You are on page 1of 36

BAB I

ANTIBIOTIK PROFILAKSIS

1.1 Pendahuluan
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik digunakan bagi pasien yang belum
terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya,
atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien.
Penggunaan antibiotik di rumah sakit, sekitar 30-50% untuk tujuan profilaksis
bedah. Profilaksis bedah merupakan pemberian antibiotik sebelum adanya tanda-
tanda dan gejala suatu infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya manifestasi
klinik infeksi.
Tujuan dari profilaksis adalah untuk memperbesar mekanisme ketahanan
tubuh terhadap infasi bakteri. Profilaksis adalah usaha untuk mencegah organisme
sebelum mereka memiliki kesempatan untuk menginfeksi.

1.2 Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Antibiotik Profilaksis


Keuntungan penggunaan antibiotik profilaksis:
1. Antibiotik profilaksis menurunkan insidensi infeksi pasien sehingga
menurunkan kematian post operatif.
2. Antibiotik profilaksis yang sesuai dan efektif menurunkan biaya perawatan
kesehatan.
3. Penggunaan antibiotik profilaksis yang sesuai membutuhkan waktu yang lebih
singkat daripada pemberian terapi, sehingga menurunkan jumlah total
antibiotik yang diperlukan.
Kerugian penggunaan antibiotik profilaksis:
1. Dapat mengakibatkan infeksi sekunder.
2. Jika resiko infeksi rendah, penggunaan antibiotik profilaksis tidak
menghasilkan keuntungan sehingga tidak menurunkan insidensi infeksi.
3. Biaya antibiotik juga harus di perhitungkan.
4. Selalu ada resiko toksisitas terhadap obat yang di pakai.

1
1.3 Dosis Antibiotik Profilaksis
Dosis antibiotik profilaksis adalah dua kali dari dosis terapi. Untuk anak-
anak dosis profilaksis yang diberikan sesuai dengan rumus :
Dosis Profilaksis = 2 x BB xDmax
T1/2
Contoh: Akan diberikan antibiotik Opimox kepada anak dengan berat badan 6 kg,
dengan dosis maksimal 50mg/hari dan interval pemberian setiap 8 jam/hari (T 1/2
=3).
Dosis Profilaksis = 2 x 6 kg x 50mg/hr
3
Dosis Profilaksis = 200 mg
Jumlah obat yang diberikan kepada pasien = 200 mg : 250 ml = 0,8 cc.
Jadi, jumlah antibiotik yag diberikan sebanyak 0,8 cc. Penyuntikan antibiotik
profilaksis dilakukan dengan menggunakan spuit 3 cc.

Dosis Antibiotik Profilaksis

Situasi Medikasi Dosis


Dewasa: 2.0 g;
Standard prophylaxis Amoxicillin Anak: 50 mg/kg orally 1 jam sebelum prosedur

Dewasa: 2.0 g IM or IV;


Tidak dapat meninum Anak: 50 mg/kg IM or IV 30 menit sebelum
Ampicillin
obat po prosedur

Dewasa: 600 mg;


Clindamycin
Anak: 20 mg/kg 1 jam sebelum prosedur po
Alergi Penicillin
Cephalexin or cefadroxil Dewasa: 2.0 g;
or Anak; 50 mg/kg 1 jam sebelum prosedur po
Azithromycin or Dewasa: 500 mg;
clarithromycin Anak: 15 mg/kg 1 jam sebelum prosedur po
Dewasa: 600 mg;
Anak: 20 mg/kg IV 30 menit sebelum prosedur
Alergi penisilin dan
Clindamycin or
tidak bisa minum obat
Cefazolin Dewasa: 1.0 g;
po
Anak: 25 mg/kg IM atau IV 30 menit sebelum
prosedur
BAB II

2
SKIN TEST

Skin test adalah suatu tes untuk mengenali alergen yang memicu alergi.
Tes ini mudah dilakukan, aman, dan hasilnya cepat. Akan tetapi tes ini tidak dapat
digunakan pada pasien dengan reaksi alergi yang tinggi.

2.1 Jenis-Jenis Skin Test


Terdapat beberapa jenis skin test, yaitu:
1. Scracth Test : biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena alergen
inhalan, makanan, atau bisa serangga.
Langkah-langkah untuk melakukan scratch test adalah:
a. Kulit lengan bagian dalam dibersihkan dengan alkohol.
b. Area diberi tanda untuk tiap alergen yang akan dites.
c. Alergen ditusukkan ke lapisan epidermis.
2. Tes intradermal: biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga.
Langkah-langkah untuk melakukan tes intradermal adalah:
a. Bersihkan kulit dengan alkohol.
b. Injeksikan sejumlah kecil alergen pada kulit.
3. Patch test: biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak.
Langkah-langkah untuk melakukan patch test adalah:
a. Tempatkan alergen yang terdapat pada patch yang diletakkan diatas kulit.
b. Jika kulit teriritasi berarti kulit alergi terhadap alergen tersebut.

2.2 Prosedur Skin Test


Antibiotik yang sering dipergunakan adalah golongan penicillin, antara lain
adalah antibiotik jenis Opimox. Untuk mencegah reaksi alergi terhadap Opimox,
sebelum pemberian obat dilakukan skin test. Sebelum melakukan skin test terlebih
dahulu kita melakukan tahap pengenceran pada obat. Langkah-langkahnya
sebagai berikut :
1. Siapkan alat dan bahan yang terdiri dari :

3
a. Disposable syringe (spuit) 1cc untuk skin test, 3 cc untuk penyuntikan IM,
dan 5cc untuk pengenceran.
b. Antibiotik, yaitu 1gr Opimox sedian bubuk dalam vial.
c. Aqua bidestilata sebagai cairan pengencer.
2. Ambil 4 cc aqua bidestilata dengan menggunakan spuit 5 cc, kemudian
masukkan ke dalam satu gram Opimox dalam vial , terlebih dahulu tutup botol
vial diolesi dengan alkohol. Setelah dimasukkan, kocok vial sampai menjadi
larutan yang homogen. Sehingga konsentrasi dari antibiotik adalah 1:250.
3. Kemudian dengan spuit 1 cc, diambil 0,1 cc Opimox yang telah diencerkan dan
diencerkan kembali dengan 0,9 cc aqua bidestilata, larutan inilah yang di pakai
untuk skin test.
4. Suntikkan Opimox yang telah diencerkan pada daerah mukokutan dengan
sudut jarum 10-15 derajat dan jarum menghadap ke atas pada lengan bagian
dalam (warna kulit lebih terang, sehingga reaksi alergi dapat terlihat).
5. Setelah daerah penyuntikkan menggembung (± 0,5 cm), lingkari daerah
tersebut dan tandai jenis obat dan waktu penyuntikkan. Reaksi ditunggu sampai
± 15 menit.
6. Hasil test reaksi alergi :
a. Positif (+) : terdapat bintik-bintik merah pada daerah sekitar daerah
penyuntikan
b. Negatif (-) : normal, tidak alergi terhadap obat.

