You are on page 1of 11

Revitalisasi Lembaga Pengawas Internal Pemerintah

(Peran dan Kedudukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan


dalam Sistem Pengawasan Keuangan Negara)

Oleh: Arifuddin Hamid

A. Reformasi Birokrasi: Sebuah Pengantar


Bicara masalah reformasi birokrasi di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh praktek birokrasi semasa Orde Baru. Saat itu birokrasi menjadi mesin
politik, alat untuk mempertahankan kekuasaan. Pejabat politik yang mengisi
birokrasi pemerintah sangat dominan. Kewenangan yang terlalu besar itu hanya
menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebjakan dibanding pelaksana
kebijakan, lebih menguasai daripada melayani masyarakat, sehingga birokrasi
lebih dianggap sebagai sumber masalah dan tak mampu memberi solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Tahun 1998 yang dianggap sebagai pintu gerbang reformasi, dimaknai
sebagai usaha perubahan yang menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan
bernegara, seperti politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya. Reformasi juga
sering diartikan sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem, yang
bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, keberadaan atau kebiasaan yang telah
lama, atau sebagai suatu proses perubahan organisasi untuk mencapai efektivitas
dan tujuan organisasi. Inti tujuan gerakan reformasi adalah memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang sudah diwariskan, atau merombak segala tatanan
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang pernah ada. Selain itu, reformasi juga
merupakan titik awal keinginan adanya “perubahan” terhadap tata kehidupan
secara keseluruhan, termasuk juga keinginan perubahan hubungan antar tata
hukum, organisasi publik dan birokrasi pemerintahan1. Selanjutnya, reformasi
juga bertujuan terciptanya pelayanan publik yang responsif, tidak memihak dan

1
Andhika Danesjvara, Beberapa Masalah dalam Reformasi Birokrasi dan Kelembagaan di
Indonesia, makalah disampaikan dalam seminar “Reformasi Birokrasi Indonesia”,
diselenggarakan oleh DPRM UI, Balai sidang UI-Depok,16 september 2009.

1
professional, yang bertujuan mengurangi rendahnya kepercayaan (trust deficit)
terhadap peran pemerintah dalam memenuhi dan melayani kepentingan
masyarakat2.
Jatuhnya Orde Baru yang dipicu oleh krisis ekonomi telah menimbulkan
semangat reformasi di kalangan masyarakat dan para penyelenggara negara yang
menginginkan adanya demokrasi, otonomi dan kebebasan dari kekuasaan
eksekutif yang sangat kuat tanpa adanya check and balance. Segala sesuatu yang
berbau Orde Baru harus dihilangkan dan diganti oleh sesuatu yang baru tanpa
mempertimbangkan bahwa ada tatanan ataupun sistem yang sudah baik
sebelumnya. Penguatan kekuasaan ekstern yang diharapkan dapat
menyeimbangkan fungsi check and balance tersebut tidak terwujud karena
cenderung kebablasan. Yang timbul adalah ketidakseimbangan baru dimana
kekuasaan legislatif dan pengawasan eksternal menjadi sangat kuat dan eksekutif
menjadi bulan-bulanan. Berbagai komisi-komisi pembantu negara (state auxiliary
agencies) dibentuk satu persatu yang jumlahnya sudah sedemikan banyak. Hal ini
tentu menyiratkan adanya kelemahan atau ketidakefektifan dalam kelembagaan
pemerintah, yang jika tidak diperbaiki, akan berdampak pada terjadinya
delegitimizaton of the state yang berisiko ke arah failed state.
Kondisi failed state dimaksud terjadi ketika suatu negara telah gagal
menjalankan salah satu fungsi fundamentalnya secara politis yaitu menjaga
kestabilan sekaligus menjalankan fungsi pengawasan pada setiap teritori
wilayahnya sebagai wujud tegaknya kedaulatan modern nation state3
Mengacu fakta demikian, adanya tata kelola pemerintahan yang berjalan
sesuai dengan agenda reformasi adalah sebuah keharusan. Pemerintah sebagai
suatu organisasi, mempunyai peranan yang begitu penting untuk mempertahankan
stabilitas dalam kompleksitas masyarakat pada setiap perubahan institusional,
sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peranan tersebut dilakukan
melalui alat/perangkat perlengkapan negara atau institusi-institusi lain yang dapat

