Secara sederhana pendidikan berkarakter adalah segala sesuatu yang Anda lakukan yang mempengaruhi karakter anak-anak yang Anda ajar. Namun secara lebih fokus, kita lihat seperti yang diutarakan Dr Thomas Lickona mengenai definisi Pendidikan Berkarakter, bahwa “pendidikan berkarakter adalah usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.” Dalam bukunya, Educating for Character,1 Dr Lickona menegaskan bahwa “Ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang kita inginkan bagi anak-anak kita, jelas bahwa kita ingin mereka bisa menilai apa yang benar, peduli secara mendalam tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini untuk menjadi benar - bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam. ” Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Sedangkan menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Membentuk karakter tidak semudah memberi nasihat, tidak semudah member instruksi, tetapi memerlukan kesabaran, pembiasaan dan pengulangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits yang telah dikutip sebelumnya: “Ilmu diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh dengan latihan menjadi santun.” (HR Bukhari) Sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan- keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral. Apa yang dikemukan dalam model Dr Lickona adalah bahwa hal itu menggambarkan proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan, perasaan, dan tindakan, dan dengan demikian menyediakan dasar yang terpadu untuk struktur yang koheren dan komprehensif. Ini memberitahu kita bahwa kita perlu terlibat dalam kegiatan anak-anak kita yang membuat mereka berpikir kritis tentang pertanyaan-pertanyaan moral dan etika, mengilhami mereka untuk menjadi berkomitmen untuk tindakan moral dan etika, dan memberi mereka banyak kesempatan untuk mempraktekkan perilaku moral dan etika.
Seperti Apakah Pendidikan Berkarakter itu?
Pengertian ini masih menyimpan kontroversial, dan sangat bergantung pada hasil yang Anda inginkan. Banyak orang percaya bahwa menghasilkan anak-anak yang patuh dalam melakukan apa yang diperintahkan adalah pendidikan berkarakter. Ide ini sering mengarah kepada munculnya seperangkat aturan dan sistem imbalan dan hukuman (reward and punishment) yang bersifat sementara dan terbatas dalam merubah perilaku, namun sedikit sekali atau sama sekali tidak mempengaruhi karakter yang mendasar bagi anak-anak. Ada orang lain yang berpendapat bahwa seharusnya tujuan kita adalah mengembangkan pemikir independen yang memiliki komitmen moral dalam kehidupan mereka, dan yang cenderung melakukan hal yang benar bahkan dalam keadaan menantang. Inisiatif Pendidikan Berkarakter bisa sangat sederhana, seperti salah satu guru yang baik melakukan beberapa hal dengan benar, atau mereka dapat menjadi sangat rumit, melibatkan semua orang dan segala sesuatu di sekolah. Apa yang Anda lakukan mungkin akan tergantung pada keadaan Anda. Berikut adalah beberapa pilihan. Kebijakan populer berpendapat bahwa cara terbaik untuk menerapkan pendidikan karakter adalah melalui pendekatan holistik yang mengintegrasikan pembangunan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan ini juga dikenal sebagai reformasi sekolah keseluruhan, dan itu adalah masalah besar. Berikut adalah beberapa fitur yang membedakan model holistik: segala sesuatu di sekolah ini disusun di sekitar pengembangan hubungan antara dan di kalangan siswa, staf, dan masyarakat. sekolah adalah komunitas pelajar peduli di mana ada ikatan yang terasa menghubungkan siswa, staf, dan sekolah. pembelajaran sosial dan emosional ditekankan sebanyak pembelajaran akademis. kerjasama dan kolaborasi antar siswa ditekankan atas persaingan. nilai-nilai seperti keadilan, menghormati, dan kejujuran adalah bagian dari pelajaran sehari-hari dalam dan diluar kelas. siswa diberi kesempatan yang luas untuk mempraktekkan perilaku moral melalui berbagai kegiatan seperti belajar melayani. disiplin dan pengelolaan kelas berkonsentrasi pada pemecahan masalah daripada imbalan dan hukuman (reward and punishment) model lama yang berpusat pada guru kelas ditinggalkan dan diganti menjadi kelas demokratis di mana guru dan siswa kelas mengadakan pertemuan untuk membangun kesatuan, menetapkan norma-norma, dan memecahkan masalah.
