Professional Documents
Culture Documents
A. Otonomi Sekolah
Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah.
Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah
seyogyanya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri visi, misi, strategi, tujuan,
logo, lagu, dan tata tertib sekolah.
Kedua, memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas
yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga administratif yang dimiliki.
Berdasarkan sumber daya pendukung yang dimilikinya, sekolah secara bertanggung
jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah siswa yang akan diterima, syarat siswa
yang akan diterima, dan persyaratan lain yang terkait. Sudah barang tentu, beberapa
ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota perlu mendapat kan
pertimbangan secara bijak.
Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan
dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan
daerah dan masa depan lulusannya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk
melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi
muatan kurikulum.
Keempat, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat
diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada.
Misalnya, buku murid tidak seenaknya diganti setiap tahun oleh sekolah, atau buku murid
yang akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian, dsb. Pemilihan dan
pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah,
dengan tetap mengacu kepada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat atau Provinsi dan kabupaten/kota.
Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan
mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten. Yang
biasa terjadi justru, karena kewenangan penghapusan itu tidak jelas, barang dan jasa
yang ada di sekolah justru tidak pernah dihapuskan, meskipun ternyata barang dan jasa
itu sama sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.
Ketujuh, urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi
tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan pendidikan.
Agar sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendi-
dikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistematis dengan melakukan
“capacity building“. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap
satuan pendidikan secara berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran?peran
manajemen pendidikan maupun peran?peran pembelajaran, sesuai dengan butir?butir
yang disebut di atas. Namun, kegiatan “capacity building” tersebut perlu dilakukan
secara sistematis, sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan,
mempunyai arah yang jelas dan terukur.
Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanaan capacity building
bagi setiap satuan pendidikan. Masing?masing tahap pengembangan dilakukan terhadap
setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan
yang setara. Jadi, capacity building dilakukan untuk meningkatkan (up?grade) suatu
kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya.
Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Reynolds (1997) mendefinisikan Manajemen Berbasis Sekolah yang dia sebut juga
sebagai Site-Based Management dengan 3 komponen penting, yaitu: (1) Delegasi
kewenangan (otoritas) kepada individu sekolah untuk membuat keputusan mengenai
program pendidikan sekolah yang berkaitan dengan personel, pendanaan, dan program;
(2) Pengadopsian suatu model pengambilan keputusan bersama pada level sekolah oleh
tim manajemen termasuk kepala sekolah, guru, orang tua, dan sewaktu-waktu siswa dan
anggota masyarakat lainnya; (3) Suatu pengharapan bahwa Site-Based Management akan
memfasilitasi kepemimpinan pada level sekolah dalam hal upaya peningkatan kualitas
sekolah. Cheng (1996:44) mengemukakan, melalui penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah berarti tugas pengolahan sekolah diatur sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan sekolah tersebut, dan selanjutnya warga sekolah (kepala sekolah, guru, siswa,
orang tua, dan masyarakat) memiliki otonomi yang lebih besar dan bertanggung jawab
untuk penggunaan sumberdaya dalam rangka memecahkan persoalan dan melakukan
aktivitas pendidikan secara efektif untuk pembangunan jangka panjang sekolah.
Sedangkan, fungsi birokrasi kependidikan lebih banyak memandu dan bukan
melaksanakan sendiri operasional pendidikan.