2
Prijono Tjiptoherijanto, Globalization and Governance: Prescription or poison?, makalah
disampaikan dalam seminar “Reformasi Birokrasi dan Kepegawaian”, Balai sidang UI-
Depok,16 september 2009.
3
Anthony Giddens, The Nation-State and It’s Violence, 1985,

2
menunjang penyelenggaraan peran negara. Organisasi yang sudah atau pernah
didirikan, akan dianggap kurang mampu berfungsi efektif jika tidak bisa
menyelesaikan permasalahan yang ada. Seandainya institusi politik, hukum
maupun sosial yang diciptakan negara, tidak mampu menangani dan mengurangi
masalah/tekanan yang mungkin muncul dalam perubahan, maka pemerintah dapat
meningkatkan atau memperluas campur tangannya secara langsung dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ini berarti, revitalisasi peran dan fungsi
lembaga negara yang bersangkutan harus menjadi sebuah kebijakan transformatif
guna mengembalikan efektivitas dan ketajaman tupoksi-nya.
Dalam perspektif akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, penguatan
sistem presidensial dilakukan melalui peningkatan efektivitas sistem pengendalian
intern yang meliputi efektivitas business process, risk management dan internal
audit. Persis dalam kondisi seperti inilah, badan pengawasan keuangan dan
pembangunan (BPKP) sesungguhnya mempunyai peran sentral dalam melakukan
pengawasan internal pemerintahan.

B. BPKP sebagai Lembaga Pengawas Internal Pemerintah


Pengawasan dalam menajemen hakikatnya diarahkan untuk menghindari
adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan
dicapai organisasi. Dalam kaitannya dengan keuangan negara, pengawasan
ditujukan untuk menghindari terjadinya korupsi, penyelewengan, dan pemborosan
anggaran negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri, atau lembaga
negara/lembaga pemerintahan yang mengelola anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN).
Dengan dijalankannya pengawasan tersebut, diharapkan mekanisme
anggaran negara dapat berjalan sebagaimana dikehendaki semula sesuai dengan
rencananya, serta benar-benar menjamin penggunaan APBN untuk tujuan
bernegara. Hak ini sejalan dengan konsep manajemen, dimana pengawasan
merupakan usaha untuk menjaga agar suatu pekerjaan dapat memperkecil
timbulnya hambatan-hambatan, yang jika telah terjadi dapat segera diketahui dan
dilakukan tindakan-tindakan perbaikannya.

3
Dalam perspektif umum, pengawasan membantu melaksanakan kebijakan
atau program yang telah ditetapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan yang telah
direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, pengawasan menciptakan suatu
sistem penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah
dilaksanakan sesuai dengan rencana. Selain itu, pengawasan dapat mendeteksi
sejauhmana penyimpangan kebijakan atau program yang terjadi dalam
pelaksanaan kerja tersebut, sehingga tidak menggangu rencana. Melalui
pengawasan diupayakan suatu penataan struktur yang meletakkan dasar-dasar
kerja yang sesungguhnya.
Pengawasan yang perlu dilakukan adalah yang seimbang antara pegangan
pada rule of law dan orientasi pencapaian tujuan (mission driven), menegakkan
kebenaran formal dan kebenaran materil, dan mencakup pengawasan preventif
dan kuratif, serta berdasarkan keseimbangan asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocent) dan asas pembuktian terbalik (presumption of guilt).
Melihat kondisi birokrasi dan pemerintahan, Azhar kasim menyatakan
bahwa telah telah terjadi tiga permasalahan laten yang menyebabkan buruknya
kualitas sistem manajemen kepemerintahan, yakni pengawasan yang masih
difokuskan pada proses penyelenggaraan kegiatan birokrasi pemerintah dan
penekanan masih pada ketaatan terhadap juklak dan juknis (rule driven) daripada
pencapaian tujuan (tupoksi) yang berorientasi pada mission driven, kapabilitas
administrasi negara masih rendah dan fungsi pengawasan belum terintegrasi
dengan baik ke dalam siklus administrasi negara, paradigma pengawasan yang
lebih menekankan pada upaya menegakkan kebenaran formal, yaitu kesesuaian
dokumen dan laporan keuangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, kurang menekankan pada upaya mencari kebenaran materiil (kenyataan
sebenarnya), serta praktek pengawasan yang lebih menekankan pada upaya kuratif
daripada preventif4.

