You are on page 1of 23

Definisi Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.[1]

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2]

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai
yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya
seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-
anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan
nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh
rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

[sunting] Pengertian Kebudayaan


Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan
oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah
Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink,
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan
intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu
yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain,
yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.

[sunting] Unsur-Unsur
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan,
antara lain sebagai berikut:

1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:


o alat-alat teknologi
o sistem ekonomi
o keluarga
o kekuasaan politik
2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
o sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
o organisasi ekonomi
o alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga
adalah lembaga pendidikan utama)
o organisasi kekuatan (politik)

[sunting] Wujud dan komponen


[sunting] Wujud

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak.

 Gagasan (Wujud ideal)


Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat
diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam
pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu
dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
 Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan
didokumentasikan.

 Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud
kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa
dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur
dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

[sunting] Komponen

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

 Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang,
stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

 Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke
generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

[sunting] Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan


Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:

[sunting] Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)


Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala
peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan
masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-
hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian
paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan
unsur kebudayaan fisik), yaitu:

 alat-alat produktif
 senjata
 wadah
 alat-alat menyalakan api
 makanan
 pakaian
 tempat berlindung dan perumahan
 alat-alat transportasi

[sunting] Sistem Mata Pencaharian Hidup

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata
pencaharian tradisional saja, di antaranya:

 berburu dan meramu


 beternak
 bercocok tanam di ladang
 menangkap ikan
[sunting] Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes
mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk
menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-
unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan
perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik,
paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa
macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga
ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal
kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga
unilateral.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana
partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu
hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

[sunting] Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling
berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat),
dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang
lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata
krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus.
Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk
mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk
mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari
naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

[sunting] Kesenian

Karya seni dari peradaban Mesir kuno.


Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia
akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai
cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana
hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

[sunting] Sistem Kepercayaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan
mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan
adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai
salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup
bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada
penguasa alam semesta.

Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama
(bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"),
adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of
Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:

... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk
beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap
yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[3]

Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun
Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti
misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian.

[sunting] Agama Samawi

Tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama Samawi[4]
atau agama Abrahamik.[5] Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama namun
juga perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan
pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.

Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, adalah agama
monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat nilai-nilai
dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya, seperti
Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa.[6]

Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan Eropa
dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para
filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara
1,5 s.d. 2,1 milyar pemeluk agama Kristen di seluruh dunia.[7]
Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang banyak mempengaruhi kebudayaan Timur
Tengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5
milyar pemeluk agama Islam di dunia.[8]

[sunting] Agama dan Filosofi dari Timur

Agni, dewa api agama Hindu


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama dari timur dan Filosofi Timur

Agama dan filosofi seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan
filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China, dan menyebar di sepanjang benua Asia
melalui difusi kebudayaan dan migrasi.

Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara
dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai
Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian
barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.

Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah
pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia.

Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, mempengaruhi baik religi, seni,
politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.

Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik
tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan
Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan
antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem
kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.

[sunting] Agama Tradisional

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama tradisional

Agama tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh
sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin
bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti
misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab
kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa
musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.

[sunting] "American Dream"

American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah
kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui
kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. [9] Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa
Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk
negara-negara" ("a light unto the nations"),[10] yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada
sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.

[sunting] Pernikahan

Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen
memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara
pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut
menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan
gerejanya. Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang
yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama Islam memandang
pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian,
namun memperbolehkannya.

[sunting] Sistem Ilmu dan Pengetahuan

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda,
sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia.
Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut
logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

 pengetahuan tentang alam


 pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
 pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama
manusia
 pengetahuan tentang ruang dan waktu

[sunting] Perubahan Sosial Budaya


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan
kebudayaan asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam
suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa
dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia
yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia
sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

1. tekanan kerja dalam masyarakat


2. keefektifan komunikasi
3. perubahan lingkungan alam.[11]

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat,
penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es
berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru
lainnya dalam kebudayaan.

[sunting] Penetrasi Kebudayaan


Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke
kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

Penetrasi damai (penetration pasifique)


Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh
kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan
tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat
setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-
unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau
Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan
baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi
Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan
India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan
baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada
terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
Penetrasi kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya,
masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan
kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan
dalam masyarakat[rujukan?]. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari
Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih
melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.

