Professional Documents
Culture Documents
Varietas-varietas ketela pohon unggul yang biasa ditanam, antara lain: Valenca, Mangi, Betawi,
Basiorao, Bogor, SPP, Muara, Mentega, Andira 1, Gading, Andira 2, Malang 1, Malang 2, dan
Andira 4
3. MANFAAT TANAMAN
Di Indonesia, ketela pohon menjadi makanan bahan pangan pokok setelah beras dan jagung.
Manfaat daun ketela pohon sebagai bahan sayuran memiliki protein cukup tinggi, atau untuk
keperluan yang lain seperti bahan obat-obatan. Kayunya bisa digunakan sebagai pagar kebun atau
di desa-desa sering digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak. Dengan perkembangan
teknologi, ketela pohon dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri
pakan. Selain itu digunakan pula pada industri obat-obatan.
4. SENTRA PENANAMAN
Di dunia ketela pohon merupakan komoditi perdagangan yang potensial. Negaranegara sentra
ketela pohon adalah Thailand dan Suriname. Sedangkan sentra utama ketela pohon di Indonesia di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
5. SYARAT PETUMBUHAN
5.1 Iklim
. a) Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ketela pohon antara 1.500-2.500 mm/tahun.
b) Suhu udara minimal bagi tumbuhnya ketela kohon sekitar 10 derajat C. Bila suhunya di
bawah 10 derajat C menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil
karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna.
c) Kelembaban udara optimal untuk tanaman ketela pohon antara 60-65%.
d) Sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman ketela pohon sekitar 10 jam/hari terutama
untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya.
5.2 Media Tanam
. a) Tanah yang paling sesuai untuk ketela pohon adalah tanah yang berstruktur remah,
gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah dengan
struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan
mudah diolah. Untuk pertumbuhan tanaman ketela pohon yang lebih baik, tanah harus
subur dan kaya bahan organik baik unsur makro maupun mikronya.
b) Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman ketela pohon adalah jenis aluvial latosol, podsolik
merah kuning, mediteran, grumosol dan andosol.
PROYEK PENGEMBANGAN
BUDI DAYA SINGKONG VARIETAS DARUL HIDAYAH
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN TARAP KEHIDUPAN
EKONOMI PETANI,SEKALIGUS MENGINTIP PELUANG
PENGEMBANGAN BAHAN BAKU BIOFUEL
A.PENDAHULUAN
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
UNIDO (UN Industrial Development Organization) atau Badan PBB di bidang Pembangunan Industri
sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa laporan tentang potensi singkong atau ubi
kayu atau sampeu atau manioc, terutama di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki
lahan luas dan memungkinkan, karena permintaan pasar produk singkong tersebut dalam bentuk
gaplek, tepung gaplek, dan terutama tepung tapioka, sangat tinggi.
Dari data UNIDO sejak tahun 1982, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil manioc terbesar ke-3
(13.300.000 ton) setelah Brasil (24.554.000 ton), kemudian Thailand (13.500.000 ton), serta disusul oleh negara-
negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India (6.500.000 ton), dan sebagainya, dari total produk dunia sebesar
122.134.000 ton per tahun. Walau dari hasil kebun per hektar (ha), Indonesia masih rendah, yaitu 9,4 ton,
kalau dibandingkan dengan India (17,57 ton), Angola (14,23 ton), Thailand (13,30 ton), Cina (13,06 ton), Brasil
(10,95 ton). Tetapi, lahan yang tersedia untuk budidaya singkong cukup luas, terutama dalam bentuk lahan di
dataran rendah serta lahan di dataran tinggi berdekatan dengan kawasan hutan.
Pada umumnya, di Indonesia masih jarang budidaya singkong berbentuk perkebunan dengan luas di
atas lima hektar, karena umumnya masih merupakan kebun sela atau tumpang sari setelah
penanaman padi huma, kebun hortikultura, ataupun hanya merupakan kebun sambilan, yang lebih
banyak ditujukan untuk panenan daun/pucuknya yang dapat dijual untuk lalap, urab, ataupun
makanan lainnya. Sedang dari ubinya, merasa sudah cukup hanya menjadi makanan panganan,
baik dalam bentuk keripik, goreng singkong, rebus singkong, urab singkong, ketimus, opak, sampai
ke bubuy singkong. Kadang-kadang dapat pula ditingkatkan menjadi makanan yang lebih
"bergengsi" kalau menjadi "misro" (atau amis di jero/di dalam) atau "comro" (oncom di jero), dan
sebagainya.
Ekspor singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang dikeringkan), tepung
gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan dapat bersaing, seperti gaplek Indonesia
yang sangat terkenal di mancanegara, terutama di Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya
mampu bersaing dengan produk sejenis dari beberapa negara di Afrika, juga dari India dan
Thailand, yaitu rata-rata dengan harga 65-75 dollar AS/ton, kemudian meningkat sampai 130 dollar
AS/ ton, padahal produk yang sama dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara di Afrika,
hanya mencapai 60 dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton.
Akan tetapi, berbeda dengan produk tapioka, yang semula Indonesia dikenal sebagai penghasil
tepung tapioka terbaik kualitasnya, bahkan mendekati kualitas pharmaceutical grade atau produk
bahan baku untuk keperluan farmasi, tetapi tiba-tiba pada tahun 1980-an jatuh menjadi kualitas
terendah, kalah oleh produk sejenis dari negara-negara Afrika, apalagi dari India dan Thailand.
Masalahnya adalah, bahwa di dalam tepung tapioka hasil Indonesia terdapat residu (sisa) pestisida yang
membahayakan, bahkan di atas ambang batas.