Cara injeksi alergen ke dalam kulit Gambaran terjadi reaksi alergi


(tes intradermal)

4
2.3 Reaksi Hipersensitifitas (Alergi)
2.3.1 Pendahuluan
Yang dimaksud dengan istilah ‘alergi’ ialah keadaan reaksi organisme
yang berubah terhadap senyawa tertentu (alergen), yaitu organisme bereaksi lain
terhadap bahan ini dibandingkan sebelumnya. Pada prinsipnya ini dapat berupa
suatu kereaktifan yang diperkuat (hiperergi), diperlemah (hipoergi), atau tidak ada
(anergi). Walaupun demikian dalam pemakaian bahasa sehari-hari sekarang alergi
hanya digunakan dalam arti hiperergi.
Reaksi alergi sebagai efek samping obat berbeda dengan efek samping
toksik, kebanyakan tidak bergantung kepada dosis dan tidak khas untuk bahan
obat yang bersangkutan. Ini disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi yang tidak
bergantung pada struktur alergen, selalu menimbulkan reaksi yang sama.
Persyaratan untuk terjadinya reaksi hipersensitifitas demikian adalah kontak
pertama yang terjadi sebelumnya dengan antigen yang sama, yang disebut
sensibilisasi. Predisposisi disini ikut ditentukan secara genetik dan disamping itu
bergantung pada frekuensi pemakaian dan bentuk pemakaian.
Karena kebanyakan obat berbentuk senyawa dengan bobot molekul
rendah, yang sebagai senyawa itu sendiri masih belum memiliki sifat antigen,
timbul pertanyaan, dengan cara bagaimana obat-obat ini menimbulkan
pembentukan antobodi dan dengan demikian memenuhi persyaratan untuk reaksi
alergi.
Berdasarkan banyak penemuan hasil eksperimen maka berlaku mekanisme
berikut: bahan obat salah satu dari metabolitnya sebagai pra-antigen (semiantigen,
hapten) berikatan secara kovalen dengan suatu makromolekul tubuh sendiri,
umumnya suatu protein, membentuk antigen kompleks (antigen penuh). Terhadap
antigen penuh ini dibentuk antibodi. Disini spesifitas antibodi disiapkan untuk
melawan makromolekul, ini berarti bahan obat merupakan gugus penentu
(kelompok yang merumuskan antibodi).
Reaksi antibodi dengan gugus penentu bahan obat adalah penyebab
antigenitas gugus. Disini diartikan bahwa obat-obat yang secara kimia dan
farmakologi berbeda dapat menimbulkan reaksi alergi yang sama, sejauh mereka

5
memiliki determinan (penentu) yang sama. Karena itu suatu alergi dapat berupa
melawan suatu senyawa tertentu juga karena suatu reaksi alergi terhadap suatu
bahan lain yang dekat hubungannya dengan senyawa asal, tanpa sebelumnya
diberikan kontak dengan bahan tersebut. Ini disebut alergi silang. Suatu contoh
khas adalah antigenitas gugus dan demikian juga alergi silang dari senyawa-
senyawa dengan gugus amino aromatik primer posisi para (prokin, p-amino asam
salisilat, sulfonamide).

2.3.2 Jenis Reaksi Hipersensitifitas


Reaksi hipersensitifitas dibedakan atas :
1. Reaksi hipersensitifitas jenis segera (reaksi segera).
2. Reaksi hipersensitifitas jenis lambat (reaksi lambat).
3. Bentuk-bentuk khusus.

Tabel jenis-jenis reaksi hipersensitifitas

6
2.3.2.1 Reaksi Hipersensitifitas Jenis Segera
Reaksi antigen-antibodi umumnya berlangsung dengan tenang, artinya
tanpa tanda-tanda luar yang dapat dikenal. Walaupun demikian dalam kasus-kasus
tertentu pada kontak dengan antigen berulang-ulang dapat terjadi reaksi
berlebihan yang bersifat merusak bagi organisme. Sejauh hal itu terjadi dalam
waktu beberapa detik atau beberapa menit setelah terkena alergen, maka disebut
hipersensitif jenis segera yang menurut reaksinya dibedakan atas:
1. Reaksi anafilaktik
2. Reaksi sitotoksik
3. Reaksi yang terjadi akibat kompleks imun
Reaksi anafilaktik. Pada sensibilisasi dibentuk terutama immunoglobulin
tipe IgE (regain). Antibodi IgE mempunyai kemampuan melekat pada permukaan
sel mast atau granulosit basofil.

Jika pada suatu kontak berikutnya alergen yang masuk bereaksi dengan
antibodi IgE dan karena itu membentuk jembatan antara dua tempat ikatan
antigen, maka ini ternyata bekerja sebagai rangsang terhadap sel dan
menyebabkan perubahan struktur membran sel. Sel mengosongkan granulanya
dan kemudian membebaskan mediator yang sangat aktif antara lain

7
histamine,bradikinin,serotonin, SRS-A (Slow Reacting Substance of Anaphylaxis)
dan prostaglandin. Terjadi reaksi-reaksi sekunder khas yang disebut reaksi
anafilaktik khususnya vasodilatasi, gangguan ketelapan dinding kapiler atau
kontraksi otot bronchus. Reaksi-reaksi anafilaktik dapat terjadi pada tempat-
tempat terbatas (misalnya asma bronkhiale, hay fever, urtikaria, oedem
angioneurotik) atau menyeluruh (misalnya setelah suntikan intravasal dengan obat
atau setelah gigitan lebah atau gigitan serangga). Pada reaksi anafilaktik
menyeluruh terdapat bahaya penurunan tekanan darah masif (syok anafilaktik).
Reaksi sitotoksik. Untuk jenis reaksi alergi ini maka antibody IgG dan
IgM bertanggung jawab. Di samping itu sistem komplemen terlibat. Secara klinik
reaksi-reaksi sitotoksik kebanyakan dinyatakan melalui kerusakan sel-sel darah
(granulositopenia, agranulositosis, anemia). Satu contoh penting reaksi sitotoksik
ialah reaksi penolakan golongan darah yang cocok pada transfusi darah yang tak
segolongan dengan sitolisis eritrosit.
Reaksi yang ditimbulkan oleh kompleks imun. Apabila terbentuk
kompleks imun antara antigen dan antibodi yang beredar dalam sistem sirkulasi
maka dapat terjadi reaksi hipersensitifitas menyeluruh. Penyimpanan kompleks
dalam dinding pembuluh darah, khususnya pada organ dengan pasokan darah
banyak, menyebabkan proses peradangan (vaskulitid). Ini yang bertanggungjawab
atas kerusakan ginjal (glomerulonefritis akibat obat), pembengkakan persendian,
dan serangan pada kulit.

