You are on page 1of 61

Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia.

Hampir
semua media belakangan ini baik lokal maupun nasional memberitakan tentang kasus yang
menimpa Prita vs Rumah sakit OMNI International. Kasus semacam ini tentu akan semakin
sering terjadi nanti kalau tidak ada penanganan hukum yang cepat terhadap pelaku, terutama
pihak Rumah sakit OMNI maupun dokter sebagai pelaku profesi.

Dalam etika profesi yang disahkan oleh setiap lembaga mempunyai fungsi pengawasan yang
kuat dan nyata terhadap pelaku dan benar-benar harus dipatuhi sebagai seorang dokter. Jejak
rekam medik yang akurat merupakan keinginan setiap pasien untuk mengetahui apa penyakit
yang dideritanya. Ketidakpastian jejak rekam medik tersebut tentu saja menambah kontroversi
kasus dugaan malpraktik, karena dapat dikategorikan sebagai euthanasia (tindakan medik untuk
mengakhiri hidup orang). Euthanasia di Indonesia merupakan tindakan yang melanggar hukum
karena identik dengan upaya pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Soal Definisi
Hingga saat ini belum ada definisi yang resmi dan disepakati oleh kalangan profesi dan undang-
undang mengenai apa yang dimaksud dengan malpraktik. Akan tetapi, dari berbagai referensi
dapat dibaca dan diketahui bahwa malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional
(profesi) yang bertentangan dengan standard operating procedure (SOP), kode etik profesi, serta
undang-undang yang berlaku—baik disengaja maupun akibat kelalaian—yang mengakibatkan
kerugian dan kematian terhadap orang lain. Batasan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa
malpraktik sebenarnya tidak hanya terjadi pada kelompok profesi dokter saja. Tetapi juga dapat
terjadi pada kelompok profesi lainnya seperti advokat (pengacara), notaris, akuntan, dan profesi
lainnya.

Namun, bila dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya, malpraktik yang dilakukan oleh
dokter—disebut juga dengan malpraktik medik—ternyata menimbulkan akibat lebih “dramatis”
bila dibandingkan dengan malpraktik yang dilakukan oleh advokat, notaris, maupun akuntan.
Dari kasus Prita, misalnya, dapat dicermati bahwa tudingan dokter yang melakukan malpraktik
dapat ditujukan terhadap suatu tindakan kesengajaan (dolus) ataupun kelalaian (culpa) seorang
dokter dalam menggunakan keahlian dan profesinya secara bertentangan dengan SOP yang lazim
dipakai di lingkungan kedokteran yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) dan Undang
Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Sanksi Hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter sebagaimana contoh kasus Prita terbukti
dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka adalah hal
yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur
kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan
nyawa seseorang, serta tidak menutup kemungkinan juga dapat mengancam dan membahayakan
keselamatan jiwa ibu yang melakukan aborsi. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng
kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.

Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati
untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap
tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan
keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang
lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak
memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), serta
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat
tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.

Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau
bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang siapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama
waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling
lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang
lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.

Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan kode etik
profesi praktik dokter. Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh
seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian
kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk
mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365
Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian
(culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian
atau kurang hati-hatinya.”

Kepastian Hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan bahwa
bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan dibayangi
kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak
tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam
situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus
malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.

Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di
depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa
memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan
seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban
tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran
terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (Kodeki) sangatlah perlu ditingkatkan untuk
menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan
oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan,
dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan
memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode
Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang
bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia.

Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat
dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus
kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika
ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang
mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan
demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas
profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini
maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum
profesinya.n
http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/

Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran


Etika di Indonesia Budi Sampurna

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas,
yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent,
wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll.  Bahkan di dalam praktek
kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh
karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau
sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral
dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat
administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal
selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari
sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat
dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter
atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin
tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya
dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran
sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan
kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang
tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.
Etik Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk
Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa
pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk
sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah
sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan
kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct
bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban
terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1] 
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-
prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat
keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu
keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman
bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan
pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti
autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak
membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence
(melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan
yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme
(pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral
kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan
memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan,
dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics),
sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan
keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat
mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya
bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
            IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan
etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di
tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya,
yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat
perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
            Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan
membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat
dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat
seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan
pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam
rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya.
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian
hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan
untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan
pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
 MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan
yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal
profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional)
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada
MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan
gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda.
Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan
tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter
tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh
MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di
antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu
dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
            Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
            Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1.      Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
2.      Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin
Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter
dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-
surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
            Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan
adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara
pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah,
tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada
informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih
tinggi daripada yang informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan
dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri
dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
            Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti
yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof
seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak
serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond
reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada
preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan
bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang
diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian
yang dibutuhkan.5
            Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi,
yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia
digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct,
unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect.
Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun
umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat
dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. [3]
            Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di
pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
            Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Pengalaman MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta 1997-2004 (8 tahun)
Dari 99 kasus yang diajukan ke MKEK, 13 kasus (13 %) tidak jadi dilanjutkan karena
berbagai hal – sebagian karena telah tercapai kesepakatan antara pengadu dengan teradu
untuk menyelesaikan masalahnya di luar institusi. Selain itu MKEK juga menolak 14 kasus (14
%), juga karena beberapa hal, seperti : pengadu tidak jelas (surat kaleng), bukan yurisdiksi
MKEK (bukan etik-disiplin, bukan wilayah DKI Jakarta, etik RS, dll), sudah menjadi sengketa
hukum sehingga sidang MKEK dihentikan. Dengan demikian hanya 74 kasus (75 %) yang
eligible sebagai kasus MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta.
Dari 74 kasus yang eligible tersebut ternyata sidang MKEK menyimpulkan bahwa pada
24 kasus diantaranya (32,4 % dari kasus yang eligible atau 24 % dari seluruh kasus
pengaduan) memang telah terjadi pelanggaran etik dan atau pelanggaran disiplin profesi.
Namun perlu diingat bahwa pada kasus-kasus yang dicabut atau ditolak oleh MKEK terdapat
pula kasus-kasus pelanggaran etik, dan mungkin masih banyak pula kasus pelanggaran etik
dan profesi yang tidak diadukan pasien (fenomena gunung es).
Dari 24 kasus yang dinyatakan melanggar etik kedokteran, sebagian besar diputus telah
melanggar pasal 2 yang berbunyi “Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi”.
Pasal lain dari Kodeki yang dilanggar adalah pasal 4 yang berbunyi “Setiap dokter harus
menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”, pasal 7 yang berbunyi “Seorang
dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya”, dan pasal 12 yang berbunyi “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal”.
 

Tahun Jumlah Dicabut Ditolak Tidak terdapat Terjadi


Pengaduan pelanggaran pelanggaran
etik / profesi etik / profesi

1997 10 3 2 4 1
1998 11 2 3 3 3

1999 18 2 5 7 4

2000 14 2 1 8 3

2001 10 3 1 5 1

2002 13 1 1 6 5

2003 14 - 1 10 3

2004  9*     1 4

Jumla 99 * 13 14 44 24
h

 * sisanya (4 kasus) belum selesai diproses


Apabila dilihat dari cabang keahlian apa yang paling sering diadukan oleh pasiennya
adalah : SpOG (24), SpB (17), DU (14), SpPD (10), SpAn (7), SpA (4), SpKJ (3), SpTHT (4),
SpJP (2), SpM (2), SpP (2), SpR (2) kemudian masing-masing satu kasus adalah SpBO, SpBP,
SpBS, SpF, SpRM, SpKK, SpS dan SpU. Mereka pada umumnya bekerja di rumah sakit atau
klinik ( 90 % ), bukan di tempat praktek pribadi.
Dan apabila dilihat dari sisi pengadunya, maka terlihat bahwa pada umumnya pengadu
adalah pasien atau keluarganya, tetapi terdapat pula kasus-kasus yang diajukan oleh rumah
sakit tempat dokter bekerja dan oleh masyarakat (termasuk media masa).
Dari sisi issue yang dijadikan pokok pengaduan, atau setidaknya terungkap di dalam
persidangan, dapat dikemukakan bahwa menduduki tempat teratas adalah komunikasi yang
tidak memadai antara dokter dengan pasien dan keluarganya. Kelemahan komunikasi tersebut
muncul dalam bentuk : kurangnya penjelasan dokter kepada pasien – baik pada waktu sebelum
peristiwa maupun sesudah peristiwa, kurangnya waktu yang disediakan dokter untuk dipakai
berkomunikasi dengan pasien, komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien.
Ditinjau dari sisi sanksi yang diberikan dapat dikemukakan bahwa pada umumnya
diberikan sanksi berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Terdapat dua kasus diberi sanksi
reschooling. Tidak ada yang memperoleh sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktek.
Dari sekian banyak yang ditolak oleh MKEK terdapat kasus-kasus sengketa antar
dokter, sengketa dokter dengan rumah sakit, dan surat kaleng; sedangkan mereka yang
mencabut kasusnya umumnya tidak diketahui alasannya, hanya sebagian yang menyatakan
sebagai akibat dari upaya damai.
Kesimpulan
            Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa masalah yang paling sering menjadi pokok
sengketa adalah kelemahan komunikasi antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit
dengan pasien, baik dalam bentuk komunikasi sehari-hari yang diharapkan mempererat
hubungan antar manusia maupun dalam bentuk pemberian informasi sebelum dilakukannya
tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau komplikasi.
            Pelajaran lain adalah bahwa sosialisasi nilai-nilai etika kedokteran, termasuk kode etik
profesi yang harus dijadikan pedoman berperilaku profesi (professional code of conduct),
kepada para dokter yang bekerja di Indonesia belumlah cukup memadai, sehingga diperlukan
crash-program berupa pendidikan kedokteran berkelanjutan yang agresif di bidang etik dan
hukum kedokteran, pemberian mata ajaran etik dan hukum kedokteran bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran sejak dini dan bersifat student-active, serta pemberian bekal buku Kodeki
bagi setiap dokter lulusan Indonesia (termasuk adaptasi).
 
Pustaka lanjutan
Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 3rd ed. New York: Oxford University
Press, 1989.
Breen K, Plueckhahn V, Cordner SM. Ethics, Law and Medical Practice. St Leonard NSW: Allen &
Unwin, 1997
Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San Fransisco: Jossey-
Bass, 2001
Dix A, Errington M, Nicholson K, Powe R. Law for the medical profession in Australia. Second ed.
Australia: Butterworth-Heinemann, 1996
Elliot C and Quinn F. Tort Law. Second edition. Essex: Pearson Education Limited, 1999.
Harpwood V. Modern Tort Law. 5th ed. London: Cavendish Publ Ltd, 2003.
Hickey J. The Medical Protection Society Experience Worldwide. Singapore: Medico-legal Annual
Seminar, 27-28 October 2001.
Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-Verlag, 1991
Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer health system.
Washington: National Academy Press, 2000
Kuhse H and Singer P. Bioethics on Anthology. Oxford: Blackwell Publ, 1999.
Leenen H, Gevers S, Pinet G. The Rights of Patients in Europe. Deventer : Kluwer Law and Taxation
Publ, 1993
Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International
Business Communications Pty Ltd, 1989.
McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002.
O’Rourke K. A Primer for Health Care Ethics. 2nd ed. Washington DC: Gergetown University Press,
2000.
Plueckhahn VD and Cordner SM. Ethics, Legal Medicine & Forensic Pathology. Melbourne :
Melbourne University Press, 1991.
Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An Aspen Publication,
2002
Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St Louis : American College
of Legal Medicine, 1998.
Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995
Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea.
Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.
Tjiong R. Worldwide trends of medical negligence claims and implications for Singapore from
UMP perspective. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.
Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain,
September 1992
 
[1] Lebih lanjut agar dibaca buku “Kode Etik Kedokteran Indonesia”
[2] Breen K, Plueckhahn V, Cordner SM. Ethics, Law and Medical Practice. St Leonard NSW: Allen & Unwin, 1997
[3] Dix A, Errington M, Nicholson K, Powe R. Law for the medical profession in Australia. Second ed. Australia: Butterworth-
Heinemann, 1996

http://inamc.or.id/?open=visimisi

Visi, Misi, dan Strategi Konsil Kedokteran


Terwujudnya dokter dan dokter gigi profesional
VISI
yang melindungi pasien
Meningkatkan kualitas hidup manusia melalui
MISI
dokter dan dokter gigi yang profesional
Konsil Kedokteran Indonesia menjunjung tinggi
TATA NILAI nilai integritas,profesionalisme kemitraan dan
respek pada kemanusiaan
Menerapkan sistem registrasi & monitoring dokter
dan dokter gigi secara online diseluruh Indonesia.
Sasaran :
 Setiap dokter dan dokter gigi yang
STRATEGI UTAMA 1
melaksanakan praktik kedokteran telah teregistrasi
dan terjamin kompetensinya.
 Sistim monitoring dokter gigi berfungsi secara
aktif dan online diseluruh indonesia.
Menegakkan profesionalisme dokter dan dokter gigi
dalam praktik kedokteran.
Sasaran :
STRATEGI UTAMA 2  Setiap dokter dan dokter gigi menerapkan
profesionalisme dalam praktik kedokteran.
 Setiap pasien memperoleh jaminan praktik
kedokteran yang aman.
Memastikan standar nasional pendidikan profesi
dokter dan dokter gigi.
Sasaran :
 Setiap institusi pendidikan dokter dan dokter
gigi telah menerapkan standar nasional pendidikan.
 Setiap dokter dan dokter gigi yang
STRATEGI UTAMA 3
melaksanakan praktik kedokteran mengikuti
Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan(Continuing
Professional Development).
 Setiap perkembangan cabang ilmu kedokteran
dan kedokteran gigi di Indonesia memenuhi rambu
dan aturan yang jelas.
Meningkatkan kemitraan dengan organisasi profesi,
instansi pemerintah dan non pemerintah untuk
menerapkan praktik kedokteran yang melindungi
masyarakat.
Sasaran :
 Seluruh masyarakat menyadari hak dan
kewajibannya, memperoleh perlindungan hukum
STRATEGI UTAMA 4
dalam praktik kedokteran.
 Setiap dokter dan dokter gigi memperoleh
kepastian hukum dalam menjalankan praktik
kedokteran.
 Setiap organisasi profesi, instansi pemerintah
dan non pemerintah menjalankan perannya dalam
melaksanakan UU Praktik Kedokteran.