Memang budidaya singkong, pada umumnya di Indonesia, tidak menggunakan pestisida, terutama
insektisida (pembasmi hama). Tetapi, mohon untuk diketahui, bahwa pada umumnya pabrik tapioka, yaitu
pengolah ubi kayu menjadi tepung, umumnya berada di lingkungan kawasan pertanian padi, serta untuk keperluan
pabrik, sejak mencuci ubi sebelum dihancurkan (diparut), menghasilkan "larutan" tapioka dari parutan sampai ke
pengendapan dan memisahkan larutan menjadi "bubur" tapioka, dari selokan yang keluar dari kotakan sawah. Jadi
kalau dihitung secara teoretis (on paper) penggunaan pestisida, apakah itu organofosfor ataupun lainnya, rata-rata
dua kilogram (kg) per ha sawah, maka sisa yang terdapat di dalam air sawah, sekitar 150-200 ppm (part per
million atau 1 mg per liter). Dengan begitu, wajar saja kalau sisa/residu tersebut akan terdapat antara 20-35 ppm
pada tepung tapioka, sedangkan persyaratan WHO harus kurang dari 0,05 ppm.
Saat produk tapioka Indonesia jatuh dan terpuruk, maka kalau mau dijadikan komoditas ekspor,
khususnya ke Eropa, harus dijual dulu melalui Singapura, karena di negara tersebut tapioka kita
yang sudah tercemar residu pestisida akan "dicuci" terlebih dahulu hingga memenuhi syarat,
kemudian baru diekspor ke beberapa negara di Eropa dengan nama "Made in Singapore", padahal,
kelakar banyak pakar pertanian, di Singapura tersebut jangankan ada kebun singkong, mencari
untuk obat saja sudah susah, dan baru ada di Malaysia.
Tahun 1980-an, ekspor produk singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan tepung tapioka,
umumnya ke negara-negara ME. Sedangkan yang membutuhkan produk singkong Indonesia, banyak negara di
luar ME. Akibatnya keluar semacam SK Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri tahun 1990, yang
menyatakan bahwa eksportir Indonesia yang mau mengekspor ke luar ME akan dapat rangsangan 1:2, yaitu
dalam bentuk mereka akan dapat jatah ekspor ke ME sebesar dua kali jumlah ekspornya ke non-ME.
Makin menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan produk singkong Indonesia, misalnya dari
17,1 juta ton tahun 1989, menjadi 16,3 juta ton tahun 1990. Ini disebabkan pula karena konsumsi di dalam negeri
untuk banyak kegunaan dalam bentuk singkong mencapai 12,65 juta ton, sehingga sisa singkong yang akan
digaplekkan hanya sekitar tiga juta ton saja. Dengan catatan konversi (perubahan) dari ubi singkong segar menjadi
gaplek sekitar 30 persen saja. Karena itu, tidak heran kalau ekspor juga ikut anjlok, yaitu dari sekitar 790.000 ton
ke ME dan 657.104 ke luar ME hanya menjadi 122.845 ton (tahun 1989-1990). Ternyata penurunan tersebut
terkait dengan banyak petani singkong yang sudah tidak mau lagi menanam singkong; disebabkan antara lain
karena "tanah bekas" singkong menjadi lebih kurus karena selama penanaman tidak pernah dilakukan pemberian
pupuk, misalnya pupuk organik dalam bentuk pupuk hijau (tanaman polong-polongan), serta faktor lainnya lagi,
antara lain, banyak pabrik tapioka daerah yang kemudian gulung tikar, sehingga produk para petani kemudian
banyak yang rusak, misalnya perubahan warna menjadi kehitam-hitaman ataupun membusuk. Juga singkong
untuk bahan baku tapioka berbeda dengan singkong konsumsi, yaitu kandungan senyawa cyanida lebih
tinggi dan terasa pahit.
Petani, bukan saja disebabkan karena keterbatasan lahan untuk budidaya singkong yang
menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena pemasaran yang bertahap, sehingga dari
petani bernilai antara Rp 36 - Rp 50/kg segar, dan para pengumpul menerima sekitar Rp 75-Rp
100/kg segar. Dulu ketika di hampir tiap daerah/desa banyak bermunculan pabrik pengolah
singkong menjadi tapioka, hasil jerih payah mereka banyak membantu pendapatan.
Bahwa bertani singkong menguntungkan, banyak dialami petani di beberapa daerah di Jawa Barat,
mulai dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasik, Ciamis, Garut, sampai sukabumi dan
Cianjur.
Mereka menanam singkong bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada lahan yang
sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di lereng pegunungan, berbatasan
dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan untuk tanaman singkong tidak harus khusus, dan tidak
memerlukan penggarapan seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran. Juga
selama penanaman, tidak perlu pemupukan dan pemberantasan hama atau penyakit.
Ternyata hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah penanaman) dari luas 1 ha akan dapat diraih
keuntungan sekitar Rp 2.500.000, yaitu dari hasil penjualan umbinya (4-6 ton) serta pucuk
daunnya. Yang perlu diketahui, bahwa selama budidaya tidak banyak pekerjaan yang harus
dilakukan, misal menyiangi gulma (hama). Tentu saja kalau hal ini dilakukan, hasilnya akan dapat lebih baik
lagi. Padahal bibit singkong yang mereka tanam masih jenis tradisi, yang hanya memberikan hasil ubi sekitar 4-8
ton/ha.
Sekarang, seperti yang dilakukan oleh para pengusaha singkong di daerah Lampung, Sulawesi
Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan dapat lebih dari 500 ha/kebun,
bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga bibit singkong umumnya merupakan bibit unggul seperti
Manggi (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 16 ton/ha, Valenca (berasal dari Brasil) dengan
hasil rata-rata 20 ton/ha, Basiorao (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Muara
(berasal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor) dengan hasil rata-
rata 40 ton/ha. Bahkan, sekarang ada pula jenis unggul dan genjah (cepat dipanen), seperti
Malang-1, dengan produksi antara 45-59 ton/ha atau rata-rata 37 ton, Malang-2, dengan produksi
rata-rata antara 34 - 35 ton/ha.