Komponen Pendidikan Berkarakter
Partisipasi masyarakat. Apakah pendidik, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat menginvestasikan diri dalam proses pembangunan konsensus untuk menemukan landasan bersama yang sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang. Kebijakan pendidikan karakter. Membuat pendidikan karakter bagian dari filosofi, tujuan atau pernyataan misi dengan mengadopsi kebijakan formal. Jangan sebatas tulisan dan perkataan saja. Kesepakatan. Ada pertemuan orang tua, guru dan perwakilan masyarakat dan menggunakan konsensus untuk memperoleh kesepakatan di mana karakter untuk memperkuat dan apa definisi yang digunakannya. Kurikulum Terpadu. Membuat pendidikan karakter bagian integral dari kurikulum di semua tingkatan kelas. Mengambil sifat-sifat yang telah Anda pilih dan menghubungkan mereka ke kelas pelajaran, sehingga murid-murid melihat bagaimana suatu sifat mungkin angka ke dalam sebuah cerita atau menjadi bagian dari sebuah percobaan ilmiah atau bagaimana mungkin mempengaruhi mereka. Membuat karakter ini merupakan bagian dari setiap kelas dan setiap subjek. Pengalaman pembelajaran. Biarkan siswa Anda untuk melihat sifat dalam tindakan, pengalaman itu dan mengungkapkannya. Sertakan berbasis masyarakat, dunia nyata pengalaman dalam kurikulum yang menggambarkan karakter (misalnya, layanan belajar, pembelajaran kooperatif dan rekan mentoring). Luangkan waktu untuk diskusi dan refleksi. Evaluasi. Evaluasi pendidikan karakter dari dua perspektif: (1) apakah program yang mempengaruhi perubahan positif dalam perilaku siswa, prestasi akademik dan kognitif pemahaman tentang ciri-ciri? (2) apakah proses pelaksanaan menyediakan alat dan dukungan guru perlu? Model peran dewasa. Anak-anak “mempelajari apa yang mereka tinggal,” jadi penting bahwa orang dewasa menunjukkan karakter positif di rumah, sekolah dan dalam masyarakat. Jika orang dewasa tidak model perilaku yang mereka ajarkan, seluruh program akan gagal. Pengembangan staf. Menyediakan waktu pelatihan dan pengembangan untuk staf Anda sehingga mereka dapat membuat dan melaksanakan pendidikan karakter secara berkelanjutan. Termasuk waktu untuk diskusi dan pemahaman dari kedua proses dan program, serta untuk menciptakan rencana pelajaran dan kurikulum. Keterlibatan siswa. Melibatkan siswa dalam kegiatan yang sesuai dengan usia dan memungkinkan mereka untuk terhubungkan dengan pendidikan karakter untuk pembelajaran mereka, keputusan-keputsan dan tujuan-tujuan pribadi Anda mengintegrasikan proses ke sekolah mereka. Mempertahankan program. Program pendidikan karakter dipertahankan dan diperbarui melalui pelaksanaan Sembilan elemen pertama, dengan perhatian khusus pada tingkat komitmen yang tinggi dari atas: dana yang memadai; dukungan untuk koordinasi distrik staf yang berkualitas tinggi dan pengembangan professional berkelanjutan dan sebuah jaringan dan dukungan system bagi guru yang melaksanakan program.
Enam Pilar Pendidikan Karakter
KARAKTER! pendekatan pendidikan karakter tidak mengecualikan siapa pun. Itu sebabnya pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa setiap orang dapat menyetujui - nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religius, atau bias budaya. Gunakan poin di bawah ini untuk membantu siswa memahami enam pilar pendidikan karekter. 1. Trustworthiness / Kepercayaan Jujur • Jangan menipu, menjiplak atau mencuri • Jadilah handal - melakukan apa yang Anda katakan Anda akan melakukannya • Minta keberanian untuk melakukan hal yang benar • Bangun reputasi yang baik • Patuh - berdiri dengan keluarga, teman dan negara 2. Respect / Respect Bersikap toleran terhadap perbedaan •Gunakan sopan santun, bukan bahasa yang buruk •Pertimbangkan perasaan orang lain •Jangan mengancam, memukul atau menyakiti orang lain • Damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan 3. Responsibility/Tanggungjawab Selalu lakukan yang terbaik • Gunakan control diri • Disiplin • Berpikirlah sebelum bertindak- mempertimbangkan konsekuensi • Bertanggung jawab atas pilihan Anda 4. Fairness/Keadilan Bermain sesuai aturan • Ambil seperlunya dan berbagi • Berpikiran terbuka: mendengarkan orang lain • Jangan mengambil keuntungan dari orang lain • Jangaan menyalahkan orang lain sembarangan 5. Carring/Peduli Bersikaplah kasih saying dan menunjukkan Anda peduli • Ungkapkan rasa syukur • Maafkan orang lain • Membantu orang yang membutuhkan 6. Citizenship/Kewarganegaraan Apakah Anda berbagi untuk membuat sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik • Bekerjasama • Libatkan diri dalam urusan masyarakat • Stay informed; suara • Jadilah tetangga yang baik • Taatilah hokum dan aturan • Hormati otoritas • Melindungi lingkungan hidup
Pendidikan Berkarakter untuk Menjawab Persoalan Bangsa
