Professional Documents
Culture Documents
dengan kajian pemikiran, model, metode, dan teori berbagai disiplin ilmu sehingga
menjadi suatu kajian ilmu terapan yang diabadikan bagi kemaslahatan umat manusia
untuk generasi sekarang dan mendatang. Pertanian berkelanjutan dengan pendekatan
sistem dan besifat holistik mempertautkan berbagai aspek atau gatrs dan disiplin ilmu
yang sudah mapan antara lain agronomi, ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sistem pertanian berkelanjutan juga beisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikkan
pada lingkungan sumber daya alam dengan memepertimbangkan tiga matra atau aspek
sebagai berikut
1. Kesadaran Lingkungan (Ecologically Sound), sistem budidaya pertanian tidak boleh
mnyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbanganadalah indikator adanya
harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismena dikendalikanoleh hukum alam.
2. Bernilai ekonomis (Economic Valueable), sistem budidaya pertanian harus mengacu
pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka
pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar
sistem ekologi.
3. Berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just), sistem pertanian harus selaras
dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh masyarakat
disekitarnya sebagai contoh seorang petani akan mengusahakan peternakan ayam
diperkaangan milik sendiri. Mungkin secra ekonomis dan ekologis menjanjikkan
keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan aspek yang
kurang baik misalnya, pencemaran udara karena bau kotoran ayam.
Norma-norma sosial dan budaya harus diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian
berkelanjutan di Indonesia biasanya jarak antara perumahan penduduk dengan areal
pertanian sangat berdekatan. Didukung dengan tingginya nilai sosial pertimbangan utama
sebelum merencanakan suatu usaha pertanian dalam arti luas.
Kebijakan Pertanian
Published January 24, 2010 Pembangunan Pertanian Leave a Comment
3. Jelaskan tentang kebijakan subsidi input dalam kebijakan pertanian dari sisi defenisi,
pengaruhnya bagi petani dan berikan contoh kebijakannya.
Definisi : Subsidi input semakin tinggi input semakin tinggi penggunaanya semakin kecil
produksi
Contoh Kebijakan pemebrian subsidi input pada perternakan sapi sehingga produksi
tinggi harag turun, konsumen akan berpindah dari daging ayam ke ddaging sapi
Pengaruhnya : menguntungkan konsumen dan kendala dalam mengadopsi teknologi
5. Jelaskan pengaruh jangka panjang dari adanya pajak ekspor produk pertanian
a. Stabilitas harga dalam Negeri
b. Menurunkan biaya penduduk (Harga Dalam Negeri turun)
dampak (-) dr adanya pajak impor (produsen rugi)◊c. Menghalangi adopsi teknologi baru
PS = Price Support : kebijakan untuk membuat harga output diatas pendapatan petani
meningkat, produksi meningkat.◊harga keseimbangan Kebijakan PS akan efektif bila
penawarannya bersifat elastis karena perubahan harga yg sedikit saja kan menyebabkan
perubahan penawarsan (produksi) yg cukup besar hal ini sesuai dengan tujuan PS yaitu
peningkatan produksi . akan lebih efektof jika permintaan juga elastis karena
perubahan harga sedikit aka peningkatan permintaan cukup besar brg yg diproduksi
produsen dapat dibeli konsumen . contoh Harga dasar gabah
IS = Input Support : semakin tinggi hara input semakin kecil penggunaany semakinkecil
produksi
Pustaka (source)
Korten, D.C dan Sjahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Michel Todaro P. 1978. Economic Development in The World. Longmen Inc. New York.
Dalam Arintadisastra. 2001. Membangun Pertanian Modern. Yayasan sinar Tani. Jakarta.
Mosher, A.T. 1991. Menggerakkan dan Membangun Pertanian Syarat-syarat Pokok
Pembangunan dan Modernisasi. CV Yasaguna.Jakarta.
Saputro, E.P. (ed). 2001. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Ketahanan Pangan Kajian
Empiris LSM-LSM Mitra Yayasan Indonesia Sejahtera. Yayasan Indonesia Sejahtera.
Jakarta.
Ekonomi Kemiskinan
Published December 2, 2009 Pembangunan Pertanian Leave a Comment
Sebagian besar penduduk dunia tergolong miskin. Jika kita mengetahui ekonmi
kemiskinan, kita akan banyak mengetahui ekonomi sesungguhnya terjadi. Kebanyakan
penduduk miskin di dunia hidup dari bidang pertanian. Jika kita mengetahui ekonomi
pertanian, maka kita akan mengetahui ekonomi kemiskinan.
Ahli-ahli ekonomi merasa sulit memahami konstrain-konstrain preferensi dan kelangkaan
(scarcity) yang menentukan pilihan-pilihan bagi kamun miskin. Kita semua tahu bahwa
sebagian besar penduduk dunia tergolong miskin, bahwa mereka memperoleh sedikit
sekali imbalan atas tenaga kerja mereka, bahwa separuh atau lebih dari pendapatan
mereka yang sangat rendah dibelanjakan untuk bahan makanan, bahwa mereka sebagian
besar tinggal di negara-negara berpendapatan rendah, dan bahwa sebagian besar dari
mereka mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian. Hal yang tidak banyak
difahami oleh banyak ahli ekonomi adalah bahwa penduduk miskin tidak kalah dibanding
penduduk kaya untuk memmperbaiki nasib mereka dan anak-anak mereka.
Apa yang telah kita pelajar selama sekade-dekade terakhir mengenai ekonomi pertanian
akan tampak bagi orang-orang yang mengetahuinya dengan baik, sebagian bersifat
paradoks. Pertanian di banyak negara berpendapatan rendah mempunyai kapasitas
ekonomi potensial untuk memproduksi bahan makanan yang cukup bagi penduduk yang
terus bertambah dan juga memperbaiki pendapatan serta kesejahteraan penduduk miskin
secara berarti. Faktor-faktor produksi yang menentukan dalam perbaikan kesejahteraan
penduduk miskin bukanlah ruang, energi dan lahan pertanian. Faktor-faktor penentunya
adalah perbaikan kualitas penduduk dan peningkatan pengetahuan.
Dalam dekade-dekade terakhir ini, karya para akademis ekonomi telah sangat
memperluas wawasan kita mengenai ekonomi modal manusiawi (the economics of
human capital), khususnya ekonomi mengenai penelitian, tanggapan-tanggapan para
petani terhadap teknik-teknik produksi baru yang menguntungkan, hubungan antara
produksi dan kesejahteraan serta ekonomi keluarga. Akan tetapi, ekonomi pembangunan
telah mengelami beberapa kesalahan intelektual.
Kesalahan utama anggapan bahwa teori ekonimi standar tidak cukup untuk memahami
negara-negara berpendapatan rendah dan oleh karena itu suatu teori ekonomi yang lain
perlu dikembangkan. Model-model yang dikembangkan untuk tujuan ini umumnya
disambut dengan gembira, hingga menjadi jelaslah bahwa model-model tersebut
merupakan hasil kajian intelektual yang terbaik. Beberapa ahli ekonomi memberikan
reaksi dengan mengajukan penjelasan-penjelasan kultural dan sosial tentang keadaan
perekonomian yang buruk di negara-negara berpendapatan rendah, walau pun kegunaan
dari hasil-hasil studi sarjana-sarjana di bidang kultural dan tingkah laku tidak mudah di
fahami. Jumlah ahli ekonomi yang menyadari bahwa teori ekonomi standar dapat
digunakan pada masalah-masalah kelangkaan (scarcity) di negara-negara berpendapatan
rendah seperti halnya pada masalah-masalah serupa di negara-negara berpendapatan
tingi, kian bertambah.
Kesalahan ke dua, adalah pengabaian sejarah ekonomi. Ilmu ekonomi klasik
dikembangkan pada saat banyak orang di Eropa Barat baru saja memperoleh pengidupan
dari lahan-lahan tandus (miskin) yang mereka olah dan ditinggalkan dalam masa yang
tidak lama. Sebagian akibatnya, para ahli ekonomi perintis menghadapi kondisi-kondisi
serupa dengan yang sedang berlaku di negara-negara berpendapatan rendah sekarang.
Pada masa Ricardo, kurang lebih separuh dari pendapatan keluarga para pekerja (buruh)
di Inggris dibelajakan untuk bahan makanan. Demikian pula yang sedang dialami oleh
banyak negara berpendapatan rendah. Marshall mengatakan kepada kita bahwa ’upah
mingguan dari buruh-buruh Inggris kerapkali kurang dari harga setengah gantang
(bushel) gandum yang berkualitas baik ketika Ricardo menerbitkan Principles of Political
Economy and Taxation (1817). Upah mingguan dari buruh bajak di India pada saat
sekarang kira-kira kurang dari harga dua gantang gandum . Pengetahuan mengenai
pengalaman dan prestasi penduduk miskin pada masa-masa lampau akan sangat
membantu suatu pemahaman akan masalah-masalah dan kemungkinan-kemungkinan
bagi negara-negara yang kini berpendapatan rendah. Pemahaman seperti ini adalah jauh
lebih penting daripada pengetahuan yang paling terinci dan pasti mengenai permukaan
bumi atau mengenai ekologi, atau mengenai teknologi masa depan.