4
Azhar Kasim, Sistem Pengawasan Internal dalam Administrasi Negara Indonesia, makalah
disampaikan dalam seminar nasional “Pengawasan Nasional dalam Sistem Pemerintahan
Presidensial: memperkuat Fungsi Lembaga Pengawasan Internal Pemerintah dalam Era
Pemerintahan Baru”, FHUI,21 Juli 2009.

4
Untuk mengatasi krisis kepercayaan terhadap pemerintah, salah satu hal
yang perlu dilakukan adalah mengembangkan kelembagaan dan alat perlengkapan
negara lainnya dalam sistem pembangunan nasional. Optimalisasi kelembagaan
dalam pelaksanaan pembangunan, diharapkan menjamin ditegakkannya
kemandirian dan independensi lembaga. Caranya dapat dilakukan dengan
membangun sistem yang mendorong, memperkuat, dan melestarikan kemampuan
untuk membangun atas prakarsa, daya dan kemampuan sendiri, serta
memperkukuh pendayagunaan potensi independensi, yang merupakan wahana
bagi masyarakat, pemerintah dan badan internasional dalam mengembangkan
wawasan untuk pembangunan nasional5.
Pengawasan yang dilakukan lembaga pengawasan internal pemerintah
merupakan bagian dari fungsi manajemen pemerintahan. Pasal 4 ayat (1) UUD
1945 menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan
undang-undang dasar”. Sebagai bagian dari proses manajemen pemerintahan
negara, presiden tidak dapat sendiri melaksanakan urusan penyelengaraan
pemerintahan umum, sehingga dalam pengawasan diperlukan lembaga yang
bertanggung jawab kepada presiden untuk menjamin semua proses manajemen
penyelenggaraan pemerintahan negara, yang kemudian dibentuk badan
pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP).
Keberadaan BPKP sebagai lembaga internal pemerintah hakikatnya
ditujukan pada tugasnya untuk mengendalikan dan mengawasi jalannya
manajemen pemerintahan negara secara umum. Hal ini tentu berkaitan dengan
kekuasaan presiden sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945,
sehingga menjadi kewenangan presiden untuk membentuk unit organisasi
pemerintah di bawah presiden yang memiliki tugas dan fungsi mengendalikan
manajemen pemerintahan negara dan mengawasi pengelolaan APBN yang
diserahkan kepada menteri/pimpinan lembaga.
Peraturan pemerintah yang merupakan operasionalisasi dari pasal 58 (1)
undang-undang No.1/2004 tentang perbendaharaan negara adalah jawaban
terhadap tidak adanya instrumen control presiden terhadap akuntabilitas

