You are on page 1of 14

PEMAHAMAN PENDIDIKAN

AGAMA DENGAN PENDEKATAN


MULTIKULTURAL PLURALISME

Nama : LOURENSIA
NIM : 31080225
Kelas : D

INSTITUT BISNIS DAN INFORMATIKA INDONESIA


Jl. Yos Sudarso Kav. 87 Sunter
Jakarta Utara - 14350
BAB I

Latar Belakang

Agama di Indonesia merupakan suatu hal yang melekat erat dalam


kehidupan setiap individu di Indonesia. Di Indonesia yang merupakan Negara
yang memiliki berbagai warna latar belakang masyarakat, agama adalah
salah satu hal yang tak akan bisa lepas dan selalu berakar dalam setiap
kehidupan manusia di Indonesia. Sebelum manusia mengenal Agama, nenek
moyang bangsa Indonesia telah menganut berbagai kepercayaan seperti
animism atau dinamisme. Hal ini membuktikan manusia selalu memerlukan
sesuatu untuk memenuhi kebutuhan rohani mereka. Seiring perkembangan
zaman, animisme dan dinamisme pun bergeser menjadi agama, manusia
memenuhi kebutuhan rohaninya lewat agama dan kepercayaan akan agama
di Indonesia tidak hanya satu, tapi berbagai agama dan kepercayaan.
Adanya perbedaan ini patut untuk dipahami sehingga kita bisa menjalani
hidup sebagai bangsa yang memiliki kekayaan karena perbedaan secara
lebih baik.
Oleh karena itu, latar belakang daripada pembuatan makalah ini
adalah untuk memahami pendidikan agama yang dilakukan melewati
pendekatan secara multikulturalisme dan pluralisme dimana terbagi menjadi
3 poin latar belakang mencakup secara filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Poin pertama, secara filosofis, perlunya pendidikan agama dikarena
semboyan Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda
namun tetap satu, dimana sebagai individu, kita perlu memahami hal
tersebut secara baik dan benar sehingga dapat memahami pendidikan
agama ini dengan baik.
Poin Kedua yaitu secara sosiologis, dimana pendidikan agama secara
sosiologi perlu dipahami dan disesuaikan dengan keadaan sosial di Indonesia
yang masyarakatnya mendiami pulau – pulau yang berbeda dengan budaya
dan adat istiadat yang berbeda. Kita harus memahami hal tersebut dengan
baik dimana agama di Indonesia tentunya juga melebur dengan adat dan
budaya yang bermacam – macam disetiap pelosok Indonesia.
Poin ketiga adalah secara yuridis atau secara hukum, dimana kita
harus memahami mengenai agama yang tercantum pada hukum Negara
Indonesia yaitu terdapat pada Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945
sehingga kita sebagai bangsa Indonesia, kita dapat mengamalkan agama
secara baik sesuai dengan maksud Pancasila dan juga Undang – Undang
Dasar1945.
Tujuan pembelajaran pendidikan agama adalah membentuk pribadi
warna Negara Indonesia yang paham mengenai perbedaan agama dan dapat
mengamalkannya secara tepat, baik, dan benar. Selain itu, untuk
mempersiapkan pribadi – pribadi Indonesia untuk siap menghadapi era
globalisasi dimana akan semakin banyak nilai – nilai budaya luar yang akan
mempengaruhi perkembangan agama di Indonesia. Terakhir, sebagai
mahasiswa, agama dapat menjadi sarana peluang bisnis yang baik dan
membantu mahasiswa untuk bertindak secara baik dan benar dalam
berbisnis.
Demikianlah latar belakang dari makalah ini, semoga dapat membantu
pembaca untuk memahami sekilas mengenai tujuan dan latar belakang
mengenai penulisan makalah ini. Sekian dan terimakasih.
BAB II

PENDAPAT PAKAR

I. Berdasarkan Literatur Pluralisme Kehidupan Bangsa


Indonesia
A. Pdt. Victor I.Tanja, MTh, PhD

Dalam makalahnya yaitu ‘Agama Dalam Masyarakat Bangsa Yang


Pluralistik’ ada beberapa poin penting yang disampaikan oleh Pendeta Victor
I.Tanja. Agama adalah hal yang menjadi bagian dari bentuk kemajemukan
bangsa Indonesia yang dimaksudkan dalam Pancasila dan merupakan dari
bagian corak hakiki kehidupan bangsa Indonesia yang memiliki kemajemukan
dalam budaya, sosial, politik, agama, serta kepercayaan. Oleh karena hal itu
pula, Agama menjadi salah satu bagian dari kandungan ungkapan dari
semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang menyatakan
berbeda – beda tetapi satu (unity in diversity = kesatuan dalam
kepelbagaian).

