Professional Documents
Culture Documents
ANTIBIOTIK PROFILAKSIS
1.1 Pendahuluan
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik digunakan bagi pasien yang belum
terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya,
atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien.
Penggunaan antibiotik di rumah sakit, sekitar 30-50% untuk tujuan profilaksis
bedah. Profilaksis bedah merupakan pemberian antibiotik sebelum adanya tanda-
tanda dan gejala suatu infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya manifestasi
klinik infeksi.
Tujuan dari profilaksis adalah untuk memperbesar mekanisme ketahanan
tubuh terhadap infasi bakteri. Profilaksis adalah usaha untuk mencegah organisme
sebelum mereka memiliki kesempatan untuk menginfeksi.
1
1.3 Dosis Antibiotik Profilaksis
Dosis antibiotik profilaksis adalah dua kali dari dosis terapi. Untuk anak-
anak dosis profilaksis yang diberikan sesuai dengan rumus :
Dosis Profilaksis = 2 x BB xDmax
T1/2
Contoh: Akan diberikan antibiotik Opimox kepada anak dengan berat badan 6 kg,
dengan dosis maksimal 50mg/hari dan interval pemberian setiap 8 jam/hari (T 1/2
=3).
Dosis Profilaksis = 2 x 6 kg x 50mg/hr
3
Dosis Profilaksis = 200 mg
Jumlah obat yang diberikan kepada pasien = 200 mg : 250 ml = 0,8 cc.
Jadi, jumlah antibiotik yag diberikan sebanyak 0,8 cc. Penyuntikan antibiotik
profilaksis dilakukan dengan menggunakan spuit 3 cc.
2
SKIN TEST
Skin test adalah suatu tes untuk mengenali alergen yang memicu alergi.
Tes ini mudah dilakukan, aman, dan hasilnya cepat. Akan tetapi tes ini tidak dapat
digunakan pada pasien dengan reaksi alergi yang tinggi.
3
a. Disposable syringe (spuit) 1cc untuk skin test, 3 cc untuk penyuntikan IM,
dan 5cc untuk pengenceran.
b. Antibiotik, yaitu 1gr Opimox sedian bubuk dalam vial.
c. Aqua bidestilata sebagai cairan pengencer.
2. Ambil 4 cc aqua bidestilata dengan menggunakan spuit 5 cc, kemudian
masukkan ke dalam satu gram Opimox dalam vial , terlebih dahulu tutup botol
vial diolesi dengan alkohol. Setelah dimasukkan, kocok vial sampai menjadi
larutan yang homogen. Sehingga konsentrasi dari antibiotik adalah 1:250.
3. Kemudian dengan spuit 1 cc, diambil 0,1 cc Opimox yang telah diencerkan dan
diencerkan kembali dengan 0,9 cc aqua bidestilata, larutan inilah yang di pakai
untuk skin test.
4. Suntikkan Opimox yang telah diencerkan pada daerah mukokutan dengan
sudut jarum 10-15 derajat dan jarum menghadap ke atas pada lengan bagian
dalam (warna kulit lebih terang, sehingga reaksi alergi dapat terlihat).
5. Setelah daerah penyuntikkan menggembung (± 0,5 cm), lingkari daerah
tersebut dan tandai jenis obat dan waktu penyuntikkan. Reaksi ditunggu sampai
± 15 menit.
6. Hasil test reaksi alergi :
a. Positif (+) : terdapat bintik-bintik merah pada daerah sekitar daerah
penyuntikan
b. Negatif (-) : normal, tidak alergi terhadap obat.
4
2.3 Reaksi Hipersensitifitas (Alergi)
2.3.1 Pendahuluan
Yang dimaksud dengan istilah ‘alergi’ ialah keadaan reaksi organisme
yang berubah terhadap senyawa tertentu (alergen), yaitu organisme bereaksi lain
terhadap bahan ini dibandingkan sebelumnya. Pada prinsipnya ini dapat berupa
suatu kereaktifan yang diperkuat (hiperergi), diperlemah (hipoergi), atau tidak ada
(anergi). Walaupun demikian dalam pemakaian bahasa sehari-hari sekarang alergi
hanya digunakan dalam arti hiperergi.
