Professional Documents
Culture Documents
A. Bangsa Yahudi
Bangsa yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit tapi menyebar ke seluruh dunia,
menyebar tapi kemurniannya terjaga, kadang tidak bertanah air dan tak punya raja,
tapi selalu menonjol dan memberi pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya, tapi
bertahan bahkan berkelimpahan. Bangsa yang memiliki identitas yang kuat.
B. Agama Yahudi
Penganut agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan kepada Hukum Agama
agar dijalankan dengan penuh ketekunan. Kemurnian pengajarannya dijaga dari
generasi ke generasi berikutnya untuk memberi dasar yang teguh bagi setiap
tingkah laku dan tindakan. Hukum agama sering diaplikasikan secara harafiah.
C. Budaya Yahudi
Yang paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada
pendidikan. Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam
budaya Yahudi. Semua bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana
mereka mendidik generasi muda, yang kelak akan memberi pengaruh yang besar.
Obyek utama dalam pendidikan mereka adalah mempelajari Hukum Taurat.
Ulangan 6:4-9 menjadi pusat pengajaran pendidikan agama Kristen. Kitab-kitab lain yang
membahas tentang pendidikan bersumber dari kitab Ulangan ini.
1. Ayat 4 ("Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa!")
Ayat ini disebut "Shema" atau pengakuan iman orang Yahudi (agama Yudaisme)
yang artinya "Dengarlah". Yesus menyebut ayat ini sebagai hukum yang pertama --
prinsip iman dan ketaatan. Memberikan konsep Allah yang paling akurat, jelas dan
pendek Tuhan adalah unik, lain dengan yang lain. Dia Allah yang hidup, yang
benar dan yang sempurna. Tidak ada Allah yang lain, hanya satu Allah saja. Ayat 4
ini bersamaan dengan ayat 5 diucapkan sedikitnya dua kali sehari oleh orang
Yahudi dewasa laki-laki. Ayat ini diucapkan bersamaan dengan Ula. 11:13-21 dan
Bil. 15:37-41.
2. Ayat 5 ("Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.")
Kasih harus menjadi motif setiap hubungan manusia dengan Tuhan. Kasih
disebutkan pertama karena disanalah terletak pikiran, emosi, dan kehendak
manusia. Tugas yang Tuhan berikan untuk manusia lakukan adalah kasihilah Allah
Tuhanmu. Musa mengajarkan Israel untuk takut, tapi kasih lebih dalam dari takut.
o Mengasihi Tuhan artinya memilih Dia untuk suatu hubungan intim dan
dengan senang hati menaati perintah-perintah-Nya.
o Mengasihi dengan hati yang tulus, bukan hanya di mulut tapi juga dalam
tindakan.
o Mengasihi dengan seluruh kekuatan, memiliki semuanya.
o Mengasihi dengan kasih yang terbaik, tidak ada yang melebihi kasih kita
kepada Dia, sehingga kita takluk kepada Dia.
o Mengasihi dengan seluruh akal budi/pengertian, karena kita kenal Dia maka
kita mengasihi dan mentaati perintah-Nya.
3. Ayat 6 ("Apa yang Kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau
perhatikan.")
Perintah Tuhan bukanlah untuk didengar dengan telinga saja, tapi juga dengan hati
yang taat. Sebelum bertindak pikirkanlah lebih dahulu perintah Tuhan, maka
hidupmu akan selamat.
4. Ayat 7 ("Haruslah engkau mengajarkan berulang-ulang "kepada anakmu"
membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau
sedang dalam perjalanan, apabila engkau bangun.")
Tanda-tanda ini dipakai pada saat sembahyang di luar hari Sabat. Tanda-tanda ini
sangat indah sebagai peringatan akan kehadiran Allah di rumah dan akhirnya
dipraktekkan untuk mengusir setan. Tanda-tanda simbolik ini dibuat supaya
penekanan pemahaman ayat itu menjadi nyata sehingga pengajaran itu akan
berlangsung terus- menerus.
Sumber:
Silabus PAK Anak, Dra. Yulia Oeniyati, Th.M.,
http://www.sabda.org/pepak/pustaka/050836/.
Menjadi sebuah hal yang menarik adalah ketika muncul sebuah pertanyaan, seberapa
pentingkah Perjanjian Lama dalam ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen (PAK)?
Mungkin pertanyaan ini kita anggap sambil lalu, atau tidak terlalu penting, atau memang kita
belum mengetahuinya. Mungkin ada yang mengatakan bahwa Perjanjian Lama (PL) tidak
terlalu penting karena PL sudah berlalu dan sudah digenapi oleh Perjanjian Baru (PB), atau
PB telah menjelaskan tentang pendidikan kekristenan.
Apabila kita mempelajari dengan baik, Yesus Kristus menggunakan PL dalam mengajar di
pelayanan-Nya (Mat.5:21-22; 22:39)? Para murid Yesus juga menggunakan PL dalam
pelayanan (pemberitaan Injil)? Ternyata PL menjadi hal penting dalam membangun konsep
dan pelaksanaan PAK. Pada topik ini, saya tidak menggunakan kata “PAK dalam Perjanjian
Lama”, tetapi saya lebih menggunakan kata “PL dalam PAK”. Ya, karena bukan PAK yang
ada dalam Perjanjian Lama, tetapi Perjanjian Lama-lah yang ada dalam PAK. Dengan kata
lain, hal yang hendak dimaksudkan adalah PL digunakan dalam membangun dan membentuk
PAK. Tentunya hal ini dilandasi bahwa PAK lahir setelah PL, walaupun dalam perspektif
lain diungkapkan bahwa kekristenan sudah ada dalam PL. Michelle Anthony mengomentari
pentingnya dasar Alkitab dalam pendidikan anak karena Allah berkehendak menyediakan
petunjuk tentang bagaimana memperhatikan serta memelihara anak. Baik Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru memberikan penjelasan mengenai perhatian terhadap kebutuhan
fisik, emosi maupun kerohanian anak.
A. Bangsa Yahudi
Bangsa yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit tapi menyebar ke seluruh dunia, menyebar
tapi kemurniannya terjaga, kadang tidak bertanah air dan tak punya raja, tapi selalu menonjol
dan memberi pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya, tapi bertahan bahkan berkelimpahan.
Bangsa yang memiliki identitas yang kuat.
B. Agama Yahudi
Penganut agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan kepada Hukum Agama agar
dijalankan dengan penuh ketekunan. Kemurnian pengajarannya dijaga dari generasi ke
generasi berikutnya untuk memberi dasar yang teguh bagi setiap tingkah laku dan tindakan.
Hukum agama sering diaplikasikan secara harafiah.
C. Budaya Yahudi
Yang paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada pendidikan.
Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam budaya Yahudi. Semua
bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana mereka mendidik generasi muda,
yang kelak akan memberi pengaruh yang besar. Obyek utama dalam pendidikan mereka
adalah mempelajari Hukum Taurat.
Bagi orang Israel, pendidikan -- khususnya pendidikan rohani -- merupakan bagian integral
dari perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Ulangan 6:4 memuat "Shema", yaitu doa yang
diucapkan dua kali sehari, setiap pagi dan petang dalam ibadah di sinagoge. Ayat ini amat
penting karena merupakan pengakuan iman yang sangat tegas akan Tuhan (Yahweh) sebagai
satu-satunya Allah yang layak disembah:
"Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ulangan 6:4)
Pernyataan ini kemudian langsung dilanjutkan dengan perintah rangkap untuk mengasihi
Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan mereka (ayat 5), menaruh perintah itu dalam
hati (ayat 6), mengajarkannya kepada anak-anak mereka secara berulang-ulang (ayat 7),
mengikatkannya sebagai tanda pada tangan dan dahi (ayat 8), dan menuliskannya di pintu
rumah dan gerbang (ayat 9).
Orang Israel menafsirkan perintah-perintah tersebut secara harafiah dengan membuat "tali
sembahyang" yang diikatkan di dahi atau lengan dan berisi empat naskah, salah satunya
adalah Ulangan 6:4-9 di atas. Ketiga naskah lainnya diambil dari Keluaran 13:1-10, Keluaran
13:11-16, dan Ulangan 11:18-21. Di dalam keempat naskah tersebut, kewajiban untuk
mengajarkan hukum dan pengetahuan tentang Allah kepada anak-anak mendapat penekanan
yang besar. Hal ini menunjukkan besarnya hubungan antara pendidikan rohani dalam rumah
tangga dengan ketaatan kepada Allah.
Era modern mengubah cara pandang para pendidik Kristen dalam mendidik anak. Toleransi
tinggi dan keleluasaan tidak terbatas cenderung menjadi gaya pendidikan saat ini. Sebenarnya
justru dalam era modern sekarang, pendidik Kristen harus menerapkan beberapa prinsip
dalam Perjanjian Lama yang lebih disiplin dalam hal pendidikan anak.
1. Tanggung jawab pendidikan Kristen pertama-tama dan terutama terletak pada orang tua,
yaitu ayah dan ibu (Amsal 1:8). Banyak keluarga Kristen masa kini yang menyerahkan
pendidikan rohani anak mereka sepenuhnya pada gereja atau sekolah minggu. Mereka
beranggapan bahwa gereja atau sekolah minggu tentunya memiliki "staf profesional" yang
lebih handal dalam menangani pendidikan rohani anak mereka. Namun, mereka lupa bahwa
lama waktu perjumpaan antara anak mereka dengan pendeta, pastor, gembala, guru sekolah
minggu, atau pembimbing rohani anak yang hanya beberapa jam dalam seminggu, yang
tentunya terlalu singkat untuk mengajarkan betapa luas dan dalamnya pengetahuan tentang
Allah. Satu hal lain yang terpenting adalah Allah sendiri telah meletakkan tugas untuk
merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak ke dalam tangan orang tua. Merekalah yang
harus mempersiapkan anak-anak mereka agar hidup berkenan kepada Allah. Gereja dan
sekolah minggu hanya membantu dalam proses pendidikan tersebut.
2. Tujuan utama pendidikan Kristen adalah untuk mengajar anak-anak takut akan Tuhan,
hidup menurut jalan-Nya, mengasihi-Nya, dan melayani-Nya dengan segenap hati dan jiwa
mereka (Ulangan 10:12). Berlainan dengan pendidikan oleh dunia yang bertujuan untuk
menciptakan generasi muda yang penuh ambisi untuk sukses, mandiri, dan percaya pada
kekuatan diri sendiri, pendidikan Kristen mendidik anak-anak untuk memiliki sikap
mementingkan Tuhan di atas segala-galanya, taat pada Tuhan, dan bergantung pada kekuatan
Tuhan untuk terus berkarya. Nilai-nilai yang penting dalam pendidikan Kristen adalah kasih,
ketaatan, kerendahan hati, dan kesediaan untuk ditegur.
3. Orang tua yang baik mendidik anaknya dengan teguran dan hajaran dalam kasih (Amsal
6:23). Ada teori pendidikan modern yang menyarankan agar orang tua jangan pernah
menyakiti anak-anak mereka, baik secara fisik maupun secara verbal, atau melalui kata-kata
karena hal tersebut dapat menimbulkan kebencian dan dendam pada orang tua dalam diri
anak-anak. Teori ini menganjurkan orang tua untuk membangun anak-anaknya hanya melalui
pujian dan dorongan. Hal ini bertentangan dengan kebenaran Alkitab yang mengatakan
bahwa teguran dan hajaran juga dapat mendidik anak sama efektifnya dengan pujian dan
dorongan, selama semuanya dilakukan dalam kasih.
4. Pendidikan Kristen harus dilakukan secara terus-menerus melalui kata-kata, sikap, dan
perbuatan (Ulangan 6:7). Kata bahasa Ibrani yang dipakai dalam ayat ini adalah
"shinnantam", yang berasal dari akar kata "shanan" yang berarti mengasah atau menajamkan,
biasanya pedang atau anak panah. Kata ini dipakai sebagai simbol untuk menggambarkan
kegiatan yang dilakukan berulang-ulang seperti orang mengasah sesuatu dengan tujuan untuk
menajamkannya. Orang tua tidak dapat hanya mengandalkan khotbah atau pelajaran Alkitab
setiap hari Minggu untuk memberi "makanan rohani" bagi anak-anak mereka. Orang tua
harus secara rutin dan dalam segala kesempatan menyampaikan kebenaran firman Tuhan
kepada anak-anak mereka. Lebih jauh lagi, orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi
anak-anak mereka, bukan hanya melalui perkataan, tapi juga perbuatan.
Tanggung jawab pendidikan Kristen memang bukan tugas yang mudah, baik bagi bangsa
Israel pada zaman Perjanjian Lama maupun bagi kita pada zaman sekarang. Setiap zaman
memiliki kesulitan dan pergumulan masing-masing, namun prinsip-prinsip dasar pendidikan
Kristen yang Alkitabiah tetap bertahan di tengah berbagai teori pendidikan baru yang
muncul. Jika orang Israel menafsirkan Keluaran 13:9 atau Ulangan 6:8 secara harafiah
dengan mengikatkan tali sembahyang pada lengan dan dahi mereka,
"Hal itu bagimu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi peringatan di dahimu,
supaya hukum TUHAN ada di bibirmu;" (Keluaran 13:9a)
maka saat ini kita yang sudah mengerti makna sesungguhnya dari perintah ini harus
senantiasa merenungkannya dalam pemikiran kita, mengatakannya setiap hari, dan
melakukannya dengan segenap kemampuan tangan kita.
Pendidikan adalah pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh pendidik dan orangtua untuk
menemukan dan memberdayakan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Untuk itu, upaya-
upaya yang perlu dilaksanakan adalah:
1. Pemulihan para pendidik (orangtua dan guru). Hal ini diperlukan karena orangtua atau
guru yang melakukan kekerasan terhadap anak, kemungkinan besar ia pun mengalami
kekerasan pada masa kanak-kanaknya.
2. Jangan mendisiplinkan didik pada saat sedang marah, sibuk, stress, tegang, atau
bermasalah dengan hal-hal yang lain, karena dapat berakibat fatal bagi anak.
3. Orangtua dan guru harus menyadari bahwa mereka dipanggil oleh untuk melayani melalui
perhatian, pengajaran dan keteladanan yang diberikan kepada anak.
4. Kerja sama dengan organisasi-organisasi non-gereja untuk membekali guru dan orangtua
agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.
5. Penginjilan dan pembimbingan rohani yang dilaksanakan oleh sekolah kepada murid dan
guru.
6. Pelaksanaan peraturan.
a. Peraturan yang dimiliki oleh sekolah harus dijelaskan kepada orangtua dan siswa ketika
siswa baru memasuki sekolah.
b. Disiplin dilaksanakan secara konsisten berdasarkan keteladanan dan peraturan yang jelas.
c. Sanksi diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran, tingkat perkembangan anak secara
psikologis, daya tahan fisik anak, kesanggupan anak untuk menerimanya, dan tujuan dari
pemberian sanksi.
d. Memperhatikan penampilan/cara berpakaian dan model pakaian yang digunaka sebagai
seragam.
7. Proses belajar mengajar.
a. Menumbuhkan niat belajar anak dengan cara memotivasi dan memberikan semangat
kepada anak.
b. Menjalin rasa simpati/empati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian
social, toleransi, dan saling menghargai antara guru dan murid serta antara murid dengan
murid.
c. Menciptakan suasana riang, tanpa ada tekanan.
d. Memberikan motivasi untuk bangkit apabila anak mengalami kegagalan.
e. Mengembangkan rasa saling memiliki untuk membentuk kebersamaan, kesatuan,
kesepakatan, dan dukungan belajar.
f. Menujukkan teladan yang baik.
Sumber:
Penulis mengenal jubilaris sebagai sosok pelayan yang memiliki pola pikir produktip dan
progressif. Beliau memiliki pengalaman pelayanan yang matang baik di dalam maupun di
luar negeri yang turut memampukan beliau dalam pelayanan masa kini sekaligus juga
mempersiapkan pelayanan untuk kepentingan masa depan. Kiranya tidak berlebihan apabila
penulis juga telah menyaksian bahwa jubilaris adalah salah satu pendeta senior yang selalu
punya keinginan untuk menghancurkan tembok pemisah yang sering membatasi komunikasi
antara pelayan senior dan junior.
Dari keramahan dan keluwesan beliau bergaul dengan para pelayan muda maka tidak salah
apabila dikatakan bahwa beliau sangat konsisten untuk membangun kerjasama yang baik
dengan para pelayan yang lebih muda. Dalam hal ini, penulis selalu ingat dengan kalimat
singkat yang pernah beliau utarakan dalam bahasa Batak kepada penulis dan rekan pelayan
muda lainnya, “ molo hupasobok diringku tu hamu unang ma nian rajumi hamu sarupa hamu
dohot ahu”.
Secara jujur harus diakui, ketika para pelayan senior mau mendekatkan diri bahkan
menyesuaikan diri kepada pelayan muda saat itu para pelayan muda semakin kurang
menghargai seniornya sebagaimana layaknya. Namun, juga tidak dapat dipungkiri banyak
pelayan junior yang menghormati seniornya justru mendapat perlakuan kurang wajar.
Akan tetapi, jubilaris menurut penulis punya kemampuan membangun hubungan kerja sama
yang leih harmonis dengan juniornya karena keakraban dan komunikasi beliau tidak terlalu
formal. Di samping itu, jubilaris tidak jarang melakukan pendekatan kultural kepada rekan
sekerjanya yakni sistim kekerabatan ‘dalihan na tolu’.
Semoga ke depan, dalam usia yang lebih lanjut, kiranya jubilaris tetap teguh dan kokoh serta
lebih energik untuk menunaikan tugas dan pelayanannya sebagai hamba Tuhan.
Dalam rangka memeriahkan 25 tahun kependetaan sang Jubilaris, dengan senang hati dan
rasa syukur kepad Tuhan, penulis menyumbangkan tulisan ini, walau dalam waktu yang
sangat singkat. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi pembaca.
1. Pendahuluan
Koinonia, marturia dan diakonia merupakan tri tugas panggilan gereja yang tidak terpisahkan
satu dengan yang lain. Ketiga tugas ini punya korelasi interdependensi antara yang satu
dengan yang lain. Hal ini dapat dikatakan karena diakonia sendiri adalah pelayanan.
Koinonia sebagai persekutuan akan hidup survive,jika terjadi saling melayani di tengah-
tengah persekutuan itu.
Demikian juga halnya marturia, merupakan pelayanan pewartaan kerajaan Allah melalui Injil
sebagai khabar keselamatan yang diberitakan ke dalam persekutuan secara sentripetal
maupun ke luar persekutuan itu secara sentripugal.
