You are on page 1of 65

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLah SWT, yang telah memberikan kenikmatan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan penulisan diktat kuliah ini. Diktat ini digunakan oleh
penulis sebagai bahan mengajar untuk mata kuliah Matematika Teknik II. Materi yang
terdapat pada diktat ini ditujukan bagi mahasiswa Diploma 3 Jurusan Teknik Elektro
yang sedang mengambil mata kuliah Matematika Teknik II pada Program Perkuliahan
Dasar dan Umum di STT Telkom.
Diktat ini terdiri dari lima bab, yaitu Matriks dan Sistem Persamaan Linear,
Persamaan Diferensial Biasa, Fungsi Dua Peubah, Barisan dan Deret, serta Peubah
Kompleks. Semua materi terbut merupakan bahan kuliah yang sesuai dengan kurikulum
2004 yang berlaku di STT Telkom.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada
berbagai pihak atas segala bantuan dan dukungannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan diktat ini. Akhirnya, penulis mohon maaf jika dalam tulisan ini
masih banyak kekurangan. Sumbangan ide, saran, dan kritik yang membangun untuk
perbaikan diktat ini sangat penulis harapkan.

Bandung, Juni 2004

Penulis,

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………... i


Daftar Isi …………………………………………………………………………. ii
BAB I Matriks dan Sistem Persamaan Linear ………………………………. 1
1.1 Matriks dan Operasinya ……………………………………………………… 1
1.1.1 Pendahuluan ……………………………………………………………. . 1
1.1.2 Operasi Matriks ………………………………………………………… 1
1.1.3 Jenis-jenis Matriks ……………………………………………………. . 2
1.1.4 Operasi Baris Elementer ……………………………………………… 4
1.1.5 Matriks Invers …………………………………………………………. 6
1.2 Determinan Matriks ………………………………………………………. …. 8
1.2.1 Menghitung Determinan dengan OBE …………………………… …… 8
1.2.2 Menghitung Determinan dengan Ekspansi Kofaktor …………. ………. 10
1.3 Sistem Persamaan Linear (SPL)………………………………………………. 13
1.3.1 Solusi SPL dengan OBE ………………………………………………... 13
1.3.2 Solusi SPL dengan Aturan Cramer dan Matriks Invers ……………….. 14
1.3.2 Sistem Persamaan Linear Homogen …………………………………... 16
BAB II Persamaan Diferensial Biasa ………………………………………….. 19
2.1 Persamaan Diferensial Orde Satu …………………………………………….. 20
3.2 Trayektori Ortogonal …………………………………………………………. 22
3.3 Persamaan Diferensial Orde Dua ……………………………………………. 25
2.3.1 Persamaan Diferensial Orde Dua Homogen ………………………….. . 25
2.3.2 Persamaan Diferensial Orde Dua Tak Homogen ……………………... 26
BAB III Fungsi Dua Peubah …………………………………………………… 30
3.1 Bentuk Permukaan di Ruang ………………………………………………….. 34
3.2 Domain dan Kurva Ketinggaian Fungsi Dua Peubah . ………………………... 36
3.3 Turunan Parsial ……………………………………………………………….. 38
3.4 Vektor Gradien, Turunan Berarah dan Bidang Singgung ……………………. 39
3.5 Nilai Ekstrim …………………………………………………………………... 40
BAB IV Barisan dan Deret ……………………………………………………… 43
4.1 Barisan ……………………………………………………………………….. 43
4.2 Deret ………………………………………………………………………….. 45
4.3 Uji Kekonvergenan bagi Deret Positif ……………………………………..… 47
4.4 Deret Berganti Tanda dan Kekonvergenan Mutlak …………………………… 51
4.5 Deret Pangkat ……………………………………………………………......... 52
BAB V Peubah Kompleks ……………………………………………………… 57
5.1 Bilangan Kompleks ……………………………………………………………. 57
5.2 Bentuk Polar dari Bilangan Kompleks ……………………………………… 59
5.3 Fungsi Kompleks …………………………………………………………..… 60
Daftar Pustaka 63

ii
1
Matematika Teknik II

BAB I
MATRIKS DAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR

1.1 Matriks dan Operasinya

1.1.1 Pendahuluan
Matriks adalah kumpulan bilangan yang berbentuk segi empat yang tersusun dalam
baris dan kolom.
Contoh : ┌ ┐
│ a11 a12 ... a1n │
A = │ a21 a22 ... a2n │
│ : : : │
│ am1 am2 ... amn │
└ ┘
aij untuk setiap i = 1, 2,…, m dan j = 1, 2,…, n dinamakan unsur /entri / elemen matriks
yang terletak pada baris ke-i dan kolom ke-j. aij dinamakan unsur diagonal jika i = j.
Ukuran suatu matriks (ordo matriks) yaitu jumlah baris kali jumlah kolom.
Contoh : A berorde m x n
Misal A dan B adalah matriks berorde sama, maka dapat dikatakan bahwa A = B,
jika unsur-unsur matriks yang seletak pada kedua matriks tersebut adalah sama.

Contoh : ┌ ┐ ┌ ┐
A = │ a11 a12 a13 │ B = │ b11 b12 b13 │
│ a21 a22 a23 │ │ b21 b22 b23 │
└ ┘ └ ┘
A = B jika aij = bij, untuk setiap i = 1, 2 dan j = 1, 2, 3

1.1.2 Operasi Matriks


Ada beberapa operasi yang perlu diketahui, antara lain :
1. Penjumlahan Matriks
Syarat : orde kedua matriks harus sama.
Penjumlahan dua buah matriks akan menghasilkan sebuah matriks dengan ordo yang
sama , dan setiap unsur didalamnya merupakan hasil penjumlahan dari unsure yang
seletak pada kedua martriks tersebut.
Contoh : ┌ ┐ ┌ ┐ ┌ ┐
│ a b │ + │ e f │ = │ a+e b+ f│
│c d │ │g h│ │ c + g d + h│
└ ┘ └ ┘ └ ┘

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
2
Matematika Teknik II

┌ ┐ ┌ ┐ ┌ ┐
│1 2│ + │5 6│ = │6 8│
│3 4│ │7 8│ │ 10 12 │
└ ┘ └ ┘ └ ┘
2. Perkalian Matriks
a. dengan skalar ┌ ┐
Contoh : C elemen Real dan A = │p q│
│r s│
└ ┘
┌ ┐ ┌ ┐
C x A = C │ p q │ = │ Cp Cq │
│r s│ │ Cr Cs │
└ ┘ └ ┘
b. dengan matriks lain
Misal : Amxn dan Bpxq
Maka : - A x B bisa dilakukan jika n = p dan hasilnya berorde m x q
- B x A bisa dilakukan jika q = m dan hasilnya berorde p x n
Contoh : ┌ ┐ ┌ ┐
A = │ a b c│ B = │ p s│
│d e f│ │q t│
└ ┘2x3 │r u│
└ ┘3x2
┌ ┐
Maka : A x B = │ ap + bq + cr as + bt + cu │
│ dp + eq + fr ds + et + fu │
└ ┘2x2
Perhatikan bahwa unsur baris ke-2 kolom ke-1 dari AB merupakan jumlah dari hasil
kali unsur-unsur pada baris ke-2 matriks A dengan unsur-unsur pada kolom ke-1
matriks B.

1.1.3 Jenis-jenis Matriks


Ada beberapa jenis matriks yang harus diketahui, sehinggga diharapkan akan
menjadi dasar untuk pemahaman yang lebih lanjut dalam mempelajari buku ini.
Jenis–jenis matriks tersebut meliputi :

1. Matriks Bujur Sangkar


Matriks yang jumlah baris dan jumlah kolomnya sama.
Misal kita gunakan matriks berukuran 3 X 3,
Contoh :

 3 5 4 
 5 6 6 
 7 8 9 

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
3
Matematika Teknik II

2. Matriks Diagonal
Matriks bujur sangkar dimana unsur selain unsur diagonalnya adalah 0.
Contoh :

 3 0 0 
 0 2 0 
 0 0 1 

3. Matriks Identitas
Matriks diagonal yang unsur diagonalnya adalah 1
Contoh :
 1 0 0 
 0 1 0 
 0 0 1 

4. Matriks Segitiga Atas


Matriks Bujur Sangkar yang semua unsur dibawah unsur diagonalnya bernilai 0
Contoh :
 5 9 3 
 0 1 7 
 0 0 8 

5. Matriks Segitiga Bawah


Matriks Bujur Sangkar yang semua unsur diatas unsur diagonalnya bernilai 0

Contoh :
 2 0 0 
 5 1 0 
 3 0 2 

6. Matriks Nol
Matriks yang semua unsurnya bernilai Nol
Contoh :

 0 0 
 0 0 

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
4
Matematika Teknik II

1.1.4 Operasi Baris Elementer


Operasi Baris Elementer merupakan operasi aritmatika (penjumlahan dan perkalian)
yang dikenakan pada setiap unsure dalam suatu baris pada sebuah matriks.

Operasi Baris Elementer meliputi :


1. Pertukaran Baris
2. Perkalian suatu baris dengan konstanta tak nol
3. Penjumlahan suatu baris pada baris yang lain
Contoh:
┌ ┐
│ -3 -2 -1 │
A= │ 1 2 3 │
│ 0 2 4 │
└ ┘
┌ ┐
│ 1 2 3 │
b1 ↔ b2 ~ │ -3 -2 -1 │
│ 0 2 4 │
└ ┘
┌ ┐
│ 1 2 3 │
⅓ b2 ~ │ -1 -⅔ -⅓ │
│ 0 2 4 │
└ ┘
┌ ┐
│ 1 2 3 │
4 8
b1 + b2 ~ │ 0 /3 /3 │
│ 0 2 4 │
└ ┘
Tujuan Operasi Baris Elementer adalah menghasilkan matriks dalam dengan bentuk :
1. Pada baris tak nol maka unsur tak nol pertama adalah 1 (disebut 1 utama).
2. Pada baris yang berturutan baris yang lebih rendah memuat 1 utama yang lebih ke
kanan.
3. Jika ada baris nol (baris yang semua unsurnya nol), maka ia diletakkan paling
bawah.
4. Pada kolom yang memuat 1 utama, unsur yang lainnya adalah nol.
Catatan :
• Jika poin 1, 2, dan 3 dipenuhi, matriks dinamakan berbentuk esilon baris (prosesnya
dinamakan eliminasi gauss).
• Jika semua poin dipenuhi matriks dinamakan berbentuk esilon baris tereduksi
(prosesnya dinamakan eliminasi gauss-jordan).

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
5
Matematika Teknik II

Contoh :
┌ ┐
│ 1 -1 0 -1 │
A= │0 2 1 7│
│ 2 -1 1 3 │
└ ┘
Tentukan Matriks Esilon Baris Tereduksi ?

Jawab :
┌ ┐
│1 -1 0 -1 │
-2b1 + b3 ~ │0 2 1 7│
│0 1 1 5│
└ ┘
┌ ┐
│1 -1 0 -1 │
b2 ↔ b3 ~ │0 1 1 5│
│0 2 1 7│
└ ┘
┌ ┐
│1 -1 0 -1 │
-2b2 + b3 ~ │0 1 1 5│
│0 0 -1 -3 │
└ ┘
┌ ┐
│1 -1 0 -1 │
-b3 ~ │0 1 1 5│
│0 0 1 3│
└ ┘

┌ ┐
│1 0 1 4│
b2 + b1 ~ │ 0 1 1 5│
│0 0 1 3│
└ ┘

┌ ┐
-b3 + b2 │1 0 0 1│
-b3 + b1 ~ │ 0 1 0 2│
│0 0 1 3│
└ ┘

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
6
Matematika Teknik II

1.1.5 Matriks Invers


Misalkan, A, B adalah matriks bujur sangkar dan berukuran sama dan I adalah
matriks identitas.
Jika A . B = I maka B merupakan invers dari A dengan notasi B = A-1, dan sebaliknya.
Penentuan matriks invers dari suatu matriks dapat dilakukan melalui OBE, yaitu melalui :
(A¦I)~(I¦A)
Jika pada proses OBE ditemukan baris nol pada matriks ruas kiri maka A dikatakan tidak
mempunyai invers.