Persepsi historis tentang penduduk juga tidak ada. Kita mengekstrapolasi statistik global
dan kagum akan interprestasi kita – terutama bahwa penduduk miskin berbiak seperti
tikus kutup (lemmings) yang menuju kepada kepunahan mereka sendiri. Adanya
penduduk dalam keadaan miskin, tidak pernah terjadi dalam sejarah sosial dan ekonomi
kita sendiri. Perkiraan-perkiraan mengenai pertumbuhan penduduk yang destruktif di
negara-negara miskin sekarang adalah juga palsu.
Keterangan Sumber :
* Bab ini disusun berdasarkan kuliah Nobel yang saya sampaikan pada tanggal 8
Desember 1979, di Stockhlm, Swedia, hakcipta @ Yayasan Nobel 1979. saya berhutang
budi kepada gary.S.Becker, Milton Friedman, A.C. Harberger, D.Gale Johnson, dan
T.Paul Schultz atas saran-saran mereka dan juga kepada isteri saya, Ester Schultz, atas
saran-sarannya erhadap apa yang saya piker telah saya nyatakan dengan jelas, tetapi
baginya belum cukup jelas.
Sistem pertanian berkelanjutan juga beisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikkan
pada lingkungan sumber daya alam dengan memepertimbangkan tiga matra atau aspek
sebagai berikut
1. Kesadaran Lingkungan (Ecologically Sound), sistem budidaya pertanian tidak boleh
mnyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbanganadalah indikator adanya
harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismena dikendalikanoleh hukum alam.
2. Bernilai ekonomis (Economic Valueable), sistem budidaya pertanian harus mengacu
pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka
pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar
sistem ekologi.
3. Berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just), sistem pertanian harus selaras
dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh masyarakat
disekitarnya sebagai contoh seorang petani akan mengusahakan peternakan ayam
diperkaangan milik sendiri. Mungkin secra ekonomis dan ekologis menjanjikkan
keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan aspek yang
kurang baik misalnya, pencemaran udara karena bau kotoran ayam.
Norma-norma sosial dan budaya harus diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian
berkelanjutan di Indonesia biasanya jarak antara perumahan penduduk dengan areal
pertanian sangat berdekatan. Didukung dengan tingginya nilai sosial pertimbangan utama
sebelum merencanakan suatu usaha pertanian dalam arti luas.
Kebijakan Pertanian
Pustaka (source)
Korten, D.C dan Sjahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Michel Todaro P. 1978. Economic Development in The World. Longmen Inc. New York.
Dalam Arintadisastra. 2001. Membangun Pertanian Modern. Yayasan sinar Tani. Jakarta.
Saputro, E.P. (ed). 2001. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Ketahanan Pangan Kajian
Empiris LSM-LSM Mitra Yayasan Indonesia Sejahtera. Yayasan Indonesia Sejahtera.
Jakarta.
Ekonomi Kemiskinan
Published December 2, 2009 Pembangunan Pertanian Leave a Comment
Disampaikan Oleh Ir. Marcellinus Molo, M.S. Phd
EKONOMI KEMISKINAN
Sebagian besar penduduk dunia tergolong miskin. Jika kita mengetahui ekonmi
kemiskinan, kita akan banyak mengetahui ekonomi sesungguhnya terjadi. Kebanyakan
penduduk miskin di dunia hidup dari bidang pertanian. Jika kita mengetahui ekonomi
pertanian, maka kita akan mengetahui ekonomi kemiskinan.
Ahli-ahli ekonomi merasa sulit memahami konstrain-konstrain preferensi dan kelangkaan
(scarcity) yang menentukan pilihan-pilihan bagi kamun miskin. Kita semua tahu bahwa
sebagian besar penduduk dunia tergolong miskin, bahwa mereka memperoleh sedikit
sekali imbalan atas tenaga kerja mereka, bahwa separuh atau lebih dari pendapatan
mereka yang sangat rendah dibelanjakan untuk bahan makanan, bahwa mereka sebagian
besar tinggal di negara-negara berpendapatan rendah, dan bahwa sebagian besar dari
mereka mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian. Hal yang tidak banyak
difahami oleh banyak ahli ekonomi adalah bahwa penduduk miskin tidak kalah dibanding
penduduk kaya untuk memmperbaiki nasib mereka dan anak-anak mereka.
Apa yang telah kita pelajar selama sekade-dekade terakhir mengenai ekonomi pertanian
akan tampak bagi orang-orang yang mengetahuinya dengan baik, sebagian bersifat
paradoks. Pertanian di banyak negara berpendapatan rendah mempunyai kapasitas
ekonomi potensial untuk memproduksi bahan makanan yang cukup bagi penduduk yang
terus bertambah dan juga memperbaiki pendapatan serta kesejahteraan penduduk miskin
secara berarti. Faktor-faktor produksi yang menentukan dalam perbaikan kesejahteraan
penduduk miskin bukanlah ruang, energi dan lahan pertanian. Faktor-faktor penentunya
adalah perbaikan kualitas penduduk dan peningkatan pengetahuan.
Dalam dekade-dekade terakhir ini, karya para akademis ekonomi telah sangat
memperluas wawasan kita mengenai ekonomi modal manusiawi (the economics of
human capital), khususnya ekonomi mengenai penelitian, tanggapan-tanggapan para
petani terhadap teknik-teknik produksi baru yang menguntungkan, hubungan antara
produksi dan kesejahteraan serta ekonomi keluarga. Akan tetapi, ekonomi pembangunan
telah mengelami beberapa kesalahan intelektual.
Kesalahan utama anggapan bahwa teori ekonimi standar tidak cukup untuk memahami
negara-negara berpendapatan rendah dan oleh karena itu suatu teori ekonomi yang lain
perlu dikembangkan. Model-model yang dikembangkan untuk tujuan ini umumnya
disambut dengan gembira, hingga menjadi jelaslah bahwa model-model tersebut
merupakan hasil kajian intelektual yang terbaik. Beberapa ahli ekonomi memberikan
reaksi dengan mengajukan penjelasan-penjelasan kultural dan sosial tentang keadaan
perekonomian yang buruk di negara-negara berpendapatan rendah, walau pun kegunaan
dari hasil-hasil studi sarjana-sarjana di bidang kultural dan tingkah laku tidak mudah di
fahami. Jumlah ahli ekonomi yang menyadari bahwa teori ekonomi standar dapat
digunakan pada masalah-masalah kelangkaan (scarcity) di negara-negara berpendapatan
rendah seperti halnya pada masalah-masalah serupa di negara-negara berpendapatan
tingi, kian bertambah.
Kesalahan ke dua, adalah pengabaian sejarah ekonomi. Ilmu ekonomi klasik
dikembangkan pada saat banyak orang di Eropa Barat baru saja memperoleh pengidupan
dari lahan-lahan tandus (miskin) yang mereka olah dan ditinggalkan dalam masa yang
tidak lama. Sebagian akibatnya, para ahli ekonomi perintis menghadapi kondisi-kondisi
serupa dengan yang sedang berlaku di negara-negara berpendapatan rendah sekarang.
Pada masa Ricardo, kurang lebih separuh dari pendapatan keluarga para pekerja (buruh)
di Inggris dibelajakan untuk bahan makanan. Demikian pula yang sedang dialami oleh
banyak negara berpendapatan rendah. Marshall mengatakan kepada kita bahwa ’upah
mingguan dari buruh-buruh Inggris kerapkali kurang dari harga setengah gantang
(bushel) gandum yang berkualitas baik ketika Ricardo menerbitkan Principles of Political
Economy and Taxation (1817). Upah mingguan dari buruh bajak di India pada saat
sekarang kira-kira kurang dari harga dua gantang gandum . Pengetahuan mengenai
pengalaman dan prestasi penduduk miskin pada masa-masa lampau akan sangat
membantu suatu pemahaman akan masalah-masalah dan kemungkinan-kemungkinan
bagi negara-negara yang kini berpendapatan rendah. Pemahaman seperti ini adalah jauh
lebih penting daripada pengetahuan yang paling terinci dan pasti mengenai permukaan
bumi atau mengenai ekologi, atau mengenai teknologi masa depan.
Persepsi historis tentang penduduk juga tidak ada. Kita mengekstrapolasi statistik global
dan kagum akan interprestasi kita – terutama bahwa penduduk miskin berbiak seperti
tikus kutup (lemmings) yang menuju kepada kepunahan mereka sendiri. Adanya
penduduk dalam keadaan miskin, tidak pernah terjadi dalam sejarah sosial dan ekonomi
kita sendiri. Perkiraan-perkiraan mengenai pertumbuhan penduduk yang destruktif di
negara-negara miskin sekarang adalah juga palsu.
