You are on page 1of 72

PAK dalam Perjanjian Lama

LATAR BELAKANG PL: BANGSA, AGAMA DAN BUDAYA YAHUDI

A. Bangsa Yahudi
Bangsa yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit tapi menyebar ke seluruh dunia,
menyebar tapi kemurniannya terjaga, kadang tidak bertanah air dan tak punya raja,
tapi selalu menonjol dan memberi pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya, tapi
bertahan bahkan berkelimpahan. Bangsa yang memiliki identitas yang kuat.
B. Agama Yahudi
Penganut agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan kepada Hukum Agama
agar dijalankan dengan penuh ketekunan. Kemurnian pengajarannya dijaga dari
generasi ke generasi berikutnya untuk memberi dasar yang teguh bagi setiap
tingkah laku dan tindakan. Hukum agama sering diaplikasikan secara harafiah.
C. Budaya Yahudi
Yang paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada
pendidikan. Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam
budaya Yahudi. Semua bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana
mereka mendidik generasi muda, yang kelak akan memberi pengaruh yang besar.
Obyek utama dalam pendidikan mereka adalah mempelajari Hukum Taurat.

PRINSIP PENDIDIKAN DALAM PERJANJIAN LAMA

A. Prinsip-prinsip yang Dipegang oleh Bangsa Yahudi


1. Seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah.
Kej. 1:1 -- Segala sesuatu telah dijadikan oleh Allah dengan tujuan supaya
manusia mengenal Allah dan berhubungan dengan-Nya. Cara Allah
menyatakan diri adalah dengan:
- Wahyu : Supaya orang menyadari dan mengakui keberadaan Allah
Umum melalui alam, sejarah, hati nurani manusia.
- Wahyu : Supaya manusia menerima keselamatan dari Allah. Allah
Khusus berinkarnasi menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.
2. Menurut konsep Yahudi tidak ada perbedaan nilai antara duniawi dan
rohani, semuanya ada dalam wilayah Tuhan. Itu sebabnya orang Yahudi
percaya bahwa "seluruh hidup adalah suci".
3. Pendidikan berpusatkan pada Allah.
Fokus utama dalam pendidikan Yahudi adalah: Yehova (Hab. 2:10 --
kegagalan campur tangan Allah adalah kegagalan bangsa.) Bagi anak
Yahudi tidak ada buku lain yang memiliki keharusan untuk dipelajari selain
Alkitab (Taurat) untuk menjadi pegangan dan pelajaran tentang Allah dan
karya-Nya
4. Pendidikan adalah kegiatan utama dan diintegrasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam Kitab Talmud dikatakan kalau ingin menghancurkan bangsa Yahudi,
kita harus membinasakan guru-gurunya. Bangsa Yahudi adalah bangsa
pertama yang memiliki sistem pendidikan Nasional (Ula. 6:4-9) Pendidikan
mereka tidak hanya secara teori, tetapi menjadi kegiatan sehari-hari dalam
cara hidup dan keagamaannya. Contoh: Kitab Imamat yang mengajarkan
semua tata cara hidup dan beragama.
B. Tempat Pendidikan Anak Bangsa Yahudi
Pendidikan anak Yahudi bermula di rumah. Berpangkal dari peranan seorang ibu
Yahudi. Tugas kewajiban ibu adalah untuk menjaga kelangsungan hidup rumah
tangga yang juga terkait erat dengan tugas rohani mendidik anak-anaknya,
khususnya ketika masih balita. Jauh- jauh hari sebelum anak berhubungan dengan
dunia luar, anak terlebih dahulu mendapat pendidikan dari ibunya sehingga
sesudah menginjak usia remaja/pemuda ia sudah mempunyai dasar yang benar.
Contoh: Melalui cerita-cerita sejarah bangsa dan hari-hari peringatan/besar.

PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT ULANGAN 6:4-9

Ulangan 6:4-9 menjadi pusat pengajaran pendidikan agama Kristen. Kitab-kitab lain yang
membahas tentang pendidikan bersumber dari kitab Ulangan ini.

1. Ayat 4 ("Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa!")
Ayat ini disebut "Shema" atau pengakuan iman orang Yahudi (agama Yudaisme)
yang artinya "Dengarlah". Yesus menyebut ayat ini sebagai hukum yang pertama --
prinsip iman dan ketaatan. Memberikan konsep Allah yang paling akurat, jelas dan
pendek Tuhan adalah unik, lain dengan yang lain. Dia Allah yang hidup, yang
benar dan yang sempurna. Tidak ada Allah yang lain, hanya satu Allah saja. Ayat 4
ini bersamaan dengan ayat 5 diucapkan sedikitnya dua kali sehari oleh orang
Yahudi dewasa laki-laki. Ayat ini diucapkan bersamaan dengan Ula. 11:13-21 dan
Bil. 15:37-41.
2. Ayat 5 ("Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.")
Kasih harus menjadi motif setiap hubungan manusia dengan Tuhan. Kasih
disebutkan pertama karena disanalah terletak pikiran, emosi, dan kehendak
manusia. Tugas yang Tuhan berikan untuk manusia lakukan adalah kasihilah Allah
Tuhanmu. Musa mengajarkan Israel untuk takut, tapi kasih lebih dalam dari takut.
o Mengasihi Tuhan artinya memilih Dia untuk suatu hubungan intim dan
dengan senang hati menaati perintah-perintah-Nya.
o Mengasihi dengan hati yang tulus, bukan hanya di mulut tapi juga dalam
tindakan.
o Mengasihi dengan seluruh kekuatan, memiliki semuanya.
o Mengasihi dengan kasih yang terbaik, tidak ada yang melebihi kasih kita
kepada Dia, sehingga kita takluk kepada Dia.
o Mengasihi dengan seluruh akal budi/pengertian, karena kita kenal Dia maka
kita mengasihi dan mentaati perintah-Nya.
3. Ayat 6 ("Apa yang Kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau
perhatikan.")
Perintah Tuhan bukanlah untuk didengar dengan telinga saja, tapi juga dengan hati
yang taat. Sebelum bertindak pikirkanlah lebih dahulu perintah Tuhan, maka
hidupmu akan selamat.
4. Ayat 7 ("Haruslah engkau mengajarkan berulang-ulang "kepada anakmu"
membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau
sedang dalam perjalanan, apabila engkau bangun.")

Mereka yang mengasihi Allah, mengasihi Firman-Nya dan melakukannya dengan


meditasi, bertanggung jawab untuk merenungkannya dan menyimpannya dalam
hati untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua mempunyai tugas
untuk mengajarkan Firman-Nya kepada anak-anak dengan didikan dan harus
dimulai sejak dini dan berulang-ulang. Ayat 7 ini dipakai sebagai fondasi
kurikulum pendidikan Kristen.

5. Ayat 8-9 ("Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada


tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang dahimu, dan haruslah engkau
menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.")

Tulisan hukum-hukum belum menjadi milik umum, namun demikian, Allah


menghendaki mereka melakukannya, supaya mereka terbiasa bergaul dengan
hukum Allah. Orang Yahudi mengerti perintah ini dan melakukannya secara
harafiah.

Mereka mengenal 3 tanda-tanda untuk mengingat hukum Allah:

a. Zizth : Dipakai/dipasang pada ujung jubah Iman (Bil. 15:37-41)


b. Mezna : Kotak kecil yang berisi Ul 6:4-9 diletakkan di sebelah kanan pintu
c. Tephillin : Dua kotak kecil berbentuk kubus masing-masing dari kertas
perkamen yang ditulis dengan tangan secara khusus berisi 4 ayat
yaitu, Keluaran 13:1-10, Keluaran 13:11-16, Ulangan 6:4-9, dan
Ulangan 11:18-21. Satu diikatkan di tangan kiri dan satu di dahi.

Tanda-tanda ini dipakai pada saat sembahyang di luar hari Sabat. Tanda-tanda ini
sangat indah sebagai peringatan akan kehadiran Allah di rumah dan akhirnya
dipraktekkan untuk mengusir setan. Tanda-tanda simbolik ini dibuat supaya
penekanan pemahaman ayat itu menjadi nyata sehingga pengajaran itu akan
berlangsung terus- menerus.

Sumber:
 Silabus PAK Anak, Dra. Yulia Oeniyati, Th.M.,
http://www.sabda.org/pepak/pustaka/050836/.

PERJANJIAN LAMA DALAM PAK

Menjadi sebuah hal yang menarik adalah ketika muncul sebuah pertanyaan, seberapa
pentingkah Perjanjian Lama dalam ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen (PAK)?
Mungkin pertanyaan ini kita anggap sambil lalu, atau tidak terlalu penting, atau memang kita
belum mengetahuinya. Mungkin ada yang mengatakan bahwa Perjanjian Lama (PL) tidak
terlalu penting karena PL sudah berlalu dan sudah digenapi oleh Perjanjian Baru (PB), atau
PB telah menjelaskan tentang pendidikan kekristenan.

Apabila kita mempelajari dengan baik, Yesus Kristus menggunakan PL dalam mengajar di
pelayanan-Nya (Mat.5:21-22; 22:39)? Para murid Yesus juga menggunakan PL dalam
pelayanan (pemberitaan Injil)? Ternyata PL menjadi hal penting dalam membangun konsep
dan pelaksanaan PAK. Pada topik ini, saya tidak menggunakan kata “PAK dalam Perjanjian
Lama”, tetapi saya lebih menggunakan kata “PL dalam PAK”. Ya, karena bukan PAK yang
ada dalam Perjanjian Lama, tetapi Perjanjian Lama-lah yang ada dalam PAK. Dengan kata
lain, hal yang hendak dimaksudkan adalah PL digunakan dalam membangun dan membentuk
PAK. Tentunya hal ini dilandasi bahwa PAK lahir setelah PL, walaupun dalam perspektif
lain diungkapkan bahwa kekristenan sudah ada dalam PL. Michelle Anthony mengomentari
pentingnya dasar Alkitab dalam pendidikan anak karena Allah berkehendak menyediakan
petunjuk tentang bagaimana memperhatikan serta memelihara anak. Baik Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru memberikan penjelasan mengenai perhatian terhadap kebutuhan
fisik, emosi maupun kerohanian anak.

LATAR BELAKANG PL: BANGSA, AGAMA DAN BUDAYA YAHUDI

A. Bangsa Yahudi
Bangsa yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit tapi menyebar ke seluruh dunia, menyebar
tapi kemurniannya terjaga, kadang tidak bertanah air dan tak punya raja, tapi selalu menonjol
dan memberi pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya, tapi bertahan bahkan berkelimpahan.
Bangsa yang memiliki identitas yang kuat.
B. Agama Yahudi
Penganut agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan kepada Hukum Agama agar
dijalankan dengan penuh ketekunan. Kemurnian pengajarannya dijaga dari generasi ke
generasi berikutnya untuk memberi dasar yang teguh bagi setiap tingkah laku dan tindakan.
Hukum agama sering diaplikasikan secara harafiah.
C. Budaya Yahudi
Yang paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada pendidikan.
Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam budaya Yahudi. Semua
bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana mereka mendidik generasi muda,
yang kelak akan memberi pengaruh yang besar. Obyek utama dalam pendidikan mereka
adalah mempelajari Hukum Taurat.

PRINSIP PENDIDIKAN DALAM PERJANJIAN LAMA

a. Prinsip-prinsip yang Dipegang oleh Bangsa Yahudi


1. Seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah.
Kej. 1:1 -- Segala sesuatu telah dijadikan oleh Allah dengan tujuan supaya manusia mengenal
Allah dan berhubungan dengan-Nya. Cara Allah menyatakan diri adalah dengan:
- Wahyu Umum: Supaya orang menyadari dan mengakui keberadaan Allah melalui alam,
sejarah, hati nurani manusia.
- Wahyu Khusus: Supaya manusia menerima keselamatan dari Allah. Allah berinkarnasi
menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.
2. Menurut konsep Yahudi tidak ada perbedaan nilai antara duniawi dan rohani, semuanya
ada dalam wilayah Tuhan. Itu sebabnya orang Yahudi percaya bahwa "seluruh hidup adalah
suci".
3. Pendidikan berpusatkan pada Allah.
Fokus utama dalam pendidikan Yahudi adalah: Yehova (Hab. 2:10 -- kegagalan campur
tangan Allah adalah kegagalan bangsa.) Bagi anak Yahudi tidak ada buku lain yang memiliki
keharusan untuk dipelajari selain Alkitab (Taurat) untuk menjadi pegangan dan pelajaran
tentang Allah dan karya-Nya
4. Pendidikan adalah kegiatan utama dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Kitab Talmud dikatakan kalau ingin menghancurkan bangsa Yahudi, kita harus
membinasakan guru-gurunya. Bangsa Yahudi adalah bangsa pertama yang memiliki sistem
pendidikan Nasional (Ula. 6:4-9) Pendidikan mereka tidak hanya secara teori, tetapi menjadi
kegiatan sehari-hari dalam cara hidup dan keagamaannya. Contoh: Kitab Imamat yang
mengajarkan semua tata cara hidup dan beragama.
b. Tempat Pendidikan Anak Bangsa Yahudi
Pendidikan anak Yahudi bermula di rumah. Berpangkal dari peranan seorang ibu Yahudi.
Tugas kewajiban ibu adalah untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangga yang juga
terkait erat dengan tugas rohani mendidik anak-anaknya, khususnya ketika masih balita.
Jauh- jauh hari sebelum anak berhubungan dengan dunia luar, anak terlebih dahulu mendapat
pendidikan dari ibunya sehingga sesudah menginjak usia remaja/pemuda ia sudah
mempunyai dasar yang benar. Contoh: Melalui cerita-cerita sejarah bangsa dan hari-hari
peringatan/besar.

PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT ULANGAN 6:4-9


Ulangan 6:4-9 menjadi pusat pengajaran pendidikan agama Kristen. Kitab-kitab lain yang
membahas tentang pendidikan bersumber dari kitab Ulangan ini.
1. Ayat 4 ("Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa!")
Ayat ini disebut "Shema" atau pengakuan iman orang Yahudi (agama Yudaisme) yang
artinya "Dengarlah". Yesus menyebut ayat ini sebagai hukum yang pertama -- prinsip iman
dan ketaatan. Memberikan konsep Allah yang paling akurat, jelas dan pendek Tuhan adalah
unik, lain dengan yang lain. Dia Allah yang hidup, yang benar dan yang sempurna. Tidak ada
Allah yang lain, hanya satu Allah saja. Ayat 4 ini bersamaan dengan ayat 5 diucapkan
sedikitnya dua kali sehari oleh orang Yahudi dewasa laki-laki. Ayat ini diucapkan bersamaan
dengan Ula. 11:13-21 dan Bil. 15:37-41.
2. Ayat 5 ("Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap kekuatanmu.")
Kasih harus menjadi motif setiap hubungan manusia dengan Tuhan. Kasih disebutkan
pertama karena disanalah terletak pikiran, emosi, dan kehendak manusia. Tugas yang Tuhan
berikan untuk manusia lakukan adalah kasihilah Allah Tuhanmu. Musa mengajarkan Israel
untuk takut, tapi kasih lebih dalam dari takut.
o Mengasihi Tuhan artinya memilih Dia untuk suatu hubungan intim dan dengan senang hati
menaati perintah-perintah-Nya.
o Mengasihi dengan hati yang tulus, bukan hanya di mulut tapi juga dalam tindakan.
o Mengasihi dengan seluruh kekuatan, memiliki semuanya.
o Mengasihi dengan kasih yang terbaik, tidak ada yang melebihi kasih kita kepada Dia,
sehingga kita takluk kepada Dia.
o Mengasihi dengan seluruh akal budi/pengertian, karena kita kenal Dia maka kita mengasihi
dan mentaati perintah-Nya.
3. Ayat 6 ("Apa yang Kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau perhatikan.")
Perintah Tuhan bukanlah untuk didengar dengan telinga saja, tapi juga dengan hati yang taat.
Sebelum bertindak pikirkanlah lebih dahulu perintah Tuhan, maka hidupmu akan selamat.
4. Ayat 7 ("Haruslah engkau mengajarkan berulang-ulang "kepada anakmu"
membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam
perjalanan, apabila engkau bangun.")
Mereka yang mengasihi Allah, mengasihi Firman-Nya dan melakukannya dengan meditasi,
bertanggung jawab untuk merenungkannya dan menyimpannya dalam hati untuk diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua mempunyai tugas untuk mengajarkan Firman-Nya
kepada anak-anak dengan didikan dan harus dimulai sejak dini dan berulang-ulang. Ayat 7 ini
dipakai sebagai fondasi kurikulum pendidikan Kristen.
5. Ayat 8-9 ("Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan
haruslah itu menjadi lambang dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu
rumahmu dan pada pintu gerbangmu.")
Tulisan hukum-hukum belum menjadi milik umum, namun demikian, Allah menghendaki
mereka melakukannya, supaya mereka terbiasa bergaul dengan hukum Allah. Orang Yahudi
mengerti perintah ini dan melakukannya secara harafiah.
Mereka mengenal 3 tanda-tanda untuk mengingat hukum Allah:
a. Zizth: Dipakai/dipasang pada ujung jubah Iman (Bil. 15:37-41)
b. Mezna: Kotak kecil yang berisi Ul 6:4-9 diletakkan di sebelah kanan pintu
c. Tephillin: Dua kotak kecil berbentuk kubus masing-masing dari kertas perkamen yang
ditulis dengan tangan secara khusus berisi 4 ayat yaitu, Keluaran 13:1-10, Keluaran 13:11-16,
Ulangan 6:4-9, dan Ulangan 11:18-21. Satu diikatkan di tangan kiri dan satu di dahi.
Tanda-tanda ini dipakai pada saat sembahyang di luar hari Sabat. Tanda-tanda ini sangat
indah sebagai peringatan akan kehadiran Allah di rumah dan akhirnya dipraktekkan untuk
mengusir setan. Tanda-tanda simbolik ini dibuat supaya penekanan pemahaman ayat itu
menjadi nyata sehingga pengajaran itu akan berlangsung terus- menerus.

PENERAPAN PENDIDIKAN KRISTEN PERJANJIAN LAMA DALAM ERA


MODERN

Bagi orang Israel, pendidikan -- khususnya pendidikan rohani -- merupakan bagian integral
dari perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Ulangan 6:4 memuat "Shema", yaitu doa yang
diucapkan dua kali sehari, setiap pagi dan petang dalam ibadah di sinagoge. Ayat ini amat
penting karena merupakan pengakuan iman yang sangat tegas akan Tuhan (Yahweh) sebagai
satu-satunya Allah yang layak disembah:
"Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ulangan 6:4)
Pernyataan ini kemudian langsung dilanjutkan dengan perintah rangkap untuk mengasihi
Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan mereka (ayat 5), menaruh perintah itu dalam
hati (ayat 6), mengajarkannya kepada anak-anak mereka secara berulang-ulang (ayat 7),
mengikatkannya sebagai tanda pada tangan dan dahi (ayat 8), dan menuliskannya di pintu
rumah dan gerbang (ayat 9).
Orang Israel menafsirkan perintah-perintah tersebut secara harafiah dengan membuat "tali
sembahyang" yang diikatkan di dahi atau lengan dan berisi empat naskah, salah satunya
adalah Ulangan 6:4-9 di atas. Ketiga naskah lainnya diambil dari Keluaran 13:1-10, Keluaran
13:11-16, dan Ulangan 11:18-21. Di dalam keempat naskah tersebut, kewajiban untuk
mengajarkan hukum dan pengetahuan tentang Allah kepada anak-anak mendapat penekanan
yang besar. Hal ini menunjukkan besarnya hubungan antara pendidikan rohani dalam rumah
tangga dengan ketaatan kepada Allah.

PENERAPAN PENDIDIKAN PERJANJIAN LAMA UNTUK ERA MODERN

Era modern mengubah cara pandang para pendidik Kristen dalam mendidik anak. Toleransi
tinggi dan keleluasaan tidak terbatas cenderung menjadi gaya pendidikan saat ini. Sebenarnya
justru dalam era modern sekarang, pendidik Kristen harus menerapkan beberapa prinsip
dalam Perjanjian Lama yang lebih disiplin dalam hal pendidikan anak.
1. Tanggung jawab pendidikan Kristen pertama-tama dan terutama terletak pada orang tua,
yaitu ayah dan ibu (Amsal 1:8). Banyak keluarga Kristen masa kini yang menyerahkan
pendidikan rohani anak mereka sepenuhnya pada gereja atau sekolah minggu. Mereka
beranggapan bahwa gereja atau sekolah minggu tentunya memiliki "staf profesional" yang
lebih handal dalam menangani pendidikan rohani anak mereka. Namun, mereka lupa bahwa
lama waktu perjumpaan antara anak mereka dengan pendeta, pastor, gembala, guru sekolah
minggu, atau pembimbing rohani anak yang hanya beberapa jam dalam seminggu, yang
tentunya terlalu singkat untuk mengajarkan betapa luas dan dalamnya pengetahuan tentang
Allah. Satu hal lain yang terpenting adalah Allah sendiri telah meletakkan tugas untuk
merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak ke dalam tangan orang tua. Merekalah yang
harus mempersiapkan anak-anak mereka agar hidup berkenan kepada Allah. Gereja dan
sekolah minggu hanya membantu dalam proses pendidikan tersebut.
2. Tujuan utama pendidikan Kristen adalah untuk mengajar anak-anak takut akan Tuhan,
hidup menurut jalan-Nya, mengasihi-Nya, dan melayani-Nya dengan segenap hati dan jiwa
mereka (Ulangan 10:12). Berlainan dengan pendidikan oleh dunia yang bertujuan untuk
menciptakan generasi muda yang penuh ambisi untuk sukses, mandiri, dan percaya pada
kekuatan diri sendiri, pendidikan Kristen mendidik anak-anak untuk memiliki sikap
mementingkan Tuhan di atas segala-galanya, taat pada Tuhan, dan bergantung pada kekuatan
Tuhan untuk terus berkarya. Nilai-nilai yang penting dalam pendidikan Kristen adalah kasih,
ketaatan, kerendahan hati, dan kesediaan untuk ditegur.
3. Orang tua yang baik mendidik anaknya dengan teguran dan hajaran dalam kasih (Amsal
6:23). Ada teori pendidikan modern yang menyarankan agar orang tua jangan pernah
menyakiti anak-anak mereka, baik secara fisik maupun secara verbal, atau melalui kata-kata
karena hal tersebut dapat menimbulkan kebencian dan dendam pada orang tua dalam diri
anak-anak. Teori ini menganjurkan orang tua untuk membangun anak-anaknya hanya melalui
pujian dan dorongan. Hal ini bertentangan dengan kebenaran Alkitab yang mengatakan
bahwa teguran dan hajaran juga dapat mendidik anak sama efektifnya dengan pujian dan
dorongan, selama semuanya dilakukan dalam kasih.
4. Pendidikan Kristen harus dilakukan secara terus-menerus melalui kata-kata, sikap, dan
perbuatan (Ulangan 6:7). Kata bahasa Ibrani yang dipakai dalam ayat ini adalah
"shinnantam", yang berasal dari akar kata "shanan" yang berarti mengasah atau menajamkan,
biasanya pedang atau anak panah. Kata ini dipakai sebagai simbol untuk menggambarkan
kegiatan yang dilakukan berulang-ulang seperti orang mengasah sesuatu dengan tujuan untuk
menajamkannya. Orang tua tidak dapat hanya mengandalkan khotbah atau pelajaran Alkitab
setiap hari Minggu untuk memberi "makanan rohani" bagi anak-anak mereka. Orang tua
harus secara rutin dan dalam segala kesempatan menyampaikan kebenaran firman Tuhan
kepada anak-anak mereka. Lebih jauh lagi, orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi
anak-anak mereka, bukan hanya melalui perkataan, tapi juga perbuatan.
Tanggung jawab pendidikan Kristen memang bukan tugas yang mudah, baik bagi bangsa
Israel pada zaman Perjanjian Lama maupun bagi kita pada zaman sekarang. Setiap zaman
memiliki kesulitan dan pergumulan masing-masing, namun prinsip-prinsip dasar pendidikan
Kristen yang Alkitabiah tetap bertahan di tengah berbagai teori pendidikan baru yang
muncul. Jika orang Israel menafsirkan Keluaran 13:9 atau Ulangan 6:8 secara harafiah
dengan mengikatkan tali sembahyang pada lengan dan dahi mereka,
"Hal itu bagimu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi peringatan di dahimu,
supaya hukum TUHAN ada di bibirmu;" (Keluaran 13:9a)
maka saat ini kita yang sudah mengerti makna sesungguhnya dari perintah ini harus
senantiasa merenungkannya dalam pemikiran kita, mengatakannya setiap hari, dan
melakukannya dengan segenap kemampuan tangan kita.

IMPLEMENTASI: PENDIDIKAN YANG MEMBERDAYAKAN DAN


MEMBEBASKAN

Pendidikan adalah pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh pendidik dan orangtua untuk
menemukan dan memberdayakan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Untuk itu, upaya-
upaya yang perlu dilaksanakan adalah:
1. Pemulihan para pendidik (orangtua dan guru). Hal ini diperlukan karena orangtua atau
guru yang melakukan kekerasan terhadap anak, kemungkinan besar ia pun mengalami
kekerasan pada masa kanak-kanaknya.
2. Jangan mendisiplinkan didik pada saat sedang marah, sibuk, stress, tegang, atau
bermasalah dengan hal-hal yang lain, karena dapat berakibat fatal bagi anak.
3. Orangtua dan guru harus menyadari bahwa mereka dipanggil oleh untuk melayani melalui
perhatian, pengajaran dan keteladanan yang diberikan kepada anak.
4. Kerja sama dengan organisasi-organisasi non-gereja untuk membekali guru dan orangtua
agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.
5. Penginjilan dan pembimbingan rohani yang dilaksanakan oleh sekolah kepada murid dan
guru.
6. Pelaksanaan peraturan.
a. Peraturan yang dimiliki oleh sekolah harus dijelaskan kepada orangtua dan siswa ketika
siswa baru memasuki sekolah.
b. Disiplin dilaksanakan secara konsisten berdasarkan keteladanan dan peraturan yang jelas.
c. Sanksi diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran, tingkat perkembangan anak secara
psikologis, daya tahan fisik anak, kesanggupan anak untuk menerimanya, dan tujuan dari
pemberian sanksi.
d. Memperhatikan penampilan/cara berpakaian dan model pakaian yang digunaka sebagai
seragam.
7. Proses belajar mengajar.
a. Menumbuhkan niat belajar anak dengan cara memotivasi dan memberikan semangat
kepada anak.
b. Menjalin rasa simpati/empati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian
social, toleransi, dan saling menghargai antara guru dan murid serta antara murid dengan
murid.
c. Menciptakan suasana riang, tanpa ada tekanan.
d. Memberikan motivasi untuk bangkit apabila anak mengalami kegagalan.
e. Mengembangkan rasa saling memiliki untuk membentuk kebersamaan, kesatuan,
kesepakatan, dan dukungan belajar.
f. Menujukkan teladan yang baik.