Dan diakonia itu menjdai tindakan nyata sebagai pengimplementasian dari pewartaan Injil
melalui berbagai aksi sosial; sosial politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, pelayanan
diakonia sebenarnya sangatlah luas dan didalamnya terdapat beberapa metode pelayanan
diakonia yang bervariasi.
Melihat betapa luasnya cakupan pelayanan diakonia, penulis membatasi tulisan ini khusus
melihat PERANAN GEREJA YANG DIAKONAL DALAM PENANGANAN HIV/AIDS
dengan mengingat HIV/AIDS sudah merupakan permasalahan dunia dan butuh penanganan
yang sungguh-sungguh dari semua pihak.
Dari berbagai bentuk pelayanan diakonia saat ini dikenal (karitatif, reformatif dan
transformatif). Penulis membahas peranan gereja yang diakonal dengan bentuk pelayanan
transformatif dengan tindakan preventif dan protektif baik melalui pelayanan pastoral
maupun juru kampanye, dalam hal ini melalui khotbah, PA, sermon dan lain-lain.
Bentuk pelayanan transformatif merupakan bentuk pelayanan jangka panjang dengan
mengesampingkan sikap ketergantungan dari orang yang dilayani kepada pelayan sekaligus
konsisten dengan pemandirian orang yang dilayani.
Bentuk pelayanan seperti ini juga tidak menempatkan orang yang dilayani sebagai objek
melainkan memposisikannya sebagai mitra kerja. Memberdayakan orang yang dilayani bukan
saja untuk mampu melepaskan diri dari permasalahan yang ia hadapi tetapi lebih dari itu,
pada akhirnya mampu melayani orang lain.
Demikianlah ODHA/OHIDA (Orang Dengan HIV/AIDS atau Orang Dengan AIDS) pada
akhirnya mampu melayani bersama gereja atau di dalam gereja untuk melakukan pelayanan
preventif maupun protektif kepada yang belum terinfeksi virus HIV maupun yang sudah.
HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan saja, melainkan telah jadi masalah kemanusiaan
di seluruh dunia, bahkan sudah jadi sebuah epidemi yang pertumbuhannya sangat pesat ibarat
sarang labalaba. Lebih berbahaya lagi perkembangannya ibarat belut dalam lumpur, sangat
sulit dideteksi.
Oleh karena itu, semua pihak sangat diharapkan turut berpartisipasi aktip dalam penanganan
HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obat yang ampuh untuk mengatasinya. Di
samping lembaga pemerintah maupun rumah sakit, selama ini berbagai LSM sudah
berpartisipasi aktip dalam penanganan HIV/AIDS. Namun kita masih merasakan adanya
sikap kekakuan bahkan kepasifan daripada Gereja untuk terlibat langsung dalam penanganan
HIV/AIDS.
Gereja cenderung menyuarakan penanganan HIV/AIDS dalam tingkat oral pada berbagai
seminar maupun rapat yang diadakan namun belum sampai kepada aksi nyata. Gereja telah
menyuarakan bahaya HIV/AIDS, namun barangkali masih pada tingkat kognitif atau
mungkin afektif, belum sampai pada tingkat psikomotoris.
Untuk itu, sudah waktunya Gereja membuka mata dan secara aktip membangun pelayanan
diakonal dalam penanganan HIV/AIDS. Gereja dirasa perlu bahkan sudah mendesak untuk
segera memberdayakan warga dan pelayan untuk peka dan proaktip menangani masalah
kemanusiaan tersebut.
Untuk itu, Komite HIV/AIDS yang telah dibentuk HKBP merupakan langkah positip dan
konstruktip untuk melakukan penanganan terhadap HIV/AIDS. Namun sebagaimana telah
ditegaskan bahwa HIV/AIDS adalah tanggung jawab bersama dari setiap lapisan warga
gereja maupun masyarakat. Namun sebelumnya perlu dipahami dasar-dasar teologi diakonia
yang menjadi landasan pelayanan gereja terhadap ODHA dan OHIDA.
Secara etimologi, diakonia berasal dari kata ‘deacon’ yang diterjemahkan menjadi pelayan,
hamba, pelayanan dan melayani. Kata ’deacon’ ditemukan sebanyak seratus kali dalm kitab
Perjanjian Baru. Hal ini menunjukkan kata ‘deacon’ itu merupakan kata yang sangat populer,
penting dan punya makna khusus dalam karya penyelamatan Yesus sendiri.
Pada dasarnya, ‘deacon’ itu merupakan hamba. Bahkan sebelum zaman Perjanjian Baru juga
dalam dunia Hellenistik tahun 330-37 BC, istilah hamba sudah dikenal sebagai pelayan
dalam kegiatan kultus di tempat ibadah orang-orang Yunani.
Dari kata ‘deacon’ kita mengenal istilah ‘diaconos’ yakni pelayan. Paulus sebagai pemberita
Injil juga menyebut diri dan rekannya Epafras sebagai pelayan (Kol 1:7,23,25). Itu berarti
bahwa pemberitaan injil oleh Paulus yang dapat dikategorikan ke dalam istilah ‘marturia’
merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari diakonia karena orang yang memberitakan
Injil juga adalah pelayan.
Demikian juga halnya ketika Yesus makan bersama dengan para muridNya, dimana pada saat
itu ada dari antara muridNya bertengkar memperdebatkan siapa dari antara mereka yang
terbesar. Yesus justru menegaskan bahwa yang terbesar adalah pelayan. Yesus selanjutnya
menyebutkan bahwa diriNya sendirilah pelayan itu (Luk 22:26f).
Hal ini dikatakan oleh Yesus dalam konteks makan bersama yang didasari oleh persekutuan
atau koinonia yang di dalamnya terjadi proses saling melayani. Dengan demikian diakonia
juta merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari koinonia.
Walaupun demikian istilah ‘diaconos’ juga dipergunakan untuk suatu jabatan gerejawi (Flp
1:1) dimana selain penilik jemaat juga ada diaken. Disamping itu pelayanan bukan hanya
karena jabatan tetapi karena karunia Roh (Rom 12:7).
Selanjutnya Rasul Paulus memberikan persyaratan untuk menjadi diaken (1 Tim 3:8ff) yang
intinya bahwa rahasia iman harus tetap tersimpan dan terpelihara di dalam hati.
Itu artinya bahwa segala tugas pelayanan para diaken tidak boleh dilakukan tanpa iman yang
benar. Pelayanan itu sendiri harus dimulai dari diri sendiri maupun keluarga sebagai lembaga
terkecil di tengahtengah masyarakat.
Pelayanan.
Pelayanan yang lebih agung dan mulia mengacu kepada pelayanan Kristus (Ibr 8:6).
Pelayanan Yesus sekaligus menyempurnakan pelayanan para nabi dimana pelayanan itu
adalah penyangkalan diri sehingga pelayanan itu adalah untuk orang lain. Dalam pemahaman
seperti itulah Yesus berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak
orang” (Mrk 10:45). Melakukan pelayanan terhadap orang lain itu berarti melakukan
pelayanan kepada Kriatus sendiri (Mat 25:44). Itu makanya Kristus menekankan pelayanan
kepada orang lain terutama kepada orang-orang yang paling hina karena pelayanan seperti
itu adalah pelayanan kapada Dia.
Pelayanan para rasul dan para pelayan lainnya merupakan pelayanan yang diterima dari
Tuhan maupun yang diterima melalui gereja sehingga ‘harus dijalankan sepenuhnya’ (Kol
4:17; Rom 12:7; 1Tim 3:8ff). Lebih luas lagi bahwa pelayanan itu merupakan tugas dan
danggungjawab imamat am orang-orang percaya (1Pet 2:9) sehingga dalam implementasinya
perlu pemberdayaan warga jemaat untuk saling melayani dan untuk melayani orang lain di
luar jemaat itu sendiri karena sasaran pelayanan itu adalah masyarakat universal (Roma
15:16). Melayani sesama orang-orang percaya merupakan titik berangkat untuk melayani
masyarakat yang lebih luas. Itu makanya Rasul Paulus menekankan pentingnya pelayanan
yang berkualitas di dalam kasih kepada sesama seiman (Gal 6:10).
Bagi Yesus, tidak ada orang yang tidak berdosa. Hal ini ia katakan dimana orangorang
Yahudi secara khusus kaum elitis di dalamnya mengklaim dirinya sebagai orang orang yang
benar karena melaksanakan hukum taurat disisi lain menghakimi para pemungut cukai
sebagai orang-orang berdosa. Dalam hal ini Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk orang
benar, melainkan untuk orang berdosa” (Mrk 2:17). Pernyataan Yesus ini perlu direvitalisasi
dalam kehidupan gereja sekaligus ditransformasikan dalam kehidupan masa kini terutama
dalam pelayanan ODHA/OHIDA yang selama ini sering didiskriminasikan. ODHA/OHIDA
hendaknya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan pelayanan diakonal gereja pada
masa kini dn yang akan datang.
Gereja sebagai tubuh Kristus telah hadir di tengahtengah dunia ini untuk melaksanakan tri
tugas panggilannya yaitu koinonia, marturia, dan diakonia. Gereja diharapkan untuk
melaksanakan ketiga tugas ini dalam penanganan HIV/AIDS, dimana gereja harus
membangun suatu prsekutuan kasih, mewartakan kasih dan melayankan kasih kepada
ODHA/OHIDA. Untuk itu Gereja punya posisi dan peranan yang sangat strategis untuk turut
ambil bagian dalam penanganan masalah HIV/AIDS.
Sementara fungsi preventip akan lebih diarahkan kepada masyarakat yang belum terinfeksi
virus HIV terutama bagi mereka yang berpeluang besar akan terserang dilihat dari segi
tingkahlakunya misalnya para pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik dan para
pelaku seks bebas. Untuk itu, ODHA/OHIDA merupakan mitra kerja gereja yang sangat
efektip untuk melakukan tindakan pencegahan penularan virus HIv. Untuk itu, pemahaman
bahwa konselor adalah setara dengan ODHA/OHIDA amatlah penting. Dengan demiikian,
gereja maupun para konselor akan mampu membangun “sharing” dan berdiskusi secara
“konfidensial” artinya konselor tidak memberitahukan rahasia pembicaraan tanpa seizin
ODHA/OHIDA. Rasa kebersamaan atau “partnership” akan memperkuat rasa saling
mempercayai antara kedua belah pihak. Rasa saling percaya akan memotivasi para penderita
untuk lebih terbuka dan jujur dan pada akhirnya melalui pastoral konseling, para penderita
akan menjadi mitra gereja dalam penanganan HIV/AIDS. Lambang-lambang HIV/AIDS
seperti tengkorak yang sangat menakutkan dan menggambarkan maut sangatlah kurang baik
karena berpengaruh negatip terhadap kejiwaan si pederita. ODHA/OHIDA perlu
diberdayakan menjadi juru kampanye, bahkan sebagai tenaga konselor yang didampingi oleh
pelayan gereja dalam rangka tindakan preventip maupun protektip. Tindakan preventip dapat
dilakukan selualuasnya baik melalui pembinaan terhadap warga gereja (pemuda, kaum bapa,
kaum ibu dll) melalui ibadah, khotbah, selebaran dll.
Semua bangsa, seluruh dunia, dimana ODHA/OHIDA turut di dalamnya pada akhirnya
menjadi landasan pendaratan Firman Tuhan. ODHA/OHIDA tidak boleh dipisahkan atau
dibedabedakan hanya karena latarbelakang bangsa, etnis, budaya bahkan agama yang
berbeda. Mereka berhak memperoleh perlakuan secara manusiawi. Untuk itu, sikap
primordialisme dan nepotisme tidak dibutuhkan dalam proses pelayanan pastoral terhadap
ODHA/OHIDA.
Kita tahu bahwa HIV/AIDS lebih banyak ditimbulkan oleh tindakan kejahatan seperti
kejahatan seksual dan penggunaan narkoba melalui jaruum suntik. Namun Gereja harus
mampu membedakan dan memisahkan kejahatan dari orang jahat, dimana orang jahat
sebenarnya tidak identik dengan kejahatan. Sebagaimana seorang dokter harus mampu
memisahkan penyakit dari orang sakit. Seorang dokter tidak pernah berniat membunuh orang
sakit tetapi justru ingin mematikan penyakit agar si penderita memperoleh kesembuhan.
Karena itu, seorang dokter mutlak mengasihi orang sakit sekigus membenci penyakit yang
mengakibatkan penderitaan itu sendiri.
Seorang konselor yang benarbenar dilandasi oleh kasih harus menunjukkan sikap sabar, tidak
mudah putus asa. Dia harus dengan sabar membongkar latarbelakang penularan virus HIV
kepada para korban. Tentu saja butuh waktu yang relatif lama, karena penderita harus
diyakinkan terlebih dahullu sehingga ia tidak merasa malu untuk mengungkapkannya. Murah
hati merupakan penampakan kasih dari konselor yang bersedia memberikan pelayanan
dengan segenap hati dan hidupnya. Tentu saja murah hati tidak boleh diukur dari pemberian
material tetapi diukur dari kerelaan untuk mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran untuk
selalu setia mendampingi penderita di dalam pergumulan hidupnya. Tidak memegahkan diri
berarti gereja maupun konselor tidak menempatkan diri lebih tinggi dari para penderita
HIV/AIDS. Sebaliknya justru harus merendahkan diri dan menghayati bahwa setiap
manusia mempunyai standard yang sama di hadapan Tuhan sebagaimana dalam teologia
penciptaan dimana bahwa manusia itu ialah “imago dei”. Namun karena kelemahan manusia
itu atas godaan sang iblis, semua manusia telah jatuh ke dalam dosa tanpa terkecuali. Oleh
karena itu, semua manusia telah berdosa dan harus diselamatkan. Pihak Gereja atau konselor
tidak berhak membenarkan diri sebagai orang kudus sekaligus menghakimi penderita
HIV/AIDS sebagai orang-orang berdosa dan jahat. Kemudian sikap tidak pemarah tidak
terpisahkan dari tidak memegahkan diri. Sikap marah terhadap ODHA/OHIDA karena
perbuatannya tidak akan menolong mereka, tetapi justru akan menjerumuskan mereka kepada
kehidupan yang lebih isolatif (lebih suka mengurung dirisendiri). Untuk itu Gereja harus
berusaha menumbuhkan sikap percaya diri bahwa mereka dapat diterima di tengahtengah
gereja dan masyarakat sebagai orang yang patut dilayani secara wajar. Sikap tidak
menyimpan kesalahan orang lain amatlah penting dalam pelayanan pastoral konseling ini.
Dimana kesalahan mereka tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyalahkan dan
menghakimi. Tetapi mereka harus diberdayakan untuk menempuh jalan hidup yang lebih
baik bahkan menjadi mitra gereja untuk menghempang penyebaran virus HIV/AIDS. Kasih
itu tidak berkesudahan adalah dasar yang paling utama sebagaimana kasih Allah juga tidak
pernah berkesudahan. Gereja dan konselor harus merevitalisasi peranan kasih sehingga gereja
dan konselor tidak akan pernah merasa jenuh dan bosan, tetapi selalu segar dalam pelayanan
pastoral kepada ODHA/OHIDA sekalipun pelayanan tersebut bukan tanpa masalah.
4.Penutup
Reposisi dan revitalisasi peranan gereja adalah hal yang sangat mendesak melihat
permasalahan sosil disekitarnya yang semakin rumit yang disadari atau tidak asti punya
dampak destruktif kepada kehidupan gereja itu sendiri. Selain itu pelayananan sebagaimana
telah diuraikan di atas juga adalah pelayanan yang diterima dari Tuhan Raja Gereja yang
tidak hanya mementingkan bentuk-bentuk pelayanan formal dan rutin. Kiranya gereja juga
memberdayakan para pelayannya maupun warganya untuk tidak hanya menjalankan
pelayanan internal tetapi juga menjalankan pelayanan kepada yang lain (Paul Knitter, Satu
Bumi Banyak Agama) yakni yang lain yang religius dan yang lain yang menderita khususnya
saudara-saudara kita yang kekasih, ODHA/OHIDA. Inklusivitas pelayanan gereja seperti ini
merupakan suatu rekonstruksi pelayanan Yesus pada dunia masa kini sebagai salah satu
bagian kecil dari perwujudan visi sang Raja Gereja yakni keselamatan dunia. (Penulis:Pdt.
E.R. Siahaan, S.Th. Dpk Rakom Diakoni FM)
•
• Artikel
• dibaca 514x
• [0] komentar
•
• 1
• 2
• 3
• 4
• 5
•
•
•
•
•
•
Kode Keamanan*
Kirim
• Terbaru
• Terpopuler
Berita Foto
Rekrutmen CPNS, KLU Tetapakan UI sebagai Penyelengara
• 10 Komentar Terbaru
• Siapa Kami
• Peta
• Umpan Balik
• Tanya-Jawab
• © SuaraKomunitas 2010
Pengantar
Selamat ulang tahun ke 25 kependetaan bapak Pdt. W.P. Tampubolon, Sth. Penulis turut
merasakan kebahagiaan jubilaris dan mensyukuri segala berkat Tuhan yang beliau terima
selama kurun waktu 25 tahun silam dalam proses pelayanan Gereja Tuhan.
Penulis mengenal jubilaris sebagai sosok pelayan yang memiliki pola pikir produktip dan
progressif. Beliau memiliki pengalaman pelayanan yang matang baik di dalam maupun di
luar negeri yang turut memampukan beliau dalam pelayanan masa kini sekaligus juga
mempersiapkan pelayanan untuk kepentingan masa depan. Kiranya tidak berlebihan apabila
penulis juga telah menyaksian bahwa jubilaris adalah salah satu pendeta senior yang selalu
punya keinginan untuk menghancurkan tembok pemisah yang sering membatasi komunikasi
antara pelayan senior dan junior.
Dari keramahan dan keluwesan beliau bergaul dengan para pelayan muda maka tidak salah
apabila dikatakan bahwa beliau sangat konsisten untuk membangun kerjasama yang baik
dengan para pelayan yang lebih muda. Dalam hal ini, penulis selalu ingat dengan kalimat
singkat yang pernah beliau utarakan dalam bahasa Batak kepada penulis dan rekan pelayan
muda lainnya, “ molo hupasobok diringku tu hamu unang ma nian rajumi hamu sarupa hamu
dohot ahu”.
Secara jujur harus diakui, ketika para pelayan senior mau mendekatkan diri bahkan
menyesuaikan diri kepada pelayan muda saat itu para pelayan muda semakin kurang
menghargai seniornya sebagaimana layaknya. Namun, juga tidak dapat dipungkiri banyak
pelayan junior yang menghormati seniornya justru mendapat perlakuan kurang wajar.