PROFIL MKDKI

Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran,
dibentuklah MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA
(MKDKI)

MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :

1. Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.
2. Menetapkan sanksi disiplin.

MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dalam
menjalankan tugasnya bersifat independen

Tujuan penegakan disiplin adalah :

1. Memberikan perlindungan kepada pasien.


2. Menjaga mutu dokter / dokter gigi.
3. Menjaga kehormatan profesi kedokteran / kedokteran gigi.

Anggota MKDKI terdiri dari dokter, dokter gigi, dan sarjana hukum

Susunan anggota MKDKI periode 2006 - 2011 :

1. Merdias Almatsier, dr, SpS(K) (Ketua MKDKI)


2. Dr. Sabir Alwy, SH, MH (Wakil Ketua MKDKI)
3. Dr. Hargianti Dini Iswandari, drg, MM (Sekretaris MKDKI)
4. Suyaka Suganda, dr, SpOG
5. Prof. Budi Sampurna, dr, SpF, SH
6. Mgs. Johan T Saleh, dr, MSc
7. Edi Sumarwanto,drg, MM
8. Muryono Subyakto, drg, SH
9. Ahmad Husni, drg, MARS
10. Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH, MH
11. Dr. Otto Hasibuan, SH, MM

Sekretariat MKDKI
Jalan Hang Jebat III Blok. F3
Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12120
Telp. (021) 72800920, Fax. (021) 72800743
E-mail : mkdki@inamc.or.id

TANYA
JAWAB
Apa yang dapat saya lakukan jika saya mengetahui atau merasa dirugikan atas tindakan dokter
dalam menjalankan praktik kedokteran?
Anda dapat mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
Siapa saja yang dapat mengadu ke MKDKI?
Setiap orang yang mengetahui secara langsung atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran. Termasuk dalam pengertian
orang adalah korporasi (badan) yang dirugikan kepentingannya. MKDKI menerima pengaduan
dari masyarakat termasuk LSM, Tenaga Kesehatan, Institusi seperti Departemen Kesehatan,
Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Organisasi Profesi, dsb
Apakah MKDKI itu?

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga Negara yang
berwenang untuk 1) menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter/dokter gigi
dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi; dan 2) menetapkan sanksi bagi
dokter/dokter gigi yang dinyatakan bersalah.

Dasar pembentukan dan kewenangan MKDKI adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran

Apa yang dimaksud dengan pelanggaran disiplin kedokteran?

Pelanggaran disiplin kedokteran adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan


dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi. Dokter/dokter gigi dianggap
melanggar disiplin kedokteran bila :

1. Melakukan praktik dengan tidak kompeten


2. Tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya dengan baik (dalam hal ini
tidak mencapai standar-standar dalam praktik kedokteran)
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesinya
Apa saja yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran/ kedokteran gigi?
Yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi antara lain ketidakjujuran dalam
berpraktik, berpraktik dengan ketidakmampuan fisik dan mental, membuat laporan medis yang
tidak benar, memberikan "jaminan kesembuhan" kepada pasien, menolak menangani pasien
tanpa alasan yang layak, memberikan tindakan medis tanpa persetujuan pasien/keluarga,
melakukan pelecehan seksual, menelantarkan pasien pada saat membutuhkan penanganan
segera, mengistruksikan atau melakukan pemeriksaan tambahan/pengobatan yang berlebihan,
bekerja tidak sesuai standar asuhan medis, dsb
Bagaimana cara mengadukan dokter/dokter gigi ke MKDKI?

1. Buatlah pengaduan secara tertulis dengan mengisi formulir yang dapat didownload di
www.inamc.or.id (Format Pengaduan) atau Anda dapat memperoleh formulir tersebut
dengan menghubungi petugas kami di (021) 72800920
2. Bila Anda tidak dapat membuat pengaduan secara tertulis, Anda dapat mendatangi kantor
MKDKI, dimana petugas kami akan membantu Anda membuat pengaduan secara tertulis
3. Jika menemukan kesulitan dalam mengisi form tersebut, Anda dapat menanyakannya
kepada petugas kami
4. Pengaduan tersebut ditujukan kepada Ketua MKDKI, Jl. Hang Jebat III Blok. F3,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120
5. Pengaduan tersebut harus dibubuhi tandatangan Pengadu/Pelapor diatas meterai yang
cukup

Informasi apa yang harus dimuat dalam pengaduan tersebut?

Dalam formulir pengaduan yang kami sediakan, terdapat beberapa informasi yang harus
diberikan, antara lain :

1. Identitas pengadu/pelapor;
2. Identitas pasien (jika pengadu bukan pasien);
3. Nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan;
4. Waktu tindakan dilakukan;
5. Alasan pengaduan dan kronologis;
6. Pernyataan tentang kebenaran pengaduan, dsb

Jika pengadu/pelapor tidak mencantumkan identitasnya dalam formulir pengaduan, dapatkah


MKDKI menangani pengaduan tersebut?
MKDKI membutuhkan identitas pengadu/pelapor untuk mendapatkan informasi yang cukup,
untuk melakukan investigasi, dan untuk melakukan pemeriksaan oleh Majelis. Tanpa identitas
yang jelas dari pengadu/pelapor akan menyulitkan kami dalam melaksanakan hal-hal tersebut
Apa yang terjadi setelah pengaduan diterima MKDKI?
Setelah semua kelengkapan data pengaduan diterima, Anda akan mendapatkan tanda terima
pengaduan (berisi nomor register pengaduan). Setelah dilakukan verifikasi, pengaduan akan
ditangani oleh Majelis Pemeriksa Awal ataupun Majelis Pemeriksa Disiplin. Alur proses
penanganan pengaduan dugaan pelanggaran disiplin oleh MKDKI dapat dilihat pada
www.inamc.or.id (Proses Penanganan Pengaduan di MKDKI)
Apa tujuan pemeriksaan awal oleh Majelis Pemeriksa Awal?
Pemeriksaan awal oleh Majelis Pemeriksa Awal (MPA) untuk menentukan kewenangan MKDKI
terhadap pengaduan tersebut
Apa batasan kewenangan MKDKI terhadap suatu pengaduan?
Suatu pengaduan diputuskan menjadi kewenangan MKDKI apabila :

1. Dokter/dokter gigi yang diadukan telah terregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia.


2. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi yang diadukan terjadi setelah
tanggal 6 Oktober 2004 (setelah diundangkannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran)
3. Terdapat hubungan profesional dokter-pasien dalam kejadian tersebut
4. Terdapat dugaan kuat adanya pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi

Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Majelis
Pemeriksa Disiplin (MPD)
Apakah saya bisa mendapatkan informasi tentang proses penanganan pengaduan saya di
MKDKI?
Anda dapat mengetahui proses penanganan pengaduan Saudara melalui telepon kepada petugas
MKDKI di nomor (021) 72800920
Dapatkah pengadu menghadiri setiap persidangan di MKDKI?
Pengadu hanya dapat menghadiri :

1. Sidang tertutup dengan agenda mendengarkan keterangan pengadu sebagai saksi (jika
diminta oleh Majelis)
2. Sidang terbuka dengan agenda pembacaan keputusan

Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Persidangan oleh MKDKI mengutamakan prinsip menjaga rahasia kedokteran


2. Penegakan disiplin oleh MKDKI pada hakikatnya dilakukan dalam rangka membina dan
meningkatkan kinerja dokter dan dokter gigi

Sanksi apa yang diberikan kepada dokter/dokter gigi yang dinyatakan melanggar disiplin
kedokteran/ kedokteran gigi?
Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa:

1. Pemberian peringatan tertulis


2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP);
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi

Apakah MKDKI dapat menangani permintaan ganti rugi/kompensasi yang diajukan terhadap
dokter teradu?

1. MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh


dokter/dokter gigi
2. MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang
dinyatakan melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi
3. MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya
4. MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya

Bagaimana saya dapat mengetahui hasil keputusan MKDKI terhadap pengaduan saya?

Anda dapat mengetahui hasil keputusan MKDKI dengan menghadiri dan mendengarkan
pembacaan keputusan yang dilaksanakan secara terbuka.

Keputusan MKDKI akan diserahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk pelaksanaan
sanksi disiplin jika dokter/dokter gigi yang diadukan terbukti bersalah. Pengaduan dokter/dokter
gigi kepada MKDKI ditujukan untuk meningkatkan kinerja dokter/dokter gigi yang
bersangkutan.

Apakah terhadap Keputusan MKDKI dapat diajukan banding?


Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan, KKI,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait. Dokter/dokter
gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI kepada Ketua
MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau diterimanya keputusan
tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya
Apakah pemeriksaan MKDKI berjalan secara objektif?
Majelis Pemeriksa Disiplin terdiri dari dokter, dokter gigi, dan sarjana hukum yang bukan
dokter/dokter gigi. Dengan hadirnya anggota majelis bukan dari profesi kedokteran/kedokteran
gigi, diharapkan dapat mencapai objektifitas yang dapat dipertanggungjawabkan
Berapa lama MKDKI menangani pengaduan saya?
Lama penanganan pengaduan dugaan pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi oleh
MKDKI tidak dapat ditentukan, tergantung pada kompleksitas kasus dan banyaknya informasi
yang diperlukan dalam pemeriksaan oleh majelis
Apakah MKDKI dapat memberikan nasihat atau pendapat kepada pengadu atau dokter/dokter
gigi teradu?
MKDKI dapat memberikan informasi tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku di MKDKI,
proses dan bentuk sanksi disiplin yang dapat diputuskan oleh MKDKI, tetapi tidak dapat
memberi nasihat tentang masalah hukum maupun masalah teknis medis. Untuk permasalahan
hukum Anda dapat menghubungi penasihat hukum Anda

http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=26
KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM PEMBUKTIAN

PERKARA MALPRAKTEK DI BIDANG KEDOKTERAN

A. Latar Belakang

Kesehatan memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang. Dengan kesehatan orang

dapat berpikir dengan baik dan dapat melakukan aktivitas secara optimal, sehingga dapat pula

menghasilkan karya-karya yang diinginkan. Oleh karena itu setiap orang akan selalu berusaha

dalam kondisi yang sehat. Ketika kesehatan seseorang terganggu, mereka akan melakukan

berbagai cara untuk sesegera mungkin dapat sehat kembali. Salah satunya adalah dengan cara

berobat pada sarana-sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tetapi, upaya penyembuhan

tersebut tidak akan terwujud jika tidak didukung dengan pelayanan yang baik pula dari suatu

sarana pelayanan kesehatan, dan kriteria pelayanan kesehatan yang baik, tidak cukup ditandai

denganterlibatnya banyak tenaga ahli atau yang hanya memungut biaya murah, melainkan harus

didasari dengan suatu sistem pelayanan medis yang baik pula dari sarana pelayanan kesehatan

tersebut. Salah satunya adalah dengan mencatat segala hal tentang riwayat penyakit pasien,

dimulai ketika pasien datang, hingga akhir tahap pengobatan di suatu sarana pelayanan

kesehatan. Dalam dunia kesehatan, catatan-catatan tersebut dikenal dengan istilah rekam medis.

Rekam medis berisi antara lain tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan serta

tindakan dan pelayanan lain yang diberikan oleh dokter kepada seorang pasien selama menjalani

perawatan di suatu sarana pelayanan kesehatan.

Di setiap sarana pelayanan kesehatan, rekam medis harus ada untuk mempertahankan

kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi sebagai

pendahuluan mengenai “informed concent locum tenens”, untuk kepentingan dokter pengganti
yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena adanya

hak untuk melihat dari pasien.

Dalam pelaksanaan pelayanan medis kepada pasien, informasi memegang peranan yang

sangat penting. Informasi tidak hanya penting bagi pasien, tetapi juga bagidokteragar dapat

menyusun dan menyampaikan informasi kedokteran yang benar kepada pasien demi kepentingan

pasien itu sendiri. Peranan informasi dalam hubungan pelayanan kesehatan mengandung arti

bahwa pentingnya peranan informasi harus dilihat dalamhubungannya dengan kewajiban pasien

selaku individu yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi keluhan mengenai

kesehatannya, di samping dalam hubungannya dengan kewajiban dokter selaku profesional di

bidang kesehatan. Agar pelayanan medis dapat diberikan secara optimal, maka diperlukan

informasi yang benar dari pasien tersebut agar dapat memudahkan bagi dokter dalam diagnosis,

terapi, dan tahapan lain yang diperlukan oleh pasien. Dengan kata lain, penyampaian informasi

dari pasien tentang penyakitnya dapat mempengaruhi perawatan pasien.

