You are on page 1of 75

MENIMBANG HUKUM

PORNOGRAFI, PORNOAKSI DAN


ABORSI DALAM PERSPEKTIF
ISLAM

OLEH
PROF.DR. HJ. ISTIBSJAROH, SH, MAg
DAFTAR ISI

MENIMBANG HUKUM PORNOGRAFI, PORNOAKSI DAN ABORSI


PERSPEKTIF ISLAM

Kata Pengantar
Paradigma Pornografi, Pornoaksi dan Aborsi di Indonesia
Prof. Dr. H. Ridlwan Natsir, Mag

I
PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
Bagian Pertama
Ruang Lingkup Pornografi dan Pornoaksi
A. Hakekat Pornografi dan Ponoaksi
B. Sejarah Pornografi dan Pornoaksi
C. Kreteria dan Batasan Pornografi
D. Media dan Akses Pornografi dan Pornoaksi

Bagian Ke-Dua
Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Hukum Islam
A. Teks al-Qur’an
B. Tinjauan dari Berbagai Tafsir al-Qur'an
1. Tafsir al-Munir
2. Tafsir al-Thabary
3. Tafsir al-Maraghi
4. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir
5. Tafsir al-Alusi Surat al-Nur
C. Tinjauan As-Sunnah dan Kaidah Ishul Fiqh.

Bagian Ke-Tiga
Pornografi dan Pornoaksi dalam Kehidupan Sosial Masyarakat
A. Pornografi dan Pornoaksi dalam Masyarakat Global
B. Pornografi dan pornoaksi dalam Masyarakat Lokal
C. Kontraversi Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi Dalam Sosial Kemasyarakatan

Lampiran
Fatwa MUI Tentang Pornografi dan Pornoaksi

II
ABORSI
Bagian Pertama
Fenomena Aborsi

Bagian Ke-Dua
Desain Aborsi
A. Definisi dan Hakekat Aborsi
B. Macam-Macam Aborsi
C. Faktisitas Aborsi di Indonesia
Bagian Ke-Tiga
Aborsi Dalam Hukum Islam
A. Hukum Aborsi Dalam Islam
B. Akibat Hukum Aborsi
C. Aborsi dalam Spektrum Hukum Positif dan Hukum Islam

Bagian Ke-empat
Telaah Hukum Aborsi

Daftar Pustaka
Biografi Penulis
PENGANTAR

PARADIGMA PORNOGRAFI, PORNOAKSI DAN ABORSI

DI INDONESIA

Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA

"Persoalan media dan pornografi, pornoaksi adalah persoalan yang sangat delematis,
terutama delima antara kebebasan dan moralitas, pertumbuhan dan tradisi, kreatifitas dan
norma. Sementara dimasa depan, peran negara tidak lagi diharapkan dalam mengatur dan
mengendalikan sebagai aspek-aspek kehidupan sosial, termasuk media [internet, telivisi
global, ataupun pengintaian satelit]". [Yastraf Amir Peiling]

Menjamurnya pose seronok, aksi sensual, dan film-film porno di berbagai media
[cetak atau elektronik], seakan menyentak kesadaran kita bahwa kebebasan pers yang telah
digulirkan oleh pemerintah, telah membawa dampak kebebasan yang lain yakni prilaku yang
sangat mengabaikan budaya malu, norma agama, dan nilai moral bangsa. Munculnya era
reformasi, ternyata sebahagian besar tidak ditanggapi dengan positif oleh banyak media, tapi
justru ditanggapi dengan kebebasan tanpa batas. Realitas tersebut berakses pada kebebasan
dalam etika dan norma. Media lebih mengedepankan "profit orientied", sebagai dampaknya
banyak literatur, film, gambar atau pose yang "panas dalam adegan" tetapi "tidak panas
dalam ide, tema dan kritik". Boleh jadi ini yang merupakan salah satu bentuk penyesatan
umat dan sekaligus dapat dibilang masuk dalam kategori "kekerasan informasi".
Pada tataran tersebut kondisi Indonesia sudah dalam keadaan memprihatinkan dan
dalam taraf membahayakan, khususnya pada anak-anak dan generasi mudanya. Sebagai bahan
acuan hasil survay Ely Risman [Psikolog] menunjukkan sekitar 98 persen anak-anak
Indonesia terbiasa mengakses media-media yang menampilkan pornografi [Republika 8
Maret 2006]. Fakta ini juga diperkuat oleh "Jejak Kaki Internet Protection" yang mencatat 97
persen anak usia 9-14 tahun ternyata pernah mengakses situs porno [Republika 8 Maret
2006].
Sekedar pengingat, mungkin memori di otak kita belum hilang dengan kasus-kasus pose
seronoknya artis-artis kita mulai Shopia Latcuba, Nafa Urbah, Dewi Rezer, Sarah Azhari,
Anjasmara, dan sederet artis lainnya yang diabadikan oleh majalah RHA yang konon juga
telah beredar di manca negara [prestasi atau bencana!]. Dan kalau ditanya pasti alasan yang
disampaikan dan digulirkan oleh mereka tetap sama sebagai sebuah "prodak seni" yang harus
dinikmati dan disyukuri. Dan mungkin akan ditambah semarak lagi dengan munculnya
majalah "Play Boy" di negeri ini yang akan menambah daftar panjang parade pornografi dan
pornoaksi.
Itulah sisi lain wajah moral yang sama-sama dapat kita saksikan setiap saat di negeri kita
tercinta ini, yang konon merupakan negeri yang sangat agamis dan selalu menjunjung tinggi
norma, etika, unggah-ungguh [sopan santun] dan seterusnya. Ironis memang, ketika sebagian
masyarakat Muslim menentang dan mengutuk polah aksi pornografi, pornoaksi dan hal
sejenisnya adalah "haram", justru mendapat kecaman yang luarbiasa dari masyarakat lainnya
yang mendukung polah tersebut sebagai produk seni tinggi [upaya membelenggu kreatifitas].
Tidak main-main kasus-kasus tersebut sempat juga sampai kemeja para anggota MPR RI
sebagai materi rapat dan acuan kebijakan pemerintah dalam upaya membuat RUU anti
pornografi dan pornoaksi atau yang ramai diberdebatkan RUU APP [Anti Pornografi dan
Pornoaksi], tetapi ternyata faktanya sampai sekarang masih dalam wacana yang terus bergulir
tampa adanya penyelesaian.
MUI [Majelis Ulama' Indonesia] sendiri sebagai kontrol masyarakat yang sudah
mengelurkan fatwa "haram" terhadap hal-hal yang berbau pornografi, dan pornoaksi tidak
terkecuali kasus-kasus sejenis yang mencuat tersebut sama sekali tidak diperhatikan. Faktanya
hingga saat ini, pornografisasi dan pornoaksisasi telah banyak melahirkan kader-kader baru
bahkan lebih panas dari sebelumnya dan ironisnya mendapatkan tempat tersendiri dalam
masyarakat dan media kita.
Mengapa Fenomena tersebut dapat berlarut-larut dan bahkan akan selalu menjadi
fenomena "gunung es" di negeri ini? Bisa jadi karena selama ini, batasan mengenai pornografi
dan pornoaksi di negeri Indonesia semakin tidak jelas, tidak menentu, bahkan menjadi kabur
disebabkan pandangan masyarakat yang dipengaruhi oleh derasnya arus sekularisasi dan
globalisasi. Kreterianya pun belum jelas–apakah melanggar bartasan kesopanan, merangsang
ataupun melanggar budaya Timur--tampak kabur dan bisa berubah-ubah. Semuanya
mengandung interpretasi yang sangat mudah diperdebatkan bahkan disangkal. Bagi yang
menganggap bikini itu sopan, maka pose artis tersebut dianggap "masih sopan dan wajar', dan
kireteria merangsang yang menjadi tolak ukur pornografi dan pornoaksi dari berbagai
pendapat juga masih mengandung kontroversi. Sebab bagi para phothografer atau pekerja seni
yang sejenis yang akrab dengan para artis dan dunia entertaiment, tontonan tersebut bukan
merupakan sesuatu yang merangsang akan tetapi dianggap sebagai produk "seni".
Bila pornografi dan pornoaksi diserahkan batasan dan kreterianya kepada kita terutama
pada kalangan pendidik, politisi, budayawan, dan seniman, semuanya akan memberikan
rumusan yang berbeda bahkan bertolak belakang. Dalam hal ini, Islam telah memberikan
arahan untuk memecahkan masalah-masalah manusia, termasuk masalah yang terkait dengan
seksualitas manusia. Yaitu Islam memberikan syariat kehidupan khusus [kehidupan keluarga]
dan kehidupan umum [kehidupan sosial].
Di dalam kehidupan khusus tersebut, Islam membolehkan bagi wanita menampakkan
anggota bagian tubuhnya dihadapan anggota keluarga [muhrim]. Dalam hal ini seorang
wanita muslimah dibolehkan membuka jilbab dan kerudungnya dihadapan para muhrimnya
dan orang-orang yang diberi hak oleh syariat untuk melihat aurat yang biasa terlihat
manakala wanita tersebut berada dalam rumahnya [QS. An-Nûr ayat 31].
Sementara itu seorang perempuan diperbolehkan memperlihatkan sebagian aurat-nya
kepada para medis dalam hal ini dokter, perawat dan penyelidik. Melalui muhrimnya,
gambaran tentang sebahagian "aurat" perempuan, seperti rambutnya, tangannya, dan kakinya,
dapat diinformasikan kepada seorang pria yang melamarnya untuk dijadikan istrinya. Hal
yang berkaitan dengan seksualitas, Islam membolehkannya melalui apa yang dinamakan pintu
"pernikahan". Artinya hanya kepada orang yang terikat dengan tali pernikahan yang sah saja
diperkenankan melakukan aktifitas seksual.
Akan halnya dalam kehidupan umum, seorang tidak dibenarkan menampakkan aurat-
nya. Dan bagi seorang wanita bagian tubuh yang terbilang sebagai ”aurat" adalah seluruh
tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Oleh karena itu seorang wanita yang sudah
baligh manakala keluar [masuk dalam kehidupan umum] dari rumah harus mengenakan jilbab
yakni pakaian luar yang menutup tubuhnya hingga sejengkal dibawah mata kaki [QS. al-
Ahzâb 59], dan mengenakan kerudung yang menutupi kepala, leher dan dadanya [QS. An-
Nûr 31].
Dengan batasan yang jelas tersebut, maka seorang wanita muslimah secara jelas
mengetahui bahwa mengumbar aurat tubuhnya dihadapan orang yang tidak berhak dan
ditempat yang tidak tepat adalah dosa yang harus dijauhi. Sehingga dengan demikian
pornografi dan pornoaksi tergolong dengan tindakan yang kriminial dan pelakukanya patut
dijatuhi hukuman. Zakiah Daradjat mengatakan pornografi termasuk pekerjaan mungkar,
tidak diridhai oleh Allah SWT dan dilarang dengan sangsi dunia dan akhirat bagi
pelanggarnya. "…..pornografi itu setara kejinya dengan judi, minuman keras, merampok, dan
pekerjaan mungkar lainnya. Karena pornografi yang sifatnya dapat menggoda, mendorong
orang untuk mendekati zina".
Sebaliknya Islam melarang kehidupan seksual diluar nikah dan berbagai bentuk seks
bebas [free sexs] untuk menjaga kejelasan jalur keturunan manusia dan mencegah terjadinya
konflik serta tindak anarki akibat hubungan lawan jenis yang tidak teratur. Hubungan seks
diluar nikah dalam pandangan Islam disebut dengan "zina" dan merupakan salah satu tindak
kriminal [jarimah]. Secara tegas menghukum pelakunya bila masih gadis atau bujang, dengan
100 kali pukulan atau cambukan [an-Nûr ayat 2].
Tidak dapat dikesampingkan juga salah satu tindakan yang terkait dengan akses
pornografi dan pornoaksi terkait dengan seksualitas manusia adalah tindak aborsi. Walaupun
secara makna antara pornografi, pornoaksi dan aborsi memiliki arti yang jauh berbeda akan
tetapi jika ditelisik akan menemukan sebuah benang merah. Yaitu sama-sama terkait dengan
seksualitas manusia dan normasusila. Kasus-kasus aborsi yang mencuat, dalam publik juga
tak kalah ramai dengan kasus pornografi dan pornoaksi. Bisa dicatat dalam sebulan pasti ada
dua sampai tiga kali dalam seminggu kasus yang muncul dan tragisnya lagi pasti akan
menimbulkan korban baik dari pihak ibu maupun anak. Dalam setahun saja aborsi telah
menewaskan 100.000 ibu di seluruh dunia sebuah angka yang cukup fantastis sebagai mesin
pembunuh. [Jawa Pos 6 November 2006] Walaupun dalam berbagi kasus aborsi tersebut
memiliki latar belakang yang berbeda, akan tetapi yang sering mencuat adalah akibat tindakan
amoral. Dan parahnya para korban tidak menyadari akan perbuatan dan konsekwensi
hukumnya baik secara duniawi maupun akhirat.
Terkait dengan aborsi, berdasarkan latar belakang yang terjadi dalam pandangan Islam
terdapat ketentuan dan hukum tersendiri. Untuk itulah buku ini hadir untuk anda para
pembaca. Buku ini merupakan salah satu buku yang akan membongkar hal-hal yang terkait
dengan aborsi yang sebelumnya didahului dengan memperbincangkan tentang pornografi dan
pornokasi tentunya dalam perspektif Islam.
Pada bagian pertama, sebagai pembuka anda akan digiring pada hal-hal yang terkait
dengan pornografi dan pornoakasi [sebuah disain yang lengkap] yang kemudian sebagai
puncaknya masalah hukum yang terkait dengannya. Agar lebih hidup pembaca juga akan
disuguhi dengan beberapa kontroversi mengenai kententuan hukum pornografi dan pornoaksi
dalam mayarakat, lengkap dengan paparan-paparan data yang mendukung. Sementara itu
pada bagian kedua, adalah menggali dan memperbincangkan tentang ruang lingkup aborsi,
yang kemudian diteruskan dengan hukum-hukum dan ketentuan yang terkait dengan aborsi.
Dan sebagai pengantar buku "Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi dan Aborsi
Dalam Perspektif Islam" saya ucapkan selamat kepada penulis; Prof. Dr Hj.. Istibsjaroh, SH,
MA, semoga karya anda menjadi karya yang selalu bermanfaat bagi kebeningan umat. Dan
untuk pembaca budiman, selamat membaca! semoga buku ini dapat memberi pencerahan dan
inspirasi bagi anda.[]
Surabaya, Maret, 2007
Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya

Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA


NIP. 150203743

I
PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

BAGIAN PERTAMA
RUANG LINGKUP PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
A. Hakekat Pornografi dan Pornoaksi
Konsep mengenai porno pada dasarnya bersifat intra subyektif dan bahkan inter
subyektif dimana subyektifitas individu satu dengan lainnya membentuk seks normatif,
walaupun akhirnya konsep ini selalu berubah berdasarkan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Gambaran mengenai pornografi dan pornoaksi pada masyarakat secara luas
bukan merupakan sesuatu yang menetap, khususnya ketika ia berhadapan dengan petumbuhan
yang terjadi dalam bidang, budaya, sosial, ekonomi dan politik. Dalam kondisi seperti ini
batasan mengenai pornografi dan pornoaksi menjadi suatu entitas yang dapat mengalami
perubahan, sesuai dengan latar belakang sosial cultural yang ada.
Secara umum pengertian pornografi dan pornoaksi di Indonesia dapat dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi sebagai berikut; Pertama, Pembagian penduduk berdasarkan tempat tinggal
perkotaan dan pedesaan, Kedua, Pembagian penduduk berdasarkan agama yang dianut, dan
Ketiga, pembagian penduduk berdasarkan masyarakat adat yang berada antara satu dan
lainnya.1
Jika ditelusuri pornografi dari bahasa Yunani "πορνογραφία" pornographia — secara
harafiah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur kadang kala juga disingkat menjadi
"porn," "pron," atau "porno" adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual
manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual, mirip, namun berbeda dengan
erotika, meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian. Kata "porne" yaitu
"perempuan jalang" dan graphein "menulis atau ungkapan". Pornographos; diartikan sebagai
writing abaut prostitutes tulisan atau gambaran mengenai pelacur.2 Sementara itu dalam
kamus Ilmu Popular pornografi diartikan sebagai bacaan atau gambar cabul.3

Dalam pengertian aslinya, pornografi secara harafiah berarti "tulisan tentang pelacur",
dari akar kata Yunani klasik πορνη dan γραφειν. mulanya adalah sebuah eufemisme dan
secara harafiah berarti 'sesuatu yang dijual.' Kata ini berkaitan dengan kata kerja yang artinya
menjual. Kata ini berasal dari dari istilah Yunani untuk orang-orang yang mencatat "pornoai",
atau pelacur-pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu dari Yunani kuno.
Pada masa modern, istilah ini diambil oleh para ilmuwan sosial untuk menggambarkan
pekerjaan orang-orang seperti Nicholas Restif dan William Acton, yang pada abad ke-18 dan
19 menerbitkan risalat-risalat yang mempelajari pelacuran dan mengajukan usul-usul untuk
mengaturnya. Istilah ini tetap digunakan dengan makna ini dalam "Oxford English
Dictionary" hingga 1905.

Akan tetapi, belakangan istilah pornografi dan pornoaksi digunakan untuk publikasi
segala sesuatu yang bersifat seksual, khususnya yang dianggap berselera rendah atau tidak
bermoral, apabila pembuatan, penyajian atau konsumsi bahan tersebut dimaksudkan hanya
untuk membangkitkan rangsangan seksual. Sekarang istilah ini digunakan untuk merujuk
secara seksual segala jenis bahan tertulis maupun grafis. Istilah "pornografi" seringkali
mengandung konotasi negatif dan bernilai seni yang rendahan, dibandingkan dengan erotika
yang sifatnya lebih terhormat. Istilah eufemistis seperti misalnya film dewasa dan video
dewasa biasanya lebih disukai oleh kalangan yang memproduksi materi-materi ini.

Sementara itu menurut istilah beberapa para ahli pornografi dapat didefinisikan
sebagai berikut;

 Abu Al-Ghifari; Pornografi adalah tulisan, gambar, lukisan, tayangan audiovisual,


pembicaraan, dan gerakan-gerakan tubuh yang membuka tubuh tertentu secara
vulgar yang semata-mata untuk menarik perghatian lawan jenis.4

1
Neng Djubaidah, Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, [Jakarta; Prenada Media, 2003]
h. 137
2
Tjipta Lesmana, Pornografi Dalam Media Massa, [Jakarta; Puspa Swara, 1995], Cet ke I, h. 69. Lih.
A. Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana, Studi Dalam Hukum Perbandingan, Cet ke I, [Jakarta; Bina
Mulia 1987], h. 7.
3
Tim Penyusun Kamus Besar Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
[Jakarta; Balai Pustaka, 1988]. h. 354.
4
Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, [Bandung; Mujahid, 2002], h. 30.
 Feminis dan Moralis Konservatif mendefinisikan pornografi sebagai "Penggambaran
material seksual yang mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan
pemaksaan".5
 Menurut RUU Anti Pornografi, "Pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa
gambar, lukisan, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan dengan film, video,
terawang, tayangan atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk
memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan
bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan
atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia
yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu berahi pada orang lain."6
 MUI atau Departemen Agama; "Pornografi adalah ungkapan visualisasi dan
verbalisasi melalui media komunikasi massa tentang perlakuan/perbuatan laki-laki
dan/atau perempuan dalam keadaan memberi kesan telanjang bulat, dilihat dari
depan, samping, atau belakang. Penonjolan close up alat-alat vital, payudara atau
pinggul, baik dengan atau tanpa penutup, ciuman merangsang antara pasangan
sejenis ataupun berlainan jenis, gerakan atau bunyi suara dan/atau desah yang
memberi kesan persenggamaan, gerakan masturbasi, lesbian, homo, atau oral seks
yang bertujuan untuk membangkitkan nafsu seksual".
Beralih ke pengertian pornoaksi itu sebenarnya tidak jauh dengen pengertiannya
dengan pornografi yaitu penekanannya pada pornoaksi lebih pada penggambaran aksi gerakan
lenggokan dan liukan tubuh yang disengaja atau tidak sengaja untuk memancing bangkitnya
nafsu seksual laki-laki. Dengan demikian secara garis besar dalam wacana pornografi atau
dalam tindak pencabulan konteporer dan beberapa bentuk porno, yaitu meliputi porno teks,
pornografi, pornosuara dan pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua katogori ini dapat menjadi
sajian dalam satu media, sehingga konsepnya menjadi pornomedia.7

B. Sejarah Pornografi dan Pornoaksi


Pornografi dan pornoaksi mempunyai sejarah yang panjang. Karya seni yang secara
seksual bersifat sugestif dan eksplisit sama tuanya dengan karya seni yang menampilkan
gambar-gambar yang lainnya. Foto-foto yang eksplisit muncul tak lama setelah ditemukannya
fotografi. Karya-karya film yang paling tuapun sudah menampilkan gambar-gambar telanjang
maupun gambaran lainnya yang secara seksual bersifat eksplisit.

Sementara itu, sejarah munculnya pornografi da pornoaksi ini bermula dari keberadaan
seorang perempuan cantik jelita, yang hidup di Negara Yunani yaitu sekitar abad ke-empat
sebelum Masehi. Wanita tersebut bernama Phyerne dari Thespie. Ia seorang hitaerai yaitu
perempuan yang hidupnya hanya untuk bersenang-senang dengan laki-laki. Hitearai berbeda

5
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, [Jakarta; ----, 1998], h. 231.
6
Pikiran Rakyat Cyber Media, Kaburnya Batasan Pornografi., htm, Kamis, 01 Mei 2003.
7
Burhan Bungin, Pornomedia Kontruksi Sosial Tehnologi Telematika dan Perayaan Seks di Media
Massa, Ibid., h. 152. Pornoteks yaitu karya pencabulan yang mengangkat cerita berbagai fersi hubungan seksual
dalam bentuk narasi, testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, sehingga pembaca merasa ia
merasa menyaksikan sendiri, mengalami atau mengalami sendiri peristiwa atau hubungan seks itu.
Penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan seks itu kemudian menimbulkan terciptanya teatre
of mind pembaca, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi menggebu-gebu terhadap hubungan seks yang
digambarkan tersebut. Pornosuara yaitu tuturan atau kalimat-kalimat yang diucapkan seoarang yang langsung
atau tidak langsung bahkan secara halus atau vulgar tentang aktivitas seksual atau obyek sekual.
dengan porne, yaitu perempuan pelacur yang digunakan dan dibayar setiap hari dan berbeda
pula dengan istri yang dipercayakan untuk memelihara rumah tangga dan keturunan yang
dapat dipercaya.8
Pheyrne pernah dituduh sebagai perempuan yang mengkorupsi para jejaka Athena.
Ketika hukum hendak menjatuhkan hukuman terhadap Phryne pembela Phryne yang bernama
Hyperdes mengajukan pembelaan dengan cara meminta Phryne berdiri disuatu tempat di
depan sidang dengan posisi yang dapat dilihat oleh semua hadirin. Phryne menampakkan
pakaiannya satu persatu hingga tubuh indahnya tampak oleh hakim dan seluruh yang hadir
dan hasilnya Phryne dibebasakan dari tuduhan dan hukuman. Dan pertunjukan Phryne itulah
kemudian merupakan awal dari adegan pornografi yang kemudian berkembang menjadi strip-
tease show.
Strip-tease show yang dilakukan oleh seorang Hetaerai tersebut tidak berkaitan dengan
porne yang berarti pelacur. Namun pada perkembangan selanjutnya seperti yang terdapat
dalam Kamus Bahasa Indonesia kata porne yang berasal dari kata porne yang berarti cabul.9
Sedangkan kata pornografi menurut kamus tersebut adalah penggambaran tingkah laku secara
erotis dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi, sedangkan kata strip-tease menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertunjukan tarian yang dilakukan oleh perempuan
dengan gerakan antara lain dengan menanggalkan pakaiannya satu persatu dihadapan
penonton, atau dapat juga berarti tarian telanjang.10 Meskipun rumusan strip-tease tersebut
tidak disertakan tujuan tarian telanjang adalah untuk merangsang nafsu birahi seperti halnya
dengan rumusan pornografi namun akibat dari stip-tease ini juga sama-sama dapat
membangkitkan nafsu birahi. Berdasarkan pengertian diatas sebenarnya akibat dari strip-
tease dan pornografi sebenarnya tidak berbeda baik yang ditampilkan secara langsung atau
melalui media komunikasi yaitu sama-sama membangkitkan nafsu birahi bagi orang yang
melihat atau menontonnya. Dalam perkembangan selanjutnya strip-tease baik yang dilakukan
secara langsung disebut dengan pornoaksi, sementara strip-tease yang ditampilkan melalui
lewat media maka dikatagorikan sebagai pornografi.11
strip-tease yang dilakkan secara langsung, atau tampa melalui media komunikasi, saat
ini bias disebut pornoaksi. Sementara itu jika strip-tease ditampilkan melalui media
dikategorikan sebagai pornografi.
C. Kreteria dan Batasan Pornografi dan Pornoaksi
Berdasarkan kedudukannya pornografi dan pornoaksi dapat kita tinjau dari dua sudut
yaitu pertama; sudut social cultural bahwa ketika membahas mengenai pornografi maka yang
harus diperhatikan adalah masalah perbedaan sosio budaya, kurun waktu dan tahapan
kedewasaan etis dari orang-orang secara individual dan seluruh masyarakat. Sementara itu
dalam realitasnya terjadi perbedaan yang sangat mencolok antara belahan Barat dan Timur.
Perbedaan yang mencolok tersebut antara Barat dan Timur dari segi kehidupan sosial adalah
Barat khususnya Benua Eropa mengalami kemajuan yang sangat menonjol. Sementara Timur
masyarakatnya identik dengan memegang teguh tradisi, adat istiadat, dan kultur masing-
masing, terutama yang diwarisi dari para leluhurnya. Kedua, adalah penilaian yang lebih
menyoroti pada aspek etika. Untuk itu perlu adanya kreteria mengenai indah, kreteria baik

8
Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi, [Jakarta; Dewan Pers 1987], h. 10-11.
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibid.,
h. 696.
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibid.,
h. 696.
11
Neng Dzubaidah, Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, Ibid., h. 140.
yang lebih mencakup pada masalah etis walaupun tekanannya bisa berbeda. Dalam ilmu
penghetahuan tekanan yang benar, dalam arti seni tekanannya pada arti yang indah estetika,
dan dalam bidang etis tekannanya pada yang baik. Penilaian yang bijaksana mengenai
masalah seksualitas, kreteria benar dan indah harus diikutsertakan sebagai landasan dasar
untuk menggapai suatu penilaian yang bijaksana. Pengalaman manusia dan kebenaran agama,
ilmu pengetahuan dapat sangat membantu manusia dalam membuat penilaian etis yang
bertanggung-jawab tampa terjebak membuat larangan-larangan moral yang irrasional.
Sementara itu berdasarkan tingkatan elsistensi dan pengaruh yang ditimbulkannya
secara umum pornografi dan pornoaksi dibedakan menjadi dua yaitu pornografi dan
pornoaksi normal, pornografi dan pornoaksi biasa dan pornografi dan pornoaksi keras
sadistis.12 Secara garis besar perbedaan tersebut lebih mengacu pada pengaruh yang
diakibatakan dua macam katogari pornografi tersebut. Pornografi dan pornoaksi keras dapat
merangsang orang bersangkutan untuk sampai melampiaskan dorongan seksualnya secara
brutal kepada orang lain. Pornografi dan pornoaksi ringan umumnya merujuk kepada bahan-
bahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang secara sugestif bersifat seksual,
atau menirukan adegan seks, sementara pornografi dan pornoaksi berat mengandung gambar-
gambar alat kelamin dalam keadaan terangsang dan kegiatan seksual termasuk penetrasi. Di
dalam industrinya sendiri dilakukan klasifikasi lebih jauh secara informal. Pembedaan-
pembedaan ini mungkin tampaknya tidak berarti bagi banyak orang, namun definisi hukum
yang tidak pasti dan standar yang berbeda-beda pada penyalur-penyalur yang berbeda pula
menyebabkan produser membuat pengambilan gambar dan penyuntingannya dengan cara
yang berbeda-beda pula. Mereka pun terlebih dulu mengkonsultasikan film-film mereka
dalam versi yang berbeda-beda kepada tim hukum mereka.

Dalam kreteria pornografi dan pornoaksi ada keterkaitan dengan teori yang
dikemukakan oleh Talcott Person melalui konsep sibernetik bahwa ada keterkaitan sistem
budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organis.13 Dengan demikian perubahan
pada nilai atau sistem budaya akan berakibat pada perubahan sistem sosial. Perubahan pada
tingkat ini akan berakibat tingkatnya sistem kepribadian dan organisme aksi masyarakat.
Melihat pergeseran tersebut terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara masyarakat Barat
dan masyarkat Timur dalam memandang konsep seks dan pornografi dan pornoaksi.
Menurut Johan Suban sesuatu dinilai porno jika;
 Isolasi seks,14 seksualitas diciutkan pada, hanya alat kelamin genital untuk merangsang
nafsu birahi terlepas dari nilai personal seperti cinta kasih dan kemesraan. Daya-daya
seksual yang menyeluruh tidak diceritakan sebagai sarana ungkapan cinta dalam
perkawinan dan cara untuk melanjutkan keturunan dalam keluarga. Seks dilepaskan
dari aspek yang lain seperti aspek psikologis, sosial dan moral.
 Perangsangan nafsu birahi,15 pornografi dan pornoaksi menonjolkan kelamin genital
untuk merangsang nafsu birahi yang brutal dan menunjukkan kelemahlembutan

12
Johan Suban Tukau, Etika Seksual dan Perkawinan, Ibid., h. 75-76.
13
Burhan Bungin, Kontruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks Di Media Massa,
[Jakarta; Prenada, 2003], h. 99.
14
Johan Suban Tukau, Etika Seksual Dan Perkawinan , Ibid., h. 76.
15
Tim Kajian LBH APIK Jakarta, Tanggapan atas RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi Sebuah
Draf Kajian, [Jakarta; APIK, tt], h. 12.
emosional yang psikis dan seksualitas. Seolah-olah pria dan wanita adalah obyek yang
harus dinikmati. Orang lain adalah alat untuk melampiaskan nafsu birahi yang
irasional. Tidak dilihat bahwa dorongan seksual dapat dibudidayakan dan
disumblimasi. Bahwa manusia juga memiliki akal budi, kehendak dan cita-cita yang
luhur.
 Tiadanya hormat terhadap lingkungan intim16, manusia membutuhkan lingkungan
intim, khususnya dalam perkawinan. Hubungan seksual personal yang intim antara
suami istri dalam keseluruhan hidup berkeluarga disajikan secara terbuka dalam
pornografi dan pornoaksi tampa hormat sama sekali. Itu berarti perendahan atau
pelecehan nilai suci perkawinan dan keluarga. Pornografi dan pornoaksi tidak
menghargai privacy dibidang seksualitas manusiawi.
 Membangkitkan dunia khayalan,17 pornografi dan pornoaksi mempertontonkan
gambar telanjang bagi remaja dan kalangan lainnya dengan tujuan tidak menjelaskan
secara benar fungsi alat kelamin, tetapi lebih untuk membuat mereka berkhayal, bagi
remaja akan menjerumuskan mereka ke dunia fantasi dan bukan pada dunia nyata.
Adegan seks dipertontonkan secara berlebihan, sehingga orang akan cenderung
melupakan adat mengabaikan nilai persahabatan dan pergaulan.

D. Media dan Akses Pornografi dan Pornoaksi


Perkembangan media dalam balutan pornografi dan pornoaksi bekembang dengan
pesat. Mencari media kategori 'X' ini bukan pekerjaan sulit. Hampir di setiap sudut kota, di
agen-agen koran, kios, dan berbagai tempat lain, cukup mudah untuk menemukan media
kategori ini. Media dengan tema seksualitas memang tumbuh dan berkembang luar biasa.
Daya tarik media kategori ini di mata konsumen barangkali terletak pada tampilan gambarnya
yang vulgar dan memancing birahi, serta isi pemberitaannya yang berputar pada wilayah
seksualitas. Sehingga wajar, bila dibandingkan dengan media lainnya, media jenis 'X' ini
sangat laris manis di pasaran. Jika media dengan tema politik, atau sosial, atau tema lain
sudah banyak yang gulung tikar, media berlabel 'X' ini ternyata masih berjaya di pasaran.

1. Perkembangan Pornografi dan pornoaksi dalam Bentuk Media


Pornografi dan pornoaksi dapat menggunakan berbagai media — teks tertulis maupun
lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak termasuk animasi, dan suara seperti
misalnya suara orang yang bernapas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar
yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara
majalah seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek
menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi. Suatu pertunjukan hidup pun dapat
disebut porno.

a. Relief Klasik
Sementara itu pada manusia telanjang dan aktivitas-aktivitas seksual ditampilkan dalam
sejumlah karya seni paleolitik misalnya pada patung Venus, namun tidak jelas apakah
tujuannya adalah membangkitkan rangsangan seksual. Sebaliknya, gambar-gambar itu
mungkin mempunyai makna spiritual. Ada sejumlah lukisan porno di tembok-tembok
reruntuhan bangunan Romawi di Pompeii. Salah satu contoh yang menonjol adalah gambar
tentang sebuah bordil yang mengiklankan berbagai pelayanan seksual di dinding di atas

16
Johan Suban Tukau, Etika Seksual Dan Perkawinan, Ibid., h. 76.
17
Johan Suban Tukau, Etika Seksual Dan Perkawinan Ibid., h. 76.
masing-masing pintu. Di Pompeii orang pun dapat menjumpai gambaran zakar dan buah
zakar yang ditoreh di sisi jalan, menunjukkan jalan ke wilayah pelacuran dan hiburan, untuk
menunjukkan jalan kepada para pengunjung. Para arkeolog di Jerman melaporkan pada April
2005 bahwa mereka telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai sebuah gambaran
tentang adegan porno yang berusia 7.200 tahun yang melukiskan "seorang laki-laki yang
sedang membungkuk di atas seorang perempuan" dalam cara yang memberikan kesan suatu
hubungan seksual. Gambaran laki-laki itu kemudian diberi nama "Adonis von Zschernitz".