Dit. PLP (2001) mengemukakan, dengan orientasi yang lebih kepada peningkatan mutu,
Manajemen Berbasis Sekolah tersebut dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah yang secara umum didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan kepada sekolah,
dan mendorong secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk peningkatan mutu
pendidikan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Dalam buku yang diterbitkan
oleh Dit. PLP tersebut dengan jelas dikatakan bahwa kewenangan yang
didesesentralisasikan di sekolah dalam rangka pelaksanaan Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah antara lain mencakup; pengolahan proses belajar mengajar,
perencanaan dan evaluasi, pengelolaan kurikulum, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan
fasilitas, pengelolaan keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dan masyarakat, dan
pengelolaan iklim sekolah. Dengan kata lain, sekolah diberikan otonomi untuk mengelola
sumberdaya agar secara fleksibel dapat mengembangkan program-program melalui
partisipasi aktif warga sekolah dan masyarakat (dari perencanaan sampai kepada
pelaksanaannya) sesuai dengan kondisi kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah adalah suatu
strategi untuk meningkatkan pendidikan melalui transfer otoritas (otonomi) pengambilan
keputusan yang penting dari pemerintah pusat/daerah kepada individual sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah juga merujuk kepada representasi proses pengambilan
keputusan dimana di dalamnya semua anggota kelompok berpartisipasi secara seimbang
(keputusan partisipatif). Pada hakekatnya, istilah otonomi sama dengan istilah “Swa”,
seperti swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah
adalah kewenangan/kemandirian untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga
sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang
dimaksud tentunya harus didukung oleh sejumlah kemampuan yaitu kemampuan
mengambil keputusan yang terbaik, berdemokrasi, menghargai perbedaan pendapat,
mobilisasi sumberdaya, memilih cara dan pelaksanaan yang terbaik, berkombinasi
dengan cara efektif, memecahkan persoalan-persoalan sekolah, adaptif dan antisipatif,
bersinergi, berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Jadi dalam konteks Manajemen Berbasis Sekolah dapat dipahami bahwa sekolah
merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (dalam
konteks Indonesia, misalnya Direktorat Teknis Depdiknas, Dinas Pendidikan, dan
sebagainya) merupakan unit pendukung dan pelayanan sekolah, khususnya dalam
peningkatan mutu pendidikan. Menurut Osborn & Gaebler, (1997) dalam Manajemen
Berbasis Sekolah peran birokrasi pendidikan lebih banyak guiding dan bukan rowing.
Walaupun harus tetap disadari bahwa pendidikan merupakan tangga mobilitas vertikal
yang sangat efektif bagi anak (khususnya anak pedesaan) dan sekolah merupakan jendela
era global, tetapi perkembangan menuju era global itu harus tetap bertumpu pada jati diri
lokal dan nasional. Dengan program yang relevan, diharapkan sekolah akan mampu
menggali partisipasi masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan sekolah,
sehingga sekolah menjadi “milik” masyarakat. Di sini diharapkan tumbuh “rasa
memiliki” sekolah dari masyarakat. Oleh karena itu konsep komite sekolah hendaknya
mencakup masyarakat di luar orang tua murid. Di masa datang diprediksi banyak
orangtua yang sudah tidak memiliki anak di sekolah, tetapi memiliki potensi dan
kepedulian terhadap pendidikan. Peran komite sekolah, hendaknya tidak hanya
menyumbang dana, tetapi sampai dengan pemikiran bahkan dalam penyusunan rencana
pengembangan sekolah dan pemeriksaan akuntabilitas pelaksanaannya. Menurut konsep
total quality management, mereka sebagai pelanggan sekunder tentunya memiliki hak-
hak tersebut.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa dalam rangka Manajemen Berbasis
Sekolah harus terjadi pergeseran kewenangan pengelolaan sekolah yang semula berada di
tangan birokrasi pemerintah pusat ataupun daerah menuju ke lingkungan itu sendiri,
maka beberapa pakar memberi istilah school based management dengan school based
decision making and management. Sebagaimana dijelaskan oleh Champman (1990)
bahwa School-Based Decision Making and Management dimaksud sebuah bentuk
administrasi pendidikan dimana di dalamnya sekolah menjadi unit utama untuk
pengambilan keputusan. Ia berada dari banyak bentuk administrasi pendidikan tradisional
dimana di dalamnya suatu birokrasi pusat mendominasi proses pengambilan keputusan.