Reaksi alergi sebagai efek samping obat berbeda dengan efek samping
toksik, kebanyakan tidak bergantung kepada dosis dan tidak khas untuk bahan
obat yang bersangkutan. Ini disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi yang tidak
bergantung pada struktur alergen, selalu menimbulkan reaksi yang sama.
Persyaratan untuk terjadinya reaksi hipersensitifitas demikian adalah kontak
pertama yang terjadi sebelumnya dengan antigen yang sama, yang disebut
sensibilisasi. Predisposisi disini ikut ditentukan secara genetik dan disamping itu
bergantung pada frekuensi pemakaian dan bentuk pemakaian.
Karena kebanyakan obat berbentuk senyawa dengan bobot molekul
rendah, yang sebagai senyawa itu sendiri masih belum memiliki sifat antigen,
timbul pertanyaan, dengan cara bagaimana obat-obat ini menimbulkan
pembentukan antobodi dan dengan demikian memenuhi persyaratan untuk reaksi
alergi.
Berdasarkan banyak penemuan hasil eksperimen maka berlaku mekanisme
berikut: bahan obat salah satu dari metabolitnya sebagai pra-antigen (semiantigen,
hapten) berikatan secara kovalen dengan suatu makromolekul tubuh sendiri,
umumnya suatu protein, membentuk antigen kompleks (antigen penuh). Terhadap
antigen penuh ini dibentuk antibodi. Disini spesifitas antibodi disiapkan untuk
melawan makromolekul, ini berarti bahan obat merupakan gugus penentu
(kelompok yang merumuskan antibodi).
Reaksi antibodi dengan gugus penentu bahan obat adalah penyebab
antigenitas gugus. Disini diartikan bahwa obat-obat yang secara kimia dan
farmakologi berbeda dapat menimbulkan reaksi alergi yang sama, sejauh mereka
5
memiliki determinan (penentu) yang sama. Karena itu suatu alergi dapat berupa
melawan suatu senyawa tertentu juga karena suatu reaksi alergi terhadap suatu
bahan lain yang dekat hubungannya dengan senyawa asal, tanpa sebelumnya
diberikan kontak dengan bahan tersebut. Ini disebut alergi silang. Suatu contoh
khas adalah antigenitas gugus dan demikian juga alergi silang dari senyawa-
senyawa dengan gugus amino aromatik primer posisi para (prokin, p-amino asam
salisilat, sulfonamide).
6
2.3.2.1 Reaksi Hipersensitifitas Jenis Segera
Reaksi antigen-antibodi umumnya berlangsung dengan tenang, artinya
tanpa tanda-tanda luar yang dapat dikenal. Walaupun demikian dalam kasus-kasus
tertentu pada kontak dengan antigen berulang-ulang dapat terjadi reaksi
berlebihan yang bersifat merusak bagi organisme. Sejauh hal itu terjadi dalam
waktu beberapa detik atau beberapa menit setelah terkena alergen, maka disebut
hipersensitif jenis segera yang menurut reaksinya dibedakan atas:
1. Reaksi anafilaktik
2. Reaksi sitotoksik
3. Reaksi yang terjadi akibat kompleks imun
Reaksi anafilaktik. Pada sensibilisasi dibentuk terutama immunoglobulin
tipe IgE (regain). Antibodi IgE mempunyai kemampuan melekat pada permukaan
sel mast atau granulosit basofil.
