You are on page 1of 8

UNSUR EKSTRINSIK DALAM PUISI ‘AKU’

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Masyarakat sastra pada umumnya telah mengenal seorang Chairil Anwar, seorang penyair besar
yang juga pelopor dari Angkatan ’45. Walaupun ia seorang penyair besar, namun itu tidak
mencerminkan kehidupannya yang nyaman seperti seseorang yang agung dan mempunyai sebuah
nama besar. Kehidupannya begitu sederhana dan dinamis, bahkan lebih banyak masa-masa sulit
yang ia hadapi.

Chairil Anwar mulai banyak dikenal oleh masyarakat dari puisinya yang paling terkenal berjudul
Semangat yang kemudian berubah judul menjadi Aku. Puisi yang ia tulis pada bulan Maret tahun
1943 ini banyak menyita perhatian masyarakat dalam dunia sastra. Dengan bahasa yang lugas,
Chairil berani memunculkan suatu karya yang belum pernah ada sebelumnya. Pada saat itu, puisi
tersebut mendapat banyak kecaman dari publik karena dianggap tidak sesuai sebagaimana puisi-
puisi lain pada zaman itu. Puisi tersebut tentu bukan Chairil ciptakan tanpa tujuan, hanya saja tujuan
dari puisi tersebut yang belum diketahui oleh masyarakat.

Chairil Anwar adalah seorang penyair yang menuliskan apa saja yang ditemukannya dan dihadapinya
dalam pencarian itu, sebagaimana perkataan Sastrowardoyo dalam Ginting (2007), bahwa
pengarang seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dan Goenawan Mohammad
terombang-ambing di antara dua kutub, kebudayaan daerah dan kota, tradisi dan modern, Timur
dan Barat. Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa nasib manusia perbatasan adalah buah dari pencarian
hendak modern itu.

Jadi, puisi Aku ini adalah buah hasil dari pencarian Chairil sebagai manusia perbatasan yang
terombang-ambing diantara dua kutub sebagaimana yang dikatakan oleh Sastrowardoyo. Selain itu,
puisi Aku ini adalah puisi Chairil Anwar yang paling memiliki corak khas dari beberapa sajak lainnya.
Alasannya, sajak Aku bersifat destruktif terhadap corak bahasa ucap yang biasa digunakan penyair
Pujangga Baru seperti Amir Hamzah sekalipun. Idiom ’binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak
tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih
cenderung mendayu-dayu.

Puisi Aku dan Chairil Anwara adalah dua sisi yang tak pernah bisa dilepaskan. Sebagaimana
pengarangnya, puisi Aku ini juga mempunyai banyak sisi yang menarik untuk diketahui lebih dalam.
Oleh karena itu, penulis memilih judul tersebut untuk mengetahui lebih lanjut tentang puisi Aku dan
keterkaitannya dengan Chairil Anwar sebagai pengarang dari puisi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan unsur ekstrinsik?
2. Bagaimana biografi singkat Chairil Anwar?
3. Bagaimana unsur ekstrinsik dalam puisi Aku?
1.3. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian unsur ekstrinsik.
2. Memaparkan biografi singkat Chairil Anwar.
3. Menerangkan unsur ekstrinsik dalam puisi Aku.

2. Bahasan
1. Pengertian Unsur Ektrinsik

Karya sastra disusun oleh dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik, tidak terkecuali pada puisi.
Unsur intrinsik karya sastra adalah unsur-unsur penyusun karya sastra yang terdapat di dalam karya
tersebut, sedangkan unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur-unsur penyusun karya sastra yang
berada di luar karya sastra (Dewi:2008).

Unsur intrinsik menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya
sastra seperti tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, dan pusat
pengisahan. Unsur intrinsik hanya memandang unsur-unsur yang terdapat di dalam karya saja.
Penilaian yang tepat untuk menentukan unsur intrinsik ini adalah penilaian objektif, karena penilaian
tersebut hanya menilai unsur-unsur yang terdapat di dalam karya yang dinilai. Penilaian objektif
menganggap sebuah karya sastra adalah karya yang berdiri sendiri tanpa mengaitkan karya sastra
dengan sesuatu yang berada di luar karya itu, baik itu penyairnya, muapun aspek-aspek lain yang
mempengaruhi.

Unsur ekstrinsik sebuah karya sastra dari luarnya menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-
lain. Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara
ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra,
kebudayaan lingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu
sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu
kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain.

Menurut Tuhusetya (2007), sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar dari dimensi
kemanusiaan. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dijadikan sumber
ilham bagi para sastrawan untuk membuat suatu karya sastra.

Seorang sastrawan memiliki penalaran yang tinggi, mata batin yang tajam, dan memiliki daya intuitif
yang peka. Kelebihan-kelebihan itu jarang sekali ditemukan pada orang awam. Dalam hal ini, karya
sastra yang lahir pun akan diwarnai oleh latar belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan
sastrawannya.