5
Andhika Danesjvara, hal.2, op cit.

5
pengelolaan keuangan negara termasuk revitalisasi peran BPKP. Upaya untuk
menerbitkan peraturan pemerintah tersebut membutuhkan waktu yang sangat
penjang selama bertahun-tahun karena banyaknya resistansi terhadap eksistensi
BPKP dan kepentingan untuk membubarkan BPKP. Diterbitkannya peraturan
pemerintah No.60/2008 tentang sistem pengendalian intern pemerintah
merupakan suatu terobosan (creative destruction) untuk menguatkan kembali
peran pengawasan intern sebagai pilar akuntabilitas keuangan negara yang
menjadi mandat presiden yang pada gilirannya akan memperkuat sistem
presidensial.
Mengingat ruang lingkup pengawasan akuntabilitas keuangan negara sangat
luas dan memiliki kompleksitas yang tinggi, serta mengingat kewenangan
pengelolaan keuangan negara baik financial maupun non financial sudah
terfragmentasi, penguatan institusi BPKP sangat dibutuhkan demi mendukung
terselenggaranya kegiatan pemerintahan yang efisien dan efektif, serta
mengeliminasi praktik-praktik KKN. Terlebih lagi BPKP, dalam PP No.60/2008,
diberikan kewajiban untuk melakukan pembinaan sistem pengendalian intern di
seluruh instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah.
Internal audit dan sistem pengendalian inten pemerintah adalah pilar bagi
terselenaggaranya akuntabilitas pemerintah dalam membangun good governance
and clean government. Penguatan institusi BPKP sebagai perangkat pengendalian
(control) yang bertindak sebagai “tangan kanan” serta “mata dan telinga” presiden
akan memberikan nilai tambah dan berguna bagi efektivitas penyelenggaraan
manajemen pemerintahan melalui pemberian rekomendasi dini dan solusi atas
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh manajemen pemerintahan dalam
pengelolaan keuangan negara yang sarat dengan diskresi kebijakan guna
kepentingan umum, masyarakat, bangsa dan negara dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

6
C. Langkah Strategis ke Depan
Dalam rangka mewujudkan kapabilitas birokrasi pemerintahan, terdapat
langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan mencakup; pertama, kemampuan
formulasi dan implementasi kebijakan publik yang lebih kompherensif. Kedua,
kemampuan legal drafting serta pembentukan cleaing house bagi proses
pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketiga, kemampuan pelaksanaan
hukum (law enforcement). Keempat, kemampuan penyelenggaraan pelayanan
publik secara efisien. Kelima, kemampuan memberantas korupsi, kolusi dan
nepotisme dalam birokrasi pemerintah. Dan keenam, kemampuan menjaga agar
level transparansi dan akuntabilitas selalu tinggi.
Dalam melakukan pengawasan akuntabilitas keuangan negara, harus jelas
“siapa” melakukan apa dan bertanggung jawab pada siapa”. Dengan adanya
berbagai bentuk, tugas dan fungsi lembaga pengawasan, perlu adanya pemahaman
tentang tugas dan fungsi lembaga-lembaga pengawasan tersebut.
Sekadar perbandingan, Badan Pemeriksa Keuangan sesuai undang-undang
tentang BPK, nomenclature, dan kedudukannya adalah lembaga pemeriksa
ekstern dengan tugas utamanya melakukan pemeriksaan keuangan (finansial and
compliance audit) atas laporan keuangan pemerintah (pusat/daerah) dan lembaga
negara lainnya dalam rangka pemberian opini untuk kepentingan
publik/masyarakat termasuk DPR. Pemeriksaan keuangan yang dilakukan BPK
selayaknya post audit karena dilakukan setelah berakhirnya kegiatan
pemerintahan dalam satu tahun anggaran tertentu dan setelah disusunnya laporan
keuangan kementerian/lembaga (after the fact).
Sebagai lembaga pengawasan internal pemerintah, BPKP sudah semestinya
ada dan berwenang (memiliki hak) melakukan pengendalian atau pengawasan
terhadap pengelolaan APBN (mikro teknis) terhadap seluruh lembaga negara dan
lembaga pemerintah yang seluruh anggarannya dikelola dengan mekanisme
APBN.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sesuai dengan
nomenclatur dan tugasnya, adalah instansi pemerintah yang melakukan
pengawasan intern di bidang keuangan dan kegiatan pembangunan. Pengelolaan