2. Media Cetak

Pornografi dan pornoaksi yang diedarkan secara massal sama tuanya dengan mesin
cetak sendiri. Hampir bersamaan dengan penemuan fotografi, teknik ini pun digunakan untuk
membuat foto-foto porno. Bahkan sebagian orang mengatakan bahwa pornografi dan
pornoaksi telah menjadi kekuatan yang mendorong yang mendorong teknologi dari mesin
cetak, melalui fotografi foto dan gambar hidup hingga video, TV satelit dan internet. Seruan-
seruan untuk mengatur atau melarang teknologi-teknologi ini telah sering menyebutkan
pornografi dan pornoaksi sebagai dasar keprihatinannya.

Buku-buku komik porno yang dikenal sebagai kitab suci Tijuana mulai muncul di AS
pada tahun 1920-an. Pada paruhan kedua abad ke-20, pornografi dan pornoaksi di Amerika
Serikat berkembang dari apa yang disebut "majalah pria" seperti Playboy dan Modern Man
pada 1950-an. Majalah-majalah ini menampilkan perempuan yang telanjang atau setengah
telanjang perempuan, kadang-kadang seolah-olah sedang melakukan masturbasi, meskipun
alat kelamin mereka ataupun bagian-bagiannya tidak benar-benar diperlihatkan. Namun pada
akhir 1960-an, majalah-majalah ini, yang pada masa itu juga termasuk majalah Penthouse,
mulai menampilkan gambar-gambar yang lebih eksplisit, dan pada akhirnya pada 1990-an,
menampilkan penetrasi seksual, lesbianisme dan homoseksualitas, seks kelompok,
masturbasi, dan fetishes.3. Audio Visual Film

Film-film porno juga hampir sama usianya dengan media itu sendiri. Menurut buku Patrick
Robertson, Film Facts, "film porno yang paling awal, yang dapat diketahui tanggal
pembuatannya adalah A L'Ecu d'Or ou la bonne auberge", yang dibuat di Prancis pada 1908.
Jalan ceritanya menggambarkan seorang tentara yang kelelahan yang menjalin hubungan
dengan seorang perempuan pelayan di sebuah penginapan. El Satario dari Argentina mungkin
malah lebih tua lagi. Film ini kemungkinan dibuat antara 1907 dan 1912. Robertson mencatat
bahwa "film-film porno tertua yang masih ada tersimpan dalam Kinsey Collection di
Amerika. Sebuah film menunjukkan bagaimana konvensi-konvensi porno mula-mula
ditetapkan. Film Jerman Am Abend sekitar 1910 adalah, demikian tulis Robertson, "sebuah
film pendek sepuluh menit yang dimulai dengan seorang perempuan yang memuaskan dirinya
sendiri di kamarnya dan kemudian beralih dengan menampilkan dirinya sedang berhubungan
seks dengan seorang laki-laki, melakukan fellatio dan penetrasi anal." Robertson, hlm. 66

Banyak film porno seperti itu yang dibuat dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya,
namun karena sifat pembuatannya dan distribusinya yang biasanya sembunyi-sembunyi,
keterangan dari film-film seperti itu seringkali sulit diperoleh.18 Sementara itu, pornografi dan

18
Mona [juga dikenal sebagai Mona the Virgin Nymph], sebuah film 59-menit 1970
umumnya diakui sebagai film porno pertama yang eksplisit dan mempunyai plot, yang
diedarkan di bioskop-bioskop di AS. Film ini dibintangi oleh Bill Osco dan Howard Ziehm,
yang kemudian membuat film porno berat (atau ringan, tergantung versi yang diedarkan],
pornoaksi, pornoaksi, dunia Sex telah menjadi bahan pembicaraan dan sudah ada selama
bertahun-tahun lalu. Siapakah yg mem-populerkan hal ini, lalu siapa pula yg mulai
menyebarkanya dan membuat pornografi dan pornoaksi menjadi komersil dan bahkan
ditentang seperti sekarang?

Ide tentang penyebaran pornografi dan pornoaksi dimulai dari banyak hal. Seperti
Majalah, Film Porno, dll. Internet telah membuka mata dunia dan menjadikannya dunia tanpa
batas yang bisa dijangkau dengan mudah. Siapa pula yang pertama kali membuat situs xxx
dewasa? Siapa pula yang memulai membayar dan menjadikan pornografi dan pornoaksi ini
ajang bisnis luar biasa.

Keterangan dan beberapa catatan berikut mungkin untuk melihat sejarah pornografi
dan pornoaksi yang ada di dunia, meski kita semua tahu bahwa Manusia pasti tak luput dari
Dunia Sex sejak jaman Adam dan Hawa. Sejak jaman Video Betamax sampai Internet tanpa
batas ini.

Berikut ini adalah catatan sejarah singkat pornografi dan pornoaksi yg dimulai pada
abad pertama sebelum Masehi:

 Abad pertama sebelum masehi - Kama Sutra diciptakan


 1440 - Surat Kabar Gutenberg ditemukan
 1928 - Dr. Ruth lahir.
 1953 - Hugh Hefner memulai majalah Playboy
 1965 - Bob Guccione membuat Penthouse
 1968 - Al Goldstein mendirikan Screw
 1969- Film mainstream pertama kali menampilkan gaya Swinger pertukaran pasangan
- Bob & Carol & Ted & Alice, yg disutradarai oleh Paul Mazursky
 1970 - Penthouse memperkenalkan ke publik untuk pertama kali.
 1970 - Catatan Film Porno - Cycle Studs - Le Salon Gay
 1971 - Catatan Film Porno - The Boys in the Sand - Wakefield Poole Gay
 1971 - Kondom pertama kali muncul dalam sebuah film - Carnal Knowledge,
disutradarai oleh Mike Nichols
 1972 - Film Porno tercatat - Deep Throat - Gerard Damiano Straight
 1972 - Film Porno tercatat - Behind the Green Door - The Mitchell Brothers Straight
 1972 - Film Porno tercatat - Fritz the Cat - Ralph Bakshi Anime

dengan anggaran yang relatif tinggi, yaitu film Flesh Gordon. Film tahun 1971 The Boys in
the Sand dapat disebutkan sebagai yang "pertama" dalam sejumlah hal yang menyangkut
pornografi. Film ini umumnya dianggap sebagai film pertama yang menggambarkan adegan
porno homoseksual. Film ini juga merupakan film porno pertama yang mencantumkan nama-
nama pemain dan krunya di layar (meskipun umumnya menggunakan nama samaran). Ini
juga film porno pertama yang membuat parodi terhadap judul film biasa [judul film ini The
Boys in the Band]. Dan ini adalah film porno kelas X pertama yang dibuat tinjauannya oleh
New York Time
 1974 - Larry Flynt starts Hustler.
 1975 - Betamax Video diperkenalkan
 1975 - Iklan Kondom pertama kali tampil di TV
 1976 - VHS Video diperkenalkan
 1981 - HIV/AIDS menjadi topik hangat
 1983 - Name server Domain Host dikembangkan di University of Wisconsin
 1984 - Majalah Penthouse menampilkan gambar Vanessa Williams telanjang. Dia lalu
mundur dari Miss Amerika.
 1984 - Domain Name Systems DNS diperkenalkan
 1985 - Symbolics.com adalah domain yang pertama kali didaftarkan
 1985 - Domain yang bisa didaftarkan pada mulanya - cmu.edu, purdue.edu, rice.edu,
berkeley.edu, ucla.edu, rutgers.edu, bbn.com, mit.edu, think.com, css.gov, mitre.org
 1986 - Pengacara Amerika Jendral Edwin Meese publish 1,960 halaman reportase dan
interogasi pornografi dan pornoaksi atas perintah President Ronald Reagan.
 1990 - Ikln komersial pertama tentang provider Internet dial-up - world.std.com
 1992 - Arti dari “Surfing the Internet” pertama kali kita dengar browsing
 1993 - World Wide Web www tercipta
 1994 - Sex.com didaftarkan oleh Gary Kremen
 1995 - Konfirmasi pertama blowjob di White House.
 1995 - Sex.com dicuri oleh Stephen Cohen
 1996 - Domain name tv.com dijual seharga $15,000
 1997 - DVD diperkenalkan
 1997 - Domain name business.com dijual $150,000
 1997 - Pamela Anderson dan Tommy Lee video porno bocor
 1998 - Viagra diperkenalkan
 1998 - Al Goldstein memasang “Fuck You Finger” jari tengah dihalaman belakang
rumahnya di Florida.
 1999 - Domain name business.com dijual $7,500,000
 2000 - Sex.com dikembalikan ke Gary Kremen setelah melalui proses hukum.
 2000 - AEBN meluncurkan situs VOD Video On Demand - Video atas permintaan
 2000 - American Express menghentikan transaksi pornografi dan pornoaksi
 2001 - Yahoo membuang iklan pornografi dan pornoaksi dari mesin pencarinya
 2003 - Paypal menolak transaksi dewasa
 2003 - Penthouse bangkrut
 2005 - Pencuri Sex.com, Stephen Cohen ditahan
 2005 - Video iPod diperkenalkan
 2006 - Sex.com dijual $12,000,000
 2006 - Google berurusan dengan pengadilan gara-gara hasil pencarian porno19
Oleh karena itu, besarnya pengaruh media massa menjadi tantangan terbesar yang
harus dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini. Media massa dalam berbagai bentuknya,
merupakan pilar keempat dalam proses pendidikan. Kehadirannya telah membentuk perilaku,
sikap, dan pola pikir anak didik. Inilah yang belakangan dikenal sebagai hidden curriculum
kurikulum yang tersembunyi, yakni beragam bentuk media yang mempengaruhi berjalannya
proses pendidikan dan perkembangan psikologis anak didik.

Ada beberapa paham yang ikut serta dalam media-media yang ditonton oleh anak-
anak, yaitu paganisme, hedonisme, brutalisme, dan pornografi dan pornoaksi. Paham-paham
tersebut secara nyata berbahaya terhadap berjalannya pendidikan dan pengajaran di sekolah,
karena adanya nilai-nilai yang saling bertubrukan. Dari sini jelas betapa berbahayanya
pornografi dan pornoaksi di tinjau dari dimensi pendidikan.

Perkembangan pesat pornografi dan pornoaksi terjadi seiring reformasi. Kalau kita
cermati, media-media berkategori 'X' tersebut sebenarnya sama sekali tidak memenuhi kriteria
sebuah media. Selain penuh dengan gambar-gambar seronok dan merangsang, isi tulisannya
pun jauh dari kaidah-kaidah jurnalistik. Apa yang dipaparkan tidak lebih dari cerita-cerita
perangsang nafsu seksual.

Kehadiran media-media semacam ini telah memberikan dampak destruktif dalam


kehidupan sosial kemasyarakatan, terutama di kalangan anak-anak. Merebaknya kasus-kasus
amoral sebagian besar dipengaruhi oleh media bernuansa pornografi dan pornoaksi. Protes
terhadap persoalan pornografi dan pornoaksi sebenarnya sudah banyak disuarakan oleh
berbagai elemen masyarakat. Namun sayang, tidak banyak tindakan nyata yang dilakukan
oleh pemerintah. Bahkan, setiap kali protes dilakukan, yang berkembang justru perdebatan
antara moralitas, seni, dan kebebasan. Mereka yang bergerak dalam industri media semacam
ini tampaknya kurang menyadari bahwa produk pers memiliki tangung jawab sosial. Ketika
ekspose produk pers telah melampaui batas moralitas, maka kita harus melakukan tindakan
secara nyata untuk menggugat dan mencegahnya. Karena media memiliki pengaruh secara
signifikan terhadap realitas sosial.

Dampak dari kehadiran media bisa berwujud dampak kognitif dan dampak emosional.
Dampak kognitif berhubungan dengan pemikiran, sedangkan dampak emosional berhubungan
dengan perasaan. Dampak kognitif juga mencakup aspek niat, tekad, upaya, dan usaha yang
berkecenderungan untuk diwujudkan menjadi kegiatan. Jika pengaruh negatif berdampak
pada taraf kognitif dari kesadaran masyarakat, maka pada titik inilah perilaku dan moralitas
permisif akan semakin meluas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

4. Video: Betamax, VHS, DVD, dan Format-Format Masa


Depan
Selama sejarahnya, kamera film juga telah digunakan untuk membuat pornografi dan
pornoaksi, dan dengan munculnya perekam kaset video rumahan, industri film porno pun
mengalami perkembangan besar-besaran dan melahirkan bintang-bintang "film dewasa"
seperti Ginger Lynn, Christy Canyon, dan Traci Lords belakangan diketahui usianya di bawah
usia legal, yaitu 18 tahun, pada saat membuat sebagian besar dari film-filmnya. Orang kini

19
Kesetrum, Sejarah Pornografi Dunia- Tercatat, htm
dapat menonton film porno dengan leluasa dalam privasi rumahnya sendiri, ditambah dengan
pilihan yang lebih banyak untuk memuaskan fantasi dan fetishnya.

Ditambah dengan hadirnya kamera video yang murah, orang kini mempunyai sarana
untuk membuat filmnya sendiri, untuk dinikmati sendiri atau bahkan untuk dijual dan
memperoleh keuntungan.

Ada yang berpendapat bahwa Sony Betamax kalah dalam perang format dari VHS
dalam menjadi sistem rekam/tonton video di rumah karena industri video film biru memilih
VHS ketimbang sistem Sony yang secara teknis lebih unggul. Upaya-upaya inovasi lainnya
muncul dalam bentuk video interaktif yang memungkinkan pengguna memilih variabel-
variabel seperti sudut kamera berganda, penutup berganda mis. "Devil in the Flesh", 1999,
dan isi DVD untuk komputer saja.

Para produsen film erotik diramalkan akan memainkan peranan penting dalam
menentukan standar DVD yang akan dating. Kelengkapan outfit yang besar cenderung
mendukung Cakram cahaya biru yang memiliki kapasitas tinggi, sementara kelengkapan yang
kecil umumnya lebih mendukung HD-DVD yang tidak begitu mahal. Menurut sebuah artikel
Reuter 2004 "Industri bermilyar-milyar dolar ini menerbitkan sekitar 11.000 judul dalam
bentuk DVD setiap tahunnya, memberikannya kekuatan yang sangat besar untuk
mempengaruhi pertempuran antara kedua kelompok studio dan perusahaan teknologi yang
saling bersaing untuk menetapkan standar untuk generasi berikutnya" 5.

Sementara itu banyak juga, sejumlah pornografi dan pornoaksi dihasilkan melalui
manipulasi digital dalam program-program editor gambar seperti Adobe Photoshop. Praktik
ini dilakukan dengan membuat perubahan-perubahan kecil terhadap foto-foto untuk
memperbiaki penampilan para modelnya, seperti misalnya menyingkirkan cacat pada kulit,
memperbaiki cahaya dan kontras fotonya, hingga perubahan-perubahan besar dalam bentuk
membuat photomorph dari makhluk-makhluk yang tidak pernah ada seperti misalnya gadis
kucing atau gambar-gambar dari para selebriti yang bahkan mungkin tidak pernah
memberikan persetujuannya untuk ditampilkan menjadi film porno.

Manipulasi digital membutuhkan foto-foto sumber, tetapi sejumlah pornografi dan


pornoaksi dihasilkan tanpa aktor manusia sama sekali. Gagasan tentang pornografi dan
pornoaksi yang sepenuhnya dihasilkan oleh komputer sudah dipikirkan sejak dini sebagai
salah satu daerah aplikasi yang paling jelas untuk grafik komputer dan pembuatan gambar tiga
dimensi.

Pembuatan gambar-gambar lewat komputer yang sangat realistik menciptakan dilema-


dilema etika baru. Ketika gambar-gambar khayal tentang penyiksaan atau pemerkosaan
disebarkan secara luas, para penegak hukum menghadapi kesulitan-kesulitan tambahan untuk
menuntut gambar-gambar otentik yang menampilkan perbuatan kriminal, karena
kemungkinan gambar-gambar itu hanyalah gambar sintetik. Keberadaan foto-foto porno palsu
dari para selebriti memperlihatkan kemungkinan untuk menggunakan gambar-gambar palsu
untuk melakukan pemerasan atau mempermalukan siapapun yang difoto atau difilmkan,
meskipun ketika kasus-kasus itu menjadi semakin lazim, pengaruhnya kemungkinan akan
berkurang. Akhirnya, generasi gambar-gambar yang sama sekali bersifat sintetik, yang tidak
merekam peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya, menantang kritik-kritik konvensional
terhadap pornografi dan pornoaksi.
Hingga akhir 1990-an pornografi dan pornoaksi yang dihasilkan melalui manipulasi
digital belum dapat dihasilkan dengan murah. Pada awal 2000-an kegiatan ini semakin
berkembang, ketika perangkat lunak untuk pembuatan model dan animasi semakin maju dan
menghasilkan kemampuan-kemampuan yang semakin tinggi pada komputer. Pada tahun
2004, pornografi dan pornoaksi yang dihasilkan lewat komputer gambarnya melibatkan anak-
anak dan hubungan seks dengan tokoh fiksi seperti misalnya Lara Croft sudah dihasilkan pada
tingkat yang terbatas. Terbitan Playboy pada Oktober 2004 menampilkan foto-foto telanjang
dada dari tokoh permainan video BloodRayne.

5. Internet
Dengan munculnya internet, pornografi dan pornoaksi pun semakin mudah didapat.
Sebagian dari pengusaha wiraswasta internet yang paling berhasil adalah mereka yang
mengoperasikan situs-situs porno di internet. Demikian pula foto-foto konvensional ataupun
video porno, sebagian situs hiburan permainan video "interaktif". Karena sifatnya
internasional, internet memberikan sarana yang mudah kepada konsumen yang tinggal di
negara-negara di mana keberadaan pornografi dan pornoaksi dilarang sama sekali oleh
hukum, atau setidak-tidaknya mereka yang tidak perlu memperlihatkan bukti usia, dapat
dengan mudah mendapatkan bahan-bahan seperti itu dari negara-negara lain di mana
pornografi dan pornoaksi legal atau tidak mengakibatkan tuntutan hukum. Lihat pornografi
dan pornoaksi internet.

Biaya yang murah dalam penggandaan dan penyebaran data digital meningkatkan
terbentuknya kalangan pribadi orang-orang yang tukar-menukar pornografi dan pornoaksi.
Dengan munculnya aplikasi berbagi file peer-to-peer seperti Kazaa, tukar-menukar pornografi
dan pornoaksi telah mencapai rekor yang baru. Pornografi dan pornoaksi gratis tersedia secara
besar-besaran dari para pengguna lainnya dan tidak lagi terbatas pada kelompok-kelompok
pribadi. Pornografi dan pornoaksi gratis dalam jumlah besar di internet juga disebarkan
dengan tujuan-tujuan pemasaran, untuk menggalakkan para pelanggan yang membeli program
bayaran.

Sejak akhir tahun 1990-an, "porno dari masyarakat untuk masyarakat" tampaknya
telah menjadi kecenderungan baru. Kamera digital yang murah, perangkat lunak yang kian
berdaya dan mudah digunakan, serta akses yang mudah ke sumber-sumber bahan porno telah
memungkinkan pribadi-pribadi untuk membuat dan menyebarkan bahan-bahan porno yang
dibuat sendiri atau dimodifikasi dengan biaya yang sangat murah dan bahkan gratis. []
BAGIAN KE-DUA
PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI PERPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Teks Al-Qur'an
Islam memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan
pornoaksi. Berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi, laki-laki dan perempuan dalam agama
Islam terdapat aturan tentang cara berpakaian dan kode tingkah laku yang Islami, yang secara
umum berlandasakan pada surah al-Nûr ayat 30-31 dan al-Ahzâb 59 yaitu;

‫ك‬a‫ل‬c‫ ذ‬f‫ن‬a‫ه‬a‫يب‬a‫اب‬c‫ل‬c‫ج‬
o‫ن‬a‫ م‬f‫ن‬a‫ه‬o‫ي‬c‫ل‬
c‫ ع‬c‫ين‬a‫ن‬
o‫د‬t‫ي‬c‫ين‬a‫ن‬a‫م‬o‫ؤ‬t‫م‬o‫ال‬
a‫اء‬c‫س‬a‫ن‬c‫ و‬c‫ك‬a‫ات‬c‫ن‬c‫ب‬
c‫ و‬c‫ك‬a‫اج‬c‫و‬o‫ز‬c‫أ‬a‫ ل‬o‫ل‬t‫ي‚ ق‬a‫ب‬f‫ا الن‬c‫ي‚ه‬c‫اأ‬c‫ي‬
59 ‫يم…ا‬a‫ح‬c‫ور…ا ر‬t‫ف‬c‫ غ‬t‫ه‬f‫الل‬c‫و‬c‫ان‬c‫ك‬
c‫ن‬o‫ي‬
c‫ذ‬o‫ؤ‬t‫ا ي‬c‫ل‬c‫ ف‬c‫ن‬o‫ف‬c‫ر‬o‫ع‬t‫ي‬
o‫ن‬c‫ى أ‬c‫ن‬o‫د‬c‫أ‬
"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang."20

An Nûr 30-31

c‫ه‬f‫ الل‬f‫ن‬a‫ إ‬o‫م‬t‫ه‬c‫ل‬


c‫ك‬o‫ز‬c‫أ‬
‫ى‬c‫ك‬a‫ل‬c‫ ذ‬o‫م‬t‫ه‬c‫وج‬t‫ر‬t‫وا ف‬t‫ظ‬c‫ف‬o‫ح‬c‫ي‬
c‫ و‬o‫م‬a‫ه‬a‫ار‬c‫ص‬o‫ب‬c‫ أ‬o‫ن‬a‫ض‚وا م‬t‫غ‬c‫ي‬
c‫ين‬a‫ن‬a‫م‬o‫ؤ‬t‫م‬o‫ل‬a‫ ل‬o‫ل‬t‫ق‬
‫ت‬c‫ك‬c‫ل‬c‫ا م‬c‫ م‬o‫و‬c‫أ‬
f‫ن‬a‫ه‬a‫ائ‬c‫س‬a‫ ن‬f‫ن‬a‫ه‬a‫ات‬c‫و‬c‫خ‬c‫أ‬
o‫و‬c‫أ‬ ‫ي‬a‫ن‬c‫ب‬f‫ن‬a‫ه‬a‫ان‬c‫و‬o‫خ‬a‫إ‬
o‫و‬c‫أ‬ ‫ي‬a‫ن‬c‫ب‬30o‫و‬c‫أ‬
c‫ون‬t‫ع‬c‫ن‬o‫ص‬c‫ي‬ ‫ا‬c‫م‬a‫ير› ب‬a‫ب‬c‫خ‬
‫ى‬c‫ل‬c‫وا ع‬t‫ر‬c‫ه‬o‫ظ‬c‫ ي‬o‫م‬c‫ ل‬c‫ين‬a‫ذ‬f‫ ال‬a‫ل‬o‫الط¡ف‬
a‫ال‬c‫الر¡ج‬
a‫و‬c‫ أ‬c‫ن‬a‫ م‬a‫ة‬c‫ب‬o‫ر‬a‫إ‬o‫ي ال‬a‫ول‬t‫أ‬c‫ غ‬c‫ين‬a‫ع‬a‫اب‬f‫الت‬
a‫ر‬o‫ي‬ a‫و‬c‫ أ‬f‫ن‬t‫ه‬t‫ان‬c‫م‬o‫ي‬c‫أ‬
‫ه‬f‫ى الل‬c‫ل‬a‫وا إ‬t‫وب‬t‫ت‬
c‫ و‬f‫ن‬a‫ه‬a‫ت‬
c‫ين‬a‫ ز‬o‫ن‬a‫ م‬c‫ين‬a‫ف‬o‫خ‬
t‫ا ي‬c‫ م‬c‫م‬c‫ل‬o‫ع‬t‫ي‬a‫ ل‬f‫ن‬a‫ه‬a‫ل‬t‫ج‬o‫ر‬c‫أ‬a‫ب‬c‫ي‬c‫ن‬o‫ب‬a‫ر‬o‫ض‬
‫ا‬c‫ل‬c‫ و‬a‫اء‬c‫ الن¡س‬a‫ات‬c‫ر‬o‫و‬c‫ع‬
31‫ون‬t‫ح‬a‫ل‬o‫ف‬t‫ ت‬o‫م‬t‫ك‬f‫ل‬c‫ع‬c‫ل‬ t‫ن‬a‫م‬o‫ؤ‬t‫م‬o‫ال‬
c‫ا ون‬c‫ي‚ه‬c‫أ‬
‫يع…ا‬a‫م‬c‫ج‬

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya,


dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain

20
al-Ahzâb; 59
kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-
wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. "21

Dari ayat diatas terlihat dengan jelas bahwa Islam menghubungkan prilaku sosiomoral,
ruang sakral dan ajaran tentang pakaian.22 Dua poin yang dapat diambil dari teks diatas
adalah: Pertama, konsep ghadhdh al-bashâr menundukkan pandangan dan hifzh al-furûj
menjaga atau menutupi organ genital merupakan sesuatu yang sentral dalam kode tersebut.
Kedua, laki-laki disebut terlebih dahulu agar mematuhi perintah-perintah ini yaitu
mengendalikan tatapan mereka pada wanita dan menekan hasrat mereka pada saat berinteraksi
dengan wanita yang bukan muhrimnya. Selanjutnya dalam teks tersebut juga memerintahkan
hal yang sama pada wanita untuk menundukkan pandangan mereka dan menyembunyikan
genital mereka.
Dalam ayat tersebut signifikasi ajaran khusus yang disampaikan dalam teks diatas
terdapat pada konteks rasionalnya yang ditunjukkan pada laki-laki dan perempuan. Dimana
dalam hal ini konsep seksualitas merupakan suatu aspek yang normatif baik dalam kehidupan
biasa dan dalam kehidupan religius.23 Disitu dengan jelas tidak kontradiksi antara menjadi
makhluk religius sekaligus menjadi makhluk sosial. Atau dalam pengertian lain
mengakomodasi dua kualitas manusia yaitu secara seksualitas dan religius sebagai suatu yang
normatif sementara disisi lain berusaha untuk memenuhi ideal tertinggi dari prilaku
sesiomoral.24
Aspek lainnya dalam ayat diatas adalah berkaitan dengan konteks heteroseksualitas,
privasi, dan erotisme. Dalam ayat tersebut memerintahkan agar wanita untuk tidak
menampakkan kecantikan dan perhiasan mereka, kecuali dengan orang-orang yang telah sah
untuk berhubungan seksual dengannya suami, atau pada orang yang dilarang untuk itu famili
yang telah ditentukan, atau yang tidak mungkin untuk itu.

21
An Nûr; 30-1
22
Al-Qur'an paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu libâs, tsiyâb, dan sarabîl. Kata
libâs ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyâb ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabîl ditemukan
sebanyak tiga kali dalam dua ayat. Kata libâs merujuk pada fungsi pakaian sebagai penutup. Sementara itu kata-
kata tsiyâb ide dasar adanya pakaian adalah untuk dipakai, yang terdapat dalam diri manusia yaitu tertutupnya
aurata. Lihat. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Palbagai Persoalan Umat,
[Bandung; Mizan, 2000], h. 155-156.
23
Fedwa El Guindi, Jilbab; Antara Kesalehan, Kesopanan Dan Perlawanan, [Jakarta; Serambi Ilmu
Semesta, 2003], h. 221.
24
Fedwa El Guindi, Jilbab; Antara Kesalehan, Kesopanan Dan Perlawanan, Ibid., h. 222.
Terkait hal tersebut kata-kata jilbab25 diatas merujuk pada pakaian yang panjang dan
longgar. Yaitu pakaian yang tidak menonjolkan bentuk lekuk tubuh dari si pemakai. Dan pada
perkembangan selanjutnya, jilbab ini kemudian memiliki posisi yang penting yaitu sebagai
simbul identitas sekaligus resistensi.26 Sementara itu istilah jilbab diterjemahkan untuk wanita
muslimah di Indonesia lebih umum digunakan untuk corak pakaian Islam tertentu, walaupun
maknanya tidak konsisten ada yang mengatakan sebagai tutup kepala.27 Brenner menemukan
bahwa "pakaian ini sudah umum diketahui sebagai corak baru pakaian Islam yang di Impor
dari Timur Tengah dan dikenakan oleh wanita muda sebagai kebalikan dari pakaian
tradisional sarung, kebaya, dan selendang kepala longgar yang dipakai oleh wanita tua di
Indonesia".28
Hal yang terpenting dalam menyoroti tentang pornografi dan pornoaksi dan menjadi
intinya dalam dunia Islam adalah mengenai konsep aurat. Dan inilah yang kemudian menjadi
titi sentral dalam pembahasan tentang pornografi dan pornoaksi dalam perspektif Islam. Aurat
berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti celah, kekurangan, sesuatu yang
memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan yang
membuat malu jika dipandang.29 Dalam al-Qur'an lafal aurat disebut empat kali, dua kali
dalam bentuk tunggal mufrad dan dua kali dalam bentuk plural jama'. Bentuk tunggal disebut
dalam surah QS. al-Ahzâb 13;

‫ي‬a‫ب‬f‫الن‬t‫م‬t‫ه‬o‫ن‬a‫يق› م‬a‫ر‬c‫ف‬
t‫ن‬a‫ذ‬o‫أ‬c‫ت‬
o‫س‬c‫ي‬c‫وا و‬t‫ع‬a‫ج‬o‫ار‬c‫ ف‬o‫م‬t‫ك‬c‫ ل‬c‫ام‬c‫ق‬t‫ا م‬c‫ل‬
c‫ل‬o‫ه‬c‫اأ‬
c‫ب‬a‫ر‬o‫ث‬c‫ي‬
c‫ ي‬o‫م‬t‫ه‬o‫ن‬a‫م‬
›‫ة‬c‫ف‬a‫ائ‬c‫ط‬o‫ت‬c‫ال‬c‫ق‬o‫ذ‬a‫إ‬c‫و‬
13 ‫ار…ا‬c‫ر‬a‫ا ف‬f‫ل‬a‫ إ‬t‫يد‬a‫ر‬t‫ي‬
c‫ ون‬o‫ن‬a‫إ‬ ¯‫ة‬c‫ر‬o‫و‬c‫ع‬a‫ ب‬c‫ي‬a‫ة› ه‬c‫ر‬o‫و‬
‫ا‬c‫م‬c‫و‬c‫ا ع‬c‫ن‬c‫وت‬t‫ي‬t‫ب‬f‫ن‬a‫ إ‬c‫ون‬t‫ول‬t‫ق‬c‫ي‬

"Dan ingatlah ketika segolongan di antara mereka berkata: "Hai penduduk Yatsrib
Madinah, tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu". Dan sebahagian dari
mereka minta izin kepada Nabi untuk kembali pulang dengan berkata: "Sesungguhnya
rumah-rumah kami terbuka tidak ada penjaga". Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak
terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari."30
Dan dalam bentuk jamak disebut dalam surat QS. an-Nûr 31 dan 58;

25
Kata "jilbab" yang secara leksikal diartikan sebagai "penutup" dalam arti menutupi" atau
menyembunyikan atau menyamarkan. Sebagai kata benda, kata ini digunakan untuk empat ungkapan, Pertama,
kain panjang yang dipakai wanita untuk menutup kepala, bahu dan kadang-kadang muka; Kedua, rajutan
panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala wanita, yang dipakai untuk memperindah atau untuk
menutupi kepala; Ketiga, bagian tutup kepala yang melingkari wajah terus sampai kebahu, Keempat, secarik
testil tipis yang digantung untuk memisahkan atau menyembunyikan sesuatu yang ada di baliknya; sebuah
gorden.
26
Echols dan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, Cet II, [Jakarta; Gramedia Pustaka, 1994], h. 692.
27
Lih. Kamus Indonesia Ingrris, [Cet ke-3], ed Echols dan Shadily, 1988, h. 24.
28
Brenner, Suzanne, Reconstructing Self and Society, Javanese Muslim Women and "The Veil",
[Amirican Ethnologis, 1996], h. 97.
29
Muhammad bin Abi Bakar ar-Râzi, Muhtar ash-shilhah, [Homes, Al-Irsyad, 1989], h. 345, Lihat pula
Ibrahim Anis dkk, Al-Mu'jam al Wasith, Juz II, h. 636.
30
QS. al-Ahzâb 13
‫أ‬
030. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
031. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung
Surat QS. Nûr ayat 58;

