Professional Documents
Culture Documents
Definisi Karkas
dikeluarkan isi perutnya dan dipotong kaki bagian bawah serta kepalanya. Untuk
b. Tanjung (Rump)
e. Kelapa (Inside)
b. Sengkel (Shank)
3. Golongan (kelas) III, meliputi daging lainnya yang tidak termasuk golongan I
a. Samcan (Flank)
dagingnya. Unggas yang dagingnya empuk, yaitu unggas yang daging karkasnya
lunak, lentur, kulitnya bertekstur halus, dan kartilago sternalnya fleksibel. Unggas
dengan keempukan daging sedang diidentifikasikan dengan umur yang relatif lebih
tua, kulit yang kasar dan kartilago sternalnya kurang fleksibel. Klas sedang ini
meliputi: (1) stag, ayam jantan berumur kurang dari 10 bulan, dan (2) kalkun betina
dan jantan berumur sekitar 1 tahun sampai 15 bulan. Klas unggas dewasa meliputi
roaster, ayam betina dewasa. Kelas unggas ini memiliki daging yang alot, kulit kasar
dan kartilago sternal keras. Kelas karkas unggas yang dagingnya empuk dapat
dibedakan berdasarkan atas spesies, berat karkas dan jenis kelamin (Soeparno, 1998).
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk
bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah pemotongan
yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi
listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim
metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot
daging diantaranya adalah status nutrisi dan konsumsi pakan, umur dan berat tubuh
ternak saat dipotong, bahan aditif, dan stres. Status nutrisi bisa jadi merupakan faktor
1998).
Faktor umur dan berat tubuh sering merupakan faktor yang saling terkait satu
antara umur dan berat tubuh akan mempengaruhi komposisi karkas. Ternak yang
dipotong pada umur yang tua akan memiliki kealotan daging yang lebih tinggi
Bahan aditif yang sering dihubungkan dengan kualitas daging adalah hormon
baik terhadap pertumbuhan, tetapi banyak juga hormon yang tidak mampu
meningkatkan kualitas karkas dan daging. Hormon tiourasil sebagai agensia antitiroid
dapat menurunkan konsumsi pakan dan laju pertumbuhan berat badan tanpa
tinggi adalah melindungi protein otot dan meningkatkan daya ikat air oleh protein
pertumbuhan, berat dan komposisi karkas, dan efisiensi konversi pakan pada ternak
demikian itu maka daging/karkas dari ternak yang diberi antibiotik dengan yang tidak
memiliki kualitas yang berbeda. Hal ini terkait dengan efek penggunaan antibiotika
pada laju pertumbuhan dan konsumsi serta konversi pakan. Namun demikian
penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat waktu dapat mempengaruhi
kualitas daging dari sisi konsumen, yaitu aspek kesehatan dari residu antibiotik pada
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak
relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas
meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas
yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe
ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak, dan jumlah lemak
intramuskular atau marbling didalam otot. Faktor nilai karkas dapat diukur secara
kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas hasil, yaitu estimasi jumlah daging yang
dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging
(juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu
berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan
daging dan karkas yang berkualitas baik. Kualitas daging dan karkas ini secara umum
sangat dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu aspek produksi, aspek pemanenan
(Soeparno, 1994)
1. Aspek Produksi
termasuk di dalamnya adalah faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang
turut mempengaruhi kualitas daging dan karkas adalah spesies, breed (bangsa), tipe
ternak, dan jenis kelamin ternak. Sebagai contoh adalah bahwa kerbau memiliki serat
daging yang lebih kasar daripada sapi. Sapi potong bangsa angus lebih memiliki
kecenderungan menimbun lemak intramuskular daripada bangsa sapi yang lain. Pada
sapi madura memiliki persentase karkas yang lebih rendah dibanding dengan sapi bali
meskipun daging total yang diperoleh bisa jadi lebih banyak. Demikian halnya bahwa
tipe ternak perah akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak pada ginjal dan
dihasilkan. Ini terkait dengan kerja fisiologis ternak, perubahan-perubahan baik fisik
mengkondisikan ternak baik secara fisik, emosional, dan fisiologis siap untuk
yang dikeluarkan sebanyak mungkin dan ternak tidak merasa tersiksa (Soeparno,
1994).
Berkenaan dengan kesiapan ternak untuk siap disembelih maka beberapa hal
yang sebelum penyembelihan dalam kondisi kelelahan dan mendapat tekanan (stres).