Malpraktek tidak hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, melainkan kaum profesional dalam
bidang lainnya yang menjalankan prakteknya secara buruk, misalnya profesi pengacara, profesi notaris. Hanya saja
istilah malpraktek pada umumnya lebih sering digunakan di kalangan profesi di bidang kesehatan/ kedokteran.
Begitu pula dengan istilah malpraktek yang digunakan dalam skripsi ini juga dititikberatkan pada malpraktek bidang
kedokteran, karena inti yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan rekam medis dalam
pembuktian perkara pidana. Agar lebih terfokus serta tetap memiliki keterkaitan dengan rekam medis, maka
dilakukan pengkhususan terhadap jenis perbuatan pidana yang dimaksud dalam tema skripsi ini, yaitu malpraktek di
dalam bidang kedokteran.

Berkenaan dengan kerugian yang sering diderita pasien akibat kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) para
tenaga kesehatan karena tidak menjalankan praktek sesuai dengan standar profesinya, saat ini masyarakat telah
memenuhi pengetahuan serta kesadaran yang cukup terhadap hukum yang berlaku, sehingga ketika pelayanan
kesehatan yang mereka terima dirasa kurang optimal bahkan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan atau
dianggap telah terjadi malpraktek kedokteran, masyarakat akan melakukan gugatan baik kepada sarana pelayanan
kesehatan maupun kepada tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya atas kerugian yang mereka derita.

Demi mewujudkan keadilan, memberikan perlindungan, serta kepastian hukum bagi semua pihak, dugaan
kasus malpraktek kedokteran ini harus diproses secara hukum. Tentunya proses ini tidak mutlak menjamin akan
mengabulkantuntutan dari pihak pasien atau keluarganya secara penuh, atau sebaliknya membebaskan pihak tenaga
kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan yang dalam hal ini sebagai pihak tergugat, dari segala tuntutan
hukum. Pemeriksaan terhadap dugaan kasus malpraktek kedokteran ini harus dilakukan melalui tahapan-tahapan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk membuktikan ada/ tidaknya
kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja.

Untuk membuktikan kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan ataupun sarana pelayanan
kesehatan tempat mereka bekerja dalam dugaan kasus malpraktek kedokteran ini, hakim di pengadilan dapat
menjadikan rekam medis pasien sebagai salah satu sumber atau bukti yang dapat diteliti.

B.Rumusan Masalah

Beranjak dari uraian dalam latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai
berikut :

1. Bagaimanakah hak pasien atas rekam medis ?


2. Bagaimanakah kekuatan hukum rekam medis dalam pembuktian perkara malpraktek di bidang kedokteran
berdasarkan KUHAP ?

http://www.ilunifk83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/informed-consent-t143.htm

INFORMED CONSENT
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual
Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan
dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.

Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan


adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan
yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 /
Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan ( Ayat 2 ).

Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan


kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

Tujuan Informed Consent:


a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat
suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

Sumber: Buku Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Thu Jun 03, 2010 5:50 am; edited 6 times in total
 

gitahafas
Moderator
Number of posts: 6209
Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Fri Mar 12, 2010 9:20 pm

MALPRAKTEK?
Banyak kasus yang dilaporkan sebagai 'malpraktek' sebenarnya bukan benar benar malpraktek.
Hubungan yang tidak harmonis antara dokter dan pasien, salah satunya akibat komunikasi yang
tidak berjalan seperti yang diharapkan adalah salah satu faktor pemicunya. Dokter, disatu sisi
sering mengabaikan empati, yang sebenarnya justru paling diharapkan pasien.

Sebagian besar keluhan ketidak puasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang terjalin baik
antara dokter dengan pasien dan keluarga pasien. Perhatian terhadap pasien tidak hanya dalam
bentuk memeriksa dan memberi obat saja, tetapi juga harus membina komunikasi yang baik
dengan pasien dan keluarga pasien. Dokter perlu menjelaskan kemungkinan kemungkinan yang
bisa terjadi dan rencana pemeriksaan pemeriksaan berikutnya, bukan hanya memeriksa pasien
dan memberi obat saja. Pasien juga perlu untuk menanyakan ke dokter, minta dijelaskan
kemungkinan kemungkinan penyakitnya.

Dengan pemahaman yang relatif minimal, masyarakat awam sulit membedakan antara risiko
medik dengan malpraktek. Hal ini berdasarkan bahwa suatu kesembuhan penyakit tidak semata
berdasarkan tindakan petugas kesehatan, namun juga dipengaruhi faktor faktor lain seperti
kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan dalam
penatalaksanaan regiment therapeutic.
Kecenderungan masyarakat lebih melihat hasil pengobatan dan perawatan, padahal hasil dari
pengobatan dan perawatan tidak dapat diprediksi secara pasti. Petugas kesehatan dalam
praktiknya hanya memberi jaminan proses yang sebaik mungkin, sama sekali tidak menjanjikan
hasil.
Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan mal praktek.

Secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik untuk pasien. Apabila dalam suatu
kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien, mereka tidak bisa
langsung menuntut apabila terjadi hal hal diluar dugaan karena harus ada bukti bukti yang
menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini harus dibedakan antara kelalaian dan kegagalan.
Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah disebutkan dalam persetujuan
tertulis ( Informed Consent ), maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh karena itu, untuk
memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang
dirugikan, dokter wajib memberi penjelasan yang sejelas jelasnya agar pasien dapat
mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya.

Istilah malpraktek adalah istilah yang kurang tepat, karena merupakan suatu praduga bersalah
terhadap profesi kedokteran. Praduga bersalah ini dapat disalahgunakan oleh pihak pihak tertentu
untuk kepentingan sesaat yang akan merusak semua tatanan dan sistem pelayanan kesehatan.
Masalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan oleh dokter atau RS yang ada,
pada umumnya merupakan masalah miskomunikasi antara pasien dan dokter, sehingga yang
tepat adalah istilah "Sengketa Medik".
Harus dianalisis terlebih dahulu setiap peristiwa buruk ( adverse event ) yang terjadi, sebab tidak
semua adverse event identik dengan malpraktik kedokteran. Setelah dianalisis, baru dapat
diketahui apakah masuk katagori pidana atau kecelakaan ( misadventure ).
Sengketa Medik yang ada harus diselesaikan melalui peradilan profesi terlebih dahulu.

Sumber:
Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Nusye K I Jayanti, S.H, M.Hum, M.Sc
Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional, Ns.Ta'adi, S.Kep, M.HKes
Farmacia vol VIII no !2 Juli 2009

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Tue Mar 30, 2010 2:40 pm; edited 2 times in total
 

gitahafas
Moderator

Number of posts: 6209


Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Sat Mar 13, 2010 9:28 pm

PENCEGAHAN MASALAH HUKUM DALAM PRAKTIK KEDOKTERAN


Masyarakat yang mulai sadar hukum namun belum memahami bagaimana hukum itu, ditambah
adanya aktor aktor intelektual yang sering kurang bertanggung jawab. menyebabkan masyarakat
mudah terprovokasi. Disamping kita juga tidak boleh menutup mata, bahwa ternyata banyak
masalah ketidak puasan pasien yang berasal dari pribadi pribadi dokter yang tidak mampu
berkomunikasi dengan baik, tidak berempati kepada penderita dan keluarganya. Jika hubungan
dokter-pasien sudah erat, maka seorang pasien tidak akan begitu mudah menuntut dokternya, jika
timbul sesuatu yang tidak diharapkannya.

Akhir akhir ini makin sering terjadi tuntutan dan gugatan hukum terhadap para dokter dan RS di
Indonesia. Untuk itu sudah selayaknya masyarakat kedokteran Indonesia dan RS melakukan
usaha bersama secara proaktif, yang ditujukan untuk melindungi, mencegah atau paling sedikit
mengurangi jumlah kejadian tuntutan kepada para dokter dan dokter gigi.
Diantara upaya yang sangat mungkin dilakukan oleh dokter dan manajemen RS dalam usaha
pencegahan maraknya tuntutan hukum tersebut, antara lain dengan:

1. Upaya Pencegahan Resiko.


a. Product Liability Prevention
b. Quality Assurance
c. SOP
d. Risk Management
e. Peningkatan Pengetahuan Hukum ( Kliniko Mediko Legal )
f. Taat dan Patuh pada Hukum, Peraturan, Norma, Susila, Etika Profesi, dll
g. Pintar berkomunikasi dan berempati dengan pasien dan keluarganya.
h. Kepekaan sosial

2. Menyiapkan Legal Defence


a. STR dan SIP yang valid dan relevan
b. Rekam Medis yang baik, benar dan lengkap
c. Informed Consent

3. Advokasi bagi Dokter Terlapor dari Organisasi Profesinya / Legal Aid / Penasehat Hukum.

4. Koperasi / Asuransi Anggota Profesi

Langkah mana yang akan menempati urutan awal dalam pencegahan resiko ini, tergantung
kepada pribadi para dokter dan kebijaksanaan RS masing masing.
Namun yang penting adalah ada kemauan dan usaha untuk mencegah terjadinya tuntutan hukum.

Sumber: Buku Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator
Number of posts: 6209
Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Fri Mar 26, 2010 10:18 pm

UU NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN


Perlindungan Pasien

Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap.

(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.

(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator

Number of posts: 6209


Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Sun Mar 28, 2010 8:18 am

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 290/MENKES/PER/III/2008
TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, perlu mengatur kembali Persetujuan Tindakan Medik dengan Peraturan Menteri
Kesehatan;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3495);
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4431);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2803);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1996 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan
Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 157/Menkes/SK/III/1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1295/Menkes/Per/XII/2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan.

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PERSETUJUAN
TINDAKAN KEDOKTERAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung,
saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran
adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan
tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-
undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi
secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak
mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.

BAB II
PERSETUJUAN DAN PENJELASAN
Bagian Kesatu
Persetujuan
Pasal 2
(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun
lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan
yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju
atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap
meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Pasal 4
(1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
(2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
(3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter
atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien
sadar atau kepada keluarga terdekat.
Pasal 5
(1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
(2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
(3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
Pasal 6
Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam
hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan
kerugian pada pasien

Bagian Kedua
Penjelasan
Pasal 7
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau
keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada
keluarganya atau yang mengantar.
(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan.
Pasal 8
(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik,
ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan,
serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan
yang direncanakan.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko
dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan
komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable)
(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).
Pasal 9
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan
bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman.
(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas
rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan
tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan.
(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter
gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh
seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
Pasal 10
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan
penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau
dokter gigi lain yang kompeten.
(3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang
ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.
Pasal 11
(1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.
(2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan dasar daripada persetujuan.
Pasal 12
(1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat
dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
(2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan,
dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.

BAB III
YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN
Pasal 13
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.
(2) Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter pada saat diperlukan persetujuan

BAB IV
KETENTUAN PADA SITUASI KHUSUS
Pasal 14
(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada
seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim
dokter yang bersangkutan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.
Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana
tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan
kedokteran tidak diperlukan.

BAB V
PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN
Pasal 16
(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya
setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.
(2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis.
(3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
tanggung jawab pasien.
(4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan
hubungan dokter dan pasien.

BAB VI
TANGGUNG JAWAB
Pasal 17
(1) Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab
dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran.
(2) Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan
kedokteran.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18
(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan
pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai tugas dan fungsi
masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Pasal 19
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai dengan
kewenangannya masing-masing
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan
penernpatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Maret 2008
Menteri Kesehatan,

Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K)

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator

Number of posts: 6209


Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Sun Mar 28, 2010 7:00 pm


PERNYATAAN IDI TENTANG INFORMED CONSENT
1. Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya.
Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Oleh karena itu, semua tindakan medis ( diagnostik, terapeutik maupun paliatif ) memerlukan
"Informed Consent" secara lisan maupun tertulis.
Setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi
yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan
dengannya ( "Informed Consent" ).

4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau
sikap diam.

5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta oleh pasien
maupun tidak. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi
tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan
informasi itu kepada keluarga terdekat.
Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien, kehadiran seorang perawat /
paramedik lain sebagai saksi adalah penting.

6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik
diagnostik, terapeutik maupun paliatif.
Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis ( berkaitan dengan
informasi "Informed Consent" ).
Informasi harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal ini
dapat merugikan kepentingan pasien.
Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat
pasien.

7. Dalam hal tindakan bedah ( operasi ) dan tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan
oleh dokter yang bersangkutan sendiri.
Untuk tindakan yang bukan bedah ( operasi ) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan
oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.

8. Perluasan operasi yang dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, tidak boleh dilakukan tanpa
informasi sebelumnya kepada keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak
dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya bila
perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan nyawa pasien pada waktu itu.

9. "Informed Consent" diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sehat rohaniah.

10. Untuk orang dewasa yang berada dibawah pengampuan, "Informed Consent" diberikan oleh
orangtua / kurator / wali.
Untuk yang dibawah umur dan tidak mempunyai orangtua / wali. "Informed Consent" diberikan
oleh keluarga terdekat / induk semang ( guardian ).

11. Dalam hal pasien tidak sadar / pingsan, serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam butir
10, dan yang dinyatakan secara medis berada dalam keadaan gawat dan / atau darurat, yang
memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingan pasien, tidak diperlukan "Informed
Consent" dari siapapun dan ini menjadi tanggung jawab dokter.