‫م‬t‫ك‬o‫ن‬a‫ م‬c‫م‬t‫ل‬t‫ح‬o‫ال‬
‫وا‬t‫غ‬t‫ل‬o‫ب‬c‫ ي‬o‫م‬c‫ل‬
c‫ين‬a‫ذ‬f‫ال‬c‫ و‬o‫م‬t‫ك‬t‫ان‬c‫م‬o‫ي‬c‫ أ‬c‫ين‬a‫ذ‬f‫ال‬
o‫ت‬c‫ك‬c‫ل‬c‫م‬t‫م‬t‫ك‬o‫ن‬a‫ذ‬o‫أ‬c‫ت‬o‫س‬c‫ي‬a‫وا ل‬t‫ن‬c‫ام‬c‫ء‬
a‫ذ‬f‫ال‬c‫ين‬
‫ا‬c‫ي‚ه‬c‫اأ‬c‫ي‬
‫د‬o‫ع‬c‫ ب‬o‫ن‬a‫م‬
c‫ و‬a‫ة‬c‫ير‬a‫ه‬f‫الظ‬c‫ن‬a‫ م‬o‫م‬t‫ك‬c‫اب‬c‫ي‬a‫ث‬
c‫ون‬t‫ع‬c‫ض‬c‫ ت‬c‫ين‬a‫ح‬ c‫ و‬a‫ر‬o‫ج‬c‫ف‬o‫ ال‬a‫اة‬c‫ل‬c‫ص‬ a‫ل‬o‫ب‬c‫ ق‬o‫ن‬a‫ات¯ م‬f‫ر‬c‫م‬c‫اث‬c‫ل‬c‫ث‬
‫ون‬t‫اف‬f‫و‬c‫ط‬f‫ن‬t‫ه‬c‫د‬o‫ع‬c‫اح› ب‬c‫ن‬t‫ ج‬o‫م‬a‫ه‬o‫ي‬c‫ل‬
c‫ا ع‬c‫ل‬c‫ و‬o‫م‬t‫ك‬o‫ي‬c‫ل‬
c‫ ع‬c‫س‬o‫ي‬c‫ ل‬o‫م‬t‫ك‬c‫ات¯ ل‬c‫ر‬o‫و‬c‫ع‬a‫اء‬t‫اث‬c‫ل‬c‫ث‬ c‫ش‬a‫ع‬o‫ال‬a‫اة‬c‫ل‬c‫ص‬
58‫يم‬a‫ك‬c‫يم› ح‬a‫ل‬
c‫ ع‬t‫ه‬f‫الل‬c‫ و‬a‫ات‬c‫آي‬o‫ ال‬t‫م‬t‫ك‬c‫ ل‬t‫ه‬f‫الل‬t‫ ي‬c‫ك‬a‫ل‬
t‫ي¡ن‬c‫ب‬
c‫ذ‬c‫ض¯ ك‬o‫ع‬ c‫ى ب‬c‫ل‬c‫ ع‬o‫م‬t‫ك‬t‫ض‬o‫ع‬c‫ب‬
o‫م‬t‫ك‬o‫ي‬c‫ل‬c‫ع‬
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak lelaki dan wanita yang kamu
miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga
kali dalam satu hari yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan
pakaian luar mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. Itulah tiga `aurat bagi
kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu.
Mereka melayani kamu, sebahagian kamu ada keperluan kepada sebahagian yang lain.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana."31

Kata aurat dalam surah al-Ahzâb ayat 1332 diartikan oleh mayoritas ulama' tafsir dengan
celah yang terbuka terhadap musuh, atau celah yang memungkinkan orang lain untuk
menyerang.33 Sedangkan aurat dalam surah an-Nûr 31 dan 58 diartikan sebagai sesuatu
anggota tubuh manusia yang membuat malu jika dipandang, atau dipandang buruk untuk
diperlihatkan.34
Untuk itu syariat Islam mewajibkan perempuan agar menutup aurat al-sitr dan melarang
al-tabarruj dan memperlihatakan perhisan didepan laki-laki yang bukan muihrim.
Sebagaimana menutup aurat merupakan kuawajiban yang di khususkan bagi perempuan,
maka juga dijadikan prilaku menundukkan pandangan sebagai tanggung jawab kolektif
diantara perempuan dan laki-laki. Namun tanggung jawab laki-laki dalam menutup aurat
lebih kecil daripada tanggung jawab perempuan. Sementara itu tanggung jawab laki-laki
dalam menundukkan pandangan lebih besar daripada tanggung jawab perempuan.
Manusia sebagaimana dibuktikan oleh fakta sejarah, terlebih dahulu untuk mencari
pakaian untuk menutup aurat dan tubuh. Kemudian ia mengambil peralatan untuk berhias
setelah melampoi masa yang panjang dalam peradabannya terutama di lingkungan masyarakat
moderen-matrealistik yang mengarahkan pakaian perempuan pada tujuan lain hingga
menjadikan senjata yang dapat merobohkan pagar-pagar kehidupan dan kesopanan.
Berpakaian memiliki dua fungsi dalam kehidupan manusia yaitu, menutup aurat dan
sebagai perhiasan. Al-Qur'an telah menunjukkan arti penting dalam berpakaian dalam
mewujudkan dua fungsi tersebut. Hal itu dapat kita temukan dalam teks surah QS. Thahâ ayat
118;

‫ى‬c‫ر‬o‫ع‬c‫ا ت‬c‫ل‬c‫ا و‬c‫يه‬a‫ ف‬c‫وع‬t‫ج‬


c‫ا ت‬f‫ل‬c‫ أ‬c‫ك‬c‫ل‬
f‫ن‬a‫إإ‬
"Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang".35
Menutup aurat dan memperlihatkan aurat memilki sisi psikologis yang mempengaruhi
kepribadian laki-laki yang memandang dan perempuan yang dipandang. Dengan menutup
aurat dapat menumbuhkan kondisi yang harmonis keselarasan diantara aspek-aspek
kepribadian. Sementara itu, al-tabrruj adalah keadaan yang disertai berbagai gejala prilaku
yang neurosis al-sulûk al'ishãbî.36
Sementara itu menutup tubuh perempuan Muslim bukan hanya merupakan gerakan
eksoteris yang tidak bermakna. Melainkan, pada hakikatnya adalah simbul kecintaan batin

31
QS. Nûr ayat; 58
32
Ayat tersebut berbicara mengenai beberapa orang yang enggan meninggalkan tempat tinggal untuk
berperang, karena merasa tempat tinggalmereka tidak aman untuk ditinggalkan. Kata mereka adalah celah [aurat]
yang memungkinkan musuh untuk menyerang orang-orang yang tinggal ditempat itu, sehingga mereka untuk
tinggal disitu untuk menjaga celah tersebut, sehingga mereka perlu tinggal disitu untuk menjaga celah itu dan
tidak perlu pergi berperang.
33
Al-Quthubi, Al-Jami'li-ahkâm al-Qur'ân, [Bairut; Dar al-Kutub al-"Ilmiyah, 1993], Juz XIV, h. 97-98.
34
Lihat, Al-Quthubi, Al-Jami'li-ahkâm al-Qur'ân, Juz XII, h. 157 dan 201.
35
QS. Thahâ ayat 118
36
Yusuf Madan, Sex Edication Teens; Pendidikan Sex Remaja Dalam Islam, [Jakarta; Hikmah, 2004], h.
103.
pada kesucian dan wujud kemampuan perempuan-perempuan Muslimah untuk
mengendalikan diri dan menguasai sejumlah motif yang berkaitan dengan seks pornografi dan
pornoaksi, perhatian diri sendiri, bentuk-bentuk pornografi dan pornoaksi, erotisme,
pornoaksi, dan berhias secara berlebihan.
Aturan ini menghasilkan dampak positif yang pada akhirnya ditujukan untuk kebaikan
proses adaptasi perempuan Muslim dengan dirinya, seperti menambah keyakinan diri sendiri,
berusaha mendapatkan kehormatan dari orang lain, dan menghindarkan dari pandangan laki-
laki seperti pada perempuaan yang tidak menutup aurat.37 Sebuah pengendalian diri yang
diperoleh dari menutup aurat dapat membuahkan kemampuan menghindar dari "pergualatan
tajam" dari kelebihan sahwat yang berbahaya dan "pranata nilai" yang menata nilai
kepribadian dan prilaku kaum perempuan.38
Syariat menuntut perempuan secara keseluruhan dan secara khusus perempuan muslim
agar menjaga kesucian diri diatas segala-galanya. Syariat menuntut untuk mengekspresikan
dalam prilaku lahir dengan menutup tubuh, cara berbicara, berjalan, dan isyarat secara umum.
Apalah arti sepotong kain apabila bertentangan dengan al-Qur'an Q.S. al Ahzâb 32;

‫ي‬a‫ي ف‬a‫ذ‬f‫ ال‬c‫ع‬c‫م‬


o‫ط‬c‫ي‬c‫ ف‬a‫ل‬o‫و‬c‫ق‬o‫ال‬a‫ ب‬c‫ن‬o‫ع‬c‫ض‬o‫خ‬c‫ت‬
‫ا‬c‫ل‬c‫ف‬f‫ن‬t‫ت‬o‫ي‬c‫ق‬f‫ ات‬a‫ن‬a‫ إ‬a‫اء‬c‫ الن¡س‬c‫ن‬a‫م‬f‫ن‬t‫ت‬o‫س‬
¯‫د‬c‫ح‬c‫أ‬c‫ك‬
c‫ي¡ ل‬a‫ب‬f‫الن‬
c‫اء‬c‫س‬a‫ان‬c‫ي‬
32 ‫وف…ا‬t‫ر‬o‫ع‬c‫ل…ام‬o‫و‬c‫ ق‬c‫ن‬o‫ل‬t‫ق‬c‫ و‬c‫ر‬c‫م‬
›‫ ض‬a‫ه‬a‫ب‬o‫ل‬c‫ق‬

"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik."39

Menutup aurat jika diakaitkan dengan kebebasan dalam berekspresi aurat bukanlah
penghalang untuk berkreatifitas, karena Islam menghargai kebebasan seseorang untuk
berekspresi, namun dalam koridor syariat. Islam juga mengakui bahwa setiap manusia
memiliki naluri seksual, namun mengarahkannya supaya disalurkan dalam cara-cara sesuai
syariat. Islam sebagai mabda' ideologi memiliki cara-cara yang khas, untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi manusia tanpa menelantarkan kebutuhannya yang lain, dan juga
tanpa mengabaikan kebutuhan manusia lainnya dalam masyarakat.
Oleh karena itu, Islam tidak sekadar menetapkan agar tak ada seorang pun dalam
wilayah Islam yang mengumbar aurat, kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan syariat; namun
Islam juga memberikan satu perangkat agar ekonomi berjalan dengan benar, sehingga tak
perlu ada orang yang harus mencari nafkah dalam bisnis pornografi dan pornoaksi atau
pornoaksi. Islam juga memberikan tuntunan hidup dan aturan bermasyarakat yang akan
menjaga agar setiap orang memahami tujuan hidup yang sahih serta tolok ukur kebahagiaan
yang hakiki sehingga demand permintaan pada bisnis pornografi dan pornoaksi pun akan
merosot tajam.
Bagaimanapun, setiap bisnis hanya akan berputar kalau ada supply penawaran dan
demand permintaan. Karena itu, keduanya harus dihancurkan. Untuk itu kerja dakwah dan
pemerintah mendidik umat untuk berpola sikap dan perilaku Islami. Media massa akan
37
Majalah "Affaf, Edisi 32, Tahun ke-3, Bulan Mei, 1990.
38
Majalah "Affaf, Ibid.,
39
Q.S. al Ahzâb; 32
diarahkan agar tidak lagi memprovokasi umat dengan stimulasi-stimulasi yang merangsang
kebutuhan pornografi dan pornoaksi atau pornoaksi. Demikian juga keberadaan berbagai
sarana hiburan yang selama ini menjadi ajang pertemuan pelaku kemaksiatan akan
dibersihkan, tanpa harus merusak fisiknya.
Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan, setelah negara mengatasi masalah di sisi
supply penawaran dengan perbaikan pendidikan dan ekonomi, kemudian mengatasi masalah
di sisi demand permintaan dengan menghilangkan "para provokator"-nya, tetap ada yang
nekad melanggar hukum, maka negara tak akan ragu-ragu lagi menerapkan sanksi represif.
Hukuman jilid atau rajam akan diterapkan kepada pezina. Hukuman ta'zir akan diterapkan
bagi para pengelola dan pendukung bisnis ini.
Secara spesifik berikut beberapa pendapat dari para mufasir mengenai aurat
perempuan terkait dengan pandangan pornografi dan pornoaksi yang terkait dengan Surrat an-
Nur 30-31;

1. Tafsir al-Munir ; Surat al-Nur 30-31


An-Nur 30
Afirmasi ayat diatas dengan kata “min” mengerucut pada fenomena ghadul bashar
menundukkan pandangan dalam realita yang cakupannya cenderung lebih luas, dalam arti
praktek ghadul bashar mengalami kelonggaran, karena melihat individu yang terkualifisir
dengan muhrim dengan batasan tertentu yaitu selain daerah pusar hingga lutut dibolehkan,
demikian halnya dengan memandang wajah seorang perempuan dan telapak tangannya, serta
kedua telapak kaki dalam salah satu riwayat. Sedangkan prihal farj sangat terbatas
sebagaimana yang disinyalir dalam kitab al-Kasyaf. Dengan demikian melihat sesuatu
tidaklah dilarang kecuali pada hal-hal tertentu, sebaiknya jima’ dilarang dengan pengecualian,
dengan bahasa lugas asal hukum prihal farj adalah haram, adapun hukum asal memandang
sesuatu adalah mubah boleh. Adapun instruksi menundukkan pandangan didahulukan dari
perintah menjaga farj adalah karena pandangan merupakan starting point dari penyakit zina.
Islam adalah agama yang solutif yang memberikan tuntutan dalam segenap segmen
kehidupan manusia. Islam menawarkan sulusi alternatif jika seseorang tidak sengaja melihat
hal-hal yang diharamkan, maka ia diwajibkan menundukkan pandangan dan mengalihkan
dengan cepat. Muslim meriwayatkan dalam kitab Sakhihnya, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmizi
dan Nasa’idari Jarir bin ‘Abdillah al-Bajaly ra berkata: “Aku bertanya pada Nabi saw prihal
pandangan mata yang terjadi secara spontanitas, beliau memerintahkan aku untuk
mengalihkan mataku”. Abu Dawud juga meriwayatkan dari Buraidah berkata; Rasulullah saw
bersabda; “Wahai Ali, jangan engkau ikuti satu pandangan dengan pandangan lain, kamu
boleh memandangnya untuk kali pertama, yang kedua adalah keharaman bagimu”.
Hal yang demikian dimaksudkan untuk mengijauwantahkan benih kebaikan dan
meminimalisir dekadensi moral serta membentengi dari kawah kenistaan dan dosa
Sebahagian orang salaf bertutur pandangan merupakan panah yang langsung menusuk kehati.
Oleh karenanya Allah mensinergikan dengan dua instruksi menjaga kemaluan dan pandangan
dalam satu fremewark al-Nur ayat 30. Riwayat dari Abi Ummamah ra. Dari Nabi saw juga
mengafirmasikan bahwa tuntutan yang demikian menumbuh suburkan nilai-nilai kebaikan,
Nabi bersabda; “Seseorang muslim ketika melihat keindahan dari kaum Hawa, dan kemudian
menundukkan pandangannya, niscaya Allah akan menumbuh kembangkan prosesi ibadah
yang penuh dengan kenikmatan baginya”.
Surat An-Nur : 31
“Tunduklah pandanganmu dari selain suamimu, dan jagalah kemaluanmu dari zina
seperti sihaq”. Implikasi dari perintah tersebut adalah keharaman bagi perempuan untuk
memandang laki-laki asing dibarengi getara syahwat atau tidak, menurut pendapat mayoritas
ulama’. Hal ini dilandasi dengan dalih riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi dan Ummu
Salamah, “Bahwasanya ia sedang berada di rumah Rasulullah saw dan maimunnah dan
kemudiaan ibn Ummi Maktum juga mendatangi rumah Nabi tersebut. Kisah ini terjadi pasca
perintah hijab Rasulullah saw bersabda: “Berhijablah darinya, akupun bertanya, “Wahai
Rasululah bukankah ia orang tua yang tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Kitab al-
Muwatho’ meriwayatkan dari Aisyah bahwasanya ia menghijabi dirinya dari orang buta,
dikatakannya padanya “Sesungguhnya ia tidak bisa melihatmu?” Aisyah menjawab : “ akan
tetapi aku bisa melihatnya”.
Sebagian ulama’ lain membolehkan kaum perempuan memandang laki-laki asing
tampa syahwat kecuali daerah pusar hingga lutut dengan dasar argumentative riwayat dan
sakhih Bukhari dan muslim bahwa Rasululah saw memandang orang-orang Habsy bermain
pada hari raya di masjid, adapun Aisyah melihat mereka dibelakang Nabi, Nabi menutupinya
dari mereka hingga Aisyah merasa bosan dan pulang. Pendapat ini lebih memberikan
kemudahan dimasa kita. Menyoroti perintah hijab, kaum cendekiawan yang mengusung
pendapat ke dua ini kebolehan perempuan melihat laki-laki lain tampa syahwat
mengintepretasikan intruksi berhijab dari ibn Ummi Maktum dalam koridor nadb sah/boleh.
Adapun tindakan Aiysah sebagaimana yang tergambar dalam riwayat diatas lebih
digambarkan karena sifat wara’ yang terpatri dalam dirinya. Interpretasi ini dikuatkan oleh
fenomena keseharian kaum Hawa yang berpergian ke pasar dan masjid serta dalam perjalanan
yang mengenakan cadar sehingga kaum Adam tidak melihatnya, disisi lain kaum lelaki tidak
diperintahkan mengenakan cadar sehingga kaum perempuan tidak melihatnya, maka hal yang
demikian menunjukkan adanya perbedaan hukum antara kaum Hawa dan Adam.
Berikut beberapa hukum-hukum tertentu bagi kaum Hawa :
a. Tidak memperlihatkan zinah atau perhiasan diasaat ia memakai pada orang asing.
Zinah adalah semua entitas yang dipergunakan untuk memperindah dan mempercantik
diri. Konsekuensi logisnya adalah keharaman membuka pos-pos zinah, yaitu dengan
menggunakan kata zinah secara mutlak namun dengan stresing penafsiran pada
‘tempat-tempat zinah’. Dalih yang mendukung adalah ayat sesudahya yaitu-----
Interpretasi yang kedua penafsiran lafadz zinah dengan bagian-bagian zinah-
perhiasan- merupakan penafsiran yang lebih tepat, karena zinah secara literal dengan
kandungan yang terangkum secara metaforis yaitu “daerah-daerah zinah” dapat
didapati kerangka ayat ini, karena sasaran larangan tersebut terfokus pada larangan
menampakkan bagian-bagian tubuh yang merupakan pos-pos bertenggernya perhiasan
seperti dada, leher, lengan dan betis. Adapun stetemen ---terporos pada wajah, dua
telapak tangan dan cincin sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Abbas dan ulama’
lain. Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Aisyah ra.
Bahwasanya Asma’ binti Abi Bakar menemui Nabi saw, dan dalam saat itu Aisyah
memakai pakaian yang ringan riqa’ kemudian Nabi memalingkan muka dan bersabda:
“Wahai Asma’, “Sesungguhnya seorang wanita itu mengalami masa haidh, maka
tidak dibolehkan menampakkan bagian tubuhnya kecuali ini” Nabi menujuk wajah
dan telapak tangan. Hadits Mursal.
Bertolak dari hadits di atas, Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat demikian, sama
halnya dengan Iman Syafi’i dalam suatu qaulnya bahwa wajah dan kedua telapak
tangan bukan aurat. Akhirnya makna ayat---adalah bagian tubuh yang biasa nampak
pada tataran realities.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah ra bahwa kedua telapak kaki tidak terkualifisir sebagai
aurat juga, karena menutupi keduanya lebih berat dari kedua telapak tangan terutama
bagi orang-orang desa. Sementara itu Ahmad Imam Syafi’i dalam salah satu qaulnya
menyatakan bahwa seluruh tubuh manusia adalah aurat berdasarkan hadits
“pandangan yang terjadi secara spontanitas” dan hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dari Ibn ‘Abbas bahwa Nabi saw meninggalkan al-Abbas pada pada hari
Nahr di belakangnya, al-Fadhl memandangi seorang perempuan ketika ia bertanya
padanya, kemudian Nabi saw memegang dagu al-Fadhl dan memalingkan wajahnya
dari melihat perempuan tersebut. Berdasarkan hadits ini, intepretasi ayat adalah yang
nampak dari tubuh dengan tampa sengaja.
Adapun pendapat yang rajih dalam perspektif ilmu fiqih dan syariat adalah bahwa
wajah dan kedua telapak tangan tangan tidak terklasifikasi dalam aurat jika tidak
menimbulkan fitnah, namun jika terciptakan kebobrokan maka menutupinya
merupakan kewajiban. Adapun argumentasi pendapat golongan kedua seluruh badan
merupakan aurat lebih dimobilisasi oleh sifat wara’ dan sifat berhati-hati dari godaan
setan.
Kendati demikian memandang orang asing dalam berbagi momen dibolehkan seperti
dalam prose khitbah, persaksian, mu’malah, pengobatan dan kegiatan belajar
mengajar. Dalam kesempatan tersebut, kebolehan melihat hanya terbatas pada wajah
dan kedua telapak tangan saja, demikian halnya dengan seorang dokter lelaki
diperkenankan melihat bagian-bagian tubuh yang harus diobati jika tidak terdapat
dokter perempuan.
b. Menghamparkan kain kerudung ke dadanya untuk menutupi rambut kepala, leher dan
dada. Perintah ini merupakan tuntutan untuk menutup bagian tubuh yang tergolong
perhiasan batiniyah bagi kaum hawa, Bukhari menyatkan dari Aisyah ra berkata :
“Allah menyayangi perempuan dari kaum Muhajirin yang awal karena ketika turun
ayat dengan serta merta mereka menyobek kain sarungnya dan menutupi dengan
sobekan kain tersebut”.
c. Tidak memperhatiakan perhiasan yang tersembunyi kecuali pada suami mereka.
Sudah barang tentu, perhiasan yang diklaim tersebut adalah perhiasan yang
dimaksudkan untuk bersenang-senang. Menampakkan perhiasan tersebut juga
diperkenalkan pada mereka yang tersurat dalam ayat yang dikenal dengan istilah
muhrim, namun demikian kebolehannya ini tidak boleh dijugde secara berlebihan.
Muhrim terbagi menjadi dua macam yaitu muhrim yang didasarkan pada hubungan
nasab dan muhrim yang dijalin atas perkawinan, yaitu mertua pihak laki-laki dan anak
suami. Ayat diatas tidak menyebutkan saudara susuan, namun sunnah mengambaikan
status saudara susuan sebagai muhrim sebagaimana yang disinyalir dalam riwayat
Ahmad, al-Shaykhani Bukhari dan Muslim, Abu dawud, al-Nasai, dan Ibnu Majah
dari Aisyah; “Diharamkan bagi hubungan yang dilandasi atas susuan seperti halnya
yang didasari atas hubungan kekrabatan”.
Kelanjutan dari ayat di atas merupakan dengan pengertian memperbolehkan empat
golongan yang disiyalir memiliki status kesamaan status sebagai muhrim dalam hal
kebolehan bagi wanita untuk memperlihatkan zinah selain daerah pusar hingga lutut.
Keempat golongan ini adalah wanita, budak, dan pengikut yang tidak memiliki hasrat
pada perempuan seperti pengikut yang tidak memiliki syahwat ketertarikan pada kaum
hawa serta anak yang tidak memahami kondisi kaum perempuan, batasan aurat dan
hubungan biologis.
Kendati demikian konsep-konsep diatas menyalut friksi yang signifikan dikalangan
ulama’. Yaitu yang terurai dalam penjelasan:
 Wanita
Mayoritas ulama’ mengintepretasikan lafadz “al-nisa’ dengan kaum wanita dalam
agama seagama dan bukan mereka yang tergolong sebagai ahli dzimah, oleh
karenanya seorang muslimah tidak dibolehkan menunjukkan bagian tubuhnya selain
wajah dan dedua telapak tangan didepan perempuan kafir. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari perempuan kafir memiliki status yang akuivelen dengan lelaki asing bagi
seorang muslim.
Said bin Mansur, Ibnu Munzir dan al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya dari Umar bin
Khatab ra. Bahwasanya ia menulis surat pada Abi ‘Ubaidah bin al-Jarrah ra. : “Amma
Ba’d, sesungguhnya telah sampai kabar bahwasanya kaum muslimah memasuki kamar
mandi bersamaan dengan perempuan musyrik, maka laranglah olehmu, karena tidak
dihalalkan bagi seorang muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir melihat
auratnya kecuali yang seagama dengannya”.
Adapun mayoritas madzhab Hambaliyah menyatakan bahwasanya wanita yang
termaktub dalam ayat tersebut adalah wanita secara umum baik dari kalangan muslim
dan kafir, dengan demikian penyandaran ayat yang tertulis dalam ayat ----
menunjukkan musyabahah keserupaan/kemiripan yaitu perempuan yang semisalnya,
akhirnya bisa disimpulkan bahwa aurat perempuan pada sesamanya adalah antara
pusar dan lutut saja.
 Budak
Sedangkan budak yang terangkum dalam ayat tercakup kaum Adam dan Hawa
sebagaimana pendapat mayoritas ulama’. Riwayat Ahmad, Abi Dawud, Ibn
Mardawaih, dan al-Baihaqi dari Anas ra menguatkan statemen diatas. Dari Anas ra.
Bahwasanya Nabi membawa seorang budak yang akan diberikan pada Fatimah
memakai kain yang jika ia menutupi bagian kepalanya kain tersebut tidak menutupi
kakinya, dan sebaliknya apabila ia mengenakan untuk menutupi kakainya, kain itu
tidak menutupi kakinya, ketika Nabi saw melihat kejadian tersebut beliau bersabda:
“Hal itu dibolehkan bagimu, karena sesungguhnya ia adalah layaknya ayahmu dan
anakmu". Ulama’ lain mengafirmasikan bahwa kebolehan tersebut dikhususkan bagi
hamba sahaya perempuan, karena seorang budak samahalnya dengan laki-laki asing
yang merdeka dalam konsepsi keharamannya.
 Perempuan pengikut yang tidak memiliki syahwat
mereka adalah pengikut /pembantu yang bertujuan mencari sesuap nasi tampa
indikator lain yaitu ketertarikan pada kaum perempuan. Dengan kaitan kelompok ini
terjadi silang pendapat dalam mengidentifikasi secara spesifik. Sebagian ulama’
berpendapat bahwa mereka adalah orang yang telah mencapai usia lanjut dan
mengalami masa manpouse. Dalam artian lain juga ditafsirkan sebagai setiap person
yang tidak memiliki kepentikan pada kaum hawa, dan tidak dikhawatirkan menyulut
fitnah dan mentranformasi karekteristik perempuan pada orang-orang laki red asing.
Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan al-Nasa’i meriwayatkan Aisyah ra berkata:
“Seorang laki-laki yang sudah impoten menemuai istri-istri Nabi saw, adapun mereka
sahabat red mengkualifisirnya bagian dari kelompok yang tidak berhasrat pada
perempuan, kemudian Nabi saw masuk ketika laki-laki tersebut sedang menyebutkan
sifat-ifat perempuan jika seorang perempuan datang, ia datang
 Anak Kecil
Anak kecil yang tidak mengetahui prihal kewaniataan dan batasan aurat dengan detail,
dan tidak memiliki naluri biologis seksualitas akibat usia yang masih muda.
Sedangkan anak yang terkualifisir sebagai remaja dan belum memasuki fase baligh,
namun mampu bercerita hal-hal yang bermuasal dari daya penglihatan dan mampu
mengidentifikasi orang buruk rupa, cantik, maka bisa dipastikan ia tidak
diperkenankan memasuki kawasan perempuan.
Ulama’ lain berpendapat: “Seorang wanita dibolehkan menampakkan zinah perhiasan-
nya dihadapan anak kecil kecuali jika anak tersebut memiliki naluri sensualitas pada
perempuan terlepas dari pencapaian usia remaja atau tidak pada sang anak. Patut
diketahui kebolehan disini lebih longgar dari stetemen yang dimotori oleh pihak
pertama pengusung identifikasi yang pertama diatas
Faktor-faktor yang melatarbelakangi tumbuh suburnya fitnah :
“Perempuan dilarang menghentakkan kakinya ketika berjalan dengan harapan
orang mengetahui detingan suara kaki, karena hal tersebut berpotensi memicu
fitnah, menarik perhatian, dan membangkitkan syahwat serta menyulut praduka
keterkaitan perempuan tersebut dengan kefasikan. Dengan demikian,
memperdengarkan gemrincing zinah perhiasan sama halnya mempertontonkan
zinah terseut dan bahkan menempati titik yang utama dari memperlihatkannya
dari khalayak ramai. Sedangkan tujuan larangan ini tak lain adalah istruksi untuk
senantiasa menutupi perhiasan wanita.”

2. Tafsir al-Thabary Al-Nur 30-31


Surah al-Nur 30 dan Surat al-Nur 31
19644. Ibnu Hamid bercerita kepada kami, dia berkata : Aahurn al-Mughairah
bercerita pada kami dari al-Hajj dari Ishaq, dari Ibn Mas’ud dia berkata: “Perhiasan terbagi
atas dua macam perhiasan yaitu perhiasan yang dhahir seperti pakaian dan perhiasan yang
tersembunyi samar yaitu gelang kaki, anting dan gelangtangan”.
Terdapat interpretasi ayat yang sangat beragam, namun kandungan ayat yang lebih
mengena adalah penafsiran dengan wajah dan kedua telapak tangan, kendati demikian
perhiasan lain seperti celak mata, cincin, gelang tangan dan kutek terangkum didalamnya.
Patut diketahui, kami mengklaim bahwa pendapat diatas merupakan penafsiran yang utama
dimaksudkan untuk mengkonvergensikan berbagai interpretasi ulama’ bahwasanya setiap
individu yang melaksanakan sholat diwajibkan menutup aurat, dan seorang wanita
diperkenankan membuka wajah dan telapak tangan diwaktu sholat, serta diharuskan baginya
menutup seluruh bagian tubuhnya selain wajah dan kedua telepak tangan kecuali setengah
lengannya sebagaiman dalam riwayat Nabi yang membolehkan memperlihatkan sebagian
lengan tangannya. Pendapat yang demikin perupakan perpaduan dari interpretasi atas ayat,
sehingga dapat dipahami bahwa seorang perempuan dan lelaki tidak dilarang memperlihatkan
bagian tubuhnya selama tidak terkualifir sebagai aurat tidak diharamkan. Akhirnya apabila
diperhatikan bagian badan tertentu dibolehkan, maka bisa dipastikan bahwa bagian tubuh
tersebut merupakan pemaparan diskriptif atas ayat illa ma dlhoharo minha.
19671. Al-Qasim bercerita kepada kami , dia berkata : al-Husain bercerita kepada
kami , dia berkata; Hajjaj bercerita kepadaku, dari ibnu Juraij prihal firman Allah “’aw
nisa’akum” dia berkata: “Telah sampai padaku bahwa ayat ini terlokalisasi pada perempuan
muslim: “Tidak dihalalkan bagi perempuan musyrik melihat aurat muslimah kecuali jika
perempuan musryik melihat aurat muslimah kecuali jika perempuan musryik tersebut budak
sahayanya yang perempuan, hal ii terangkum dalam ayat ‘aw ma malakat ‘aymanukum”.

3. Tafsir al-Maraghi Surat al-Nur 30-31


Surat al-Nur 30-31
Intepretasi ayat diatas memiliki kesamaan dengan penafsiran yang tertulis dalam tafsir al-
Munir, kecuali ayat 31 dalam kalimat----yaitu yang sejatinya dipersiapkan menjadi pembantu.

4. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Surat al-Nur 30-31


a. Surat al-Nur: 30
Ayat ini mengupas tuntas kehalalan dan keharaman mata bagi komunitas kaum
muslim. Seperti diketahui, surat an-Nur ayat 30 ini menyebutkan secara eksplisit
penggambaran istruksi menundukkan pandangan dengan afirmasi pada kebolehan
memandang obyek obyek tertentu hal ini diafirmasikan dengan penulisan huruf “min” dalam
konstruksi ayat yang mengindikasikan ketidakharaman melihat dengan intensitas material
tertentu, mak bisadiptikan bahwa konsepsi gadhul bashar terbagi atas berbagi strata yaitu
ghadul bashar yang mencapai pada tingkatan wajib dan tidak wajib. Dengan demikian konsep
ghadul bashar mencakup praktek memalingkan pandangan dari hal-hal yang sejatinya dibenci
oleh khalayak umum karena menyalahi norma, seperti melihat seluruh sudut rumah beda
halnya dengan melihat sesuatu yang disinyalir sebagai tindakan amoral. Hadits Umar bin
Hatab memaparkan kisah seorang ---- Nabi saw memasuki ruangan, maka aku menggerakkan
mataku keatap rumah, kemudian aku melihat pakaian yang tergantung.
b. Surat an-Nur 31
Zinah bibagi menjadi dua macam yaitu khalqiyah natural sesuai dengan fenomena
pembawaan asal dan muktasabah non natural. Kategori pertama sebagai wajah, kedua telapak
tangan, sebagian setengah lengan tangan, sedangkan perhiasan yang non natural ialah entitas-
entitas yang sejatinya ditujukan untuk mempercantik diri seperti pakaian yang glamour,
permata, celak dan kutak dari tumbuhan inai. Zinah diartikan sebagai pakaian dalam surah al-
A’raf. Perhiasan tersebut juga dimaksudkan sebagaimana firman Allah. Adapun tazin
mempercantik diri menambah aura keelokan perempuan, dan bisa dipastikan akan menarik
perhatian indra penglihatan, kareana memperindah diri merupakan suatu kondisi yang sengaja
dilakukan untuk menampilkan fenomena yang lebih indah, oleh karenanya kaum hawa
dilarang mempertontonkan perhiasannya kecuali dalam komunitas kaum adam yang tidak
mempunyai ketertarikan pada kaum hawa akibat kedekatannya sebagai muhrim karena nasab
dan perkawinan.
Kendati demikian keharaman memaperlihatkan perhiasan dihukumi secara mutlak,
yaitu kebolehan memperlihatkan perhiasan yang sejatinya terlihat, yakni bagian-bagian yang
jika diwajibkan menutupinya akan memberatkan perempuan atau bagian tersebut jika tidak
ditutupi menimbulkan konsekuensi yang sulit, yaitu perhiasan yang tidak wajib di tutupi
ditempat kerja seperti celak, kutek dan cincin.
Ibnu al-Araby berkata :
“Perhiasan terbagi menjadi dua, khalqiyah sesuai dengan asal penciptaan dan mushtona’ah
yang mengalami sebuah proses perubahan. Adapun perhiasan yang tegolong dalam kholqiyah
secara global adalah sebagian besar anggota badan perempuan. Sedangkan bagiantubuh secara
spesifik seperti wajah, pergelangan tangan, lengan, bagian atas, punting susu, paha dan
rambut. Adapun kategori perhiasan yang kedua musthona’ah adalah perhiasan yang lazim
dipakai oleh kaum Hawa seperti pakaian yang modis warna warni, permata, celak kutek dari
tumbuhan Inay dan siwak. Perhiasan kholqiayah sebagai---adalah perhiasan yang berpotensi
pada tumbuh suburnya titik kesulitan jika perempuan menutupinya dihukumi wajib seperti
wajah, kedua telapak tangan dan kaki. Sedangkan perhiasan yang khofi tersembunyi
merupakan a contrario dari perhiasan yang dhahir, seperti paha bagian atas, pergelamgan
tangan, lengan bagian atas, leher dan kedua telinga. Adapun perhiasan mushthana’ah yang
dhahir adalah perhiasan yang apabila dibiarkan terbuka berimplikasi pada titik
“memberatkan” bagi perempuan terhadap suami dan pasangannya, dan berpotensi pada strata
kesulitan untuk menghilangkan perhisan tersebut disaat dia berinteraksi dengan laki-laki lain
dan mengkonstruksinya seperti semula ketika ia berada di dalam rumah. Demikian halnya
dengan bagian-bagian yang tidak diperintahkan untuk di tutup seperti cincin berbeda dengan
anting dan gelang. Kendati demikian ulama’ berbeda pendapat dalam hukum menampakkan
gelang tangan dan kaki, adapun pendapat yang benar adalah kedua benda tersebut
diidentifikasi dalam kategori perhiasan yang dhahir. Al-Qur’an mengafirmasi kategori gelang
kaki ini dengan firman Allah. Ibnu Arabi berkata : ibnu al-Qasim meriwayatkan dari Malik :
Kutek bukan perhiasan. Dalam kaitannya dengan hal ini, ia tidak membatasi dengan kutek
tangan. Ibn’Arabi juga berkata kutek merupakan perhiasan batiniah yang sejatinya tidak
diperlihatkan jika dilekatkan pada kaki.
Dengan demikian, makna ayat---adalah bagian tubuh yang tidak ditutupi oleh kaum
perempuan seperti wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki”.
Kelompok ahli tafsir mengintepretasikan zinah dengan jast ---dengan wajah dan kedua
telapak tangan dalam riwayat lain kedua kaki dan rambut. Bertolak dari interpretasi ini---
adalah perhisan yang dijadikan Allah nampak berdasarkan hukum fitrah yang jika dipaksakan
menutupnya sama halnya menanam benih-benih kesia-siaan dan memberatkan bagi
pemiliknya. Perhiasan tersebut adalah wajah dan kedua telapak tangan, lain halnya dengan
kdua kaki tidak mencapai tingkatan ksia-siaan, namun hanya sampai taraf menyulitkan
karena seperti diketehaui bertelanjang kaki merupakan sesuatu yang lumrah dikalangan
perempuan pedesaaan oleh karenanya para praktisi ilmu fiqih berpendapat dalam kewajiban
menutupinya. Madzhab Maliki menelorkan dua statemen dalam hal ini yaitu wajib dan tidak
wajib. Abu Hanifah berkata : “Menutup kedua kaki bukan sebuah keharusan, sedangkan
prihal keidahan tubuh perempuan yang jika diperintah untuk menutupinya tidak menimbulkan
kesukaran, maka yang demikian tidak terkualifisir dalam firman Allah “maa dhoharo minhaa”
perhiasan yang sejatinya nampak, seperti leher, punting susu, lengan bagian atas, pergelangan
tangan, dan betis sama halnya dengan perempuan yang memiliki bagian tubuh tertentu yang
elok kendati tertutup rapat, seperti pantat dan paha, dan menggunakan gaun yang tidak ketat
bukan merupakan hal yang susah baginya, maka bagian tersebut juga tidak dapat dijastifikasi
dalam rrangkaian firman Allah perhiasan yang sejatinya nampak. Malik meriwayatkannya
dalam kitab al-Muwatho’ dari Nabi saw bersabda : “Perempuan yang menenakan pakaian
yang hamper tidak menutupi lekuk tubuh yang menarik perhatian tidak akan masuk surga”.
Ibnu’Addilbarr berkata : "Makna riwayat hadits tersebut adalah wanita yang memakai gaun
transparan hingga memperlihatkan lekuk tubuh dan nyaris tidak menutupi bagian tubuhnya,
dalam arti benar mereka mengenakan kostum namun gaun tersebut tidak menutupi tubuhnya
akibat transparasi bahan pakaian". Selain naskah Ibnu Baskawal dalam kitab al-Muwatho’;
dari al-Qanaazi’i berkata, "Malik mengintepretasikan hadits diatas sesungguhnya kaum
perempuan memakai gaun yang tipis yang nyaris tidak menutupi bagian tubuhnya". Dalam
perspektif pendengaran Ibnu al-Qasimi dari Jami’ al-’Atabiyah Malik berkata : “Sampai
padaku kabar bahwa Umar bin al-Khatab melarang perempuan mengenakan pakaian ala
Qibti". Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pakaian yang dimaksud adalah gaun yang sempit dan
melekat pada bagian tubuh hingga nyaris mempertontonkan bagian tubuhnya yang seksi. Hal
ini merupakan langkah yang aplikatif .
Larangan ini mengandung konsekuwensi pada semua tindakan yang menarik perhatian
laki-laki pada pemainan wanita, dan yang menggerakkan ketertarikan kaum Adam pada lawan
jenis baik yang berhasal dari hasil penglihatan pada obyek tertentu atau pendengaran pada
hiburan yang disodorkan kaum Hawa seperti nyayian dan berbicara dengan suara yang
mendayu-dayu. Dalam ranah realitasnya layaknya tarian dan goyangan perempuan dihadapan
laki-laki, semprotan parfum yang berlebihan juga dilarang. Dalih yang membenarkan
larangan tersebut terrangkum dalam firman Allah …..

5. Tafsir al-Alusi Surat al-Nur 30-31


Surat al-Nur 30 - 31
Kitab al Zawajir karangan ibn Hajar al-Makky menegaskan keharaman bagi kaum
hawa memandang lelaki kendati tidak dibarengi dengan hasrat padanya dan sertai rasa takut
dan fitnah seperti halnya ketidakbolehan laki-laki melihat perempuan habnya hubungan nasab
atau susunan atau perkawinan membolehkan memandang sesamanya kecuali daerah antara
pusar dan lutut. Perhiasan yang dhahir nampak sejatinya terapresiasikan pada entitas material
seperti; cincin celak, dan kutek sehingga memperlihatkan ini pada orang asing bukan
merupakan tindakan yang dikencam, namun celaan tersentralisasi pada mengumbar perhiasan
khofy tersembunyi seperti gelang tangan, gelang kaki, mahkota, ikat pinggang dan anting.
Ayat diatas menyebutkan stetemen zinah secara eksplisit dan bukan daerah daerah
yang lazimnya merupakan obyek sentral pemakaian perhiasan dimaksudkan sebagai afirmasi
pada instruksi menutup bagian-bagian tersebut, karena perhiasan bisa dipastikan dikenakan
dibagian tubuh tertentu yang sudah barang tentu tidak boleh dipandang kecuali oleh golongan
yang dikemukakan dalam konstruksi ayat sesudahnya. Bagian tubuh ini adalah bagian lengan
bawah, betis, lengan atas, leher, kepala, dada dan telinga. Oleh akarenanya Allah melarang
memperlihatkan perhiasan yang dimiliki untuk diinformasikan secara aksioma bahwa
memandang perhiasan tidak diperkenalkan karena mengisyaratkan pada bagian badan
perempuan dengan dalih bahwa kehalalan memperlihatkan perhiasan yang tidak menempel
pada tubuh seperti gelang tangan yang diperjual belikan di pasar tidak patut didiskusikan lagi.
Ahli tafsir lainnya menekankan intepretasi ayat-ayat diatas sejatinya tempat
bermuaranya perhiasan, adapun Ibnu al-Munir menyatakan bahwa makna ayat ini adalah
perhiasan secara literal. Ayat sesudahnya mengafirmasikan bahwa memperlihatkan perhiasan
merupakan tindakan yang terlarang, dan jika ziinah diartikan sebagai pos bertenggernya
perhiasan, bisa dipastikan memandang bagian tubuh yang dhahir nampak dan lajimnya
merupakan daerah yang dikenakannya perhiasan dhahir bagi orang asing dihalalkan, namun
konsekuensi logis yang demikian tidak dibenarkan karena setiap bagian tubuh merdeka adalah
aurat. Seperti diketahui melihat bagian tubuh hanya dbolehkan oleh pasangan hidup suami
istri kecuali dalam keadaan terpaksa seperti pengobatan dan persaksian. Adapun pendapat
Ibnu Munir al-Maliki didasarkan pada madzhab yang dianutnya, demikian halnya dengan
statemen al-Zamakhsyari dilandaskan pada pendapat masyur dari madzhab imam Abi Hanifah
bahwasanya badan yang disinyalir sebagai tempat perhiasan dhahir adalah wajah dan kedua
telapak tangan, sedangkan kedua kaki bukan terkualifikasi sebagai aurat secara mutlak
sehingga tidak ada larangan melihatnya. Ibnu Abi Syaibah Abu bin Hamid dari Ibn’Abbas
berkata maka firman Allah ---adalah wajah dan telapak bagian dalam. Adapun madzhab
Syafi’i sebagaimana yang tersurat dalam kitab al-Zawaajir mengurai bahwa wajah dan telapak
tangan baik bagian dalam maupun luar hingga siku merupakan aurat dalam paradigma
“memandang perempuan” kendati ia adalah hamba sahaya perempuan dan bukan aurat bagi
orang merdeka dalam shalat.
Kitab al-Zawaajir juga menyatakan keharaman melihat bagian tubuh perempuan
yang terlepas, karena dapat memotivasi keingintahuaan yang mendasar untuk melihat bagian
tubuhnya secara utuh. Oleh karenanya mengharamkannya adalah sikap yang tepat, bahkan
ulama’ mengungkapakan ketidakbolehan memandang kuku kaum Hawa yang tidak menempel
lagi ditangannya. Sebahagian penganut madzhab Syafi’i berpendapat keahalalanmelihat
wajah dan telapak tangan jika tidak menyulut fitnah, namun stetemen ini tidak menempati
urutan pertama dalam pendapat mereka. Sebahagian madzhab ini juga menginterpretasikan
perhiasan yang nampak itu adalah wajah dan kedua telapak tangan setelah menelaah
parameter bahwa aurat orang merdeka selain dua bagian tersebut mereka berdalih keharaman
melihatnya karena berpotensi menyulut fitnah. Sehingga konsekuensi logisnya adalah tidak
semua hal yang dilarang memandangnya dikualifisir sebagai aurat. Anda mengetahui bahwa
kebolehan memperlihatkan wajah dan kedua telapak tangan seperti yang disinyalir dalam ayat
dan keharaman memandang dua bagian tersebut secara mutlak dalam madzhab mereka
madzhab Syafi’i secara bersamaan sangat tidak masuk akal.
Dan ketahuilah jika maksud larangan mengumbar daerah-daerah notabene tempat
bertenggernya. red pehiasan, dan dikatakan secara global wajah dan dua telapak tangan, dan
pendapat yang mengkualifikasi dua bagian badan tersebut sebagai aurat serta larangan
memperlihatkan pada individu selain yang dirangkum dalam freme pengecualian pada ayat
sesudahnya, maka pengecualian yang tersurat dalam firman Allah bisa jadi merupakan hukum
yang paten dalam perspektif metode isyarah tanda, yaitu mempertanggung-jawabkan dihari
pembalasan, sehingga makna yang terkandung adalah apa yang nampak tampa indikasi
memperlihatkan seperti tersikap akibat hembusan angina maka kaum Hawa tidak dimintai
petanggungjawaban kelak dihari pembalasan.
Ibnu Aabi Syaibah dari ‘Ikrimah bahwa maksud ayat diatas adalah telapak tangan
dan tengkuk, dan dari riwayat al-Hasan adalah cincin dan gelang tangan dari riwayat lain
menyebutkan lainnya. Secara aksioma, sebagian kabar dan riwayat menginterpretasikan zinah
perhiasan pada makna yang terlintas dengan cepat dan lainnya di daerah daerah dikenakannya
perhiasan. Adapun Ibnu Bahar berkata : “Perhiasan sejatinya terletak pada keindahan cipataan
yang dibentuk oleh Allah dan pakaian yang berlebihan yang ditunjuk untuk mempercantik
diri, sedangkan makna ayat tersebut adalah larangan mengumbar dua komponen dari hasil
intepretasi diatas pada bukan muhrim dan mengecualikan hal-hal yang sejatinya tidak dapat
disembunyikan ditutupi dalam berbagai momentum seperti wajah ujung tangan dan kaki”.
Namun demikian sebagian ulama’ lain tidak mengamini penafsiran zinah perhiasan dengan
ciptaan Allah perhiasan yang merupakan ciptaan Allah, ia menyatakan dalam kitab al-Bahar
pendapat yang mendekati kebenaran adalah mengklasifikasinya dalam konsep zinah dan
mengairmasikan dengan stetemen “Perhiasan manakah yang lebih indah dari penciptaan yang
ideal”
Maksud ayat ini sebagaimana riwayat Ibn Hatim dan Ibn Jubair, Allah
menginstruksikan perempuan mukmin menutupi leher dan dada dengan kain sehingga bagian
tersebut tidak nampak, perempuan pada masa dahulu menutup kepalanya dengan kain dan
mengantungkan menurunkan kainnya dari belakang punggung seperti kebiasaan jahiliyah
sehingga leher dan sebagian dadanya terlihat.
Secara literalis, teks ayat menyatakan ketiadaan perbedaan gender laki-laki dan
perempuan akibat keumuman huruf ---dan karena jika ayat tersentralisasikan pada kaum
Hawa saja maka yang tertulis dalam konstruksi ayat seharusnya karena penegasan yang
demikian lebih spesifik dan mengena pada maksud ayat.
Kaum perempuan sekarang mengenakan perhiasan seperti dari mutiara atau
semisalnya sebagai aksesoris dirangkaian gelang kaki sehingga gemercing suara gelang
tersebut terdengar meski mereka berjalan dengan pelan. Demikan halnya seperti perhiasan
lain pada gelang kaki yang menimbulkan suara jika kaki melangkah terlebih jika dihentakkan.
Sebahagian khalayak umum didapat lebih banyak tergetar syahwatnya akibat gemrincing
suara perhiasan daripada melihat perhiasan yang berpotensi menimbulkan suara. Larangan
memperdengarkan gemrincing suara tersebut pasca larangan memperlihatkan perhiasan
sendiri bisa dipastikan adalah larangan memperlihatkan bagian tubuh yang lajimnya tempat
obyek pemakaian perhiasan.
Stetemen dalam kitab Syafi’iyah dan yang aku al-Alusi. red anut bahwa gemercing
suara sejatinya bukan aurat, dengan demikian mendengarkan tidak dilarang jika tidak disertai
ketakutan akan fitnah dan menikmatinya sebagaimana ulasan al-Zarkasy. Sedangkan
Hanafiyah seperti pernyataan Ibn al-Hamman: Beliau menyatakan secara gamblang dalam
kitab al-Nawazil bahwa lantuanan suara perempuan adalah aurat, oleh karenaya Nabi saw
bersabda: “Takbir bagi laki-laki dan tepuk bagi kaum perempuan”, akhirnya
memperdengarkan di depan kaum Adam dianggap tindakan yang tidak bagus.

C. Al-Sunnah Dan Qaidah Ushul Fiqih


Pornografi dan pornoaksi yang terkait dengan aurat ada beberapa hadits Rasulullah
yang melarang memakai pakaian yang tembus pandang, erotis, sensual, dan sejenisnya
larangan bagi laki-laki berkhalawat berdua dua-an ditempat yang sunyi tampa orang ke tiga
dengan perempuan yang bukan muhrimnya40, ataupun antara laki-laki dengan laki-laki
homoseksual, perempuan dengan perempuan lesbian.
Tidak diragukan lagi secara psikologis bahwa menguatnya perasaan wanita melalui
kebebasan memilih pakaian yang sesuai dengan standar syariat, menumbuhkan perasaan
positif berupa persamaan perempuan ditengah masyarakat Muslim dengan corak tertentu
dalam menutup aurat dan semakin dalamnya perasaan terhadap kemuliaan. Sementara itu,
mengenai hukum tabarruj atau pakaian dan gerak tubuh yang menimbulkan rangsangan
seksual, ini adalah jelas haram.
Menurut Syekh Abu 'Ala Al-Maududi kata tabarruj bila dikaitkan dengan wanita
memiliki arti sebagai berikut; Pertama, menampakkan keelokan wajah dan bagian tubuh yang
dapat membangkitkan birahi dihadapan kaum laki-laki yang bukan muhrimnya.41 Kedua,
memamerkan pakaian dan perhisan yang indah serta memamerkan diri didepan laki-laki yang
bukan muhrimnya. Ketiga, bersolek dan menggunakan parfum secara berlebihan ketika keluar
rumah. Ke-empat, melantunkan suara-suara yang menggoda.42
Rasulullah saw bersabda;
40
Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 287 tahun 2001, Ibid., h. 10.
41
Abu al-Ghifari, Pernikahan Dini Dilema Generasi Ekstravaganza, [Jakarta; Mujtahid, 2002], h. 28.
42
Abu al-Ghifari, Pernikahan Dini Dilema Generasi Ekstravaganza, [Jakarta; Mujtahid, 2002], h. 29.
Lih. Luqman Haqani, Musuh Yang Menjadi Idola, [Jakarta; Mujahid, 2003], h. 69.
‫صنفان من اهل النار لم أرهما قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس‬
‫ونساء كاسيات عاريات مميلت مائلت رءوسهن كأسنمة البخت المائلة ليدخلن‬
‫ رواه مسلم‬.‫الجنة ول يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا‬
"Ada dua golongan dari ahli neraka yang siksanya belum pernah aku lihat sebelumnya
pertama adalah kaum yang membawa ekor cambuk seperti ekor sapi yang digunakan
memukul orang. ialah pengusa yang dzalim. Kedua adalah wanita yang berpakaian tapi
telanjang, yang selalu maksiat. Rambutnya sebesar punuk unta, mereka tidak akan masuk
surga, bahkan tidak akan mencium wanginya padahal bau surga itu tercium sejauh
perjalanan yang amat panjangnya." HR. Muslim

Dalam Fiqh pembahasan mengenai aurat didasarkan pada wacana tubuh dengan
berbagai dimensi sensualnya. Fiqh menganggap ada beberpa tubuh yang tidak pantas untuk
diperlihatkan, tidak layak bahkan memalukan. Pada awal inilah difinisi aurat. Orang
menyebut aurat untuk hal-hal yang tidak pantas untuk diperlihatkan, tidak layak bahkan
memalukan. Kemudian sesuatu yang memalukan itu justru bisa membangkitkan gairah orang
lain yang melihatnya untuk melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Memalukan dan
menggairahkan adalah sesuatu yang kontekstual, karena itu fiqh membedakan antara aurat
laki-laki dan perempuan.43
Dari dua kata kunci tentang aurat, yaitu 'memalukan' dan 'menggairahkan', fiqh
memnbangun wacana tentang tubuh dan norma-norma yang terkait dengannya. Dalam
disiplin ilmu fiqih lafal aurat diartikan sebagai yang memiliki muatan arti dalam ayat an-Nûr
ayat 31 dan 58 yaitu yang berarti sebahagian anggota tubuh manusia yang didalam pandangan
umum buruk atau malu bila diperlihatkan dan bila dibiarkan terbuka mungkin bisa
menimbulkan fitnah seksual.44 Oleh karena itu, kesepakatan pendapat ulama' fiqih
menyatakan bahwa harus ditutup dari pandangan orang dengan pakaian yang tidak tembus
pandang dan tidak membentuk lekukan tubuh.
Mengenai batas anggota tubuh yang dianggab aurat, pandangan fiqih membedakan
antara perempuan dan laki-laki. Untuk aurat laki-laki walaupun ada perbedaan, tetapi secara
umum mayoritas ulama' berpendapat bahwa laki-laki seharusnya menutup anggota tubuh
antara pusar dan kedua lutut kaki.45 Sementara aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali
muka dan telapak tangan.46
Perintah menutup aurat adalah dari agama teks syara', tetapi batasan mengenai aurat
adalah ditentukan pertimbangan pertimbangan kemanusiaan segala aspek. Untuk itu, dalam
menentukan batasan aurat, baik laki-laki maupun perempuan dibutuhkan mekanisme yang

43
Faqihuddin Abdul Kadir, Bergerak Menuju Keadilan….., hal.219
44
Lihat, An-Nawawi, Al-Majmu, juz III, h. 168.
45
Mengenai batas aurat laki-laki. Ibnu Rushd dan Asy-Syaukani mengatakan bahwa ulama' Fiqih
berada dalam tiga pendapat. Pendapat pertama adalah yang dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi'I, Malik, dan Abu
Hanifah, bahwa aurat laki-laki adalah antara pusat dan kedua lutut. Pendapat kedua menyatakan bahwa aurat
laki-laki adalah alat kelamin [qubul], sekitar lubang anus dan paha saja. Pendapat ketiga yang dinyatakan oleh
adh-Dhahiri, Ibnu Jarir, al-Isthakhiri, salah satu riwayat dari Imam Malik dan Ibnu Hambal adalah bahwa aurat
laki-laki hanya qubul dan dubur saja, selebihnya bukan aurat. Lih. Ibnu Rushd, Bidâyah al-Mujtahid, Juz I h. 83,
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, Juz II, h. 49.
46
Abu Muhammad Ali bin Muhammad ibn Hazm, Al-Muhalla, [Bairut; Dar al-Afaq al-Jadidah, tt], Juz
III.210.
akomodatif dan responsif terhadap gejala nilai yang berkembang di masyarakat sehingga
dalam tingkat tertentu nilai dan batasan tersebut dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam hal ini pertimbangan khsuf al-fitnsh yang sudah dikembangkan oleh ulama' fiqih
juga harus menjadi salah satu penentu pertimbangan, agar tubuh manusia tidak dieksploitasi
terutama tindak pornografi dan pornoaksi yang dapat merusak tatanan kehidupan
masyarakat.47 Tentu saja, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat,
yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Aurat adalah bagian-bagian tubuh yang
berpotensi menimbulkan rangsangan-rangsangan seksual bila terlihat.48 Seorang wanita yang
memperlihatkan sekadar rambut atau bagian bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang
yang mengumbar aurat. Sebab, aurat wanita dalam pandangan Islam adalah seluruh tubuhnya
kecuali muka dan telapak tangan.49
Secara fiqih, menyaksikan secara langsung aurat seseorang yang bukan haknya
pornoaksi, pornografi dan pornoaksi adalah haram, kecuali untuk tujuan yang dibolehkan oleh
syara', misalnya memberi pertolongan medis. Ini akan berlaku juga pada para pembuat
pornografi dan pornoaksi kamerawan, pengarah gaya, sutradara, dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut definisi agama Islam, segala sesuatu yang mengakibatkan seseorang
cenderung melakukan perbuatan asusila fakhisyah adalah berdosa. Sebagaimana disebutkan
dalam QS. Al-Isra' 32:

‫يل…ا‬a‫ب‬c‫ س‬c‫اء‬c‫س‬c‫ة… و‬c‫ش‬a‫اح‬c‫ ف‬c‫ان‬c‫ ك‬t‫ه‬f‫ن‬a‫وا إ‬t‫ب‬c‫ر‬o‫ق‬c‫ت‬


‫ا‬c‫ا الز¡ن‬c‫ل‬c‫و‬
"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk".50

Pornografi dan pornoaksi dianggap mendekati perbuatan zina sehingga harus dilarang,
dan jika dilakukan maka pelakunya harus bertobat karena dianggap berdosa. Apalagi sampai
berbuat zina maka dianggap telah melakukan dosa besar. Jika pelakunya masih bujangan
maka harus dicambuk sebanyak seratus kali mi'ata jaldah, dan jika pelakunya dalam status
sudah menikah maka harus dihukum dengan dilempar batu sampai meninggal rajam.51
Sementara itu menurut hukum Islam seperti yang telah difatwakan oleh Majelis Ulama
Indonesia no 287 tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi tanggal 22 Agustus 2001,
yaitu berdasarkan surah Âl-Isra' kita dilarang mendekati zina dan an-Nûr 30-31 yang
mengatur tentang cara bergaul52, memelihara kehormatan, dan batas aurat al-Ahzâb ayat 59
yang mengatur tentang aurat kaum perempuan Mu'minah53, dan al-Maidah ayat 2 tentang
kewajiban saling tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan larangan
melakukan tolong menolong dalam melakukan dosa dan pelanggaran, maka batasan
pornografi dan pornoaksi menurut hukum Islam telah jelas54.

47
Husain Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, [Yokyakarta;
Rahima, 2001], h. 64.
48
Hasan Hathaut, Panduan Seks Islami, [Jakarta; Pustaka Zahra, 2004], h. 25.
49
Husain Muhamad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender, Ibid., h. 62.
50
QS. Al-Isra' 32
51
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, [Bandung; Sinar Baru, 1990], h. 402
52
Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 287 tahun 2001 Tentang Pornografi dan Pornoaksi tanggal 22
Agustus 2001 atau Jumadil Akhir 1422 Hijriyah, h. 2.
53
Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 287 tahun 2001, Ibid., h. 4.
Sementara itu, sebuah benda dengan muatan pornografi dan pornoaksi dihukumi
sebagai benda yaitu mubah.55 Namun demikian, kemubahan ini bisa berubah menjadi haram
ketika benda wasilah itu dipastikan dapat menjerumuskan pada tindakan keharaman. Sebab,
kaidah "ushul fiqih" yang mu'tabar menyebutkan: "Sarana yang menjerumuskan pada
tindakan keharaman adalah haram". Karena itu, kemubahan ini juga tidak berlaku untuk
penyebarluasan dan propaganda pornografi dan pornoaksi atau pornoaksi yang akan memiliki
dampak serius di masyarakat. Seseorang yang dihadapkan pada suatu media porno, misalnya,
memang dipandang belum melakukan aktivitas haram karena media sebagai benda adalah
mubah. Akan tetapi, bila orang itu ikut dalam usaha membuat dan atau menyebarluaskan
media porno, maka menurut syariat, dia dianggap telah melakukan aktivitas yang haram.
Mengenai batasan aurat menurut pandangan ulama' Fiqh dapat disimpulkan pada:
Pertama, Bahwa perempuan hanya diperkenankan membuka wajah dan kedua
pergelangan tangan, kecuali dalam keadaan diperlukan Abu Hanifah memperkenankan kedua
lengan tangan dan kedua setengah betis kaki dibiarkan terbuka.
Kedua, alasan utama penutupan tubuh perempuan adalah untuk menghindari
gangguan fitnah dan malapetaka dharar yang menempa diri perempuan, dan alasan utama
beberapa anggota tubuh dibiarkan terbuka adalah alasan keterpaksaan darurah atau keperluan
hujjah.
Dengan demikian, berdasarkan berbagai nas dan dan kaidah ushul fiqih Secara umum
Majelis Ulama indonesia MUI pada tahun 2001 mengeluarkan fatwa tentang pornografi dan
pornoaksi menetapkan beberapa hal sebagai berikut;
 Menggabarkan secara langsung atau tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik
dengan lukisan gambar, tulisan reklame, suara, maupun ucapan baik melalui media
cetak maupun elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah haram.
 Membiarkan aurat terbuka dan atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan
maksud untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah
haram.
 Melakukan pengambilan gambar sebagaimna angka 2 adalah haram.
 Melakukan hubungan sksual atau adegan seksual didepan orang, melakukan gambar
hubungan seksual, baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain dan melihat hubungan
seksual ataupun adegan seksual adalah haram.
 Menperbanyak, mengedarkan, menjual, membeli dan melihat atau memperlihatkan
gambar orang, baik cetak atau visual, yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat atau
tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan
seksual atau adegan seksual adalah haram.
 Berbuat intim atau berdua-duaan khalwat antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram-nya dan perbuatan sejenis lainhya yang mendekati dan atau mendorong
melakukan hubungan seksual diluar pernikahan adalah haram.
 Memperlihatkan aurat, yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi laki-laki dan
bagian tubuh selain muka, telapak tangan dan telapak kaki bagi perempuan adalah
haram kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan secara syar'i.

54
Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 287 tahun 2001, Ibid., h. 5.
55
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Ibid,. h. 404
 Memakai pakaian tembus pandang atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh
adalah haram.
 Melakukan suatu perbuatan dan atau suatu ucapan yang dapat mendorong terjadinya
hubungan seksual diluar pernikahan atau perbuatan sebagaimana dimaksud angka 6
adalah haram.
 Membantu dengan segala bentuknya dan atau membiarkan tampa pengingkaran
perbuatan-perbuatan yang diharamkan diatas adalah haram.
 Memperoleh uang, manfaat, dan atau fasilitas dari perbuatan-perbuatan yang
diharamkan diatas adalah haram.[]

BAGIAN KE-TIGA
PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT GLOBAL

A. Pornografi dan Pornoaksi dalam Masyarakat Global


Status hukum pornografi dan pornoaksi sangat berbeda-beda. Kebanyakan negara
mengizinkan paling kurang salah satu bentuk pornografi dan pornoaksi. Di beberapa negara,
pornografi dan pornoaksi ringan dianggap tidak terlalu mengganggu hingga dapat dijual di
toko-toko umum atau disajikan di televisi. Sebaliknya, pornografi dan pornoaksi berat
biasanya diatur ketat. Pornografi dan pornoaksi anak dianggap melanggar hukum di
kebanyakan negara, dan pada umumnya negara-negara mempunyai pembatasan menyangkut
pornografi dan pornoaksi yang melibatkan kekerasan atau binatang.

Sebagian orang, termasuk produser pornografi dan pornoaksi Larry Flynt dan penulis
Salman Rushdie, mengatakan bahwa pornografi dan pornoaksi itu penting bagi kebebasan dan
bahwa suatu masyarakat yang bebas dan beradab harus dinilai dari seberapa jauh mereka
bersedia menerima pornografi dan pornoaksi.

Kebanyakan negara berusaha membatasi akses anak-anak di bawah umur terhadap


bahan-bahan porno berat, misalnya dengan membatasi ketersediaannya hanya pada toko buku
dewasa, hanya melalui pesanan lewat pos, lewat saluran-saluran televisi yang dapat dibatasi
orangtua, dll. Biasanya toko-toko porno membatasi usia orang-orang yang masuk ke situ, atau
kadang-kadang barang-barang yang disajikan ditutupi sebagian atau sama sekali tidak
terpampang. Yang lebih lazim lagi, penyebaran pornografi dan pornoaksi kepada anak-anak di
bawah umur dianggap melanggar hukum. Namun banyak dari usaha-usaha ini ternyata tidak
mampu membatasi ketersediaan pornografi dan pornoaksi karena akses yang cukup terbuka
terhadap pornografi dan pornoaksi internet.

