jawaban.
3. Kosa kata (termasuk istilah), kata-kata seperti bilang, kasih, entar dan udah
lebih baik diganti dengan berkata/mengatakan, memberi, sebentar, dan sudah
dalam penggunaan bahasa yang benar. Dalam hubungannya dengan
peristilahan, istilah dampak (impact), bandar udara, keluaran (output), dan
pajak tanah (land tax) dipilih sebagai istilah yang benar daripada istilah
pengaruh, pelabuhan udara, hasil, dan pajak bumi.
4. Ejaan, penulisan yang benar adalah analisis, sistem, objek, jadwal, kualitas,
dan hierarki.
5. Makna, penggunaan bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan
menggunakan kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya, dalam
penggunaan bahasa dalam ilmu pengetahuan tidak tepat menggunakan bahasa
konotasi memiliki makna kiasan)
9
Kehadiran bahasa Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang, bukan
seperti anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan.. Perjalanan itu
dimulai sebelum kolonial masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti
prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang
Brahi serta batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inspirasi persatuan
pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang konsep aslinya
berbunyi (lihat pada gambar berikut):
Butir ketiga dianggap sesuati yang luar biasa., sebab negara-negara lain,
khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu
mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda
kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah
mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi
kepada mereka. kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda,
bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita.
Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang
semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa
daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa
daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku,
sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri.
Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan
mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi
kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah,
khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di
atas.
“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di
Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
1). Lambang kebanggaan nasional
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’
nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai
yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita
harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi
kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa
10
ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga memakainya
dengan memelihara dan mengembangkannya.
2). Lambang identitas nasional
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’
bangsa Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui
siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia.
Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan
sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai
bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang
sebenarnya.
3). Alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar
belakang sosial budaya dan bahasanya
Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar
belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan
bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan
bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab
mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh
masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan
menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya
daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan
dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun.
Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa
Indonesia.
4.) Alat perhubungan antarbudaya antardaerah.
Bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-
hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang
yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda,
mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi?
Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang
masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah yang
dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat
saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala
kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi,
11
sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam)
mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi
antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan
kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan
cepat tercapai.
Bahasa Indonesia:
a). Bahasa yang digunakan dalam gerakan kebangsaan untuk mencapai
12
kemerdekaan Indonesia.
b). Bahasa yang digunakan dalam penerbitan-penerbitan yang bertuju-an
untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia baik
berupa: (1) bahasa pers, dan (2) bahasa dalam hasil sastra.
Kondisi di atas berlangsung sampai tahun 1945.
13
Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975
dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa
Indonesia befungsi sebagai berikut:
14
Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu
hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media
komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut
agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima
oleh orang kedua (baca: masyarakat).
1)
Bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan
ilmu pe-ngetahuan serta teknologi modern.
Sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi,
bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang
beragam itu, yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula,
rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan kepada dan dinikmati oleh
masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia. Apakah
mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang Jawa, Sunda,
dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam
penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan pemakaiannya
lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku
pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak
lain, hendaknya menggunakn bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai
hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis
lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.
15
peringatan Hari Hak-hak Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda
Usaha wanita dalam rangka peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita
tidak menjumpai kalimat-kalimat yang semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang bersejarah. Sampeyan tentunya
udah tau, bukan? Kalau kagak tau yang kebacut, gitu aja”.
Kalimat tersebut juga tidak pernah kita jumpai pada saat kita membaca surat-
surat dinas, dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan
pemerintah.Namun di sisi lain, ketika kita berkenalan dengan seseorang yang
berasal dari daerah atau suku yang berbeda, pernahkah kita memakai kata-
kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’ dan ‘mblayu’? Jika kita
menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak akan menggunakan
kata-kata ataupun struktur kalimat yang tidak akan dimengerti oleh lawan
bicara kita sebagaimana contoh di atas..
Perbedaan wujud sejacar khusus antara bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara/resmi sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh di
atas, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang
pernah juga kita lakukan pada saat berkenalan dengan seeorang lain daerah
atau lain suku memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal
ini disebabkan oleh lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan
politik diperlukan kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang
diperlukan dalam lapangan administrasi. Begitu juga dalam lapangan
ekonomi, sosial, dan yang lain-lain. Akan tetapi, secara umum terdapat
kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang berciri baku. Dalam
lapangan dan situasi di atas tidak pernah digunakan, misalnya, struktur kata
‘kasih tahu’ (untuk memberitahukan), ‘bikin bersih’ (untuk membersihkan),
‘dia orang’ (untuk mereka), ‘dia punya harga’ (untuk harganya), dan kata
‘situ’ (untuk Saudara, Anda, dan sebagainya), ‘kenapa’ (untuk mengapa),
‘bilang’ (untuk mengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini),
dan kata-kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.
b. Perbedaan dari Proses Terbentuknya
Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua
kedudukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional,
sebenarnya sudah diuraikan sebelumnya. Akan tetapi, untuk mempertajam
16
perbadaan latar belakangnya dapat ditelaah hal berikut.
Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh
rasa persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putra Indonesia sadar
bahwa persatuan merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan suatu
kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh bercerai kta runtuh” benar-benar
diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk mewujudkan
persatuan perlu adanya saran yang menunjangnya. Dari sekian sarana
penentu, yang tidak kalah pentingnya adalah sarana komunikasi yang disebut
bahasa. Dengan pertimbangan kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia
yang lingua franca itu, maka ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi.
Terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi
dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri yang secara
geografis menyebar pemakiannya ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan
dikuasai oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada saat itu
bahasa Indonesia telah disepakati oleh pemakainya sebagai bahasa
pemersatu bangsa, sehingga pada saat ditentukannya sebagai bahasa
negara/resmi, seluruh pemakai bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai
penduduk Indonesia itu menerimanya dengan suara bulat.
17
jawab moral untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tersebut.
Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan
Cina, tetapi karena dia warga negara Indonesia dan secara kebetulan
menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum, maka pada saat dia
memberikan penataran kepada anggotnyan berkewajiban moral untuk
menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancar berbahasa
Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan
Cina yang berwarga negara Indonesia ataukah tidak.
Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung
antarsuku, karena dia berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah
Indonesia, sedangkan seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi, karena dia sebagai warga negara Indonesia yang menjalankan
tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.
KESIMPULAN
18
Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar. Jadi dilhat
dari fungsinya bahasa merupakan jantung dari kehidupan ini karena tanpa bahasa
kita tidak akan bisa berinteraksi sesama yang lain.
Maka dari itu kita sebagai warga negara Indonesia harus bisa menjaga
keaslian berbahasa Indonesia yang baik dan benar, karena dipandangnya suatu
bangsa itu tidak lepas dari bagaimana kita menggunakan basaha yang dapat
dipahami atau mudah dimengerti oleh bangsa lain. Mudah-mudahan urain singkat
diatas dapat memberi sumbang sih bagi pembaca, saran dan kritik yang sifatnya
membangun selalu penulis harapkan, demi kesempurnaan karya tulis kami ini yang
berjudul ”Berbahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar”. Dan atas bimbingan dan
saran-saran Bapak Dosen, saya ucapkan terimakasih.
19
DAFTAR PUSTAKA
20