12. Dalam pemberian persetujuan berdasarkan informasi untuk tindakan medis di RS / Klinik,
maka RS / Klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.

Sumber: Lampiran SKB IDI No.319/P/BA./88

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator

Number of posts: 6209


Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Tue Mar 30, 2010 8:22 am

ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT


Pada dasarnya dalam praktik sehari hari, pasien yang datang untuk berobat ke tempat praktik
dianggap telah memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan tindakan rutin seperti
pemeriksaan fisik. Akan tetapi, untuk tindakan yang lebih kompleks biasanya dokter akan
memberikan penjelasan terlebih dahulu untuk mendapatkan kesediaan dari pasien, misalnya
kesediaan untuk dilakukan suntikan.

Ikhwal diperlukannya izin pasien, adalah karena tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian,
tidak dapat diperhitungkan secara matematik, karena dipengaruhi faktor faktor lain diluar
kekuasaan dokter, seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium penyakit, respon
individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasihat
dokter, dll.
Selain itu tindakan medik mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti
oleh akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah
pasien. Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medik mutlak diperlukan,
kecuali pasien dalam kondisi emergensi. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang
tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi keputusan
pasien, karena dalam keadaan tersebut, pikiran pasien mudah terpengaruh. Selain itu dokter juga
harus dapat menyesuaikan diri dengan tingkat pendidikan pasien, agar pasien bisa mengerti dan
memahami isi pembicaraan. Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent.

Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini
sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan
perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan
yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang
undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.

Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas kesehatan dan
pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak
tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula
dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.

Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed
Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).

Sumber:
1. Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Nusye K I Jayanti S.H, M.Hum, M.Sc
2. Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional, Ns Ta'adi, S.Kep, M.HKes

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator

Number of posts: 6209


Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Tue Mar 30, 2010 4:52 pm

PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA PROFESI KESEHATAN


Tenaga profesi kesehatan harus mengembangkan dan mengetahui 16 Wajib Hukum Profesi
Kesehatan dalam setiap tindakannya, supaya terhindar dari perkara sengketa medik. Ke 16 Wajib
Hukum Profesi Kesehatan tersebut adalah:
1. Adequate Information.
Tenaga kesehatan harus aktif menanyakan sakit apa, dimana, kapan, bagaimana, berapa lama,
dst.

2. Informed Consent.
Tenaga kesehatan harus menginformasikan semua langkah atau tindakan yang akan dikerjakan
beserta risiko risiko medis yang kemungkinan terjadi, mengingat pekerjaan medis adalah
pekerjaan yang uncertain ( tidak pasti ).

3. Medical Record ( Rekam Medis ).


Semakin lengkap suatu Rekam Medis semakin baik itikad seorang tenaga kesehatan dalam
merawat pasien dan semakin kuat dalam kedudukan hukum.

4. Standard Profession of Care ( Doctrine of Necessity ).


Biasa disebut dengan doktrin keseriusan, doktrin ini menggunakan doktrin necessity.

5. Second Opinion.
Apabila dalam memberi pelayanan kesehatan kepada pasien, lebih dari 2 atau 3 kali tidak ada
kemajuan, maka tenaga kesehatan wajib melakukan second opinion.

6. Medical Risk.
Tenaga kesehatan harus selalu siap setiap saat mengantisipasi terjadinya risiko.

7. Medical Emergency Care.


Artinya dalam keadaan darurat atau emergency, pelayanan kesehatan harus cepat dan tepat,
risiko menjadi nomor dua.

8. Social Insurance of Health Care.


Kesehatan menurut masyarakat internasional atau PBB harus dibantu oleh asuransi sosial, sebab
pelayanan kesehatan adalah wajib hukumnya.

9. Medical Liability.
Pembagian tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan akan memudahkan dalam pemecahan
suatu masalah bila terjadi suatu sengketa medik.
Dalam pembagian jenis tanggung jawab akan diketahui tugas, kewajiban dan tanggung jawab
dari masing masing tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan akan lebih tenang dalam melaksanakan
pekejaannya karena sudah dibatasi dengan hal hal yang tercantum dalam Management Medical
Liability.

10. Negligent Medical Care ( Culpa Levisimma / Lichte Sculd ).


Kesalahan dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan haruslah wajar,
misalnya kesalahan karena kurang pengalaman, karena kurang pengetahuan sehingga
menyebabkan kurang hati hati. Kesalahan tidak boleh lebih dari 2x. Tetap berpedoman pada
SOP.

11. Contributory Negligence.


Terhadap kesalahan yang terjadi diteliti darimana asalnya ( dari pasien / teknologi / tenaga medis
/ tenaga non medis ).

12. Assumption of Risk ( Volenti non fit injura ).


Semua risiko medis yang akan terjadi sudah di asumsikan terlebih dahulu.

13. Medical Intervention.


Pelayanan kesehatan harus selalu mengintervensi pelaksanaan wajib hukum Informed Consent
dan Medical Record / Rekam Medis dalam setiap pelayanan kesehatan sebagai perlindungan
hukum tenaga kesehatan.

14. Medicare Medicaid Program.


Dalam setiap pemeliharaan kesehatan harus selalu memikirkan biaya kesehatan.
Medical program harus selalu selaras dengan medicare program, misalnya tidak ada keluhan
terhadap jantung maka tidak perlu dilakukan rekam jantung.

15. Medical Committee ( Intern Justice of Medical Profession ).


Dalam pelayanan kesehatan harus ada badan komite medis yang menyusuri setiap kesalahan
medis yang terjadi.

16. Acreditation of Health Care ( Joint Commission ).


Badan akreditasi pelayanan kesehatan terdiri dari asosiasi medis ( kumpulan dokter, RS, pelayan
kesehatan lainnya ), bukan dari pemerintah.
Tugasnya membimbing, bukan memerintah atau menilai.

Sumber: Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Nusye K I Jayanti. S.H, M.Hum,
M.Sc

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator
Number of posts: 6209
Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Fri Apr 02, 2010 6:33 am

Paragraf 2 UU RI NO 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN


Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
Pasal 45
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:

1. diagnosis dan tata cara tindakan medis;


2. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3. alternative tindakan laindari risikonya;
4. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator
Number of posts: 6209
Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Sat Apr 03, 2010 6:22 am

Pasal 7d Kode Etik Kedokteran Indonesia


Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makluk insani.

Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan


Segala perbuatan dokter terhadap pasien bertujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiannya. Dengan sendirinya ia harus mempertahankan dan memelihara kehidupan
manusia.

Kadang-kadang dokter terpaksa harus melakukan operasi atau cara pengobatan tertentu yang
membahayakan. Hal ini dapat dilakukan asal tindakan ini diambil setelah mempertimbangkan
masak-masak bahwa tidak ada jalan/cara lain untuk menyelamatkan jiwa selain pembedahan.
Sebelum operasi dimulai, perlu dibuat persetujuan tertulis lebih dahulu atau dan keluarga
(Informed Consent). Sesuai peratunan Menteri Kesehatan tentang informed consent, batas umur
yang dapat memberi informed consent adalah 18 tahun.

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan seseorang yang pada suatu waktu akan menemui ajalnya.
Tidak seorang dokterpun, betapapun pintarnya akan dapat mencegahnya.

Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan
hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berpikir dan mengumpulkan
pengalamannya, sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan usaha untuk
menghindarkan diri dari bahaya maut. Semua usaha tersebut merupakan tugas seorang dokter. ia
harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator
Number of posts: 6209
Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Wed Apr 21, 2010 6:24 am

INFORMED CONSENT
Dr. Aswin W. Sastrowardoyo SpOG

Informed consent adalah lebih daripada hanya sekedar mendapatkan tanda tangan seorang pasien
pada suatu formulir persetujuan. Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara pasien
dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk menjalankan suatu intervensi
medik tertentu1.

Dalam proses komunikasi ini, dokter sebagai orang yang memberi terapi atau melakukan
tindakan mediklah yang harus menjelaskan dan mendiskusikan bersama pasien hal-hal di bawah
ini. Proses komunikasi ini tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal-hal yang harus
dibicarakan1:

1. Diagnosis pada pasien, kalau sudah diketahui;


2. Sifat dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan;
3. Risiko dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan;
4. Pilihan pengobatan atau tindakan yang lain yang tersedia (tanpa melihat biayanya maupun
apakah termasuk di dalam pembiayaan yang dicakup oleh asuransi);
5. Risiko dan manfaat dari pilihan pengobatan atau tindakan lain yang tersedia; dan
6. Risiko dan manfaat yang dihadapi apabila suatu pengobatan atau tindakan tidak dilakukan.

Sebaliknya, pasien atau klien harus mempunyai kesempatan untuk bertanya untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai suatu pengobatan atau tindakan. Dengan demikian dia
akan dapat membuat keputusan yang berdasarkan pemahaman yang baik mengenai suatu
intervensi medik. Keputusan yang dia ambil bisa berupa persetujuan maupun penolakan akan
intervensi tersebut.
Informed consent baru dianggap sah kalau diberikan oleh seorang pasien/klien yang kompeten
dan diberikan secara sukarela2

INFORMED CONSENT, HUKUM, DAN ETIKA3


Dalam sejarahnya, informed consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan, termasuk
dalam ilmu kesehatan/kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu filsafat
moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal informed consent
adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya
dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang
berbeda.

Walaupun pendekatan kedua bidang ilmu ini terhadap informed consent rumit dan kontroversial,
intisari dari pendekatan secara hukum, dan pendekatan secara etika mudah dimengerti. Hukum
memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam kacamata hukum, dokter
mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada pasiennya dan kedua untuk
mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat dokter lalai dengan tidak
memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan atau tindakan, maka pasien
dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah menyebabkan cedera tersebut.
Visi legal ini lebih berfokus pada kompensasi finansial daripada pada pemberian informasi dan
izin yang diberikan pasien secara umum.

Dari segi filsafat etika, informed consent terutama menyangkut pilihan secara otonomi dari
pasien dan subyek penelitian.

Secara sederhana kita bisa menyingkat kedua pendekatan ini sebagai berikut: Pendekatan hukum
datang dari teori pragmatis. Pasien mempunyai hak untuk memberi izin atau menolak, akan
tetapi fokusnya adalah pada dokter, yang mempunyai kewajiban dan mempunyai risiko
membayar ganti rugi apabila tidak melaksanakan kewajibannya. Pendekatan filsafat moral/etika
datang dari prinsip menghargai otonomi, dan fokusnya adalah pada pasien atau subyek, yang
mempunyai hak untuk membuat pilihan secara otonomi.

Dengan demikian, kedua kerangka berfikir ini sangatlah sederhana, akan tetapi ternyata sulit
untuk diinterpretasikan dan diperbandingkan. Terdapat banyak sekali beda pendapat mengenai
hal ini. Selanjutnya dibahas mengenai dasar-dasar etika dalam informed consent.

INFORMED CONSENT DAN ETIKA3,4


Pemikiran etika mendasari diri pada prinsip, aturan, dan hak. Ada empat prinsip etika di dalam
informed consent.:

1. Respek/menghargai terhadap otonomi (respect for autonomy)


2. Tidak menyebabkan yang buruk (non-maleficence)
3. Kemaslahatan (beneficence)
4. Keadilan (justice)

Keempat prinsip ini bersifat “prima facie”, suatu istilah yang diperkenalkan filosof Inggris, W.D.
Ross, yang berarti: Suatu prinsip adalah memikat, kecuali apabila prinsip tersebut mempunyai
konflik dengan prinsip lain. Apabila terdapat konflik, kita harus memilih di antara keduanya.
Selain itu, selain 4 prinsip ini, sering juga ditambahkan5:

5. Harga diri (dignity)


6. Kebenaran dan kejujuran (truthfulness and honesty)
Penjelasan keenam hal di atas:
1. Menghargai Otonomi (Voluntas aegroti suprema lex). Dalam semua proses pengambilan
keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat
secara sukarela dan berdasarkan pemikiran rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter
menghargai otonomi pasien berarti bahwa si pasien/klien mempunyai kemampuan untuk berlaku
atau bertindak secara sadar dan intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-
pengaruh yang bisa menghilangkan kebebasannya3,4.

2. Tidak menyebabkan yang buruk (non-maleficence / primum non nocere). Di dalam prinsip ini,
doktertidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau cedera pada pasien, baik akibat
tindakan (commission) atau tidak dilakukannya tindakan (omission). Dalam bahasa sehari-hari:
Akan dianggap lalai apabila seseorang memaparkan risiko atau cedera yang tidak layak
(unreasonable) kepada orang lain. Standar perawatan yang meminimalkan risiko cedera atau
perburukan merupakan hal yang diinginkan masyarakat secara common sense3,4.

3. Kemaslahatan (Salus aegroti suprema lex). Adalah kewajiban petugas kesehatan untuk
memberikan kemaslahatan, kebaikan, kegunaan, benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil
langkah positip mencegah dan menghilangkan kecederaan dari pasien3,4. Dalam hal informed
consent untuk ad. 2 dan ad. 3: adalah kewajiban dokter untuk memberi penjelasan mengenai
pengobatan atau tindakan, baik manfaat maupun kekurangannya.

4. Keadilan. Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan
hak bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan bagi
pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak terjangkau atau tidak
dilindungi pihak asuransinya3,4.

5. Harga Diri. Pasien, dan dokter mempunyai hak atas harga dirinya5.

6. Kebenaran dan Kejujuran. Kebenaran dan kejujuran adalah suatu keharusan di dalam
hubungan dokter pasien / subyek. Informed consent diberikan oleh pasien / subyek berdasarkan
informasi yang benar dan jujur5.

