You are on page 1of 121

METODE PENELITIAN SASTRA

Disusun oleh:
Asep Yusup Hudayat

Fakultas Satra
Universitas Padjadjaran
Bandung
2007
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………… i

DAFTAR ISI ………………………………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1

1.1 Pengertian, Hakikat Metodologi, Metode, dan Teknik …………… 1

1.2 Relevansi Metode dalam Kegiatan Penelitian …………………….. 2

BAB II PENELITIAN ILMIAH ……………………………………… 10

2.1 Penelitian dan Ilmu ………………………………………………… 10

2.2 Metode dan Nilai Keilmiahan ……………………………………… 16

2.3 Asas-asas Dasar Penelitian ………………………………………… 19

2.4 Penggolongan Penelitian …………………………………………… 20

2.5 Metode Kualitatif …………………………………………………… 22

2.6 Metode Deskriptif …………………………………………………. 23

BAB III SASTRA DALAM PENELITIAN ILMIAH ……………… 29

3.1 Sastra sebagai Sistem ……………………………………………… 29

3.2 Sastra sebagai Objek Penelitian …………………………………… 31

3.3. Pemanfaatan Teori bagi Penelitian Sastra ………………………… 33

iii
3.4 Pendekatan Sastra: Pengertian ……………………………………… 37

3.4.1 Pengertian Pendekatan ……………………………………….. 37

3.4.2 Jenis-jenis Pendekatan ……………………………………… 38

3.4.2.1 Pendekatan Ekspresif ……………………………… 39

3.4.2.2 Pendekatan Mimeis ………………………………… 40

3.4.2.3 Pendekatan Pragmatik ……………………………… 43

3.4.2.4 Pendekatan Objektif ………………………………… 48

BAB IV STRUKTURALISME ………………………………………… 51

4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan ……………………………………… 51

4.2 Teori Formalis ……………………………………………………… 54

4.3 Teori Strukturalisme Dinamik ……………………………………… 55

4.4 Semiotik …………………………………………………………… 58

4.5 Struktualisme Genetik ……………………………………………… 62

4.5.1 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan …………………… 65

4.5.2 Karya Sastra sebagai Produk Subjek Kolektif ……………….. 66

4.5.3 Karya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia …………… 67

4.5.4 Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial …………………… 69

4.5.5 Metode Dialektik …………………………………………….. 71

4.6 Naratologi …………………………………………………………… 72

4.6.1 Naratologi dalam Tinjauan Umum dan Perkembangannya …… 72

4.6.2 Pelopor Naratilogi Periode Strukturalisme dan Pahamnya …… 76

4.6.2.1 Vladimir Propp ……………………………………… 76

iv
4.6.2.2 Levi’Strauss ………………………………………… 78

4.6.2.3 Tvzetan Todorov …………………………………… 79

4.6.2.4 Greimas …………………………………………….. 80

BAB V RANCANGAN USULAN PENELITIAN: TINJAUAN KRITIS .. 83

5.1 Langkah-langkah Penyusunan Rancangan Usulan Penelitian .......... 83

5.1.1 Latar belakang Masalah …………………………………… 83

5.1.2 Identifikasi Masalah ……………………………………….. 86

5.1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………….. 88

5.1.4 Landasan Teori …………………………………………… 89

5.1.5 Metodologi ………………………………………………… 91

5.2 Kemampuan Menguraikan Latar Belakang Masalah dan Identifikasi

Masalah.. ......................................................................................... 95

5.3 Kemampuan Menjabarkan Tujuan Penelitian …………………… 100

5.4 Kemampuan Menyajikan Landasan Teoretis ……………………… 103

5.5 Kemampuan Menyajikan Metode ………………………………… 105

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 112

v
KATA PENGANTAR

Metode penelitian sastra merupakan alat penting dalam mewujudkan

sebuah penelitian sastra yang memadai. Selain itu, upaya mendeskripsikan

masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian,

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam modul ini. Pertimbangan

utamanya adalah untuk memberikan pengetahuan secara memadai mengenai

penelitian sastra yang menuntut sebuah metode penelitian yang khusus di

samping tetap berada dalam jangkauan asas-asas penelitian ilmiah secara

universal. Adapun uraian mengenai tinjauan kritis atas rancangan sejumlah

usulan penelitian sastra dimaksudkan untuk melengkapi uraian empiris dari

rentang pembahasan metode penelitian sastra menyangkut pengertian, hakikat,

relevansi metode dan penelitian, sastra dalam penelitian ilmiah, sampai ke

uaraian beberapa pendekatan sastra dalam wilayah strukturalisme.

Materi yang disajikan dalam modul ini bersumber dari beberapa buku

dan karangan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan metode penelitian.

Sasaran utama penulisan modul ini adalah para mahasiswa yang akan

menghadapi penyusunan Usulan Penelitian Skripsi atau sedang menempuh

masa bimbingan skripsi yang menggunakan pendekatan struktural sebagai

objek formalnya.

i
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang secara

langsung atau tidak langsung telah ikut serta mewujudkan penyusunan modul

ini. Perbaikan di kemudian hari tentunya perlu penyusun lakukan untuk

menjadikan modul ini cukup memadai sesuai kebutuhan para mahasiswa di

program strata satu dengan bidang kajian utamanya adalah sastra..

Tentunya modul ini akan menempati fungsinya yang optimal sebagai

materi pengetahuan bila dapat menumbuhkan kesadaran para mahasiswa akan

filsafat ilmu, teori, dan metode dalam ruang lingkup penelitian sastra. Dengan

demikian, penyusun berhadap modul ini dapat membuka jalan bagi tercapainya

kegiatan penelitian yang baik dengan bekal kemampuan metode yang

memadai.

Bandung, Agustus 2007

Penyusun

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian, Hakikat Metodologi, Metode, dan Teknik

Adakalanya pengertian-pengertian metodologi, metode, dan teknik

sering tertukar atau bahkan dicampuradukkan. Pengertian mendasar dari

masing-masing istilah adalah:

1. Metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu filsafat ilmu

mengenai metode. Metodologi dengan demikian membahas prosedur

intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah.

2. Metode berasal dari kata methods yang akar katanya adalah meta yang

berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; sedangkan hodos berarti

jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas, metode dianggap

sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas; langkah-langkah

sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.

3. Teknik berasal dari kata teknikos, yang berarti alat, atau seni

menggunakan alat.

Perbedaan mendasarnya antara metodologi dan metode adalah

metodologi membahas konsep teoritik berbagai metode sedangkan metode

mengemukakan secara teknis tentang metode yang digunakan dalam kegiatan

penelitian. Upaya memilah dua pengetian tersebut berpangkal dari penyadaran

1
filsafat keilmuan yang kita anut yang berkorelasi dengan metodologi penelitian

itu sendiri.

Adakalanya para penganut filsafat ilmu yang berbeda memberi cap

bohong, munafik pada langkah-langkah kerja penelitian yang memulai

tulisannya dengan alasan pemilihan judul, perumusan masalah, dan kerangka

pemikiran penelitian. Yang memberi cap tersebut lupa atau tidak tahu bahwa

ada metodologi penelitian yang berbeda yang menggunakan dasar filsafat ilmu

yang berbeda dan menuntut langkah kerja yang berbeda pula.

Muhazir (2002: 4) menegaskan bahwa para ilmuwan peneliti perlu

menggunakan landasan filsafat ilmu. Landasan tersebut digunakan untuk

metodologi penelitian. Dengan demikian yang bersangutan sadar dalam

beberapa hal: (1) sadar filsafati, artinya dia sadar menggunakan pendekatan

filsafat ilmu yang mana; (2) sadar teoritik, artinya dia sadar teori penelitian

atau model mana yang digunakan; dan (3) sadar teknis, artinya dia mampu

memilih teknik penelitian yang tepat.

1.2 Relevansi Metode dalam Kegiatan Penelitian

Lebih jauh Muhazir (2002: 55) menyebutkan bahwa metodologi

penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari

bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran. Prosedur kerja mencari

kebenaran sebagai filsafat dikenal sebagai filsafat epistemologis. Kualitas

kebenaran yang diperoleh dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan

kualitas prosedur kerjanya.

2
Dengan prosedur kerja yang baik, kualitas kebenaran yang diperoleh

pun sejauh kebenaran epistemologik; dan ilmu pengetahuan hanya akan

mampu menjangkau kebenaran epistemologik. Kebenaran epistemologik

tampil dalam wujud kebenaran tesis dan lebih jauh berupa kebenaran teori

yang pada gilirannya akan disanggah oleh tesis lain atau teori lain. Gerak dari

tesis dan teori yang satu ke tesis dan teori yang lain merupakan proses

berkelanjutan ilmu pengetahuan memperoleh kebenaran objekif universal yang

bukti kebenarannya hanya dapat diuji pada beragam kasus.

Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk

menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan

dipahami. Klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling, induksi dan deduksi,

eksplanasi dan interpretasi, kuantitatif dan kualitatif, dan sebaginya adalah

sejumlah metode yang sudah sangat umum penggunaannya, baik dalam ilmu

kealaman maupun ilmu sosial, termasuk ilmu humaniora.

Prosedur yang dimaksud dalam bahasan metodologi terjadi sejak

peneliti menaruh minat terhadap objek tertentu, menyusun proposal,

membangun konsep dan model, merumuskan hipotesis dan permasalahan,

mengadakan pengujian teori, menganalisis data, dan akhirnya menarik

kesimpulan. Metodologi jelas mengimplikasikan metode. Tetapi metodologi

bukanlah kumpulan metode, juga bukan deskripsi mengenai metode tersebut.

Perbedaan antara ilmu kealaman dengan ilmu kemanusiaan, misalnya,

bukanlah karena perbedaan metode, melainkan karena perbedaan paradigma

dan perbedaan metodologi.

3
Berbeda dengan metode, metodologi tidak berkaitan dengan teknik-

teknik penelitian, melainkan dengan konsep-konsep dasar logika secara

keseluruhan. Metode deskripsi, komparasi, struktural, dan sebagainya

digunakan dalam kedua bidang ilmu, tetapi dasar dan cara pemahamannya,

bagaimana prosedur pemahaman tersebut dibangun, jelas berbeda.

Secara definit metode dengan teknik tidak memiliki batas-batas yang

jelas. Metode sering disebutkan sebagai teknik. Ratna (2004: 37)

mengemukakan tiga cara yang dapat membedakan antara metode dengan

teknik, bahkan juga dengan teori, melalui cara:

1. membedakan tingkat abstraksinya

Abstraksi tertinggi dimiliki teori kemudian diikuti oleh metode dan

teknik. Artinya, meskipun secara teoretis metode masih bersifat

abstrak, tetapi sebagian ciri-cirinya dapat diidentifikasi secara

kongkret. Sebagai alat, teknik bersifat paling kongkret. Sebagai

instrumen penelitian, teknik dapat dideteksi secara inderawi.

Dengan demikian, teknik berhubungan dengan data primer.

Sejumlah teknik yang sering dimanfaatkan, misalnya: wawancara,

kuesieoner, rekaman, statistik, dokumen, angket, teknik kartu data,

dan sebagainya. Sampling dapat dianggap sebagai teknik pada saat

keseluruhan sampel sudah dimasukkan ke dalam sistem kartu

sehingga bersifat kongkret. Demikian juga statistik dapat dianggap

sebagai metode pada saat data sedang dikuantifikasikan sehingga

sifatnya masih abstrak

4
Pada pembicaraan yang berbeda, metode dapat menjadi teori.

Struktur adalah teori sebab sudah menghasilkan sejumlah konsep

dasar dan sudah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tetapi

sebelumnya, struktur disebut sebagai metode. Jadi, struktur bisa

menjadi metode atau teori tergantung dari tujuan dan cara pandang

peneliti.

2. memperhatikan faktor mana yang lebih luas ruang lingkup

pemakaiannya

Secara berurutan tingkat keluasan ruang lingkup pemakaian:

paradigma, metodologi, teori, metode, dan teknik; luasnya

paradigma dan metodologi disebabkan oleh penelusurannya ke

masa lampau. Luasnya teori disebabkan oleh adanya perkembangan

secara terus menerus. Teknik memiliki ruang lingkup yang lebih

sempit dibandingkan metode walaupun keduanya memiliki

pengertian yang sama. Metode yang baik adalah metode yang selalu

bersifat teknik.

3. memperhatikan hubungannya dengan objek

Makin dekat dan jelas hubungannya dengan objek maka disebut

teknik, sebaliknya makin jauh dan kurang jelas disebut metode.

5
Dalam penelitian sastra terdapat dua macam penelitian, yaitu penelitian

lapangan dan perpustakaan. Prosedur penelitian lapangan ilmu sastra hampir

sama dengan ilmu sosial. Keduanya memanfaatkan instrumen yang sama,

dengan metode dan teknik yang sama.

Prosedur penelitian pustaka dalam bidang sastra agak berbeda. Pada

umumnya penelitian pustaka secara khusus meneliti teks. Teknik yang

digunakan adalah kartu data primer maupun sekunder dengan metode yang

paling sering digunakan adalah hermeneutik yang disamakan dengan

verstehen, interpretasi, dan pemahaman. Dalam bidang ilmu lain, interpretasi

disejajarkan dengan metode kualitatif, analisis isi, dan etnografi. Metode lain

yang sering digunakan adalah deskriptif analitik, yaitu dengan jalan

menguraikan sekaligus menganalisis.

Metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra adalah:

metode intuitif, hermeneutik, metode formal, analisis isi, dialektika, deskriptif

analisis, deskriptif komparatif, dan deskripsif induktif. Sehubungan dengan

jangkauan utama pembicaraan ke arah pendekatan struktural, maka metode

yang penting untuk dikemukakan pada uraian ini menyangkut: metode

hermeneutik, metode formal, metode dialektik, dan metode deskriptif analisis.

Perbedaan masing-masing metode (Ratna, 2004: 44-46) tampak pada uraian di

bawah ini:

a. metode hermeneutik

Metode ini dianggap sebagai metode ilmiah paling tua yang sudah

ada sejak zama Plato dan Aristoteles. Mula-mula metode ini

6
berfungsi untuk menafsirkan kitab suci. Hermeneutik modern baru

berkembang sejak abad ke-19 melalui gagasan Schleiermacher,

Dilthey, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan sebagainya.

Dalam sastra dan filsafat, hermeneutik disejajarkan dengan

interpretasi, pemahaman, verstehen, dan retroaktif. Dalam ilmu-

ilmu sosial juga disebut metode kualitatif, analisis isi, alamiah,

naturalistik, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan

fenomenologi.

Metode ini ini tidak mencari makna yang benar melainkan makna

yang paling optimal. Untuk menghindarkan keterbatasan proses

interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas. Penafsiran

terjadi karena setiap subjek memandang objek melalui horison dan

paradigma yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada gilirannya

menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia,

menambah kualitas estetika, etika, dan logika.

b. metode formal

Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-

aspek formal, aspek-aspek bentuk yang mengarah pada unsur-unsur

karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai

sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik.

Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur

karya sastra kemudian mempertalikan hubungan antarunsur tersebut

7
dengan totalitasnya.. Metode ini sama dengan metode struktural

yang berkembang menjadi teori strukturalisme. Metode formal

memandang bahwa keseluruhan aktivitas kultural memiliki dan

terdiri atas unsur-unsur.

c. metode dialektika

Mekanisme kerja metode ini adalah tesis, antitesis, dan sintesis..

Prinsip dasarnya adalah unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam

unsur lainnya. Individualitas dipertahankan di samping

interdependensinya. Kontradiksi tidak dimaksudkan untuk

menguntungkan secara sepihak. Sintesis bukanlah hasil yang pasti

tetapi justru merupakan awal penelusuran gejala berikutnya.

Prinsip-prinsip dialektika hampir sama dengan hermeneutik, yaitu

gerak spiral eksplorasi makna yang mengarah kepada penelusuran

unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya. Pada metode ini,

kontinuitas operasionalisasi tidak berhenti pada level tertulis tetapi

diteruskan pada jaringan kategori sosial sebagai penjaringan makna

secara lengkap. Kontradiksi dalam dialektika dianggap sebagai

energi pemahaman objek.

Metode dialektika digunakan dengan sangat berhasil oleh

Goldmann dalam struktural genetik. Secara teoretis, setiap fakta

sastra dapat dianggap sebagai tesis kemudian diadakan negasi.

Dengan adanya pengingkaran, tesis dan antitesis seolah-olah hilang

8
atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis

itu sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya

sehingga proses pemahaman terjadi secara terus- menerus.

d. metode deskriptif analisis

Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta

yang kemudian disusul dengan analisis. Metode ini tidak semata-

mata hanya menguraikan tetapi juga memberikan pemahaman dan

penjelasan. Metode ini dapat diaplikasikan ke dalam beberapa jenis

lainnya, misalnya metode deskriptif komparatif atau metode

deskriptif induktif.

Metode ini dapat diperoleh melalui gabungan dua metode dengan

menitikberatkan kepada metode yang lebih khas yang sesuai dengan

tujuan penelitian.

9
BAB II

PENELITIAN ILMIAH

2.1 Penelitian dan Ilmu

Penelitian merupakan bentuk nomina dari kata kerja: meneliti.

Pengertian meneliti dimaksudkan sebagai tindakan melakukan kerja

penyelidikan secara cermat terhadap suatu sasaran untuk memperoleh hasil

tertentu. Kata penelitian yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja

meneliti mengandung makna sebagaimana yang terdapat pada kata meneliti.

Penelitian dipandang sebagai sinonim riset (reseach) yang menunjukkan arti

kegiatan yang diarahkan pada kerja pencarian ulang, atau pencarian kembali

atas suatu objek, yaitu kegiatan yang memerlukan ketelitian, kecermatan, dan

kecerdasan yang memadai.

Hubungannya dengan ilmu, kegiatan penelitian erat kaitannya dengan

keberadaan kehidupan ilmu yang bersifat kumulatif. Ilmu tidak selalu dalam

keadaan mantap dan stabil tetapi sebaliknya bersifat dinamis. Kedinamisan

ilmu ditopang secara kuat oleh kegiatan penelitian. Sebagai akibatnya,

penelitian mempunyai peran penting bagi keberadaan dan kehidupan ilmu,

yaitu mengembangkan dan mempertajamnya. Jadi, ilmu dapat hidup,

10
berkembang, dan menjadi tajam berkat penelitian yang dilakukan secara terus

menerus.

Ilmu adalah pengetahuan yang bersistem dan terorganisasi. Oleh karena

itu, upaya penelitian yang dilakukan dalam rangka pengembangan ilmu

memerlukan metode yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu pula, kegiatan

penelitian yang dikaitkan dengan pengembangan ilmu merupakan serangkaian

kegiatan yang dilakukan secara tertata, sistematis, dan terorganisasi untuk

mendapatkan jawaban secara ilmiah atas suatu masalah (Nazir, 1985: 9-15).

Dalam kaiatannya dengan sifat ilmu pula, penelitian mempunyai tujuan

untuk mengungkapkan gejala-gejala yang bersifat umum, yang selanjutnya

melahirkan prinsip-prinsip yang berlaku secara umum. Gejala yang bersifat

umum menjadi indikasi akan suatu kebenaran ilmiah.