Sumber:

a. Abd.Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus, dan


Konsep, Yogyakarta: Tirta Wacana Yogya, 2004.
b. Daniel Agung Kurniawan Budilaksono, Penerapan Pendidikan Kristen Perjanjian Lama
dalam Era Modern, http:// pepak.sabda.org/pustaka/050919/?kata=perjanjian+lama.
c. Michelle Anthony, Christian Education, 2001.
d. Peniel Maiaweng, Pendidikan Anti Kekerasan: Perspektif Teologis-Padeigogi, www.oase
online.org.
e. Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen
dari Plato sampai Ig. Loyola, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
f. Yulia Oeniyati, Silabus PAK Anak, http://www.sabda.org/pepak/pustaka/050836/.
Diposkan oleh Bobby Kurnia Putrawan di 9/23/2009 09:50:00 PM
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke
Google Buzz
Reaksi:
luralisme Agama Musuh Agama Agama - Document
Transcript

1. PLURALISME AGAMA MUSUH AGAMAAGAMA


(Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham
Pluralisme Agama) OLEH : DR. ADIAN HUSAINI
(Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia/ Doktor
bidang Peradaban Islam dari International Islamic University Malaysia)
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia 2010 h t t p : / / w w w . a d i a n h u s
aini.com 1
2.
“Paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme bertentangan d
engan Islam dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya.”
(Fatwa MUI, 2005).
‘’Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius
bagi kekristenan.’’ (Pdt. Dr. Stevri Lumintang).
‘’Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara b
ombastik
memproklamasikan bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan i
tu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai.”
(Dr. Frank Gaetano Morales, cendekiawan Hindu). h t t p : / / w w w . a d
ianhusaini.com 2
3. I. Pluralisme Agama : Definisi dan Penyebarannya Pluralisme Agama
(Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama-
agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai
sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’,
‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu
paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-
agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’
telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi
agamaagama (religious studies). Dan memang, meskipun ada
sejumlah definisi yang bersifat sosiologis, tetapi yang menjadi
perhatian utama para peneliti dan tokohtokoh agama adalah definisi
Pluralisme yang meletakkan kebenaran agamaagama sebagai
kebenaran relatif dan menempatkan agamaagama pada posisi
”setara”, apapun jenis agama itu. Bahkan,
sebagian pemeluk Pluralisme mendukung paham sikretisasi agama.
Pluralisme Agama yang dibahas dalam buku ini didasarkan pada
satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang samasama sah
menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini,
semua agama adalah jalan yang berbedabeda menuju Tuhan yang
sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi
manusia
yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativanny
a – maka setiap
pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya l
ebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim
bahwa hanya agamanya sendiri yang benar.
Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah
agama yang
memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya se
ndiri. 1 Paham ini telah menyerbu semua agama. Klaimklaim
kebenaran mutlak atas masingmasing agama diruntuhkan, karena
berbagai sebab dan alasan. Di kalangan Yahudi, misalnya, muncul
nama Moses Mendelsohn (17291786), yang menggugat kebenaran
eksklusif agama Yahudi. Menurut ajaran agama Yahudi, kata
Mendelsohn, seluruh penduduk bumi mempunyai hak yang sah atas
keselamatan, dan sarana untuk mencapai keselamatan itu tersebar
sama luas – bukan hanya melalui agama Yahudi
seperti umat manusia itu sendiri. 2
Frans Rosenzweig, tokoh Yahudi lainnya, menyatakan, bahwa agama
yang benar adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu tiruan
dari agama Kristen dan agama Yahudi. 3 1 Charles Kimball,
When Religion Becomes Evil, (New York: HarperSanFrancisco, 2002). 2
Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-
agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal. 17. 3 Ibid, hal. 2122.
Pandangan Rosensweig ini jelas sangat aneh, sebab sejak awalnya,
Yahudi menolak
keras klaim Kristen bahwa Jesus adalah Juru Selamat. Karena itu, Yahudi m
enolak klaim Kristen tentang
kebenaran Perjanjian Baru. Dan bagi Kristen, kaum Yahudilah yang bertan
ggung jawab atas terbunuhnya Yesus, sehingga hampir sepanjang
sejarahnya, kaum Yahudi di Eropa menjadi ajang pembantaian kaum
Kristen. Encyclopaedia Judaica memberikan porsi yang sangat besar
(73 halaman) untuk pembahasan sejarah antiYahudi (yang mereka
sebut antiSemitism) di masa itu. Encyclopaedia ini menulis: “Sejak
Kekristenan lahir sebagai satu sekte Yahudi pembangkang,
pandangan tertentu terhadap Judaisme dalam Kitab Perjanjian Baru
harus dilihat dalam perspektif ini). Sikap antiYahudi bisa ditelusuri
dalam New Testament. “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah
oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih
Allah oleh karena nenek moyang.” (Roma, 11:28). Di antara New
Testament, Matius dan Yohanes dikenal paling ‘hostile’ terhadap
Judaisme. Yahudi secara kolektif dianggap bertanggung jawab
terhadap penyaliban Jesus. “Dan seluruh rakyat itu menjawab:
“Biarlah darahNya h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 3
4. Salah satu teolog Kristen yang terkenal sebagai pengusung paham
ini, Ernst Troeltsch, mengemukakan tiga sikap populer terhadap
agamaagama, yaitu (1) semua agama adalah relatif. (2) Semua
agama, secara esensial adalah sama. (3) Semua agama
memiliki asalusul psikologis yang umum. Yang dimaksud dengan “relatif”,
ialah bahwa semua agama adalah relatif, terbatas, tidak sempurna,
dan merupakan satu proses pencarian. Karena itu, kekristenan
adalah agama terbaik untuk orang Kristen, Hindu adalah terbaik
untuk orang Hindu. Motto kaum Pluralis ialah: “pada intinya, semua
agama adalah sama, jalanjalan yang berbeda yang membawa ke
tujuan yang sama.
(Deep down, all religions are the same – different paths leading to the sam
e goal).” 4 Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan
atau cara pandang teologis terhadap agama lain. Pertama,
eksklusivisme, yang memandang hanya orang
orang yang mendengar dan menerima Bibel Kristen yang akan diselamatk
an. Di luar itu tidak selamat. Kedua, inklusivisme, yang
berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar,
tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain. Ketiga,
pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang samasama
sah menuju inti dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme
Agama, tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama
lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-
sama sah menuju Tuhan (all the religious traditions of humanity are equall
y valid
paths to the same core of religious reality. In pluralism, no one religion is s
uperior to any
other; the many religions are considered equally valid ways to know God).
5 Tokoh
lain penganut paham Pluralisme Agama terkemuka di kalangan Kristen,
yakni Prof. John Hick,
menyatakan bahwa terminologi “religious pluralism” itu
merujuk pada suatu teori dari hubungan antara agamaagama dengan seg
ala perbedaan dan pertentangan klaim-
klaim mereka. Pluralisme, secara ekplisit menerima posisi yang
ditanggungkan atas kami dan atas anakanak kami.” (Matius, 27:25).
Yahudi juga diidentikkan dengan
kekuatan jahat. “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan
keinginankeinginan bapamu.” (Yohanes, 8:44). Sikapsikap antiYahudi
yang dikembangkan tokohtokoh Gereja kemudian, adalah variasi
atau perluasan dari tuduhantuduhan yang tercantum dalam Injil. 1
(Encyclopaedia Judaica, (Jerusalem: Kater Publishing House Ltd), Vol. 2.
Sejumlah Paus lainnya kemudian dikenal sangat antiYahudi. Pada tanggal
17 Juli 1555, hanya dua bulan
setelah pengangkatannya, Paus Paulus IV, mengeluarkan dokumen (Papal
Bull) yang dikenal dengan nama
Cum nimis absurdum. Di sini Paus menekankan, bahwa para pembunuh Kr
istus, yaitu kaum Yahudi, pada hakekatnya adalah budak dan
seharusnya diperlakukan sebagai budak. Yahudi kemudian dipaksa
tinggal
dalam ‘ghetto’. Setiap ghetto hanya memiliki satu pintu masuk. Yahudi dip
aksa menjual semua miliknya
kepada kaum Kristen dengan harga sangat murah; maksimal 20 persen da
ri harga yang seharusnya. Di tiap kota hanya boleh ada satu sinagog.
Di Roma, tujuh dari delapan sinagog dihancurkan. Di Campagna, 17
dari 18 sinagog dihancurkan. Yahudi juga tidak boleh memiliki Kitab
Suci. Saat menjadi kardinal, Paus Paulus IV membakar semua Kitab
Yahudi, termasuk Talmud. Paus Paulus IV meninggal tahun 1559.
Tetapi cum nimis absurdum tetap bertahan sampai tiga abad. 17
(Peter de Rosa, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, (London:
Bantam Press, 1991), hal. 266269. Tentang konflik YahudiKristen
sepanjang sejarah, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik
YahudiKristenIslam (Jakarta: GIP, 2004). 4 Paul F. Knitter,
No Other Name?, dikutip dari Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-
Abu: Tantangan dan
Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gan
dum Mas, 2004), hal. 67. 5 Alister E. Mcgrath,
Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994). p
p 458 459; Daniel B. Clendenin,
Many Gods Many Lords: Christianity Encounters World Religions, (Michigan
: Baker Books, 1995). Hal. 12. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o
m 4
5. lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklusivisme: yaitu satu pandangan b
ahwa agama
agama besar mewujudkan persepsi, konsepsi, dan respon yang berbeda-
beda tentang “The Real” atau “The Ultimate”. Juga, bahwa tiap-
tiap agama menjadi jalan untuk
menemukan keselamatan dan pembebasan. 6 Intinya, John Hick –
salah satu tokoh utama paham religious pluralism mengajukan
gagasan pluralisme sebagai pengembangan dari inklusivisme.
Bahwa, agama adalah jalan yang berbeda-
beda menuju pada tujuan (the Ultimate) yang sama. Ia
mengutip Jalaluddin Rumi yang menyatakan: “The lamps are different but
the light is the same; it comes from beyond.” Menurut Hick, “the
Real” yang merupakan “the final object of religious concern”,
adalah merupakan konsep universal. Di Barat, kadang
digunakan istilah “ultimate reality”; dalam istilah Sansekerta dikenal deng
an “sat”; dalam Islam dikenal istilah alhaqq. 7
Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat KristenBarat dise
babkan
setidaknya oleh tiga hal: yaitu (1) trauma sejarah kekuasaan Gereja di Za
man Pertengahan dan konflik KatolikProtestan, (2)
Problema teologis Kristen dan (3)
problema Teks Bibel. Ketika Gereja berkuasa di zaman pertengahan, para
tokohnya telah
melakukan banyak kekeliruan dan kekerasan yang akhirnya menimbulkan
sikap trauma
masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran satu agama tertentu.
Problema yang
menimpa masyarakat Kristen Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian k
alangan
Muslim yang ‘terpesona’ oleh Barat atau memandang bahwa hanya denga
n mengikuti 6
John Hick, dalam Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of Religion, (New Yo
rk: MacMillan Publishing
Company, 1987), Vol. 12, hal. 331. Dalam pengantar bukunya, God Has M
any Names, (Philadelphia: The
Westminster Press, 1982), John Hick mengajak kaum Kristen untuk meninj
au kembali pandangan mereka
terhadap agama lain. Sejarah kekristenan Barat, menurut Hick, belum lam
a sadar tentang ‘kondisi plural’. Sebelumnya, agama-
agama seperti Hinduisme, Budhisme, Judaisme, dan Islam, pada umumnya
dipandang sebagai sisa-
sisa paganisme, yang dipandang inferior terhadap agama Kristen dan men
jadi sasaran empuk kaum misionaris Kristen. Tapi, saat ini, kata Hick
kepada kaum Kristen, ‘’kita semua telah menyadari
bahwa – dalam berbagai tingkatan – sejarah kekristenan kita adalah salah
satu dari berbagai arus kehidupa keagamaan, yang masingmasing
memiliki satu bentuk pengalaman, pemikiran, dan spiritualitas
keagamaan yang khas. Karena itu, kita harus menerima adanya
keperluan untuk meninjau kembali pemahaman keagamaan kita,
bukan sebagai satusatunya (agama), tetapi sebagai salah satu dari
sekian
banyak agama.’’ (To day, however, we have all become conscious, in varyi
ng degrees, that our Christian history is one of a number of variant
streams of religious life, each with its own distinctive forms of
experience, thought, and spirituality. And accordingly, we have come to ac
cept the need to reunderstand
our own faith, not as the one and only, but as one of several.’’ 7
The Encyclopedia of Religion, Vol. 12, hal. 332.
Tinjauan kritis terhadap kutipan John Hick ini diberikan
oleh Dr. Anis Malik Toha, Ketua Departement of Comparative Religion di
International Islamic University Malaysia. Jalaluddin alRumi, yang
berkata dalam salah satu bait dari syi’irnya yang ditulis dalam Al
Matsnawi – menurut terjemahan R.A. Nicholson yang juga dirujuk oleh Hic
k: “The light is not different, 1 (though) the lamp has become
different” (Cahaya tidaklah berbeda, meskipun lampunya berbeda).
Kemudian bait ini diadopsi oleh Hick secara bebas dan
out of context menjadi: “The lamps are different, but the Light is the
same” (Lampu adalah berbedabeda, tapi Cahaya tetap sama) untuk
menegaskan hipotesisnya, dan dijadikan salah satu slogan untuk
mengawali salah satu fasal yang secara khusus membentangkan
teori pluralisme dalam bukunya An Interpretation of Religion.
Begitu juga ia mendapatakan penggalan ayat dalam salah satu
kitab suci Hindu, Bhagavad Gita, yang berbunyi: “Whatever Path
Men Choose is Mine” (Jalan apapun yang dipilih manusia adalah
milikKu), yang
kemudian ia angkat menjadi judul salah satu makalahnya, dianggap mung
kin bisa menyokong hipotesisnya
ini. (Penjelasan ini dikutip dari artikel Dr. Anis Malik Toha, “Menuju Teologi
Global”, di Majalah Islamia edisi 4, tahun 2004) . h t t p : / / w w w . a d i a
nhusaini.com 5
6. peradaban Baratlah maka kaum Muslim akan maju. Termasuk dalam hal c
ara pandang terhadap agama-
agama lain, banyak yang kemudian menjiplak begitu saja, cara pandang
kaum Iklusifis dan Pluralis Kristen dalam memandang agamaagama lain. D
i Indonesia,
penyebaran paham ini sudah sangat meluas, baik dalam tataran wacana p
ublik maupun bukubuku di perguruan tinggi. 8 Sebagai contoh, tokoh
pembaruan Islam di Indonesia, Prof. Dr. Nurcholish Madjid,
menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat
diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain
(Agamaagama lain adalah jalan
yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (A
gamaagama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap
pluralis – yang bisa terekspresi dalam macammacam rumusan,
misalnya: “Agamaagama lain adalah jalan yang sama sama sah
untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “agamaagama lain
berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenarankebenaran
yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian
penting sebuah Kebenaran”. Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai
sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif
dan
merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh,
filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog
antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan
mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi
keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu
adalah Tuhan, dan jarijari itu adalah jalan dari berbagai Agama.
Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin)
dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain
dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya.
Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".” Nurcholish
Madjid juga menulis: "Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah
Aturan Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan
berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari." 9
Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal, juga
menyatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Ja
di, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah
GATRA, 21 Desember 2002). Ia juga menulis: “Dengan
tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah te
pat berada pada
jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, d
engan
demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yan
g berbedabeda
dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu kel
uarga besar 8
Lebih jauh tentang perkembangan peradaban Barat dan Pluralisme Agama
lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke
Dominasi SekularLiberal, (Jakarta:GIP, 2005). Contoh pandangan yang
memuja Barat dan menganggap Barat sebagai sumber dan kiblat
bagi kemajuan Islam
dikemukakan oleh sejumlah tokoh sekular Turki yang memelopori Gerakan
Turki Muda. Dalam katakata Abdullah Cevdet, seorang tokoh
Gerakan Turki Muda: “Yang ada hanya satu peradaban, dan
itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam
peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus.”
(There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore,
we must
borrow western civilization with both its rose and its thorn). (Lebih jauh te
ntang Gerakan Turki Muda dan
ideologinya, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik YahudiKristen-
Islam, (Jakarta:GIP, 2004). 9
Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix., da
n Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. lxxvii. h t t p : / /
www.adianhusaini.com 6
7. yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak per
nah ada ujungnya.” (Kompas, 18112002)
Ketika semua agama dipandang sebagai jalan yang samasama sah untuk
menuju Tuhan – siapa pun Dia, apa pun nama dan sifat-
Nya – maka muncullah pemikiran bahwa
untuk menuju Tuhan bisa dilakukan dengan cara apa saja. Syariat dipanda
ng sebagai hal
yang tidak penting, sekedar teknis/cara menuju Tuhan (aspek eksoteris). S
edangkan yang
penting adalah aspek batin (esoteris). Karena itu, cara ibadah kepada Tuh
an dianggap
sebagai masalah ‘teknis’, soal ‘cara’, yang secara eksoterik memang berb
edabeda, tetapi substansinya dianggap sama. Dr. Luthfi Assyaukanie,
dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: “Seorang
fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa
melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau rit
usritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual.
Dengan demikian,
pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-
aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsepkonsep
agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lainlain tak terlalu
penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang
bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan
dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005)
Sumanto AlQurtuby, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, juga menuli
s dalam bukunya yang berjudul: Lubang Hitam Agama:
“Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin
Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-
Nya yang mahaluas, di sana
ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, S
ahabat
Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Ba
harudin Lopa, dan Munir!” (Lubang Hitam Agama, hal. 45). Yang perlu
diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga
pendidikan Islam, adalah bahwa penyebaran paham Pluralisme merupaka
n proyek global
yang melibatkan kepentingan dan dana yang sangat besar. Tidak heran, ji
ka penyebaran paham ini menjadi perhatian negara-
negara Barat dan LSMLSM global. Hampir seluruh
LSM dan proyek yang dibiayai oleh LSMLSM Barat, seperti The Asia Founda
tion, Ford Foundation, dan sejenisnya, adalah merekamereka yang
bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. LSMLSM Barat
itu secara sistematis menyusup masuk ke lembagalembaga atau
organisasi Islam dengan menawarkan proyekproyek penyebaran
paham Pluralisme Agama. Berbagai buku, jurnal, artikel, dan sebagainya t
elah diterbitkan dengan sokongan dana besarbesaran. Paham
ini bahkan sudah menyusup di bukubuku yang diajarkan kepada
mahasiswa Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, seorang
dosen Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung menulis:
“Setiap agama sudah pasti memiliki dan mengajarkan kebenaran. Keyakin
an tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-
satunya sumber kebenaran.” (hal. 17)…“Keyakinan bahwa agama
sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan, sedangkan
agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh
penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini
biasanya dipakai h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 7
8. untuk menghakimi agama lain, dalam derajat keabsahan teologis di bawa
h agamanya sendiri. Melalui standar ganda
inilah, terjadi perang dan klaimklaim kebenaran dari satu agama atas
agama lain.” (hal. 24) … Agama adalah seperangkat doktrin,
kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang
bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan,
adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap
doktrin, kepercayaan, atau ajaranajaran Tuhan itu, yang tentu saja
menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi 10
bernilai relatif. (hal. 20).
Karena itulah, kaum Pluralis Agama sangat terpukul dengan keluarnya fat
wa
MUI, tahun 2005, yang mengharamkan paham Pluralisme Agama. Karena
itu, bisa
dipahami, jika dalam berbagai seminar dan kesempatan, MUI menjadi bah
an cacimaki. Jurnal
Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 28 Th XIII/2005,
memuat laporan
utama berjudul ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.” Dalam jurn
al ini,
misalnya, diturunkan wawancara dengan seorang staf Perhimpunan Bantu
an Hukum
Indonesia (PBHI), dengan judul ”MUI bisa Dijerat KUHP Provokator”. Ia me
mbuat usulan
untuk MUI: ”Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jel
as
hukumannya sampai 5 tahun.” Berikutnya, staf PBHI itu menyatakan, ”MU
I kan hanya semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakan-
akan mendapatkan legitimasi Tuhan
untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal dia se
ndiri tidak
mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau persoalan agama, biarkan Tuha
n yang menentukan.”
Kita juga masih ingat, menyusul keluarnya fatwa tentang sekularisme,
pluralisme agama, dan liberalisme, MUI dikatakan tolol, dan sebagainya.
Dalam situsnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta
(http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-
AS.html) pada
4 Mei 2007, memuat halaman muka berjudul ”Dukungan terhadap Hak As
asi Manusia dan Demokrasi: Catatan A.S. 2004 – 2005.”
Ada baiknya disimak laporan yang ditulis
dalam website Kedubes AS di Jakarta yang berkaitan dengan Islam dan plu
ralisme agama berikut ini:
”Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim, Amerika Serikat menspon
sori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah serta lembaga-
lembaga
pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang pluralisme, tol
eransi
dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan mengirimkan sej
umlah
pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu pro
gram tiga-
minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan
pembangunan pendidikan. Di samping itu, kedutaan juga mengirim 38 sis
wa dan
enam guru ke Amerika Serikat selama 4 minggu untuk mengikuti suatu Pr
ogram
Kepemimpinan Pemuda Muslim, dan melalui Program Pertukaran dan Stud
i Pemuda (YES), lebih dari 60 siswa Muslim mengikuti program satu-
tahun di sekolah-
sekolah menengah di seluruh Amerika Serikat. Wartawan dari kirakira
10 agen media Islam berkunjung ke Amerika Serikat untuk melakukan perj
alanan pelaporan. Di tingkat universitas, suatu hibah multi-
tahun membantu untuk
melakukan suatu program pendidikan kewarganegaraan di seluruh sistem
10
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2005)
.http://www.adianhusaini.com 8
9. Universitas Muhammadiyah. Bantuan lain yang terpisah membantu suatu
lembaga studi Islam di Yogyakarta untuk melakukan pelatihan tentang Ha
k Asasi Manusia dan menyelenggarakan kursus-
kursus yang meningkatkan toleransi.
Bantuan juga diberikan kepada dua universitas Amerika Serikat untuk pela
tihan
dan pertukaran penanganan konflik, dan untuk mendirikan lima pusat med
iasi di lembagalembaga Muslim.
Dalam membantu jangkauan jangka panjang, lima American Corners dibu
ka di lembaga-
lembaga pendidikan tinggi Muslim di seluruh Indonesia. Amerika
Serikat juga mendanai The Asia Foundation untuk mendirikan suatu pusat
internasional dalam memajukan hubungan regional dan internasional di a
ntara
para intelektual dan aktivis Muslim progresif dalam mengangkat suatu wa
cana
tingkat internasional tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat j
uga
memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantre
n untuk
mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat
pengertian tentang nilainilai tersebut di antara para pemimpin perempua
n
masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesa
ntren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-
laki dan perempuan.
Mengembangkan suatu lingkungan dimana orang Indonesia dapat secara
bebas menggunakan hak-
hak sipil dan politik mereka adalah kritis bagi tujuan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memelihara pluralisme dan
toleransi untuk menghadapi ekstrimisme.” Dua organisasi Islam
terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah
menjadi incaran utama dari infiltrasi paham ini.
Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel artikel yang diterbitkan oleh
Jurnal Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia
Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama
dan
Peradaban Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja
menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi memiliki program
yang sistematis untuk mengubah
kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inkl
usifpluralis. Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11
tahun 2001, menampilkan
laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Di tulis dalam J
urnal ini: “Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan
agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain
mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi.
Konsep imankafir, muslimnonmuslim, dan baikbenar (truth claim),
yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap
agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi
menganggap agama lain
sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pan
dangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima
adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan
merusak harmonisasi agama agama, dan sikap tidak menghargai
kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat
toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan
Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.” 11 11 Khamami Zada,
Membebaskan Pendidikan Islam:Dari Eksklusivisme menuju
Inklusivisme dan
Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001. h t t p : / / w w
w.adianhusaini.com 9
10.Bukan hanya NU yang disusupi paham ini. Muhammadiyah pun juga kesus
upan. Jurnal TANWIR edisi 2, Vol 1, Juli 2003, hal. 8283, terbitan
Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dan The
Asia Foundation, juga secara sengaja
menyebarkan paham ini. Jurnal ini, misalnya, mencatat: “Perbedaan
‘jalan’ maupun cara dalam praktik ritual tidaklah menjadi sebab
ditolak atau tercelanya seseorang melakukan ‘penghormatan’ total
kepada apa
yang diyakini. Perbedaan jalan dan cara merupakan kekayaan bahasa Tuh
an yang memang tidak bisa secara pasti dipahami oleh bahasa-
bahasa manusia… Memperhatikan hal ini, maka tidak perlu lagi
mempersoalkan mengapa antara orang Islam, Kristen, Hindu, Budha
dan lain sebagainya tampaknya ‘berbeda’
dalam ‘mencapai’ Tuhan. Perbedaan ritual hanyalah perbedaan lahiriah ya
ng bisa ditangkap oleh kasat mata, sedangkan hakikat ritual adalah
‘penghormatan’ atas apa yang dianggap suci, luhur, agung, dan
sebagainya. Ritualritual hanyalah
simbol manusia beragama karena mengikuti rangkaian sistematika tadi.”
Di Jurnal ini dikutip juga ungkapan seorang dosen agama di
Universitas Muhammadiyah Malang: “Perbedaan yang dimiliki oleh
masingmasing agama
pada dasarnya bersifat instrumental. Sementara di balik perbedaan itu, te
rkandung
pesan dasar yang sama yakni, ketuhanan dan kemanusiaan, yang memun
gkinkan masingmasing agama dapat melakukan perjumpaan sejati.” 12
Ada yang berkampanye bahwa “Pluralisme agama” adalah paham
yang tidak boleh ditinggalkan dan wajib diikuti oleh semua umat
beragama. Berbagai organisasi dan tokoh agama aktif
membentuk semacam “centre of religious pluralism”. Salah satu
sebabnya, program ini memang mudah menyerap dana besar dari
para donatur Barat (“laku dijual”). Seorang aktivis Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) menulis di media massa:
“Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa pluralisme
agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak
mungkin
berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. S
ebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif
dan optimistis dalam menerima
pluralisme agama sebagai hukum Tuhan.” 13 12 Jurnal TANWIR edisi
2, Vol 1, Juli 2003, hal. 8283, terbitan Pusat Studi Agama dan
Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dan The Asia Foundation. 13
Jawa Pos, 11 Januari 2004. Kelompok JIMM memang sangat aktif dalam me
ngembangkan paham Pluralisme.
Seorang aktivis JIMM mengusulkan agar definisi kafir -
sebagaimana dipahami kaum Muslim selama ini
diubah. Ia menulis dalam sebuah buku: ”Jadi tidak semua non-
Muslim adalah kafir. Non-
Muslim di Mekkah punya kriteria kafir seperti yang disebut alQuran, yakni
menutup diri dari kebenaran dari pihak lain. Alih-
alih berdialog untuk memperbaiki sistem yang tidak adil, mereka
mengancam akan membunuh Muhammad dan para pengikutnya. Inilah su
bstansi kafir , mereka adalah
musuh semua agama dan kemanusiaan. Mereka penindas HAM dan tidak
mau membuka diri untuk
mendialogkan kebenaran... Dengan kata lain, Muslim yang
melakukan penganiayaan dan penindasan dan
penindasan pun dapat dikatakan sebagai kafir. Jadi, kafir tidak identik den
gan nonMuslim, melainkan
siapa pun dan beragama apa pun ketika tidak adil dan menindas maka ia
disebut kafir... Akan lebih tepat
jika term kafir dimaknai sebagai penindas, dan mukmin (orang beriman) a
dalah pejuang pembebasan dari penindasan. .” (Kembali keAl-
Qur’an, Menafsir Makna Zaman: Suarasuara kaum Muda h t t p : / / w w w .
a d i a n h u s a i n i . c o m 10
11.Paham Pluralisme Agama ini pun sudah sempat disusupkan ke
lingkungan Pondok Pesantren. Badan Kerjasama Pondok Pesantren
Indonesia (BKSPPI) sempat
‘kecolongan’ menerbitkan sebuah Majalah bernama AlWASATHIYYAH, hasil
kerjasama BKSPPI dan International Center for Islam and Pluralism
(ICIP) – sebuah lembaga yang getol menyebarkan paham Pluralisme
Agama. Tetapi, setelah menyadari bahaya paham Pluralisme Agama
dan liberalisasi Islam pada umumnya, pimpinan BKSPPI
segera mengambil sikap tegas : menghentikan penerbitan Majalah AL-
WASATHIYAH dan memutus hubungan dengan ICIP. Berikut ini
sebagian contoh buku Pluralisme Agama yang dibiayai oleh LSM
LSM asing seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation: (1) Buku
Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina dan The Asia
Foundation. Dengan berdasarkan pada Pluralisme Agama, buku ini
kemudian juga merombak hukum Islam dalam bidang perkawinan,
dengan menghalalkan perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki non-
Muslim: “Soal pernikahan lakilaki nonMuslim dengan wanita Muslim
merupakan
wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks
dakwah
Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, s
ehingga
pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedu
dukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila
dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan la
kilaki nonMuslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas
amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.” 14
(2) Buku “Nilainilai Pluralisme dalam Islam”, (Kerjasama Fatayat
Nahdhatul Ulama dan dengan Ford Foundation): Muhammadiyah”,
editor: Pradana Boy ZTF dan M. Hilmi Faiq, pengantar oleh Moeslim
Abdurrahman, 2004.) 14
A. Mun’im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), hal.
164. Dalam buku ini juga
disebutkan tentang persamaan semua agama: “Segi persamaan yang san
gat asasi antara semua kitab suci
adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berbeda dengan persoala
n kaum musyrik yang pada
zaman Nabi tinggal di kota Makkah. Kepada mereka inilah dialamatkan fir
man Allah, “Katakan
(Muhammad), “aku tidak menyembah yang kamu sembah, dan kamu pu
n tidak menyhembah yang aku sembah…
bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. (Surah alKafirun). Ayat yang san
gat menegaskan
perbedaan konsep ‘sesembahan’ in ditujukan kepada kaum musyrik Qurai
sy dan bukan kepada Ahli Kitab.” (hal. 5556). Pernyataan dalam buku
Fiqih Lintas Agama ini jelas sangat keliru. Sebab, begitu banyak ayat al-
Quran
yang menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani adalah kaum kafir. Ji
ka mereka mempunyai konsep
ketuhanan yang sama dengan Islam, mengapa mereka dikatakan kafir? D
alam Tafsir alAzhar, Prof. Hamka
menulis: “Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi
Muhammad bahwasanya akidah
tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan.”
Logikanya, jika Surat alKafirun
hanya ditujukan untuk kaum musyrik Arab saja, maka ini sama halnya, de
ngan menyatakan, bahwa ayat itu
sudah tidak berlaku lagi, karena kaum musyrik Arab sudah tidak ada lagi.
Atau, bisa juga dimengerti,
bahwa kaum Muslim di Jawa boleh saling bergantiganti melakukan semba
han dengan kaum musyrik Jawa, karena larangan itu
hanya untuk musyrik Arab. Maka, logika buku Fiqih Lintas Agama itu jelas
sangat keliru. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 11
12.Diantara isi buku ialah menyatakan bahwa semua agama adalah sama da
n benar; Islam bukanlah satu-
satunya jalan kebenaran; dan agama dipandang sama dengan
budaya (Pluralisme Agama):
“Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diant
ara jalan-
jalan kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak
selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai
medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian b
erdiri
sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifi
kan
kecuali hanya ritualistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni me
nuju kebenaran transendental.” 15 Ternyata, bukan hanya Islam yang
direpotkan oleh paham Pluralisme Agama. Semua agama direpotkan
oleh paham ini. Dalam paparan berikutnya, akan terlihat, bagaimana
sikap dari Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham
yang pada intinya ‘menyamakan semua agama’ ini. Padahal, setiap
agama memang mempunyai ajaran dan klaim kebenaran masing-
masing, yang unik dan khas, yang berbeda antara
satu dengan lainnya. II. Pandangan Katolik Menghadapi serbuan paham
Pluralisme Agama ini, maka para tokoh agama agama tidak tinggal
diam. Paus Yohannes Paulus II, tahun 2000, mengeluarkan Dekrit
‘Dominus Jesus’. Berikut ini kita kutipkan pendapat tokoh Katolik
Prof. Frans Magnis Suseno, tentang Pluralisme Agama, sebagaimana
ditulis dalam bukunya, Menjadi Saksi
Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk. 16 Pluralisme agama, kata
Frans Magnis Suseno, sebagaimana diperjuangkan di kalangan
Kristen oleh teologteolog seperti John Hick, Paul F. Knitter
(Protestan) dan Raimundo Panikkar (Katolik), adalah paham yang
menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa
hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan.
Agamaagama hendaknya pertamapertama memperlihatkan
kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar daripada yang lain-
lain. Teologi yang mendasari
anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda, anggapan
bahwa agama agama merupakan ekspresi religiositas umat manusia.
Para pendiri agama, seperti Buddha, Yesus, dan Muhammad
merupakan geniusgenius religius, mereka menghayati
dimensi religius secara mendalam. Mereka, mirip dengan orang yang bisa
menemukan air
di tanah, berakar dalam sungai keilahian mendalam yang mengalir di baw
ah permukaan dan dari padanya segala ungkapan religiositas
manusia hidup. Posisi ini bisa sekaligus berarti melepaskan adanya
Allah personal. Jadi, yang sebenarnya diakui adalah dimensi transenden
dan metafisik alam semesta manusia. Namun, bisa juga dengan
mempertahankan paham Allah personal. 15 Lihat, buku “Nilainilai
Pluralisme dalam Islam” (Jakarta: Fatayat Nahdhatul Ulama dan Ford
Foundation, 2005), hal. 59. 16
Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemu
k, (Jakarta: Penerbit Obor, 2004), hal. 138141. h t t p : / / w w w . a d i a n
h u s a i n i . c o m 12
13.Masih menurut penjelasan Frans Magnis Suseno, pluralisme agama
itu sesuai
dengan “semangat zaman”. Ia merupakan warisan filsafat Pencerahan 30
0 tahun lalu dan pada hakikatnya kembali ke pandangan Kant
tentang agama sebagai lembaga moral, hanya dalam bahasa
diperkaya oleh aliranaliran New Age yang, berlainan dengan
Pencerahan, sangat terbuka terhadap segala macam dimensi
“metafisik”, “kosmis”, “holistik”, “mistik”, dsb. Pluralisme sangat
sesuai dengan anggapan yang sudah sangat meluas dalam
masyarakat sekuler bahwa agama adalah masalah selera, yang
termasuk “budaya hati” individual, mirip misalnya dengan dimensi
estetik, dan bukan masalah kebenaran. Mengkliam kebenaran hanya
bagi diri sendiri dianggap tidak toleran. Kata “dogma” menjadi kata
negatif. Masih berpegang pada dogmadogma dianggap
ketinggalan zaman. Paham Pluralisme agama, menurut Frans Magnis,
jelasjelas ditolak oleh Gereja Katolik. Pada tahun 2000, Vatikan
menerbitkan penjelasan ‘Dominus Jesus’. 17 Penjelasan ini, selain
menolak paham Pluralisme Agama, juga menegaskan kembali bahwa
Yesus Kristus adalah satusatunya pengantara keselamatan Ilahi dan
tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Di
kalangan Katolik sendiri, ‘Dominus
Jesus’ menimbulkan reaksi keras. Frans Magnis sendiri mendukung ‘Domin
us Jesus’ itu, dan menyatakan, bahwa ‘Dominus Jesus’ itu
sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya, Pluralisme Agama hanya di
permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran
dariupada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya tol
eransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-
masing melepaskan apa yang mereka yakini. Ambil saja sebagai
contoh Islam dan kristianitas. Pluralisme mengusulkan agar masing-
masing saling menerima karena masingmasing tidak lebih dari
ungkapan
religiositas manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim kepenuhan k
ebenaran tidak masuk akal. Namun yang nyatanyata dituntut kaum
pluralis adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam al-
Quran memberi petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana
manusia harus hidup agar ia selamat, dengan sekaligus
membatalkan petunjukpetunjuk sebelumnya. Dari kaum Kristiani,
kaum pluralis
menuntut untuk mengesampingkan bahwa Yesus itu ‘Sang Jalan’, ‘Sang K
ehidupan’ dan 17 Dominus Jesus dikonsep dan semula
ditandantangani oleh Kardinal Ratzinger – sekarang Paus Benediktus
XVI – dan dikeluarkan pada 28 Agustus 2000. Dokumen ini telah
menimbulkan perdebatan
sengit di kalangan Kristen, termasuk intern Katolik sendiri. Dokumen ini di
keluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat
keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism
karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma.
Dalam bukunya ini, Dupuis
menyatakan, bahwa ‘kebenaran penuh’ (fullnes of thruth) tidak akan terla
hir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi,
katanya, semua agama terus berjalan– sebagaimana Kristen –
menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam
kerendahan hati karena kekurangan bersama
dalam meraih kebenaran penuh tersebut. (Perdebatan tentang Dominus Je
sus bisa dilihat, misalnya, dalam John Cornwell,
The Pope in Winter, (London: Penguin Books, 2005), hal. 192199.
Dalam Dominus Jesus disebutkan: “Indeed, God ‘desires all men to be sav
ed and come to the knowledge
of the truth' (1 Tim 2:4); that is, God wills the salvation of everyone throug
h the knowledge of the truth.
Salvation is found in the truth. Those who obey the promptings of the Spiri
t of truth are already on the way
of salvation. But the Church, to whom this truth has been entrusted, must
go out to meet their desire, so as to bring them the truth. Because
she believes in God's universal plan of salvation, the Church must
be missionary.”
(http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_co
n_cfaith_doc_20000806_domin usiesus_en.html, 5 Maret 2005) h t t p : / /
w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 13
14.‘Sang Kebenaran’, menjadi salah satu jalan, salah satu sumber kehidupan
dan salah satu kebenaran, jadi melepaskan keyakinan lama yang
mengatakan bahwa hanya melalui
Putera manusia bisa sampai ke Bapa.
Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: “Menurut saya
ini
tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik.
Toleransi tidak
menuntut agar kita semua menjadi sama, mari kita bersedia saling meneri
ma. Toleransi
yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan
agama lain,
dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam kebe
rlainan mereka!
Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masin
gmasing yang tidak sama.” 18 III. Pandangan Protestan
Berbeda dengan agama Katolik yang memiliki pemimpin tertinggi dalam hi
rarkis Gereja (Paus), dalam kalangan Protestan tidak bisa ditemukan
satu sikap yang sama terhadap paham Pluralisme Agama. Teolog-
teolog Protestan banyak yang menjadi
polopor paham ini. Meskipun demikian, dari kalangan Protestan, juga mun
cul tantangan keras terhadap paham Pluralisme Agama.Berikut ini
sejumlah buku di Indonesia yang menyinggung masalah ini:
Poltak YP Sibarani&Bernard Jody A. Siregar, dalam buku Beriman dan Beril
mu: Panduan Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa, menjelaskan:
“Pluralisme bukan sekedar menghargai pluralitas agama tetapi
sekaligus menganggap (penganut) agama lain setara dengan
agamanya. Ini adalah sikap yang mampu menerima dan menghargai
dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar,
serta mengakui adanya jalan keselamatan di
dalamnya. Di satu pihak, jika tidak berhatihati, sikap ketiga ini dapat berb
ahaya dan menciptakan polarisasi iman. Artinya, keimanannya atas
agama yang diyakininya pada akhirnya bisa memudar dengan
sendirinya, tanpa intervensi pihak lain.” 19 18
Sikap Katolik yang menolak paham Pluralisme Agama sangatlah logis, seb
ab – meskipun dalam Konsili
Vatikan II, Gereja Katolik telah mengubah sikapnya terhadap agama-
agama lain, tetapi Konsili juga menetapkan Dekrit Ad Gentes
(kepada bangsabangsa) yang mewajibkan seluruh Gereja untuk
menjalankan kerja misionaris. Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, y
ang bertajuk Redemptoris Missio
(Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan Konferensi Waligereja In
donesia (KWI) tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
“Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada
Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun K
edua sesudah kedatangan
Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia
memperlihatkan bahwa tugas
perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan d
iri kita sendiri dengan sepenuh hati…
Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (a
d gentes) tampak sedang
menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunju
kpetunjuk Konsili dan dengan pernyataan-
pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitankesulitan baik yang datang
dari dalam maupun
yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner G
ereja kepada orangorang non
Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di an
tara semua orang yang percaya
kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu suda
h merupakan tanda kehidupan,
persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.”
19 Poltak YP Sibarani&Bernard Jody A. Siregar, Beriman dan
Berilmu: Panduan Pendidikan Agama
Kristen untuk Mahasiswa, (Jakarta: Ramos Gospel Publishing House, 2005),
hal. 126. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 14
15.Sebuah kajian
dan kritik yang serius terhadap paham Pluralisme Agama dilakukan
oleh Pendeta Dr. Stevri I. Lumintang, seorang pendeta di Gereja Keesaan I
njil Indonesia.
Kajian Stevri Lumintang dituangkan dalam sebuah buku setebal lebih dari
700 halaman, berjudul Theologia Abu-
Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi
Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004). Dicatat dalam ilustrasi
sampul buku ini, bahwa Teologi AbuAbu adalah posisi teologi kaum
pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi
dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan
budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu
sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan
perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abuabu, yaitu teologi buka
n hitam, bukan
juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yan
g ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama
Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan
membuang semua unsurunsur absolut yang diklaim oleh masing-
masing agama. Juga dikatakan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi AbuAbu
(Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri
semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun
Teologi AbuAbu atau teologi agamaagama, harus dimulai dari usaha
untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi
perwujudan teologi mereka.
Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak ya
ng harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an)
kebenaran yang ada di masingmasing agama. Di dalam konteks
kekristenan, mereka harus menghancurkan keyakinan dan
pengajaran tentang Yesus Kristus sebagai
pernyataan Allah yang final.’’ 20 ‘’...Theologia abuabu (Pluralisme)
yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolaholah
menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut
mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini
dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme
sedang menawarkan agama baru...’’ 21 Menurut Stevri Lumintang:
‘’Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat
serius bagi kekristenan. Karena pluralisme bukanlah sekedar konsep
sosiologis,
anthropologis, melainkan konsep filsafat agama yang bertolak bukan dari
Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan
yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan sosial-
politik yang didukung oleh kemajemukan etnis, budaya dan agama ;
serta disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat relativisme
yang mengiringinya. Pluralisme secara terangterangan menolak 20
Stevri I. Lumintang, Theologia AbuAbu: Tantangan dan Ancaman
Racun Pluralisme dalam Teologi
Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004), hal. 235236. 21
Ibid, hal. 1819. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 15
16.konsep kefinalitasan, eksklusivisme yang normatif, dan keunikan
Yesus Kristus. Kristus bukan lagi satusatunya penyelamat, melainkan
salah satu penyelamat. Inilah pluralisme, dan disinilah letaknya
kehancuran kekristenan masa kini, sekalipun pada hakikatnya
kekristenan tidak akan pernah hancur. Penyangkalan terhadap
semua intisari kekristenan ini, pada hekikatnya adalah upaya untuk
membangun jalan raya bagi lalu lintas teologi agamaagama atau Theologi
a Abu abu (Pluralisme). Oleh karena itu, semua disiplin
ilmu teologi diupayakan untuk dikaji ulang (rekonstruksi) untuk
membersihkan teologi Kristen dari rumusan rumusan tradisional atau
ortodoks, yang pada hakikatnya merupakan batu
sandungan terciptanya Theologia AbuAbu atau teologi agamaagama (Theo
logia Religionum). 22 Dalam ‘Dokumen Keesaan GerejaPersekutuan
Gerejagereja di Indonesia (DKGPGI) yang diputuskan dalam Sidang
Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29 November5 Desember 2004,
masalah Pluralisme Agama tidak dibahas secara eksplisit.
Tetapi, dokumen ini menunjukkan sikap eksklusivitas teologis kaum Protes
tan. Misalnya, bisa dilihat dalam
‘’Bab IV : Bersaksi dan Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk’’, yang
menegaskan: “Gereja Harus Memberitakan Injil Kepada Segala
Makhluk”. Disebutkan dalam bagian ini : ‘’Gerejagereja di Indonesia
menegaskan bahwa Injil
adalah Berita Kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk segala makhluk
, manusia dan alam lingkungan hidupnya serta keutuhannya : bahwa
Injil yang seutuhnya diberitakan kepada manusia yang seutuhnya... ‘’
Dalam Tata dasar Persekutuan GerejaGereja di Indonesia pasal 3
(Pengakuan) disebutkan : ‘’Persekutuan Gerejagereja di Indonesia
mengaku bahwa Yesus Kristus adalah
Tuhan dan Juruselamat dunia serta Kepala Gereja, sumber kebenaran dan
hidup,
yang menghimpun dan menumbuhkan gereja, sesuai dengan Firman Allah
dalam
Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (1 Kor. 3 :11) : ‘’Karena
tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada
dasar yang telah diletakkan yaitu Yesus Kristus.’’ (bnd. Mat. 16 :
16 ; ef. 4 :15 dan Ul. 7 :6). 23
Di dalam acara kebaktian Minggu, kaum Kristen biasanya mengucapkan a
pa yang mereka sebut sebagai ‘sahadat rasuli’ atau ‘pengakuan
iman rasuli’, yang juga disebut
‘dua belas pengakuan iman’, yang bunyinya : (1). Aku percaya kepada Alla
h Bapa, yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi.(2) Dan kepada
Yesus Kristus, AnakNya yang
tunggal, Tuhan kita, (3) yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari an
ak dara Maria, (4) yang menderita di bawah pemerintahan Pontius
Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan
maut. (5) pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang
mati, (6) naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang
Mahakuasa, (7) dan akan datang dari sana untuk menghakimi orang yang
hidup dan yang mati, (8) Aku percaya kepada Roh Kudus; (9) gereja
yang kudus dan am; persekutuan 22 Ibid, hal. 15. 23 Weinata Sairin
(ed), ‘Dokumen Keesaan GerejaPersekutuan Gerejagereja di Indonesia
(DKGPGI), (Jakarta: BPK, 2006). h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c
o m 16
17.orang kudus; (10) pengampunan dosa; (11) kebangkitan daging;
(12) dan hidup yang kekal. 24 IV. Pandangan Hindu Kaum Pluralis
Agama dari berbagai penganut agama sering mengutip ucapan
tokohtokoh Hindu untuk mendukung pendapat mereka. Sukidi,
seorang propagandis Pluralisme Agama dari kalangan liberal di
Muhammadiyah, misalnya, menulis dalam satu artikel di media massa :
“Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam
tradisi dan agamaagama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran
Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran.
Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa
semua agama entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam,
Zoroaster, maupun lainnya adalah benar. Dan,
konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Aga
maagama itu diibaratkan, dalam nalar pluralisme Gandhi, seperti
pohon yang memiliki
banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang sa
tu itulah yang menjadi asal dan orientasi agamaagama. Karena itu,
mari kita memproklamasikan kembali bahwa pluralisme agama
sudah menjadi hukum
Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustah
il pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak
punya jalan lain
kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama
sebagai hukum Tuhan. (Jawa Pos, 11 Januari 2004).
Dalam paparannya tentang Hinduism dari bukunya, The World’s Religions,
Prof. Huston Smith juga menulis satu sub-
bab berjudul “Many Paths to the Same Summit”. Huston Smith menulis:
“Early on, the Vedas announced Hinduism’s classic contention that
the various religions are but different languages through which God
speaks to the human heart. “Truth is one; sages call it by different
names.” (Terjemahan bebasnya: Sejak dulu, kitab-
kitab Veda menyatakan pandangan Hindu klasik, bahwa agama agama
yang berbeda hanyalah merupakan bahasa yang berbedabeda yang
digunakan Tuhan untuk berbicara kepada hati manusia. Kebenaran mema
ng satu; orangorang bijak menyebutnya dengan nama yang berbeda-
beda). 25 Untuk memperkuat penjelasannya tentang sikap ‘Pluralistik’
agama Hindu, Huston Smith juga mengutip ungkapan ‘orang suci
Hindu’ abad ke19, yaitu 24
Dr. Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku, (Jakarta: BPK, 2001), hal. 11. Kau
m Katolik di Indonesia juga menggunakan istilah sahadat untuk
menyebut ‘Nicene Creed’ yang salah satu versi redaksinya berbunyi:
“Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta halhal ya
ng kelihatan dan tak kelihatan,
Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari Ter
ang, Hidup dari Hidup, Putra
Allah yang Tunggal Yang pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari
Bapa, Sebelum segala abad ... “
(Alex I. Suwandi PR, Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kan
isius, 1992), hal. 910. 25 Huston Smith,
The World’s Religions, (New York: Harper CollinsPubliser, 1991), hal. 73. h
t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 17

