You are on page 1of 14

MAKALAH

KEBUDAYAAN BIMA

DI SUSUN OLEH

M. AMIRULLAH
KARTINI
ARDIANSYAH
NUR INTAN
SITI ULFAH
FATAHULLAH

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 BIMA


2010
Kata pengantar

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat

serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat Karunia-Nya kami dapat

menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan kebidanan” Dalam penyusunan

makalah ini kami tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak

yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehinggga kami

dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini juga kami berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi kami sendiri maupun kepada pembaca umumnya.

Bima, November 2010

penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kefatalan generasi adalah ketika sejarah ditoreh secara tidak gamblang

dan disadur dengan tidak apa adanya. Lebih ironi lagi ketika sejarah

tersebut diungkap secara tidak transparan dan ditutup-tutupi

keberadaannya. Dana Mbojo memiliki sejarah yang panjang, dikenal sejak

jaman Naka hingga jaman Modern saat ini. Namun banyak catatan naskan

kuno Dana Mbojo yang terbengkalai dimana-mana. Ada yang ditemukan

di Belanda, di Makassar, di Reo serta ada pula yang ditemukan di

Singapura dan Afrika. Dari naskah kuno serta artifak sejarah yang

ditemukan, dilakukanlah perangkaian catatan sejarah Dana Mbojo dari A

sampai Z. namun memang perlu permaklumatan apabila ditengah

rangkaian tersebut terjadi miss antara cerita B ke C dan sebagainya.

Namun sangat tidak pantas dan merupakan kejahatan turun temurun

apabila rangkaian sejarah diendap demi pelanggengan kekuasaan semu.

B. Rumusan Masalah

Sebenarnya kita adalah Dou Bima (orang Bima) bukan Dou Mbojo

(orang Mbojo). Yang berhak menyandang gelar Dou Mbojo adalah

masyarakat Donggo dan Sambori saja. Sebab merekalah aslinya Dou

Mbojo selama ini. Sedangkan Dou Bima adalah blesteran dari berbagai

asal keturunan (jawa, Makassar, Bugis, Gujarat, Cina, dll). Namun karena

Dou Mbojo lah kita “ada”. Dan karena Dana Mbojo lah kita diterima
ditengah masyarakat. Dana Mbojo telah menempa kita juga menjadi Dou

Mbojo. Maka sudah sepantasnya kita berbuat untuk Dana Mbojo. Sudah

sewajarnya kita menghormati Dana Mbojo. Bukan untuk merampoknya,

bukan untuk menodainya, bukan untuk memalukannya dan lebih-lebih

untuk merampasnya. Inilah identitas kita sebagai Dou Bima yang tinggal

di Dana Mbojo.

C. Tujuan

Merangkum segi budaya dari dana mbojo yang semakintersingkirkan dari

daerah bima.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PAKAIAN ADAT BIMA

Tenun Ikat Bima pernah dikenakan oleh Kepala-Kepala Negara pada Pertemuan

APEC di Bali beberapa Tahun Lalu. Termasuk dikenakan oleh Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono pada saat menyampaikan Visi Misinya sebagai Calon

Presiden di hadapan Anggota KADIN pada Pemilu Pilpres Tahun 2009. Hal ini

tentunya menjadi sebuah kebanggan bahwa daerah kecil di ujung timur NTB ini

memiliki segudang potensi alam dan budaya yang perlu dikembangkan.

Secara umum busana atau pakaian adat Bima hampir sama dengan Sulawesi

Selatan. Hal itu diperkuat dengan ikatan sejarah bahwa Bima dengan Makasar,

Gowa, Bone dan Tallo itu memiliki hubungan dan ikatan kekeluargaan serta

kekerabatan. Proses pembauran dan asimilasi budaya itu telah berlangsung lama

dan mempengaruhi juga cara berbusana dan motif busana yang dikenakan.

Meskipun ada beberapa perbedaan antara busana adat Bima dengan Sulawesi

Selatan.

Warna yang menonjol dalam pakaian adat Bima antara lain hitam, biru tua, coklat,

merah dan kemerah-merahan serta putih. Untuk pakaian wanita memakai kain

sarung kotak-kotak yang dikenal dengan sebutan Tembe Lombo. Disamping

pakaian sehari-hari pakaian adat juga diatur oleh pihak Kesultanan. Yang diatur

oleh Majelis Adat yang disebut KANI SARA. Prosedur dan Tata Cara

pemakaiannya pun telah diatur dalam ketetapan Hadat.