[sunting] Cara Pandang Terhadap Kebudayaan


[sunting] Kebudayaan Sebagai Peradaban

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada
abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya
ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka
menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara
pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu
kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti
misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata
berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil
bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa
musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik
tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul
anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain
yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma
dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang
berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak
berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak
berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen
dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human
nature)

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan
dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan-
dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang
merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam
hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap
mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu
kemunduran dan kemerosotan.

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan
alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang
sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing
masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial
membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur,
yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

[sunting] Kebudayaan sebagai "Sudut Pandang Umum"

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap
gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan
perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria -
mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini
menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-
masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih
mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau
kebudayaan "primitif."

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi
yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia
tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari
kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini
pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks
pekerja organisasi atau tempat bekerja.

[sunting] Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi

Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari
stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama
dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.
[sunting] Kebudayaan Diantara Masyarakat
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur),
yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan
dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya
karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan
gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan
kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung
pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa
banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi
antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

 Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga


masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.

 Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di
Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan
kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam
masyarakat asli.

 Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli
tanpa campur tangan pemerintah.

 Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok


minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara
damai dengan kebudayaan induk.

[sunting] Kebudayaan Menurut Wilayah


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kebudayaan menurut wilayah

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-
kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut
juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.

Afrika

Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan
Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan
Arab dan Islam.
Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat.
Amerika

Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang
dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris,
Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.

Asia

Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari
kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti
misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam.
Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia
Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mempengaruhi
kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.

Australia

Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika.
Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan
lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua
Australia, Aborigin.

Eropa

Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya.
Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat". Kebudayaan ini telah diserap
oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa
Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah,
kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama
Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.

Timur Tengah dan Afrika Utara


Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi
oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di
daerah ini.

[sunting] Referensi
1. ^ a b c Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi
2. ^ Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja
Rosdakarya.hal.25
3. ^ Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western
Thought, p. 488.
4. ^ Dari bahasa Arab, artinya: "agama langit"; karena dianggap diturunkan dari langit
berupa wahyu.
5. ^ Karena dianggap muncul dari suatu tradisi bersama Semit kuno dan ditelusuri oleh para
pemeluknya kepada tokoh Abraham/Ibrahim, yang juga disebutkan dalam kitab-kitab
suci ketiga agama tersebut.
6. ^ Templat:Cite study, based on American Jewish Year Book. 106. American Jewish
Committee. 2006. http://www.ajcarchives.org/main.php?GroupingId=10142.
7. ^ Adherents.com – Number of Christians in the world
8. ^ Miller, Tracy, ed. (2009) (PDF), Mapping the Global Muslim Population: A Report on
the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, Pew Research Center,
http://pewforum.org/newassets/images/reports/Muslimpopulation/Muslimpopulation.pdf,
hlm.4"
9. ^ Boritt, Gabor S. Lincoln and the Economics of the American Dream, p. 1.
10. ^ Ronald Reagan. "Final Radio Address to the Nation".
11. ^ O'Neil, D. 2006. "Processes of Change".

[sunting] Daftar pustaka


 Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition,
1882, available online. Retrieved: 2006-06-28.
 Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legahkjkjl
Identities. University of Michigan Press.
 Boritt, Gabor S. 1994. Lincoln and the Economics of the American Dream. University of
Illinois Press. ISBN 978-0-252-06445-6.
 Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press.
ISBN 978-0-521-29164-4
 Cohen, Anthony P. 1985. The Symbolic Construction of Community. Routledge: New
York,
 Dawkiins, R. 1982. The Extended Phenotype: The Long Reach of the Gene. Paperback
ed., 1999. Oxford Paperbacks. ISBN 978-0-19-288051-2
 Forsberg, A. Definitions of culture CCSF Cultural Geography course notes. Retrieved:
2006-06-29.
 Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York. ISBN
978-0-465-09719-7.

— 1957. "Ritual and Social Change: A Javanese Example", American Anthropologist,


Vol. 59, No. 1.