Jika pada suatu kontak berikutnya alergen yang masuk bereaksi dengan
antibodi IgE dan karena itu membentuk jembatan antara dua tempat ikatan
antigen, maka ini ternyata bekerja sebagai rangsang terhadap sel dan
menyebabkan perubahan struktur membran sel. Sel mengosongkan granulanya
dan kemudian membebaskan mediator yang sangat aktif antara lain
7
histamine,bradikinin,serotonin, SRS-A (Slow Reacting Substance of Anaphylaxis)
dan prostaglandin. Terjadi reaksi-reaksi sekunder khas yang disebut reaksi
anafilaktik khususnya vasodilatasi, gangguan ketelapan dinding kapiler atau
kontraksi otot bronchus. Reaksi-reaksi anafilaktik dapat terjadi pada tempat-
tempat terbatas (misalnya asma bronkhiale, hay fever, urtikaria, oedem
angioneurotik) atau menyeluruh (misalnya setelah suntikan intravasal dengan obat
atau setelah gigitan lebah atau gigitan serangga). Pada reaksi anafilaktik
menyeluruh terdapat bahaya penurunan tekanan darah masif (syok anafilaktik).
Reaksi sitotoksik. Untuk jenis reaksi alergi ini maka antibody IgG dan
IgM bertanggung jawab. Di samping itu sistem komplemen terlibat. Secara klinik
reaksi-reaksi sitotoksik kebanyakan dinyatakan melalui kerusakan sel-sel darah
(granulositopenia, agranulositosis, anemia). Satu contoh penting reaksi sitotoksik
ialah reaksi penolakan golongan darah yang cocok pada transfusi darah yang tak
segolongan dengan sitolisis eritrosit.
Reaksi yang ditimbulkan oleh kompleks imun. Apabila terbentuk
kompleks imun antara antigen dan antibodi yang beredar dalam sistem sirkulasi
maka dapat terjadi reaksi hipersensitifitas menyeluruh. Penyimpanan kompleks
dalam dinding pembuluh darah, khususnya pada organ dengan pasokan darah
banyak, menyebabkan proses peradangan (vaskulitid). Ini yang bertanggungjawab
atas kerusakan ginjal (glomerulonefritis akibat obat), pembengkakan persendian,
dan serangan pada kulit.
8
baru tercapai setelah beberapa hari atau bahkan setelah beberapa minggu. Yang
termasuk dalam reaksi alergi ini adalah :
Reaksi kulit, yaitu reaksi tuberculin setelah penyuntikan antigen protein
kuman TBC.
Alergi kontak kulit yang terutama dapat terjadi setelah kontak berulang
dengan kromat, garam nikel atau zat warna tertentu
Reaksi penolakan terhadap transplantasi.
Setelah transplantasi organ, transplantat akan ditolak makin kuat dan
makin cepat sebanding dengan makin sedikitnya antigen jaringan dari donor yang
sama dengan antigen jaringan dari akseptor. Antigen jaringan (antigen
transplantasi) terdapat pada hampir semua sel-sel tubuh dan disebut antigen HLA
(Human Leucocyt Antigen).
9
komplemen atau pengaruh rangkaian asam arakhidonat ditimbulkan langsung oleh
obat. Disini termasuk misalnya reaksi anafilaktoid setelah pemberian zat kontras
roentgen, penurunan tekanan darah akibat pembebasan histamine dan
bronkhospasmus setelah penyuntikan tubokurarin atau asma analgetika setelah
pemakaian analgetika yang menghambat sintesis prostaglandin.
2.4 Syok
Reaksi hipersensitifitas yang paling dramatis dan mengancam nyawa
secara akut adalah syok anafilaktik. Kematian dapat terjadi hanya dalam beberapa
menit. Syok anafilaktik dapat terjadi setelah administrasi antigen melalui rute
apapun, namun yang paling umum terjadi adalah setelah pemberian injeksi par
enteral. Syok adalah suatu gejala klinis yang terjadi karena adanya gangguan
perfusi (aliran darah), dapat terjadi karena kegagalan dari sistem kardiovaskuler.