Berikut ini status dan pemberlakuan pornografi dan pornoaksi diberbagai negara-
negara dibelahan Dunia:

• Amerika Serikat: Bahan-bahan porno berat legal pada tingkat Federal kecuali bila
memenuhi uji Miller tentang ketidakpantasan, yang sangat jarang. Pornografi dan
pornoaksi anak yang menyajikan gambaran tentang anak-anak yang benar-benar
terlibat dalam tindakan-tindakan seks atau yang berpose dalam penampilan yang
porno adalah kejahatan. Tuntutan terhadap pornografi dan pornoaksi maupun
toleransinya sangat berbeda-beda dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya dan
dari kota ke kota. Materi-materi/tindakan-tindakan tertentu dikeluarkan sendiri dari
bahan porno biasa. Bahan-bahan porno tidak boleh diberikan kepada orang yang
berusia kurang dari 18 tahun atau di beberapa daerah, 21 tahun. Beberapa upaya untuk
membatasi pornografi dan pornoaksi di internet telah dibatalkan oleh pengadilan;
lihat: Pornografi dan pornoaksi internet.
• Australia: Peraturan diperketat di bawah pemerintahan John Howard, namun
pornografi dan pornoaksi masih cukup mudah diperoleh. Lihat Sensor di Australia.
Bahan-bahan porno dapat dibeli dan disewa di Northern Territory dan ACT, dan tidak
boleh mengandung kekerasan, menyalahgunakan anak atau menampilkan gambaran
yang merendahkan martabat. Berbagai negara bagian mempunyai undang-undang
tentang pornografi dan pornoaksi, tetapi dengan catatan bahwa ada banyak toko
dewasa di masing-masing negara bagian dan wilayah yang boleh menjual atau
menyewakan bahan-bahan yang bersifat porno. Secara teknis menjual bahan-bahan
porno illegal di Queensland, tetapi memilikinya tidak dianggap ilegal.
• Austria: Bahan-bahan yang "membahayakan remaja" atau bahan-bahan yang
merendahkan martabat manusia tidak boleh dipamerkan atau dijual kepada orang-
orang yang berusia kurang dari 18 tahun. Telanjang tidak dianggap termasuk bahan
seperti ini.
• Belanda: Undang-undang yang sangat liberal. Dijual secara terbuka di tempat-tempat
penjualan koran dan majalah. Bestiality dinyatakan ilegal setelah dikeluarkannya
undang-undang kesejahteraan binatang yang baru.
• Brasil: Pornografi dan pornoaksi anak adalah kejahatan. Pornografi dan pornoaksi
biasa tidak termasuk hubungan seksual dengan binatang legal. Para aktor laki-laki di
film-film lokal harus mengenakan kondom dalam adegan-adegan penetrasi. Semua
pemain harus berusia minimum 18 tahun. Bila dijual di tempat-tempat umum, majalah
dan sampul DVD yang menampilkan alat kelamin harus disembunyikan dari
pemandangan umum. Bahan pornografi dan pornoaksi manapun hanya boleh dijual
kepada orang yang berusia minimal 18 tahun.
• Britania Raya: Bahan-bahan porno berat dilarang hingga 1999, ketika kesulitan-
kesulitan halangan perdagangan sehubungan dengan keanggotaan Komunitas Eropa
menjamin arus yang relatif bebas dari barang-barang seperti itu untuk kebutuhan
pribadi saja. Video R18 hanya tersedia dalam toko-toko seks yang mempunyai izin
khusus, tetapi majalah-majalah porno berat tersedia di penjual-penjual suratkabar dan
majalah di beberapa tempat. Pornografi dan pornoaksi dalam bentuk tulisan saja tidak
pernah dituntut sejak pengadilan Inside Linda Lovelace pada 1976. Departemen
Dalam Negeri berencana untuk memperkenalkan undang-undang yang melarang
pornografi dan pornoaksi dengan kekerasan.
• Bulgaria: Bahan porno berat "tidak dianjurkan" untuk diedarkan kepada orang-orang
yang berusia di bawah 18 tahun. Bahan porno ringan jarang disensor, bahkan oleh
stasiun-stasiun TV pemerintah. Majalah-majalah dan koran-koran porno semakin
banyak beredar sejak jatuhnya komunisme pada awal 1990-an. Karena ekonomi yang
tidak stabil, pada akhir 1990-an hanya segelintir penerbit yang bertahan.
• Denmark: Larangan terhadap literatur porno dicabut pada 1966. Pada 1969 Denmark
menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasikan porno berat.
• Jerman: Pornografi dan pornoaksi anak dilarang. Meskipun hukum mendefinisikan
anak sebagai orang yang berusia di bawah 14 tahun, bahan porno tidak boleh
melibatkan orang yang berusia di bawah umur 18 tahun. Pornografi dan pornoaksi
berat yang terkait dengan kekerasan dan binatang tidak boleh dibuat atau
didistribusikan; pemilikannya diizinkan. Porno berat dibatasi kepada pembeli berusia
18 tahun atau lebih. Bila sebuah toko bisa dimasuki anak kecil, bahannya tidak boleh
dipampangkan dan hanya boleh dijual dengan diam-diam dan dengan permintaan
khusus. Izin orangtua khusus dibutuhkan untuk memperlhiatkan materi porno berat
kepada anak-anak mereka dengan tujuan pendidikan. Hukum mendefinisikan
pornografi dan pornoaksi sebagai porno berat, jadi segala sesuatu yang lainnya tidak
dibatasi.
• Hong Kong: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan to anak-anak under 18 of umur, atau
bila dipamerkan kepada umum kecuali dalam tempat terbatas dan hanya terlihat di
dalam "sebuah galeri seni atau museum yang bonafide", atau bila diterbitkan tanpa
sepenuhnya dibungkus tanpa peringatan yang “dengan mudah kelihatan” yang
menyatakan bahwa bahan yang terkandung mungkin bisa membuat orang tersinggung
dan tidak boleh diberikan kepada mereka yang di bawah umur.9
• Hongaria: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan to anak-anak under 18 of umur.
Mempertontonkan alat kelamin pada sampul majalah dilarang kecuali bila dikaburkan.
• Irlandia: Ilegal hingga pertengahan tahun 1990-an.
• India: Pornografi dan pornoaksi ilegal dan mendapatkan sanksi hukuman. Namun,
penegakan hukum sangat lemah dan bahan-bahan porno mudah tersedia.
• Israel: Ilegal untuk orang-orang berusia di bawah 18 tahun, meskipun hukum jarang
diberlakukan. Pornografi dan pornoaksi dalam segala bentuknya dapat ditemukan di
tempat-tempat penyewaan video termasuk mesin penjual video. Ada toko-toko Israel
yang khusus menjual pornografi dan pornoaksi, serta sejumlah perusahaan yang
memproduksi porno Israel. Karena pornografi dan pornoaksi anak hampir-hampir
tidak mendapatkan perhatian masyarakat ataupun pemerintah masalah ini dapat
dikatakan sebagai bentuk porno satu-satunya yang ilegal. Satuan polisi Israel untuk
kejahatan komputer mengambil langkah-langkah ekstrem terhadap hal itu, termasuk
penggunaan pengawasan internet dan pembobolan sistem.
• Jepang: Seperti di Eropa, foto telanjang biasa ditampilkan dalam media umum. Pada
tahun 1970-an dan 1980-an, dilarang keras memperlihatkan rambut kemaluan ataupun
alat kelamin orang dewasa. Gambar-gambar rambut kemaluan pada majalah-majalah
impor biasanya akan dirobek, dan bahkan video-video yang paling eksplisit pun tidak
akan memperlihatkannya. Sejak sekitar 1991, para penerbit buku foto mulai
menantang larangan ini sehingga rambut kemaluan kini cukup diterima umum.
Gambar-gambar dari jarak dekat close-up terhadap alat kelamin tetap dilarang. Pada
1999, pemerintah memberlakukan undang-undang yang melarang foto-foto dan video
anak-anak yang telanjang, yang sebelumnya cukup biasa ditampilkan di media umum.
Manga dan anime pada umumnya tetap tidak diatur, meskipun penerbit-penerbit besar
cenderung melakukan sensor diri untuk menghindari lobi kelompok-kelompok
orangtua.
• Kanada: Undang-undang berbeda-beda dari provinsi ke provinsi, namun penjualan
kepada orang berusia di bawah 18 tahun batas usia berbeda-beda menurut provinsi
umumya dilarang. Kebanyakan bahan dijual di toko-toko dewasa, meskipun tidak ada
undang-undang spesifik yang mengatur distribusinya. Bea cukai Kanada diberikan
wewenang untuk menghentikan pemasukan bahan-bahan yang dilarang menurut
undang-undang ketidakpantasan; banyak toko buku homoseksual dan lesbian
menuntut bahwa peraturan ini diberlakukan secara diskriminatif terhadap barang-
barang porno untuk seks sejenis. Beberapa stasiun TV juga telah menyiarkan film-film
porno ringan setelah lewat tengah malam. Pornografi dan pornoaksi anak ilegal,
meskipun sebuah keputusan Mahkamah Agung Kanada yang kontroversial baru-baru
ini tentang hak privasi sangat mempengaruhi usaha pemerintah untuk melacak dan
menyitanya. Lihat pula Sensor di Kanada.
• Kolombia: Pornografi dan pornoaksi anak dilarang di bawah konstitusi baru.
Pemasarannya diatur dengan ketat. Kebanyakan bahan dijual di pasar gelap. Bogota
mempunyai sekurang-kurangnya 300 tempat di mana pornografi dan pornoaksi porno
berat dapat diperoleh secara legal.
• Malaysia: Ilegal, namun penegakan hukum sangat lemah.
• Meksiko: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan kepada anak-anak di bawah usia 18,
namun penegakan hukum lemah.
• Norwegia: Bahan-bahan porno berat sudah lama secara de jure ilegal, tetapi pada
praktiknya legal, artinya, ilegal untuk membuat, mendistribusikan dan menjual, tetapi
legal untuk memilikinya. Orang dapat membelinya misalnya di luar negeri, lewat
internet, atau melalui TV satelit. Ada juga sejumlah toko porno yang ilegal, khususnya
kota-kota yang lebih besar. Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hukum, para editor
majalah-majalah, saluran TV domestik dan TV kabel erotik mengaburkan organ-
organ seksual yang melakukan aktivitas biasanya dengan menggunakan segi empat
hitam, dll. Tetapi, setelah Mahkamah Agung pada 7 Desember 2005 secara bulat
membebaskan seorang bekas editor majalah karena menerbitkan porno berat yang
tidak ditutupi pada 2002, dipahami bahwa porno berat tercetak tidak lagi ilegal, dan
diharapkan bahwa majalah-majalah porno akan dapat dijual secara terbuka di toko-
toko umum. Belum jelas apakah keputusan Mahkamah Agung akan mempengaruhi
film atau TV. Namun perlu dicatat bahwa menggambarkan kegiatan-kegiatan seksual
yang melibatkan anak-anak, binatang, nekrofilia, pemerkosaan, atau dengan
menggunakan kekerasan tetap ilegal.
• Prancis: Pornografi dan pornoaksi yang sangat penuh kekerasan atau sangat grafis
sangat jelas diberi peringkat X, dan hanya boleh diperlihatkan di bioskop-bioskop
tertentu. Bahan-bahan ini tidak boleh dipampangkan kepada anak-anak. Pornografi
dan pornoaksi dikenai pajak khusus 33% untuk film-film peringkat X, 50% untuk
pelayanan porno online. Sistem peringkatnya kontroversial; misalnya, pada 2000, film
Baise-moi yang secara seksual eksplisit dan penuh kekerasan mula-mula diberi
peringkat hanya "terbatas" oleh pemerintah Prancis, tetapi klasifikasi ini dibatalkan
oleh keputusan Conseil d'État Dewan Negara berdasarkan tuntutan yang diajukan oleh
perhimpunan-perhimpunan yang mendukung agama Kristen dan nilai-nilai keluarga.
• RRT: Baru-baru ini melegalkannya, majalah-majalah dewasa dijual kepada umum,
meskipun isi aturannya secara spesifik tidak diketahui.
• Rusia: Produksi dan distribusi secara eksplisit dilarang, tetapi Duma negara bagian
telah berkali-kali gagal untuk mengesahkan undang-undang yang mengatur bahan-
bahan porno, sehingga status dari kebanyakan materi tidak jelas. De jure semua
pornografi dan pornoaksi diizinkan termasuk porno anak-anak, tetapi de facto ada
sejumlah batasan tentang di mana bahan-bahan itu dapat dijual. Hubungan seksual
dengan binatang dan pornografi dan pornoaksi anak-anak de facto dilarang. Majalah-
majalah erotik dijual secara terbuka, biasanya tidak menampilkan puting susu dan
daerah rambut kemaluan di sampulnya. Kebanyakan materi difilmkan di Saint-
Petersburg; di sana hukum mendefinisikan pornografi dan pornoaksi sebagai materi-
materi termasuk pemerkosaan, bestiality, nekrofilia atau pornografi dan pornoaksi
anak, sehingga semua bahan lainnya tergolong erotika legal.
• Singapura: Ilegal, termasuk penerbitan ringan seperti Playboy.
• Slovenia: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan kepada anak-anak yang berumur kurang
dari 18 tahun. Mempertontonkan alat kelamin pada sampul majalah dilarang kecuali
bila dikaburkan.
• Swedia: Bahan yang melibatkan binatang de-facto legal tetapi dikenai undang-undang
kesejahteraan binatang. Boleh ditonton oleh mereka yang berusia minimal 18 tahun,
tidak ada batas untuk majalah. Orang berusia di bawah 18 tahun dilarang berperan
dalam film-film buatan Swedia.
• Swiss: Legal, dikenai sejumlah perkecualian: penjualan atau memperlihatkan kepada
orang-orang berusia di bawah 16 tahun atau kepada penonton yang tidak
menyetujuinya dapat dikenai hukuman denda atau penjara hingga tiga tahun.
Hukuman yang sama dapat dikenakan untuk pemilikan, penjualan, impor, dll. terhadap
materi pornografi dan pornoaksi anak, bestiality, pengeluaran hajat atau tindakan-
tindakan kekerasan. Ada perkecualian untuk pornografi dan pornoaksi apabila
mengandung nilai-nilai budaya atau ilmiah. Lihat Ayat 197 Undang-undang Pidana.
• Taiwan: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan kepada anak-anak di bawah usia 18
tahun. Memampangkan alat kelamin pada sampul majalah dilarang kecuali bila
dikaburkan.
• Turki: menjual kepada anak-anak di bawah 18 tahun ilegal.
• Vietnam: Ilegal. Penegakan hukum ketat. Menurut undang-undang, pornografi dan
pornoaksi merusakkan nilai-nilai standar Vietnam. 13
• Yunani: Majalah-majalah ringan, kalender, dan kartu permainan dijual secara terbuka
di kios-kios tepi jalan dan di toko-toko wisata. Pornografi dan pornoaksi yang ekstrem
atau sangat jelas umumnya dibatasi hanya dijual di toko-toko dewasa. Kini
kebanyakan kios di Athena memampangkan majalah-majalah dan DVD porno berat.

B. Pornografi dan Pornoaksi dalam Masyarakat Lokal


1. Fenomena Pornografi dan pornoaksi
Di Indonesia pornografi dan pornoaksi sebagai ladang yang subur. Fenomena yang
munculpun bagaiakan fenomena "gunung es". Oleh karenanya hampir tiap tahun dapat
dipastikan akan muncul kasus-kasus pornogarafi walaupun dalam wajah yang berbeda, dan
penegakan hukumnya pun juga boleh dibilang hanya isapan jempol. Resminya pornografi dan
pornoaksi di Indonesia ilegal, namun penegakan hukum sangat lemah dan interpretasinya pun
tidak sama dari zaman ke zaman. Perhatikan kasus yang mencuat dari tahun-ketahun tentang
kasus pornografi dan pornoaksi yang semakin beragam dan meningkat;

1929-an

Pada 1929 diputar di Jakarta film Resia Boroboedoer yang menampilkan untuk pertama
kalinya adegan ciuman dan kostum renang.

1950-an
Pada 1954 Nurnaningsih menimbulkan kehebohan di masyarakat umum karena berani tampil
berani dalam beberapa filmnya yang antara lain disutradarai oleh Usmar Ismail Krisis dan
Djadug Djayakusuma Harimau Tjampa. Di beberapa majalah dimuat fotonya yang seronok.
Bahkan kemudian foto bugilnya tersebar luas di masyarakat. Belakangan baru diketahui
bahwa foto-foto itu adalah hasil teknik montage, sementara Nurnaningsih sendiri tidak pernah
tahu-menahu tentang pembuatannya. Tujuh Aktris tenar lainnya yang pernah menjadi korban
serupa adalah Titien Sumarni dan Netty Herawati.

Pada 1955, adegan ciuman antara Frieda dan S. Bono dalam film Antara Bumi dengan Langit
disensor karena reaksi berat dari masyarakat.

1960-an
Sesuai dengan semangat zamannya, film Indonesia pada periode ini banyak didominasi oleh
film-film revolusi, seperti Pejuang 1960, Toha Pahlawan Bandung Selatan 1961, Anak-anak
Revolusi 1964, dll. Semangat anti nekolim pada tahun 1963-1965 diterjemahkan ke dalam
gerakan anti film-film asing yang kebanyakan diimpor dari Amerika Serikat.

1970-1980-an
Pada awal 1970-an, perfilman Indonesia berhasil untuk pertama kalinya menggunakan teknik
film berwarna. Dunia film Indonesia bangkit dari kelesuan yang panjang. Pada 1974, Rahayu
Effendy menjadi simbol seks ketika tampil bugil dengan Dicky Soeprapto dalam Tante
Girang. Suzanna tampil sebagai bintang film berani dalam adegan ranjang seperti misalnya
dalam film “Bernapas Dalam Lumpur” 1970 yang diarahkan oleh Turino Djunaedy dan
“Bumi Makin Panas” karya Ali Shahab. Meskipun demikian penampilan adegan bugil dalam
sebagian dari film-film yang bertema panas itu bukan sekadar eksploitasi murahan. Suzanna,
misalnya, meraih penghargaan sebagai Aktris Terbaik se-Asia pada Festival Film Asia Pasifik
di Seoul 1972.

Di pihak lain, pada tahun 1980-an ini juga muncul film-film yang menampilkan aktris-aktris
cantik dan seksi, dengan pakaian minim, seperti yang terdapat dalam film-film Warkop,
namun semuanya lolos sensor, meskipun muncul berbagai protes dari masyarakat.

Sejumlah film muncul dengan judul-judul yang menjurus ke pornografi dan pornoaksi, juga
merajalela pada masa, seperti “Bernafas di Atas Ranjang, Satu Ranjang Dua Cinta”, Wanita
Simpanan, Nafsu Birahi, Nafsu Liar, dll. Sejumlah pemain yang muncul dalam film seperti
itu, antara lain Inneke Koesherawaty, Ibra Azhari, Lisa Chaniago, Febby Lawrence, Teguh
Yulianto, Reynaldi, Kiki Fatmala, dll.

Pada periode yang sama, masyarakat dihebohkan dengan beredarnya kalender bugil dengan
model Indonesia. Para model dan juru fotonya diajukan ke pengadilan dan dikenai tuntutan
hukum.

TVRI yang merupakan satu-satunya saluran televisi hingga akhir 1980-an, menampilkan
sensor yang sangat ketat terhadap film-film yang disiarkannya. Misalnya, adegan ciuman
sama sekali diharamkan sehingga seringkali muncul adegan yang menggelikan, ketika --
karena gunting sensor -- sebuah pasangan ditampilkan seolah-olah menghindari tabrakan
bibir. Sementara itu, kehadiran teknologi video telah semakin mempermudah akses terhadap
film-film asing yang tidak disensor. Acapkali diberitakan di surat kabar tentang masyarakat
pedesaan yang menayangkan film-film biru pada acara-acara perhelatannya dengan menyewa
video. Begitu pula bus-bus malam dan hotel-hotel seringkali menyiarkan video-video panas,
sementara Badan Sensor Film tampak tidak berdaya.

1990-2000-an
Pada periode ini pengaruh kemajuan teknologi informasi semakin terasa dan sukar dihindari.
Kehadiran parabola televisi, VCD, laser discs, DVD dan internet, semuanya membuat film
dan gambar panas semakin mudah ditemukan, baik di kota besar maupun kecil, bahkan
sampai ke pedesaan sekalipun.

Pada 1996 Ayu Azhari muncul dalam adegan panas dalam sebuah film Amerika, The
Outraged Fugitive.

Tersedianya kamera video dan videophone dengan harga relatif murah telah memungkinkan
orang merekam adegan-adegan panas, yang pada mulanya dimaksudkan hanya untuk koleksi
pribadinya. Pada periode inilah muncul sejumlah kasus seperti sepasang mahasiswa dari kota
Bandung, atau peredaran klip video yang dibuat dengan videophone oleh seorang pejabat di
Kalimantan. Terahir yang tak kalah heboh adalah kasus "Adegan Mesum anggota DPR
dengan Artis dangdut".

Awal April 2006 majalah Playboy edisi Indonesia beredar pertama kali dalam versi yang jauh
berbeda dengan aslinya, meskipun rencana peredarannya jauh-jauh hari telah banyak
ditentang oleh berbagai unsur masyarakat dan pemerintah.

Sebagian kalangan di masyarakat berusaha menangkal perubahan-perubahan dahsyat ini


melalui Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan pornoaksi. Sebagian lagi merasa
bahwa RUU APP ini hanya akan memasung kreativitas seni dan mengabaikan kemajemukan
di dalam masyarakat.

2. Pandangan KUHP

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang tidak ditemukan pasal-pasal


yang secara tegas mengatur masalah pornografi dan pornoaksi ini. Namun demikian bukan
berarti sama sekali tidak ada pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku
pornografi dan pornoaksi ini. Sebagai contoh dapat digunakan pasal 533 KUHP yang selama
ini dikenal dengan pasal pelanggaran kesopanan.
Meskipun pada pasal tersebut yang menjadi ukurannya adalah kesopanan, maka secara
umum pornografi dan pornoaksi yang ditunjukkan di depan umum maupun pornoaksi di
depan publik merupakan pelanggaran kesopanan bagi bagian terbesar masyarakat Indonesia
yang religius.

Atas dasar analisa yang demikian maka sebenarnya pasal 533 KUHP ini sudah dapat
dijadikan jerat hukum menindak pelaku pornografi dan pornoaksi. Sayangnya belum semua
Hakim memiliki keberanian moral untuk memposisikan pasal tersebut untuk menghukum
pelaku pornografi dan pornoaksi sehingga mereka seolah-olah mendapat kebebasan menebar
pornografi dan pornoaksi ini di tengah-tengah masyarakat.

Kita dapat merasakan akibat menjamurnya pornografi dan pornoaksi ini, contoh:
Menjamurnya keyboard porno, maka yang menjadi sasarannya adalah moral bangsa. Tidak
hanya para remaja tetapi juga para orang tua sudah banyak yang menjadi korban kerusakan
moral. Bukankah sudah sering kita baca berita seorang ayah tega memperkosa putri
kandungnya, seorang kakek mencabuli cucunya yang masih balita, dan lain-lain lagi. Kalau
ditelusuri maka faktor penyebab utamanya adalah karena sudah terlalu menjamur dan
merajalela pornografi dan pornoaksi.

Semetara kita tidak memiliki keberanian menjerat dan menghukum pelaku pornografi
dan pornoaksi, semata-mata karena tidak adanya pasal-pasal yang secara tegas mengatur
tentang hal itu. Sebenarnya kita tidak harus terpaku dengan bunyi suatu pasal perundang-
undangan yang mengakibatkan kekakuan dalam penerapan hukum. Hakim secara moral diberi
kewenangan untuk berijtihad mengembangkan dan menginterpertasi peraturan perundang-
undangan atau dalil hukum guna menegakkan keadilan.

Bahkan dalam keyakinan Islam, andaikata seorang hakim tersalah dalam ijtihadnya, ia
masih berhak untuk mendapatkan satu pahala. Sehingga dengan demikian meskipun pasal-
pasal KUHP tidak secara tegas menyebutkan kejahatan atau pelanggaran pornografi dan
pornoaksi, maka pelaku pornografi dan pornoaksi ini masih dapat dijerat dengan alasan
pelanggaran tentang kesopanan.

Disamping kita harus memiliki keberanian berijtihad sebagaimana dikemukakan di


atas, kita juga dituntut mereformasi sanksi hukum yang terlalu ringan untuk pelanggaran
kesopanan ini yakni hukuman kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 3.000,-.

Sanksi hukum yang demikian terlalu ringan bagi pelaku pornografi dan pornoaksi
yang telah menghancurkan moral masyarakat dan bangsa sedemikian dahsyat. Dalam hal ini
Hakim tidak salah menempuh "contra legen" tentunya dengan pertimbangan hukum yang
akurat guna menjatuhkan sanksi hukum yang benar-benar memenuhi rasa keadilan. Tanpa
adanya keberanian kita melakukan terobosan-terobosan seperti ini, maka Indonesia baru yang
kita cita-citakan bersama hanya merupakan utopia, atau bagaikan fatamorgana di tengah-
tengah kegersangan padang pasir.

B. Kontraversi RUU APP Dalam Masyarakat


Sejak diluncurkan, Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi RUU
APP telah memancing polemik luas dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat terbelah antara
kubu pro dan kontra. Tidak hanya di masyarakat, di lembaga legislatif DPR pun terjadi
pedebatan keras. Dua fraksi yang menentang RUU APP adalah FPDI Perjuangan dan Fraksi
Partai Damai Sejahtera. Fraksi-fraksi lain, termasuk Fraksi Partai Golkar dan Fraksi
Demokrat, mendukung RUU ini. Fraksi partai-partai Islam tentu menjadi kelompok
pendukung utama RUU APP.

Kalau dicermati dengan seksama, RUU APP merupakan kebutuhan fundamental bagi
bangsa Indonesia ke depan. Sekalipun sebagaian sudah diatur dengan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana KUHP, akan tetapi terbukti regulasi ini tidak cukup untuk mengurangi tingkat
dekadensi moral yang terjadi dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pornografi
dan pornoaksi. Melihat beberapa indikator, dekadensi moral dan akhlak masyarakat Indonesia
sudah sangat memprihatinkan.

Harus diakui, persoalan dekadensi moral tidak cukup dengan diseminasi regulasi-
regulasi baru, tetapi setidak-tidaknya hal itu menjadi ikhtiar untuk mengurangi gejala
dekadensi moral dalam masyarakat yang sedang berubah. Secara filosofis, RUU APP
merupakan "jawaban" atas kebutuhan masyarakat transisi, seperti Indonesia. Di manapun,
masyarakat transisi selalu rentan terhadap pelbagai perubahan dan gejala sosial dan budaya
baru, sehingga perlu dibentengi dan dipagari dengan regulasi yang lebih kokoh.
Sesungguhnya tidak ada alasan kuat menolak RUU APP, kecuali jika belum ada revisi,
sebagaimana tadinya dimasalahkan kelompok-kelompok penentang. Apa yang dikhawatirkan
masyarakat Sulawesi Utara, Papua, Bali dan kelompok-kelompok ''minorias'' lainnya hanyalah
ketakutan yang absurd. Jika dicermati pasal per pasal, RUU APP sebenarnya tetap
mengakomodasi pluralisme atau keanekaragaman budaya dan masyarakat Indonesia.
Alasannya, hampir tidak mungkin negara kemudian melarang masyarakat Papua mamakai
koteka karena dinilai ''porno'' menurut negara, karena koteka adalah pakaian tradisional
masyarakat lokal yang diwariskan secara temurun. Kalau hal itu terjadi, RUU APP bisa
dinilai melanggar hak asasi manusia HAM dan UUD 1945. Bukankah konstitusi kita sangat
menghormati keanekaragaman dan keunikan kultural masyarakatnya?

Ketika kontroversi meluas, muncul pula gugatan dari beberapa kalangan bahwa
semestinya pemerintah menanggulangi akar permasalahan maraknya pornografi dan
pornoaksi di tengah masyarakat. Sekalipun mempunyai pasal-pasal yang bagus, RUU APP
belum tentu akan bisa memerangi pornografi dan pornoaksi, ketika akar permasalahannya
tidak dipahami dan ditanggulangi terlebih dahulu.

Analoginya hampir sama dengan masalah keterkaitan antara pelacuran dan kesulitan
ekonomi masyarakat. Banyaknya perempuan yang terjun ke dunia prostitusi umumnya karena
terdesak oleh persoalan ekonomi. Apakah pemerintah atau negara sudah memikirkan masalah
perbaikan ekonomi para perempuan dan masyarakat pada umumnya, ketika di sisi lain harus
ada regulasi yang melarang prostitusi?

Intinya, persoalan pornografi dan pornoaksi bukanlah persoalan sederhana, tapi butuh
pengkajian komprehensif. DPR yang menjadi inisiator RUU APP mengaku telah melakukan
pengkajian mendalam. Bertahun-tahun mereka melakukan pendalaman atas persoalan
pornografi dan pornoaksi, termasuk pelbagai implikasi hukum, sosial, politik, budaya dst
yang bakal muncul ketika RUU APP kelak diundangkan. Tidak sedikit pula biaya yang
terpakai untuk menggodok RUU. Tentu sayang sekali, jika RUU yang berbiaya besar tersebut
pada akhirnya hanya akan menjadi RUU yang tidak ada implikasi dan dampaknya bagi
perbaikan kehidupan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.
Pornografi dan pornoaksi memang membutuhkan sebuah pengaturan yang tegas dari
negara. Persoalannya tak bisa diselesaikan di tingkat masyarakat, sekalipun mekanisme
kontrol masyarakat sangat penting sebagai tindakan preemptive. Tindakan berbau pornografi
dan pornoaksi tak bisa dibiarkan begitu saja, karena bisa berdampak jauh kepada moralitas
generasi masa depan. Jangankan di Indonesia atau negara-negara Arab Timur Tengah, di
negara Barat saja masalah pornografi dan pornoaksi. Untuk itu ada beberapa kalangan yang
menganggap bahwa sangat urgensi tentang munculnya Undang-Undang APP. Diantara
pentingnya undang-undang tersebut dengan berbagai alasan:

1. KUHP terbukti tidak cukup untuk mengurangi tingkat dekadensi moral yang terjadi
dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi
danpornoaksi.
2. RUU APP merupakan kebutuhan fundamental bagi bangsa Indonesia ke depan, yang
secara filosofis merupakan ''jawaban'' atas kebutuhan masyarakat transisi, seperti
Indonesia.
3. Di manapun, masyarakat transisi selalu rentan terhadap pelbagai perubahan dan gejala
sosial dan budaya baru, sehingga perlu dibentengi dan dipagari dengan regulasi yang
lebih kokoh.
4. Tidak ada alasan kuat menolak RUU APP, kecuali jika belum ada revisi, sebagaimana
tadinya dimasalahkan kelompok-kelompok penentang.
5. Yang dikhawatirkan masyarakat Sulawesi Utara, Papua, Bali, dan kelompok-
kelompok ''minorias'' lain hanyalah ketakutan yang absurd.
6. Jika dicermati pasal per pasal, RUU APP sebenarnya tetap mengakomodasi pluralisme
atau keanekaragaman budaya dan masyarakat Indonesia.
7. Di negara Barat saja masalah pornografi dan pornoaksi diatur secara ketat.
Sementara itu, juga perlu diangat selain ada yang pro juga ada yang kotra dalam
menaggapi tentang Rancana Saat ini, pornografi dan pornoaksi telah menjadi bisnis besar
dengan keuntungan yang menggiurkan. Perdagangan majalah, tabloid, vcd, program televisi,
serta situs porno di internet, telah menjadi 'tambang uang'. Bisnis ini jelas terancam jika RUU
APP disahkan. Karenanya, tidak tertutup kemungkinan kepentingan bisnis ikut melatari
penolakan ini. Pornografi dan pornoaksi juga telah menjadi simbol aliran budaya Barat bisa
juga dibaca liberal. Belakangan, westernisasi menjadi dinamika yang tak terbendung
alirannya. Di bidang ekonomi, westernisasi terus dikampanyekan. Hal serupa juga terjadi
pada aspek seni dan budaya, kehidupan sosial, juga agama. Motif westernisasi ini juga punya
peluang ikut bermain dalam aksi menolak RUU APP.

Unsur ideologi penolakan RUU APP ini bisa terlihat dengan munculnya tuduhan
bahwa pembuatan RUU APP merupakan langkah awal untuk menerapkan syariat Islam.
Dalam artikelnya, Goenawan Mohamad, juga menganggap upaya untuk menyusun RUU APP
sebagai langkah untuk 'mengarabkan' Indonesia. Dalam banyak kasus, dunia Arab
disimbolkan sebagai Islam.56

56
Jumat 10 maret 2006 , Republika, Paranonia Menolak RUU APP, Irfan Junaidi
Terkait dengan Undang-Undang tentang Anti pornografi dan pornoaksi tersebut, dari
hasil pengamatan penulis sedikitnya ada enam jenis alasan yang kerap dikemukakan para
penolak RUU APP yaitu;
Pertama, mereka menganggap aturan tersebut sebagai alat mengekang kebebasan
kaum perempuan dan menjadikan perempuan sebagai korban. Larangan membuka segala hal
sensual, seolah-olah hanya disasarkan kepada perempuan. Padahal, jika diamati pasal demi
pasal, jelas sekali kata yang dipilih tidak menunjuk pada jenis kelamin tertentu. Mulai dari
Pasal 4 hingga Pasal 33, hampir semuanya diawali dengan kata ''setiap orang''. Artinya, laki-
laki maupun perempuan bisa terkena implikasi. Substansi pasal-pasal itu juga tidak menunjuk
kelompok gender tertentu. Rancu jika aturan itu disebut merugikan perempuan.
Alasan kedua, aturan itu bertentangan dengan adat istiadat di sebagian wilayah. Bali
dan Papua kerap dijadikan modelnya, karena pakaian adatnya memang tidak menutup aurat
secara sempurna. Mereka khawatir, warga di kedua wilayah tersebut bakal dijerat hukum jika
RUU APP disahkan menjadi UU. Sungguh logika ini sangat dipaksakan. Logika yang sangat
awam pun mengetahui bahwa aturan itu disiapkan bukan untuk menjerat masyarakat adat Bali
yang hanya mengenakan kemben, maupun warga Papua yang hanya berkoteka. Lagi pula,
dalam diskursus soal pornografi dan pornoaksi yang berjalan selama ini, masyarakat dari
kedua wilayah tersebut tidak pernah ikut dihitung. Mengapa tiba-tiba mereka dijadikan
'tameng'?

Dasar penolakan ketiga menyebutkan bahwa urusan pornografi dan pornoaksi cukup
diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Jika KUHP memang mencukupi,
tentulah fenomena pornografi dan pornoaksi tidak akan marak seperti sekarang. Karena itulah
perlu aturan yang menyempurnakannya.