 Goodall, J. 1986. The Chimpanzees of Gombe: Patterns of Behavior. Cambridge, MA:


Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-11649-8
 Hoult, T. F., ed. 1969. Dictionary of Modern Sociology. Totowa, New Jersey, United
States: Littlefield, Adams & Co.
 Jary, D. and J. Jary. 1991. The HarperCollins Dictionary of Sociology. New York:
HarperCollins. ISBN 0-06-271543-7
 Keiser, R. Lincoln 1969. The Vice Lords: Warriors of the Streets. Holt, Rinehart, and
Winston. ISBN 978-0-03-080361-1.
 Kroeber, A. L. and C. Kluckhohn, 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and
Definitions. Cambridge, MA: Peabody Museum
 Kim, Uichol (2001). "Culture, science and indigenous psychologies: An integrated
analysis." In D. Matsumoto (Ed.), Handbook of culture and psychology. Oxford: Oxford
University Press
 Middleton, R. 1990. Studying Popular Music. Philadelphia: Open University Press. ISBN
978-0-335-15275-9.
 Rhoads, Kelton. 2006. The Culture Variable in the Influence Equation.
 Tylor, E.B. 1974. Primitive culture: researches into the development of mythology,
philosophy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press. First published in 1871.
ISBN 978-0-87968-091-6
 O'Neil, D. 2006. Cultural Anthropology Tutorials, Behavioral Sciences Department,
Palomar College, San Marco, California. Retrieved: 2006-07-10.
 Reagan, Ronald. "Final Radio Address to the Nation", January 14, 1989. Retrieved June
3, 2006.
 Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western
Thought. New Jersey U.S., Sussex, U.K: Humanities Press.
 UNESCO. 2002. Universal Declaration on Cultural Diversity, issued on International
Mother Language Day, February 21, 2002. Retrieved: 2006-06-23.
 White, L. 1949. The Science of Culture: A study of man and civilization. New York:
Farrar, Straus and Giroux.
 Wilson, Edward O. (1998). Consilience: The Unity of Knowledge. Vintage: New York.
ISBN 978-0-679-76867-8.
 Wolfram, Stephen. 2002 A New Kind of Science. Wolfram Media, Inc. ISBN 978-1-
57955-008-0

[sunting] Lihat pula


 Subkultur
 Interseksi
 Kebudayaan Indonesia
 Antropologi
 Sosiologi
 Agama
 Sosialisasi

Hubungan bahasa dan prilaku

Menurut Sabriani (1963), mempertanyakan bahwa apakah bahasa mempengaruhi perilaku


manusia atau tidak? Sebenarnya ada variabel lain yang berada diantara variabel bahasa dan
perilaku. Variabel tersebut adalah variabel realita. Jika hal ini benar, maka terbukalah peluang
bahwa belum tentu bahasa yang mempengaruhi perilaku manusia, bisa jadi realita atau
keduanya.
Kehadiran realita dan hubungannya dengan variabel lain, yakni bahasa dan perilaku, perlu
dibuktikan kebenarannya. Selain itu, perlu juga dicermati bahwa istilah perilaku menyiratkan
penutur. Istilah perilaku merujuk ke perilaku penutur bahasa, yang dalam artian komunikasi
mencakup pendengar, pembaca, pembicara, dan penulis.
3. 1. Bahasa dan Realita

Fodor (1974) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud
dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional.
Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan
konvensional tetapi ditentukan oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang
dimaksud. Dalam bahasa Indonesia kata cecak memiliki hubungan kausal dengan referennya
atau binatangnya. Artinya, binatang itu disebut cecak karena suaranya kedengaran seperti cak-
cak-cak. Oleh karena itu kata cecak disebut tanda bukan simbol. Lebih lanjut Fodor mengatakan
bahwa problema bahasa adalah problema makna. Sebenarnya, tidak semua ahli bahasa
membedakan antara simbol dan tanda. Richards (1985) menyebut kata table sebagai tanda
meskipun tidak ada hubungan kausal antara objek (benda) yang dilambangkan kata itu dengan
kata table.
Dari uraian di atas dapat ditangkap bahwa salah satu cara mengungkapkan makna adalah
dengan bahasa, dan masih banyak cara yang lain yang dapat dipergunakan. Namun sejauh ini,
apa makna dari makna, atau apa yang dimaksud dengan makna belum jelas. Bolinger (1981)
menyatakan bahwa bahasa memiliki sistem fonem, yang terbentuk dari distinctive features
bunyi, sistem morfem dan sintaksis. Untuk mengungkapkan makna bahasa harus berhubungan
dengan dunia luar. Yang dimaksud dengan dunia luar adalah dunia di luar bahasa termasuk dunia
dalam diri penutur bahasa. Dunia dalam pengertian seperti inilah disebut realita.
Penjelasan Bolinger (1981) tersebut menunjukkan bahwa makna adalah hubungan antara
realita dan bahasa. Sementara realita mencakup segala sesuatu yang berada di luar bahasa.
Realita itu mungkin terwujud dalam bentuk abstraksi bahasa, karena tidak ada bahasa tanpa
makna. Sementara makna adalah hasil hubungan bahasa dan realita.