Semakin banyak petani berdasi yang saat ini mulai melirik budidaya singkong dengan luas tanam di
atas 50 ha, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, karena permintaan produk, terutama
dalam bentuk gaplek, tepung gaplek dan tepung tapioka, terus meningkat dengan tajam. Serta
produk olahan singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan tepung gaplek, dapat bersaing dengan
produk sejenis dari negara-negara di Afrika, juga dari Thailand dan India. H UNUS SURIAWIRIA, Bioteknologi dan
Agroindustri, ITB
Pemesanan bibit :
Teguh Rahayu, telp. 08122040286; email : teguh_r@smsagrobost.com
Segera hadir! Bibit Mekarmanik 2
PT. Sumber Daya Hijau bersama PDBI dan rekan-rekan, berusaha memanfaatkan terobosan-terobosan
teknologi ini dalam industri bahan bakar kendaraan bermotor yang memakai Biomas, limbah pertanian
yang ramah lingkungan sebagai bahan baku.
Ethanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor sudah dipakai sejak per-mulaan abad ke 20 di Brazil,
Perancis, Jerman, Swedia, U.S.A, India, dsb.
Henry Ford melihat ‘Ethanol’ sebagai bahan bakar untuk kehidupan hari de-pan namun dalam
pengembangan lebih lanjut, BBM dari petroleum yang harganya lebih murah telah menjadi dominan.
Kini Ethanol dipakai secara luas di Brazil dan U.S.A. Semua kendaraan bermotor di Brazil, saat ini
menggunakan bahan bakar yang mengandung paling sedikit kadar ethanol sebesar 20 %. Pertengahan
1980, lebih dari 90 % dari mobil baru, dirancang untuk memakai ethanol murni.
Di U.S.A , lebih dari 1 trilyun mil telah ditempuh oleh kendaraan bermotor yang menggunakan BBM
dengan kandungan ethanol sebesar 10 % dan ken-daraan FFV (Flexible Fuel Vehicle) yang
menggunakan BBM dengan kand-ungan 85 % ethanol (E85, lihat halaman - 2).
Tahun 1999, ethanol merupakan pangsa pasar sebesar 1,2 % dari pasaran BBM.
Selama ribuan tahun, hingga kini, manusia membuat ethanol (alkohol) dari tanaman pangan yang diberi
ragi, seperti buah anggur menjadi arak, barley jadi bir dan beras jadi sake, tergantung dari adat istiadat
setempat. Ethanol untuk konsumsi dunia besarnya 25,6 juta ton dimana nilai untuk non-minuman bernilai
US$ 10 miliar (harga sekarang).
Teknologi yang kini sudah maju, bukan saja mengkonversi hasil pangan menjadi ethanol tapi
mengkonversi bagian lain dari tanaman atau limbah pertanian menjadi ethanol dan produk-produk lain
yang dibuat dari ethanol. Penggunaan limbah pertanian sebagai bahan baku ethanol membuat harga
ethanol lebih rendah lagi.
3.2. Dengan dipakainya 2/3 lebih dari produksi dunia untuk bahan bakar kendaraan bermotor, maka
ethanol adalah bahan bakar non petroleum yang terbesar didunia.
Ini mencakup 41 % dari pasaran bensin di Brazil dan 1,2 % dari pasaran bensin di U.S.A. Potensi ethanol
di pasaran bahan bakar kendaraan bermotor di U.S.A adalah 570 juta ton atau 100 kali dari jumlah
produksi saat kini se-cara global, maka pasaran ethanol yang cukup murah (ex. limbah pertanian)
diperkirakan mencapai 2.000 juta ton (sama dengan 80 kali produksi dunia sekarang).
3.3 Bahan bakar dari minyak bumi adalah sumber utama polusi, sedangkan ethanol dari pertanian (bio-
ethanol) adalah bahan terbaharui (renewable), ramah lingkungan, mengurangi import BBM dan
khususnya buat Indonesia mengalirkan subsidi BBM kepada para petani yang miskin (sektor yang te-pat
menerimanya) melalui penciptaan lapangan kerja yang luas dan sustain-able di perkebunan tanaman
energi.
Proses bio dari limbah tanaman adalah permulaan dari perkembangan lebih lanjut pembuatan produk-
produk seperti lactic-acid dan lain-lain bahan kimia yang bernilai tinggi. (lih.lampiran I)
IV. STRATEGY.
4.2. Merencanakan dan membangun (under license) pilot project untuk menunjukan ke-ekonomian dan
kelancaran operasi proses dengan teknologi yang dipilih pada butir (4.1).
4.3. Pilot Project dirancang untuk mampu mengolah multi-crops (sebagai bahan baku ethanol: singkong,
jagung, bagasse, jerami).
4.4. Mengembangkan budi-daya singkong sedemikian rupa sehingga pro-duktivitas singkong menjadi
tinggi dan harga singkong menjadi lebih murah, karena 60 % harga ethanol ditentukan oleh harga bahan
baku.
V. CONTOH PROSES BIOMASS MULTI CROPS.
Di Thailand sedang dikembangkan pesat ‘Thermophilic Bacilli’yang mem-produksi lactate. Ini adalah
bahan penting untuk membuat polymer berupa bahan plastik, seperti polyacrylate, polyactide. (lih.contoh
Golf Tee dari Jagung).
Pasaran lactic acid dunia bernilai US$ 80 juta. Jika harga lactic acid dapat ditekan melalui proses biomas
ethanol maka industri bio-degradable plastic akan cepat berkembang luas.