TOPIK INFORMED CONSENT DALAM PENGAJARAN6


James Sabin melakukan pengajaran topik Medical Ethics (Informed Consent) dalam bentuk
seminar. Setelah peserta didik membaca buku pegangan “Principles of Biomedical Ethics”
(Beauchamp and Childress) dan “The Learning Curve” (Atul Gawande) di majalah New Yorker,
peserta didik diminta membuat tulisan mengenai topik ini. Selanjutnya dilakukan diskusi dengan
topik kasus-kasus khusus. Salah satu kasus yang dibicarakan adalah kasus dengan mahasiswa
kedokteran yang diminta oleh chief residence untuk mengambil darah arteri dari lengan seorang
pasien. Tindakan ini akan menimbulkan rasa sakit. Si mahasiswa mempunya hubungan yang
beik dengan pasien yang berusia 64 tahun ini. Pertanyaannya adalah – apa yang wajib
disampaikan kepada pasien dalam hubungannya dengan informed consent tindakan ini?

Informasi agar pasien mengerti tindakan yang akan diambil, dasar-dasar ilmiah di belakang
tindakan itu, risiko dan manfaatnya dibicarakan. Apakah pasien harus tahu bahwa yang akan
mengambil darah adalah seorang mahasiswa? Jawabannya: iya. Pertanyaan selanjutnya adalah:
apakah pasien harus diberitahu bahwa “ini adalah kali pertama saya akan melakukan tindakan
ini”? pengajaran dilakukan dengan role-playing, dengan si pengajar sebagai obyek pemeriksaan.

Seminar dan role-playing adalah cara yang baik untuk memperkenalkan berbagai aspek dari
bioetika, termasuk di dalamnya informed consent.

Dalam hal masalah di atas, para peserta didik akhirnya mengemukakan beberapa ide yang baik.
Rumah sakit tempat mereka bekerja harus mempunyai kebijakan yang jelas dalam melatih
mahasiswa melakukan tindakan. Pada saat akan melakukan tindakan, si mahasiswa akan
menyatakan:”Saya seorang mahasiswa, bekerja dengan dokter X. Saya belum pernah melakukan
tindakan ini, tetapi saya sudah dilatih untuk melakukannya. Dokter X akan berada disini juga
untuk meyakinkan bahwa segalanya berjalan sesuai rencana. Apakah Bapak setuju?"

Menarik sekali cara interaksi dosen-mahasiswa ini dalam mengungkap berbagai segi informed
consent.
1. 1. Patient Physician Relationship Topics: Informed Consent. AMA web-site: http://www.ama-
assn.org/ama/pub/physician-resources/legal-topics/patient-physician-relationship-
topics/informed-consent.shtm
2. 2. Cherry K. What is Informed Consent?
http://psychology.about.com/od/iindex/g/def_informedcon.htm
3. 3. Faden, RR, Beauchamp, TL. Foundations in Moral Theory p.3-14. In: A History and
Theory of Informed Consent. Oxford University Press. 1986.
4. 4. Principles of Bioethics. In the website: Ethics in Medicine. University of Washington
School of Medicine. http://depts.washington.edu/bioethx/tools/princpl.html
5. 5. Walter, Klein eds. The Story of Bioethics: From seminal works to contemporary
explorations. Cited by Medical Ethics http://en.wikipedia.org/wiki/Medical_ethics
6. 6. Sabin J. Teaching Medical Ethics (Informed Consent). Health Care Organizational Ethics.
2008 http://healthcareorganizationalethics.blogspot.com/2008/02/teaching-medical-ethics-
informed.html

Aswin W. Sastrowardoyo

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator
Number of posts: 6209
Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Mon May 03, 2010 6:32 am

Powered by Blogger
25 January 2007
INFORMED CONSENT

Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan Persetujuan


Rencana Tindakan Medis

dr. Rano Indradi S, M.Kes


(Health Information Management Consultant)

Seorang pasien memiliki hak dan kewajiban yang layak untuk dipahaminya selama dalam proses
pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam hal ini yaitu hal untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care), hak untuk mendapatkan informasi
(the right to information), dan hak untuk ikut menentukan (the right to determination). Dalam
artikel ini akan dipaparkan pelaksanaan dari 3 hak mendasar tersebut berkaitan dengan proses
pengisian formulir pernyataan menyetujui terhadap suatu rencana tindakan medis. Proses untuk
menyatakan setuju ini disebut dengan Informed Consent. Hak dan kewajiban yang lain dari
seorang pasien akan dipaparkan dalam artikel yang lain.

Seorang pasien yang sedang dalam pengobatan atau perawatan disuatu sarana pelayanan
kesehatan (saryankes) seringkali harus menjalani suatu tindakan medis baik untuk menyembuhan
(terapeutik) maupun untuk menunjang proses pencarian penyebab penyakitnya (diagnostik).
Pasien yang mengalami radang dan infeksi pada usus buntunya sehingga perlu dipotong melalui
operasi, maka operasi ini termasuk tindakan medis terapeutik. Pada kasus penyakit lain, kadang-
kadang dokter yang merawat perlu melakukan tindakan medis diagnostik, misalnya biopsi,
pemeriksaan radiologi khusus, atau pengambilan cairan tubuh untuk pemeriksaan lebih lanjut
guna memperjelas penyebab penyakit.

Hak atas informasi


Sebelum melakukan tindakan medis tersebut, dokter seharusnya akan meminta persetujuan dari
pasien. Untuk jenis tindakan medis ringan, persetujuan dari pasien dapat diwujudkan secara lisan
atau bahkan hanya dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa pasien setuju, misalnya
mengangguk. Untuk tindakan medis yang lebih besar atau beresiko, persetujuan ini diwujudkan
dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis. Dalam proses ini, pasien
sebenarnya memiliki beberapa hak sebelum menyatakan persetujuannya, yaitu :
Pasien berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis yang akan
dialaminya. Informasi ini akan diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan atau petugas
medis lain yang diberi wewenang. Informasi ini meliputi :
* Bentuk tindakan medis
* Prosedur pelaksanaannya
* Tujuan dan keuntungan dari pelaksanaannya
* Resiko dan efek samping dari pelaksanaannya
* Resiko / kerugian apabila rencana tindakan medis itu tidak dilakukan
* Alternatif lain sebagai pengganti rencana tindakan medis itu, termasuk keuntungan dan
kerugian dari masing-masing alternatif tersebut

Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan diterimanya
tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas,
Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau
membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya,
Pasien berhak menolak rencana tindakan medis tersebut

Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien SEBELUM rencana tindakan medis
dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa
tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk
berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.

Kriteria pasien yang berhak


Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju. Syarat
seorang pasien yang boleh memberikan pernyatan, yaitu :

Pasien tersebut sudah dewasa. Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas usia
dewasa, namun secara umum bisa digunakan batas 21 tahun. Pasien yang masih dibawah batas
umur ini tapi sudah menikah termasuk kriteria pasien sudah dewasa.
Pasien dalam keadaan sadar. Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan,
koma, atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lain.
Berarti, pasien harus bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
Pasien dalam keadaan sehat akal.

Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan terhadap
rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas, bukan
orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang lainnya.
Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak
untuk menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan medis yang akan
dilakukan kepada dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan diwakili oleh wali
keluarga atau wali hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak memberikan
persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan wali lainnya yang sah. Bila
pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau kehilangan akal sehat, maka
suami/istrinya merupakan yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila memang dia
setuju.

Hak suami/istri pasien


Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan sebagai
suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan
persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk
keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga memenuhi kriteria
“dalam keadaan sadar dan sehat akal”.
Beberapa jenis tindakan medis tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan
tindakan medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien
tersebut.

Dalam keadaan gawat darurat


Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini bisa saja
tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat.
Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien.
Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan /
prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk
mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.

Tidak berarti kebal hukum


Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya
yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan
medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian,
kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap
bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum.
Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko
sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien
bersedia menerima APAPUN resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa
pasien TIDAK AKAN menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak
menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya
dalam melaksanakan tindakan medis.

----- o0o -----

posted by RanoCenter | 12:30 PM

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator
Number of posts: 6209
Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Mon May 03, 2010 6:47 am

CONTOH
INFORMED CONSENT FOR LASER IN-SITU KERATOMILEUSIS (LASIK) Informed
consent UNTUK LASER IN-SITU Keratomileusis (LASIK)
INTRODUCTION PENDAHULUAN

This information is being provided to you so that you can make an informed decision about the
use of a device known as a microkeratome, combined with the use of a device known as an
excimer laser, to perform LASIK. LASIK is one of a number of alternatives for correcting
nearsightedness, farsightedness and astigmatism. In LASIK, the microkeratome is used to shave
the cornea to create a flap. The flap then is opened like the page of a book to expose tissue just
below the cornea's surface. Next, the excimer laser is used to remove ultra-thin layers from the
cornea to reshape it to reduce nearsightedness. Finally, the flap is returned to its original position,
without sutures. Informasi ini disediakan untuk Anda sehingga Anda dapat membuat keputusan
informasi tentang penggunaan perangkat yang dikenal sebagai sebuah microkeratome,
dikombinasikan dengan penggunaan perangkat yang dikenal sebagai laser excimer, untuk
melakukan LASIK. LASIK merupakan salah satu dari sejumlah alternatif untuk mengoreksi
rabun jauh, rabun dekat dan Silindris. Dalam LASIK, microkeratome digunakan untuk mencukur
kornea untuk membuat penutup permukaan tersebut. flap kemudian dibuka seperti halaman buku
untuk mengekspos jaringan hanya kornea yang di bawah ini,. Berikutnya laser excimer
digunakan untuk menghapus-lapisan ultra tipis dari kornea untuk membentuk kembali itu untuk
mengurangi rabun. Akhirnya, flap dikembalikan ke posisi semula, tanpa jahitan.

LASIK is an elective procedure: There is no emergency condition or other reason that requires or
demands that you have it performed. You could continue wearing contact lenses or glasses and
have adequate visual acuity. LASIK merupakan prosedur elektif: Tidak ada kondisi darurat atau
alasan lain yang memerlukan atau tuntutan bahwa Anda telah itu dilakukan. Anda bisa
melanjutkan memakai lensa kontak atau kacamata dan memiliki ketajaman visual yang memadai.
This procedure, like all surgery, presents some risks, many of which are listed below. You
should also understand that there may be other risks not known to your doctor, which may
become known later. Despite the best of care, complications and side effects may occur; should
this happen in your case, the result might be affected even to the extent of making your vision
worse. Prosedur ini, seperti operasi semua, menyajikan beberapa risiko, banyak yang tercantum
di bawah ini.. harus Anda juga memahami bahwa mungkin ada risiko lain yang tidak diketahui
akan ke dokter, yang bisa menjadi dikenal kemudian Meskipun yang terbaik dari perawatan,
komplikasi dan efek samping mungkin terjadi, harus ini terjadi dalam kasus Anda, hasilnya
mungkin akan terpengaruh bahkan sampai membuat visi Anda lebih parah.
ALTERNATIVES TO LASIK ALTERNATIVES UNTUK LASIK
If you decide not to have LASIK, there are other methods of correcting your nearsightedness,
farsightedness or astigmatism. These alternatives include, among others, eyeglasses, contact
lenses and other refractive surgical procedures. Jika Anda memutuskan untuk tidak memiliki
LASIK, ada metode lain untuk mengoreksi rabun jauh Anda, rabun dekat atau astigmatisme.
Alternatif-alternatif ini, antara lain, kacamata lensa kontak, dan lain prosedur bedah refraksi.
PATIENT CONSENT PASIEN Consent

In giving my permission for LASIK, I understand the following: The long-term risks and effects
of LASIK are unknown. I have received no guarantee as to the success of my particular case.
Dalam memberikan izin saya untuk LASIK, saya mengerti hal berikut:-risiko jangka panjang dan
dampak LASIK tidak diketahui. Saya telah menerima jaminan untuk keberhasilan kasus tertentu
saya. I understand that the following risks are associated with the procedure: Saya memahami
bahwa risiko berikut terkait dengan prosedur:
VISION THREATENING COMPLICATIONS VISI mengancam KOMPLIKASI

1. I understand that the microkeratome or the excimer laser could malfunction, requiring the
procedure to be stopped before completion. Depending on the type of malfunction, this may or
may not be accompanied by visual loss. Saya mengerti bahwa microkeratome atau laser excimer
bisa kerusakan, membutuhkan prosedur harus dihentikan sebelum selesai. Tergantung pada jenis
kerusakan, hal ini mungkin atau mungkin tidak disertai dengan kehilangan penglihatan.

2. I understand that, in using the microkeratome, instead of making a flap, an entire portion of
the central cornea could be cut off, and very rarely could be lost. If preserved, I understand that
my doctor would put this tissue back on the eye after the laser treatment, using sutures, according
to the ALK procedure method. It is also possible that the flap incision could result in an
incomplete flap, or a flap that is too thin. If this happens, it is likely that the laser part of the
procedure will have to be postponed until the cornea has a chance to heal sufficiently to try to
create the flap again. Saya mengerti bahwa, dalam menggunakan microkeratome itu, alih-alih
membuat flap, sebuah bagian seluruh kornea pusat dapat dipotong, dan sangat jarang bisa hilang.
Jika diawetkan, saya memahami bahwa dokter akan menempatkan jaringan ini kembali pada
mata setelah perawatan laser, menggunakan jahitan, sesuai dengan metode prosedur Alk. Hal ini
juga kemungkinan bahwa insisi flap bisa mengakibatkan flap tidak lengkap, atau flap yang
terlalu tipis. Jika hal ini terjadi, kemungkinan bahwa bagian laser prosedur ini harus ditunda
sampai kornea memiliki kesempatan untuk menyembuhkan cukup untuk mencoba membuat
tutup lagi.