Poin penting berikutnya adalah bahwa kepelbagaian agama telah


berhasil diatasi oleh bangsa ini dan membuktikan bahwa Indonesia mampu
berdiri secara independen dan berdaulat tanpa perlu ada campur tangan
pihak luar namun bukan berarti Indonesia tidak memerlukan bangsa lain.
Indonesia justru tetap perlu adanya hubungan kerjasama dengan bangsa lain
dengan menyadari bahwa kita tidak dapat hidup sendiri di dunia ini,
Indonesia juga perlu teman untuk membantu mendorong maju kehidupan
bangsa Indonesia menjadi lebih baik di masa depan. Indonesia adalah bangsa
yang mandiri dan menyadari semakin kokoh semangat kemandirian tersebut
maka sumbangan yang bermutu yang dapat diberikan dalam menjalin
kerjasama dengan bangsa lain akan semakin lebih baik. Dapat dikatakan pula
bahwa dalam hidup ini memerlukan keterhubungan dengan orang lain
sehingga hidup pun mencapai makna terdalam yaitu dapat berguna bagi
semua orang. Oleh karena itu, sikap absolutisme atau pemutlakan adalah hal
yang sia-sia untuk dilakukan dan hanya menjerumuskan manusia pada sikap
egoisme dan fanatisme terhadap kelompok sendiri yang akan membawa
hidup pada kejahatan dan kematian.

Dari hal diatas, ajaran agama ada dan diberikan bukan untuk
pembenaran diri atau kelompok lain namun agar kita sebagai individu dapat
mengelola hidup secara lebih baik untuk memuliakan Tuhan. Usaha
memuliakan Tuhan adalah sekaligus memberikan yang terbaik daripada
hidup kita demi mencapai keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian bagi
semua orang walau mereka berbeda suku, agama / kepercayaan, asal – usul,
ataupun budaya.
Poin lainnya adalah bahwa agama berperan penting sebagai motivator
serta meletakkan landasan etik moral dan spiritual untuk mendorong
pembangunan. Tanpa peranan agama, dikhawatirkan bahwa hal negatif
akibat pembangunan akan semakin meningkat, seperti kesenjangan sosial
yang semakin lebar. Dan tentunya hal ini dapat membawa dampak negatif
pula yang dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa. Agama di
Indonesia dalam konteks berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara terdapat
5 agama yang diterima oleh Departemen Agama. Agama –agama suku tidak
masuk dalam pengaturan Departemen Agama tapi masuk dalam pengaturan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dimana dianggap sebagai budaya
spiritual bangsa, bukan agama.

Indonesia adalah bangsa yang religious yang mana percaya pada


Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan kepercayaan masing – masing. Oleh
karena itu, 5 agama yang resmi di Indonesia serta kepercayaan –
kepercayaan lainnya adalah cerminan dari kepelbagaian agama yang dianut
oleh masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang satu. Sehingga dengan
adanya naungan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kedudukan agama – agama
di Indonesia adalah sama dan sederajat didepan hukum tanpa memandang
mayoritas ataupun minoritas. Dan hal ini bukan berarti karena berdasarkan
Pancasila semua agama itu adalah sama dan sederajat sehingga menyembah
Tuhan yang sama. Yang dimaksudkan dalam Pancasila adalah agama yang
berbeda – beda tapi kita sama –sama mengakui adanya Tuhan Yang Maha
Esa sesuai menurut kepercayaan masing – masing. Intinya dalam Pancasila
tidak memberikan pengertian bahwa setiap agama menyembah Tuhan yang
sama tetapi adanya pengakuan Tuhan yang Maha Esa menurut kepercayaan
dan pengertian masing – masing agama.

Sikap seperti ini menyatakan sesuai dengan semboyan Indonesia atau


Bhinneka Tunggal Ika dimana ketunggalan yang berakar pada kepelbagaian
bukan sebaliknya, sehingga mengakui perbedaan itulah membuat
kebersamaan dapat berlangsung dengan baik. Ajaran Agama adalah ajaran
yang bersifat nisbi dan universal, dalam pelaksanaanya atau penerapannya
harus berfikir secara global tapi bertindak sesuai dengan situasi disekitar
sehingga agama dapat memberikan sumbangan demi mencapai persatuan
dan kesatuan bangsa.