LAHAN DINILAI TERLALU TINGGI
Suatu pandangan yan dianut secara luas – pandangan naturalis (the natural earth view) –
adalah bahwa luas lahan yang sesuai untuk menanam tanaman pangan adalah benar-benar
tertentu dan persediaan energi untuk mengerjakan lahan semakin menipis. Menurut
pandangan ini, tidaklah mungkin terus menerus memperoduksi bahan makanan dalam
jumlah yang cukup untuk penduduk dunia yang bertambah. Suatu pandangan alternatif –
pandangan sosial-ekonomi (the socio-economic view) – adalah bahwa manusia
mempunyai kemampuan dan akal budi untuk mengurangi ketergantungannya pada lahan
pertanian, pertanian tradisional, dan sumber energi yang terus merosot serta mengurangi
biaya nyata dalam produksi bahan makanan untuk penduduk dunia yang terus bertambah.
Melalui penelitian, kita menemukan pengganti terhadap lahan pertanian yang tidak
pernah dibayangkan Ricardo, dan karena pendapatan meningkat, para orangtua
menginginkan anak lebih sedikit, dan kualitas anak akan menggeser kuantitas anak, yang
tidak pernah dibayangkan Malthus. Ironisnya ekonomi, yang telah lama dikenal sebagai
ilmu pengetahuan suram, menunjukkan bahwa pandangan naturalis yang suram mengenai
bahan makanan tidak sesuai dengan sejarah yang menunjukkan bahwa kita dapat
memperbesar sumbe-sumber melalui kemajuan pengetahuan. Saya setuju dengan
Margaret Mead bahwa ”Masa depan umat manusia adalah – terbuka –tertutup (open-
ended)”. Masa depan umat manusia tidak ditakdirkan oleh ruang, energi, dalam lahan
pertanian, ia ditentukan oleh evolusi akal budi umat manusia.
Perbedaan-perbedaan produktivitas lahan tidak menjelaskan mengapa penduduk miskin
berada di bagian dunia yang telah lama berpengehuni. Penduduk di India telah menjadi
miskin sejak berabad-abad lamanya baik di Plateau Deccan, di mana produktivitas lahan
tadah hujan adalah rendah dan di lahan-lahan India Selatan yang produktivitasnya tinggi.
Di Afrika penduduk berdiam di lahan-lahan yang tidak produktif yang terletak di bagian
selatan Sahara, pada lahan-lahan yang agak lebih produktif di lereng-lereng yang curam
di daerah Rift, dan lahan-lahan aluvial yang sangat produktif di sepanjang dan pada
muara Sungai Nile, semuanya memiliki suatu kesamaan: mereka sangat miskin.
Demikian pula, perbedaan-perbedaan yang sangat terkenal mengenai rasio lahan
penduduk di seluruh negara berpendapatan rendah, tidak menghasilkan perebdaan
kemiskinan yang sebanding. Apa yang paling berarti di dalam hal lahan pertanian, adalah
insentif-insentif dan kesempatan-kesempatan terkait bagi para petani untuk meningkatkan
penggunaan lahan dengan efektif melalui investasi yang mencakup sumbangan-
sumbangan penelitian pertanian dan perbaikan ketrampilan manusia, satu bagian integral
dari modernisasi ekonomi negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah adalah
penurunan arti ekonomi dari lahan pertanian dan peningkatan modal manusiawi:
ketrampilan dan pengetahuan.
Meskipun sejarah ekonomi, ide-ide dari para ahli ekonomi mengenai lahan adalah
sebagai satukaidah, masih mengikuti Ricardo. Tetapi konsep Ricardo mengenai tanah,
”daya-daya lahan yang asli dan tak dapat dirusah” tidak sesuai lagi, walau keadaan
tersebut pernah terjadi. Sumbangan lahan dalam pendapatan nasional berupa sewa tanah
yang merosot terus menerus dengan nyata di negara-negara berpendapatan rendah.
Mengapa hukum Ricardo mengenai sewa (yang memperlakukannya sebagai hasil dan
bukan sebagai penyebab dari harga-harga) kehilangan arti ekonominya? Ada dua sebab
utama: pertama. Modernisasi pertanian telah mengubah lahan miskin menjadi lahan
sangat produktif dibanding keadaan alam; Kedua, penelitian pertaniah telah
menghasilkan substansi bagi lahan pertanian. Dengan beberapa perkecualian setempat.
Lahan-lahan di Eropa pada mulanya berkualitas rendah. Sekarang lahan-lahan tersebut
sanagt produktif. Lahan-lahan di Finlandia semula kurang produktif dibanding lahan di
bagian-bagian barat Uni Sovyet, tetapi sekarang lahan pertanian di Finlandia menjadi
lebih unggul. Lahan pertanian di Jepang pda masa sekarang ini lebih unggul. Di negara-
negara berpenghasilan tinggi dan rendah, perbahan-perubahan ini sebagian merupakan
konsekuansi dari penelitian pertanian’ termasuk penelitian yang diwujudkan dalam
bentuk pupuk buatan, pestisida, peralatan dan masukan-masukan (inputs) lain. Ada
substitusi-substitusi baru terhadap lahan pertanian, atau perluasan lahan pertanian. Proses
substitusi digambarkan dengan baik pada tanaman jagung: areal panen jagung di Amerika
Aerikat pada tahun 1979 ada 33 juta area, yang kurang dari areal panen tahun 1932, dan
menghasilkan 7,76 mmilyar gantang, tiga kali produksi 1932.
Pengertian
Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial.
Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan
petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi
sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun
melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal
dan Sudaryanto, 2008).
Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul
“Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gambling tentang syarat
pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan
pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi yang
senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal,
(3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan
(5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Adapun syarat pelancar
pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3)
kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5)
perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk
Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher.
Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak
Repelita I (1 April 1969), yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru, yang tertuang dalam
strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum 19 Pembangunan Jangka
Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-
PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahun) yang semuanya dititik
beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:
1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor
pertanian.
2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri
pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju
swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.
Menurut Suhendra (2004) di banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan
prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Para perancang pembangunan
Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari benar hal tersebut,
sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara bertahap. Pada tahap pertama,
pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sector pertanian dan industri penghasil
sarana produksi peratnian. Pada tahap kedua, pembangunan dititikberatkan pada industri
pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap
dialihkan pada pembangunan industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti
demikian, diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan
seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal.
Pada saat Indonesia memulai proses pembangunan secara terencana pada tahun 1969,
pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 40
persen, sementara itu serapan tenaga kerja pada sector pertanian mencapai lebih dari 60
persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, strategi dan
kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses
pembangunan.
Kebijakan untuk menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi
sesuai dengan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang
dan Syafa’at, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat
mutlak bagi keberhasilan upaya menciptakan prakondisi tinggal landas.
Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga
dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai berikut: (1) dengan mensuplai makanan pokok
dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (2) dengan
menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk
mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang, (3) dengan membeli barang
konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk
perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (4) dengan menghapuskan
kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa
melalui substitusi impor.
Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawa beberapa hasil.
Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada
pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan
pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif 21 murah, memberikan kontribusi
terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua,
sektor pertanian telah meningkatkan penerimaan devisa di satu pihak dan penghematan
devisa di lain pihak, sehingga memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga,
pada tingkat tertentu sector pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku
industri sehingga melahirkan agroindustri.
Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru tersebut
mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian telah
menimbulkan kecenderungan menurunnya harga produkproduk pertanian yang berakibat
negatif pada pendapatan petani, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Ratnawati
et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian menurunkan harga output di
tingkat petani berkisar antara 0.28-10.08 persen dan akan menurunkan pendapatan rumah
tangga perdesaan berkisar antara 2.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas dan
produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani,
bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yang ditunjukkan oleh hasil
penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil tingkat kesejahteraan petani dari tahun ke
tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh nilai tukar petani (NTP) yang
mempunyai tendensi (trend) yang menurun (negatif) sebesar –0.68 persen per tahun. Di
masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya bisa berkembang dalam
kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi dan mendapat intervensi yang sangat
mendalam, sehingga sektor pertanian dianggap sebagai most-heavily regulated.
Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar pada terlalu
berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul
periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah
menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini
membuat pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya. Hal ini
tidak terlepas dari pengaruh paradigma pembangunan saat itu yang menekankan
industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yang
kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan proteksi yang sistematis. Akibatnya,
proteksi besar-besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani.
Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama
pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas. Pendekatan ini
dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan pertanian berdasarkan pengembangan
komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi pada peningkatan
produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun
pendekatan komoditas ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) tidak
memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan
horizontal, vertikal dan spatial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang
memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani. Oleh karena itu, pengembangan
komoditas seringkali sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada
besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan
pendapatan petani.
Menyadari akan hal tersebut di atas, maka pendekatan pembangunan pertanian harus
diubah dari pendekatan komoditas menjadi pendekatan system agribisnis. Seiring dangan
hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan dari
orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani.
Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang
sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui
pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Kemampuan
bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi
kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi dan
kemampuan wirausaha petani merupakan factor kunci keberhasilan pembangunan
pertanian.
Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat,
baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar
terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian
terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan
demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan
daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi
teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal.