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kini semakin disadari, sukses suatu bangsa amat ditentukan oleh pembentukan karakter bangsa itu. Oleh karena itu, keberadaan pendidikan yang utuh yang mampu melahirkan manusia-manusia berkarakter yang siap menjadi pemimpin menjadi sangat penting. "Pendidikan karakter tidak bisa diajarkan, karena kalau diajarkan akan membuat jauh peserta didik untuk mau belajar, akan tetapi pendidikan karakter harus dicontohkan kepada peserta didik, ketika kita ingin anak bisa jujur, maka contohkan kejujuran itu, jangan sempat sampai mengajarkan,". Pendidikan ini, jangan sampai memunculkan mata pelajaran atau mata kuliah baru, sebab di seluruh mata pelajaran maupun mata kuliah itu ada muatannya pendidikan karakter. Pendidikan karakter, harus berdasarkan kebijakan sebab kalau tidak ada kebijakan sebuah sekolah tidak akan bisa melaksanakan pendidikan karakter. Perlu dilaksanakan reformasi pendidikan ke arah yang lebih kondusif untuk terciptanya kualitas SDM yang berkualitas, terutama melalui pengenalan konsep pendidikan berkarakter. Disebutkan, kepemilikan soft skill siswa hanya dapat didorong jika guru telah memiliki soft skill. Soft skill hanya dapat ditularkan, dilatihkan dan dicontohkan. Tujuan pendidikan selain untuk mempersiapkan manusia untuk masuk ke dalam dunia kerja, adalah untuk membuat manusia dapat berpikir secara menyeluruh serta menjadi manusia yang jujur dan bijak. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dan dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Kualitas SDM Indonesia berada di bawah Vietnam, atau nomor 4 terbawah (nomor 102 dari 106 negara). Hasil Survei PERC di 12 negara juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam. Sedangkan, hasil survey matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika oleh TIMSS-R, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 34. Sekolah dan kampus merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan keilmuan saja, tetapi juga bertugas dalam pembentukan kapasitas moralitas anak didik. Di Indonesia, pendidikan agama telah diajarkan di sekolah-sekolah, namun pendidikan moral masih berjalan di tempat, dibuktikan dengan adanya konflik horizontal yang semakin meningkat. Dilihat dari penerapannya pendidikan agama tampaknya masih bermuara pada dasar-dasar agama sehingga mengabaikan kandungan nilai-nilai dan akhlak. Pendekatan yang dipakai dalam pendidikan agama pun masih berpusat pada ranah kognitif dan banyak menekankan hafalan, penguasaan materi tanpa menyentuh perasaan, emosi dan nurani peserta didik. Pendidikan karakter mempunyai tujuan bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah,lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal-hal yang baik sehingga siswa didik menjadi paham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya. "Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng, pelajar yang ketahuan melihat kunci jawaban saat UN dan siswa terlibat tawuran antar siswa serta guru yang memberikan kunci jawaban kepada siswa adalah contoh kasus. Serentetan fakta akhir-akhir ini cukup menjadi bukti bahwa ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita makanya perlu pemimpin yang jujur dan bijak. Penyelenggara pendidikan mampu mengatasi dan mencermati betul permasalahan ini. Di tengah rupa-rupa perubahan yang terus terjadi saat ini dengan segala dampak yang ditimbulkannya, menghadirkan pendidikan yang berkarakter adalah pilihan mutlak. "Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebetulnya hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi) saja. Memang, beberapa siswa Indonesia bisa berprestasi mendapatkan hadiah olimpiade, namun dapat dipastikan bahwa mereka adalah bagian dari top 0.1 persen tingkat IQ tertinggi saja (bukan cerminan dari kondisi seluruh siswa Indonesia). "Sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum yang luar biasa beratnya”. Jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapa pun, tidak akan bisa meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar mereka siap dan terampil bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang. Apabila strategi pendidikan ditujukan untuk menciptakan para pekerja yang handal (yang meliputi 85 persen penduduk), maka fokus pendidikan harus lebih memperhatikan penyiapan anak didik sehingga siap bekerja dan terampil selepas SLTA atau bahkan SLTP, tergantung bidang-bidang keterampilannya. Namun kenyataannya, mayoritas siswa Indonesia khusunya Sumbar sejak usia SD sudah habis energinya mengikuti pelajaran yang dirancang supaya mereka tidak mampu mengikutinya. Selain itu, karena tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak anak pandai secara kognitif (yang menekankan pengembangan otak kiri saja dan hanya meliputi aspek bahasa dan logis-matematis), maka banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan pengembangan otak kanan (seperti kesenian, musik, imajinasi, dan pembentukan karakter) kurang mendapatkan. Kemampuanu untuk menguasai emosi (kecerdasan emosi) yang merupakan buah dari pendidikan karekter lebih menentukan hasil pendidikan daripada kemampuan intelektual. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak di bangku sekolah dan kuliah. "Ajang unjuk kebolehan siswa dengan berbagai keterampilan ini merupakan dukungan bagi dunia pendidikan anak agar mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dan siap bertarung dalam mencari pekerjaan," "Dengan pola pembelajaran tersebut, diharapkan nantinya dapat mencetak para siswa yang berprestasi baik formal maupun nonformal".
