You are on page 1of 5

Empat sifat gereja adalah SATU, KUDUS, KATOLIK, dan APOSTOLIK.

Keempat sifat ini,


yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lain, melukiskan ciri-ciri hakikat Gereja dan
perutusannya. Gereja tidak memilikinya dari dirinya sendiri. Melalui Roh Kudus, Kristus
menjadikan Gereja-Nya itu satu, kudus, katolik dan apostolik. Ia memanggilnya supaya
melaksanakan setiap sifat itu.

GEREJA YANG SATU.

Katekismus Gereja Katolik menjelaskan bahwa Gereja itu satu, karena tiga
alasan. Pertama, Gereja itu satu menurut asalnya, yang adalah Tritunggal
Mahakudus, kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi - Bapa, Putra dan Roh
Kudus. Kedua, Gereja itu satu menurut pendiri-Nya, Yesus Kristus, yang telah
mendamaikan semua orang dengan Allah melalui darah-Nya di salib. Ketiga,
Gereja itu satu menurut jiwanya, yakni Roh Kudus, yang tinggal di hati umat
beriman, yang menciptakan persekutuan umat beriman, dan yang memenuhi
serta membimbing seluruh Gereja.

Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman yang mungkin dirumuskan
dan diungkapkan secara berbeda-beda. Kesatuan juga dalam satu Injil, satu babtisan, dan satu
jabatan yang dikaruniakan kepada Petrus dan kedua belas rasul. Kesatuan yang hakiki dan
konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model “tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan babtis
dan diaktualisasikan dengan Prayaan Pemecahan Roti.

Sebagai orang-orang Katolik, kita dipersatukan dalam pengakuan iman yang


satu dan sama, dalam perayaan ibadat bersama terutama sakramen-sakramen,
dan struktur hierarkis berdasarkan suksesi apostolik yang dilestarikan dan
diwariskan melalui Sakramen Tahbisan Suci. Sebagai comtoh, entah kita ikut
ambil bagian dalam Misa di Surabaya, Alexandria, San Francisco, Moscow,
Mexico City, atau di manapun, dalam misa sbacaan-bacaan, tata perayaan,
doa-doa, dan lain sebagainya adalah sama kecuali bahasa yang dipergunakan
dapat berbeda, kemudian dirayakan oleh orang-orang percaya yang sama-
sama beriman Katolik, dan dipersembahkan oleh Imam yang dipersatukan
dengan Uskupnya, yang dipersatukan dengan Bapa Suci, Paus, penerus St
Petrus. Roh Kudus yang mempersatukan para anggota jemaat satu sama lain, dan juga
dengan kepala jemaat yang kelihatan, yakni uskup dengan pusatnya di Roma. Kristus akan
tetap mempersatukan Gereja, tetapi disadari pula bahwa perwujudan konkret harus
diperjuangkan dan dikembangkan serta disempurnakan terus menerus. Oleh karena itu
kesatuan iman mendorong semua orang Kristen supaya mencari “persekutuan” dengan semua
saudara seiman.

Singkat kata, Gereja yang satu itu terungkap dalam:

 Kesatuan iman para anggotanya: kesatuan iman ini bukan kesatuan yang statis, tetapi
kesatuan yang dinamis. Iman adala prinsip kesatuan batiniah Gereja.
 Kesatuan dalam pimpinannya (hierarkis): hierarki mempunyai tugas untuk
mempersatukan umat. Hierarki sering dilihat sebagai prinsip kesatuan lahiriah dari
Gereja.
 Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan sacramental: kebaktian dan sakramen-
sakramen merupakan ekspresi simbolis kesatuan Gereja itu
Cara memperjuangkan kesatuan Gereja

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja
adalah kesatuan Allah yang Tunggal dalam tiga pribadi Bapa, Putra dan Roh Kudus”.

Kesatuan Gereja pertama-tama harus diwujudkan dalam persekutuan konkret antara umat
beriman yang hidup bersama dalam satu Negara atau daerah yang sama. Tuntutan zaman dan
tantangan masyarakat merupakan dorongan kuat untuk menggalang kesatuan iman dalam
menghadapi tugas bersama. Kesatuan Gereja terarah kepada kesatuan yang jauh melampaui
batas-batas Gereja dan terarah kepada semua orang yang “berseru kepada Tuhan dengan hati
yang murni”.
Semangat kesatuan harus dipupuk dan diperjuangkan oleh setiap umat Kristen sendiri. Usaha
yang dapat digalakkan untuk memperkuat persatuan “ke dalam” misalnya:

 aktif dalam kehidupan Gereja,


 setia dan taat pada persekutuan umat termasuk hierarki, dsb.

Sedangkan untuk menggalakkan persatuan “antar-Gereja” misalnya

 lebih bersifat jujur dan terbuka satu sama lain, lebih melihatkan kesamaan daripada
perbedaan,
 mengadakan berbagai kegiatan sosial maupun peribadatan bersama, dsb.