Sifat-sifat matriks invers :


i. (A-1)-1 = A
ii. Jika A, B dapat dibalik atau memiliki invers maka
(A . B)-1 = B-1 . A-1
1
iii. Misal k ∈ R , k ≠ 0 maka (kA)-1 = . A-1
k
iv. Akibat dari (ii) maka (An)-1 = (A-1)n

Contoh :
 2 1 0
 
Tentukan matriks invers ( jika ada ) dari A =  1 2 1 
 0 1 2
 
Jawab :

 2 1 0 1 0 0  1 2 1 0 1 0
   
 1 2 1 0 1 0 ~  2 1 0 1 0 0
 0 1 2 0 0 1  0 1 2 0 0 1
   

2 1 0 0 10
 
~ 0 − 3 − 2 1 − 2 0
0 1 2 0 0 1 

1 2 1 0 1 0
 
~0 1 2 0 0 1
0 − 3 − 2 1 − 2 0 

1 0 − 3 0 1− 2
 
~ 0 1 2 0 0 1 
0 − 3 − 2 1 − 2 0 

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
7
Matematika Teknik II

1 0 − 3 0 − 2
1
 
~0 1 2 0 0 1 
0 0 4 1 − 2 3 

1 0 − 3 0 1 −2
 
~ 0 1 2 0 0 1 
 0 0 1 1/ 4 − 1/ 2 3 / 4 
 

1 0 0 3/ 4 −1/ 2
1/ 4 
 
~0 1 0 − 1/ 2 1 − 1/ 2 
0 0 1 1 / 4 − 1 / 2 3 / 4 

 3 / 4 − 1/ 2 1/ 4 

-1 
Jadi A =  − 1 / 2 1 − 1/ 2 
 1/ 4 − 1/ 2 3 / 4 
 

Untuk memeriksa apakah A-1 sudah benar atau belum, maka dapat dilakukan dengan
mengalikan A . A-1 = I
 2 1 0  3 / 4 − 1/ 2 1/ 4 
  -1  
A = 1 2 1 dan A =  − 1 / 2 1 − 1/ 2 
 0 1 2  1/ 4 1/ 2 3 / 4 
  

maka

 2 1 0   3 / 4 − 1/ 2 1/ 4 

-1   
A . A =  1 2 1  .  − 1/ 2 1 − 1/ 2 
 0 1 2   1/ 4 − 1/ 2 3 / 4 
   

 3 / 2 − 1/ 2 + 0 −1+1+ 0 1/ 2 − 1/ 2 + 0 
 
=  3 / 4 − 1 + 1/ 4 − 1/ 2 + 2 − 1/ 2 1/ 4 − 1 + 3 / 4 
 0 − 1/ 2 + 1/ 2 0 +1−1 0 − 1 / 2 + 3 / 2 

1 0 0
 
= 0 1 0
0 0 1
 
= I3x3 (terbukti)

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
8
Matematika Teknik II

1.2 Determinan Matriks

Determinan merupakan suatu fungsi riil dengan domain matriks bujur sangkar.
Misalkan,
┌ ┐
│ a11 a12 ... a1n │
A = │ a21 a22 ... a2n │
│ : : : │
│ an1 an2 ... ann │
└ ┘

Notasi determinan dari matriks A ditulis sebagai berikut


Det (A) atau a11 . . . a1n atau |A|
. .
. .
an1 . . . ann

1.2.1 Menghitung Determinan dengan OBE


Secara sederhana, determinan suatu matriks merupakan hasil kali setiap unsur
diagonal pada suatu matriks segitiga atas / bawah.
Masalah : kita akan menentukan determinan matriks dari suatu matriks umum (belum
tentu berupa matriks segitiga atas / bawah)
Solusi : Matriks umum ~ OBE ~ matriks segitiga.
Alasan inilah yang mengharuskan kita mengetahui pengaruh operasi baris elementer
terhadap determinan suatu matriks.
Pengaruh OBE pada suatu determinan suatu matriks, antara lain :
1) Jika matriks B berasal dari matriks A dengan satu kali pertukaran baris maka
Det (B) = - Det (A)

Contoh :
A= 2 1 maka |A| = 3
-1 1

Jika B = -1 1 maka |B| = -3 (terbukti)


2 1

2) Jika B berasal dari A denagn perkalian sebuah baris dengan konstanta tak nol
k maka Det (B) = k . Det (A)

Contoh : matriks B berasal dari matriks A dengan perkalian dengan 2 pada baris
kedua
A= 2 1
-1 1

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
9
Matematika Teknik II

B= 2 1
-2 2

maka |B| = 2 1 = 6 = 2 . Det (A)

3) Jika matriks B berasal dari matriks A dengan perkalian sebua baris dengan
konstanta tak nol k lalu dijumlahkan pada baris lain maka Det (B) = Det (A)

Contoh : 1 3 = 1 3 = -12
2 -6 0 -12

Contoh :
Tentukan determinan matriks berikut :

 2 1 0 
A= 1 2 1 
 0 1 2 

Jawab :

det( A) = A
2 1 0
= 1 2 1
0 1 2

1 2 1
=− 2 1 0 pertukaran baris ke-1 dan ke-2
0 1 2

1 2 1
=− 0 −3 −2 -2b1 + b2
0 1 2

1 2 1
= 0 1 2 Pertukaran baris ke-2 dan ke-3
0 −3 −2

1 2 1
= 0 1 2 3b2 + b3
0 0 4

=4 Hasil perkalian semua unsur diagonalnya

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
10
Matematika Teknik II

1.2.2 Menghitung Determinan dengan ekspansi kofaktor

Misalkan ,

a11 a22 . . . . . . . .a1n


. . .
A= . . .
. . .
an1 an2 . . . . . . .. . .ann

Beberapa definisi :
(i) Mij disebut Minor- ij yaitu determinan matriks A dengan menghilangkan baris ke_i
dan kolom ke-j matriks A.
Contoh :

2 1 0 1 2
1 2 1 maka M13 = =1
0 1 2 0 1

(ii) Cij Matrik dinamakan kofaktor - ij yaitu (-1)i+j Mij


Contoh :

1 0
C21 = (-1)2+1 = (-1)3 .2 = -2
1 2

Cara menghitung determinan dengan ekspansi kofaktor


• Menghitung det (A) dengan ekspansi kofaktor sepanjang baris ke-i
det (A) = ai1 ci1 + ai2 ci2 + . . . + ain cin
• Menghitung det (A) dengan ekspansi kofaktor sepanjang kolom ke-j
det (A) = aij c1j + a2j c2j + . . . + anj cjn

Contoh :
Hitunglah determinan matrik

2 1 0
A= 1 2 1
0 1 2

Jawab :
Misalkan , kita akan menghitung det (A) dengan ekspansi kofaktor sepanjang baris ke-3
3
det( A) = ∑ a3 j c3 j
j =1

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
11
Matematika Teknik II

2 0 2 1
= 0 +1 (-1) 3+2 + 2 (-1) 3+3 =0–2+6=4
1 1 1 2

Menghitung det (A) dengan ekspansi kopaktor sepanjang kolom ke-3

3
det (A) = ∑ aj3 cj3
j =1

2 1 2 1
= 0 +1 (-1) 3+2 + 2 (-1) 3+3 =0–2+6=4
0 1 1 2

Contoh :
Tentukan determinan matriks berikut :
1 0 1
 
A = 1 -1 0
0 2 1 

Jawab :

a. determinan dengan OBE :


1 0 1
det (A ) = 1 -1 0
0 2 1
1 0 1
= 0 -1 -1
0 2 1
1 0 1
= 0 -1 -1
0 0 -1
det ( A ) = 1 (-1) (-1)
=1

b. determinan dengan ekspansi kofaktor


berikut akan menggunakan ekspansi kofaktor sepanjang baris pertama

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
12
Matematika Teknik II

-1 0 1 -1
det ( A ) = 1 + 0 + 1
2 1 0 2
= ( -1 ) + 0 + 2
=1

1.3 Sistem Persamaan Linear (SPL)


Sistem persamaan linier merupakan sekumpulan pesamaan linier dengan sejumlah
hingga peubah bebas yang saling terkait.
Contoh :
Sistem Persamaan Linier
2x+y–z =0
q+5p+3z=5
Bukan Sistem Persamaan Linier
x+y =7 Persamaan tersebut bukan Sistem Persamaan Linier
v + 3p =0 karena tidak ada peubah bebas yang terkait

Secara intuitif, Persamaan Linier adalah :


Persamaan dimana peubahnya tidak memuat Exponensial, trigonometri (seperti sin,
cos, dll.), perkalian, pembagian dengan peubah lain atau dirinya sendiri.
Bentuk umum SistemPersamaan Linier :
a 11 x 1 + a 12 x 2 + … + a 1n x n = b 1
. . . .
. . . .
. . . .
a m1 x 1 + a m2 x 2 + … + a mn x n = b m
dimana :
a11, a12 , a1n Є R ; koofisien
x1, x2, xn ; peubah
b1, b2, bm Є R ; konstanta

contoh :
2x+y+3z =0
y = x2
Pada sistem persamaan di atas peubah x mengandung pangkat, jadi sistem di atas
bukan merupakan Sistem Persamaan Linier.
Sistem Persamaan Linier dapat ditulis dengan perkalian matrik sebagai berikut .:

a 11 a 12 … a 1n x1 b1
a 21 a 22 … a 2n x2 b2
: .: : = : = : (*)
. . . . .
a m1 a m2 … a mn xn bm

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
13
Matematika Teknik II

atau

AX = B

dimana :
A dinamakan matriks koefisien
X dinamakan matriks peubah
B dinamakan matriks konstanta

Contoh :
Misalkan, berikut merupakan sistem persamaan linier, yaitu :
2x–y+3z =0
4p+2q–z =2
maka sistem persamaan linier dalam bentuk perkalian matriks berikut:
x
2 -1 0 0 3 y = 0
0 0 4 2 -1 p 2
q
z

1.3.1 Solusi Persamaan Linear dengan OBE


Misalkan, S = { s1 , s2 , … , sn | s1, s 2, …, s n ЄR }
disubstitusikan pada sistem persamaan linier (*), sehingga
x1 = s1 , x2 = s2 , … , xn = sn
dan sistem persamaan limier tersebut bernilai benar
maka S dinamakan solusi dari sistem persamaan linier diatas.

Contoh :
3x–y=5
x+3y=5
Misal S = { 2, 1 } maka S merupakan solusi sistem persaman linier tersebut.
Menentukan solusi persamaan linier dapat dilakukan dengan menggunakan operasi baris
elementer (OBE). Sistem persamaan linier ditulis dalam bentuk matrik yang diper besar,
yaitu :

3 -1 5 b1+ b2 3 -1 5 -3b1+ b2
1 3 5 ~ 1 3 5 ~

1 3 5 - 1/10 b2 1 3 5 -3 b2+ b1
0 -10 -10 ~ 0 1 1 ~

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
14
Matematika Teknik II

1 0 2
0 1 1

Tulis dalam bentuk perkalian matrik :

1 0 x 2
0 1 y = 1

dengan demikian solusi SPL tersebut adalah x = 2 dan y = 1

1.3.2 Solusi SPL dengan aturan Cramer dan matriks invers


Selain dengan OBE solusiSPL dapat ditentukan dengan menggunakan aturan
Cramer. Aturan Cramer merupakan suatu cara untuk menentukan solusi sistem persamaan
linier secara terpartisi (misal xi, yaitu peubah ke i) dengan matrik koefisien bujur sangkar
dan diskriminannya.
Misalkan SPL dapat ditulis dalam bentuk :

a11 a12 …a1n x1 b1


a21 a22 … a2n . .
. . . = .
: : . .
an1 an2 … ann xn bn

Jika determinan A tidak sama dengan nol, maka untuk menentukan solusi peubah x1, kita
dapat menggunakan aturan cramer, yaitu :
( i ) Tulis Ai yaitu matrik A dengan mengganti seluruh anggota kolom ke-i dengan
konstanta b1… bn
( ii ) Hitung det(A) dan det(Ai)
( iii ) Solusi peubah xi = det(Ai) / det( A)

Misalkan SPL dapat dituliskan dalam bentuk perkalian matriks :


AX = B
dimana A merupakan matriks bujur sangkar yang mempunyai invers. Solusi SPL tersebut
dapat ditentukan dengan menggunakan matriks invers, yaitu dengan mengalikan setiap
ruas di atas dengan A–1 sehingga menjadi :
X = A–1 B
Contoh :
Tentukan solusi dari SPL berikut :
a + c = 4
a – b = –1
2b + c = 7

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
15
Matematika Teknik II

Jawab :

a. Dengan menggunakan matrik invers


Invers dari matriks koefisien diatas adalah
 -1 2 1 
 
 -1 1 1 
 2 - 2 - 1
 
sehingga X = A–1 B berbentuk :

a   -1 2 1  4
     
 b  =  -1 1 1   - 1
c  2 - 2 - 1 7
     
1
 
=  2
 3
 

Jadi solusi dari SPL diatas adalah (a, b, c ) = (1, 2 , 3)

b. dengan aturan Cramer.