2.3.2.2 Reaksi Hipersensitif Jenis Lambat


Reaksi alergi jenis lambat ditimbulkan oleh limfosit yang diubah
(disensibilisasi) secara spesifik. Disini, sesil yaitu antibodi yang terdapat pada
permukaan sel bereaksi dengan antigen yang sesuai. Akibatnya adalah infiltrasi
sel, yang dimulai dengan pengumpulan limfosit dan monosit, perivaskular pada
tempat yang berantigen. Hanya sedikit dari sel-sel yang menginfiltrasi
disensibilitasi secara spesifik, sebagai tambahannya banyak sel yang tidak
disensibilitasi menembus daerah ini. Karena itu sebutan reaksi hipersensitivitas
jenis lambat dipakai, karena berbeda dengan reaksi jenis segera, titik puncaknya

8
baru tercapai setelah beberapa hari atau bahkan setelah beberapa minggu. Yang
termasuk dalam reaksi alergi ini adalah :
 Reaksi kulit, yaitu reaksi tuberculin setelah penyuntikan antigen protein
kuman TBC.
 Alergi kontak kulit yang terutama dapat terjadi setelah kontak berulang
dengan kromat, garam nikel atau zat warna tertentu
 Reaksi penolakan terhadap transplantasi.
Setelah transplantasi organ, transplantat akan ditolak makin kuat dan
makin cepat sebanding dengan makin sedikitnya antigen jaringan dari donor yang
sama dengan antigen jaringan dari akseptor. Antigen jaringan (antigen
transplantasi) terdapat pada hampir semua sel-sel tubuh dan disebut antigen HLA
(Human Leucocyt Antigen).

2.3.2.3 Reaksi Hipersensitifitas Bentuk Khusus


Selain bentuk alergi yang disebutkan diatas, setelah pemberian obat
kadang-kadang terlihat gejala yang sangat mungkin akibat peristiwa alergi akan
tetapi belum dijelaskan dengan pasti faktor-faktor imunologi yang terlibat. Jenis
reaksi tersebut diantaranya :
 Eksanterna akibat obat fenolftalein, barbiturate, atau sulfonamide.
 Sindrom Lyell akibat obat fenilbutazon dan barbiturate.
 Sindrom Steven-Johnson, yang terjadi antara lain setelah pemberian
sulfonamide.
 Limfadenopati setelah pemberian fenitoine.
 Sindrom lupus-eritematodes setelah pemakaian hidralazin, hidantoin,
prokainamida, atau isoniazida.

2.3.2.4 Reaksi Pseudoalergi


Disamping reaksi alergi yang sesungguhnya, dikenal juga reaksi
pseudoalergi yang tidak disebabkan oleh rekasi antigen-antibodi, tetapi oleh
reaksi-reaksi yang menyangkut misalnya pembebasan mediator, pengaktifan

9
komplemen atau pengaruh rangkaian asam arakhidonat ditimbulkan langsung oleh
obat. Disini termasuk misalnya reaksi anafilaktoid setelah pemberian zat kontras
roentgen, penurunan tekanan darah akibat pembebasan histamine dan
bronkhospasmus setelah penyuntikan tubokurarin atau asma analgetika setelah
pemakaian analgetika yang menghambat sintesis prostaglandin.

2.3.3 Tindakan untuk Mencegah Reaksi Hipersensitifitas


Reaksi hipersensitifitas dapat dihindari dengan melakukan langkah-
langkah berikut:
 Indikasi yang jelas untuk obat, sedapat mungkin terapi tunggal.
 Melakukan anamnesis lengkap terhadap reaksi alergi sebelumnya.
 Pengawasan pasien yang ketat pada tiap pengobatan jangka panjang,
misalnya pengontrolan pembentukan darah dan keadaan pembekuan.
 Penjelasan pada pasien tentang bahaya-bahaya pemakaian obat yang tidak
diawasi.

2.4 Syok
Reaksi hipersensitifitas yang paling dramatis dan mengancam nyawa
secara akut adalah syok anafilaktik. Kematian dapat terjadi hanya dalam beberapa
menit. Syok anafilaktik dapat terjadi setelah administrasi antigen melalui rute
apapun, namun yang paling umum terjadi adalah setelah pemberian injeksi par
enteral. Syok adalah suatu gejala klinis yang terjadi karena adanya gangguan
perfusi (aliran darah), dapat terjadi karena kegagalan dari sistem kardiovaskuler.
Gejala klinis yang ditunjukkan pada keadaan syok adalah karena oksigenisasi
pada tingkat jaringan.

2.4.1 Tanda Klinis Syok


Tanda-tanda klinis syok merupakan tanda-tanda hipoperfusi pada tingkat
jaringan dapat berupa:
 Laju nadi cepat dan lemah
 Keringat dingin, pucat

10
 Kesadaran menurun/gelisah
 Nafas cepat dan dangkal
 Produksi urine menurun.

2.4.2 Jenis-jenis Syok


Sistem kardiovaskuler terdiri dari tiga komponen yaitu jantung, pembuluh
darah, dan darah. Kegagalan dapat terjadi karena kegagalan salah satu komponen
diatas. Hal ini mendasari pembagian dari jenis-jenis syok secara klinis.

2.4.2.1 Syok Kardiogenik


Syok yang terjadi karena gangguan fungsi jantung dalam memompakan
darah ke seluruh tubuh, sehingga perfusi tidak dapat memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan tubuh. Syok kardiogenik dapat disebabkan karena miopati,
gangguan sirkulasi koroner, kongesti, hipertensi yang tidak terkendali dalam
waktu cukup lama.
Penanggulangannya yaitu dengan:
 Istirahat yang cukup untuk mengurangi kebutuhan O2 yang meningkat, yang
tidak dapat dikompensasi oleh jantung.
 Posisi ½ duduk untuk mengurangi beban jantung.
 Terapi obat-obatan untuk memperbaiki kontraktilitas otot jantung.