Pendidikan Berkarakter adalah Solusi Wednesday
Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebetulnya hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi) saja. Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa yang sering hanya diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi atau ukuran IQ). Padahal ada banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan, karena berdasarkan teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, potensi akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya. Hukum alam selalu menunjukkan bahwa di mana pun manusia di muka bumi ini, yang memiliki IQ di atas angka 120 tidak lebih dari 10 persen jumlah penduduk. Namun sebaliknya, sebagian besar mereka –yang kecerdasannya bukan pada dimensi akademik (ilmuwan, pemikir, dan ahli strategis), tetapi dimensi- dimensi lainnya –misalnya pekerjaan teknisi, musisi, manual (motorik), artis, atau hal-hal lain yang sifatnya “lebih konkrit”. Kualitas produksi barang dan jasa pun sangat tergantung pada kualitas segmen penduduk yang mayoritas ini. Tantangannya adalah apakah penduduk mayoritas ini sudah dipersiapkan untuk dapat bekerja secara profesional sehingga dapat menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi. Menurut Thurow, dalam hal kualitas produksi, negara AS kalah dengan Jepang karena strategi pendidikan di Jepang lebih mementingkan bagaimana menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas dan profesional -yang merupakan bagian terbesar dari penduduk. Berbeda dengan AS yang lebih mementingkan 10 persen siswa terpandai, strategi pendidikan Jepang justru sebaliknya, yaitu terutama menyiapkan 50 persen siswa terbawah (dalam skala IQ) untuk menjadi tenaga kerja yang handal. Sedangkan mereka yang sangat tinggi kemampuan akademisnya (yang populasinya tidak lebih dari 15 persen), akan masuk ke jenjang perguruan tinggi setelah menempuh ujian saringan perguruan tinggi yang sangat sulit. Dengan strategi seperti ini, maka terlihat bahwa sistem pendidikan di Jepang – terutama pendidikan dasar — dianggap relatif tidak sulit dan menyenangkan bagi anak- anak. Lain halnya dengan Indonesia, sistem pendidikan di negara justru menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi ilmuwan dan pemikir (filsuf), sehingga seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa sulitnya, sehingga hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15 persen siswa terpandai saja atau mereka yang mempunyai IQ di atas 115. Memang, beberapa siswa Indonesia bisa berprestasi mendapatkan hadiah olimpiade, namun dapat dipastikan bahwa mereka adalah bagian dari top 0.1 persen tingkat IQ tertinggi saja (bukan cerminan dari kondisi seluruh siswa Indonesia). Sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum yang luar biasa beratnya. Padahal, jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapa pun, tidak akan bisa meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar mereka siap dan terampil bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang. Apa yang telah ditanam pemerintah (pemegang dan pembuat kebijakan) selama ini, ternyata membuahkan hasil. Kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia ’terjun bebas’ berada di bawah Vietnam, atau nomor 4 terbawah (nomor 102 dari 106 negara). Hasil Survei PERC di 12 negara juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam. Sedangkan, hasil survey matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika oleh TIMSS-R, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 34. Mengapa kualitas SDM kita sedemikian buruknya? Jelas sebabnya adalah para pemimpin Indonesia, sejak merdeka hingga kini tidak mempunyai visi dan strategi yang jitu dalam membawa bangsa ini melesat jauh ke depan. Namun Jepang dan Jerman mempunyai strategi utama untuk mencetak tenaga kerja handal. Yaitu dengan mendidik 60 persen penduduk terbawah dengan pendidikan keterampilan. Di sisi lain, mereka tetap menyadari bahwa untuk mencetak manusia yang menguasai IPTEK hingga mampu menciptakan teknologi baru, perlupendidikan yang tepat bagi 15 persen terpandai (brain power) sehingga mereka siap masuk ke jenjang perguruan tinggi. Jerman dan Jepang terkenal dengan apprentice system (keterampilan) yang handal, sehingga produk-produk mereka terkenal paling bagus kualitasnya di dunia, karena dikerjakan oleh para pekerja yang terampil, pekerja keras, percaya diri dengan kemampuannya dan mempunyai kualitas karakter lainnya yang mendukung. Mereka adalah para pekerja manual, bukan saintis atau ilmuwan. Tentu saja Jerman dan Jepang juga memperhatikan perguruan tinggi untuk menampung 15 persen penduduk terpandai (yang daya abstraksi dan analitiknya tinggi). Namun demikian, tidak dengan cara memaksakan target perguruan tinggi –supaya menjadi ilmuwan - kepada 85 persen lainnya. Apabila strategi pendidikan ditujukan untuk menciptakan para pekerja yang handal (yang meliputi 85 persen penduduk), maka fokus pendidikan harus lebih memperhatikan penyiapan anak didik sehingga siap bekerja dan terampil selepas SLTA atau bahkan SLTP, tergantung bidang-bidang keterampilannya. Namun kenyataannya, mayoritas siswa Indonesia sejak usia SD sudah habis energinya mengikuti pelajaran yang dirancang supaya mereka tidak mampu mengikutinya. Selain itu, metode pembelajaran di kelas banyak yang menyalahi teori-teori perkembangan anak. Hasilnya adalah generasi yang tidak percaya diri (apalagi kalau divonis dengan sistem ranking di sekolah), sehingga sempurnalah pencetakan SDM Indonesia yang berada di urutan terbawah; tidak bisa bekerja, tidak terampil, tidak percaya diri, dan tidak berkarakter. Mereka tumbuh dikondisikan oleh sebuah sistem yang salah. Aspirasi siswa yang keliru sejak dini sudah terbentuk, yaitu tidak menghargai pekerjaan manual yang memerlukan keterampilan, kerajinan, dan ketekunan. Dalam hal ini, termasuk juga mereka yang memasuki sekolah kejuruan (SMK), yang umumnya tidak