1 0 1
A = 1 -1 0
0 2 1
=1
sehingga
det ( Aa )
a=
det ( A )
4 0 1
= -1 -1 0
7 2 1
-1 0 -1 -1
= 4 + 0 +1
2 1 7 2
= 4 ( - 1 - 0 ) + 1 ( - 2 - (-7) )
=- 4 + 0 + 5
=1

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
16
Matematika Teknik II

b. Sementara itu, nilai b dapat ditentukan dengan cara berikut :


det ( Ab )
b =
det ( A )
1 4 1
= 1 -1 0
0 7 1
-1 0 1 0 1 -1
= 1 + (-4) + 1
7 1 0 1 0 7
= 1 ( - 1 - 0 ) + (-4) ( 1 - 0 ) + 1 ( 7 - 0 )
= - 1 + (-4) + 7
=2
Dengan demikian, kita telah mempunya tiga cara dalam menentukan solusi suatu
sistem persamaan linear, antara lain :
- Dengan operasi baris elementer (OBE )
- Dengan Invers matrik
- Aturan Cramer
Untuk 2 point terakhir, matrik koefisien harus bujur sangkar dan determinan tidak sama
dengan nol. Jika solusi SPL dapat dicari dengan dua cara tersebut maka solusi SPL tersebut
adalah tunggal .

1.3.3 Sistem Persamaan Linier Homogen


Sistem persamaan linier homogen merupakan sistem persamaan linier yang semua
konstantanya adalah nol, sehingga bentuk umum SPL homogen adalah :
a11x1 + a12 x2 + Λ + a1n xn = 0
a21x1 + a22 x2 + Λ + a2n xn = 0
Μ Μ Μ Μ
am1x1 + am 2 x2 + Λ + amn xn = 0

SPL homogen merupakan SPL yang konsisten, yaitu ia selalu mempunyai. Solusi SPL
homogen dikatakan tunggal jika solusi itu adalah {x1 = x 2 = Κ = x n = 0}.
Jika tidak demikian, artinya SPL homogen mempunya solusi tak hingga banyak. Ini
biasanya ditulis dalam bentuk parameter.
Contoh:
Tentukan SPL homogen berikut

2p + q – 2r - 2s = 0
p - q + 2r – s = 0
-p + 2q - 4s + s = 0
3p - 3s =0

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
17
Matematika Teknik II

Sistem persamaan diatas dapat ditulis dalam bentuk matriks sebagai berikut :
 2 1 −2 −2 0
 
 1 −1 2 −1 0
− 1 2 − 4 1 0
 
 3 0 0 −3 0
dengan melakukan OBE diperoleh :
1 0 0 −1 0
 
0 1 − 2 0 0
0 0 0 0 0
 
0 0 0 0 0
Dengan demikian solusi SPL homogen tersebut adalah :
p = a,
q = 2b ,
s = a, dan
r = b,
dimana a, b merupakan parameter.

Latihan :
1. Tentukan determinan matriks berikut dengan menggunakan OBE dan ekspansi
kofaktor (membandingkan kedua metode) :
2 1 1
 
P = 1 2 1 
a.
1 1 2

 3 − 2 0
 
b. Q =  0 1 0
− 4 4 1

2. Apakah kedua matriks diatas mempunyai invers?


Jika ya, tentukan matriks inversnya!
3. Tentukan solusi SPL berikut :
2a – 8b = 12
3a – 6b = 9
– a + 2b = – 4
4. Tentukan solusi SPL homogen berikut :
p – 5q – 4r – 7t = 0
2p + 10q – 7q + s – 7t = 0
r + s + 7t = 0
– 2p – 10q + 8q + s + 18t = 0

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
18
Matematika Teknik II

5. Diketahui SPL AX = B dengan


1 0 1  x1  1
     
A = 1 -1 0 , X =  x2  dan B =  − 1
x  1
0 2 1   3  

Tentukan solusi SPL di atas dengan menggunakan :


- operasi baris elementer (OBE )
- Invers matrik
- Aturan Cramer

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
19
Matematika Teknik II

BAB II
PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

Persamaan Diferensial adalah suatu persamaan yang mengandung satu atau


beberapa turunan dari peubah tak bebasnya. Jika persamaan diferensial tersebut
mengandung peubah tak bebas yang hanya bergantung pada satu peubah bebasnya maka
persamaan diferensial tersebut dinamakan persamaan diferensial biasa. Sedangkan jika
peubah bebasnya lebih dari satu dinamakan persamaan diferensial parsial. Orde suatu
persamaan diferensial adalah turunan tertinggi pada persamaan diferensial tersebut.
Contoh Persamaan Diferensial Biasa :
dy
1. + 2 sin x = 0 , persamaan diferensial orde satu dimana y sebagai peubah tak bebas
dx

dan x merupakan peubah bebas.


d 2r dr
2. 2
+ 2 + 1 = 0 , persamaan diferensial orde dua dimana r sebagai peubah tak
dt dt
bebas dan t merupakan peubah bebas.
Notasi persamaan diferensial bisa dalam beberapa bentuk, antara lain notasi
pada contoh kedua, selain diatas dapat pula ditulis sebagai berikut :
r ” + 2r’ +1 = 0
atau
rtt + 2rt + 1 = 0
Persamaan diferensial dikatakan linear, apabila persamaan diferensial tersebut
mempunyai peubah tak bebas maupun turunannya bersifat linear.
Contoh :
1. y’ + y – x2 =2 (merupakan persamaan diferensial linear)
2. y’ + y2 – x =2 (merupakan persamaan diferensial tak linear)
Definisi solusi suatu persamaan diferensial :
Misal ada suatu persamaan diferensial dimana y sebagai peubah tak bebas yang
bergantung pada peubah bebas x.
Suatu fungsi f(x) disubstitusikan untuk y dalam persamaan diferensial, persamaan yang
dihasilkan merupakan suatu kesamaan untuk setiap x dalam suatu selang, maka f(x)
dinamakan solusi persamaan diferensial tersebut.

Contoh :
Diketahui persamaan diferensial y’ + 2 sinx = 0
f(x) = 2 cos x + C merupakan solusi persamaan diferensial diatas,
dimana C adalah konstanta yang bergantung pada syarat awal persamaan
diferensial tersebut.

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
20
Matematika Teknik II

2.1 Persamaan Diferensial Orde Satu


Bentuk umum persamaan diferensial orde satu adalah:
dy f ( x)
=
dx g ( y )

Beberapa metode untuk menyelesaikan persamaan diferensial orde satu, antara lain :

a. Peubah Terpisah
Bentuk umum :
dy f ( x)
=
dx g ( y )
atau
dy g ( y )
=
dx f ( x)
Cara penyelesaian dengan integral biasa dari kedua ruas di bawah ini :
∫ g ( y)dy = ∫ f ( x)dx
Contoh :
Tentukan solusi umum dari persamaan diferensial
dy y
=
dx 1 + x
Jawab :
dy y
=
dx 1 + x
dy dx
⇒ =
y 1+ x
⇒ ln y = ln(1 + x) + C
⇒ y = C (1 + x)
Dengan demikian, solusi umum dari persamaan diferensial tersebut adalah

y = C (1 + x) , dimana C adalah suatu konstatnta Riil.

b. Faktor Integrasi
Bentuk umum merupakan persamaan diferensial linear, yaitu :
y’ + p(x) y = q(x)
(*)
Solusi persamaan diferensial diatas adalah berbentuk :
1
y=
u ( x) ∫
u ( x)q( x)dx + C ,

dimana u ( x) = e ∫
p ( x ) dx

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
21
Matematika Teknik II

Bukti :
Kalikan persamaan diferensial (*) dengan u(x) sehingga menjadi :
u(x) y’ + u(x) p(x) y = u(x) q(x)
u(x) y’ + u’(x) y - [ u’(x) y - u(x) p(x) y ] = u(x) q(x)
Misalkan
u’(x) y - u(x) p(x) y = 0
(**)
Sehingga u(x) y’ + u’(x) y = u(x) q(x)
 [ u(x) y ]’ = u(x) q(x)
1
 y= ∫ u ( x)q( x)dx + C
u ( x)
Dari (**) kita mempunyai u’(x) y - u(x) p(x) y = 0
Dengan metode peubah terpisah diperoleh :
p ( x) dx
u ( x) = e ∫ ΘΘΘ

Contoh :
dy y 1
Tentukan solusi umum dari persamaan diferensial + =
dx x x 2
Jawab :
Tulis p(x) = 1/x
1
Sehingga u(x) = exp ∫ dx = x
x
Dengan demikian solusi dari persamaan diferensial tersebut adalah :
1 1
y = ∫x dx
x x2
1
= ( ln x + C )
x

f(x, y) dinamakan fungsi homogen jika f(kx, ky) = kn f(x, y), untuk k ∈ skalar riil dan n
merupakan orde dari fungsi tersebut.
Beberapa persamaan diferensial orde satu tak linear yang dapat ditulis
dy S( x, y )
= ,
dx T( x, y )
dimana S, T merupakan fungsi homogen berderajat sama. Maka solusi persamaan
diferensial dapat dicari dengan menggunakan metode substitusi sehingga menjadi
bentuk persamaan diferensial dengan peubah terpisah. Misal, kita dapat mensubstitusi
peubah tak bebas y dengan ux, yaitu : y = ux dimana u = u(x), sehingga y’ = u’x + u.

Contoh :
Tentukan Solusi umum dari persamaan diferensial
dy x + y
=
dx x
Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
22
Matematika Teknik II

Jawab :
Misal y = ux, dimana u = u(x)
Oleh karena itu y’ = u’ x + u
Dengan mensubstitusi pada persamaan diferensial di atas ke persamaan
diferensial, di peroleh :
x + ux
u'x + u =
x
 u ' x + u =1 + u
1
 u' =
x
 u = ln x + C

maka
y = x lnx + cx

2.2 Trayektori Ortogonal


Salah satu aplikasi dari persamaan diferensial orde satu adlaah menentukan
trayektori ortogonal dari suatu fungsi persamaan. Trayektori ortogonal dari suatu
keluarga kurva adalah keluarga kurva yang memotong tegak lurus keluarga kurva
tersebut.
Langkah-langkah menetikan trayektori ortogonal dari suatu keluarga kurva f(x,y)= C,
sebagai berikut :
 Turunkan f(x,y) = C secara implisit terhadap x, Misal Df(x,y)
Jika turunan pertama mengandung C (parameter) maka substitusikan C(x,y) dari
persamaan awal.
 Trayektori Ortogonal akan memenuhi persamaan diferensial berikut :
dy 1
=− ,
dx Df ( x, y )
artinya solusi persamaan diferensial diatas merupakan trayektori ortogonal dari
persamaan f(x,y)= C

Contoh :
Tentukan trayektori ortogonal dari keluarga kurva
x2 + y2 = C
Jawab :
Turunan implisit dari fungsi di atas adalah :
2x + 2y y‘ = 0
x
Sehingga Df(x,y) = −
y
Trayektori ortogonal akan memenuhi persamaan diferensial :
dy 1 dy y
=−  =
dx Df ( x, y ) dx x

Trayektori ortogonalnya adalah y = Cx

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
23
Matematika Teknik II

Latihan
Tentukan solusi umum dari persamaan diferensial orde satu berikut :

dy
1. = 1 + y2
dx
dy x 2 + 3xy + y 2
2. =
dx x2
dy
3. + 2 y = 6x
dx
dy y cos x
4. =
dx 1 + 2 y 2
dy
5. x − 2 y = x 3e x
dx
dy y x
6. − − =0
dx 2 x 2 y

Tentukan solusi khusus dari persamaan diferensial orde satu berikut :


dy
7. x − 3y = x4 ; y (1) = 4
dx
8. (
1 + ex )
dy
dx
+ ex y ; y (0) = 1

Tentukan trayektori ortogonal dari fungsi berikut :

9. y = C e −2 x
10. x2 − y2 = C
11. y = C x2
12. x 2 + ( y − c )2 = C 2

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
25
Matematika Teknik II

2.3 Persamaan Diferesial Orde Dua


Bentuk umum persamaan diferensial orde dua :
y” + a y’ + b y = f(x)
Jika f(x) = 0 maka persamaan diferensial diatas disebut persamaan diferensial
homogen, sedangkan jika f(x) ≠ 0 maka dinamakan persamaan diferensial tak
homogen.