Sejak awal 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian dalam struktur
perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mulai meminggirkan
sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor
industri dan jasa, bahkan yang berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun
demikian, ketika krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah,
proses desentralisasi ekonomi yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat,
maka Indonesia kembali menjadikan sector pertanian sebagai landasan utama
pembangunan ekonomi (Arifin, 2005).
Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sector pertanian pada saat
krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang
memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan
ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan
yang memiliki keberpihakan terhadap sector pertanian dalam memperluas lapangan kerja,
menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas
(Sudaryanto dan Munif, 2005).
Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan tentang pentingnya mengakselerasi sektor
pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) sebagai berikut:
1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga akselerasi
pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah pengangguran.
2. Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana sebagian
besar penduduk berada. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian paling tepat
untuk mendorong perekonomian desa dalam rangka meningkatkan pendapatan sebagian
besar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan.
3. Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga dengan
akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat terjamin. Langkah ini
penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada pasar dunia.
4. Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen,
sehingga dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karena itu, akselerasi
pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor
dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam hal ini dapat membantu
menjaga keseimbangan neraca pembayaran.
6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sector industri. Hal
ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri
yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi.
Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan program pembangunannya dengan
menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari strategi
pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor. Operasionalisasi
konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal sebagai berikut:
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui percepatan
investasi dan ekspor.
2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan
menciptakan lapangan kerja baru.
3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan
kemiskinan.
Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti
penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja
sektor pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.
Sejalan dengan hal ini, Sudaryanto dan Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi
pertanian dimaksudkan untuk menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder
dan mengubah paradigma pola piker masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya
sekedar penghasil komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor
yang multi-fungsi dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program,
yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan
agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani. Operasionalisasi program
peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga
ketersediaan pangan yang cukup aman dan
halal di setiap daerah setiap saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan.
Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan
sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan
kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan,
penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya
(Departemen Pertanian, 2005c)
Akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak diikut sertakan dengan
adanya peningkatan kesejahteraan para petani. Hal ini disebabkan karena masih
banyak permasalahan yang dihadapi oleh para petani baik yang berhubungan
langsung dengan peningkatan produksi dan berkaitan dengan pemasaran hasil-
hasil pertaniannya, maupun yang berkaitan dengan kemapuan yang dimiliki oleh
petani dalam berusaha tani. Masalah-masalah tersebut masih menjadi faktor
penghambat bagi petani untuk mengembangkan hasil pertaniannya.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh para petani sampai saat ini antara lain,
yaitu :
• Jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan penerimaan pendapatan dalam
pertanian.
Akan tetapi lain halnya dengan petani, misalnya saja petani padi yang harus
menunggu 5-6 bulan sebelum penennya dapat dijual, hal ini pun terjadi oleh para
petani lainnya misalnya perkebunan besar, seperti perkebunan tembakau atau
kelapa sawit, jarak waktu antara pengeluaran dan penerimaan ini sangat besar.
Keadaan yang demikian mempunyai berbagai implikasi penting dari segi
ekonomi pertanian.
Dengan adanya jarak waktu (gap) yang besar, para petani berimplikasi untuk
mendapatkan hasil panen yang bagus guna mendapatkan keuntungan, hal ini
dikarenakan dengan adanya jarak waktu (gap) yang besar maka diantara jarak
waktu mulai dari setelah memanen sampai memanen kembali membutuhkan
banyak biaya yang mesti dikeluarkan oleh petani itu sendiri, baik itu untuk bibit,
untuk keperluan sehari-hari seorang petani, dan pembiayaan-pembiayaan
lainnya.
Jadi ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan
pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap
musim panen, sedangkan pengeluarannya harus diadakan setiap hari, setiap
minggu, atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum
panen.
Jika para petani mempunyai lahan yang lebih luas, secara tidak langsung petani
tersebut memiliki kemampuan untuk memperoleh hasil pertanian yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan hasil pertanian dengan menggunakan lahan kecil.
Inilah yang menjadi sebab, sehingga kenapa tanah tersebut termasuk salah satu
indikator yang menjadi permasalahan dalam pembangunan pertanian itu sendiri,
dan telah menjadi penyebab terbatasnya lahan karena adanya tekanan
penduduk.
• Pertanian Subsisten
Namun dalam menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus diingat
bahwa tidak ada petani subsisten yang begitu homogen, dan begitu sama sifat-
sifatnya satu dari yang lain. Dalam kenyataannya petani subsisten ini sangat
berbeda-beda dalam hal luas dan kesuburan tanah yang dimilikinya dan kondisi-
kondisi sosial ekonomi dalam lingkungan kehidupannya. Apa yang sama
diantara mereka adalah, bahwa mereka memandang pertanian sebagai sarana
pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi
pertanian itu.
Dengan definisi tersebut di atas sama sekali tidak berarti bahwa petani subsisten
tidak berfikir dalam pengertian biaya dan penerimaan. Mereka juga berfikir dalam
pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk pengeluaran biaya tunai, tetapi dalam
kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan upacara
adat dan lain-lain. Yang dianggap sebagai hasil penerimaan adalah apa yang
dapat dinikmatinya secara pribadi dan bersama-sama masyarakat. Sedangkan
biaya adalah apa yang tidak dapat dinikmatinya.
Akan tetapi dewasa ini, dan terlebih lagi dimasa yang akan datang, orientasi
sektor pertanian telah berubah kearah orientasi pasar. Dengan berlangsungnya
perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih
rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka
motor penggerak sektor pertanian harus berubah dari usahatani tradisional
menuju pertanian yang modern. Dalam hal ini, untuk mengembangkan sektor
pertanian yang modern dan berdaya saing, agroindustri harus menjadi lokomotif
dan sekaligus penentu kegiatan sub-sektor usahatani dan akan menentukan
sub-sektor agrobisnis hulu.
Selain faktor tenaga kerja salah satu yang menjadi kendala dalam sektor
pertanian itu sendiri yaitu masalah tanah (lahan). Jika seorang petani itu memiliki
suatu tanah (lahan) yang luas (cukup besar), ini berarti petani tersebut dapat
menghasilkan produksi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan lahan yang
kecil. Salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya ketersedian lahan yaitu
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan teori
Malthus yang mengatakan bahwa dengan semakin besarnya pertumbuhan
penduduk, maka peluasan lahan akan semakin sempit. Disamping itu dengan
adanya pertambahan penduduk akan mendorong permintaan akan lokasi
perumahan sehingga dikota-kota besar banyak lahan pertanian yang produktif
telah beralih fungsi menjadi kompleks perumahan.
A.T. Mosher dalam bukunya Getting Agriculture Moving (1965) yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia telah menganalisa syarat-syarat
pembangunan pertanian di banyak negara dan menggolong-golongkannya
menjadi syarat-syarat mutlak dan syarat-syarat pelancar. Menurut Mosher ada 5
syarat yang tidak boleh tidak harus ada untuk adanya pembangunan pertanian.
Kalau satu saja syarat-syarat tersebut tidak ada maka terhentilah pembangunan
pertanian, pertanian dapat berjalan terus tapi statis. Syarat-syarat mutlak itu
menurut Mosher adalah :
1. Pendidikan pembangunan.
2. Kredit produksi.
3. Kegiatan gotong royong petani.
4. Perbaikan dan perluasan tanah pertanian.
5. Perencanaan nasional daripada pembangunan pertanian.
Jika semua syarat-syarat tersebut tersedia dengan baik dan dapat diakses oleh
semua masyarakat tani atau para petani maka dapat dipastikan pembangunan
disektor pertanian dapat ditumbuh kembangkan sehingga dapat menjadi sektor
andalan secara nasional. Dan inipun akan berdampak terhadap peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani atau para petani. Jika tingkat
kesejahteraan para petani semakin baik tentu mereka akan lebih bersemangat
dan termotivasi untuk bekerja lebih keras dan professional untuk meningkatkan
usaha pertaniannya.
2.1. Kondisi Pertanian Indonesia
Akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak diikut sertakan dengan
adanya peningkatan kesejahteraan para petani. Hal ini disebabkan karena masih
banyak permasalahan yang dihadapi oleh para petani baik yang berhubungan
langsung dengan peningkatan produksi dan berkaitan dengan pemasaran hasil-
hasil pertaniannya, maupun yang berkaitan dengan kemapuan yang dimiliki oleh
petani dalam berusaha tani. Masalah-masalah tersebut masih menjadi faktor
penghambat bagi petani untuk mengembangkan hasil pertaniannya.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh para petani sampai saat ini antara lain,
yaitu :
• Jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan penerimaan pendapatan dalam
pertanian.
Akan tetapi lain halnya dengan petani, misalnya saja petani padi yang harus
menunggu 5-6 bulan sebelum penennya dapat dijual, hal ini pun terjadi oleh para
petani lainnya misalnya perkebunan besar, seperti perkebunan tembakau atau
kelapa sawit, jarak waktu antara pengeluaran dan penerimaan ini sangat besar.
Keadaan yang demikian mempunyai berbagai implikasi penting dari segi
ekonomi pertanian.