3. I understand that irregular healing of the flap could result in a distorted cornea. This would
mean that glasses or contact lenses may not correct my vision to the level possible before
undergoing LASIK. If this distortion in vision is severe, a partial or complete corneal transplant
might be necessary to repair the cornea. Saya memahami bahwa penyembuhan tidak teratur flap
bisa mengakibatkan kornea terdistorsi.. Ini berarti bahwa kacamata lensa kontak atau mungkin
saya tidak benar visi ke tingkat mungkin sebelum menjalani LASIK Jika ini distorsi dalam visi
parah, transplantasi kornea lengkap atau parsial mungkin diperlukan untuk memperbaiki kornea.
4. I understand that it is possible a perforation of the cornea could occur, causing devastating
complications, including loss of some or all of my vision. This could also be caused by an
internal or external eye infection that could not be controlled with antibiotics or other means.
Saya memahami bahwa adalah mungkin suatu perforasi kornea yang dapat terjadi, menyebabkan
komplikasi yang merusak, termasuk kehilangan sebagian atau semua visi saya. Ini bisa juga
disebabkan oleh infeksi mata eksternal atau internal yang tidak dapat dikontrol dengan antibiotik
atau sarana lainnya .

5. I understand that mild or severe infection is possible. Mild infection can usually be treated
with antibiotics and usually does not lead to permanent visual loss. Severe infection, even if
successfully treated with antibiotics, could lead to permanent scarring and loss of vision that may
require corrective laser surgery or, if very severe, corneal transplantation or even loss of the eye.
5,. Saya mengerti ringan atau berat bahwa infeksi adalah ringan. Mungkin bisa infeksi biasanya
diobati dengan antibiotik dan biasanya tidak mengarah ke parah visual permanen. Rugi infeksi,
bahkan jika berhasil diobati dengan antibiotik bisa menimbulkan jaringan parut permanen dan
kehilangan visi bahwa mungkin memerlukan pembedahan laser perbaikan atau, jika sangat
parah, transplantasi kornea atau bahkan kehilangan mata.

6. I understand that I could develop keratoconus. Keratoconus is a degenerative corneal disease


affecting vision that occurs in approximately 1/2000 in the general population. While there are
several tests that suggest which patients might be at risk, this condition can develop in patients
who have normal preoperative topography (a map of the cornea obtained before surgery) and
pachymetry (corneal thickness measurement) . 6. Saya memahami bahwa saya bisa
mengembangkan keratoconus. Keratoconus adalah penyakit degeneratif yang mempengaruhi
kornea visi yang terjadi pada sekitar 1 / 2000 pada populasi umum. Meskipun ada beberapa tes
yang menyarankan pasien yang mungkin berisiko, kondisi ini dapat berkembang pada pasien
yang memiliki topografi pra operasi normal (peta kornea diperoleh sebelum operasi) dan
pachymetry (pengukuran ketebalan kornea). Since keratoconus may occur on its own, there is no
absolute test that will ensure a patient will not develop keratoconus following laser vision
correction. Sejak keratoconus dapat terjadi dengan sendirinya, tidak ada tes mutlak yang akan
memastikan pasien tidak akan mengembangkan visi keratoconus berikut koreksi laser. Severe
keratoconus may need to be treated with a corneal transplant while mild keratoconus can be
corrected by glasses or contact lenses. keratoconus berat mungkin perlu diobati dengan
transplantasi kornea sementara keratoconus ringan dapat dikoreksi dengan kacamata atau lensa
kontak.

7. I understand that other very rare complications threatening vision include, but are not limited
to, corneal swelling, corneal thinning (ectasia), appearance of “floaters” and retinal detachment,
hemorrhage, venous and arterial blockage, cataract formation, total blindness, and even loss of
my eye. 7,. Aku mengerti sangat langka lainnya yang mengancam visi komplikasi termasuk
tetapi tidak terbatas pada, kornea bengkak, penipisan kornea (ektasia), penampilan dari "floaters"
dan ablasi retina, perdarahan, dan penyumbatan arteri vena, pembentukan katarak, kebutaan
total, dan bahkan hilangnya mata saya.

NON-VISION THREATENING SIDE EFFECTS VISI NON-EFEK SAMPING mengancam

1. I understand that there may be increased sensitivity to light, glare, and fluctuations in the
sharpness of vision. I understand these conditions usually occur during the normal stabilization
period of from one to three months, but they may also be permanent. Saya mengerti bahwa ada
peningkatan sensitivitas terhadap cahaya, cahaya silau, dan fluktuasi ketajaman penglihatan.
Saya memahami kondisi ini biasanya terjadi selama periode stabilisasi normal dari satu sampai
tiga bulan, tetapi mereka mungkin juga permanen.

2. I understand that there is an increased risk of eye irritation related to drying of the corneal
surface following the LASIK procedure. These symptoms may be temporary or, on rare
occasions, permanent, and may require frequent application of artificial tears and/or closure of
the tear duct openings in the eyelid. Saya mengerti bahwa ada peningkatan risiko iritasi mata
terkait dengan pengeringan permukaan kornea setelah prosedur LASIK. Gejala ini mungkin
sementara atau, pada kesempatan langka, permanen, dan mungkin memerlukan aplikasi yang
sering air mata buatan dan / atau penutupan bukaan saluran air mata di kelopak mata.

3. I understand that an overcorrection or undercorrection could occur, causing me to become


farsighted or nearsighted or increase my astigmatism and that this could be either permanent or
treatable. I understand an overcorrection or undercorrection is more likely in people over the age
of 40 years and may require the use of glasses for reading or for distance vision some or all of
the time. Saya memahami bahwa overcorrection atau undercorrection dapat terjadi, membuat
saya menjadi rabun dekat atau rabun jauh atau meningkatkan Silindris saya dan bahwa ini bisa
menjadi baik permanen atau bisa diobati. Saya memahami sebuah overcorrection atau
undercorrection lebih mungkin pada orang berusia lebih dari 40 tahun dan dapat memerlukan
penggunaan kacamata untuk membaca visi atau untuk jarak beberapa atau semua waktu.

4. After refractive surgery, a certain number of patients experience glare, a “starbursting” or halo
effect around lights, or other low-light vision problems that may interfere with the ability to drive
at night or see well in dim light. The exact cause of these visual problems is not currently known;
some ophthalmologists theorize that the risk may be increased in patients with large pupils or
high degrees of correction. For most patients, this is a temporary condition that diminishes with
time or is correctable by wearing glasses at night or taking eye drops. For some patients,
however, these visual problems are permanent. I understand that my vision may not seem as
sharp at night as during the day and that I may need to wear glasses at night or take eye drops. I
understand that it is not possible to predict whether I will experience these night vision or low
light problems, and that I may permanently lose the ability to drive at night or function in dim
light because of them. I understand that I should not drive unless my vision is adequate. Setelah
operasi bias, sejumlah pasien mengalami silau, sebuah "starbursting" atau efek halo sekitar
lampu, atau masalah visi-cahaya rendah lain yang dapat mengganggu kemampuan untuk
mengemudi pada malam hari atau melihat dengan baik dalam cahaya redup. Penyebab tepat
masalah-masalah visual saat ini tidak diketahui, beberapa dokter mata berteori bahwa risiko
dapat ditingkatkan pada pasien dengan pupil besar atau derajat yang tinggi koreksi. Bagi
sebagian besar pasien, ini adalah kondisi sementara yang berkurang dengan waktu atau
diperbaiki dengan memakai kacamata pada malam hari atau mengambil tetes mata.. Untuk
beberapa pasien, namun, visual masalah ini tetap saya memahami bahwa visi saya mungkin tidak
setajam pada malam hari saat siang hari dan bahwa saya mungkin harus memakai kacamata pada
malam hari atau mengambil tetes mata. Saya memahami bahwa tidak mungkin untuk
memprediksi apakah saya akan mengalami visi ini malam atau masalah cahaya rendah, dan
bahwa aku secara permanen mungkin kehilangan kemampuan mengemudi di malam hari atau
fungsi di lampu redup karena mereka. Saya memahami bahwa saya tidak harus drive kecuali visi
saya adalah memadai.

5. I understand that I may not get a full correction from my LASIK procedure and this may
require future enhancement procedures, such as more laser treatment or the use of glasses or
contact lenses. Saya mengerti bahwa saya tidak mungkin mendapatkan koreksi penuh dari
prosedur LASIK saya dan ini mungkin memerlukan prosedur tambahan di masa depan, seperti
laser lebih atau penggunaan kacamata atau lensa kontak.

6. I understand that there may be a “balance” problem between my two eyes after LASIK has
been performed on one eye, but not the other. This phenomenon is called anisometropia. I
understand this would cause eyestrain and make judging distance or depth perception more
difficult. I understand that my first eye may take longer to heal than is usual, prolonging the time
I could experience anisometropia. Saya memahami bahwa mungkin ada saldo "" masalah antara
dua mata setelah LASIK telah dilakukan pada satu mata, tetapi tidak yang lain. Fenomena ini
disebut anisometropia. Aku mengerti ini akan menyebabkan kelelahan mata dan membuat jarak
atau kedalaman menilai persepsi lebih sulit . Saya memahami bahwa mata pertama saya mungkin
membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh daripada biasanya, memperpanjang waktu saya
dapat pengalaman anisometropia.

7. I understand that, after LASIK, the eye may be more fragile to trauma from impact. Evidence
has shown that, as with any scar, the corneal incision will not be as strong as the cornea
originally was at that site. I understand that the treated eye, therefore, is somewhat more
vulnerable to all varieties of injuries, at least for the first year following LASIK. I understand it
would be advisable for me to wear protective eyewear when engaging in sports or other activities
in which the possibility of a ball, projectile, elbow, fist, or other traumatizing object contacting
the eye may be high. Saya memahami bahwa, setelah LASIK, mata mungkin lebih rapuh
terhadap trauma dari dampak. Bukti menunjukkan bahwa, seperti bekas luka, irisan kornea tidak
akan sekuat kornea awalnya ada di situs tersebut. Saya memahami bahwa diperlakukan mata,
karena itu, agak lebih rentan terhadap semua varietas dari cedera, setidaknya untuk tahun
pertama setelah LASIK. Aku mengerti itu akan dianjurkan bagi saya untuk memakai pelindung
mata ketika melakukan olahraga atau kegiatan lain yang kemungkinan bola, proyektil, siku,
tangan, atau benda lainnya menghubungi trauma mata mungkin tinggi.
8. I understand that there is a natural tendency of the eyelids to droop with age and that eye
surgery may hasten this process. Saya memahami bahwa ada kecenderungan alamiah dari
kelopak mata untuk menunduk dengan usia dan bahwa operasi mata dapat segera proses ini.

9. I understand that there may be pain or a foreign body sensation, particularly during the first 48
hours after surgery. Saya mengerti bahwa mungkin ada rasa sakit atau sensasi benda asing,
terutama selama 48 jam pertama setelah operasi.

10. I understand that temporary glasses either for distance or reading may be necessary while
healing occurs and that more than one pair of glasses may be needed. Saya memahami bahwa
gelas sementara baik untuk jarak jauh atau mungkin perlu membaca sementara penyembuhan
terjadi dan lebih dari satu kacamata mungkin diperlukan.

11. I understand that the long-term effects of LASIK are unknown and that unforeseen
complications or side effects could possibly occur. Saya mengerti bahwa efek jangka panjang
LASIK tidak diketahui dan yang tak terduga komplikasi atau efek samping yang mungkin
terjadi.

12. I understand that visual acuity I initially gain from LASIK could regress, and that my vision
may go partially back to a level that may require glasses or contact lens use to see clearly. Saya
memahami bahwa ketajaman visual pada awalnya saya peroleh dari LASIK bisa regresi, dan
bahwa visi saya mungkin pergi sebagian kembali ke tingkat yang mungkin memerlukan
kacamata atau lensa kontak digunakan untuk melihat dengan jelas.

13. I understand that the correction that I can expect to gain from LASIK may not be perfect. I
understand that it is not realistic to expect that this procedure will result in perfect vision, at all
times, under all circumstances, for the rest of my life. Saya mengerti bahwa koreksi yang dapat
saya harapkan untuk memperoleh dari LASIK mungkin tidak sempurna. Aku mengerti bahwa
tidak realistis untuk mengharapkan bahwa prosedur ini akan menghasilkan visi yang sempurna,
setiap saat, dalam semua keadaan, selama sisa hidupku . I understand I may need glasses to
refine my vision for some purposes requiring fine detailed vision after some point in my life, and
that this might occur soon after surgery or years later. Saya mengerti saya mungkin perlu
kacamata untuk memperbaiki visi saya untuk beberapa tujuan yang membutuhkan visi rinci baik-
baik saja setelah beberapa titik dalam hidup saya, dan bahwa hal ini mungkin terjadi segera
setelah operasi atau tahun kemudian.