1.3.1 Persamaan Diferensial Orde Dua Homogen


Misalkan ada dua fungsi f(x) dan g(x), dikatakan bebas linier pada interval I,
jika persamaan yang merupakan kombinasi linier dari keduanya, yaitu : m f(x) + n g(x)
= 0 untuk setiap x ∈ I hanya dipenuhi oleh m = n = 0. Jika tidak demikian maka
kedua fungsi tersebut dikatakan bergantung linier. Andai fungsi yang diberikan yaitu
f(x) dan g(x) terdiferensialkan untuk setiap x ∈ ℜ. Maka Wronskian dari f(x) dan
g(x) didefinisikan sebagai berikut :
f(x ) g (x )
W (f(x ), g (x )) =
f' (x ) g ' (x )
Keterkaitan antara kebebasan linier dan wronskian dari dua fungsi tersebut dapat
dikatakan sebagai berikut : Dua fungsi f(x) dan g(x) dikatakan bebas linier pada I
jika dan hanya jika wronskian dari kedua fungsi tersebut tidak sama dengan nol, untuk
suatu x ∈ I.
Misal u1 dan u2 adalah solusi persamaan diferensial orde dua dan wronskian
(determinan wrosnki) dari keduanya didefinisikan oleh :
u1 u 2
W (u1, u2)=
u1 ' u2 '
Jika W ≠ 0 maka u1 dan u2 saling bebas linear artinya u1 dan u2 merupakan basis
solusi, sehingga kombinasi linear dari u1 dan u2 , yaitu y = c1u1 + c2u2 juga
merupakan solusi dari persamaan diferensial orde dua.
Misal u ( x) = e rx solusi persamaan diferensial orde dua maka dengan
mensubstitusikan pada persamaan diperoleh :
e rx (r 2 + ar + b) = 0
Oleh karena e rx ≠ 0 maka r2 + ar + b = 0 (dinamakan persamaan karakteristik)
Solusi umum dari persamaan diferensial orde dua homogen bergantung pada akar
persamaan karakteristik.
Tiga kemungkinan solusi umum persamaan diferensial orde dua :
 Persamaan karakteristik mempunyai 2 akar riil yang berbeda (r1 dan r2) maka
solusi umumnya berbentuk :
y ( x) = c1e r1 x + c2 e r2 x

 Persamaan karakteristik mempunyai 2 akar riil kembar (r1 = r2 = r) maka solusi


umumnya berbentuk :
y ( x) = c1e rx + c2 xe rx

 Persamaan karakteristik mempunyai 2 akar kompleks (r = p ± qi) maka solusi


umumnya berbentuk :
y ( x) = e px (c1 sin qx + c2 cos qx )

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
26
Matematika Teknik II

Tunjukan (sebagai latihan) bahwa untuk setiap kasus, wronskian ≠ 0.

Contoh :
Tentukan solusi umum persamaan diferensial berikut :
a. y” + y’ – 2y = 0
b. y” + 4y‘ + 4y = 0
c. y” + 9y = 0
Jawab :
a. Persamaan karakteristik yang sesuai adalah
r2 + r – 2 = 0
(r – 1) (r + 2) = 0
mempunyai dua akar real berbeda, yaitu : 1 dan -2
Sehingga solusi umumnya :
y ( x) = c1e x + c2 e − 2 x
b. Persamaan karakteristik yang sesuai adalah
r2 + 4r + 4 = 0
(r – 2) 2 = 0
mempunyai dua akar real kembar, yaitu : 2
Sehingga solusi umumnya :
y ( x) = c1e 2 x + c2 xe 2 x
c. Persamaan karakteristik yang sesuai adalah
r2 + 9 = 0
r2 = – 9
r=3i
mempunyai akar kompleks, yaitu : 3i
Sehingga solusi umumnya :
y ( x) = c1 sin 3x + c2 cos 3x

2.3.2 Persamaan Diferensial Orde Dua Tak Homogen


Bentuk umum persamaan diferensial orde dua :
y” + a y’ + b y = f(x)
Solusi umum dari persamaan diferensial orde dua tak homogen adalah
y = yh + yp,
dimana yh merupakan solusi homogen dan yp solusi pelengkap.
Solusi homogen diperoleh dari persamaan diferensial orde dua homogen (ambil
f(x) = 0), sedangkan untuk menentukan solusi pelengkap ada dua metode, yaitu :
• Koefisien Tak Tentu
• Variasi Parameter

Metode Koefisien Tak Tentu


Metode ini sangat berguna manakala fungsi f (x) berupa polinom, eksponensial sinus,
dan cosinus. Metode ini bisa dikatakan metode coba-coba, untuk memudahkan
perhatikan tabel berikut :

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
27
Matematika Teknik II

f (x) yp
Cxn bnxn + ….+ b1x + b0
Ceax Aeax
Cxeax Aeax + Bxeax
Csin ax A sin ax + Bcos ax
Ccos ax A sin ax + Bcos ax

Ket : C, B, A, a, b0 , b1 , …, bn adalah konstanta riil.


Sebelum kita memulai bekerja dalam menyelesaikan persamaan diferensial orde dua
dengan metode koefisien tak tentu, perhatikan beberapa aturan berikut :
Aturan 1 : Jika f (x) merupakan fungsi seperti pada kolom pertama, pilih yp dari
kolom kedua yang bersesuaian (terletak pada baris yang sama)
Aturan 2 : Jika f (x) sama dengan salah satu dari solusi homogen maka kalikan yp
dengan x atau dengan x2 jika f (x) sama dengan salah satu dari solusi
homogen yang berasal dari dua akar kembar.
Aturan 3 : Jika f (x) penjumlahan dari fungsi dalam kolom satu maka pilih yp
sebagai penjumlahan dari baris-baris yang bersesuaian.
Setelah memilih yp yang diinginkan, dengan mensubstitusikan yp tersebut pada
persamaan diferensial, kita berusaha menetukan koefisien yang yp. sehingga diperoleh
solusi umum dari persamaan diferensial tersebut yaitu penjumlahan dari solusi
homogen (yh) dengan solusi pelengkap (yp).

Contoh :
Tentukan solusi umum persamaan diferensial berikut :
d2y dy
−3 − 4 y = 2 sin x
dx 2 dx
Jawab :
Kita mempunyai solusi umum homogen
yh = c1e − x + c2e 4 x
Untuk menentukan solusi pelengkap, kita pilih :
yp = Asinx + B cosx
Substitusikan ke persamaan diferensial, sehingga diperoleh :
(– A + 3B – 4A) sinx + (– B – 3A – 4B) cosx = 2 sinx
Maka ada dua persamaan yaitu :
– 5A + 3B = 2
– 5B – 3A = 0
Oleh karena itu
A = – 5/17
dan
B = 3/17
Solusi umum dari persamaan diferensial diatas adalah :

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
28
Matematika Teknik II

5 3
y ( x) = c1e − x + c2e 4 x − sin x + cos x
17 17
Metode Variasi Parameter
Metode ini lebih umum dari metode sebelumnya, artinya jika kondisi persamaan
diferensial seperti di atas, metode ini dapat digunakan dalam menentukan solusinya.
Jika f (x) tidak sama dengan fungsi-fungsi pada kolom pertama tabel maupun
penjumlahannya, bisa berupa perkalian atau pembagian dari fungsi-fungsi tersebut,
kondisi ini mendorong kita untuk menggunakan metode variasi parameter.
Solusi pelengkap dari persamaan diferensial dengan menggunakan metode variasi
parameter adalah :
yp = v1u1 + v2u2
dimana u1, u2 merupakan solusi homogen yang bebas linear, sedangkan
− u 2 f ( x)
v1 = ∫ dx
[u1u2 '−u2u1']
dan
u1 f ( x)
v2 = ∫ dx
[u1u2 '−u2u1']
Bukti :
Misal yp = v1u1 + v2u2 solusi persamaan diferensial.
Substitusikan sehingga diperoleh:
v1’u1’ + v2’u2’ + v1u1” + v2u2” + a (v1’u1 + v2’u2 + v1u1’+ v2u2’)
+ b(v1u1+ v2u2)= f (x)
 v1’u1’ + v2’u2’ + a (v1’u1 + v2’u2)
+ v1u1” + v2u2” + a(v1u1’+ v2u2’) + b(v1u1+ v2u2)= f (x)
 v1’u1’ + v2’u2’ + a (v1’u1 + v2’u2)
+ v1(u1” + au1’+ bu1) + v2 (u2” + au2’ + bu2)= f (x)
u1, u2 merupakan solusi homogen, oleh karena itu :
v1’u1’ + v2’u2’ + a (v1’u1 + v2’u2) = f (x)
Ambil v1’u1 + v2’u2 = 0, sehingga v1’u1’ + v2’u2’ = f (x)
Dengan memperhatikan dua persamaan terakhir, yaitu :
v1’u1 + v2’u2 = 0
v1’u1’ + v2’u2’ = f (x)
Dapat ditulis dalam bentuk perkalian matriks berikut :
 u1 u 2   v1 '   0 
u ' u ' v ' =  f ( x)
 1 2  2  
Dengan aturan Cramer diperoleh :

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
29
Matematika Teknik II

0 u2
f ( x) u2 '
v1' =
u1 u2
u1' u2 '
dan
u1 0
u ' f ( x)
v2 ' = 1
u1 u2
u1' u2 '
Dengan jaminan bahwa u1, u2 merupakan solusi homogen yang bebas linear maka
u1 u2
W (u1, u2)= ≠0 ΘΘΘ
u1' u2 '

Contoh :
Tentukan solusi umum persamaan diferensial
y “ + y = sec x
Jawab :
Kita mempunyai solusi umum homogen
yh = c1 sin x + c2 cos x
Untuk menentukan solusi pelengkap, kita menghitung wronskian terlebih
dahulu, yaitu :
cos sin x
W (u1 , u 2 ) =
− sin x cos x
= cos 2 x + sin 2 x
=1
oleh karena itu
− sin x sec x
v1 = ∫ dx = ln cos x
1
dan
cos x sec x
v2 = ∫ 1
dx = x

Sehingga yp = cosx ln |cosx| + x sinx


Maka solusi umum persamaan diferensial di atas adalah :

y ( x) = c1 sin x + c2 cos x + cos x ln cos x + x sin x

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
30
Matematika Teknik II

Latihan
Tentukan solusi umum (khusus) persamaan diferensial berikut :
1. y ” + 4y = 3sin2x ; y(0) = 2 dan y’(0) = -1
2. y ” + 2y’ + y = 2e-x
3. y “ + 9y = sinx + e2x
4. y ” + 2y’ = 3 + 4 sin2x
5. y ” + y = csc x
6. y ” + 2y’ + y = e-x cosx
7. y “ + 2y’ + y = 4e-x ln x ; y(1) = 0 dan y’(1) =-e-1
8. y ” + 4y’ + 4y = x-2 e-2x

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
30
Matematika Teknik II

BAB III
FUNGSI DUA PEUBAH

Pada bagian awal, bab ini menjelaskan tentang beberapa permukaan pada ruang tiga
dimensi (R3), dengan penekanan pada cara menggambar permukaan tersebut secara
bertahap. Selanjutnya, kami mengetengahkan pengertian dari fungsi dua peubah, dari
mulai memahami daerah definisi fungsi tersebut sampai pengertian turunan parsial dan
vektor gradien dari fungsi tersebut baik secara geometris maupun analisis. Pada bagian
akhir, kami menjelaskan tentang titik kritis dan bagaimana cara menentukan nilai ekstrim
dari suatu fungsi dua peubah.