Dengan adanya jarak waktu (gap) yang besar, para petani berimplikasi untuk
mendapatkan hasil panen yang bagus guna mendapatkan keuntungan, hal ini
dikarenakan dengan adanya jarak waktu (gap) yang besar maka diantara jarak
waktu mulai dari setelah memanen sampai memanen kembali membutuhkan
banyak biaya yang mesti dikeluarkan oleh petani itu sendiri, baik itu untuk bibit,
untuk keperluan sehari-hari seorang petani, dan pembiayaan-pembiayaan
lainnya.
Jadi ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan
pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap
musim panen, sedangkan pengeluarannya harus diadakan setiap hari, setiap
minggu, atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum
panen.
Jika para petani mempunyai lahan yang lebih luas, secara tidak langsung petani
tersebut memiliki kemampuan untuk memperoleh hasil pertanian yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan hasil pertanian dengan menggunakan lahan kecil.
Inilah yang menjadi sebab, sehingga kenapa tanah tersebut termasuk salah satu
indikator yang menjadi permasalahan dalam pembangunan pertanian itu sendiri,
dan telah menjadi penyebab terbatasnya lahan karena adanya tekanan
penduduk.
• Pertanian Subsisten
Namun dalam menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus diingat
bahwa tidak ada petani subsisten yang begitu homogen, dan begitu sama sifat-
sifatnya satu dari yang lain. Dalam kenyataannya petani subsisten ini sangat
berbeda-beda dalam hal luas dan kesuburan tanah yang dimilikinya dan kondisi-
kondisi sosial ekonomi dalam lingkungan kehidupannya. Apa yang sama
diantara mereka adalah, bahwa mereka memandang pertanian sebagai sarana
pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi
pertanian itu.
Dengan definisi tersebut di atas sama sekali tidak berarti bahwa petani subsisten
tidak berfikir dalam pengertian biaya dan penerimaan. Mereka juga berfikir dalam
pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk pengeluaran biaya tunai, tetapi dalam
kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan upacara
adat dan lain-lain. Yang dianggap sebagai hasil penerimaan adalah apa yang
dapat dinikmatinya secara pribadi dan bersama-sama masyarakat. Sedangkan
biaya adalah apa yang tidak dapat dinikmatinya.
Jika terdapat pandangan bahwa pembangunan ekonomi itu suatu proses untuk
mengubah suatu perekonomian dari yang menghasilkan barang-barang
pertanian menjadi menghasilkan barang-barang industri dan jasa, maka akan
terjadi banyak penafsiran yang salah terhadap teori tahapan pertumbuhan yang
dikemukakan Rostow (1960). Memahami kritik-kritik yang dikemukakan
sehubungan dengan teori pertumbuhan Rostow maka negara Indonesia dengan
jumlah penduduk sekitar 220 jutaan paling tidak harus tetap dapat
berswasembada pangan untuk memenuhi konsumsi penduduknya.
Akan tetapi dewasa ini, dan terlebih lagi dimasa yang akan datang, orientasi
sektor pertanian telah berubah kearah orientasi pasar. Dengan berlangsungnya
perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih
rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka
motor penggerak sektor pertanian harus berubah dari usahatani tradisional
menuju pertanian yang modern. Dalam hal ini, untuk mengembangkan sektor
pertanian yang modern dan berdaya saing, agroindustri harus menjadi lokomotif
dan sekaligus penentu kegiatan sub-sektor usahatani dan akan menentukan
sub-sektor agrobisnis hulu.
Pengembangan sektor pertanian dapat meningkat apabila adanya peningkatan
produksi, produktivitas, tenaga kerja, tanah dan modal. Akan tetapi yang terjadi
yaitu sebaliknya, dimana masyarakat tidak bersemangat lagi untuk bekerja di
sektor pertanian, salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat tidak
bersemangat bekerja di sektor pertanian yaitu karena rendahnya pendapatan
yang didapat dari sektor pertanian itu sendiri, yang berarti kesejahteraan para
petani tersebut semakin rendah. Hal ini dapat berdampak pada turunnya
produksi hasil pertanian dan pada akhirnya akan berdampak juga terhadap
ketahanan pangan nasional.
Selain faktor tenaga kerja salah satu yang menjadi kendala dalam sektor
pertanian itu sendiri yaitu masalah tanah (lahan). Jika seorang petani itu memiliki
suatu tanah (lahan) yang luas (cukup besar), ini berarti petani tersebut dapat
menghasilkan produksi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan lahan yang
kecil. Salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya ketersedian lahan yaitu
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan teori
Malthus yang mengatakan bahwa dengan semakin besarnya pertumbuhan
penduduk, maka peluasan lahan akan semakin sempit. Disamping itu dengan
adanya pertambahan penduduk akan mendorong permintaan akan lokasi
perumahan sehingga dikota-kota besar banyak lahan pertanian yang produktif
telah beralih fungsi menjadi kompleks perumahan.
A.T. Mosher dalam bukunya Getting Agriculture Moving (1965) yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia telah menganalisa syarat-syarat
pembangunan pertanian di banyak negara dan menggolong-golongkannya
menjadi syarat-syarat mutlak dan syarat-syarat pelancar. Menurut Mosher ada 5
syarat yang tidak boleh tidak harus ada untuk adanya pembangunan pertanian.
Kalau satu saja syarat-syarat tersebut tidak ada maka terhentilah pembangunan
pertanian, pertanian dapat berjalan terus tapi statis. Syarat-syarat mutlak itu
menurut Mosher adalah :
1. Pendidikan pembangunan.
2. Kredit produksi.
3. Kegiatan gotong royong petani.
4. Perbaikan dan perluasan tanah pertanian.
5. Perencanaan nasional daripada pembangunan pertanian.
Jika semua syarat-syarat tersebut tersedia dengan baik dan dapat diakses oleh
semua masyarakat tani atau para petani maka dapat dipastikan pembangunan
disektor pertanian dapat ditumbuh kembangkan sehingga dapat menjadi sektor
andalan secara nasional. Dan inipun akan berdampak terhadap peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani atau para petani. Jika tingkat
kesejahteraan para petani semakin baik tentu mereka akan lebih bersemangat
dan termotivasi untuk bekerja lebih keras dan professional untuk meningkatkan
usaha pertaniannya.
Akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak diikut sertakan dengan
adanya peningkatan kesejahteraan para petani. Hal ini disebabkan karena masih
banyak permasalahan yang dihadapi oleh para petani baik yang berhubungan
langsung dengan peningkatan produksi dan berkaitan dengan pemasaran hasil-
hasil pertaniannya, maupun yang berkaitan dengan kemapuan yang dimiliki oleh
petani dalam berusaha tani. Masalah-masalah tersebut masih menjadi faktor
penghambat bagi petani untuk mengembangkan hasil pertaniannya.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh para petani sampai saat ini antara lain,
yaitu :
• Jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan penerimaan pendapatan dalam
pertanian.
Akan tetapi lain halnya dengan petani, misalnya saja petani padi yang harus
menunggu 5-6 bulan sebelum penennya dapat dijual, hal ini pun terjadi oleh para
petani lainnya misalnya perkebunan besar, seperti perkebunan tembakau atau
kelapa sawit, jarak waktu antara pengeluaran dan penerimaan ini sangat besar.
Keadaan yang demikian mempunyai berbagai implikasi penting dari segi
ekonomi pertanian.
Dengan adanya jarak waktu (gap) yang besar, para petani berimplikasi untuk
mendapatkan hasil panen yang bagus guna mendapatkan keuntungan, hal ini
dikarenakan dengan adanya jarak waktu (gap) yang besar maka diantara jarak
waktu mulai dari setelah memanen sampai memanen kembali membutuhkan
banyak biaya yang mesti dikeluarkan oleh petani itu sendiri, baik itu untuk bibit,
untuk keperluan sehari-hari seorang petani, dan pembiayaan-pembiayaan
lainnya.
Jadi ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan
pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap
musim panen, sedangkan pengeluarannya harus diadakan setiap hari, setiap
minggu, atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum
panen.
Jika para petani mempunyai lahan yang lebih luas, secara tidak langsung petani
tersebut memiliki kemampuan untuk memperoleh hasil pertanian yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan hasil pertanian dengan menggunakan lahan kecil.
Inilah yang menjadi sebab, sehingga kenapa tanah tersebut termasuk salah satu
indikator yang menjadi permasalahan dalam pembangunan pertanian itu sendiri,
dan telah menjadi penyebab terbatasnya lahan karena adanya tekanan
penduduk.
• Pertanian Subsisten
Namun dalam menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus diingat
bahwa tidak ada petani subsisten yang begitu homogen, dan begitu sama sifat-
sifatnya satu dari yang lain. Dalam kenyataannya petani subsisten ini sangat
berbeda-beda dalam hal luas dan kesuburan tanah yang dimilikinya dan kondisi-
kondisi sosial ekonomi dalam lingkungan kehidupannya. Apa yang sama
diantara mereka adalah, bahwa mereka memandang pertanian sebagai sarana
pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi
pertanian itu.