2.4.2.2 Syok Hipovolemik


Syok yang terjadi karena jumlah darah yang berkurang, dapat terjadi
karena perdarahan atau dehidrasi.

Tingkatan syok berdasarkan jumlah darah yang hilang


Class I Class II Class III Class IV
Blood Loss < 750 750-1500 1500-2000 >2000
Blood volume <15% 15-30 30-40 >40
Heart rate <100 >100 >120 >140
Blood pressure N N N s/d ↓ ↓
Urine output >30 20-30 5-15

11
Penanggulangan syok hipovolemik:
 Posisi terlentang untuk menjaga agar sirkulasi sentral dapat dipertahankan.
 Berikan O2 2 liter/menit.
 Pasang kateter intra vena, berikan cairan kristaloid (ringer laktat, assering,
NaCl). Bila tekanan darah sudah menurun atau rendah berikan cairan secara
cepat 1000-2000cc.
 Ambil sampel darah, lakukan pemeriksaan Hb dan golongan darah.
 Hentikan perdarahan secepatnya. Pada perdarahan yang jelas dan terlihat
superficial maka lakukan balut tekan (hindari tornique).
 Pada perdarahan dalam, lakukan pengangkatan kaki ke atas untuk
mempertahankan sirkulasi sentral.
 Biasanya darah diperlukan jika penderita mengalami perdarahan > 30% EBV
(Estimated Blood Volume). Pada penderita yang sebelumnya sehat dan muda
target Hb 8gr% sedangkan untuk penderita yang tua, sakit jantung, dan
gangguan pernafasan target Hb 10gr%.

2.4.2.3 Syok Distributif


Syok distributif merupakan syok yang disebabkan oleh karena jumlah
volume darah dan besarnya kapasitas pembuluh darah tidak sesuai untuk
mempertahankan perfusi yang normal. Biasanya terjadi karena adanya
vasodilatasi yang hebat disertai dengan kebocoran kapiler. Sepsis, analfilaktik dan
neurogenik termasuk dalam syok distributif.
Tujuan terapi pada syok distributif yaitu:
1. Mengisi volume intravascular.
2. Menimbulkan vasokontriktor.
3. Memilih cairan yang diberikan, yang dapat berfungsi di intravaskuler lebih
lama (mencegah kebocoran).
Penanggulangan syok distributif:
1. Menjaga agar sirkulasi sentral dapat dipertahankan.
2. Mengisi volume intravaskuler (infus) dengan cairan ringer laktat atau koloid.

12
3. Memberikan obat-obatan vaso aktif.
4. Memberikan O2 2liter/menit.

2.4.2.3.1 Syok Anafilaktik


Merupakan reaksi antigen antibodi yang menyebabkan pelepasan
histamine bertambah sehingga pembuluh darah dilatasi. Terjadi karena pemberian
obat-obatan, plasma, kontras media. Penanggulangan dengan ABCD (epineprin
1:1000 yang 0,2-0,3 mg/menit, bila ada edema laryng dan bronkospasme berikan
aminofilin, antihistamin, atau kortikosteroid 125-250mg, beri infus jika perlu).
Reaksinya memliki respon waktu yang beragam, namun reaksi ini dapat
terjadi dengan cepat yaitu mencapai intensitas waktu maksimal dalam 5 menit
sampai 30 menit. Pada reaksi anafilaktik fatal, gangguan respirasi dan
kardiovaskular menjadi predominan dan langsung terlihat pada awal reaksi.
Reaksi yang cepat memperlihatkan semua tanda dan gejala dalam jangka waktu
singkat dan overlap. Pada reaksi yang parah, mungkin hanya dapat terlihat tanda
dan gejala dari gangguan respirasi dan kardiovaskuler.
Reaksi terserbut dapat bertahan dalam hitungan menit sampai 1 hari atau
bahkan lebih. Dengan perawatan yang tepat dan sesuai, seluruh reaksi tersebut
dapat diakhiri dengan cepat. Akan tetapi, hipotensi dan edema laryng akan tetap
bertahan dalam beberapa jam meskipun telah mendapat terapi intensif. Kematian
yang dapat terjadi kapanpun biasanya bersifat sekunder terhadap obstruksi saluran
nafas atas yang disebabkan oleh edema laryng.
Tahapan reaksi anafilaktik:
1. Reaksi kulit
1) Pasien mengeluh rasa sakit
2) Pruritus
3) Eritema
4) Urtikaria (pada muka dan dada bagian atas)
5) Nausea dan kemungkinan muntah
6) Konjungtivitis

13
7) Vasomotior rinitis (inflamasi membran mukosa hidung yang ditandai
dengan meningkatnya sekresi mukus)
8) Ereksi pilomotor
2. Berbagai gangguan gastro intestinal dan genitourinari berhubungan dengan
spasme otot halus
1) Kram abdomen yang parah
2) Nausea dan vomit
3) Diare
4) Fecal dan urinary incontinence
3. Gejala respirasi
1) Sesak substernal/ sakit dalam dada
2) Batuk
3) Wheezing (Bronchospasme)
4) Dyspnea
5) Jika kondisi buruk, sianosis membran mukosa dan bantalan kuku
6) Kemungkinan terjadi edema laryng
4. Gangguan sistem kardiovaskular
1) Pucat
2) Pusing
3) Berdebar-debar
4) Takikardi
5) Hipotensi
6) Dysritmia jantung
7) Kehilangan kesadaran
8) Henti jantung

2.4.2.3.2 Syok Sepsis


Syok yang terjadi akibat infeksi yang berat. Systemic inflamantory
resposesyndrome (SIRS) mempunyai ciri khas hipertemia atau hipotermia,
takhikardi (nadi > 90), takhipnea (respirasi >20), hipotensi. Penanggulangan:
 Antibiotik berdasarkan kultur

14
 Indentifikasi berdasrakan fokal infeksi
 Monitoring tanda-tanda vital
 Cairan kristaloid dan koloid
 Kortikosteroid 200-300 mg IV setiap 4-6jam
 Obat-obat penunjang: dopamine, dobutaminn, nor epineprin
 Anti thrombin III: menghambat proses koagulasi.

2.4.2.3.3 Syok Destruktif


Syok distributif terjadi karena gangguan pembuluh darah balik (jumlah
yang kembali ke jantung dari seluruh tubuh) yang terjadi karena pneumotorik,
efusi pericardium, ventilasi kendali. Penanggulangannya adalah dengan
secepatnya menghilangkan etiologi kemudian konsul ke ahli yang bersangkutan.