Pada akhirnya, sikap hidup keagamaan yang baik adalah mengakui


perbedaan dalam hidup beragama yang merupakan jalan pemecahan dari
segala kemelut perpecahan dan pertengkaran antara agama sehingga dapat
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa sehingga bangsa Indonesia dapat
hidup bersama secara lebih baik.

B. KH. Ali Yafie

Menurut KH. Ali Yafie, rakyat Indonesia telah memiliki sejarah yang
panjang mengenai pluralisme. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
religius dapat dibuktikan dari sejarah, konstitusi dan realita kehidupan sehari
– hari bangsa ini. Konstitusi Republik Indonesia sekarang ini cukup
mencerminkan peta keagamaan di Indonesia yang sejarahnya sudah
berabad-abad dan semenjak berpuluh-puluh tahun kemerdekaan Indonesia,
peta keagamaan kita semakin beragam warnanya. Indonesia dianggap sudah
cukup berpengalaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini
sehingga Indonesia telah menampilkan suatu pola kehidupan beragama yang
telah dituangkan pada konstitusi hukum Indonesia. Menurutnya, Iman dan
takwa perlu untuk berfungsi dengan baik sehingga jikalau iman dan takwa
berfungsi dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara tentunya tidak aka nada lagi pikiran bahwa apakah agama itu
pembawa petaka atau pembawa rahmat.

II. Hasil Pengembangan Literatur

Pendidikan Berbasis Pluralisme


Oleh: Moh Shofan (dikutip dari Koran Sindo 31 Agustus 2007)

Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural


 Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif
dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
 Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok
dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman


persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan
dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.

Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan


multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang
menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras,
etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap
perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan
kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam
merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak
agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara
demokratis.

Pluralisme, Bukan Sekadar Toleran


M Syafi’I Anwar
Dikutip dari : www.tokohindonesia.com

Wacana pluralisme kini kembali memperoleh relevansinya dengan terjadinya


berbagai peristiwa yang mengganggu hubungan antarpenganut agama-agama di
Indonesia. Namun, pluralisme sering dipahami secara salah dengan menganggap
menyamakan semua pandangan agama-agama yang berbeda.

Itu salah besar. Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus
setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan
menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan
orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi
manusia, kata M Syafi'i Anwar (52), seorang intelektual Muslim yang sejak lama
bergelut dengan pluralisme.

Syafi'i Anwar mengkhawatirkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang


mengharamkan pluralisme bisa ditafsirkan lain di masyarakat bawah. Hal ini pada
gilirannya akan mengganggu hubungan antar penganut agama-agama.

Konsep pluralisme yang tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada
penghormatan (respect) kepada yang lain (the others), diakui Syafi'i misalnya
dikemukakan Klaus-Jurgen Hedrich, salah seorang tokoh Partai CDU (Christian
Democratic Union) Jerman Barat yang juga mantan Wakil Menteri Kerja Sama
Ekonomi dan Pembangunan.

Pendapat Klaus ini saya setujui sepenuhnya. Namun, Islam sendiri sebetulnya juga
mengajarkan pluralisme, ujar pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 27 Desember
1953, itu.
Akan tetapi, kegiatan untuk memperjuangkan pluralisme tersebut bukannya tanpa
hambatan. Ketika memimpin jurnal Ulumul Quran darah saya pernah dihalalkan
oleh sekelompok radikal yang meminta mencabut tulisan Cak Nur (Nurcholish
Madjid), tuturnya kepada Kompas pekan ini.

Warga Muhammadiyah ini sekarang menjadi Direktur Eksekutif International Centre


for Islam and Pluralism (ICIP), lembaga yang mendorong dan mempromosikan
pluralisme, toleransi, hak asasi manusia, dan demokrasi.

Di tengah kesibukannya memimpin ICIP, sejak tahun 1999, Syafi'i An`war


menyelesaikan studi S-3 di Universitas Melbourne, Australia, dan lulus tahun 2005.
Ia menulis disertasi berjudul Negara dan Islam Politik di Indonesia: Sebuah Studi
Politik Negara dan Perilaku Politik Pemimpin Muslim Modernis di Bawah Rezim Orde
Baru Soeharto 1966-1998.