II. Ke-Ekonomian
Dari eksperimen ini didapat perhitungan indikator keekonomian yang sangat menarik ( dari catatan biaya
yang dikeluarkan dan hasil penjualan ke pabrik tapioca)
Hasilnya sebagai berikut :
Investasi per Ha. = Rp. 12.7 juta, siklus proyek = 3.6 tahun ( 3 x panen). IRR = 68% ; ROI = 35%; dan
ROA = 85%
Pendapatan petani diproyeksikan = Rp. 7 juta / tahun, (tidak memiliki lahan) Jika petani memiliki lahan 1
ha. maka pendapatannya = Rp. 11.5 juta /tahun.
Harga singkong yang didapat diproyeksikan berada sekitar Rp. 70/Kg dengan pendapatan rata-rata petani
= Rp. 7.9 juta. (Lampung rata-rata Petani penghasilannya dibawah Rp. 7 juta)
Untuk memperluas lapangan kerja yang berkesinambungan diselu-ruh Nusantara maka didalam:
Jangka Panjang
Rencana Pembangunan 380 Kilang Ethanol @ 15.000 KL tersebar di seluruh Indonesia.
Beliau saat ini adalah direktur PT Sumber Daya Hijau yang mengkampanyaken penggunaan ethanol
sebagai energi alternatif. Beliau juga menjadi PresDir PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia). Pak Arsyid
Mulia adalah angkatan 1962 Teknik Fisika ITB.
Last Updated ( Monday, 12 April 2004 )
Comments
pak......didaerah saya banyak petani singkong, tolong beri saya desain peralatan untuk membuat ethanol
skala 100 Ltr/hari..terima kasih
Posted by Khairul Bahri, on Friday, 13 June 2008 at 12:15
tolong minta cara pembuatan bioetanol singkong dan berapa harga mesinya untuk skala industri kecil dan
jualnya kemana terimakasih
Posted by erik, on Wednesday, 11 June 2008 at 10:20
saya tertarik dengan usaha bio-ethanol, saya mau bertanya: bagaimana proses cara pembuatan bio-ethanol
dan berapa harga mesin pembuatan bio-ethanol dari skala rumah tangga sampai skala industri besar? dan
satu pertanyaan lagi: dimana?Ditoko apa? dan bagaimana saya dapat membeli mesin pembuatan bio-
ethanol? terima kasih, putra gunawan ( p_gun87@yahoo.com )
Posted by putra gunawan, on Thursday, 05 June 2008 at 5:38
minta info tentang cara pembuatan bioethanol skala kecil,semoga dapat membantu orang yang
memerlukannya.mengapa sampai sekarang belum dijalankan proyek ini???
Posted by arief, on Thursday, 22 May 2008 at 12:31
mohon informasinya detail mengenai bau menyengat yang diakibatkan pembangunan industri etanol? apa
dampak kesehatan bagi manusia, lingkungan dan biota sungai? bagaimana solusi untuk menghilangkan
bau yg sangat mengganggu tsb? atas perhatian dan bantuannya saya ucapkan terima kasih
Posted by Pu3, on Monday, 28 April 2008 at 12:55
setiap sesuatu berlaku hukum sebab akibat, jika kita mempropagandakan pemakaian bio-energi. yang nota
bene barasal dari pertanian dan perkebunan. jk lahan dan hasilnya berlomba lomba di peruntukkan untuk
bio-energi sedangkan manusia jg butuh jg untuk lahan-pertanian yg dipakai untuk konsumsi otomtis
bahan2 konsumsi harganya melambung yang disebabkan penggunaan lahan dan hasilnya untuk bio-
energi. trus bagaimn nasib manusia/negara miskin??? harga kebutuhan pokok melambung?? manusia
tahan menghadapi panas tapi tak kan mampu menghadapi lapar dan kelaparan?? untuk apa berbuat
sesuatu yang mungkin dari satu sudut pandang menyelamatkan dunia tapi satu sisi yg lain malah
mengorbankan orang2 kecil/kemanusiannya dengan kelaparan.., jadilah pengembil keputusan dan
kebijakan yang slalu membawa keuntungan dan kemakmuran bagi seluruh mahluk bukan
segelintir...hiduplah dengan keadilan bukan keserakahan, kt semua bakal mati apa yang akan kt bawa saat
ajal menjemput selain amal kebajiakan tiap2 amal perbuatan kt akan dimintai pertanggung jawaban
sekecil apapun. kita diutus sbg kholifah untuk seluruh alam.
Posted by Riduwan, on Wednesday, 23 April 2008 at 8:13
14 January 2007
Produksi singkong di Indonesia dapat meningkat dengan menambahkan bahan organik ke dalam tanah.
Bahan organik (kompos) yang ditambahkan ke dalam tanah berfungsi sebagai sumber unsur hara dan
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Demikian disampaikan DR. Ir. Basuki Sumawinata dari
Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam sebuah seminar yang
diselenggarakan BPPT di Jakarta pada Desember 2006 yang lalu.
Organisme tanah, menurut Basuki, memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Lalu, melalui
asam humiknya, organisme ini dapat mempertahankan struktur tanah, sehingga sifat fisik tanah seperti
infiltrasi dan drainase baik untuk pertumbuhan tanaman.
Selain itu, asam humik juga memegang peranan penting dalam menonaktifkan senyawa racun seperti
aluminium. Sehingga walaupun tanah berjenis masam (seperti di Bogor), dengan bahan organik yang
cukup tinggi, ternyata tanaman singkong dapat berproduksi dengan tinggi.
Masih menurut Basuki, pada umumnya di kalangan petani berkembang pendapat bahwa singkong
merupakan tanaman yang boros mengambil unsur hara. Sehingga sering menyurutkan niat investor untuk
berkecimpung di bidang tanaman ini. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian Kanapathy
(1974). Pnelitian ini menunjukkan bahwa unsur hara yang keluar dari siklusnya di tanah sebagai akibat
dari proses pemanenan pada tanaman singkong, lebih tinggi dibandingkan tanaman lahan kering lainnya
seperti kelapa sawit, karet, atau jagung.