7
uang sebagai instrumen pembangunan perlu diawasi dan diyakinkan bahwa telah
digunakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan bangsa dan negara. Pengawasan
oleh BPKP fokusnya adalah pada pencegahan (preventif) melalui audit, evaluasi
dan review atas pengelolaan keuangan negara dan pembinaan sistem pengendalian
intern dalam rangka mendukung peningkatan kinerja pemerintah secara
berkesinambungan dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Dengan adanya
PP No.60/2008 tentang sistem pengendalian intern pemerintah, tugas BPKP lebih
dipertajam dengan fokus pada akuntabilitas keuangan negara melalui kegiatan
pengawasan lintas sektoral, penugasan menteri keuangan sebagai bendahara
umum negara (BUN), dan penugasan dari presiden.
Analisa kasus korupsi mengungkapkan bahwa korpsi merupakan akibat dari
lemahnya suatu sistem manajemen pengelolaan keuangan negara suatu instansi
pemerintah. Ke depan, BPKP sebagai auditor presiden akan mengarahkan
rekomendasinya kepada perbaikan sistem manajemen melalui capacity building
dan capacity development.
Dilandasi prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel dan
partisipatoris, untuk mewujudkan managerial accountability kepada presiden,
maka dua hal yang sangat penting adalah:
1. Fraud prevention melalui berbagai upaya antara lain penguatan internal control
system (PP No.60/2008 tentang SPIP), pelaksanaan audit operasional kepada
semua penerima anggaran baik internal maupun eksternal, penerapan Fraud
Control Plan maupun pelaksanaan reformasi birokrasi yang menjunjung tinggi
etika birokrasi.
2. Law Enforcement melalui peningkatan efektivitas aparat penegak hukum,
penindakan tindak pidana korupsi, pengamatan asset (eksekusi), dan berbagai
audit investigatif dan keterangan ahli.
Dalam perjalanan operasional, diantara kedua hal tersebut, potensi
timbulnya berbagai dispute selalu ada. Sebagai contoh adalah diskresi kebijakan
manajemen yang dilakukan oleh pimpinan. BPKP akan melakukan justifikasi
terhadap diskresi kebijakan menajemen tersebut untuk memberikan jalan keluar

8
dari kegamangan dan keraguan para pimpinan instansi maupun
gubernur/bupati/walikota melalui clearing house.
Pengawasan internal pemerintah yang dilakukan BPKP hakikatnya
merupakan pengawasan yang dilakukan oleh badan yang ada di dalam lingkungan
unit organisasi pemerintah dalam rangka mengendalikan urusan pemerintahan
negara secara umum. Pengawasan dalam bentuk ini dapat juga berbentuk
pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control) atau
pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal pada setiap
departemen dan inspektorat setiap provinsi, kabupaten dan kota.
Adanya BPKP sebagai bagian dari alat manajemen pemerintahan,
hakikatnya merupakan bagian dari tugas presiden sebagai kepala pemerintahan
yang bertanggung jawab secara tunggal atas pemerintahan negara dan
pengelolaan keuangan negara, berarti pemerintah berhak memperoleh laporan
pertanggung jawaban pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah dari
semua unit pemerintahan.
Upaya yang kemudian dilakukan adalah berusaha menguasai dan
mengendalikan proses yang terjadi dalam masyarakat, dinamika serta gejolak
yang timbul dalam setiap proses perubahan. Perubahan bisa berjalan cepat atau
lambat, fluktuatif atau stabil, arahnya menuju modernisasi atau konservatif.
Tetapi, hal yang mungkin lebih penting dalam perubahan (pembangunan) adalah
tanggung jawab bersama antar individu, masyarakat dan pemerintah sebagai
pengemban amanat rakyat, untuk mengelola dan menyelaraskan perubahan atau
pembangunan itu. Penyesuaian dan penyelarasan akan dibutuhkan karena situasi
perubahan serta perkembangan kehidupan masyarakat (modern) yang bersifat
sangat kompleks6.
Dalam konteks manajemen birokrasi (pemerintahan), Max Weber
menyatakan bahwa sistem birokrasi terdapat pada masyarakat modern yang
rasional, dimana dituntut pekerjaan dapat dilakukan secara efisien, transparan,
terkontrol dan dapat dipertanggung jawabkan. Ciri birokrasi weberian adalah
kekuasaan ada pada setiap hirarki jabatan. Semakin tinggi hirarki jabatan