Gejala klinis yang ditunjukkan pada keadaan syok adalah karena oksigenisasi
pada tingkat jaringan.
10
Kesadaran menurun/gelisah
Nafas cepat dan dangkal
Produksi urine menurun.
11
Penanggulangan syok hipovolemik:
Posisi terlentang untuk menjaga agar sirkulasi sentral dapat dipertahankan.
Berikan O2 2 liter/menit.
Pasang kateter intra vena, berikan cairan kristaloid (ringer laktat, assering,
NaCl). Bila tekanan darah sudah menurun atau rendah berikan cairan secara
cepat 1000-2000cc.
Ambil sampel darah, lakukan pemeriksaan Hb dan golongan darah.
Hentikan perdarahan secepatnya. Pada perdarahan yang jelas dan terlihat
superficial maka lakukan balut tekan (hindari tornique).
Pada perdarahan dalam, lakukan pengangkatan kaki ke atas untuk
mempertahankan sirkulasi sentral.
Biasanya darah diperlukan jika penderita mengalami perdarahan > 30% EBV
(Estimated Blood Volume). Pada penderita yang sebelumnya sehat dan muda
target Hb 8gr% sedangkan untuk penderita yang tua, sakit jantung, dan
gangguan pernafasan target Hb 10gr%.
12
3. Memberikan obat-obatan vaso aktif.
4. Memberikan O2 2liter/menit.
13
7) Vasomotior rinitis (inflamasi membran mukosa hidung yang ditandai
dengan meningkatnya sekresi mukus)
8) Ereksi pilomotor
2. Berbagai gangguan gastro intestinal dan genitourinari berhubungan dengan
spasme otot halus
1) Kram abdomen yang parah
2) Nausea dan vomit
3) Diare
4) Fecal dan urinary incontinence
3. Gejala respirasi
1) Sesak substernal/ sakit dalam dada
2) Batuk
3) Wheezing (Bronchospasme)
4) Dyspnea
5) Jika kondisi buruk, sianosis membran mukosa dan bantalan kuku
6) Kemungkinan terjadi edema laryng
4. Gangguan sistem kardiovaskular
1) Pucat
2) Pusing
3) Berdebar-debar
4) Takikardi
5) Hipotensi
6) Dysritmia jantung
7) Kehilangan kesadaran
8) Henti jantung
14
Indentifikasi berdasrakan fokal infeksi
Monitoring tanda-tanda vital
Cairan kristaloid dan koloid
Kortikosteroid 200-300 mg IV setiap 4-6jam
Obat-obat penunjang: dopamine, dobutaminn, nor epineprin
Anti thrombin III: menghambat proses koagulasi.
15
BAB III
INJEKSI INTRAMUSKULAR
3.1 Pendahuluan
Obat dapat masuk ke dalam tubuh dengan berbagai jalan, yaitu:
1. Per oral
Cara pemberian obat melalui mulut. Untuk cara pemberian obat ini relatif
aman, praktis dan ekonomis. Kelemahan dari pemberian obat secara oral adalah
efek yang timbul biasanya lambat, tidak efektif jika pengguna sering muntah-
muntah, diare, tidak sabar, tidak kooperatif, kurang disukai jika rasanya pahit
(rasa jadi tidak enak).
2. Sublingual
Cara pemberian obat dengan ditaruh di bawah lidah. Tujuannya adalah
agar efek yang ditimbulkan bisa lebih cepat karena pembuluh darah di bawah
lidah merupakan pusat dari sakit. Kelebihan dari cara pemberian obat dengan
sublingual adalah efek obat akan terasa lebih cepat dan kerusakan obat pada
saluran cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari.
3. Inhalasi
Cara pemberian obat dengan disemprotkan ke dalam mulut. Kelebihan dari
pemberian obat dengan cara inhalasi adalah absorpsi terjadi cepat dan homogen,
kadar obat dapat terkontrol, terhindar dari efek lintas pertama dan dapat diberikan
langsung kepada bronkus. Untuk obat yang diberikan dengan cara inhalasi ini obat
yang dalam keadaan gas atau uap yang akan diabsorpsi akan sangat cepat
bergerak melalui alveoli paru-paru serta membran mukosa pada saluran
pernapasan.