Akan tetapi menurutnya, data penelitian tersebut sangat sulit diambil sebagai kesimpulan. Mengingat
total unsur hara yang terangkut saat pemanenan sangat tergantung pada kesuburan tanah dan jumlah
singkong yang diproduksi. Lalu Howler (1981), mengumpulkan informasi tentang kandungan unsur hara
yang diangkut per ton singkong yang dihasilkan.
Informasi itu menunjukkan bahwa jumlah unsur hara yang terangkut, erat hubungannya dengan
produktivitas. Sehingga jika bagian tanaman lainnya selain umbi dikembalikan lagi ke tanah, maka unsur
hara yang hilang sebenarnya jauh lebih kecil daripada tanaman seperti padi dan jagung. Apabila ampas
dari proses pembuatan tepung juga dikembalikan, maka unsur hara yang hilang akibat proses produksi
singkong ini sangat kecil.
Hasil penelitian Nijholt (1933) juga menunjukkan bahwa produksi singkong mencapai 52 - 64,6 ton
umbi. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi singkong di sekitar Bogor saat ini yang hanya berkisar
15-20 ton/hektar. Mengingat usaha budidaya singkong selalu menambahkan pupuk buatan dalam bentuk
urea, TSP/SP 36, dan kadang-kadang KCL, maka tentunya penurunan unsur hara tanah tidak terlalu
nyata.
Satu-satunya kemungkinan yang dapat menjadi dasar perbedaan produktivitas singkong yang sangat
nyata di Bogor menurut Bauski adalah penurunan kandungan bahan organik.
Sementara itu dijelaskannya lagi, produktivitas lahan rata-rata di Thailand meningkat 15 ton per hektar
pada 1995 menjadi 20,3 ton per hektar pada 2005. Hal ini juga memastikan peranan pemberian bahan
organik ke dalam lahan budidaya singkong sangat nyata meningkatkan produktivitas. Di mana pengusaha
tepung singkong di Khorat dan daerah lainnya mengkombinasikan usaha tepung singkong dengan usaha
biogas dan pengembalian bahan organik hasil dekomposisi dari sistem biogas.
Walaupun singkong merupakan tanaman yang relatif dapat tumbuh dan berproduksi pada lahan-lahan
yang marginal dan telah dikenal luas di Indonesia, namun data produksi singkong di Indonesia lebih
rendah daripada Thailand.
Hasil ini menjadi lebih nyata bila dibandingkan dengan data rendemen zat tepung terhadap singkong. Di
Indonesia, rendemen zat tepung pada singkong berkisar 16 persen – 17 persen. Sedangkan di Thailand
dapat mencapai rata-rata 19 persen. Padahal varietas singkong yang ditanam umumnya sama yaitu
Kasesat 4 dan UJ 4 dan 5.
Sebagai tanaman umbi-umbian, singkong membutuhkan drainase tanah yang baik seperti tanah bertekstur
lempung berpasir sampai lempung berliat. Akan tetapi beberapa data menunjukkan bahwa tanaman
singkong masih dapat berkembang baik pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi.
Singkong juga jauh lebih toleran terhadap kemasaman tanah dan keracunan aluminium daripada tanaman
lahan kering lainnya seperti jagung dan kedelai. Tapi, kondisi yang paling optimum adalah bila singkong
berkembang pada tanah ber-pH 6 - 7. Hasil penelitian CIAT pada 1976 menunjukkan bahwa pada tanah
masam, umumnya singkong mengalami hambatan pertumbuhan. Itu disebabkan keracunan aluminium
atau mangan, kekurangan fosfor dan kalsium.
Kurangnya pemberian bahan organik, dan tidak dikembalikannya sisa-sisa tanaman juga menyebabkan
menurunnya aktivitas organisme tanah dan menurunkan kemantapan struktur tanah sehingga tanah
menjadi padat. Sebagai akibatnya, akar tanaman menjadi kurang berkembang. Terlebih lagi pupuk kimia
menjadi sangat beracun dan menurunkan produktivitas.
Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan mendesak pemerintah menjadikan penggunaan
energi alternatif sebagai gerakan nasional.
Menurut Ikhwan Mansyur Situmeang, Staf DPD, mengungkapkan bahwa pernyataan tersebut
mengemuka dalam sesi rapat PAH II DPD. Rapat mengagendakan Laporan Tim Kerja PAH II DPD yang
mengadakan kunjungan kerja ke NTT dan Lampung. Rapat PAH II berlangsung di Ruang Rapat PAH II
Gedung DPD, Senayan, Senin (28/11)
Dalam laporannya, Kasmir Tri Putra (Lampung) dan M Lalu Yusuf (NTT) menyatakan, pengembangan
energi alternatif yang sudah berjalan di daerah tersebut adalah minyak jarak dan briket batu bara.
Menurut Kasmir, kunjungan kerja Tim Kerja PAH II DPD ke Lampung antara lain melihat pabrik
pengolahan briket batu bara dan bioethanol. Ia mengatakan, Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Lampung berhasil membuat bioetanol dari bahan baku
singkong atau ketela pohon sejak 1983, bekerja sama dengan lembaga penelitian Jepang, JICA.
Bioetanol jika dicampur dengan bensin premium (komposisi 10:90) memiliki kinerja lebih baik
ketimbang bensin premium maupun Petramax. Bensin campur bioetanol yang dinamakan Gashol BE-10
itu menghasilkan emisi karbon monoksida dari total hisrogen yang lebih rendah daripada yang dihasilkan
besnin premium dan petramax.