GEREJA YANG KUDUS

Kristus menguduskan Gereja, dan pada gilirannya, melalui Dia dan bersama
Dia, Gereja adalah agen pengudusan-Nya. Melalui pelayanan Gereja dan kuasa
Roh Kudus, Tuhan kita mencurahkan berlimpah rahmat, teristimewa melalui
sakramen-sakramen. Oleh karena itu, melalui ajarannya, doa dan sembah
sujud, serta perbuatan-perbuatan baik, Gereja adalah tanda kekudusan yang
kelihatan.

Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja adalah sarana keselamatan dan rahmat
Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus, yang akan menang pada akhir
jaman.
Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang
kudus jadi menyangkut kekudusan subyeknya”.

Lalu sifat “kudus” juga berarti bahwa Gereja yang dinodai oleh dosa itu tak akan sebegitu
dirusak oleh dosa sampai Roh Kudus sama sekali meninggalkan Gereja atau tak kelihatan lagi
(Mat 16:18). Sebab, Gereja dijamin Tuhan untuk tak sampai kehilangan rahmatNya kendati
berdosa. Dan Roh Kudus itu sendirilah yang akan menjadi jiwa Gereja, sehingga kekudusan
tidak tergantung pada anggota Gereja melainkan pada Roh Kudus yang menjadi sumber
kekudusan Gereja. Itulah mengapa St. Paulus berkata “atau tidak tahukah kamu bahwa
tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh
dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Kor 6:19).

Gereja itu kudus karena sumber dari mana ia berasal, karena tujuan ke mana ia diarahkan, dan
karena unsure-unsur Ilahi yang otentik di dalamnya adalah kudus.
 Sumber dari mana gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus. Gereja
menerima kekudusannya dari Kristus atas doa-doaNya (lih Yoh 17:11).
 Tujuan dan arah Gereja dalah kudus. Gereja bertujuan untuk kemuliaan Allah dan
penyelamatan umat manusia
 Jiwa Gereja adalah kudus, sebab jiwa gereja adalah Roh Kudus sendiri
 Unsur-unsur Ilahi yang otentik di dalam Gereja adalah kudus, seperti ajaran-ajaran dan
sakramen-sakramen
 Anggotanya adalah kudus, karena ditandai oleh Kristus melalui pembabtisan dan
diserhakan kepada Kristus serta dipersatukan dalam iman, harapan, dan cinta yang
kudus. Semua itu tidak berarti bahwa anggotanya selalu kudus (suci), namun ada juga
yang mencapai kekudusan heroik. Semua dipanggil untuk kekudusan.

Cara Memperjuangkan Kekudusan Gereja

Kekudusan Gereja dijelaskan dalam Konstitusi Lumen Gentium. Dikatakan bahwa “Kita
mengimani bahwa Gereja tidak akan kehilangan kesuciannya, sebab, Kristus Putra Allah,
yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa hanya Dialah kudus, mengasihi
Gereja sebagai MempelaiNya” (LG 9). Gereja itu kudus karena kristus, Kepala gereja,
membuatnya (anggotanya yang tetap berdosa) kudus.

Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua,
melainkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus,
yang mengikut sertakan Gereja dalam GerakanNya kepada Bapa oleh Roh Kudus. Pada taraf
misteri Ilahi, Gereja sudah suci: “Di dunia ini, Gereja sudah ditandai oleh kesucian yang
sesungguhnya, meskipun belum sempurna” (LG 48). Ketidaksempurnaan ini menyangkut
pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya

Dalam hal kekudusan yang pokok bukan bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya.
Kudus diartikan sebagai “yang dikuduskan Tuhan”. Jadi, pertama-tama “kudus” itu
menyangkut seluruh bidang sacral dan keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu,
barang yang dikuduskan Tuhan atau orang, tetapi yang kudus itu Tuhan sendiri. Semua yang
lain, barang maupun orang yang disebut “kudus” karena termasuk lingkup kehidupan Tuhan

Kekudusan tidak datang dari Gereja, tetapi dari Allah yang mempersatukan Gereja dengan
Kristus dalam Roh Kudus. Gereja disebut kudus karena Kristus sebagai kepala menguduskan
anggotaNya. Jadi, kekudusan Gereja tidak terutama diartikan secara moral, tetapi secara
teologial, meyangkut keberadaan dalam lingkup hidup Allah. Anggota Gereja adalah “orang
kudus” yang dipanggil untuk hidup secara kudus di tengah-tengah dunia yang tidak
mengindahkan Yang Mahakudus. Gereja adalah milik Allah (1Ptr 2:9) dan karenanya
kehendak Ilahi harus ditaati di dalam Gereja dan oleh anggotanya.

Usaha yang dapat diperjuangkan menyangkut kekudusan anggota-anggota Gereja, misalnya:

 saling memberi kesaksian untuk hidup sebagai putra-putri Allah


 memperkenalkan anggota-anggota Gereja yang sudah hidup secara heroic untuk
mencapai kekudusan
 merenungkan dan mendalami Kitab Suci, khususnya ajaran dan hidup Yesus, yang
merupakan pedoman dan arah hidup kita, dsb

GEREJA YANG KATOLIK


Gereja bersifat Katolik dalam arti bahwa Kristus secara universal hadir dalam
Gereja dan bahwa Ia telah mengutus Gereja untuk mewartakan Injil ke seluruh
dunia, seperti dikutip dalam Kitab Suci “Karena itu pergilah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku” (Matius 28:19).