Peranan Gereja Yang Diakonal Dan


Penanganan HIV/ Aids
Diakoni FM
Pengantar
Selamat ulang tahun ke 25 kependetaan bapak Pdt. W.P. Tampubolon, Sth. Penulis turut
merasakan kebahagiaan jubilaris dan mensyukuri segala berkat Tuhan yang beliau terima
selama kurun waktu 25 tahun silam dalam proses pelayanan Gereja Tuhan.

Penulis mengenal jubilaris sebagai sosok pelayan yang memiliki pola pikir produktip dan
progressif. Beliau memiliki pengalaman pelayanan yang matang baik di dalam maupun di
luar negeri yang turut memampukan beliau dalam pelayanan masa kini sekaligus juga
mempersiapkan pelayanan untuk kepentingan masa depan. Kiranya tidak berlebihan apabila
penulis juga telah menyaksian bahwa jubilaris adalah salah satu pendeta senior yang selalu
punya keinginan untuk menghancurkan tembok pemisah yang sering membatasi komunikasi
antara pelayan senior dan junior.

Dari keramahan dan keluwesan beliau bergaul dengan para pelayan muda maka tidak salah
apabila dikatakan bahwa beliau sangat konsisten untuk membangun kerjasama yang baik
dengan para pelayan yang lebih muda. Dalam hal ini, penulis selalu ingat dengan kalimat
singkat yang pernah beliau utarakan dalam bahasa Batak kepada penulis dan rekan pelayan
muda lainnya, “ molo hupasobok diringku tu hamu unang ma nian rajumi hamu sarupa hamu
dohot ahu”.
Secara jujur harus diakui, ketika para pelayan senior mau mendekatkan diri bahkan
menyesuaikan diri kepada pelayan muda saat itu para pelayan muda semakin kurang
menghargai seniornya sebagaimana layaknya. Namun, juga tidak dapat dipungkiri banyak
pelayan junior yang menghormati seniornya justru mendapat perlakuan kurang wajar.

Akan tetapi, jubilaris menurut penulis punya kemampuan membangun hubungan kerja sama
yang leih harmonis dengan juniornya karena keakraban dan komunikasi beliau tidak terlalu
formal. Di samping itu, jubilaris tidak jarang melakukan pendekatan kultural kepada rekan
sekerjanya yakni sistim kekerabatan ‘dalihan na tolu’.

Semoga ke depan, dalam usia yang lebih lanjut, kiranya jubilaris tetap teguh dan kokoh serta
lebih energik untuk menunaikan tugas dan pelayanannya sebagai hamba Tuhan.

Dalam rangka memeriahkan 25 tahun kependetaan sang Jubilaris, dengan senang hati dan
rasa syukur kepad Tuhan, penulis menyumbangkan tulisan ini, walau dalam waktu yang
sangat singkat. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi pembaca.

1. Pendahuluan
Koinonia, marturia dan diakonia merupakan tri tugas panggilan gereja yang tidak terpisahkan
satu dengan yang lain. Ketiga tugas ini punya korelasi interdependensi antara yang satu
dengan yang lain. Hal ini dapat dikatakan karena diakonia sendiri adalah pelayanan.
Koinonia sebagai persekutuan akan hidup survive,jika terjadi saling melayani di tengah-
tengah persekutuan itu.
Demikian juga halnya marturia, merupakan pelayanan pewartaan kerajaan Allah melalui Injil
sebagai khabar keselamatan yang diberitakan ke dalam persekutuan secara sentripetal
maupun ke luar persekutuan itu secara sentripugal.
Dan diakonia itu menjdai tindakan nyata sebagai pengimplementasian dari pewartaan Injil
melalui berbagai aksi sosial; sosial politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, pelayanan
diakonia sebenarnya sangatlah luas dan didalamnya terdapat beberapa metode pelayanan
diakonia yang bervariasi.
Melihat betapa luasnya cakupan pelayanan diakonia, penulis membatasi tulisan ini khusus
melihat PERANAN GEREJA YANG DIAKONAL DALAM PENANGANAN HIV/AIDS
dengan mengingat HIV/AIDS sudah merupakan permasalahan dunia dan butuh penanganan
yang sungguh-sungguh dari semua pihak.
Dari berbagai bentuk pelayanan diakonia saat ini dikenal (karitatif, reformatif dan
transformatif). Penulis membahas peranan gereja yang diakonal dengan bentuk pelayanan
transformatif dengan tindakan preventif dan protektif baik melalui pelayanan pastoral
maupun juru kampanye, dalam hal ini melalui khotbah, PA, sermon dan lain-lain.
Bentuk pelayanan transformatif merupakan bentuk pelayanan jangka panjang dengan
mengesampingkan sikap ketergantungan dari orang yang dilayani kepada pelayan sekaligus
konsisten dengan pemandirian orang yang dilayani.
Bentuk pelayanan seperti ini juga tidak menempatkan orang yang dilayani sebagai objek
melainkan memposisikannya sebagai mitra kerja. Memberdayakan orang yang dilayani bukan
saja untuk mampu melepaskan diri dari permasalahan yang ia hadapi tetapi lebih dari itu,
pada akhirnya mampu melayani orang lain.
Demikianlah ODHA/OHIDA (Orang Dengan HIV/AIDS atau Orang Dengan AIDS) pada
akhirnya mampu melayani bersama gereja atau di dalam gereja untuk melakukan pelayanan
preventif maupun protektif kepada yang belum terinfeksi virus HIV maupun yang sudah.

HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan saja, melainkan telah jadi masalah kemanusiaan
di seluruh dunia, bahkan sudah jadi sebuah epidemi yang pertumbuhannya sangat pesat ibarat
sarang labalaba. Lebih berbahaya lagi perkembangannya ibarat belut dalam lumpur, sangat
sulit dideteksi.
Oleh karena itu, semua pihak sangat diharapkan turut berpartisipasi aktip dalam penanganan
HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obat yang ampuh untuk mengatasinya. Di
samping lembaga pemerintah maupun rumah sakit, selama ini berbagai LSM sudah
berpartisipasi aktip dalam penanganan HIV/AIDS. Namun kita masih merasakan adanya
sikap kekakuan bahkan kepasifan daripada Gereja untuk terlibat langsung dalam penanganan
HIV/AIDS.
Gereja cenderung menyuarakan penanganan HIV/AIDS dalam tingkat oral pada berbagai
seminar maupun rapat yang diadakan namun belum sampai kepada aksi nyata. Gereja telah
menyuarakan bahaya HIV/AIDS, namun barangkali masih pada tingkat kognitif atau
mungkin afektif, belum sampai pada tingkat psikomotoris.
Untuk itu, sudah waktunya Gereja membuka mata dan secara aktip membangun pelayanan
diakonal dalam penanganan HIV/AIDS. Gereja dirasa perlu bahkan sudah mendesak untuk
segera memberdayakan warga dan pelayan untuk peka dan proaktip menangani masalah
kemanusiaan tersebut.

Untuk itu, Komite HIV/AIDS yang telah dibentuk HKBP merupakan langkah positip dan
konstruktip untuk melakukan penanganan terhadap HIV/AIDS. Namun sebagaimana telah
ditegaskan bahwa HIV/AIDS adalah tanggung jawab bersama dari setiap lapisan warga
gereja maupun masyarakat. Namun sebelumnya perlu dipahami dasar-dasar teologi diakonia
yang menjadi landasan pelayanan gereja terhadap ODHA dan OHIDA.

2. Diakonia dalam Perjanjian Baru


Ada dua kata yang perlu dibahas dalam Kitab Perjanjian Baru berkaitan dengan istilah
‘diakonia’ yakni: Pelayan.
Istilah diakonia adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang diterima dan diakui
sebagai bahasa asli kitab Perjanjian Baru. Itu sebabnya penulis membatasi pembahasan
landasan teologia diakonia hanya pada kitab Perjanjian Baru, walaupun harus diakui ada
beberapa kata dalam Perjanjian Lama yang berbahasa Ibrani diterjemahkan dengan istilah-
istilah yang berhubungan dengan diakonia sebagaimana ditemukan dalam kitab Septuaginta
(Alf Obtestadt, Membangun Gereja yang Diakonal).

Secara etimologi, diakonia berasal dari kata ‘deacon’ yang diterjemahkan menjadi pelayan,
hamba, pelayanan dan melayani. Kata ’deacon’ ditemukan sebanyak seratus kali dalm kitab
Perjanjian Baru. Hal ini menunjukkan kata ‘deacon’ itu merupakan kata yang sangat populer,
penting dan punya makna khusus dalam karya penyelamatan Yesus sendiri.
Pada dasarnya, ‘deacon’ itu merupakan hamba. Bahkan sebelum zaman Perjanjian Baru juga
dalam dunia Hellenistik tahun 330-37 BC, istilah hamba sudah dikenal sebagai pelayan
dalam kegiatan kultus di tempat ibadah orang-orang Yunani.

Dari kata ‘deacon’ kita mengenal istilah ‘diaconos’ yakni pelayan. Paulus sebagai pemberita
Injil juga menyebut diri dan rekannya Epafras sebagai pelayan (Kol 1:7,23,25). Itu berarti
bahwa pemberitaan injil oleh Paulus yang dapat dikategorikan ke dalam istilah ‘marturia’
merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari diakonia karena orang yang memberitakan
Injil juga adalah pelayan.
Demikian juga halnya ketika Yesus makan bersama dengan para muridNya, dimana pada saat
itu ada dari antara muridNya bertengkar memperdebatkan siapa dari antara mereka yang
terbesar. Yesus justru menegaskan bahwa yang terbesar adalah pelayan. Yesus selanjutnya
menyebutkan bahwa diriNya sendirilah pelayan itu (Luk 22:26f).
Hal ini dikatakan oleh Yesus dalam konteks makan bersama yang didasari oleh persekutuan
atau koinonia yang di dalamnya terjadi proses saling melayani. Dengan demikian diakonia
juta merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari koinonia.

Walaupun demikian istilah ‘diaconos’ juga dipergunakan untuk suatu jabatan gerejawi (Flp
1:1) dimana selain penilik jemaat juga ada diaken. Disamping itu pelayanan bukan hanya
karena jabatan tetapi karena karunia Roh (Rom 12:7).
Selanjutnya Rasul Paulus memberikan persyaratan untuk menjadi diaken (1 Tim 3:8ff) yang
intinya bahwa rahasia iman harus tetap tersimpan dan terpelihara di dalam hati.
Itu artinya bahwa segala tugas pelayanan para diaken tidak boleh dilakukan tanpa iman yang
benar. Pelayanan itu sendiri harus dimulai dari diri sendiri maupun keluarga sebagai lembaga
terkecil di tengahtengah masyarakat.

Pelayanan.
Pelayanan yang lebih agung dan mulia mengacu kepada pelayanan Kristus (Ibr 8:6).
Pelayanan Yesus sekaligus menyempurnakan pelayanan para nabi dimana pelayanan itu
adalah penyangkalan diri sehingga pelayanan itu adalah untuk orang lain. Dalam pemahaman
seperti itulah Yesus berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak
orang” (Mrk 10:45). Melakukan pelayanan terhadap orang lain itu berarti melakukan
pelayanan kepada Kriatus sendiri (Mat 25:44). Itu makanya Kristus menekankan pelayanan
kepada orang lain terutama kepada orang-orang yang paling hina karena pelayanan seperti
itu adalah pelayanan kapada Dia.

Pelayanan para rasul dan para pelayan lainnya merupakan pelayanan yang diterima dari
Tuhan maupun yang diterima melalui gereja sehingga ‘harus dijalankan sepenuhnya’ (Kol
4:17; Rom 12:7; 1Tim 3:8ff). Lebih luas lagi bahwa pelayanan itu merupakan tugas dan
danggungjawab imamat am orang-orang percaya (1Pet 2:9) sehingga dalam implementasinya
perlu pemberdayaan warga jemaat untuk saling melayani dan untuk melayani orang lain di
luar jemaat itu sendiri karena sasaran pelayanan itu adalah masyarakat universal (Roma
15:16). Melayani sesama orang-orang percaya merupakan titik berangkat untuk melayani
masyarakat yang lebih luas. Itu makanya Rasul Paulus menekankan pentingnya pelayanan
yang berkualitas di dalam kasih kepada sesama seiman (Gal 6:10).

3. Dasar pemahaman pelaksanaan pelayanan Gereja terhadap ODHA/OHIDA


3.1. ODHA/OHIDA
Istilah ODHA/OHIDA ini disosialisasikan sebagai pengganti istilah diskriminatif yang
selama ini dipergunakan yakni penderita HIV/AIDS. Disamping itu, istilah yang lama itu
juga sangat menakutkan ODHA dan OHIDA sekaligus mendukung mereka pada sikap
pesimistik dan keputusasaan.