"Lokasi membuat etanol dengan prinsip fermentasi ini ada di Desa Selusuban, Bandar Jaya, Lampung
Tengah," tulis Situmeang dalam rilisnya.
Sebagai sumber biofuel, harga singkong Rp500 per kg merupakan nilai ekonomis yang bisa dijadikan
sebagai basis harga pasar, lebih baik daripada harga pasar singkong sekarang yang hanya Rp300 per kg.
Keadaan ini, kata Kasmir, patut menjadi perhatian. "Mengapa di tengah kita mencari energi alternatif
tetapi yang disubsidi justru BBM yang mau digantikan?."
Kasmir juga melaporkan potensi butu bara di Lampung yang masih sangat besar, hanya saja belum
dieksploitasi karena kualitas kalori batu bara yang rendah. "Kualitas batu bara seperti ini justru cocok
untuk briket. Kalau bisa dikembangkan, sekaligus kita mengembangkan batu bara."
Tungku briket batu bara yang paling layak dikembangkan terbuat dari tanah liat seharga Rp40 ribu per
unit. Jika ingin pengembangan tungku briket 1 juta, butuh subsidi cukup besar dengan catatan setiap
keluarga mendapat 2 unit tungku.
Kasmir juga menjelaskan potensi biothermal di Lampung yang mencapai 20 titik tetapi belum dilirik
menjadi sumber daya energi alternatif yang bisa dikembangkan lebih lanjut. "Jika proyek PLPB Bedugul
di Bali dibatalkan, Lampung sudah siap menggantikan dengan kapasitas 400 MW. Kalau ingin
dimasukkan dalam jalur kelistrikan Jawa-Bali, tinggal lempar kabel saja ke Suralaya."
Potensi yang juga belum dipahami dengan baik sebagai sumber daya energi alternatif, air di bendungan
dan waduk. Menurut Kasmir, yang belum dikembangkan pemanfaatannya, waduk yang besar-besar. Jika
dikampanyekan penggunaan energi alternatif ini, kata dia, banyak potensi yang bisa dikembangkan.
Anggota DPD dari Jawa Tengah, Budi Santoso dalam tanggapannya, menyinggung pemakaian briket
batu bara yang bisa menimbulkan kanker paru-paru seperti di RRC.
Kasmir mengaku juga mempertanyakan masalah tersebut kepada kepala pabrik briket di Lampung. Kalau
melihat hasil tungku, kata dia, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekalipun bukan dalam kapasitas
sebagai ahli kesehatan, hasil panas briket diyakini tak membahayakan.
Kasmir menegaskan, kampanye energi alternatif di masyarakat sudah menggaung, sehingga sangat layak
menjadi isu utama DPD ke depan. "Saya cenderung ingin menjadikan ini sebagai isu utama terutama
ketika DPD bertemu eksekutif, daripada ikut membahas isu lain yang hanya menjadi tong sampah DPR."
Sarwono Kusumaatmadja, anggota DPD dari DKI Jakarta menyatakan, bahan kunjungan kerja ini akan
menjadi Terms of Reference (ToR) dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ia setuju akan
menjadikan energi alternatif sebagai isu utama DPD, karena alasan pengembangan energi alternatif ini
berbasis masyarakat dan desentralisasi sumber daya energi.
TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH MASALAH KHUSUS AGRONOMI
PNA 620
Oleh :
Purwanto
07/260162/PPN/3219
Dalam sejarah, manusia tidak pernah lepas dari ketergantungan dengan energi. Konsumsi energi
dalam jumlah besar merupakan ciri dari peradaban modern. Sejak ditemukannya api manusia melai
merekayasa energi. Seiring dengan kebutuhan, tingkat rekayasa energi semakin besar. Hal ini tak pelak
menuntut pengeksploitasian sumber-sumber energi yang semakin besar dan gencar. Namun hal ini masih
terbatas pada sumber-sumber energi tak terbarukan (minyak bumi, gas alam dan Batubara) (Anonim,
2007).
Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional yang
disebabkan secara alamiah cadangan minyak pada sumur-sumur yang berproduksi. Dilain pihak
pertambahan penduduk telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas
industri yang berimbas pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi bahan bakar sehingga untuk
memenuhinya Indonesia harus import.
Besarnya ketergantungan pada bahan bakar import semakin memberatkan Pemerintah. Ketika harga
minyak dunia terus meningkat seperti pada saat ini mencapai 90 $ US mengakibatkan semaikin berat
beban subsidi yang harus ditanggung Pemerintah sehingga harus dikurangi dan ini berakibat naiknya
harga bahan bakar minyak.
Melihat kodisi ini, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5
tahun 2006 tentang kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber-sumber energi alternatif
sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak. Walaupun kebijakan ini menekankan penggunaan batubara dan
gas sebagai pengganti bahan bakar minyak, kebijakan tersebut juga menetapkan sumber daya yang dapat
diperbaharui seperti bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak. Selain itu, pemerintah serius
untuk mengembangkan bahan bakar nabati dengan menerbitkan INPRES No. 1 tahun 2006 tanggal 25
Juni 206 tentang penyediaan bahan bakar nabati (Biofuel) sebagai sumber bahan bakar (Martono dan
Sasongko, 2007).
Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan adalah biodiesel dan bioethanol. Bahan baku hayati
biofuel dapat berasal dari produk-produk dan limbah pertanian yang sangat berlimpah di Indonesia.
Saat ini teknologi yang berpeluang dikembangkan untuk pengadaan energi biofuel adalah produksi
ethanol. Ethanol memiliki kandungan oksigen lebih tinggi sehingga terbakar lebih sempurna, bernilai
oktan lebih tinggi, ramah lingkungan karena mengandung emisi gas karbon monoksida lebih rendah
dibandingkan dengan bahan bakar minyak (Anonim, 2007).