Akan tetapi, jubilaris menurut penulis punya kemampuan membangun hubungan kerja sama
yang leih harmonis dengan juniornya karena keakraban dan komunikasi beliau tidak terlalu
formal. Di samping itu, jubilaris tidak jarang melakukan pendekatan kultural kepada rekan
sekerjanya yakni sistim kekerabatan ‘dalihan na tolu’.
Semoga ke depan, dalam usia yang lebih lanjut, kiranya jubilaris tetap teguh dan kokoh serta
lebih energik untuk menunaikan tugas dan pelayanannya sebagai hamba Tuhan.
Dalam rangka memeriahkan 25 tahun kependetaan sang Jubilaris, dengan senang hati dan
rasa syukur kepad Tuhan, penulis menyumbangkan tulisan ini, walau dalam waktu yang
sangat singkat. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi pembaca.
1. Pendahuluan
Koinonia, marturia dan diakonia merupakan tri tugas panggilan gereja yang tidak terpisahkan
satu dengan yang lain. Ketiga tugas ini punya korelasi interdependensi antara yang satu
dengan yang lain. Hal ini dapat dikatakan karena diakonia sendiri adalah pelayanan.
Koinonia sebagai persekutuan akan hidup survive,jika terjadi saling melayani di tengah-
tengah persekutuan itu.
Demikian juga halnya marturia, merupakan pelayanan pewartaan kerajaan Allah melalui Injil
sebagai khabar keselamatan yang diberitakan ke dalam persekutuan secara sentripetal
maupun ke luar persekutuan itu secara sentripugal.
Dan diakonia itu menjdai tindakan nyata sebagai pengimplementasian dari pewartaan Injil
melalui berbagai aksi sosial; sosial politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, pelayanan
diakonia sebenarnya sangatlah luas dan didalamnya terdapat beberapa metode pelayanan
diakonia yang bervariasi.
Melihat betapa luasnya cakupan pelayanan diakonia, penulis membatasi tulisan ini khusus
melihat PERANAN GEREJA YANG DIAKONAL DALAM PENANGANAN HIV/AIDS
dengan mengingat HIV/AIDS sudah merupakan permasalahan dunia dan butuh penanganan
yang sungguh-sungguh dari semua pihak.
Dari berbagai bentuk pelayanan diakonia saat ini dikenal (karitatif, reformatif dan
transformatif). Penulis membahas peranan gereja yang diakonal dengan bentuk pelayanan
transformatif dengan tindakan preventif dan protektif baik melalui pelayanan pastoral
maupun juru kampanye, dalam hal ini melalui khotbah, PA, sermon dan lain-lain.
Bentuk pelayanan transformatif merupakan bentuk pelayanan jangka panjang dengan
mengesampingkan sikap ketergantungan dari orang yang dilayani kepada pelayan sekaligus
konsisten dengan pemandirian orang yang dilayani.
Bentuk pelayanan seperti ini juga tidak menempatkan orang yang dilayani sebagai objek
melainkan memposisikannya sebagai mitra kerja. Memberdayakan orang yang dilayani bukan
saja untuk mampu melepaskan diri dari permasalahan yang ia hadapi tetapi lebih dari itu,
pada akhirnya mampu melayani orang lain.
Demikianlah ODHA/OHIDA (Orang Dengan HIV/AIDS atau Orang Dengan AIDS) pada
akhirnya mampu melayani bersama gereja atau di dalam gereja untuk melakukan pelayanan
preventif maupun protektif kepada yang belum terinfeksi virus HIV maupun yang sudah.
HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan saja, melainkan telah jadi masalah kemanusiaan
di seluruh dunia, bahkan sudah jadi sebuah epidemi yang pertumbuhannya sangat pesat ibarat
sarang labalaba. Lebih berbahaya lagi perkembangannya ibarat belut dalam lumpur, sangat
sulit dideteksi.
Oleh karena itu, semua pihak sangat diharapkan turut berpartisipasi aktip dalam penanganan
HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obat yang ampuh untuk mengatasinya. Di
samping lembaga pemerintah maupun rumah sakit, selama ini berbagai LSM sudah
berpartisipasi aktip dalam penanganan HIV/AIDS. Namun kita masih merasakan adanya
sikap kekakuan bahkan kepasifan daripada Gereja untuk terlibat langsung dalam penanganan
HIV/AIDS.
Gereja cenderung menyuarakan penanganan HIV/AIDS dalam tingkat oral pada berbagai
seminar maupun rapat yang diadakan namun belum sampai kepada aksi nyata. Gereja telah
menyuarakan bahaya HIV/AIDS, namun barangkali masih pada tingkat kognitif atau
mungkin afektif, belum sampai pada tingkat psikomotoris.
Untuk itu, sudah waktunya Gereja membuka mata dan secara aktip membangun pelayanan
diakonal dalam penanganan HIV/AIDS. Gereja dirasa perlu bahkan sudah mendesak untuk
segera memberdayakan warga dan pelayan untuk peka dan proaktip menangani masalah
kemanusiaan tersebut.
Untuk itu, Komite HIV/AIDS yang telah dibentuk HKBP merupakan langkah positip dan
konstruktip untuk melakukan penanganan terhadap HIV/AIDS. Namun sebagaimana telah
ditegaskan bahwa HIV/AIDS adalah tanggung jawab bersama dari setiap lapisan warga
gereja maupun masyarakat. Namun sebelumnya perlu dipahami dasar-dasar teologi diakonia
yang menjadi landasan pelayanan gereja terhadap ODHA dan OHIDA.
Secara etimologi, diakonia berasal dari kata ‘deacon’ yang diterjemahkan menjadi pelayan,
hamba, pelayanan dan melayani. Kata ’deacon’ ditemukan sebanyak seratus kali dalm kitab
Perjanjian Baru. Hal ini menunjukkan kata ‘deacon’ itu merupakan kata yang sangat populer,
penting dan punya makna khusus dalam karya penyelamatan Yesus sendiri.
Pada dasarnya, ‘deacon’ itu merupakan hamba. Bahkan sebelum zaman Perjanjian Baru juga
dalam dunia Hellenistik tahun 330-37 BC, istilah hamba sudah dikenal sebagai pelayan
dalam kegiatan kultus di tempat ibadah orang-orang Yunani.
Dari kata ‘deacon’ kita mengenal istilah ‘diaconos’ yakni pelayan. Paulus sebagai pemberita
Injil juga menyebut diri dan rekannya Epafras sebagai pelayan (Kol 1:7,23,25). Itu berarti
bahwa pemberitaan injil oleh Paulus yang dapat dikategorikan ke dalam istilah ‘marturia’
merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari diakonia karena orang yang memberitakan
Injil juga adalah pelayan.
Demikian juga halnya ketika Yesus makan bersama dengan para muridNya, dimana pada saat
itu ada dari antara muridNya bertengkar memperdebatkan siapa dari antara mereka yang
terbesar. Yesus justru menegaskan bahwa yang terbesar adalah pelayan. Yesus selanjutnya
menyebutkan bahwa diriNya sendirilah pelayan itu (Luk 22:26f).
Hal ini dikatakan oleh Yesus dalam konteks makan bersama yang didasari oleh persekutuan
atau koinonia yang di dalamnya terjadi proses saling melayani. Dengan demikian diakonia
juta merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari koinonia.
Walaupun demikian istilah ‘diaconos’ juga dipergunakan untuk suatu jabatan gerejawi (Flp
1:1) dimana selain penilik jemaat juga ada diaken. Disamping itu pelayanan bukan hanya
karena jabatan tetapi karena karunia Roh (Rom 12:7).
Selanjutnya Rasul Paulus memberikan persyaratan untuk menjadi diaken (1 Tim 3:8ff) yang
intinya bahwa rahasia iman harus tetap tersimpan dan terpelihara di dalam hati.
Itu artinya bahwa segala tugas pelayanan para diaken tidak boleh dilakukan tanpa iman yang
benar. Pelayanan itu sendiri harus dimulai dari diri sendiri maupun keluarga sebagai lembaga
terkecil di tengahtengah masyarakat.
Pelayanan.
Pelayanan yang lebih agung dan mulia mengacu kepada pelayanan Kristus (Ibr 8:6).
Pelayanan Yesus sekaligus menyempurnakan pelayanan para nabi dimana pelayanan itu
adalah penyangkalan diri sehingga pelayanan itu adalah untuk orang lain. Dalam pemahaman
seperti itulah Yesus berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak
orang” (Mrk 10:45). Melakukan pelayanan terhadap orang lain itu berarti melakukan
pelayanan kepada Kriatus sendiri (Mat 25:44). Itu makanya Kristus menekankan pelayanan
kepada orang lain terutama kepada orang-orang yang paling hina karena pelayanan seperti
itu adalah pelayanan kapada Dia.
Pelayanan para rasul dan para pelayan lainnya merupakan pelayanan yang diterima dari
Tuhan maupun yang diterima melalui gereja sehingga ‘harus dijalankan sepenuhnya’ (Kol
4:17; Rom 12:7; 1Tim 3:8ff). Lebih luas lagi bahwa pelayanan itu merupakan tugas dan
danggungjawab imamat am orang-orang percaya (1Pet 2:9) sehingga dalam implementasinya
perlu pemberdayaan warga jemaat untuk saling melayani dan untuk melayani orang lain di
luar jemaat itu sendiri karena sasaran pelayanan itu adalah masyarakat universal (Roma
15:16). Melayani sesama orang-orang percaya merupakan titik berangkat untuk melayani
masyarakat yang lebih luas. Itu makanya Rasul Paulus menekankan pentingnya pelayanan
yang berkualitas di dalam kasih kepada sesama seiman (Gal 6:10).
Bagi Yesus, tidak ada orang yang tidak berdosa. Hal ini ia katakan dimana orangorang
Yahudi secara khusus kaum elitis di dalamnya mengklaim dirinya sebagai orang orang yang
benar karena melaksanakan hukum taurat disisi lain menghakimi para pemungut cukai
sebagai orang-orang berdosa. Dalam hal ini Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk orang
benar, melainkan untuk orang berdosa” (Mrk 2:17). Pernyataan Yesus ini perlu direvitalisasi
dalam kehidupan gereja sekaligus ditransformasikan dalam kehidupan masa kini terutama
dalam pelayanan ODHA/OHIDA yang selama ini sering didiskriminasikan. ODHA/OHIDA
hendaknya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan pelayanan diakonal gereja pada
masa kini dn yang akan datang.
Gereja sebagai tubuh Kristus telah hadir di tengahtengah dunia ini untuk melaksanakan tri
tugas panggilannya yaitu koinonia, marturia, dan diakonia. Gereja diharapkan untuk
melaksanakan ketiga tugas ini dalam penanganan HIV/AIDS, dimana gereja harus
membangun suatu prsekutuan kasih, mewartakan kasih dan melayankan kasih kepada
ODHA/OHIDA. Untuk itu Gereja punya posisi dan peranan yang sangat strategis untuk turut
ambil bagian dalam penanganan masalah HIV/AIDS.
Sementara fungsi preventip akan lebih diarahkan kepada masyarakat yang belum terinfeksi
virus HIV terutama bagi mereka yang berpeluang besar akan terserang dilihat dari segi
tingkahlakunya misalnya para pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik dan para
pelaku seks bebas. Untuk itu, ODHA/OHIDA merupakan mitra kerja gereja yang sangat
efektip untuk melakukan tindakan pencegahan penularan virus HIv. Untuk itu, pemahaman
bahwa konselor adalah setara dengan ODHA/OHIDA amatlah penting. Dengan demiikian,
gereja maupun para konselor akan mampu membangun “sharing” dan berdiskusi secara
“konfidensial” artinya konselor tidak memberitahukan rahasia pembicaraan tanpa seizin
ODHA/OHIDA. Rasa kebersamaan atau “partnership” akan memperkuat rasa saling
mempercayai antara kedua belah pihak. Rasa saling percaya akan memotivasi para penderita
untuk lebih terbuka dan jujur dan pada akhirnya melalui pastoral konseling, para penderita
akan menjadi mitra gereja dalam penanganan HIV/AIDS. Lambang-lambang HIV/AIDS
seperti tengkorak yang sangat menakutkan dan menggambarkan maut sangatlah kurang baik
karena berpengaruh negatip terhadap kejiwaan si pederita. ODHA/OHIDA perlu
diberdayakan menjadi juru kampanye, bahkan sebagai tenaga konselor yang didampingi oleh
pelayan gereja dalam rangka tindakan preventip maupun protektip. Tindakan preventip dapat
dilakukan selualuasnya baik melalui pembinaan terhadap warga gereja (pemuda, kaum bapa,
kaum ibu dll) melalui ibadah, khotbah, selebaran dll.
Semua bangsa, seluruh dunia, dimana ODHA/OHIDA turut di dalamnya pada akhirnya
menjadi landasan pendaratan Firman Tuhan. ODHA/OHIDA tidak boleh dipisahkan atau
dibedabedakan hanya karena latarbelakang bangsa, etnis, budaya bahkan agama yang
berbeda. Mereka berhak memperoleh perlakuan secara manusiawi. Untuk itu, sikap
primordialisme dan nepotisme tidak dibutuhkan dalam proses pelayanan pastoral terhadap
ODHA/OHIDA.
Kita tahu bahwa HIV/AIDS lebih banyak ditimbulkan oleh tindakan kejahatan seperti
kejahatan seksual dan penggunaan narkoba melalui jaruum suntik. Namun Gereja harus
mampu membedakan dan memisahkan kejahatan dari orang jahat, dimana orang jahat
sebenarnya tidak identik dengan kejahatan. Sebagaimana seorang dokter harus mampu
memisahkan penyakit dari orang sakit. Seorang dokter tidak pernah berniat membunuh orang
sakit tetapi justru ingin mematikan penyakit agar si penderita memperoleh kesembuhan.
Karena itu, seorang dokter mutlak mengasihi orang sakit sekigus membenci penyakit yang
mengakibatkan penderitaan itu sendiri.
Seorang konselor yang benarbenar dilandasi oleh kasih harus menunjukkan sikap sabar, tidak
mudah putus asa. Dia harus dengan sabar membongkar latarbelakang penularan virus HIV
kepada para korban. Tentu saja butuh waktu yang relatif lama, karena penderita harus
diyakinkan terlebih dahullu sehingga ia tidak merasa malu untuk mengungkapkannya. Murah
hati merupakan penampakan kasih dari konselor yang bersedia memberikan pelayanan
dengan segenap hati dan hidupnya. Tentu saja murah hati tidak boleh diukur dari pemberian
material tetapi diukur dari kerelaan untuk mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran untuk
selalu setia mendampingi penderita di dalam pergumulan hidupnya. Tidak memegahkan diri
berarti gereja maupun konselor tidak menempatkan diri lebih tinggi dari para penderita
HIV/AIDS. Sebaliknya justru harus merendahkan diri dan menghayati bahwa setiap
manusia mempunyai standard yang sama di hadapan Tuhan sebagaimana dalam teologia
penciptaan dimana bahwa manusia itu ialah “imago dei”. Namun karena kelemahan manusia
itu atas godaan sang iblis, semua manusia telah jatuh ke dalam dosa tanpa terkecuali. Oleh
karena itu, semua manusia telah berdosa dan harus diselamatkan. Pihak Gereja atau konselor
tidak berhak membenarkan diri sebagai orang kudus sekaligus menghakimi penderita
HIV/AIDS sebagai orang-orang berdosa dan jahat. Kemudian sikap tidak pemarah tidak
terpisahkan dari tidak memegahkan diri. Sikap marah terhadap ODHA/OHIDA karena
perbuatannya tidak akan menolong mereka, tetapi justru akan menjerumuskan mereka kepada
kehidupan yang lebih isolatif (lebih suka mengurung dirisendiri). Untuk itu Gereja harus
berusaha menumbuhkan sikap percaya diri bahwa mereka dapat diterima di tengahtengah
gereja dan masyarakat sebagai orang yang patut dilayani secara wajar. Sikap tidak
menyimpan kesalahan orang lain amatlah penting dalam pelayanan pastoral konseling ini.
Dimana kesalahan mereka tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyalahkan dan
menghakimi. Tetapi mereka harus diberdayakan untuk menempuh jalan hidup yang lebih
baik bahkan menjadi mitra gereja untuk menghempang penyebaran virus HIV/AIDS. Kasih
itu tidak berkesudahan adalah dasar yang paling utama sebagaimana kasih Allah juga tidak
pernah berkesudahan. Gereja dan konselor harus merevitalisasi peranan kasih sehingga gereja
dan konselor tidak akan pernah merasa jenuh dan bosan, tetapi selalu segar dalam pelayanan
pastoral kepada ODHA/OHIDA sekalipun pelayanan tersebut bukan tanpa masalah.
4.Penutup
Reposisi dan revitalisasi peranan gereja adalah hal yang sangat mendesak melihat
permasalahan sosil disekitarnya yang semakin rumit yang disadari atau tidak asti punya
dampak destruktif kepada kehidupan gereja itu sendiri. Selain itu pelayananan sebagaimana
telah diuraikan di atas juga adalah pelayanan yang diterima dari Tuhan Raja Gereja yang
tidak hanya mementingkan bentuk-bentuk pelayanan formal dan rutin. Kiranya gereja juga
memberdayakan para pelayannya maupun warganya untuk tidak hanya menjalankan
pelayanan internal tetapi juga menjalankan pelayanan kepada yang lain (Paul Knitter, Satu
Bumi Banyak Agama) yakni yang lain yang religius dan yang lain yang menderita khususnya
saudara-saudara kita yang kekasih, ODHA/OHIDA. Inklusivitas pelayanan gereja seperti ini
merupakan suatu rekonstruksi pelayanan Yesus pada dunia masa kini sebagai salah satu
bagian kecil dari perwujudan visi sang Raja Gereja yakni keselamatan dunia. (Penulis:Pdt.
E.R. Siahaan, S.Th. Dpk Rakom Diakoni FM)
Saudara/i ykk,
Banyak pertanyaan diajukan mengenai 'Apakah Allah Islam sama dengan Allah Kristen?'
dan argumentasi yang banyak dikemukakan adalah bahwa 'Allah Islam tidak sama dengan
Allah Kristen' alasannya 'Karena ajaran keduanya berbeda!'. Pandangan ini tercermin
dalam buku Dr. Robert Morey yang beredar bahkan dianut belakangan ini di kalangan
tertentu di Indonesia:
"Islam claims that Allah is the same God who was revealed in the Bible. This logically
implies in the positive sense that the concept of God set forth in the Quran will correspond in
all points to the concept of God found in the Bible. This also implies in the negative sense
that if the Bible and the Quran have differing views of God, then Islam's claim is false."