3.1 Bentuk Permukaan di Ruang


Sebelum belajar tentang fungsi dua peubah, terlebih dahulu kita mengenal
permukaan di ruang dan cara membuat sketsa suatu permukaan di ruang (R3). Berikut
beberapa fungsi permukaan di ruang, antara lain :
a. Bola, mempunyai bentuk umum :
x2 + y2 + z2 = a2 a>0
Jejak di bidang XOY, z = 0  x 2 + y 2 = a 2 , berupa lingkaran

Jejak di bidang XOZ, y = 0  x 2 + z 2 = a 2 , berupa lingkaran


Jejak di bidang YOZ, x = 0  y 2 + z 2 = a 2 , berupa lingkaran

b. Elipsoida, mempunyai bentuk umum :


x2 y2 z2
+ + =1 a, b, c > 0
a2 b2 c2

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
31
Matematika Teknik II

x2 y2
Jejak di bidang XOY, z = 0  + = 1, berupa ellips
a2 b2

x2 z2
Jejak di bidang XOZ, y = 0  + = 1, berupa ellips
a2 c2

y2 z2
Jejak di bidang YOZ, x = 0  + = 1, berupa ellips
b2 c2

c. Hiperboloida berdaun satu , mempunyai bentuk umum :


x2 y2 z2
+ − =1 a, b, c > 0
a2 b2 c2

x2 y2
Jejak di bidang XOY, z = 0  + = 1, berupa ellips
a2 b2

x2 z2
Jejak di bidang XOZ, y = 0  2
− = 1, berupa hiperbol
a c2

y2 z2
Jejak di bidang YOZ, x = 0  − = 1, berupa hiperbol
b2 c2

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
32
Matematika Teknik II

d. Hiperboloida berdaun dua, mempunyai bentuk umum :


x2 y2 z2
− − =1 a, b, c > 0
a2 b2 c2

y2 z2 x2
+ = −1 maka terdefinisi saat x ≤ - a atau x ≥ a
b2 c2 a2

x2 y2
Jejak di bidang XOY, z = 0  − = 1, berupa hiperbol
a2 b2

x2 z2
Jejak di bidang XOZ, y = 0  − = 1, berupa hiperbol
a2 c2

Jejak di bidang, x = k (konstanta), k > a atau k < - a , berupa ellips

e. Paraboloida eliptik , mempunyai bentuk umum :


x2 y2 z
2
+ 2
= a, b, c > 0
a b c

Cara membuat sketsa di ruang, dengan menelusuri setiap jejak di bidang yaitu :
Jejak di bidang z = k (konstanta positif), berupa ellips
x2 z
Jejak di bidang XOZ, y = 0  2
= , berupa parabol
a c

y2 z
Jejak di bidang YOZ, x = 0  2
= , berupa parabol
b c

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
33
Matematika Teknik II

f. Paraboloida hiperbolik, mempunyai bentuk umum :


y2 x2 z
2
− 2 = a, b, c > 0
b a c
Cara membuat sketsa di ruang, dengan menelusuri setiap jejak di bidang yaitu :
y2 x2
Jejak di bidang XOY, z = 0  − = 0 , berupa garis
b2 a2
Jika z = konstanta  berupa hiperbol
x2 z
Jejak di bidang XOZ, y = 0  − 2
= , berupa parabol
a c

y2 z
Jejak di bidang YOZ, x = 0  2
= , berupa parabol
b c
Sehingga sketsa dari paraboloida hiperbolik, adalah

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
34
Matematika Teknik II

g. Kerucut, mempunyai bentuk umum :


x2 y2 z2
+ = a, b, c > 0
a2 b2 c2

x2 y2 k2
Jejak di bidang XOY, z = k (konstanta) ≠ 0  + = , berupa ellips
a2 b2 c2

x2 z2
Jejak di bidang XOZ, y = 0  = , berupa garis
a2 c2

y2 z2
Jejak di bidang YOZ, x = 0  = , berupa garis
b2 c2

3.2 Daerah Definisi dan Kurva Ketinggian Fungsi Dua Peubah


Definisi fungsi dua peubah :
Misal A ⊆ R2, suatu fungsi f : A  R adalah suatu aturan yang memasangkan
setiap unsur di A dengan tepat satu unsur di R.
Aturan fungsi f dapat ditulis sebagai z = f(x, y).
Dalam kasus ini daerah definisi f adalah A, sedangkan daerah hasil fungsi f adalah
Rf = {z ∈ R | z = f(x,y), x, y ∈ A}
Derah definisi fungsi dua peubah f (x,y) merupakan daerah pada bidang XOY sehingga
fungsi tersebut akan terdefinisi.

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
35
Matematika Teknik II

Contoh :
Tentukan dan gambarkan daerah definisi fungsi :
ln(2 + x)
f ( x, y ) =
y −1
Jawab :
Syarat f(x,y) terdefinisi :
• ln (2 + x) terdifinisi jika (2 + x) > 0 ,
oleh karena itu x > - 2
• y − 1 tedefinisi jika (y - 1) ≥ 0,
tapi karena penyebut tidak boleh sama dengan nol maka (y - 1) ≥ 0, oleh
karena itu y > 1
Sehingga daerah definisi (Df) dari fungsi diatas adalah :
Df = { (x, y) | x > -2 dan y > 1, x, y ∈ℜ}
Sketsa daerah definisi pada kartesius adalah :

Df
y=1

x
x=2

Kurva ketinggian dari suatu fungsi f(x,y) adalah proyeksi dari perpotongan permukaan
f(x,y) dengan bidang z = k (konstanta) pada bidang XOY.
Contoh :
Tentukan dan gambarkan kurva ketinggian dari fungsi
f(x,y) = x2 + y2
untuk z = 0, 1, 4
Jawab :
z = 0  0 = x2 + y2 , kurva ketinggian berupa titik di (0, 0, 0)
z = 1  1 = x2 + y2 , kurva ketinggian berupa lingkaran dengan jari-jari satu
z = 4  4 = x2 + y2 , kurva ketinggian berupa lingkaran dengan jari-jari dua

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
36
Matematika Teknik II

z=1

z=0 x
z=4

Latihan :
Tentukan dan gambarkan daerah definisi fungsi berikut :

1. f ( x, y ) = 1 − x 2 − y 2

x
2. f ( x, y ) =
1− y

xy 2
3. f ( x, y ) =
x2 − y2

Tentukan dan gambarkan kurva ketinggian dari fungsi berikut :


x+ y
4. z = f ( x, y ) = , untuk z = 0, 1, 2, 3
x−y

5. z = f ( x, y ) = x + y 2 , untuk z = -2, -1, 0, 1, 2

x2
6. z = f ( x, y ) = , untuk z = -4, -1, 0, 1, 4
y

3.3 Turunan Parsial


Diketahui fungsi dua peubah f(x,y), denganmengambil nilai y = b (konstanta) maka
fungsi menjadi f(x, b), ini dapat dipandang sebagai fungsi satu peubah x. Seperti pada
kalkulus fungsi satu peubah, kita dapat mendefinisikan fungsi satu turunan dari z = g(x) =
f(x, b), yaitu g’(x). Dengan menggunakan limit, turunan parsial fungsi f(x,b) terhadap
x dapat ditulis :
∂f ( x, b) dg ( x) f ( x + h), b) − f ( x, b)
= = lim
∂x dx h→ 0 h

asalkan limitnya ada.

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
37
Matematika Teknik II

Secara geometris, turunan parsial diatas dapat diartikan sebagai berikut :


Perpotongan bidang y = b dengan fungsi permukaan f(x,y) berupa sebuah kura
(lengkungan s) pada permukaan tersebut. Turunan parsial fungsi f(x,y) di titik (a,b)
merupakan gradien garis singgung terhadap kurva s pada titik (a, b, f(a,b)) dalam
arah sejajar sumbu x.

(a,b)

Notasi dari turunan parsial di atas adalah


∂f (a, b)
atau f x ( a, b)
∂x

Secara analog dengan cara di atas, kita dapat memperoleh turunan parsial f(x,y) terhadap
peubah y.

Contoh :
Tentukan turunan parsial pertama, kedua, dan campuran terhadap masing-masing
peubah fungsi f(x,y) = 2x2y + 3x2y3
Jawab :
fx (x, y) = 4xy + 6xy3
fy (x, y) = 2x2 + 9x2y2
fxx (x, y) = 4y + 6y3
fyy (x, y) = 18 x2y
fxy (x, y) = 4x + 18x y2 ; fyx (x, y) = 4x + 18x y2  fxy = fyx
fxy dan fyx dinamakan turunan parsial campuran.
Latihan :
Tentukan turunan parsial pertama, kedua, dan campuran dari fungsi berikut :

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
38
Matematika Teknik II

xy
1. f(x, y) = e–

2. f(x, y) = y cos (x2 + y2)

3.4 Vektor Gradien dan Turunan Berarah


Jika f fungsi dua peubah yang dapat didiferensialkan di p =(a, b) maka
df (a, b) ˆ df (a, b) ˆ
∇ f ( a, b ) = i+ j
dx dx
disebut vektor gradien dari f di titik (a, b)
Misal p adalah proyeksi dari suatu titik di permukaan f pada bidang XOY.
Untuk setiap vektor satuan u , andaikan
f ( p + hu ) − f ( p)
Du f ( p ) = lim
h→ 0 h
limit ini ada, maka D u f(p) disebut turunan berarah f di titik p pada arah u .
Andaikan f dapat didiferensialkan di (a, b), maka turunan berarah di (a, b) pada arah
vector satuan u = u1i + u2j adalah hasilkali titik antara vector gradien dengan vector
satuan tersebut. Dengan demikian dapat ditulis :
Du f ( p ) = ∇ f ( p) • u atau D u f(a, b) = fx (a, b)u1 + fy (a, b)u2

Contoh :
Tentukan turunan berarah dari fungsi
f(x,y) =2x2 + xy – y2
di titik (3, – 2) dalam arah vector a = iˆ − ˆj !
Jawab :
fx (x, y) = 4x + y  fx (3, – 2) = 10

fy (x, y) = x – 2y  fy (3, – 2) = 7
oleh karena itu :
∇ f ( x, y ) = (4 x + y )iˆ + ( x − 2 y ) ˆj sehingga ∇ f (3,−2) = 10iˆ + 7 ˆj
sedangkan
a
u =
a
sehingga
1 ˆ 1 ˆ
u= i− j
2 2
Maka turunan berarah dititik tersebut adalah

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
39
Matematika Teknik II

Du f (3,−2) = ∇ f (3,−2) • u
10 7
= −
2 2
3
=
2

3.5 Bidang Singgung


Definisi bidang singgung :
Andai F(x, y, z) = k (konstanta) merupakan suatu permukaan dan misalkan dapat
didiferensialkan di sebuah titik P(a, b, c) dari permukaan dengan ∇f (a, b, c) ≠ 0 .
Maka bidang yang melalui P yang tegak lurus ∇ f (a, b, c) dinamakan bidang
singgung.
Untuk permukaan F(x, y, z) = k, persamaan bidang singgung di titik (a, b, c) adalah :
Fx(a, b, c) (x – a) + Fy(a, b, c) (y – b) + Fz (a, b, c) (z – c) = 0
Jika permukaan z = f(x, y) maka persamaan bidang singgung di (a, b, F(a, b)) adalah :
z – F(a, b) = Fx(a, b) (x – a) + Fy(a, b) (y – b)
Contoh :
Tentukan persaman bidang singgung dan garis normal terhadap permukaan :
x 2 + y 2 + 2z 2 = 23
di titik (1, 2, 3) !
Jawab :
Tulis F(x,y,z) = 23
sehingga
∇ f ( x , y, z) = 2 x î + 2 y ĵ + 4z k̂
dan
∇ f (1,2,3) = 2î + 4 ĵ + 12k̂ .
Maka persamaan bidang singgung di titik (1,2,3) adalah :
2( x – 1 ) + 4 ( y – 2 ) + 12( z – 3 ) = 0
Sedangkan persamaan simetri dari garis normal yang melalui (1, 2, 3) adalah :
x −1 y − 2 z − 3
= =
2 4 12

Andaikan z = f(x, y), dengan f suatu fungsi yang dapat didiferensialkan, dan andaikan
dx dan dy (disebut diferensial dari x dan y) berupa peubah. Difenesial total dari peubah
tak bebas (dz) disebut juga diferensial total f (df (x, y)), didefinisikan oleh :
dz = df (x, y) = fx (x, y) dx + fy (x, y) dy

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
40
Matematika Teknik II

Latihan :
Tentukan turunan parsial pertama, kedua, dan campuran dari fungsi berikut :

1. f(x,y) = e− xy
2. f(x,y) = y cos( x 2 + y 2 )
( x + y)
3. f(x,y) = ln
( x − y)
Untuk no. 4 dan no. 5, tentukan vektor gradien dan turunan berarah dari fungsi berikut :
4. f(x,y) = e − x cos y di titik P( 0, π/3) dalam arah menuju ke titik asal !
5. f(x,y) = 2 x 2 + xy − y 2 di titik P(3, – 2 ) dalam arah vektor yang membentuk sudut
300 dengan arah sumbu – x positif !
3y
6. Tentukan persamaan bidang singgung permukaan z = 2 e cos 2x di titik
P(π/3, 0, -1) !