Human Immunodeficiency Syndrome (HIV) merupakan virus yang yang melemahkan


bahkan menghilangkan sistim kekebalan tubuh manusia, sementara itu Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat hilangnya sistim
kekebalan tubuh. Kumpulan gejala penyakit tersebut bukanlah yang diturunkan atau penyakit
keturunan melainkan diperoleh. Oleh karena itu, memang tidak dapat disangkal bahwa
banyak gejala penyakit tersebut diperoleh akibat kesalahan sendiri atau karena kebejatan
moral. Inilah yang menjadi dasar masyarakat umum untuk cenderung mmbenci dan
mendiskreditkan ODHA/OHIDA itu sehingga terjadi stigmatisasi dan diskriminasi. Sikap
seperti ini bukannya mampu meselesaikan permasalahan yang sedang mengglobal ini malah
justru turut mempercepat merebaknya HIV/AIDS ke manamana. Hal ini diakibatkan oleh rasa
keputusasaan para ODHA/OHIDA yang semakin tertutup dan tidak turut membantu
penanganan HIV/AIDS. Disamping itu, banyak orang yang tidak bersedia memeriksakan diri
karena takut apabila terdeteksi mereka akan didiskriminasi dan distigmatisasi. Padahal HIV
itu adalah virus yang sangat sulit dideteksi karena belum menunjukkan geala penyakit.
Barulah ketika HIV sampai kepada AIDS maka virus dapat terdeteksi. Untuk itu, apakah
ODHA dan OHIDA itu masih harus dibenci karena ada anggapan bahwa penyakit yang
diderita adalah akibat tindakan amoral? Ataukah satusatunya jalan adalah merangkul,
mengasihi bahkan menjadikan mereka sebagai mitra kerja? Alkitab adalah landasan
pemahaman teologis dan pelayanan diakonal.

3.2. Yesus dan Orang sakit dalam Perjanjian Baru.


Dari sekian banyak pelayanan Yesus untuk menyembuhkan orang sakit, ada dua hal yang
menarik ditelusuri berkaitan dengan topik ini, yaitu penyembuhan orang sakit karena dosanya
(Yoh 5:14; bnd Mrk 2:1-12; Mzm 103:3) dan penyembuhan orang sakit bukan karena
dosanya maupun orang tuanya (Yoh 9:2-3). Sangat menarik bahwa Yesus bersedia
menyembuhkan orang sakit walaupun penyakit itu adalah akibat dosa yang diperbuat. Yesus
tidak mengadakan stigmatisasi dan diskriminasi walaupun hal itu bisa terjadi di tengahtengah
masyarakat Yahudi pada waktu itu. Dimana menurut pemahaman Yudaisme penyakit adalah
salah satu konsekwensi logis dari pada dosa. Sering mnurut mereka bahwa orang sakit adalah
orang berdosa. Itu makanya tidak jarang mereka justru mengucilkan orang sakit terutama
orang yang berpenyakit kusta.

Bagi Yesus, tidak ada orang yang tidak berdosa. Hal ini ia katakan dimana orangorang
Yahudi secara khusus kaum elitis di dalamnya mengklaim dirinya sebagai orang orang yang
benar karena melaksanakan hukum taurat disisi lain menghakimi para pemungut cukai
sebagai orang-orang berdosa. Dalam hal ini Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk orang
benar, melainkan untuk orang berdosa” (Mrk 2:17). Pernyataan Yesus ini perlu direvitalisasi
dalam kehidupan gereja sekaligus ditransformasikan dalam kehidupan masa kini terutama
dalam pelayanan ODHA/OHIDA yang selama ini sering didiskriminasikan. ODHA/OHIDA
hendaknya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan pelayanan diakonal gereja pada
masa kini dn yang akan datang.

3.3. Gereja adalah tubuh Kristus dan persekutuan orang-orang percaya


Rasul Paulus telah menggambarkan orang-orang percaya dengan adanya satu tubuh sebagai
wadah persekutuan para anggota dengan fungsi yang berbedabeda (I Kor 12:12-26; Rom 12:4
—8). Setiap orang percaya yang mempunyai latarbelakang, pola pikir dan pergumulan yang
berbeda, secara organisma adalah tubuh Kristus (I Kor 12:27). Kemajemukan orang-orang
percaya justru diikat oleh satu iman, satu pengharapan dan satu kasih (I Kor 13:13), namun
yang paling besar di antaranya ialah kasih. Kasih merupakan satusatunya bukti nyata dari
realisasi iman dan pengharapan. Oleh karena itu, idealnya setiap anggota tubuh harus saling
mengasihi antara yang satu dengan yang lain tanpa memandang latarbelakang denominasi
maupun organisasi demi keutuhan tubuh yang satu itu yakni gereja yang esa sebagai tubuh
Kristus.

Gereja sebagai tubuh Kristus telah hadir di tengahtengah dunia ini untuk melaksanakan tri
tugas panggilannya yaitu koinonia, marturia, dan diakonia. Gereja diharapkan untuk
melaksanakan ketiga tugas ini dalam penanganan HIV/AIDS, dimana gereja harus
membangun suatu prsekutuan kasih, mewartakan kasih dan melayankan kasih kepada
ODHA/OHIDA. Untuk itu Gereja punya posisi dan peranan yang sangat strategis untuk turut
ambil bagian dalam penanganan masalah HIV/AIDS.

3.4. Fungsi protektip dan preventip gereja


Fungsi protektip dibutuhkan terutama bagi mereka yang sudah terlanjur ODHA/OHIDA.
Mereka harus dilindungi dari serangan dan hujatan masyarakat. Untuk itu, Gereja juga perlu
mendirikan semacam wadah dimana ODHA/OHIDA dapat dilayani lebih intensif, efektif dan
efisien. Dalam wadah tersebut, mereka benarbenar dapat merasakan kedamaian sampai pada
akhirnya mereka terlepas dari belenggu rasa malu dan minder. Disanalah mereka akan
dilayani secara pastoral konseling untuk memulihkan mental dan spiritual yang lebih kuat. Di
samping itu, perlu disosialisasikan seluasluasnya kepada masyarakat bahwa ODHA/OHIDA
adalah sesama manusia yan membutuhkan perlakuan yang wajar sebagaimana masyarakat
lainnya. Melalui sosialisasi itu diharapkan kesediaan masyarakat dapat menerima
ODHA/OHIDA sebagaimana para penderita penyakit lainnya.

Sementara fungsi preventip akan lebih diarahkan kepada masyarakat yang belum terinfeksi
virus HIV terutama bagi mereka yang berpeluang besar akan terserang dilihat dari segi
tingkahlakunya misalnya para pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik dan para
pelaku seks bebas. Untuk itu, ODHA/OHIDA merupakan mitra kerja gereja yang sangat
efektip untuk melakukan tindakan pencegahan penularan virus HIv. Untuk itu, pemahaman
bahwa konselor adalah setara dengan ODHA/OHIDA amatlah penting. Dengan demiikian,
gereja maupun para konselor akan mampu membangun “sharing” dan berdiskusi secara
“konfidensial” artinya konselor tidak memberitahukan rahasia pembicaraan tanpa seizin
ODHA/OHIDA. Rasa kebersamaan atau “partnership” akan memperkuat rasa saling
mempercayai antara kedua belah pihak. Rasa saling percaya akan memotivasi para penderita
untuk lebih terbuka dan jujur dan pada akhirnya melalui pastoral konseling, para penderita
akan menjadi mitra gereja dalam penanganan HIV/AIDS. Lambang-lambang HIV/AIDS
seperti tengkorak yang sangat menakutkan dan menggambarkan maut sangatlah kurang baik
karena berpengaruh negatip terhadap kejiwaan si pederita. ODHA/OHIDA perlu
diberdayakan menjadi juru kampanye, bahkan sebagai tenaga konselor yang didampingi oleh
pelayan gereja dalam rangka tindakan preventip maupun protektip. Tindakan preventip dapat
dilakukan selualuasnya baik melalui pembinaan terhadap warga gereja (pemuda, kaum bapa,
kaum ibu dll) melalui ibadah, khotbah, selebaran dll.

3.5. Perlunya sikap inklusivisme dan universalisme


Yesus pernah berkata, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku
datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mrk 2:17). Hal ini
dikatakan oleh Yesus karena ahli-ahli Taurat dan golongan Farisi yang eksklusive melihat
Yesus sedang makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa. Demikian juga ketika
orang-orang Farisi dan ahli-ahi Taurat datang kepada Yesus sambil membawa seorang
perempuan yang tertangkap basah berzinah, mereka memperdebatkan hukum Musa kepada
Yesus bahwa orang yang demikian harus dilempari dengan batu. Yesus berkata, “Barang
siapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu
kepada perempuan itu” (Yoh 8:7). Dengan jelas Yesus mau menghancurkan tembok pemisah
antara kaum elitis Yahudi yang cenderung membenarkan diri dengan masyarakat jelata yang
sering disalahkan dan dihakimi. Demikian juga ODHA/OHIDA harus diperlakukan setara
dengan manusia yang lain.

Semua bangsa, seluruh dunia, dimana ODHA/OHIDA turut di dalamnya pada akhirnya
menjadi landasan pendaratan Firman Tuhan. ODHA/OHIDA tidak boleh dipisahkan atau
dibedabedakan hanya karena latarbelakang bangsa, etnis, budaya bahkan agama yang
berbeda. Mereka berhak memperoleh perlakuan secara manusiawi. Untuk itu, sikap
primordialisme dan nepotisme tidak dibutuhkan dalam proses pelayanan pastoral terhadap
ODHA/OHIDA.

3.6. Kasih sebagai landasan pastoral


Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa yang paling besar dari ketiga hal utama-iman,
pengharapan, kasih- adalah kasih. Rasul Paulus telah menjabarkan buah-buah kasih itu secara
panjang lebar dalam 1 Kor 13:4-8a. Sebagai landasan pastoral gereja, sangatlah penting
dihayati bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak memegahkan diri, tidak pemarah dan tidak
menyimpan kesalahan orang lain, kasih itu tidak berkesudahan.

Kita tahu bahwa HIV/AIDS lebih banyak ditimbulkan oleh tindakan kejahatan seperti
kejahatan seksual dan penggunaan narkoba melalui jaruum suntik. Namun Gereja harus
mampu membedakan dan memisahkan kejahatan dari orang jahat, dimana orang jahat
sebenarnya tidak identik dengan kejahatan. Sebagaimana seorang dokter harus mampu
memisahkan penyakit dari orang sakit. Seorang dokter tidak pernah berniat membunuh orang
sakit tetapi justru ingin mematikan penyakit agar si penderita memperoleh kesembuhan.
Karena itu, seorang dokter mutlak mengasihi orang sakit sekigus membenci penyakit yang
mengakibatkan penderitaan itu sendiri.

Gereja sedapat mungkin harus membenci bahkan menghempang penularan HIV/AIDS


namun tidak boleh membenci ODHA/OHIDA. Mereka merupakan korban pertama dari
kejahatan dan virus HIV.

Seorang konselor yang benarbenar dilandasi oleh kasih harus menunjukkan sikap sabar, tidak
mudah putus asa. Dia harus dengan sabar membongkar latarbelakang penularan virus HIV
kepada para korban. Tentu saja butuh waktu yang relatif lama, karena penderita harus
diyakinkan terlebih dahullu sehingga ia tidak merasa malu untuk mengungkapkannya. Murah
hati merupakan penampakan kasih dari konselor yang bersedia memberikan pelayanan
dengan segenap hati dan hidupnya. Tentu saja murah hati tidak boleh diukur dari pemberian
material tetapi diukur dari kerelaan untuk mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran untuk
selalu setia mendampingi penderita di dalam pergumulan hidupnya. Tidak memegahkan diri
berarti gereja maupun konselor tidak menempatkan diri lebih tinggi dari para penderita
HIV/AIDS. Sebaliknya justru harus merendahkan diri dan menghayati bahwa setiap
manusia mempunyai standard yang sama di hadapan Tuhan sebagaimana dalam teologia
penciptaan dimana bahwa manusia itu ialah “imago dei”. Namun karena kelemahan manusia
itu atas godaan sang iblis, semua manusia telah jatuh ke dalam dosa tanpa terkecuali. Oleh
karena itu, semua manusia telah berdosa dan harus diselamatkan. Pihak Gereja atau konselor
tidak berhak membenarkan diri sebagai orang kudus sekaligus menghakimi penderita
HIV/AIDS sebagai orang-orang berdosa dan jahat. Kemudian sikap tidak pemarah tidak
terpisahkan dari tidak memegahkan diri. Sikap marah terhadap ODHA/OHIDA karena
perbuatannya tidak akan menolong mereka, tetapi justru akan menjerumuskan mereka kepada
kehidupan yang lebih isolatif (lebih suka mengurung dirisendiri). Untuk itu Gereja harus
berusaha menumbuhkan sikap percaya diri bahwa mereka dapat diterima di tengahtengah
gereja dan masyarakat sebagai orang yang patut dilayani secara wajar. Sikap tidak
menyimpan kesalahan orang lain amatlah penting dalam pelayanan pastoral konseling ini.
Dimana kesalahan mereka tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyalahkan dan
menghakimi. Tetapi mereka harus diberdayakan untuk menempuh jalan hidup yang lebih
baik bahkan menjadi mitra gereja untuk menghempang penyebaran virus HIV/AIDS. Kasih
itu tidak berkesudahan adalah dasar yang paling utama sebagaimana kasih Allah juga tidak
pernah berkesudahan. Gereja dan konselor harus merevitalisasi peranan kasih sehingga gereja
dan konselor tidak akan pernah merasa jenuh dan bosan, tetapi selalu segar dalam pelayanan
pastoral kepada ODHA/OHIDA sekalipun pelayanan tersebut bukan tanpa masalah.

4.Penutup
Reposisi dan revitalisasi peranan gereja adalah hal yang sangat mendesak melihat
permasalahan sosil disekitarnya yang semakin rumit yang disadari atau tidak asti punya
dampak destruktif kepada kehidupan gereja itu sendiri. Selain itu pelayananan sebagaimana
telah diuraikan di atas juga adalah pelayanan yang diterima dari Tuhan Raja Gereja yang
tidak hanya mementingkan bentuk-bentuk pelayanan formal dan rutin. Kiranya gereja juga
memberdayakan para pelayannya maupun warganya untuk tidak hanya menjalankan
pelayanan internal tetapi juga menjalankan pelayanan kepada yang lain (Paul Knitter, Satu
Bumi Banyak Agama) yakni yang lain yang religius dan yang lain yang menderita khususnya
saudara-saudara kita yang kekasih, ODHA/OHIDA. Inklusivitas pelayanan gereja seperti ini
merupakan suatu rekonstruksi pelayanan Yesus pada dunia masa kini sebagai salah satu
bagian kecil dari perwujudan visi sang Raja Gereja yakni keselamatan dunia. (Penulis:Pdt.
E.R. Siahaan, S.Th. Dpk Rakom Diakoni FM)


• Artikel
• dibaca 514x
• [0] komentar


• 1
• 2
• 3
• 4
• 5





Formulir Komentar Tulisan Terkait

Nama Artikel: 31 May 10 22:00 WIB


Bandung \ Roni Vikers

Ketika Mereka Menentukan


Asal Kota Antara Sekolah,
Bermain atau
Ngamen… ?
Email Artikel: 24 May 10 15:07 WIB
Yogyakarta \ Indie Radio

Komentar Dunia Broadcast Rakom


Perlu
Mempertimbangkan
Sound Card yang
Berkualitas Bagus
tapi Ekonomis
Artikel: 5 May 10 11:41 WIB
Aceh \ Genta FM

Derita Lumpuh Nuraini

Kode Keamanan*

Kirim

Wajib di isi [may not leaved blank]

Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi,


tidak mewakili kebijakan Suara Komunitas.
Pengelola berhak mengubah/menghapus kata-
kata yang berbau pelecehan, intimidasi,
bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan

• Terbaru
• Terpopuler

19:0 Bertani Melon Memiliki Nilai Ekonomis Tinggi


9
Oleh: Adam Gita Swara Mungkin sebagian besar masyarakat menilai
kalau bertani melon adalah pekerjaan yang membutuhkan waktu yang
banyak dan rentan dengan penyakit. Tetapi Liputan Khusus > Nusa
Tenggara Barat > Gita Swara FM

17:4 Rekrutmen CPNS, KLU Tetapakan UI sebagai Penyelengara


5
Lombok Utara, Suara Komunitas – Setelah beberapa waktu lalu
pemerintah Kabupaten Lombok Utara (KLU) belum memastikan
penyelenggra atau pelaksana rekrutmen penerimaan Calon Pegawai Negeri
Sipil Liputan Khusus > Nusa Tenggara Barat > Gita Swara FM

17:4 UPTD Dikbudpora KLU Usulkan 4 SD Filial Difinitif


3
Lombok Utara, Suara Komunitas – Unit Pelaksana Tehnis Dinas Pendidikan
kebudayaan Pemuda dan Olah raga KLU, megusulkan sebanyak 4 unit SD
Filial yang ada di kecamatan bayan untuk dirubah Liputan Khusus > Nusa
Tenggara Barat > Gita Swara FM

17:4 RPJMD KLU 2010-2015, Sektor pendidikan,Kesehatan dan Infrastruktur jadi


3 Prioritas

Lombok Utara, Suara Komunitas - Guna memberikan pemahaman


kepada stake holder Liputan Khusus > Nusa Tenggara Barat > Gita
Swara FM

06:2 Keakraban Tim Jalin Merapi Magelang


7
K FM Magelang – Dinginnya pagi suasana di gunung merapi Magelang
sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat sini, akan tetapi bagaimana para
relawan JMM? Keaktifan gunung Artikel > Magelang > K FM

00:1 Manfaatkan Situs Jejaring Sosial, Jalin Merapi Informasikan Kondisi


9 Pengungsi

MAGELANG. Tim Jaringan Informasi Lintas Merapi (Jalin Merapi) yang


tersebar di beberapa titik di Magelang, Boyolali, Klaten dan
Yogyakarta memanfaatkan fasilitas grup di situs jejaring Berita > Magelang
> Muhammad A.Rofiq

22:1 Jalin Merapi Swadaya Mendirikan Posko


5
MAGELANG. Aktifitas Gunung Merapi yang berada di perbatasan Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), belum menunjukkan
penurunnya. Hal ini ditandai dengan masih terjadinya Berita > Magelang >
Muhammad A.Rofiq

19:2 Sholat Ghaib dan Doa Bersama untuk Korban Bencana


1
Lombok Utara, Suara Komunitas – Sebagai wujud kepedulian dan
solidaritas nasional terhadap korban jiwa akibat meletusnya gunung
merapi, jawa tengah, dan bencana gempa bumi yang Berita > Nusa
Tenggara Barat > Primadona FM

19:1 Pendidikan Anak Harus Dilakukan Sejak Dini


0
Lombok Utara, Suara Komunitas - Anak merupakan amanah dari Allah,
karenanya perlu diberikan pendidikan sejak dini, sehingga menjadi
anak, bukan saja berguna untuk agamanya, tapi juga Berita > Nusa
Tenggara Barat > Primadona FM

19:0 Sektor Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur Jadi Prioritas


4
Lombok Utara, Suara Komunitas - Guna memberikan pemahaman kepada
stake holder dan masyarakat, sekaligus sebagai upaya konsolidasi dan
integrasi perencanaan pembamgunan daerah Berita > Nusa Tenggara
Barat > Primadona FM

Berita Foto
Rekrutmen CPNS, KLU Tetapakan UI sebagai Penyelengara

oleh: Gita Swara FM. [+-->]

• 10 Komentar Terbaru

• cut feby berkata : ass mav pak saya ingin ...


• Mujibur rahman berkata : Semoga bermanfaat,dan ...
• rifson berkata : mudahan jaringan ini ...
• rokhim berkata : saya sangat setuju adanya ...
• cah ncomal berkata : disidokare emangnya ada ...
• Rahmad suryadi berkata : saya pernah punya teman ...
• ali erfan berkata : selain pisang mang ga ...
• Prie berkata : Keinginan tak selamanya ...
• suswono berkata : Direktur Manajemen Tangkolo ...
• hary gatho berkata : ingin gabung ma pemuda ...

• Siapa Kami
• Peta
• Umpan Balik
• Tanya-Jawab
• © SuaraKomunitas 2010

Statistik pengunjung: online 6

Script timer: 0.189820 seconds.

Peranan Gereja Yang Diakonal Dan


Penanganan HIV/ Aids
Diakoni FM

Pengantar
Selamat ulang tahun ke 25 kependetaan bapak Pdt. W.P. Tampubolon, Sth. Penulis turut
merasakan kebahagiaan jubilaris dan mensyukuri segala berkat Tuhan yang beliau terima
selama kurun waktu 25 tahun silam dalam proses pelayanan Gereja Tuhan.

Penulis mengenal jubilaris sebagai sosok pelayan yang memiliki pola pikir produktip dan
progressif. Beliau memiliki pengalaman pelayanan yang matang baik di dalam maupun di
luar negeri yang turut memampukan beliau dalam pelayanan masa kini sekaligus juga
mempersiapkan pelayanan untuk kepentingan masa depan. Kiranya tidak berlebihan apabila
penulis juga telah menyaksian bahwa jubilaris adalah salah satu pendeta senior yang selalu
punya keinginan untuk menghancurkan tembok pemisah yang sering membatasi komunikasi
antara pelayan senior dan junior.

Dari keramahan dan keluwesan beliau bergaul dengan para pelayan muda maka tidak salah
apabila dikatakan bahwa beliau sangat konsisten untuk membangun kerjasama yang baik
dengan para pelayan yang lebih muda. Dalam hal ini, penulis selalu ingat dengan kalimat
singkat yang pernah beliau utarakan dalam bahasa Batak kepada penulis dan rekan pelayan
muda lainnya, “ molo hupasobok diringku tu hamu unang ma nian rajumi hamu sarupa hamu
dohot ahu”.
Secara jujur harus diakui, ketika para pelayan senior mau mendekatkan diri bahkan
menyesuaikan diri kepada pelayan muda saat itu para pelayan muda semakin kurang
menghargai seniornya sebagaimana layaknya. Namun, juga tidak dapat dipungkiri banyak
pelayan junior yang menghormati seniornya justru mendapat perlakuan kurang wajar.

Akan tetapi, jubilaris menurut penulis punya kemampuan membangun hubungan kerja sama
yang leih harmonis dengan juniornya karena keakraban dan komunikasi beliau tidak terlalu
formal. Di samping itu, jubilaris tidak jarang melakukan pendekatan kultural kepada rekan
sekerjanya yakni sistim kekerabatan ‘dalihan na tolu’.

Semoga ke depan, dalam usia yang lebih lanjut, kiranya jubilaris tetap teguh dan kokoh serta
lebih energik untuk menunaikan tugas dan pelayanannya sebagai hamba Tuhan.

Dalam rangka memeriahkan 25 tahun kependetaan sang Jubilaris, dengan senang hati dan
rasa syukur kepad Tuhan, penulis menyumbangkan tulisan ini, walau dalam waktu yang
sangat singkat. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi pembaca.

1. Pendahuluan
Koinonia, marturia dan diakonia merupakan tri tugas panggilan gereja yang tidak terpisahkan
satu dengan yang lain. Ketiga tugas ini punya korelasi interdependensi antara yang satu
dengan yang lain. Hal ini dapat dikatakan karena diakonia sendiri adalah pelayanan.
Koinonia sebagai persekutuan akan hidup survive,jika terjadi saling melayani di tengah-
tengah persekutuan itu.
Demikian juga halnya marturia, merupakan pelayanan pewartaan kerajaan Allah melalui Injil
sebagai khabar keselamatan yang diberitakan ke dalam persekutuan secara sentripetal
maupun ke luar persekutuan itu secara sentripugal.
Dan diakonia itu menjdai tindakan nyata sebagai pengimplementasian dari pewartaan Injil
melalui berbagai aksi sosial; sosial politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, pelayanan
diakonia sebenarnya sangatlah luas dan didalamnya terdapat beberapa metode pelayanan
diakonia yang bervariasi.

Melihat betapa luasnya cakupan pelayanan diakonia, penulis membatasi tulisan ini khusus
melihat PERANAN GEREJA YANG DIAKONAL DALAM PENANGANAN HIV/AIDS
dengan mengingat HIV/AIDS sudah merupakan permasalahan dunia dan butuh penanganan
yang sungguh-sungguh dari semua pihak.
Dari berbagai bentuk pelayanan diakonia saat ini dikenal (karitatif, reformatif dan
transformatif). Penulis membahas peranan gereja yang diakonal dengan bentuk pelayanan
transformatif dengan tindakan preventif dan protektif baik melalui pelayanan pastoral
maupun juru kampanye, dalam hal ini melalui khotbah, PA, sermon dan lain-lain.
Bentuk pelayanan transformatif merupakan bentuk pelayanan jangka panjang dengan
mengesampingkan sikap ketergantungan dari orang yang dilayani kepada pelayan sekaligus
konsisten dengan pemandirian orang yang dilayani.
Bentuk pelayanan seperti ini juga tidak menempatkan orang yang dilayani sebagai objek
melainkan memposisikannya sebagai mitra kerja. Memberdayakan orang yang dilayani bukan
saja untuk mampu melepaskan diri dari permasalahan yang ia hadapi tetapi lebih dari itu,
pada akhirnya mampu melayani orang lain.
Demikianlah ODHA/OHIDA (Orang Dengan HIV/AIDS atau Orang Dengan AIDS) pada
akhirnya mampu melayani bersama gereja atau di dalam gereja untuk melakukan pelayanan
preventif maupun protektif kepada yang belum terinfeksi virus HIV maupun yang sudah.

HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan saja, melainkan telah jadi masalah kemanusiaan
di seluruh dunia, bahkan sudah jadi sebuah epidemi yang pertumbuhannya sangat pesat ibarat
sarang labalaba. Lebih berbahaya lagi perkembangannya ibarat belut dalam lumpur, sangat
sulit dideteksi.
Oleh karena itu, semua pihak sangat diharapkan turut berpartisipasi aktip dalam penanganan
HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obat yang ampuh untuk mengatasinya. Di
samping lembaga pemerintah maupun rumah sakit, selama ini berbagai LSM sudah
berpartisipasi aktip dalam penanganan HIV/AIDS. Namun kita masih merasakan adanya
sikap kekakuan bahkan kepasifan daripada Gereja untuk terlibat langsung dalam penanganan
HIV/AIDS.
Gereja cenderung menyuarakan penanganan HIV/AIDS dalam tingkat oral pada berbagai
seminar maupun rapat yang diadakan namun belum sampai kepada aksi nyata. Gereja telah
menyuarakan bahaya HIV/AIDS, namun barangkali masih pada tingkat kognitif atau
mungkin afektif, belum sampai pada tingkat psikomotoris.
Untuk itu, sudah waktunya Gereja membuka mata dan secara aktip membangun pelayanan
diakonal dalam penanganan HIV/AIDS. Gereja dirasa perlu bahkan sudah mendesak untuk
segera memberdayakan warga dan pelayan untuk peka dan proaktip menangani masalah
kemanusiaan tersebut.

Untuk itu, Komite HIV/AIDS yang telah dibentuk HKBP merupakan langkah positip dan
konstruktip untuk melakukan penanganan terhadap HIV/AIDS. Namun sebagaimana telah
ditegaskan bahwa HIV/AIDS adalah tanggung jawab bersama dari setiap lapisan warga
gereja maupun masyarakat. Namun sebelumnya perlu dipahami dasar-dasar teologi diakonia
yang menjadi landasan pelayanan gereja terhadap ODHA dan OHIDA.

2. Diakonia dalam Perjanjian Baru


Ada dua kata yang perlu dibahas dalam Kitab Perjanjian Baru berkaitan dengan istilah
‘diakonia’ yakni: Pelayan.
Istilah diakonia adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang diterima dan diakui
sebagai bahasa asli kitab Perjanjian Baru. Itu sebabnya penulis membatasi pembahasan
landasan teologia diakonia hanya pada kitab Perjanjian Baru, walaupun harus diakui ada
beberapa kata dalam Perjanjian Lama yang berbahasa Ibrani diterjemahkan dengan istilah-
istilah yang berhubungan dengan diakonia sebagaimana ditemukan dalam kitab Septuaginta
(Alf Obtestadt, Membangun Gereja yang Diakonal).

Secara etimologi, diakonia berasal dari kata ‘deacon’ yang diterjemahkan menjadi pelayan,
hamba, pelayanan dan melayani. Kata ’deacon’ ditemukan sebanyak seratus kali dalm kitab
Perjanjian Baru. Hal ini menunjukkan kata ‘deacon’ itu merupakan kata yang sangat populer,
penting dan punya makna khusus dalam karya penyelamatan Yesus sendiri.
Pada dasarnya, ‘deacon’ itu merupakan hamba. Bahkan sebelum zaman Perjanjian Baru juga
dalam dunia Hellenistik tahun 330-37 BC, istilah hamba sudah dikenal sebagai pelayan
dalam kegiatan kultus di tempat ibadah orang-orang Yunani.
Dari kata ‘deacon’ kita mengenal istilah ‘diaconos’ yakni pelayan. Paulus sebagai pemberita
Injil juga menyebut diri dan rekannya Epafras sebagai pelayan (Kol 1:7,23,25). Itu berarti
bahwa pemberitaan injil oleh Paulus yang dapat dikategorikan ke dalam istilah ‘marturia’
merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari diakonia karena orang yang memberitakan
Injil juga adalah pelayan.
Demikian juga halnya ketika Yesus makan bersama dengan para muridNya, dimana pada saat
itu ada dari antara muridNya bertengkar memperdebatkan siapa dari antara mereka yang
terbesar. Yesus justru menegaskan bahwa yang terbesar adalah pelayan. Yesus selanjutnya
menyebutkan bahwa diriNya sendirilah pelayan itu (Luk 22:26f).
Hal ini dikatakan oleh Yesus dalam konteks makan bersama yang didasari oleh persekutuan
atau koinonia yang di dalamnya terjadi proses saling melayani. Dengan demikian diakonia
juta merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari koinonia.