(Islamic Invasion, Harvest House Publishers, 1992, h.57).
Definisi Morey ini memiliki kelemahan dasar berfikir yang fatal yang menganggap masalah-
masalah teologi (ilmu sosial) bersifat eksakta dan mencampur adukkan pengertian soal
'identitas' dan 'opini' (meta basis). Dari dasar berfikir atau asumsi ini, maka dihasilkan
kesimpulan bahwa (1) Bila Allah Islam adalah Tuhan Kristen, maka secara positif konsep
keduanya mengenai Tuhan harusnya sama dalam setiap butirnya, sebaliknya secara negatif
disebut bahwa (2) Bila Al-Quran dan Alkitab memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhan,
maka klaim Islam adalah salah.
Pandangan yang terlalu sederhana ini dengan mudah bisa digugurkan bila kita mengambil
contoh soal 'Suharto' mantan presiden ORBA. Menurut definisi Morley, bila Suharto yang
dimaksudkan oleh para pengikut ORBA sama dengan Suharto yang di demo mahasiswa,
maka konsep keduanya mengenai Suharto akan sama dalam setiap butirnya. Faktanya
sekalipun Suhartonya sama konsep keduanya berbeda. Bagi para pengikut ORBA, Suharto
adalah bapak pembangunan yang membawa kesejahteraan dan mendatangkan kesatuan dan
keamanan regional, padahal Suharto yang sama itu oleh para mahasiswa dianggap sebagai
bapak pembangkrutan yang membawa kemiskinan karena KKN dan tiran yang membawa
bangsa Indonesia kepada disintegrasi bangsa.
Mengapa berbeda? Dan kalau berbeda apakah klaim mahasiswa mengenai Suharto salah? Di
sini kita berhubungan dengan dua soal yang tidak bisa dicampur adukkan satu dengan
lainnya, yaitu bahwa Suharto sebagai pribadi (oknum) dengan namanya dan konsep orang
(ajaran atau aqidah) mengenai oknum yang sama itu.
Soal yang sama terjadi dalam hubungan dengan pertanyaan mengenai apakah 'Allah Islam
sama dengan Tuhan Kristen?'. Jawabannya perlu kita lihat dari Kitab Suci Islam (Al-Quran)
maupun Kristen (Al-Kitab), dan juga sejarah bangsa dan bahasa Semit.
EL SEMIT
Faktanya, bila kita membandingkan agama Yahudi (Alkitab Perjanjian Lama), Kristen
(Alkitab Perjanjian Lama dan Baru), dan Islam (Al-Quran), kita dapat melihat bahwa ada
butir-butir yang sama, namun banyak butir-butir lainnya yang tidak sama (jadi bukan semua
sama atau semua tidak sama).
Bila kita melihat Alkitab PL, kita dapat mengetahui bahwa nama Tuhan 'El/Elohim' adalah
pencipta langit dan bumi, manusia dan segala isinya. Dan ia juga Tuhan yang menyatakan
dirinya kepada Adam, Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub. Agama Yahudi, Kristen dan Islam
mempercayai itu semua, namun mereka berbeda dalam kepercayaan akan wahyu mana yang
dari El yang sama itu yang dipercayai. Agama Yahudi mempercayai wahyu yang dibukukan
menjadi Alkitab Perjanjian Lama, namun sekalipun agama Kristen menerima hal ini, agama
Kristen juga mengakui penggenapan dalam Tuhan Yesus Kristus yang wahyunya dibukukan
dalam Perjanjian Baru padahal Yahudi menolak.
"Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (kitab) yang diturunkan kepada kami dan
apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Y'qub dan anak-anaknya, (begitu
juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan 'Isa, dan apa-apa yang diturunkan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga di antara
mereka itu dan kami patuh kepada Allah" (Al-Quran, Al-Baqarah, 2:136, Mahmud Yunus,
Tafsir Quran Karim).
Agama Islam, sekalipun menerima kitab yang diterima Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa, namun
lebih menerima kitab wahyu yang diterima Muhammad dari jalur Ismael, dan menerima
kitab-kitab Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa sejauh diterima oleh Muhammad yang dipercayai
sebagai nabi, dan sekalipun menerima kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun karena
dianggap telah dipalsukan, maka kepercayaan kepada berita Al-Kitab terbatas hanya bila hal
itu dikuatkan dalam Al-Quran.
Jadi, dari terang Alkitab (PL+PB) dan Al-Quran jelas terlihat bahwa sebagai oknum dengan
namanya, Allah Islam adalah Tuhan Yahudi dan Kristen. Namun karena wahyu yang
dipercayai berbeda, dengan sendirinya banyak pengajaran (aqidah)nya yang berbeda.
Islam mengikuti jalur Abraham mempercayai Tuhan 'El' itu yang dalam dialek Arab disebut
'Allah' (dari al-ilah). Dalam bahasa Ibrani kata sandang 'the' ('al' dalam dialek Arab dan 'ha'
dalam dialek Aram-Siria namun diletakkan di belakang menjadi 'alaha') tidak digunakan bila
menyebut Tuhan.
Dari sejarah kita mengetahui bahwa sejak awalnya 'El' bisa memiliki arti umum sebagai
sebutan untuk 'Tuhan/Ketuhanan' dan 'Elohim' sering digunakan dalam arti kata jamak
(politheistik) dan dipakai oleh suku-suku keturunan Sem (menjadi rumpun Semit) dan karena
perkembangan zaman sering merosot sehingga dimengerti dalam berbagai-bagai ajaran
aqidah, namun 'El/Il' juga digunakan untuk menyebut 'nama diri' Tuhan.
"'Ilu, El' sebagai sebutan untuk ketuhanan. Istilah 'il mempunyai arti sebutan umum (generic
appelative) untuk menunjuk pada 'tuhan' atau 'ketuhanan' pada tahap awal semua cabang
utama rumpun bahasa Semit. Ini terlihat jelas di Semit Timur, Akadian kuno (ilu) dan dialek-
dialek sesaudara dimulai zaman pra-Sargon (sebelum 2360 BC) dan berlanjut sampai akhir
masa Babil. Penggunaan sebagai sebutan juga muncul di Semit Barat Laut, di Amrit ('ilu,
'ilum, 'ila), di Ugarit, di Ibrani, dan umum di dialek-dialek Arab Selatan kuno, di Arab Utara
digantikan dengan nama 'ilah. 'Ilu, El juga digunakan sebagai Nama Diri (proper name). …
Di Semit Timur ada bukti kuno yang menunjukkan bahwa 'Il' adalah nama diri tuhan … tuhan
Il (kemudian El Semit) adalah kepala ketuhanan pada rumpun Semit Mesopotamia pada masa
Pra-Sargon." (G. Johanes Botterwech, Theological Dictionary of the Old Testament, Vol.I,
242-244).
Dari sejarah ini kita dapat melihat bahwa 'Allah' di kalangan bangsa dan bahasa Arab tidak
lain menunjuk pada 'El' Semit' yang sama, ini dijelaskan dalam buku-buku teologi Kristen
maupun Ensiklopedia Islam bahwa setidaknya bangsa Arab mewarisi tiga jalur nenek
moyang yang semuanya mengenal 'El Abraham' yaitu sebagai keturunan Sem, Yoktan
(keturunan Eber), dan Adnan (keturunan Ismael anak Abraham).
Bahwa ajaran/konsep mengenai 'Allah' (El) itu kemudian merosot dan makin tidak mendekati
hakekat yang di'nama'kan dan ditujukan kepada pribadi lain seperti yang terjadi pada jalur
Ishak (Kel.32, Anak Lembu Emas disebut 'Elohim' dan 'Yahweh') maupun jalur Ismael (masa
jahiliah, dewa berhala disebut 'Allah'), tentu tidak mengurangi hakekat nama itu sendiri
sebagai menunjuk kepada 'El' semitik dan monotheisme Abraham. Namun, sekalipun
diyakini bahwa 'Allah' Yahudi, Kristen dan Islam sama, tentu tidak disimpulkan bahwa
Tuhan Semua Agama sama. Dalam pengertian 'Universalisme' (pluralisme agama) disebutkan
bahwa semua agama itu menyembah Tuhan yang sama (universal) namun melalui jalan-jalan
yang berbeda (partikular).
Sudah jelas ke-empat (atau ke-lima) bentuk Tuhan itu tidak sama, namun harus diakui bahwa
Tuhan 'Theisme' (Yahudi, Kristen, Islam) adalah Tuhan Semitik agama samawi yang
berpribadi, berfirman dan menurunkan wahyu kepada umatnya, jadi sekalipun kita menyebut
Tuhan Theisme Yahudi, Kristen dan Islam menunjuk pada oknum yang sama namun
sekalipun ada yang sama juga ada yang berbeda ajaran/aqidahnya, sedang Tuhan Theisme,
Monisme, Non-Theisme, dan Demonisme jelas berbeda baik sebagai nama oknum maupun
ajaran/aqidahnya.
Tetapi bagaimana dengan definisi yang dicantumkan dalam kamus-kamus dalam bahasa
Inggeris? Disana disebutkan bahwa "Allah … Muslim's name for God" (a.l. Oxford
Dictionary & Grollier Ensyclopedia). Kita dapat membandingkan hal ini dengan definisi yang
disebutkan dalam Enyclopaedia Britannica, yang sekalipun mengakui ke-khasan nama Allah
dalam penggunaannya di kalangan agama Islam sebagai salah satu artinya, dalam arti yang
lain jelas memberikan pengertian yang lebih ilmiah dan lebih mengandung kebenaran:
"Allah (Arabic:"God"), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the
name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, "the God." The name's origin can
be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the
latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for
"God" and is used by Arab Christians as well as by Muslims."
Definisi yang benar ini juga disebutkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dimana
disebutkan bahwa: "ALLAH adalah Tuhan, pencipta alam raya termasuk segala isinya".
(Vol.I, h.270).
Memang dalam literatur Barat termasuk dalam beberapa kamus, ada sentimen kuat anti
Arab/Islam sehingga sering timbul ungkapan-ungkapan memojokkan yang tidak ilmiah
seperti ucapan Morley di atas yang memberi stigmata seakan-akan nama 'Allah' itu nama
dewa/i masa jahiliah Arab seperti Dewa Pengairan atau Dewa Bulan, namun banyak pula
literatur Barat yang lebih bersifat netral dan ilmiah seperti Ensyclopaedia Britannica dan
umumnya kamus-kamus teologia yang menyebut bahwa nama 'Allah' adalah nama dalam
dialek/bahasa Arab untuk menunjuk pada 'El' Semitik, dan juga digunakan oleh orang Arab
pra-Islam (terutama kaum Hanif yang tetap mempertahankan Allah monotheisme Abraham)
maupun bangsa Arab yang menganut agama Yahudi dan Kristen:
"Karena Islam memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim, yakni agama fitrah, maka jahiliyah
dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam, ibarat kegelapan sebelum terbit
fajar. Pada zaman ini ajaran monotheisme Ibrahim telah musnah berganti dengan sitem
paganisme, dan diwarnai dekadensi moral. Sejumlah berhala sesembahan didatangkan ke
Makkah dari berbagai negeri di Timur Tengah. Namun tidak semua warga Arab pada saat itu
menganut sistem keyakinan pagan, melainkan terdapat beberapa suku Arab memeluk agama
Kristen dan Yahudi. Bahkan terdapat sejumlah pribadi yang menekuni dunia spiritual,
mereka itu dinamakan 'hunafa' (tgl. hanif) yang mana mereka tidak memihak kepada satu di
antara kedua agama tersebut, melainkan mereka bertahan pada ajaran monotheisme Ibrahim".
(Cyrill Glasse, Ensiklopedia Islam, h.190, dibawah kata al-Jahiliah).
Kenyataan ini juga diperkuat dengan ditemukannya peninggalan arkeologis beberapa abad
sebelum masa Islam abad-VII (yang secara keliru disebut dalam buku Morley bahwa Alkitab
dalam bahasa Arab baru ada pada abad-IX dan menggunakan nama Allah karena dipaksa
orang Islam dan bandingkan dengan buku-buku yang bertema 'Asal bukan Allah' yang
menganggap orang Islam tidak menyukai orang Kristen menggunakan nama 'Allah'). Suatu
pengingkaran sejarah yang dihasilkan semangat Arab/Islam fobia, sebab jauh sebelum ada
agama Islam nama Allah sudah digunakan bersama-sama oleh umat Yahudi Arab, Kristen
Arab dan bangsa Arab pra-Islam.
Namun, kalau 'El' (Ibrani) sama dengan 'Alaha' (Aram-Siria) dan 'Allah' (Arab), mengapa
tidak memilih saja 'El/Elohim' yang merupakan bahasa aslinya?
Berbeda dengan 'El' yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai 'Theos' dan bahasa
Barat sebagai 'God, Gott, Dieu', maka nama 'Allah' (Arab) sebenarnya bukan terjemahan
melainkan perkembangan dialek dalam rumpun Semit sendiri untuk menyebut El (di samping
a.l. Alaha dalam bahasa Aram-Siria).
Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-XIII, Kristen Katolik baru masuk abad ke-
XVI dan Protestan pada abad ke-XVII, ini berarti sudah tiga abad lebih dimana agama Islam
dan bahasa Arab sudah merakyat di Indonesia, dan kemudian nama 'Allah' masuk menjadi
kosa-kata bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam bahasa
Indonesia, ada banyak kosa-kata yang berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab (1.495,
termasuk kata 'Allah'), Inggeris (1.610), dan Belanda (3.280), maka adalah tepat bila kata
yang sekarang menjadi kosa-kata Indonesia itu dipakai untuk menyebut El/Elohim Perjanjian
Lama dan Theos Perjanjian Baru dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, karena kata itu
bukan saja dekat tetapi termasuk keluarga serumpun Semit dengan bahasa Ibrani.
Dari pembahasan di atas dapatlah disimpulkan jawab atas pertanyaan judul artikel ini, yaitu
bahwa sebagai oknum dengan namanya "Allah Islam adalah Tuhan Kristen" atau "Allah
Islam adalah Allah Kristen" pula, namun perlu disadari bahwa karena Kitab Suci yang
dipercayai keduanya berbeda, maka jelas pula bahwa sekalipun ada samanya, keduanya
memiliki banyak perbedaan dalam hal konsep/ajaran/aqidah.
-------------------
Artikel berjudul 'Allah Islam = Allah Kristen?' ternyata mendapat sambutan luas. Banyak
yang bersyukur atas informasi yang diperoleh yang dapat menghilangkan prasangka-
prasangka sebelumnya, namun ada juga beberapa yang masih mempertanyakan beberapa
bagian dari artikel tersebut.
Dari pertanyaan yang masuk, ada dua kesalah pahaman sebagai penyebabnya, yaitu:
(1) Kesalah pahaman yang masih mencampur adukkan pengertian 'Allah' sebagai nama dan
ajaran/aqidah/konsep yang berbeda dalam Islam dan Kristen; dan
(2) Kesalah pahaman yang menjurus pada anggapan seakan-akan dengan menyebut 'Allah
Islam = Allah Kristen' (dalam nama itu) sebagai pandangan Universalisme yang merelatifkan
semua agama yang menuju 'Yang SATU'.
Dalam artikel tersebut sebenarnya sudah jelas bahwa (1) yang dimaksudkan sebagai sama
adalah bahwa nama 'Allah' dalam Islam dan Kristen menunjuk pada 'El' Abraham, namun
pengertian ini jelas bisa merosot seperti dalam kasus 'Lembu Muda Emas' (Kel.32) pada
bangsa Israel dan 'masa Jahiliah' pada bangsa Arab, dan (2) Sekalipun ada kesamaaan 'Allah'
ketiga agama Semitik dan Samawi (Yahudi, Kristen & Islam) tidak dimaksudkan sebagai
sama dengan agama-agama lain yang 'tuhan'nya bersifat monistis, politheistis, non-theistis
maupun demonistis yang oleh penganut universalisme dianggap sebagai 'Yang SATU' (Untuk
pembahasan ini, silahkan membuka http://www.yabina.org dan bacalah YBA-maya bulan
Mei 2000 tentang 'Pluralisme Agama & Dialog'.
Untuk memperjelas mengenai nama 'Allah' yang menuju oknum yang sama (sekalipun
ajaran/aqidahnya beda), kita dapat melihat sejarah bangsa Arab dan hubungannya dengan
nama 'El' dari beberapa kutipan dari sumber Krtisten maupun Islam:
"orang Arab mencakup keturunan Aram (Kej.10:22), Eber (Kej.10:24-29), Abraham dari
Keturah (Kej.25:1-4) dan dari Hagar (Kej.25:13-16) ... Keturunan Joktan (anak Eber)
mencakup beberapa suku Arab (Kej.10:26-29)." ('Arabians' dalam The Interpreter's
Dictionary of the Bible, (vol-I), hlm.182).
"Berita Alkitab yang pertama yang memberikan penjelasan mengenai penduduk Arabia
adalah Daftar Bangsa-Bangsa dalam kitab Kejadian 10, yang mencantumkan sejumlah orang-
orang Arab-Selatan sebagai keturunan Yoktan dan Kusy. kemudian hari sejumlah suku-suku
dari Arab Utara disebut sebagai keturunan Abraham melalui Keturah dan Hagar (Kej.25). lagi
di antara keturunan Esau (Kej.36) sejumlah orang Arab disebut. Di masda Yakub, dua
kelompok keturunan Abraham yaitu orang-orang Ismaili dan medianit dijumpais ebagai
pedagang-pedagang caravan (Kej.37:25-36)" ('Arabia' dalam The New Bible Dictionary,
hlm.54).
"Masyarakat Semit yang merupakan penduduk asli gurun pasir Arabia ... . Masyarakat yang
berdarah Arab asli dan berbahasa Arab tersebar di sepanjang jazirah Arabia, terbentang dari
Yaman dan pantai Afrika dekat Yaman sampai kepada gurun pasir Syria dan Irak Selatan ... .
Tradisi Arabia Selatan yang diyakini bahwa mereka merupakan keturunan dari seorang nabi
bernama Qahthan, yang di dalam Bibel disebut Joktan, dan Tradisi Arabia Utara yang
diyakini
sebagai keturunan nabi Adnan, dan darinya terbentuk keturunan Isma'il, putra Ibrahim ... .