Ternak yang kelelahan dan stres memiliki cadangan glikogen yang rendah sehingga
berpengaruh pada proses pengeluaran darah, meronta, dan rigor mortis (Soeparno,
1994).
spesies, tipe ternak dan kondisi atau tingkat kelelahannya, misalnya dari perjalanan
(pengakutan) menuju tempat pemotongan yang jauh, dan lain sebagainya. Namun
agar
c. pada saat disembelih darah yang keluar sebanyak mungkin (Soeparno, 1994)
(dua) cara, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa dipuasakan. Pemuasaan dilakukan agar
(1) diperoleh bobot tubuh kosong (BTK), yaitu bobot tubuh yang telah dikurangi isi
(2) mempermudah proses penyembelihan terutama bagi ternak yang agresif atau liar
(2) ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin karena lebih
kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang dikeluarkan akan
lebih sempurna
Hal penting lain yang perlu/harus dilakukan sebelum ternak disembelih adalah
terlebih dahulu dan (2) untuk mengetahui ternak-ternak yang sakit sehingga
adalah:
Misalnya ditemukan adanya ternak yang berada pada taraf septi chaemi (gejala
infeksi yang mulai menjalar); ternak yang demikian ini sukar diketahui gejala-
c. Dapat mengetahui apakah ternak dalam keadaan lelah atau tidak untuk segera
dilakukan penyembelihan.
istiadat dan agama masyarakat setempat. Di Indonesia dan masyarakat Islam lainnya,
penyembelihan ternak adalah bahwa ternak harus disembelih secepat mungkin dan
rasa sakit diusahakan seminimal mungkin untuk menghindari stres (tekanan) dan
menyembelih langsung pada leher ternak dengan memutuskan arteri karotis, vena
dilakukan dengan (a) menggunakan alat pemingsan (knocker), (b) senjata pemingsan
mati atau belum dapat dilakukan dengan 3 (tiga) macam ujicoba, yaitu reflek mata,
reflek kaki, dan reflek ekor (Soeparno, 1994). Ujicoba dengan reflek mata dilakukan
dengan menyentuh pelupuk mata apakah masih bergerak atau tidak. Ujicoba refrlek
kaki adalah dengan memukul persendian kaki atau memijit sela-sela kuku. Dan uji
coba reflek ekor adalah dengan membengkokkan ekor. Apabila respon kelopak mata,
kaki, dan ekor tidak bergerak tandanya ternak telah benar-benar mati.
3. Aspek Setelah Pemotongan
akibat terhentinya aliran darah. Akibatnya adalah bahwa persediaan glikogen tidak
ada lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dari otot. Perubahan
seperti perubahan suhu, perubahan pH, dan rigor mortis (Buckle, et al., 1987).
Ternak yang disembelih, suhu permukaan karkasnya menurun, hal ini karena
tidak ada lagi aliran darah ke permukaan tubuh/kerkas ternak. Penurunan ini sama
dengan suhu sekitarnya atau lebih rendah lagi. Namun demikian karena darah dan
sisa-sisa metabolisme yang tersisa di dalam otot, maka suhu di dalam jaringan justri
ternak sebagai akibat dari proses glikolisis sesudah kematian dimana glikogen diubah
sebelum penyembelihan, dan laju glikolisis. pH akhir yang dicapai tubuh ternak dapat
terbuka yang sangat diinginkan untuk pengasinan daging; warna merah muda yang
cerah dan disukai konsumen; flavor yang lebih disukai, baik dalam kondisi telah
dimasak maupun diasin; dan stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan akibat
mikroorganisme.
b) pH tinggi, yaitu sekitar 6,2 – 7,2 menyebabkan daging tahap akhir mempunyai
struktur tertutup atau padat dengan warna merah-ungu tua, rasa kurang enak dan
Perubahan yang secara fisik dapat disaksikan adalah rigor mortis, yaitu proses
yang menunjukkan keadaan karkas menjadi kaku yang biasanya terjadi antara 24 – 48
jam setelah penyembelihan. Rigor mortis terjadi merupakan akibat dari serangkaian
peristiwa biokimia yang kompleks menyangkut hilangnya creatin phosphat (CP) dan
Adhenosine Triphosphat (ATP) dari otot, tidak berfungsinya sistem enzim sitokhrom
dan reaksi-reaksi kompleks lainnya (Buckle, et al., 1987). Kekakuan ini juga akibat
adanya aktin dan miosin mebentuk aktomiosin yang kemudian menjadi irreversible.
Kecepatan laju rigor mortis dipengaruhi oleh beberapa faktor (Buckle, et al.,
1987), diantaranya adalah (1) tingkat cadangan glikogen pada saat mati. Bila glikogen
rendah rigor mortis cenderung berlangsung cepat. Dan ini berkaitan erat dengan pH
akhir yang dicapai. (2) Suhu karkas; kecepatyan tertinggi dari rigor mortis sebanding
dengan suhu yang tinggi, yang mempercepat hilangnya CP dan ATP otot.
