Professional Documents
Culture Documents
Obyek formal dari ilmu psikologi adalah keadaan atau kehidupan dari jiwa Sebelum
membahas menganai hakikat pendidikan Islam sebagai disiplin Ilmu, terlebih dahulu kita
bahas arti pendidikan dalam syarat-syarat suatu ilmu pengetahuan. Karena dari
pembahasan ini akan muncul adanya benang merah antara pendidikan, maupun
pendidikan Islam dengan ilmu pengetahuan. Menurut Dr. Sutari Barnadib ilmu
pengetahuan adalah suatu uraian yang lengkap dan tersusun tentang suatu obyek2.
Berbeda dengan Drs. Amir Daien yang mengartikan bahwa ilmu pengetahuan adalah
uraian yang sistematis dan metodis tentang suatu hal atau masalah. Oleh karena itu ilmu
pengetahuan itu menguraikan tentang sesuatu, maka haruslah ilmu itu mempunyai
persoalan, mampunyai masalah yang akan dibicarakan. Persoalan atau masalah yang
dibahas oleh suatu ilmu pengetahuan itulah yang merupakan obyek atau sasaran dari ilmu
pengetahuan tersebut. Dalam dunia ilmu pengetahuan ada dua macam obyek yaitu obyek
material dan obyek formal. Obyek material adalah bahan atau masalah yang menjadi
sasaran pembicaraan atau penyelidikan dari suatu ilmu pengetahuan. Misalnya tentang
manusia, tentang ekonomi, tentang hukum, tentang alam dan sebagainya. Sedangkan
yang dimaksud dengan obyek foramal adalah sudut tinjauan dari penyelidikan atau
pembicaraan suatu ilmu pengetahuan. Misalnya tentang manusia. Deri segi manakah kita
mengadakan penelaahan tentang manusia itu? Dari segi tubuhnya atau dari segi jiwanya?
Jika mengenai tubuhnya, mengenai bagian-bagian tubuhnya atau mengenai fungsi
bagian-bagian tubuh itu. Dua macam ilmu pengetahuan dapat mempunyai obyek material
yang sama. Tetapi obyek formalnya tidak boleh sama, atau harus berbeda. Contoh ilmu
psikologi dengan ilmu biologi manusia. Kedua macam ilmu pengetahuan ini mempunyai
obyek material yang sama yaitu manusia, tetapi, kedua ilmu itu mempunyai obyek formal
yang berbeda. Obyek formal dari ilmu psikologi adalah keadaan atau kehidupan dari jiwa
manusia itu. Sedangkan, obyek formal dari ilmu biologi manusia adalah keadaan atau
kehidupan dari tubuh manusia itu. Selanjutnya dari batasan ilmu pengetahuan di atas
mengharuskan bahwa uraian dari suatu ilmu pengetahuan harus metodis. Yang dimaksud
dengan metodis di sini adalah bahwa dalam mengadakan pembahasan serta penyelidikan
untuk suatu ilmu pengetahuan itu harus menggunakan cara-cara atau metode ilmiah, yaitu
metode-metode yag biasa dipergunakan untuk mengadakan penyelidikan-penyelidikan
ilmu pengetahuan secara modern. Metode-metode yang dapat dipertanggunagjawabkan,
yang dapat dikontrol dan dibuktikan kebenarannya.
Melakukan sebuah pencarian ilmu menjadi sebuah tugas harian bagi para
intelektual. Pemikiran-pemikiran keilmuan yang ada senantiasa dikaji, diteliti, dan
diverifikasi, sehingga menghasilkan temuan-temuan baru yang kadang mencengangkan
dunia. Dunia sains yang begitu hingar bingar memang telah memberikan sebuah
kontribusi besar bagi peradaban dunia ini. Peradaban modern yang diawali dengan
revolusi industri Inggris dan Perancis tahnu 1789 menjadi titik berangkatnya.