Istilah Arab berarti "Nomads". Bangsa Arab Utara dipandang sebagai Arab al-Musta'ribah
(Arab yang di Arabkan), sementara bangsa Arab keturunan Quathan yang tinggal di wilayah
selatan menamakan dirinya sebagai Arab Muta'arribah, atau suku-suku hasil percampuran
dengan Arab al-'Aribah (Arab Asli) ... . Kelompok Arab yang asli ini, yakni keturunan Aram
putra Shem putra nabi Nuh" ('Bangsa Arab' dalam Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam, hlm.49-
50).
"Adnan. Anak turunan Nabi Isma'il yang menjadi nenek moyang suku-suku Arabia Utara ...
nenek moyang suku Arabia Selatan adalah Quahthan, yang dalam Bibel disebut Joktan".
('Adnan' dalam Glasse, hlm.12-13).
Jadi bangsa Arab merupakan setidaknya keturunan dari tiga jalur semitik, yaitu dari Aram
(anak Sem anak Nuh), Yoktan (anak Eber cicit Sem), dan dari Adnan (keturunan Ismael anak
Abraham). Jadi jelas bahwa bangsa Arab sejak awalnya juga mengenal 'El' Nuh, 'El' Eber
(yang dari nama ini lahir bangsa Ibrani, jadi orang Arab pada jalur ini bisa juga dibilang
sebagai keturunan Ibrani), dan 'El' Abraham yang juga dikenal Ismael. Itulah sebabnya
bangsa Arab yang mengikuti agama Yahudi, Kristen maupun yang Islam sama-sama
menyebut nama 'Allah' untuk menyebut 'El' Abraham.
"Kata "Allah" merupakan pengkhususan dari kata al-ilah (ketuhanan) ... Kata "Allah"
merupakan sebuah nama yang hanya pantas dan tepat untuk Tuhan, yang melalui kata
tersebut dapat memanggil-Nya secara langsung. Ia merupakan kata pembuka menuju Esensi
(hakikat) ketuhanan, yang berada di balik kata tersebut bahkan yang tersembunyi di balik
dunia ini. Nama "Allah" telah dikenal dan dipakai sebelum al-Qur'an diwahyukan; misalnya
nama Abd al-Allah (hamba Allah), nama Ayah Nabi Muhammad. Kata ini tidak hanya
khusus bagi Islam saja, melainkan ia juga merupakan nama yang, oleh ummat Kristen yang
berbahasa Arab dari gereja-gereja Timur, digunakan untuk memanggil Tuhan." (Glasse,
hlm.23).
"Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, "the God."
The name's origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for
god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the
standard Arabic word for "God" and is used by Arab Christians as well as by Muslims."
(Encyclopaedia Britannica)
Perlu diketahui bahwa nama 'Allah' adalah perkembangan ke dalam dialek 'Arab' dari nama
'El' menjadi 'Al-Ilah' (jadi bukan terjemahan). Dalam bahasa Ibrani, kata sandang 'ha' (dalam
Arab 'al') tidak umum dipakai apalagi untuk menyebut 'El', sedangkan dalam bahasa Aram-
Siria diletakkan di belakang menjadi 'alaha'.
Sama halnya peristiwa kasus 'Lembu Muda Emas' di Israel, bangsa Arab juga mengenal
kemerosototan ini pada masa 'Jahiliah' sebelum kehadiran Islam, namun nama 'Allah' itu
dilestarikan oleh kaum 'Hanif' (Hunafa) yang tetap menyembah 'Allah Monotheisme
Ibrahim.'.
"Gagasan tentang Tuhan Yang Esa yang disebut dengan Nama Allah, sudah dikenal oleh
Bangsa Arab kuno ... Kelompok keagamaan lainnya sebelum Islam adalah hunafa'
(tngl.hanif), sebuah kata yang pada asalnya ditujukan pada keyakinan monotheisme zaman
kuno yang berpangkal pada ajaran Ibrahim dan Ismail. Menjelang abad ke-7, kesadaran
agama Ibrahim di kalangan bangsa Arab ini telah menghilang, dan kedudukannya digantikan
oleh pemujaan sejumlah berhala ... dalam waktu 20 tahun seluruh tradisi Jahiliyyah tersebut
terhapus oleh ajaran Tuhan yang terakhir, yakni Risalah Islam". (Glasse, hlm.50-51)
"Hanif. Asal kata ini tidak diketahui secara pasti, namun ia digunakan dalam pernyataan al-
Qur'an dengan pengertian "orang yang mengikuti keyakinan (kepercayaan) monotheisme
(jamk. Khunafa). Sebuah kata sifat yang ditujukan oleh al-Qur'an terhadap nabi Ibrahim dan
terhadap mereka yang sebelum masa Islam menjaga kemurnian dan kelurusan naluri-naluri
keagamaan mereka dan sama sekali tidak terlibat dalam tradisi paganisme (keberhalaan) dan
politheisme. Mereka yang tergolong hunafa antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Muhammad
terdapat sejumlah generasi Ibrahimiyyah dan Isma'illiyyah". (Glasse, hlm.124)
Dari beberapa fakta sejarah ini kita dapat mengetahui bahwa memang 'Allah Islam' sebagai
oknum sama dengan 'Allah Kristen', namun harus diketahui bahwa ajarannya berbeda karena
mempercayai wahyu yang berbeda. Dalam kekristenan sendiri ada perbedaan-perbedaan
ajaran yang dihasilkan iman akan wahyu yang berbeda.
Agama Yahudi mempercayai Wahyu dan Perjanjian yang dijanjikan kepada Abraham Ishak
dan Yakub yang tertuang dalam Alkitab Perjanjian Lama, Agama Kristen mempercayai
Wahyu PL yang digenapi dalam Yesus yang menjadi Tuhan dan Kristus sebagai Perjanjian
Baru. Agama Islam sekalipun menerima kitab-kitab PL + PB namun tidak mempercayainya
karena dianggap sudah dipalsukan dan menerima Wahyu yang dipercayai diterima oleh
Muhammad.
Disalindari : http://www.yabina.org/layout2.htm
Artikel terkait :
- ALLAH IS GOD, di http://www.sarapanpagi.org/allah-is-god ... .html#p3568
- ALLAH = Moon God?, di http://www.sarapanpagi.org/allah-moon-g ... .html#p3569
• Home
• Pertumbuhan
• Dialog
• Tanya-Jawab
• Renungan
• Galeri
• Kesaksian
• Artikel
• doa
• | SUMBANGAN |
• teologia
• kristen
• nubuat
Click a phrase to jump to the first occurrence, or return to the search results.
PEMBAHASAN
• Pertanyaan:
• Jawaban:
• 1. Kaum Yahudi sebagai bangsa pilihan dan pengajaran Tuhan yang
bertahap
• II. Keselamatan universal bagi seluruh bangsa
• III. Kesimpulan
Pertanyaan:
“Polemik Alquran terhadap orang Yahudi sebetulnya bukan menyangkut ketuhanan tetapi
manusia, bahwa mereka sombong sekali dan mengklaim diri sebagai the choosen people,
umat pilihan Tuhan. Klaim seperti ini kemudian mengakibatkan universalisme ajaran Tuhan
dikebiri untuk hanya menjadi suatu ajaran nasional, bahkan tribal (kesukuan). Agama
Kristen, mungkin sudah sejak Nabi isa, dengan sedikit ekses melalui Paulus membuat
penyimpangan yang sangat serius, yakni hendak penguniversalkan ajaran Tuhan. Akibatnya,
agama yang semula diperuntukkan intern Yahudi, oleh Paulus diuniversalkan sehingga bisa
menjadi agamanya kaum Gentiles (orang Yunani, Romawi, dan sebagainya). Polemik
Alquran terhadap Kristen yang utama adalah mengenai teologinya, sedangkan
kemanusiaannya banyak mendapat pujian. Misalnya, …dan Kami tanamkan ke dalam hati
mereka yang menjadi pengikutnya rasa cinta (santun-NM) dan kasih sayang (Q.,57:27).
Dalam skema Alquran, Nabi Isa tampil untuk menetralisasi kekakuan orientasi hukum pada
agama Yahudi yang sudah pada tingkat menjadi eksesif sehingga mengancam orientasi
kemanusiaan. Maka maksud kedatangan Nabi Isa dilambangkan dalam firman-Nya, Dan
untuk menghalalkan bagi kamu apa yang sebagian diharamkan kepada kamu (Q.,3:50), dan
kemudian dikompensasi dengan ajaran kasih. Dengan adanya unsur kasih, maka konsep
kemanusiaan dalam Kristen lebih universal dibanding dengan Yahudi.
Pada perkembangan lebih lanjut, Paulus memperkenallkan doktrin kejatuhan Adam dan
konsep tentang Isa sebagai juru selamat. Untuk mendukung ini,
kemudian ditekankan konsep manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya jahat, sebuah
pesimisme kepada kemanusiaan. Menurut Russell, pesimisme itulah yang menyebabkan
Eropa mengalami zaman kegelapan luar biasa. Hanya dengan datangnya Islam, Eropa muncul
kembali melalui zaman pencerahan.”
Sumber:
Ensiklopedi Nurcholish Madjid
- Ndro
Jawaban:
Shalom Ndro,
Terima kasih atas pertanyaannya. Menurut saya, dalam artikel tersebut disebutkan dua hal
yang saling bertentangan (eksklusif dan inklusif) dan keduanya dipandang salah oleh penulis.
Pada saat konsep keselamatan dalam Perjanjian Lama dipandang sebagai sesuatu yang
ekslusif, maka mereka (orang Yahudi) dicap sombong dan universalisme ajaran dipandang
telah dikebiri. Namun, pada saat keselamatan diberikan secara eksplisit untuk menjangkau
seluruh bangsa (inklusif), maka hal ini juga dipandang sebagai kesalahan serius, karena ingin
menguniversalkan ajaran Tuhan. Dengan demikian, saya pikir, maka seseorang harus
mengambil sikap, apakah ajaran Kristen adalah eksklusif (menjangkau umat Yahudi saja)
atau inklusif (menjangkau seluruh bangsa).
1. Kaum Yahudi sebagai bangsa pilihan dan pengajaran Tuhan yang
bertahap
1. Kalau dikatakan bahwa umat Yahudi adalah sombong, karena menganggap diri mereka
sebagai bangsa pilihan, maka ini sebenarnya tidak benar, karena tidak ada yang perlu
disombongkan dari diri mereka. Hal ini ditegaskan di dalam kitab Ulangan 7:7, yang
menuliskan “Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati
TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu–bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala
bangsa? –” Lebih lanjut, bahkan di Alkitab dikatakan bahwa mereka adalah bangsa yang
keras hatinya, sehingga mereka sering mendapatkan pengajaran dari Allah.
“18 Sebab itu TUHAN sangat murka kepada Israel, dan menjauhkan mereka dari hadapan-
Nya; tidak ada yang tinggal kecuali suku Yehuda saja. — 19 Juga Yehuda tidak berpegang
pada perintah TUHAN, Allah mereka, tetapi mereka hidup menurut ketetapan yang telah
dibuat Israel, 20 jadi TUHAN menolak segenap keturunan Israel: Ia menindas mereka dan
menyerahkan mereka ke dalam tangan perampok-perampok, sampai habis mereka dibuang-
Nya dari hadapan-Nya. –” (2Raj 17:18-20).
Jadi, walaupun Israel adalah bangsa pilihan, namun mereka juga mendapatkan didikan dari
Tuhan. Oleh karena itu, terpilihnya bangsa pilihan ini bukan karena kehebatan bangsa Israel,
namun karena kebijaksanaan Tuhan. Jadi, dengan demikian tidak ada yang perlu
disombongkan dari bangsa Israel, karena terpilihnya bangsa ini sebagai bangsa pilihan adalah
bukan karena kebesaran bangsa ini, namun karena Tuhan yang memilihnya.
2. Dari sisi yang lain, maka terpilihnya bangsa Israel sebagai bangsa pilihan adalah
merupakan cara Allah untuk mendidik umat manusia secara bertahap. Dalam hal ini, kita
dapat melihat adanya prinsip mediasi – yaitu melalui seseorang atau bangsa, maka seluruh
dunia dapat mengerti rencana keselamatan Allah. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar,
kalau Allah memilih satu bangsa, sehingga melalui bangsa tersebut, maka keselamatan dapat
datang ke seluruh dunia.
3. Walaupun kita melihat bagaimana Allah membela bangsa pilihan dan juga membiarkan
bangsa Israel menderita karena kesalahan mereka sendiri atau bahkan menghukum bangsa
Israel karena dosa-dosa mereka, namun kita dapat melihat adanya konsep keselamatan yang
bersifat universal. Hal ini terlihat dari beberapa ayat berikut ini:
Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau
mendengarkan firman-Ku.” (Kej 22:18)
Aku akan membuat banyak keturunanmu seperti bintang di langit; Aku akan memberikan
kepada keturunanmu seluruh negeri ini, dan oleh keturunanmu semua bangsa di bumi
akan mendapat berkat,” (Kej 26:4)
4. Dengan demikian, terlihat adanya nubuat yang diberikan dalam Perjanjian Lama, akan
adanya Mesias (yang terpenuhi dalam diri Yesus), yang akan memberikan berkat kepada
seluruh bangsa. Nubuat ini diberikan dari generasi-generasi. Silakan melihat nubuat-nubuat
ini secara lebih mendetail di artikel ini – silakan klik. Dari pemaparan ini, maka terlihat
bahwa tidak ada yang perlu disombongkan dari umat Israel dan keselamatan bagi seluruh
bangsa bukanlah diperuntukkan bagi umat Israel semata, namun juga diperuntukkan untuk
semua bangsa, yang kemudian ditegaskan di dalam Perjanjian Baru.
II. Keselamatan universal bagi seluruh bangsa
1. Kalau di artikel tersebut dikatakan bahwa terjadi kesalahan yang serius dari rasul Paulus,
yang menyebabkan agama yang sebenarnya hanya diperuntukkan oleh kaum Yahudi
kemudian menjadi agama untuk segala bangsa, maka sebenarnya pernyataan ini telah
mempunyai asumsi yang perlu dibuktikan kebenaran terlebih dahulu – yaitu asumsi bahwa
agama Kristen hanya diperuntukkan untuk kaum Yahudi. Untuk menunjukkan bahwa rasul
Paulus hanya mengajarkan apa yang telah diperintahkan oleh Kristus, maka kita sebenarnya
dapat melihat pesan Yesus sebelum Dia naik ke Sorga, yaitu “19 Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan
Roh Kudus, 20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
(Mt 28:19-20) Silakan melihat diskusi tentang keaslian dari ayat ini di sini – silakan klik.
Dari kutipan ini, kita melihat bahwa Paulus konsisten dalam memberikan pesan Kristus,
sehingga dia mengatakan bahwa Yesus telah mengalami maut untuk keselamatan umat
manusia (lih. Ibr 2:9; Tit 2:11; 1Tim 2:6), karena Yesus adalah juru selamat seluruh umat
manusia (lih. 1Tim 4:10).
2. Dan memang dikatakan bahwa polemik utama antara agama Kristen dan Islam adalah
mengenai teologi. Hal ini disebabkan karena teologi Kristen berpusat pada Kristus yang telah
membuktikan Diri-Nya sebagai Tuhan. Untuk itu, silakan membaca beberapa artikel
Kristologi berikut ini:
Iman Katolik bersumber pada Allah Tritunggal dan berpusat pada Kristus, Allah yang
menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Inkarnasi, Allah menjadi manusia,
adalah perbuatan Tuhan yang terbesar, yang menunjukkan segala kesempurnaanNya:
KebesaranNya, namun juga KasihNya yang menyertai kita. Penjelmaan Allah ini telah
dinubuatkan oleh para nabi. Yesus Kristus yang kita imani sekarang adalah sungguh Yesus
Tuhan yang ber-inkarnasi dan masuk ke dalam sejarah manusia, karena Yesus sungguh Allah
dan sungguh manusia.
Adalah menjadi hal yang wajar jika kita mempunyai perbedaan teologis, kalau Wahyu Allah
yang dipercayai sebagai pilar kebenaran adalah berbeda. Mari kita melihat beberapa
perbedaan yang disorot dalam artikel tersebut:
a. Dikatakan “Dalam skema Alquran, Nabi Isa tampil untuk menetralisasi kekakuan orientasi
hukum pada agama Yahudi yang sudah pada tingkat menjadi eksesif sehingga mengancam
orientasi kemanusiaan” Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa Yesus Kristus datang bukan
untuk menetralisir orientasi hukum agama Yahudi, namun lebih daripada itu, Kritus datang
ke dunia ini sebagai penggenapan dari nubuat-nubuat yang diberikan dari generasi-generasi
di dalam Perjanjian Lama. Dan yang paling penting, kedatangan-Nya adalah untuk
menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Untuk lebih lengkapnya, silakan membaca
beberapa link Kristologi di atas.
b. Dikatakan “Maka maksud kedatangan Nabi Isa dilambangkan dalam firman-Nya, Dan
untuk menghalalkan bagi kamu apa yang sebagian diharamkan kepada kamu (Q.,3:50), dan
kemudian dikompensasi dengan ajaran kasih” Untuk mengatakan bahwa Yesus Kristus
dilambangkan dengan Firman sebenarnya tidaklah tepat, karena Yesus Kristus adalah Firman
itu sendiri, karena Yesus adalah Tuhan, seperti yang dituliskan di dalam Yoh 1:1 “Pada
mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah
Allah.” Untuk mengatakan bahwa agama Kristen mengajarkan hal-hal yang diharamkan,
yang kemudian dikompensasi dengan kasih, perlu dianalisa lebih lanjut. Tidak terlalu jelas
bagi saya tentang apa yang dimaksud dengan “sebagian diharamkan” dalam tulisan tersebut.
Kalau kasih dikatakan hanya sekedar kompensasi, maka sebenarnya ini adalah pernyataan
yang salah, karena kalau kita benar-benar membaca Alkitab secara keseluruhan, maka inti
pengajaran dari kekristenan adalah kasih, karena Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8)- yang telah
dibuktikan-Nya dengan pengorbanan Kristus di kayu salib. Inilah bukti kasih yang terbesar
dalam sejarah umat manusia.
Dalam kitab Kejadian dinyatakan bahwa Adam dan Hawa telah berdosa dan oleh
karena itu, maka Adam dan Hawa dan seluruh keturunannya harus menanggung
dosa. (lih Kej 2).
“Tetapi karena dengki setan maka maut masuk ke dunia, dan yang menjadi milik
setan mencari maut itu.” (Keb 2:24).
“Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu
yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu
dengan kelicikannya.” (2 Kor 11:3; 1 Tim 2:14; Rm 5:12; Yoh 8:44).
Dosa manusia pertama adalah dosa kesombongan (lih. Rm 5:19; Tob 4:14; Sir
10:14-15).
“Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorangpun tidak!” (Ay
14:4).