Dalam rangka pengembangan ilmu dan eksistensi sosial, kebenaran

ilmiah menyimpan kegunaan ganda. Pertama, scientific objective, yaitu

mengembangkan ilmu dengan teori-teori yang sesuai dan relevan. Kedua,

practicial objective, yaitu memecahkan dan menjawab persoalan-persoalan

praktis yang mendesak.Situasi itu memperlihatkan pentingnya peran penelitian

bagi pengembangan ilmu.

Chamamah (2001:7) mengemukakan bahwa kata penelitian dapat

diinterpretasi dua macam, yaitu kegiatan yang dilakukan secara ilmiah dan

kegiatan yang dilakukan secara nonilmiah. Dalam menghadapi masalah,

penelitian yang ilmiah tidak sama dengan penelitian nonilmiah. Perbedaan

keduanya berhubungan dengan persoalan metodologis, terutama yang berkaitan

11
dengan pemanfaatan teori dan metode. Penelitian ilmiah merupakan

serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan metode bersistem, nalar, dan

sesuai dengan objeknya, yaitu sifat-sifat yang ada pada ilmu. Penelitian yang

dikaitkan dengan ilmu yang disebut penelitian ilmiah- inilah yang menjadi

sasaran dalam mata kuliah ini. Kaitannya dengan kehidupan ilmu, kegiatan

penelitian dituntut untuk memakai metode yang ilmiah pula, di antaranya

adalah penggunaan sikap perpikir yang kritis dari si peneliti.

Sesuai dengan sasaran kerja penelitian yang dibahas dalam mata kuiah

ini, yaitu penelitian sastra, dapatlah diketahui bahwa melakukan kajian

terhadap karya sastra merupakan kegiatan yang penting dalam perkembangan

ilmu sastra. Ilmu sastra sebagai satu disiplin akan berkembang berkat

penajaman konsep-konsep, teori-teori, dan metodologi yang dihasilkan melalui

penelitian sastra. Dapat juga dilihat perlunya ilmu sastra dan penelitian sastra

untuk perkembangan dan kesempurnaan ilmu sastra.

Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk

memecahkan masalah dengan dukungan data sebagai landasan dalam

mengambil keputusan. Penelitian bukan saja merupakan proses sistematis akan

tetapi juga dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (scientific methods).

Wuradji (2001: 1-2) menyebutkan bahawa penelitian merupakan proses

sistematis. Proses yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dengan

prosedur yang ditetapkan secara tertata (tersistem). Prosedurnya berarti

menggunakan urutan tertentu. Tersistem berarti menunjukkan adanya

hubungan fungsional antara kegiatan yang dilakukan. Urutan umum dari proses

12
sistematis penelitian adalah: perumusan masalah, penelaahan informasi,

pengumpulan data, analisis data, dan penyajian kesimpulan.

Banyak hal yang dapat membedakan manusia dengan makhluk hewan.

Perbedaan yang paling menonjol adalah manusia selalu mengalami

pertumbuhan intelektual, emosional, social, dan spiritual. Manusia mempunyai

kemampuan bernalar dan menggunakan simbol-simbol untuk mengekspresikan

pikirannya. Di samping itu, manusia senantiasa mencari kesempurnaan dan

kebenaran. Oleh karena itu, manusia mencari tahu dan mencari makna. Usaha

mencari tahu dan menemukan makna tidak pernah padam karena manusia

senantiasa menghadapi masalah-masalah yang bergantian. Di samping masalah

yang dihadapi, ia ingin tahu pula tentang masalah yang dihadapi orang lain.

Semua itu merupakan rangkaian rangsangan, baik yang muncul dari dalam

dirinya maupun muncul dari luar dirinya. Rasa ingin tahu itulah yang

menyebabkan manusia secara sengaja menghimbun keterangan yang berupa

data, fakta, dan pengetahuan yang tersusun berupa konsep atau gagasan yang

saling berkaitan yang akhirnya memberikan keterangan atau penjelasan

mengenai segala sesuatu yang dialaminya.

Nazir (1985: 9) mengemukakan bahwa ilmu lahir karena manusia

diberkahi sifat ingin tahu oleh Tuhan. Keingintahuan manusia tentang

permasalahan yang terjadi di sekelilingnya dapat menjurus kepada

keingintahuan ilmiah. Dengan adanya keingintahuan manusia yang terus-

menerus, maka ilmu akan terus berkembang dan membantu kemampuan

persepsi serta kemampuan berpikir manusia secara logis yang sering disebut

13
penalaran yang mengarah kepada keilmuan tertentu. Ilmu mencakup lapangan

yang sangat luas, menjangkau semua aspek tentang kemajuan manusia secara

menyeluruh, termasuk ke dalamnya pengetahuan yang telah dirumuskan secara

sistematis melalui pengamatan dan percobaan yang terus menerus yang telah

menghasilkan penemuan kebenaran yang bersifat umum.

Merujuk kepada pendapat di atas perihal sumber pengetahuan, kegiatan

penelitian dengan menggunakan metode tertentu sangat terikat dengan bidang

ilmu (sains) tertentu. Proses memperoleh pengetahuan melalui ilmu berbeda

dengan cara-cara memperoleh pengetahuan melalui relevasi (pengelaman

secara kebetulan), otoritas, intuasi, atau pendapat umum. Pengetahuan yang

diperoleh dengan ilmu itu adalah pengetahuan yang telah teruji dengan metode-

metode ilmiah. Sifat ingin tahu yang diperoleh melalui ilmu ini dimulai dengan

mengkonseptualisasi gambaran tentang masalah, kemudian melakukan proses

penemuan, penciptaan atau penyusunan cara-cara yang baik untuk membatasi,

menggambarkan, dan menafsirkan apa yang diamati.

Semua pengetahuan yang telah diperoleh itu rupanya senantiasa pula

dipertanyakan keabsahannya. Terjadilah usaha mencari tahu atau menemukan

kebenaran yang lebih sahih dan lebih diyakini. Untuk memverifikasi keabsahan

ilmu yang sudah ada atau menjajaki teori baru, atau memperkaya teori yang

sudah ada, orang melakukan berbagai usaha seperti perenungan kembali,

melakukan kegiatan penemuan, penyelidikan, atau penelitian. Inilah awal dari

rangkaian terjadinya kegiatan yang dinamakan penelitian.

14
Di dalam melakukan kegiatan penelitian itu terdapat dua kemungkinan

bentuk kegiatan. Pertama, penelitian yang dilakukan dengan berpegang atau

bertolak dari teori yang telah ada sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan

teori itu mungkin bersifat memperkaya teori itu dengan contoh-contoh atau

menunjukkan dalam kondisi apa teori tersebut kurang tepat dan perlu

dimodifikasi. Kedua, adalah penelitian yang sifatnya memperkaya ilmu itu

sendiri dengan jalan mencari dan menemukan teori-teori baru yang sesuai atau

relevan dengan kondisi dan situasi.

Untuk sampai kepada kegiatan penelitian jenis kedua, memerlukan

sikap tanggap yang tinggi sebagai ilmuwan. Yang bersangkutan harus

mengkaji latar belakang dan proses lahirnya suatu teori. Ia harus memperlajari

dan mendalami perkembangan ilmu yang bersangkutan terutama yang

berkenaan dengan pengetahuan mengenai gejala-gejala yang berkait dengan

penemuan teori itu sendiri. Dalam hal ini, para ilmuwan tentunya berupaya

untuk mengurangi subjektivitas dan mempertinggi objektivitas. Kesimpulan

apapun yang dibuat mestilah dinilai sebagai kesimpulan sementara. Para

ilmuwan akan selalu tidak puas dengan setiap kesimpulan sementara. Oleh

karena itu, para ilmuwan selalu berusaha menemukan kesimpulan baru yang

barangkali merevisi kesimpulan-kesimpulan terdahulu. Begitulah terjadinya

penelitian yang tidak pernah henti-hentinya.

Penelitian bertujuan untuk menemukan atau menggali (explore),

mengembangkan (develop atau extention) dan menguji (testing) teori. Adapun

yang dimaksud teori adalah seperangkat construct (konsep yang saling

15
berhubungan), rumusan-rumusan dan preposisi yang menyajikan suatu

pandangan yang sistematis suatu fenomena dengan menspesifikasikan

hubungan-hubungan antarvariable dengan tujuan untuk menjelaskan dan

memprediksi gejala.

Penelitian akan menghasilkan teori, sebaliknya teori dalam

hubungannya dengan kegiatan penelitian dapat memberikan kerangka kerja

bagi pelaksanaan penelitian. Teori dapat membantu merumuskan problem,

pengajuan hipotesis, penyusunan design, pengembangan instrumen,

pengumpulan dan analisis data, serta membantu dalam menginterpretasi data.

Hubungan teori dan penelitian digambarkan sebagai berikut:

Pengumpulan Analisis Penyajian hasil


Identifikasi data data penelitian
masalah Kesimpulan
Formulasi dan implikasi
hipotesis
Review
informasi yang
terkait

Teori-teori yang terkait Pengembangan/


Ilmu pengetahuan yang Perluasan revisi
Eksis body of knowledge dan teori baru

2.2 Metode Dan Nilai Keilmiahan

Peneliti ilmuwan yang memanfaatkan nalarnya di dalam bekerja

mendasarkan kerjanya atas sifat ideal ilmu, yaitu interrelasi yang sistematis dan

terorganisasi antara fakta-fakta. Dengan demikian metodenya pun bersifat

16
ilmiah. Metode ilmiah bertolak dari kesangsian yang sistematis. Suatu kerja

yang didasarkan pada metode ilmiah memiliki empat nilai dasar: universalitas,

komunikasi, ketanpapamrihan, dan skeptisisme yang sistematis dan

terorganisir.

Dalam kerja penelitian, ilmu-ilmu humaniora, nilai-nilai dasar tersebut

dapat dijabarkan dalam kriteria: (1) berdasarkan fakta, (2) bebas prasangka, (3)

menggunakan prinsip analisis, (4) menggunakan hipoteisis apabila ada, dan (5)

menggunakan ukuran objektif (jarak metodologis). Penelitian ilmiah

memerlukan landasan kerja yang ilmiah pula. Landasan kerja yang dimaksud

oleh Chamamah (2001: 14) yang sejalan dengan pemahaman Muhajir (2002:

4) dirumuskan dalam tiga hal, yaitu:

1. landasan teori: landasan yang berupa hasil perenungan terdahulu yang

berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan bertujuan mencari

jawaban secara ilmiah;

2. landasan metodologis: landasan yang berupa tata aturan kerja dalam

penelitian dan bertujuan untuk membuktikan jawaban yang dihasilkan;

3. landasan kecendikiaan: bekal kemampuan membaca, menganalisis,

menginterpretasi, dan menyimpulkan; bertujuan mempertajam

penelitian guna meningkatkan kedekatan hasil penelitian.

Dalam penelitian ilmiah, dituntut langkah-langkah berturut-turut, yaitu:

(1) menetapkan persoalan pokok, (2) merumuskan dan mendefinisikan

masalah, (3) mengadakan studi pustaka, (4) merumuskan hipotesis, (5)

mengumpulkan data, (6) mengolah data, (7) menganalisis dan

17
menginterpretasi, (8) membuat generalisasi sesuai sifatnya, (9) menarik

kesimpulan, (10) merumuskan dan melaporkan hasil penelitian, dan (11)

mengemukakan implikasi-implikasi penelitian.

Dalam kaitannya dengan keberadaan kondisi produk sastra yang

menjadi sasaran kajian, perlu diperhatikan persoalan yang muncul serta

jawaban-jawaban yang diperlukan. Karya-karya tercipta pada masa kini dari

latar penciptaan sosial dan word view yang berbeda-beda melahirkan persoalan

pembacaan dari peneliti yang berlainan latar pembacaannya. Demikian pula,

produk yang tercipta dari proses transformasi karya “asing” menimbulkan pula

latar pembacaan yang berbeda dengan latar penciptaannya; juga persoalan

bentuk-bentuk resepsi dalam mentransformasi. Karya-karya yang tercipta dari

latar waktu yang berlainan akan menimbulkan persoalan yang berhubungan

dengan pergeseran makna. Dalam hal inilah pemilihan teori dan metode yang

memadai menempati peran yang penting untuk menghasilkan penelitian yang

memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi.

Pelaksanaan kegiatan yang didasarkan pada metode di atas akan

memberikan citra keilmiahan penelitian sastra sesuai dengan karakteristik

kesastraannya.

18
2.3 Asas-asas Dasar Penelitian

Wiersma dalam (Wuradji, (2001: 3-4) menjelaskan bahwa secara

umum asas-asas dasar penelitian meliputi:

1. sistematis

2. menghasilkan pengetahuan yang:

a. valid : berhubungan dengan sebarapa jauh hasil penelitian dapat

diinterpretasi (dimaknai) secara akurat dan seberapa jauh

hasilnya dapat digeneralisasi dan diimplemetasikan pada

populasi dan situasi yang lain

b. validitas internal mengarah kepada ketepatan pemahaman hasil

penelitian dan validitas eksternal mengarah kepada

penggeneralisasian hasil penelitian

c. realibel internal menunjukkan seberapa jauh pengumpulan data,

analisis data dan pemahaman yang dilakukan penelitian

konsisten dalam pemaknaan; realibel eksternal menunjukkan

seberapa jauh peneliti lain yang independen dapat mengulang

penelitian dan menunjukkan hasil yang sama dalam setting yang

serupa.

d. Objektif mengarah kepada penelitian yang terbebas dari campur

tangan atau unsur-unsur subjektif

3. didukung data empiris

19
2.4 Penggolongan Penelitian

Merujuk kepada pendapat Hogben, Charters, dan Whitney, Nazir (

1985: 29-31) menggolongkan penelitian berdasarkan tujuannya ke dalam dua

bagian besar, yaitu :

1. penelitian dasar (basic Reasearch) bertujuan untuk mengembangkan

ilmu pegetahuan. Jenis penelitian in tidak berorientasi pada hasil yang

dapat dimanfaatkan dengan segera untuk memecahkan problem yang

mendesak.

2. penelitian terapan (applied Reasearch) bertujuan untuk memecahkan

problem mendesak dan hasilnya dapat dimanfaatkan dengan segera

dalam kehidupan praktis. Salah satu tipe dari penelitian terapan adalah

penelitian tindakan (action research). Penelitian ini dilakukan oleh guru

atau manager atau administrator bertujuan untuk bahan pengambilan

keputusan dalam ruang lingkup lokal. Penelitian ini tidak banyak

menuntut untuk melakukan generalisasi.

Berdasarkan desain metodologinya, (bandingkan Nazir, 1885; Ratna,

2004; dan Muhadjir, 2003) penelitian digolongkan menjadi:

1. penelitian experiment: mengandaikan situasi penelitian di mana peneliti

setidaknya memanipulasi satu variabel penelitian untuk mengetahui

apakah terdapat hasil yang berbeda dari pengaturan atau perubahan

variabel independen tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk

20
membandingkan dan mencari hubungan sebab akibat. Karena itu

penelitian ini juga dikenal dengan istilah penelitian kausal-komparatif.

2. penelitian ex-post facto: peneliti tidak berusaha mengendalikan atau

mengatur/mengontrol/memanipulasi variabel independen karena

variabel penelitiannya sudah terjadi. Variabel independen tersebut

biasanya muncul atau terjadi dalam setting alami. Dari variabel-variabel

yang telah muncul secara alami tersebut, peneliti berusaha menemukan

hubungan antar variabel.

3. penelitian survey: mengendalikan variabel penelitian yang dilakukan

saat penelitian dilaksanakan. Ciri yang membedakan penelitian survey

ini dengan penelitian lainnya adalah data pada penelitian survey

merupakan current status (present conditions).

4. penelitian historis: merupakan kegiatan penelitian untuk memecahkan

masalah di mana peneliti menggali data yang telah terjadi pada masa

lampau. Tujuannya untuk mendeskripsikan fakta-fakta pada masa

lampau.

5. penelitian ethnography: pada umumnya dihubungkan dengan

penelitian-penelitian pada antropologi. Untuk penelitian-penelitian

kemasuyarakatan, ethnography merupakan pendekatan penelitian.

Penelitian ini merupakan pendeskripsian secara analitik dan mendalam

tentang situasi cultural yang spesifik.

6. content analysis; berusaha menganalisis dokumen untuk diketahui isi

dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Macam-macam

21
dokumen yang dijadikan data penelitian di antaranya: karangan tertulis,

gambar, grafik, lukisan, biografi, fotografi, laporan, buku teks, surat

kabar, film, buku harian, dan majalah.

2.5 Metode Kualitatif

Motode kualitatif memberikan perhatian kepada data alamiah yang

berada dalam hubungan konteks keberadaanya. Landasan berpikir metode

kualitatif adalah paradigma positivisme Max Weber, Immanuel kant, dan

Wilhlem Dilthey (Ratna, 2004: 47-49). Objek sosial bukan gejala sosial

sebagai bentuk substantif melainkan makna-makna yang terkandung di balik

tindakan yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam

hubungan inilah metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode

pemahaman atau verstehen. Penelitian kualitatif mempertahankan nilai-nilai.

Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data

penelitiannya adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra, sumber datanya

adalah karya sedangkan data penelitiannya teks.

Sejalan dengan uraian di atas, Ratna menguraikan ciri-ciri terpenting

metode kualitatif . Ciri-ciri yang dimaksud adalah:

1. memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan

hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural;

2. lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian

sehingga makna selalu berubah;

22
3. tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek

peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung di

antaranya;

4. desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian

bersifat terbuka;

5. penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya

masing-masing.

2.6 Metode Deskriptif

Metode dskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status

sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sakarang. Tujuan dari penelitian

deskriptif ini adalah untuk membuat dekripsi, gambaran atau lukisan secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

antarfenomena yang diselidiki.

Menurut Whitney (dalam Nazir, 1985: 63-65) metode dekriptif adalah

pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian dskriptif

mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tatacara yang berlaku

dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan

kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses

yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam

metode deskripsi peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena

tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti

23
mengadakan klasifikasi serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan

menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu sehingga banyak ahli

menamakan metode deskriptif ini dengan nama survei normatif (normative

survey). Dengan metode deskriptif ini juga diselidiki kedudukan (status)

fenomena atau faktor dan melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor

lain. Metode ini dinamakan juga studi status .

Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau standar-

standar. Dalam metode ini dapat diteliti masalah-masalah normatif bersama-

sama dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandingan-

perbandingan antarfenomena. Perspektif waktu yang dijangkau dalam

penelitian ini adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu

yang masih terjangkau dalam ingatan responden.

Nazir (1985: 72-73) mengurutkan kriteria pokok metode deskriptif

adalah:

A. kriteria umum:

1. masalah yang dirumuskan harus patut, ada nilai ilmiah serta tidak

terlalu luas

2. tujuan penelitian harus dinyatakan dengan tegas dan tidak terlalu umum

3. data yang digunakan harus fakta-fakta yang terpercaya dan bukan

merupakan opini

4. standar yang digunakan untuk membuat perbandingan harus

mempunyai validitas

24
5. harus ada deskripsi yang terang tentang tempat serta waktu penelitian

dilakukan

6. hasil penelitian harus berisi secara detil yang digunakan baik dalam

mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data serta studi

kepustakan yang dilakukan. Deduksi logis harus jelas hubungannya

dengan kerangka teoretis yang digunakan, jika kerangka teoretis untuk

itu telah dikembangkan.

B. kriteria khusus

1. prinsip-prinsip ataupun data yang digunakan dinyatakan dalam nilai

(value)

2. fakta-fakta ataupun prinsip-prinsip yang digunakan adalah mengenai

masalah status.