Suatu keabsahan jika dalam karya sastra terdapat unsur-unsur ekstrinsik yang turut mewarnai karya
sastra. Unsur-unsur ektrinsik yang dimaksud seperti filsafat, psikologi, religi, gagasan, pendapat,
sikap, keyakinan, dan visi lain dari pengarang dalam memandang dunia. Karena unsur-unsur
ekstrinsik itulah yang menyebabkan karya sastra tidak mungkin terhindar dari amanat, tendensi,
unsur mendidik, dan fatwa tentang makna kearifan hidup yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Sastrawan berupaya untuk menyalurkan obsesinya agar mampu dimaknai oleh pembaca. Visi dan
persepsinya tentang manusia di muka bumi bisa ditangkap oleh pembaca, dan pembaca terangsang
untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau hedonis dan tidak memuaskan kebuasan hati. Persoalan
amanat, tendensi, unsur edukatif dan nasihat bukanlah hal yang terlalu berlebihan dalam karya
sastra. Bahkanunsur-unsur tersebut merupakan unsur paling esensail yang perlu digarap dengan
catatan tanpa meninggalkan unsur estetikanya. Sebab jika sebuah tulisan hanya mengumbar
pepatah-petitih sosial, kepincangan-kepincangan sosial, tanpa diimbangi aspek estetika, namanya
bukan karya sastra. Tulisan tersebut hanyalah sebuah laporan jurnalistik yang mengekspose
kejadian-kejadian negatif yang tenagh berlangsung di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, kehadiran
unsur-unsur tersebut bersama dengan proses penggarapan kara sastra.

2. Biografi Singkat Chairil Anwar

Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan
Toeloes dan Saleha. Ayahnya bekerja sebagai pamongpraja. Ibunya masih mrmpunyai pertalian
keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil dibesarkan dalam
keluarga yang berantakan. Kedua orang tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi dengan wanita
lain. Setelah perceraian itu, Chairil mengikuti ibunya merantau ke Jakarta. Saai itu, ia baru lulus SMA.

Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu
penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs,
sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis
sebagai seorang remaja, namun tak satu pun puisi awalnya yang ditemukan. Meskipun
pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman. Ia
mengisi waktu luangnya dengan membaca buku-buku dari pengarang internasional ternama, seperti
Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron.
Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi
tatanan kesusasteraan Indonesia.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini memberikan kesan
lebih pada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah
saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang pedih
sebagaimana yang tertulis dalam kutipan (1).

(1) Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu
setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil sayangi. Dia bahkan terbiasa menyebut
nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu. Hal itu ia lakukan sebagai tanda bahwa ia yang
mendampingi nasib ibunya. Di depan ibunya juga, Chairil sering kali kehilangan sisi liarnya. Beberapa
puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Chairil Anwar mulai memiliki perhatian terhadap kesusasteraan sejak sekolah dasar. Di masa itu, ia
sudah menulis beberapa sajak yang memiliki corak Pujangga Baru, namun ia tidak menyukai sajak-
sajak tersebut dan membuangnya. Begitulah pengakuan Chairil Anwar kepada kritikus sastra HB.
Jassin. Seperti yang ditulis oleh Jassin sendiri dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kegigihannya. Seorang teman dekatnya, Sjamsul Ridwan,
pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia,
salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah
dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat
untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh
dikatakan tidak pernah diam.

Jassin juga pernah bercerita tentang salah satu sifat sahabatnya tersebut, “Kami pernah bermain
bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding
terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan
Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Semua nama gadis itu masuk ke dalam puisi-puisi
Chairil. Hapsah adalah gadis kerawang yang menjadi pilihannya untuk menemani hidup dalam rumah
tangga. Pernikahan itu tak berumur panjang. Karena kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang
tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat itu, anaknya baru berumur tujuh bulan dan Chairil pun
menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi
tentang sakitnya, namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa TBC kronis dan sipilislah yang
menjadi penyebab kematiannya. Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Kependekan itu
meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh
terbaik untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang
membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar yang menjadi notaris di bekasi harus meminta maaf saat
mengenang kematian ayahnya di tahun 1999. Ia berkata, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di
suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar”, (Haniey:2007).

Tak sedikit buku-buku karangan Chairil semasa hidupnya, buku-buku itu adalah sebagai berikut. Deru
Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir
(1950, dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949, diedit
oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998),
Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide Kena Gempur (1951), dan
terjemahan karya John Steinbeck.

Selain itu, karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa
Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya seperti Sharp gravel,
Indonesian poems, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960), Cuatro poemas indonesios
[por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati (Madrid: Palma de Mallorca, 1962), Chairil Anwar:
Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963), Only Dust:
Three Modern Indonesian Poets, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets,
1969), The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton
Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970), The Complete Poems of Chairil Anwar,
disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University
Education Press, 1974), Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter
Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978), dan The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of
Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies,
1993).

3. Unsur Ekstrinsik dalam Puisi Aku

Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang berbeda. Terdapat sedikit
perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku mau’ berubah menjadi ‘kutahu’. Pada kata ‘hingga
hilang pedih peri’, menjadi ‘hingga hilang pedih dan peri’. Kedua versi tersebut terdapat pada
kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi Deru Campur Debu, dan Kerikil Tajam. Keduanya
adalah nama kumpulan Chairil sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin Chairil
perlu uang, maka sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor (Aidit:1999).

Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa ucap yang baru, yang
lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Chairil Anwar pernah menuliskan betapa
ia betul-betul menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah mampu
mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. Idiom ‘binatang jalang’ yang digunakan dalam
sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih
cenderung mendayu-dayu.

Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan
berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul
sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti
Chairil sendiri.

Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan (2).

(2) Kalau sampai waktuku

Waktu yang dimaksud dalam kutipan (2) adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan yang
dibatasi oleh waktu. Seperti yang telah tertulis di atas, bahwa Chairil adalah penyair yang sedang
dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi luapan ekspresinya sesuai dengan yang
diinginkannya, tanpa harus memperdulikan bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga
memberikan awalan kata ‘kalau’ yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil berandai-andai
tentang suatu masa saat ia sampai pada apa yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap
yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi tersebut.

(3) 'Ku mau tak seorang 'kan merayu

Pada kutipan (3) inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa dengan
menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan, terutama dari
kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak menanggapi pembuicaraan orang tentang
karyanya ini, karena memang inilah yang dicariny selama ini. Bahkan ketidakpeduliannya itu lebih
dipertegas pada lirik selanjutnya pada kutipan (4).

(4) Tidak juga kau

Kau yang dimaksud dalam kutipan (4) adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan
betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca
puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk.

Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau buruk dan
masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya.

(5) Tidak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Zaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah mencuri baju Chairil dan
menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan sahabatnya itu, Chairil hanya berkata, “Mengapa
aku begitu bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang
tidak mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan, baik itu dari segi ketetetapan masyarakat,
maupun agama. Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah atau kuatnya orang.

Dalam kutipan (5), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’, karena ia ingin menggambar seolah
seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang
mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’. Dalam
suatu kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia ‘dari kumpulannya terbuang’ karena tidak ingin mengikut
ikatan dan aturan dalam kumpulannya.

(6) Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang


Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah pistol seringkali digunakan untuk
melukai sesuatu. Pada kutipan (6), bait tersebut tergambar bahwa Chairil sedang ‘diserang’ dengan
adanya ‘peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya itu, ia
berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, Chairil masih memberontak, ia ‘tetap
meradang menerjang’ seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga menunjukkan
sikap Chairik yang tak mau mengalah.
Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan dari sajak
tersebut juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik selanjutnya.

(7) Dan aku akan lebih tidak perduli


Aku mau hidup seribu tahun lagi

Inilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu ketidakpedulian. Pada
kutipan (7), bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut. Sebagaimana sebuah karya tulis,
penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih tidak
perduli’, ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia
tetap bisa mencari-cari apa yang diinginkannya.

Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam puisi ini juga
terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari
salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal
itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar
pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti
apa pun bentuk penilaian itu.

4. Simpulan

1. Unsur ektrinsik adalah unsur-unsur dari luar karya sastra yang mempengaruhi isi karya sastra.
Contoh unsur ekstrinsik adalah psikologi, sosial, Agama, sejarah, filsafat, ideologi, politik.

2. Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari
pasangan Toeloes dan Saleha. Ia meninggal pada pukul 15.15 WIB, 28 April 1949. Penyebab
kematiaannya terdapat beberapa versi tentang sakitnya, namun banyak pendapat yang mengatakan
bahwa TBC kronis dan sipilislah yang menjadi penyebabnya. Umur Chairil 27 tahun. Namun,
kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia
menjadi contoh terbaik untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh dalam menggeluti kesenian.

3. Unsur ekstrinsik dalam puisi Aku ini adalah Psikologi pengarangnya, Chairil Anwar.
Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencarian corak bahasa ucap baru yang lebih ‘berbunyi’
daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Ia menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru,
Amir Hamzah, yang telah mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. Sajak Aku
adalah sajak yang paling memiliki corak khas dari beberapa sajak Chairil lainnya. Sajak trsebut
bersifat destruktif terhadap corak bahasa ucap yang biasa digunakan penyair Pujangga Baru seperti
Amir Hamzah sekalipun. Idiom ‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh
suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.
Daftar Rujukan

Dewi. 2008. Pengertian Fungsi dan Ragam Sastra. dewi-biru.blogspot.com. (Diakses pada tanggal 24
Maret 2008)
Tuhusetya, Sawali. 2008. Karya Sastra yang Baik Tak Lepas dari Dimensi Hidup. sawali.info. (Diakses
pada tanggal 24 Maret 2008)
Haniey. 2007. Biografi Chairil Anwar (1922—1949). penyair.wordpress.com. (Diakss pada tanggal 15
November 2007)
Ginting, T. D. 2007. Pertem(p)u(r)an Chairil Anwar dengan Tuhan. www.puisi.net. (Diakses pada
tanggal 15 November 2007)
Aidit, Sobron. 1999. Bab 1: Chairil Anwar. www.lallement.com. (Diakses pada tanggal 15 November
2007)

Sumber: Saif’s Site

You might also like