“Tetapi karena dengki setan maka maut masuk ke dunia, dan yang menjadi milik
setan mencari maut itu.“(Keb 2:24).
“From the woman came the beginning of sin, and by her we all die.” (LXX/
Septuagint – Sir 25:33).
e. Dikatakan “Untuk mendukung ini, kemudian ditekankan konsep manusia sebagai makhluk
yang pada dasarnya jahat, sebuah pesimisme kepada kemanusiaan.” Mungkin kalimat di atas
ingin menyentuh doktrin dosa asal, yang seolah-olah dipandang bahwa manusia pada
dasarnya jahat. Namun, ini adalah suatu kesimpulan yang keliru. Alkitab mengatakan bahwa
manusia diciptakan menurut gambaran Allah. Oleh karena itu, manusia diciptakan baik
adanya. Namun, yang membuat manusia terpisah dari Tuhan adalah karena manusia pertama
telah berbuat dosa; dan dosa inilah yang diturunkan kepada semua keturunannya, yang
disebut dosa asal.
Kenyataan bahwa manusia mempunyai kecenderungan berbuat dosa adalah sesuatu yang
nyata. Dengan demikian, seseorang yang tidak setuju dengan dosa asal, harus menyetujui
bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tidak sempurna adanya. Namun, kalau demikian,
maka ini berlawanan dengan hakekat Allah yang maha kasih. Bagaimana mungkin Tuhan
sengaja menciptakan manusia yang mempunyai kecenderungan berbuat dosa?
Suatu kebenaran dapat dilihat dari efeknya. Kita juga dapat melihat kebenaran dosa asal ini
dari efeknya, yaitu apa yang dilakukan oleh manusia. Diskusi panjang tentang dosa asal dapat
dilihat di sini – silakan klik. Dosa asal bukanlah pandangan yang pesimis, karena Tuhan telah
memberikan solusinya, yaitu rahmat yang mengalir dari pengorbanan Kristus, yang
memungkinkan manusia dibebaskan dari dosa asal, yaitu dengan pembaptisan. Dengan
demikian, dalam kondisi yang sulit ini, umat Kristen justru melihat kehidupan dan manusia
secara lebih optimis, karena Yesus Kristus sendiri memberikan pengharapan. Dan
pembaptisan yang menghantar manusia dalam kekudusan ini telah dibuktikan oleh para
kudus dalam sejarah Gereja Katolik. Kita melihat bagaimana yang terberkati Bunda Teresa
dari Kalkuta membuktikan dirinya sebagai orang kudus, karena secara terus menerus dia
bekerja sama dengan rahmat Allah dalam kehidupannya.
Dengan demikian, Gereja Katolik justru melihat bahwa meskipun manusia sebagai mahluk
ciptaan Tuhan yang diciptakan baik adanya, memilih untuk berbuat dosa, namun manusia
tetap dicintai oleh Allah. Sebagai buktinya, Allah memberikan Putera-Nya yang tunggal
untuk menebus dosa dunia. Dan dengan penebusan-Nya di kayu salib, maka rahmat Allah
terus mengalir, yang memungkinkan manusia untuk hidup dalam kekudusan. Silakan melihat
artikel kesempurnaan rancangan keselamatan Allah (silakan klik).
f. Dikatakan “Menurut Russell, pesimisme itulah yang menyebabkan Eropa mengalami
zaman kegelapan luar biasa. Hanya dengan datangnya Islam, Eropa muncul kembali melalui
zaman pencerahan.” Menurut saya, kesimpulan ini tidaklah benar dalam dua hal. Pertama,
jaman kegelapan sering dipakai dalam konteks yang salah. Kita dapat melihat pada abad
pertengahan, ordo Benediktus membentuk Eropa menjadi begitu maju. Pendidikan juga
mengalami perkembangan luar biasa. Kedua, telah dibuktikan di atas, bahwa doktrin dosa
asal yang dibarengi dengan penebusan Kristus, membuat umat Kristen memandang hidup
dengan lebih optimis. Dengan demikian, kesimpulan bahwa hanya dengan datangnya Islam
maka Eropa dapat kembali kepada zaman pencerahan tidaklah berhubungan, karena asumsi-
asumsi awal belum dapat dibuktikan kebenarannya.
III. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, maka terlihat bahwa sebenarnya Perjanjian Lama juga mempunyai
konsep keselamatan yang diperuntukkan bagi semua bangsa, yang dipenuhi oleh Yesus
Kristus dan diperintahkan sendiri oleh Kristus untuk menyebarkan kabar gembira ke segala
bangsa. Dan pengajaran ini dipertegas oleh para penulis Alkitab Perjanjian Baru. Dengan
demikian, agama Kristen secara hakiki adalah agama yang inklusif, karena Allah
menginginkan segala bangsa memperoleh keselamatan. Semoga jawaban singkat ini dapat
membantu.
Penutupan mesjid dan gedung pertemuan Ahmadyah belum lama ini ditengah-tengah
ditutupnya puluhan gereja khususnya gereja-gereja rumah tangga menyusul Fatwa MUI yang
mengharamkan Pluralisme agama mencuatkan kembali pemikiran kearah toleransi beragama dan
diskusi Pluralisme agama-agama.
PLURALISME
Istilah ‘Plural’ sudah jelas kita mengerti sebagai ‘jamak’, dan ‘Pluralitas’ adalah kenyataan
yang harus diterima bahwa kita berada dalam kondisi di Indonesia dan dunia masakini dimana kita
menghadapi kejamakan cara berfikir, cara hidup, dan cara beragama. Sampai di sini, Pluralitas hanya
menyadari adanya kepelbagaian di dunia.
Sejak dulu eksklusivisme tidak menjadi masalah, namun eksklusivisme itu menjadi tiran
ketika bergabung dengan kekuatan politik kolonial dan menjadi mayoritas sehingga menganggap
yang lain yang mayoritas itu sebagai lebih inferior dan harus ditobatkan (proselitasi). Kondisi ini dalam
abad kolonialisme menempatkan kekristenan sebagai agama mayoritas dan eksklusif di tengah-
tengah bangsa dan agama ditempat jajahan yang semula dianggap inferior.
Dengan latar belakang demikianlah, ketika pada akhir abad-XIX dan awal abad-XX terjadi
gerakan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah, keseimbangan menjadi berubah
dimana bangsa-bangsa jajahan mendirikan negara sendiri dan menentukan identitas sendiri
(termasuk tradisi budaya agama) yang juga di klaim sebagai eksklusif. Perbenturan peradaban inilah
yang melahirkan usaha-usaha yang mengarah pada penerimaan kejamakan dalam beragama atau
dikenal sebagai ‘Pluralisme’ yaitu ‘suatu situasi di mana berbagai agama berinteraksi dalam suasana
saling menghargai dan dilandasi rasa kesatuan sekalipun berbeda faham.’
Jadi kalau eksklusivisme menganggap agama sendiri benar yang lain tidak maka pluralisme
menganggap semua agama itu benar jadi harus diterima dengan terbuka sekalipun berbeda dengan
agama sendiri. Sikap demikian tentu berdampak pagi pandangan ‘Fundamentalisme’ dalam agama-
agama yang cenderung mengklaim agamanya sendiri sebagai jalan kebenaran satu-satunya. Selain
fundamentalisme, reaksi eksklusif lainnya adalah ‘Proselitisme’ ynag menolak kebenaran agama lain
dan menjadikan pengikut agama lain menjadi pengikut agama sendiri dengan berbagai cara.
Sebaliknya, ada juga reaksi ‘Sinkretisme’ yang bersifat kompromistis dengan cara mencampur-
adukkan keyakinan agama-agama yang bertemu itu.
INKLUSIVISME
Reaksi keempat berjalan lebih jauh dari Sinkretisme dan dikenal sebagai ‘Inklusivisme’ yang
berusaha untuk menggapai kesatuan agama-agama, dan berbeda dengan eksklusivisme, di sini ada
usaha untuk ‘menjadikan agama-agama yang banyak itu sebagai salah satu facet dari agama yang
satu,’ dan berbeda dengan sinkretisme yang mencampur-adukkan agama-agama, disini agama-
agama diperas menjadi satu. Dari kubu pluralisme dan inklusivisme inilah kemudian dipopulerkan
dialog antar agama sebagai pengganti misi penobatan. Pada awal tahun 1960-an sebagai hasil
Konsili Vatikan-II, Gereja Katolik Roma membuka peluang kearah itu, dan di awal tahun 1970-an
menyusul Dewan Gereja Dunia (WCC) juga membuka diri akan dialog antar agama.
Pada abad-XX relativisme agama dikaitkan dengan kemajuan evolusioner dipopulerkan oleh
Ernst Troeltsch yang menolak absolutisme agama dan menjadikan ‘Yang Mutlak’ menjadi tujuan
bersama dalam proses evolusioner dalam semua agama. Sikap Troeltsch ditolak Karl Barth yang
mengajukan pandangan eksklusif dan tidak mengenal kompromi mengenai pewahyuan diri Allah
dalam Yesus Kristus, namun berbeda dengan eksklusivisme, Barth berpendapat bahwa agama
Kristen itu yang benar, namun sejauh agama Kristen melalui rahmat hidup karena rahmat ia menjadi
tempat agama yang benar.
John Hick menafsirkan kembali Kristologi tradisional dengan mengemukakan bahwa istilah
‘Allah’ bukanlah seperti yang dikemukakan sebagai pribadi dalam agama teistik melainkan
sebenarnya merupakan ‘realitas tak terbatas yang dipahami dengan berbagai cara melalui berbagai
bentuk pengalaman beragama’ yang disebutnya sebagai ‘Yang Nyata.’ Wilfred Cantwell Smith
mengungkapkan bahwa manusia sekarang memasuki tahapan baru pluralisme agama dimana
agama-agama perlu merumuskan kembali dan menguji teori-teori agamanya sendiri dan
mengembangkan teori-teori agama yang bisa diterima oleh agama-agama lain. Smith menolak
kristologi yang eksklusif. Kristen Stendahl dari Harvard menafsirkan PL & PB sebagai suatu
kesaksian tentang ‘partikularisme dalam kerangka universalisme.’
Tidak semua sepakat dengan Hick, Karl Rahner, teolog Roma Katolik, berusaha secara
sistematis untuk menegaskan keeksklusifan dan universalitas Kristus dan sekaligus menghormati
kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal. Dalam pandangannya yang
kelihatannya seperti mendua, Rahner tetap menganggap Kristus secara eksklusif, tetapi secara
universal agama-agama lain menghadirkan ‘kristen anonim.’ Rahner berusaha mendamaikan rahmat
Allah yang menyelamatkan, yang universal sifatnya, dengan keeksklusivan Kristus sebagai kriteria
yang nyata dan sempurna untuk rahmat itu. Ini bisa dijadikan dasar bagi umat Kristen untuk bersikap
toleran, rendah hati, namun tegas terhadap semua orang non-Kristen.
Stanley Samartha mengemukakan bahwa umat Kristen harus mendekati dialog antar-agama
atas dasar teosentris dan bukan kristosentris. Samartha mendefinisikan dialog sebagai ‘upaya untuk
memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri
tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga.’ Raimundo Panikkar yang
beribu Kristen RK dan berayah Hindu meneruskan, bahwa: ‘kebenaran yang dikemukakan agama
adalah universal dan dianggap sebagai pendirian yang partikular dan terbatas, sedangkan sebetulnya
masing-masing merupakan perumusan yang memang dibatasi oleh faktor budaya mengenai suatu
kebenaran yang lebih universal.’
Dari berbagai pandangan di atas, inklusivisme kemudian dimengerti sebagai sikap yang
menerima kebenaran semua agama, dan bahwa agama itu hanya merupakan jalan partikular untuk
mencapai kebenaran yang universal yang menyembah Tuhan ‘Yang SATU’ itu.
ESENSI INKLUSIVISME
‘Universalisme’ berlandaskan logika bersama mengenai ‘Yang Satu dan Yang Banyak.’ Dari
perspektif filsafat dan teologi, logika bahwa suatu sumber realitas dialami dalam pluralitas cara
tampaknya, oleh teolog tertentu dianggap sebagai cara yang paling memuaskan untuk menjelaskan
fakta pluralisme keagamaan, ini bisa disebut pendekatan yang ‘theosentris.’ Sebenarnya pandangan
demikian didasarkan gagasan ‘Veda’ Hinduisme mengenai hakekat ‘Yang SATU’ yang disebut
dengan ‘banyak nama.’ Pandangan ini disebut sebagai ‘Monisme’ yang beranggapan adanya satu
keberadaan tunggal ‘Yang Satu’ yang tidak berpribadi (berbeda dengan theisme yang mempercayai
Tuhan yang berpribadi).
Pandangan Relativisme dan Universalisme tidak beda dengan faham ‘Mistisisme’ mengenai
keyakinan ‘kesatuan manusia yang sezat dengan sumbernya.’ (Yaitu Yang SATU itu). Dalam mistik
Hinduisme, penyatuan itu dianggap sebagai penyatuan ‘atman dengan brahman’ atau dalam mistik
Buddhisme ‘atman dengan an-atman.’
Di kalangan kristen, ketiga esensi ini berkembang lebih jauh menuju ‘de-kristosentrisme,’ dari
kristosentris menuju ‘theosentris’ namun yang dimaksud adalah ‘theos yang tidak berpribadi’ yang
merupakan esensi mistik universal. Pandangan theolog liberal yang menganut inklusivisme
cenderung untuk ‘memikirkan kembali Kristologi’ yang ujung-ujungnya menjadikan Kristus bukan
sebagai jalan yang unik tetapi sekedar sebagai salah satu dari jalan yang banyak itu, Kristus tidak
lebih hanya sekedar ‘avatar’ yang sama dengan tokoh-tokoh agama lain.
Di satu sisi memang kita harus berfikir terbuka bahwa kita hidup di bumi tidak sendirian tetapi
berada di tengah-tengah agama lain jadi kita harus menerima kenyataan adanya agama-agama yang
berbeda, tetapi menganggap semua agama sebagai sama dan menuju ‘Yang SATU’ rasanya terlalu
meremehkan sejarah agama yang sudah ribuan tahun dengan keunikannya masing-masing. Memang
pluralisme kelihatan seakan-akan merupakan jalan kompromi yang terbaik untuk menyatukan
perbedaan faham agama-agama yang acapkali menimbulkan pertikaian dan perang, namun
pluralisme kurang menghargai keunikan agama-agama, khususnya keunikan Kristus yang cenderung
di ‘de-kristosentris’kan.
Umat kristen memang seharusnya tidak bersifat eksklusif dalam segala hal tetapi bersikap
eksklusif dalam kredo (pengakuan percaya) adalah perlu, sebab sejarah agama Kristen yang
dikandung Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru cukup meyakinkan untuk menerima keunikan Kristus.
Jadi eksklusivisme dalam iman perlu namun ini jangan menjadikan kita eksklusif dalam sikap. Kita
dapat menerima kehadiran agama-agama lain dengan sikap terbuka yang inklusif bahwa semua
adalah umat manusia yang dikasihi oleh Tuhan yang berpribadi yang menyatakan diri dalam Kristus,
namun penerimaan ini tidak harus menuju sikap yang menganggap semua jalan itu sama atau
menganggap bahwa penganut agama lain sebagai ‘kristen anonim’ tetapi kita dapat menganggap
mereka sebagai umat manusia yang tetap membutuhkan karunia keselamatan dari Tuhan, dan kita
jangan berspekulasi mengenai ‘semua jalan ke Roma’ melainkan kita perlu untuk bersaksi mengenai
‘via dolorosa’ jalan menuju ke Golgota.
Umat kristen diharapkan dapat terbuka menghadapi kehadiran agama-agama, kita perlu
mempelajari kitab suci dan pendapat-pendapat dari kalangan agama-agama lain, namun karunia
keselamatan yang kita peroleh, ibarat ‘mutiara yang sudah ditemukan’ perlu kita bagikan sebagai
kesaksian kepada mereka yang belum mengenal keindahan mutiara tersebut.
Eksklusivisme dan fundamentalisme agama perlu dibuka agar kita tidak menjadi penganut
Kristus yang sempit yang tidak toleran dan bersifat menghakimi agama lain, tetapi sikap eksklusivis
harus disertai dengan sikap yang terbuka dan toleran. Menghargai perbedaan-perbedaan itu penting,
tetapi menerima perbedaan itu seakan-akan tidak berbeda jelas keliru. Untuk mencapai ini, jalan
‘Kasih’ adalah jalan terbaik untuk bersaksi, bukan dengan sikap memaksa dan menganggap rendah
orang lain, tetapi dengan sikap kasih kepada sesama karena untuk itulah Kristus telah mati bagi kita.
Rasul Paulus menunjukkan sikap yang inklusif sekaligus beriman eksklusif ketika ia berbicara
di Athena (Kisah 17:16-34). Ia menunjukkan sikap inklusif dengan bertukar pikiran dengan orang-
orang Yahudi dan para filsuf Epikuri dan Stoa. Ia mempelajari kitab suci dan tulisan para pujangga
mereka. Ia tidak menolak kerinduan orang-orang dalam menyembah ‘Allah Yang Tidak Dikenal’ tetapi
Paulus sedih hatinya melihat banyaknya berhala dan kuil-kuil di kota itu, karena itulah iman
eksklusifnya menghasilkan suatu kesaksian bahwa ‘Yang Tidak Dikenal’ itu diperjelasnya dengan
memperkenalkan keunikan Allah yang menjadikan langit dan bumi, Tuhan atas langit dan bumi yang
memberikan hidup dan nafas kepada semua orang, dan Injil tentang Yesus yang telah bangkit. Ia
tidak memaksa orang lain mengikut Kristus (proselitisme) melainkan ia men’share’kan imannya dan
biarlah orang lain yang menentukan iman mereka sendiri. Alhasil ada juga yang percaya dengan
kesungguhan hati tanpa dipaksa atau terpaksa. Haleluyah!
Untuk menguji klaim universalisme masing-masing agama baik Islam maupun Kristen, kita harus
melakukan asumsi terlebih dahulu terhadap kitab suci dan tokoh sumber religius kedua agama
tersebut secara seimbang:
Asumsi 1: Muhammad adalah nabi/rasul yang diutus oleh Allah untuk seluruh alam, dan Al-Qur’an adalah satu-
satunya kitab suci yang benar-benar merupakan wahyu dari Allah melalui perantaraan Jibril/Roh Kudus untuk
seluruh alam.
Asumsi 2: Yesus adalah nabi/rasul (bahkan Tuhan) yang diutus oleh Allah untuk seluruh alam, dan Alkitab
adalah satu-satunya kitab suci yang benar-benar merupakan wahyu dari Allah melalui kuasa Roh Kudus-Nya
untuk seluruh alam.