Di balik kecanggihan sains modern ternyata memiliki kontribusi terhadap munculnya
diskrepansi dan dehumanisasi. Tentunya perlu ada semacam evaluasi terhadap ilmu,
penggagas dan pengguna ilmu. Tak ayal muncullah apa yang disebut korupsi dalam ilmu
pengetahuan yang diintrodusir oleh Arnold dalam bukunya The Corrupted Sciences:
Challenging the Myths of Modern Science (1992). Ia menulis seperti ini tentang sains
modern sekarang:
“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evils in
themselves… but because many perceptions in, and methods of, science are wrong
in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the
consequences of their work or make value judgements about its possible
applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice
science.”
Menurutnya, ada semacam ketidaksejalan antara teori dan praktek dan penolakan
para ilmuwan menghadapi konsekuensi dari pekerjaan mereka. Kemudian ini
menghasilkan apa yang ia sebut sebagai “dosa yang mematikan dari sains modern”.
Paling tidak ada delapan “dosa” yang menurutnya saling berkaitan satu sama lainnya.
Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang eksklusif, kebanyakan sebagai warisan
dari agama-agama konvensional; kedua, keasyikan dalam beroperasi (’how’ things work)
dengan melepaskan sebab dan akibatnya (’why’ things work).
Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global;
keempat, hanya mengungkap “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk
menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; kelima, melayani vested-interest dan mode;
keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan,
disembunyikan atau dilenyapkan; ketujuh, kepura-puraan bahwa ilmu itu adalah bebas
nilai; dan kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat
dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia. Enam “dosa” terakhir
sebenarnya merupakan watak khas dalam ilmu-ilmu sosial, seperti juga dalam psikologi.
Sehingga orang akan baru dikatakan sebagai ilmuwan jika dapat memenuhi kriteria-
kriteria tersebut. Misalnya dalam hal obyektifitas dalam penelitian, seorang peneliti
diharuskan untuk menjaga jarak dengan obyek yang akan diteliti. Ini diperlukan agar
muncul kenetralan dan tidak dicampuri oleh bias peneliti.
Dalam Islam pun muncul semangat memunculkan kajian keilmuan dengan landasan
paradigmatik dari Islam. Jika ditengok kembali ke sejarah, Islam memang pernah berjaya
di sekitar abad 8-15 masehi. Saat itu bidang-bidang keilmuan dasar didalami secara serius
oleh para ilmuwan dan cendekiawan muslim. Namun sejak dikuasainya Baghdad oleh
pasukan Jenghis Khan, saat itulah mulai terjadi masa-masa gelap (dark age) di kalangan
umat Islam. Ilmu-ilmu yang telah terkodifikasi rapi dalam manuskrip dan buku-buku,
kemudian dibakar dan dilarung ke sungai Tigris.
Selain itu juga persinggungan orang-orang Eropa dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan
Islam tersebut ikut andil mengakselerasi kemampuan orang Eropa dalam penguasaan
keilmuan yang gongnya adalah terjadinya revolusi industri pada abad ke-17.
Pergulatan Ide Sains dan Islam: Pandangan Beberapa Tokoh
Leif Stenberg dalam bukunya The Islamization of Science: Four Muslims Positions
Developing an Islamic Modernity (1996) menyebutkan bahwa titik berangkat diskursus
hubungan sains dan Islam adalah saat Ernest Renan (w. 1892) memulai perdebatan tahun
1883 di Paris yang kemudian direspon pertama kalinya oleh Jamaluddin al-Afghani (w.
1897). Menurut Renan antara Islam dan sains itu bertentangan (incompatible). Sejak saat
itu kemudian perdebatan ini menjadi begitu kompleks khususnya di paruh abad kedua
puluh.
Sorotan yang Stenberg lakukan adalah mengenai posisi empat tokoh yang ia sebut
sebagai eksponen dalam usaha islamisai sains yaitu Ismail Raji’ al-Faruqi, Ziauddin
Sardar, Maurice Bucaille, dan Sayyed Hoessein Nasr. Masing-masing tokoh ini oleh
Stenberg dianggap memiliki beberapa pandangan yang berkaitan dengan isu hubungan
sains dan Islam.
Al-Faruqi dikenal sebagai tokoh yang menggagas ide mengenai islamisasi pengetahuan
(islamization of knowledge). Beliau kemudian mendirikan lembaga pemikiran keislaman
dengan nama International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang memiliki misi
islamisasi dengan langkah-langkah yang dibuatnya. Yang menarik dari gagasan Faruqi
adalah bahwa usaha islamisasi mesti ada penguasaan yang cukup komprehensif antara
khasanah keilmuan modern dan khasanah keilmuan Islam klasik (mastering of modern
and islamic sciences). Ilmuwan muslim mesti kritis terhadap ilmu-ilmu yang
dikembangkan Barat, dan kemudian melakukan sebuah integralisasi keduanya. Ini
ditujukan untuk mendapat sebuah model penguasaan ilmu dengan perspektif Islam
dengan tetap tidak “kuper” dengan pengetahuan modern yang ada. Dari situlah kemudian
akan menghasilkan model kurikulum dan pendidikan dalam perspektif Islam. Dan inilah
yang menjadi ultimate goal gagasan islamisasi pengetahuan ala Faruqi.
Islamisasi pengetahuan, menurut Taha Jabir al Alwani, mesti dipahami sebagai sebuah
kerja ilmiah dari sudut pandang metodologis dan epistemologis. Ia bukan sebagai
ideologi atau bahkan sebuah sekte baru. Ini mesti dipahami terlebih dahulu. Sebab kalau
tidak, orang yang menggelutinya akan terjebak pada ideologisasi ilmu, dan akan sangat
berbahaya nantinya. Ilmu yang mengideologi akan sulit berkembang biak.
Sementara ‘Imad al Din Khalil memandang islamisasi pengetahuan sebagai keterlibatan
dalam pencarian intelektual (an intellectual pursuits) yang berupa pengujian
(examination), penyimpulan, penghubungan, dan publikasi dalam memandang hidup,
manusia dan alam semesta dari perspektif Islam. Sementara Abu al Qasim Hajj Hammad
mendefinisikan islamisasi pengetahuan sebagai pemecahan hubungan antara pencapaian
ilmiah dalam peradaban manusia dan perubahan postulat-postulat filosofis, sehingga ilmu
itu dapat digunakan melalui metodologi yang bernuansakan religius tinimbang yang
spekulatif.
Secara umum, menurut Stenberg, keempat tokoh yang menjadi objek studinya ini
memiliki kesamaan gagasan dalam melakukan restorasi hubungan sains dan Islam. Islam,
menurut mereka, sama sekali tidak ada yang salah. Yang terjadi adalah tidak
teraplikasikannya konsep-konsep Islam dalam kehidupan nyata.
Selain tokoh-tokoh di atas yang umumnya berasal dari luar Indonesia, ada juga tokoh-
tokoh Indonesia yang mencoba membincangkan ide ini, meskipun dengan pola dan
perspektif yang berbeda-beda dalam pembahasannya. Tokoh-tokoh ini umumnya
memiliki pola pandang sama bahwa Islam dan sains memiliki titik temu, namun darimana
dan bagaimana memulainya serta metodologi yang digunakan masing-masing memiliki
pandangan sendiri.
Semua kajian tersebut terus menerus mengalami proses verifikasi dan pencarian hal-hal
baru yang sebelumnya dianggap tidak masuk dalam wadah kajian psikologi. Jika di awal-
awal kemunculannya perhatian psikologi pada proses mental yang terjadi pada jiwa
manusia, maka kemudian pandangan tesebut tidak lagi begitu mendominasi.
Dengan mapannya aliran behavioristik yang empiris, objektif dan selalu melakukan
eksperimentasi, menjadikan bahasan psikologi kemudian fokus pada kajian perilaku yang
tampak pada diri manusia saja (overt behavior). Ini yang ditekankan oleh Watson bahwa
yang dimaksud psikologi adalah:
“…sebuah cabang ilmu kealaman yang eksperimental dan murni objektif. Tujuannya
adalah untuk meramalkan dan mengontrol tingkah laku…Tampaknya sudah saatnya
psikologi harus membuang semua referensi atau kaitan dengan kesadaran, dan tidak perlu
memperdayakan diri sendiri dengan cara berfikir yang beranggapan bahwa objek
pengamatannya ialah keadaan-keadaan mental.”
Saat inipun pandangan behavioristik masih tetap mapan dan dikaji di kampus-kampus.
Namun ada semacam trend yang marak di penghujung abad 20 lalu mengenai psikologi.
Era posmodern yang menggelayuti dunia di medio abad 20 kemarin itu kemudian
membangkitkan semangat untuk kembali melakukan bahasan ulang mengenai psikologi.
Dalam memandang konsep dan filsafat tentang manusia, maka tak lepas dari pandangan
Islam sendiri tentang manusia. Dalam Islam, manusia memang makhluk yang memiliki
dimensi-dimensi yang kompleks. Manusia dimanapun dan beragama apapun pasti
tersusun dari jasad dan ruh. Jasad diartikan sebagai tubuh fisik, dan ruh sebagai kekuatan
yang berasal dari Allah yang ditiupkan ke jasad manusia saat berusia 120 hari.
Menurut Mujib, dalam Psikologi Islam manusia terstruktur dari jasmani dan ruhani. Ruh
bukan hanya sekedar spirit yang bersifat aradh (accident), tapi satu jauhar (substance)
yang dapat bereksistensi dengan sendirinya di alam ruhani. Sinergi antara jasmani dan
ruhani menjadikan nafsani yang tumbuh sejak usia empat bulan dalam alam kandungan.
Struktur nafsani ini terbagi atas tiga bagian yaitu kalbu, akal dan nafsu. Integrasi ketiga
jenis nafsani ini menimbulkan apa yang disebut dengan kepribadian.
Selain itu dikenal pula konsep tentang fitrah. Per definisi, banyak pakar yang
mengartikan tentang fitrah. Quraish Shihab mengartikan fitrah sebagai unsur, sistem dan
tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya sehingga menjadi
bawaannya. Sejak asal kejadiannya manusia telah membawa potensi keberagamaan yang
benar yang diartikan para ulama dengan tauhid. Ini bisa dibaca pada QS Arrum:30 yang
artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (yang benar). Fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia atasnya (fitrah itu). Tidak ada perubahan pada fitrah Allah,
itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Imam Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed
state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya.
Sementara menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan dengan
memiliki kebaikan atau ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang berhubungan
dengan jiwa. Ia mendasarkannya pada hadits yang cukup populer, “setiap orang
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orangtuanya yang akan menjadikannya sebagai
Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Al Qurtubi mendukung pandangan positif tentang fitrah dengan menggunakan analogi
mengenai hewan yang secara fisik tidak cacat untuk menggambarkan bahwa, hanya
karena hewan dilahirkan tidak lengkap, sementara manusia dilahirkan dengan kapasitas
yang tanpa cacat, sehingga manusia dapat menerima kebenaran.
Konsep fitrah sebagai konsep ketuhanan yang orisinal, tidak dengan begitu saja
berkonotasi menerima tindakan yang baik dan benar secara pasif. Namun dengan
kecenderungan yang aktif dan predisposisi bawaan untuk mengetahui Allah, tunduk
kepada-Nya, dan beramal soleh. Ini merupakan kecenderungan alami manusia dalam
meniadakan faktor-faktor yang berlawanan. Walaupun semua anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, pengaruh lingkungan menentukan juga. Orang tua mungkin
mempengaruhi agama anaknya dengan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Jika tidak ada pengaruh yang merugikan, anak akan secara terus-menerus memunculkan
fitrahnya sebagai hakikat kebenarannya.
Selain itu ada pula konsep tentang nafs, akal, dan qalbu. Sebagaimana dijelaskan Mujib
di atas ketiganya ini merupakan sistem nafsani manusia yang akan membentuk
kepribadian. Menurut Quraish Shihab, kata nafs dalam konteks pembicaraan tentang
manusia menuju kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik atau buruk. Kata nafs
memang memiliki banyak arti. Dalam Alquran kata nafs digunakan untuk menyebut diri
seseorang, diri Tuhan, person sesuatu, roh, jiwa, totalitas manusia dan sisi dalam manusia
yang melahirkan tingkah laku.
Nafs secara bahasa berarti ruh, jiwa, ego, diri (self), kehidupan, person, hati atau ingatan.
Walaupun beberapa ilmuwan mengklasifikasikan nafs hingga 7 tahapan, ada kesepakatan
di kalangan ulama bahwa dalam Alquran Allah menjelaskan sedikitnya 3 jenis utama
nafs. Urutan dari yang terburuk hingga yang terbaik adalah Nafs al-Ammârah Bissu’
(Nafs yang mendorong kepada kejahatan/keburukan), Nafs al-Lawwâmah (Nafs yang
tercela) dan Nafs al-Mutma’innah (Nafs yang membawa kedamaian).
Sementara kata akal tidak pernah disebut dalam Alquran selain dalam bentuk kata kerja,
baik kata kerja saat sekarang (mudlari’) atau masa lampau (madli). Kata akal dalam
derivasinya ada sebanyak 48 kali sebutan di Alquran. Secara jasmaniah ia berkedudukan
di otak, memiliki daya kognisi, dengan potensi bersifat argumentatif (istidhlaliah) dan
logis (aqliah), yang apabila mendominasi jiwa manusia maka akan menimbulkan
kepribadian yang labil (al-nafs al-lawwamah). Semenatara qalbu secara jasmaniah
berkedudukan di jantung, memiliki daya emosi, potensinya bersifat cita rasa (dzawqiyah)
dan intuitif (hadsiah), yang apabila mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan
kepribadian yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).
Ada beberapa pandangan khas mengenai Psikologi Islam ini. Pada tahun 1997 di
Universitas Darul Ulum, Jombang sempat diadakan acara Dialog Nasional Pakar
Psikologi Islam yang menyepakati bahwa salah satu visi Psikologi Islam adalah
menempatkannya sebagai mazhab kelima psikologi setelah psikoanalisis, behavioristik,
humanistik, dan transpersonal. Karena memposisikan diri sebagai salah satu aliran atau
mazhab, maka perlu ada beberapa pandangan khas mengenai psikologi Islam.
Pertama, mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fithrah), baik secara
jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa
salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada
qalbunya. Disamping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengannya manusia dapat
mengetahui sesuatu (di luar nalar), berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang
salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan
mempengaruhi benda dan peristiwa. Pandangan Psikologi Islam tentang qalbu termasuk
yang khas dan berbeda bila dibandingkan dengan psikologi barat yang hampir selalu
menjelaskan sesuatu dengan otak. Ketiga, mempercayai bahwa arah pergerakan hidup
manusia secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan fujur. Manusia diciptakan
dalam keadaan positif dan ia dapat bergerak ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus
antara fitrah dan Allah, maka ia akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak lurus
antara fithrah dan Allah, maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara
fithrah manusia diciptakan dengan penuh cinta, memiliki cinta, namun ia dapat
berkembang ke arah agresi. Tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus
dengan fithrahnya.
Keempat, mempercayai bahwa manusia adalah unik. Quraish Shihab menyebutnya
sebagai khalqan akhar. Beliau merujuk pada dua ayat dalam Alquran yaitu QS 17:21 dan
QS 6:165. Kelima, psikologi islamdibangun berdasarkan nila tertentu, bukan netral etik.
Gagasan tentang ilmu yang netral etik adalah khayalan belaka, seperti dikemukakan oleh
Gunnar Myrdal. Setiap ilmu berangkat dari nilai-nilai dan mengembangkan nilai-nilai.
Kalau kita meniliki lebih jauh lagi, memang kajian psikologi selama ini seperti
kehilangan ruhnya. Kalau kata Malik Badri, a psychology without soul studying a man
without soul. Selama ini dimensi dalam ilmu psikologi yang hanya menekankan pada
dimensi ragawi (fisik-biologis), jiwa (psikologis), dan lingkungan (sosiokultural). Ini
terasa kurang begitu mengena dalam meneropong manusia sebagai makhluk yang
memiliki kompleksitas. Sehingga dalam kajian Psikologi Islam ditambahlah dengan
dimensi ruhani (spiritual). Bahkan pada tahun 1984, Organisasi Kesehatan se-Dunia
(WHO) telah menambahkan satu dimensi lagi untuk melihat orang sehat yaitu dimensi
spiritual. Oleh American Psychiatric Association ini diadopsi dengan paradigma
pendekatan bio-psycho-socio-spiritual.
Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi
dan kemudian bersenutuhan dengan konsep-konsep Islam mengenai psikologi. Di
samping adanya ketidakpuasan terhadap bahasan psikologi yang dianggap terlalu
sekularistik dan menafikan kondisi kejiwaan hakiki manusia. Untuk menyebut beberapa
nama pada kelompok ini antara lain seperti Hanna Djumhana Bastaman, Fuad Nashori,
Djamaludin Ancok, Subandi, dan kelompok kajian di Yayasan Insan Kamil Yogyakarta.
Umumnya mereka menggunakan terma psikologi islami dengan alasan bahwa psikologi
modern yang ada tetap digunakan sebagai pisau analisis, namun dimasukkan pandangan-
pandangan Islam tentang psikologi.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang mencoba menggali khasanah klasik
Islam (at-turats al-islami) untuk pengembangan keilmuan psikologi Islam. Misalnya,
Abdul Mujib atau Achmad Mubarok. Keduanya bukanlah psikolog dan tidak memiliki
latar belakang pendidikan psikologi, namun memiliki akses terhadap literatur-literatur
berbahasa Arab yang di situ terhampar pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim klasik
yang bersinggungan dengan psikologi, semacam Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih
dsb. Mereka menggunakan istilah psikologi Islam dengan alasan mengambil sumber
langsung dari khasanah klasik Islam dan kemudian mengkontekstualisasikan dengan
pandangan psikologi modern. Umumnya mereka yang berlatar pendidikan dari kampus-
kampus yang memiliki akses terhadap literatur Arab, semacam IAIN yang memiliki
kecenderungan semacam ini.
Khasanah klasik Islam sering juga disebut sebagai turats Islam. Dalam buku At-Turats
Wa at-Tajdid, Hasan Hanafie mengatakan bahwa turats dapat dinisbahkan kepada dua
hal. Pertama, turats Islam adalah kumpulan kitab-kitab dan manuskrip yang tersimpan
dalam perpustakaan, gudang, masjid-masjid maupun museum. Di sini, turats berbentuk
material yaitu turats tertulis, tersimpan dan tercetak dalam bentuk kitab. Namun,
menurutnya lagi, ada bentuk lain dari turats yang bersifat immaterial, yaitu warisan
kejiwaan dan adat-istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat.
Secara lebih maju, Aisyah Abdurrahman (yang terkenal dengan nama samaran Bintu
Syathi-putri pesisir), dalam bukunya Turatsuna Baina Madli wa Hadlir mengatakan
bahwa kita tidak dapat membatasi lingkup turats Islam pada zaman dan wilayah tertentu.
Karena turats Islam mencakup seluruh warisan peradaban kuno kita, di sepanjang zaman
dan tempat, maka, tentu saja warisan kebudayaan Mesir kuno yang tertulis di atas kertas-
kertas papirus adalah termasuk turats Islam pula. Demikian pula halnya peninggalan
kerajaan Babylonia, Asyur, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib dan wilayah-wilayah lainnya.
Hal itu, menurut Aisyah Abdurrhaman, karena seluruh penduduk wilayah tersebut telah
memeluk Islam, maka secara otomatis masa lampau mereka menjadi milik Islam pula.
Dalam kajian-kajian psikologi, turats Islam yang berupa manuskrip tulisan dari
cendekiawan muslim klasik cukup banyak, baik yang berupa konsep yang masih potensi
maupun yang manifest. Misalnya, konsep perkembangan moral dan rasio seseorang bisa
dibaca dalam karya klasik Ibn Thufail yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Atau konsep-
konsep umum mengenai nafs, qalb, atau akal yang dikemukakan oleh tokoh semacam al-
Ghazali, Ibn Miskwaih, Ibnul Qoyyim al-Jauzi, bahkan pada konsep tentang tabir mimpi
yang pernah dibahas oleh Ibn Sirrin jauh sebelum Freud mengemukakan teorinya tentang
analisis mimpi.
Turats Islam ini bisa menjadi sumber kajian psikologi dalam perspektif Islam, tinggal
bagaimana mengkonseptualisasikan dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi saat
sekarang ini. Sayangnya literatur mereka yang menggunakan bahasa Arab belum banyak
yang mengakses, justru oleh mereka kaum muslim yang belajar psikologi, khususnya di
Indonesia ini.
Dua model pengembangan ini sebenarnya masih tetap perlu dilakukan, meskipun
kelemahan-kelemahan fundamental tetap ada. Jika terlalu memfokuskan pada pendekatan
modern kemudian melabelkannya dengan Islam, maka yang terjadi adalah bukan muncul
suatu ilmu, melainkan hanya menempel-nempelkan yang dianggap cocok (labeling).
Apabila ini yang dilakukan maka akan sangat mudah goyah karena fondasinya tidak kuat.
Sedangkan jika turas Islam yang belum dikonseptualisasi dan dikontekstualisasikan akan
sulit teraplikasi di zaman sekarang ini. Selain konsep-konsep yang ada adalah konsep
filosofis, juga kondisi umat manusia pada abad pertengahan tentu memiliki karakteristik
yang berbeda dengan umat manusia sekarang ini.
Lalu apakah model integralisasi model Faruqi yang dilakukan? Memang banyak tawaran,
tinggal mana yang kiranya pas dan mampu diaplikasikan dalam kerangka teoritis
akademis maupun aplikasi pragmatis. Pemahaman dan penguasaan terhadap keilmuan
modern kontemporer dari Barat bukan suatu hal yang tidak perlu dilakukan. Namun juga
tidak kemudian menerima apa adanya (taken for granted) terhadap model-model
pemikiran mereka. Langkah kritis terhadap pemikiran mereka perlu dilakukan. Sementara
penguasaan turats Islam dijadikan sebagai fondasi pemikiran. Kemudian turats Islam
tersebut dikaji, dikritisi, dikonspetualisasi dan dikontekstualisasikan. Tak tertutup
kemungkinan melakukan sebuah studi komparasi antara pemikiran-pemikiran Barat
tentang psikologi dengan pemikiran-pemikiran yang berasal dari turats Islam.
Penutup
Memang bukan pekerjaan mudah dalam mewujudkan sebuah ilmu pengetahuan yang
dapat diterima secara luas (broadly acceptable). Freud saja konsepnya masih terus
menerus dikritik dan dianggap tidak memenuhi kriteria ilmu pengetahuan oleh beberapa
pihak. Namun inilah yang menjadi sasaran kritik saat ini. Hegemoni pengetahuan yang
dikembangkan Barat memang cenderung kaku dan prosedural. Padahal fitrah ilmu
pengetahuan itu adalah dinamis dan dalam kasus-kasus tertentu bisa jadi akan melawan
kekakuan dan prosedur-prosedur yang disebut ilmiah.
Gagasan psikologi dengan mengambil perspektif kajian Islam menjadi hal yang masih
terus dikembangkan. Dua model pengembangan yang ada sebagaimana disebutkan di atas
masih perlu terus menerus diuji, sampai kemudian mana yang dianggap menjadi fondasi
yang kuat dalam usaha pengembangannya.
Sumber :
http://www.ilmupsikologi.com/?p=5
http://cybercounselingstain.bigforumpro.com/ilmu-pendidikan-islam-f17/hakikat-
pendidikan-islam-sebagai-disiplin-ilmu-t138.htm