3.6 Nilai Ekstrim


Definisi titik kritis :
Misal (a, b) suatu titik pada daerah asal f(x, y). Titik (a, b) disebut titik kritis dari
fungsi f(x, y) jika ∇f = 0 atau tidak mempunyai turunan parsial untuk setiap peubah
bebasnya.

Jadi fungsi f(x, y) yang mempunyai turunan parsial, pada titik kritis, bidang singgung
terhadap f (x, y) adalah sejajar dengan bidang XOY.
Jenis titik kritis, antara lain :
• Titik batas
• Titik stasioner
• Titik singular

Misal (a, b) suatu titik pada daerah asal f(x, y) maka (a, b) dinamakan titik stasioner jika
ρ ρ
dan hanya jika ∇f ( x , y) = 0
Dengan kata lain :
∂f (a, b) ∂f (a, b)
= 0 dan =0
∂x ∂y

Definisi nilai maksimum dan nilai minimum :


Diketahui fungsi dua peubah f(x, y) dimana S merupakan daerah definisinya.
f(a,b) disebut nilai maksimum global jika f(a, b) ≥ f(x, y) untuk setiap x, y di S
f(a,b)) disebut nilai minimum global jika f(a, b) ≤ f(x, y) untuk setiap x, y di S.

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
41
Matematika Teknik II

Definisi yang sama berlaku dengan kata global digantikan oleh kata lokal jika
pertidaksamaan di atas hanya berlaku pada suatu hmpunan bagian S. Jika f(a, b)
merupakan nilai maksimum atau nilai minimum maka f(a, b) dinamakan nilai ekstrim
pada S.
Diketahui f(x, y) fungsi dua peubah yang mempunyai turunan kedua kontinu di
suatu lingkungan dari (a, b). Misal (a,b) merupakan titik kritis dari f(x, y), dan
D = fxx(a,b)fyy(a,b) - [fxy(a,b)]2
Maka :
 Jika D > 0 dan
 fxx > 0 maka f(a, b) merupakan nilai minimum
 fxx < 0 maka f(a, b) merupakan nilai maksimum
 Jika D < 0 maka titik (a,b, f(a,b)) merupakan titik pelana (sadel)
 Jika D = 0, pengujian gagal, titik kritis yang demikian disebut titik kritis trivial.

Contoh :
Tentukan nilai ekstrim dan jenisnya dari fungsi
f(x,y) = 2x 4 − x 2 + 3y 2 !
Jawab :
Turunan parsial dari fungsi tersebut adalah :
3
fx (x, y) = 8x – 2x
dan
fy (x, y) = 6y
Sedangkan
2
fxx (x, y) = 24x – 2,
fyy (x, y) = 6,
fxy(x, y) = 0
Karena fungsi di atas merupakan fungsi polinom yang berarti bahwa
terdiferensialkan di daerah definisinya, maka titik kritisnya merupakan titik
ρ ρ
stasioner yang memenuhi ∇f ( x , y) = 0 , sehingga titik kritis dari fungsi tersebut
adalah : (0, 0), ( ½ , 0), dan ( – ½ , 0)
Untuk (0, 0)  D = – 12 < 0
Untuk ( ½ , 0)  D = 24 > 0 dan fxx ( ½ , 0) = 4 > 0
Untuk ( – ½ , 0)  D = 24 > 0 dan fxx (– ½ , 0) = 4 > 0
Jadi nilai ekstrim untuk fungsi di atas adalah :
f ( ½ , 0) = f (– ½ , 0) = – 1/8
merupakan minimum lokal, sehingga titik minimumnya adalah ( ½ , 0, – 1/8)
dan (– ½ , 0, – 1/8).
Sedangkan (0, 0, 0) merupakan titik pelana (sadel).

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
42
Matematika Teknik II

Latihan :
Tentukan titik kritis, nilai ekstrim dan jenisnya (jika ada) dari fungsi berikut :
1. f(x,y) = xy 2 − 6x 2 − 3y 2
2 2
2. f(x,y) = xy + +
x y

−  x 2 + y 2 − 4 y 
3. f(x,y) = e  

1 2
4. f(x,y) = x 3 − 3xy + y
2

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
43
Matematika Teknik II

BAB IV
BARISAN DAN DERET

Pada bab ini akan dijelaskan tentang pengertian barisan dan deret yang disertai
dengan pengertian kekonvergenan dari suatu barisan atau deret. Selain itu, kami pun
menyampaikan beberapa teknik untuk menguji apak suatu deret adalah konvergen atau
divergen.

4.1 Barisan
Barisan bilangan tak hingga merupakan suatu fungsi riil dengan domain bilangan
asli (N). Notasi barisan ditulis dalam bentuk :
{an }∞n =1 = a1, a2 , a3 , ...,
Contoh :

 1  1 1
1. Barisan  2 = 1, , , ...,
 n  n =1 4 9

2. Barisan {1 + (−1) n }∞n=1 = 0, 2, 0, 2, ...,


Jika limit dari barisan {an }∞n =1 = a1, a2 , a3 , ..., adalah menuju L (suatu bilangan berhingga),
dengan kata lain dapat ditulis sebagai berikut :
lim a n = L
n→∞

maka barisan tersebut dikatakan konvergen ke L. Sebaliknya, jika tidak, barisan tersebut
disebut divergen.

Beberapa sifat limit barisan, antara lain :


(i) lim C = C
n→∞

(ii) lim C an = C lim an


n→∞ n →∞

(iii) lim a n ± bn = lim a n ± lim bn


n→∞ n→∞ n →∞

(iv) lim an bn = lim an lim bn


n →∞ n →∞ n →∞

lim a n
an
(v) lim = n→∞
n → ∞ bn lim bn
n→∞

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
44
Matematika Teknik II

Contoh :
Periksa apakah barisan
2 3 4
{an }∞n =1 = 1, , , , ...
3 5 7
adalah konvergen !
Jawab :
Tulis :
n
an =
2n − 1
Sehingga
n
lim an = lim
n →∞ n →∞ 2 n − 1
1
= lim
n →∞ 2 − 1 n
1
=
2
Jadi barisan tersebut adalah konvergen.

Teorema apit untuk barisan


Misalkan barisan {an } dan barisan {cn }, keduanya adalah konvergen menuju L dan
andaikan an ≤ bn ≤ cn untuk setiap n ≥ k , dimana k merupakan suatu bilangan asli
tetap, maka {bn } merupakan barisan yang konvergen ke L.

Contoh :
Buktikan bahwa barisan
5
{an } = cos n
n
adalah konvergen menuju nol
Jawab :
Perhatikan bahwa − 1 ≤ cos5 n ≤ 1 , untuk setiap n ≥ 1 , sehingga kita peroleh :
1 cos5 n 1
− ≤ ≤ .
n n n
 1 1
Karena lim  −  = lim = 0 , dengan menggunakan teorema apit maka barisan
n → ∞ n  n → ∞ n
{an } adalah konvergen menuju nol.

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
45
Matematika Teknik II

Suatu barisan {an } dikatakan monoton tak turun jika an ≤ an +1 , untuk setiap bilangan asli
n. Sedangkan, Suatu barisan {an } dikatakan monoton tak naik jika an ≥ an +1 , untuk setiap
bilangan asli n.
Pernyataan berikut, yang dikenal sebagai Teorema Barisan Monoton memberikan
penjelasan tentang kekonvergenan dari barisan tak naik dan narisan tak turun, yaitu :
• Misalkan, barisan {an } merupakan suatu barisan tak turun dan U merupakan suatu batas
atas dari suku-suku dalam barisan tersebut, maka barisan ini konvergen menuju suatu
nilai A (kurang dari atau sama dengan U).
• Sementara itu, jika barisan {bn } merupakan suatu barisan tak naik dan L merupakan
suatu batas atas dari suku-suku dalam barisan tersebut, maka barisan ini konvergen
menuju suatu nilai B (kurang dari atau sama dengan L).

4.2 Deret
Diketahui suku suatu barisan adalah a k (untuk k = 1,2,3, …), maka jumlah parsial
dari setiap suku dalam barisan tersebut, ditulis dalam bentuk
S n = a1 + a 2 + a3 + ...+ a n .
Sementara itu, jika jumlah semua suku dalam barisan {a n } dinamakan deret tak hingga,
dengan notasi :

{S n } = ∑ ak .
k =1
Suatu deret tak hingga dikatakan konvergen dan mempunyai jumlah S, jika barisan jumlah
parsial {S n } adalah konvergen menuju S. Sebaliknya, jika barisan {S n } divergen maka
deret tersebut adalah divergen.
Misalkan, deret yang berbentuk :

∑ ar k −1 = a + ar + ar 2 + ar 3 + ... ,
k =1
dimana a ≠ 0, dinamakan deret geometri dengan rasio r.
Contoh :
Buktikan bahwa deret geometri adalah konvergen untuk | r | < 1 dan deret tersebut
divergen saat | r | ≥ 1.

Jawab :
Misalkan, S n adalah jumlah parsial ke-n dari deret tersebut,
maka
S n − rS n = a + ar + ar 2 + ... + ar n −1 − ar + ar 2 + ar 3 + ... + ar n
= a − ar n
sehingga

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
46
Matematika Teknik II

a − ar n
Sn =
1− r
a ar n
= −
1− r 1− r
Jelas bahwa :
a
o Jika | r | < 1 maka lim S n =
n →∞ 1− r
Jadi, S n konvergen.
o Jika | r | ≥ 1 maka S n divergen.

Misalkan, Sn adalah jumlah parsial ke-n dan lim S n = S . Ingat bahwa


n →∞
a n = S n − S n −1 , sehingga ini memberikan bahwa :
lim an = lim S n − lim S n −1
n →∞ n →∞ n →∞
=S−S .
=0
Dengan demikian, untuk menguji konvergensi suatu deret tak hingga dapat digunakan
pernyataan diatas, yaitu :
“Jika S n konvergen maka lim a n = 0 “.
n →∞
Sementara itu, kontraposisi dari pernyataan di atas adalah
“jika lim a n ≠ 0 maka deret tersebut divergen”.
n →∞
Ingat bahwa pernyataan diatas merupakan implikasi, tidak berlaku kebalikannya. Dengan
demikian, pernyataan :

“jika lim a n = 0 maka deret {S n } = ∑ ak konvergen”
n →∞ k =1
adalah belum tentu benar.