2.4.2.4 Syok Obstruktif


Syok obstruktif yaitu syok yang terjadi karena darah balik dari seluruh
rubuh ke jantung mengalami hambatan karena peningkatan tekanan intratorakal
atau intraperikardial.

15
BAB III
INJEKSI INTRAMUSKULAR

3.1 Pendahuluan
Obat dapat masuk ke dalam tubuh dengan berbagai jalan, yaitu:
1. Per oral
Cara pemberian obat melalui mulut. Untuk cara pemberian obat ini relatif
aman, praktis dan ekonomis. Kelemahan dari pemberian obat secara oral adalah
efek yang timbul biasanya lambat, tidak efektif jika pengguna sering muntah-
muntah, diare, tidak sabar, tidak kooperatif, kurang disukai jika rasanya pahit
(rasa jadi tidak enak).
2. Sublingual
Cara pemberian obat dengan ditaruh di bawah lidah. Tujuannya adalah
agar efek yang ditimbulkan bisa lebih cepat karena pembuluh darah di bawah
lidah merupakan pusat dari sakit. Kelebihan dari cara pemberian obat dengan
sublingual adalah efek obat akan terasa lebih cepat dan kerusakan obat pada
saluran cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari.
3. Inhalasi
Cara pemberian obat dengan disemprotkan ke dalam mulut. Kelebihan dari
pemberian obat dengan cara inhalasi adalah absorpsi terjadi cepat dan homogen,
kadar obat dapat terkontrol, terhindar dari efek lintas pertama dan dapat diberikan
langsung kepada bronkus. Untuk obat yang diberikan dengan cara inhalasi ini obat
yang dalam keadaan gas atau uap yang akan diabsorpsi akan sangat cepat
bergerak melalui alveoli paru-paru serta membran mukosa pada saluran
pernapasan.
4. Rektal
Cara pemberian obat melalui dubur atau anus. Maksudnya adalah
mempercepat kerja obat serta bersifat lokal dan sistematik.
5. Pervaginam

16
Cara pemberian obat ini bentuknya hampir sama atau menyerupai obat
yang diberikan secara rektal, hanya saja dimasukan ke dalam vagina.
6. Parenteral
Cara pemberian obat dengan tanpa melalui mulut (tanpa melalui saluran
pencernaan) tetapi langsung ke pembuluh darah. Misalnya sediaan injeksi atau
suntikan. Tujuannya adalah agar dapat langsung menuju sasaran. Kelebihannya
bisa untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah dan tidak kooperatif. Akan
tetapi cara pemberian obat dengan cara ini kurang aman karena jika sudah
disuntikan ke dalam tubuh tidak bisa dikeluarkan lagi jika terjadi kesalahan.
7. Topikal atau lokal
Cara pemberian obat bersifat lokal, misalnya tetes mata, salep, tetes telinga
dan lain-lain.

Injeksi merupakan tindakan memasukkan suatu cairan ke dalam bagian


tubuh, seperti subkutan, vaskular atau pada organ (Dorland, 2000). Sampai saat
ini banyak obat-obatan yang telah tersedia dalam bentuk injeksi, baik diberikan
secara intramuskular, intravena, subkutan, dan lain-lain. Obat-obatan tersebut
diberikan secara parenteral karena biasanya komponen obat tersebut akan diserap
oleh tubuh dengan jauh lebih cepat daripada pemberian per oral atau karena
penyerapan atau struktur obat akan terganggu oleh makanan, misalnya obat
insulin.
Tiga teknik penyuntikan yang umum dipakai yaitu :
1. Injeksi intramuskular
2. Injeksi intravena
3. Injeksi subkutan
Sesuai dengan materi pembahasan kali ini, maka dari ketiga teknik diatas
yang akan dibahas adalah mengenai teknik injeksi intramuscular. Sebelum
dilakukan injeksi secara intramuskular dilakukan desinfeksi kulit di lokasi sekitar
injeksi. Pada tahun 1969,Koivisto & Felig (1978) menemukan bahwa teknik
desinfeksi dengan alkohol tidak selalu mutlak diperlukan dan ketika prosedur

17
tersebut ditiadakan angka infeksi post injeksi yang terjadi tidak lebih banyak dari
pada yang dilakukan disinfeksi dengan alkohol sebelumnya.
Prosedur desinfeksi dengan alkohol dilakukan dengan mengulaskan kapas
dengan alkohol ke kulit dengan gerakan berlawanan arah jarum jam selama 30
detik. Kemudian tunggu 30 detik sampai kulit mongering. Jika injeksi dilakukan
sebelum kulit kering masih ada kemungkinan bakteri masih belum mati dan malah
bersama-sama dengan alkohol bisa saja ikut menginokulasi lokasi penyuntikan
sehingga meningkatkan resiko infeksi penyuntikan.
Tindakan menyuntikkan obat ke dalam otot yang terperfusi baik sehingga
mampu memberikan efek sistemik dalam waktu singkat dan biasanya mampu
menyerap obat dalam dosis besar. Lokasi penyuntikan harus dipertimbangkan
dengan mengingat kondisi fisik pasien, usia, derajat kekooperatifan dan jumlah
obat yang akan diberikan. Adapun indikasi untuk injeksi intramuskular adalah
pasien yang tidak kooperatif dan obat tidak dapat diberikan secara intra oral.
Kontraindikasi untuk injeksi intramuskular adalah pada daerah yang inflamasi,
oedem, teriritasi, tahi lalat, tanda lahir, jaringan parut, kelainan koagulasi,
penyakit vaskuler perifer, syok, setelah terapi trombolitik, dan acute myocardial
infarction.

3.2 Lokasi Injeksi Intramuskular


Terdapat lima lokasi penyuntikan intramuskular yang sudah terbukti
bahwa obatnya akan diabsorbsi dengan baik oleh tubuh :

3.2.1 Daerah Lengan Atas ( M. Deltoideus)

18
 Mudah dan dapat dilakukan pada berbagai posisi. Namun,
kekurangannya adalah area penyuntikan kecil, jumlah obat yang ideal
(antara 0,5 – 1 mm).
 Jarum disuntikan kurang lebih 2,5 cm tepat dibawah tonjolan akromion.
 Organ penting yang mungkin terkena adalah arteri brachialis atau
nervus radialis. Hal ini terjadi apabila kita menyuntik terlalu jauh
kebawah.
 Minta pasien untuk meletakkan tangan di pinggul, dengan demikian
tonus ototnya akan berada pada kondisi yang mudah disuntik dan dapat
mengurangi nyeri.

3.2.2 Daerah Dorso Gluteal (M. Gluteus Maximus)

 Paling mudah dilakukan, namun angka terjadinya komplikasi paling tinggi.