4. Rektal
Cara pemberian obat melalui dubur atau anus. Maksudnya adalah
mempercepat kerja obat serta bersifat lokal dan sistematik.
5. Pervaginam
16
Cara pemberian obat ini bentuknya hampir sama atau menyerupai obat
yang diberikan secara rektal, hanya saja dimasukan ke dalam vagina.
6. Parenteral
Cara pemberian obat dengan tanpa melalui mulut (tanpa melalui saluran
pencernaan) tetapi langsung ke pembuluh darah. Misalnya sediaan injeksi atau
suntikan. Tujuannya adalah agar dapat langsung menuju sasaran. Kelebihannya
bisa untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah dan tidak kooperatif. Akan
tetapi cara pemberian obat dengan cara ini kurang aman karena jika sudah
disuntikan ke dalam tubuh tidak bisa dikeluarkan lagi jika terjadi kesalahan.
7. Topikal atau lokal
Cara pemberian obat bersifat lokal, misalnya tetes mata, salep, tetes telinga
dan lain-lain.
17
tersebut ditiadakan angka infeksi post injeksi yang terjadi tidak lebih banyak dari
pada yang dilakukan disinfeksi dengan alkohol sebelumnya.
Prosedur desinfeksi dengan alkohol dilakukan dengan mengulaskan kapas
dengan alkohol ke kulit dengan gerakan berlawanan arah jarum jam selama 30
detik. Kemudian tunggu 30 detik sampai kulit mongering. Jika injeksi dilakukan
sebelum kulit kering masih ada kemungkinan bakteri masih belum mati dan malah
bersama-sama dengan alkohol bisa saja ikut menginokulasi lokasi penyuntikan
sehingga meningkatkan resiko infeksi penyuntikan.
Tindakan menyuntikkan obat ke dalam otot yang terperfusi baik sehingga
mampu memberikan efek sistemik dalam waktu singkat dan biasanya mampu
menyerap obat dalam dosis besar. Lokasi penyuntikan harus dipertimbangkan
dengan mengingat kondisi fisik pasien, usia, derajat kekooperatifan dan jumlah
obat yang akan diberikan. Adapun indikasi untuk injeksi intramuskular adalah
pasien yang tidak kooperatif dan obat tidak dapat diberikan secara intra oral.
Kontraindikasi untuk injeksi intramuskular adalah pada daerah yang inflamasi,
oedem, teriritasi, tahi lalat, tanda lahir, jaringan parut, kelainan koagulasi,
penyakit vaskuler perifer, syok, setelah terapi trombolitik, dan acute myocardial
infarction.
18
Mudah dan dapat dilakukan pada berbagai posisi. Namun,
kekurangannya adalah area penyuntikan kecil, jumlah obat yang ideal
(antara 0,5 – 1 mm).
Jarum disuntikan kurang lebih 2,5 cm tepat dibawah tonjolan akromion.
Organ penting yang mungkin terkena adalah arteri brachialis atau
nervus radialis. Hal ini terjadi apabila kita menyuntik terlalu jauh
kebawah.
Minta pasien untuk meletakkan tangan di pinggul, dengan demikian
tonus ototnya akan berada pada kondisi yang mudah disuntik dan dapat
mengurangi nyeri.
19
Gambar teknik injeksi IM pada daerah dorso gluteal
20
3.2.4 Daerah Anterolateral Paha (M. Vastus Lateralis)
a.
b.
Pada orang dewasa m. vastus lateralis terletak pada sepertiga tengah paha
bagian luar. Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit diatasnya perlu ditarik
atau sedikit dicubit untuk membantu jarum mencapai kedalaman yang tepat.