Dengan definisi tersebut di atas sama sekali tidak berarti bahwa petani subsisten
tidak berfikir dalam pengertian biaya dan penerimaan. Mereka juga berfikir dalam
pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk pengeluaran biaya tunai, tetapi dalam
kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan upacara
adat dan lain-lain. Yang dianggap sebagai hasil penerimaan adalah apa yang
dapat dinikmatinya secara pribadi dan bersama-sama masyarakat. Sedangkan
biaya adalah apa yang tidak dapat dinikmatinya.
Jika terdapat pandangan bahwa pembangunan ekonomi itu suatu proses untuk
mengubah suatu perekonomian dari yang menghasilkan barang-barang
pertanian menjadi menghasilkan barang-barang industri dan jasa, maka akan
terjadi banyak penafsiran yang salah terhadap teori tahapan pertumbuhan yang
dikemukakan Rostow (1960). Memahami kritik-kritik yang dikemukakan
sehubungan dengan teori pertumbuhan Rostow maka negara Indonesia dengan
jumlah penduduk sekitar 220 jutaan paling tidak harus tetap dapat
berswasembada pangan untuk memenuhi konsumsi penduduknya.
Akan tetapi dewasa ini, dan terlebih lagi dimasa yang akan datang, orientasi
sektor pertanian telah berubah kearah orientasi pasar. Dengan berlangsungnya
perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih
rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka
motor penggerak sektor pertanian harus berubah dari usahatani tradisional
menuju pertanian yang modern. Dalam hal ini, untuk mengembangkan sektor
pertanian yang modern dan berdaya saing, agroindustri harus menjadi lokomotif
dan sekaligus penentu kegiatan sub-sektor usahatani dan akan menentukan
sub-sektor agrobisnis hulu.
Selain faktor tenaga kerja salah satu yang menjadi kendala dalam sektor
pertanian itu sendiri yaitu masalah tanah (lahan). Jika seorang petani itu memiliki
suatu tanah (lahan) yang luas (cukup besar), ini berarti petani tersebut dapat
menghasilkan produksi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan lahan yang
kecil. Salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya ketersedian lahan yaitu
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan teori
Malthus yang mengatakan bahwa dengan semakin besarnya pertumbuhan
penduduk, maka peluasan lahan akan semakin sempit. Disamping itu dengan
adanya pertambahan penduduk akan mendorong permintaan akan lokasi
perumahan sehingga dikota-kota besar banyak lahan pertanian yang produktif
telah beralih fungsi menjadi kompleks perumahan.
A.T. Mosher dalam bukunya Getting Agriculture Moving (1965) yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia telah menganalisa syarat-syarat
pembangunan pertanian di banyak negara dan menggolong-golongkannya
menjadi syarat-syarat mutlak dan syarat-syarat pelancar. Menurut Mosher ada 5
syarat yang tidak boleh tidak harus ada untuk adanya pembangunan pertanian.
Kalau satu saja syarat-syarat tersebut tidak ada maka terhentilah pembangunan
pertanian, pertanian dapat berjalan terus tapi statis. Syarat-syarat mutlak itu
menurut Mosher adalah :
1. Adanya pasar untuk hasil-hasil usaha tani.
2. Teknologi yang senantiasa berkembang.
3. Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal.
4. Adanya perangsang produksi bagi petani, dan
5. Tersedianya pengangkutan yang lancar dan berkelanjutan.
1. Pendidikan pembangunan.
2. Kredit produksi.
3. Kegiatan gotong royong petani.
4. Perbaikan dan perluasan tanah pertanian.
5. Perencanaan nasional daripada pembangunan pertanian.
Jika semua syarat-syarat tersebut tersedia dengan baik dan dapat diakses oleh
semua masyarakat tani atau para petani maka dapat dipastikan pembangunan
disektor pertanian dapat ditumbuh kembangkan sehingga dapat menjadi sektor
andalan secara nasional. Dan inipun akan berdampak terhadap peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani atau para petani. Jika tingkat
kesejahteraan para petani semakin baik tentu mereka akan lebih bersemangat
dan termotivasi untuk bekerja lebih keras dan professional untuk meningkatkan
usaha pertaniannya.
DAFTAR PUSTAKA
Doll, J. P., Rhodes, V., West, J.G., Economics of Agricultural Production Market
and Policy, Home III: Richard D. Irwin Inc., 1986.
Hayami, Yujiro. 2001, Development Economics, From the Poverty to the Wealth
of Nations Second Edition, Oxford University Inc., New York.
Pada pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 Agustus lalu, ada
bidang yang terlupakan. Itulah pertanian. Jangankan disinggung, pada pidato tersebut,
kata pertanian sama sekali tidak disebutkan.
Presiden SBY memang menyebut kata "ketahanan pangan dua kali. Pertama, pada saat
mengklaim bahwa "bangsa Indonesia memiliki ketahanan pangan yang semakin kuaf
walau sama sekali tanpa dukungan data dan fakta. Kedua, pada saat menyebutkan sasaran
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 atau prioritas nasional,
berupa reformasi birokrasi dan tata kelola, pendidikan, kesehatan, penanggulangan
kemiskinan, dan ketahanan pangan.
Banyak analisis menafsirkan mengapa pertanian terlupakan pada suatu momen besar
kenegaraan yang ditunggu rakyat banyak serta disaksikan jutaan pemirsa televisi di
seluruh Tanah Air.
Pertama, secara substansial pertanian memang dianggap tidak relevan dalam pidato yang
mengusung tiga tema besar yang amat-sangat luas dan strategis. Ketiga tema tersebut
adalah (1) kesejahteraan, melalui pembangunan untuk semua; (2) demokrasi, melalui
peningkatan kualitas demokrasi, pemerintahan dan pelayanan publik; dan (3) keadilan,
melalui langkah strategis keadilan untuk semua.
Bagi stakeholders atau pemangku kepentingan bidang pertanian, menganggap bidang ini
tidak relevan pada pembangunan kesejehteraan bangsa, adalah sesuatu yang tentu sangat
menyakitkan.
Pertanian adalah sektor besar yang selama ini memiliki kemampuan menyerap tenaga
kerja 43% dan kontribusi 16% terhadap produk domestik bruto (PDB), dengan potensi
pengganda {multiplier) pada sektor lain yang luar biasa.
Tidak harus mengutip teori-teori ekonomi pembangunan, masyarakat awam pasti sepakat
bahwa negara agraris sebesar Indonesia tidak akan maju dan beranjak ke mana-mana jika
kebijakan yang dirumuskan justru mengabaikan pembangunan pertanian. Walaupun
sektor pertanian telah dibangun dengan susah payah, ternyata hasilnya masih belum
membawa kesejahteraan bagi petani sebagai pelaku utamanya.
Apalagi jika diabaikan dan dilupakan. Terlalu besar risiko yang akan ditanggung bangsa
Indonesia, jika konsep development for all yang diusung Kabinet Indonesia Bersatu Jilid-
2 justru melupakan pertanian. Siapa pun perumus konsep pembangunan yang konon
inklusif tersebut, ia atau mereka masih perlu banyak turun ke lapangan agar strategi yang
ditawarkan kepada Presiden SBY lebih mendekati kenyataan.
Walaupun mereka paham secara teori, bahwa sektor pertanian menjadi pengganda
pendapatan dan pengganda tenaga kerja, implementasi kebijakan untuk mewujudkan
sasaran tersebut memang tidak mudah.
Namun, para pengambil kebijakan tentu tetap harus menyadari bahwa membangun
pertanian itu memang perlu serentak dan komprehensif, tidak cukup hanya dengan sekali
pukul satu kebijakan, sekian tujuan akan tercapai. Justru hal sebaliknyayang amat
diperlukan. Sekian macam instrumen kebijakan harus dilaksanakan secara serempak dan
terintegrasi, untuk mencapai satu tujuan, misalnya peningkatan kesejahteraan petani.
Implementasi kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas mungkin cukup jelas dan
mudah diukur dengan sekian macam intervensi yang harus dilakukan. Akan tetapi, tanpa
diikuti stabilisasi harga di tingkat petani yang memadai, upaya peningkatan produksi
tersebut belum tentu dapat memperbaiki kesejahteraan petani, jika para tengkulak lebih
berkuasa atau jika tiba-tiba harga pertanian global anjlok.
Belum lagi jika ditambah dengan fakta terakhir tentang penguasaan lahan petani yang
semakin menyusut Jumlah petani pangan yang hanya menguasai lahan 0,5 hektare atau
kurang telah bertambah mencapai 9,34 juta rumah tangga petani (atau 53,5% dari total).
Peningkatan produksi yang besar sekalipun masih sulit untuk mengangkat petani dari
belenggu kemiskinan apabila persoalan penguasaan lahan tidak dapat dipecahkan.
Kompleksitas seperti ini akan selalu menjadi momok menakutkan bagi kaum elite picik
yang hanyaberpikir ingin menikmati hasil kebijakan instan. Pada tingkat daerah,
fenomena seperti ini justru lebih mudah dijumpai. Hampir seluruh daerah dan provinsi
meletakkan sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan pada RPJM daerah, namun
di lapangan, alokasi anggaran, dan realisasinya berbicara lain.
Revitalisasi Pertanian
Ketiga, pertanian dianggap telah maju dan berhasil karena laporan yang menggiurkan.