 Hati-hati terhadap nervus sciatus dan arteri glutea superior.
 Volume suntikan ideal adalah antara 2-4 ml.
 Minta pasien berbaring ke samping dengan lutut sedikit fleksi.
 Indikasi : dosis 1 – 3 cc, (≤ 5 cc), 20 – 23 gauge, 1 – ½ inch jarum, sudut 90⁰
 KI: anak < 2 tahun atau os berbadan kurus

19
Gambar teknik injeksi IM pada daerah dorso gluteal

3.2.3 Daerah Ventro Gluteal (M. Gluteus Medius)

Indikasi : - Orang dewasa dan anak-anak


- Dosis obat 1 – 3 cc, 20 – 23 gauge, 1 – ½ inch jarum.
Langkah :
1. Posisikan os telentang lateral
2. Letakan tangan kanan anda pada pinggul kiri pasien pada trochanter mayor
atau sebaliknya, posisikan jari telunjuk sehingga menyentuh SIAS (Spina Iliaca
Anterior Superior). Kemudian gerakkan jari tengah anda sejauh mungkin
menjauhi jari telunjuk sepanjang crista iliaca. Maka jari telunjuk dan jari
tengah anda akan membentuk huruf V. Suntikan jarum ditengah-tengah huruf
V, maka jarum akan menembus M.Gluteus Medius.
3. Volume suntikan ideal antara 1 – 4 ml

20
3.2.4 Daerah Anterolateral Paha (M. Vastus Lateralis)

a.

b.

Pada orang dewasa m. vastus lateralis terletak pada sepertiga tengah paha
bagian luar. Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit diatasnya perlu ditarik
atau sedikit dicubit untuk membantu jarum mencapai kedalaman yang tepat.
Indikasi : - Bayi dan anak-anak
- Dosis obat 1 – 4 ml (1 – 3 ml u/ bayi)
Langkah:
1. Posisikan os telentang atau duduk.
2. Temukan trochanter terbesar dan kondilus femur lateral. Area suntik : 1/3
tengah dan aspek antero lateral paha.
3. Volume ideal antara 1 – 5 ml (untuk bayi 1 - 3 ml).

Gambar teknik injeksi IM pada m. vastus lateralis

21
3.2.5 Daerah Paha Bagian Depan (M. Rectus Femoris)
Pada orang dewasa m. rectus femoris terletak pada 1/3 tengah paha bagian
depan. Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit diatasnya perlu ditarik atau
sedikit dicubit untuk membantu jarum mencapai kedalaman yang tepat. Volume
ideal antara 1 – 5 mm (untuk bayi 1 - 3 mm). Lokasi ini jarang digunakan,
biasanya untuk melakukan autoinjection.

3.3 Teknik Injeksi Intramuskular


Injeksi intramuskular sebaiknya dilakukan dengan memasukkan jarum
tegak lurus dengan kulit (90°) untuk memastikan jarumnya mengenai otot yang
dimaksud. Penelitian oleh Katsma dan Smith (1997) menemukan bahwa perawat-
perawat di Inggris tidak selalu menyuntikkan jarum 90° pada injeksi intra
muskular, dan rupanya hal ini berpengaruh pada penilaian derajat nyeri yang
dirasakan pasien.
Teknik injeksi yang dilakukan hampir seluruhnya dengan cara
mengencangkan kulit dilokasi sekitar injeksi, dengan tujuan : (still well, 1992):
1. Memudahkan penusukkan jarum. Jarum akan lebih mudah menusuk kulit
dengan sudut 90° apabila kulit yang ditusuk berada dalam keadaan yang
teregang.
2. Dengan teregangnya kulit, maka secara mekanis akan membantu mengurangi
sensitifitas ujung-ujung serat syaraf di permukaan kulit.

22
BAB IV
TETANUS

4.1 Pendahuluan
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day
disease ". Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka
pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk, luka bakar, serta pada infeksi tali pusat
(tetanus neonatorum).

4.2 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif Clostridium tetani. Bakteri
ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia
atau pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang
atau bersamaan dengan masuknya benda asing atau bakteri lain, ia akan memasuki
tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau lebih panjang. Pada negara
belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui
tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama
tetanus neonatorum.

4.3 Patogenesis
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada
beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi transmisi neuromuscular dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

23
b. Karekteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari
refleks sinaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglion side.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS ) dengan gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuatif, takikardia,
aritmia jantung, peninggian katekolamin dalam urine.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi normal yang menyebabkan


meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masseter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masseter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi
yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga
timbul spasme otot yang khas. Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin,
yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik melalui sumbu silindrik dibawa ke
kornu anterior susunan saraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk kedalam susunan saraf pusat.

Gejala klinis tetanus:


 Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
 Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.
 Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
 Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dan leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena
spasme otot masseter.
 Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, nuchal rigidity)
 Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

24
 Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.
 Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).

4.4 Jenis-jenis Tetanus


Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yaitu:

4.4.1 Localized Tetanus


Pada localized tetanus (tetanus lokal) dijumpai adanya kontraksi otot yang
persisten, pada daerah tempat terjadi luka (agonis, antagonis, dan fixator). Hal
inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan,
bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang
secara bertahap. Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus,
tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga
tetanus lokal ini dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai
secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.

4.4.2 Cephalic Tetanus


Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung.

4.4.3 Generalized Tetanus


Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot

25
leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala
lain berupa risus sardonicus (sardonic grin) yaitu spasme otot-otot muka,
opistotonus (kekakuan otot punggung), dan kejang dinding perut. Spasme dari
laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas,
sianosis, dan asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, fraktur kompresi dan
pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa
juga mencapai 40ºC. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah
tidak stabil dan dijumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.

4.4.4 Neotal Tetanus


Biasanya disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat
yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan
dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor yang utama dalam
terjadinya neonatal tetanus

4.5 Prognosis
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, yaitu:
1. Ringan, bila tidak adanya kejang umum (generalized spasme).
2. Sedang, bila sekali muncul kejang umum.
3. Berat, bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih
pendek ataupun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada
lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin
jelek. Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari.
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang.
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam.

26
4. Dijumpai muscular spasme.
Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus
neonatorum > 60%.