Sekarang, marilah kita selidiki, apakah kedua agama tersebut benar-benar universal, ditinjau dari
catatan kitab suci masing-masing.
Universalkah Islam?
Al-Qur’an menegaskan kepada manusia bahwa agama di sisi Allah hanyalah Islam.
Al-Qur’an juga menjelaskan definisi dari Islam itu sendiri, yakni penyerahan diri secara total.
Agama Islam dalam pandangan Al-Qur’an tidak diciptakan pada masa Nabi Muhammad SAW, tetapi sudah
hadir semenjak manusia pertama, Nabi Adam AS.
Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa
(akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.
(QS.20:115).
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
(QS.42:13).
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang
lurus lagi berserah diri (kepada Allah), dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang
musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya
dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Nabi Muhammad), dan Allah adalah
pelindung semua orang-orang yang beriman. (QS.3:67-68).
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim
berkata): “Hai anak-anakku! Seseungguhnya Allah telah memilih agama ini (Islam) bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS.2:132).
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang
yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti
kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS.16:36).
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:
“Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
(QS.21:25)
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang
Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak
dapat bagi seorang rasul membawa suatu mu’jizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah
datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang
berpegang kepada yang batil. (QS.40:78).
Beberapa ayat Al-Qur’an di atas dengan jelas menegaskan bahwa Islam sudah hadir semenjak zaman
Adam. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa nabi/rasul itu tidak hanya berjumlah 25 orang saja sebagaimana
tersebut namanya di dalam Al-Qur’an, tetapi melebihi jumlah itu (QS.40:78), namun Al-Qur’an tidak
menjelaskan angka pastinya. Jelasnya, Allah telah mengutus nabi/rasul kepada tiap-tiap umat di muka bumi
ini (QS.16:36) dan senantiasa memerintahkan makhluk-Nya untuk hanya menyembah kepada-Nya, karena
tidak ada tuhan selain Allah (QS.21:25). Inilah inti dari agama Islam.
Berbeda dengan umat-umat sebelumnya dimana masing-masing umat memiliki nabi/rasul, Al-Qur’an
menegaskan bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah untuk seluruh alam dan sekaligus
menjadi penutup para nabi/rasul.
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(QS.33:40).
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa dirinya adalah satu-satunya kitab yang menjadi peringatan bagi
seluruh alam.
Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah
aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi
semesta alam.(QS.38:86-87).
Dari uraian singkat di atas, tampak jelas bahwa Islam adalah agama untuk seluruh alam, karenanya,
Islam layak mendapat predikat agama universal.
Universalkah Kristen?
Alkitab secara tegas menyatakan bahwa Kristen lahir setelah penyaliban Yesus, sebagaimana dilansir dalam
pernyataan Paulus Tarsus berikut ini:
GALATIA:
2:16 Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena
melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus.
Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan
oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum
Taurat. Sebab: “tidak ada seorangpun yang dibenarkan” oleh karena melakukan
hukum Taurat.
3:13 Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab
ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!”
Pada bagian lain, Paulus Tarsus juga menyatakan bahwa ia mendapat amanat dari Yesus untuk
menyebarkan agama Kristen kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Sebagaimana pernyataan Paulus Tarsus
di dalam Alkitab berikut ini:
GALATIA:
Namun demikian, dapatkah Kristen dipandang sebagai agama universal yang berdiri di atas kebenaran
wahyu Allah?
Alkitab sama sekali menolak keberadaan agama Kristen sebelum, bahkan hingga masa Yesus.
Bahwa agama sebelum Yesus, yang konon diridlai oleh Tuhan menurut Alkitab, adalah agama
Yahudi (baca: Perjanjian Lama). Lebih jauh, agama Yahudi merupakan agama untuk golongan tertentu
saja, yakni umat Israel (baca: Perjanjian Lama). Padahal, pada masa itu, yaitu ketika para nabi/rasul diutus
untuk umat Israel, manusia sudah menyebar ke seluruh pelosok bumi, bukan hanya di israel. Sebut saja, bangsa
Romawi, Yunani, Mesir, Arab, India, Cina, dan lain sebagainya. Namun demikian, Alkitab secara khusus
mencatat keberadaan umat lain selain Israel, yakni umat Nabi Ayub AS, bangsa Edom, (baca: Kitab Ayub).
Terhadap umat-umat lain, Perjanjian Lama sama sekali tidak menjelaskannya, bahkan terkesan tidak mau
tahu, setidaknya kepada siapa umat-umat tersebut harus mengabdi.
Dengan demikian, dari uraian singkat diatas, tampak jelas bahwa Kristen adalah agama
baru, yang lahir kira-kira 2.000 tahun yang lalu ketika Yesus konon mengajarkan Kristen
menurut Paulus Tarsus.
Lalu, dapatkah Kristen dipandang sebagai agama yang layak mendapat predikat universal dalam pengertian
agama wahyu?
Jawabannya terletak pada hati nurani masing-masing pembacanya. Tetapi yang terpenting harus
diingat adalah bahwa agama Kristen sama sekali belum eksis di dunia ini pada era sebelum Yesus.
Tentu saja, ini akan sulit dimengerti, bagaimana mungkin agama universal harus datang kemudian?
Bukan tidak sengaja semua pernyataan alkitabiah dirangkaikan dengan refleksi tentang
hubungan Allah dengan semua manusia dan seluruh ciptaan. Pengakuan bahwa "Allah
menciptakan manusia menurut gambar-Nya" (Kej 1:27) dalam kisah penciptaan melampaui
semua batasan manusiawi seperti seks, ras, etnis, bangsa atau agama. Tanpa kecuali manusia
diciptakan untuk hidup dalam relasi yang utuh dengan Allah. Dari-Nya ia mendapat martabat,
kebebasan, tanggung jawab dan berkat. Bukan jasa atau kwalitas moral, tetapi relasi inilah
yang membuat setiap ciptaan dinyatakan "baik", karena "dunia hidup sepenuhnya dalam
kehadiran Allah dan di bahwa kekuasaan Allah"1. Hubungan dan perjanjian penciptaan inilah
yang mejadi titik tolak untuk kerukunan dan perdamaian antara Allah dan manusia dan antara
manusia dengan sesamanya. Allah yang memberi martabat kepada manusia dan mengakisi
kehidupannya (baik dalam aspek rohani maupun jasmani,bekan secara dualistis), dan ini
menjadi dasar bahwa manusia harus mengasihi dan menghormati kehidupan yang suci itu.
Akan tetapi, Alkitab tidak punya ilusi tentang watak manusia. Dalam kisah tentang
kejatuhan manusia ke dalam dosa, penyebab keterpisahan manusia dari Allah, permusuhan
antarmanusia dan ketidakselarasan antara manusia dengan alam semesta terletak pada
keinginan manusia untuk "menjadi seperti Allah" (Kej 3:5)2. Dosa asal dalam pemahaman
Alkitab ini tidak terfokus kepada kecenderungan manusia untuk melanggar hukum-hukum
moral, tetapi pertama-tama adalah "kerusakan relasional (hubungan)": Karena manusia mau
menjadi pencipta dirinya sendiri yang tidak membutuhkan Allah lagi, ia hidup dalam
hubungan yang hancur dengan Allah, sesama manusia dan ciptaan dan bahkan dengan dirinya
sendiri. Dosa asal manusia adalah ketidakmampuannya untuk mendamaikan hubungan-
hubungan tersebut melalui usaha sendiri.3
Dengan demikian, rekonsiliasi menjadi kebutuhan dasar manusia yang mencakup seluruh
aspek kemanusiaan, baik dalam arti rohani maupun dalam sifatnya sebagai makhluk sosial.
Karena manusia telah kehilangan sifatnya sebagai ciptaan - yaitu kesatuan dengan
penciptanya - ia kehilangan identitas dirinya. Krisis identitas ini mengakibatkan rasa malu
(Kej 3:10) dan kecemburuan yang berakhir dengan penyangkalan dan pembunuhan
saudaranya (seperti Kain dan Habel Kej. 4). Ia mencari identitas melalui supremasi ras,
politik, ekologi, agama dsb. Keseberagaman dan pluralitas ciptaan selaku kekayaan dan
karunia baik dari pencipta dijadikan dasar untuk kehancuran kesatuan dan komunikasi
antarmanusia, karena "mencari nama", seperti dalam kisah tentang menara Babel (Kej 11:1-
9). Yang terjadi adalah dehumanisasi, yaitu keterasingan manusia dari dasar keberadaannya,
dari diri sendiri (terlepas kesatuan antara tubuh dan roh) dan dari sesamanya4.
Hanya karena inisiatif dan anugerah Allah maka kejahatan manusia (Kej 3; 4; 6; 8:21) tidak
berakhir dengan pembinasaan manusia. Manusia dibebaskan dari ancaman maut dan
penghukuman yang seharusnya ia terima. Allah sendiri menjembatani jarak relasi dengan
membangun kembali hubungan perjanjian dengan manusia dan terus-menerus hadir dan
terlibat dalam sejarah manusia. "Pendamaian adalah manifestasi daripada kepedulian Allah
terhadap ciptaan-Nya."5
Perjanjian (tyrb) Allah dengan Nuh (Kej 8:21 - 9:17) adalah perjanjian pertama yang
memperbaruhi "perjanjian penciptaan": "Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia,
sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan
membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih
ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan
hujan, siang dan malam." (Kej 8:21-22). Dengan berkat Allah (Kej 9:1) Nuh sebagai nenek
moyang seluruh umat manusia, dengan semua keturunannya, diterima kembali ke dalam
hubungan dengan Allah.
Perjanjian ini menjadi dasar untuk semua perjanjian yang berikutnya dan bermaksud untuk
memulihkan dan mempertahankan hubungan antara Allah dan manusia dan antarmanusia
(karena menang sering sekali manusia/Israel menolak dan melanggar perjanjiannya dengan
Allah dan implikasinya): Perjanjian dengan Abraham (Kej 15), Yosua (Yos 24), Musa (Kel
19; 24; 34; Ul 26), Daud (2 Sam 7), Yosia (2 Raj 23), sampai janji bahwa Allah akan
mengadakan perjanjian baru, di mana Taurat Allah akan ditaruh dalam batin dan ditulis
dalam hati mereka (Yer 31:31-34) dan yang akan menjadi "perjanjian bagi umat manusia
dan terang untuk bangsa-bangsa" (Yes 42:6). Hubungan antara Israel dan Allah6 akan pulih
kembali seperti hubungan antara ayah dan anaknya (2 Sam 7:14; Maz 89:27 dll.) atau antara
suami dan isteri (Hos 2). Pengharapan atas "Perjanjian damai" (Hes 27:26) untuk bangsa
Israel itu bermuara ke dalam pengharapan dan janji dalam perspektif yang universal, yaitu
penciptaan "langit yang baru dan bumi yang baru", di mana "tidak akan kedengaran lagi
bunyi tangisan dan bunyi erang" (Yes 65:17+19). Perdamaian taman Eden dan kerukunan
alam semesta dan keadilan untuk mereka yang tertindas akan diadakan kembali (bdk. Yes
11:1-9 dll.): "Serigala akan tinggal bersama domba, dan mancan tutul akan berbaring di
samping kambing" (Yes 11:6)7.
Dari situ jelas, bahwa pemulihan kembali dan pemeliharaan hubungan manusia dengan Allah
hanya dimungkinkan oleh kesabaran dan pengampunan Allah. Hanya perjanjian Allah
memungkinkan rekonsiliasi yang membebaskan manusia baik dari dosa sendiri maupun dari
penderitaan karena dosa-dosa orang lain.
Namun, di sisi lain rekonsiliasi dan perjanjian ini selalu dikaitkan dengan kewajiban manusia
terhadap Allah dan sesama manusia/ciptaan dan tidak bebas dari pengadilan Allah dan
tuntutan untuk bertobat. Perjanjian berhubungan baik dengan tuntutan kultis-religius
(dasarnya: "jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku", Ul 5:7; Kel 20:3; "Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu", Ul 6:4), maupun tuntutan sosial (perintah-perintah Allah; mewujudkan
keadilan, membebaskan dari utang; tidak membalas berlebihan: "...mata ganti mata, gigi
ganti gigi..." (Kel 21:24)8; "janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh
dendam ... melainkan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" Im 19). Dari situ tampak
bahwa rekonsiliasi antara Allah dan manusia dan rekonsiliasi antarmanusia saling
terkait- dan tidak ada yang satu tanpa yang lain.
Dalam Perjanjian Lama9 ditemukan banyak contoh yang konkrit bagaimana, atas dasar
tersebut, rekonsiliasi antarmanusia atau antarbangsa bisa berhasil: misalnya rekonsiliasi Esau
dengan Yakub Kej 33,Yusuf dengan saudara-saudaranya Kej 45 atau Daud dengan Saul 1
Sam 27. Yang menarik adalah bahwa yang berinisiatif untuk pengampunan dan rekonsiliasi
dan membuka jalan untuk pertobatan sering adalah pihak yang diperlakukan tidak adil. Sekali
lagi, rekonsiliasi antarmanusia mencerminkan rekonsiliasi yang telah diberi Allah.
Mulai dengan pemilihan Abraham - bapak leluhur bersama orang Yahudi, Kristen dan Islam -
perjanjian Allah mencakup hubungan khusus, tetapi tidak eksklusif antara Allah dan
keturunan-keturunan Abraham. Tujuan perjanjian khusus ini menjadi jelas dalam Kej 12:3
kepada Abraham: "Aku... memberkati engkau ... dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan
memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang
mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." Abraham
harus menjadi berkat untuk orang yang tidak sebangsa dan seagama dengan dia, dan dia
pun akan diberkati oleh orang-orang beragama lain (misalnya oleh Melchisedek, Kej 14:19;
bdk Bileam dalam Bilangan 22 atau Korsey dalamYes 44:28 yang menjadi saluran berkat
Allah untuk bangsa Israel).
Israel hanyalah salah satu bangsa yang punya hubungan langsung dengan Allah (bdk. Ul
32:8-9) dan menerima penghakiman dan belas kasihan dari Allah (bdk. Yes 19; 40-55; Yeh;
Yun dll.). Meskipun sering kita temukan eksklusivisme dan etnosentrisme Israel dalam
Perjanjian Lama, sikap itu selalu dan langsung dikritik misalnya oleh para nabi seperti Amos:
"Bukankah kamu sama seperti orang Etiopia bagi-Ku, hai orang Israel? ... Bukankah Aku
telah menuntun orang Israel keluar dari tanah Mesir, orang Filistin dari Kaftor, dan orang
Aram dari Kir?" (Am 9:7)
Di satu pihak bangsa lain adalah "lawan-lawan politik atau paling tidak saingan Israel; pada
pihak lain Allah sendiri telah membawa mereka ke lingkungan visi Israel."10 Di satu sisi,
bangsa Israel memisahkan diri dari agama-agama sekeliling dan menolak secara tegas
pemujaan berhala. Namun Israel bisa juga melihat dan mengakui bahwa Allah telah bekerja
di tengah-tengah bangsa dan agama lain. Ia bahkan dapat menerima pengaruh dan belajar dari
agama lain11.
Pemilihan dan pengistimewaan bangsa Israel bukan karena jasanya atau karena ia lebih layak
dari pada bangsa lain. Partikularisme adalah partikularisme fungsional, partikularisme
untuk universalisme. Ia harus menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain (Yes 49:6), dan kalau
berada di tengah-tengah bangsa dan orang beragama lain, seperti dalam pembuangan di
Babel, ia harus mengusahakan "kesejahteraan kota" itu dan berdoa untuk mereka (Yer 29:7 -
syalom untuk bangsa yang berkuasa atas mereka!). Ia tidak punya panggilan untuk
"mengyahudikan" bangsa-bangsa lain, namun ia punya misi - atau lebih tepat: peranan dalam
misi rekonsiliasi Allah - terhadap bangsa lain (yaitu menjadi berkat, dan menjadi saksi yang
setia tentang keesaan Allah, perintah-Nya, keadilan-Nya dan tindakan-tindakan pembebasan-
Nya).
Tidak ada hak istimewa bangsa ini di hadapan Allah. Sebaliknya, ia punya kewajiban khusus
dalam hubungannya dengan Allah dan membutuhkan rekonsiliasi lebih dari bangsa-bangsa
lain karena ketidaktaatannya kepada Tuhannya. Kebutuhan rekonsiliasi mencakup baik aspek
individual maupun aspek kolektif (yang tidak dapat dipisahkan), dan berhubungan dengan
kesalahan atau pelanggaran kultis, religius, yuridis dan moralis. Bangsa Allah dipanggil
terus-menerus untuk bertobat kepada Allah.
Rekonsiliasi punya peranan yang sangat besar dalam kultus12. Salah satunya adalah ritus
penebusan melalui korban. Dengan menjalankan aturan-aturan ritual hubungan antara
seorang secara individual atau sekolompok secara kolektif dengan Allah bisa dipulihkan
kembali. Beban dosa ditebus (di samping syafaat, doa, puasa dll.)misalnya lewat korban
bakaran (binatang) atau seekor kambing jantang yang secara simbolis dibebankan dengan
dosa-dosa manusia dan diusir ke padang gurun (bdk Paskah Im 16; Bil 29 - "kambing jantang
dosa" atau "kambing hitam"). Korban tersebut menjadi wakil untuk menerima murkah dan
hukuman yang terkait dengan dosa atau pelanggaran yang telah dilakukan.13 Korban
memberikan penggantian. Darah yang ditumpuhkan berarti pendamaian untuk kehidupan
bagi yang mempersembahkan korban itu14.