3.2. Bahasa dan Perilaku

Seperti yang telah diuraikan di atas, dalam bahasa selalu tersirat realita. Sementara
perilaku selalu merujuk pada pelaku komunikasi. Komunikasi bisa terjadi jika proses decoding
dan encoding berjalan dengan baik. Kedua proses ini dapat berjalan dengan baik jika baik
encoder maupun decoder sama-sama memiliki pengetahuan dunia dan pengetahuan bahasa yang
sama. (Omaggio, 1986).
Dengan memakai pengertian yang diberikan oleh Bolinger(1981) tentang realita,
pengetahuan dunia dapat diartikan identik dengan pengetahuan realita. Bagaimana manusia
memperoleh bahasa dapat dijelaskan dengan teori-teori pemerolehan bahasa. Sedangkan
pemerolehan pengetahuan dunia (realita) atau proses penghubungan bahasa dan realita pada
prinsipnya sama, yakni manusia memperoleh representasi mental realita melalui pengalaman
yang langsung atau melalui pemberitahuan orang lain. Misalnya seseorang menyaksikan sebuah
kecelakaan terjadi, orang tersebut akan memiliki representasi mental tentang kecelakaan tersebut
dari orang yang langsung menyaksikannya juga akan membentuk representasi mental tentang
kecelakaan tadi. Hanya saja terjadi perbedaan representasi mental pada kedua orang itu.

Hubungan budaya dan bahasa


BAHASA DAN BUDAYA
Oleh: M. Kamil Ramma Oensyar, S.Pd. I

PENDAHULUAN
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis
hanya ada pada manusia. Sebagaimana Mudjia mengatakan dalam pidato pengukuhan Guru
Besar dalam bidang Sosiolinguistik bahwa manusia mampu membentuk lambang atau memberi
nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua.1
Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi.
Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan
dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut
menentukan wajah dari bahasa itu.
Edward Sapir menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Wahab dalam bukunya Isu
Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra bahwa kandungan setiap budaya terungkap dalam
bahasanya. Tidak ada materi bahasa, baik isi maupun bentuk yang tidak dirasakan sebagai
melambangkan makna yang dikehendaki, tanpa memperdulikan sikap apapun yang ditunjukkan
oleh budaya lain. Sedangkan Leonard Bloom field mengatakan sedemikian kuat budaya itu
terhadap bahasa, sehingga kekayaan dan kemiskinan suatu budaya tercermin dalam bahasanya.
Adapun Boas mengatakan bahwa pengaruh yang dinamis tidak hanya terjadi antara bahasa dan
pikiran. Melainkan juga antara bahasa dan adat, antara bahasa dan perilaku etnis, dan juga
bahasa dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam budaya.2

PENGERTIAN BAHASA
Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam
bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bhasa dalam
bahasa Sansekerta.3 Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai
dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang
sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. Seperti yang
diungkapkan oleh para ahli:
a)menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang,
berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk kerjasama dan
saling berhubungan.
b)Menurut Chomsky language is a set of sentences, each finite length and contructed out of a
finite set of elements.
c)Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang
bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.4
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap
batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama,
meskipun terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan
tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing dalam
bukunya Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa
adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk mengabungkan unit-unit kecil
menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi. Sebagai contoh, kita
menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan
dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk
membuat struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa.5
Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal secara arbitrer.
Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang
berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.

PENGERTIAN BUDAYA
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam
bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan
makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada
dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari
simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat
publik.6
Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung
Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan
dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di
dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku
harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara”
yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.7 Dalam
konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan
kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai
anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata
yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam
mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen
pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang
memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan
komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.8
Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan
menurut Abdul Chaer yaitu:9
1.Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
2.Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara
kemasyarakatan.
3.Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup
dan tingkah laku.
4.Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam
menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
5.Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang
berpola teratur.
6.Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara
sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya
akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan
kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk
material atau non material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya,
menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar
identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan
sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang
dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah
budaya nasional.

HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA


Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa
itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan
kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat,
sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi
kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.
Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara
berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya
Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan
kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup
kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya
sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem
yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi
manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai
sarana berlangsungnya interaksi itu.
Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, du buah
fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem
kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.

FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYA

Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh
para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu diiringi
oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak
pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada
tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu
bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis
suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis
bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang
yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan
fish; dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti
ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan
nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus
wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam budaya
masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk
menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi
pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi. Lalu karena
makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain
yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak
(bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang
sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan
berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu
brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga berarti adik.
Fenomena lain, misalnya budaya inggris dan budaya Indonesia memandang waktu sehari
semalam yang 24 jam itu. Pukul satu malam budaya inggris mengatakan Good morning alias
selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengatakan selamat malam karena memang masih
malam, matahari belum terbit. Sebaliknya pukul sebelas siang, buadaya barat masih juga
mengatakan selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengucapkan selamat siang karena
memang hari sudah siang, matahari sudah tinggi.
Selain itu dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili latar
belakang budaya, pandangan hidup dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa
menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan. Umpamanya kata butuh dalam
masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti perlu, tetapi dalam masyarakat Indonesia di
Kalimantan berarti kemaluan. Demikian pula dalam bahasa jawa terdapat tingkat tutur ngoko,
tingkat tutur madya, tingkat tutur karma misalnya kata aku, kulo, dalem kawula atau kata kowe,
sampeyan, panjenengan, paduka. Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa tak berjarak antara
orang pertama dengan orang kedua misalnya. karma adalah tingkat yang memancarkan arti
penuh sopan santun antara sang penutur dengan mitranya. Madya adalah tingkat tutur menengah
yang berada antara ngoko dan karma. Banyak orang menyebut bahwa tingkat tutur ini setengah
sopan dan setengah tidak sopan.12
Orang bogor memanggil remaja lelaki dengan panggilan Neng sedangkan panggilan itu biasanya
untuk anak perempuan atau wanita muda di Bandung. Sedangkan orang makassar dan Ambon
menggunakan kata bunuh (yang tentu sinonimnya matikan) untuk listrik, lampu televisi dan
radio. Seperti dalam kalimat “tolong bunuh lampunya”, sudah siang. Sementara itu kata bujur
yang berarti pantat bagi orang Sunda, ternyata berarti “terima kasih” bagi orang Batak (Karo),
dan “benar” bagi orang Kalimantan Selatan (Banjarmasin).13
Begitu juga bahasa Arab yang mempunyai puluhan nama untuk buah kurma mulai dari yang
masih di pohon, yang baru dipetik, sampai yang telah kering. Seperti ‫ الجرام‬kurma kering, ‫الرطب‬
kurma matang, ‫ الفاخز‬kurma yang tidak ada isinya, ‫ الدمال‬kurma busuk, dan ‫ التمر‬kurma.14
Begitu juga bahasa jawa sebagaimana disebutkan Abdul Wahab, yang adakaitannya dengan
kelapa. Dalam bahasa Jawa kita mengenal janur (daun muda kelapa), blarak (daun tua kelapa),
sada (lidi atau tulang daun kelapa), plapah (tempat daun kelapa melekat), tebah (sekumpulan lidi
untuk menghalau atau menangkap lalat atau nyamuk), manggar (srangkaian kuntum bunga
kelapa), mandha (tunas kelapa), bluluk ( buah kelapa yang masih sangat muda dan belum berair),
cengkir (buah kelapa muda bertulang tempurung lunak tapi belum berdaging), degan (buah
kelapa muda yang sudah bedaging lunak), krambil (kelapa ang sudah tua dan dapat dipakai
sebagai bahan minyak goreng), glugu (batang kelapa sebagai bahan bangunan).15 Uraian di atas
menunjukan bahwa tak diragukan lagi bahwa budaya suatu bangsa tercermin dalam bahasanya.
Beberapa keistimewaan bahasa tersebut dipakai suatu bangsa, atau daerah tertentu untuk
membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan terhadap
fenomena tempat mereka hidup. Dengan demikian sususan bahasa dan keistimewaan lain yang
dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan
tempat mereka berada.