Walaupun demikian istilah ‘diaconos’ juga dipergunakan untuk suatu jabatan gerejawi (Flp
1:1) dimana selain penilik jemaat juga ada diaken. Disamping itu pelayanan bukan hanya
karena jabatan tetapi karena karunia Roh (Rom 12:7).
Selanjutnya Rasul Paulus memberikan persyaratan untuk menjadi diaken (1 Tim 3:8ff) yang
intinya bahwa rahasia iman harus tetap tersimpan dan terpelihara di dalam hati.
Itu artinya bahwa segala tugas pelayanan para diaken tidak boleh dilakukan tanpa iman yang
benar. Pelayanan itu sendiri harus dimulai dari diri sendiri maupun keluarga sebagai lembaga
terkecil di tengahtengah masyarakat.

Pelayanan.
Pelayanan yang lebih agung dan mulia mengacu kepada pelayanan Kristus (Ibr 8:6).
Pelayanan Yesus sekaligus menyempurnakan pelayanan para nabi dimana pelayanan itu
adalah penyangkalan diri sehingga pelayanan itu adalah untuk orang lain. Dalam pemahaman
seperti itulah Yesus berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak
orang” (Mrk 10:45). Melakukan pelayanan terhadap orang lain itu berarti melakukan
pelayanan kepada Kriatus sendiri (Mat 25:44). Itu makanya Kristus menekankan pelayanan
kepada orang lain terutama kepada orang-orang yang paling hina karena pelayanan seperti
itu adalah pelayanan kapada Dia.

Pelayanan para rasul dan para pelayan lainnya merupakan pelayanan yang diterima dari
Tuhan maupun yang diterima melalui gereja sehingga ‘harus dijalankan sepenuhnya’ (Kol
4:17; Rom 12:7; 1Tim 3:8ff). Lebih luas lagi bahwa pelayanan itu merupakan tugas dan
danggungjawab imamat am orang-orang percaya (1Pet 2:9) sehingga dalam implementasinya
perlu pemberdayaan warga jemaat untuk saling melayani dan untuk melayani orang lain di
luar jemaat itu sendiri karena sasaran pelayanan itu adalah masyarakat universal (Roma
15:16). Melayani sesama orang-orang percaya merupakan titik berangkat untuk melayani
masyarakat yang lebih luas. Itu makanya Rasul Paulus menekankan pentingnya pelayanan
yang berkualitas di dalam kasih kepada sesama seiman (Gal 6:10).

3. Dasar pemahaman pelaksanaan pelayanan Gereja terhadap ODHA/OHIDA


3.1. ODHA/OHIDA
Istilah ODHA/OHIDA ini disosialisasikan sebagai pengganti istilah diskriminatif yang
selama ini dipergunakan yakni penderita HIV/AIDS. Disamping itu, istilah yang lama itu
juga sangat menakutkan ODHA dan OHIDA sekaligus mendukung mereka pada sikap
pesimistik dan keputusasaan.
Human Immunodeficiency Syndrome (HIV) merupakan virus yang yang melemahkan
bahkan menghilangkan sistim kekebalan tubuh manusia, sementara itu Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat hilangnya sistim
kekebalan tubuh. Kumpulan gejala penyakit tersebut bukanlah yang diturunkan atau penyakit
keturunan melainkan diperoleh. Oleh karena itu, memang tidak dapat disangkal bahwa
banyak gejala penyakit tersebut diperoleh akibat kesalahan sendiri atau karena kebejatan
moral. Inilah yang menjadi dasar masyarakat umum untuk cenderung mmbenci dan
mendiskreditkan ODHA/OHIDA itu sehingga terjadi stigmatisasi dan diskriminasi. Sikap
seperti ini bukannya mampu meselesaikan permasalahan yang sedang mengglobal ini malah
justru turut mempercepat merebaknya HIV/AIDS ke manamana. Hal ini diakibatkan oleh rasa
keputusasaan para ODHA/OHIDA yang semakin tertutup dan tidak turut membantu
penanganan HIV/AIDS. Disamping itu, banyak orang yang tidak bersedia memeriksakan diri
karena takut apabila terdeteksi mereka akan didiskriminasi dan distigmatisasi. Padahal HIV
itu adalah virus yang sangat sulit dideteksi karena belum menunjukkan geala penyakit.
Barulah ketika HIV sampai kepada AIDS maka virus dapat terdeteksi. Untuk itu, apakah
ODHA dan OHIDA itu masih harus dibenci karena ada anggapan bahwa penyakit yang
diderita adalah akibat tindakan amoral? Ataukah satusatunya jalan adalah merangkul,
mengasihi bahkan menjadikan mereka sebagai mitra kerja? Alkitab adalah landasan
pemahaman teologis dan pelayanan diakonal.

3.2. Yesus dan Orang sakit dalam Perjanjian Baru.


Dari sekian banyak pelayanan Yesus untuk menyembuhkan orang sakit, ada dua hal yang
menarik ditelusuri berkaitan dengan topik ini, yaitu penyembuhan orang sakit karena dosanya
(Yoh 5:14; bnd Mrk 2:1-12; Mzm 103:3) dan penyembuhan orang sakit bukan karena
dosanya maupun orang tuanya (Yoh 9:2-3). Sangat menarik bahwa Yesus bersedia
menyembuhkan orang sakit walaupun penyakit itu adalah akibat dosa yang diperbuat. Yesus
tidak mengadakan stigmatisasi dan diskriminasi walaupun hal itu bisa terjadi di tengahtengah
masyarakat Yahudi pada waktu itu. Dimana menurut pemahaman Yudaisme penyakit adalah
salah satu konsekwensi logis dari pada dosa. Sering mnurut mereka bahwa orang sakit adalah
orang berdosa. Itu makanya tidak jarang mereka justru mengucilkan orang sakit terutama
orang yang berpenyakit kusta.

Bagi Yesus, tidak ada orang yang tidak berdosa. Hal ini ia katakan dimana orangorang
Yahudi secara khusus kaum elitis di dalamnya mengklaim dirinya sebagai orang orang yang
benar karena melaksanakan hukum taurat disisi lain menghakimi para pemungut cukai
sebagai orang-orang berdosa. Dalam hal ini Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk orang
benar, melainkan untuk orang berdosa” (Mrk 2:17). Pernyataan Yesus ini perlu direvitalisasi
dalam kehidupan gereja sekaligus ditransformasikan dalam kehidupan masa kini terutama
dalam pelayanan ODHA/OHIDA yang selama ini sering didiskriminasikan. ODHA/OHIDA
hendaknya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan pelayanan diakonal gereja pada
masa kini dn yang akan datang.

3.3. Gereja adalah tubuh Kristus dan persekutuan orang-orang percaya


Rasul Paulus telah menggambarkan orang-orang percaya dengan adanya satu tubuh sebagai
wadah persekutuan para anggota dengan fungsi yang berbedabeda (I Kor 12:12-26; Rom 12:4
—8). Setiap orang percaya yang mempunyai latarbelakang, pola pikir dan pergumulan yang
berbeda, secara organisma adalah tubuh Kristus (I Kor 12:27). Kemajemukan orang-orang
percaya justru diikat oleh satu iman, satu pengharapan dan satu kasih (I Kor 13:13), namun
yang paling besar di antaranya ialah kasih. Kasih merupakan satusatunya bukti nyata dari
realisasi iman dan pengharapan. Oleh karena itu, idealnya setiap anggota tubuh harus saling
mengasihi antara yang satu dengan yang lain tanpa memandang latarbelakang denominasi
maupun organisasi demi keutuhan tubuh yang satu itu yakni gereja yang esa sebagai tubuh
Kristus.

Gereja sebagai tubuh Kristus telah hadir di tengahtengah dunia ini untuk melaksanakan tri
tugas panggilannya yaitu koinonia, marturia, dan diakonia. Gereja diharapkan untuk
melaksanakan ketiga tugas ini dalam penanganan HIV/AIDS, dimana gereja harus
membangun suatu prsekutuan kasih, mewartakan kasih dan melayankan kasih kepada
ODHA/OHIDA. Untuk itu Gereja punya posisi dan peranan yang sangat strategis untuk turut
ambil bagian dalam penanganan masalah HIV/AIDS.

3.4. Fungsi protektip dan preventip gereja


Fungsi protektip dibutuhkan terutama bagi mereka yang sudah terlanjur ODHA/OHIDA.
Mereka harus dilindungi dari serangan dan hujatan masyarakat. Untuk itu, Gereja juga perlu
mendirikan semacam wadah dimana ODHA/OHIDA dapat dilayani lebih intensif, efektif dan
efisien. Dalam wadah tersebut, mereka benarbenar dapat merasakan kedamaian sampai pada
akhirnya mereka terlepas dari belenggu rasa malu dan minder. Disanalah mereka akan
dilayani secara pastoral konseling untuk memulihkan mental dan spiritual yang lebih kuat. Di
samping itu, perlu disosialisasikan seluasluasnya kepada masyarakat bahwa ODHA/OHIDA
adalah sesama manusia yan membutuhkan perlakuan yang wajar sebagaimana masyarakat
lainnya. Melalui sosialisasi itu diharapkan kesediaan masyarakat dapat menerima
ODHA/OHIDA sebagaimana para penderita penyakit lainnya.

Sementara fungsi preventip akan lebih diarahkan kepada masyarakat yang belum terinfeksi
virus HIV terutama bagi mereka yang berpeluang besar akan terserang dilihat dari segi
tingkahlakunya misalnya para pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik dan para
pelaku seks bebas. Untuk itu, ODHA/OHIDA merupakan mitra kerja gereja yang sangat
efektip untuk melakukan tindakan pencegahan penularan virus HIv. Untuk itu, pemahaman
bahwa konselor adalah setara dengan ODHA/OHIDA amatlah penting. Dengan demiikian,
gereja maupun para konselor akan mampu membangun “sharing” dan berdiskusi secara
“konfidensial” artinya konselor tidak memberitahukan rahasia pembicaraan tanpa seizin
ODHA/OHIDA. Rasa kebersamaan atau “partnership” akan memperkuat rasa saling
mempercayai antara kedua belah pihak. Rasa saling percaya akan memotivasi para penderita
untuk lebih terbuka dan jujur dan pada akhirnya melalui pastoral konseling, para penderita
akan menjadi mitra gereja dalam penanganan HIV/AIDS. Lambang-lambang HIV/AIDS
seperti tengkorak yang sangat menakutkan dan menggambarkan maut sangatlah kurang baik
karena berpengaruh negatip terhadap kejiwaan si pederita. ODHA/OHIDA perlu
diberdayakan menjadi juru kampanye, bahkan sebagai tenaga konselor yang didampingi oleh
pelayan gereja dalam rangka tindakan preventip maupun protektip. Tindakan preventip dapat
dilakukan selualuasnya baik melalui pembinaan terhadap warga gereja (pemuda, kaum bapa,
kaum ibu dll) melalui ibadah, khotbah, selebaran dll.

3.5. Perlunya sikap inklusivisme dan universalisme


Yesus pernah berkata, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku
datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mrk 2:17). Hal ini
dikatakan oleh Yesus karena ahli-ahli Taurat dan golongan Farisi yang eksklusive melihat
Yesus sedang makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa. Demikian juga ketika
orang-orang Farisi dan ahli-ahi Taurat datang kepada Yesus sambil membawa seorang
perempuan yang tertangkap basah berzinah, mereka memperdebatkan hukum Musa kepada
Yesus bahwa orang yang demikian harus dilempari dengan batu. Yesus berkata, “Barang
siapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu
kepada perempuan itu” (Yoh 8:7). Dengan jelas Yesus mau menghancurkan tembok pemisah
antara kaum elitis Yahudi yang cenderung membenarkan diri dengan masyarakat jelata yang
sering disalahkan dan dihakimi. Demikian juga ODHA/OHIDA harus diperlakukan setara
dengan manusia yang lain.

Semua bangsa, seluruh dunia, dimana ODHA/OHIDA turut di dalamnya pada akhirnya
menjadi landasan pendaratan Firman Tuhan. ODHA/OHIDA tidak boleh dipisahkan atau
dibedabedakan hanya karena latarbelakang bangsa, etnis, budaya bahkan agama yang
berbeda. Mereka berhak memperoleh perlakuan secara manusiawi. Untuk itu, sikap
primordialisme dan nepotisme tidak dibutuhkan dalam proses pelayanan pastoral terhadap
ODHA/OHIDA.

3.6. Kasih sebagai landasan pastoral


Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa yang paling besar dari ketiga hal utama-iman,
pengharapan, kasih- adalah kasih. Rasul Paulus telah menjabarkan buah-buah kasih itu secara
panjang lebar dalam 1 Kor 13:4-8a. Sebagai landasan pastoral gereja, sangatlah penting
dihayati bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak memegahkan diri, tidak pemarah dan tidak
menyimpan kesalahan orang lain, kasih itu tidak berkesudahan.

Kita tahu bahwa HIV/AIDS lebih banyak ditimbulkan oleh tindakan kejahatan seperti
kejahatan seksual dan penggunaan narkoba melalui jaruum suntik. Namun Gereja harus
mampu membedakan dan memisahkan kejahatan dari orang jahat, dimana orang jahat
sebenarnya tidak identik dengan kejahatan. Sebagaimana seorang dokter harus mampu
memisahkan penyakit dari orang sakit. Seorang dokter tidak pernah berniat membunuh orang
sakit tetapi justru ingin mematikan penyakit agar si penderita memperoleh kesembuhan.
Karena itu, seorang dokter mutlak mengasihi orang sakit sekigus membenci penyakit yang
mengakibatkan penderitaan itu sendiri.

Gereja sedapat mungkin harus membenci bahkan menghempang penularan HIV/AIDS


namun tidak boleh membenci ODHA/OHIDA. Mereka merupakan korban pertama dari
kejahatan dan virus HIV.

Seorang konselor yang benarbenar dilandasi oleh kasih harus menunjukkan sikap sabar, tidak
mudah putus asa. Dia harus dengan sabar membongkar latarbelakang penularan virus HIV
kepada para korban. Tentu saja butuh waktu yang relatif lama, karena penderita harus
diyakinkan terlebih dahullu sehingga ia tidak merasa malu untuk mengungkapkannya. Murah
hati merupakan penampakan kasih dari konselor yang bersedia memberikan pelayanan
dengan segenap hati dan hidupnya. Tentu saja murah hati tidak boleh diukur dari pemberian
material tetapi diukur dari kerelaan untuk mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran untuk
selalu setia mendampingi penderita di dalam pergumulan hidupnya. Tidak memegahkan diri
berarti gereja maupun konselor tidak menempatkan diri lebih tinggi dari para penderita
HIV/AIDS. Sebaliknya justru harus merendahkan diri dan menghayati bahwa setiap
manusia mempunyai standard yang sama di hadapan Tuhan sebagaimana dalam teologia
penciptaan dimana bahwa manusia itu ialah “imago dei”. Namun karena kelemahan manusia
itu atas godaan sang iblis, semua manusia telah jatuh ke dalam dosa tanpa terkecuali. Oleh
karena itu, semua manusia telah berdosa dan harus diselamatkan. Pihak Gereja atau konselor
tidak berhak membenarkan diri sebagai orang kudus sekaligus menghakimi penderita
HIV/AIDS sebagai orang-orang berdosa dan jahat. Kemudian sikap tidak pemarah tidak
terpisahkan dari tidak memegahkan diri. Sikap marah terhadap ODHA/OHIDA karena
perbuatannya tidak akan menolong mereka, tetapi justru akan menjerumuskan mereka kepada
kehidupan yang lebih isolatif (lebih suka mengurung dirisendiri). Untuk itu Gereja harus
berusaha menumbuhkan sikap percaya diri bahwa mereka dapat diterima di tengahtengah
gereja dan masyarakat sebagai orang yang patut dilayani secara wajar. Sikap tidak
menyimpan kesalahan orang lain amatlah penting dalam pelayanan pastoral konseling ini.
Dimana kesalahan mereka tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyalahkan dan
menghakimi. Tetapi mereka harus diberdayakan untuk menempuh jalan hidup yang lebih
baik bahkan menjadi mitra gereja untuk menghempang penyebaran virus HIV/AIDS. Kasih
itu tidak berkesudahan adalah dasar yang paling utama sebagaimana kasih Allah juga tidak
pernah berkesudahan. Gereja dan konselor harus merevitalisasi peranan kasih sehingga gereja
dan konselor tidak akan pernah merasa jenuh dan bosan, tetapi selalu segar dalam pelayanan
pastoral kepada ODHA/OHIDA sekalipun pelayanan tersebut bukan tanpa masalah.

4.Penutup
Reposisi dan revitalisasi peranan gereja adalah hal yang sangat mendesak melihat
permasalahan sosil disekitarnya yang semakin rumit yang disadari atau tidak asti punya
dampak destruktif kepada kehidupan gereja itu sendiri. Selain itu pelayananan sebagaimana
telah diuraikan di atas juga adalah pelayanan yang diterima dari Tuhan Raja Gereja yang
tidak hanya mementingkan bentuk-bentuk pelayanan formal dan rutin. Kiranya gereja juga
memberdayakan para pelayannya maupun warganya untuk tidak hanya menjalankan
pelayanan internal tetapi juga menjalankan pelayanan kepada yang lain (Paul Knitter, Satu
Bumi Banyak Agama) yakni yang lain yang religius dan yang lain yang menderita khususnya
saudara-saudara kita yang kekasih, ODHA/OHIDA. Inklusivitas pelayanan gereja seperti ini
merupakan suatu rekonstruksi pelayanan Yesus pada dunia masa kini sebagai salah satu
bagian kecil dari perwujudan visi sang Raja Gereja yakni keselamatan dunia. (Penulis:Pdt.
E.R. Siahaan, S.Th. Dpk Rakom Diakoni FM)

Allah islam = Allah kristen ?

Saudara/i ykk,

Banyak pertanyaan diajukan mengenai 'Apakah Allah Islam sama dengan Allah Kristen?'
dan argumentasi yang banyak dikemukakan adalah bahwa 'Allah Islam tidak sama dengan
Allah Kristen' alasannya 'Karena ajaran keduanya berbeda!'. Pandangan ini tercermin
dalam buku Dr. Robert Morey yang beredar bahkan dianut belakangan ini di kalangan
tertentu di Indonesia:

"Islam claims that Allah is the same God who was revealed in the Bible. This logically
implies in the positive sense that the concept of God set forth in the Quran will correspond in
all points to the concept of God found in the Bible. This also implies in the negative sense
that if the Bible and the Quran have differing views of God, then Islam's claim is false."
(Islamic Invasion, Harvest House Publishers, 1992, h.57).

Definisi Morey ini memiliki kelemahan dasar berfikir yang fatal yang menganggap masalah-
masalah teologi (ilmu sosial) bersifat eksakta dan mencampur adukkan pengertian soal
'identitas' dan 'opini' (meta basis). Dari dasar berfikir atau asumsi ini, maka dihasilkan
kesimpulan bahwa (1) Bila Allah Islam adalah Tuhan Kristen, maka secara positif konsep
keduanya mengenai Tuhan harusnya sama dalam setiap butirnya, sebaliknya secara negatif
disebut bahwa (2) Bila Al-Quran dan Alkitab memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhan,
maka klaim Islam adalah salah.

Pandangan yang terlalu sederhana ini dengan mudah bisa digugurkan bila kita mengambil
contoh soal 'Suharto' mantan presiden ORBA. Menurut definisi Morley, bila Suharto yang
dimaksudkan oleh para pengikut ORBA sama dengan Suharto yang di demo mahasiswa,
maka konsep keduanya mengenai Suharto akan sama dalam setiap butirnya. Faktanya
sekalipun Suhartonya sama konsep keduanya berbeda. Bagi para pengikut ORBA, Suharto
adalah bapak pembangunan yang membawa kesejahteraan dan mendatangkan kesatuan dan
keamanan regional, padahal Suharto yang sama itu oleh para mahasiswa dianggap sebagai
bapak pembangkrutan yang membawa kemiskinan karena KKN dan tiran yang membawa
bangsa Indonesia kepada disintegrasi bangsa.

Mengapa berbeda? Dan kalau berbeda apakah klaim mahasiswa mengenai Suharto salah? Di
sini kita berhubungan dengan dua soal yang tidak bisa dicampur adukkan satu dengan
lainnya, yaitu bahwa Suharto sebagai pribadi (oknum) dengan namanya dan konsep orang
(ajaran atau aqidah) mengenai oknum yang sama itu.

Soal yang sama terjadi dalam hubungan dengan pertanyaan mengenai apakah 'Allah Islam
sama dengan Tuhan Kristen?'. Jawabannya perlu kita lihat dari Kitab Suci Islam (Al-Quran)
maupun Kristen (Al-Kitab), dan juga sejarah bangsa dan bahasa Semit.

EL SEMIT

Faktanya, bila kita membandingkan agama Yahudi (Alkitab Perjanjian Lama), Kristen
(Alkitab Perjanjian Lama dan Baru), dan Islam (Al-Quran), kita dapat melihat bahwa ada
butir-butir yang sama, namun banyak butir-butir lainnya yang tidak sama (jadi bukan semua
sama atau semua tidak sama).

Bila kita melihat Alkitab PL, kita dapat mengetahui bahwa nama Tuhan 'El/Elohim' adalah
pencipta langit dan bumi, manusia dan segala isinya. Dan ia juga Tuhan yang menyatakan
dirinya kepada Adam, Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub. Agama Yahudi, Kristen dan Islam
mempercayai itu semua, namun mereka berbeda dalam kepercayaan akan wahyu mana yang
dari El yang sama itu yang dipercayai. Agama Yahudi mempercayai wahyu yang dibukukan
menjadi Alkitab Perjanjian Lama, namun sekalipun agama Kristen menerima hal ini, agama
Kristen juga mengakui penggenapan dalam Tuhan Yesus Kristus yang wahyunya dibukukan
dalam Perjanjian Baru padahal Yahudi menolak.

"Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (kitab) yang diturunkan kepada kami dan
apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Y'qub dan anak-anaknya, (begitu
juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan 'Isa, dan apa-apa yang diturunkan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga di antara
mereka itu dan kami patuh kepada Allah" (Al-Quran, Al-Baqarah, 2:136, Mahmud Yunus,
Tafsir Quran Karim).
Agama Islam, sekalipun menerima kitab yang diterima Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa, namun
lebih menerima kitab wahyu yang diterima Muhammad dari jalur Ismael, dan menerima
kitab-kitab Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa sejauh diterima oleh Muhammad yang dipercayai
sebagai nabi, dan sekalipun menerima kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun karena
dianggap telah dipalsukan, maka kepercayaan kepada berita Al-Kitab terbatas hanya bila hal
itu dikuatkan dalam Al-Quran.

Jadi, dari terang Alkitab (PL+PB) dan Al-Quran jelas terlihat bahwa sebagai oknum dengan
namanya, Allah Islam adalah Tuhan Yahudi dan Kristen. Namun karena wahyu yang
dipercayai berbeda, dengan sendirinya banyak pengajaran (aqidah)nya yang berbeda.

Agama Yahudi, kepercayaannya hanya bergantung kepada Perjanjian Lama, akibatnya


mereka memandang Tuhan 'El' (yang sejak Musa diberi nama juga sebagai 'Yahweh'
(Kel.6:1-2)) sebagai Tuhan monotheisme yang transenden dengan hukum Taurat sebagai
pedoman, namun agama Kristen berbeda dan menerima kenyataan bahwa El Abraham itu
juga telah menyatakan diri dalam oknum Yesus dalam ke-Tritunggalannya, dan hukum
kasih/Injil menjadi pedomannya.

Islam mengikuti jalur Abraham mempercayai Tuhan 'El' itu yang dalam dialek Arab disebut
'Allah' (dari al-ilah). Dalam bahasa Ibrani kata sandang 'the' ('al' dalam dialek Arab dan 'ha'
dalam dialek Aram-Siria namun diletakkan di belakang menjadi 'alaha') tidak digunakan bila
menyebut Tuhan.

Dari sejarah kita mengetahui bahwa sejak awalnya 'El' bisa memiliki arti umum sebagai
sebutan untuk 'Tuhan/Ketuhanan' dan 'Elohim' sering digunakan dalam arti kata jamak
(politheistik) dan dipakai oleh suku-suku keturunan Sem (menjadi rumpun Semit) dan karena
perkembangan zaman sering merosot sehingga dimengerti dalam berbagai-bagai ajaran
aqidah, namun 'El/Il' juga digunakan untuk menyebut 'nama diri' Tuhan.

"'Ilu, El' sebagai sebutan untuk ketuhanan. Istilah 'il mempunyai arti sebutan umum (generic
appelative) untuk menunjuk pada 'tuhan' atau 'ketuhanan' pada tahap awal semua cabang
utama rumpun bahasa Semit. Ini terlihat jelas di Semit Timur, Akadian kuno (ilu) dan dialek-
dialek sesaudara dimulai zaman pra-Sargon (sebelum 2360 BC) dan berlanjut sampai akhir
masa Babil. Penggunaan sebagai sebutan juga muncul di Semit Barat Laut, di Amrit ('ilu,
'ilum, 'ila), di Ugarit, di Ibrani, dan umum di dialek-dialek Arab Selatan kuno, di Arab Utara
digantikan dengan nama 'ilah. 'Ilu, El juga digunakan sebagai Nama Diri (proper name). …
Di Semit Timur ada bukti kuno yang menunjukkan bahwa 'Il' adalah nama diri tuhan … tuhan
Il (kemudian El Semit) adalah kepala ketuhanan pada rumpun Semit Mesopotamia pada masa
Pra-Sargon." (G. Johanes Botterwech, Theological Dictionary of the Old Testament, Vol.I,
242-244).

Dari sejarah ini kita dapat melihat bahwa 'Allah' di kalangan bangsa dan bahasa Arab tidak
lain menunjuk pada 'El' Semit' yang sama, ini dijelaskan dalam buku-buku teologi Kristen
maupun Ensiklopedia Islam bahwa setidaknya bangsa Arab mewarisi tiga jalur nenek
moyang yang semuanya mengenal 'El Abraham' yaitu sebagai keturunan Sem, Yoktan
(keturunan Eber), dan Adnan (keturunan Ismael anak Abraham).

Bahwa ajaran/konsep mengenai 'Allah' (El) itu kemudian merosot dan makin tidak mendekati
hakekat yang di'nama'kan dan ditujukan kepada pribadi lain seperti yang terjadi pada jalur
Ishak (Kel.32, Anak Lembu Emas disebut 'Elohim' dan 'Yahweh') maupun jalur Ismael (masa
jahiliah, dewa berhala disebut 'Allah'), tentu tidak mengurangi hakekat nama itu sendiri
sebagai menunjuk kepada 'El' semitik dan monotheisme Abraham. Namun, sekalipun
diyakini bahwa 'Allah' Yahudi, Kristen dan Islam sama, tentu tidak disimpulkan bahwa
Tuhan Semua Agama sama. Dalam pengertian 'Universalisme' (pluralisme agama) disebutkan
bahwa semua agama itu menyembah Tuhan yang sama (universal) namun melalui jalan-jalan
yang berbeda (partikular).

Kita harus menyadari bahwa setidaknya ada 4 golongan agama, yaitu :


(1) 'Theisme' - Tuhan yang berpribadi (Yahudi, Kristen, Islam),
(2) 'Monisme' - Tuhan kekuatan semesta (Hindu-Upanishad, Tao dan Kebatinan),
(3) Non-Theis - Tuhan yang 'non-exist' (Buddhisme), dan
(4) Demonisme - Tuhan Okultis (satanisme). Bisa juga dimasukkan 'politheisme' (Hindu-
Veda) sebagai golongan ke-5.

Sudah jelas ke-empat (atau ke-lima) bentuk Tuhan itu tidak sama, namun harus diakui bahwa
Tuhan 'Theisme' (Yahudi, Kristen, Islam) adalah Tuhan Semitik agama samawi yang
berpribadi, berfirman dan menurunkan wahyu kepada umatnya, jadi sekalipun kita menyebut
Tuhan Theisme Yahudi, Kristen dan Islam menunjuk pada oknum yang sama namun
sekalipun ada yang sama juga ada yang berbeda ajaran/aqidahnya, sedang Tuhan Theisme,
Monisme, Non-Theisme, dan Demonisme jelas berbeda baik sebagai nama oknum maupun
ajaran/aqidahnya.

Tetapi bagaimana dengan definisi yang dicantumkan dalam kamus-kamus dalam bahasa
Inggeris? Disana disebutkan bahwa "Allah … Muslim's name for God" (a.l. Oxford
Dictionary & Grollier Ensyclopedia). Kita dapat membandingkan hal ini dengan definisi yang
disebutkan dalam Enyclopaedia Britannica, yang sekalipun mengakui ke-khasan nama Allah
dalam penggunaannya di kalangan agama Islam sebagai salah satu artinya, dalam arti yang
lain jelas memberikan pengertian yang lebih ilmiah dan lebih mengandung kebenaran:

"Allah (Arabic:"God"), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the
name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, "the God." The name's origin can
be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the
latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for
"God" and is used by Arab Christians as well as by Muslims."

Definisi yang benar ini juga disebutkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dimana
disebutkan bahwa: "ALLAH adalah Tuhan, pencipta alam raya termasuk segala isinya".
(Vol.I, h.270).