Contoh :
Tunjukan bahwa deret harmonik yang berbentuk :

1 1 1 1
∑ n = 1 + 2 + 3 + 4 + ...
n =1
merupakan deret yang divergen.
Jawab :
Tulis :
1 1 1 1 1 1 1 1
Sn = 1 + + + + + + + + ... +
2 3 4 5 6 7 8 n

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
47
Matematika Teknik II

1 1 1 1 1 1 1 1
=1+ +  +  +  + + +  + ... +
2 3 4 5 6 7 8 n
1 2 4 1
> 1 + + + + ... +
2 4 8 n
1 1 1 1
= 1 + + + + ... +
2 2 2 n
Jelas bahwa lim a n = 0 . Tetapi jika diperhatikan penjumlahan diatas adalah tak
n →∞
Hingga, sehingga deret tersebut adalah divergen.
∞ ∞
Misalkan, ∑ ak dan ∑ bk merupakan deret yang konvergen dan c adalah suatu konstanta,
k =1 k =1
maka kedua deret tersebut bersifat linear, artinya :
∞ ∞
(i) ∑ c ak = c ∑ ak , dan
k =1 k =1
∞ ∞ ∞
(ii) ∑ ak + bk = ∑ ak + ∑ bk
k =1 k =1 k =1

4.3 Uji Kekonvergenan bagi Deret Positif


Dalam sub bab ini, kita akan membahas tentang uji kekonvergenan suatu deret
positif (deret dengan suku-sukunya bernilai positif). Beberapa cara yang digunakan
menguji kekonvergenan deret positif adalah sebagai berikut :
a. Uji Jumlah Terbatas

Misalkan jumlah parsial suatu deret tak negatif ∑ ak adalah Sn = a1 + a2 + a3 + ... + an .
k =1
Karena ak ≥ 0 untuk setiap k, maka Sn ≥ Sn −1 utuk setiap n. Ini memberikan bahwa
barisan {Sn } merupakan barisan monoton tak turun. Selanjutnya, dengan menggunakan
teorema barisan monoton maka barisan tersebut adalah konvergen jika ada bilangan U
sehingga Sn ≤ U untuk setiap n. Sebaliknya, jika suku-suku pada barisan tersebut tidak
terbatas, maka barisan tersebut adalah divergen. Dengan demikian, kita mendapatkan
suatu hubungan yang berbentuk :
“suatu deret positif adalah konvergen jika dan hanya jika jumlah parsialnya terbatas”.
b. Uji Integral
Misalkan f(k) adalah suatu fungsi yang kontinu, positif dan tidak naik pada [1,∞) dan

fungsi ini merupakan suku-suku dalam suatu deret ∑ ak . Deret tersbut dikatakan
k =1

konvergen jika dan hanya jika integral tak wajar ∫ f ( x)dx konvergen.
1

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
48
Matematika Teknik II

Contoh :
Periksa apakah deret
∞ 1

2 k ln k
konvergen atau divergen

Jawab :
Tulis :
1
f ( x) = dengan x ∈ [2, ∞).
x ln x
Perhatikan bahwa :
∞ 1 t 1
∫ dx = lim ∫ d (ln x)
2 x ln x t →∞ 2 ln x
t
= lim (ln ln x 2
t →∞
=∞
∞ 1
Dengan demikian, deret ∑ adalah divergen.
2 k ln k

c. Uji Banding
∞ ∞
Misalkan suku-suku dari deret ∑ ak dan ∑ bk memenuhi
k =1 k =1
0 ≤ ak ≤ bk
untuk suatu k > N, maka berlaku :
∞ ∞
a. Jika deret ∑ bk konvergen maka deret ∑ ak juga konvergen
k =1 k =1
∞ ∞
b. Jika deret ∑ ak divergen maka deret ∑ bk juga divergen
k =1 k =1
Contoh :
Periksa apakah deret
∞ n
∑ n
n =1 2 ( n + 2)
konvergen atau divergen !
Jawab :
Perhatikan bahwa :

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
49
Matematika Teknik II

n
n 1 n
= 
n
2 (n + 2)  2  n + 2
n
1
<  , untuk setiap n
2
n
1
Karena   merupakan deret geometri dengan rasio ½ yang konvergen, maka
 2
∞ n
dengan menggunakan uju banding di atas, deret ∑ adalah konvergen.
n
n =1 2 ( n + 2)

d. Uji Banding Limit


∞ ∞
Misalkan suku-suku dari deret ∑ ak dan ∑ bk memenuhi ak ≥ 0 dan bk > 0 untuk
k =1 k =1
setiap k, serta
an
lim = L.
n →∞ bn
∞ ∞
Jika 0 < L < ∞, maka deret ∑ ak dan ∑ bk bersama-sama konvergen atau divergen.
k =1 k =1
∞ ∞
Jika L = 0 dan ∑ bk merupakan deret yang konvergen maka ∑ ak konvergen.
k =1 k =1

Contoh :
Tentukan apakah deret berikut :
∞ 3n − 2
a. ∑
3 2
n =1 n − 2n + 11
∞ 1
b. ∑
n =1 n 2 + 19n

konvergen atau divergen !

Jawab :
a. Dengan memperhatikan derajat penyebut dan pembilang terbesar maka kita
∞ 3
dapat memilih suatu deret ∑ , sehingga
2
k =1 n

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
50
Matematika Teknik II

an (3n − 2) /(n3 − 2n 2 + 11)


lim = lim
n →∞ bn n →∞ 3 / n2
(3n3 − 2n 2 )
= lim
n →∞ (3n3 − 6n 2 + 33)
=1
∞ 3
Karena deret ∑ merupakan deret yang konvergen maka deret
2
k =1 n
∞ 3n − 2
∑ 3 2
n =1 n − 2n + 11
juga konvergen.
b. Dengan memperhatikan derajat penyebut dan pembilang terbesar maka kita
∞ 1
dapat memilih suatu deret ∑ , sehingga
k =1 n
1 / n 2 + 19n n2
lim =
n →∞ 1/ n n 2 + 19n
=1
∞ 1
Ingat bahwa deret ∑ merupakan deret harmonik yang divergen, maka deret
k =1 n
∞ 1
∑ juga divergen.
n =1 n 2 + 19n
e. Uji Hasil Bagi
Uji ini merupakan upaya yang digunakan untuk mengetahui kekonvergenan suatu deret
dengan menggunakan suku-suku yang ada dalam deret itu sendiri.

Andaikan ∑ an x n merupakan suatu deret yang sukunya positif dan andaikan
n =1
an +1
lim =β
n → ∞ an
maka berlaku :

• Jika β < 1 maka ∑ an x n merupakan deret yang konvergen
n =1

• Jika β > 1 maka ∑ an x n merupakan deret yang divergen
n =1
• Jika β = 1 maka pengujian tidak memberikan kepastian

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
51
Matematika Teknik II

Contoh :
Periksa apakah deret
∞2n

n =1 n !
konvergen atau divergen !
Jawab :
2n 2n +1
Suku ke– n adalah , maka suku ke– (n+1) adalah .
n! (n + 1) !
Sehingga
a
ρ = lim n +1
n →∞ an

2n +1 n !
= lim
n →∞ ( n + 1) ! 2 n
2
= lim
n →∞ ( n + 1)
=0
∞ 2n
Jadi, menurut uji hasil bagi, deret ∑ merupakan deret yang konvergen.
n =1 n !

4.4 Deret Berganti Tanda dan Kekonvergenan Mutlak


Deret alternatif merupakan deret dengan suku-suku yang berganti tanda secara
berturutan. Jika un > 0 untuk setiap n maka :

∑ (−1) n +1un = u1 − u2 + u3 − u4 + ...+ (−1) n +1un +1 + ...
n =1
Deret alternatif dikatakan konvergen jika :
(i) un ≥ un +1
(ii) lim un = 0
n →∞
Jika salah satu syarat tak terpenuhi maka deret tersebut dikatakan divergen.

Contoh :
Tentukan apakah deret berikut merupakan deret yang konvergen :
∞ 1
a. ∑ (−1) n
n =1 2n + 1
∞ 1
b. ∑ (−1) n +1
n =1 n

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
52
Matematika Teknik II

Jawab :
∞ 1
a. Menentukan kekonvergenan deret ∑ (−1) n :
n =1 2n + 1
1 1
(i) > , ini menunjukan bahwa un ≥ un +1
2n + 1 2n + 3
1
(ii) lim = 0 , ini menunjukan bahwa lim un = 0
n →∞ 2 n + 1 n →∞
Jadi deret tersebut merupakan deret alternatif yang konvergen.
∞ 1
b. Menentukan kekonvergenan deret ∑ (−1) n +1 :
n =1 n
1 1
(i) > , ini menunjukan bahwa un ≥ un +1
n n +1
1
(ii) lim = 0 , ini menunjukan bahwa lim un = 0
n →∞ n n →∞
Jadi, deret tersebut merupakan deret divergen .


Misalkan, suatu deret ∑ un , maka deret dengan suku-sukunya tak negatif yang
n =1
berbentuk :

∑ un = u1 + u2 + u3 + ...
n =1
dinamakan deret mutlak (absolut).
Jika deret mutlak merupakan deret konvergen maka deret aslinya adalah konvergen juga.
∞ ∞ ∞
Tetapi, jika deret ∑ un konvergen sedangkan ∑ un adalah divergen maka deret ∑ un
n =1 n =1 n =1
dinamakan deret konvergen bersyarat. Deret mutlak merupakan deret positif, sehingga
dalam menguji kekonvergenannya dapat digunakan uji banding atau uji yang lainnya
seperti yang telah dibicarakan sebelumnya.

4.5 Deret Pangkat


Deret pangkat mempunyai bentuk umum sebagai berikut :

∑ an x n = a0 + a1x + a2 x 2 + ...
n =1

Himpunan kekonvergenan sebuah deret pangkat ∑ an x n selalu berbentuk selang yang
n =1
berupa salah satu dari tiga kemungkinan dibawah ini :

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
53
Matematika Teknik II

a. Satu titik x = 0
b. Selang (-R,R), mungkin ditambah salah satu atau kedua titik ujungnya
c. Seluruh himpunan bilangan Riil
Setiap deret pangkat merupakan deret yang konvergen mutlak pada bagian dalam selang
kekonvergenannya.

Contoh :
Tentukan himpunan kekonvergenan deret

∑ n! xn
n =1

Jawab :

ρ = lim
(n + 1) ! x n +1
n →∞ n ! xn
= lim (n + 1) x
n→∞
0 jika x = 0
=
∞ jika x ≠ 0

Deret Taylor dan Maclaurin


Deret Taylor dan Maclaurin merupakan penggunaan dari deret pangkat. Suatu
fungsi f(x) dapat diuraikan menjadi sebuah deret pangkat.

Teorema ketunggalan
Andaikan f memenuhi uraian
f ( x) = c0 + c1( x − a ) + c2 ( x − a ) 2 + c3 ( x − a )3 + ...
untuk semua x dalam suatu selang sekitar a. Maka,
f ( n) (a )
cn = .
n!

Jadi, suatu fungsi dapat digambarkan oleh dua deret pangkat dari (x – a).
Deret pangkat tersebut dinamaka deret Taylor. Jika a = 0, maka deret ini dinamakan deret
Maclaurin.
Misalkan, f merupakan suatu fungsi yang memiliki turunan dari semua tingkatan
dalam sutu selang (a – r , a + r). Syarat perlu dan cukup agar deret Taylor
f ' ' (a ) f (3) (a)
f (a ) + f ' (a)( x − a) + ( x − a )2 + ( x − a)3 + ...
2! 3!
menggambarkan fungsi f pada selang itu, adalah :

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
54
Matematika Teknik II

lim Rn ( x) = 0
n →∞
dengan Rn (x) merupakan sisa dalam rumus Taylor, yaitu :

f ( n +1) (c)
Rn ( x) = ( x − a) n +1 ,
(n + 1)!
dimana c merupakan suatu bilagan dalam selang (a – r , a + r).

Contoh :
Tentukan deret Maclaurin untuk fungsi
f(x) = cos x
Jawab :
Dengan memperhatikan turunan ke-n dari fungsi tersebut,
f(x) = cos x, f(0) = 1
f’(x) = –sin x, f’(0) = 0
f’’(x) = –cos x, f’’(0) = –1
f’’’(x) = sin x, f’’’(0) = 0
dst …
Sehingga diperoleh bahwa :

x2 x 4 x6
cos x = 1 − + − + ...
2! 4! 6!