PENGARUH BUDAYA TERHADAP PERUBAHAN BAHASA


Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau istilah baru
yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada. Hal tersebut karena
dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah. Misalnya kata pariwisata
untuk menggantikan turisme, kata wisatawan untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata
darmawisata untuk mengganti kata piknik; dan kata suku cadang untuk mengganti kata onderdil.
Kata-kata turisme, turis dan onderdil dianggap tidak nasional. Karena itu perlu diganti yang
bersifat nasional. Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu diganti dengan
pembantu rumah tangga, dan kata pelayan diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut
dianggap berbau feodal. Begitu juga dengan kata penjara diganti dengan lembaga
pemasyarakatan, kenaikan harga diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan menjadi tuna
wisma, pelacur menjadi tunasusila adalah karena kata-kata tersebut dianggap halus ; kurang
sopan menurut pandangan norma sosial. Proses penggantian nama atau penyebutan baru masih
terus akan berlangsung sesuai dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam
masyarakat.
Begitu juga bahasa yang diplesetkan yang tidak lepas dari perkembangan pengetahuan,
pertukaran budaya, dan kemajuan informasi sekarang ini. Sebagaimana Mansoer Pateda
mengatakan bahwa bahasa yang diplesetkan sangat berhubungan erat dengan perkembangan
pemakai bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemauannya.16 Misalnya kata
kepala diplesetkan menjadi kelapa, tolong diplesetkan menjadi lontong, reformasi diplesetkan
menjadi repot nasi, partisipasi diplesetkan menjadi partisisapi. Begitu juga dalam kalimat
misalnya I am going to school menjadi ayam goreng to school.

KESIMPULAN
Di dunia terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda,
tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang kebetulan sama atau hampir sama tetapi
dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimknai secara sama.
Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami
kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama.
Oleh karenanya suatu masyarakat bahasa, dituntut adanya kesamaan atau keseragaman bahasa di
antara para anggotanya. Tanpa adanya keseragaman bahasa, hubungan sosial akan runtuh, sebab
di antara anggota masyarakat itu tidak akan terjadi saling mengerti dalam berkomunkasi verbal.
Seperti halnya Masyarakat Indonesia yang majemuk yang sangat kaya dengan berbagai macam
bahasa daerah memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun demikian disisi lain
perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial
masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah
ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan
kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati,
bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik.
Permasalahan silang budaya dan bahasa dapat terjembatani dengan membangun kehidupan multi
kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang
dapat diawali dengan pengenalan bahasa dan ciri khas budaya tertentu.
Dengan demikian sebagai orang terpelajar harus bisa memposisikan diri dengan memperhatikan
beberapa hal sebagaimana Mudjia Rahardjo katakana bahwa penggunaan bahasa akan terus
berbeda tergantung pada situasi, yaitu apakah situasi itu publik atau pribadi, formal atau
informal, dengan siapa kita bicara, dan siapa yang mungkin ikut mendengarkan kata-kata itu.
Satu hal yang tak terpisahkan dari pilihan-pilihan yang kita buat dalam penggunaan bahasa yaitu
dimensi budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer, Lingustik Umum, Jakarta, Rineka Cipta, 1994.
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2002.
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik, Jakarta, Rineka Cipta, 2004.
Abdul Wahab, Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra, Surabaya, Airlangga Press, 2006.
Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma,, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005.
Ahmad Munawwir dan Muhammad Fairuz, Al- Munawwir Kamus Indonesia-Arab, Surabaya,
Pustaka Progresif, 2007.
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005
Kunjana Rahardi, Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007.
Mudjia Rahardjo, Bahasa, Pemikiran, dan Peradaban: Telaah Filsafat Pengetahuan dan
Sosiolinguistik, Malang, UIN Press, 2006.
Mudjia Rahardjo, Relung-relung Bahasa, Yogyakarta, Aditya Media, 2002.
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, Jakarta, Rineka Putra, 2001.
Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta, LKIS, 2005.
Oscar Rusmaji, Aspek-Aspek Linguistik, Malang, IKIP Malang, 1995.
Diposkan oleh kamil di 01.01

0 komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langgan: Poskan Komentar (Atom)

You might also like