Disertasi itu berfokus pada berbagai perilaku politik para pemimpin Muslim
modernis dalam merespons kebijakan negara di bawah rezim Orde Baru.

Ada dua kelompok Islam yang bisa bertolak belakang satu sama lainnya,
yakni progresif-liberal, dan puritanisme-konservatif. Bagaimana pendapat
Anda?

Munculnya kelompok liberal ini sebagai reaksi dari keberadaan kelompok Islam
garis keras. Kelompok garis keras ini dicirikan dengan sikap yang menafsirkan
segalanya dengan literal tekstual.

Ciri yang paling menyedihkan adalah dipakainya cara kekerasan, baik secara
simbolik maupun fisik. Sikap seperti ini tidak hanya bertentangan dengan hukum
nasional, tetapi juga bertentangan dengan hak asasi manusia. Padahal, dalam
agama Islam sendiri dilarang.

Akar masalahnya apa?

Pertama, muncul dari paradigma berpikir yang dibentuk oleh tafsir yang literal.
Contohnya, dalam kelompok garis keras itu masih percaya orang Yahudi atau
Nasrani itu tidak akan berhenti sebelum kamu masuk agamanya mereka. Nah,
kalau tafsirnya literal tekstual, jelas akan membentuk sikap garis keras apalagi jika
ini kemudian menjadi pola pikir (mindset).

Faktor kedua yang juga mendorong munculnya kelompok ini adalah masyarakat
yang tanpa hukum, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan ketidakpastian politik
sehingga kelompok garis keras melihat hukum yang tak berjalan ini perlu diganti
dengan syariah sebagai alternatif. Ini dilihat mereka sebagai obat mujarab yang
bisa dipakai untuk menyelesaikan semua masalah.

Apakah juga karena faktor paradoks globalisasi?

Ya, secara struktural adanya ketakadilan politik global, terutama di Timur Tengah,
khususnya krisis Israel dan Palestina, serta sikap standar ganda AS.

Globalisasi, dalam satu segi positif. Namun, pada saat yang sama juga
menyebabkan hal yang negatif. Di antaranya, terjadinya alienasi terhadap
masyarakat, yang kemudian menimbulkan resistensi yang tinggi. Terutama karena
kita melihat adanya ketidakadilan global, pendapatan, kontribusi dalam diskursus.

Pada saat yang sama agama tidak muncul sebagai solusi, tetapi menjadi sarana
pelarian dari persoalan. Kelompok garis keras ini ingin segera keluar dari masalah
dan mencari jawaban di agama dan membentuk resistensi diri yang memperkuat
identitas diri yang hanya memperkuat keakuannya dan menghilangkan
keberagaman.

Bagaimana cara menjembatani dua kelompok itu?

Munculnya kelompok-kelompok progresif-liberal, seperti Jaringan Intelektual Muda


Muhammadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL), karena melihat cara-cara garis keras
tidak benar.
Persoalannya, apa yang dilakukan teman-teman di JIL ini memang
mendekonstruksikan semua hal dalam Islam.
Dekonstruksi terhadap syariat, dekonstruksi terhadap teks, pada beberapa aspek
memang menghasilkan hal yang positif karena mengembangkan diskursus, tetapi
pada level di masyarakat bawah menjadi shock.

Kritik saya, sebagai sesama pendukung Islam progresif-liberal, adalah dalam


melakukan dekonstruksi kurang diimbangi oleh metodologi yang kuat. Yang
dilakukan hanyalah dekonstruksi, tetapi tidak diiringi dengan rekonstruksi.
Makanya, saya lebih senang menggunakan istilah pluralisme. Dalam Islam sendiri,
pluralisme diberikan tempat. Ada Syiah, Sunni, dan sebagainya.

Pendidikan pluralisme
Syafi'i Anwar percaya, untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang keragaman
keberagamaan, solusinya adalah pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di
sekolah-sekolah.

Usulan pendidikan pluralisme itu berasal dari sambutannya di Regional Conference


yang diselenggarakan ICIP bekerja sama dengan Uni Eropa pada 25-28 November
2004.
Terlebih lagi ide tersebut sejalan dengan Deklarasi Bali tentang Membangun
Kerukunan Antar-agama dalam Komunitas Internasional dari 174 tokoh Asia-Eropa
yang mengikuti dialog antar-agama 21 Juli 2005. Dalam deklarasi itu diusulkan
antara lain membuat kurikulum di sekolah lanjutan mengenai studi antar-agama,
yang dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman dan saling menghormati
antarpemeluk agama yang berbeda-beda.