Alasan keempat menuding RUU APP sebagai bentuk intervensi negara terhadap ruang
privat warga negaranya. Alasan ini kerap sekali terdengar. RUU APP seolah-olah dianggap
hanya mengatur masalah pakaian dan tubuh perempuan an sich. Sensualitas yang dibatasi
RUU APP adalah sensualitas yang memasuki ruang publik. Karena itu, istilah
''dipertontonkan di muka umum'', ''disiarkan/menyiarkan'', ''menyebarkan'', bertebaran dalam
draf RUU tersebut. Sensualitas yang berada di ruang privat, memang tidak boleh dijangkau
negara. Urusannya menjadi lain jika sensualitas itu memasuki ruang publik.

Yang kelima adalah alasan yang sangat klasik: membuat kreasi seni dan budaya
menjadi kering. Dalam persepsi saya, argumentasi ini sungguh merendahkan derajat para
seniman dan budayawan. Secara tidak langsung, argumentasi ini menganggap kreativitas
seniman dan budayawan hanya mampu berada di area sensual. Karenanya, hasil karya mereka
menjadi kering ketika area itu dibatasi. Seniman dan budayawan yang menjadikan sensualitas
sebagai 'tumpuan hidupnya' memang pantas risau dengan adanya RUU APP. Sebaliknya,
mereka yang ruang kreasinya lebih luas dari sekadar sensualitas, tentu tidak perlu khawatir.
Bukan baru kali ini pornografi dan pornoaksi dan seni dibentur-benturkan. Ini adalah alasan
yang sangat klasik. Atas nama seni, orang boleh telanjang di muka umum. Mereka yang
mempersepsi ketelanjangan itu sebagai pornografi dan pornoaksi kemudian dianggap
berpikiran ngeres kotor dan disalahkan. Sebaliknya, orang yang tampil tanpa busana malah
dibela karena dianggap berani memperjuangkan kebebasan berekspresi. Semoga Allah
memberikan hidayah pada mereka! []
II
ABORSI

BAGIAN PERTAMA
FENOMENA ABORSI

Aborsi merupakan realitas sosial yang menggejala di kalangan masyarakat. Maraknya


praktek aborsi dalam masyarakat memasukkan fenomena tersebut dalam tingkat yang lumrah.
Ironisnya, aborsi mendapatkan justifikasinya oleh beberapa kalangan. Bahwa aborsi
dipandang sebagai salah satu bentuk otonomi perempuan atas tubuhnya. Aborsi merupakan
bagian dari hak reproduksi, dan hal ini berarti perempuan memiliki hak untuk mendapatkan
pelayanan aborsi yang aman. Lebih dari itu, hak reproduksi yang terkualifisir dalam
instrumen Hak Asasi Manusia semakin memuluskan praktek aborsi dan memperuncing
kompleksitas dampak-dampaknya.
Namun di ujung spektrum lainnya, banyak kalangan terutama agamawan memandang
aborsi sebagai yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan keagamaan. Hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa aborsi nyaris serupa dengan praktek pembunuhan. Secara afirmatif,
hukum Positif Indonesia seperti KUHP juga memetakan aborsi dalam tindak pidana.
Tarik ulur tentang kebolehan aborsi dan tidaknya menempatkan praktek tersebut
sebagai sesuatu yang sulit diketahui dan dilacak secara numerikal dengan pasti. Kendati
demikian, aborsi di kalangan masyarakat benar-benar terjadi dan ada. Kesulitan mengestimasi
angka praktek aborsi di lapangan secara akurat lebih dihadapkan pada kendala hukum dan
norma-norma sosial. Atas dasar itu, angka-angka yang diperoleh, pada dasarnya, belum
menunjukkan jumlah kejadian yang sebenarnya.
Sebagai ilustrasi banyaknya praktek aborsi, pada tahun 1994 diperkirakan terjadi
1.000.000 aborsi setiap tahun di Indonesia. 50% diantaranya dilakukan oleh mereka yang
belum menikah, dan dari jumlah ini kurang lebih 10-25% adalah remaja [Jayakarta,
3/10/1994]. Tahun berikutnya, Bali setiap hari ada 100 remaja di Denpasar dan Bandung
yang ingin dipulihkan dari kehamilan yang tidak mereka inginkan [Matra, November 1995].57
Secara spesifik, Sumapraja [Kompas, 30/11/1997] menyatakan 99,7% perempuan
yang melakukan aborsi adalah ibu-ibu yang sudah menikah. Sementara itu, penelitian
lapangan yang dilakukan oleh Indraswari dari FISIP Unpad pada tahun 1997 menyimpulkan
85% pelaku aborsi berstatus menikah. Penelitian ini juga mengungkapkan faktor-faktor yang
mendorong perempuan mengambil langkah abortus spontan ialah kelelahan, beban kerja
berlebihan dan kondisi kesehatan mencapai angka 20%. Selebihnya, 10% responden
melakukan abortus provokatus terapikus [APT], dan 65% responden melakukan abortus
provokatus kriminalis [APK].58
Akhirnya, persoalan aborsi tidak dapat dipandang secara sederhana. Dari sudut
pandang agama, aborsi secara tegas dinyatakan sebagai praktek yang dilarang. Tidak jauh
57
Adrina dkk, Hak-Hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung, [Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998],
h.117-118
58
Syafiq Hasyim [Ed], Menakar “Harga” Perempuan, [Bandung: Mizan, 1999], Cet. ke-1, h.152-154
berbeda dengan perspektif agama, aborsi dari segi moral juga dinilai sebagai tindakan asusila,
karena secara substansial aborsi tidak lebih dari bentuk pembunuhan janin yang tidak berdosa.
Sementara itu, dari aspek kesehatan, aborsi dipandang sebagai langkah untuk menekan dan
bahkan mencegah angka kematian ibu yang masih relatif tinggi terutama di Indonesia.
Dalam Lokakarya Nasional "Amandemen UU Kesehatan No.23 Tahun 1992" yang
diselenggarakan oleh Komisi VII DPR dan Koalisi untuk Indonesia Sehat di Gedung DPR
[hukumonline, 27 Desember 2006], koordinator Sub Komisi Kesehatan Komisi VII DPR-RI
dr. H.A. Sanoesi Tambunan menyatakan bahwa sekitar 30% dari kematian ibu di Indonesia
terjadi akibat abortus yang tidak aman dan tidak bertanggung jawab.
Karena itu, amandemen Pasal 60 UU No.23/1992 harus dilakukan. Secara khusus,
dalam Pasal 60 ayat [1] RUU Kesehatan disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban
melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak
aman, dan tidak bertanggung jawab, melalui peraturan perundang-undangan.
Secara sepintas, RUU tersebut melegalkan praktek aborsi, namun tidak demikian jika
ditelisik secara mendalam. RUU Kesehatan dimaksudkan untuk mengatur praktek-praktek
aborsi illegal dan tidak aman yang justeru menimbulkan komplikasi buruk bagi ibu akibat
pengguguran kandungan. Lebih lanjut, RUU Kesehatan disketsakan guna melindungi kaum
ibu dari kematian yang seharusnya dapat dicegah.
Konsekuensi logis dari itu adalah masalah aborsi dapat dinyatakan lebih merupakan
masalah kesehatan, dan bukan masalah moral ataupun agama. Alasannya, dampak dari aborsi
yang tidak aman sangat berbahaya bagi jiwa dan kesehatan ibu. Kehamilan yang tidak
diinginkan, secara psikologis, mengakibatkan kondisi keterpurukan dan desperate. Instabilitas
psikologis dalam tingkat-tingkat tertentu, mengimplikasikan tindakan yang pada mulanya
tidak terpikirkan namun pada akhirnya dianggap sebagai solusi final. Dalam konteks kasuistis
seorang ibu yang tengah mengandung dan yang dalam kondisi desperate, pengguguran janin
bukan tidak mungkin merupakan solusi untuk menghilangkan beban. Akibat illegalitas
abortus dalam hukum Indonesia dan kualifikasinya sebagai tindakan kriminal, maka calon ibu
mencari pelaku pengguguran yang illegal dan tidak aman, dan akhirnya menyebabkan
kematian.
Lebih dari itu, pengaturan abortus tidak hanya untuk melindungi jiwa dan kesehatan
ibu, tetapi juga kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Upaya percobaan penguguran janin
bukan tidak mungkin melahirkan bayi yang justru mempunyai kualitas kesehatan dan
intelegensia yang buruk.
Dengan demikian aborsi dan pengaturannya dari sudut pandang kesehatan
dimaksudkan untuk melindungi kesehatan ibu dan bayi. Lebih lanjut, pengaturan aborsi
dilakukan dengan persyaratan tertentu. Bahwa aborsi tidak dilakukan terhadap janin yang
telah berusia tiga bulan. Namun dari sudut hukum, aborsi dinilai sebagai tindak kriminal, dan
pencabangan [bifurcation] dari itu ialah pelaku aborsi dan penolong dari pelaku aborsi dapat
dijerat hukuman.
Namun kenyataan banyaknya pelaku aborsi, dalam perspektif hukum setidaknya
menunjukkan bahwa hukum belum mampu menampakkan efekfitifitasnya dalam memberi
efek jera. Lalu bagaimana dengan Islam yang melarang pembunuhan nyawa tidak berdosa dan
juga menuntut peningkatan kualitas generasi. Sementara penurunan angka dan bahkan
stagnasi pada titik nadir dalam fluktuatifitas kualitas intelegensia banyak diakibatkan oleh
upaya pengguguran janin yang illegal dan tidak aman.
Islam, salah satu agama dunia59 yang berkembang pesat di Indonesia, dalam
menghadapi agama-agama lain dan elemen-elemen dalam kehidupan sosial seperti hukum dan
kedokteran mempunyai sikap dasar ‘agree in disagrement’ dan ‘competition in good.60 Kedua
sikap tersebut akan mewujudkan kehidupan sosial yang tidak sekedar penuh harmonisasi,
tetapi juga kerjasama yang produktif dan dinamis. Namun dalam tataran realistisnya, truth
claims [klaim-klaim kebenaran] seringkali dihadapkan dengan stereotpyng negatif bahwa
agama tidak mencerminkan keadilan dan kurang memperhatikan asas kemanusiaan. Terkait
dengan aborsi, Islam yang tidak membolehkan penghilangan paksa nyawa dapat dianggap
sebagai agama yang ahumanis, karena mengesampingkan kesehatan sang ibu dan bayi.
Atas dasar itu, dipandang perlu untuk melakukan penelusuran aborsi dalam hukum
Islam terkait dengan kompleksitas kasus aborsi dalam tataran praktisnya di Indonesia.
Penelitian ini sangat penting dilakukan, karena akan berpengaruh pada proses perubahan
kehidupan sosial keagamaan masyarakat yang oleh Kung dilukiskan sebagai pergeseran
paradigma [paradigm shift] dan atau perubahan paradigma [paradigm change] terhadap unsur
instrinsik dan unsur ekstrinsik61 yang sudah tentu akan memunculkan pula implikasi
signifikan pada hubungan yang integral dan dinamis antara agama Islam dan pilar-pilar
kehidupan sosial lain, yaitu sisi hukum dan kedokteran.

BAGIAN KEDUA
ABORSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

A. Dasar Hukum Islam


Hukum Islam merupakan sistem hukum yang dinilai penting di dunia selain sistem
hukum Romawi Jerman, sistem hukum sosialis dan common law di dunia. Menurut David62
jika urgensitas ketiga sistem terakhir lebih disebabkan oleh perkembangannya yang pesat dan
sekaligus pengaruhnya yang signifikan terhadap perkembangan peradaban Barat, namun
hukum Islam lebih dilatarbelakangi oleh kaitannya yang amat erat dengan agama semit di
samping oleh sumber-sumber hukumnya yang orisinil.

59
Roland Robertson, ed., Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis terj. dari Sociology of
Religion oleh Ahmad Fedyani Saifuddin, [ Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995], h. 9
60
W. Mongomery Watt, Islamic Political Thought, [Edindurgh: Edinburgh University, 1987], h. 51
61
Hans Kung, Theology of The Third Millenium, [New York: Doubleday, 1988]
62
Brierly J. E. C. R. David, Major Legal Systems in The World Today, [London: 1968], h. 19
Islam menurut Lewis63 memiliki dua pengertian yang saling berhubungan, namun
dalam beberapa kasus justeru menghasilkan serangkaian paradoks yang pada akhirnya
mengaburkan makna Islam itu sendiri. Dalam satu pengertian, Islam menunjukkan sebuah
agama, sistem keyakinan, ibadah, pemikiran dan etika, dan dalam pengertian lain Islam
berarti peradaban yang tumbuh dan berkembang di bawah pengawasan agama Islam [Islam
secara sejarah].
Dalam suatu ceramahnya, Lewis64 memaparkan lebih lanjut, bahwa Islam mempunyai
tiga persepsi, pertama, Islam sebagai konsep terwujud dalam al-Qur’an dan Sunnah, karena
itu Islam secara konsepsional dinilai sebagai yang tidak berubah, kedua, Islam sebagai yang
disistematisasikan melalui interpretasi oleh para ulama berdasarkan konteks sosial budaya
masyarakat, dan atas dasar itu interpretasi Islam selalu berkembang dan dikembangkan sesuai
dengan tuntutan zaman, dan ketiga, Islam sebagai Islam sejarah yang diimplementasi dan
diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, hukum, negara dan kebudayaan.
Islam as such sebagai sistem kepercayaan, dengan demikian, merupakan agama Tuhan
yang bersifat transenden, abadi, samawi dan mutlak. Sakralitas Islam disebabkan oleh
transendensitas sumber-sumber agama yang berbasis wahyu divinitas al-Qur’an dan Sunnah
[revealed religion] dan yang tidak dapat diamandemen. Kendati demikian, sakralitas Islam
tersebut tidak lantas menjadikan Islam sebagai agama yang tidak berdimensi sosial, karena
Islam merupakan agama yang disampaikan oleh [Nabi] Muhammad dan untuk umat manusia.
Wahyu dari Allah sebagaimana yang tersurat dalam al-Qur’an dan Sunnah selalu
bersinggungan dengan berbagai aspek sosial, seperti toleransi, pendidikan dan lain-lain.
Konsepsi al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman manusia untuk mencapai kesalehan
individual dan sosial dipastikan selalu bersinergi dengan realitas sosial.
Dalam hal ini, legal rulings [hukum-hukum] menjadi pointer penting dalam
konstruksi teks-teks keagamaan karena objek hukum menyambung mata rantai keterkaitan
manusia secara vertikal dengan Tuhan, dan secara horisontal dengan sesama manusia dan
makhluk lainnya.
Al-Qur’an, menurut Syalthut,65 menegaskan bahwa Islam memiliki dua pilar
fundamental yang harus diobyektivasi dan lantas diinternalisasi dalam akal, hati dan hidup,
yaitu pertama, aqidah dan kedua, syariah. Al-Qur’an melekatkan ‘lem’ terminologi iman
untuk menjelaskan aqidah dan amal shalih untuk syariah. 66 Lebih lanjut, aqidah merupakan
teoritasi yang menuntut individu meyakininya lebih dahulu secara holistik dan tanpa ragu.
Syariah adalah peraturan-peraturan yang dilegislasikan oleh Allah untuk diimplementasikan
dalam kerangka menciptakan harmoni dalam hubungan manusia secara vertikal dengan Allah
dan horizontal dengan manusia dan alam.67 Bertolak dari struktur ayat qur’aniyah, Syalthut

63
Bernard Lewis, Islam dalam Krisis: Antara Perang Suci dan Teror Kotor, terj. Dari The Crisis of Islam:
Holy War and Unholy Terror, CET. 1, [Surabaya, Jawa Pos Press: 2004].
64
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Suci, CET. 2,
[Jakarta: Penerbit PARAMADINA, 2002].
65
Mahmud Syalthut, Al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarîah, [Kairo: Dâr al-Syurûq, 2001].
66
Konstruksi aqidah dan amal shaleh dalam bingkai unifikasi dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam surat al-
Kahfi/18: 107-108, dan an-Nahl/16: 97.

67
Ibid., h. 10
menyatakan bahwa aqidah menjadi basis fundamental dan poros dari syariat, dan syariat
merupakan implikasi dan konsekuensi serta pencabangan dari aqidah.
Syariah, dengan demikian, merupakan seluruh peraturan [syara’] yang bersumber dari
Allah [syâri’] dan disampaikan oleh Rasul kepada manusia,
Syariat merupakan program implementasi dari aqidah. Konsekuensi logisnya adalah
aqidah hanya satu dan seragam, dan sementara itu, implementasinya dapat berbeda-beda
sepanjang sejarah kemanusiaan. Sejarah menuliskan bahwa setiap rasul membawa syariatnya
masing-masing.
Karena aqidah menjadi sentral dari dan [serba] meliputi seluruh segi kehidupan, maka
ramifikasi dari itu ialah syariat sebagai program pelaksanaannya juga meliputi seluruh segi
kehidupan meski dalam berbagai paparan dan penyelesaian terhadap problematika
kemanusiannnya tidak disebutkan dalam preseden terperinci. Salah satu di antaranya adalah
segi hukum, segi peraturan-peraturan hidup dalam masyarakat yang mengatur perbuatan
manusia terhadap manusia lain dalam masyarakat.
Substansi al-Qur’an dan Sunnah yang ditujukan bagi manusia paripurna di seluruh
alam dan merupakan reaksi aktif dari serangkaian persoalan masyarakat menuntut
sistematisasi interpretasi terstruktur sebagai upaya aktualisasi teks sekaligus hukumnya dalam
dialektika hubungan teks dan realitas.
Paradigma ini memunculkan persepsi Islam sebagai yang ditafsirkan oleh ulama
namun tetap berporos pada syariah. Dalam hal ini, Islam sebagai hasil interpretasi ini disebut
dengan fiqh. Dengan demikian, Syariah merupakan wahyu Tuhan yang mengatur kehidupan
manusia secara universal, mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam. Syariah menjadi sumber primer seluruh
akitivitas manusia dan hanya berasal dari Tuhan. Sedangkan fiqh merupakan keputusan-
keputusan-keputusan yang disimplifikasikan dari syariah oleh ulama. Atas dasar itu, fiqh yang
merupakan ciptaan manusia bersifat temporal dan tunduk pada determinan sosiologis.
Sebaliknya syariah bersifat absolut dan tidak dapat dirubah.
Akhirnya, syariah, secara umum, mencakup konsep-konsep dasar yang transenden dan
eternal karena bersumber secara ontologis dari legislator tertinggi, sedangkan fiqh lebih
mengkristal pada hasil pemahaman manusia yang cenderung bersifat temporal sesuai dengan
dan mengikuti perkembangan budaya manusia dan perubahan sosial masyarakat. Dengan
demikian, dari sudut historisnya, syariah mendahului fiqh, karena syariah merupakan
pelembagaan kehendak Tuhan yang belum dimasuki oleh aktivitas akal interpreter, sedangkan
fiqh merupakan hasil analisa manusia terhadap syariah.
Di Indonesia, pengertian hukum Islam jika dialihbahasakan dengan menselaraskan
pengalihbahasaan dari bahasa Inggris [Islam law dan Islamic yurisprudence] yang lumrah di
kalangan muslim di atas menciptakan ambiguitas. Ambivalensi ini terjadi apabila ditelusuri
dari dan dikaitkan dengan pandangan bahwa atom dari syariah terkandung dalam al-Qur’an,
Sunnah, ijma [konsensus masyarakat Islam] dan qiyas [analogi]. Bahwa sinonimitas terdapat
pada term Islamic law dengan syariah [obyek analisa manusia] dan Islamic yurisprudence
dengan fiqh [hasil analisa manusia] berdampak pada ambiguitas tentang lahan syariah dan
fiqh. Banyak pakar Islam mengafirmasikan bahwa syariah ialah fiqh, dan fiqh ialah syariah.
Bahkan mayoritas cendekiawan muslim, seperti Zahrah68 mendefinisikan hukum Islam
sebagai seperangkat peraturan berbasis al-Qur’an dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku
manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat semua umat yang

68
Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, [Beirut: Dâr al-Fikr, 1958].
beragama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas ulama muslim berpendapat bahwa
hukum Islam mencakup hukum syariah dan hukum fiqh.
Ambiguitas mengenai term hukum Islam ini dapat dipahami, karena istilah hukum
Islam tidak termuat dan ditemukan dalam al-Qur’an, Sunnah dan literatur fiqh klasik. Al-
Qur’an, Sunnah dan literatur fiqh klasik menggunakan istilah syariah, fiqh dan derivasinya
untuk menyebut hukum Islam. Lebih lanjut, Al-Qur’an hanya menyebutkan hukum Allah dan
tidak hukum Islam.
Di kalangan masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah hukum Islam
yang satu dengan yang lain mempunyai persamaan dan sekaligus juga perbedaan. Istilah-
istilah tersebut adalah syariat, syariat Islam, fiqh, fiqh Islam dan hukum Islam. Kendati
istilah-istilah tersebut memiliki pengertian beragam, tetapi secara subtansial merujuk pada
sistem hukum yang terdiri atas dan bersumber dari kaedah hukum berbasis divinitas [al-
Qur’an dan Sunnah] dan kaedah hukum bersumber dari al-ra’yu.
Tidak jauh berbeda dengan itu, hukum Islam menurut teori ulama muslim zaman
pertengahan Islam ialah hukum yang terstruktur dari dan dibangun secara hiraerkis di atas
empat komponen sumber hukum, pertama, al-Qur’an, kedua, Sunnah, ketiga, ijma’
[konsensus], dan keempat, qiyas [penalaran analogis].
Menurut Muslehuddin69 sebagaimana yang dikutip dari Oxford English Dictionary
bahwa hukum adalah kumpulan aturan, baik dari produk atauran formal maupun adat, yang
diakui oleh masyarakat atau bangsa tertentu sehingga mengikat [individu]nya sebagai anggota
atau subyeknya.
Dengan demikian, hukum Islam adalah suatu kaedah hukum yang bersifat konkrit, dan
yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari Tuhan, serta yang merupakan jawaban atas
persoalan yang terjadi masa [Nabi] Muhammad. Bahwa hukum Islam yang bersumber dari
wahyu merupakan suatu sistem yang mengandung norma hukum baik yang bersifat haram,
wâjib, sunnah, makrûh, dan mubâh, dapat disebut sebagai norma hukum atau dalam bahasa
Islam al-ahkâm yang pada tahap selanjutnya disebut dengan hukum Islam. Hukum Islam itu
juga dapat dikaitkan dengan aturan formal atau nonformal dari pemahaman berbasis
sosiologis empiris dan normatif terhadap teks-teks divinitas pasca masa hayat [Nabi]
Muhammad. Kendati tidak sedikit materi hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad, tetapi
karena secara konseptual membentuk garis hirarki dari ideal makna hukum Islam yang
pertama, maka hasil ijtihad tersebut juga dinilai sebagai hukum yang memiliki nilai
religiusitas dan sanksi keagamaan.
Eksistensi hukum Islam yang pada prinsipnya mencakup dimensi sosial menjadikan
pelaksanaan hukumnya selain sebagai kewajiban religius juga menjadi rujukan pengambilan
kebijakan utama terhadap kepentingan umum [good public] masyarakat dan parameter
etikanya.
Konsep bahwa teks ilahiyah mempunyai permanensi mutlak dan pelaksanaannya
memiliki fleksibilitas sejalan dengan good public menunjukkan bahwa hukum Islam selain
merupakan instrumen yang konstan juga meliputi prinsip dasar hukum yaitu kebebasan.
Kebebasan ini terartikulasikan dalam aktivitas para pakar hukum. Secara spesifik, akitivitas
ini menampakkan adanya variasi-variasi, seperti istishlâh dengan tetap merujuk pada satu
sumber primer yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
Akhirnya, hukum Islam merupakan hukum agama dan hukum moralitas. Hal ini pada
tataran implementasinya mengkonsekuensikan balasan di dunia dan di akherat. Oleh karena
69
Muslehuddin, Muhammad, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist: A Comparative Study of
Islamic Legal System, [Lahore: Islamic Publications Ltd, 1980], h. 17
itu, hukum Islam melembaga dan menginternalisasi menjadi kebiasaan dalam kehidupan
setiap muslim guna meraih ketertiban, kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan
akherat.

BAGIAN KE-TIGA
DESAIN ABORSI

A. Pengertian Aborsi
Kata aborsi berasal dari bahasa Inggris yaitu abortion dan bahasa Latin abortus.
secara etimologis berarti, gugur kandungan atau keguguran.70 Dalam bahasa Arab, aborsi
disebut dengan al-ijhâdh atau isqâth al-haml.71
Adapun aborsi [isqâth al-haml] dalam pengertian terminologis sebagaimana yang
didefinisikan oleh para adalah pengguguran janin yang dikandung perempuan dengan
tindakan tertentu sebelum sempurna masa kehamilannya, baik dalam keadaan hidup atau mati

70M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, [Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998], h. 44

71
Banyak fuqaha kontemporer yang menggunakan istilah al-ijhadh. Misalnya Dr. Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamy wa adillatuhu, Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam
Mas’alah Tahd d an-Nasl, Wiqâyatan wa ‘Ilâjan, Syaikh al-Azhar [mantan] Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq dalam Ahkâm as-Syarî’ah al-Islâmiyyah fî Mâsa’il Thibbiyyah ‘an al-Amrâdh an-
î
Nisâ’iyyah wa Shihhah al-Injâbiyah. Namun demikian, beberapa fuqaha juga membedakan kedua istilah ini. Isqâth al-Haml
, misalnya, digunakan oleh dokter Arab untuk pengguguran
kandungan yang sudah tua, sementara al-Ijhâdh digunakan untuk pengguguran kandungan yang masih muda. Lihat KH.A.Aziz Masyhuri, Abortus Menurut Hukum Islam, [Makalah pada acara

Bathsul Masail NU Wilayah Jawa Timur, Oktober 1992, tidak diterbitkan]


sebelum si janin bisa hidup di luar kandungan namun telah terbentuk sebagian anggota
tubuhnya.72
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aborsi adalah:
1. Terpancarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup [sebelum hasil bulan keem-
pat dari kehamilan]; keguguran atau keluron;
2. Keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal [untuk makhluk hidup];
3. Guguran [janin].73
Dalam istilah kedokteran, aborsi adalah pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi
[kehamilan] 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.74
Sardikin Ginaputra dari Fakultas Kedokteran UI mendefinisikan aborsi sebagai
pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.
Sedangkan Maryono Reksodipura dari Fakultas Hukum UI mendefinisikan aborsi dengan
pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya [sebelum dapat lahir secara
alamiyah].75
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa aborsi adalah tindakan yang
dimaksudkan secara sengaja untuk menggugurkan kandungan yang belum cukup waktu untuk
hidup

B. Macam-macam Aborsi
Selaras dengan definisi yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka
dikenal dua macam bentuk aborsi yakni:
1. Abortus Spontaneous [aborsi spontan] yakni aborsi yang terjadi dengan sendirinya,
tidak disengaja dan tanpa pengaruh dari luar atau tanpa tindakan. Abortus spontan bisa
terjadi karena kecelakaan, penyakit syphilis, dan sebagainya.
2. Abortus Provocatus atau abortus arteficiallis, yakni aborsi yang dilakukan dengan
sengaja. Tindakan semacam ini dibagi dua:
3. Abortus provocatus thorapeuticus, yakni yang dilakukan atas dasar pertimbangan
medis yang sungguh-sungguh dan pada umumnya untuk menyelamatkan jiwa si ibu.
4. Abortus provocatus criminalis, yakni yang dilakukan tanpa indikasi medis apapun, dan
dianggap sebagai tindak pidana.76
Aborsi yang tersebut terakhir inilah yang sering disebut dengan aborsi illegal dan
diancam hukuman, baik pidana maupun hukum Islam. Sedangkan untuk dua macam aborsi
yang lain [abortus spontaneous dan abortus provocatus therapeuticus] hukum pidana dan
72
Jaad al-Haqq ‘Ali Jaad al-Haq, Ahkâm al-Syarî’ah al-Islâmiyyah fî Masâ’il al-Thibbiyah ‘an Amrâdh al-
Nisâiyyah wa Shihhah al-Injâbiyyah, [Kairo, Universitas al-Azhar, 1997], h. 135
73
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
[Jakarta: Balai Pustaka, 1995], CET. 2, h. 2
74
Ensiklopedi Islam [Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994], h. 33
75
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, [Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989],
CET. 3, h. 77
76
Harkristuti Harkrisnowo, Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum, [Makalah Seminar dan Lokakarya
Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh yang diselenggarakan oleh PP Fatayat NU, Jakarta, 2000], h. 4. Lihat juga
Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, [Surabaya: Bina Ilmu, 1986], h. 38-39
hukum Islam memberikan kualifikasi dan ketentuan yang berbeda-beda menurut faktor
penyebabnya, ringan dan beratnya serta jenis dan sifatnya.

C. Faktisitas Aborsi di Indonesia


Sebagaimana tersebut di atas bahwa aborsi di lapangan benar-benar merupakan fakta
sosial. Dan bahwa angka-angka aborsi belum cukup merepresentasi angka praktek aborsi
yang faktual dan karena itu, data tersebut sulit untuk dijadikan pedoman karena penelitian
yang akurat terbentur kendala hukum dan norma-norma sosial.
Lebih lanjut, data menyebutkan bahwa pada tahun 1994 diperkirakan terjadi 1.000.000
aborsi setiap tahun di Indonesia. 50% diantaranya dilakukan oleh mereka yang belum
menikah, dan dari jumlah ini kurang lebih 10-25% adalah remaja [Jayakarta, 3/10/1994].
Tahun berikutnya, Bali setiap hari ada 100 remaja di Denpasar dan Bandung yang ingin
dipulihkan dari kehamilan yang tidak mereka inginkan [Matra, November 1995].77
Sedangkan angka yang disodorkan oleh Prof. Sudraji Sumapraja, sebagaimana yang
tersebut dalam catatannya bahwa 99,7% perempuan yang melakukan aborsi adalah ibu-ibu
yang sudah menikah [Kompas, 30/11/1997]. Penelitian lapangan yang dilakukan oleh
Indraswari dari FISIP Unpad tahun 1997 menyimpulkan 85% pelaku aborsi berstatus
menikah. Penelitian ini juga mengungkapkan abortus spontan karena kelelahan, beban kerja
berlebihan dan kondisi kesehatan mencapai angka 20%. Selebihnya, 10% responden
melakukan abortus provokatus terapikus [APT], dan 65% responden melakukan abortus
provokatus kriminalis [APK].78 Sementara itu, Held dan Adriananz yang melakukan meta
analisis tentang kelompok resiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak diinginkan
mengemukakan bahwa ada 4 kelompok resiko: 1] kelompok kegagalan kontrasepsi [48%]; 2]
kelompok remaja [27%]; 3] kelompok praktisi seks komersial [14%]; dan 4] kelompok
korban perkosaan, incest, perbudakan seksual [9%].79
Sedangkan menurut penelitian tahun 2001 jumlah aborsi sekitar 2.3 juta, dan 15-20%
dilakukan remaja. Hal ini pula yang menjadikan tingginya angka kematian ibu di Indonesia,
menjadikan Indonesia sebagai negara yang angka kematian ibunya tertinggi di seluruh Asia
Tenggara [Majalah Gemari September 2001]
Angka-angka di atas, sekali lagi belum menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
Apalagi pada umumnya penelitian dilakukan dengan responden yang tidak banyak dan tidak
luas sebaran wilayahnya. Responden juga kurang jujur dalam menjawab pertanyaan karena
ada stigma-stigma tertentu mengenai aborsi.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan, tampak bahwa sebagian besar aborsi bukan
hanya disebabkan oleh kemauan murni perempuan. Aborsi dapat dilakukan akibat
kekhawatiran dengan resiko sosial, ketakutan kepada orang lain [suami atau orang tua dan
keluarga], adanya paksaan dari keluarga, adanya kondisi keluarga yang membuatnya tidak
berani mempunyai anak lagi. Namun demikian, aborsi yang semata-mata dilakukan karena
perempuan tidak mau punya anak, tampaknya sulit ditemukan datanya, Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah, dari perspektif agama, apakah kondisi-kondisi seperti itu bisa

77
Adrina, dkk, Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung, [Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998], h.
117-118
78
Syafiq Hasyim, ed., Menakar “Harga” Perempuan, [Bandung: Mizan, 1999], CET. 1, h. 152-154
79
Attashendartini Habsjah, Fakta-fakta Aborsi, [Makalah Semi-Loka Aborsi Dalam Perspektif Fiqh
Kontemporer, PPFNU, 2001], H. 4
disebut “ikrâh” yang konsekuensinya menempatkan perempuan pada posisi “ghairu
mukallaf”?