4.6 Penatalaksanaan
4.6.1 Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot, dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih.
Penatalaksaan yang dapat dilakukan adalah:
1. Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),
membuang benda asing dalam luka, serta kompres dengan H2O2. Dalam hal ini,
penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah pemberian
ATS (Anti Tetanus Serum) dan pemberian antibiotik. Daerah sekitar luka
disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang dari luar terhadap penderita.
4. Oksigen, pernafasan buatan, dan tracheostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

4.6.2 Obat- obatan


4.6.2.1 Antibiotik
Diberikan parenteral penicilin 1,2 juta unit/hari selama 10 hari. Untuk
tetanus pada anak dapat diberikan penicilin dosis 50.000 unit/kgBB/12 jam secara
IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap penicilin, obat dapat diganti
dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis
tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia
penicilin intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/24 jam,
dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk

27
vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai
adanya komplikasi, pemberian antibiotik spektrum luas dapat dilakukan.

4.6.2.2 Antitoksin
Antitoksin yang dapat digunakan adalah Human Tetanus Immunoglobulin
( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian secara intramuskular, tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang dapat menimbulkan reaksi alergi yang serius. Bila
TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan antitoksin tetanus yang berasal
dari hewan, dengan dosis 40.000 U. Cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari
antitoksin dimasukkan kedalam 200cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara
intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.
Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara intramuskular pada
daerah pada sebelah luar.

4.6.2.3 Tetanus Toksoid


Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetanus tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara intramuskular. Pemberian TT
harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

4.6.2.4 Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muskular dan laringeal spasme beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat-obatan sedasi/muscle relaxans diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel berikut menunjukkan macam-macam obat antikonvulsan yang dapat
digunakan.

28
Macam-macam obat antikonvulsan
No. Jenis Obat Dosis Efek Samping
1 Diazepam 0,5-1,0 mg/kg Stupor, Koma

2 Meprobamat 300-400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada

3 Klorpromasin 25-75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi

4 Fenobarbital 50-100 mg/ 4 jam (IM) Depresi pernafasan

4.7 Pencegahan/ Imunisasi


Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan
ulangan, artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus
bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah dia sembuh dikarenakan toksin
yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan
antitoksin ( karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat
walaupun dalam konsentrasi yang minimal, dimana dalam hal ini tidak dalam
konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).
Ada beberapa kejadian dimana dijumpai imunitas alami. Hal ini diketahui
sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme yang berada
didalam lumen usus melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Dengan
dijumpai imunitas alami ini mungkin dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus
tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada beberapa negara dimana
pemberian imunisasi tidak lengkap atau tidak terlaksana dengan baik. Sampai
pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya
cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian
imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian
imunisasi aktif ( DPT atau DT ).
Imunisasi atau vaksinasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat
imunitas, memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respons memori
terhadap patogen tertentu/toksin dengan menggunakan preparat antigen

29
nonvirulen/nontoksik. Respon imun terhadap penyakit infeksi pada tubuh manusia
bisa dilihat dari diagram berikut :

Respon imun humoral spesifik


Peran penting dalam respon imun humoral spesifik dipegang oleh limfosit
B. Jika mengenali suatu zat yang diabsorpsi atau yang diberikan parenteral
sebagai zat asing (antigen), maka limfosit akan memberi sinyal kepada sel untuk
membentuk zat yang melawan antigen tersebut yaitu antibodi.
Antigen merupakan zat asing bagi organisme, yang menimbulkan proses
perlawanan imunologik dalam darah dan jaringan. Sedangkan antibodi terbentuk
setelah antigen berkontak dengan sel yang mempunyai kemampuan imunologik.
Antibodi dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B yang mengalami
proliferasi dan diferensiasi, dan terbentuk setelah kontak dengan antigen. Jenis-
jenis antibodi yaitu IgG, IgM, IgA, IgD, dan IgE.

30
Respon imun seluler spesifik
Sel limfosit T bertanggung jawab atas mekanisme pertahanan sel yang
spesifik. Sel ini merupakan populasi limfosit kedua yang juga berasal dari
sumsum tulang dengan memperoleh kemampuan imunologiknya dalam timus, dan
selalu bergerak antara limpa, nodus limfe, jaringan, serta sistem pembuluh.

Respon imun humoral nonspesifik


Pada sistem ini, berperan sejumlah faktor plasma terutama sistem
komplemen yang terdiri atas sembilan komponen serum yang dapat diaktifkan.
Selain itu, berperan juga lisozim dimana zat ini akan dibebaskan saat sel yang
difagositosis hancur. Lisozim dapat menguraikan secara hidrolitik dinding bakteri
Gram positif (antara lain stafilokokus dan streptokokus).

Respon imun seluler nonspesifik


Sel yang berperan adalah makrofag, merupakan sel darah yang
mempunyai aktivitas fagositik. Makrofag yang terfiksasi ditemukan di luar
pembuluh darah, dalam jaringan ikat, hati dan limpa.

4.7.1 Imunisasi Aktif


Pada imunisasi aktif, antigen yang ada dalam vaksin akan menyebabkan
pembentukan antibodi, sehingga organisme bersangkutan mempunyai imunitas
spesifik terhadap antigen ini. Pertahanan yang didapat dengan cara ini akan tetap
ada beberapa tahun bahkan dapat sampai seumur hidup. Syarat untuk tercapainya
imunisasi aktif yang bermanfaat adalah bahwa vaksin tesebut mengandung cukup
antigen, sebaliknya kondisi umum orang yang menerima vaksin baik. Imunisasi
dasar mempunyai fungsi membangun pertahanan imun yang cukup. Untuk ini
seringkali dibutuhkan beberapa kali vaksinasi dalam jarak 4-8 minggu.
Menurut jenis antigen yang digunakan, jenis vaksin dibedakan atas :
 Vaksin dengan apatogen atau avirulen yang masih dapat berkembang biak
(vaksin hidup), terdiri dari : vaksin demam kuning, campak, polititis,
poliomielitis, rubella, hepatitis A-B, varisela.

31
 Vaksin dengan kuman (bakteri) yang tak mampu berkembang biak, artinya
kuman yang telah dimatikan atau (pada virus) yang sudah diinaktifkan (vaksin
mati), terdiri dari : vaksin poliomielitis, meningoensefalitis, influenza, rabies,
pertusis, tifus, dan kolera.
 Vaksin toksoid dengan toksin yang sudah dilemahkan, terdiri dari : vaksin
difteri dan tetanus.

Vaksinasi tetanus
Tetanus ditimbulkan oleh bakteri Clostridium tetani, suatu bakteri anaerob
yang membentuk spora. Penyakit ini ditandai dengan kejang tonik otot skelet.
Vaksin ini diperlakukan dengan formaldehida dan mengandung toksin tetanus
(tetanus-formol-toksoid) yang terikat pada alumunium hidroksida. Untuk
imunisasi dasar disuntikkan 2x0.5ml intramuskular dengan jarak 4-8 minggu.
Suntikan ketiga setelah 6-12 bulan. Vaksinasi penyegar dilakukan selang waktu
10 tahun, akan tetapi pada luka harus dilakukan 5 tahun setelah vaksinasi terakhir.
Reaksi akibat vaksinasi jarang terjadi.