6
Guy Benveniste,Bureaucracy, San Fransisco, Boyd&Fraser Publishing Company,1997,hal.151.

9
seseorang, semakin tinggi kekuasaanya. Semakin rendah hirarki jabatan
seseorang, semakin tidak berdaya dia (powerless) 7.
Dalam upaya menempatkan BPKP sebagai bagian dari manajemen
pemerintahan negara, menjadi tepat jika arsitektur pengawasan terkelola sebagai
berikut; BPKP direstorasi kedudukannya menjadi kementerian negara yang
mampu menerjemahkan manajemen rencana dan pelaksanaan yang ditetapkan
presiden sebagai kepala penyelenggaraan pemerintahan secara umum dan
menerapkan suatu sistem pengendalian internal pemerintah secara terkoordinasi.
Inspektorat jenderal departemen, inspektorat kementerian, inspektorat lembaga
negara/pemerintah melakukan pemeriksaan secara kompherensif atas pelaksanaan
kinerja dan pengelolaan APBN yang disampakan pula kepada presiden melalui
menteri negara pengawasan/kepala BPKP. Aparat pegawas daerah melakukan
pemeriksaan secara horizontal kepada pemerintah dan legislatif daerah, dan secara
vertikal melaporkan hasilnya dan memberikan informasi temuannya kepada
kementerian negara pengawasan/BPKP. Dengan demikian, dikembangkan
mekanisme check and recheck, sehingga dapat dihindari atau dikurangi
penyelewengan di tingkat sektoral pemerintahan pusat dan daerah, tanpa pelu
BPKP terjun langsung dan mencampuri urusan sektoral dan daerah, kecuali dari
hasil pemeriksaan laporan telah terjadi mis-information yang mempunyai indikasi
penyimpangan atas penggunaan keuangan daerah.
Walau bagaimanapun, guna perwujudan dari peran dan fungsi BPKP
sebagai lembaga pengawas internal pemerintah, perlu adanya dukungan penuh
dari beragam fungsi pemerintahan. Kepemimpinan yang kuat dan visioner sebagai
pengelola perubahan sistem birokrasi pemerintahan, termasuk sistem yang lebih
kompherensif menjadi sebuah keniscayaan. Selanjutnya, dukungan politik yang
kuat terhadap upaya reformasi pemerintahan termasuk pembangunan sistem
hukum yang menerapkan secara berimbang asas praduga tidak bersalah dan asas
pembuktian terbalik, serta menghilangkan tumpang tindih peraturan perundang-
undangan mutlak menjadi harga mati yang tak bisa ditawar lagi.

7
Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia, 2003, hal.7.

10
Daftar Bacaan

Benveniste, Guy. Bureaucracy. San Fransisco: Boyd&Fraser Publishing


Company. 1997.
Danesjvara, Andhika. Beberapa Masalah dalam Reformasi Birokrasi dan
Kelembagaan di Indonesia, makalah disampaikan dalam seminar “Reformasi
Birokrasi Indonesia”, diselenggarakan oleh DPRM UI, Balai sidang UI-
Depok, 16 september 2009.
Giddens, Anthony. The Nation-State and It’s Violence. University of California
Press. 1985.
Kasim, Azhar. Sistem Pengawasan Internal dalam Administrasi Negara
Indonesia, makalah disampaikan dalam seminar nasional “Pengawasan
Nasional dalam Sistem Pemerintahan Presidensial: Memperkuat Fungsi
Lembaga Pengawasan Internal Pemerintah dalam Era Pemerintahan Baru”,
FHUI,21 Juli 2009.
Thoha, Miftah. Birokrasi Pemerintah Indonesia. Jakarta: Kencana. 2003.
Tjiptoherijanto, Prijono. Globalization and Governance: Prescription or poison?,
makalah disampaikan dalam seminar “Reformasi Birokrasi dan Kepegawaian”,
Balai sidang UI-Depok, 16 september 2009.

11

You might also like