mempunyai gairah untuk mencintai bidang keterampilannya karena merasa dicap bodoh, terlebih jika lingkungannya menganggap bahwa simbol keberhasilan adalah memiliki gelar kesarjanaan – bukan memiliki keterampilan kerja. Selain itu, karena tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak anak pandai secara kognitif (yang menekankan pengembangan otak kiri saja dan hanya meliputi aspek bahasa dan logis-matematis), maka banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan pengembangan otak kanan (seperti kesenian, musik, imajinasi, dan pembentukan karakter) kurang mendapatkan perhatian (lihat bab mengenai bahasan multiple intelligences - sembilan aspek kecerdasan). Kalaupun ada, maka orientasinya pun lebih kepada kognitif (hafalan), tidak ada apresiasi dan penghayatan yang dapat menumbuhkan kegairahan untuk belajar dan mendalami materi lebih lanjut. Celakanya, pendekatan yang terlalu kognitif telah mengubah orientasi belajar para siswa menjadi semata-mata untuk meraih nilai tinggi. Hal ini dapat mendorong para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur, seperti mencontek, menjiplak, dan sebagainya. Mata pelajaran yang bersifat subject matter juga makin merumitkan permasalahan karena para siswa tidak melihat bagaimana keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan yang lainnya, serta tidak relevan dengan kehidupan nyata. Akibatnya, para siswa tidak mengerti manfaat dari materi yang dipelajarinya untuk kehidupan nyata. Sistem pendidikan seperti ini membuat manusia berpikir secara parsial, terkotak-kotak, yang menurut David Orr adalah akar dari permasalahan yang ada: “Isu-isu terbesar saat ini pasti berakar dari kegagalan kita untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan. Kegagalan tersebut terjadi ketika kita terbiasa berpikir secara terkotak-kotak dan tidak diajarkan bagaimana untuk berpikir secara keseluruhan dalam melihat keterkaitan antar kotak-kotak tersebut, atau untuk mempertanyakan bagaimana suatu kotak (perspektif) dapat terkait dengan kotak- kotak lainnya” (Clark1997). Hal yang sama diungkapkan oleh Fitjrof Capra, bahwa betapa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan telah begitu terkotak-kotak, sehingga manusia tidak mampu melihat gambar keseluruhan (wholeness) dari setiap fenomena. Akibatnya banyak solusi yang dilakukan manusia dalam menghadapi berbagai segi kehidupan manusia didekati pula secara fragmented (parsial), sehingga tidak dapat memperbaiki masalah, tetapi justru semakin memperburuknya. Inti pemikiran Fitjrof Capra adalah menekankan pentingnya untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan : “multidisciplinary, holistic approach to reality.” Apabila dalam dunia fisika paradigma telah bergeser dari pendekatan mekanistik dan terfragmentasi dalam menelaah partikel-partikel benda mati ke arah pendekatan menyeluruh, maka sudah seharusnya pendekatan yang sama diterapkan dalam bidang-bidang keilmuan lainnya, terutama yang menyangkut bagaimana mempelajari manusia dan semua unsur-unsur peradabannya. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan reformasi pendidikan ke arah yang lebih kondusif untuk terciptanya kualitas SDM yang berkualitas, terutama melalui pengenalan konsep pendidikan holistik (menyeluruh). Tujuan pendidikan holistik, seperti yang dikatakan oleh J. Krishnamurti, adalah “The highest function of education is to bring about an integrated individual who is capable of dealing with life as a whole”. Sizer (1999) mengatakan bahwa tujuan pendidikan selain untuk mempersiapkan manusia untuk masuk ke dalam dunia kerja, adalah untuk membuat manusia dapat berpikir secara menyeluruh serta menjadi manusia yang bijak (thoughtful and decent human being). Sejak 2500 tahun yang lalu Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi “good and smart”. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dan dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Karenanya, sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Seperti menurut Socrates: "Then the man who's going to be a fine and good guardian of the city for us will in nature be philosophic, spirited, swift, and strong" (Bloom, A.: 1991).
Kurikulum Holistik Berkarakter
Perlu menggunakan kurikulum berkarakter atau “Kurikulum Holistik Berbasis Karakter” (Character-based Integrated Curriculum), yang merupakan kurikulum terpadu yang “menyentuh” semua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (Holistik). Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum. Pembelajaran holistik berlandaskan pada pendekatan inquiry dimana anak dilibatkan dalam merencanakan, bereksplorasi dan berbagi gagasan. Anak-anak didorong untuk berkolaborasi bersama teman-temannya dan belajar dengan “cara” mereka sendiri. Anak-anak diberdayakan sebagai si pembelajar dan mampu mengejar kebutuhan belajar mereka melalui tema-tema yang dirancang. Sebuah pembelajaran yang holistik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila pembelajaran yang akan dilakukan alami-natural-nyata-dekat dengan diri anak, dan guru-guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep pembelajaran terpadu dengan baik. Selain itu juga dibutuhkan kreativitas dan bahan- bahan/sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam berlatih membuat model- model yang tematis juga sangat menentukan kebermaknaan pembelajaran. Tujuan model pendidikan holistik berbasis karakter adalah mmbentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati). Yaitu dengan: Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkrit, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry-based learning, integrated learning); Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat; Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan erkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good; Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia; 5. Seluruh pendekatan di atas menerapkanprinsip-prinsip.