Memang benar, Gereja tersebar ke mana-mana, namun tidak benar bahwa tidak ada tempat
yang tidak ada Gereja. Dalam bahasa Yunani “katolik” berarti menyeluruh atau umum.
Gagasan pokok bukanlah bahwa Gereja telah tersebar ke seuruh dunia, melainkan bahwa
dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja seluruhnya.

Gereja selalu lengkap atau penuh, artinya tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian.
Gereja setempat (paroki, stasi) bukanlah “cabang”. Gereja universal. Setiap Gereja setempat,
bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang sah, merupakan seluruh Gereja.
Selanjutnya, kata “katolik” dipakai untuk menyebut Gereja yang benar. Kata’katolik’ tidak
hanya mempunyai arti geografis (tersebar ke seluruh dunia), tetapi juga “menyeluruh”, dalam
arti “lengkap” berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada siapa
saja.

Gereja bersifat katolik karena terbuka bagi dunia, tidak sebatas pada tempat tertentu, bangsa
dan kebudayaan tertentu, waktu dan golongan masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja
tampak dalam:

 rahmat dan keselamatan yang ditawarkan,


 iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum (dapat diterima dan dihayati siapapun)

Cara Mewujudkan kekatolikan Gereja

Gereja bersifat universal, umum dan terbuka. Oleh sebab itu perlu diusahakan antara lain
Sikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat istiadat bahkan agama bangsa manapun.
Bekerja sama dengan pihak mana saja yang berkehendak baik dalam mewujudkan nilai-nilai
yang luhur di dunia ini.
Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang baik untuk umat
manusia. Setiap orang kristiani diharapkan memiliki jiwa yang besar dan keterlibatan penuh
dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat member kesaksian bahwa “katolik” artinya
terbuka untuk apa saja yang baik dan siapa saja yang berkehendak baik.

GEREJA YANG APOSTOLIK

Gereja yang apostolik berarti bahwa Gereja yang berasal dari para rasul, dan tetao berpegang
teguh pada kesaksian iman mereka. Gereja apostolik artinya warisan iman seperti
yang kita dapati dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci dilestarikan, diajarkan dan
diwariskan oleh para rasul. Di bawah bimbingan Roh Kudus, Roh kebenaran,
Magisterium (= otoritas mengajar Gereja yang dipercayakan kepada para rasul
dan penerus mereka) berkewajiban untuk melestarikan, mengajarkan, membela
dan mewariskan warisan iman. Di samping itu, Roh Kudus melindungi Gereja
dari kesalahan dalam otoritas mengajarnya. Meski seturut berjalannya waktu,
Magisterium harus menghadapi masalah-masalah terkini, seperti perang nuklir,
eutanasia, pembuahan in vitro, prinsip-prinsip kebenaran yang sama
diberlakukan di bawah bimbingan Roh Kudus. Yang disebut apostolik bukanlah para
uskup, melainkan Gereja yang menyangkut seluruh Gereja dalam segala bidang dan
pelayanannya.

Gereja bersifat apostolik berarti Gereja mengakui diri sama dengan Gereja Perdana, yakni
Gereja para rasul. Sifat apostolik juga tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulang apa
yang sejak dahulu diajarkan dan dilakukan Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam
perkembangan hidup, tergerak oleh Roh Kudus, dan Gereja senatiasa berpegang pada Gereja
para rasul sebagai norma imannya. Gereja selalu membaharui dan menyegarkan dirinya. Sifat
apostolik harus mencegah Gereja dari rutinisme yang bersifat ikut-ikutan. Dalam hal ini,
seluruh Gereja tidak hanya bertanggung jawab atas ajaran Gereja, tetapi juga dalam
pelayanannya.

Singkatnya, Gereja disebut apostolic karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang
diutus Kristus. Hubungan itu tampak dalam:

 Legimitasi fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul. Fungsi dan kuasa hierarki dari
para rasul.
 Ajaran-ajaran Gereja diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul
 Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya berasal dari para rasul.

Mewujudkan keapostolikan Gereja

Keapostolikan Gereja tidak berarti Gereja sekarang hanya merupakan copyan dari Gereja para
rasul. Gereja sekrang hanya terarah kepada gereja para rasul sebagai dasar dan permulaan
imannya. Karena pewartaan para rasul dan penghayatan iman mereka terungkap dalam Kitab
Suci, maka sifat keapostolikan gereja akan tampak terutama dalam kesetiaan kepada Injil.

Jadi usaha untuk keapostolikan Gereja, antara lain:

 Setia dan mempelajari Injil, sebab Injil merupakan iman Gereja para rasul.
 Menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret dengan iman Gereja para rasul
 Setia dan loyal kepada hiararki sebagai pengganti para rasul

Sumber : www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald

Sumber : http://www.widiagung.co.cc/2009/03/sifat-sifat-gereja.html

You might also like