Laporan-laporan peningkatan produksi pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, dan
perikanan akhir-akhir ini mungkin cukup memukau Presiden SBY. Apalagi, pada awal
masa kepemimpinannya, Presiden SBY pernah mencanangkan strategi revitalisasi
pertanian sebagai mantra ajaib peningkatan produksi dan pemihakan kebijakan kepada
petani dan pertanian.
Banyak, pihak seakan terpukau dengan data fisik produksi secara makro tersebut, tanpa
pernah berusaha memahami kesulitan riil petani di tingkat mikro. Ketika akhir-akhir ini
terdapat lonjakan harga pangan yang liar, baik karena tren permintaan yang memang
tinggi dan suplai yang cenderung menurun terutama karena prakiraan bulan basah La
Ninayang masih sampai November 2010, pemerintah kemudian bereaksi secara panik.
Operasi pasar murah direncanakan secara serempak di beberapa tempat, walaupun
menurut laporan media, pasar murah itu sepi peminat.
Dengan kata lain, strategi revitalisasi pertanian yang dicanangkan pada periode pertama
dulu masih jauh dari sempurna, sehingga tidak selayaknya sektor pertanian diabaikan.
Dari sesuatu yang paling sederhana, seperti sistem produksi pangan yang disebutkan di
atas, jelas fondasi pertanian Indonesia masih belum stabil, dikendalikan di sini, ternyata
kedodoran di sana, dan sebagainya.
Belum lagi, jika menyebutkan istilah ketahanan pangan yang jauh lebih kompleks dan
berdimensi luas, karena bukan hanya menyangkut urusan permintaan dan penawaran
pangan, melainkan menyangkut kecukupan gizi dan protein penduduk Indonesia, daya
saing bangsa di tingkat global dan sebagainya.
Demikian pula jika memperhitungkan sesuatu yang lebih rumit, seperti reforma agraria
yang dicanangkan Presiden SBY pada periode pertama, pembangunan pertanian memang
belum dapat dikatakan maju dan berhasil, juga belum mampu mewujudkan konsep justice
for all sebagaimana diucapkan dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2010 ter-sebut.
Meski menghadapi berbagai kerumitan, sektor pertanian tetap tak bisa diabaikan, apalagi
dilupakan. Pertanian tetap menjadi pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja.
Semoga saja, kekhilafan tidak menyebutkan sektor pertanian itu hanya masalah kemasan
saja, bukan karena ketidakpedulian atau penga-cuhan yang pasti memiliki implikasi
politik jauh lebih buruk.
Masih cukup banyak cara dan langkah kebijakan untuk memulihkan kepercayaan publik
bahwa pemerintah betul-betul masih akan berpihak pada sektor pertanian. Salah satu
contoh kecil yang dapat dilakukan ke depan dalam mencapai sasaran revitalisasi
pertanian adalah bagaimana realisasi rencana mewujudkan 15 juta lahan pertanian
pangan.
Apalagi kini Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Terlalu naif jika masih ada yang
beralasan tidak mampu menegakkan dan melaksanakan UU 41/2009 tersebut hanya
karena peraturan pemerintah (PP) yang lebih operasional belum ada. J
Pemper pak Harris
1. Adam Smith adalah seorang pemikir besar dan ilmuwan kelahiran Kirkaldy
Skotlandia tahun 1723, guru besar dalam ilmu falsafah di Universitas
Edinburgh, perhatiannya bidang logika dan etika, yang kemudian semakin
diarahkan kepada masalah-masalah ekonomi. Ia sering bertukar pikiran
dengan Quesnay dan Turgot dan Voltaire.
2. Adam Smith adalah pakar utama dan pelopor dalam mazhab Klasik. Karya
besar yang disebut di atas lazim dianggap sebagai buku standar yang
pertama di bidang pemikiran ekonomi gagasannya adalah sistem ekonomi
yang mengoperasionalkan dasar-dasar ekonomi persaingan bebas yang
diatur oleh invisible hand, pemerintah bertugas melindungi rakyat,
menegakkan keadilan dan menyiapkan sarana dan prasarana kelembagaan
umum.
3. Teori nilai yang digunakan Adam Smith adalah teori biaya produksi,
walaupun semula menggunakan teori nilai tenaga kerja. Barang mempunyai
nilai guna dan nilai tukar. Ongkos produksi menentukan harga relatif
barang, sehingga tercipta dua macam harga, yakni harga alamiah dan harga
pasar dalam jangka panjang harga pasar akan cenderung menyamai harga
alamiah, dan dengan teori tersebut timbul konsep paradoks tentang nilai.
4. Sumber kekayaan bangsa adalah lahan, tenaga kerja, keterampilan dan
modal. Dengan demikian, timbul persoalan pembagian pendapatan yakni
upah untuk pekerja, laba bagi pemilik modal dan sewa untuk tuan tanah.
Tingkat sewa tanah akan meningkat, sedangkan tingkat upah menurun,
dengan asumsi berlaku dana upah, dan lahan lama-kelamaan menjadi
kurang subur, sedangkan persaingan tingkat laba menurun yang akhirnya
mencapai kegiatan ekonomi yang stationer. Smith berpendapat bahwa
pembagian kerja sangat berguna dalam usaha meningkatkan produktivitas.
Pembagian kerja akan mengembangkan spesialisasi. Pertambahan
penduduk berarti meningkatkan tenaga kerja, dalam hal ini meningkatkan
permintaan dan perluasan pasar.
Pemikiran Ekonomi Kaum Klasik: J.B. Say, Malthus dan David Ricardo
1. Jean Batiste Say adalah seorang pakar ekonomi kelahiran Perancis yang
berasal dari keluarga saudagar dan menjadi pendukung pemikiran Adam
Smith. Say memperbaiki sistem Adam Smith dengan cara yang lebih
sistematis serta logis. Karya Say yaitu theorie des debouchees (teori tentang
pasar dan pemasaran) dan dikenal sebagai Hukum Say (Say’s Law) yaitu
supply creats its oven demand tiap penawaran akan menciptakan
permintaanya sendiri. Menurut Say dalam perekonomian bebas atau liberal
tidak akan terjadi “produksi berlebihan” (over production) yang sifatnya
menyeluruh, begitu juga pengangguran total tidak akan terjadi. Yang
mungkin terjadi menurut Say ialah kelebihan produksi yang sifatnya
sektoral dan juga pengangguran yang sifatnya terbatas (pengangguran
friksi).
2. Thomas Robert Malthus dilahirkan tahun 1766 di Inggris, sepuluh tahun
sebelum Adam Smith menerbitkan The Wealth of Nations dan meninggal
tahun 1834. Malthus adalah seorang ilmuwan di bidang teologi yang
kemudian memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah ekonomi
dalam perkembangan masyarakat. Malthus adalah alumnus dari University
of Cambridge, Inggris, tempat ia menyelesaikan pelajaran dalam ilmu
matematika dan ilmu sejarah klasik. Malthus diangkat menjadi Profesor of
History and Political Economy di East India College. Bagian yang paling
penting dalam pola dasar pemikiran Malthus dan kerangka analisisnya ialah
menyangkut teori tentang sewa tanah dan teori tentang penduduk dengan
bukunya yang berjudul An Essay on the Principle of Population. Teori
Malthus pada dasarnya sederhana saja. Kelahiran yang tidak terkontrol
menyebabkan penduduk bertambah menurut deret ukur padahal persediaan
bahan makanan bertambah secara deret hitung.
3. Ricardo adalah seorang Pemikir yang paling menonjol di antara segenap
pakar Mazhab Klasik. Ia sangat terkenal karena kecermatan berpikir,
metode pendekatannya hampir seluruhnya deduktif. David Ricardo telah
mengembangkan pemikiran-pemikiran Adam Smith secara lebih terjabar
dan juga lebih sistematis. Dan pendekatannya teoretis deduktif,
pemikirannya didasarkan atas hipotesis yang dijadikan kerangka acuannya
untuk mengkaji berbagai permasalahan menurut pendekatan logika. Teori
yang dikembangkan oleh Ricardo menyangkut empat kelompok
permasalahan yaitu: teori tentang distribusi pendapatan sebagai pembagian
hasil dari seluruh produksi dan disajikan sebagai teori upah, teori sewa
tanah, teori bunga dan laba, teori tentang nilai dan harga, teori perdagangan
internasional dan, teori tentang akumulasi dan perkembangan ekonomi.
1. Dasar pemikiran mazhab neoklasik pada generasi kedua lebih akurasi dan
tajam karena bila dibandingkan dengan pemikiran ekonomi pada kelompok
generasi pertama neoklasik. Hal ini dapat terjadi karena pemikiran generasi
kedua menjabarkan lebih lanjut perilaku variabel-variabel ekonomi yang
sudah dibahas sebelumnya. Lingkupan telah berkembang dari produksi,
konsumsi, dan distribusi yang lebih umum beralih pada penjelasan yang
lebih tajam.