Menurut Muslimin Hamzah ada empat golongan pakaian adat sehari-hari


masyarakat Bima. Pertama, pakaian yang digunakan secara umum sebagai

pakaian harian atau pakaian untuk acara resmi. Kedua, pakaian Dinas Para Pejabat

Kesultanan. Ketiga, Pakaian Pengantin, baik yang dipakai oleh golongan

bangsawan, golongan menengah, maupun golongan masyarakat umum termasuk

pakaian untuk khitanan. Keempat, Pakaian Penari.

Dalam kehidupan sehari-hari orang Bima mempunyai pakaian sendiri. Khusus

untuk wanita meliputi Baju Poro. Baju ini terbuat dari kain yang agak tipis tetapi

tidak tembus pandang. Umumnya berwarna biru tua, hitam, coklat tua dan ungu.

Bagi gadis-gadis Bima biasanya memakai warna ungu atau coklat tua. Para wanita

pun memakai aneka perhiasan seperti gelang, anting dan lain-lain. Namun

terlarang untuk memakai secara berlebihan.

Kaum Pria mempunyai pakaian sehari-hari yang khas. Yang lazim adalah

Sambolo atau Ikat Kepala. Umumnya bercorak kotak-kotak dan dihiasi tenunan

benang perak/emas. Terkadang lelaki memakai baju kemeja atau baju lengan

pendek atau jas tutup dengan warna putih atau hitam atau warna cerah lainnya.

Untuk sarung biasanya memakai sarung pelekat yang dikenal dengan nama

Tembe Kota Bali Mpida yang bercorak Kotak-kotak atau memaki Tembe Nggoli

yang pemakaiannya agak panjang atau terjurai pada bagian depannya.

Untuk hiasan kaum pria memakai Salampe, sejenis dodot yang dililitkan

dipinggang. Biasanya salampe berwarna dasar kuning, merah, hijau dan putih.

Bagi orang dewasa biasanya menyelipkan pisau pada lilitan Salampe. Letaknya

agak ke kiri pusar, sedangkan hulunya agak terjurai ke kanan. Pakaian dan busana

adat Bima sangat banyak. Ini adalah kekayaan dan kearifan masa silam yang
seharusnya dipertahankan dari terpaan arus globalisasi saat ini. Hanya beberapa

saja yang masih dapat dilihat dan diperagakan hingga saat ini. Perlu ada upaya

serius untuk melestarikan dengan berbagai kebijakan Pemerintah Daerah agar

pakaian adapt ini tidak punah ditelan arus zaman. Perlu ad aide kreatif untuk

mempertahankannya misalanya dengan menggelar Show Busana Adat Bima atau

menetapkan dalam Peraturan Daerah tentang pelestarian Pakaian Adat Bima.

B. SASTRA DAERAH

Amaniae ..........Lampa di tolo ma sadundu tolu Ancamu siwi di mada doho siwe

Auku edamu dawa,u kaimu wari ade Warasi ne,e aina ntanda ni,i. Amancawae.

Ade weki upa dou, katioku sabua di weha sabae Makani kabaya kala, mantika ndi

kili Sarome ome, labo woi di’ imi Sarome maci, ntika di meci Amaniae. Maco ndi

hanta, dinca di anca Ngarimu tolo magaga talan Hantapu sarau loaku eda sara,a

Aina ncara rumpa, mada doho malampa rimpu Amancawae. Tiwa,u mu ili di sia

malampa ulu Katiosi gegana, wancuku ipi gagana Konemu rimpu ili karinga

weaku eli Elimu ma alu na midi kone ala Amaniae. Angi ma kasiso, aina ipi ka

susu Tio walipu wunga lampa wela Aina ipi patu, mai kai ba ncara pata Kombi

laina mode wara kai midi Amancawae. Samada ra eda wara kai midi Tiloa ndi

co,o ndai ma sama ca,u Kone mu ciri waraku cara Su,u na fare, wa,u ra bune ana

fari Amaniae. Tiwa,u ndi ili sia malampa ulu, Kabaya kala wa,u ra karu kila, Ka

ngena ku ita ndi malao oto Loaku nuntu ntiri waraku di nenti Amancawae. Do,o

na doro ade pidu dore Dei na sori kalampa sora Tewe ku ati, nggomi ndi lao oto

Kone tapa ba rui, di malao londo rai Amaniae. Warasi wi,i aina nefa di wa,a Ta

kacampo tedi waraku nggahi matada, Tanda ne’e ndai ma kacampo nu’u warasi
umu sa,e tu, upu uma Amancawae. Sampuru dua ri,i wa,u ra wara sara,a Ade nika

ra neku, wa,u ra wara ma niki Tiru wara ndi uri, wa,u ra mpoi ndi uru Nbotora

dou ma ngena ndai ma doho dua

C. TARIAN DAERAH BIMA

Pada zaman dulu, Istana Bima atau Asi Mbojo tidak hanya berfungsi sebagai

pusat Pemerintahan. Asi juga merupakan pusat pengembangan seni dan budaya

tradisional. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Sultan Bima

yang kedua) yang memerintah antara tahun 1640-1682 M, Seni budaya tradisional

berkembang cukup pesat. Salah satu seni tari yang tetap eksis hingga saat ini

adalah Tari Lenggo.

Tari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo Melayu Dan Lenggo Mbojo. Lenggo

Melayu diciptakan oleh salah seorang mubalig dari Pagaruyung Sumatera Barat

yang bernama Datuk Raja Lelo pada tahun 1070 H. Tarian ini memang khusus

diciptakan untuk upacara Adat Hanta UA Pua dan dipertunjukkan pertama kali di

Oi Ule (Pantai Ule Sekarang) dalam rangka memperingati Maulid Nabi

Muhammad SAW. Lenggo Melayu juga dalam bahasa Bima disebut Lenggo

Mone karena dibawakan oleh 4 orang remaja pria.

Terinspirasi dari gerakan Lenggo Melayu, setahun kemudian tepatnya pada tahun

1071 H, Sultan Abdul Khair Sirajuddin menciptakan Lenggo Mbojo yang

diperankan oleh 4 orang penari perempuan. Lenggo Mbojo juga disebut Lenggo

Siwe. Nah, jadilah perpaduan Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo yang pada

perkembangan selanjutnya dikenal dengan Lenggo UA PUA. Tari Lenggo selalu

dipertunjukkan pada saat Upacara Adat Hanta UA PUA terutama pada saat
rombongan penghulu Melayu memasuki pelataran Istana. Dua pasang Lenggo ini

turut mendampingi Penghulu Melayu selama perjalanan dari Kampung Melayu

menuju Istana Bima di atas Uma Lige (Rumah Mahligai) yang diusung oleh 44

orang Pemuda kekar yang melambangkan 44 struktur Hadat kesultanan Bima.

Tarian ini diiringi oleh alunan alat musik tradisional Bima seperti dua buah

gendang besar(Genda Na’e), Gong, Silu(Sejenis Serunai), serta Tawa-tawa. Irama

Tari lenggo berima lembut mengikuti alunan musik yang lembut pula.

Gerakannya pelan dan gemulai. Tari Lenggo adalah warisan masa lalu, titipan

keluguan zaman untuk generasinya. Ia akan terus menari mengiringi pergulatan

zaman di Dana Mbojo tercinta.

Hadrah: merupakan tari tradisional Bima yang berisi puji-pujian kepada Allah

SWT. Hadrah yang dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa masuk ke

Bima sekitar abad XIV sejak masuknya Islam ke daerah itu.

* Kanja: Tari tradisional Bima yang diciptakan Sultan Abdul Kahir Sirajuddin

tahun 1673 setelah mendapatkan inspirasi sejarah masuknya Islam ke Bima.

Kanja berarti tantang, karena dalam tarian ini ada gambaran pertarungan dua

orang panglima yang tangguh.

* Karaenta: Tari tradisional Bima diawali dengan sebuah lagu berbahasa

Makassar yang bernama Karaengta. Penarinya anak kecil berusia sekitar 10 tahun,

tidak memakai baju, kecuali hiasan yang dalam bahasa Bima disebut Kawari atau

dokoh. Tari hiburan ini merupakan dasar untuk mempelajari tarian kerajaan Bima

yang lain.
* Katumbu: Tari tradisional Bima yang berarti berdegup ini menggambarkan

keluwesan dan keterampilan remaja putri. Tarian ini diperkirakan sudah ada sejak

abad XV dan ditarikan keluarga istana.

* Toja: Tari tradisional Bima yang diangkat dari legenda Indra Zamrud.

Penciptanya Sulta Abdul Kahir Sirajuddin tahun 1651. Tari ini menggambarkan

lemah-gemulainya penari yang turun dari khayangan. * Lenggo: Tari tradisional

Bima yang berarti melenggok, yang telah diadatkan dalam upacara Sirih Puan

setiap perayaan Maulid. Tari ini menceritakan bagaimana guru agama Islam

mengadakan penghormatan kepada muridnya, yaitu Sultan sebagai pernyataan

saling menghormati.

* Lengsara: Tari tradisional Bima yang dahulu dipertunjukkan dalam sidang

eksekutif dan upacara Ndiha Molu (Maulid Nabi). Tari ini terakhir dipertunjukkan

pada tahun 1963 dalam perkawinan keluarga raja, dan sekarang telah dihidupkan

kembali.

* Mpa'a: Tari rakyat Bima yang berisi gerak-gerak silat.

* Sere: Tari tradisional Bima yang berarti mengajak berperang yang semula

ditarikan perwira perang bergelar Anangguru Sere. Tari ini dipertunjukkan di

arena yang cukup luas di hadapan tamu yang berkunjung ke Bima.

D. RUMAH ADAT

Ncuhi adalah rumah adat yang digunakan sebagai sarana upacara adat dan

berkumpulnya tetua kampung dan masyarakat adat. Uma ncuhi ini adalah

merupakan salah satu kebanggaan bagi masyarakat mbawa. Konon, kabarnya nih

para leluhur yang sudah meninggal puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu
tetap tinggal di rumah ncuhi tersebut dan dapat mengabulkan permohonan

misalnya saja warga yang ingin meminta mendapatkan anak atau meminta

kekuatan/mantra bisa di dapat di rumah ncuhi tersebut tapi dengan catatan harus

melalui ketua adat

Di dalam ncuhi terdapat dua bilik, Bilik pertama merupakan tempat tidur

sekaligus tempat memasak (dapur). Pada bagian dapur terdapat tungku yang

terbuat dari batu bulat yang ditempatkan berbentuk segi tiga. Pada bagian atas

tungku terdapat taja. Taja merupakan tempat yang digunakan untuk menyimpan

bahan bakar dan atau untuk mengeringkan ikan. Sedangkan bilik ke dua

digunakan untuk menyimpan barang-barang keperluan seperti padi dan

sebagainya dan sekaligus tempat pemujaan terhadap leluhur

E. HUBUNGAN DARAH BIMA-BUGIS-MAKASSAR

Hubungan keakrabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kurun waktu 1625

– 1819 (194 tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan kekeluargaan antara

dua kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan

Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini

merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri

Mahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke-

VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota

Kesultanan Gowa.

ada beberapa catatan yang kami temukan, bahwa pernikahan Salah satu

Keturunan Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) masih terjadi dengan keturunan

Sultan Gowa. Sebab pada tahun 1900 (pada kepemimpinan Sultan Ibrahim),
terjadi acara melamar oleh Kesultanan Bima ke Kesultanan Gowa. Mahar pada

lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai. Sebab Manggarai dikuasai oleh

kesultanan Bima sejak abad 17.

F. AGAMA/KEPERCAYAAN

Kepercayaan asli orang Bima disebut pare no bongi, yaitu kepercayaan terhadap

roh nenek moyang. Walaupun sebagian besar masyarakat Bima memeluk agama

Islam, suku Bima masih mempercayai dunia roh-roh yang menakutkan. Dunia roh

yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang

sangat besar sebagai penguasa, Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake

dan roh Jim yang tinggal di pohon, gunung yang sangat besar dan berkuasa untuk

mendatangkan penyakit, bencana, dll. Mereka juga percaya adanya sebatang

pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung

Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi. Sedangkan suku Bima bagian

timur menganut agama Kristen.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dana Mbojo memiliki sejarah yang panjang, dikenal sejak jaman

Naka hingga jaman Modern saat ini. Namun banyak catatan naskan kuno

Dana Mbojo yang terbengkalai dimana-mana. Ada yang ditemukan di

Belanda, di Makassar, di Reo serta ada pula yang ditemukan di Singapura

dan Afrika. Dari naskah kuno serta artifak sejarah yang ditemukan,

dilakukanlah perangkaian catatan sejarah Dana Mbojo dari A sampai Z.

Melestarikan budaya merupakan sebuah usaha yang tidak mudah,

ada saja macam yang menghalangi baik tiu dari sisi masyarakat atau dari

yang lainnya, namun yang terpenting adalah bagaimana kita bisa

melestarikan budaya kita di depan khlayak umum agar dunia tahu bahwa

Bima punya yang unik.

B. saran

saran dan kritik untuk memperbaiki makalah selanjutnya sangat kami

harapkan.
Daftar Pustaka

http://www.bimakab.go.id/

http://id.wikipedia.org/wiki/Bima

http://alanmalingi.wordpress.com/2010/04/11/tari-lenggo-titipan-keluguan-

zaman-untuk-generasinya/

http://www.sabda.org/misi/profilo_isi.php?id=14

http://karilla.student.umm.ac.id/2010/09/24/ncuhi-rumah-adat-bima/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bima

http://www.lintasmbojo.com/dou-mbojo-atau-dou-bima-kah-kita/comment-page-

1/#comment-198

You might also like