Pilih Pintar atau Berkarakter?
Pendidikan karakter ramai dibicarakan orang untuk menunjang siswa menjadi sosok yang sopan dan bermoral, mengapa hangat dibicarakan saat terjadi tragedi moral yang menerpa sejumlah siswa dengan kelakuan siswa tidak ber”moral”. Pada jejaring sosial Facebook sejumlah siswa memaki gurunya dengan perkataan menyakitkan dan membuat sang guru meradang, Pihak sekolah akhirnya membuat keputusan mengeluarkan siswa dari sekolah tersebut. Perkara moral memang membuat merinding, apalagi akhir-akhir ini kelakuan brutal praktis muncul dari kalangan terpelajar. Perkelahian pelajar, perusakan fasilitas publik oleh demonstran-demonstran yang kurang menggunakan nalar budinya untuk menjalani hidup dalam suasana demokrasi yang sopan dan penuh unggah- ungguh. Rasanya semakin banyak anak muda yang kehilangan identitas, ikut arus, terbawa emosi dalam suasana penuh aroma permusuhan. Apapun bisa menjadi senjata untuk merusak fasilitas yang seharusnya dipelihara dan diperindah. Mungkin suasana di sekolahan akhir-akhir ini bukan seperti tempat yang melahirkan kaum terpelajar yang mampu mengukur diri dan merumuskan identitas membangun masa depan, Rasanya setiap sekolah terlalu trobsesi untuk menaikkan peringkat sekolah, membangun sekolah bertaraf internasional, mendorong siswa aktif hanya pada ranah kognitif. Beban siswa setiap hari terus bertambah saat guru-guru memasang target tinggi nilai kelulusan. Padahal sebenarnya sekolah adalah tempat siswa berproses merumuskan jati dirinya menjadi manusia yang berwatak sosial dan toleran. Pengetahuan yang diserap adalah pengetahuan riil yang bisa menjadi pemecah masalah masyarakat sekitarnya. Setelah siswa keluar dari lingkungan sekolah dia menjadi dirinya sendiri yang harus mampu menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya, bukan ekslusif dan identik dengan gambaran pelajar yang hanya berkutat pada buku dan tugas. Mungkin karena beratnya beban tugas menyebabkan siswa tidak sempat merenung dan mengambil inisiatif ditengah masyarakat yang sedang gamang oleh masalah yang membelit seperti korupsi, nepotisme dan kesenjangan sosial. Panyak anak usia sekolah turun ke jalan karena tidak ada pendampingan yang sistemik dari orang-orang di sekitarnya atau keluarganya. Akibat kegamangan dan kecanggungan pelajar mereka mencari bentuk sendiri untuk melampiaskan kekesalannya akibat tugas-tugas yang menumpuk dari sekolah. Lalu bentuk sekolah yang bagaimana yang ideal untuk membentuk generasi penerus yang berkarakter, seperti halnya negara Jepang dan bangsa maju lainnya seperti Singapura, Jerman, Amerika, Inggris, Australia. Kadang sekolah hanya mengadopsi bentuk kurikulum tapi melupakan fasilitas yang menjadi hak siswa untuk mewujudkan pembentukan siswa berkarakter. Jarang siswa di dorong untuk mencoba hadir ditengah masyarakat dan belajar dari kehidupan. Pendidikan hanyalah abstraksi dari tuntutan demi tuntutan yang harus dilewati siswa. Ukuran nilai menjadi bias dari subyektifitas yang juga berperan sentral. Kebijakan konversi UAN dan nilai UAN sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan. Siswa hanya didorong untuk menjadi pintar tapi melupakan pendidikan proses yang menjadi hak siswa untuk bisa menggapai identitas diri yang sempurna. Indikator guru berkarakter 1. Memiliki pengetahuan keagamaan yang luas dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara aktif 2. Meningkatkan kualitas keilmuan secara berkelanjutan 3. Zuhud dalam kehidupan, mengajar dan mendidik untuk mencari ridha Tuhan 4. Bersih jasmani dan rohani 5. Pemaaf, penyabar, dan jujur 6. Berlaku adil terhadap peserta didik dan semua stakeholders pendidikan 7. Mempunyai watak dan sifat robbaniyah yang tercermin dalam pola pikir, ucapan, dan tingkah laku 8.Tegas bertindak, profesional, dan proporsional 9.Tanggap terhadap berbagai kondisi yang mungkin dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola pikir peserta didik 10.Menumbuhkan kesadaran diri sebagai da’i
Pendidikan Berbasis Karakter