Indikasi : - Bayi dan anak-anak
- Dosis obat 1 – 4 ml (1 – 3 ml u/ bayi)
Langkah:
1. Posisikan os telentang atau duduk.
2. Temukan trochanter terbesar dan kondilus femur lateral. Area suntik : 1/3
tengah dan aspek antero lateral paha.
3. Volume ideal antara 1 – 5 ml (untuk bayi 1 - 3 ml).
21
3.2.5 Daerah Paha Bagian Depan (M. Rectus Femoris)
Pada orang dewasa m. rectus femoris terletak pada 1/3 tengah paha bagian
depan. Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit diatasnya perlu ditarik atau
sedikit dicubit untuk membantu jarum mencapai kedalaman yang tepat. Volume
ideal antara 1 – 5 mm (untuk bayi 1 - 3 mm). Lokasi ini jarang digunakan,
biasanya untuk melakukan autoinjection.
22
BAB IV
TETANUS
4.1 Pendahuluan
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day
disease ". Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka
pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk, luka bakar, serta pada infeksi tali pusat
(tetanus neonatorum).
4.2 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif Clostridium tetani. Bakteri
ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia
atau pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang
atau bersamaan dengan masuknya benda asing atau bakteri lain, ia akan memasuki
tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau lebih panjang. Pada negara
belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui
tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama
tetanus neonatorum.
4.3 Patogenesis
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada
beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi transmisi neuromuscular dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
23
b. Karekteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari
refleks sinaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglion side.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS ) dengan gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuatif, takikardia,
aritmia jantung, peninggian katekolamin dalam urine.
24
Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.
Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
25
leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala
lain berupa risus sardonicus (sardonic grin) yaitu spasme otot-otot muka,
opistotonus (kekakuan otot punggung), dan kejang dinding perut. Spasme dari
laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas,
sianosis, dan asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, fraktur kompresi dan
pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa
juga mencapai 40ºC. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah
tidak stabil dan dijumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
4.5 Prognosis
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, yaitu:
1. Ringan, bila tidak adanya kejang umum (generalized spasme).
2. Sedang, bila sekali muncul kejang umum.
3. Berat, bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih
pendek ataupun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada
lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin
jelek. Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari.
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang.
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam.
26
4. Dijumpai muscular spasme.
Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus
neonatorum > 60%.
4.6 Penatalaksanaan
4.6.1 Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot, dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih.
Penatalaksaan yang dapat dilakukan adalah:
1. Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),
membuang benda asing dalam luka, serta kompres dengan H2O2. Dalam hal ini,
penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah pemberian
ATS (Anti Tetanus Serum) dan pemberian antibiotik. Daerah sekitar luka
disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang dari luar terhadap penderita.
4. Oksigen, pernafasan buatan, dan tracheostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
27
vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai
adanya komplikasi, pemberian antibiotik spektrum luas dapat dilakukan.
4.6.2.2 Antitoksin
Antitoksin yang dapat digunakan adalah Human Tetanus Immunoglobulin
( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian secara intramuskular, tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang dapat menimbulkan reaksi alergi yang serius. Bila
TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan antitoksin tetanus yang berasal
dari hewan, dengan dosis 40.000 U. Cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari
antitoksin dimasukkan kedalam 200cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara
intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.
Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara intramuskular pada
daerah pada sebelah luar.
4.6.2.4 Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muskular dan laringeal spasme beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat-obatan sedasi/muscle relaxans diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel berikut menunjukkan macam-macam obat antikonvulsan yang dapat
digunakan.