Sebagai dasar politis, School-Based Management and Management bukan hanya sekedar
proses pengambilan keputusan, tetapi berada dalam dimensi yang lebih luas karena
melibatkan konteks sosial (mengelola konflik dalam proses sosial). Ia bukan hanya
sekedar strategi pengelolaan sekolah, melainkan sekaligus sebagai bagian dari upaya
menopang legitimasi institusi publik dan negara. Hal tersebut merupakan lompatan jauh
ke depan, karena sekolah dipandang sebagai entitas yang harus mampu menangani
permasalahannya secara mandiri. Seiring dengan perkembangan lingkungan sosial,
ekonomi, politik, hukum, dan ideologi, maka sekolah dipandang sebagai organisasi sosial
yang tidak terlepas dari permasalahan. Dengan demikian sekolah semakin dituntut untuk
membantu memecahkan berbagai masalah di lingkungan atau di masyarakatnya. Dengan
pengalihan “kewenangan” pengambilan keputusan ke level sekolah diharapkan sekolah
akan lebih mandiri dan mampu menentukan arah perkembangan yang sesuai dengan
kondisi dan bantuan lingkungan masyarakatnya.
Dari pemahaman berbagai definisi dan makna Manajemen Berbasis Sekolah sebagaimana
dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah adalah model
pengelolaan pendidikan yang memberikan otoritas (kewenangan) kepada sekolah untuk
mengelola sumberdaya secara fleksibel sesuai dengan karakteristik budaya sekolah
melalui berbagai aktivitas (menetapkan sasaran peningkatan mutu, melaksanakan,
merencanakan peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan
mutu) yang melibatkan kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah.
Kewenangan tersebut dimiliki sekolah akibat terjadinya pergeseran otoritas pengambilan
keputusan dari pemerintah pusat/daerah kepada individual sekolah melalui partisipasi
aktif warga sekolah, orang tua dan masyarakat yang mendorong kepada peningkatan rasa
memiliki. Rasa memiliki ini akan berdampak kepada peningkatan rasa tanggung jawab
dan dedikasi terhadap sekolahnya dalam memberikan layanan pendidikan yang
berkualitas dalam rangka peningkatan kualitas siswa baik secara akademis maupun non-
akademis sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Secara umum, esensi Manajemen
Berbasis Sekolah adalah otonomi sekolah, fleksibilitas, dan pengambilan keputusan
partisipatif untuk mencapai sasaran peningkatan kualitas anak didik (peningkatan kualitas
pendidikan).
2. Asumsi Dasar
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memiliki potensi yang besar dalam menciptakan
kepala sekolah, guru dan pengelola sistem pendidikan (administrator) profesional. Oleh
karena itu keberhasilan dalam mencapai kinerja unggul akan sangat ditentukan oleh
faktor informasi, pengetahuan, keterampilan dan insentif yang berorientasi pada mutu,
efisiensi, dan kemandirian sekolah.
Ada beberapa asumsi dasar mengapa MBS diterapkan sebagai upaya dalam
meningkatkan pengelolaan pendidikan. Asumsi dasar yang pertama, yaitu sekolah
dipandang sebagai suatu lembaga layanan jasa pendidikan yang memposisikan kepala
sekolah sebagai manajer pendidikan. Kepala sekolah dituntut untuk bertanggungjawab
atas seluruh komponen sekolah, dan harus berupaya meningkatkan mutu pelayanan dan
mutu hasil belajar yang berorientasi kepada pemakai, baik internal (siswa), maupun
eksternal (masyarakat), pemerintah, maupun lembaga industri dan dunia kerja.
Berkaitan dengan harapan untuk menghasilkan mutu yang baik, konsep MBS
memperhatikan aspek?aspek mutu yang harus dikendalikan secara komprehensif
(menyeluruh), yaitu: (1) karakteristik mutu pendidikan, baik input, proses, maupun
output; (2) pembiayaan, (3) metode penyampaian bahan pelajaran; (4) pelayanan kepada
siswa dan orang tua/masyarakat.
MBS juga menekankan keterlibatan tinggi yang antara lain sering dilakukan oleh sekolah
swasta, misalnya ketergantungan langsung sekolah terhadap pemerintah sangat rendah.
Sekolah swasta cenderung lebih berorientasi kepada kemampuan yang memungkinkan
keterlibatan orang tua/masyarakat secara lebih bermakna dalam melaksanakan kegiatan
sekolah.
Asumsi dasar yang kedua, yaitu: MBS dapat efektif bila diterapkan dan didukung oleh
sistem berbagi kekuasaan (power sharing), antara Pemerintah Pusat dan Pemda dalam
pengelolaan sekolah. Dalam hal ini, beberapa peraturan dalam manajemen pendidikan
seyogyanya ditinjau kembali. Perubahan yang sangat mendasar adalah bergesernya
paradigma pembinaan sekolah. Jika selama ini menggunakan paradigma input?output
production, artinya dengan input yang baik secara otomatis mutu output akan baik.
Melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sekolah dipandang sebagai suatu unit
manajemen yang utuh dan memerlukan perlakuan (treatment) khusus dalam upaya
pengembangannya. Perlakuan khusus itu akan berbeda untuk setiap sekolah.
Itulah hal yang melandasi keyakinan bahwa pengambilan keputusan dalam merancang
dan mengelola pendidikan seharusnya lebih banyak dilakukan di tingkat sekolah. Namun
demikian sekolah tidak memiliki kapasitas untuk berjalan sendiri tanpa menghiraukan
kebijakan, prioritas dan standarisasi yang diamanatkan oleh pemerintah yang telah
ditentukan secara. demokratis atau politis.
Pemberian otonomi yang lebih besar dengan model MBS yang bertanggung jawab
diberikan kepada kepala sekolah dalam pemanfaatan sumber daya, sesuai dengan kondisi
setempat. Konsep otonomi merupakan tindakan desentralisasi yang dilakukan oleh
lembaga yang lebih tinggi ke sekolah. Hal tersebut merupakan upaya pemberdayaan
semua potensi yang?tersedia di sekolah.
MBS sebagai suatu model pengelolaan pendidikan yang bertumpu pada sekolah banyak
diadopsi oleh sistem persekolahan di Amerika Serikat untuk meningkatkan otonomi
sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru-guru, orang tua, siswa, dan anggota
masyarakat dalam pembuatan keputusan. Berdasarkan penelitian dan kajian yang
dilakukan terhadap model ini, para pembina dan pengelola pendidikan meyakini bahwa
MBS merupakan strategi yang efektif dalam meningkatkan kinerja unggul sekolah yang
didukung oleh anggaran, SDM, dan kurikulum atau pengajaran yang memadai.
MBS juga memisahkan sistem informasi, penggunaan sumber, metode belajar dan
pemerintahan. Orientasi MBS adalah pelibatan aktor sekolah secara lebih luas dalam hal
bagaimana mereka mendidik siswa dan memperbaiki kinerja organisasi sekolah. Dalam
kaitan ini implementasi MBS akan mensyaratkan hal?hal sebagai berikut: (1) adanya
kebutuhan untuk berubah atau inovasi, (2) adanya re?desain organisasi pendidikan, dan
(3) proses perubahan sebagai prose belajar.
Ada 6 (enam) prinsip umum yang patut menjadi pedoman dalam pelaksanaan Manajemen
Berbasis Sekolah, yaitu:
• Memiliki visi, misi, dan strategi ke arah pencapaian mutu pendidikan, khususnya
mutu siswa sesuai dengan jenjang sekolah masing-masing.
• Berpijak pada “power sharing” (berbagi kewenangan), yaitu bahwa
pengelolaan pendidikan sepatutnya berlandaskan pada keinginan saling mengisi,
saling membantu dan menerima dan berbagi kekuasaan/kewenangan sesuai
dengan fungsi dan peran masing?masing.
• Adanya profesionalisme semua bidang. Maksudnya bahwa implementasi MBS
menuntut adanya derajat profesionalisme berbagai komponen, baik para praktisi
pendidikan, pengelola, dan manajer pendidikan lainnya, termasuk
profesionalisme Dewan Sekolah.
• Melibatkan partisipasi masyarakat yang kuat. Maksudnya bahwa tanggungjawab
pelaksanaan pendidikan, bukan hanya dibebankan kepada sekolah (guru dan
kepala sekolah saja), tetapi juga menuntut adanya keterlibatan dan tanggung-
jawab semua komponen lapisan masyarakat, termasuk orangtua siswa
• Menuju kepada terbentuknya Dewan Sekolah. Artinya, dalam implementasi MBS,
idealnya setiap sekolah harus membentuk Dewan Sekolah (DS), sebagai institusi
yang akan melaksanakan MBS. Dengan demikian pembentukan Dewan Sekolah
merupakan prasyarat implementasi MBS. Pembentukan Dewan Sekolah itu,
sebaiknya juga diikuti dengan langkah?langkah nyata, yaitu mengidentifikasi
tujuan, manfaat, perencanaan dan pelaksanaan program, serta aspek yang
berkaitan dengan Dewan Sekolah sebagai institusi penopang keberhasilan visi dan
misi sekolah.
• Adanya transparansi dan akuntabilitas, yaitu memiliki makna bahwa prinsip
MBS harus berpijak pada transparansi atau keterbukaan dalam pengelolaan
sekolah, termasuk di dalamnya masalah fisik dan non fisik. Sedangkan akuntabili-
tas (tanggungjawab) memberi makna bahwa sekolah beserta Dewan Sekolah
merupakan institusi terdepan yang paling bertanggungjawab dalam pengelolaan
sekolah.
Gerakan jaminan mutu dan akuntabilitas menempatkan perlindungan atau jaminan bagi
customer dari produk dan barang serta layanan jasa yang merugikan. Istilah jaminan
mutu (quality assurance) pada awalnya digunakan di lingkungan bisnis dan industri,
dengan maksud untuk menumbuhkan budaya peduli mutu. Jaminan mutu perlu dilakukan
oleh perusahaan penghasil barang dan penyedia jasa untuk memberikan kepuasan kepada
customer pemakainya. Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan konsep jaminan
mutu ini ternyata tidak hanya terbatas di lingkungan bisnis dan industri, tetapi juga dalam
bidang penyelenggaraan pendidikan, sejalan dengan munculnya gerakan akuntabilitas
publik (Sallis, 1994 dalam laporan Riset Dinas Pendidikan Jawa Barat, 2004)
Dalam lingkungan sistem pendidikan, tuntutan akan jaminan mutu merupakan gejala
yang wajar dan sepatutnya, karena penyelenggaraan pendidikan yang bermutu merupakan
bagian dari akuntabilitas publik. Setiap komponen/ pihak?pihak yang berkepentingan
terhadap pendidikan, baik orang tua, masyarakat, dunia kerja maupun pemerintah, dalam
peranan dan kapasitasnya masing?masing memiliki kepentingan terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Dari sudut pandang para pembuat produk
dan penyedia jasa (producer, service provider), mutu dipandang sebagai derajat
pencapaian spesifikasi rancangan yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam pandangan
pemakai, mutu diukur dari kinerja produk, yaitu suatu kemampuan produk untuk
memuaskan kebutuhannya. Dari sudut pandang lain, yaitu kelompok customer yang
rasional, derajat mutu dilihat dari perbandingan kegunaan sebuah produk dengan harga
yang harus dibayar oleh pemakai tersebut (Wiyon, 1998 dalam laporan Riset Dinas
Pendidikan Jawa Barat, 2004). Semua analisis tersebut pada akhirnya ditujukan untuk
memenuhi kepuasan customer. Di sinilah titik temu proses transaksional antara pembuat
produk/penyedia jasa dan pemakaiannya, antara kelembagaan pendidikan (sekolah)
dengan stakeholders?nya.
Secara umum karakteristik MBS dapat dikelompokkan menjadi lima dimensi, yaitu: 1)
kemandirian, 2) transparansi dan akuntabilitas, 3) partisipasi masyarakat, 4) peningkatan
kesejahteraan, dan 5) peningkatan kualitas sekolah. Secara rinci hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a) Kemandirian
Implementasi MBS memungkinkan gagasan dan pemikiran serta sumber daya sekolah
yang dapat diolah secara langsung sesuai dengan kebutuhan murid yang dilayani. Apabila
memperhatikan core business penyelenggaraan pendidikan di sekolah, maka tujuan utama
MBS adalah untuk menjamin mutu pembelajaran anak didik/para siswa yang berpijak
pada asas student?driven services.
Asas ini mengandung makna yang sangat mendasar, karena kepentingan dan aspirasi
stakeholders (terutama orang tua) adalah terciptanya kondisi dan situasi yang kondusif
dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah untuk kepentingan prestasi hasil belajar
dan kualitas pengembangan pribadi putra?putrinya. Implikasinya adalah kinerja
kepemimpinan sekolah, mutu mengajar, fasilitas sekolah, program?program sekolah dan
layanan lainnya di sekolah haruslah ditujukan pada jaminan terwujudnya layanan
pembelajaran yang bermutu dan pengembangan pribadi para siswa sesuai dengan yang
dicita?citakan.
c) Partisipasi Masyarakat
d) Peningkatan Kesejahteraan
Implementasi MBS antara lain ditandai dengan adanya dewan sekolah yang esensinya
berbeda dengan BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan). Dalam peran dan
fungsinya yang berjalan sekarang, kemitraan BP3 terbatas pada aspek?aspek pemenuhan
kebutuhan finansial, sarana prasarana sekolah, dan fasilitas pendidikan. Akan tetapi
dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kesejahteraan personil sekolah, MBS dapat
menjadi saran yang penting melalui pemberdayaan dewan sekolah dan optimalisasi
kemandirian yang dimiliki sekolah. Sejauh ini, belum ada hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa implementasi MBS dapat meningkatkan kesejahteraan personil
sekolah. Akan tetapi dengan kemandirian yang dimiliki, sekolah dapat melakukan
terobosan?terobosan baru yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan personil
sekolah.
Untuk sementara ini, hasil?hasil kajian belum koherensi mengenai hubungan yang berarti
antara format MBS dengan peningkatan hasil belajar murid, menurunnya angka putus
sekolah, meningkatkan partisipasi sekolah (APK/APM), dan mutu disiplin murid (ERIC
Digest, 1995). Sekalipun demikian, seperti dilaporkan oleh Dury dan Levin (dalam ERIC
Digest, 1995) MBS mampu mewujudkan tata kerja yang lebih baik dalam empat hal
berikut: 1) meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan penugasan staf, 2)
meningkatkan profesionalisme guru, 3) munculnya gagasan? gagasan baru dalam
implementasi kurikulum, dan 4) meningkatkan mutu. partisipasi kondisi?kondisi tersebut
dapat dipandang sebagai hasil antara yang sangat potensial bagi peningkatan kinerja dan
hasil belajar murid.
Merujuk pada perspektif pemikiran di atas, MBS dipandang akan menciptakan kondisi di
mana sekolah mampu menyediakan program-programnya yang lebih baik karena
pemikiran dan sumber daya sekolah dapat diolah secara langsung sesuai dengan
kebutuhan murid yang dilayani. Demikian juga kondisi keterlibatan pihak?pihak yang
berkepentingan memungkinkan lahirnya keputusan?keputusan yang lebih baik dalam
pelaksanaan manajemen sekolah.
Implementasi MBS akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sifatnya internal
di lingkungan sekolah, ataupun faktor eksternal di luar sekolah. Secara umum beberapa
faktor pendukung MBS tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik. MBS akan berhasil jika
ditopang oleh kemampuan profesional Kepala Sekolah dalam memimpin dan
mengelola sekolah secara efektif dan efisien, serta mampu menciptakan iklim
organisasi di sekolah yang kondusif untuk proses belajar mengajar.
2. Kondisi sosial, ekonomi, dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan. Faktor
eksternal yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah kondisi tingkat
pendidikan orang tua siswa dan masyarakat. Kemampuan dalam membiayai
pendidikan, serta tingkat apresiasi dalam mendorong anak untuk terus belajar.
3. Dukungan Pemerintah. Faktor ini sangat menentukan efektivitas implementasi
MBS terutama bagi sekolah yang kemampuan orang tua/masyarakatnya relatif
belum siap memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Alokasi
dana pemerintah (APBN, APBD) dan pemberian kewenangan dalam pengelolaan
sekolah menjadi penentu keberhasilan.
4. Profesionalisme. Faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan
kinerja sekolah. Tanpa profesionalisme Kepala Sekolah, Guru, dan Pengawas
akan sulit dicapai PBM yang bermutu tinggi serta prestasi siswa
Sumber Bacaan