14. I understand that I may be given medication in conjunction with the procedure and that my
eye may be patched afterward. I therefore, understand that I must not drive the day of surgery
and not until I am certain that my vision is adequate for driving. Saya memahami bahwa saya
dapat diberikan obat-obatan dalam hubungannya dengan prosedur dan bahwa mata saya mungkin
ditambal sesudahnya. Karena itu, mengerti bahwa saya tidak harus drive hari operasi dan tidak
sampai saya yakin bahwa visi saya adalah cukup untuk berkendara.

15. I understand that if I currently need reading glasses, I will still likely need reading glasses
after this treatment. It is possible that dependence on reading glasses may increase or that reading
glasses may be required at an earlier age if I have this surgery. Saya memahami bahwa jika saya
saat ini membutuhkan kacamata baca, saya masih akan mungkin perlu kacamata baca setelah
perawatan ini. Hal ini dimungkinkan bahwa ketergantungan pada kacamata baca dapat
meningkat atau kacamata baca yang mungkin diperlukan pada usia lebih dini jika saya menjalani
operasi ini.

16. Even 90% clarity of vision is still slightly blurry. Enhancement surgeries can be performed
when vision is stable UNLESS it is unwise or unsafe. Bahkan 90% kejelasan visi masih sedikit
buram operasi. Peningkatan dapat dilakukan ketika visi KECUALI stabil itu tidak bijaksana atau
tidak aman. If the enhancement is performed within the first six months following surgery, there
generally is no need to make another cut with the microkeratome. The original flap can usually
be lifted with specialized techniques. After 6 months of healing, a new LASIK incision may be
required, incurring greater risk. In order to perform an enhancement surgery, there must be
adequate tissue remaining. If there is inadequate tissue, it may not be possible to perform an
enhancement. An assessment and consultation will be held with the surgeon at which time the
benefits and risks of an enhancement surgery will be discussed. Jika perangkat tambahan tersebut
dilakukan dalam enam bulan pertama setelah operasi, ada umumnya tidak perlu membuat lagi
dipotong dengan microkeratome itu.. Asli dapat flap biasanya diangkat khusus dengan teknik
Setelah 6 bulan penyembuhan, sayatan LASIK baru mungkin diperlukan yang lebih besar
menimbulkan risiko. Dalam rangka untuk melakukan operasi tambahan, harus ada sisa jaringan
yang cukup. Jika ada jaringan yang tidak memadai, tidak mungkin untuk melakukan perangkat
tambahan. Sebuah penilaian dan konsultasi akan diadakan dengan dokter bedah di mana waktu
manfaat dan risiko dari operasi perangkat tambahan akan dibahas.

17. I understand that, as with all types of surgery, there is a possibility of complications due to
anesthesia, drug reactions, or other factors that may involve other parts of my body. I understand
that, since it is impossible to state every complication that may occur as a result of any surgery,
the list of complications in this form may not be complete. Saya memahami bahwa, seperti
halnya dengan semua jenis operasi, ada kemungkinan komplikasi karena anestesi, obat reaksi,
atau faktor lainnya yang mungkin melibatkan bagian lain dari tubuh saya. Saya memahami
bahwa, karena tidak mungkin untuk menyatakan setiap komplikasi yang mungkin terjadi sebagai
hasil dari operasi apapun, daftar komplikasi dalam bentuk ini tidak mungkin lengkap.

FOR PRESBYOPIC PATIENTS (those requiring a separate prescription for reading): The option
of monovision has been discussed with my ophthalmologist. UNTUK PASIEN PRESBYOPIC
(yang memerlukan resep terpisah untuk membaca): Opsi dari monovision telah didiskusikan
dengan dokter mata saya.

PATIENT'S STATEMENT OF ACCEPTANCE AND UNDERSTANDING PASIEN'S


LAPORAN PENERIMAAN DAN PENGERTIAN

The details of the procedure known as LASIK have been presented to me in detail in this
document and explained to me by my ophthalmologist. My ophthalmologist has answered all my
questions to my satisfaction. I therefore consent to LASIK surgery on: Rincian prosedur yang
dikenal sebagai LASIK telah disajikan kepada saya secara rinci dalam dokumen ini dan
menjelaskan kepada saya oleh dokter mata saya. Saya. Dokter mata telah menjawab semua
pertanyaan saya saya untuk kepuasan Karena itu saya setuju untuk operasi LASIK pada:

_________ Right eye ___________ Left eye _________ Both eyes _________ ___________
Mata kanan mata Waktu _________ Kedua mata

I give permission for my ophthalmologist to record on video or photographic equipment my


procedure, for purposes of education, research, or training of other health care professionals. I
also give my permission for my ophthalmologist to use data about my procedure and subsequent
treatment to further understand LASIK. I understand that my name will remain confidential,
unless I give subsequent written permission for it to be disclosed outside my ophthalmologist's
office or the center where my LASIK procedure will be performed. Saya memberi izin untuk
dokter mata saya untuk merekam video atau peralatan fotografi prosedur saya, untuk tujuan
pendidikan, penelitian, atau pelatihan dari para profesional perawatan kesehatan lainnya untuk.
Saya juga memberikan saya izin untuk dokter mata untuk menggunakan data saya tentang
prosedur selanjutnya dan perawatan lebih lanjut LASIK mengerti. Saya memahami bahwa nama
saya akan tetap rahasia, kecuali aku memberi izin tertulis selanjutnya agar bisa diungkapkan di
luar kantor saya yang dokter mata atau pusat di mana prosedur LASIK saya akan dilakukan.

gambargambar Patient Name Date Witness Name Date Nama Pasien Tanggal Tanggal Nama
Saksi

I have been offered a copy of this consent form (please initial) _____ Saya telah menawarkan
salinan formulir persetujuan (mohon awal) _____

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 
gitahafas
Moderator

Number of posts: 6209


Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Mon May 03, 2010 6:51 am

CONTOH
Informed consent UNTUK operasi katarak

WHAT IS A CATARACT AND HOW IS IT TREATED? APA DAN BAGAIMANA katarak


DIKERJAKAN IS IT?

The lens in the eye can become cloudy and hard, a condition known as a cataract. Cataracts can
develop from normal aging, from an eye injury, or if you have taken medications known as
steroids. Cataracts may cause blurred vision, dulled vision, sensitivity to light and glare, and/or
ghost images. If the cataract changes vision so much that it interferes with your daily life, the
cataract may need to be removed. Lensa mata dapat menjadi mendung dan keras, kondisi yang
dikenal sebagai katarak.. Katarak dapat mengembangkan normal dari penuaan, dari mata luka,
atau jika Anda telah mengambil obat yang dikenal sebagai steroid Katarak dapat menyebabkan
penglihatan kabur, tumpul visi, sensitivitas terhadap cahaya dan silau, dan / atau gambar hantu
untuk. Jika perubahan katarak visi begitu banyak sehingga mengganggu sehari-hari Anda dengan
kehidupan, katarak mungkin perlu dihapus. Surgery is the only way to remove a cataract.
Pembedahan merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan katarak. You can decide not to
have the cataract removed. If you don't have the surgery, your vision loss from the cataract will
continue to get worse. Anda dapat memutuskan untuk tidak memiliki katarak dihapus. Jika Anda
tidak memiliki operasi, kerugian Anda visi dari katarak akan terus memburuk.

HOW WILL REMOVING THE CATARACT AFFECT MY VISION? CARA


MENGHILANGKAN AKAN katarak mempengaruhi VISI SAYA?

The goal of cataract surgery is to correct the decreased vision that was caused by the cataract.
During the surgery, the ophthalmologist (eye surgeon) removes the cataract and puts in a new
artificial lens called an intraocular lens or IOL. Cataract surgery will not correct other causes of
decreased vision, such as glaucoma, diabetes, or age-related macular degeneration. Most people
still need to wear glasses or contact lens after cataract surgery for either near and/or distance
vision and astigmatism. Tujuan dari operasi katarak adalah untuk memperbaiki visi mengalami
penurunan yang disebabkan oleh katarak. Selama operasi, dokter mata (ahli bedah mata)
menghilangkan katarak dan menempatkan di lensa buatan baru yang disebut lensa intraokuler
atau IOL operasi. Katarak tidak akan benar penyebab lain dari visi menurun, seperti glaukoma,
diabetes, atau degenerasi makula terkait usia. Kebanyakan orang masih harus memakai kacamata
atau lensa kontak setelah operasi katarak baik untuk dekat dan / atau visi jarak dan Silindris.

WHAT TYPES OF IOLs ARE AVAILABLE? JENIS APA YANG TERSEDIA IOLs?

Your ophthalmologist will help you decide on the type of IOL that will replace your cloudy lens.
There are IOLs available to treat nearsightedness (myopia), farsightedness (hyperopia), and
astigmatism. IOLs usually provide either near or distance vision: these single focus lenses are
called monofocal IOLs. Some newer IOLs can provide for near, intermediate, and distance
vision: these multiple focus lenses are called multifocal IOLs. IOLs that treat astigmatism are
called toric IOLs. You can also have one eye corrected for near vision, and the other for distance
vision, a choice called monovision. dokter mata Anda akan membantu Anda memutuskan jenis
IOL yang akan menggantikan lensa berawan Anda,. Ada IOLs tersedia untuk mengobati rabun
jauh (miopia), rabun dekat (hyperopia) dan astigmatisme. IOLs biasanya memberikan jarak dekat
atau visi baik: ini fokus lensa tunggal disebut IOLs monofocal,. baru Beberapa IOLs dapat
menyediakan untuk dekat, menengah dan jarak visi: beberapa fokus lensa ini disebut IOLs
multifocal. IOLs yang memperlakukan Silindris disebut IOLs toric,. dapat Anda juga memiliki
satu mata dikoreksi dekat untuk visi dan lain untuk visi jarak, sebuah monovision disebut pilihan.

WHAT IS ASTIGMATISM? ARE THERE OTHER TREATMENTS FOR IT? APAKAH


Silindris? ADA YANG LAIN UNTUK PENGOBATAN TI?

Patients with nearsightedness and farsightedness often also have astigmatism. An astigmatism is
caused by an irregularly shaped cornea; instead of being round like a basketball, the cornea is
shaped like a football. This can make your vision blurry. In addition to toric IOLs, astigmatism
can be reduced by glasses, contact lenses, and refractive surgery (LASIK or PRK). There is also
a procedure called a limbal relaxing incision (LRI), which can be done at the same time as the
cataract operation, or as a separate procedure. A limbal relaxing incision (LRI) is a small cut or
incision the ophthalmologist makes into your cornea to make its shape rounder. Any attempt at
astigmatism reduction could result in over- or under-correction, in which case glasses, contact
lenses, or another procedure may be needed. Pasien dengan rabun jauh dan rabun dekat sering
juga memiliki Silindris; An. Silindris disebabkan oleh tidak teratur berbentuk sebuah kornea
bukannya bulat seperti bola basket, kornea berbentuk seperti bola. Hal ini dapat membuat kabur
visi Anda. Selain IOLs toric, Silindris dapat dikurangi dengan kacamata, lensa kontak, dan
operasi refraksi (LASIK atau PRK). Ada juga sebuah prosedur yang disebut irisan santai limbal
(LRI), yang dapat dilakukan pada waktu yang sama dengan operasi katarak, atau sebagai
prosedur terpisah ). santai limbal Sebuah insisi (LRI adalah irisan dipotong kecil atau dokter
mata ke kornea membuat Anda untuk membuat bentuknya bulat. Setiap upaya pengurangan
Silindris bisa mengakibatkan over-atau-koreksi di bawah, dalam hal ini kacamata, lensa kontak,
atau prosedur lain mungkin diperlukan.
WHAT ARE THE MAJOR RISKS OF CATARACT SURGERY? APA SAJA RISIKO
MAYOR OF operasi katarak?

All operations and procedures are risky and can result in unsuccessful results, complications,
injury, or even death, from both known and unknown causes. The major risks of cataract surgery
include, but are not limited to bleeding; infection; injury to parts of the eye and nearby structures
from the anesthesia, the operation itself, or pieces of the lens that cannot be removed; high eye
pressure; a detached retina, and a droopy eyelid. The major risks of a limbal relaxing incision are
similar to those for cataract surgery, but also include loss of vision, damage to the cornea, and
scarring; under- or over-correction could occur. Semua operasi dan prosedur yang berisiko dan
dapat menyebabkan hasil tidak berhasil, komplikasi, cedera, atau bahkan kematian, dari kedua
dikenal dan tidak diketahui penyebab,. Utama Risiko operasi katarak termasuk tetapi tidak
terbatas pada perdarahan, infeksi, cedera pada bagian mata dan struktur di dekatnya dari anestesi,
operasi itu sendiri, atau potongan lensa yang tidak dapat dihapus; tekanan mata tinggi; sebuah
retina terlepas, dan kelopak mata droopy. Risiko utama dari sayatan santai limbal adalah sama
dengan yang untuk operasi katarak , tetapi juga termasuk kehilangan penglihatan, kerusakan
kornea, dan jaringan parut; bawah atau over-koreksi dapat terjadi.

Depending upon your eye and the type of IOL, you may have increased night glare or halos,
double vision, ghost images, impaired depth perception, blurry vision, and trouble driving at
night. The ophthalmologist might not be able to put in the IOL you choose. In addition, the IOL
may later need to be repositioned or replaced. Tergantung pada mata Anda dan jenis IOL, Anda
mungkin telah meningkatkan silau malam atau halos, penglihatan ganda, gambar hantu,
gangguan persepsi kedalaman, pandangan kabur, dan kesulitan mengemudi di malam hari.
Dokter mata tidak mungkin bisa diletakkan di IOL Anda memilih. Di samping itu, IOL nanti
mungkin perlu posisinya atau diganti.