BAGIAN KE-EMPAT
ABORSI DALAM HUKUM ISLAM

A. Hukum Aborsi Dalam Islam


Perdebatan mengenai aborsi dalam Islam paling tidak mencakup tiga persoalan
penting yakni:
 Kapan seorang manusia dianggap mulai hidup, apakah sejak terjadinya konsepsi
atau ketika sudah mencapai usia tertentu;
 Bagaimana hukum aborsi, apakah semua aborsi dilarang atau ada aborsi tertentu
yang diperbolehkan;
 Bagaimana halnya dengan aborsi di luar perkawinan baik karena diperkosa
maupun karena zina;
 Apa akibat hukum aborsi dan sanksi yang dikenakan terhadap pelaku.
Persoalan pertama berkaitan erat dengan pertanyaan kapan aborsi dianggap sebagai
pembunuhan manusia berakibat hukum bagi pelakunya. Persoalan kedua terkait dengan fakta
bahwa aborsi bisa terjadi karena berbagai sebab, ada yang disengaja dan ada yang tidak.
Terhadap aborsi yang disengaja pun perlu dilakukan pemilahan lebih lanjut, apakah karena
alasan medis yang serius atau karena tekanan ekonomi, tekanan sosial dan sebagainya. Di
sinilah para ulama merasa perlu mendiskusikan “dharurat” yang menjadi alasan kebolehan
aborsi. Sedangkan persoalan ketiga menyangkut ketentuan-ketentuan yang lebih rinci
mengenai akibat hukum aborsi dalam berbagai bentuknya, yang semuanya itu dimaksudkan
untuk mencegah meluasnya aborsi, memberikan efek jera bagi pelaku, serta melindungi
kehidupan dan moralitas masyarakat dalam kerangka menjamin terealisasinya maqashid al-
syari’ah.
Terkait dengan penciptaan janin dan penyebutannya sebagai manusia, secara eksplisit
al-Qur’an tidak menyatakan kapan janin atau embrio disebut sebagai “manusia”. Namun
demikian al-Qur’an banyak menjelaskan proses perkembangan janin dalam kandungan ibu
baik secara sekilas maupun secara rinci. Ayat-ayat yang menjelaskan proses perkembangan
janin secara rinci adalah:

1. Q.S. al-Hajj : 5
‫ن‬D‫ م‬G‫م‬I‫ ث‬K‫ة‬M‫ق‬M‫ل‬M‫ع‬Q‫ن‬D‫ م‬G‫م‬I‫ ث‬K‫ة‬M‫ف‬Q‫ط‬I‫ن‬
Q‫ن‬D‫ م‬G‫م‬I‫ ث‬K‫اب‬M‫ر‬I‫ت‬Q‫ن‬D‫ م‬Q‫م‬I‫اك‬M‫ن‬Q‫ق‬M‫ل‬M‫خ‬G‫ن‬D‫إ‬M‫ فا‬D‫ث‬Q‫ع‬M‫ب‬Q‫ال‬M‫ن‬D‫ م‬K‫ب‬Q‫ي‬M‫ي ر‬D‫ ف‬Q‫م‬I‫ت‬Q‫ن‬I‫ك‬Q‫ن‬D‫ إ‬I‫اس‬G‫ا الن‬M‫ه‬l‫ي‬M‫اأ‬M‫ي‬
‫ا‬n‫ل‬Q‫ف‬D‫ط‬Q‫م‬I‫ك‬I‫ج‬D‫ر‬Q‫خ‬I‫ن‬G‫م‬I‫ى ث‬t‫م‬M‫س‬I‫ م‬K‫ل‬M‫ج‬M‫ى أ‬M‫ل‬D‫ إ‬I‫اء‬M‫ش‬M‫ن‬ M‫ م‬D‫ام‬M‫ح‬Q‫ر‬M‫أ‬Q‫ال‬
‫ا‬ D‫يف‬l‫ر‬D‫ق‬I‫ن‬M‫و‬Q‫م‬I‫ك‬M‫ل‬M‫ي~ن‬M‫ب‬I‫ن‬D‫ل‬K‫ة‬M‫ق‬G‫ل‬M‫خ‬I‫م‬M‫غ‬M‫و‬
D‫ر‬Q‫ي‬K‫ة‬M‫ق‬G‫ل‬M‫خ‬I‫م‬
K‫ة‬M‫غ‬Q‫ض‬I‫م‬
‫ا‬n‫ئ‬Q‫ي‬M‫ش‬K‫ م‬Q‫ل‬D‫ع‬D‫د‬Q‫ع‬M‫ب‬Q‫ن‬D‫ م‬M‫م‬M‫ل‬Q‫ع‬M‫ا ي‬M‫ل‬Q‫ي‬M‫ك‬D‫ ل‬D‫ر‬I‫م‬I‫ع‬Q‫ ال‬D‫ل‬M‫ذ‬Q‫ر‬M‫أ‬Q‫ىن‬M‫ل‬D‫إ‬
M‫ م‬Q‫م‬I‫ك‬Q‫ن‬D‫م‬M‫و‬
l‫د‬M‫ر‬I‫ ي‬G‫ىف‬M‫و‬M‫ت‬I‫ي‬Q‫ن‬M‫ م‬Q‫م‬I‫ك‬Q‫ن‬D‫م‬M‫و‬Q‫م‬I‫ك‬G‫د‬I‫ش‬M‫أ‬ ‫وا‬I‫غ‬I‫ل‬Q‫ب‬M‫ت‬D‫ل‬
G‫م‬I‫ث‬
]5[‫يج‬D‫ه‬M‫ ب‬K‫ج‬Q‫و‬M‫ز‬ ~‫ل‬I‫ ك‬Q‫ن‬D‫ م‬Q‫ت‬M‫ت‬M‫ب‬Q‫ن‬M‫أ‬M‫ و‬Q‫ت‬M‫ب‬M‫ر‬M‫و‬
Q‫ت‬G‫ز‬M‫ت‬Q‫ اه‬M‫اء‬M‫م‬Q‫ ال‬M‫ع‬ ‫ا‬M‫ه‬Q‫ي‬M‫ل‬
‫ا‬M‫ن‬Q‫ل‬M‫ز‬Q‫ن‬M‫ا أ‬M‫ذ‬D‫إ‬M‫ف‬M‫ه‬n‫ة‬M‫د‬D‫ام‬
M‫ض‬Q‫ر‬M‫أ‬Q‫ى ال‬M‫ر‬M‫ت‬M‫و‬

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan [dari kubur], maka
ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu
dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi …”. [Q.S. al-Hajj : 5]

2. Q.S. al-Mu’minun : 12 – 14

‫ة‬M‫ف‬Q‫ط‬l‫االن‬M‫ن‬Q‫ق‬M‫ل‬M‫خ‬G‫م‬I‫]ث‬13[K‫ين‬D‫ك‬M‫ م‬K‫ار‬M‫ر‬M‫ق‬D‫ي ف‬n‫ة‬M‫ف‬Q‫ط‬I‫ن‬I‫اه‬M‫ن‬Q‫ل‬M‫ع‬M‫ج‬G‫م‬I‫]ث‬12[K‫ين‬D‫ ط‬Q‫ن‬D‫ م‬K‫ة‬M‫ال‬


M‫ل‬I‫ س‬Q‫ن‬D‫ م‬M‫ان‬M‫س‬Q‫ن‬D‫إ‬Q‫اال‬M‫ن‬Q‫ق‬M‫ل‬M‫خ‬Q‫د‬M‫ق‬M‫ل‬M‫و‬
‫ر‬M‫اخ‬M‫ا ء‬n‫ق‬Q‫ل‬M‫خ‬I‫اه‬M‫ن‬Q‫أ‬M‫ش‬Q‫ن‬M‫أ‬
G‫م‬I‫ا ث‬n‫م‬Q‫ح‬M‫ل‬M‫ام‬M‫ظ‬D‫ع‬Q‫اال‬M‫ن‬Q‫و‬M‫س‬M‫ك‬M‫ ف‬n‫اما‬M‫ظ‬D‫ ع‬M‫ة‬M‫غ‬Q‫ض‬I‫م‬Q‫ال‬M‫ن‬Q‫ق‬M‫ل‬M‫خ‬M‫ف‬
‫ ا‬n‫ة‬M‫غ‬Q‫ض‬I‫م‬ M‫ة‬M‫ق‬M‫ل‬M‫ع‬Q‫ال‬M‫ن‬Q‫ق‬M‫ل‬M‫خ‬M‫ف‬
‫ا‬ n‫ة‬M‫ق‬M‫ل‬M‫ع‬
]14[‫ين‬D‫ق‬D‫ال‬M‫خ‬Q‫ال‬ I‫ن‬M‫س‬Q‫ح‬M‫ أ‬I‫ه‬G‫الل‬M‫ار‬M‫ب‬M‫ت‬M‫ف‬
M‫ك‬

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati [berasal]
dari tanah. [12] Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani [yang disimpan] dalam
tempat yang kokoh [rahim]. [13] Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang [berbentuk] lain. Maha
Suci Allah Pencipta Yang Paling Baik”. [14]

Di samping penjelasan secara terinci, dalam beberapa ayat Allah juga menyinggung
proses penciptaan manusia, misalnya:
1. Q.S. al-Qiyamah : 37 - 38
]38[‫ى‬G‫و‬M‫س‬M‫ ف‬M‫ق‬M‫ل‬M‫خ‬M‫ ف‬n‫ة‬M‫ق‬M‫ل‬M‫] ع‬M‫ان‬M‫ك‬
37[‫ى‬M‫ن‬Q‫م‬I‫ي‬
G‫م‬I‫ ث‬Ÿ‫ي‬D‫ن‬M‫ م‬Q‫ن‬D‫ م‬n‫ة‬M‫ف‬Q‫ط‬I‫ن‬
Q‫م‬M‫ل‬M‫أ‬I‫ك‬M‫ي‬
“Bukankan dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan [ke dalam rahim]. [37]
Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan
menyempurnakannya”. [38]

2. Q.S. as-Sajdah : 7 -9
‫اء‬M‫ م‬Q‫ن‬D‫ م‬K‫ة‬M‫ال‬
M‫ل‬I‫ س‬Q‫ن‬D‫ م‬I‫ه‬M‫ل‬
Q‫س‬M‫ ن‬M‫ل‬M‫ع‬M‫ج‬G‫م‬I‫]ث‬7[K‫ين‬D‫ ط‬Q‫ن‬D‫ م‬D‫ان‬M‫س‬Q‫ن‬D‫إ‬Q‫ال‬M‫ ق‬Q‫ل‬M‫خ‬M‫أ‬M‫د‬M‫ب‬M‫و‬
I‫ه‬M‫ق‬M‫ل‬M‫ خ‬K‫ء‬Q‫ي‬M‫ ش‬M‫ن‬M
G‫ل‬I‫ك‬
‫س‬Q‫ح‬M‫يأ‬D‫ذ‬G‫ال‬
]9[M‫ون‬I‫ر‬I‫ك‬Q‫ش‬M‫ا ت‬M‫م‬ n‫يل‬D‫ل‬M‫ق‬
‫ ا‬M‫ة‬M‫د‬D‫ئ‬Q‫ف‬M‫أ‬Q‫ال‬M‫و‬
M‫ار‬M‫ص‬Q‫ب‬M‫أ‬Q‫ال‬M‫ و‬M‫ع‬Q‫م‬G‫الس‬
I‫م‬I‫ك‬M‫ل‬M‫ل‬M‫ع‬M‫ج‬M‫و‬D‫ه‬D‫وح‬I‫ ر‬Q‫ن‬D‫ م‬D‫يه‬D‫ف‬ M‫خ‬M‫ف‬M‫ن‬M‫ و‬I‫اه‬G‫و‬M‫س‬
G‫م‬I‫]ث‬8[‫ين‬D‫ه‬M‫م‬
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah.[7] Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina [air mani].[8] Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam [tubuh] nya roh [ciptaan] -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; [tetapi] kamu sedikit sekali bersyukur.[9]”
Dalam ayat-ayat di atas, khususnya dua ayat yang pertama, secara rinci Allah SWT
menjelaskan proses penciptaan manusia dan perkembangan janin. Ayat-ayat di atas
menjelaskan bahwa pada awal kejadiannya manusia diciptakan dari tanah [Adam as],
selanjutnya anak cucu Adam diciptakan dari “nuthfah” [air mani] yang mengandung beribu-
ribu sperma yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Setelah salah satu sel itu bertemu
dengan ovum lalu menyatu dan bergantung pada dinding rahim, selang beberapa waktu
“nuthfah” itu berubah menjadi “’alaqah” [segumpah darah]. Selanjutnya ia akan berubah
menjadi “mudghah” [segumpal daging]. Kemudian Allah menciptakan tulang belulang dari
“mudghah” itu dan membungkusnya dengan daging. Selang beberapa waktu, ia akan menjadi
makhluk yang memiliki bentuk yang indah sampai dilahirkan ke dunia menjadi bayi.
Demikianlah, al-Qur’an menjelaskan tahapan-tahapan kejadian manusia di dalam
rahim. Namun demikian ayat-ayat di atas tidak menyebut kapan janin mempunyai jiwa/ruh.
Informasi mengenai hal ini terdapat dalam hadits Nabi. Paling tidak dua hadits Nabi yang
mengungkap peniupan ruh ke dalam janin, yakni:

1. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud:80

‫إن أحدكم يجمع خلقه فى بطن أمة أربعين يوما ثم يكون فى ذلك علقة مثل ذلك ثم يكون فى ذلك‬
‫ بكتب رزقه وأجله وعمله‬:‫مضغة مثل ذلك ثم يرسل الملك فينفخ فيه الروح ويؤمر بأربع كلمات‬
… ‫وشقي أوسعيد‬

“Sesungguhnya kamu berada di rahim ibumu selama 40 hari sebagai nuthfah,


kemudian menjadi ‘alaqah selama masa yang sama, lalu menjadi mudghah pada
masa yang sama pula. Lalu Allah mengutus seorang malaikat dan meniupkan ruh ke
dalam tubuhnya. Malaikat itu kemudian diperintahkanNya menulis empat kalimat,
lalu malaikat itu menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, kebahagiaan dan
kesengsaraannya…”.

2. HR. Muslim dari Huzaifah bin Asid:81


‫إذا مر بالنطفة ثنتان وأربعون ليلة بعث ال إليها ملكا فصورها وخلق سمعها وبصرها وجلدها‬
… ‫ يا رب أذكر أم أنثى؟ فيقضى ربك ما شاء ويكتب الملك‬:‫ولحمها وعظامها ثم قال‬
80
Hadits ini disebut Bukhari dalam kitabnya sebanyak 4 kali.Lihat al-Bukhari, Shahih Bukhari, CD.Rom,
Kitab Bad’I al-Khalqi bab Zikru al-Malaikat, hadits ke-2969, Kitab Ahadits al-Anbiya’ bab Khalqu Adam wa
Dzurriyyatuhu hadits ke-3085, Kitab al-Qadar bab Ma Jaa’a fi al-Qadar hadits ke-6105, Kitab at-Tauhid bab
Qawluhu Ta’ala Walaqad Sabaqat Kalimatuna hadits ke-6900.Muslim menyebutkan hadits ini dengan 6
sanad.Lihat Muslim, Sahih Muslim, [Beirut: Dar al-Fikr, 1992], juz II kitab al-Qadar bab Kayfiyyah al-Khalq al-
adami, hadits ke-2643. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim
81
Muslim bin Hajjaj, Ibid., Kitab al-Qadar, hadits ke-2644. Dalam bab yang sama Muslim juga meriwayatkan
4 buah hadits dari sahabat yang sama, namun dengan redaksi yang sedikit berbeda dan jumlah hari yang berbeda
pula. Dalam salah satu riwayat dikatakan 40 atau 45 hari, dalam riwayat lain disebutkan 40 hari, dan ada juga
riwayat yang menyebut secara terssamar, yakni emapat puluh hari lebih [bidh’un wa arba’in]
“Jika nuthfah melewati 42 malam, maka Tuhan mengutus malaikat untuk membentuk
rupa, pendengaran, penglihatan, kulit, daging dan tulangnya. Malaikat bertanya, “Ya
Tuhan, lelaki atau perempuan?” Allah pun memutuskan sesuai kehendakNya dan
malaikat mencatatnya…”.

Dari hadits-hadits di atas, ada dua informasi mengenai kapan ruh ditiupkan. Hadits
pertama menyatakan ruh ditiupkan setelah embrio melewati masa 120 hari yang terdiri dari
tiga tahap: 40 hari menjadi nuthfah, 40 hari menjadi ‘alaqah dan 40 hari menajadi mudghah.
Sedangkan hadits kedua mengatakan ruh ditiupkan setelah embrio melewati masa 42 hari.
Riwayat lain ada yang menyebutkan 40 hari dan 45 hari. Pemberian ruh kepada janin inilah
yang kemudian menjadi sumber ikhtilaf mengenai hukum aborsi karena keberadaan ruh
dianggap sebagian fuqaha sebagai tanda awal kehidupan manusia dalam arti yang
sesungguhnya, yakni manusia yang memiliki raga dan jiwa.
Sebagai konsekuensi dari pemahaman ayat dan hadits sebagaimana dijelaskan di atas,
para fuqaha membuat formulasi hukum yang berbeda-beda mengenai aborsi. Perlu untuk
dikemukakan di sini, para fuqaha [klasik] memberlakukan hukum ini secara umum, yakni
mencakup aborsi di dalam dan di luar perkawinan [kehamilan karena seks di luar nikah].
Hanya saja, perkembangan terakhir menunjukkan adanya formulasi hukum tersendiri bagi
aborsi yang disebabkan oleh hamil di luar nikah dengan alasan-alasan yang tidak semata-mata
bersifat fiqhi, melainkan juga menyertakan alasan-alasan yang sifatnya moral dan sosial.
Secara garis besar pemikiran hukum yang berkembang di seputar aborsi adalah:
1. Haram mutlak [‘ala al-ittifaq], kecuali ada uzur yang bersifat “dharuri”
Seluruh ulama dari semua madzhab sepakat bahwa aborsi setelah kehamilan melewati
masa 120 hari adalah haram, karena pada saat itu janin telah bernyawa. Dasar dari hukum
ini adalah hadits pertama sebagaimana yang telah dijelaskan. Karena pada usia tersebut
janin telah bernyawa, maka menggugurkannya sama dengan membunuh manusia [anak]
yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT, seperti yang tertera dalam Q.S. al-An’am
: 151,

‫ن‬D‫ م‬Q‫م‬I‫ك‬M‫اد‬M‫ل‬Q‫و‬M‫أ‬
‫وا‬I‫ل‬I‫ت‬Q‫ق‬M‫ا ت‬M‫ل‬M‫و‬M‫اس‬n‫ان‬
Q‫ح‬D‫إ‬D‫ن‬Q‫ي‬M‫د‬D‫ال‬M‫و‬Q‫ال‬D‫ب‬M‫ا و‬n‫ئ‬Q‫ي‬M‫ش‬
D‫ه‬D‫وا ب‬I‫ك‬D‫ر‬Q‫ش‬I‫ا ت‬G‫ل‬M‫أ‬
Q‫م‬I‫ك‬Q‫ي‬M‫ل‬M‫ع‬Q‫م‬I‫ك‬l‫ب‬M‫ر‬M‫م‬G‫ر‬M‫ ح‬M‫ ام‬I‫ل‬Q‫ت‬M‫اأ‬Q‫و‬M‫ال‬M‫ع‬M‫ ت‬Q‫ل‬I‫ق‬
‫ي‬D‫ت‬G‫ ال‬M‫س‬Q‫ف‬G‫واالن‬I‫ل‬I‫ت‬Q‫ق‬M‫ا ت‬M‫ل‬M‫و‬
M‫ن‬M‫ط‬M‫ ب‬M‫ ام‬M‫ا و‬M‫ه‬Q‫ن‬D‫ م‬M‫ر‬M‫ه‬M‫ظ‬M‫ا م‬M‫ش‬D‫اح‬M‫و‬M‫ف‬Q‫واال‬I‫ب‬M‫ر‬Q‫ق‬M‫ا ت‬M‫ل‬M‫و‬ Q‫م‬I‫اه‬G‫ي‬D‫إ‬M‫و‬
Q‫م‬I‫ك‬I‫ق‬I‫ز‬Q‫ر‬M‫ن‬I‫ن‬Q‫ح‬M‫ن‬K‫اق‬M‫ل‬Q‫م‬D‫إ‬
]151[ M‫ون‬I‫ل‬D‫ق‬Q‫ع‬M‫ت‬ Q‫م‬I‫ك‬G‫ل‬M‫ع‬M‫ ل‬Q‫م‬I‫اك‬G‫ص‬M‫و‬
D‫ه‬D‫ ب‬Q‫م‬I‫ك‬D‫ل‬M‫ق~ ذ‬M‫ح‬Q‫ال‬ D‫ا ب‬G‫ل‬D‫ إ‬I‫ه‬G‫الل‬
M‫م‬G‫ر‬M‫ح‬

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka;
dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak
di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah [membunuhnya] melainkan dengan sesuatu [sebab] yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami [nya]. [QS. Al-An’am : 151]
Dan Q.S. al-Isra’ : 33,
‫ف‬D‫ر‬Q‫س‬I‫ا ي‬M‫ل‬M‫ا ف‬n‫ان‬M‫ط‬Q‫ل‬I‫س‬
D‫ي~ه‬D‫ل‬M‫و‬D‫ا ل‬M‫ن‬Q‫ل‬M‫ع‬M‫ج‬
Q‫د‬M‫ق‬M‫ا ف‬n‫وم‬I‫ل‬Q‫ظ‬M‫ م‬Q‫ن‬M‫م‬M‫و‬
M‫ل‬D‫ت‬I‫ق~ ق‬M‫ح‬Q‫ال‬D‫ا ب‬G‫ل‬D‫إ‬M‫م‬G‫ر‬M‫ح‬
I‫ه‬G‫ الل‬D‫تي‬G‫ال‬M‫س‬Q‫ف‬G‫وا الن‬I‫ل‬I‫ت‬Q‫ق‬M‫ا ت‬M‫ل‬M‫و‬
]33[‫ا‬n‫ور‬I‫ص‬Q‫ن‬M‫ م‬M‫ان‬M‫ ك‬I‫ه‬G‫ن‬D‫إ‬ D‫ل‬Q‫ت‬M‫ق‬Q‫ ال‬D‫يف‬

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah [membunuhnya],


melainkan dengan suatu [alasan] yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan. [QS. Al-Isra’ : 33]

Setelah janin memiliki ruh, ia menjadi “manusia” dengan hak-hak primernya [huquq
al-insan ad-dharuriyah]. Konsekuensinya, ia boleh menerima wasiat dan waqaf, berhak
menerima warisan dari ahli waris jika ia lahir dan hidup, serta memiliki hubungan nasab
dengan kedua orang tuanya. Para fuqaha menyatakan janin setelah 120 hari memiliki ahliyyah
wujub naqishah.82
Aborsi pada usia di atas 120 hari hanya boleh dilakukan jika terjadi kondisi
“dharurat”83 seperti ketika si ibu mengalami problem persalinan dan dokter spesialis
menyatakan bahwa mempertahankan kehamilan akan membahayakan jiwa si ibu.84
Dalam kondisi seperti ini menyelamatkan jiwa si ibu dinilai lebih penting daripada
mempertahankan janin, karena ibu adalah induk dari mana janin berasal.
Meski demikian, friksi seputar aborsi tidak dapat dielakkan. Secara lebih khusus,
ikhtilaf hukum terjadi untuk aborsi di bawah usia 120 hari. Kontroversi ulama dalam hal ini
tidak hanya terjadi antar mazhab, tetapi juga pada internal mazhab. Berikut ini uraiannya:
1. Mazhab Syafi’i
Fuqaha Syafi’iyah berpendapat aborsi pada usia kehamilan di bawah 40 hari
hukumnya makruh. Inipun dengan syarat adanya keridhaan dari suami dan istri serta adanya
rekomendasi dari dua orang dokter spesialis bahwa aborsi itu tidak menyebabkan
kemudharatan bagi si ibu.
Jika masa kehamilan telah lewat 40 hari, aborsi haram mutlak, baik janin sudah
bergerak maupun belum. Pendapat ini didasarkan pada hadits kedua sebagaimana disebutkan
di atas.85

82
Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-
Nisa’iyyah wa Shihhah al-Injabiyah,h.148-149.Dalam Ushul al-Fiqh, dikenal istilah ahliyyah [kepatutan dan
keharusan seseorang untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban]. Keharusan menerima hak dari orang lain
disebut ahliyyah al-wujub dan keharusan menjalankan kewajiban disebut ahliyyah al-ada’. Janin hanya
mempunyai ahliyyah al-wujub. Namun karena ia belum sempurna sebagai manusia, maka hak-haknya pun
terbatas. Inilah yang disebut ahliyyah al-wujub al-qashirah atau ahliyyah al-wujub an-naqishah. Lihat Abdul
Jalil al-Qaransyawi, dkk., Al-Mujaz fi Ushul al-Fiqh, [Cairo: Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, 1965],
cet.ke-2, h.34-35
83
Definisi “dharurat” secara sederhana ialah suatu keadaan yang sampai suatu batas, kalau ia tidak
mengerjakan yang terlarang akan membinasakan jiwanya atau hampir binasa. Dalam keadaan dharurat semacam
ini diperbolehkan mengerjakan yang haram, bahkan bisa diwajibkan.
84
Jaad al-Haq, Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyyah wa
Shihhah al-Injabiyah, h.148-149
85
Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, [Syiria, Maktabah al-Farabi,
2000], h.72-73
Mengutip pendapat Imam al-Zarkasyi al-Imam al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj
mengemukakan aborsi diperbolehkan pada saat janin masih berupa nuthfah atau ‘alaqah.
Pendapat ini disandarkan pada pernyataan Abu Bakar bin Abu Sa’id al-Furati ketika ditanya
oleh al-Karabisi tentang seorang laki-laki yang memberi minuman peluntur kepada
jariyahnya. Al-Furati menjawab hal itu boleh selagi masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Lebih
lanjut al-Ramli menjelaskan bahwa sebelum nafhi’r ruh, semakin kuat pula makruh
tahrimnya. Dan jika sudah ada ruh, aborsi adalah tindakan kriminal [jarimah].86
Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam
Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni peniupan ruh terjadi setelah embrio berusia
40 atau 42 hari. Mulai saat inilah aborsi diharamkan.87
Berbeda dengan ulama Syafi’iyah yang lain, al-Imam al-Ghazali dalam Ihya ’Ulum
al-Din, berpendapat bahwa aborsi adalah tindakan pidana yang haram tanpa melihat apakah
sudah ada ruh atau belum. Al-Ghazali mengatakan bahwa kehidupan telah dimulai sejak
pertemuan antara air sperma dengan ovum di dalam rahim perempuan. Jika telah ditiupkan
ruh kepada janin, maka itu merupakan tindak pidana yang sangat keji, setingkat di bawah
pembunuhan bayi hidup-hidup.88
Ada yang menarik dari pendapat al-Ghazali mengenai keharaman aborsi. Pelenyapan
nuthfah yang telah bertemu dengan ovum dianalogikan dengan sebuah akad atau perjanjian
yang sudah disepakati. Sperma laki-laki seperti ijab dan ovum perempuan seperti qabul. Jika
keduanya bertemu, maka akad tidak boleh dan tidak bisa dibatalakan. Analogi ini termasuk
qiyas jali. Aborsi, lanjut al-Ghazali tidak bisa disamakan dengan ‘azl/coitus interuptus.89
Demikianlah, dalam fuqaha Syafi’iyah sendiri terjadi ikhtilaf. Mayoritas
mengharamkan aborsi pasca 40 hari usia embrio, al-Ramli membuat batasan yang lebih
longgar, sementara al-Ghazali justru mengharamkannya sejak terjadi konsepsi.
2. Mazhab Hanafi
Sama dengan yang terjadi dalam mazhab Syafi’i, dalam mazhab Hanafi juga terdapat
ikhtilaf. Namun jika fuqaha Syafi’iyah sebagian besar sepakat bahwa aborsi haram sebelum
usia kehamilan 40 atau 42 hari, sebagian besar fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa aborsi
diperbolehkan sebelum janin terbentuk. Kapan janin terbentuk, masih terjadi ikhtilaf juga.
Sebagian besar berpendapat janin terbentuk setelah usia kehamilan 120 hari. Pendapat yang
demikian disampaikan oleh, antara lain, al-Hashkafi, penulis kitab al-Durr al-Mukhtar.
Menurutnya, aborsi boleh sepanjang belum terjadi penciptaan, dan itu hanya terjadi sesudah
120 hari kehamilan.90 Sebagian besar ulama Hanafiyah juga berpendapat demikian.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ibnu Abidin, penulis kitab al-Radd al-Mukhtar,
yakni aborsi makruh mutlak, baik sebelum maupun sesudah terjadinya pembentukan janin.
Hanya saja dosanya tidak sama dengan dosa membunuh. 91 Pendapat ini mengandung
pengertian haramnya aborsi secara mutlak karena istilah makruh dalam fiqh Hanafi berarti
karahiyah at-tahrim [makruh yang lebih dekat kepada haram].

86
Al-Imam al-Ramli, Juz VIII, Nihayah al-Muhtaj, [Cairo: Dar al-Syuruq, t.th], h.416
87
Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.72-73
88
Al-Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz II, [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983], h.51
89
Ibid
90
Ibnu Abidin, al-Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, Juz II, [Beirut: Dar al-Fikr, 1979], h.411
91
Ibid
Sebagian fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum janin
melewati usia 45 hari. Pendapat ini dinyatakan oleh Abdullah bin Mahmud al-Mushili.
Namun pendapat ini tidak begitu populer dalam mazhab Hanafi.92
3. Mazhab Hambali
Dalam memandang hukum aborsi, sebagian fuqaha Hanabilah sama dengan fuqaha
Syafi’iyah, yakni bahwa aborsi diperbolehkan sebelum terjadinya penciptaan, yakni sebelum
janin berusia 40 hari.
Dalam kitab al-Inshaf karya ‘Alauddin ‘Ali bin Sulaiman al-Mardayi terdapat
keterangan bolehnya minum obat-obatan peluntur untuk menggugurkan nuthfah. Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Ibnu an-Najjar dalam Muntaha al-Iradat. Ia mengatakan laki-
laki boleh meminum obat yang mencegah terjadinya coitus, sedangkan perempuan boleh
meminum obat peluntur untuk menggugurkan nuthfah dan mendapatkan haid.
Pendapat yang paling ketat datang dari Ibnu al-Jauzi, dalam kitab Ahkam an-Nisaa’, ia
menyebutkan bahwa aborsi hukumnya haram mutlak, baik sebelum maupun sesudah
penciptaan [40 hari].93
4. Mazhab Maliki
Mayoritas fuqaha Malikiyah berpendapat keras mengenai aborsi, yakni haram sejak
terjadinya konsepsi.94 Pendapat mereka ini sejalan dengan Imam al-Ghazali dari mazhab
Syafi’i dan Ibnu al-Jauzi dari mazhab Hambali. Ibnu Hazm dari mazhab Dhahiri juga
menyetujui pendapat ini.95 Demikian pula pandangan sejumlah fuqaha Syi’ah Imamiyah dan
Ibadhiyah.96
Ibnu al-Jauzi dalam al-Qawanin al-Fiqhiyah mengatakan bahwa jika sperma telah
bertemu ovum dan berada dalam rahim, pengguguran tidak boleh dilakukan. Keharaman itu
menjadi lebih berat jika sudah terjadi masa penciptaan [40 hari], dan menjadi sangat berat
jika sudah diberikan nyawa, karena hal itu sama dengan membunuh nyawa manusia.
Pendapat ini sejalan dengan al-Ghazali yang mengenal tahapan-tahapan dosa dalam aborsi.97
Dari ikhtilaf yang berkembang sebagaimana dijelaskan di atas, dapat disimpulkan
bahwa hukum aborsi pada janin di bawah usia 120 hari adalah sebagai berikut:
a. Boleh sebelum 120 hari. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar ulama Hanafiyah dan
sebagian kecil ulama Syafi’iyah.
b. Boleh sebelum 40 - 45 hari [takhalluq]. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha
Syafi’iyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah dan sebagian kecil fuqaha Hanafiyah.
c. Makruh cenderung haram, baik sebelum maupun sesudah 40 hari. Pendapat ini dikemukakan
sebagian kecil fuqaha Hanafiyah.