Memang dalam literatur Barat termasuk dalam beberapa kamus, ada sentimen kuat anti
Arab/Islam sehingga sering timbul ungkapan-ungkapan memojokkan yang tidak ilmiah
seperti ucapan Morley di atas yang memberi stigmata seakan-akan nama 'Allah' itu nama
dewa/i masa jahiliah Arab seperti Dewa Pengairan atau Dewa Bulan, namun banyak pula
literatur Barat yang lebih bersifat netral dan ilmiah seperti Ensyclopaedia Britannica dan
umumnya kamus-kamus teologia yang menyebut bahwa nama 'Allah' adalah nama dalam
dialek/bahasa Arab untuk menunjuk pada 'El' Semitik, dan juga digunakan oleh orang Arab
pra-Islam (terutama kaum Hanif yang tetap mempertahankan Allah monotheisme Abraham)
maupun bangsa Arab yang menganut agama Yahudi dan Kristen:
"Karena Islam memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim, yakni agama fitrah, maka jahiliyah
dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam, ibarat kegelapan sebelum terbit
fajar. Pada zaman ini ajaran monotheisme Ibrahim telah musnah berganti dengan sitem
paganisme, dan diwarnai dekadensi moral. Sejumlah berhala sesembahan didatangkan ke
Makkah dari berbagai negeri di Timur Tengah. Namun tidak semua warga Arab pada saat itu
menganut sistem keyakinan pagan, melainkan terdapat beberapa suku Arab memeluk agama
Kristen dan Yahudi. Bahkan terdapat sejumlah pribadi yang menekuni dunia spiritual,
mereka itu dinamakan 'hunafa' (tgl. hanif) yang mana mereka tidak memihak kepada satu di
antara kedua agama tersebut, melainkan mereka bertahan pada ajaran monotheisme Ibrahim".
(Cyrill Glasse, Ensiklopedia Islam, h.190, dibawah kata al-Jahiliah).

Kenyataan ini juga diperkuat dengan ditemukannya peninggalan arkeologis beberapa abad
sebelum masa Islam abad-VII (yang secara keliru disebut dalam buku Morley bahwa Alkitab
dalam bahasa Arab baru ada pada abad-IX dan menggunakan nama Allah karena dipaksa
orang Islam dan bandingkan dengan buku-buku yang bertema 'Asal bukan Allah' yang
menganggap orang Islam tidak menyukai orang Kristen menggunakan nama 'Allah'). Suatu
pengingkaran sejarah yang dihasilkan semangat Arab/Islam fobia, sebab jauh sebelum ada
agama Islam nama Allah sudah digunakan bersama-sama oleh umat Yahudi Arab, Kristen
Arab dan bangsa Arab pra-Islam.

Namun, kalau 'El' (Ibrani) sama dengan 'Alaha' (Aram-Siria) dan 'Allah' (Arab), mengapa
tidak memilih saja 'El/Elohim' yang merupakan bahasa aslinya?

Tuhan dalam menyebarkan firmannya menggunakan kendaraan bahasa-bahasa. Pada zaman


Ezra, Alkitab Ibrani sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Aram, dan sejak itu sampai abad
ke-XIX bahasa Ibrani hanya digunakan dalam penulisan/penyalinan Kitab Suci saja. Ketika
bahasa Yunani menguasai kawasan sekitar Laut Tengah, atas perintah imam besar di
Yerusalem, Eliezer, Alkitab PL diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani
(Septuaginta/LXX), inilah yang digunakan Yesus, para Rasul, umat Kristen dan dipakai juga
di sinagoga-sinagoga. Demikian juga di hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri mengilhami para
Rasul untuk mengkotbahkan firman (termasuk nama El/Theos) ke bahasa-bahasa pendengar,
dalam arti kata penerjemahan nama Tuhan ke dalam bahasa-bahasa lokal didorong oleh Roh
Tuhan/Kudus sendiri.

Berbeda dengan 'El' yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai 'Theos' dan bahasa
Barat sebagai 'God, Gott, Dieu', maka nama 'Allah' (Arab) sebenarnya bukan terjemahan
melainkan perkembangan dialek dalam rumpun Semit sendiri untuk menyebut El (di samping
a.l. Alaha dalam bahasa Aram-Siria).

Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-XIII, Kristen Katolik baru masuk abad ke-
XVI dan Protestan pada abad ke-XVII, ini berarti sudah tiga abad lebih dimana agama Islam
dan bahasa Arab sudah merakyat di Indonesia, dan kemudian nama 'Allah' masuk menjadi
kosa-kata bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam bahasa
Indonesia, ada banyak kosa-kata yang berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab (1.495,
termasuk kata 'Allah'), Inggeris (1.610), dan Belanda (3.280), maka adalah tepat bila kata
yang sekarang menjadi kosa-kata Indonesia itu dipakai untuk menyebut El/Elohim Perjanjian
Lama dan Theos Perjanjian Baru dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, karena kata itu
bukan saja dekat tetapi termasuk keluarga serumpun Semit dengan bahasa Ibrani.

Dari pembahasan di atas dapatlah disimpulkan jawab atas pertanyaan judul artikel ini, yaitu
bahwa sebagai oknum dengan namanya "Allah Islam adalah Tuhan Kristen" atau "Allah
Islam adalah Allah Kristen" pula, namun perlu disadari bahwa karena Kitab Suci yang
dipercayai keduanya berbeda, maka jelas pula bahwa sekalipun ada samanya, keduanya
memiliki banyak perbedaan dalam hal konsep/ajaran/aqidah.

-------------------

Allah Bangsa Arab


Saudara/i ykk,

Artikel berjudul 'Allah Islam = Allah Kristen?' ternyata mendapat sambutan luas. Banyak
yang bersyukur atas informasi yang diperoleh yang dapat menghilangkan prasangka-
prasangka sebelumnya, namun ada juga beberapa yang masih mempertanyakan beberapa
bagian dari artikel tersebut.

Dari pertanyaan yang masuk, ada dua kesalah pahaman sebagai penyebabnya, yaitu:

(1) Kesalah pahaman yang masih mencampur adukkan pengertian 'Allah' sebagai nama dan
ajaran/aqidah/konsep yang berbeda dalam Islam dan Kristen; dan
(2) Kesalah pahaman yang menjurus pada anggapan seakan-akan dengan menyebut 'Allah
Islam = Allah Kristen' (dalam nama itu) sebagai pandangan Universalisme yang merelatifkan
semua agama yang menuju 'Yang SATU'.

Dalam artikel tersebut sebenarnya sudah jelas bahwa (1) yang dimaksudkan sebagai sama
adalah bahwa nama 'Allah' dalam Islam dan Kristen menunjuk pada 'El' Abraham, namun
pengertian ini jelas bisa merosot seperti dalam kasus 'Lembu Muda Emas' (Kel.32) pada
bangsa Israel dan 'masa Jahiliah' pada bangsa Arab, dan (2) Sekalipun ada kesamaaan 'Allah'
ketiga agama Semitik dan Samawi (Yahudi, Kristen & Islam) tidak dimaksudkan sebagai
sama dengan agama-agama lain yang 'tuhan'nya bersifat monistis, politheistis, non-theistis
maupun demonistis yang oleh penganut universalisme dianggap sebagai 'Yang SATU' (Untuk
pembahasan ini, silahkan membuka http://www.yabina.org dan bacalah YBA-maya bulan
Mei 2000 tentang 'Pluralisme Agama & Dialog'.

Untuk memperjelas mengenai nama 'Allah' yang menuju oknum yang sama (sekalipun
ajaran/aqidahnya beda), kita dapat melihat sejarah bangsa Arab dan hubungannya dengan
nama 'El' dari beberapa kutipan dari sumber Krtisten maupun Islam:

"orang Arab mencakup keturunan Aram (Kej.10:22), Eber (Kej.10:24-29), Abraham dari
Keturah (Kej.25:1-4) dan dari Hagar (Kej.25:13-16) ... Keturunan Joktan (anak Eber)
mencakup beberapa suku Arab (Kej.10:26-29)." ('Arabians' dalam The Interpreter's
Dictionary of the Bible, (vol-I), hlm.182).

"Berita Alkitab yang pertama yang memberikan penjelasan mengenai penduduk Arabia
adalah Daftar Bangsa-Bangsa dalam kitab Kejadian 10, yang mencantumkan sejumlah orang-
orang Arab-Selatan sebagai keturunan Yoktan dan Kusy. kemudian hari sejumlah suku-suku
dari Arab Utara disebut sebagai keturunan Abraham melalui Keturah dan Hagar (Kej.25). lagi
di antara keturunan Esau (Kej.36) sejumlah orang Arab disebut. Di masda Yakub, dua
kelompok keturunan Abraham yaitu orang-orang Ismaili dan medianit dijumpais ebagai
pedagang-pedagang caravan (Kej.37:25-36)" ('Arabia' dalam The New Bible Dictionary,
hlm.54).

"Masyarakat Semit yang merupakan penduduk asli gurun pasir Arabia ... . Masyarakat yang
berdarah Arab asli dan berbahasa Arab tersebar di sepanjang jazirah Arabia, terbentang dari
Yaman dan pantai Afrika dekat Yaman sampai kepada gurun pasir Syria dan Irak Selatan ... .
Tradisi Arabia Selatan yang diyakini bahwa mereka merupakan keturunan dari seorang nabi
bernama Qahthan, yang di dalam Bibel disebut Joktan, dan Tradisi Arabia Utara yang
diyakini
sebagai keturunan nabi Adnan, dan darinya terbentuk keturunan Isma'il, putra Ibrahim ... .
Istilah Arab berarti "Nomads". Bangsa Arab Utara dipandang sebagai Arab al-Musta'ribah
(Arab yang di Arabkan), sementara bangsa Arab keturunan Quathan yang tinggal di wilayah
selatan menamakan dirinya sebagai Arab Muta'arribah, atau suku-suku hasil percampuran
dengan Arab al-'Aribah (Arab Asli) ... . Kelompok Arab yang asli ini, yakni keturunan Aram
putra Shem putra nabi Nuh" ('Bangsa Arab' dalam Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam, hlm.49-
50).

"Adnan. Anak turunan Nabi Isma'il yang menjadi nenek moyang suku-suku Arabia Utara ...
nenek moyang suku Arabia Selatan adalah Quahthan, yang dalam Bibel disebut Joktan".
('Adnan' dalam Glasse, hlm.12-13).

Jadi bangsa Arab merupakan setidaknya keturunan dari tiga jalur semitik, yaitu dari Aram
(anak Sem anak Nuh), Yoktan (anak Eber cicit Sem), dan dari Adnan (keturunan Ismael anak
Abraham). Jadi jelas bahwa bangsa Arab sejak awalnya juga mengenal 'El' Nuh, 'El' Eber
(yang dari nama ini lahir bangsa Ibrani, jadi orang Arab pada jalur ini bisa juga dibilang
sebagai keturunan Ibrani), dan 'El' Abraham yang juga dikenal Ismael. Itulah sebabnya
bangsa Arab yang mengikuti agama Yahudi, Kristen maupun yang Islam sama-sama
menyebut nama 'Allah' untuk menyebut 'El' Abraham.

"Kata "Allah" merupakan pengkhususan dari kata al-ilah (ketuhanan) ... Kata "Allah"
merupakan sebuah nama yang hanya pantas dan tepat untuk Tuhan, yang melalui kata
tersebut dapat memanggil-Nya secara langsung. Ia merupakan kata pembuka menuju Esensi
(hakikat) ketuhanan, yang berada di balik kata tersebut bahkan yang tersembunyi di balik
dunia ini. Nama "Allah" telah dikenal dan dipakai sebelum al-Qur'an diwahyukan; misalnya
nama Abd al-Allah (hamba Allah), nama Ayah Nabi Muhammad. Kata ini tidak hanya
khusus bagi Islam saja, melainkan ia juga merupakan nama yang, oleh ummat Kristen yang
berbahasa Arab dari gereja-gereja Timur, digunakan untuk memanggil Tuhan." (Glasse,
hlm.23).

"Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, "the God."
The name's origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for
god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the
standard Arabic word for "God" and is used by Arab Christians as well as by Muslims."
(Encyclopaedia Britannica)
Perlu diketahui bahwa nama 'Allah' adalah perkembangan ke dalam dialek 'Arab' dari nama
'El' menjadi 'Al-Ilah' (jadi bukan terjemahan). Dalam bahasa Ibrani, kata sandang 'ha' (dalam
Arab 'al') tidak umum dipakai apalagi untuk menyebut 'El', sedangkan dalam bahasa Aram-
Siria diletakkan di belakang menjadi 'alaha'.

Sama halnya peristiwa kasus 'Lembu Muda Emas' di Israel, bangsa Arab juga mengenal
kemerosototan ini pada masa 'Jahiliah' sebelum kehadiran Islam, namun nama 'Allah' itu
dilestarikan oleh kaum 'Hanif' (Hunafa) yang tetap menyembah 'Allah Monotheisme
Ibrahim.'.

"Gagasan tentang Tuhan Yang Esa yang disebut dengan Nama Allah, sudah dikenal oleh
Bangsa Arab kuno ... Kelompok keagamaan lainnya sebelum Islam adalah hunafa'
(tngl.hanif), sebuah kata yang pada asalnya ditujukan pada keyakinan monotheisme zaman
kuno yang berpangkal pada ajaran Ibrahim dan Ismail. Menjelang abad ke-7, kesadaran
agama Ibrahim di kalangan bangsa Arab ini telah menghilang, dan kedudukannya digantikan
oleh pemujaan sejumlah berhala ... dalam waktu 20 tahun seluruh tradisi Jahiliyyah tersebut
terhapus oleh ajaran Tuhan yang terakhir, yakni Risalah Islam". (Glasse, hlm.50-51)

"Hanif. Asal kata ini tidak diketahui secara pasti, namun ia digunakan dalam pernyataan al-
Qur'an dengan pengertian "orang yang mengikuti keyakinan (kepercayaan) monotheisme
(jamk. Khunafa). Sebuah kata sifat yang ditujukan oleh al-Qur'an terhadap nabi Ibrahim dan
terhadap mereka yang sebelum masa Islam menjaga kemurnian dan kelurusan naluri-naluri
keagamaan mereka dan sama sekali tidak terlibat dalam tradisi paganisme (keberhalaan) dan
politheisme. Mereka yang tergolong hunafa antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Muhammad
terdapat sejumlah generasi Ibrahimiyyah dan Isma'illiyyah". (Glasse, hlm.124)

Dari beberapa fakta sejarah ini kita dapat mengetahui bahwa memang 'Allah Islam' sebagai
oknum sama dengan 'Allah Kristen', namun harus diketahui bahwa ajarannya berbeda karena
mempercayai wahyu yang berbeda. Dalam kekristenan sendiri ada perbedaan-perbedaan
ajaran yang dihasilkan iman akan wahyu yang berbeda.

Agama Yahudi mempercayai Wahyu dan Perjanjian yang dijanjikan kepada Abraham Ishak
dan Yakub yang tertuang dalam Alkitab Perjanjian Lama, Agama Kristen mempercayai
Wahyu PL yang digenapi dalam Yesus yang menjadi Tuhan dan Kristus sebagai Perjanjian
Baru. Agama Islam sekalipun menerima kitab-kitab PL + PB namun tidak mempercayainya
karena dianggap sudah dipalsukan dan menerima Wahyu yang dipercayai diterima oleh
Muhammad.

Kiranya uraian ini memperjelas.

Salam kasih dari Herlianto/YBA.

Disalindari : http://www.yabina.org/layout2.htm

Artikel terkait :
- ALLAH IS GOD, di http://www.sarapanpagi.org/allah-is-god ... .html#p3568
- ALLAH = Moon God?, di http://www.sarapanpagi.org/allah-moon-g ... .html#p3569

- Buku : THE ISLAMIC INVASION, di http://www.sarapanpagi.org/buku-the-isl ...


.html#p3571

• Home
• Pertumbuhan
• Dialog
• Tanya-Jawab
• Renungan
• Galeri
• Kesaksian
• Artikel
• doa
• | SUMBANGAN |

Apakah agama Kristen bersifat eksklusif


atau inklusif?
hide

Google Search Results

You arrived here after searching for the following phrases:

• teologia
• kristen
• nubuat

Click a phrase to jump to the first occurrence, or return to the search results.

PEMBAHASAN

• Pertanyaan:
• Jawaban:
• 1. Kaum Yahudi sebagai bangsa pilihan dan pengajaran Tuhan yang
bertahap
• II. Keselamatan universal bagi seluruh bangsa
• III. Kesimpulan
Pertanyaan:

“Polemik Alquran terhadap orang Yahudi sebetulnya bukan menyangkut ketuhanan tetapi
manusia, bahwa mereka sombong sekali dan mengklaim diri sebagai the choosen people,
umat pilihan Tuhan. Klaim seperti ini kemudian mengakibatkan universalisme ajaran Tuhan
dikebiri untuk hanya menjadi suatu ajaran nasional, bahkan tribal (kesukuan). Agama
Kristen, mungkin sudah sejak Nabi isa, dengan sedikit ekses melalui Paulus membuat
penyimpangan yang sangat serius, yakni hendak penguniversalkan ajaran Tuhan. Akibatnya,
agama yang semula diperuntukkan intern Yahudi, oleh Paulus diuniversalkan sehingga bisa
menjadi agamanya kaum Gentiles (orang Yunani, Romawi, dan sebagainya). Polemik
Alquran terhadap Kristen yang utama adalah mengenai teologinya, sedangkan
kemanusiaannya banyak mendapat pujian. Misalnya, …dan Kami tanamkan ke dalam hati
mereka yang menjadi pengikutnya rasa cinta (santun-NM) dan kasih sayang (Q.,57:27).
Dalam skema Alquran, Nabi Isa tampil untuk menetralisasi kekakuan orientasi hukum pada
agama Yahudi yang sudah pada tingkat menjadi eksesif sehingga mengancam orientasi
kemanusiaan. Maka maksud kedatangan Nabi Isa dilambangkan dalam firman-Nya, Dan
untuk menghalalkan bagi kamu apa yang sebagian diharamkan kepada kamu (Q.,3:50), dan
kemudian dikompensasi dengan ajaran kasih. Dengan adanya unsur kasih, maka konsep
kemanusiaan dalam Kristen lebih universal dibanding dengan Yahudi.
Pada perkembangan lebih lanjut, Paulus memperkenallkan doktrin kejatuhan Adam dan
konsep tentang Isa sebagai juru selamat. Untuk mendukung ini,
kemudian ditekankan konsep manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya jahat, sebuah
pesimisme kepada kemanusiaan. Menurut Russell, pesimisme itulah yang menyebabkan
Eropa mengalami zaman kegelapan luar biasa. Hanya dengan datangnya Islam, Eropa muncul
kembali melalui zaman pencerahan.”

Sumber:
Ensiklopedi Nurcholish Madjid

ini saya dapatkan dari salah satu website berita online.

M0hon penjelasan dari tim katolisitas.

- Ndro

Jawaban:

Shalom Ndro,

Terima kasih atas pertanyaannya. Menurut saya, dalam artikel tersebut disebutkan dua hal
yang saling bertentangan (eksklusif dan inklusif) dan keduanya dipandang salah oleh penulis.
Pada saat konsep keselamatan dalam Perjanjian Lama dipandang sebagai sesuatu yang
ekslusif, maka mereka (orang Yahudi) dicap sombong dan universalisme ajaran dipandang
telah dikebiri. Namun, pada saat keselamatan diberikan secara eksplisit untuk menjangkau
seluruh bangsa (inklusif), maka hal ini juga dipandang sebagai kesalahan serius, karena ingin
menguniversalkan ajaran Tuhan. Dengan demikian, saya pikir, maka seseorang harus
mengambil sikap, apakah ajaran Kristen adalah eksklusif (menjangkau umat Yahudi saja)
atau inklusif (menjangkau seluruh bangsa).
1. Kaum Yahudi sebagai bangsa pilihan dan pengajaran Tuhan yang
bertahap

1. Kalau dikatakan bahwa umat Yahudi adalah sombong, karena menganggap diri mereka
sebagai bangsa pilihan, maka ini sebenarnya tidak benar, karena tidak ada yang perlu
disombongkan dari diri mereka. Hal ini ditegaskan di dalam kitab Ulangan 7:7, yang
menuliskan “Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati
TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu–bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala
bangsa? –” Lebih lanjut, bahkan di Alkitab dikatakan bahwa mereka adalah bangsa yang
keras hatinya, sehingga mereka sering mendapatkan pengajaran dari Allah.

“18 Sebab itu TUHAN sangat murka kepada Israel, dan menjauhkan mereka dari hadapan-
Nya; tidak ada yang tinggal kecuali suku Yehuda saja. — 19 Juga Yehuda tidak berpegang
pada perintah TUHAN, Allah mereka, tetapi mereka hidup menurut ketetapan yang telah
dibuat Israel, 20 jadi TUHAN menolak segenap keturunan Israel: Ia menindas mereka dan
menyerahkan mereka ke dalam tangan perampok-perampok, sampai habis mereka dibuang-
Nya dari hadapan-Nya. –” (2Raj 17:18-20).

Jadi, walaupun Israel adalah bangsa pilihan, namun mereka juga mendapatkan didikan dari
Tuhan. Oleh karena itu, terpilihnya bangsa pilihan ini bukan karena kehebatan bangsa Israel,
namun karena kebijaksanaan Tuhan. Jadi, dengan demikian tidak ada yang perlu
disombongkan dari bangsa Israel, karena terpilihnya bangsa ini sebagai bangsa pilihan adalah
bukan karena kebesaran bangsa ini, namun karena Tuhan yang memilihnya.

2. Dari sisi yang lain, maka terpilihnya bangsa Israel sebagai bangsa pilihan adalah
merupakan cara Allah untuk mendidik umat manusia secara bertahap. Dalam hal ini, kita
dapat melihat adanya prinsip mediasi – yaitu melalui seseorang atau bangsa, maka seluruh
dunia dapat mengerti rencana keselamatan Allah. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar,
kalau Allah memilih satu bangsa, sehingga melalui bangsa tersebut, maka keselamatan dapat
datang ke seluruh dunia.

3. Walaupun kita melihat bagaimana Allah membela bangsa pilihan dan juga membiarkan
bangsa Israel menderita karena kesalahan mereka sendiri atau bahkan menghukum bangsa
Israel karena dosa-dosa mereka, namun kita dapat melihat adanya konsep keselamatan yang
bersifat universal. Hal ini terlihat dari beberapa ayat berikut ini:

Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau
mendengarkan firman-Ku.” (Kej 22:18)

Aku akan membuat banyak keturunanmu seperti bintang di langit; Aku akan memberikan
kepada keturunanmu seluruh negeri ini, dan oleh keturunanmu semua bangsa di bumi
akan mendapat berkat,” (Kej 26:4)

4. Dengan demikian, terlihat adanya nubuat yang diberikan dalam Perjanjian Lama, akan
adanya Mesias (yang terpenuhi dalam diri Yesus), yang akan memberikan berkat kepada
seluruh bangsa. Nubuat ini diberikan dari generasi-generasi. Silakan melihat nubuat-nubuat
ini secara lebih mendetail di artikel ini – silakan klik. Dari pemaparan ini, maka terlihat
bahwa tidak ada yang perlu disombongkan dari umat Israel dan keselamatan bagi seluruh
bangsa bukanlah diperuntukkan bagi umat Israel semata, namun juga diperuntukkan untuk
semua bangsa, yang kemudian ditegaskan di dalam Perjanjian Baru.
II. Keselamatan universal bagi seluruh bangsa

1. Kalau di artikel tersebut dikatakan bahwa terjadi kesalahan yang serius dari rasul Paulus,
yang menyebabkan agama yang sebenarnya hanya diperuntukkan oleh kaum Yahudi
kemudian menjadi agama untuk segala bangsa, maka sebenarnya pernyataan ini telah
mempunyai asumsi yang perlu dibuktikan kebenaran terlebih dahulu – yaitu asumsi bahwa
agama Kristen hanya diperuntukkan untuk kaum Yahudi. Untuk menunjukkan bahwa rasul
Paulus hanya mengajarkan apa yang telah diperintahkan oleh Kristus, maka kita sebenarnya
dapat melihat pesan Yesus sebelum Dia naik ke Sorga, yaitu “19 Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan
Roh Kudus, 20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
(Mt 28:19-20) Silakan melihat diskusi tentang keaslian dari ayat ini di sini – silakan klik.
Dari kutipan ini, kita melihat bahwa Paulus konsisten dalam memberikan pesan Kristus,
sehingga dia mengatakan bahwa Yesus telah mengalami maut untuk keselamatan umat
manusia (lih. Ibr 2:9; Tit 2:11; 1Tim 2:6), karena Yesus adalah juru selamat seluruh umat
manusia (lih. 1Tim 4:10).

2. Dan memang dikatakan bahwa polemik utama antara agama Kristen dan Islam adalah
mengenai teologi. Hal ini disebabkan karena teologi Kristen berpusat pada Kristus yang telah
membuktikan Diri-Nya sebagai Tuhan. Untuk itu, silakan membaca beberapa artikel
Kristologi berikut ini:

Iman Katolik bersumber pada Allah Tritunggal dan berpusat pada Kristus, Allah yang
menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Inkarnasi, Allah menjadi manusia,
adalah perbuatan Tuhan yang terbesar, yang menunjukkan segala kesempurnaanNya:
KebesaranNya, namun juga KasihNya yang menyertai kita. Penjelmaan Allah ini telah
dinubuatkan oleh para nabi. Yesus Kristus yang kita imani sekarang adalah sungguh Yesus
Tuhan yang ber-inkarnasi dan masuk ke dalam sejarah manusia, karena Yesus sungguh Allah
dan sungguh manusia.

Adalah menjadi hal yang wajar jika kita mempunyai perbedaan teologis, kalau Wahyu Allah
yang dipercayai sebagai pilar kebenaran adalah berbeda. Mari kita melihat beberapa
perbedaan yang disorot dalam artikel tersebut:

a. Dikatakan “Dalam skema Alquran, Nabi Isa tampil untuk menetralisasi kekakuan orientasi
hukum pada agama Yahudi yang sudah pada tingkat menjadi eksesif sehingga mengancam
orientasi kemanusiaan” Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa Yesus Kristus datang bukan
untuk menetralisir orientasi hukum agama Yahudi, namun lebih daripada itu, Kritus datang
ke dunia ini sebagai penggenapan dari nubuat-nubuat yang diberikan dari generasi-generasi
di dalam Perjanjian Lama. Dan yang paling penting, kedatangan-Nya adalah untuk
menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Untuk lebih lengkapnya, silakan membaca
beberapa link Kristologi di atas.

b. Dikatakan “Maka maksud kedatangan Nabi Isa dilambangkan dalam firman-Nya, Dan
untuk menghalalkan bagi kamu apa yang sebagian diharamkan kepada kamu (Q.,3:50), dan
kemudian dikompensasi dengan ajaran kasih” Untuk mengatakan bahwa Yesus Kristus
dilambangkan dengan Firman sebenarnya tidaklah tepat, karena Yesus Kristus adalah Firman
itu sendiri, karena Yesus adalah Tuhan, seperti yang dituliskan di dalam Yoh 1:1 “Pada
mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah
Allah.” Untuk mengatakan bahwa agama Kristen mengajarkan hal-hal yang diharamkan,
yang kemudian dikompensasi dengan kasih, perlu dianalisa lebih lanjut. Tidak terlalu jelas
bagi saya tentang apa yang dimaksud dengan “sebagian diharamkan” dalam tulisan tersebut.
Kalau kasih dikatakan hanya sekedar kompensasi, maka sebenarnya ini adalah pernyataan
yang salah, karena kalau kita benar-benar membaca Alkitab secara keseluruhan, maka inti
pengajaran dari kekristenan adalah kasih, karena Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8)- yang telah
dibuktikan-Nya dengan pengorbanan Kristus di kayu salib. Inilah bukti kasih yang terbesar
dalam sejarah umat manusia.

c. Dikatakan “Pada perkembangan lebih lanjut, Paulus memperkenalkan doktrin kejatuhan


Adam dan konsep tentang Isa sebagai juru selamat.” Untuk menjawab hal ini, kita dapat
melihat analisa dosa asal, yang dapat dilihat keberadaannya di dalam Perjanjian Lama dan
juga Perjanjian Baru:

Manusia pertama telah berbuat dosa:

Dalam kitab Kejadian dinyatakan bahwa Adam dan Hawa telah berdosa dan oleh
karena itu, maka Adam dan Hawa dan seluruh keturunannya harus menanggung
dosa. (lih Kej 2).

“Tetapi karena dengki setan maka maut masuk ke dunia, dan yang menjadi milik
setan mencari maut itu.” (Keb 2:24).

“Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu
yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu
dengan kelicikannya.” (2 Kor 11:3; 1 Tim 2:14; Rm 5:12; Yoh 8:44).

Dosa manusia pertama adalah dosa kesombongan (lih. Rm 5:19; Tob 4:14; Sir
10:14-15).

Dosa asal ini diturunkan kepada semua manusia:

“Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung


ibuku” (Mz 51:7).

“Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorangpun tidak!” (Ay
14:4).

“Tetapi karena dengki setan maka maut masuk ke dunia, dan yang menjadi milik
setan mencari maut itu.“(Keb 2:24).

“From the woman came the beginning of sin, and by her we all die.” (LXX/
Septuagint – Sir 25:33).