Depending upon the type of anesthesia, other risks are possible, including cardiac and respiratory
problems, and, in rare cases, death. Tergantung pada jenis anestesi, risiko lainnya yang mungkin,
termasuk masalah jantung dan pernafasan, dan, dalam kasus yang jarang terjadi, kematian.

There is no guarantee that cataract surgery or astigmatism reduction will improve your vision. As
a result of the surgery and/or anesthesia, it is possible that your vision could be made worse. In
some cases, complications may occur weeks, months or even years later. These and other
complications may result in poor vision, total loss of vision, or even loss of the eye in rare
situations. You may need additional treatment or surgery to treat these complications. This
additional treatment is not included in the fee for this procedure. Tidak ada jaminan bahwa
pengurangan atau operasi katarak astigmatisme akan meningkatkan visi Anda.. Sebagai hasil dari
operasi dan / atau anestesi, mungkin Anda bahwa visi bisa dibuat lebih buruk Dalam beberapa
kasus, komplikasi dapat terjadi minggu, bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian. ini dan
komplikasi lain dapat menyebabkan visi miskin, kehilangan penglihatan total, atau bahkan
hilangnya mata dalam situasi langka.. Anda mungkin perlu tambahan perawatan atau operasi
untuk mengobati komplikasi pengobatan tambahan ini tidak termasuk dalam biaya untuk ini
prosedur.
PATIENT'S ACCEPTANCE OF RISKS PASIEN'S PENERIMAAN RISIKO

I understand that it is impossible for the doctor to inform me of every possible complication that
may occur. By signing below, I agree that my doctor has answered all of my questions, that I
have been offered a copy of this consent form, and that I understand and accept the risks,
benefits, and alternatives of cataract surgery. I have checked my choice for astigmatism
correction and type of IOL. Saya memahami bahwa tidak mungkin bagi dokter untuk
memberitahukan setiap komplikasi yang mungkin terjadi. Dengan menandatangani di bawah ini,
saya setuju bahwa dokter telah menjawab semua pertanyaan saya, bahwa saya telah menawarkan
salinan formulir persetujuan, dan bahwa Saya mengerti dan menerima risiko, manfaat, dan
alternatif tindakan operasi katarak. Saya telah memeriksa pilihan saya untuk koreksi
astigmatisme dan jenis IOL.

__________ Monofocal IOL/Glasses Option __________ IOL Monofocal / Glasses Opsi

I wish to have a cataract operation with a monofocal IOL on my _______________ (state "right"
or "left" eye) and wear glasses for _____________________ (state "near" or "distance") vision.
Saya ingin memiliki operasi katarak dengan IOL monofocal di _______________ saya (negara
bagian "kanan" atau "kiri" mata) dan memakai kacamata untuk _____________________
(negara bagian "dekat" atau "jarak") visi.

__________ Monovision with 2 IOLs Option (may still need glasses) __________ Monovision
dengan 2 Opsi IOLs (masih mungkin perlu kacamata)

I wish to have a cataract operation with two different-powered IOLs implanted to achieve
monovision. I wish to have my ______________ (state "right" or "left") eye corrected for
distance vision. I wish to have my ___________ (state "right" or "left") eye corrected for near
vision. Saya ingin memiliki operasi katarak dengan dua-powered IOLs implan yang berbeda
untuk mencapai monovision.. Saya ingin saya memiliki ______________ (negara bagian
"kanan" atau "kiri") mata mengoreksi jarak untuk visi saya ingin memiliki ___________ saya
(negara bagian "kanan "atau" kiri ") mata dikoreksi untuk visi dekat.

__________ Multifocal IOL Option (may still need glasses) __________ Multifocal IOL Opsi
(masih mungkin perlu kacamata)

I wish to have a cataract operation with a _____________________ multifocal IOL implant


(state name of implant) on my _______________ (state "right" or "left") eye. Saya ingin
memiliki operasi katarak dengan implan IOL multifocal _____________________ (nama negara
bagian implan) di _______________ saya (negara bagian "kanan" atau "kiri") mata.

__________ Toric monofocal IOL/Glasses Option for Astigmatism Reduction __________


Toric IOL monofocal / Glasses Opsi untuk Astigmatisma Pengurangan

I wish to have a cataract operation with a toric monofocal IOL on my _______________ (state
"right" or "left" eye) and wear glasses for _____________________ (state "near" or "distance")
vision. Saya ingin memiliki operasi katarak dengan IOL monofocal _______________ toric pada
saya (negara bagian "kanan" atau "kiri" mata) dan memakai kacamata untuk
_____________________ (negara bagian "dekat" atau "jarak") visi.

__________ Limbal Relaxing Incision for Astigmatism Reduction (may still need glasses)
__________ Limbal Relaxing Insisi untuk Astigmatisma Pengurangan (masih mungkin perlu
kacamata)

I wish to have a this procedure done in addition to the cataract operation. Saya ingin memiliki
prosedur ini dilakukan selain operasi katarak.

Patient (or person authorized to sign for patient) Date Pasien (atau orang yang berwenang untuk
menandatangani untuk pasien) Tanggal

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
 

gitahafas
Moderator

Number of posts: 6209


Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Informed Consent    Mon May 03, 2010 8:05 am

INFORMED CONSENT
Kevin E MD Snyder, Rebecca W JD Barat, Wei-Shin Lai MD, Spencer B MD Gay.
University of Virginia Health Sciences Center, Department of Radiology Universitas Virginia
Pusat Ilmu Kesehatan, Departemen Radiologi

This program is intended as a self tutorial for residents and medical students to learn the
elements of medical informed consent. Program ini dimaksudkan sebagai tutorial diri bagi
penduduk dan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari unsur-unsur medis informed consent.
nformed consent is a patient's right to be presented with sufficient information, by either the
physician or their representative, to allow the patient to make an informed decision regarding
whether or not to consent to a treatment or procedure. Patients generally are recognized as
having the right to refuse medical care for any reason. Their reasons may include religious
grounds as well as any other personal grounds they choose, even if you as physician consider
their grounds to be frivolous or in poor judgment.

Informed consent must be obtained by a health care provider who is reasonably involved with
the patient's care. A medical student therefore may not obtain consent, as they are not allowed to
be responsible for patient care. The legal requirement to obtain informed consent rests with the
attending physician. The attending physician may delegate his or her responsibility to obtain
informed consent to another health care provider; however, he or she remains responsible and
liable if appropriate consent is not obtained.

If informed consent is not obtExpress consent is what is normally thought of by consent, or when
the patient consents by direct words, written or oral. Virginia law requires written consent only
in cases of breast biopsy, in vitro fertilization or HIV testing. Written consent is also required for
cases to be performed in the operating room by hospital policy that is mandated for JCAHO
accreditation. In other cases, the law simply requires consent, but written consent is suggested
for the purpose of proof. Telephone consent is also acceptable, if necessary. In these cases, it is a
good idea to have a second person on the telephone, again for the purpose of proof.

Legally, informed consent is valid for a reasonable period of time. Per JCAHO, this reasonable
period of time consists of 30 days. In cases where treatments are planned in advance, such as
chemotherapy, consent may be obtained for the treatments to be provided up to 6 months in
advance.
ained, the patient has the right to sue for medical malpractice. Informed consent is necessary any
time the physician is going to either touch the patient or perform an invasive procedure.
Informed consent may further be divided into two parts. These parts include Express consent and
Implied consent.

In order for the patient to be presented with sufficient information to make an informed decision,
several elements must be included. These include discussion of the following:

Implied consent is consent arising by inference from the patient's behavior. This would include
the act of the patient standing in line to receive a vaccination.
© 2001 by the Rector & Visitors of the University of Virginia

http://dention.bravehost.com/INFORMED%20CONSENT.htm
INFORMED CONSENT
 

Informasi dalam lingkup medis, ternyata sangat penting. Meski tidak semua pasien menghendaki
penjelasan yang sejelas-jelasnya, akurat dan lengkap tahap demi tahap perawatan, tapi langkah
penjelasan untuk era saat ini justru diharuskan.

Bagi pasien yang menolak penjelasan bisa diminta untuk menandatangani surat penolakan
penjelasan perawatan, namun dokter atau dokter gigi tetap memberi kesempatan bila suatu saat
pasien berubah pendapat.

Kenapa hal ini begitu penting? Sebab tidak semua kejadian dalam pengobatan berlangsung
exactly just the way we want to. Dunia kedokteran tidak 2+2=4. Tidak ada kepastian dan garansi
dalam dunia kedokteran karena setiap kasus bagaikan teori permutasi kombinasi. Latar belakang
setiap orang berbeda, latar belakang kesehatan berbeda, derajat pengobatan yang diberikan
berbeda, reaksi tubuh terhadap sesuatu berbeda.

Jadi manalah mungkin seorang dokter dan dokter gigi yang juga manusia dapat memenuhi
dengan sempurna seluruh kriteria kasus yang ada, sedangkan setiap orang sudah pasti having
their own limit.

Oleh karena itu selain untuk menjaga kemungkinan ‘terlantar’nya pasien oleh dokter atau dokter
gigi yang mempunyai pasien banyak, atau ‘terlantar’nya dokter atau dokter gigi karena harus
menghadapi tuntutan hanya karena tidak mengkomunikasikan kemungkinan penyakit maka
dibuatlah suatu surat perjanjian hitam di atas putih. Ini yang disebut sebagai inform consent.

Seperti apakah surat inform consent itu?

Intinya inform consent merupakan surat yang menyatakan bahwa pasien diberitahu perihal
penyakit yang dideritanya, kerugian maupun keuntungan dari alternatif perawatan dan
pengobatan yang akan diberikan, penjelasan mengenai biaya yang harus dibayar dan pilihan-
pilihan lain yang memungkinkan untuk mengatasi penyakitnya.

Jadi pada dasarnya semua pasien berhak mendapatkan penjelasan sejelas-jelasnya dari dokter
dan dokter gigi yang merawat, langsung dari dokternya atau dari brosur yang dokter dan dokter
gigi berikan. Pertanyaan bisa diajukan untuk melengkapi hal-hal yang belum jelas, atau bisa
diberi penjelasan tambahan oleh asisten atau perawat dokter dan dokter gigi.

Perawatan apa saja yang butuh inform consent?


Semua perawatan yang membutuhkan tindakan, bisa dimintakan inform consent. Contohnya
dalam kedokteran gigi Perawatan Saluran Akar atau Pencabutan Gigi. Dalam perawatan gigi
anak, yang menandatangani surat persetujuan adalah orang tua atau wali.

Dokter saya sibuk sekali, sehingga tidak sempat menjelaskan apa-apa. Bagaimana ini?

Dokter yang sangat sibuk karena pasiennya banyak, bisa membuat keterangan tentang suatu
perawatan dalam bentuk tertulis, dan tetap harus disampaikan kepada pasien untuk dibaca dan
dimengerti sebelum perawatan dilaksanakan. Setidaknya dokter Anda pasti punya waktu untuk
bertanya,” Apakah sudah mengerti penjelasan tertulis yang diberikan? Apakah ada pertanyaan
lain yang berkaitan dengan hal tersebut?”

Apakah inform consent mempunyai kekuatan hukum?

Ya. Surat yang ditandatangani dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun bisa
dijadikan bukti. Dan inform consent merupakan salah satu pencegahan diri dari tindakan
malpraktek dan tuntutan malpraktek.

Apakah inform consent mempunyai efek dari segi medis dan dari segi pasien?

Ya, dokter dan dokter gigi akan bertindak lebih hati-hati untuk menghindari tuntutan malpraktek.
Namun dalam hal-hal tertentu hal tersebut bisa menaikkan cost total dari biaya perawatan pasien.
Contoh untuk mendapatkan sterilisasi yang sempurna, harus dipakai beberapa alas yang
disposable dan pembelian bahan ini tentunya harus ditanggung pasien demi keselamatan pasien
sendiri. Kehati-hatian ini juga membuat dokter dan dokter gigi enggan menempuh resiko yang
dapat berakibat fatal, misalnya mencabut gigi yang sedang dalam keadaan sakit dan terinfeksi.

Jadi apakah kita benar-benar perlu menandatangani surat inform consent sebelum
merawat gigi?

Ya, supaya Anda terlindungi. Dokter gigi pun akan terlindungi. Namun sebagai manusia sosial,
hubungan yang baik, dengan komunikasi yang baik, biasanya melindungi seseorang dari sebuah
tuntutan. Ada cerita, seorang pasien mendapatkan hasil perawatan yang tidak diinginkan dan
menuntut seorang spesialis. Kemudian ditanya, kenapa tidak menuntut dokter umum yang
merawat, kan beliau yang sejak awal mempunyai diagnosa salah. Kata pasien, saya tidak akan
menuntut dokter yang saya sukai.

Nah lo…
 

Contoh Inform Consent:

SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama   :                       (L/P)

Umur/Tgl Lahir :

Alamat :

Telp :

Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang


tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :

Nama  :                        (L/P)

Umur/Tgl Lahir

Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis


berupa…………………………………………………………………………….

Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan
penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan
yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.

                                                                                    Jakarta,………………….20……

Dokter/Pelaksana,                                                        Yang membuat pernyataan,

                       
 

Ttd                                                                                           ttd

(……………………)                                                  (…………………………..)

*Coret yang tidak  perlu

CM©030606

You might also like