Tabel. 2 Konvensi biomasa menjadi bioethanol
Biomasa (kg) Kandungan gula (Kg) Jumlah hasil bioethanol Biomasa :Bioethanol
(Liter)
Ubi kayu 1.000 250-300 166,6 6,5 : 1
Ubi jalar 1.000 150-200 125 8:1
Jagung 1.000 600-700 400 2,5 : 1
Sagu 1.000 120-160 90 12 : 1
Tetes 1.000 500 250 4:1
Menurut Martono dan Sasongko (2007) Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi
menjadi bahan bakar alternatif diantaranya kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kapuk yang bisa dijadikan
biodiesel untuk bahan bakar alternatif pengganti solar; dan tebu, jagung, singkong ubi serta sagu yang
bisa dijadikan bioethanol untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti premium. Bahan baku biofuel
yang potensial untuk diukembangkan di Indonesia terutama adalah Ubi kayu.
Berdasarkan kontribusi terhadap produksi nasional terdapat sepuluh propinsi utama penghasil
singkong yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku,
Sumatera Selatan dan Yogyakarta yang menyumbang sebesar 89,47 % dari produksi Nasional sedangkan
produksi propinsi lainnya sekitar 11-12 % (Agrica, 2007).
Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13.300.000 ton) setelah Brazil
(25.554.000 ton), Thailand (13.500.000 ton) serta disusul negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton),
India (6.500.000 ton)dari total produksi dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun (Bigcassava.com,
2007).
Potensi Pengembangan ubi kayu di Indonesia masih sangat luas mengingat lahan yang tersedia untuk
budidaya ubi kayu cukup luas terutama dalam bentuk lahan di dataran rendah serta lahan-lahan di
dataran tinggi dekat kawasan hutan. Dalam upaya penyediaan bahan baku yang besar dan kontinu untuk
bioethanol, pengusahaan ubi kayu perlu dilakukan dalam bentuk perkebunan dengan luas areal diatas
lima hektar mengingat selama ini belum diusahakan dan masih merupakan kebun sela atau tumpangsari
ataupun hanya merupakan kebun sambilan.
Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu adalah produktivitas yang masih rendah yaitu 12,2
ton/ha (Agrica, 2007) dibandingkan dengan India (17,57 ton), Angola (14,23 ton/ha), Thailand (13,30
ton/ha) dan China (13,06 ton/ha) (bigcasssava.com, 2007). Disamping itu, produktivitas ubi kayu di
Indonesia masih sangat berfluktuatif. Di Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Gunung
Kidul dari tahun 1998 sampai dengan 2005 mengalami fluktuasi produktivitas anatar 127 kw/ha samapi
174 kw/ha dan produksi tertinggi sebesar 812.321 ton (Martono dan Sasongko, 2007)
Grafik 1. Trend Luas Panen Ubi Kayu (Hektar) di Kabupaten se Daerah Istimewa
Yogyakarta
Grafik 3. Trend ProduksiUbi Kayu (Hektar) Kabupaten Gunung Kidul
Dalam upaya penyediaan bahan baku bioethanol, usaha yang perlu diperhatikan terutama adalah
peningkatan produksi dan produktivitas ubi kayu dengan masukan teknologi budidaya yang tepat.
Rendahnnya produktivitas disebabkan oleh pengunaan varietas lama dan produksinya masih sampingan.
Oleh karena itu dalam pengusahaannya perlu dilakukan secara perkebunan dengan bibit yang memiliki
kapasitas sink dan source yang kuat.
Peningkatan produksi tanaman ubi kayu dapat dilakukan dengan pengusahaan secara perkebunan atau
pengusahaan dalam skala besar untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk bioethanol dengan arah
pengembangan di lahan-lahan marjinal. Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu adalah
produktivitas tanaman yang masih rendah.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman ini perlu masukan teknologi yang dapat
meningkatkan hasil per tanaman ubi kayu. Teknologi yang memungkinkan untuk di introduksi dalam
rangka meningkatkan hasil adalah dengan menggunakan klon-klon ubi kayu yang mempunyai kapasitas
sumber yang besar atau dengan kombinasi antara klon yang mempunyai sumber besar dan lubuk yang
besar pula sehingga produktivitas tanaman meningkat, salah satunya adalah dengan menggunakan
teknologi mukibat.
Ubi kayu mukibat merupakan tanaman hasil sambung atau grafting antara ubi karet sebagai batang
atas dan ubi biasa sebagai batang bawah. Pemilihan ubi karet sebagai batang atas dengan dasar bahwa ubi
karet kapasitas sumber besar, daun besar, dan warna hijau tua, sehingga tanaman mempunyai luas daun
lebih luas dan laju fotosintesis lebih besar. Menurut Glodsworthy dan Fisher (1992) ubi kayu secara
bersama-sama mengembangkan luas daun dan akar yang secara ekonomi berguna sehingga persediaan
fotosintat/asimilat yang ada dibagi antara pertumbuhan daun dan akar. Hal ini berarti ada indek luas daun
optimum untuk pertumbuhan akar. Rekayasa meningkatkan keseimbagan antara sumber dan lubuk
dengan menggunakan teknik mukibat diharapkan dapat meningkatkan hasil tanaman.