Dan kemudian rasul Paulus memberikan penegasan dengan memberikan


perbandingan antara Adam, manusia pertama yang jatuh ke dalam dosa
kesombongan, dan Kristus yang membebaskan manusia dari dosa dengan
ketaatan kepada Allah (Rom 5:12-21, lihat juga Rom 5:12-19, 1 Kor 15:21, dan
Ef 2:1-3).
Dengan demikian, terlihat jelas, bahwa doktrin dosa asal, bukan dimulai dari
rasul Paulus, namun juga telah terlihat di dalam Perjanjian Lama.

d. Kemudian dilanjutkan “Pada perkembangan lebih lanjut, Paulus memperkenallkan


doktrin kejatuhan Adam dan konsep tentang Isa sebagai juru selamat.” Pernyataan ini perlu
ditelaah lebih jauh. Kejatuhan Adam telah ditulis di dalam Kitab Kejadian, yang ditulis
sekitar 1500 SM. Dan kalaupun kejatuhan Adam ini dihubungkan dengan Kristus, karena
memang Kristus adalah Adam ke-dua, yang menyambung kembali hubungan yang terputus
antara manusia dan Allah, yang disebabkan oleh dosa Adam. Justru pemenuhan apa yang
telah dijanjikan oleh Allah dalam diri Yesus, sebenarnya menjadi salah satu alasan, bahwa
doktrin ini bukanlah sesuatu yang terjadi kemudian, namun suatu kebenaran yang saling
berhubungan. Kita melihat Allah berkata “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau
dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan
kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej 3:15). Penggenapan nubuat ini
adalah pada diri Yesus, yang telah menginjak setan dengan mematahkan kuasa dosa dengan
pengorbanan- Nya di kayu salib.

e. Dikatakan “Untuk mendukung ini, kemudian ditekankan konsep manusia sebagai makhluk
yang pada dasarnya jahat, sebuah pesimisme kepada kemanusiaan.” Mungkin kalimat di atas
ingin menyentuh doktrin dosa asal, yang seolah-olah dipandang bahwa manusia pada
dasarnya jahat. Namun, ini adalah suatu kesimpulan yang keliru. Alkitab mengatakan bahwa
manusia diciptakan menurut gambaran Allah. Oleh karena itu, manusia diciptakan baik
adanya. Namun, yang membuat manusia terpisah dari Tuhan adalah karena manusia pertama
telah berbuat dosa; dan dosa inilah yang diturunkan kepada semua keturunannya, yang
disebut dosa asal.

Kenyataan bahwa manusia mempunyai kecenderungan berbuat dosa adalah sesuatu yang
nyata. Dengan demikian, seseorang yang tidak setuju dengan dosa asal, harus menyetujui
bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tidak sempurna adanya. Namun, kalau demikian,
maka ini berlawanan dengan hakekat Allah yang maha kasih. Bagaimana mungkin Tuhan
sengaja menciptakan manusia yang mempunyai kecenderungan berbuat dosa?

Suatu kebenaran dapat dilihat dari efeknya. Kita juga dapat melihat kebenaran dosa asal ini
dari efeknya, yaitu apa yang dilakukan oleh manusia. Diskusi panjang tentang dosa asal dapat
dilihat di sini – silakan klik. Dosa asal bukanlah pandangan yang pesimis, karena Tuhan telah
memberikan solusinya, yaitu rahmat yang mengalir dari pengorbanan Kristus, yang
memungkinkan manusia dibebaskan dari dosa asal, yaitu dengan pembaptisan. Dengan
demikian, dalam kondisi yang sulit ini, umat Kristen justru melihat kehidupan dan manusia
secara lebih optimis, karena Yesus Kristus sendiri memberikan pengharapan. Dan
pembaptisan yang menghantar manusia dalam kekudusan ini telah dibuktikan oleh para
kudus dalam sejarah Gereja Katolik. Kita melihat bagaimana yang terberkati Bunda Teresa
dari Kalkuta membuktikan dirinya sebagai orang kudus, karena secara terus menerus dia
bekerja sama dengan rahmat Allah dalam kehidupannya.

Dengan demikian, Gereja Katolik justru melihat bahwa meskipun manusia sebagai mahluk
ciptaan Tuhan yang diciptakan baik adanya, memilih untuk berbuat dosa, namun manusia
tetap dicintai oleh Allah. Sebagai buktinya, Allah memberikan Putera-Nya yang tunggal
untuk menebus dosa dunia. Dan dengan penebusan-Nya di kayu salib, maka rahmat Allah
terus mengalir, yang memungkinkan manusia untuk hidup dalam kekudusan. Silakan melihat
artikel kesempurnaan rancangan keselamatan Allah (silakan klik).
f. Dikatakan “Menurut Russell, pesimisme itulah yang menyebabkan Eropa mengalami
zaman kegelapan luar biasa. Hanya dengan datangnya Islam, Eropa muncul kembali melalui
zaman pencerahan.” Menurut saya, kesimpulan ini tidaklah benar dalam dua hal. Pertama,
jaman kegelapan sering dipakai dalam konteks yang salah. Kita dapat melihat pada abad
pertengahan, ordo Benediktus membentuk Eropa menjadi begitu maju. Pendidikan juga
mengalami perkembangan luar biasa. Kedua, telah dibuktikan di atas, bahwa doktrin dosa
asal yang dibarengi dengan penebusan Kristus, membuat umat Kristen memandang hidup
dengan lebih optimis. Dengan demikian, kesimpulan bahwa hanya dengan datangnya Islam
maka Eropa dapat kembali kepada zaman pencerahan tidaklah berhubungan, karena asumsi-
asumsi awal belum dapat dibuktikan kebenarannya.

III. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, maka terlihat bahwa sebenarnya Perjanjian Lama juga mempunyai
konsep keselamatan yang diperuntukkan bagi semua bangsa, yang dipenuhi oleh Yesus
Kristus dan diperintahkan sendiri oleh Kristus untuk menyebarkan kabar gembira ke segala
bangsa. Dan pengajaran ini dipertegas oleh para penulis Alkitab Perjanjian Baru. Dengan
demikian, agama Kristen secara hakiki adalah agama yang inklusif, karena Allah
menginginkan segala bangsa memperoleh keselamatan. Semoga jawaban singkat ini dapat
membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,


stef – katolisitas.org

PLURALISME DAN PLURALITAS

Penutupan mesjid dan gedung pertemuan Ahmadyah belum lama ini ditengah-tengah
ditutupnya puluhan gereja khususnya gereja-gereja rumah tangga menyusul Fatwa MUI yang
mengharamkan Pluralisme agama mencuatkan kembali pemikiran kearah toleransi beragama dan
diskusi Pluralisme agama-agama.

PLURALISME

Istilah ‘Plural’ sudah jelas kita mengerti sebagai ‘jamak’, dan ‘Pluralitas’ adalah kenyataan
yang harus diterima bahwa kita berada dalam kondisi di Indonesia dan dunia masakini dimana kita
menghadapi kejamakan cara berfikir, cara hidup, dan cara beragama. Sampai di sini, Pluralitas hanya
menyadari adanya kepelbagaian di dunia.

Lain halnya dengan ‘Pluralisme,’ istilah ini berkembang ditengah-tengah ‘eksklusivisme


agama’ yang makin berkembang pada era reformasi sebagai akibat reaksi terhadap fundamentalisme
dan modernisme, atau yang dikenal sebagai salah satu cabang reaksi ‘posmo.’ Dalam hal agama,
eksklusivisme ditujukan pada kenyataan bahwa setiap agama cenderung mengklaim sebagai satu-
satunya agama dimana terdapat jalan keselamatan dan diluar itu tidak ada jalan lain.

Sejak dulu eksklusivisme tidak menjadi masalah, namun eksklusivisme itu menjadi tiran
ketika bergabung dengan kekuatan politik kolonial dan menjadi mayoritas sehingga menganggap
yang lain yang mayoritas itu sebagai lebih inferior dan harus ditobatkan (proselitasi). Kondisi ini dalam
abad kolonialisme menempatkan kekristenan sebagai agama mayoritas dan eksklusif di tengah-
tengah bangsa dan agama ditempat jajahan yang semula dianggap inferior.

Dengan latar belakang demikianlah, ketika pada akhir abad-XIX dan awal abad-XX terjadi
gerakan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah, keseimbangan menjadi berubah
dimana bangsa-bangsa jajahan mendirikan negara sendiri dan menentukan identitas sendiri
(termasuk tradisi budaya agama) yang juga di klaim sebagai eksklusif. Perbenturan peradaban inilah
yang melahirkan usaha-usaha yang mengarah pada penerimaan kejamakan dalam beragama atau
dikenal sebagai ‘Pluralisme’ yaitu ‘suatu situasi di mana berbagai agama berinteraksi dalam suasana
saling menghargai dan dilandasi rasa kesatuan sekalipun berbeda faham.’

Jadi kalau eksklusivisme menganggap agama sendiri benar yang lain tidak maka pluralisme
menganggap semua agama itu benar jadi harus diterima dengan terbuka sekalipun berbeda dengan
agama sendiri. Sikap demikian tentu berdampak pagi pandangan ‘Fundamentalisme’ dalam agama-
agama yang cenderung mengklaim agamanya sendiri sebagai jalan kebenaran satu-satunya. Selain
fundamentalisme, reaksi eksklusif lainnya adalah ‘Proselitisme’ ynag menolak kebenaran agama lain
dan menjadikan pengikut agama lain menjadi pengikut agama sendiri dengan berbagai cara.
Sebaliknya, ada juga reaksi ‘Sinkretisme’ yang bersifat kompromistis dengan cara mencampur-
adukkan keyakinan agama-agama yang bertemu itu.

INKLUSIVISME

Reaksi keempat berjalan lebih jauh dari Sinkretisme dan dikenal sebagai ‘Inklusivisme’ yang
berusaha untuk menggapai kesatuan agama-agama, dan berbeda dengan eksklusivisme, di sini ada
usaha untuk ‘menjadikan agama-agama yang banyak itu sebagai salah satu facet dari agama yang
satu,’ dan berbeda dengan sinkretisme yang mencampur-adukkan agama-agama, disini agama-
agama diperas menjadi satu. Dari kubu pluralisme dan inklusivisme inilah kemudian dipopulerkan
dialog antar agama sebagai pengganti misi penobatan. Pada awal tahun 1960-an sebagai hasil
Konsili Vatikan-II, Gereja Katolik Roma membuka peluang kearah itu, dan di awal tahun 1970-an
menyusul Dewan Gereja Dunia (WCC) juga membuka diri akan dialog antar agama.

Pada abad-XX relativisme agama dikaitkan dengan kemajuan evolusioner dipopulerkan oleh
Ernst Troeltsch yang menolak absolutisme agama dan menjadikan ‘Yang Mutlak’ menjadi tujuan
bersama dalam proses evolusioner dalam semua agama. Sikap Troeltsch ditolak Karl Barth yang
mengajukan pandangan eksklusif dan tidak mengenal kompromi mengenai pewahyuan diri Allah
dalam Yesus Kristus, namun berbeda dengan eksklusivisme, Barth berpendapat bahwa agama
Kristen itu yang benar, namun sejauh agama Kristen melalui rahmat hidup karena rahmat ia menjadi
tempat agama yang benar.

John Hick menafsirkan kembali Kristologi tradisional dengan mengemukakan bahwa istilah
‘Allah’ bukanlah seperti yang dikemukakan sebagai pribadi dalam agama teistik melainkan
sebenarnya merupakan ‘realitas tak terbatas yang dipahami dengan berbagai cara melalui berbagai
bentuk pengalaman beragama’ yang disebutnya sebagai ‘Yang Nyata.’ Wilfred Cantwell Smith
mengungkapkan bahwa manusia sekarang memasuki tahapan baru pluralisme agama dimana
agama-agama perlu merumuskan kembali dan menguji teori-teori agamanya sendiri dan
mengembangkan teori-teori agama yang bisa diterima oleh agama-agama lain. Smith menolak
kristologi yang eksklusif. Kristen Stendahl dari Harvard menafsirkan PL & PB sebagai suatu
kesaksian tentang ‘partikularisme dalam kerangka universalisme.’

Tidak semua sepakat dengan Hick, Karl Rahner, teolog Roma Katolik, berusaha secara
sistematis untuk menegaskan keeksklusifan dan universalitas Kristus dan sekaligus menghormati
kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal. Dalam pandangannya yang
kelihatannya seperti mendua, Rahner tetap menganggap Kristus secara eksklusif, tetapi secara
universal agama-agama lain menghadirkan ‘kristen anonim.’ Rahner berusaha mendamaikan rahmat
Allah yang menyelamatkan, yang universal sifatnya, dengan keeksklusivan Kristus sebagai kriteria
yang nyata dan sempurna untuk rahmat itu. Ini bisa dijadikan dasar bagi umat Kristen untuk bersikap
toleran, rendah hati, namun tegas terhadap semua orang non-Kristen.

Stanley Samartha mengemukakan bahwa umat Kristen harus mendekati dialog antar-agama
atas dasar teosentris dan bukan kristosentris. Samartha mendefinisikan dialog sebagai ‘upaya untuk
memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri
tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga.’ Raimundo Panikkar yang
beribu Kristen RK dan berayah Hindu meneruskan, bahwa: ‘kebenaran yang dikemukakan agama
adalah universal dan dianggap sebagai pendirian yang partikular dan terbatas, sedangkan sebetulnya
masing-masing merupakan perumusan yang memang dibatasi oleh faktor budaya mengenai suatu
kebenaran yang lebih universal.’
Dari berbagai pandangan di atas, inklusivisme kemudian dimengerti sebagai sikap yang
menerima kebenaran semua agama, dan bahwa agama itu hanya merupakan jalan partikular untuk
mencapai kebenaran yang universal yang menyembah Tuhan ‘Yang SATU’ itu.

ESENSI INKLUSIVISME

Apakah Sebenarnya esensi Inklusivisme itu? Sebenarnya esensi inklusivisme adalah


‘Relativisme’ yang dilandaskan kepercayaan bahwa agama-agama pada hakekatnya sama dan
dianggap sebagai sesuatu yang relatif sesuai dengan tahap perkembangannya dalam evolusi agama.
Agama-agama tidak lain adalah jalan partikularis menuju yang universalis. Ini mendorong kearah
pandangan mengenai kesatuan agama yang disebut ‘universalisme.’

‘Universalisme’ berlandaskan logika bersama mengenai ‘Yang Satu dan Yang Banyak.’ Dari
perspektif filsafat dan teologi, logika bahwa suatu sumber realitas dialami dalam pluralitas cara
tampaknya, oleh teolog tertentu dianggap sebagai cara yang paling memuaskan untuk menjelaskan
fakta pluralisme keagamaan, ini bisa disebut pendekatan yang ‘theosentris.’ Sebenarnya pandangan
demikian didasarkan gagasan ‘Veda’ Hinduisme mengenai hakekat ‘Yang SATU’ yang disebut
dengan ‘banyak nama.’ Pandangan ini disebut sebagai ‘Monisme’ yang beranggapan adanya satu
keberadaan tunggal ‘Yang Satu’ yang tidak berpribadi (berbeda dengan theisme yang mempercayai
Tuhan yang berpribadi).

Pandangan Relativisme dan Universalisme tidak beda dengan faham ‘Mistisisme’ mengenai
keyakinan ‘kesatuan manusia yang sezat dengan sumbernya.’ (Yaitu Yang SATU itu). Dalam mistik
Hinduisme, penyatuan itu dianggap sebagai penyatuan ‘atman dengan brahman’ atau dalam mistik
Buddhisme ‘atman dengan an-atman.’

Di kalangan kristen, ketiga esensi ini berkembang lebih jauh menuju ‘de-kristosentrisme,’ dari
kristosentris menuju ‘theosentris’ namun yang dimaksud adalah ‘theos yang tidak berpribadi’ yang
merupakan esensi mistik universal. Pandangan theolog liberal yang menganut inklusivisme
cenderung untuk ‘memikirkan kembali Kristologi’ yang ujung-ujungnya menjadikan Kristus bukan
sebagai jalan yang unik tetapi sekedar sebagai salah satu dari jalan yang banyak itu, Kristus tidak
lebih hanya sekedar ‘avatar’ yang sama dengan tokoh-tokoh agama lain.

SIKAP MENGHADAPI PLURALISME

Pluralisme berkembang sebagai reaksi ‘eksklusivisme’ dan ‘fundamentalisme’ agama yang


sering membuat manusia terpecah-pecah, namun Pluralisme ujung-ujungnya bukannya suatu
keterbukaan terhadap pluralitas (keperlbagaian) tetapi berujung kepada penyamaan semua agama
bahkan kemudian cenderung menjurus pada ‘inklusivisme’ yang ingin memeras agama menjadi satu
agama universalis yang menuju ‘Yang SATU’ yang tidak berpribadi itu.

Di satu sisi memang kita harus berfikir terbuka bahwa kita hidup di bumi tidak sendirian tetapi
berada di tengah-tengah agama lain jadi kita harus menerima kenyataan adanya agama-agama yang
berbeda, tetapi menganggap semua agama sebagai sama dan menuju ‘Yang SATU’ rasanya terlalu
meremehkan sejarah agama yang sudah ribuan tahun dengan keunikannya masing-masing. Memang
pluralisme kelihatan seakan-akan merupakan jalan kompromi yang terbaik untuk menyatukan
perbedaan faham agama-agama yang acapkali menimbulkan pertikaian dan perang, namun
pluralisme kurang menghargai keunikan agama-agama, khususnya keunikan Kristus yang cenderung
di ‘de-kristosentris’kan.

Umat kristen memang seharusnya tidak bersifat eksklusif dalam segala hal tetapi bersikap
eksklusif dalam kredo (pengakuan percaya) adalah perlu, sebab sejarah agama Kristen yang
dikandung Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru cukup meyakinkan untuk menerima keunikan Kristus.
Jadi eksklusivisme dalam iman perlu namun ini jangan menjadikan kita eksklusif dalam sikap. Kita
dapat menerima kehadiran agama-agama lain dengan sikap terbuka yang inklusif bahwa semua
adalah umat manusia yang dikasihi oleh Tuhan yang berpribadi yang menyatakan diri dalam Kristus,
namun penerimaan ini tidak harus menuju sikap yang menganggap semua jalan itu sama atau
menganggap bahwa penganut agama lain sebagai ‘kristen anonim’ tetapi kita dapat menganggap
mereka sebagai umat manusia yang tetap membutuhkan karunia keselamatan dari Tuhan, dan kita
jangan berspekulasi mengenai ‘semua jalan ke Roma’ melainkan kita perlu untuk bersaksi mengenai
‘via dolorosa’ jalan menuju ke Golgota.

Umat kristen diharapkan dapat terbuka menghadapi kehadiran agama-agama, kita perlu
mempelajari kitab suci dan pendapat-pendapat dari kalangan agama-agama lain, namun karunia
keselamatan yang kita peroleh, ibarat ‘mutiara yang sudah ditemukan’ perlu kita bagikan sebagai
kesaksian kepada mereka yang belum mengenal keindahan mutiara tersebut.

Eksklusivisme dan fundamentalisme agama perlu dibuka agar kita tidak menjadi penganut
Kristus yang sempit yang tidak toleran dan bersifat menghakimi agama lain, tetapi sikap eksklusivis
harus disertai dengan sikap yang terbuka dan toleran. Menghargai perbedaan-perbedaan itu penting,
tetapi menerima perbedaan itu seakan-akan tidak berbeda jelas keliru. Untuk mencapai ini, jalan
‘Kasih’ adalah jalan terbaik untuk bersaksi, bukan dengan sikap memaksa dan menganggap rendah
orang lain, tetapi dengan sikap kasih kepada sesama karena untuk itulah Kristus telah mati bagi kita.

Rasul Paulus menunjukkan sikap yang inklusif sekaligus beriman eksklusif ketika ia berbicara
di Athena (Kisah 17:16-34). Ia menunjukkan sikap inklusif dengan bertukar pikiran dengan orang-
orang Yahudi dan para filsuf Epikuri dan Stoa. Ia mempelajari kitab suci dan tulisan para pujangga
mereka. Ia tidak menolak kerinduan orang-orang dalam menyembah ‘Allah Yang Tidak Dikenal’ tetapi
Paulus sedih hatinya melihat banyaknya berhala dan kuil-kuil di kota itu, karena itulah iman
eksklusifnya menghasilkan suatu kesaksian bahwa ‘Yang Tidak Dikenal’ itu diperjelasnya dengan
memperkenalkan keunikan Allah yang menjadikan langit dan bumi, Tuhan atas langit dan bumi yang
memberikan hidup dan nafas kepada semua orang, dan Injil tentang Yesus yang telah bangkit. Ia
tidak memaksa orang lain mengikut Kristus (proselitisme) melainkan ia men’share’kan imannya dan
biarlah orang lain yang menentukan iman mereka sendiri. Alhasil ada juga yang percaya dengan
kesungguhan hati tanpa dipaksa atau terpaksa. Haleluyah!

Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org

Untuk menguji klaim universalisme masing-masing agama baik Islam maupun Kristen, kita harus
melakukan asumsi terlebih dahulu terhadap kitab suci dan tokoh sumber religius kedua agama
tersebut secara seimbang:

Asumsi 1: Muhammad adalah nabi/rasul yang diutus oleh Allah untuk seluruh alam, dan Al-Qur’an adalah satu-
satunya kitab suci yang benar-benar merupakan wahyu dari Allah melalui perantaraan Jibril/Roh Kudus untuk
seluruh alam.

Asumsi 2: Yesus adalah nabi/rasul (bahkan Tuhan) yang diutus oleh Allah untuk seluruh alam, dan Alkitab
adalah satu-satunya kitab suci yang benar-benar merupakan wahyu dari Allah melalui kuasa Roh Kudus-Nya
untuk seluruh alam.

Sekarang, marilah kita selidiki, apakah kedua agama tersebut benar-benar universal, ditinjau dari
catatan kitab suci masing-masing.

Universalkah Islam?

Al-Qur’an menegaskan kepada manusia bahwa agama di sisi Allah hanyalah Islam.

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada


berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya. (QS.3:19).

Al-Qur’an juga menjelaskan definisi dari Islam itu sendiri, yakni penyerahan diri secara total.

Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka


katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-
orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi
Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu (mau) masuk
Islam”. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah
menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-
Nya. (QS.3:20).

Agama Islam dalam pandangan Al-Qur’an tidak diciptakan pada masa Nabi Muhammad SAW, tetapi sudah
hadir semenjak manusia pertama, Nabi Adam AS.

Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa
(akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.
(QS.20:115).

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
(QS.42:13).

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang
lurus lagi berserah diri (kepada Allah), dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang
musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya
dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Nabi Muhammad), dan Allah adalah
pelindung semua orang-orang yang beriman. (QS.3:67-68).

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim
berkata): “Hai anak-anakku! Seseungguhnya Allah telah memilih agama ini (Islam) bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS.2:132).

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang
yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti
kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS.16:36).

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:
“Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
(QS.21:25)

Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang
Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak
dapat bagi seorang rasul membawa suatu mu’jizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah
datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang
berpegang kepada yang batil. (QS.40:78).

Beberapa ayat Al-Qur’an di atas dengan jelas menegaskan bahwa Islam sudah hadir semenjak zaman
Adam. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa nabi/rasul itu tidak hanya berjumlah 25 orang saja sebagaimana
tersebut namanya di dalam Al-Qur’an, tetapi melebihi jumlah itu (QS.40:78), namun Al-Qur’an tidak
menjelaskan angka pastinya. Jelasnya, Allah telah mengutus nabi/rasul kepada tiap-tiap umat di muka bumi
ini (QS.16:36) dan senantiasa memerintahkan makhluk-Nya untuk hanya menyembah kepada-Nya, karena
tidak ada tuhan selain Allah (QS.21:25). Inilah inti dari agama Islam.

Berbeda dengan umat-umat sebelumnya dimana masing-masing umat memiliki nabi/rasul, Al-Qur’an
menegaskan bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah untuk seluruh alam dan sekaligus
menjadi penutup para nabi/rasul.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi


rahmat bagi semesta alam. (QS.21:107).
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa barita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui. (QS.34:28)

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(QS.33:40).

Al-Qur’an juga menegaskan bahwa dirinya adalah satu-satunya kitab yang menjadi peringatan bagi
seluruh alam.

Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah
aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi
semesta alam.(QS.38:86-87).

Dari uraian singkat di atas, tampak jelas bahwa Islam adalah agama untuk seluruh alam, karenanya,
Islam layak mendapat predikat agama universal.

Universalkah Kristen?

Alkitab secara tegas menyatakan bahwa Kristen lahir setelah penyaliban Yesus, sebagaimana dilansir dalam
pernyataan Paulus Tarsus berikut ini:

GALATIA:

2:16 Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena
melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus.
Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan
oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum
Taurat. Sebab: “tidak ada seorangpun yang dibenarkan” oleh karena melakukan
hukum Taurat.

3:13 Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab
ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!”

Pada bagian lain, Paulus Tarsus juga menyatakan bahwa ia mendapat amanat dari Yesus untuk
menyebarkan agama Kristen kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Sebagaimana pernyataan Paulus Tarsus
di dalam Alkitab berikut ini:

GALATIA:

1:16 berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan


Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta
pertimbangan kepada manusia;

Namun demikian, dapatkah Kristen dipandang sebagai agama universal yang berdiri di atas kebenaran
wahyu Allah?

Alkitab sama sekali menolak keberadaan agama Kristen sebelum, bahkan hingga masa Yesus.
Bahwa agama sebelum Yesus, yang konon diridlai oleh Tuhan menurut Alkitab, adalah agama
Yahudi (baca: Perjanjian Lama). Lebih jauh, agama Yahudi merupakan agama untuk golongan tertentu
saja, yakni umat Israel (baca: Perjanjian Lama). Padahal, pada masa itu, yaitu ketika para nabi/rasul diutus
untuk umat Israel, manusia sudah menyebar ke seluruh pelosok bumi, bukan hanya di israel. Sebut saja, bangsa
Romawi, Yunani, Mesir, Arab, India, Cina, dan lain sebagainya. Namun demikian, Alkitab secara khusus
mencatat keberadaan umat lain selain Israel, yakni umat Nabi Ayub AS, bangsa Edom, (baca: Kitab Ayub).
Terhadap umat-umat lain, Perjanjian Lama sama sekali tidak menjelaskannya, bahkan terkesan tidak mau
tahu, setidaknya kepada siapa umat-umat tersebut harus mengabdi.

Dengan demikian, dari uraian singkat diatas, tampak jelas bahwa Kristen adalah agama
baru, yang lahir kira-kira 2.000 tahun yang lalu ketika Yesus konon mengajarkan Kristen
menurut Paulus Tarsus.

Lalu, dapatkah Kristen dipandang sebagai agama yang layak mendapat predikat universal dalam pengertian
agama wahyu?

Jawabannya terletak pada hati nurani masing-masing pembacanya. Tetapi yang terpenting harus
diingat adalah bahwa agama Kristen sama sekali belum eksis di dunia ini pada era sebelum Yesus.
Tentu saja, ini akan sulit dimengerti, bagaimana mungkin agama universal harus datang kemudian?

MENEMPA PEDANG-PEDANG MENJADI MATA BAJAK:


Misi Rekonsiliasi dalam Alkitab
oleh: Markus Hildebrandt Rambe, Dosen Misiologi STT Intim Makassar
(Bagian dari Bahan Kuliah "Misi Rekonsiliasi", Bahan lengkap dapat diakses lewat
http://www.geocities.com/misirekonsiliasi)

A. Rekonsiliasi dalam Perjanjian Lama

1. Hubungan yang universal antara Allah dan manusia

Bukan tidak sengaja semua pernyataan alkitabiah dirangkaikan dengan refleksi tentang
hubungan Allah dengan semua manusia dan seluruh ciptaan. Pengakuan bahwa "Allah
menciptakan manusia menurut gambar-Nya" (Kej 1:27) dalam kisah penciptaan melampaui
semua batasan manusiawi seperti seks, ras, etnis, bangsa atau agama. Tanpa kecuali manusia
diciptakan untuk hidup dalam relasi yang utuh dengan Allah. Dari-Nya ia mendapat martabat,
kebebasan, tanggung jawab dan berkat. Bukan jasa atau kwalitas moral, tetapi relasi inilah
yang membuat setiap ciptaan dinyatakan "baik", karena "dunia hidup sepenuhnya dalam
kehadiran Allah dan di bahwa kekuasaan Allah"1. Hubungan dan perjanjian penciptaan inilah
yang mejadi titik tolak untuk kerukunan dan perdamaian antara Allah dan manusia dan antara
manusia dengan sesamanya. Allah yang memberi martabat kepada manusia dan mengakisi
kehidupannya (baik dalam aspek rohani maupun jasmani,bekan secara dualistis), dan ini
menjadi dasar bahwa manusia harus mengasihi dan menghormati kehidupan yang suci itu.

Akan tetapi, Alkitab tidak punya ilusi tentang watak manusia. Dalam kisah tentang
kejatuhan manusia ke dalam dosa, penyebab keterpisahan manusia dari Allah, permusuhan
antarmanusia dan ketidakselarasan antara manusia dengan alam semesta terletak pada
keinginan manusia untuk "menjadi seperti Allah" (Kej 3:5)2. Dosa asal dalam pemahaman
Alkitab ini tidak terfokus kepada kecenderungan manusia untuk melanggar hukum-hukum
moral, tetapi pertama-tama adalah "kerusakan relasional (hubungan)": Karena manusia mau
menjadi pencipta dirinya sendiri yang tidak membutuhkan Allah lagi, ia hidup dalam
hubungan yang hancur dengan Allah, sesama manusia dan ciptaan dan bahkan dengan dirinya
sendiri. Dosa asal manusia adalah ketidakmampuannya untuk mendamaikan hubungan-
hubungan tersebut melalui usaha sendiri.3

Dengan demikian, rekonsiliasi menjadi kebutuhan dasar manusia yang mencakup seluruh
aspek kemanusiaan, baik dalam arti rohani maupun dalam sifatnya sebagai makhluk sosial.
Karena manusia telah kehilangan sifatnya sebagai ciptaan - yaitu kesatuan dengan
penciptanya - ia kehilangan identitas dirinya. Krisis identitas ini mengakibatkan rasa malu
(Kej 3:10) dan kecemburuan yang berakhir dengan penyangkalan dan pembunuhan
saudaranya (seperti Kain dan Habel Kej. 4). Ia mencari identitas melalui supremasi ras,
politik, ekologi, agama dsb. Keseberagaman dan pluralitas ciptaan selaku kekayaan dan
karunia baik dari pencipta dijadikan dasar untuk kehancuran kesatuan dan komunikasi
antarmanusia, karena "mencari nama", seperti dalam kisah tentang menara Babel (Kej 11:1-
9). Yang terjadi adalah dehumanisasi, yaitu keterasingan manusia dari dasar keberadaannya,
dari diri sendiri (terlepas kesatuan antara tubuh dan roh) dan dari sesamanya4.