Dunia pendidikan adalah dunia yang sangat dinamis, selalu bergerak, selalu terjadi perubahan dan pembaharuan. Sekolah seolah terus berpacu memunculkan dan mengejar keunggulannya masing-masing. Memasuki Era Globalisasi menjadi satu tantangan tersendiri bagi pengelola pendidikan untuk menyesuaikan kurikulum dan sarana pendidikan mereka dengan berbagai teknologi canggih agar bisa menghasilkan siswa yang mampu bersaing di Era ‘Global Village’. Ditengah begitu semangatnya berbagai lembaga pendidikan mengejar keunggulan teknologi, terbersit satu pertanyaan, ‘sebesar itu jugakah semangat kita untuk mengejar keunggulan karakter siswa-siswa kita?’ Mengapa Karakter? Beberapa hadits berikut menunjukkan betapa pentingnya sekolah-sekolah kita untuk memperhatikan masalah pembentukan akhlak pada anak-anak didiknya: “innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq” Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. (HR Malik) “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Sekolah adalah tempat yang sangat strategis bahkan yang utama setelah keluarga untuk membentuk akhlak/karakter siswa. Bahkan seharusnya setiap sekolah menjadikan kualitas akhlak/ karakter sebagai salah satu Quality Assurance yang harus dimiliki oleh setiap lulusan sekolahnya. Tentunya kita semua berharap siswa-siswi yang dididik di sekolah kita menjadi hamba Allah yang beriman, sebagaimana pemerintah kita mencanangkan dalam Pasal 3 UU No. 20/2003, bahwa: ‘Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’. Dan sekarang resapilah hadits berikut: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka.” (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah). Jika ternyata baiknya akhlak menjadikan sempurnanya iman, maka tidak ada alasan bagi sekolah kita untuk menomor duakan keseriusan dalam upaya pembentukan akhlak/karakter dibanding keseriusan mengejar keunggulan teknologi. Bahkan yakinlah, bahwa jika anak didik kita memiliki akhlak/karakter yang baik, insya Allah merekapun akan lebih mudah kita pacu untuk mengejar prestasi lainnya. Tak kurang, para peneliti, dan tokoh kelas dunia pun dengan jelas ikut menyuarakan pentingmya masalah pembentukan karakter ini: Theodore Roosevelt, mantan presiden USA yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat). Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu dari tujuh dosa fatal, yaitu “education without character” (pendidikan tanpa karakter) Beberapa hasil penelitian dan survey berikut mungkin akan membuat dahi kita berkerut: 90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak diantara mereka yang membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah (Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Warung Internet Indonesia, Irwin Day. 25 Juli 2008. Media Indonesia) Herien Puspitasari (Disertasi Doktor IPB), mempublikasikan hasil penelitiannya di Kompas Cyber Media 18/05/2006). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan pada tahun 2002-2003, dengan menggunakan responden sejumlah 667 siswa (550 siswa Sekolah Negeri & 117 siswa Sekolah Swasta), 540 putra dan 127 putri, semuanya berasal dari siswa kelas 2 SMA dan SMK di Bogor. Mendapatkan hasil yang mencengangkan: Dari 667 responden tersebut, tidak kurang 10 persen para responden sudah melakukan hubungan seks bebas! Jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak . Tentunya masih banyak data dan fakta lain yang bisa kita ungkap. Tapi data-data di atas cukup mewakili bagaimana potret anak usia sekolah di negeri ini. Menurut Thomas Lickona (1992), tanda-tanda kehancuran suatu bangsa antara lain: 1. Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja 2. ketidak jujuran yang membudaya 3. semakin rendah rasa tidak hormat kepada kedua orang tua, guru dan figure pemimpin, 4. meningkatnya kecurigaan dan kebencian 5. penggunaan bahasa yang memburuk 6. penurunan etos kerja 7. menurunnya rasa tanggung-jawab individu dan warga negara 8. meningginya perilaku merusak diri 9. semakin kaburnya pedoman moral. Jika kita cermati satu persatu tanda-tanda kehancuran di atas, berapa point yang sudah muncul di bangsa kita? Sepertinya kita sepakat bahwa seluruhnya sudah tampak di bangsa kita! Akankah bangsa kita mengalami kehancuran? Jawabannya adalah ‘YA’ bila bangsa kita tidak melakukan perbaikan. Dan kita para pengelola sekolah dan para pendidik harus ikut melakukan langkah perbaikan. Inilah peran strategis yang harus kita ambil, MELAKUKAN PEMBINAAN AKHLAK UNTUK MENGHINDARKAN BANGSA DARI KEHANCURAN! Peran Sekolah “FithrataLlahil latii fatharan naasa ‘alaiha. Laa tabdiila likhalqiLlah.” “… (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah…” (Ar Rum:30) “Ilmu diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh dengan latihan menjadi santun.” (HR Bukhari) Pendidikan menurut Pasal 1 Butir 1 UU 20/2003: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”
Pendidikan Karakter pada Sekolah Islam Terpadu (SIT)