Karakteristik daun ubi karet dengan daun besar dan hijau diharapkan dapat memanfaatlkan radiasi
sinar matahari secara efisien. Menurut Gardner et al., 1991) spesies tanaman budidaya yang efisien
cenderung menginvestasikan sebagian besar awal pertumbuhan dalam bentuk penambahan luas daun,
yang berakibat pemanfaatan radiasi matahari yang efisien. Cock (1992) menyatakan bahwa beberapa sifat
tipe tanaman yang akan memberikan hasil lebih tinggi yaitu luas daun terbesar harus tidak kurang dari
500 cm2, cabang pertama harus terbentuk enem bulan pertama setelah penanaman, dan umur daun
individual harus lebih dari seratus hari, sehingga tanaman akan memberikan keseimbangan optimum
antara luas daun (source) dan pertumbuhan akar (sink). Dengan demikian untuk meningkatkan hasil
tanaman dilakukan dengan meningkatkan laju pertumbuhan tanaman per satuan luas daun. Penggunaan
ubi karet sebagai batang atas dengan morfologi daun yang lebih luas dan hijau berarti mempunyai
kemampuan untuk mempertahankan fotosintesisnya sampai laju maksimum untuk jangka waktu yang
panjang. Pada tanaman ubi kayu penyimpanan dalam akar terjadi apabila daun secara fotosintesis aktif,
bukan pada saat laju fotosintesisnya menurun karena umur tanaman. Laju pertumbuhan yang meningkat
akan meningkatkan hasil umbi sampai dua kali lipat peningkatan laju pertumbuhan tanaman dan juga
akan meningkatkan LAI optimum. Menurut Alves (2002) pada tanaman singkong terdapat korelasi yang
positif antara luas daun atau lamanya luas daun terhadap hasil umbi, hal ini mengindikasikan bahwa luas
daun merupakan hal penting yang menentukan laju pertumbuhan tanaman dan laju akumulasi fotosintat
pada bagian penyimpanan pada tanaman singkong.
Hasil penelitian Ahit et al., (1981) menunjukan bahwa penggunaan teknologi mukibat dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil yang lebih tinggi yaitu tanaman memiliki stuktur tanaman
lebih tinggi, diameter akar yang lebat dengan bobot yang lebih tinggi serta LAI yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman ubi kayu biasa. De Bruijn dan Guritno (1990) menyatakan bahwa
peningkatan produksi ubi kayu sistem mukibat maningkat 30% dan bahkan dapat mencapai lebih dari 100
% tergantung pada kondisi wilayah penanaman.
D. Penutup
Penurunan produksi minyak bumi nasional dan kenaikan harga minyak dunia yang semakin tinggi
perlu disikapi dengan mencari sumber energi alternatif bersumber pada bahan terbaharui atau bahan
bakar nabati. Bioethanol berbahan baku singkong cukup potensial untuk dikembangkan mengingat masih
tersedianya lahan untuk budidayanya dengan didukung teknologi budidaya. Teknologi singkong
mukibat dapat dikembangkan untuk peningkatan produksi singkong untuk bioethanol. Penggunaan
teknologi mukibat dapat meningkatkan produksi singkong antara 30 % sampai dengan 100 %.
DAFTAR PUSTAKA
Agrica. 2007. Bensin Singkong. Lembaga Pers Mahasiswa AGRICA Fakultas Pertanian
Unsoed Purwokerto, Edisi XIX/Tahun XXI September 2007
Ahit, O.P.; S.E. Abit and M.B. Posas. Growth and development of Cassava Under The
Traditional and The Mukibat System of Planting. Annal of Tropical Research 3(3): 187-
198.
Cock, J.H. 1992. Ubi Kayu. in Goldsworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi
Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
De Bruijn, G.H. and Bambang Guritno. 1990. Farmer Experimentation With Cassava
Planting in Indonesia. Departemen of Tropical Crop Science. Wageningen Agriculture
University, Netherlands
Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Goldsworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Martono, B. dan Sasongko. 2007. Prospek Pengembangan Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku
Bioethanol. http://www.diy.go.id
China Akan Garap Produk SINGKONG WonogiriOleh admin
Kamis, 18 Januari 2007 06:20:17 Klik: 139
Saat ini, jelas Budiyasa, China kekurangan bahan baku bioethanol sebanyak 3,5 juta ton/tahun. Menurut
Budiyasa, kebutuhan itu akan bisa tercukupi di tiga daerah segitiga selatan tersebut. ”Kami sudah ke
Gunungkidul dan diperoleh informasi produksi singkong di Gunungkidul mencapai 800.000 ton/tahun.
Kekurangan itu bisa ditutup di dua daerah Wonogiri dan Pacitan.”
Lebih lanjut Budiyasa menjelaskan sistem yang dibangun adalah pola kerja sama antara BUMD dengan
UKM di China. ”Kerja sama awal akan berlangsung selama tiga tahun. Tahun kedua China akan ke
Wonogiri untuk menanamkan investasi dengan membangun pabrik. Pembangunan pabrik didasarkan atas
tercukupinya bahan baku. Untuk bibit singkong ICSME yang menyediakan dan petani bisa membeli di
BUMD.”
Konsultan Pertanian dan Pemerhati Biofuel, Suyono, memberikan analisis usaha tani budidaya ketela
pohon atau singkong.
Dia mengatakan untuk setiap hektare lahan membutuhkan biaya produksi senilai Rp 5,2 juta. Pendapatan
per hektare dengan produksi 20 ton mencapai Rp 12 juta, sehingga petani akan untung Rp 6,8 juta/ha.
Staf ahli utama bidang ekonomi, pembangunan dan keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Wonogiri, Damiri, menyatakan Pemkab menyambut positif investor negara asing. ”Bioethanol nanti
menjadi sumber energi alternatif dan saat ini sepertiga kebutuhan dicukupi oleh negara Vietnam. Jadi,
budi daya singkong ini cukup bagus dan menghasilkan.”
Asisten Bidang Pemerintahan dan Pembangunan, Suprapto, mengatakan produksi singkong di Wonogiri
saat ini mencapai 1 juta ton per tahun.
”Ketela pohon merupakan komoditi pertanian yang cukup penting di Wonogiri. Luas areal ketela pohon
di Wonogiri mencapai 73.000 ha per tahun. Saat ini, singkong dimanfaatkan untuk bahan baku industri
tapioka, pakan ternak dan bahan pangan.” - tus