28
Macam-macam obat antikonvulsan
No. Jenis Obat Dosis Efek Samping
1 Diazepam 0,5-1,0 mg/kg Stupor, Koma
29
nonvirulen/nontoksik. Respon imun terhadap penyakit infeksi pada tubuh manusia
bisa dilihat dari diagram berikut :
30
Respon imun seluler spesifik
Sel limfosit T bertanggung jawab atas mekanisme pertahanan sel yang
spesifik. Sel ini merupakan populasi limfosit kedua yang juga berasal dari
sumsum tulang dengan memperoleh kemampuan imunologiknya dalam timus, dan
selalu bergerak antara limpa, nodus limfe, jaringan, serta sistem pembuluh.
31
Vaksin dengan kuman (bakteri) yang tak mampu berkembang biak, artinya
kuman yang telah dimatikan atau (pada virus) yang sudah diinaktifkan (vaksin
mati), terdiri dari : vaksin poliomielitis, meningoensefalitis, influenza, rabies,
pertusis, tifus, dan kolera.
Vaksin toksoid dengan toksin yang sudah dilemahkan, terdiri dari : vaksin
difteri dan tetanus.
Vaksinasi tetanus
Tetanus ditimbulkan oleh bakteri Clostridium tetani, suatu bakteri anaerob
yang membentuk spora. Penyakit ini ditandai dengan kejang tonik otot skelet.
Vaksin ini diperlakukan dengan formaldehida dan mengandung toksin tetanus
(tetanus-formol-toksoid) yang terikat pada alumunium hidroksida. Untuk
imunisasi dasar disuntikkan 2x0.5ml intramuskular dengan jarak 4-8 minggu.
Suntikan ketiga setelah 6-12 bulan. Vaksinasi penyegar dilakukan selang waktu
10 tahun, akan tetapi pada luka harus dilakukan 5 tahun setelah vaksinasi terakhir.
Reaksi akibat vaksinasi jarang terjadi.
32
Berbeda dengan imunisasi aktif yang dengan pemberian antigen produksi
antibodi tubuh sendiri dirangsang, maka pada imunisasi pasif, antibodi yang sudah
terbentuk dalam tubuh hewan atau manusia akan disuntikkan pada pasien. Dalam
imunoterapi, yang disebut serum adalah preparat antibodi yang diperoleh dari
hewan yang diimunisasi atau yang berasal dari darah manusia atau disebut
preparat imunoglobulin. Keuntungannya ialah pemasukan yang segera, sedangkan
kerugiannya pertahanan hanya berlangsung singkat, pada serum hewan hanya 8-
14 hari, pada imunoglobulin hanya beberapa minggu. Tingkat komplikasi lebih
tinggi dibandingkan imunisasi aktif. Imunisasi pasif hanya diindikasikan jika ada
kemungkinan terjadinya infeksi dan waktu inkubasi untuk produksi antibodi tubuh
sendiri tidak mencukupi. Jika mungkin, maka imunisasi pasif dikombinasikan
dengan imunisasi aktif (yang dinamakan vaksinasi serempak) yang biasanya
diindikasikan untuk bahaya infeksi tetanus atau rabies.
Jenis imunisasi pasif dapat diperoleh dari :
1. Imunisasi pasif alamiah
Imunitas ini diperoleh secara maternal melaui plasenta (IgG) dan kolostrum
(ASI).
2. Imunisasi pasif buatan
1) Serum hewan
33
Untuk mendapatkan serum, antigen disuntikkan kepada kuda, sapi, atau
hewan percobaan lain dengan lama tertentu sampai didapat titer antibodi
yang tinggi dan serum yang diperoleh adalah serum asli. Serum ini banyak
mengandung protein asing, manusia akan menerima protein hewan atau
antibodi hewan yang diberikan secara parenteral sebagai antigen. Karena
itu, saat ini serum asli jarang digunakan lagi, karena bahaya reaksi yang
timbul terlalu besar (demam, oedema, pembengkakan pada nodus
limfatikus, syok anafilaktik). Dengan memisahkan protein yang
menyertainya, dan pemutusan rantai fermentatif globulin, akan didapat
serum fermo (serum yang dimurnikan secara fermentatif). Serum ini akan
sangat mengurangi bahaya sensibilisasi tetapi tetap spesifik. Karena itu uji
reaksi alergi atau anafilaktik tetap harus dilakukan sebelum pengunaan.