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
55
Matematika Teknik II

Latihan :

1. Periksa kekonvergenan barisan {an} berikut ini !


n
a. an =
2n − 1
4n 2 + 1
b. an =
n 2 − 2n + 3
n
c. an = (−1) n
n +1
en
d. an =
n2

2. Periksa apakah deret berikut konvergen atau divergen !


(jika konvergen tentukan jumlahnya)

n−3
a. ∑ n
n =1

1 1 
b. ∑  r − r + 1 
r =1

k!
c. ∑ 10k
k =1

3. Gunakan uji integral untuk menguji kekonvergenan deret berikut ini :



1
a. ∑ r+2
r =1

1
b. ∑ 10k + 3
k =1

4. Tentukan kekonvergenan dari deret berikut ini :



n
a. ∑ n 2 + 2n + 3
n =1

1
b. ∑ r +1
r =1

n3
c. ∑ (2n ) !
n =1

k2
d. ∑ k!
k =1

4n3 + 3n
e. ∑ n 5 − 4n 2 + 1
n =1

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
56
Matematika Teknik II

5. Periksa apakah deret berikut ini adalah konvergen mutlak, konvergen bersyarat atau
divergen :

1
a. ∑ (− 1)n +1 5n
n =1

n
b. ∑ (− 1)n +1 10n + 1
n =1

k4
c. ∑ (− 1)k +1 2k
k =1

6. Tentukan deret Maclaurin dari untuk fungsi berikut sampai suku ke-5 :
a. f ( x) = tan x
b. f ( x) = e x sin x

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
57
Matematika Teknik II

BAB V
PEUBAH KOMPLEKS

5.1 Bilangan Kompleks


Sistem bilangan kompleks merupakan perluasan dari sistem bilangan riil. Misalkan,
saat kita memerlukan solusi dari persamaan x2 = – 25, tak ada bilangan riil yang memenuhi
persamaan tersebut. Oleh karena itu, kita perlu mendefinisikan bilangan kompleks.
Bilangan kompleks ditulis sebagai pasangan terurut dua bilangan riil, z = x + y i , dimana
x = Re z (bagian riil dari bilangan kompleks), y = Im z (bagian imajiner dari bilangan
kompleks), dan i = − 1 . Sejak SMU, bilangan kompleks ini telah dipelajari, untuk
mengingat kembali tentang hal ini, berikut beberapa contoh persamaan yang mempunyai
solusi berbentuk bilangan kompleks.

Contoh :
Tentukan solusi dari persamaan :
a. x2 – 25 = 0
b. x2 + 2x +10 = 0
Jawab :
a. Diketahui x2 – 25 = 0,
ini memberikan x2 = – 25 atau x = ± 25 x (−1)
sehingga x =±5i
b. Deketahui x2 + 2x +10 = 0,
− b ± b 2 − 4ac
Dengan menggunakan rumus x1, 2 = maka
2a
− 2 ± 4 − 40 − 2 ± 36 x (−1)
x1, 2 = = = −1 ± 3 − 1 = −1 ± 3 i
2 2
sehingga solusi dari persamaan tersebut adalah :
x1 = –1+3 i atau x2 = –1– 3 i

Misalkan z1 = x1 + y1 i, z2 = x2 + y2 i adalah bilangan kompleks, maka ada


beberapa sifat bilangan kompleks yang perlu diketahui, yaitu :
(i) z1 = z2 ⇔ x1 = x2 dan y1 = y2
(ii) z1 + z2 = (x1 + x2 ) + (y1 + y2) i
(iii) z1 z2 = (x1 x2 ) – (y1 y2) + (x1 y2 + x2 y1) i
z1 x1 x 2 + y1 y 2 y x − x1 y 2
(iv) = + 1 2 i
z2 2 2 2 2
x2 + y2 x2 + y2

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
58
Matematika Teknik II

Berikut merupakan pembuktian dari pernyataan ke empat, misalkan, z = x + y i dan


z
z = 1 sehingga dapat ditulis bahwa z1 = z2 z. Dari sifat ketiga, diperoleh x1 = (x x2 – y
z2
y2) dan y1 = (x y2 + x2 y). Dengan menggunakan aturan Cramer, maka
x x + y1 y 2 y x −x y
x= 1 2 dan y = 1 2 1 2 .
x2 2 + y2 2 x22 + y22
Setiap bilangan kompleks memiliki sekawan (konjugat). Hasil kali antara suatu
bilangan kompleks dengan konyugatnya dinamakan modulus. Misalkan, sekawan dari
z = x + y i diberikan oleh z = x − y i maka modulus dari z adalah :
z = z z = x2 + y2 .
Untuk setiap bilangan kompleks z ≠ 0 maka modulus z adalah positif.
Contoh :
Tentukan modulus dari z = 2 + i !
Jawab :
Konjugat dari z = 2 + i adalah z = 2 − i ,
sehingga modulus dari z adalah :
z =zz
= 2 2 + 12 .
=5
Misalkan z1 dan z2 merupakan bilangan kompleks, berlaku :
z1 + z2 ≤ z1 + z2
Misalkan z1, z2 , dan z3 merupakan bilangan kompleks, beberapa sifat aritmetika
dari bilangan kompleks tersebut adalah sebagai berikut :
a. z1 + z2 = z2 + z1
b. z1 + (z2 + z3) = (z1 + z2) + z3
c. z1 z2 = z2 z1
d. z1 (z2 z3) = (z1 z2) z3
e. z1 (z2 + z3) = z1 z2 + z1 z3
f. 0 . z1 = z1. 0 = 0
g. 1. z1 = z1. 1 = z1
h. z1 + z2 = z1 + z2
i. z1z2 = z1z2
 z1  z1
j.   =
 z 2  z2

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
59
Matematika Teknik II

5.2 Bentuk Polar dari Bilangan Kompleks


Sebuah bilangan kompleks z = x + y i dapat tuliskan sebagai sebuah pasangan
(x, y) pada bidang kompleks. Sumbu-x dinamakan sumbu Real, sedangkan sumbu-y
dinamakan sumbu Imajiner. Tulis x = r cos θ dan y = r sin θ , sehingga :
z = r (cos θ + sin θ ) i .
Bentuk polar dari bilangan kompleks tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Im
Z = x+ y i

y
θ
Re
x

Gambar 5.2.1 Ilustrasi dari bentuk polar bilangan kompleks


Penjumlahan dua bilangan kompleks dapat dipandang sebagai penjumlahan dua buah
vektor dalam bidang ini. Dalam bidang kompleks, modulus dari suatu bilangan kompleks
merupakan panjang vektor posisinya. Dengan demikian, z merupakan modulus dan θ
dinamakan argument, dengan notasi θ = arg z.
Pandang dua buah bilangan kompleks z1 dan z2 maka
z1z2 = r1r2 [cos(θ1 + θ2 ) + i sin(θ1 + θ2 )]
arg z1z2 = arg z1 + arg z2
z
Sementara itu, jika z = 1 maka modulus dan argumen z adalah :
z2
r
z = 1
r2
dan
arg z= arg z1 – arg z2

Sementara itu, z1n = r1n (cos nθ + i sin nθ )


Contoh :
Diketahui :
z1 = −1 dan z1 = i
Tentukan arg( z1z2 ) dan arg( z1) + arg( z2 )
Jawab :
arg( z1z2 ) = arg(−i)
π
=−
2

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
60
Matematika Teknik II

Sementara itu,
π
arg( z1 ) + arg( z2 ) = π +
2

=
2

5.3 Fungsi Kompleks


Msalkan S ⊆ C merupakan himpunan baian pada bidang kompleks. Sebuah aturan
yang mengaitkan setiap unsur di z = x + y i ∈ S dengan suatu nilai
w = f ( z ) = u ( x, y ) + iv( x, y ) dinamakan fungsi kompleks bernilai tunggal. Sedangkan
f ( z) = z dinamakan fungsi kompleks bernilai tak tunggal.

Definisi.
Sebuah S ⊆ C pada bidang kompleks dinamakan domain buka jika untuk setiap z0
∈ S , ada δ > 0 sedemikian sehingga setiap unsur dalam area |z - z0 | < δ merupakan
anggota S.

Beberapa definisi :
Definisi limit :
lim f ( z ) = w0
z − z0
jika, untuk setiap ε > 0, ada sebuah δ > 0 sedemikian hingga f ( z ) − w0 < ε untuk
setiap z yang memenuhi 0 < z − z0 < δ
Definisi Kekontinuan
Fungsi f(z) dikatakan kontinu pada titik z0 jika lim f ( z ) = f ( z0 )
z − z0
Sementara itu, fungsi f(z) dikatakan kontinu pada suatu daerah S jika ia kontinu pada
setiap titik di S.
Definisi turunan
Jika f(z) merupakan fungsi bernilai tunggal dalam sutu daerah S pada bidang
kompleks, turunan f(z) adalah
f ( z + ∆z ) − f ( z )
f ' ( z ) = lim .
∆z − 0 ∆z
Suatu fungsi dikatakan terdiferensialkan jika limitnya ada dan sama.

f(z) dikatakan analitik di titik z0 jika f(z) terdiferensialkan di z0 dan juga pada setiap
titik dilingkungan z0. f(z) dikatakan analitik dalam suatu daerah S jika f(z) terdefinisi dan
terdiferensialkan pada semua titik di S.
Misalkan f ( z ) = u ( x, y ) + iv( x, y ) , maka persamaan u x = v y dan u y = −vx dinamakan
persamaan Cauchy-Riemann.

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
61
Matematika Teknik II

Teorema :
Andaikan f ( z ) = u ( x, y ) + iv( x, y ) terdefinisi dan kontinu pada suatu lingkungan
titik z = x + y i dan terdiferensialkan pada titik tersebut, maka pada titik tersebut,
turunan– turunan parsial pertama dari u dan v ada dan memenuhi persamaan Cauchy-
Riemann.
Jadi, f ( z ) = u ( x, y ) + iv( x, y ) merupakan fungsi analitik jika dan hanya jika f(z)
memenuhi persamaan Cauchy-Riemann.

Contoh :

Tunjukan bahwa f ( z ) = z 2 merupakan fungsi analitik !


Jawab :
Misalkan f ( z ) = f ( x + yi)
Sehingga
f ( z) = z 2
= x 2 − y 2 + 2 xyi
2
Kita akan menunjukan f ( z ) = z sebagai fungsi analitik dengan bantuan persamaan
Cauchy-Riemann.
Tulis, u ( x, y ) = x 2 − y 2 dan v( x, y ) = 2 xy
maka jelas bahwa :
ux = v y = 2x
dan
u y = −v x = 2 y
2
Jadi, f ( z ) = z merupakan fungsi analitik pada bidang kompelks.

Latihan :
1. Sederhanakan bilangan kompleks yang berada pada ruas kiri sehingga memenuhi
kesamaan dengan bilangan kompleks yang berada pada ruas kanan pada kesamaan
berikut :
a. ( 2 − i ) − i (1 − 2i ) = −2i
1 + 2i 2 − i −2
b. + =
3 − 4i 5i 5
5 i
c. =
(1 − i )(2 − i )(3 − i ) 2
d. (1 − i )4 = −4
2. Misalkan z = x + y i , tunjukan bahwa :
(1 + z )2 = 1 + 2 z + z 2

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
62
Matematika Teknik II

3. Tentukan modulus dan argumen dari bilangan berikut :


−2
a. z=
1 + 3i
i
b. z=
− 2 − 2i
c. z= ( 3 − i )6
4. Tentukan apakah fungsi berikut ini analitik atau tidak :
a. f ( x, y ) = 3x + y + (3 y − x ) i
b. f ( z ) = z 2
c. f (x, y ) = 2 xy + ( x 2 − y 2 ) i
d. f ( x, y ) = e − y sin x − ie − y cos x

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom
63
Matematika Teknik II

DAFTAR PUSTAKA

[1] Anton, H., Elementary Linear Algebra, 5th edition, John Willey & Sons, New York,
1991
[2] Boyce, W. E., Di Prima, R.C., Elementary Differential Equations and Boundary
Value Problems, 5th edition, John Willey & Sons, Singapore, 1992
[3] Brown, J.W., Churchill, R.V., Complex Variables and Applications, 6th edition,
McGraw-Hill Inc., Singapore, 1996
[4] Martono, K., Kalkulus Diferensial, Alvagracia, Bandung, 1987
[5] Purcell, E.J., Varberg, D., Kalkulus dan Geometri Analitis Jilid 2, Terjemahan
Nyoman Susila dkk., edisi 5, Erlangga, 1992

Adiwijaya
Sekolah Tinggi Tekonologi Telkom

You might also like