Bagaimana menyatukan di dalam semangat pluralisme jika di masing-


masing kelompok itu saling melecehkan?

Menurut saya, solusi yang paling jitu adalah melalui pendidikan pluralisme dan
multikulturalisme. Hanya melalui pendidikanlah orang bisa mengubah mindset-nya.
Saya percaya betul dengan pendidikan pluralisme. Namun, karena psikologi
masyarakat Indonesia, untuk membicarakan level teologi akan lebih baik jika sudah
masuk SMA atau perguruan tinggi. Yang terutama diajarkan adalah sejarah agama-
agama. Saya kira orang yang tahu sejarah agama-agama tidak akan pernah
menjadi radikal.
Itulah yang sedang dikerjakan oleh ICIP, seperti membuat program di televisi
tentang dialog antar-agama. Juga pendidikan jurnalistik pluralisme.

Masa depan pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia seperti apa?

Tidak selayaknya orang Islam mengklaim mayoritas karena sejak awalnya,


masuknya Islam ke Indonesia melalui dakwah kultural, tak melakukan pendekatan
yang mengutamakan syariah. Bahkan, unsur sufisme, tasawuf, sangat besar dalam
mengembangkan Islam di Indonesia karena Islam harus beradaptasi dengan kultur
lokal. Harus beradaptasi dengan kepercayaan- kepercayaan dan kebijaksanaan
lokal (local wisdom) lainnya.

Karena itulah, kalau kemudian Islam menjadi mayoritas, tidak selayaknya mereka
menilai rendah kepada minoritas. Nah, itu yang harus disadari. Karena itulah, di
Indonesia yang menjadi negara dengan mayoritas Muslim tidak selayaknya
menekan minoritas.

Sayangnya, dakwah Wali Songo yang terbukti dalam sejarah berhasil menyebarkan
Islam melalui kultural harusnya menjadi contoh. Bagaimana Sunan Kalijaga
memasukkan unsur Islam dalam cerita pewayangan. Tentu itu harus bisa dijadikan
pengalaman berharga dalam melakukan dakwah.

Bagaimana prospek politik Islam Indonesia ke depan?

Dari Pemilu 1999, ternyata mereka yang menggaungkan partai Islam terpuruk, di
Pemilu 2004 juga menurun. Kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang naik,
tetapi tidak membawa isu Islam secara spesifik.

PKS menggunakan semboyan kampanye bersih dan peduli. PKS bagus


organisasinya, selain pengurusnya banyak menjunjung moral. Tidak menerima
sogokan, mereka menonjol di tengah partai sekuler yang banyak korup.Namun,
harus dicatat, mampukah PKS tidak memperjuangkan syariah? Kalau itu
diperjuangkan, mereka akan kehilangan dukungan lagi. Saya khawatir PKS akan
seperti PAS (Partai Islam Semalaysia) di Malaysia. Saya mengharapkan partai Islam
itu inklusif, pluralis, terbuka. PKS itu punya potensi untuk inklusif, mereka
berpendidikan, bisa diajak dialog, serta punya modal dan keinginan untuk maju.

Fundamentalisme itu dalam istilah adalah ideologi luar pagar. Ketika masuk
pemerintahan, mereka akan akomodatif. Masyarakat Indonesia itu sangat plural.
Kalau memaksakan kehendak, akan menghancurkan dan menimbulkan konflik yang
luar biasa.

BAB III

KRITIK DAN KESIMPULAN


A. Kritik

Setelah melihat berbagai pendapat yang dituturkan oleh para tokoh melalui
makalah, artikel, buku, blog dan media lainnya, banyak hal yang dapat diambil dan
disimpulkan. Namun sebelum mencapai kesimpulan, ada beberapa hal yang perlu
disinggung mengenai penerapan multikulturalisme dan pluralism di Indonesia.
Pendapat dari berbagai tokoh, akademisi, atau pemikir lainnya banyak yang
menyatakan kesetujuannya terhadap konsep dari multikulturalisme dan pluralism
untuk diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia dan terutama
yang berkaitan dengan tema makalah ini yaitu mengenai Pendidikan agama.
Namun masalah yang ada disini adalah apakah multikulturalisme dan pluralism
agama ini telah berhasil dilakukan dan diterapkan di NKRI ini. Karena dari hal – hal
yang nyata terjadi adalah masih banyaknya penolakan terhadap konsep
multikulturalisme dan pluralism ini seperti contohnya Fatwa MUI yang dikeluarkan
mengenai konsep tersebut.
Permasalahan mengenai pemahaman multikulturalisme dan pluralism masih
menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mampu memahaminya. Umat
beragama Indonesia masih banyak mengenal fanatisme terhadap agamanya atau
sikap menyatakan kelompoknya yang paling benar masih merupakan masalah
besar di Indonesia ini. Permasalahan lainnya adalah penafsiran terhadap konsep
multikulturalisme dan pluralism yang masih dijelaskan secara sepihak sehingga
menimbulkan salah tafsir oleh beberapa kelompok agama tertentu. Penerapan
konsep multikulturalisme secara nyata masih belum terjadi secara benar di
Indonesia, masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dari segi informasi dan
pengetahuan mengenai konsep dan penanaman konsep secara tepat kepada setiap
pribadi sehingga bisa mendukung upaya transformasi multikulturalisme dan
pluralism agama di Indonesia ini. Dan Indonesia tidak terjebak dalam konsep
multikulturalisme yang dipahami salah oleh masyarakatnya.
Pertanyaannya sekarang adalah :
1. Sejauh mana penerapan konsep multikulturalisme dan pluralism dalam
pendidikan agama di Indonesia ini secara nyata di Indonesia?
2. Bagaimana peran dari para agamawan, akademisi, pengajar, dan
pemerintah, serta masyarakat untuk mampu memahami secara benar dari
pada multikulturalisme dan pluralisme dan mampu untuk menerapkan
konsep itu secara tepat sehingga dapat berjalan dengan baik sejalan dengan
keadaan masyarakat Indonesia? Terutama di bidang agama.
3. Apa langkah – langkah yang harus diambil oleh Indonesia untuk menghadapi
tantangan globalisasi yang begitu multikulturalis dan pluralis dan
hubungannya dengan pendidikan agama?

Para tokoh sudah menekankan pada titik-titik vital permasalahan daripada konsep
multikulturalisme dan pluralisme pada pendapat mereka dalam tulisan-tulisannya
dan hal ini dapat menjadi ukuran bagi masyarakat untuk bagaimana mengilhami
dan memahami maksud yang telah disampaikan para tokoh tersebut.Yang saya
tekankan adalah pelaksanaannya yang secara nyata konsep tersebut secara tepat
dan baik sehingga akan lebih baik jika direalisasikan secara cepat tanpa ditunda –
tunda namun dengan rencana yang matang pula. Demikian kritik yang ingin saya
sampaikan.
A. Kesimpulan

Indonesia begitu plural dan kaya dengan budaya sehingga dapat menimbulkan
berbagai perbedaan pendapat yang dapat menyebabkan berbagai hal negatif dan
tidak jarang juga harmoni kebersamaan yang indah dan menyenangkan yang
begitu positif. Konsep multikulturalisme dan pluralisme merupakan hal yang
sebenarnya sederhana tapi juga begitu rumit karena menyangkut perbedaan
pendapat setiap manusia. Indonesia sebagai Negara yang penuh dengan
kepelbagaian sebenarnya tanpa disadari sudah menerapkan konsep ini walau pada
kenyataannya masih banyak benturan yang terjadi.

Begitu banyak perbedaan yang ada di Indonesia yang mencakup SARA dan salah
satu hal yang menjadi banyak argument sampai saat ini adalah konsep
multikulturalisme dan pluralism pada pendidikan agama dan dimana keberadaan
konsep tersebut sejalan dengan agama yang ada di Indonesia. Indonesia bukanlah
Negara dengan satu kepercayaan saja namun memiliki penduduk yang menganut
berbeda-beda agama serta kepercayaan. Konsep multikulturalisme dan pluralisme
adalah hal yang melekat pula pada unsur keberadaan agama di Indonesia ini.

Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai pendapat pakar / tokoh agama
ataupun akademisi adalah bahwa Agama di Indonesia dinaungi oleh Pancasila
dimana sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa serta juga mendukung
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang erat kaitannya dengan konsep
Multikulturalisme dan Pluralisme dimana bahwa Indonesia mengakui bahwa Negara
kita sebagai Negara yang beragama memercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan kepercayaan agama masing-masing dimana bukan berarti bahwa
menyama-ratakan bahwa semua agama memiliki Tuhan yang sama. Hal ini berbeda
dengan Sinkretisme dan dimaksudkan disini adalah bahwa kita perlu memahami
agama dengan konsep multikulturalisme dan pluralism adalah dengan saling
menghormati dan memahami perbedaan yang ada.
Jadi dapat dikatakan bahwa pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap
pemeluk agama dituntut bukan saja untuk mengakui keberadaan dan hak agama
lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan dalam kebhinnekaan. Kedua, pluralisme agama bukanlah
sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur
tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan
bagian integral dari agama baru tersebut.
Kesalahan tafsir pada makna konsep tersebut yang menyatakan bahwa konsep
tersebut hendak menyama-ratakan semua dengan satu Tuhan masih disebabkan
adanya fanatisme dan pikiran sempit atau ketidakpahaman dari seseorang. Oleh
karena itu, tepat dikatakan bahwa pemahaman mengenai konsep lebih tepat
diberikan kepada seseorang yang sudah cukup memiliki pendidikan dan
kemampuan untuk paham secara lebih karena tanpa pengetahuan yang cukup
pemaknaan suatu konsep dapat menjadi keliru.

Untuk paham mengenai agama tersebut, kita juga harus mengerti mengenai
sejarah dari setiap agama sehingga kita juga mengerti apa maksud dari ajaran
setiap agama lain sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dan pemberian
stereotype yang sebenarnya dianggap tidak tepat bahkan salah. Agama di
Indonesia berkembang menjadi begitu plural karena sejarah yang begitu panjang
semenjak jaman menganut animisme dan dinamisme di masa lalu hingga sekarang
ini dan tentunya kita tidak lupa bahwa agama di Indonesia juga sudah bercampur
dan menyesuaikan dengan adat dan budaya di Indonesia yang sudah menjadi
khasanah yang indah dan kekayaan berharga bangsa ini yang tidak dimiliki bangsa
lain. Sehingga kita tidak boleh melupakan hal penting tersebut demi tercapainya
pemahaman tepat mengenai konsep ini.

Pluralisme agama itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju.
Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan
menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan
orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi
manusia. Faktor paradoks globalisasi juga mungkin salah satu penyebab daripada
pemaknaan konsep multikulturalisme dan pluralism yang tidak tepat. Globalisasi
memang memiliki sisi positif tapi juga tidak lupa adanya sisi negative yang justru
efeknya mungkin menjadi faktor kesalahpahaman konsep. Oleh karena itu
pendidikan merupakan jalan yang harus ditempuh untuk dapat menyelesaikan
masalah pemahaman konsep ini. Kematangan pemahaman hanya dapat dicapai
dari bertambahnya pengetahuan lewat pendidikan sehingga pendidikan merupakan
sarana penting untuk mengajarkan mengenai makna multikulturalisme dan
pluralisme.

Poin kesimpulan mengenai pentingnya pendidikan multikulturalisme dapat dilihat


seperti yang dituturkan dalam tulisan Bapak Akhmad Sudrajat dalam blognya
bahwa:

Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural


dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
 Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum
yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak
orang.
 Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa
tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
 Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif
dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
 Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip
pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya
dan agama.

Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan


pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak
adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak
adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin.
Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan
budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan
kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak
dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta
memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam
pengambilan keputusan secara demokratis.
Pada akhirnya, sikap mengakui, paham, dan menghormati keberagaman
beragama perlu sekali untuk dicapai atau mengakui unsur dari konsep
multikulturalisme dan pluralisme sangat diperlukan demi mencapai
kedamaian dan keselarasan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara serta dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa apabila
dilaksanakan dengan baik dan tepat. Oleh karena itu, pendidikan memegang
peranan penting dalam hal ini sehingga peran pengajar menjadi semakin
penting dalam menyampaikan pendidikan multikulturalisme dan pluralisme
secara tepat pada anak didiknya sehingga dituntut untuk selalu belajar dan
memahami informasi lebih baik.

Demikianlah beberapa poin kesimpulan penting yang telah disampaikan.


Semoga kesimpulan ini dapat diterima oleh pembacanya. Sekian dan
terimakasih.

You might also like