92
Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.77
93
Ibid.,h.79
94
Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyyah ‘an al-Amradh an-
Nisa’iyyah wa Shihhah al-Injabiyah, h.136.Lihat juga al-Buthi, Ibid.,h.80
95
Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz XI, [Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th], h.35-40
96
Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyyah ‘an al-Amradh an-
Nisa’iyyah wa Shihhah al-Injabiyah, h.13
97
Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.80
d. Haram mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Malikiyah, Imam al-
Ghazali, Ibnu al-Jauzi, dan Ibnu Hazm ad-Dhahiri. Dengan kata lain di luar fuqaha
Malikiyah, dalam semua mazhab terdapat ulama yang mengharamkan aborsi secara mutlak.
Namun demikian, fiqh selalu mengenal pengecualian. Demikian pula halnya dengan
aborsi. Hukum aborsi yang telah diformulasikan para fuqaha di atas berlaku dalam kondisi
normal. Dalam ranah pengecualian, para fuqaha memperbolehkan bahkan mewajibkan aborsi,
jika terjadi sebuah kondisi yang dianggap “dharurat”. Banyak kaedah fiqh yang menjadi
sandaran hukum hal ini, seperti Q.S.
al-Baqarah : 173;

‫اد‬M‫ا ع‬M‫ل‬M‫و‬K‫ا غ‬M‫ ب‬M‫ر‬Q‫ي‬M‫ غ‬G‫ر‬I‫ط‬Q‫اض‬


D‫ن‬M‫م‬M‫ ف‬D‫ه‬G‫ الل‬D‫ر‬Q‫ي‬M‫غ‬D‫ل‬
D‫ه‬D‫ ب‬G‫ل‬D‫ه‬I‫أ‬M‫م‬M‫و‬
‫ ا‬D‫ير‬D‫ز‬Q‫ن‬D‫خ‬Q‫ال‬
M‫م‬Q‫ح‬M‫ل‬M‫و‬M‫م‬G‫الد‬M‫و‬M‫ة‬M‫ت‬Q‫ي‬M‫م‬Q‫ال‬
I‫م‬I‫ك‬Q‫ي‬M‫ل‬M‫ع‬M‫ م‬G‫ر‬M‫اح‬M‫م‬G‫ن‬D‫إ‬
]173[ ¸‫يم‬D‫ح‬M‫ور¸ ر‬I‫ف‬M‫ غ‬M‫ه‬G‫ الل‬G‫ن‬D‫ إ‬D‫ه‬Q‫ي‬M‫ل‬M‫ ع‬M‫م‬Q‫ث‬D‫ا إ‬M‫ل‬M‫ف‬

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi


dan binatang yang [ketika disembelih] disebut [nama] selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[QS. al-Baqarah :
173]

Q.S. al-Maidah : 3,
‫ة‬M‫د~ي‬M‫ر‬M‫ت‬I‫م‬Q‫ال‬M‫و‬
I‫ة‬M‫وذ‬I‫ق‬Q‫و‬M‫م‬Q‫ال‬M‫و‬ I‫ة‬M‫ق‬D‫ن‬M‫خ‬Q‫ن‬I‫م‬Q‫ال‬M‫و‬
D‫ه‬D‫ب‬D‫ه‬G‫ الل‬D‫ر‬Q‫ي‬M‫غ‬D‫ ل‬G‫ل‬D‫ه‬I‫أ‬
M‫م‬M‫ و‬D‫ير‬D‫ز‬Q‫ن‬D‫خ‬Q‫ال‬
‫ا‬ I‫م‬Q‫ح‬M‫ل‬M‫و‬ I‫م‬G‫الد‬M‫ و‬I‫ة‬M‫ت‬Q‫ي‬M‫م‬Q‫ال‬
I‫م‬I‫ك‬Q‫ي‬M‫ل‬M‫ع‬
Q‫ت‬M‫ر~م‬I‫ح‬
‫ق‬Q‫س‬D‫ ف‬Q‫م‬I‫ك‬D‫ل‬M‫ذ‬D‫ام‬M‫ل‬Q‫ز‬M‫أ‬Q‫ال‬
D‫وا ب‬I‫م‬D‫س‬Q‫ق‬M‫ت‬ Q‫س‬M‫ ت‬Q‫ن‬M‫أ‬M‫ و‬D‫ب‬ I‫ص‬l‫ى الن‬M‫ل‬M‫ع‬M‫ح‬D‫ب‬I‫اذ‬M‫م‬M‫ و‬Q‫م‬I‫ت‬Q‫ي‬G‫ك‬M‫ذ‬M‫اا م‬G‫ل‬D‫ إ‬I‫ع‬I‫ب‬
G‫ الس‬M‫ل‬M‫ك‬M‫أ‬M‫ام‬M‫ و‬I‫ة‬M‫يح‬D‫ط‬G‫الن‬M‫و‬
‫م‬I‫ك‬Q‫ي‬M‫ل‬
M‫ ع‬I‫ت‬Q‫م‬M‫م‬Q‫ت‬M‫أ‬M‫و‬Q‫م‬I‫ك‬M‫ين‬D‫د‬Q‫م‬I‫ك‬M‫ل‬I‫ت‬Q‫ل‬M‫م‬Q‫ك‬M‫أ‬M‫م‬Q‫و‬M‫ي‬Q‫ال‬D‫ن‬Q‫و‬M‫ش‬Q‫اخ‬M‫و‬Q‫م‬I‫ه‬Q‫و‬M‫ش‬Q‫خ‬M‫ت‬M‫ل‬M‫اف‬Q‫م‬I‫ك‬D‫ين‬D‫د‬Q‫ن‬D‫وا م‬I‫ر‬M‫ف‬M‫ك‬M‫ين‬D‫ذ‬G‫ال‬M‫س‬D‫ئ‬M‫ي‬M‫م‬Q‫و‬M‫ي‬Q‫ال‬
‫ور‬I‫ف‬M‫ غ‬M‫ه‬G‫ الل‬G‫ن‬D‫إ‬M‫ف‬K‫م‬Q‫ث‬D‫إ‬D‫ل‬K‫ف‬D‫ان‬M‫ج‬M‫ت‬I‫ م‬M‫غ‬ M‫ر‬Q‫ي‬K‫ة‬M‫ص‬M‫م‬Q‫خ‬M‫ي م‬D‫ ف‬G‫ر‬I‫ط‬Q‫اض‬D‫ن‬M‫م‬M‫ ف‬n‫يان‬D‫ د‬M‫ام‬M‫ل‬ Q‫س‬D‫إ‬Q‫ال‬I‫م‬I‫ك‬M‫ل‬I‫يت‬D‫ض‬M‫ر‬M‫يو‬D‫ت‬M‫م‬Q‫ع‬D‫ن‬
]3[‫يم‬D‫ح‬M‫ر‬

Diharamkan bagimu [memakan] bangkai, darah, daging babi, [daging hewan] yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan [diharamkan bagimu] yang disembelih untuk berhala. Dan
[diharamkan juga] mengundi nasib dengan anak panah, [mengundi nasib dengan
anak panah itu] adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk [mengalahkan] agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[QS.
Al-Maidah : 3]
Hadits Nabi “laa dharara wa laa dhiraara”, dan kaedah fiqhiyah “ad-dharurat tubihu
al-mahdhuraat”.98
Diantara alasan yang sering dikemukakan fuqaha untuk membolehkan aborsi adalah
keringnya air susu ibu yang disebabkan kehamilan, sementara ia sendiri sedang menyusui
bayinya. Dalam keadaan demkian ia atau suaminya tidak mampu membayar air susu yang
lain. Alasan lain adalah ketidakmampuan ibu menanggung beban hamil, karena tubuhnya
yang kurus dan rapuh. Dalam kasus-kasus seperti ini aborsi tanpa memandang usia
kehamilan, dapat dilakukan sepanjang menurut penelitian medis yang dapat dipercaya,
kelahirannya dipastikan akan membahayakan jiwa ibu.
Dilema kematian antara ibu dan janin dalam pandangan fuqaha dipecahkan melalui
pengorbanan janin berdasarkan kaedah:
‫اذا تعرض المفسدتان رعي أعظمهما ظررا بإرتكاب اخفف الضررين‬
“Jika terjadi pergulatan antara dua hal yang sama-sama merugikan, maka yang harus
dipertahankan adalah hal yang menimbulkan kerugian paling berat dengan
mengorbankan kerugian yang lebih ringan”.

Dalam pandangan fuqaha, kematian ibu lebih berat daripada janin, karena ibu adalah
induk darimana janin berasal. Ia sudah memiliki eksistensi yang pasti, memiliki kewajiban
dan hak, sementara janin belum. Karena itu ia tidak boleh dikorbankan demi menyelamatkan
janin yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban.99
Adapun terkait dengan aborsi di luar nikah lazimnya mempunyai mata rantai pada
seks bebas. Tidak sedikit seks bebas mengakibatkan terjadinya kehamilan di luar nikah.
Namun sangat disayangkan, bahwa kehamilan pra nikah akibat seks bebas tampaknya tidak
terlalu menarik perhatian fuqaha klasik, tetapi menarik perhatian tersendiri bagi fuqaha
kontemporer.
Dalam hal ini, Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan tegas mengatakan bahwa aborsi
untuk kasus yang demikian adalah haram mutlak. Ia mengemukakan tiga dalil sebagai berikut:
1. Q.S. al-Isra : 16

]16[‫ا‬n‫ير‬D‫م‬Q‫د‬M‫ا ت‬M‫اه‬
M‫ن‬Q‫ر‬G‫م‬M‫د‬M‫ف‬
I‫ل‬Q‫و‬M‫ق‬Q‫ا ال‬M‫ه‬Q‫ي‬M‫ل‬
M‫ ع‬G‫ق‬M‫ح‬M‫ا ف‬M‫يه‬D‫ف‬
‫وا‬I‫ق‬M‫س‬M‫ف‬M‫ا ف‬M‫يه‬
D‫ف‬M‫ر‬Q‫ت‬I‫ا م‬M‫ن‬Q‫ر‬M‫م‬M‫أ‬M‫ق‬n‫ة‬M‫ي‬Q‫ر‬
M‫ك‬D‫ل‬Q‫ه‬I‫ ن‬Q‫ن‬M‫ا أ‬M‫ن‬Q‫د‬M‫ر‬M‫أ‬
‫ا‬M‫ذ‬D‫إ‬M‫و‬

“ Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menta`ati Allah] tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan [ketentuan Kami], kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya”. [QS. Al-Isra’: 16]

Berdasarkan ayat ini seorang janin tidak menanggung dosa ibunya. Ia tidak bersalah,
karena itu tidak boleh digugurkan baik sebelum maupun sesudah takhalluq. Sementara itu,

98
Mengenai rincian dan contoh-contoh kasus yang masuk dalam kaedah ini, lihat al-Suyuthi dalam al-
Asybah wa an-Nazhair dalam pembahasan mengenai kaedah keempat “ad-Dharar Yuzal”.
99
Husein Muhammad, Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, [Jakarta: Makalah Semi-Loka Aborsi
dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, PPFNU,2001], h.6-7
hadits mengenai perempuan Ghamidiyah yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah ra. yang
datang kepada Rasulullah dengan membawa pengakuan ia telah berzina dengan Ma’iz bin
Malik dan sedang hamil karenanya. Ma’iz dirajam lebih dulu setelah empat kali membuat
pengakuan zina dan meminta Rasulullah mensucikannya. Namun terhadap perempuan
Ghamidiyah itu Rasul menangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan
menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam.100
Hadits ini menunjukkan bahwa anak yang dikandung akibat zina tidak boleh
digugurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam syarah atas hadits ini menyatakan bahwa semua
had, termasuk hukuman jilid, harus ditangguhkan ketika perempuan sedang hamil demi
menjaga kehidupan janin.101
 Bahwa hukum yang memperbolehkan aborsi di bawah 40 hari usia kehamilan berlaku
untuk nikah yang sahih dan bahwa kebolehan aborsi adalah bersifat rukhsah. Padahal ada
kaedah fiqhiyah yang mengatakan “al-rukhas laa tunaathu bi al-ma’ashi”. [rukhsah tidak
berlaku untuk perbuatan-perbuatan maksiat]. Oleh karena kehamilan itu sendiri
disebabkan oleh perbuatan haram, maka aborsi dengan sendirinya tidak diperbolehkan.
 Adanya kaedah fiqhiyah yang menyatakan “tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyah manuthun
bi al-maslahah”. Berdasarkan kaedah ini ibu dari si bayi tidak boleh menggugurkan
kandungannya, karena ia secara syar’i tidak berhak atas janin tersebut. Berbeda dengan
aborsi dalam perkawinan di mana kedua orang tua punya hak atas janin, aborsi karena
perzinaan tidak demikian. Si ibu tidak memiliki hak syar’i atas anaknya, demikian pula
lelaki yang menghamilinya. Hak perwalian ada di tangan hakim, sementara hakim harus
mengambil tindakan yang melindungi hak janin yang ada dalam perwaliannya sekaligus
hak-hak masyarakat. Oleh karena itu aborsi tidak diperbolehkan karena akan membawa
dampak negatif bagi masyarakat secara luas, yakni dengan munculnya sikap permisif
terhadap pergaulan bebas.
 Aborsi terhadap janin hasil hubungan di luar nikah juga bertentangan dengan kaedah
“sadd adz-dzari’ah”.102
Demikianlah, aborsi akibat perzinahan dipandang oleh fiqh kontemporer sebagai
tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas sosial [jarimah ijtima’iyah].
Pengecualian hanya berlaku jika si perempuan diancam dibunuh jika tidak melakukan aborsi.
Dalam kasus seperti ini aborsi diperbolehkan karena untuk menyelamatkan jiwa si ibu.103
Berbeda dengan aborsi yang disebabkan oleh perzinahan, aborsi yang disebabkan
karena perkosaan diperbolehkan jika kelahiran anak tersebut dipastikan akan membawa
dampak buruk bagi jiwa dan raga si ibu di kemudian hari. Aborsi untuk kasus seperti ini
boleh, karena perempuan diperkosa bukan pelaku tindak pidana sehingga rukhsah aborsi
berlaku.104 Apalagi perempuan tersebut hamil bukan atas kemauannya sendiri melainkan
dipaksa. Dalam kondisi seperti ini berlaku hadits Nabi yang menyatakan: “umatku
dibebaskan dari kekeliruan, kealpaan dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya”.[HR.
Thabrani, Ahmad, Abu Dawud an-Nasa’i dan al-Hakim].
Formulasi hukum di atas mencerminkan ketegasan fiqh sekaligus elastisitasnya.
Ketentuan hukum yang keras namun tetap ada celah untuk menempuh apa yang aslinya

100
Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Kitab al-Hudud bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi al-Zina, hadits ke-1695
101
Al-Imam an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim, Juz XI, h.201
102
Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.127-139
103
Ibid.,h.143
104
Ibid.,h.159-160
diharamkan ketika terjadi benturan dua kemudharatan merupakan salah satu pola pemikiran
yang khas dalam fiqh. Itu bisa dimengerti karena fiqh diformulasikan untuk menjamin
tercapainya maqashid al-Syari’ah yang dalam konteks ini adalah hifdz al-nafs dan hifdz
al-‘irdh. Dengan demikian pemikiran yang dikembangkan oleh al-Buthi di atas sebetulnya
merupakan representasi dari pendirian sebagian besar fuqaha kontemporer.
Satu hal yang perlu dicatat di sini, dalam kasus perzinahan, pendekatan hukum aborsi
dalam fiqh dilakukan dengan mengedepankan hak janin dan hak masyarakat. Hak ibu yang
mengandung justru tidak mendapatkan tempat sama sekali. Pada titik inilah antara lain,
kontroversi dengan kalangan aktivis “pro-choice” terjadi. []

B. Akibat Hukum Aborsi


Pelaku aborsi atau penyebab keguguran dalam fiqh Islam dikenakan hukuman. Orang
yang terkena hukuman itu bisa ibu si janin sendiri dan bisa juga orang lain. Ada beberapa
macam sanksi bagi pelaku atau penyebab aborsi sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya:
ghurrah [denda yang nilainya 5% dari diyat penuh atau senilai lima ekor unta], kifarah [ganti
rugi], diyat [tebusan], dan ta’zir [hukuman atas pertimbangan hakim].
Ghurrah berlaku jika aborsi telah memenuhi lima syarat yakni: adanya tindakan
tertentu yang menyebabkan janin gugur, janin gugur setelah terjadinya tindakan tertentu, janin
keluar dalam keadaan meninggal, janin sudah melewati masa mudghah [sudah terbentuk], dan
orang tua janin bukan kafir harbi kedua-duanya.105
Yang dimaksud tindakan di sini adalah semua hal yang bisa menjadi penyebab
keguguran, termasuk ucapan. Misalnya, mengancam, menakut-nakuti, menghina,
mengejutkan, berteriak keras, membiarkan kelaparan, menyebarkan bau busuk, bahkan
membuat si hamil terpesona. Jika hal-hal tersebut membuat si perempuan keguguran, maka
pelaku atau penyebab keguguran mesti membayar ghurrah tanpa melihat apokah tindakan itu
disengaja atau tidak.106
Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan usia janin yang gugur mewajibkan
ghurrah. Jumhur ulama mengatakan ghurrah wajib tanpa memandang usia janin, asalkan
janin sudah melewati masa mudghah. Namun Imam Malik mewajibkan ghurrah tanpa
memandang apakah janin sudah berbentuk atau belum.107 Ulama Hanabilah memberikan
tafshil, ghurrah wajib pada usia kehamilan di bawah 6 bulan. Setelah itu, pelaku atau
penyebab aborsi dikenakan diyat penuh.108
Diyat penuh juga berlaku jika janin yang sudah diketahui hidup di rahim ibunya
terbunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya dan bukan dimaksudkan untuk membunuh
janin itu sendiri. Ini adalah pendapat jumhur. Namun jika tindakan itu memang dimaksudkan

105
Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.180-186
106
Lihat Ibnu Hajar, Tuhfah al-Muhtaj, Juz IX, [Cairo: Musthafa Muhammad, t.th], h.39, al-Syarbini, Mughni
al-Muhtaj, Juz IV, [Beirut: Ihya al-Turast al-Arabi], h.103, Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz VIII, [Riyadh:
Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th], h. 391
107
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], h. 312
108
Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz VIII, h.41
untuk mencelakai si janin itu sendiri, maka pelakukanya wajib membayar kifarat. Demikian
pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.109

C. Aborsi dalam Spektrum Hukum Positif dann Hukum Islam


Masalah aborsi dibahas dalam KUHP dan UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Dalam KUHP, pasal mengenai pengguguran kandungan dimasukkan ke dalam bab
menangani “kejahatan terhadap nyawa”. Dengan demikian secara implisit berarti tindak
pidana ini dilakukan terhadap korban yang berada “in rerum natura” atau berada dalam
keadaan “in being” yang berarti pula bahwa ia harus berada dalam keadaan hidup.110 Di sini
persoalan menjadi terkait dengan kapan janin mulai dianggap sebagai makhluk bernyawa.
Dari sudut agama, kontroversi mengenai hal ini telah dijelaskan. Dalam dunia
kedokteran hal yang sama juga terjadi. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh World
Medical Association tahun 1948, disebutkan bahwa dokter harus menghormati kehidupan
insani sejak saat pembuahan sel sperma. Ini dipengaruhi oleh pandangan Kristiani yang
berkembang di Barat saat itu.
Ketika tekhnologi bayi tabung ditemukan tahun 1979, sumpah dokter di atas
menimbulkan dilema, karena bayi tabung diproses melalui pengambilan beberapa [7-10] sel
telur yang kemudian dibuahi oleh sperma suaminya di laboratorium. Setelah pembuahan,
hanya beberapa yang dikembalikan ke rahim ibunya, sedang yang lain disimpan atau
dimusnahkan. Jika kehidupan dimulai dari saat pembuahan, maka memusnahkan sel-sel yang
tersisa adalah pembunuhan. Sebaliknya mengembalikan seluruh sel yang dibuahi ke rahim ibu
juga tidak mungkin dan memperbesar resiko kegagalan.
Dilema ini kemudian dipecahkan oleh sebuah keputusan di Venesia tahun 1983 yang
intinya dokter menghormati kehidupan sejak kehidupan itu dimulai. Persatuan Dokter
Spesialis Kebidanan se-Dunia dalam perkembangannya menetapkan bahwa kehidupan
dimulai sejak sel telur yang dibuahi menempel di dinding rahim. Dilema bayi tabung
terselesaikan.
Namun hasil penelitian Norman F. Ford kemudian menunjukkan bahwa kehidupan
dimulai setelah pembentukan primitive streak, yaitu lipatan ke dalam yang terbentuk pada
zygote [hasil pertautan sel telur dan sperma] saat berusia empat minggu. Pada saat itulah
menurut Ford, embrio baru bisa disebut sebagai person atau makhluk insani.111
Perbedaan pandangan mengenai kapan kehidupan di mulai ini berakibat pada
perbedaan tafsir mengenai ketentuan yang diatur dalam KUHP dan UU Kesehatan.
Jika melihat KUHP itu sendiri, usia kandungan tidak menjadi persoalan hukum. Satu
hari, satu bulan, maupun empat bulan sama saja, karena ada janin yang dikeluarkan secara
paksa. Namun tidak termasuk dalam hal ini jika sang janin sudah tidak hidup ketika masih
dalam rahim ibu.
Dalam KUHP ada beberapa ketentuan yang mengatur aborsi yakni pasal 346, 347,
348, 349 dan 350
109
Ibnu Qudamah, Ibid., h.403, lihat juga al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz IV, h.105
110
Harkristuti Harkrisnowo, Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum, h.5
111
Kartono Muhammad, Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi, [Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998],
Cet.ke-1, h.130-131
1. Pasal 346 KUHP berunsurkan sebagai berikut: a] perempuan b] dengan sengaja c]
menyebabkan gugur atau mati kandungannya d] menyuruh orang lain untuk itu e]
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
 Perempuan yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungannya atau suruhan
orang lain untuk itu, dikenakan pasal ini.
 Orang yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungan seorang perempuan
dengan tidak izin perempuan itu dihukum menurut pasal 347, apabila dilakukan dengan
izin perempuan itu, dikenakan pasal 348.
 Cara menggugurkan atau membunuh kandungan itu rupa-rupa, baik dengan obat yang
diminum, maupun dengan alat-alat yang dimasukkan melalui anggota kemaluan.
Menggugurkan kandungan yang sudah mati, tidak dihukum, demikian pula tidak dihukum
orang yang untuk membatasi kelahiran anak mencegah terjadinya hamil
[Maltthusianisme].
 Jika seorang tabib, bidan atau ahli obat membantu kejahatan dalam pasal 347 dan 348,
maka bagi mereka hukumannya ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari
jabatannya [pasal 349].
2. Pasal 347 berunsurkan: a] barang siapa b] dengan sengaja c] menyebabkan gugur
atau mati kandungannya seorang perempuan d] tidak diizinkan oleh perempuan itu
e] dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Ditambahkan dalam ayat 2,
jika karena perbuatan itu perempuan mati maka dia dihukum penjara selama-
lamanya lima belas tahun.
3. Pasal 348 berunsurkan: a] barang siapa b] dengan sengaja c] menyebabkan gugur
atau mati kandungannya seorang perempuan d] dengan izin perempuan itu e]
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. Ditambahkan dalam
ayat 2, jika karena itu perempuan mati, maka dia dihukum penjara selama-
lamanya tujuh tahun.
4. Pasal 349 secara spesifik menentukan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan
aborsi dalam kerangka profesi mereka yakni membantu salah satu kejahatan yang
tersebut dalam pasal 346, 347, dan 348, maka hukumannya dapat ditambah
sepertiga dari yang terdapat dalam ketentuan yang dilanggar dan dapat dipecat
dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Sebaliknya apabila dokter dan sebagainya itu menggugurkan atau membunuh kandungan
untuk menolong jiwa perempuan, atau menjaga kesehatannya, tidak dihukum.
5. Pasal 350: pada waktu menjatuhkan hukuman karena makar mati, [doodslag]
pembunuhan direncanakan [moord] atau karena salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 344, 347 dan 348, dapat dijatuhkan hukuman mencabut
hak yang tersabut dalam pasal 35 No.1-5
Dari rumusan yang ada, yang disebut tindak pidana hanyalah yang berupa
“menyebabkan gugur atau mati kandungan” yang berarti:
1. tidak mempermasalahkan usia kandungan;
2. tidak mempermasalahkan cara melakukannya
Dalam praktek yang diajukan ke pengadilan pada umumnya adalah orang yang
menggugurkan kandungan, sedangkan si perempuan sendiri lolos dari jeratan hukum. Hal
ini karena ketidakjelasan identitas mereka di samping para terdakwa tidak mau
memberikan kesaksian yang justru memberatkan mereka jika ia mengungkap identitas
orang yang digugurkan kandungannya.112
Selain KUHP, ketentuan mengenai aborsi juga terdapat dalam UU Kesehatan No. 23
tahun 1992. Namun UU ini juga menimbulkan kebingungan penafsiran. Dalam pasal 15
dinyatakan:
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang
dikandungnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat [1] hanya dapat
dilakukan:
1. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
2. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim
ahli.
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
4. Pada sarana kesehatan tertentu.113
Dari Pasal di atas seakan-akan UU ini memperbolehkan pengguguran kandungan
dengan alasan tertentu. Akan tetapi penjelasan pasal ini merumuskan suatu hal yang
membingungkan, yakni:
”Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan
apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama,
norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun keadaan darurat sebagai
upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat
dilakukan tindakan medis tertentu.”

Bagi beberapa orang, “tindakan medis tertentu” diartikan sebagai aborsi, tetapi di sisi
lain pemerintah atau pengadilan bisa saja menafsirkannya sebagai tindakan selain aborsi,
sebab pada kalimat awal ditegaskan bahwa pengguguran kandungan atas alasan apapun
dilarang. Yang boleh diambil adalah “tindakan medis tertentu”. Apalagi kalimat terakhir
menyebutkan “untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin” yang sudah pasti bukan
tindakan aborsi, karena aborsi tidak pernah menyelamatkan jiwa janin.114
Di sini terasa ada keragu-raguan pemerintah Indonesia dalam menghadapi masalah
aborsi. Alasan medis memang dikemukakan dalam konteks menjaga nilai-nilai moral, namun
tidak jelas apakah aborsi termasuk salah satu tindakan yang diperbolehkan. Lebih dari itu
dalam perundang-undangan yang ada tidak tercantum dictum yang menyatakan persyaratan
aborsi, jika itu dipandang sebagai tindakan darurat, apalagi memberi ruang bagi ibu untuk
melakukan aborsi karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ini semua
menyebabkan aborsi menjadi “dark number of crime” sampai sekarang.[]

112
Harkristuti Harkrisnowo, Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum, h.6-8
113
Syafiq Hasyim [ed], Menakar “Harga” Perempuan, h.276-277
114
Dr. Kartono Muhammad, Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi, h.65-66
BAGIAN KE-LIMA
TELA’AH TENTANG ABORSI

Bertitik tolak dari data pada paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak alasan
yang mengakibatkan perempuan melakukan aborsi. Alasan tersebut ialah:
 Pada perempuan yang belum atau tidak menikah, alasan melakukan
aborsi di antaranya karena masih berusia remaja, pacar tidak mau
bertanggung jawab, takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil
di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan seseorang dan dilarang
hamil oleh pasangannya;
 Pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena
kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah
anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, faktor sosial
ekonomi [tidak sanggup lagi membiayai anak-anaknya dan khawatir
masa depan anak tidak terjamin], alasan medis, sedang dalam proses
perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai isteri kedua
dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dia.115
Sementara itu, dari uraian di atas mendorong penulis untuk menyatakan beberapa hal
berikut ini:
1. Dari perspektif agama-agama samawai, khususnya Islam, aborsi pada dasarnya
adalah tindakan yang dilarang. Namun demikian Islam mempunyai corak hukum
yang lebih fleksibel, sehingga banyak variable yang dipertimbangkan dalam proses
penentuan hukum aborsi.
2. Melihat perdebatan yang terjadi, baik dalam Islam maupun dalam hukum positif,
tampak bahwa dasar pelarangan aborsi adalah penghormatan kepada kehidupan,
khususnya kepada yang bernyawa. Berbagai perangkat hukum, termasuk sanksi-
sanksi hukum dirumuskan untuk melindungi kehidupan makhluk bernyawa yang
bernama janin ini. Sayangnya sampai kini persoalan kapan kehidupan dimulai masih
menjadi sesuatu yang diperdebatkan oleh para ahli, baik dari kalangan agama maupun
medis.
3. Satu hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa nilai-nilai moral yang mendasari
seluruh bangunan hukum tentang aborsi –baik hukum agama maupun hukum negara-
ternyata mengalami kesulitan penerapan dan perbenturan di tingkat lapangan.
Sekalipun secara moral-ideal dan legal-formal aborsi dilarang, toh praktek aborsi

115
Ibid., h. 5
menunjukkan angka yang cukup tinggi. Aborsi juga signifikan menyumbang angka
kematian ibu akibat proses reproduksi yang tidak aman. Ini semua menunjukkan
bahwa pendekatan terhadap masalah aborsi semata-mata dari sudut moral dan hukum
tidak cukup.
4. Kenyataannya, baik hukum positif maupun –terutama- fiqh Islam tidak memasukkan
agenda hak-hak reproduksi perempuan –dalam hal ini hak untuk memutuskan hamil
atau tidak dan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang aman-
dalam konsideran hukumnya. Dalam kasus tertentu bahkan hak perempuan ini
dinafikan sama sekali. Oleh karen itu menjadi bisa dimengerti jika suara yang
menginginkan diberikannya hak ini kepada perempuan kian hari kian nyaring
terdengar.
5. Di tengah dilema antara nilai moral dan tuntutan kebebasan perempuan untuk
menjalankan hak-hak reproduksinya [pro-choice] seperti yang terjadi sekarang, sudah
saatnya agama Islam menyatakan pendirian yang tegas dengan segala
konsekuensinya. Bila pilihan “pro-life” merupakan pilihan terbaik, atau bahkan satu-
satunya, maka Islam juga perlu mempersiapkan berbagai perangkat yang mendukung
tersosialisasikannya pilihan itu di tengah masyarakat. Misalnya, menyiapkan sikap
mental dan sosial masyarakat agar tidak mau melakukan aborsi, mensosialisasikan
sikap bisa menerima anak yang lahir dari kehamilan yang tidak dikehendaki, dan
membuat sistem sosial yang siap dengan segala resiko pilihan sikap “pro-life”.
Agama dan hukum tidak boleh ambigu, sebab ambiguitas seperti ini terbukti tidak
menyelesaikan persoalan.
6. Dari semua ketentan diatas, bahwa aborsi yang dilakukan oleh pasangan yang diluar
nikah dalam Islam menurut pendapat para Imam adalah "haram mutlak". Sementara
itu dalam kasus yang sudah pasangan yang sudah menikah hukum yang berlaku
adalah "kondisional" dalam artian tergantung situasi yang berlaku tersebut. []

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Abidin, Ibnu, al-Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr,
1979

Adrina dkk, Hak-Hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998

al-Bukhari, Shahih Bukhari, CD.Rom

al-Buthi, Sa’id Ramadhan, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, Syiria,


Maktabah al-Farabi, 2000

David, J. E. C. R., Brierly, Major Legal Systems in The World Today, (London: 1968),
h. 19

Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1994

al-Ghazali, al-Imam, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz II, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983
Hasyim, Syafiq, (ed)., Menakar “Harga” Perempuan, Bandung: Mizan, 1999, Cet.
ke-1

Habsjah, Attashendartini, “Fakta-Fakta Aborsi”, Makalah, Jakarta: PPFNU, 2001

Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer


Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998

al-Haq, Jaad al-Haq ‘Ali Jaad, Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyyah
‘an al-Amradh al-Nisa’iyyah wa Shihhah al-Injabiyyah, Cairo: Universitas al-
Azhar, 1997

Hajar, Ibnu, Tuhfah al-Muhtaj, Juz IX, Cairo: Musthafa Muhammad, t.th

Harkrisnowo, Harkristuti, “Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum”, Makalah, Jakarta:


PPFNU, 2000

Hazm, Ibnu, al-Muhalla, Juz XI, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th

Kung, Hans, Theology of The Third Millenium, New York: Doubleday, 1988

Lewis,Bernard, Islam dalam Krisis: Antara Perang Suci dan Teror Kotor, terj. Dari The
Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror, CET. 1, Surabaya, Jawa Pos Press:
2004.

Masyhuri, A. Aziz, “Abortus Menurut Hukum Islam”, Makalah, Surabaya: PWNU,


1992

Muslim, Sahih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1992

Muhammad, Kartono, Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi, Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 1998, Cet.ke-1

Muhammad, Husein, “Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer”, Makalah,


Jakarta:, PPFNU, 2001

al-Nawawi, al-Imam, Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim, Juz XI

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, Cet. ke-2

Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Juz VIII, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th

al-Qaransyawi, Abdul Jalil, dkk., Al-Mujaz fi Ushul al-Fiqh, Cairo: Fakultas Syari’ah
Universitas al-Azhar, 1965, Cet.ke-2

Rahardjo,Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Suci,


.(CET. 2, (Jakarta: Penerbit PARAMADINA, 2002
Robertson,Roland, ed., Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis terj. dari
Sociology of Religion oleh Ahmad Fedyani Saifuddin, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1995.

Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

al-Ramli, al-Imam, Juz VIII, Nihayah al-Muhtaj, Cairo: Dar al-Syuruq, t.th

Syalthut, Mahmud, Al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarîah, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2001).

al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz IV, Beirut: Ihya al-Turast al-Arabi

Watt, Mongomery, W., Islamic Political Thought, Edindurgh: Edinburgh University, 1987.

Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: CV. Haji
Masagung, 1989, Cet. ke-3

Zuhdi, Masyfuk, Prof. Dr., Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, Surabaya:
Bina Ilmu, 1986

BIOGRAFI PENULIS

Prof. Dr. Dra. Hj. Istibsjaroh, SH.,M.Ag. Ibu dari enam orang anak ( lima putri dan satu putra
) ini dilahirkan di Jombang, Jawa Timur pada 19 September 1955. Pendidikan Dasarnya dia lalui
di MI Bulurejo tamat pada tahun 1965. Pendidikan menengahnya, MTs. dan MA ditempuh di
sebuah Pesantren Putri “Walisongo” Cukir, Jombang selama enam tahun ( 1966 – 1971 ). Pada
tahun 1971-1975 menempuh pendidikan guna memperoleh gelar sarjana muda di Universitas
Hasyim Asy’ari Jombang. Program doktoralnya ia selesaikan pada tahun 1979 di Fak. Tarbiyah
IAIN Sunan Ampel Malang. Dalam rentang waktu antara 1979 - 1994 sempat menjadi guru
Madrasah Aliyah di Purwoasri - Kediri. Ia juga memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Darul Ulum Jombang pada tahun 1997. Selama dua periode ( 1992 - 1997
dan 1997 – 1999 ) , isteri dari KH. Zaimuddin Badrus Sholeh ini juga pernah menjadi anggota
fraksi Karya Pembangunan di DPRD II Kab. Kediri. Gelar Magister Agama ia peroleh di
Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2000.Program doktornya ia
peroleh di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2004.Juli 2005 ia menjadi Guru Besar
bidang ilmu Tafsir di Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Aktivitas kesehariannya
sekarang selain kepala lembaga Penelitian, ia juga menjadi Tenaga Edukatif di Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Ampel Surabaya serta aktif di Pusat Studi Jender di tempat ia mengajar. Di luar
kegiatan akademik ia aktif di Muslimat NU Wilayah Jawa-Timur, LPTQ Jawa Timur dan Majlis
Ulama Jawa Timur. Yang terakhir, ia juga sebagai salah satu Pengasuh Pondok Pesantren “Al-
.Hikmah” Purwoasri Kediri tempat ia dan keluarganya tinggal

You might also like