Hanya karena inisiatif dan anugerah Allah maka kejahatan manusia (Kej 3; 4; 6; 8:21) tidak
berakhir dengan pembinasaan manusia. Manusia dibebaskan dari ancaman maut dan
penghukuman yang seharusnya ia terima. Allah sendiri menjembatani jarak relasi dengan
membangun kembali hubungan perjanjian dengan manusia dan terus-menerus hadir dan
terlibat dalam sejarah manusia. "Pendamaian adalah manifestasi daripada kepedulian Allah
terhadap ciptaan-Nya."5

Perjanjian (tyrb) Allah dengan Nuh (Kej 8:21 - 9:17) adalah perjanjian pertama yang
memperbaruhi "perjanjian penciptaan": "Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia,
sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan
membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih
ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan
hujan, siang dan malam." (Kej 8:21-22). Dengan berkat Allah (Kej 9:1) Nuh sebagai nenek
moyang seluruh umat manusia, dengan semua keturunannya, diterima kembali ke dalam
hubungan dengan Allah.

Perjanjian ini menjadi dasar untuk semua perjanjian yang berikutnya dan bermaksud untuk
memulihkan dan mempertahankan hubungan antara Allah dan manusia dan antarmanusia
(karena menang sering sekali manusia/Israel menolak dan melanggar perjanjiannya dengan
Allah dan implikasinya): Perjanjian dengan Abraham (Kej 15), Yosua (Yos 24), Musa (Kel
19; 24; 34; Ul 26), Daud (2 Sam 7), Yosia (2 Raj 23), sampai janji bahwa Allah akan
mengadakan perjanjian baru, di mana Taurat Allah akan ditaruh dalam batin dan ditulis
dalam hati mereka (Yer 31:31-34) dan yang akan menjadi "perjanjian bagi umat manusia
dan terang untuk bangsa-bangsa" (Yes 42:6). Hubungan antara Israel dan Allah6 akan pulih
kembali seperti hubungan antara ayah dan anaknya (2 Sam 7:14; Maz 89:27 dll.) atau antara
suami dan isteri (Hos 2). Pengharapan atas "Perjanjian damai" (Hes 27:26) untuk bangsa
Israel itu bermuara ke dalam pengharapan dan janji dalam perspektif yang universal, yaitu
penciptaan "langit yang baru dan bumi yang baru", di mana "tidak akan kedengaran lagi
bunyi tangisan dan bunyi erang" (Yes 65:17+19). Perdamaian taman Eden dan kerukunan
alam semesta dan keadilan untuk mereka yang tertindas akan diadakan kembali (bdk. Yes
11:1-9 dll.): "Serigala akan tinggal bersama domba, dan mancan tutul akan berbaring di
samping kambing" (Yes 11:6)7.

Dari situ jelas, bahwa pemulihan kembali dan pemeliharaan hubungan manusia dengan Allah
hanya dimungkinkan oleh kesabaran dan pengampunan Allah. Hanya perjanjian Allah
memungkinkan rekonsiliasi yang membebaskan manusia baik dari dosa sendiri maupun dari
penderitaan karena dosa-dosa orang lain.

Namun, di sisi lain rekonsiliasi dan perjanjian ini selalu dikaitkan dengan kewajiban manusia
terhadap Allah dan sesama manusia/ciptaan dan tidak bebas dari pengadilan Allah dan
tuntutan untuk bertobat. Perjanjian berhubungan baik dengan tuntutan kultis-religius
(dasarnya: "jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku", Ul 5:7; Kel 20:3; "Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu", Ul 6:4), maupun tuntutan sosial (perintah-perintah Allah; mewujudkan
keadilan, membebaskan dari utang; tidak membalas berlebihan: "...mata ganti mata, gigi
ganti gigi..." (Kel 21:24)8; "janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh
dendam ... melainkan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" Im 19). Dari situ tampak
bahwa rekonsiliasi antara Allah dan manusia dan rekonsiliasi antarmanusia saling
terkait- dan tidak ada yang satu tanpa yang lain.

Dalam Perjanjian Lama9 ditemukan banyak contoh yang konkrit bagaimana, atas dasar
tersebut, rekonsiliasi antarmanusia atau antarbangsa bisa berhasil: misalnya rekonsiliasi Esau
dengan Yakub Kej 33,Yusuf dengan saudara-saudaranya Kej 45 atau Daud dengan Saul 1
Sam 27. Yang menarik adalah bahwa yang berinisiatif untuk pengampunan dan rekonsiliasi
dan membuka jalan untuk pertobatan sering adalah pihak yang diperlakukan tidak adil. Sekali
lagi, rekonsiliasi antarmanusia mencerminkan rekonsiliasi yang telah diberi Allah.

2. Hubungan yang khusus antara Allah dan bangsa Israel

Dalam Perjanjian Lama ditemukan suatu ketegangan yang konstruktif antara


universalisme dan partikularisme. Yang sering dijadikan pusat perhatian adalah bangsa
Israel sebagai bangsa pilihan Allah dan sejarah Allah dengan bangsa-Nya. Tetapi pilihan
khusus dan partikuler oleh Allah itu hanya punya makna dalam kerangka hubungan universal
antara Allah dan dunia.

Mulai dengan pemilihan Abraham - bapak leluhur bersama orang Yahudi, Kristen dan Islam -
perjanjian Allah mencakup hubungan khusus, tetapi tidak eksklusif antara Allah dan
keturunan-keturunan Abraham. Tujuan perjanjian khusus ini menjadi jelas dalam Kej 12:3
kepada Abraham: "Aku... memberkati engkau ... dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan
memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang
mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." Abraham
harus menjadi berkat untuk orang yang tidak sebangsa dan seagama dengan dia, dan dia
pun akan diberkati oleh orang-orang beragama lain (misalnya oleh Melchisedek, Kej 14:19;
bdk Bileam dalam Bilangan 22 atau Korsey dalamYes 44:28 yang menjadi saluran berkat
Allah untuk bangsa Israel).

Israel hanyalah salah satu bangsa yang punya hubungan langsung dengan Allah (bdk. Ul
32:8-9) dan menerima penghakiman dan belas kasihan dari Allah (bdk. Yes 19; 40-55; Yeh;
Yun dll.). Meskipun sering kita temukan eksklusivisme dan etnosentrisme Israel dalam
Perjanjian Lama, sikap itu selalu dan langsung dikritik misalnya oleh para nabi seperti Amos:
"Bukankah kamu sama seperti orang Etiopia bagi-Ku, hai orang Israel? ... Bukankah Aku
telah menuntun orang Israel keluar dari tanah Mesir, orang Filistin dari Kaftor, dan orang
Aram dari Kir?" (Am 9:7)

Di satu pihak bangsa lain adalah "lawan-lawan politik atau paling tidak saingan Israel; pada
pihak lain Allah sendiri telah membawa mereka ke lingkungan visi Israel."10 Di satu sisi,
bangsa Israel memisahkan diri dari agama-agama sekeliling dan menolak secara tegas
pemujaan berhala. Namun Israel bisa juga melihat dan mengakui bahwa Allah telah bekerja
di tengah-tengah bangsa dan agama lain. Ia bahkan dapat menerima pengaruh dan belajar dari
agama lain11.

Pemilihan dan pengistimewaan bangsa Israel bukan karena jasanya atau karena ia lebih layak
dari pada bangsa lain. Partikularisme adalah partikularisme fungsional, partikularisme
untuk universalisme. Ia harus menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain (Yes 49:6), dan kalau
berada di tengah-tengah bangsa dan orang beragama lain, seperti dalam pembuangan di
Babel, ia harus mengusahakan "kesejahteraan kota" itu dan berdoa untuk mereka (Yer 29:7 -
syalom untuk bangsa yang berkuasa atas mereka!). Ia tidak punya panggilan untuk
"mengyahudikan" bangsa-bangsa lain, namun ia punya misi - atau lebih tepat: peranan dalam
misi rekonsiliasi Allah - terhadap bangsa lain (yaitu menjadi berkat, dan menjadi saksi yang
setia tentang keesaan Allah, perintah-Nya, keadilan-Nya dan tindakan-tindakan pembebasan-
Nya).

Tidak ada hak istimewa bangsa ini di hadapan Allah. Sebaliknya, ia punya kewajiban khusus
dalam hubungannya dengan Allah dan membutuhkan rekonsiliasi lebih dari bangsa-bangsa
lain karena ketidaktaatannya kepada Tuhannya. Kebutuhan rekonsiliasi mencakup baik aspek
individual maupun aspek kolektif (yang tidak dapat dipisahkan), dan berhubungan dengan
kesalahan atau pelanggaran kultis, religius, yuridis dan moralis. Bangsa Allah dipanggil
terus-menerus untuk bertobat kepada Allah.

Rekonsiliasi punya peranan yang sangat besar dalam kultus12. Salah satunya adalah ritus
penebusan melalui korban. Dengan menjalankan aturan-aturan ritual hubungan antara
seorang secara individual atau sekolompok secara kolektif dengan Allah bisa dipulihkan
kembali. Beban dosa ditebus (di samping syafaat, doa, puasa dll.)misalnya lewat korban
bakaran (binatang) atau seekor kambing jantang yang secara simbolis dibebankan dengan
dosa-dosa manusia dan diusir ke padang gurun (bdk Paskah Im 16; Bil 29 - "kambing jantang
dosa" atau "kambing hitam"). Korban tersebut menjadi wakil untuk menerima murkah dan
hukuman yang terkait dengan dosa atau pelanggaran yang telah dilakukan.13 Korban
memberikan penggantian. Darah yang ditumpuhkan berarti pendamaian untuk kehidupan
bagi yang mempersembahkan korban itu14.

Ritus rekonsiliasi tersebut tidak akan meniadakan kesalahan atau tanggung jawab si
pedosa, melainkan menghalangi akibat atau efek yang membawa murka untuk si individual
atau kolektif. Persyaratannya adalah penyesalan yang jujur dan pengakuan kesalahan
yang terbuka serta kesediaan untuk bertobat dan hidup kembali sesuai dengan
kehendak Allah. Namun pelaksanaan ritus tidaklah otomatis menjamin rekonsiliasi dan
penghapusan dosa, melainkan ini merupakan tindakan Allah yang bebas (bdk Im 4; Kel 34:6-
7).15

Berhubungan dengan hari raya orang Yahudi yang besar, Yom Kippur (Yom hak-Kippurim)
atau "Hari Rekonsiliasi" (bdk "liturgi rekonsiliasi Im 16), juga ditekankan bahwa
pengampunan baru berlaku, kalau - dalam hal pelanggaran dalam hubungan antarmanusia -
kerugian digantidan rekonsiliasi dengan orang yang dirugikan telah dicapai (bdk Bil
5,7)16. Para nabi dengan tegas mengritik praktek kultus yang hanya bersifat munafik dan tidak
berhubungan dengan keadilan dan perdamaian antarmanusia: "Aku membenci, Aku
menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh,
apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban
sajianmu, Aku tidak suka ... Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu,
lagu gambusmu tidak mau aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung dan
kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir." (Amos 5:21-24; bdk. Hos 6:6; Yes 1:10-17;
Yes 58:6-8; Mi 6:6-8). Keadilan dan kebenaran (bdk Mzm 98:9) menjadi ukuran untuk
keabsahan rekonsiliasi.17 Aspek rekonsiliasi ini juga nampak dalam aturan-aturan sabat, tahun
sabat dan tahun yobel (Im 25; bdk. Kel 23:10-11; Ul 15:1-18; Bil 36:4; Im 27:16-25) yang
dihubungkan dengan aspek pembebasan untuk semua ciptaan (membiarkan tanah dan
binatang-binatang, membebaskan hamba-hamba, menghapuskan utang-utang...).

Misi rekonsiliasi Allah juga menuntut sikap kerendahan hati dari bangsa Israel. Melayani
untuk rekonsiliasi bahkan bisa berarti bersedia untuk menderita. Itu dicerminkan dalam
Deuteroyesaya dan Tritoyesaya tentang "hamba Tuhan yang menderita". Hamba Tuhan
menjadi gambaran bukan hanya untuk misi seorang nabi atau untuk mesias yang akan datang,
tetapi model untuk misi rekonsiliasi Israel. Hamba Tuhan dalam kidung pertama
digambarkan sebagai orang pilihan yang dipanggil untuk menjadi model perjanjian Allah
dengan dunia, sehingga ia dapat menjadi "perjanjian bagi umat manusia dan terang bagi
bangsa-bangsa" (Yes 42:6)18, dan - dalam kidung kedua - "agar keselamatan Allah sampai
ke ujung bumi." (Yes 49:6). Ia hidup dan mati bahkan bagi mereka di luar lingkup batasan ras
dan bangsanya sendiri. Dalam Yes 50 dan Yes 52/53 hamba itu digambarkan sebagai murid
atau tokoh yang menderita karena kesetiaannya dan bahkan "mati bagi kepentingan orang
banyak": "...dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena
kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan (perdamaian) bagi kita,
ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita akan sembuh" (Yes 53:5)19. Misi Israel
dalam Yes 52:13 -53:12 terutama dipahami dalam rangka solidaritas dengan penderitaan
dunia di sekelilingnya, dan melalui itu menjadi "penyembuh yang terluka". Israel (disini
dalam konteks pembuangan di Babel, di mana Israel sendiri mengharapkan pembebasan dan
menjadi penerima "ganti rugi" melalui "korban penebus salah (asham)"20) menjadi berkat
untuk bangsa lain bukan dari posisi yang kuat, superior, eksklusif dan triumfalistik, dan juga
bukan sebagai "korban yang tidak bersalah" dalam arti wacana korban21, melainkan dalam
"solidaritas sesama korban".

Tujuan dan visi rekonsiliasi adalah "perjanjian abadi" (Yes 55:3): "...biarpun gunung-
gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari
padamu dan perjanjian damai-Ku (berit syalom -~wlv tyrb) tidak akan bergoyang"
(Yes 54:10; bdk Yeh 34:25; 37:26).

Konsep Perjanjian Lama tentang ~wlvsyalom adalah konsep perdamaian yang sangat
holistik. Di satu sisi, syalom adalah kata ucapan selamat sehari-hari, di sisi lain punya arti
religius yang sangat mendalam. Syalom tidak memisahkan perdamaian dengan Allah (tidak
ada "individualisasi" dan spiritualisasi") dari perdamaian dengan manusia, tidak memisahkan
perdamaian rohani dengan perdamaian jasmani dan sosial.22 Syalom adalah anugerah Allah
dan sekaligus tanggung jawab manusia. Syalom sebagai pengalaman iman, panggilan etis dan
harapan untuk masa depan melampaui tradisi-tradisi kaku dan permusuhan terhadap bangsa
lain dalam Perjanjian Lama23.

Memang tidak dapat disangkal bahwa perhatian masih dipusatkan kepada peranan sentral
bangsa Israel dalam sejarah keselamatan Allah. Tetapi simbol-simbol identitas yang
eksklusiv telah dibuka seperti dalam visi tentang ziarah bangsa-bangsa ke bukit Sion: "Akan
terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah Tuhan akan berdiri tegak di hulu
gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-
duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari kita naik ke gunung
Tuhan, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya
kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman Tuhan dari
Yerusalem." Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi
banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedang menjadi mata bajak dan
tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang
terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. Hai kaum keturunan Yakub,
mari kita berjalan di dalam terang Tuhan!" (Yes 2:1-5). Kalimat terakhir itu - "...mari kita
berjalan dalam terang Tuhan" - membuat visi syalom yang universal itu menjadi misi
rekonsiliasi untuk damai sejahtera untuk seluruh dunia dan alam semesta.24

Saya mau menyimpulkan "misi rekonsiliasi dalam Perjanjian Lama" dengan sebuah simbol
untuk perjanjian (tyrb berit) Allah sebai dasar rekonsiliasi dan syalom (~wlv) Allah
sebagai visi dan misi rekonsiliasi, yaitu pelangi dan burung merpati yang membawa sehelai
daun zaitun (dari kisah tentang air bah dan perjanjian dengan Nuh Kej 5-9): Pelangi sebagai
tanda rekonsiliasi antara Allah dan manusia, dan antara manusia yang begitu beranekaragam.
Merpati sebagai duta perdamaian yang membuka kemungkinan untuk kehidupan baru di
tengah keadaan yang tanpa harapan.

Mengapa Nama ‘Yahwe’ Diganti dengan ’Allah?’ (Kajian tentang Asal-usul dan Tradisi
Teologis)
OPINI
Jufri Kano
| 24 Oktober 2010 | 16:52

64
4
1 dari 1 Kompasianer menilai Bermanfaat.

Pengantar

Sebagai makhluk yang diciptakan untuk sesuatu yang tidak terbatas, manusia tidak pernah
dapat puas dengan dunia yang terbatas ini. Segala harta dunia ini, segala silau teknologinya
yang canggih, segala kepuasan yang ditawarkannya, pada hakikatnya tidak pernah dapat
memuaskan hati manusia yang selalu merindukan sesuatu yang mengatasi dunia ini. Ada
banyak interpretasi tentang realitas yang tidak terbatas itu, semuanya bertujuan agar manusia
sampai kepada pemahaman yang akurat tentang Yang Absolut itu sendiri. Bagi orang Arab,
realitas yang tidak terbatas itu adalah Allah, sedangkan orang Yahudi menyebutnya Yahwe.
Di antara kedua kata tersebut, kata ‘Allah’ merupakan kata yang paling populer dan
digunakan bersama-sama oleh penganut agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Akan tetapi,
belakangan ini penggunaan kata Allah di kalangan Kristen menuai kritik yang tajam dari
umat Islam. Menurut umat Islam, kata Allah merupakan trade mark umat Islam saja. Muncul
pertanyaan: apakah kata ‘Allah’ milik ekslusif orang Islam? Ataukah ada kata lain yang lebih
orisinil untuk mengetahui identitas sang causa prima non causata itu? Untuk menjawab
pertanyaan itu, akan dibicarakan dulu asal-usul kata Allah.

1. Asal-usul Kata ‘Allah’

Secara etimologis, kata ‘Allah’ merupakan perpaduan dua kata Arab: al- dan ilah, artinya
Yang Mahakuasa. Kata Semit ilah sama arti dan akarnya dengan kata Ibrani el yang berarti
yang kuat, yang berkuasa, dan menjadi sebutan untuk Tuhan. Karena dikira ada banyak el
atau ilah (politeisme), maka satu ilah disebut sebagai El-Elyon, Allah Tertinggi, yang diakui
sebagai Pencipta langit dan bumi. Kata ‘Allah’ sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum
Islam untuk menunjuk Pencipta alam semesta, yang terlalu jauh atau tinggi untuk disembah
atau dimintai perhatian. Sudah di masa sebelum Islam, al-ilah disambung menjadi Allah.
Dengan demikian, kata Allah bukan ciptaan orang Islam, melainkan ia merupakan kata biasa
dalam bahasa Arab lepas dari ikatan dengan salah satu agama tertentu.[1]

2. Tradisi Teologis Perubahan Nama

Bangsa Israel lahir dan berkembang di dalam suasana keagamaan yang serba ragam dengan
nama sesembahan mereka masing-masing. Sejumlah Kitab Perjanjian Lama menyebutkan
bahwa nama pribadi sesembahan bangsa Israel adalah Yahwe. Nama ini membedakan
sesembahan bangsa Israel dengan ilah-ilah bangsa lain (Ul 7:25). Nama Yahwe amat sering
digunakan dalam Alkitab Ibrani. Dengan nama Yahwe, Allah telah menyatakan diri dalam
sejarah bangsa Israel.

Bangsa Israel sudah mengenal Yahwe, sebab Yahwe sendiri telah menyatakan diri-Nya
kepada mereka: “Aku ini Yahwe, itulah nama-Ku” (Yes 42:8). Nama Yahwe diartikan
sebagai “Dia ada,” dalam arti “ada untuk umat-Nya,” hadir dan bertindak bagi mereka,
menyertai mereka dalam perjalanan keluar dari perbudakan. Namun demikian, bangsa Israel
masih mencari Dia, memanggil Dia dengan nama-nama ilahi yang berasal dari dunia
keagamaan bangsa-bangsa di daerah pengembaraan mereka sebab Yahwe sendiri berkenan
memperkenalkan diri-Nya di bawah nama-nama itu. Muncul pertanyaan: apakah sama antara
Yahwe dengan sembahan bangsa-bangsa pengembara itu? Jauh dari menyamakan diri dengan
sembahan-sembahan itu, Yahwe seakan-akan merebut, menyita, dan mengambil alih nama-
nama mereka.[2] Latar belakang kafir dari nama-nama itu tidak dapat menghalangi
penggunaannya sebagai alat pernyataan diri Yahwe kepada para bapa leluhur Israel. Yahwe
berkenan mempergunakan ciri-ciri keagamaan sekedar untuk menyatakan diri-Nya yang
sebenarnya.

Meskipun bangsa Israel mengenal Yahwe, tetapi nama yang kudus ini tidak boleh disebut
dengan sia-sia mengingat arti penting sebuah nama dalam Perjanjian Lama. Nama mewakili
pribadi dan mengetahui nama seseorang kadang-kadang menguasai orang itu (bdk. Kej
32:30).[3] Oleh karenanya, orang-orang Israel zaman dulu mengganti nama Yahwe dengan
istilah Adonai.

Kebiasaan bangsa Israel untuk menggantikan kata ‘Yahwe’ dengan kata ’Adonai‘ diikuti
oleh Yesus dan para rasul-Nya. Lembaga Alkitab Indonesia kiranya juga mengikuti kebiasaan
ini dalam menerjemahkan Yahwe dengan kata ‘Allah.’ Terjemahan ini tepat mengingat
sebutan ‘Allah’ itu memiliki jangkauan luas dan universal, melampaui batas bangsa. Oleh
karenanya, kita sebagai umat Kristen jelas tidak rela disuruh untuk melepaskan sebutan
‘Allah’ itu.

3. Penggunaan Kata “Allah” dalam Tradisi Arab Kristen

Secara historis, terdapat pandangan di kalangan orang banyak, baik yang Muslim maupun
yang bukan Muslim, tentang adanya kesejajaran antara ‘ke-Islam-an’ dan ke-Arab-an.’
Pandangan seperti itu jelas tidak didasarkan pada kenyataan tetapi hanya didasarkan pada
kesan semata. Akibatnya, banyak orang mengira bahwa hanya orang Islam yang percaya
kepada Allah, atau bahwa kata ‘Allah’ itu sendiri adalah milik ekslusif orang Islam. Padahal
dalam kenyataannya, bahasa Arab bukanlah bahasa khusus orang-orang Muslim dan agama
Islam, melainkan juga bahasa kaum non-Muslim dan agama bukan Islam sebab di kalangan
bangsa Arab terdapat kelompok-kelompok bukan Islam, seperti Yahudi dan Kristen.[4]
Sebagai orang yang berkebangsaan Arab, mereka juga menggunakan kata ‘Allah’ dan
percaya kepada Allah.

Dalam terjemahan Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru ke dalam
bahasa Siryani yang digunakan di Siria sebelum kedatangan agama Islam, kata yang
digunakan untuk menyebut Allah adalah kata yang biasa digunakan dalam bahasa-bahasa
Semit (Ibrani, Arami, Arab, dan lain-lain), yakni kata yang memiliki akar kata’l.‘ Kata
tersebut dalam bahasa Siryani diucapkan alaha, “dewa itu” yang sama artinya dengan ha-
eloah dalam bahasa Ibrani, atau Allah dalam bahasa Arab. Dengan demikian, sangat masuk
akal kalau orang-orang Islam menggunakan kata ‘Allah’ untuk menunjuk kepada sesembahan
mereka, dan orang-orang Yahudi dan Kristen Arab memakai kata ‘Allah’ yang sama itu pula
untuk menyebut sesembahan mereka.

Ketika orang-orang Muslim Arab melakukan ekspansi militer dan politik keluar Jazirah
Arabia, mereka membawa agama Islam kepada masyarakat bukan Arab. Dengan demikian,
masyarakat bukan Arab tersebut menggunakan bahasa Arab setelah wilayah mereka dikuasai
oleh orang-orang Arab sehingga mereka pun memakai kata ‘Allah.’ Jadi, kata ‘Allah’ bukan
kepunyaan orang Islam saja melainkan kepunyaan semua orang yang menggunakan bahasa
Arab itu. Ia sudah digunakan oleh orang Arab pada zaman sebelum Islam. Kata ‘Allah’ ini
kemudian dipegang bersama-sama oleh orang Yahudi dan Kristen yang menggunakan bahasa
Arab, demikian pula oleh orang Islam, semuanya berdasarkan latar belakang etimologis kata
itu sendiri dan tradisi teologis agama-agama mereka yang berakar dalam Perjanjian Lama.

4. Tanggapan Kritis

Agama Kristen mengakui bahwa Allah memperlihatkan diri-Nya lewat suatu kebudayaan
yang konkret dan definitif. Hal ini tampak jelas dalam diri Yesus Kristus yang lahir pada
suatu waktu tertentu, di suatu tempat tertentu, dan berintegrasi dalam suatu kebudayaan
tertentu yaitu kebudayaan Yahudi Palestina. Warta universal dari Allah yang dimaklumkan
dalam diri Yesus Kristus dialamatkan kepada manusia dari suatu kebudayaan tertentu pula.

Pewartaan tersebut bisa ditanggapi lewat unsur budaya setempat, yaitu bahasa mereka
sendiri. Pengakuan inilah yang merupakan salah satu pendorong bagi umat Kristiani untuk
menghormati bahasa setempat dalam usaha mencapai pemahaman yang akurat tentang Yang
Absolut itu sendiri.[5] Dengan kata lain, latar belakang permasalahan perbedaan penggunaan
kata untuk menyebut realitas yang tidak terbatas itu bagi umat Kristiani tidak terlalu
dipersoalkan. Inti yang mau diambil oleh umat Kristiani adalah bahwa dengan penggunaan
kata tertentu misalnya kata ‘Allah’ untuk menyebut Yang Absolut itu, kehadiran Dia yang
disebutkan itu dapat ditangkap, dipahami, dan diterima oleh orang-orang yang dalam
kenyataannya terikat dalam konteks bahasa tertentu.

Penggunaan kata ‘Allah’ di kalangan Kristen merupakan wujud khusus yang menandakan
bahwa Allah hadir dan berbicara dengan bahasa orang setempat, yaitu masyarakat yang
menjadi pendengar-Nya. Allah menggunakan medium bahasa setempat untuk
mengungkapkan siapa diri-Nya, namun kehadiran-Nya lepas dari semua bahasa yang
digunakan oleh manusia manapun. Jadi, kehadiran Allah melampaui setiap kata yang kita
pakai untuk menyebut-Nya.

Kata ‘Allah’ dipakai untuk merumuskan penghayatan atau penangkapan kita tentang realitas
tertinggi, bukan realitas in se-Nya. Dengan demikian, yang lebih penting bagi kita ialah
menyadari arti pernyataan diri Allah ini. Ia berkenan menggunakan bahasa tertentu untuk
memperkenalkan diri-Nya kepada semua orang. Pendekatan yang mengadakan hubungan
langsung dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pendengar-Nya membuka
kemungkinan untuk diterima oleh setiap orang di mana Allah menyatakan diri-Nya sehingga
mereka menemukan kehadiran Allah di tengah-tengah mereka.

5. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa perubahan
nama untuk menyebut realitas tertinggi sudah dimulai sejak zaman bangsa Israel Kuno.
Mula-mula bangsa Israel mengenal sesembahan mereka sebagai Yahwe, namun selanjutnya
mereka merasa bahwa nama itu sungguh kudus sehingga tidak pantas untuk diucapkan
sembarangan. Untuk menggantikan sebutan Yahwe, mereka memilih sebuah kata baru yaitu
Adonai.

Dalam perkembangan selanjutnya, orang Israel tidah hanya menyebut Yahwe dengan kata
Adonai, tetapi juga memanggil Dia dengan nama-nama ilahi yang berasal dari dunia
keagamaan bangsa-bangsa di daerah pengembaraan mereka. Hal tersebut dilakukan karena
mereka yakin bahwa Yahwe sendiri berkenan memperkenalkan diri-Nya di bawah nama-
nama itu. Latar belakang kafir dari nama-nama itu diberi arti secara baru dan diyakini
sebagai alat pernyataan diri Yahwe kepada para bapa leluhur Israel.

Kebiasaan bangsa Israel untuk menggantikan kata ‘Yahwe’ dengan kata yang lain diwariskan
secara turun-temurun. Akibatnya, setiap bangsa mempunyai kata sendiri untuk menyebut
sesembahan mereka, namun tetap mengungkapkan realitas tertinggi itu. Bagi orang-orang
yang berlatar belakang Arab, kata yang mereka pakai adalah kata ‘Allah.’ Kata ini merupakan
kata universal yang dipakai bersama-sama oleh orang Yahudi dan Kristen yang menggunakan
bahasa Arab, demikian pula oleh orang Islam. Jadi, kata ‘Allah’ bukan kepunyaan orang
Islam saja melainkan kepunyaan semua orang yang menggunakan bahasa Arab itu.

Daftar Pustaka

You might also like