Ritus rekonsiliasi tersebut tidak akan meniadakan kesalahan atau tanggung jawab si
pedosa, melainkan menghalangi akibat atau efek yang membawa murka untuk si individual
atau kolektif. Persyaratannya adalah penyesalan yang jujur dan pengakuan kesalahan
yang terbuka serta kesediaan untuk bertobat dan hidup kembali sesuai dengan
kehendak Allah. Namun pelaksanaan ritus tidaklah otomatis menjamin rekonsiliasi dan
penghapusan dosa, melainkan ini merupakan tindakan Allah yang bebas (bdk Im 4; Kel 34:6-
7).15
Berhubungan dengan hari raya orang Yahudi yang besar, Yom Kippur (Yom hak-Kippurim)
atau "Hari Rekonsiliasi" (bdk "liturgi rekonsiliasi Im 16), juga ditekankan bahwa
pengampunan baru berlaku, kalau - dalam hal pelanggaran dalam hubungan antarmanusia -
kerugian digantidan rekonsiliasi dengan orang yang dirugikan telah dicapai (bdk Bil
5,7)16. Para nabi dengan tegas mengritik praktek kultus yang hanya bersifat munafik dan tidak
berhubungan dengan keadilan dan perdamaian antarmanusia: "Aku membenci, Aku
menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh,
apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban
sajianmu, Aku tidak suka ... Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu,
lagu gambusmu tidak mau aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung dan
kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir." (Amos 5:21-24; bdk. Hos 6:6; Yes 1:10-17;
Yes 58:6-8; Mi 6:6-8). Keadilan dan kebenaran (bdk Mzm 98:9) menjadi ukuran untuk
keabsahan rekonsiliasi.17 Aspek rekonsiliasi ini juga nampak dalam aturan-aturan sabat, tahun
sabat dan tahun yobel (Im 25; bdk. Kel 23:10-11; Ul 15:1-18; Bil 36:4; Im 27:16-25) yang
dihubungkan dengan aspek pembebasan untuk semua ciptaan (membiarkan tanah dan
binatang-binatang, membebaskan hamba-hamba, menghapuskan utang-utang...).
Misi rekonsiliasi Allah juga menuntut sikap kerendahan hati dari bangsa Israel. Melayani
untuk rekonsiliasi bahkan bisa berarti bersedia untuk menderita. Itu dicerminkan dalam
Deuteroyesaya dan Tritoyesaya tentang "hamba Tuhan yang menderita". Hamba Tuhan
menjadi gambaran bukan hanya untuk misi seorang nabi atau untuk mesias yang akan datang,
tetapi model untuk misi rekonsiliasi Israel. Hamba Tuhan dalam kidung pertama
digambarkan sebagai orang pilihan yang dipanggil untuk menjadi model perjanjian Allah
dengan dunia, sehingga ia dapat menjadi "perjanjian bagi umat manusia dan terang bagi
bangsa-bangsa" (Yes 42:6)18, dan - dalam kidung kedua - "agar keselamatan Allah sampai
ke ujung bumi." (Yes 49:6). Ia hidup dan mati bahkan bagi mereka di luar lingkup batasan ras
dan bangsanya sendiri. Dalam Yes 50 dan Yes 52/53 hamba itu digambarkan sebagai murid
atau tokoh yang menderita karena kesetiaannya dan bahkan "mati bagi kepentingan orang
banyak": "...dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena
kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan (perdamaian) bagi kita,
ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita akan sembuh" (Yes 53:5)19. Misi Israel
dalam Yes 52:13 -53:12 terutama dipahami dalam rangka solidaritas dengan penderitaan
dunia di sekelilingnya, dan melalui itu menjadi "penyembuh yang terluka". Israel (disini
dalam konteks pembuangan di Babel, di mana Israel sendiri mengharapkan pembebasan dan
menjadi penerima "ganti rugi" melalui "korban penebus salah (asham)"20) menjadi berkat
untuk bangsa lain bukan dari posisi yang kuat, superior, eksklusif dan triumfalistik, dan juga
bukan sebagai "korban yang tidak bersalah" dalam arti wacana korban21, melainkan dalam
"solidaritas sesama korban".
Tujuan dan visi rekonsiliasi adalah "perjanjian abadi" (Yes 55:3): "...biarpun gunung-
gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari
padamu dan perjanjian damai-Ku (berit syalom -~wlv tyrb) tidak akan bergoyang"
(Yes 54:10; bdk Yeh 34:25; 37:26).
Konsep Perjanjian Lama tentang ~wlvsyalom adalah konsep perdamaian yang sangat
holistik. Di satu sisi, syalom adalah kata ucapan selamat sehari-hari, di sisi lain punya arti
religius yang sangat mendalam. Syalom tidak memisahkan perdamaian dengan Allah (tidak
ada "individualisasi" dan spiritualisasi") dari perdamaian dengan manusia, tidak memisahkan
perdamaian rohani dengan perdamaian jasmani dan sosial.22 Syalom adalah anugerah Allah
dan sekaligus tanggung jawab manusia. Syalom sebagai pengalaman iman, panggilan etis dan
harapan untuk masa depan melampaui tradisi-tradisi kaku dan permusuhan terhadap bangsa
lain dalam Perjanjian Lama23.
Memang tidak dapat disangkal bahwa perhatian masih dipusatkan kepada peranan sentral
bangsa Israel dalam sejarah keselamatan Allah. Tetapi simbol-simbol identitas yang
eksklusiv telah dibuka seperti dalam visi tentang ziarah bangsa-bangsa ke bukit Sion: "Akan
terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah Tuhan akan berdiri tegak di hulu
gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-
duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari kita naik ke gunung
Tuhan, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya
kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman Tuhan dari
Yerusalem." Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi
banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedang menjadi mata bajak dan
tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang
terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. Hai kaum keturunan Yakub,
mari kita berjalan di dalam terang Tuhan!" (Yes 2:1-5). Kalimat terakhir itu - "...mari kita
berjalan dalam terang Tuhan" - membuat visi syalom yang universal itu menjadi misi
rekonsiliasi untuk damai sejahtera untuk seluruh dunia dan alam semesta.24
Saya mau menyimpulkan "misi rekonsiliasi dalam Perjanjian Lama" dengan sebuah simbol
untuk perjanjian (tyrb berit) Allah sebai dasar rekonsiliasi dan syalom (~wlv) Allah
sebagai visi dan misi rekonsiliasi, yaitu pelangi dan burung merpati yang membawa sehelai
daun zaitun (dari kisah tentang air bah dan perjanjian dengan Nuh Kej 5-9): Pelangi sebagai
tanda rekonsiliasi antara Allah dan manusia, dan antara manusia yang begitu beranekaragam.
Merpati sebagai duta perdamaian yang membuka kemungkinan untuk kehidupan baru di
tengah keadaan yang tanpa harapan.
Mengapa Nama ‘Yahwe’ Diganti dengan ’Allah?’ (Kajian tentang Asal-usul dan Tradisi
Teologis)
OPINI
Jufri Kano
| 24 Oktober 2010 | 16:52
64
4
1 dari 1 Kompasianer menilai Bermanfaat.
Pengantar
Sebagai makhluk yang diciptakan untuk sesuatu yang tidak terbatas, manusia tidak pernah
dapat puas dengan dunia yang terbatas ini. Segala harta dunia ini, segala silau teknologinya
yang canggih, segala kepuasan yang ditawarkannya, pada hakikatnya tidak pernah dapat
memuaskan hati manusia yang selalu merindukan sesuatu yang mengatasi dunia ini. Ada
banyak interpretasi tentang realitas yang tidak terbatas itu, semuanya bertujuan agar manusia
sampai kepada pemahaman yang akurat tentang Yang Absolut itu sendiri. Bagi orang Arab,
realitas yang tidak terbatas itu adalah Allah, sedangkan orang Yahudi menyebutnya Yahwe.
Di antara kedua kata tersebut, kata ‘Allah’ merupakan kata yang paling populer dan
digunakan bersama-sama oleh penganut agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Akan tetapi,
belakangan ini penggunaan kata Allah di kalangan Kristen menuai kritik yang tajam dari
umat Islam. Menurut umat Islam, kata Allah merupakan trade mark umat Islam saja. Muncul
pertanyaan: apakah kata ‘Allah’ milik ekslusif orang Islam? Ataukah ada kata lain yang lebih
orisinil untuk mengetahui identitas sang causa prima non causata itu? Untuk menjawab
pertanyaan itu, akan dibicarakan dulu asal-usul kata Allah.
Secara etimologis, kata ‘Allah’ merupakan perpaduan dua kata Arab: al- dan ilah, artinya
Yang Mahakuasa. Kata Semit ilah sama arti dan akarnya dengan kata Ibrani el yang berarti
yang kuat, yang berkuasa, dan menjadi sebutan untuk Tuhan. Karena dikira ada banyak el
atau ilah (politeisme), maka satu ilah disebut sebagai El-Elyon, Allah Tertinggi, yang diakui
sebagai Pencipta langit dan bumi. Kata ‘Allah’ sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum
Islam untuk menunjuk Pencipta alam semesta, yang terlalu jauh atau tinggi untuk disembah
atau dimintai perhatian. Sudah di masa sebelum Islam, al-ilah disambung menjadi Allah.
Dengan demikian, kata Allah bukan ciptaan orang Islam, melainkan ia merupakan kata biasa
dalam bahasa Arab lepas dari ikatan dengan salah satu agama tertentu.[1]
Bangsa Israel lahir dan berkembang di dalam suasana keagamaan yang serba ragam dengan
nama sesembahan mereka masing-masing. Sejumlah Kitab Perjanjian Lama menyebutkan
bahwa nama pribadi sesembahan bangsa Israel adalah Yahwe. Nama ini membedakan
sesembahan bangsa Israel dengan ilah-ilah bangsa lain (Ul 7:25). Nama Yahwe amat sering
digunakan dalam Alkitab Ibrani. Dengan nama Yahwe, Allah telah menyatakan diri dalam
sejarah bangsa Israel.
Bangsa Israel sudah mengenal Yahwe, sebab Yahwe sendiri telah menyatakan diri-Nya
kepada mereka: “Aku ini Yahwe, itulah nama-Ku” (Yes 42:8). Nama Yahwe diartikan
sebagai “Dia ada,” dalam arti “ada untuk umat-Nya,” hadir dan bertindak bagi mereka,
menyertai mereka dalam perjalanan keluar dari perbudakan. Namun demikian, bangsa Israel
masih mencari Dia, memanggil Dia dengan nama-nama ilahi yang berasal dari dunia
keagamaan bangsa-bangsa di daerah pengembaraan mereka sebab Yahwe sendiri berkenan
memperkenalkan diri-Nya di bawah nama-nama itu. Muncul pertanyaan: apakah sama antara
Yahwe dengan sembahan bangsa-bangsa pengembara itu? Jauh dari menyamakan diri dengan
sembahan-sembahan itu, Yahwe seakan-akan merebut, menyita, dan mengambil alih nama-
nama mereka.[2] Latar belakang kafir dari nama-nama itu tidak dapat menghalangi
penggunaannya sebagai alat pernyataan diri Yahwe kepada para bapa leluhur Israel. Yahwe
berkenan mempergunakan ciri-ciri keagamaan sekedar untuk menyatakan diri-Nya yang
sebenarnya.
Meskipun bangsa Israel mengenal Yahwe, tetapi nama yang kudus ini tidak boleh disebut
dengan sia-sia mengingat arti penting sebuah nama dalam Perjanjian Lama. Nama mewakili
pribadi dan mengetahui nama seseorang kadang-kadang menguasai orang itu (bdk. Kej
32:30).[3] Oleh karenanya, orang-orang Israel zaman dulu mengganti nama Yahwe dengan
istilah Adonai.
Kebiasaan bangsa Israel untuk menggantikan kata ‘Yahwe’ dengan kata ’Adonai‘ diikuti
oleh Yesus dan para rasul-Nya. Lembaga Alkitab Indonesia kiranya juga mengikuti kebiasaan
ini dalam menerjemahkan Yahwe dengan kata ‘Allah.’ Terjemahan ini tepat mengingat
sebutan ‘Allah’ itu memiliki jangkauan luas dan universal, melampaui batas bangsa. Oleh
karenanya, kita sebagai umat Kristen jelas tidak rela disuruh untuk melepaskan sebutan
‘Allah’ itu.
Secara historis, terdapat pandangan di kalangan orang banyak, baik yang Muslim maupun
yang bukan Muslim, tentang adanya kesejajaran antara ‘ke-Islam-an’ dan ke-Arab-an.’
Pandangan seperti itu jelas tidak didasarkan pada kenyataan tetapi hanya didasarkan pada
kesan semata. Akibatnya, banyak orang mengira bahwa hanya orang Islam yang percaya
kepada Allah, atau bahwa kata ‘Allah’ itu sendiri adalah milik ekslusif orang Islam. Padahal
dalam kenyataannya, bahasa Arab bukanlah bahasa khusus orang-orang Muslim dan agama
Islam, melainkan juga bahasa kaum non-Muslim dan agama bukan Islam sebab di kalangan
bangsa Arab terdapat kelompok-kelompok bukan Islam, seperti Yahudi dan Kristen.[4]
Sebagai orang yang berkebangsaan Arab, mereka juga menggunakan kata ‘Allah’ dan
percaya kepada Allah.
Dalam terjemahan Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru ke dalam
bahasa Siryani yang digunakan di Siria sebelum kedatangan agama Islam, kata yang
digunakan untuk menyebut Allah adalah kata yang biasa digunakan dalam bahasa-bahasa
Semit (Ibrani, Arami, Arab, dan lain-lain), yakni kata yang memiliki akar kata’l.‘ Kata
tersebut dalam bahasa Siryani diucapkan alaha, “dewa itu” yang sama artinya dengan ha-
eloah dalam bahasa Ibrani, atau Allah dalam bahasa Arab. Dengan demikian, sangat masuk
akal kalau orang-orang Islam menggunakan kata ‘Allah’ untuk menunjuk kepada sesembahan
mereka, dan orang-orang Yahudi dan Kristen Arab memakai kata ‘Allah’ yang sama itu pula
untuk menyebut sesembahan mereka.
Ketika orang-orang Muslim Arab melakukan ekspansi militer dan politik keluar Jazirah
Arabia, mereka membawa agama Islam kepada masyarakat bukan Arab. Dengan demikian,
masyarakat bukan Arab tersebut menggunakan bahasa Arab setelah wilayah mereka dikuasai
oleh orang-orang Arab sehingga mereka pun memakai kata ‘Allah.’ Jadi, kata ‘Allah’ bukan
kepunyaan orang Islam saja melainkan kepunyaan semua orang yang menggunakan bahasa
Arab itu. Ia sudah digunakan oleh orang Arab pada zaman sebelum Islam. Kata ‘Allah’ ini
kemudian dipegang bersama-sama oleh orang Yahudi dan Kristen yang menggunakan bahasa
Arab, demikian pula oleh orang Islam, semuanya berdasarkan latar belakang etimologis kata
itu sendiri dan tradisi teologis agama-agama mereka yang berakar dalam Perjanjian Lama.
4. Tanggapan Kritis
Agama Kristen mengakui bahwa Allah memperlihatkan diri-Nya lewat suatu kebudayaan
yang konkret dan definitif. Hal ini tampak jelas dalam diri Yesus Kristus yang lahir pada
suatu waktu tertentu, di suatu tempat tertentu, dan berintegrasi dalam suatu kebudayaan
tertentu yaitu kebudayaan Yahudi Palestina. Warta universal dari Allah yang dimaklumkan
dalam diri Yesus Kristus dialamatkan kepada manusia dari suatu kebudayaan tertentu pula.
Pewartaan tersebut bisa ditanggapi lewat unsur budaya setempat, yaitu bahasa mereka
sendiri. Pengakuan inilah yang merupakan salah satu pendorong bagi umat Kristiani untuk
menghormati bahasa setempat dalam usaha mencapai pemahaman yang akurat tentang Yang
Absolut itu sendiri.[5] Dengan kata lain, latar belakang permasalahan perbedaan penggunaan
kata untuk menyebut realitas yang tidak terbatas itu bagi umat Kristiani tidak terlalu
dipersoalkan. Inti yang mau diambil oleh umat Kristiani adalah bahwa dengan penggunaan
kata tertentu misalnya kata ‘Allah’ untuk menyebut Yang Absolut itu, kehadiran Dia yang
disebutkan itu dapat ditangkap, dipahami, dan diterima oleh orang-orang yang dalam
kenyataannya terikat dalam konteks bahasa tertentu.
Penggunaan kata ‘Allah’ di kalangan Kristen merupakan wujud khusus yang menandakan
bahwa Allah hadir dan berbicara dengan bahasa orang setempat, yaitu masyarakat yang
menjadi pendengar-Nya. Allah menggunakan medium bahasa setempat untuk
mengungkapkan siapa diri-Nya, namun kehadiran-Nya lepas dari semua bahasa yang
digunakan oleh manusia manapun. Jadi, kehadiran Allah melampaui setiap kata yang kita
pakai untuk menyebut-Nya.
Kata ‘Allah’ dipakai untuk merumuskan penghayatan atau penangkapan kita tentang realitas
tertinggi, bukan realitas in se-Nya. Dengan demikian, yang lebih penting bagi kita ialah
menyadari arti pernyataan diri Allah ini. Ia berkenan menggunakan bahasa tertentu untuk
memperkenalkan diri-Nya kepada semua orang. Pendekatan yang mengadakan hubungan
langsung dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pendengar-Nya membuka
kemungkinan untuk diterima oleh setiap orang di mana Allah menyatakan diri-Nya sehingga
mereka menemukan kehadiran Allah di tengah-tengah mereka.
5. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa perubahan
nama untuk menyebut realitas tertinggi sudah dimulai sejak zaman bangsa Israel Kuno.
Mula-mula bangsa Israel mengenal sesembahan mereka sebagai Yahwe, namun selanjutnya
mereka merasa bahwa nama itu sungguh kudus sehingga tidak pantas untuk diucapkan
sembarangan. Untuk menggantikan sebutan Yahwe, mereka memilih sebuah kata baru yaitu
Adonai.
Dalam perkembangan selanjutnya, orang Israel tidah hanya menyebut Yahwe dengan kata
Adonai, tetapi juga memanggil Dia dengan nama-nama ilahi yang berasal dari dunia
keagamaan bangsa-bangsa di daerah pengembaraan mereka. Hal tersebut dilakukan karena
mereka yakin bahwa Yahwe sendiri berkenan memperkenalkan diri-Nya di bawah nama-
nama itu. Latar belakang kafir dari nama-nama itu diberi arti secara baru dan diyakini
sebagai alat pernyataan diri Yahwe kepada para bapa leluhur Israel.
Kebiasaan bangsa Israel untuk menggantikan kata ‘Yahwe’ dengan kata yang lain diwariskan
secara turun-temurun. Akibatnya, setiap bangsa mempunyai kata sendiri untuk menyebut
sesembahan mereka, namun tetap mengungkapkan realitas tertinggi itu. Bagi orang-orang
yang berlatar belakang Arab, kata yang mereka pakai adalah kata ‘Allah.’ Kata ini merupakan
kata universal yang dipakai bersama-sama oleh orang Yahudi dan Kristen yang menggunakan
bahasa Arab, demikian pula oleh orang Islam. Jadi, kata ‘Allah’ bukan kepunyaan orang
Islam saja melainkan kepunyaan semua orang yang menggunakan bahasa Arab itu.
Daftar Pustaka