4.7.2 Imunisasi Pasif

32
Berbeda dengan imunisasi aktif yang dengan pemberian antigen produksi
antibodi tubuh sendiri dirangsang, maka pada imunisasi pasif, antibodi yang sudah
terbentuk dalam tubuh hewan atau manusia akan disuntikkan pada pasien. Dalam
imunoterapi, yang disebut serum adalah preparat antibodi yang diperoleh dari
hewan yang diimunisasi atau yang berasal dari darah manusia atau disebut
preparat imunoglobulin. Keuntungannya ialah pemasukan yang segera, sedangkan
kerugiannya pertahanan hanya berlangsung singkat, pada serum hewan hanya 8-
14 hari, pada imunoglobulin hanya beberapa minggu. Tingkat komplikasi lebih
tinggi dibandingkan imunisasi aktif. Imunisasi pasif hanya diindikasikan jika ada
kemungkinan terjadinya infeksi dan waktu inkubasi untuk produksi antibodi tubuh
sendiri tidak mencukupi. Jika mungkin, maka imunisasi pasif dikombinasikan
dengan imunisasi aktif (yang dinamakan vaksinasi serempak) yang biasanya
diindikasikan untuk bahaya infeksi tetanus atau rabies.
Jenis imunisasi pasif dapat diperoleh dari :
1. Imunisasi pasif alamiah
Imunitas ini diperoleh secara maternal melaui plasenta (IgG) dan kolostrum
(ASI).
2. Imunisasi pasif buatan
1) Serum hewan

33
Untuk mendapatkan serum, antigen disuntikkan kepada kuda, sapi, atau
hewan percobaan lain dengan lama tertentu sampai didapat titer antibodi
yang tinggi dan serum yang diperoleh adalah serum asli. Serum ini banyak
mengandung protein asing, manusia akan menerima protein hewan atau
antibodi hewan yang diberikan secara parenteral sebagai antigen. Karena
itu, saat ini serum asli jarang digunakan lagi, karena bahaya reaksi yang
timbul terlalu besar (demam, oedema, pembengkakan pada nodus
limfatikus, syok anafilaktik). Dengan memisahkan protein yang
menyertainya, dan pemutusan rantai fermentatif globulin, akan didapat
serum fermo (serum yang dimurnikan secara fermentatif). Serum ini akan
sangat mengurangi bahaya sensibilisasi tetapi tetap spesifik. Karena itu uji
reaksi alergi atau anafilaktik tetap harus dilakukan sebelum pengunaan.
Serum hewan yang saat ini ada dalam perdagangan umumnya berasal dari
kuda.
2) Imunoglobulin manusia
Sejak beberapa tahun ini makin banyak digunakan fraksi dari darah
manusia yang mengandung antibodi, menggantikan serum hewan. Bentuk
sediaan yang ada dalam perdagangan :
(1) Preparat imunoglobulin nonspesifik (polivalen).
Preparat ini merupakan campuran berbagai antibodi terutama IgG yang
bahan dasarnya adalah plasma campuran dari paling sedikit 1000
donor darah. Preparat ini terdiri dari human imunoglobulin normal
untuk penggunaan IM dan human imunoglobulin untuk penggunaan
IV. Waktu paruh imunoglobulin untuk penggunaan IM adalah sekitar 3
minggu, titer maksimum akan dicapai setelah 3-5 hari. Jumlah yang
dapat disuntikkan terbatas. Indikasi bagi preparat ini adalah untuk
profilaksis (dan mungkin juga untuk percobaan terapi) penyakit virus,
terutama virus hepatitis A.
Preparat dagang :
a. Untuk penggunaan IM : Beriglobin, Cutterglobin, Hemogamma,
Kabiglobin

34
b. Untuk penggunaan IV : Endobulin, Gammagard, Gamma-Venin,
Gammonativ, Intraglobin, Polyglobin, Rhodiglobin, Sandoglobulin,
Venimmun.
(2) Preparat imunoglobulin spesifik
Preparat ini didapat dari jumlah terbatas plasma pilihan dengan titer
antibodi yang tinggi terhadap penyebab tertentu, yang diperoleh dari
donor yang sehat atau donor yang diimunisasi secara aktif, digunakan
untuk profilaksis atau terapi penyakit seperti :
- Meningoensefalitis (FESME-Bulin)
- Hepatitis B (Aunativ, Gammaprotect, Hepaglobulin, Hepatect)
- Pertussis (Pertussis Imunoglobulin, Tussoglobin)
- Tetanus (Hyper-Tect, Teragam, Tetaglobulin, Tetanobulin)
- Rabies (Berirab, Hyperab, Rabiesglobulin Merieux)
- Varisella (Gammaprotect varicella, Varicellon, Varitect)

35
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Bedah Mulut FKG Unpad. 2001. Infeksi Odontogenik. Bandung: FKG
Unpad.
Ganiswara, S. G. 2003. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : FKUI.
Pedersen, G. W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih bahasa: Purwanto
dan Basoeseno. Jakarta: EGC.
Usri, K., dkk. 2006. Diagnosis dan Terapi Penyakit Gigi dan Mulut. Bandung :
LSKI.
Winotopradjoko, M; dkk. 2006. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta:
ISFI.
Woods, R. 1996. A Guide To The Use of Drugs in Dentistry. 12 th edition. Sydney:
Australia Dental Association Incorporated.
Harrison. 1994. Tetanus in : Principles of lnternal Medicine. Vol 2. 13th ed.
McGrawHill. Inc,New York, , .577-579.
www.hubpages.com/hub/deltoid_intramuscular_injection. Diakses tanggal 16
Desember 2009.
www.indoskripsi.com. Diakses tanggal 16 Desember 2009.
www.megabolix.blogspot.com/2008/09/intramuscular_injection. Diakses tanggal
16 Desember 2009.
www.nursingcrib.com/intramuscular_injection. Diakses tanggal 16 Desember
2009.
www.scribd.com/tetanus. Diakses tanggal 17 Desember 2009.
www. Theodora .com/drugs/avonex_biogen_idec.html. Diakses tanggal 16
Desember 2009.
www.wikipedia.com. Diakses tanggal 17 Desember 2009.

36

You might also like