Serum hewan yang saat ini ada dalam perdagangan umumnya berasal dari
kuda.
2) Imunoglobulin manusia
Sejak beberapa tahun ini makin banyak digunakan fraksi dari darah
manusia yang mengandung antibodi, menggantikan serum hewan. Bentuk
sediaan yang ada dalam perdagangan :
(1) Preparat imunoglobulin nonspesifik (polivalen).
Preparat ini merupakan campuran berbagai antibodi terutama IgG yang
bahan dasarnya adalah plasma campuran dari paling sedikit 1000
donor darah. Preparat ini terdiri dari human imunoglobulin normal
untuk penggunaan IM dan human imunoglobulin untuk penggunaan
IV. Waktu paruh imunoglobulin untuk penggunaan IM adalah sekitar 3
minggu, titer maksimum akan dicapai setelah 3-5 hari. Jumlah yang
dapat disuntikkan terbatas. Indikasi bagi preparat ini adalah untuk
profilaksis (dan mungkin juga untuk percobaan terapi) penyakit virus,
terutama virus hepatitis A.
Preparat dagang :
a. Untuk penggunaan IM : Beriglobin, Cutterglobin, Hemogamma,
Kabiglobin
34
b. Untuk penggunaan IV : Endobulin, Gammagard, Gamma-Venin,
Gammonativ, Intraglobin, Polyglobin, Rhodiglobin, Sandoglobulin,
Venimmun.
(2) Preparat imunoglobulin spesifik
Preparat ini didapat dari jumlah terbatas plasma pilihan dengan titer
antibodi yang tinggi terhadap penyebab tertentu, yang diperoleh dari
donor yang sehat atau donor yang diimunisasi secara aktif, digunakan
untuk profilaksis atau terapi penyakit seperti :
- Meningoensefalitis (FESME-Bulin)
- Hepatitis B (Aunativ, Gammaprotect, Hepaglobulin, Hepatect)
- Pertussis (Pertussis Imunoglobulin, Tussoglobin)
- Tetanus (Hyper-Tect, Teragam, Tetaglobulin, Tetanobulin)
- Rabies (Berirab, Hyperab, Rabiesglobulin Merieux)
- Varisella (Gammaprotect varicella, Varicellon, Varitect)
35
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Bedah Mulut FKG Unpad. 2001. Infeksi Odontogenik. Bandung: FKG
Unpad.
Ganiswara, S. G. 2003. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : FKUI.
Pedersen, G. W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih bahasa: Purwanto
dan Basoeseno. Jakarta: EGC.
Usri, K., dkk. 2006. Diagnosis dan Terapi Penyakit Gigi dan Mulut. Bandung :
LSKI.
Winotopradjoko, M; dkk. 2006. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta:
ISFI.
Woods, R. 1996. A Guide To The Use of Drugs in Dentistry. 12 th edition. Sydney:
Australia Dental Association Incorporated.
Harrison. 1994. Tetanus in : Principles of lnternal Medicine. Vol 2. 13th ed.
McGrawHill. Inc,New York, , .577-579.
www.hubpages.com/hub/deltoid_intramuscular_injection. Diakses tanggal 16
Desember 2009.
www.indoskripsi.com. Diakses tanggal 16 Desember 2009.
www.megabolix.blogspot.com/2008/09/intramuscular_injection. Diakses tanggal
16 Desember 2009.
www.nursingcrib.com/intramuscular_injection. Diakses tanggal 16 Desember
2009.
www.scribd.com/tetanus. Diakses tanggal 17 Desember 2009.
www. Theodora .com/drugs/avonex_biogen_idec.html. Diakses tanggal 16
Desember 2009.
www.wikipedia.com. Diakses tanggal 17 Desember 2009.
36