2. Pertentangan pemikiran antara para ahli neoklasik seperti J.B. Clark dapat
menjadi sumber inspirasi dari perkembangan ilmu ekonomi dalam
menjelaskan teori distribusi fungsional, ditafsirkan oleh J.B Clark
mempunyai nilai etik, yang secara langsung membantah teori eksploitasi.
Dengan teori produktivitas marjinal upah tenaga kerja, laba serta lahan dan
bunga ditetapkan dengan objektif dan adil. Tetapi masalahnya, apakah
setiap pekerja mendapat upah sama dengan PPMt nya?
3. Penggunaan pendekatan matematis dalam analisis ekonomi terutama dalam
fungsi produksi semakin teknis, dan dengan penggunaan asumsi-asumsi
yang dialaminya juga bertambah seperti dalam kondisi skala tetap,
meningkat atau menurun. Hal ini dikaitkan pula dengan bentuk kurva
ongkos rata-rata, oleh Wicksell. Hal ini merupakan sumbangan besar dalam
pembahasan ongkos perusahaan dan industri. Pada saat kurva ongkos rata-
rata menurun, sebenarnya pada fungsi produksi terjadi proses increasing
returns, dan pada saat kurva ongkos naik, pada kurva produksi terjadi
keadaan decreasing returns. Selanjutnya, pada saat ongkos rata-rata sampai
pada titik minimum, pada fungsi produksi berlaku asumsi constant return to
scale.
4. Pemikiran lain yang menjadi sumber kontroversi seperti pandangan Bohm
Bawerk telah menimbulkan kontroversi pula tentang hubungan antara
modal dan bunga. Kontroversi ini pun timbul dari pandangan J.B. Clark.
Clark mempunyai pendapat bahwa barang-barang sekarang mempunyai
nilai lebih tinggi daripada masa depan, karena itu timbullah bunga. Tetapi,
bunga juga dipengaruhi oleh produktivitas melalui keunggulan teknik.
Bohm Bawerk memberikan adanya premium atau agio, karena kebutuhan
sekarang lebih tinggi daripada masa datang. Tetapi, Fisher melihat dari arus
pendapatan masa depan perlu dinilai sekarang, yang dipengaruhi oleh
kekuatan subjektif dan objektif. Fisher menjelaskan pula terjadinya bunga
melalui permintaan dan penawaran terhadap tabungan dan investasi. Fisher
memberi sumbangan pula pada tingkat bunga. Tingkat bunga merupakan
marginal rate of return over cost.
1. Sumbangan yang paling terkenal dari pemikiran Marshall dalam teori nilai
merupakan sitetis antara pemikiran pemula dari marjinalis dan pemikiran
Klasik. Menurutnya, bekerjanya kedua kekuatan, yakni permintaan dan
penawaran, ibarat bekerjanya dua mata gunting. Dengan demikian, analisis
ongkos produksi merupakan pendukung sisi penawaran dan teori kepuasan
marjinal sebagai inti pembahasan permintaan. Untuk memudahkan
pembahasan keseimbangan parsial, maka digunakannya asumsi ceteris
paribus, sedangkan untuk memperhitungkan unsur waktu ke dalam
analisisnya, maka pasar diklasifikasikan ke dalam jangka sangat pendek,
jangka pendek, dan jangka panjang. Dalam membahas kepuasan marjinal
terselip asumsi lain, yakni kepuasan marjinal uang yang tetap.
2. Pemikiran Alfred Marshall mahir dalam menggunakan peralatan
matematika ke dalam analisis ekonomi. Dia memahami, bahwa untuk
memudahkan pembaca, maka catatan-catatan matematikanya diletakkan
pada bagian catatan kaki dan pada lampiran bukunya. Pembahasannya
tentang kepuasan marjinal telah mulai sebelum 1870, sebelum buku Jevons
terbit, tetapi karena orangnya sangat teliti dan modes, dia tidak mau cepat-
cepat menerbitkan bukunya.
3. Dalam pembahasan sisi permintaan, Marshall telah menghitung koefisien
barang yang diminta akibat terjadinya perubahan harga secara relatif. Nilai
koefisien ini dapat sama dengan satu, lebih besar dan lebih kecil dari satu.
Tetapi, ada dua masalah yang belum mendapat penyelesaian dalam hal sisi
permintaan, yakni aspek barang-barang pengganti dan efek pendapatan.
Robert Giffen telah dapat membantu penyelesaian kaitan konsumsi dan
pendapatan dengan permintaannya terhadap barang-barang, sehingga
ditemukan Giffen Paradox. Peranan substitusi kemudian diselesaikan oleh
Slurtky.
4. Marshall menemukan surplus konsumen. Pengertian ini dikaitkan pula
dengan welfare economics. Bahwa konsumen keseluruhan mengeluarkan
uang belanja lebih kecil daripada kemampuannya membeli. Jika itu terjadi
maka terjadi surplus konsumen. Selama pajak yang dikenakan pada
konsumen lebih kecil daripada surplusnya itu, maka kesejahteraannya tidak
menurun. Tetapi, pajak juga dapat digunakan untuk subsidi, terutama bagi
industri-industri yang struktur ongkosnya telah meningkat. Marshall
menjelaskan pula mengapa kurva ongkos total rata-rata menurun dan
meningkat. Hal ini berkaitan dengan faktor internal dan eksternal
perusahaan atau industri.
5. Mekanisme permintaan dan penawaran dapat mendatangkan
ketidakstabilan, karena setiap usaha yang dilakukan untuk kembali ke posisi
seimbang ternyata membuat tingkat harga dan jumlah barang menjauhi
titik keseimbangan. Keadaan tidak stabil itu terjadi jika kurva penawaran
berjalan dari kiri-atas ke kanan-bawah. Jika variabel kuantitas independen,
terjadi kestabilan, tetapi jika berubah harga menjadi independen, maka
keadaan menjadi tidak stabil.
Mazhab Institusionalisme
1. Mitchell seorang ilmuwan sejati yang tidak terpengaruh oleh pemikiran lain
ia mempunyai pandangan sendiri. Oleh karena itu tidak semua pandangan
Veblen disetujuinya, bahkan di samping pemikiran ekonomi ortodoks,
pandangan Veblen mendapat kritik. Mitchell berkeberatan terhadap
asumsi-asumsi, logika yang abstrak ekonomi ortodoks, karena itu dia tidak
pernah menggunakannya sebagai teori dalam penelitian. Dia lebih
menekankan penelitian empirik dan menjelaskan data dengan deskriptif.
Pendekatan sejarah, dengan mempelajari sebab-sebab yang menjadi
kumulatif secara evolusioner digunakannya dalam analisis siklus bisnis.
Fluktuasi kegiatan ekonomi dapat diamati dari keputusan-keputusan
pengusaha, reaksi-reaksi pengusaha terhadap perubahan laba. Siklus-bisnis
terdiri beberapa tahap, yakni resesi, depresi, pemulihan dan masa-masa
makmur (boom).
2. John R. Commons seorang pelopor ajaran ekonomi kelembagaan di
Universitas Wisconsin. Commons mencoba untuk melakukan perubahan
sosial, penyempurnaan struktur dan fungsi pendidikan di kampusnya, dan
banyak memberikan sumbangan dalam ekonomi perburuhan.
Pandangannya terhadap ekonomi ortodoks adalah penolakannya pada
lingkungan ekonomi yang sempit, statik, dan mencoba memasukkan segi-
segi kejiwaan, sejarah, hukum, sosial dan politik dalam pembahasannya.
Teori harga dalam ekonomi ortodoks hanya berlaku dalam kondisi-kondisi
khusus. Dalam pasar ekonomi ortodoks terjadi pertukaran, tetapi bukan
hubungan pertukaran. Dia membagi tiga macam transaksi dalam pasar,
yakni transaksi pengalihan hak milik kekayaan, transaksi kepemimpinan,
dan transaksi distribusi. Dalam transaksi tersebut, melibatkan aspek-aspek
kebiasaan, adat, hukum dan kejiwaan.
3. Pandangan pemikiran J.A. Hobson tentang kritiknya terhadap ekonomi
ortodok, yaitu ada tiga kelemahan teori ekonomi ortodoks yang
ditemukannya, yakni tidak dapat menyelesaikan masalah full employment
yang dijanjikan teori ekonomi ortodoks, distribusi pendapatan yang senjang,
dan pasar bukanlah ukuran terbaik untuk menentukan ongkos sosial.
Adanya ekonomi normatif dan positif tidak disetujuinya, oleh karena
keduanya mengandung unsur etika, hipotesis tentang timbulnya
imperialisme, karena terjadi under consumption dan over saving di dalam
negeri, maka diperlukan penanaman modal ke daerah-daerah baru.
Pengeluaran pemerintah dan pajak dapat mendorong ekonomi ke arah full
employment, dan meningkatkan pendapatan pekerja dan peningkatan
produktivitas. Pembayaran terhadap faktor-faktor produksi dapat
ditentukan atas kebutuhan cukup untuk meningkatkan produktivitas dan
dengan memberikan kelebihan yang tidak produktif. Dengan semakin
meratanya pembagian pendapatan akan mendorong peningkatan
produktivitas, meningkatnya konsumsi, dan akan terhindarlah ekonomi dari
resesi.