Sekolah Islam Terpadu menjadikan pendidikan karakter sebagai pilar utama dalam proses penyelenggaraannya. Oleh karena itu, SIT mengembangkan prinsip-prinsip pendidikan sebagai berikut: 1. Menjadikan Islam sebagai landasan filosofis. 2. Mengintegrasikan nilai Islam ke dalam bangunan kurikulum. 3. Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran untuk mencapai optimalisasi proses belajar mengajar. 4. Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta didik. 5. Menumbuhkan biah solihah dalam iklim dan lingkungan sekolah: menumbuhkan kemaslahatan dan meniadakan kemaksiatan dan kemungkaran. 6. Melibatkan peran-serta orangtua dan masyarakat dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan. 7. Mengutamakan nilai ukhuwwah dalam semua interaksi antar warga sekolah. 8. Membangun budaya rawat, resik, rapih, runut, ringkas, sehat dan asri. 9. Menjamin seluruh proses kegiatan sekolah untuk selalu berorientasi pada mutu. 10. Menumbuhkan budaya profesionalisme Nilai-nilai Islam menjadi inspirasi dan sekaligus pemandu utama dalam penyelenggaraan pendidikan di SIT. SIT meyakini bahwa pendidikan Islam akan mampu: 1. Membentuk sikap dan kepribadian yang kuat berdasarkan prinsip- prinsip nilai keilahiyahan. Dengan aqidah yang benar, seorang muslim akan mampu menunjukkan sikapnya yang tegar, tsabat, istiqomah dan selalu berfihak dan membela al Haq. 2. Memompa semangat keilmuan dan karya. Islam mengajarkan pemeluknya untuk selalu berfikir dan berkarya. Doktrin Islam adalah: ”sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling memberi manfaat bagi orang lain” 3. Membangun karakter/pribadi yang saleh : selalu menegakkan nilai-nilai dan praktek ibadah. Pendidikan agama Islam mendidik dan mendisiplinkan pemeluknya untuk selalu taat beribadah kepada Allah SWT. Dengan perilaku ibadah yang bersih, niscaya akan terbentuk karakter muttaqien, selalu menjauhi perilaku negatif dan destruktif 4. Membangun Sikap Peduli: Islam selalu mengajarkan sikap peduli kepada orang lain, hewan dan lingkungan. Sikap peduli akan melahirkan sikap yang selalu membangun dan memecahkan segala permasalahan sosial. 5. Membentuk pandangan yang visioner, berfikir, bekerja dan bertindak untuk kepentingan masa depan. Bagaimana menerapkan pendidikan karakter di sekolah? Menurut Ratna Megawangi, Founder Indonesia Heritage Foundation, ada tiga tahap pembentukan karakter: MORAL KNOWING : Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa manfaat berperilaku baik MORAL FEELING : Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya. MORAL ACTION : Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior Dengan tiga tahapan ini, proses pembentukan karakter akan jauh dari kesan dan praktik doktrinasi yang menekan, justru sebaliknya, siswa akan mencintai berbuat baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri. Masih menurut Indonesia Heritage Foundation, ada 9 pilar karakter yang harus ditumbuhkan dalam diri anak: 1. Cinta Allah, dg segenap ciptaanNya 2. Kemandirian ,tanggung jawab 3. Kejujuran, bijaksana 4. Hormat, santun 5. Dermawan, suka menolong, gotong royong 6. Percaya diri, kreatif, bekerja keras 7. Kepemimpinan, keadilan 8. Baik hati, rendah hati 9. Toleransi, Kedamaian, kesatuan Tips untuk menerapkan pendidikan karakter di sekolah Berikut adalah tips untuk sukses menerapkan pendidikan berbasis karakter di sekolah: Memiliki nilai-nilai yang dianut dan disampaikan kepada seluruh stake holder sekolah melalui berbagai media : buku panduan untuk orang tua (dan siswa), news untuk orang tua, pelatihan. Staf pengajar dan administrasi termasuk tenaga kebersihan dan keamanan mendiskusikan nilai-nilai yang dianut, Nilai-nilai ini merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang diyakini sekolah. Siswa dan guru mengembangkan nilai-nilai yang dianut di kelas masing- masing. Memberikan dilema-dilema dalam mengajarkan suatu nilai, misalnya tentang kejujuran. Pembiasaan penerapan nilai di setiap kesempatan Mendiskusikan masalah yang terjadi apabila ada pelanggaran Mendiskusikan masalah dengan orang tua apabila masalah dengan anak adalah masalah besar atau masalahnya tidak selesai Dari semua komponen sekolah, yang paling berperan mensukseskan program pendidikan berbasis karakter di sekolah, adalah GURU. Tentunya diperlukan GURU BERKARAKTER untuk menghasilkan SISWA BERKARAKTER. Meski diperlukan kesabaran dan ketekunan, menghasilkan anak didik yang berakhlak dan berkarakter baik tentunya sangat membahagiakan, karena menjadi penyebab seseorang mendapatkan kebaikan itu lebih baik dari dunia dan seisinya!*** (Penulis adalah Wakasek SMPN Satu Atap 1 Cimerak, Anggota Guru Penulis Nasional (Agupena) Jabar).