3. sifat penelitian adalah ex post facto, karena itu tidak ada kontrol

terhadap variabel dan peneliti tidak mengadakan pengaturan atau

manipulasi terhadap variabel; variabel dilihat sebagaimana adanya.

Adapun langkah-langkah umum dalam metode deskrptif adalah:

1. memilih dan merumuskan masalah yang menghendaki konsepsi ada

kegunaan masalah tersebut serta dapat diselidiki dengan sumber yang

ada

2. menentukan tujuan dari penelitian yang akan dikerjakan; tujuan ini

harus konsisten dengan rumusan dan definisi dari masalah

25
3. memberi limitasi dari area atau scope atau sejauh mana penelitian

deskriptif tersebut akan dilaksanakan; seberapa jauh wilayah penelitian

akan dijangkau

4. merumuskan kerangka teori atau kerangka konseptual

5. menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan

masalah yang ingin dipecahkan

6. merumuskan hipotesis-hipotesis yang ingin diuji, baik secara eksplisit

maupun secara implisit

7. melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data; gunakan teknik

pengumpulan data yang cocok untuk penelitian

8. membuat tabulasi serta analisis (statistik); dilakukan terhadap data yang

telah dikumpulkan

9. memberikan interpretasi dari hasil dalam hubungannya dengan kondisi

yang ingin diselidiki dan data yang diperoleh serta referensi khas

terhadap masalah yang ingin dipecahkan

10. mengadakan generalisasi serta deduksi dari penemuan-penemuan serta

hipotesis-hipotesis yang ingin diuji

Jenis-jenis penelitian deskriptif (Nazir, 1985: 65-68) yang perlu dikenal

sehubungan dengan praktik analisis terhadap karya sastra adalah:

1. metode survei: penyelidikan untuk memperoleh fakta-fakta dari

gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara

faktual; dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap

26
hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau

masalah yang serupa

2. metode deskriptif berkesinambungan: kerja meneliti secara deskriptif

yang dilakukan secara terus menerus atas suatu objek penelitian;

penelitian dengan menggunakan metode ini bertujuan menjangkau

informasi faktual yang mendetail

3. Studi kasus: penelitian tentang status subjek penelitian yang

berhubungan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan

personalitas; subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga,

maupun masyarakat. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan

gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta

karakter-karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu

yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal

yang bersifat umun

4. Studi komparatif: sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari

jawaban secara mendasar tentang sebab akibat dengan jalan

menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya

suatu fenomena tertentu. Dalam studi komparatif ini, sulit diketahui

faktor-faktor penyebab yang dijadikan dasar pembanding sebab

penelitian komparatif tidak mempunyai kontrol; metode yang

digunakan di dalamnya adalah ex post facto, yaitu data dikumpulkan

setelah semua kejadian yang dikumpulkan telah selesai berlangsung;

27
Peneliti dapat melihat akibat dari suatu fenomena dan menguji

hubungan sebab akibat dari data-data yang tersedia.

28
BAB III

SASTRA DALAM PENELITIAN ILMIAH

3.1 Sastra sebagai Sistem

Chamamah ( 2001: 9-14) yang merujuk beberapa pendapat dari Idema,

Plark, Eliis, Eagelton, Lotman, Riffaterre, dan Teeuw, menguraikan

pemahaman sastra sebagai sistem. Ia mengawali pembicaraanya dari perspektif

bahasa sebagai sistem semiotik primer. Selanjutnya sastra dihubungkan dengan

konvensi budaya dan konvensi sastra. Secara cermat Teeuw masalah sistem

sastra yangbersifat umum sekaligus khusus. Menurutnya, menjabarkan Istilah

sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua

masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan, keberadaannya

tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra meupakan gejala yang

universal. Akan tetapi suatu fenomena pula bahwa gejala yang universal itu

tidak mendapat konsep yang universal pula. Kriteria kesastraaan yang ada

dalam suatu masyarakat tidak selalu cocok dengan kriteria kesastraan yang ada

pada masyarakat lain. Sastra mengandung sifat umum dan khusus. Pengertian

umum dan khusus di sini dapat diperjelas dengan memahami terlebih dahulu

konsep tentang sastra.

Upaya mengungkap konsep tentang sastra pada umumnya dipandang

tidak mudah. Hal ini disadari juga oleh para kitikus dan teoretis sastra.

29
Pertanyaan yang berhubungan dengan penjelasan tentang konsep sastra selalu

muncul tetapi selalu pula berakhir dengan kesimpulan yang menunjukkan

kegagalannya. Melalui sistem sastralah, upaya mengenali konsep sastra dapat

dilakukan.

Fenomena yang terlihat universal dan sekaligus individual itu

memperlihatkan sifat-sifat yang dapat ditarik dari berbagai sisinya. Wujud

ciptaan yang dipandang sebagai hasil kegiatan bersastra pertama-tama dilihat

dari sisi bahannya, yaitu berupa bahasa. Pemakaian bahasa pada kegiatan

bersastra berbeda dengan pemakaian bahasa pada kegiatan yang lainnya,

seperti pada pemakaian sehari-hari (natural atau ordinary language).

Perbedaan ini memberi kesan akan adanya sifat yang spesial yang dalam

banyak hal tidak mengikuti tata aturan bahasa sehingga sering disebut

“menyimpang atau yang sering menimbulkan interpretasi ganda. Dalam rangka

fungsi inilah bahasa sastra mempunyai susunan yang kompleks. Sifat-sifat

yang diangkat dari corak bahasanya mewujudkan sastra sebagai satu sistem.

Apabila bahasa dalam kehidupan sehari-hari merupakan sistem pembentuk

yang pertama maka sastra merupakan sistem yang kedua, secondary modelling

system.

Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu kebulatan dalam arti dapat

dilihat dari berbagai sisi, di antaranya dari sisi bahan. Sastra tidak ditentukan

oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam macam cara

tertentu oleh masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang

dipakai mengandung fungsi yang lebih umum.

30
Bahasa yang dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan sastra pada

hakikatnya untuk menyampaikan informasi. Pemanipulasian bahasa pada

hakekatnya dalam rangka mewujudkan sastra sebagai sarana komunikasi yang

maksimal. Dengan demikian, visi dan fungsi sastra terwujud sebagai sarana

komunikasi, yaitu komunikasi dengan penikmatnya atau pembacanya.

Pekerjaan meneliti sastra pada hakikatnya merupakan proses pertemuan

antara ciptaan sastra dengan penelitinya, yaitu pembacanya. Dalam hal ini,

perlu pula diperhatikan situasi pembaca dan pembacaan pada waktu

berhadapan dengan karya sastra. Pembaca yang dibekali sejumlah

pengetahuan, disadari atau tidak akan menjadi bekal dalam pembacaannya.

Terjadilah pembacaan teks yang berstruktur yang menghasilkan dua kutub.

Keduanya bergerak dalam irama yang dinamis. Dengan demikian, membaca

bukanlah proses yang berjalan satu arah, dari pembaca saja, tetapi satu bentuk

interaksi dinamis antara teks dan pembacanya. Sastra dipahami sebagai satu

sistem yang terbaca pada ciptaan-ciptaan yang oleh masyarakatnya

dikategorikan sebagai produk sastra.

3.2 Sastra sebagai Objek Penelitian

Sebagai ilmu, ilmu sastra mempunyai karakteristik keilmiahan sendiri.

Dalam hal ini penelitian harus memilih metode dan langkah-langkah kerja yang

tepat dan sesuai dengan karakteristik objek kajiannya. Salah satu yang menarik

dalam menggunakan metode penelitian sastra adalah perihal keharusan adanya

distansi, kerja yang objektif, dan terhindar dari unsur prasangka dari

31
perspektif. Gejala dengan situasi kesastraan inilah yang sering menuntut

perhatian tersendiri.

Penerapan metode ilmiah seperti yang dikemukakan di atas perlu

mempertimbangkan sifat sastra yang memperlihatkan gejala yang universal

sekaligus khusus atau unik. Gejala universal pada sastra membuat sastra

memiliki sifat-sifat yang umum. Karya sastra adalah wujud kreativitas manusia

yang tergolong konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya

menjadi kaidah. Namun, keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat,

bahkan keunikan suatu ciptaan sastra, membuat sastra memiliki sifat-sifat yang

khusus. Dalam hal ini, generalisasi sebagaimana yang dianjurkan oleh suatu

metode penelitian (positivistik) tentu saja tidak dapat dilakukan. Langkah yang

bisa dilakukan adalah transferabilitas.

Karya sastra terbentuk untuk mengetahui segala sesuatu yang organik.

Tugas pembaca untuk mengetahui segala kekaburan elemen-elemen yang

berfungsi membentuk kesatuan itu. Pembaca bertugas menghubungkan

berbagai strata yang berbeda-beda pada tempatnya yang betul. Karena karya

sastra pada mulanya mengandung unsur yang kabur, pembacalah yang

mewujudkannya menjadi tidak kabur. Dalam mengungkapkan dan menyibak

kekaburan itulah, sejumlah peralatan diperlukan, di antranya hasil renungan

orang terdahulu tentang masalah atau berbagai hal yang berkaitan dengan

masalah dalam penelitian, seperti berbagai teori dan pandangan-pandangan

yang pernah ada.

32
3.3 Pemanfaatan Teori bagi Penelitian Sastra

Pembicaraan paradigma menjadi penting dalam menempatkan teori

pada sebuah penelitian (Ratna, 2004: 21). Paradigma berasal dari bahasa Latin:

paradigma berarti contoh, model, pola. Secara luas paradigma didefinisikan

sebagai seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi

untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik

dalam kehidupan sehari-hari maupun penelitian ilmiah.

Bagi ilmuwan, paradigma dianggap sebagai konsep-konsep kunci

dalam melaksanakan suatu penelitian tertentu. Paradigmalah yang menentukan

jenis-jenis ekspermen yang harus dilakukan oleh para ilmuwan, jenis-jenis

pertanyan yang harus diajukan, dan jenis-jenis permasalahan yang harus

dipecahkan. Tanpa paradigma, ilmuwan tidak bisa mengumpulkan data.

Terdapat tiga hal yang mempengaruhi perbedaan paradigma seorang

ilmuwan, sebagai berikut:

1. unsur dalam diri sendiri

2. unsur luar berupa lingkungan fisik

3. unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.

Dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai objek penelitian,

paradigma di sini dibicarakan dalam kaitannya dengan teori dan metode di satu

pihak, dan di pihak lain berhubungan dengan sifat-sifat dasar karya sastra

sebagai objek. Kaitan paradigma dengan teori dan metode tidak banyak

menimbulkan masalah sebab komponen-komponen tersebut memiliki ciri-ciri

33
yang relatif sama, konsep-konsep dasar yang memungkinkan subjek untuk

menganalisis objek penelitian. Permasalahan yang agak kompleks akan timbul

apabila paradigma dikaitkan dengan objek karya sastra. Di satu pihak, sebagai

cara pandang, paradigma secara keseluruhan didasarkan atas asumsi-asumsi

ilmiah yang memungkinkan subjek untuk menghadapi masalah secara objektif.

Di pihak lain, sebagai hakikat kreatif karya sastra didominasi oleh

subjektivitas, imajinasi, bahkan khayalan.

Sebagai bentuk kegiatan ilmiah, penelitian sastra memerlukan landasan

kerja yang berupa teori. Teori sebagai hasil perenungan yang mendalam,

tersistem, dan terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai

pengarah dalam kegiatan penelitian. Teori memperlihatkan hubungan-

hubungan antarfakta yang tampaknya berbeda dan terpisah ke dalam satu

persoalan dan menginformasikan proses pertalian yang terjadi di dalam

kesatuan tersebut. Selanjutnya, hasil penelitian dalam arah balik akan

memberikan sumbangannya bagi teori. Jadi, antara teori dan penelitian pun

terdapat hubungan saling mengembangkan.

Sesuai dengan beraneka ragam ilmu, maka teori pun juga beraneka

ragam. Dalam penelitian sastra, pemilihan macam teori diarahkan oleh masalah

yang akan dijawab oleh penelitian dan oleh tujuan yang akan dicapai oleh

penelitian. Contohnya, penelitian yang memasalahkan construct suatu wacana

akan memanfaatkan teori struktural, dan sebagainya.

34
Ritzer (dalam Ratna: 2004:26) mengemukakan empat faktor yang

berkaitan dengan metode kualitatif secara filosofis. Keempat faktor tersebut

adalah:

1. faktor ontologis, keberadaan objek yang sendirinya berada di antara

masing-masing ilmu; dalam ilmu humaniora, khususnya sastra, objek

dikonstruksikan oleh individu sebagai peneliti

2. faktor epistemologis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan;

secara kualitatif, jarak antara subjek dengan objek dipersempit bahkan

seolah-olah tidak ada jarak

3. faktor aksiologis, penelitian adalah penilaian, berbeda dengan

penelitian kuantitatif yang bebas nilai

4. faktor metodologis, keseluruhan proses penelitian, termasuk metode,

teori, dan teknik.

Paradigma ilmu sastra dengan demikian mencoba menjelaskan konsep-

konsep yang mendasari pandangan dunia ilmuwan sastra, baik dalam kaitannya

dengan individu maupun kelompok; baik dalam kaitannya dengan kaidah-

kaidah sastra secara keseluruhan maupun sastra sebagai genre, termasuk

model-model pendekatan dalam kaitannya dengan kecenderungan

multidisiplin. Paradigma dengan demikian mendahului, mengkondisikan

ilmuwan sastra, ke arah mana penelitian sastra diarahkan, jawaban-jawaban

apa yang akan diberikan. Pada gilirannya, baik secara eksplisit maupun implisit

paradigma mengkondisikan teori, metode, teknik dan proses selanjutnya.

Perbedaan dan perkembangan paradigma melahirkan angkatan, periode,

35
generasi, aliran, dan berbagai paham yang lain. Dengan kalimat lain, teori dan

metode tidak berarti apa-apa apabila dibandingkan dengan peranan paradigma.

Relevansi pengalaman paradigmatis terhadap hakikat karya secara

keseluruhan jelas berkaitan dengan hakikat karya, gejala kultural sebagai

kualitas imajinasi dan kreativitas. Para ilmuwan sastra sejak semula telah

memahami bahwa karya sastra bukan kenyataan sesungguhnya. Keseluruhan

unsur, termasuk tokoh-tokoh, latar tempat dan waktu, bahkan juga nama dan

tahun yang sama dengan sejarah umum adalah unsur yang diciptakan. Karya

sastra tidak menyediakan referensi apa pun yang dapat dijadikan pedoman

untuk menjelaskan fakta sejarah, kecuali referensi estetisnya. Unsur-unsur

karya sastra hanya berfungsi dalam totalitas karya, bukan totalitas alam

semesta yang melatarbelakanginya. Novel sejarah, novel psikologis, demikian

juga novel ilmu pengetahuan tidak dimaksudkan untuk melegitimasikan aspek-

aspek sejarah, psikologis, demikian juga novel ilmu pengetahuan tidak

dimaksudkan untuk melegitimasikan aspek-aspek sejarah, psikologis dan ilmu

pengetahuan, melainkan semata-mata sebagai alternatif terhadap bidang ilmu

yang ditunjuknya dengan pertimbangan bahwa ada dunia lain yang seolah-olah

sama dengan dunia yang ditunjuknya.

Pengalaman paradigmatis terhadap genre-genre sastra sama dengan

hakikat tersebut. Perbedaannya, subjek dalam hubungan ini telah memiliki

referensi yang digunakan sebagai dasar untuk memahami dan mengembangkan

hakikat imajinasi. Puisi, novel, dan drama, puisi, drama bersajak, dll

memperoleh pengertian melalui pengalaman paradigmatis tersebut.

36
Penjelajahan terhadap konsep-konsep paradigma sama pentingnya

dengan teori, tetapi dalam penelitian konsep paradigma tidak muncul secara

eksplisit. Demikian juga konsep-konsep yang berkaitan dengan metodologi

yang tidak pernah dipertimbangkan sebagai butir-butir penelitian. Paradigma

dan metodologi dianggap sebagai komponen-komponen yang secara inklusif

mempengaruhi dan mengarahkan peneliti pada suatu kesadaran tertentu,

sehingga berbeda dengan peneliti lain dengan paradigma dan metodologi yang

berbeda. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa paradigma dan

metodologi merupakan jiwa dan semangat penelitian yang kemudian diarahkan

oleh teori dengan mempertimbangkan cara yang sudah disepakati, yaitu metode

dan teknik.

3.4 Pendekatan Sastra

3.4.1. Pengertian Pendekatan

Pendekatan adakalanya disamakan dengan metode (Ratna, 2004: 53-

55). Lebih lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimologis, pendekatan

berasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai jalan dan

penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek,

sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan

menyajikan data. Dengan dasar pertimbangan bahwa sebuah penelitian

merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun secara sistematis dan metodis, maka

perlu dibedakan antara metode dengan pendekatan.

37
Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi

baik dengan metode maupun teori. Dalam sebuah pendekatan dimungkinkan

untuk mengoperasikan sejumlah teori dan metode. Dalam hubungan inilah,

pendekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu, seperti pendekatan

sosiologi sastra, mitopoik, intrinsik dan ekstrinsik, pendekatan objektif,

ekspresif, mimetik, pragmatik,dan sebagainya. Definisi tersebut bersifat relatif

sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan yang hendak dicapai sehingga

sebuah pendekatan pada tahap tertentu bisa menjadi metode. Pendekatan

adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu.

Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan. Pendekatan

merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan penelitian. Pada

dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan

mendahului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pendekatanlah

yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan

penentuan masalah, teori, metode, dan tekniknya.

3.4.2 Jenis-jenis Pendekatan Sastra

Empat komponen utama pendekatan sastra yang dikemukakan Abrams

menjadi bagian penting dalam teori strukturalisme. Empat pendekatan yang

dimaksud adalah (1) pendekatan ekspresif, (2) pendekatan mimesis, (3)

pendekatan pragmatik, dan (4) pendekatan objektif.

38
3.4.2.1 Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatian

terhadap bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi

dalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diri

pengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya. Pendekatan ini

dapat dimanfaatkan untuk menggali ciiri-ciri individualisme, nasionalisme,

komunisme, feminisme, dan sebagainya dalam karya baik karya sastra

individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.

Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif ini menempatkan

karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan

pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi

persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang

dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada

penelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham struktur

genetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-

fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang

secara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.

Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa

pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi

pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-

persepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan

dunia pengarang. Secara metodis, langkah kerja yang dapat dilakukan melalui

pendekatan ini adalah: (1) memerikan sejumalah pikiran, persepsi, dan

39
perasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di dalam karyanya,

(2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang

ditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori faktual teks berupa

watak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3) merujukkan data yang

diperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-fakta khusus menyangkut

watak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (data

sekunder berupa data biografis), dan (4) membicarakan secara menyeluruh,

sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupun

sosial dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasil

ciptaannya dengan data biografisnya.

3.4.2.2 Pendekatan Mimesis

Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman,

yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang

sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan (Abrams, 1958:8).

Kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu

yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti

misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-bentuk

kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya Luxemberg, 1989:15).

Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni berada di bawah kenyataan.

Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap

sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya

sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.

40
Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers (2000, 91-94)

mengungkapkan konsep yang dipakai kaum Maxist. Menurut konsep ini

konsep imitasi harus menjadi norma dasar telaah. Kritik Marxist menyatakan

bahwa dunia fiksional teks sastra seharusnya merefleksikan realitas sosial.

Lebih jauh Segers mempertimbangkan fiksionalisasi dalam telaah teks sastra

yang berhubungan dengan pendekatan mimesis. Menurutnya, norma

fiksionalitas mengimplikasikan bahwa tanda-tanda linguistik yang berfungsi

dalam teks sastra tidak merujuk secara langsung pada dunia kita, tetapi pada

dunia fiksional teks karya sastra.

Adapun John Baxter (dalam Makaryk,1993: 591-593) menguraikan

bahwa mimesis adalah hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni

karya yang baik dengan alam semesta moral yang nyata atau masuk akal.

Mimesis sering diterjemahkan sebagai "tiruan". Secara terminologis, mimesis

menandakan suatu seni penyajian atau kemiripan, tetapi penekanannya

berbeda. Tiruan, menyiratkan sesuatu yang statis, suatu copy, suatu produk

akhir; mimesis melibatkan sesuatu yang dinamis, suatu proses, suatu hubungan

aktif dengan suatu kenyataan hidup.

Menurut Baxter, metode terbaik mimesis adalah dengan jalan

memperkuat dan memperdalam pemahaman moral, menyelidiki dan

menafsirkan semesta yang diterima secara riil. Proses tidak berhenti hanya

dengan apa pembaca atau penulis mencoba untuk mengetahuinya. Mungkin

rentang batas yang riil dengan yang dihadirkan dapat dikhayalkan walaupun

hanya sesaat dalam kondisi riil, atau suatu perspektif pada aspek yang riil yang

41
tidak bisa dijangkau jika tidak dilihat. Kenyataan kadang-kadang digambarkan

berbeda karena tak sesuai dengan pandangan kenyataan yang menyeluruh.

Oleh karena itu, kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam cakupan

yang ideal. Mimesis sama dan sebangun dengan apa yang Coleridge sebut

sebagai 'imajinasi yang utama, ' yang oleh Whalley disebut sebagai hasil dari

kesadaran tertinggi.

Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan

metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai:

(1) produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2)

representasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk dinamis yang

kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal, dan

(4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas kenyataan.

Secara metodis, langkah kerja analisis melalui pendekatan ini dapat

disusun ke dalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkap dan mendeskripsikan

data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara tekstual, (2)

menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk dirujukkan ke

dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai tujuan, misalnya

menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara dinamis, dsb.,

(3) membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra

dengan kenyataan fakta realita, dan (4) menelusuri kesadaran tertinggi yang

terkandung dalam teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang

direpresentasikan dalam karya sastra.

42
3.4.2.3 Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatis menurut Abram (1958: 14-21) memberikan

perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan

perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan

pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai

kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan

pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan

pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau peneriman

pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis

maupun diakronis.

Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatik,

mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi.

Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru

dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya

dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam

uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama,

yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis estetika resepsi,

dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra.

Estetika resepsi yang termasuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatik

memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata

kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptions und

wirkungsasthetik “ tanggapan dan efek”. Menurutnya, pembacalah yang

menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam

43
kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi

sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan

penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang

terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam

kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.

Tujuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi Jauss,

yaitu: (1) pengalaman pembaca, (2) horison harapan, (3) nilai estetik, (4)

semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) perspektif sinkronik dan diakronik,

dan (7) sejarah umum.

Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks

karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang

bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau

zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang

berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan

mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan

teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam

hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer

tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas

pengalaman sebelumnya.

Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk

masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman

atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi

antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan

44
informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus

proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya

sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-

harapan atas karya yang dibacanya.

Horison harapan atas sebuah karya membuka peluang untuk

menentukan karakter artistiknya melalui kesamaan dan tingkat pengaruhnya

pada syarat pembaca. Penandaan perbedaan jarak estetik antara horison

harapan yang diberinya dan tampilan suatu karya baru akan mengarahkan

potensi-potensi resepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan

horison sampai pada penghilangan pengalaman yang umum dikenal atau

sampai pada peningkatan kesadaran pengalaman yang baru saja dicetuskan.

Kondisi yang mengindikasikan adanya jarak estetik ini dapat menjadi objektif

menurut sejarah sejalan dengan spektrum reaksi pembaca dan pertimbangan

kritiknya.

Perihal semangat zaman, rekonstruksi horison harapan pada permukaan

suatu karya yang telah diciptakan dan diterima di masa lalu memungkinkan

pembaca mempertanyakan kembali tentang teks tersebut. Proses pembacaan

diarahkan kepada bagaimana pembaca jaman sekarang bisa memandang dan

memahami karya tersebut. Pendekatan ini mengoreksi norma-norma klasikal

yang tidak dikenal atau memodernisasi pemahaman seni dan menghindari

kesulitan yang menyelimutinya.

Teori estetik resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra

dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut

45
bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk

mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman

kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra

sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi

pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat

memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya

sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.

Keberhasilan linguistik melalui perbedaan dan hubungan metodologis

yang menyeluruh dari analisis sinkronis dan diakronis adalah kesempatan

untuk menanggulangi perspektif diakronis yang sebelumnya merupakan satu-

satunya perspektif yang diberlakukan di dalam sejarah sastra. Pembenahan

tersebut membuka perubahan dalam perilaku estetik. Perspektif sejarah sastra

selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru

dengan makna karya-karya terdahulu. Perspektif ini juga mempertimbangkan

pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-kelompok yang sama,

berlawanan dan teratur sehingga diperoleh sistem hubungan yang umum dalam

karya sastra pada waktu tertentu.

Tugas sejarah sastra yang utuh tidaklah hanya diwakili kesinkronisan

dan kediakronisan di dalam rangkaian sistemnya, tetapi juga melihat seperti '

sejarah khusus' dalam hubungan uniknya terhadap 'sejarah umum'. Hubungan

ini tidak berakhir dengan fakta yang beragam, diidealkan, satirik, atau

gambaran berupa kayalan tentang keberadaan sosial, tetapi hubungannya dapat

ditemukan di dalam sastra dari semua waktu. Fungsi sosial sastra

46
memanifetasikan dirinya di dalam kemungkinan riil hanya jika pengalaman

kesastraan pembaca masuk ke dalam horison harapannya dari kehidupan

praktisnya untuk kemudian pembaca melaksanakan pemahaman atas dunianya.

Manifestasi tersebut mempunyai dan mempengaruhi perilaku sosialnya.

Konsep yang dikemukakan Iser (1987: ix-xii; 54) adalah terdapat

hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Iser menyebutnya

sebagai respon estetik sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi

mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melakukan

penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Teori ini melihat bahwa karya

sastra sebagai suatu yang diformukasikan kembali dari sesuatu yang telah

diformukasikan dalam realita. Karya sastra ini melahirkan sesuatu yang tidak

ada sebelumnya. Konsekuansinya, teori respon estetik dihadapkan pada

permasalahan bagaimana suatu situasi yang tidak diformukasikan dapat

diproses dan dipahami. Asumsi dasar dari teori ini adalah teks hanya bisa hadir

saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca.

Konsep dialektika respon estetik (Iser, 1987: 20 dan 54), interaksinya

dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary repertoire, dan

literary strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint yang

membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire

merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk

membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah familiar

dalam teks berupa acuan kepada karya-karya yang ada lebih dahulu. Strategi

digunakan untuk defamiliarisasi dan untuk mengkomunikasikan teks dengan

47
pembacanya tanpa mendeterminasikannya. Melalui strategi ini disajikan

primary code kepada pembaca dan membuat pembaca mengaturnya sendiri

sehingga lahir makna yang bervariasi.

Masing-masing toeri di atas (Jauss dan Iser) mengarahkan praktik

metodisnya. Pandangan Jauss dengan tujuh tesisnya memetakan analisis pada

aspek estetik dan historisnya. Ketujuh tesis tersebut merupakan pemodelan

yang mengarah tuntutan metodisnya. Adapun pandangan Iser yang menyatakan

bahwa terdapat interaksi antara teks dan pembaca dalam proses pembacaan.

Teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut

melalui pembaca. Deskripsi tentang teks tidak lebih dari pengalaman pembaca

yang terbudaya. Dengan demikian, langkah-langkah yang perlu diikuti

sehubungan dengan pernyataan di atas adalah dengan jalan langkah (1)

menandai adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang mencirikan adanya

perbedaan dengan teks lainnya dan (2) memerikan dan meneliti unsur-unsur

dasar penyebab tanggapan terhadap karya sastra.

3.4.2.4 Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif (Abrams, 1978: 26-29) memusatkan perhatian

semata-mata pada unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan ini

mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah

mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspekhistoris,

sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi.

Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi.

48
Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dengan

mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan unsur-unsur

dengan totalitas di pihak lain.

Konsep dasar pendekatan ini (Hawkes dalam Pradopo, 2002: 21) adalah

karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam

unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat

(koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya melainkan

maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang terlibat

dalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sasatra itu hanya dapat

dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan

karya sastra.

Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra

sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat

bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya.

Analisis karya sastra melalui pendekatan ini tergantung pada jenis sastranya.

Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analisis yang digunakan terhadap

saja misalnya penelusuran lapis norma, mulai dari lapir bunyi sampai ke lapis

metafisik. Teknik analisisnya pun bisa diarahkan pada pembacaan heuristik

sampai ke tingkat pembacaan hermeneutik. Adapun terhadap prosa, sesuai

dengan sifat fiksi yang merupakan struktur cerita, analisisnya diarahkan pada

struktur ceritanya. Struktur yang dimaksud dijajaki melalui unsur-unsur

pembentuknya berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar), dan sarana

cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dll.).

49
Pada analisis prosa, tema dan fakta-fakta cerita dipadukan menjadi satu

oleh sarana sastra. Di dalam analisisnya, unsur-unsur tersebut ditelusuri dan

dikemukakan hubungan dan fungsi tiap-tiap unsur. Tema berjalin erat dengan

fakta-fakta dan berhubungan erat dengan sarana sastra.

50
BAB IV

STRUKTURALISME

4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan

Strukturalisme adalah sebuah paham atau kepercayaan bahwa segala

sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai struktur (Pieget, 1995: 4-12; Hawkes,

1978: 17-18; dan Faruk: 1994: 17-18; Faruk, 1999: 1-9; dan Teeuw, 1984: 120-

139). Sesuatu dikatakan mempunyai struktur apabila ia membentuk suatu

kesatuan yang utuh, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian semata.

Hubungan antarbagian di dalam struktur tidak bersifat kuantitatif, melainkan

kualitatif. Artinya, apabila suatu bagian dihilangkan, keutuhan sesuatu itu tidak

sekedar berkurang, melainkan rusak sama sekali.

Selain itu, strukturalisme juga percaya bahwa suatu struktur

mempunyai daya transformasi dan regulasi diri. Semua dikatakan berstruktur

apabila ia dapat melakukan perubahan, tanpa harus kehilangan keutuhan

dirinya, fungsi utama yang menjadi tujuan atau pusat strukturasinya. Sesuatu

dikatakan berstruktur apabila ia mempunyai kemampuan untuk mengatakan

kemungkinan gangguan dan pengaruh dari luar dengan caranya sendiri.

Keseluruhan pengertian tersebut menunjukkan bahwa bagi

strukturalisme segala sesuatu di dalam dunia membangun dunianya sendiri,

mekanisme sendiri, untuk menjalankan fungsi-fungsinya sendiri, terlepas dari

51
berbagai kemungkinan pengaruh dari luar. Sesuatu dipahami sebagai kekuatan

yang mampu membangun, mengembangkan, dan mempertahankan dirinya

sendiri dengan caranya sendiri pula. Dengan kata lain, strukturalisme

cenderung memahami segala sesuatu sebagai sebuah sistem tertutup, otonom.

Karena itu, strukturalisme dalam ilmu sastra akan memperlakukan karya sastra

atau kesastraan sebagai sesuatu yang mandiri pula, sesuatu yang berstruktur,

sesuatu yang utuh, transformatif, dan self-regulatif. Aliran Kritik Baru di

Amerika, Formalisme di Rusia, percaya bahwa teks sastra dapat dipahami dan

dijelaskan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat di dalam teks itu sendiri.

Strukturalisme percaya bahwa sastra dapat dipahami dan dijelaskan atas dasar

sistm sastra sendiri yang membentuk semacam kaidah-kaidah bagi penciptaan

karya sastra.

Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting.

Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara

maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka

menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Unsur tidak memiliki

arti dalam dirinya sendiri. Unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses

antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam

integritasnya terhadap totalitasnya. Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan

merupakan energi, motivator terjadinya gejala baru, mekanisme yang baru.

Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti. Mekanisme

antarhubungan tersebut dianggap sebagai pergeseran yang signifikan dan

fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya

52
sebagai sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui

ergon yang terisolasi melainkan selalu dalam kaitannya dengan perubahan

realita sosial. Karya tidak dapat diisolasi. Karya harus dikondisikan sebagai

fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk mengoperasikan secara

maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung di dalamnya.

Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di

satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus menerus memperhatikan

setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain.

Di pihak lain, antarhubunganlah yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu

masyarakat, dan gejala apa saja memiliki arti yang sesungguhnya.

Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti

hanya meneliti salah satu unsur tertentu yang pada gilirannya berarti

memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya,

tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsur-unsur yang lain. Dengan

kata lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan

unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya.

Sejalan dengan uraian di atas, prinsip antarhubungan secara esensial

dipertahankan pada setiap teori dibawah naungan strukturalisme. Namun

demikian, perubahan menuju pada perkembangan teoretik telah terjadi yang

sekaligus mengarahkan pembahasan metodologis secara berbeda pula.

53
4.2 Teori Formalisme

Tujuan pokok formalisme (bandingkan Teeuw, 1985: 128-13; Ratna:

2004: 80-87) adalah studi ilmiah tentang sastra dengan cara meneliti unsur-

unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang

digunakan metode formal. Metode formal menjalankan fungsinya dengan cara

merekonstruksi teks melalui pemaksimalan konsep fungsi. Dengan jalan

demikian, teks menjadi suatu kesatuan yang terorganisasikan. Prinsip dan

sarana inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke

konsep struktur.

Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran

formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, yaitu:

1. formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma

positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip

kausalitas; reaksi terhadap studi biografis

2. kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora di mana terjadinya

pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis

3. penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan

perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan

psikologi.

Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat

karya sastra dengan cara mengeksploitasi sarana bahasa telah mencapai

klimaknya. Meskipun demikian, penemuannya mengarahkan pada

paradigma baru bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara terisolir

54
semata-mata melalui akumulasi perangkat-perangkat intrinsiknya, tetapi

juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya.

Pergeseran perhatian dari masalah-masalah teknis, khususnya

sebagaimana digemari oleh kelompok formalisme awal ke arah

pemahaman sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme.

4.3 Teori Strukturalisme Dinamik

Scholes (dalam Ratna, 2004: 89) menjelaskan keberadaan

strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu (1) sebagai pergeseran paradigma

berpikir, (2) sebagai metode, dan (3) sebagai teori. Lahirnya strukturalisme

dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana

yang dianggap sebagai perkembangan formalisme.

Strukturalisme dinamika (lihat Teeuw, 1985: 185-192; Muhadjir, 2002:

304); Pradopo 2002: 46; dan Ratna, 2003: 88-96;) mencermati bahwa

strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme

yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik yang

dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme

dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka.

Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas

tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh

makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus

dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya,

dan pembaca sebagai penerima.

55
Perbedaan unsur-unsur karya sastra untuk jenis yang berbeda-beda

terjadi akibat proses resepsi pembaca. Setiap penilaian akan memberikan hasil

yang berbeda. Unsur-unsur yang terdapat pada ketiga jenis sastra (prosa, puisi,

dan drama) akan membutuhkan pemusatan analisis yang berbeda pula. Unsur-

unsur prosa, misalnya mengarah pada tema, peristiwa atau kejadian, latar atau

setting, penokohan, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi,

di antaranya tema, stilistika, imajinasi, ritme atau irama, rima atau persajakan,

diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur (teks)

drama di antaranya tema, dialog, peristiwa, latar, penokohan, alur, dan gaya

bahasa.

Atas dasar hakikat otonom karya sastra, maka tidak ada aturan yang

baku terhadap suatu kegiatan analisis. Artinya, unsur-unsur yang dibicarakan

tergantung dari dominasi unsur-unsur karya di satu pihak, tujuan analisis di lain

pihak. Dalam analisis akan selalu terjadi tarik menarik antara struktur global,

yaitu totalitas karya itu sendiri dengan unsur-unsur yang diadopsi ke dalam

wilayah penelitian. Kondisi tersebut menunjukkan dinamika karya sastra

sebagai totalitas sebab proses adopsi mengandaikan terjadinya ciri-ciri

transformasi dan regulasi diri sehingga terjadi keseimbangan antara struktur

global dengan unsur-unsur yang dianalisis.

Karya sastra tidak mungkin dan tidak perlu dianalisis secara

menyeluruh sebab struktur global bersifat tidak terbatas. Akan tetapi analisis

tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial kultural yang menghasilkannya.

Prosa, puisi, dan drama dan sastra jenis klasiknya tidak semata-mata dianalisis

56
sebagai teks tetapi juga dimungkinkan dalam kaitannya dengan pementasan

langsung sebagai performing art. Dalam hubungan ini, analisis struktur akan

melibatkan paling sedikit tiga komponen utama, yaitu pencerita, karya sastra,

dan pendengar. Metodologi penelitian pun menjadi bertambah kompleks, tidak

bertambah dalam penelitian pustaka, melainkan harus dilengkapi dengan

penelitian lapangan yang dengan sendirinya juga melibatkan instrumen

penelitian lapangan.

Dengan demikian strukturalisme dinamik adalah pendekatan atas karya

sastra dengan menerapkan kerja strukturalisme atas dasar konsep semiotik.

Analisis struktural murni mengasingkan karya sastra dari kerangka

kesejarahan dan relevansi eksistensialnya. Strukturalisme dinamik yang

dikembangkan Ian Mukarovsky dan Felix Vodicka mencoba memahami karya

sastra berdasarkan kesadaran bahwa karya sastra sebagagi struktur pada

hakikatnya memiliki ciri khas yaitu sebagai tanda (sign). Tanda baru mendapat

makna sepenuhnya bila sudah melalui tanggapan pembaca. Dengan demikian

ada pengaruh timbal balik antara tanda dan pembacanya. Pembaca dalam

memberi makna terikat pada konvensi tanda, tidak semau-maunya. Jadi,

dengan kerangka semiotik itu dapat diproduksi makna dalam karya sastra yang

merupakan struktur sistem tanda-tanda itu.

57
4.4 Semiotik

Secara padat Dolezel, Stout (dalam Makaryk, 1993: 183-189), dan

ratna (2004: 96-120) menjelaskan pendekatan semiotik dimulai dari

pengertian, latar belakang sejarah pertumbuhannya, aliran semiotik, dan

hubungan semitoik dengan pendekatan lainnya. Menurutnya, strukturalisme

berhubungan erat atau bahkan tidak terpisahkan dengan semiotik sebagai

sarana untuk memahami karya sastra, untuk menangkap makna unsur-unsur

struktur karya sastra dalam jalinan dengan keseluruhan karya yang harus

memperhatikan sistem tanpa yang dipergunakan dalam karya sastra. Karya

sastra itu merupakan struktur sistem tanda-tanda yang bermakna.

Dalam lapangan semiotik, pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu (1)

penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan (2)

pertanda (signified) atau yang ditanda yang merupakan arti tanda. Ada tiga

jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan indeks

merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah, yaitu

persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan petanda. Simbol adalah tanda

yang tidak menunjukkan adanya hubungan almiah antara keduanya,

hubungannya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem

tanda yang utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol

ditentukan oleh konvensi masyarakat.

Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam sistem

ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi sistem ketandaan tingkat

kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning), arti bahasa dalam

58
sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut makna (significance)

yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam kaya sastra, arti

bahasa ditentukan oleh konvensi sastra di samping konvensi bahasa sendiri.

Oleh karena itu yang dimaksud makna (bahasa) sastra itu bukan semata-mata

arti bahasanya. Jadi, yang dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti

bahasa, suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan

segala pengertian tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.

Menurut Pradopo (2002: 272) studi sastra bersifat semiotik itu adalah

usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan

menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra

mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur

karya sastra atau hubungan-dalam (internal relation) antarunsurnya akan

dihasilkan bermacam-macam makna. Bahasa sebagai sistem semiotik tingkat

pertama diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang

memberikan makna dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh

penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan

mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra, maka

menganalisis karya sastra itu adalah memburu tanda-tanda.

Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di

luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna,

yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar strukturnya.

Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik dikenal metode

hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah

59
karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis secara struktural murni.

Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karya sastra

itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra

merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau

kode sastra dan budaya. Menurut pandangan intertektualitas, sebuah karya

sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir

sebelumnya, baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan

konvensi ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna

atau konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas ituperlu

diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam

hipogramnya dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan

mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut berupa konvensi-konvensi

tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang

memungkinkan diproduksinya makna karya sastra.

Sejalan dengan paham triadik peircean, diketahui bahwa konsep-konsep

triadik tersebut bersifat dinamisme internal. Dilihat dari segi cara kerjanya,

terdapat (1) sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas

hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain, (2) semantik semiotik, studi

dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dan acuannya, dan (3)

pragmatik semiotik, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan natara

pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda,

maka tanda dibedakan sebagai berikut:

60
1. representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala

umum:

a. qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,

b. sinsigns, tokens, terbentuk melalui realisasi fisik: rambu lalu

lintas,

c. legisigns, type, berupa hukum: suara wasir dalam pelanggaran,

2. object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:

a. ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa: foto

b. indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat: asap dan

api,

c. simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan: bendera

3. interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:

a. rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep

b. dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan

deskriptif,

c. argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.

Di antara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering

diulas adalah object. Menurut Aart van Zoet (Ratna, 2004: 102) di antara ikon,

61
indeks, dan simbol, yang terpenting adalah ikon. Alasannya, di satu pihak

segala sesuatu merupakan ikon karena segala sesuatu dapat dikaitkan dengan

sesuatu yang lain; di lain pihak, sebagai tanda agar dapat mengacu pada

sesuatu yang lain di luar dirinya agar ada hubungan yang representatif, maka

syarat yang diperlukan adalah adanya kemiripan. Ikonisitas selalu melibatkan

indeksikalitas dan simbolisasi. Teks sastra kaya dengan ikon.

Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya

sastra secara semiotik. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis

karya melalui dua tahapan sebagai mana ditawarkan oleh Wellek dan Warren

(1993) yaitu (a) analisis intrinsik (analisis mikrostruktur, dan (b) analisis

ekstrinsik (analisis makrostruktur). Cara yang lain seperti yang dikemukakan

Abrams (1958: 6-29) dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu (a)

pengarang (ekspresif), (b) semestaan (mimetik), (c) pembaca (pragmatik), dan

(d) objektif (otonom).

4.5. Strukturalisme Genetik

Struktur genetik (lihat Leenhardt dalam Makaryk, 1993: 340-341;

Kellner dalam makaryk, 1993: 95-99; dan Faruk, 1994: 1-21) merupakan

gabungan antara strukturalisme dengan Marxisme. Sebagai strukturalisme,

strukturalisme genetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk

karya sastra, sebagai struktur. Karena itu, usaha strukturalisme genetik untuk

memahami karya sastra secara niscaya terarah pada usaha untuk menemukan

struktur karya itu.

62
Marxisme tidak pernah percaya bahwa teks maupun sistem sastra

merupakan sesuatu yang otonom. Bagi paham ini sastra merupakan suatu

sistem ideologi yang tidak dapat dilepaskan dari pertarungan kekuatan-

kekuatan sosial di dalam masyarakat dalam memperebutkan penguasaan

mereka atas sumber-sumber ekonomi yang terdapat di dalam lingkungan

sekitar mereka. Kepercayaan yang demikian didasarkan pada anggapan bahwa

dorongan-dorongan kebutuhan material manusia mendahului dan menentukan

kesadaran manusia. Perkembangan sejarah manusia digerakkan oleh

pertarungan manusia dalam usaha mereka memenuhi kebutuhan materialnya.

Oleh karena itu, marxisme disebut juga sebagai materialisme historis.

Menurut Marxis, untuk memenuhi kebutuhan materialnya manusia

harus bekerja, yaitu melakukan transformasi atas alam. Untuk melakukan

transformasi atas alam, manusia membutuhkan alat-alat produksi dan bekerja

sama dengan manusia lain. Dalam proses produksi yang demikian terbangunlah

pengelompokan sosial, pembagian kerja yang didasarkan pada tingkat

penguasaan seseorang atau sekelompok orang atas alat-alat dan sumber-sumber

produksi. Pengelompokan sosial atas dasar seperti itulah yang disebut sebagai

kelas sosial. Hubungan antarkelas sosial di dalam lingkungan produksi tersebut

adalah hubungan dominasi. Suatu kelompok menguasai kelompok yang lain

untuk kepentingan pemuasan kebutuhan materialnya.

Marxisme beranggapan bahwa manusia pada dasarnya serakah,

mempunyai kebutuhan tidak terbatas. Karena sumber-sumber bagi pemenuhan

kebutuhan itu terbatas, terjadi persaingan dalam usaha pemenuhan kebutuhan

63
itu. Persaingan itu menjadikan hubungan antarkelompok sosial yang telah

dikemukakan menjadi antagonistik. Di satu pihak, suatu kelompok berusaha

menguasai alat-alat dan sumber-sumber produksi yang ada, di lain pihak

kelompok yang lain berusaha merebut alat-alat dan sumber-sumber produksi

itu dari kelompok lain yang menguasainya.

Dalam konteks pertalian yang demikian menjadi penting bagi kelompok

yang sedang melakukan reproduksi atas hubungan sosial yang berlaku, yang

menempatkan dirinya dalam posisi kekuasaan dan kelompok lain dalam posisi

sub-ordinat. Reproduksi sosial itu dilakukan tidak hanya dalam lingkungan

produksi, melainkan dalam berbagai situs sosial yang lainnya, dalam berbagai

institusi sosial, seperti lingkungan kehidupan keluarga, pendidikan, hukum,

politik, agama, dan kesenian. Berbagai lingkungan atau institusi sosial yang

menjadi situs reproduksi sosial yang ada di luar lingkungan produksi itu

disebut super-struktur atau struktur permukaan, sedangkan hubungan sosial

yang berlangsung dalam lingkungan produksi disebut disebut infra-struktur

atau struktur dasar. Struktur dasar bersifat material, sedangkan struktur

permukaan bersifat ideologis.

Namun bagi paham tersebut, segala aktivitas dan hasil aktivitas

manusia tidak hanya mempunyai struktur, melainkan juga mempunyai arti.

Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat hanya berhenti pada

perolehan pengetahuan mengenai strukturnya, melainkan harus dilanjutkan

hingga mencapai pengetahuan mengenai artinya. Usaha pemahaman terhadap

arti dari struktur itu berarti usaha menemukan alasan, faktor-faktor yang

64
menjadi penyebab dari struktur yang besangkutan. Pertanyaan seperti “kenapa

suatu karya mempunyai struktur yang begini, tidak begitu”, tidak lagi dapat

dijawab hanya dengan mendasarkan diri pada karya sastra itu sendiri,

melainkan harus dengan menemukan informasi-informasi yang berada di luar

karya sastra itu. Untuk memahami hal demikianlah strukturalisme genetik

menggunakan marxisme yang diperkaya dan diperdalam oleh teori psikologi

struktural dari Piaget.

4.5.1 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan

Menurut strukturalisme genetik, karya sastra merupakan fakta

kemanusiaan bukan fakta alamiah. Bila fakta alamiah cukup dipahami hanya

sampai pada batas strukturnya, fakta kemanusiaan harus sampai pada batas

artinya. Sebuah karya sastra tidak diciptakan begitu saja, melainkan untuk

memenuhi kebutuhan tertentu dari manusia yang menciptakannya. Kebutuhan

yang mendorong diciptakannya karya sastra itu, seperti halnya segala ciptaan

manusia yang lain, adalah untuk membangun keseimbangan dengan

lingkungan sekitarnya, baik lingkungan alamiahnya maupun lingkungan

manusiawinya.

Secara psikologis, ada dua proses dasar yang terarah pada

pembangunan keseimbangan tersebut, yaitu proses asimilisi dan akomodasi.

Asimilasi adalah penyesuaian lingkungan eksternal ke dalam skema pikiran

manusia, sedangkan akomodasi adalah penyesuaian skema pikiran manusia

dengan lingkungan sekitarnya. Menurut strukturalisme genetik, manusia akan

65
selalu cenderung menyesuaikan lingkungan sekitar dengan skema pikirannya.

Akan tetapi, apabila lingkungan itu menolak atau tidak dapat disesuaikan

dengan skema pikiran itu, manusia menempuh jalan yang sebaliknya, yaitu

menyesuaikan skema pikirannya dengan lingkungan sekitarnya tersebut. Kedua

proses tersebut menegaskan bahwa manusia memang selalu berusaha

membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya.

4.5.2 Karya Sastra sebagai Produk Subjek Kolektif

Semua manusia berusaha membangun kseimbangan dengan lingkungan

sekitarnya dengan melakukan berbagai tindakan. Namun, strukturalisme

genetik membedakan tindakan individual dengan tindakan kolektif. Tindakan

individual dimaksudkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan individual yang

cenderung libidinal, sedangkan tindakan kolektif diarahkan pada pemenuhan

kebutuhan kolektif yang bersifat sosial. Subjek tindakan libidinal adalah

individu, sedangkan tindakan kolektif adalah kelompok sosial.

Lebih jauh, strukturalisme genetik cenderung membedakan tindakan

kolektif yang besar dengan tindakan kolektif yang mungkin tidak setara dengan

tindakan pertama itu. Tindakan kolektif yang besar tidak hanya terarah untuk

memenuhi kebutuhan kolektif tertentu, melainkan dapat menyebabkan

terjadinya perubahan dalam sejarah sosial secara keseluruhan. Bahkan,

tindakan kolektif yang besar itu dapat pula berpengaruh luas, melampaui batas

sosial yang darinya tindakan tersebut berasal. Menurut strukturalisme genetik,

subjek dan tindakan kolektif yang besar tersebut adalah kelas sosial dalam

66
pengertian marxis yang sudah dikemukakan, bukan kelompok sosial lain dalam

pengertian yang lain.

Atas dasar perbedaan tipe-tipe tindakan di atas, strukturalisme genetik

membedakan karya-karya kultural yang besar dari yang minor. Karya-karya

kultural yang besar, yang di dalamnya termasuk karya-karya filsafat dan karya-

karya sastra yang besar, merupakan hasil tindakan tidak hanya subjek kolektif,

melainkan kelas sosial. Karena itu, karya-karya itu ikut pula berperan dalam

perubahan sejarah sosial bahkan dapat melampaui batas sejarah sosialnya

sendiri. Karya yang demikian oleh strukturalisme genetik disifatkan sebagai

sebuah karya yang sekaligus bersifat filosofis dan sosiologis.

4.5.3 Karya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia

Sebagai produk dari tindakan kolektif yang berupa kelas sosial di atas,

karya sastra mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan kelas sosial yang

bersangkutan, kebutuhan-kebutuhan yang terbangun dari hubungan antara klas

sosial dengan lingkungan sekitarnya, kebutuhan-kebutuhan yang sekaligus

menyangkut usaha-usaha kelas sosial itu untuk membangun hubungan yang

seimbang antara dirinya dengan lingkungan yang terkait.

Sebagai sekelompok manusia yang mempunyai latar belakang yang

sama, anggota-anggota dari suatu kelas sosial mempunyai pengalaman dan cara

pemahaman yang sama mengenai lingkungan sekitarnya dan sekaligus cara-

cara pembangunan keseimbangan dalam hubungan dengan lingkungan itu.

Cara pemahaman dan pengalaman yang sama itu pada gilirannya menjadi

67
pengikat yang mempersatukan para anggota itu menjadi suatu kelas yang sama

dan sekaligus membedakan mereka dari kelas sosial yang lain. Cara

pemahaman dan pengalaman yang demikian, oleh struktural genetik disebut

sebagai pandangan dunia.

Pandangan dunia merupakan kecenderungan mental kolektif yang

implisit yang tidak semua individu anggota kelas sosial pemiliknya dapat

menyadarinya. Hal itu terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam

masyarakat yang kompleks setiap individu terjaring ke dalam berbagai bentuk

pengelompokan sosial, seperti kelompok profesi, kelompok etnis, ras,

pendidikan, dan sebagainya. Berbagai pengelompokan itu dapat mengaburkan

pemahaman individu mengenai kelompok sosial dirinya yang sebenarnya.

Hanya individu yang istimewa yang mampu menerobos batas-batas aneka

pengelompokan sosial tersebut dan masuk ke dalam kesadaran kelas sosialnya

sendiri. Para pemikir dan sastrawan yang besar termasuk individu yang

demikian. Karena itu, karya-karya mereka menjadi karya-karya besar, karya-

karya yang berhasil menangkap dan mengekspresikan pandangan dunia kelas

sosialnya sehinga sekaligus dapat berfungsi menjadi alat yang membangkitkan

kesadaran kelas pada para individu yang menjadi anggota kelas sosialnya itu.

Dalam pengertian strukturalisme genetik, pandangan dunia merupakan

skema ideologi yang menentukan struktur atau menstrukturasikan bangunan

dunia imajiner karya sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang

mengekspresikannya. Karena itu, pandangan dunia itu menjadi konsep kunci

yang tidak hanya diperlukan untuk menjadi model struktur bagi pemahaman

68
terhadap struktur karya sastra atau karya filsafat yang diteliti, melainkan juga

menjadi mediator yang mempertalikan karya sastra sebagai superstruktur

dengan struktur sosial ekonomi yang menjadi struktur dasarnya. Dalam

pandangan strukturalisme genetik, hubungan antara karya sastra dengan

struktur dasarnya tidaklah langsung, bersifat mimetik, melainkan secara tidak

langsung melalui pandangan dunia yang bersifat ideologis. Karya sastra tidak

mencerminkan apa yang disebut sebagai perjuangan kelas, melainkan

mengekspresikan suatu pandangan dunia yang strukturnya homolog dengan

struktur sosial ekonomi yangmenjadi dasarnya.

4.5.4 Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial

Seperti sudah dikemukakan, strukturalisme genetik merupakan

gabungan antara strukturalisme dengan marxisme. Dengan demikian, seperti

strukturalisme, strukturalisme genetik mengakui eksistensi karya sastra sebagai

suatu struktur sehingga perlu dipahami secara struktural.

Namun, ada banyak konsep mengenai struktur karya sastra seperti

berasal dari Propp, Greimas, Todorov, dan sebagainya. Kebanyakan konsep

mengenai struktur karya sastra itu mengikuti konsep linguistik mengenai

struktur formal bahasa. Hanya beberapa di antaranya, terutama Barthes dan

Greimas yang mencoba membangun pula struktur semantiknya dengan

mendasarkan diri pada konsep-konsep struktur semantik bahasa. Konsep

strukturalisme genetik mengenai struktur karya sastra cenderung bersifat

69
semantik pula, dekat dengan konsep struktur semantik Barthes ataupun

Greimas meskipun tidak persis sama.

Yang tampak amat dekat dengan konsep struktur karya sastra dari

strukturalisme genetik adalah strukturalisme Levi’Strauss. Dengan

menggunakan fonologi sebagai dasarnya, konsep strukturalisme Levi’Strauss

ini berpusat pada konsep oposisi biner atau oposisi berpasangan. Levi’Strauss

melihat bangunan dunia sosial dan kultural manusia sebagai sesuatu yang

distrukturkan atas dasar prinsip binarisme, terbangun dari seperangkat satuan

yang saling beroposisi satu sama lain. Di antara pasangan yang beroposisi itu

dimungkinkan pula adanya satuan antara yang berbeda di antara keduanya.

Telaah strukturalisme gnetik terhadap karya-karya filsafat Pascal dan

drama Racine memperlihatkan kecenderungan demikian. Ada oposisi antara

dunia ilmiah dengan dunia sekuler. Manusia berada di antara keduanya

sehingga ia berada sekaligus dalam posisi menerima dan menolak dunia.

Struktur yang demikian, menurut strukturalisme genetik, mengekspresikan

pandangan dunia tragis yang berpikir secara dialektik, yang tidak memutlakkan

bagian atas nama keseluruhan atau sebaliknya.

Konsep struktur sosial strukturalisme genetik didasarkan pada teori

marxis. Atas dasar teori sosial ini jelas bahwa dunia sosial dipahami sebagai

struktur yang terbangun atas dasar dua kelas sosial yang saling bertentangan.

Kesatuan dunia sosial terbangun karena adanya dominasi dari satu kelas sosial

terhadap kelas sosial yang lain. Dominasi itu dipelihara dan dipertahankan

serta bahkan diperkuat dengan menggunakan berbagai kekuatan ideologis yang

70
beroperasi dalam lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat termasuk karya

sastra. Namun, dominasi itu tidak sepenuhnya menutup peluang bagi terjadinya

perubahan sosial. Kelas-kelas yang dikuasai berusaha terus-menerus pula untuk

mengambil alih kekuasaan dari kelas yang berkuasa untuk kemudian

membangun suatu struktur sosial yang baru yang sesuai dengan lingkungannya

yang baru pula.

4.5.5 Metode Dialektik

Menurut strukturalisme genetik, karya sastra merupakan struktur yang

terbangun atas dasar bagian-bagian yang saling bertalian dan mebentuk

struktur keseluruhan karya sastra itu. Struktur karya sastra itu hanya dapat

dipahami dengan baik dengan cara dialektik, yaitu dengan bergerak secara

bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan dari keseluruhan kembali ke

bagian. Gerakan bolak-balik itu dianggap selesai jika koherensi antara

keseluruhan dengan bagian-bagiannya telah terbangun, yaitu ketika bagian-

bagian telah membentuk suatu keseluruhan dan keseluruhan telah dapat

digunakan untuk memberikan arti pada bagian-bagian.

Selesainya pekerjaan pemahaman yang demikian bukan berarti telah

selesai pula kerja pemahaman strukturalisme genetik. Menurut paham tersebut,

karya sastra sendiri sebenarnya hanya merupakan bagian dari suatu

keseluruhan yang lebih besar, yang juga berstruktur, yaitu dunia sosial tempat

karya sastra itu berasal. Seperti pemahaman terhadap struktur karya sastra,

pemahaman terhadap struktur dunia sosial itu pun dapat dilakukan secara

71
dialektik, dari karya sastra sebagai bagian dunia sosial, atau sebaliknya.

Gerakan bolak-balik itu pun baru dianggap selesai jika telah dibangun

koherensi antara struktur karya sastra dengan struktur sosialnya.

Struktur genetik menyebut usaha menemukan struktur bagian di atas

sebagai pemahaman, sedangkan penempatan bagian itu ke dalam struktur yang

lebih besar yang menjadi sumber maknanya sebagai penjelas. Dengan

demikian, metode strukturalisme genetik dapat disebut pula sebagai dialektika

atas pemahaman dengan penjelasan.

4.6 Naratologi

4.6.1 Naratologi dalam Tinjauan Umum dan Perkembangannya

Naratologi bersal dari kata narratio dan logos (bahasa Latin). Narratio

berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat; logos berarti ilmu. Naratologi juga

disebut teori wacan (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks)

naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan.

Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis,

sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.

Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian

juga dengan wacana dan teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya.

Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai

representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan

waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Ratna, 2004: 128)

didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistik, bukan

72
person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap

telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya yang dengan sendirinya sangat

relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).

Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan yang

memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal menyebutkan

bahwa pembaca membaca wacana dan teks yang berbeda dari cerita yang

sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi

bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang, misalnya, akrab dengan

cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang menikmati cerita tersebut melalui

teks yang sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui

bahasa; diceritakan oleh narator, bukan pengarang.

Dalam analisis diskursif yang termasuk dalam wilayah pascastruktural,

analisis naratif merupakan bagian ideologi. Cerita dan penceritaan

dimanfaatkan untuk melegitimasikan kekuatan dan kekuasaan bagi mereka

yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap kelompok

tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik, politik, dan

ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan wacana. Pada pahan

pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra saja melainkan

keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia, sehingga kajiannya

bersifat interdisipliner. Aktivitas kebudayaan pun sesungguhnya adalah teks

yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks. Visi sastra

kontemporer memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki

posisi penting dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan

73
bahwa di satu pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya;

cerita sebagai tulang punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan

kebudayaan yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan

seluruh aktivitas manusia sekaligus mewariskannya kepada generasi

berikutnya. Tanpa cerita, tanpa adanya kekuatan wacana dan teks, kebudayaan

pun tidak ada. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa dunia kehidupan itu

sendiri dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui

paradigma sebuah teks.

Hampir keseluruhan genre sastra, khususnya genre yang dikategorikan

ke dalam fiksi memanfaatkan unsur cerita dan penceritaan. Dalam karya sastra,

unsur penceritaanlah yang lebih utama dalam wujud plot. Tanpa plot, wacana,

dan teks, karya sastra hanya berfungsi sebagai fakta mengingat dunia faktual

semata-mata merupakan sistem model pertama untuk mengantarkan manusia

pada dunia sistem model kedua, yaitu dunia fiksional.

Dalam pembicaraan mengenai naratif, novel dianggap sebagai genre

utama karena pemanfaatan struktur cerita dan penceritaan yang sangat

kompleks dengan peralatan yang menyertainya seperti: kejadian, tokoh-tokoh,

latar, tema, sudut pandang, dan gaya bahasa. Dilihat dari media yang tersedia,

novel juga merupakan objek yang paling memadai, paling luas, sehingga segala

unsur penceritaan dapat dikemukakan. Novel adalah representasi dunia itu

sendiri di mana manusia, baik sebagai penulis, pembaca, dan peneliti dapat

melukiskan kualitas emosionalitas dan intelektualitasnya; suatu media yang

sangat tepat dalam kaitannya dengan hakikat manusia sebagai homo faber.

74
Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas

terhadap eksistensi naratif. Wilayah tersebut selain menjangkau novel, juga

roman, cerpen, puisi naratif, gongeng, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan

harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre sastra, tetapi juga

setiap bentuk cerita dalam media massa.

Secara historis, Marie-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Makaryk,

1993: 110- 114) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi menjadi tiga

periode, yaitu:

1. periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an)

2. periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an)

3. periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).

Awal prkembangan teori narasi dapat dilacak Poetica Aristoteles (cerita

dan teks); Henry James (tokoh dan cerita); Forster (tokoh bundar dan datar);

Percy Lubbock (teknik naratif), dan Vladimir Propp (peran dan fungsi). Pada

umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet

(cerita dan plot). Para pelopornya, di antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur

mitos), Tzvetan Todorov (historie dan discours), Claude Bremond (struktur dan

fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text). Greimas (tata bahasa naratif dan

struktur actans). Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration).

Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi

parole dan langue, fabula, dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer,

interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya, di

antaranya: Gerard Gennet (urutan, durasi, frequensi, modus, dan suara), Gerald

75
Prince (struktur narratee), Seymoeur Chatman (struktur naratif), Jonathan

Culler (kompetensi sastra), Roland Barthes (Kernels dan satellits), Mikhail

Bakhtin (wacana polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Marry Louise

Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana dan kebohongan), Jacques Derrida

(dekonstruksi), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-Francois

Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillad (hiperealitas, pastiche).

Berikut ini dibicarakan empat ahli naratologi, yaitu Propp, Levi-

Strauss, Todorov, dan Greimas sebagai pelopor naratologi periode strukturalis.

4.6.2 Pelopor Naratologi Periode Struktutralisme dan Pahamnya

4.6.2.1 Vladimir Propp

Propp dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan secara

serius struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi

fabula dan sjuzhet. Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat, seratus

dongeng Rusia yang dilakukan tahun 1928 dan baru dibicarakan secara luas

tahun 1958. Propp (1987: 93-98) menyimpulkan bahwa semua cerita yang

diselidiki memiliki struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para

pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan peran-perannya

sama. Oleh karena itu, penelitian Propp disebut sebagai usaha untuk

menemukan pola umum plot dongeng Rusia bukan dongeng pada umumnya.

Menurutnya, dalam struktur naratif yang penting bukanlah tokoh-tokoh,

melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya disebut fungsi. Unsur yang

dianalisis adalah motif (elemen), unit terkecil yang membentuk tema. Propp

76
memandang sjuzhet sebagai tema bukan plot seperti yang dipahami oleh kaum

formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur yang penting sebab motiflah

yang membentuk tema. Sjuzhet dengan demikian hanyalah produk dari

serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku,

perbuatan, dan pendeita yang kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu

unsur tetap (perbuatan) dan unsur yang berubah (pelaku dan penderita). Dalam

hubungan ini yang penting adalah unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu

sendiri.

Propp mengemukakan bahwa fungsi merupakan unsur yang stabil, tidak

tergantung dari siapa yang melakukan. Di sini, persona bertindak sebagai

variabel. Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang terkandung dalam

dongeng yang ditelitinya maksimal 31 fungsi yang dikelompokkan ke dalam

tujuh ruang tindakan atau peranan, yaitu: (1) penjahat, (2) donor, (3) penolong,

(4) putri dan ayahnya, (5) orang yang menyuruh, (6) pahlawan, dan (7)

pahlawan palsu. Menurut Propp (1987: 93-94) dan Teeuw (1985: 290-294),

tujuan Propp bukan tipologi struktur tetapi melalui struktur dasar dapat

ditemukan bentuk-bentuk purba. Dengan kalimat lain, dengan menggabungkan

antara struktur dan genetiknya (struktur mendahului sejarah), maka akan

ditemukan proses penyebarannya kemudian. Model Propp mendasari penelitian

dari Greimas, Bremond, dan Todorov.

77
4.6.2.2 Levi-Strauss

Berbeda dengan Propp, Levi-Strauss lebih memberikan perhataiannya

pada mitos. Levi-Strauss menilai cerita sebagai kualitas logis bukan estetis. Ia

mengembangkan istilah myth dan mytheme melalui jangkauan perhatiannya

terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat

maupun fragmentasi. Menurutnya, mitos adalah naratif itu sendiri, khususnya

yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu.

Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota

masyarakat. Dengan kalimat lain, Levi-Strauss menggali gejala di balik

material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang telah

termodifikasikan, dan harus direkonstruksi melaluinya. Mytheme yang

mungkin susunannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian

dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali sehingga

dikemukakan makna karya yang sesungguhnya. Pendekatan antropologi sastra,

melalui struktural, khususnya konsep-konsep oposisi biner, tabu, dan incest,

misalnya, dilakukan terhadap mitos Oedipus. Di satu pihak, oposisi biner

didasarkan atas kenyataan bahwa manusia secara kodrati memiliki

kecenderungan untuk berpikir secara dikotomis, seperti laki-laki perempuan,

bumi langit, dan sebagainya. Pelarangan perkawinan di antara keluarga secara

logis memaksa manusia untuk mencari pasangan di luar keluarga yang pada

gilirannya akan membentuk ikatan-ikatan baru, sekaligus menciptakan

hubungan yang harmonis dengan masyarakat yang lain.

78
Berhubungan dengan pembicaraan strukturalisme, Levi-Strauss

menyatakan bahwa struktur bukanlah representasi atau subtitusi realitas.

Struktur dipahaminya sebagai realitas empiris itu sendiri yang tampil sebagai

organisasi logis yang disebut sebagai isi. Oleh karena itulah, disebutkan bahwa

isi tidak bisa terlepas dari bentuk tersebut, dan sebaliknya.

4.6.2.3 Tzvetan Todorov

Disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan tsuzhet, Todorov

(1985: 11-53) mengembangkan konsep historie dan discours yang sejajar

dengan fabula dan stuzhet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov

menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak,

komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, objek formal puitika bukan

interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang

terkandung dalam wacana. Dalam analisis harus mempertimbangkan tiga

aspek, yaitu (1) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan

logis, (2) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema,

tokoh, dan latar, dan (4) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut

pandang, gaya bahasa, dan sebagainya.

Konsep Todorov yang lain adalah in presentia dan in absentia. Konsep

pertama menyatakan hubungan unsur yang hadir bersama, secara

berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi. Konsep kedua

menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai hubungan

makna dan perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

79
antarhubungan adalah kausalitas. Tokoh menunjukkan tokoh lain sebagai

antitesis (in praesentia). Sebaliknya tokoh juga dapat menunjuk sesuatu yang

lain di luar struktur naratif (in absentia). Todorov membedakan antara sastra

sebagai ilmu mengenai sastra (puitika) dan sastra dalam kaitannya dengan

disiplin yang lain, sastra sebagai proyeksi, seperti: psikologi sastra, sosiologi

sastra, studi biografi, kritik fenomenologis, dll.

4.6.2.4 Greimas

Objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu

dongeng, tetapi diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi

yang hampir sama, Greimas (dalam Abdullah, 1999: 11-13; Ratna: 2004: 137-

140) memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam

dengan tujuan yang lebih universal, yaitu tata bahasa naratif universal. Greimas

lebih mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada subjek di

balik wacana. Yang ada hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh

tindakan yang disebut actans dan acteurs.

Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur naratif,

acteurs merupakan kategori umum. Dia mencontohkan: John dan Paul

memberikan apel kepada Mary. John dan Paul adalah dua acteurs tetapi satu

actans. John dan Paul juga merupakan pengirim. Mary sebagai penerima. Apel

adalah sebagai objek. Dalam kalimat John membelikan dirinya sendiri sebuah

baju, John adalah satu acteu yang berfungsi sebagai dua actans, baik sebagai

pengirim maupun penerima.

80
Kemampuan Greimas dalam mengungkap struktur actas dan acteurs

menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-mata bermanfaat dalam

menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu sosial lainnya.

Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp disederhanakan menjadi dua puluh

fungsi yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga struktur, yaitu struktur

berdasarkan perjanjian, struktur yang bersifat penyelenggaraan, dan struktur

yang bersifat pemutusan. Demikian juga tujuh ruang tindakan disederhanakan

menjadi enam actans (peran, pelaku, para pembuat) yang dikelompokkan

menjadi tig pasangan oposisi biner, yaitu subjek dengan objek, kekuasaan

dengan orang yang dianugerahi atau pengirim dan penerima, dan penolong

dengan penentang.

Actans merupakan peran-peran abstrak yang dapat dimankan oleh

seorang atau sejumlah pelaku. Actans merupakan struktur dalam, sedangkan

acteurs merupakan struktur luar. Acteurs merupakan manifestasi kongkret

actans. Oleh karena itu, artikulasi acteurs menentukan dongeng tertentu,

sedangkan struktur actans menentukan genre tententu. Acteurs yang sama pada

saat yang berbeda-beda dapat merepresentasikan actans yang berbeda-beda.

Sebaliknya, actans yang sama terbentuk oleh acteur yang berbeda-beda.

Untuk menyederhanakan konsep-konsep tersebut di atas, maka dalam

kritik sastra Indonesia istilah fabula dan sjuzet sebagai konsep dasar dari

naratologi ditafsirkan dengan istilah cerita dan penceritaan. Dalam

penceritaanlah terkandung wacana dan atau teks. Penceritaan memiliki

identitas yan hampir sama dengan wacana, tek, dan plot. Cerita adalah bahan

81
kasar, perangkat peristiwa, seperti ringkasan cerita atau sinopsis. Wacana

adalah cerita yang telah disusun kembali tetapi lebih banyak berkaitan dengan

unsur bahasa , sebagai model pertama. Adapun teks adalah susunan peristiwa

yang sesungguhnya; susunan kejadian yang didominasi oleh kualitas literer,

sebagai model kedua.

82
BAB V

RANCANGAN USULAN PENELITIAN SASTRA:

TINJAUAN KRITIS

5.1 Langkah-langkah Penyusunan Rancangan Usulan Penelitian

Kerja penelitian seorang ilmuwan yang didominasi oleh sikap yang

kritis memperlihatkan fase-fase berpikir sebagaimana yang dikemukakan oleh

Dewey (dalam Nazir, 1983:73), yaitu: (1) mengetahui adanya masalah, (2)

mengidentifikasi masalah, (3) memperkirakan alat untuk memecahkan

masalah, seperti teori, (4) inventarisasi dari pengolahan data sebagai bukti, dan

penyimpulan.

5.1.1 Latar Belakang Masalah

Bagian latar belakang pada dasarnya mengemukakan: (1) alasan

mengapa penelitian itu perlu dilaksanakan, (2) relevansi penelitian itu dengan

penelitian-penelitian lain, (3) apa perbedaan penelitian itu dengan penelitian

serupa yang telah dilaksanakan, dan (4) informasi lain apa yang berkaitan

dengan penelitian itu.

83
Hal pertama di atas yang menyangkut alasan mengapa penelitian itu

perlu dilaksanakan, mengimplikasikan adanya:

1. ketertarikan peneliti atas objek material (karya sastra) dengan

menyebutkan secara spesifik sejumlah fakta dan fenomena teks yang

mengarah pada ditemukan dan terhimpunnya sejumlah masalah yang

penting untuk diteliti;

2. masalah-masalah penting yang perlu diteliti itu serta

menghubungkannya dengan teori dan metodologi yang dapat digunakan

sebagai alat pemecahannya;

Hal yang menyangkut relevansi penelitian itu dengan penelitian-

penelitian lainnya adalah:

1. kedudukan penelitian itu di antara penelitian-penelitian yang lain

dengan jalan menyebutkan apakah penelitian itu dimaksudkan sebagai

dasar, terapan, atau pengembangan dari penelitian lainnya yang perlu

ditindaklanjuti atau dengan menyebutkan pertimbangan-pertimbangan

lain yang berhubungan erat dengan masalah dan tujuan penelitian itu,

2. kesamaan objek material (karya sastra) dengan kajian yang berbeda


atau perbedaan objek material (karya sastra) dengan kajian yang sama,

perlu diuraikan secara jelas sehingga kepentingan penelitian itu dapat

diketahui secara jelas pula.

84
Hal yang menyangkut penelitian sebelumnya, diarahkan kepada

pembicaraan:

1. uraian singkat mengenai penelitian-penelitian sebelumnya yang penting

dan berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan;

pembicaraan di dalamnya menyangkut fokus penelitian yang

berhubungan dengan objek penelitian (karya sastra, masalah yang

diangkat, teori dan metode yang digunakan)

2. uraian dengan sejumlah alasan sehingga penelitian itu jelas berbeda

secara esensial dengan penelitian lainnya; uraian alasan yang dimaksud

diarahkan pada penjelasan kekhasan penelitian, fokus penelitian, dan

pengemasan metode yang mengarah pada kekhasan fenomena objek

material (karya sastra), pemanfaatan teori yang terpilih sebagai alat,

dan metode kajian yang digunakan.

Adapun hal yang menyangkut informasi lain yang berkaitan dengan

penelitian, biasanya berhubungan dengan:

1. referensi umum menyangkut objek material (karya sastra);

berhubungan dengan pembicaraan umum tentang objek tersebut yang

bersumber dari berbagai sumber informasi: media cetak, elektronik,

atau multimedia

2. referensi khusus (jika ada) yang bersumber dari laporan-laporan

penelitian, buku-buku bacaan atau buku-buku acuan yang menguraikan

secara khusus tentang objek tersebut; pembicaraan khusus yang

85
dimaksud adalah uraian yang relevan dengan kepentingan penelitian

yang akan dilaksanakan.

5.1.2 Identifikasi Masalah

Perumusan masalah atau identifikasi masalah adalah pangkal dari

penelitian dan merupakan langkah penting yang cukup sulit dalam penelitian

ilmiah. Kesulitan yang dimaksud menyangkut kemampuan mengorganisasikan

masalah secara logis, sistematis, dan fungsional.

Masalah timbul karena adanya: (1) kesangsian ataupun kebingungan

peneliti terhadap satu hal atau fenomena, (2) kemenduaan arti (ambiguity), dan

(3) dan adanya halangan dan rintangan yang menunjukkan terdapatnya celah

antarfenomena. Pemecahan masalah yang dirumuskan dalam penelitian sangat

berguna untuk membersihkan kebingungan kita akan sesuatu, untuk

memisahkan kemenduaan, untuk mengatasi rintangan ataupun untuk menutup

celah antarkegiatan atau fenomena. Karenanya, peneliti harus dapat memilih

suatu masalah bagi penelitiannya dan merumuskannya untuk memperoleh

jawaban terhadap masalah tersebut.

Tujuan dari identifikasi masalah (pemilihan dan perumusan) dalam

kegiatan penelitian sastra adalah untuk: (a) mengorganisasikan secara logis,

sistematis sejumlah masalah yang akan diangkat dalam penelitian sastra untuk

dijabarkan dalam tujuan penelitian secara tepat, (b) pemusatan penelitian atas

sejumlah masalah yang dapat dijangkau sesuai dengan kemampuan peneliti

yang terimplementasi di dalam tujuan penelitiannya, dan (c) peletak dasar

86
untuk memecahkan beberapa penemuan penelitian sebelumnya atau dasar

untuk penelitian selanjutnya.

Menurut Nazir (1985: 134-135), ciri-ciri masalah yang baik adalah: (1)

masalah yang dipilih harus mempunyai nilai penelitian, (2) masalah yang

dipilih harus mempunyai fisible, dan (3) masalah yang dipilih harus sesuai

dengan kualifikasi si peneliti.

Ciri pertama yang menyangkut nilai penelitian maksudnya adalah

penelitian harus mempunyai kegunaan tertentu serta dapat digunakan untuk

suatu keperluan. Pertimbangan dari ciri pertama yang harus diperhatikan

adalah: (1) masalah harus mempunyai keaslian, (2) masalah harus menyatakan

suatu hubungan antara dua atau lebih variabel (hubungan antarfenomena), (3)

masalah harus merupakan hal penting, (4) masalah harus dapat duji, hubungan

di dalamnya harus dapat diukur berdasarkan pendekatan yang sesuai, dan (5)

masalah harus dinyatakan dalam bentuk pertanyaan yang mengimplikasikan ke

dalam kegiatan pengujian atau pengukuran variabel.

Ciri kedua yang menyangkut fisible, maksudnya masalah tersebut dapat

dipecahkan. Arinya: (1) data serta metode harus tersedia untuk memecahkan

masalah, (2) masalah yang akan dipecahkan harus sesuai dengan batas-batas

kemampuan peneliti dalam hal tenaga, pikiran, waktu, serta dana, dan (3)

pemecahan masalah tidak bertentangan dengan norma hukum.

Ciri ketiga yang menyangkut kesesuaian dengan kualifikasi peneliti

maksudnya adalah masalah yang diangkat merupakan masalah yang menarik

bagi peneliti serta sesuai dengan derajat ilmiah yang dimiliki peneliti.

87
Setelah masalah diidentifikasi dan dipilih, maka kegiatan selanjutnya

dalah merumuskan masalah. Perumusan masalah merupakan titik tolak bagi

perumusan hipotesis, topik penelitian atau judul penelitian. Umumnya rumusan

masalah harus dilakukan dengan kondisi berikut:

1. masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan

2. rumusan hendaklah jelas dan padat

3. rumusan masalah harus berisi implikasi adanya data untuk memecahkan

masalah

4. rumusan masalah harus menjadi dasar dalam membuat hipotesis

5. masalah harus menjadi dasar bagi judul penelitian

5.1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan pokok penelitian adalah untuk menemukan atau menggali

(explore), mengembangkan (develop atau extention), dan menguji (testing)

teori atas sejumlah data yang digunakan dalam penelitian. Berhubungan

dengan penelitian sastra, misalnya penelitian yang menggunakan pendekatan

strukturalisme objektif, tentunya tujuan di dalamnya mengarah kepada upaya

pemecahan masalah menyangkut sejumlah fenomena unsur-unsur karya sastra,

hubungan antarunsur, dan totalitas di dalamnya. Dengan demikian, tujuan di

dalamnya mengimplikasikan juga pilihan metodenya. Metode deskriptif

merupakan salah satu sebuah metode yang tepat digunakan untuk mengungkap

sedetail mungkin sejumlah fenomena yang dimaksud.

88
Tujuan penelitian merupakan penjabaran rill dari rumusan masalah

yang akan dipecahkan melalui kegiatan analisis data. Secara ideal, tujuan

penelitian harus mewadahi seluruh masalah yang telah dipilih dan dirumuskan.

Deskripsi tujuan penelitian diuraikan dalam bentuk pernyataan yang masing-

masing mengeksplisitkan tujuan pemecahan masalahnya. Jika rumusan

masalah yang dihasilkan, misalnya, berjumlah tertentu, maka tujuan penelitian

harus mewakili sejumlah masalah tersebut berdasarkan bagian-bagiannya.

Bagian-bagian rumusan masalah diurutkan berdasarkan tipikal, lingkup

masalah, jangkauan ke arah teknik kajian yang ideal (runut). Demikian pula

dengan penyusunan tujuan penelitian, di dalamnya harus secara runut

menunjukkan adanya tahapan yang logis, sistematis, dan fungsional sesuai

dengan penerapan teori dan metodologinya sehingga antara tujuan yang satu

dengan tujuan yang lainnya memiliki hubungan yang erat dan bersifat

fungsonal. Sebaiknya dalam tujuan penelitian, disebutkan secara jelas hal-hal

pokok yang menyangkut fenomena data yang di dalamnya mengimplikasikan

pilihan teori dan metodologi yang digunakan.

5.1.4 Landasan Teori

Teori adalah seperangkat construct (konsep yang saling berhubungan),

rumusan-rumusan dan preposisi yang menyajikan suatu pandangan yang

sistematis suatu fenomena dengan menspesifikasikan hubungan-hubungan

antarvariabel dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala

(Kerlinger dalam Pradopo, 2001:2).

89
Dengan demikian, tahapan penyusunan landasan teori dalam rancangan

usulan penelitian menjadi penting. Karena teori berfungsi sebagai alat untuk

memecahkan masalah, maka teori harus dipilih sesuai dengan tujuan penelitian.

Dalam uraian landasan teori, teori harus dijelaskan secara konseptual dengan

jalan memberikan deskripsi yang jelas secara operasional bagaimana teori

tersebut dapat dijalankan sesuai kebutuhan penelitian.

Adapun Ratna ( 2004: 94-95) menyatakan, sebagai akumulasi konsep,

teori tidak harus dipahami secara kaku. Teori tidak harus dan tidak mungkin

diterapkan secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para

penemunya. Teori pun dapat ditafsirkan sesuai kemampuan peneliti. Teori

adalah alat. Kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu

memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus

dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun

sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam

strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unsur-unsur,

antarhubungan, dan totalitasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-

konsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep

inilah yang berubah secara terus menerus, sehingga penelitian yang satu

berbeda dengan penelitian yang lain.

Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori maupun metode, cir-

ciri yang cukup menonjol dari strukturalisme adalah lahirnya berbagai

kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka

strukturalisme, diperlukan penerimaan positif. Penerimaan yang dimaksud

90
mengarah kepada keteraturan, pusat yang akan melahirkan saluran-saluran

komunikasi, kerangka-kerangka dan mode-model analisis yang dikemukakan

oleh para kritikus sastra.. Sebaliknya, dalam analisis sastra kontemporer jelas

model analisis yang dimaksud tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-

prinsip poststrukturalisme mempersaratkan pemahaman yang tidak harus

dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.

5.1.5 Metodologi

Yang dimaksud metolodologi dalam kepentingan penyusunan

penelitian dan menjadi bagian dari tahap penyusunan tersebut terbagi ke dalam

dua wilayah pengertian, yaitu (1) metode yang digunakan sebagai alat,

prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian guna

mengumpulkan data, dan (2) metode kajian yang mengindikasikan adanya

kerja bersistem sekaligus memerikan bagaimana data dipilih dan ditentukan

serta dianalisis berdasarkan pendekatan tertentu. Pengertian kedua ini lebih

mengarah kepada teknik analisis yang dipergunakan untuk menganalisis data

sesuai dengan pendekatan tertentu. Pemilihan metode kajian tertentu akan

mengarahkan sekaligus teknik pupuan datanya. Atau dengan kalimat lain,

teknik pupuan data tertentu dipilih berdasarkan tujuan penelitian yang

mengimplikasikan metode kajian tertentu.

Djajasudarma (1993: 57-58) dalam pespektif linguistik menyebutkan

bahwa metode kajian adalah cara kerja yang bersistem di dalam bahasa dengan

bertolak dari data yang dikumpulkan (secara deskriptif) berdasarkan teori

91
(pendekatan) linguistik. Metode kajian memerikan bagaimana data dipilah dan

diklasifikasi berdasarkan pendekatan yang dianut. Dengan kata lain, kajian

dalam penelitian bahasa mengandung pemahaman penentuan data berdasarkan

pendekatan tertentu melalui tes atau pengujian teknik-teknik tertentu.

Penentuan data berdasarkan perilaku, ciri, dan hubungan antarunsur, dsb. demi

pemahaman identitas data penelitian. Metode yang bersistem di dalam kajian

data bahasa selalu dengan upaya teori tertentu.

Sejalan dengan uraian di atas, maka metode dalam kajian sastra pun

mengarahkan pada penjelasan teknis bagaimana tujuan penelitian dapat

ditempuh berdasarkan pembahasan yang teroganisir, sistematik, padu, dan

menyeluruh melalui teknik pemupuan data, pemilihan, dan pengolahan data

secara tepat dan memadai.

Nazir (1985: 419-422) menyebutkan beberapa ciri dalam membuat

kategori secara metodis yang memadai, yaitu: (1) kategori harus dibuat sesuai

dengan masalah dan tujuan masalah, (2) kategori harus lengkap, (3) kategori

harus bebas dan terpisah, (4) kategori harus berasal dari satu kaidah klasifikasi;

tiap variabel harus dipisahkan dalam desain analisis, dan (5) tiap kategori

harus berada dalam satu level dengan mempertimbangkan mana variabel utama

dan mana varabel penunjangnya.

Hubungan antar variabel dalam penelitian juga harus diperhatikan.

Nazir (1985: 422-440) menyebutkan beberapa jenis hubungan yang perlu

diketahui dari variabel penelitian. Hubungan variabel yang dimaksud adalah:

1. hubungan simetris

92
Hubungan ini adalah hubungan antarvariabel yang tidak disebabkan

atau dipengaruhi oleh variabel yang lain. Hubungan ini dapat terjadi

karena (1) kedua variabel merupakan akibat dari suatu faktor yang

sama, (2) kedua variabel merupakan indikator dari sebuah konsep yang

sama, atau (3) hubungan yang terjadi bersifat kebetulan saja. Hubungan

ini dapat berpangkal dari indikator sebuah konsep, kehadiran dua

variabel atau lebih secara beriringan yang disebabkan faktor fungsional,

dan faktor kebetulan.

2. hubungan asimetris

Hubungan asimestris yang dimaksud adalah hubungan antara variabel

yang satu variabel mempengaruhi variabel lainnya, tetapi hubungannya

tidak bersifat timbal balik; dapat terjadi dari hubungan antarkonsep.

3. hubungan timbal balik

Hubungan yang dimaksud adalah hubungan dua arah secara timbal

balik antarvariabel; hubungan saling mempengaruhi.

Sejalan dengan uraian di atas, maka langkah penyusunan metodologi

dalam rancangan usulan penelitian (skripsi) yang memadai adalah: (1)

mendeskripsikan secara jelas perihal metode sebagai teknik pupuan data dan

metode sebagai teknik kajian, (2) menjabarkan secara tepat dan jelas masing

masing metode sesuai dengan esensi dan fungsinya yang dibatasi oleh tujuan

93
penelitiannya, (3) mengurutkan langkah-langkah pengumpulan, pemilahan, dan

pengolahan data secara sistematis, dan (5) bila perlu gunakan pula skema dan

atau tabel organisasi pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan data secara

runut untuk memberikan gambaran yang jelas bahwa penelitian dapat

dijangkau berdasarkan derajat kemampuan peneliti dari segi penguasaan teori

dan metodologi.

Dalam penyusunanya secara keseluruhan akan tergambar sejumlah

kemampuan peneliti. Kemampuan yang dimaksud mengarah kepada:

1. kemampuan menentukan dan merumuskan masalah

2. kemampuan menjabarkan tujuan penelitian berdasarkan rumusan

masalah

3. kemampuan memilih landasan teori yang tepat sesuai dengan tujuan

penelitian yang telah disusun

4. Kemampuan menentukan metode penelitian (teknik pupuan data) dan

metode kajian yang digunakan berdasarkan tujuan penelitian yang telah

disusun

5. kemampuan menyusun dan menyajikan metode berdasarkan landasar

teori yang dipilihnya sebagai wujud kemampuan pemahaman peneliti

perihal fungsi landasan teori dalam sebuah penelitian, penguasaan

teoretis atas teori sastra yang aplicable dalam penelitiannya,

pemahaman pemetaan uraian yang berkesinambungan antarsubbagian

rancangan usulan penelitian terutama menyangkut identifikasi masalah

94
dan tujuan penelitian, dan mampu menggunakan teori tersebut untuk

merancang instrumen penelitian secara metodis.

5.2 Kemampuan Menguraikan Latar Belakang Masalah


dan Identifikasi Masalah

Pangkal dasar sekaligus kesulitan mendasar yang ditemui peneliti

dalam sebuah rancangan usulan penelitian sastra adalah menemukan masalah

yang layak diangkat dalam sebuah penelitian sesungguhnya. Dalam menyusun

rancangan usulan penelitian, idealnya penelitian diawali dari sejumlah masalah

yang ditemukan setelah proses membaca dan memahami objek material (karya

sastra). Masalah-masalah yang dimaksud tentunya berpangkal dari kepekaan

literer dan teoritik peneliti saat menghadapi objek penelitian.

Tidak mudah bagi peneliti yang kurang peka secara literer dan teoretis

untuk menemukan masalah ketika berhadapan dengan objek karya sastra.

Adakalanya peneliti menentukan begitu saja sebuah kajian yang akan

digunakan dalam penelitiannya untuk kemudian menyusun tujuan penelitian

dan landasan teoretisnya. Kondisi demikian mengakibatkan peneliti begitu sulit

secara esensial menguraikan latar belakang masalah penelitiannya, padahal di

dalamnya peneliti diberi hak penuh untuk menguraikan sejumlah pandangan

dan temuan selama berhadapan dengan objek penelitian (karya sastra)

menyangkut ketertarikan atas objek sehingga dipilih sebagai objek penelitian,

masalah-masalah yang ditemukan untuk dipecahkan, serta pembicaraan

singkat landasan teoretis dan metode yang dimungkinkan dapat dijadikan alat

95
yang mendasari pengolahan dan penganalisisan data. Tentunya pembicaraan di

dalamnya ditempatkan secara fungsional untuk memberi gambaran umum

tentang latar belakang masalah, di antaranya: (1) apa saja yang menjadi

masalah dasar dan penting untuk ditemukan pemecahannya, (2) bagaimana

masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sehingga tujuan penelitian dapat

dijabarkan, (3) mengapa pilihan alat pemecahannya jatuh pada landasan teori

dan metode tertentu.

Akan tetapi bagi peneliti yang memanfaatkan kepekaan literer dan

kemampuan teoretiknya secara baik, dimungkinkan dari hasil pengamatan dan

pemahamannya terhadap objek berbentuk karya sastra akan menghasilkan

banyak masalah. Idealnya, proses pemahaman dan penemuan masalah diawali

dengan proses pembacaan secara cermat dan utuh. Langkah ini dimaksudkan

untuk memberi peluang kepada mahasiswa guna menemukan permasalahan-

permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian secara optimal.

Permasalah-permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian

mengindikasikan kepekaan penelitian terhadap potensi teks karya sastra,

pemahamannya terhadap teori dan metode penelitian sastra, dan kemampuan

praktis menjabarkan permasalahannya dalam wujud penyusunan rancangan

usulan penelitiannya.

Dengan bekal kemampuan menemukan dan menghimpun

permasalahan, peneliti akan mampu mengidentifikasi masalah secara logis dan

sistematis yang pada akhirnya dapat dijabarkan dalam tujuan penelitin secara

jelas. Identifikasi masalah yang dimaksud adalah penetapan pilihan beberapa

96
masalah dari seluruh masalah yang telah dihimpun untuk dijadikan dasar

penelitiannya. Penetapan pilihan masalah berpangkal pada kebutuhan utama

untuk dapat dijangkau dalam penelitian berdasarkan kemampuan peneliti

dalam hal penguasaan teoretik, waktu pelaksanaan, dana yang tersedia,

referensi yang memadai, pengembangan penelitian sejenis, dsb.

Berikut ini contoh uraian subbab latar belakang masalah dan

identifikasi masalah format usulan penelitian skripsi bidang kajian sastra:

1.1. Latar Belakang


....
Dalam cerita anak MHG dan GKLP secara gamblang berusaha
menyampaikan pada pembaca bahwa anak tidak polos dan tidak
asal, melainkan suatu duania yang penuh dengan imajinasi,
keinginan, keberanian, kepahlawanan dan petualangan. Itu
sebabnya kenapa kedua cerita ini akan diteliti karena menurut
saya cerita itu sangat menarik, apalagi jika dilihat dari tokoh anak
dalam kedua cerita ini begitu berani menerobos hal-hal yang
ditabukan dalam masyarakat, mereka senang membaca cerita
misteri sehingga pola pikir mereka berkembang cukup baik.
...
Merujuk pada potensi teks tersebut, penulis tergerak untuk
melakukan penelitian secara struktural objektif bertalian dengan
pengungkapan sifat, ciri, fenomena yang ada dalam kedua novel
MHG dan GKLP.

Contoh uraian subbab di atas belum menunjukkan dasar permasalahan

yang sesuai dengan penjabaran identifikasi masalah dan tujuan penelitian.

Potensi teks yang dikatakan menjadi dasar dipilihnya pendekatan struktural

objektif, samasekali tidak mewakili secara menyeluruh atas kepentingan

penelitian yang dieksplisitkan dalam pembatasan masalah dan tujuan

penelitian. Permasalahan yang ditemukan tidak langsung merujuk kepada

97
fungsi pendekatan struktural objektif yang tepat guna. Logika masalah yang

dijabarkan peneliti sebagai berikut:

1. tokoh anak ditafsirkan berani menerobos hal-hal yang ditabukan dalam

masyarakat karena mereka senang membaca cerita misteri sehingga

pola pikir mereka berkembang cukup baik,

2. tokoh anak yang berasal dari kota ditafsirkan perkembangannya sangat

cepat karena kemudahan sarana dan prasarana, termasuk mendapatkan

buku-buku cerita misteri

3. kesamaan (dari dua cerita) perwatakan tokoh yang berani, berpikir

logis, tidak percaya akan hal-hal mstis akibat pengaruh bacaan

4. kedua novel begitu lekat berbicara mengenai masyarakat yang masih

menjungjung tinggi adat dan kebudayaan yang memiliki nilai mitos

dalam suatu daerah tertentu

Adapun pembatasan masalah yang disusun oleh peneliti sebagai berikut:

1. Masalah apa saja yang menjadi dasar penceritaan kedua novel tersebut?

2. Bagaimana struktur yang terbentuk dalam kedua novel tersebut?

3. Bagaimana keterjalinan unsur dalam kedua novel tersebut?

4. Tema dan amanat yang ada dalam kedua novel tersebut?

Hal yang tampak menonjol dan mudah dicermati dari latar belakang

masalah dan identifikasi masalah di atas adalah nuansa penelitian deskriptif.

Namun demikian, jika dijajaki uraian pembatasan masalah secara rinci, tampak

98
penyusunan identifikasi masalah bukan lagi berdasarkan pemanfaatan latar

belakang masalah. Diakui bahwa pada penjabaran pembatasan masalah,

peneliti sudah mampu menyusun identifikasi masalah secara logis dan

sistematis, mulai dari masalah (bahan tematik) yang menjadi dasar penceritaan,

struktur cerita yang terbentuk, keterjalinan antarunsur cerita, dan penelusuran

tema dan amanat. Akan tetapi esensi latar belakang yang seharusnya

mengawali atau menjadi rujukan identifikasi masalah seolah terlepas satu

dengan lainnnya. Upaya yang seharusnya ditempuh dalam uraian latar

belakang masalah sehubungan dengan kepentingan penelitian tersebut adalah:

1. menguraikan sejumlah besar problematika teks (singkat dan jelas)

secara struktural obektif jika penelitian akan difokuskan pada kajian

struktural objektif

2. menguraikan bagian-bagian permasalahan struktural dalam karya

beserta hubungannya yang dianggap penting untuk diteliti (tokoh-

penokohan, alur, latar)

3. membicarakan secara singkat kemungkinan pemilihan teori dan metode

yang dapat memberi jalan bagi pemecahannya secara deskrpitif.

4. mengemukakan kepentingan ditelusurinya tema dan amanat kedua

novel tersebut dalam hubungannya denga masalah yang ditemukan

dalam teks.

99
Berdasarkan upaya tersebut, seyogyanya latar belakang masalah dan

identifikasi masalah menjadi pijakan utama dalam menentukan tujuan

penelitian.

5.3 Kemampuan Menjabarkan Tujuan Penelitian

Seperti telah disinggung pada uraian sebelumnya, penjabaran tujuan

penelitian erat kaitannya dengan identifikasi masalah. Penjabaran tujuan

penelitian harus berpangkal pada identifikasi masalah yang telah disusun.

Contoh usulan penelitian subbab tujuan penelitian berikut belum memadai jika

ditinjau dari kepentingan penelitian sesungguhnya. Cermati contoh berikut:

1.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah:


1. mendeskripsikan masalah apa saja yang ada dalam kedua
novel MHG dan GKLP
2. mendeskripsikan struktur yang terbentuk dari kedua novel
MHG dan GKLP
3. mendeskripsikan keterjalinan antarunsur
4. mengetahui tema dan amanat

Penjabaran tujuan penelitian di atas tampak terlalu umum dan belum mengarah

kepada kepentingan pendeskripsian secara cermat dan mendetail. Kepentingan

yang dimaksud adalah mengeksplisitkan sejumlah tujuan berdasarkan

pembatasan masalah. Dalam hal ini , hal-hal yang harus dicermati:

(1) Tujuan pertama yang menyangkut pendeskripsian masalah-masalah yang

ada dalam kedua novel harus dieksplisitkan secara spesifik, misalnya

100
menyebutkan masalah-masalah yang bersumber dari peristiwa-peristiwa

penting pada seluruh untaian cerita. Dengan demikian dapat tergambar

bahwa penelitian dengan tujuan pertama ini diarahkan pada penelusuran

masalah (bahan tematik) yang bersumber pada penelusuran peristiwa-

peristiwa penting saja, bukan peristiwa yang tidak menjiwai sebagian

atau seluruh cerita. Hal ini secara tidak langsung telah mengarahkan

pemilihan teoretis dan penyusunan langkah analisisnya secara metodis.

(2) Tujuan kedua yang menyangkut pendeskripsian struktur yang terbentuk

dari kedua novel perlu dieksplisitkan secara spesifik. Penjabarannya

menjadi, misalnya: mendeskripsikan unsur tokoh-penokohan, alur, dan

latar dari kedua novel (jika kajian diarahkan pada struktural objektif).

Penjabaran spesifik ini menjadi penting untuk menghindarkan

kesalahpahaman atas beragam teori yang kajiannya berbeda walaupun

berada dalam satu naungan pendekatan yang sama yaitu strukturalisme.

Paham struktural objektif, menempatkan teks secara otonom. Oleh karena

itu, unsur-unsur di dalamnya pun diperlakukan secara otonom pula.

Struktur dinamik, menempatkan teks dengan konsep dasar unsur-unsur,

antar hubungan, dan totalitas harus dihubungkan dengan luar teks (aspek

ekstrinsik). Struktural genetik menelaah struktur teks sastra sampai ke

struktur sosial dan pembicaraan hubungan antarunsur teks sastra dan

struktur sosial. Struktur naratif mengarahkan pembicaraan mengenai

cerita dan penceritaan; antara struktur naratif karya sastra dan naratornya.

101
(3) Tujuan ketiga yang menyangkut pengungkapan keterjalinan antarunsur

hendaknya dispesifikasikan ke dalam penjabaran, misalnya (a)

penokohan dengan latar (waktu, tempat, sosial), (2) tokoh dalam

perjalanan alur cerita, (3) pemetaan latar dalam perjalanan alur cerita, dll.

Penjabaran secara spesifik menjadi penting guna mengontrol penerapan

teori yang tepat guna beserta penyusunan langkah kerja, pemilihan data,

pengolahan data, dan analisis data.

(4) Tujuan keempat yang menyangkut penelusuran tema dan amanat

hendaknya dijabarkan pada kepentingan pembicaraan menyeluruh,

misalnya (a) pembicaraan pengklasifikasian masalah yang telah

ditemukan berdasarkan pencapaian analisis pada tujuan pertama, (b)

penafsiran tema berdasarkan kategori mayor dan minor, (c) pembicaraan

hubungan tema dan unsur-unsur pembentuk cerita, (d) penelusuran

amanat berdasarkan perolehan penafsiran tema. Hal ini diperlukan dalam

rangka mengikat secara fungsional pencapaian analisis yang telah

dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya. Dengan demikian, tiap

pencapaian tujuan berhubungan dengan pencapaian tujuan yang lainnya

sehingga menghasilkan uraian yang utuh, padu, dan menyeluruh.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kendala

terbesar peneliti dalam menjabarkan gagasannya pada tiap subbab latar

belakang masalah, identifikasi masalah, dan tujuan penelitian berpangkal pada

102
tingkat kepekaan literer, teoretis, dan metodologis. Keterbatasan tersebut

selanjutnya akan membatasi kemampuan peneliti dalam menyusun rancangan

usulan penelitiannya. Keterbatasan kemampuan yang dimaksud dapat dicermati

dari ketidakmampuan menjalin in uraian tiap subbab secara logis, sistematis,

dan fungsional.

5.4 Kemampuan Menyajikan Landasan Teoretis

Sejalan dengan tanggapan pada tingkat keberhasilan penyusunan

rancangan usulan penelitian pada materi sebelumnya, pada langkah

penyusunan Landasan Teori, ketersediaan objek formal (kajian

struktural) mengarahkan peneliti untuk secara tepat memilih landasan

teori yang akan digunakan. Ketersediaan yang dimaksud adalah:

a. kajian struktural objektif

b. kajian struktural genetik

c. kajian struktural naratif

d. kajian struktural dinamik

Terdapat hubungan timbal balik antara tujuan penelitian, teori, dan

metode kajian. Penentuan tujuan penelitian dihasilkan oleh kemampuan

pemahaman penelitian dalam menentukan teori yang diminati dan dikuasai

serta praktik metodologisnya. Adakalanya peneliti dengan mudah menentukan

tujuan penelitian berdasarkan identifikasi masalah yang disusunnya (cermati

kasus yang telah dibahas). Peneliti mampu memilih dan menyajikan landasan

teorinya. Akan tetapi kemampuan menguraikan secara tepat berdasarkan

103
identifikasi masalah dan tujuan penelitian, kurang memadai. Cermati uraian

utuh subbab landasan teori (contoh Usulan Penelitian ):

1.6 Landasan Teori

Teori struktural objektif merupakan salah satu pendekatan dalam


penelitian karya sastra. Pendekatan struktural objektif adalah
pendekatan yang menitikberatkan karya sastra sebagai struktur yang
otonom yang lebih kurang terlepas dari hal-hal yang berada di luar
karya sasatra itu sendiri (Teeuw, 2003:132)
Bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
semendetail, dan semendalam mungkin keterikatan dan keterjalinan
semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan
kemenyeluruhan (Teeuw, 2003:112).

Contoh utuh di atas jelas tampak berdiri sendiri dengan atau tanpa

subbab lainnya yang seharusnya berhubungan fungsional dalam pembicaraan

yang padu. Uraian di atas tidak mewakili identitas penelitian secara

menyeluruh yang dimiliki oleh sebuah usulan penelitian dengan judul tertentu,

latar belakang masalah dan identifikasi masalah tertentu, dan tujuan penelitian

tertentu. Uraian subbab di atas tidak menunjukkan korelasi antara latar

belakang masalah, identifikasi masalah, dan tujuan penelitian karena di

dalamnya tidak dihimpun pembicaraan yang menghubungkan subbab tersebut

dengan subbab lainnya secara fungsional.

Berdasarkan contoh di atas, penyusun UP kurang mengetahui secara

pasti fungsi landasan teori struktural objektif dalam sebuah penelitian dengan

menggunakan pendekatan struktural. Penguasaan teoretis pun belum cukup

tergambarkan dalam uraian subbab landasan teori secara aplikatif. Begitu juga

dengan pemahaman pemetaan uraian yang seharusnya berkesinambungan

antarsubbagian rancangan usulan penelitian. Uraian landasan teori tampak

104
terpisah dan tidak fungsional karena tidak dihubungkan langsung dengan

kepentingan menyeluruh penelitian, terutama menyangkut batasan masalah dan

tujuan penelitian. Kelemahan lain, penyusun UP tersebut kurang mampu

memahami konsep atau asumsi dasar (premis) dari teori yang digunakannya.

Bagian-bagian utama teori tidak diaplikasikan langsung pada pembicaraan

bagaimana teori tersebut menjadi bagian penting untuk memecahkan masalah

dan mencapai tujuan penelitian.

5.5 Kemampuan Menyajikan Metode

Kemampuan menguraikan secara tepat di dalam subbab metodologi pun

kurang memadai. Kekurangan yang dimaksud adalah keterbatasan uraian yang

tidak menjangkau ilustrasi metodis menyangkut:

a. metode deskriptif

Walaupun secara jelas peneliti mendeskripsikan definisi metode

tersebut, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan uraian yang mengarah kepada

bagaimana metode ini akan dijalankan dalam penelitian dan pencapaian yang

dimungkinkan bisa secara nyata menunjukkan hubungan fungsional dengan

tujuan penelitian. Cermati uraian pada subbab metode penelitian (contoh UP

skripsi) berikut ini:

105
1.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


metode deskriptif, yaitu cara untuk memecahkan masalah yang
aktual dengan jalan mengumpulkan, menyusun,
mengklasifikasikan , menganalisis, dan menginterpretasikan data
(Winarno, 1980: 139).
Melalui metode deskriptif ini tujuan peneliti dapat tercapai
secara memadai karena sejumlah fenomena, sifat, dan ciri-ciri
data yang menyangkut masalah dasar penciptaan novel, unsur-
unsur karya, keterjalinan unsur, tema, dan amanat dapat
terungkap secara tepat.

Mengacu kepada definisi metode deskriptif, sejumlah data, sifat, fakta,

fenomena, dan ciri-ciri unsur-unsur pembangun karya sastra (dalam

pengutamaan kajian struktural), dalam uraian subbab di atas tidak dipetakan

dan belum diarahkan secara memadai pada pembicaraan bahwa metode

tersebut adalah tepat untuk memecahkan masalah seperti yang dieksplisitkan

dalam tujuan penelitian. Pembicaraan tersebut seharusnya diikuti dengan

deskripsi singkat tentang teknik pengumpulan dan pemilihan data (sampel),

dan teknik pengklasifikasian data sehingga kerja metode deskriptif dapat

tergambarkan dengan jelas. Dengan demikian, contoh uraian UP dalam subbab

metode deskriptif di atas cenderung bersifat kutipan tanpa konteks.

106
b. metode kajian

Dalam uraian subbab metode kajian, penyusun UP kurang mampu

menyusun redaksi yang memadai untuk memberi gambaran metodis secara

lengkap perihal kajian yang digunakan dalam penelitiannya. Cermati contoh

uraian yang dimaksud:

1.2 Metode Kajian

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode


struktural dengan pendekatan objektif. Struktural adalah sebuah
karya atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi keseluruhan
karena ada timbal balik antarunsur. Bertujuan untuk membongkar
dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek
karya sastra yang bersama-sama menghasilkan kemenyeluruhan
(Teeuw, 2003:112)
Adapun data yang dikaji berpusat kepada: (1) masalah (bahan
tematik) menjadi dasar penceritaan novel, (2) struktur cerita, (3)
keterjalinan antarunsur dalam novel, dan (4) tema dan amanat.
Langkah kerja metode kajian ini secara sistematis dilakukan
melalui tahapan: (a) penelusuran masalah-masalah yang menjadi
dasar penceritaan untuk diarahkan pada penelusuran tematik
cerita, (b) mendeskripsikan unsur-unsur cerita secara struktural
yang tokoh dan penokohan, plot/alur, dan latar, (c) mengungkap
atau menelusuri keterjalinan antarunsur sebagai proses untuk
mengetahui keutuhan novel secara struktural, dan (d) mengetahui
tema dan amanat dengan didukung oleh hasil penelusuran a, b dan
c.

Metode kajian menyangkut bagaimana sebuah teori secara teknik dapat

mengarahkan peneliti kepada cara-cara dan langkah-langkah mengolah dan

menganalisis data ke dalam beberapa tahap pengerjaan sesuai dengan

pendekatan yang dipilihnya. Dalam hal ini, penyusun UP tersebut cukup

107
mampu mengejawantahkan tujuan penelitiannya ke dalam pembahasan yang

kemungkinan pemecahan masalahnya dapat dicapai melalui penerapan metode

kajian yang tepat. Namun demikian, kekuarangannya adalah penyusun tidak

memberi gambaran secara jelas perihal masing-masing langkah kerjanya yang

tentunya dibatasi dan diarahkan secara metodis oleh teori yang digunakan.

Kekuarang yang dimaksud adalah:

a. penelusuran masalah-masalah yang menjadi dasar penceritaan

Pada langkah ini penyusun tidak memberikan langkah nyata yang akan

dilakukan dalam penelusuran masalah. Instrumen apa yang digunakan sehingga

data tertentu dipilih dan ditetapkan sebagai data yang mengandung masalah.?

Apakah instrumen yang dimaksud akan diarahkan ke pencermatan peristiwa-

peristiwa penting dari keseluruhan jalan cerita yang memiliki hubungan sebab

akibat? Bagimana halnya dengan pelekatan konflik pada tiap-tiap peristiwa?

Apakah setiap konflik mengindikasikan adanya masalah yang dapat dijadikan

dasar penelusuran tema?

b. mendeskripsikan unsur-unsur cerita secara struktural

Pada tahap ini, penyusun tidak memerikan tiap unsur cerita (tokoh dan

penokohan, plot/alur, dan latar) secara jelas berdasarkan tipikal masing-masing

unsur. Pencermatan tokoh dan penokohan akan terejawantahkan melalui teori

yang dipilih sehingga sekaligus akan menggiring pada model analisisnya.

Misalnya saja, penyusun yang memilih teori teknik pelukisan dramatik tokoh

108
menurut Altenbernd & Lewis tentunya akan berbeda dengan pemilihan teori

mengenai teknik pelukisan ragaan (showing) tokoh menurut Abrams.

Pada unsur-unsur cerita lainnya, seperti pengeplotan, apakah akan

dijajaki melalui pemanfaatan kaidah pengeplotan (plausibilitas, suspense,

surrise, kesatupaduan) sebagai instrumen; atau pengeplotan berdasarkan

kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, atau isi? Pemilihan di dalamnya akan

menentukan cara kerja yang relevan untuk dilakukan dalam kerja analisis.

Demikian pula pada pembicaraan latar, langkah apa yang dapat

ditempuh secara teknis dalam uraian subbab metode kajian? Langkah apa yang

secara tepat dapat mengarahkan penelusuran latar waktu, tempat, dan sosial?

c. mengungkap keterjalinan antarunsur untuk mengetahui

keutuhan novel secara struktural

Berkaitan dengan hal ini, penyusun tidak memberikan gambaran atau

bentuk keterjalinan yang dimaksud. Bagaimana teknik menentukan jalinan

unsur yang dimaksud? Jalinan apa saja atau bentuk jalinan yang bagaimana

sehingga jalinan tersebut ditafsirkan sebagai dasar keutuhan novel ? dsb.

d. mengetahui tema dan amanat

Walaupun pada bagian akhir uraian pada subbab metode kajian

penyusun menyebutkan bahwa hasil penelusuran a, b, dan c digunakan untuk

mengetahui tema dan amanat, tetapi teknik penjabaran riil pemanfaatan hasil

penelusuran tesebut tidak disertakan. Bagaimana relevansi tiap-tiap

109
penelusuran tersebut dengan kepentingan pencarian tema dan amanat? Model

pemilihan analisis apakah yang menjadikan sejumlah kriteria sebagai variabel

penelusuran tema?

Metode penelitian yang menyangkut teknik pupuan data dan metode

kajian, seharusnya sudah cukup jelas digambarkan di bagian-bagian

sebelumnya. Uraian metode yang menyangkut bagian-bagian penelusuran

masalah-masalah yang menjadi dasar penceritaan seharusnya menjadi bagian

yang sangat potensial untuk menentukan tema. Masalah-masalah tersebut

dihimpun dan selanjutnya dipilah berdasarkan kriteri tertentu yang

mengarahkan sebuah interpretasi guna menjangkau tema, baik tema mayon

maupun minor dan sebagainya sesuai dengan batasan teori yang digunakan

dalam penelitian.

Adapun dalam penentuan amanat, hasil analisis atas tema hendaknya

diramu kembali untuk menghasilkan sebuah penyataan yang mengarah kepada

nuansa amat cerita untuk kemudian ditentukan secara memadai amanat yang

paling relevan dengan kandungan cerita dari seluruh analisis yang telah

dikerjakan.

Kelemahan-kelemahan di atas tentunya perlu dibenahi sebelum

proposal penelitian diajukan atau bahkan diseminarkan untuk mendapatkan

persetujuan dari tim penguji. Jalan terbaik untuk mencapai hasil rancangan

usulan penelitian yang memadai adalah secara bertahap melakukan konsultasi

kepada pihak yang berwenang melakukan bimbingan sambil terus

mengemukakan masalah-masalah teknis dan non teknis yang dihadapi selama

110
penyusunan rancangan penelitian yang dimaksud. Dengan demikian, selalu

terbuka solusi selama kedua belah pihak (peneliti dan pembimbing) sama-sama

aktif dan bekerja keras untuk mendapatkan hasil terbaiknya.

*******

111
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Imran T. 1999. “Sastra Lisan,” Makalah. Yogyakarta: Fakultas

Sastra Universitas Gadjah Mada.

Abrams, M.H. The Mirror and lamp: Romantic Theory and the Critical

Tradition. New York: The Norton Library; W.W. Norton & Company

Inc.

Chamamah. S. 2001. “Penelitian sastra Tinjauan Teori dan Metode Sebuah

Pengantar,” Metodologi Penelitian Sastra (Jabrohim, ed.). Yogyakarta:

Hanindita Graha Widya

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Faruk, 1999. “Strukturalisme-Genetik,” Makalah. Yogyakarta: Fakultas Sastra

Universitas Gadjah mada.

Iser, Wlfgang. 1987. The Act of Reading. Baltimore and London: The Johns

Hopkins University Press.

Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of reseption. Minneapolis:

University of Minnesotta Press.

Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh

Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Makaryk, Irena R. (ed.) 1993. Enclyclopedia of Contemporary Literary

Theory. Toronto-Buffalo-London: University of Toronto Press

112
Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake

Sarasin

Nazir, Moh. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko, 1999. “Strukturalisme”, Makalah. Yogyakarta:

Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

------------------------------. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:

Gama Media

Propp, V. 1987. Morfologi Cerita Rakyat. Diterjemahkan oleh Noriah Taslim.

Selangor: Sain Baru Sdn.Bhd.

Rien T. Segers. Evaluasi Teks Sastra. 2000. Diterjemahkan oleh Suminto A.

Sayuti. Yogyakarta: AdiCita

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

T. Fatimah Djajasudarma. 19. Metode Penelitian Linguistik. Bandung: Eresco.

Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Diterjemahkan oleh Okke K.S. Zaimar,

dkk. Jakarta: Djambatan.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan

oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia

Wuradji, 2001. “Pengantar Penelitian,” Metodologi Penelitian Sastra

(Jabrohim, ed.). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya

113
114
115

You might also like