Setelah ternak disembelih secara sah dan dinyatakan benar-benar mati maka
yang dilakukan selanjutnya adalah penyiapan karkas. Urutan penyiapan karkas yang
4. Pengulitan tubuh
5. Membuka rongga dada, tepat melalui ventral tengah tulang dada atau sternum
11. Mengeluarkan kandung kencing dan uterus jika ada, usus, rumen, jantung, dan
hati
12. Pisahkan karkas menjadi dua bagian melalui garis tengah punggung
telah siap, dicuci dapat dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak
subkutan. Selanjutnya karkas dapat dipotong-potong menjadi wholesle cut dan retail
setelah ternak disembelih dan disiapkan menjadi karkas dilakukan juga pemeriksaan
yang disebut sebagai pemeriksaan postmortem. Yaitu memeriksa karkas dan alat-alat
dalam (viscera), serta produk akhir. Menurut Soeparno (1994), pemeriksaan daging
dimaksudkan (1) untuk melindungi konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan
karena makan daging yang tidak sehat, (2) melindungi konsumen dari pemalsuan
memeriksa karkas, kelenjar limfa, kepala, mulut, kuku, lidah, dan organ-organ dalam.
dilakukan dengan baik dan integratif dengan pihak-pihak lain. Pada tahun 2000
terjadi pemalsuan daging sapi dengan daging celeng (babi hutan) yang disinyalir
justru berasal dari Bengkulu. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk
membentuk seperangkat aturan dan penegakannya secara jelas dan tegas dan (2)
mengoptimalkan fungsi dan peran Rumah Potong Hewan (RPH) dengan melibatkan
penyimpangan pada RPH itu sendiri (Suharyanto dan Anton Sutrisno, 2000).
Resume:
1. Karkas adalah bagian tubuh ternak setelah dilakukan pemotongan yang telah
dikeluarkan kepala, kaki, kulit dan jeroan.
2. Karkas dilakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem, antmortem
meliputi genetik, spesies, jenis kelamin, stress, bangsa, tipe ternak, umur dan
pakan. Sedangkan postmortem meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik,
metode perusakan, pH karkas
3. Sapi yang memiliki kualitas karkas yang baik yaitu pada sapi atau ternak yang
telah dewasa. Sapi yang telah tua kualitas karkas akan menurun disebabkan
karena daging tidak akan bertambah melainkan lemak sehingga akan
menyebabkan daging yang alat
4. Dilihat dari segi peternakan lebih baik kualitas karkas sapi yang dipuasakan
karena meminalisir kontaminasi dari bakteri dalam rumen, namun apabila sapi
tersebut terlalu lama dipuasakan kandungan glikogen akan berkurang sehingga
mempengaruhi warna daging dan kealotan
5. Langkah taktis yang harus dilakukan peternak di Indonesia untuk mengatasi
dampak globalisasi dilihat dari segi kualitas karkas dan teknologi yaitu
memperbaiki proses pemotongan untuk meningkatkan kualitas karkas dan
meningkatkan kesadaran diri masyarakat peternak di Indonesia
6. Petumbuhan tulang yang baik bagi ternak yaitu pada saat ternak dewasa
kelamin, karena pada saat dewasa kelamin ternak tersebut sudah berfungsi
hormon testosteron (ternak jantan) dimana hormon ini meningkatkan atau
memacu pertumbuhan tulang.
7. Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama
penyimpanan dingin (2 – 5°C setelah ternak disembelih yang memberikan
dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah
rib dan loin.
MATURASI
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama
terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin.
bagian rib dan loin. Pada suhu 2º C, waktu yang dibutuhkan utnuk pematangan
daging adalah 10 - 15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menajdi
pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka
waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat menjadi 1- 2 hari; setelah rigor mortis
terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan
atau toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display
adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk
daging ayam.
Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik
protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses
pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya
calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok
cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam
berikut:
kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya
Jenis Aging
• dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa
• wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastic hampa udara, suhu 0-
kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma
yang berlebihan
Efektivitas Aging
umumnya tidak begitu empuk setelah waktu aging yang cukup dimana
perubahan flavor
jumlah jaringan ikat (kolagen) sedikit, pola aging sama dengan eye of the
fragmentasi rendah dan kuantitas jaringan ikat (kolagen) yang lebih banyak.
kesukaan konsumen.
• Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat effektivitas aging adalah
• Penyimpanan daging sapi lebih lama dari 7-10 hari membutuhkan biaya yang
lebih mahal. Dengan alasan ekonomi ini maka beberapa Negara mulai
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi
karena:
5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar
kehilangan berat
6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan
Penyiangan ini dapat berarti terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.
DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. UI-
Press. Jakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta