You are on page 1of 326

1

2 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pemikiran dan Perjuangan
Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45

Penerbit:
YAYASAN

2010

3
Pemikiran dan Perjuangan
Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45

Copyright@Yayasan Kepada Bangsaku, 2010

Tim Penyusun
Moch. Achadi
Eddi Elison
Roso Daras
Azis Arjoso
Giat Wahyudi

Pengantar
Prof. Dr. Sri Soemantri

Desain Sampul
Maryanto
Desain Isi
Junianto Bara

ISBN: 978-979-96254-5-8

Penerbit
Yayasan

Jl. Taman Amir Hamzah 28, Menteng


Jakarta Pusat

Cetakan I: 2010

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian


atau seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

4 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Sketsa Bung Karno oleh
Basoeki Abdullah.
Bung Karno adalah
peletak dasar-dasar
negara: Pancasila (idiil)
dan UUD 1945
(konstitusionil).

5
Daftar Isi

Prakata Penerbit ............................................................................................. 9


Sambutan Soetardjo Soerjogoeritno ........................................................... 14
Pengantar Prof Dr Sri Soemantri ................................................................ 21

BAB I PEMIKIRAN
1. UUD 45 (Asli) Tolak Demokrasi Liberal ............................................... 65
2. UUD 1945 Hasil Amandemen I – IV
Bertentangan dengan Falsafah dan Jati diri Bangsa ........................... 71
3. Menolak Konstitusi Baru ......................................................................... 77
4. Seruan Kepada Bangsaku ....................................................................... 83
5. Demokrasi Model Eropa Barat & Amerika Serikat
Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia ............................................... 87
6. Jangan Sampai MPR Keblinger .............................................................. 101
7. Budiman Sudjatmiko: Restorasi UUD 1945 ......................................... 109
8. Rekam Jejak Perubahan UUD 1945 ....................................................... 121
9. Forum Perjuangan Pelurusan UUD 1945 ............................................. 131

BAB II PERJUANGAN
1. M. T. Tarigan, SE : Sejarah Amin Arjoso, Dulu dan Sekarang ........ 139
2. Abdul Madjid: Sempat Didamprat Megawati .................................... 153
3. Sri Edi Swasono: Amin Arjoso dalam
Pusaran Perubahan Konstitusi .............................................................. 169
4. Sulastomo: Amin Arjoso dan UUD 1945 ............................................. 175
5. Moch. Achadi: Amin Arjoso dalam
Dialektika, dan Romantika Perjuangan
Mencapai Cita-cita Proklamasi ............................................................. 181
6. Saiful Sulun: Politisi tidak Boleh Obok-obok Konstitusi .................. 191
7. Haryanto Taslam: Amin Arjoso, Orang Keras Kepala
Menolak Amandemen ............................................................................ 195
8. Ridwan Saidi: Amin Arjoso Pejuang UUD 1945 ................................ 205
9. Koesalah Soebagyo Toer: “Riungan” di Blok Q LP Salemba ........... 213
10. Soemarjati Arjoso: Gigih, Konsisten, tetapi Lembut .......................... 221

BAB III PUBLIKASI MEDIA


11. ASS Tambunan, SH: UUD 2002 Meniadakan Jati Diri Kita .............. 233
12. R. Soeprapto: MPR 1999 = Malin Kundang ........................................ 239

1 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
13 Suradi: Perubahan UUD 1945,
Dialektika Sebuah Konstitusi ................................................................ 245
14 Adnan Buyun Nasution: Tidak Boleh
Ada Kekosongan Konstitusi .................................................................. 253
15 Bantahan kepada “Sinar Harapan” ...................................................... 256
16 Moh. Isnaeni Ramdhan: Secara Hukum,
UUD ‘45 Masih Berlaku ......................................................................... 259
17 Rikando Somba: Perjalanan Perubahan Konstitusi RI ...................... 263
18 Orang Amerika Serikat di Balik Amandemen UUD 1945? .............. 267
19 SBY Melaksanakan UUD tanpa Makna ............................................... 277

LAMPIRAN
1. Memorandum tentang Perubahan UUD 1945
oleh MPR 1999-2002 ................................................................................. 285
2. Pernyataan Sikap Kembali ke UUD 1945 ............................................. 292
3. Pernyataan Komponen Bangsa
untuk Kembali ke UUD 1945 .................................................................. 297
4. Pernyataan Sikap Anggota MPR RI ...................................................... 303
5. Sikap Politik para Anggota MPR yang Menolak
Masuknya DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
dalam Sistem dan Struktur Ketatanegaraan
Kesatuan Republik Indonesia ................................................................. 320
6. Bentuk-bentuk Putusan Majelis dan
Perubahan Peraturan Tata Tertib ........................................................... 322
7. Kronik Prosedur dan Mekanisme
Pengumuman Pemberlakuan dan
Pembatalan Konstitusi Republik Indonesia ......................................... 325

ALBUM

BIODATA

Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
2
Keluarga Soewardi Mintardjo. Amin Arjoso (di sini yang paling kecil)
berfot bersama saudara-saudaranya. Masih ada dua adik Amin Arjoso
yang tidak ikut berfoto karena masih terlalu kecil.
8 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
PRAKATA PENERBIT

Menggugat
Cengkeraman Asing

A
tas desakan berbagai pihak, akhirnya H. Amin
Arjoso, SH menyetujui penyusunan buku
Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45. Semula buku ini
diusulkan untuk disusun sebagai sebuah memoar, tetapi
kemudian Drs. Moch. Achadi mengusulkan judul lain,
seperti yang Anda baca.
Buku ini bukan semata mengupas tentang diri pribadi
mantan tokoh GMNI ini, melainkan lebih ditekankan
pada unsur pemikiran dan perjuangan Amin Arjoso
dalam menegakkan kembali UUD 1945, yang telah
diamandemen secara semena-mena.
Dalam buku ini juga disajikan bukti-bukti adanya
manipulasi MPR RI 1999 - 2004 saat mengubah UUD 1945
dengan dalih amandemen. Amandemen itu sejatinya tak
lain adalah sebuah upaya mengganti landasan konstitusi
NKRI, yakni UUD 1945 menjadi konstitusi baru, yaitu
UUD 2002, melalui risalah dan bukan keputusan MPR.
Prakata
Penerbit
9
Risalah itu sendiri per tanggal 10 Agustus 2002.
Penggantian konstitusi negara itu, pada dasarnya
adalah sebuah maha bencana. Sebab, implikasi dari
penggantian konstitusi negara tadi adalah sebuah
ancaman keterpurukan, bahkan lebih tragis dapat
menghancurkan NKRI
Itu artinya, kita sebagai elemen bangsa, tanpa kecuali,
harus menaruh concern yang tinggi atas persoalan ini.
Segala daya dan upaya harus dikerahkan untuk kemba-
linya konstitusi negara kita, yakni UUD 1945. Bukan saja
karena proses penggantian yang cacat hukum, lebih dari
itu, dilakukan secara serampangan. Di atas itu semua,
ternyata memuat kepentingan asing (baca: Amerika
Serikat).
Konsekuensi langsung maupun tak langsung yang
sudah dan sedang kita rasakan saat ini adalah sebuah
imperialisme dan kolonialisme dalam wujud baru.
Sebuah kondisi yang sering disebutkan Bung Karno
sebagai exploitation de l’homme par l’home dan menjadi tugas
bersama untuk mengenyahkannya dari bumi Republik
Indonesia yang merdeka.
Ratusan tahun bangsa kita hidup dalam cengkeraman
penjajahan Belanda, serta beberapa tahun lamanya men-
derita di bawah tekanan Jepang, adalah sebuah pelajaran
berharga, bahkan teramat berharga untuk dilupakan.
Bahwa akhirnya bangsa kita dengan gagah berani
menyatakan kemerdekaan dan berjuang hingga tetes
darah terakhir untuk mempertahankan kemerdekaan itu,
tak lepas dari Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa disertai
dorongan luhur untuk menggapai tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang berdaulat, merdeka.
Mengapa bangsa Indonesia menyatakan kemerdeka-
annya dan membela kemerdekaan itu? Jawabnya adalah
karena esensi merdeka adalah hidup dalam kemandirian.
Karena hanya dengan kemerdekaanlah kita akan dapat

10 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seperti dikatakan Bung Karno: “Indonesia-Merdeka
hanyalah jembatan - sekalipun suatu jembatan emas!-- yang
harus dilalui dengan segala keawasan dan keprayitnaan, jangan
sampai di atas jembatan itu Kereta-Kemenangan dikusiri oleh
orang lain selainnya Marhaen!”
Bung Karno juga melanjutkan pesannya, “di seberang
jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke Dunia Keselamatan
Marhaen, satu ke Dunia kesengsaraan Marhaen; satu ke Dunia
Sama-rata-sama-rasa, satu ke dunia sama-ratap-sama-tangis”.
(Dibawah Bendera Revolusi 1:315).
Apa yang terjadi setelah bangsa kita memilah sejarah
Indonesia dalam pembagian era, yakni era Orde Lama,
Orde Baru, dan Orde Reformasi? Yang terjadi adalah,
sekarang Indonesia tidak lagi berdaulat di bidang politik,
tidak lagi berdikari di bidang ekonomi, dan tidak lagi
berkepribadian di bidang budaya.
Orde Baru sejak 1967 telah membawa bangsa ini kem-
bali ke cengkeraman asing. Orde Reformasi kemudian
mengukuhkannya, antara lain melalui penggantian
konstitusi kita, UUD 1945 diganti menjadi UUD 2002.
Inilah pengukuhan atas kembalinya bangsa kita dalam
pelukan cengkeraman asing.
Nah, Amin Arjoso, adalah satu di antara sekian banyak
anak bangsa yang dikenal sangat gigih dan konsisten
dalam menentang penggantian UUD itu, dan tak kenal
lelah dalam memperjuangkan kembali tegakknya UUD
1945 yang asli. Buku ini setidaknya, mencoba merekam
dan menguraikan itu semua.
Penerbit
Yayasan

Prakata
Penerbit
11
12 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Foto kenangan
Amin Arjoso
bersama Soetardjo
Soerjogoeritno, yang
sempat menuliskan
Kata Sambutan
untuk buku ini
sebelum wafat.

13
SAMBUTAN
Soetardjo Soerjogoeritno

Pintu Gerbang
Penjajahan Baru

S
ebagai sahabat seideologi, saya bersama-sama
Amin Arjoso berjuang tanpa pamrih di sidang-
sidang MPR 1999-2002, agar UUD 1945 tidak
perlu diamandemen. Sebab ketika itu, karena
PAH I BP MPR telah secara sadar melanggar 5 butir
rambu atau kesepakatan mengenai amandemen UUD
1945 di antara 11 fraksi di dalam MPR, yaitu:
1. Tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945;
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
3. Tetap mempertahankan sistem Pemerintahan Pre-
sidensiil;
4. Hal-hal yang normatif di dalam Penjelasan akan
dipindahkan ke dalam pasal-pasal UUD;
5. Perubahan dilakukan dengan cara addendum.
Namun kenyataannya, akibat intervensi pihak asing

14 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
(baca: NDI-AS) dan umumnya ketidakmengertiannya
secara umum anggota-anggota MPR tentang permasalah-
an konstitusi, selain sikap abstain dari 72 anggota Fraksi-
ABRI, otomatis mempermudah PAH I BP MPR membuat
UUD baru dengan menyatakan bahwa: “Dengan meng-
hilangkan Penjelasan, PAH I selain telah mengubah sis-
tem UUD 1945, juga telah melenyapkan originalitas UUD
1945 dan menjadikannya sebagai UUD “saduran”.
Dapat disimpulkan, bahwa MPR dengan sengaja telah
merusak jiwa, semangat dan asas-asas dasar yang terkan-
dung dalam Pembukaan UUD 1945. PAH I tampaknya
(sengaja) tidak memahami fungsi dari Pembukaan. Tidak
diketahui, bahwa Pembukaan UUD 1945 mendasari sis-
tem konstitusi kita, sehingga mengingkari sistem kenega-
raan kita. Dari itu semua secara jelas menunjukkan, bah-
wa PAH I sejak semula bermaksud membuat UUD baru,
sehingga dengan demikian BP MPR telah mengingkari
UUD 1945 sebagai UUD Proklamasi Kemerdekaan dan
sebagai lambang perjuangan bangsa Indonesia untuk
merebut kemerdekaannya.”
Disebabkan kesalahan fatal yang dilakukan MPR ter-
sebut telah mengantarkan konstitusi kita ke arah liberal.
“UUD 2002” yang dikamuflase sedemikian rupa tanpa
persetujuan rakyat, karena TAP MPR tentang Referen-
dum lebih dulu dicabut, sementara pada saat terjadi
“Peristiwa 1998” yang melengserkan Presiden Soeharto,
rakyat sama sekali tidak menuntut dilakukannya per-
ubahan konstitusi. Perubahan UUD 1945 sesuai strategi
pihak asing, untuk dapat menguasai kekayaan alam yang
dianugerahkan Tuhan pada bangsa Indonesia.
Era reformasi kemudian menjadi pintu gerbang bagi
penjajahan baru, ekonomi semakin mengarah pada prak-
tek kapitalis. Pancasila sebagai dasar negara terpolusi
sedemikian rupa, hanya menjadi “permainan lidah”, ter-
utama oleh para pejabat negara dan politisi. Budaya dan
jati diri bangsa luntur total, politisasi merambah ke semua
Sambutan
Soetardjo Soerjogoeritno 15
sektor kehidupan bangsa, melahirkan pula politik kartel
antara penguasa dan pengusaha, yang jelas mengancam
keutuhan bangsa, sehingga masyarakat semakin kehi-
langan kepercayaan terhadap kaum politisi.
Pemilu dan pilkada hanya merupakan pintu masuk
bagi para koruptor, kaum avonturis dan komprador.
Tidak heran, jika sampai saat ini Indonesia masih terdaf-
tar sebagai negara terkorup di dunia oleh Transparansi
Internasional dan PERC menetapkan pula Republik ini
sebagai negara yang birokrasinya terbobrok kedua, sete-
lah India.
Sejarawan Prof Sartono Kartodirdjo menyusun rumus-
an kesadaran kebangsaan terdiri dari 4 fase sebagai
berikut:
Tahun 1900-an adalah masa simbolisasi untuk mencari
identitas;
Tahun 1920-an adalah masa konseptualisasi;
Tahun 1940-an era revolusi adalah masa aktualisasi;
Tahun 1960-an pasca revolusi adalah masa konsolidasi;
Sebagai bangsa yang telah merdeka selama 65 tahun,
kita menyadari sepenuhnya, bahwa negara dan bangsa
sudah setengah abad lamanya masih saja berada dalam
masa konsolidasi, artinya kita masih saja berada dalam
kungkungan “obok-obokan” antara elit bangsa, sehingga
gerak kemerdekaan mengalami stagnasi dalam melak-
sanakan Cita-cita Proklamasi.
Keteladanan para pendiri negara dan bangsa ini, sejak
dari Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda
(1928) dan Proklamasi Kemerdekaan (1945) hampir tak
ada bekasnya, kalau kita melihat tingkah polah para elit
bangsa hari ini. Pengkhianatan demi pengkhianatan
terhadap kepentingan nasional menjadi gaya hidup para
pejabat tinggi negara dari yang paling rendah sampai
yang tertinggi, demikian juga komunitas politisi, bahkan

16 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
juga tidak ketinggalan para cendekiawan di semua
bidang.
Hal ini betapa pun tentu merisaukan kita. Setiap hari
di semua mass-media (cetak atau elektronik) yang selalu
menjadi berita utama adalah tentang korupsi yang terjadi
hampir di semua instansi pemerintah dari kelurahan
sampai Istana Negara. Belum lagi setiap hari terjadi de-
monstrasi, hanya karena soal sepele. Paradigma tiada hari
tanpa demo menjalar ke seluruh pelosok Tanah Air. Tak
ada instansi yang bisa mengelak dari aksi demo rakyat.
Instansi penegak hukum justru jadi lahan subur bagi
para markus (makelar kasus). Kenapa semua itu terjadi?
Penyebab utamanya adalah hilangnya kepercayaan rak-
yat terjadap pemerintah, terutama para aparatnya, seba-
gai akibat diamandemennya UUD 1945. Apakah semua
itu akan kita biarkan? Apakah rakyat yang selalu dieks-
ploitasi demi kepentingan pribadi dan kelompok atau
partai dengan melakukan penyuapan, baik di pemilu
maupun Pemilukada, akan terus diperas moral kebang-
saannya?
Di sinilah peran Amin Arjoso tidak dapat dilihat de-
ngan sebelah mata, karena sejak masih pemuda/anggota
GMNI ia sudah mengalami pahit getirnya penjara selama
7 tahun oleh rezim Orba, selanjutnya setelah menjadi
anggota DPR/MPR periode 1999-2004, ia terus berjuang
menegakkan kembali UUD 1945. Perjuangan itu tidak
pernah dihentikannya, meski ia tidak menjadi anggota
DPR, sampai berkali-kali jatuh sakit dan harus dirawat
di rumah sakit.
Puluhan judul buku melalui Yayasan Kepada Bangsa-
ku diterbitkan dan diedarkannya secara cuma-cuma ke-
pada masyarakat sebagai perjuangan menegakkan kem-
bali UUD 1945. Sampai hari ini dalam kondisi kesehatan
yang kurang mendukung, Amin terus berjuang tanpa
pamrih.

Sambutan
Soetardjo Soerjogoeritno
17
Oleh karena itu ketika saya diminta untuk memberi-
kan Kata Sambutan, saya sempat trenyuh dan merenung
dan bertanya; kapan Amin Arjoso berhenti memperjuang-
kan tegaknya UUD 1945?
Jelas tidak ada yang dapat memberikan jawabannya,
kecuali Amin Arjoso sendiri.
Saya yakin buku ini cukup komprehensif mengenai
segala hal terkait amandemen UUD 1945. Dengan men-
dalami materi buku ini, saya sangat mengharapkan dapat
dicari suatu solusi yang tepat, agar bangsa ini segera da-
pat melaksanakan Cita-cita Proklamasi yakni mewujud-
kan masyarakat sejahtera lahir dan batin berdasar
Pancasila.
Untuk itu marilah kita bangkitkan kembali kesadaran
menentang sistem penjajahan baru yang saat ini terus
ditanamkan oleh imperialis/kapitalis asing dan dikem-
bang-luaskan oleh para anteknya yang bersembunyi di
balik baju nasional. Ingat kata Bung Karno: “Revolusi
belum selesai”. “Rawe-rawe rantas, malang-malang
putung!”

TETAP MERDEKA!
Jakarta, 05 Juli 2010

18 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Amin Arjoso:
“HIDUP ADALAH
PERJUANGAN,
PERJUANGAN
ADALAH
PENGABDIAN”

19
Amin Arjoso dan Kwik Kian Gie (kanan) saat Sidang Umum MPR 1999.

Amin Arjoso dan Theo Sambuaga (kanan) saat Sidang Umum MPR 1999.

20 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
PENGANTAR
Prof Dr Sri Soemantri

MPR Melanggar
Pembukaan UUD ‘45,
Membuat UUD Baru

T
ulisan ini dimaksudkan untuk mensosia-
lisasikan amandemen-amandemen yang telah
dibuat MPR terhadap UUD 1945 sejak tahun
1999 hingga tahun 2002, agar rakyat dapat me-
ngetahui apa sebetulnya yang telah terjadi dan apa ke-
mungkinan dampaknya terhadap kehidupan negara dan
bangsa Indonesia.
Disadari atau tidak, dengan amandemen-amandemen
tersebut MPR telah mengadakan perubahan-perubahan
yang sangat mendasar tehadap UUD 1945. Kalau diban-
dingkan negara lain, perubahan yang begitu mendasar
sifatnya tidak dapat dilakukan dengan prosedur biasa
tetapi harus melalui prosedur khusus. Masalah per-
ubahan UUD bukanlah peristiwa biasa, sebab perubahan
UUD menyangkut hari depan negara, bangsa dan seluruh
rakyat yang bersangkutan.
Oleh karena itu tiap negara mengadakan pengamanan
agar tidak terjadi hal-hal yang didorong oleh kepenting-
Pengantar
Sri Soemantri
21
an-kepentingan sesaat atau hanya untuk memenuhi ke-
inginan-keinginan satu golongan tertentu saja.
Selain itu ternyata bahwa amandemen-amandemen itu
mengandung begitu banyak kontradiksi dan keanehan
sehingga menimbulkan pertanyaan apa sebabnya hal itu
bisa terjadi. Inilah yang dicoba dibahas dalam tulisan ini.
Sebelum mengadakan amandemen-amandemen ter-
hadap UUD 1945, pada awal sidang umum MPR tahun
1999 telah terjadi kesepakatan di kalangan anggota MPR
yang tidak tertuang dalam keputusan resmi MPR. Inilah
keanehan pertama, bagaimana bisa terjadi, kesepakatan
yang begitu mendasar sifatnya tidak tertuang dalam ke-
putusan resmi MPR, padahal kesepakatan itulah yang
dimaksudkan hendak dijadikan landasan kerja MPR.
Kesepakatan itu adalah sebagai berikut :
1. Mempertahankan Pembukaan UUD 1945
2. Mempertahankan Bentuk Negara Kesatuan Repu-
blik Indonesia
3. Mempertahankan Sistem Pemerinahan Presidensiil
4. Memindahkan ketentuan-ketentuan normatif dalam
Penjelasan ke dalam Pasal-Pasal UUD 1945
5. Perubahan dilakukan dengan cara addendum.
Kesepakatan inilah yang oleh MPR akan dijadikan pe-
doman dalam mengamandemen UUD 1945.
Ternyata semua kesepakatan itu dilanggar oleh MPR
sendiri. Hal itu semua menjadi objek pembahasan dalam
tulisan ini. Karena sempitnya waktu maka yang dikemu-
kakan hanya yang pokok-pokok saja.

MPR memandang UUD hanya dari segi


Yuridis-Formal
MPR melihat UUD 1945 hanya sebagai produk yuridis
semata-mata, sehingga meninjaunya hanya dari kaca

22 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
mata Yuridis-Formal. Dengan begitu MPR menganut
pengertian konstitusionalisme gaya lama. Inti ajaran
konstitusionalisme adalah bahwa kekuasaan dapat di-
kuasai dan dibendung melalui hukum dan bahwa untuk
itu UUD merupakan satu-satunya alat untuk membatasi
dan mengontrol kekuasaan itu. Jadi fungsi UUD hanya
bersifat yuridis-formal.
Akan tetapi sejak nasib tragis yang dialami oleh UUD
Republik Weimar yang oleh para ahli secara yuridis-for-
mal dianggap sebagai UUD paling lengkap maka pan-
dangan terhadap UUD berubah. Sebagaimana diketahui
UUD Republik Weimar pada tahun 1934 telah mengha-
silkan pemerintahan diktator Hitler yang mengenai keke-
jamannya tidak ada taranya dalam sejarah. Sejak itu ma-
syarakat umum dan juga tidak sedikit kaum ilmuwan
tidak tertarik lagi pada masalah UUD. Terjadilah perkem-
bangan di bidang teori konstitusi, pengaruh atau daya
yuridis UUD semakin memudar karena makin menonjol-
nya peranan politisnya. Jadi, terjadilah pergeseran fungsi
UUD. Kini UUD menjadi titik tolak baru yaitu teori
fungsional mangenai konstitusi.
UUD 1945 bukan hanya merupakan landasan yuridis
bagi Negara RI, tetapi juga sebagai lambang hak bangsa
Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, sebagai
lambang perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut
kemerdekaannya dan sebagai faktor integrasi bangsa.
Dengan demikian UUD 1945 sarat dengan muatan politis-
psikologis.
Dapat dikatakan bahwa terutama di Asia Afrika, UUD
1945 memelopori pemikiran mengenai konstitusi dan
UUD. Tekanan bukan lagi pada dimensi dan problematik
yang normatif-yuridis melainkan pada fungsi–fungsi dan
dampak konstitusi kepada negara dan sistem politiknya.
Teori integrasi yang terkandung dalam UUD 1945 meng-
anut pengertian tentang negara dan konstitusi yang luas
dan dinamis.
Pengantar
Sri Soemantri
23
MPR masih terbelenggu oleh pemikiran gaya lama
mengenai konstitusi atau UUD. Akibatnya MPR tidak
memperdulikan dampak politis yang diakibatkan oleh
serentetan amandemen yang dilakukannya terhadap
UUD 1945.

MPR melanggar Pembukaan UUD 1945 dan


telah membuat UUD baru
Walaupun dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945
akan dipertahankan, tetapi dalam kenyataannya pasal-
pasal yang merupakan penjabaran dari pembukaan
diubah juga. Perubahan-perubahan yang terjadi secara
terang-terangan bertabrakan atau menyimpang dari pem-
bukaan. Berarti bahwa yang dimaksud mempertahankan
adalah dalam arti harfiah. Dari situ dapat disimpulkan
bahwa MPR tidak mengerti atau dengan sengaja tidak
mau mengerti fungsi dari Pembukaan.
Tidak semua UUD mempunyai preambule atau pembu-
kaan. UUD 1945 adalah salah satu UUD yang memuat
pembukaan yaitu suatu bagian dari UUD yang tertinggi
tingkatannya, artinya bahwa preambule mendasari sistem
konstitusi dan mengikat sistem kenegaraan. Dengan
demikian, tingkatan Pembukaan UUD 1945 adalah di atas
Batang Tubuh dan Penjelasannya. Hal-hal yang terdapat
dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945 tidak
boleh terlepas dari Pembukaan. Sistem konstitusi dan
struktur bangunan Negara RI dibangun di atas landasan
Pembukaan UUD 1945.
Menurut bahasa UUD 1945, dalam Pembukaan ter-
kandung pokok-pokok pikiran yang menguasai hukum
dasar baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Menurut
bahasa hukum, Pembukaan memuat asas-asas dasar,
asas-asas, dan sendi-sendi pokok kehidupan Negara RI.
Oleh karenanya perlu diketahui pokok-pokok pikiran
apa saja yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

24 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pembukaan hanya terdiri dari empat Paragraf atau
alinea saja. Keempat alinea itu merupakan suatu kesa-
tuan dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Pokok pikiran yang terkandung dalam alinea pertama
adalah bahwa kemerdekaan itu adalah hak bangsa, yang
mengandung arti bahwa negara adalah milik bangsa,
milik seluruh rakyat Indonesia. Ini merupakan asas dasar
yang membawa konsekuensi bahwa apabila timbul ma-
salah mendasar yang menyangkut eksistensi dan kehi-
dupan negara, maka rakyat wajib diberitahu dan rakyat
berhak untuk bicara.
Alinea kedua mengandung pokok pikiran yang isinya
adalah bahwa Negara Indonesia merdeka adalah produk
sejarah dan merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat.
Alinea kedua ini mengandung pesan agar generasi-gene-
rasi mendatang jangan sekali-kali melupakan sejarah per-
juangan bangsa. Ini merupakan asas dasar pertama tadi.
Konsekuensinya adalah bahwa sejarah perjuangan bang-
sa merupakan mata pelajaran wajib untuk sekolah-seko-
lah Indonesia.
Pokok pikiran yang terkandung dalam alinea ketiga
merupakan asas dasar yang mengalir dari asas dasar per-
tama dan kedua. Jadi, berhubungan erat dengan pokok-
pokok pikiran dari alinea pertama, kedua dan keempat,
khususnya pokok-pokok pikiran kedua dan keempat
yang terdapat dalam alinea keempat seperti akan diurai-
kan nanti.
Perjuangan bangsa dan kemerdekaan bangsa dapat
dicapai hanya berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa.
Alinea ini membuktikan bahwa Proklamasi Kemerde-
kaan 17 Agustus 1945 menyatu dengan UUD 1945 yang
telah berhasil menyatukan bangsa Indonesia dan untuk
membela serta menegakkannya rakyat rela mengorban-
kan segala-galanya. Selanjutnya alinea ini menggaris-
bawahi tekad dan keinginan rakyat Indonesia akan

Pengantar
Sri Soemantri
25
berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Alinea keempat memuat pokok-pokok pikiran berupa
asas-asas dasar yang paling mendasar yaitu falsafah
dasar negara dan fungsi-fungsi negara.
Dari asas-asas dasar yang termuat empat alinea dalam
Pembukaan kemudian mengalir aspek-aspek dari teori
bernegara bangsa Indonesia dan asas-asas yang mengua-
sai kehidupan dan perkembangan negara. Ternyata masa-
lah yang sangat mendasar ini tidak dipahami atau sengaja
tidak mau dipahami oleh MPR.
Maka terjadilah perubahan-perubahan yang berten-
tangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang pada haki-
katnya telah mengubah UUD 1945 menjadi UUD 2002 dan
perubahan ini dilakukan tanpa mandat khusus dari rakyat
sebagai pemilik kedaulatan. Dengan demikian MPR se-
cara terang-terangan telah melakukan peyelewengan.

Pengertian kedaulatan menurut Pembukaan


UUD 1945
Selain mengenai Pembukaan UUD 1945, MPR juga
telah memanipulasi pengertian kedaulatan yang dianut
UUD 1945. Mengenai masalah kedaulatan terdapat ke-
simpang-siuran dan salah pengertian di Indonesia. Di
lembaga-lembaga pendidikan diajarkan bahwa kita
menganut ajaran kedaulatan rakyat dari Jean Jacques
Rousseau.
Kesimpangsiuran ini telah dimanfaatkan oleh MPR
untuk mencapai tujuannya yaitu melakukan amandemen
terhadap UUD 1945. Dikatakan bahwa menurut sistem
UUD 1945, MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulat-
an rakyat dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Dengan
demikian MPR telah mengambil alih kedaulatan rakyat
sepenuhnya, artinya rakyat telah kehilangan kedaulatan-
nya.
Menurut MPR hal ini perlu diluruskan. Maka lahirlah

26 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
rumusan pasal 1 ayat (2) baru, seolah-olah dengan rumus-
an baru itu rakyat tidak kehilangan kedaulatannya. Masa-
lah ini perlu diluruskan.
Ajaran kedaulatan yang dianut UUD 1945 adalah unik
karena telah merenovasi ajaran kedaulatan yang untuk
pertama kali lahir di dunia Barat. Kalau kini di Barat or-
ang sudah mulai menyangsikan kegunaannya sehingga
mulai meninggalkannya, maka UUD 1945 sejak semula
telah merevolusinya.
Ajaran kedaulatan bermula di Gereja Roma Katolik
yang mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi adalah pada
Tuhan Yang Maha Esa dan semua kekuasaan di dunia
ini berasal dariNya. Terhadap ajaran ini kemudian timbul
reaksi-reaksi.
1. Reaksi pertama datang dari seorang pembantu Raja
Perancis bernama Jean Bodin mengatakan bahwa ke-
kuasaan tertinggi ada pada raja. Dengan kekuasaan
diartikannya sebagai kekuasaan tertinggi dalam ne-
gara yang bersifat original, bulat, dan tidak dapat diba-
gi. Jadi, Jean Bodin mengajarkan kedaulatan raja.
2. Kemudian timbul ajaran Jean Jacques Rousseau yang
menggeser kekuasaan itu dari raja kepada rakyat. La-
hirlah ajaran kedaulatan rakyat. Dalam ajarannya ini
tidak ada tempat bagi segala yang berbau Tuhan dan
Raja.
3. Menurut John Austin dari Inggris kedaulatan berada
di tangan the King/Queen in Parliament. Menurut doktrin
Inggris dalam parlemen mereka Raja/Ratu menyatu
dengan kaum ningrat dan perwakilan rakyat biasa.
4. Kemudian di Jerman timbul ajaran yang mengatakan
bahwa kedaulatan berada di tangan negara.
5. Kemudian lagi timbul ajaran mengenai kedaulatan hu-
kum. Jadi, kekuasaan tertinggi bukan pada orang atau
badan tertentu tetapi pada hukum.

Pengantar
Sri Soemantri
27
Suasana Sidang Umum MPR 1999. Tampak Amin Arjoso melakukan
diskusi, lobby, dan perdebatan dengan sesama anggota MPR terkait
amandemen UUD 1945.

28 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pengantar
Sri Soemantri
29
6. Selanjutnya James Madison dan Alexander Hamilton
dari Amerika Serikat mengajarkan bahwa kedaulatan
dapat dibagi (teori kedaulatan Pluralistik), dalam hal
ini kedaulatan Amerika Serikat dibagi antara pusat dan
negara-negara bagian.
7. Herman Dooyeweerd dari Belanda dan Harold Laski
dari Inggris mengemukakan suatu variasi dari ajaran
kedaulatan yang pluralistik. Dia mengatakan dalam
negara terdapat orang, golongan atau kelompok seper-
ti kelompok keagamaan, dan sebagainya, yang berdau-
lat dalam lingkungannya sendiri. Siapa pun, termasuk
negara, tidak boleh campur tangan dalam urusan ling-
kungan itu (tentu kecuali kalau melanggar ketertiban
dan keamanan umum).
8. Pada tahun 1958 di Perancis lahir ajaran bahwa kedau-
latan adalah di tangan bangsa, dan dengan bangsa di-
maksud selain rakyat yang ada sekarang, juga rakyat
yang pernah hidup dan yang akan datang. Hal ini di-
maksudkan supaya rakyat Perancis sekali-kali jangan
melupakan sejarah bangsanya. Oleh karena itu kalau
ada niat mengubah UUD-nya, rakyat harus ditanya
terlebih dahulu.
9. Karena begitu banyak terdapat teori mengenai kedau-
latan maka di Eropa pada tahun 1970-an timbul pen-
dapat di antara para pakar, bahwa pengertian kedau-
latan telah kedaluarsa atau setidaknya tidak terpakai
lagi di bidang hukum tata negara.
Para Bapak Pendiri Negara kita pada tahun1945 seolah-
olah sudah mengantisipasi perkembangan tadi sehingga
sejak semula mereka membuat rumusan yang sama se-
kali berbeda. Pengertian kedaulatan yang dianut UUD
1945 terdapat dalam Pembukaan :
Negara RI yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan

30 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permu-
syawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan ke-
adilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengertian itu mempunyai berbagai aspek yang dijabarkan
lebih lanjut dalam Batang Tubuh dan Penjelasan sebagai
berikut :
- Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan se-
penuhnya oleh MPR. (Pasal 1 ayat 2).
- Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal
29 ayat 1).
- MPR memegang kedaulatan Negara. (Penjelasan Pasal
3).
- Negara Indonesia ialah Negara yang berdasar atas ho-
kum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machtssaat). (Penjelasan mengenai sistem Pemerin-
tahan Negara).
Kemudian dalam Pasal 28 dan Pasal 29 ayat (2) UUD
1945 terdapat uraian mengenai kemerdekaan warga yang
pada hakikatnya merupakan kedaulatan dalam ling-
kungan sendiri :
- Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, menge-
luarkan pendapat dengan lisan dan tertulis dan se-
bagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan ber-
ibadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Selain itu dalam Pembukaan UUD 1945 digunakan
istilah bangsa dan rakyat secara bergantian dalam arti
yang sama, yang berarti bahwa :
- UUD 1945 juga menganut kedaulatan bangsa
Jadi, ajaran-ajaran yang timbul di Barat tentang kedau-
latan sangat beragam karena suatu ajaran hanya menge-

Pengantar
Sri Soemantri
31
nai salah satu aspek saja dari kedaulatan dan semua itu
oleh UUD 1945 dipadukan sehingga dengan begitu telah
terkandung dalam pengertian kadaulatan yang dianut
UUD 1945. Berbagai aspek dari kedaulatan yang di Barat
berdiri sendiri-sendiri, oleh UUD 1945 diintegrasikan dan
dipadukan sehingga dikatakan bahwa UUD 1945 meng-
anut ajaran kedaulatan yang terpadu.
Pendapat yang dikemukakan oleh MPR tersebut di
atas diambil dari rumusan Pasal 1 ayat (2), dihubungkan
dengan Penjelasan Pasal 3. Jadi, ketentuan Pasal 1 ayat
(2) dan Penjelasan Pasal 3 dilepaskan dari induknya yaitu
rumusan yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 ke-
pada kedaulatan rakyat.
Dari rumusan mengenai kedaulatan ini sudah tampak
secara jelas teori integrasi yang dianut UUD 1945 menge-
nai negara. Para Bapak Pendiri Negara kita tidak meng-
hendaki negara demokrasi Indonesia didasarkan kedau-
latan rakyat yang dilandasi individualisme.
Dipandang dari sudut ini maka rumusan Pasal 1 ayat
(2) baru, selain tidak sesuai juga bertentangan dengan
Pembukaan.

Ketuhanan Yang Maha Esa


Telah dikatakan bahwa ajaran kedaulatan dari Rou-
sseau terbatas dari segala yang berbau Tuhan dan raja,
Hanya saja MPR menafsirkan Ketuhanan yang Maha Esa
itu dari sudut salah satu agama sehingga tidak meng-
akui semua agama dan tidak ada tempat bagi keperca-
yaan Tuhan Yang Maha Esa. Padahal kedaulatan rakyat
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung
pengertian freedom of worship atau kebebasan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing,
dan dalam hal ini negara tidak boleh campur tangan. Itu
yang dinamakan kedaulatan dalam lingkungan sendiri.
MPR mencampuradukan freedom of worship dan freedom

32 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
of thought. Dalam pasal 28E baru freedom of worship
dipecah, dalam ayat (1) diuraikan kebebasan beragama
dan dalam ayat (2) diuraikan kebebasan meyakini keper-
cayaan. Digambarkan seolah-olah hanya agama yang ber-
dasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sedangkan keperca-
yaan tidak demikian. Selain itu kebebasan beragama
disatukan dengan kebebasan memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganega-
raan dan memilih tempat tinggal. Dengan begitu digam-
barkan seolah-olah hanya menganut agama yang diberi-
kan memilih pendidikan dan sebagainya. Sedangkan ke-
bebasan meyakini kepercayaan disatukan dengan kebe-
basan menyatakan pikiran dan sikap.
Selanjutnya dalam pasal 31 ayat (3) baru, dinyatakan
bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pen-
dididkan nasional yang meningkatkan keimanan dan ke-
takwaan yang berarti bahwa MPR menghendaki agar pe-
merintah menyelenggarakan pendididikan agama, se-
hingga dengan demikian pemerintah campur tangan da-
lam kebebasan beragama. Dengan lain perkataan Negara
RI telah berubah menjadi negara agama. Hal ini secara
terang-terangan bertentangan dengan pembukaan UUD
1945.

Persatuan Indonesia
Di atas telah diuraikan bahwa kedaulatan rakyat juga
berdasarkan persatuan Indonesia. Dalam hubungan ini
hendaknya perlu diingat bahwa bahasa yang digunakan
UUD 1945 adalah bahasa Indonesia yang sedang dalam
awal pertumbuhan. Persatuan berarti bersatu dalam satu
kesatuan dan bukan dalam arti federalisme. Hal ini me-
ngandung arti bahwa kedaulatan adalah terpusat dan
tidak dapat dibagi seperti di Amerika Serikat.
Dengan adanya Bab VII baru, dengan pasal 22C dan
22E baru, maka nampaknya kedaulatan telah terbagi anta-
ra pusat dan daerah. Dari rumusan pasal 22Cdan 22D

Pengantar
Sri Soemantri
33
baru itu dapat diketahui bahwa pemerintah pusat tidak
dapat melakukan tindakan atau pengaturan yang ber-
kaitan dengan masalah daerah tanpa mengikutsertakan
daerah, karena itu diadakan dewan perwakilan daerah.
Hal ini merupakan federalisme secara terselubung. Jadi
walaupun dikatakan negara kesatuan secara formal di-
pertahankan, tetapi dengan adanya pasal-pasal baru ini
maka pada hakikatnya negara kesatuan Indonesia telah
berubah menjadi Negara Serikat.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat


kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan
Kerakyatan menunjuk kepada demokrasi Indonesia.
Menurut Prof. Robert A. Dahl teori mengenai demokrasi
bukan hanya satu tetapi banyak. Ada teori demokrasi
yang pluralistis, ada yang dinamakan elitis, ada demo-
krasi pasifikasi, ada teori demokrasi yang partisipatif.
Dalam hubungan ini Prof. J.R. Lucas menambahkan
bahwa each country regards its self as a democracy,and is in-
dignant at the pretensions of it is rivals,which also describe them-
selves as democracies and maintain that every other country must
be fraudulent in its claims.
Intinya, tidak ada negara yang sama karena masing-
masing negara mempunyai akar sejarah dan budaya yang
berbeda-beda. Jadi kesimpulannya, Indonesia tidak harus
dan tidak perlu mencontoh demokrasi dari negara lain
seperti dilakukan oleh MPR dengan amandemennya.
Demokrasi yang dianut dalam Pembukaan UUD 1945
adalah kerakyatan atau demokrasi kekeluargaan. Menge-
nai pengertian yang terkandung dalam istilah kerakyatan
telah diuraikan di atas sehingga jelas bahwa demokrasi
kita adalah asli Indonesia.
Kalau membaca rumusan pasal-pasal dari Bab XA
yaitu pasal 28A s/d pasal 28J baru, maka tidak pelak lagi

34 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
bahwa pasal-pasal itu menganut paham individualisme
dan liberalisme seperti waktu UUDS 1950. Hal itu berarti
bahwa Bab XA beserta pasal-pasalnya itu bertentangan
dengan Pembukaan UUD 1945.
MPR merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat In-
donesia. Para bapak pendiri negara kita menyadari bah-
wa masyarakat Indonesia akan mengalami modernisasi
tetapi masyarakat pada umumnya akan bersifat tradisio-
nal. Mereka tidak menghendaki praktek jegal-menjegal
dan lain-lain gejala seperti yang terjadi di Barat sebagai
akibat falsafah individualisme.
Mereka tidak mempertentangkan modernisasi dengan
tradisi. Mereka secara naluriah telah mengantisipasi hasil
penelitian para ahli pada tahun 1960-an yang berkesim-
pulan bahwa dalam negara-negara sedang berkembang
peranan pemimpinnya sangat menentukan. Dalam ma-
syarakat yang demikian itu aspirasi dan pendapat rakyat
Indonesia akan disuarakan oleh pemimpin-pemimpin
atau tokoh-tokohnya, yaitu pemimpin-pemimpin atau to-
koh–tokoh politik, pemimpin atau tokoh-tokoh daerah
(tokoh-tokoh adat dan tokoh panutan dari daerah lainnya
yang bukan tergabung dalam partai politik) dan pemim-
pin-pemimpin atau tokoh-tokoh golongan fungsional.
Pemikiran para bapak pendiri negara kita yang diru-
muskan pada tahun 1945 itu kemudian pada tahun 1950
–an di dunia Barat golongan itu menjelma dalam golong-
an fungsional. Salah satu penjelmaan dari golongan ini
adalah kelompok-kelompok kepentingan kini yang di
dunia Barat mempunyai peranan penting dalam kehi-
dupan negara. Di Perancis umpamanya di lingkungan
golongan ini terdapat ratusan kelompok yang kepenting-
annya ditampung dalam Conseil d’Etat yang mempunyai
empat seksi (section administrative) yaitu untuk urusan
ekonomi, urusan dalam negeri, urusan pekerjaan umum,
dan urusan sosial. Keempat seksi ini bertugas memberi-
kan nasehat kepada pemerintah Perancis mengenai pem-
Pengantar
Sri Soemantri
35
buatan RUU, RPP, dan rancangan keputusan lain. Kemu-
dian menyusul Conseil Economie et Social (dewan
ekonomi).
Di Italia golongan-golongan itu ditampung dalam
consiglio nazionale dell’ economia e del lavor (dewan ekonomi
dan tenaga kerja). Di Belanda golongan–golongan itu ter-
diri dari lebih kurang 386 badan yang memberikan nase-
hat kepada Raad van State (DPA mereka).
Di Amerika Serikat golongan–golongan itu menjelma
menjadi pressure groups yang sering berhubungan lang-
sung dengan kongres dan pemerintah. Melihat perkem-
bangan–perkembangan di negara Barat maka golongan-
golongan ini secara langsung atau tidak langsung berhu-
bungan dengan pemerintah atau dewan perwakilan
rakyat.
Di Indonesia golongan-golongan itu merupakan seba-
gian dari rakyat yang tergabung dalam MPR dan yang
langsung ikut serta dalam penentuan arah dan perjalanan
dan perkembangan negara.
Jadi, kalau di Eropa golongan-golongan dari rakyat
ditampung dalam berbagai lembaga yang berbeda-beda
maka di Indonesia menurut UUD 1945 penjelmaan selu-
ruh rakyat ditampung di MPR. Golongan-golongan itu
diwujudkan oleh tokoh-tokoh politik dari yang ada di
DPR, ditambah tokoh-tokoh dari daerah dan tokoh-tokoh
golongan fungsional. Para tokoh ini berkumpul sekali
dalam lima tahun untuk membahas perkembangan yang
terjadi dan menentukan arah perjalanan negara dan bang-
sa selanjutnya. Hasil konsultasi mereka dituangkan da-
lam bentuk garis-garis besar daripada haluan negara
yang berisikan rambu–rambu dan pedoman pelaksanaan
nya.
Selanjutnya pelaksanaannya dipercayakan kepada
presiden yang masa jabatannya adalah lima tahun, diser-
tai syarat bahwa pelaksanaannya harus didasarkan un-

36 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
dang-undang untuk mana presiden harus bekerjasama
dengan DPR. Dan pelaksanaan itu presiden diawasi oleh
DPR, DPA, BPK, Mahkamah Agung dan oleh rakyat itu
sendiri.
Apabila terjadi penyimpangan maka DPR wajib mene-
gur presiden dan apabila tidak digubris maka DPR me-
manggil MPR bersidang untuk “mengadili“ Presiden.
Itulah blue print system MPR menurut UUD 1945. Kalau
itu dilaksanakan secara benar artinya semua pihak yang
bersangkutan melaksanakan tugas kewajibannya akan
terjadi pemerintahan yang stabil dan yang lebih penting
lagi demokratis gaya Indonesia.
Jadi rakyat sebagai pemilik negara mempercayakan
pengelolaan kedaulatan rakyat kepada MPR sebagai
manajer kedaulatan rakyat. MPR diberikan wewenang
untuk apa saja yang diperlukan dengan catatan bahwa
kalau mengenai masalah-masalah yang sifatnya sangat
mendasar maka MPR harus bertanya kepada rakyat
sebagai pemilik kedaulatan.
Dengan amandemen yang dilakukan oleh MPR yaitu
melalui pasal 1 ayat (2) baru, maka rakyat telah kehilang-
an kedaulatannya. Dengan demikian pasal 1 ayat (2) baru
ini bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945.
Di dunia Barat pada abad XVIII lahir pemikiran perta-
ma mengenai bagaimana supaya kedaulatan dapat men-
jadi operasional yaitu melalui pemilihan umum. Kemu-
dian lembaga referendum dan inisiatif rakyat (artinya rak-
yat berhak mengajukan RUU ke parlemen mereka yang
kemudian harus membahasnya) masuk UUD Perancis
tahun 1973.
Dalam amandemen terhadap UUD 1945 hanya disebut
pemilihan umum saja yaitu dalam Bab VIIB dengan pasal
22E baru. Hanya hak memilih saja diberikan kepada war-
ga sedangkan hak pilih diberikan kepada partai politik
untuk DPR dan hak perorangan untuk DPD. Pada zaman

Pengantar
Sri Soemantri
37
Atas:
Amin Arjoso
(belakang
tengah) berfoto
bersama para
anggota MPR RI
peserta Sidang
Paripurna MPR RI
tahun 1999.

Bawah:
Amin Arjoso aktif
berdiskusi
dengan anggota
MPR RI peserta
sidang, 1999.

38 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Amin Arjoso giat menggalang dukungan para anggota MPR RI untuk
menolak amandemen UUD 1945 yang merupakan upaya mengganti
konstitusi NKRI dengan intervensi Amerika Serikat melalui NDI dan Cetro
yang bekerja sama dengan berbagai kalangan “pengkhianat” di dalam
negeri. Termasuk politisi, pers, LSM, dan akademisi. Dokumen tentang itu
telah beredar luas.

Pengantar
Sri Soemantri
39
UUDS 1950 hak memilih dan hak dipilih diberikan ke-
pada perorangan. Jadi, amandemen yang dibuat MPR
adalah lebih mundur. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan
hanya diberikan hak memilih. Dengan demikian aman-
demen kembali ke zaman abad XVIII sewaktu demokrasi
sedang di awal perkembangannya.
Hal ini adalah tidak sesuai dengan pengertian demo-
krasi kekeluargaan yang dianut dalam pembukaan. Ke-
simpulannya, amandemen ini tidak sesuai dengan Pem-
bukaan UUD 1945. Selain itu dapat dikatakan, kedaulatan
rakyat telah berubah menjadi kedaulatan partai politik.

MPR pasca amandemen bukan lagi


merupakan penjelmaan seluruh rakyat
Dengan rakyat kehilangan kedaulatannya maka MPR
pasca amandemen bukan lagi merupakan penjelmaan
seluruh rakyat sehingga tidak merupakan pelaksana se-
penuhnya kedaulatan rakyat dan oleh karena itu tidak
berhak menyandang sebutan majelis permusyawaratan
rakyat. Dengan begitu pasal 2 ayat (1) baru, bertentangan
dengan Pembukaan UUD 1945.
Begitu juga rumusan pasal 3 baru ini bertentangan dan
tidak sesuai dengan jiwa serta prinsip pembukaan yang
menjelma dalam sistem UUD 1945. Dalam hubungan ini
perlu dicatat bahwa mengubah dan menetapkan UUD
baru, melantik presiden dan/atau wakil presiden, dan
memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden
dalam masa jabatannya bukan merupakan pekerjaan ru-
tin yang dikerjakan pada tiap sidang. Selain itu melantik
dan mengambil sumpah presiden/atau wakil presiden
tidak harus dilakukan oleh MPR-baru tetapi dapat dila-
kukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Karenanya menjadi persoalan apa saja kerja MPR–
baru dan para anggotanya selama masa jabatannya. Jadi,
kalau hanya itu wewenang MPR pasca amandemen,

40 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
maka MPR–baru itu tidak perlu ada.

Masalah golongan minoritas


Masalah golongan minoritas merupakan masalah yang
penting dalam demokrasi. Biasanya persoalan ini dipe-
cahkan dengan memberikan kepadanya jatah tertentu da-
lam lembaga perwakilan seperti pernah terjadi di bawah
naungan UUDS 1950. Dalam sistem menurut amandemen
buatan MPR tidak ada tempat bagi golongan minoritas,
dengan demikian golongan minoritas harus menerima
saja apa yang dikehendaki golongan mayoritas. Dengan
begitu yang berlaku adalah tirani mayoritas yang tidak
sesuai dengan demokrasi kekeluargaan.
Dalam sistem UUD 1945 hal itu tidak bisa terjadi. Selu-
ruh rakyat mempunyai wakil di MPR dan mereka ikut
serta dalam menentukan haluan negara.
Dengan demikian sistem yang dibangun berdasarkan
pasal 1 ayat (2) dihubungkan dengan pasal 2, 3, dan 22E
baru adalah bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945.

Sistem pemerintahan presidensiil


Tidak jelas apa yang dimaksud oleh MPR dengan sis-
tem presidensiil. Yang pasti adalah bahwa sistem ini
mengenai hubungan antara parlemen dan presiden.
Kalau ciri-ciri pokok dari sistem presidensiil ditentu-
kan bahwa presiden dipilih untuk jangka waktu yang
tetap dan antara parlemen dan presiden tidak ada garis
hubungan pertanggungjawaban, dan menteri-menteri
adalah pembantu presiden dan hanya bertanggung jawab
kepada presiden. Kalau ini dijadikan pegangan maka
Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia di bawah
naungan UUD 1945 menganut sistem pemerintahan
presidensiil. Mungkin dapat juga dimasukkan Portugal
dalam kategori ini.
Kalau mengikuti James Madison sebagaimana dike-

Pengantar
Sri Soemantri
41
mukakannya dalam The Federalist No. LI yaitu mengenai
pengaturan pemerintahan by so contriving the interior
sctructure of the government as that its several constituent part
may, by their mutual relations,be the means of keeping each other
in their proper places. Karenanya di Amerika Serikat ke-
kuasaan kongres adalah pembentukan undang-undang
yang terpisah secara tajam dari kekuasaan presiden yang
terletak di bidang eksekutif saja, sehingga presiden dan
para pembantunya tidak campur-tangan dalam urusan
pembentukan undang-undang.
Kalau itu yang dijadikan ukuran, maka sistem presi-
densiil hanya terdapat di Amerika Serikat. Menurut Ma-
dison pemisahan kekuasaan dan federalisme adalah demi
terjaminnya kebebasan warga serta pemerintahan yang
baik dan untuk menegakkan check and balances, sehingga
mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Madison memu-
satkan perhatiannya kepada kongres dan presiden, wa-
laupun antaranya harus terjalin kerja sama tetapi kedua
lembaga itu adalah merdeka.
Anggota kongres merupakan pilihan langsung rakyat
dan demikian juga presiden dengan mengikuti pendapat
Montesquieu bahwa yang terpenting adalah legislatif dan
bahwa eksekutif menjalankan putusan legislatif, maka
presiden harus menjalankan putusan kongres. Oleh kare-
na itu kekuasaan membuat UU hanya pada kongres, pre-
siden dan para menteri tidak ikut campur dalam pemba-
hasan sesuatu RUU.
Akan tetapi kalau suatu RUU telah disetujui oleh kong-
res maka sebelum dapat berlaku harus memperoleh tan-
da tangan presiden. Apabila isi RUU tidak sesuai dengan
gagasan presiden dan partainya merupakan minoritas
dalam kongres sehingga kalah suara, maka presiden da-
pat mem-veto RUU tersebut artinya dia tidak mau menan-
datangani dalam waktu dua hari yang diwajibkan. De-
ngan begitu RUU dikembalikan dan kongres harus
mengulangi proses pembahasannya. Untuk dapat diaju-

42 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
kan kembali kepada presiden untuk ditanda-tangani,
RUU itu harus memperoleh persetujuan dua pertiga dari
jumlah suara di kedua kamar dari kongres dan hal itu
tidak pernah terjadi.
Selain itu presiden adalah commander-in-chief angkatan
bersenjata dan dia mempunyai wewenang mengangkat
pejabat-pejabat federal yang penting. Juga kekuasaan di-
plomatik berada di tangannya, tetapi untuk meratifikasi
perjanjian-perjanjian dengan negara lain diperlukan ma-
yoritas khusus yaitu dua-per-tiga jumlah suara di senat.
Juga wewenang untuk menyatakan perang kepada nega-
ra lain berada dalam tangan kedua kamar kongres secara
bersama-sama tetapi pihak eksekutif dapat melakukan
tindakan-tindakan yang sedemikian rupa sehingga kong-
res terpaksa mengumumkan perang.
Itulah inti dari sistem presidential dengan check and bal-
ances yang diterapkan di Amerika Serikat. Sistem presi-
densiil yang dianut Perancis sama sekali lain dari sistem
presidensiil Amerika Serikat. Sama halnya dengan Ame-
rika Serikat maka parlemen Perancis dan presidennya di-
pilih langsung oleh rakyat. Hal ini menyebabkan presi-
den selama masa jabataannya tidak dapat dijatuhkan oleh
parlemen. Dia mengangkat perdana menteri yang me-
merlukan persetujuan parlemen.
Presiden juga mengangkat para menteri atas usul per-
dana menteri setelah berkonsultasi tidak resmi dengan
parlemen terutama partai-partai oposisi. Perdana menteri
dan menteri-menteri tidak boleh merangkap keanggotaan
parlemen. Kekuasaan legislatif dibagi dua. Kewenangan
legislatif parlemen terbatas hanya pada hal-hal tertentu
yang disebut dalam pasal 34 UUD1958,mengenai hal-hal
lain termasuk pouvoir reglementair pemerintah. Dalam
membahas RUU di parlemen menteri yang bersangkutan
ikut serta. Produk legislatif parlemen dinamakan loi (UU)
dan produk pemerintah disebut dekrit. Resminya kepala
pemerintahan adalah Perdana Menteri tetapi kebijaksa-
Pengantar
Sri Soemantri
43
naan pemerintah ditentukan oleh Presiden.
Pemerintah di bawah Perdana Menteri harus menda-
pat kepercayaan dari Presiden dan parlemen. Dalam
keadaan biasa Perdana Menteri yang mengendalikan pe-
merintahan dan dia bertanggung jawab kepada parlemen,
tetapi dalam keadaan luar biasa kendali pemerintahan
berada di tangan Presiden. Apabila lembaga-lembaga ne-
gara, kemerdekaan bangsa dan pelaksanaan kewajiban-
kewajiban Internasional tiba-tiba sangat terancam dan pe-
laksanaan tugas–tugas pemerintahan menjadi terhenti
maka Presiden diberikan wewenang penuh untuk meng-
ambil semua tindakan yang diperlukan.
Presiden yang menentukan apakah terdapat keadaan
luar biasa itu setelah berunding dengan kedua Ketua dari
Kamar Parlemen dan Mahkamah Konstitusi. Nasehat
Mahkamah Konstitusi harus diumumkan dan Presiden
harus memberitahukan kepada rakyat tentang keadaan
luar biasa itu. Selama keadaan luar biasa itu, Presiden ti-
dak diperkenankan membubarkan parlemen dan kekua-
saan legislatif parlemen dibatasi hanya mengenai masa-
lah–masalah yang tidak berhubungan dengan keadaan
luar biasa itu. Presiden tidak bertanggung jawab kepada
parlemen, dia wajib pertanggungjawaban hanya kalau
terjadi haute traison (pengkhianatan besar) dalam rangka
pelaksanaan tugasnya, tetapi tidak jelas apa yang dimak-
sud dengan pengkhianatan besar karena tidak ada
presiden.
Dengan adanya rumusan pasal 5 ayat (1) baru dihu-
bungkan dengan pasal 20 baru dari amandemen ke-1 dan
ke-2, maka MPR menganut sistem presidensiil campuran
antara sistem Perancis dan sistem Amerika Serikat.
Dengan demikian menjadi pertanyaan apa sebetulnya
yang dimaksud dengan menegakkan prinsip check and
balances. Yang jelas bahwa rumusan baru itu tidak meng-
ikuti sistem check and balances.

44 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Selain itu yang jelas juga bahwa rumusan pasal 5 ayat
(1) baru dihubungkan dengan pasal 20 baru tidak sesuai
dan bertentangan dengan jiwa dan prinsip–prinsip yang
terkandung dalam Pembukaan UUU 1945.

Pemilihan presiden secara langsung oleh


rakyat
Hal ini diatur dalam pasal 6A baru. MPR kurang me-
nyadari bahwa cara pemilihan ini mengandung permasa-
lahan yang sangat mendasar. Hubungan–hubungan yang
dominan dalam masyarakat Indonesia adalah hubungan
primer yang cenderung kepada “pemikiran hitam putih”
kalau bukan kawan berarti lawan yang harus dihancur-
kan. Sistem pemilihan presiden langsung oleh rakyat de-
ngan demikian akan menimbulkan polarisasi di ling-
kungan masyarakat sehingga akan menimbulkan perpe-
cahan yang sulit untuk disembuhkan.
Polarisasi pendapat ini terjadi pada pemilihan lurah
di desa sehingga masyarakat desa terbelah yang walau-
pun memakan waktu lama tetapi masih dapat dipulih-
kan kembali karena terdapat hubungan tetangga dan ke-
kerabatan yang terjalin di antara masyarakat pedesaan.
Perpecahan juga terjadi waktu pertandingan sepak-
bola yang sering menimbulkan tawuran antara pendu-
kung kesebelasan. Perpecahan ini sulit untuk disembuh-
kan. Masalah ini bertambah parah kalau terjadi dalam
skala nasional seperti pemilihan presiden secara lang-
sung oleh rakyat. Belum lagi kalau diingat betapa banyak
faktor disintegrasi yang tertanam secara dalam sekali dan
permanen dalam tubuh Nusa dan Bangsa.
Para bapak pendiri negara kita dan perumus UUD 1945
mengetahui betul keadaan tersebut sehingga mereka me-
rumuskan ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 ayat
(2) asli/lama. Para anggota MPR diharapkan sudah dapat
melepaskan diri dari kungkungan primordialisme. Menu-

Pengantar
Sri Soemantri
45
rut UUD 1945 (asli) program yang harus dikerjakan oleh
presiden adalah program yang dibuat MPR sebagai pen-
jelma seluruh rakyat Indonesia. Dan penilaian hasil kerja
presiden didasarkan pada program itu. Kalau menurut
sistem baru ini, presiden bekerja menurut yang dibuatnya
sendiri dan di akhir masa jabatannya tidak perlu mem-
pertanggungjawabkan pelaksanaan programnya itu.
Dengan demikian rumusan pasal 6A baru ini berten-
tangan dan tidak sesuai dengan jiwa serta prinsip yang
terkandung dalam pembukaan yang menjelma dalam
sistematika UUD 1945.

Amandemen menjadikan DPA sebagai


bawahan presiden
Amandemen dalam pasal 16 baru menjadikan DPA
sebagai bawahan presiden. Tidak jelas pemikiran yang
dijadikan sebagai alasan perubahan ini.
Negara–negara di dunia mempunyai pola organisasi
yang berbeda-beda, ada yang mencontoh Inggris seperti
negara-negara commonwealth. Ada yang meniru sistem
Amerika Serikat seperti negara-negara Amerika Selatan.
Ada negara–negara yang mencontoh pola organisasi ne-
gara–negara Eropa Kontinental. Secara umum dapat di-
katakan bahwa dalam hal DPA negara kita di bawah UUD
1945 mengikuti pola Eropa Kontinental.
Memang tugas DPA adalah memberikan nasehat
kepada presiden baik diminta maupun tidak diminta.
Akan tetapi fungsi DPA yang sebenarnya adalah melaku-
kan pengawasan tidak langsung terhadap presiden. Me-
mang selama ini fungsi ini tidak jalan. Selama ini ke-
anggotaan DPA dipilih berdasar tolok ukur politis se-
hingga para anggota DPA adalah “orang“ pemerintah
atau setidaknya pro-pemerintah. Jadi, mereka tidak atau
kurang independen dan hasil karyanya pada umunya
bersifat politis. Dapatlah dimengerti timbulnya anggap-

46 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
an bahwa lembaga DPA tidak diperlukan. Seharusnya
keanggotaannya didasarkan kepakaran dan keahlian di
berbagai bidang yang diperlukan agar DPA dapat melak-
sanakan fungsinnya. Lihat saja umpamanya conseil d’etat
(DPA-nya Perancis) yang banyak memberikan masukan
kepada pemerintah. Begitu juga consiglio di stato Italia dan
raad van state Belanda. Di Belanda umpanya semua per-
janjian internasional yang memerlukan persetujuan par-
lemen mereka terlebih dahulu dikaji oleh DPA–nya
Belanda. Juga dalam persiapan pembuatan RUU DPA-
nya Belanda mempunyai peranan yang sangat penting.
Oleh karena bukan merupakan bawahan presiden
maka DPA bersifat independen sehingga DPA dapat
menegur presiden. Dengan demikian yang melakukan
pengawasan terhadap presiden menurut UUD 1945
adalah DPR, DPA, BPK dan Mahkamah Agung bersifat
teknis. Selain itu rakyat berhak juga melakukan peng-
awasan terhadap presiden. Dengan sistem pengawasan
ini kemungkinan presiden melakukan penyelewengan
dapat ditekan sampai tingkat yang seminimal mungkin.
Sayang sekali bahwa sistem penugasan ini belum per-
nah berjalan karena perangkat undang-undangnya belum
pernah ada. Oleh karena selama ini DPA dianggap tidak
jelas tugasnya dan hasil karyannya maka DPA dianggap
tidak perlu ada. Penghapusan DPA atau penurunan DPA
menjadi pembantu presiden belaka adalah tidak sesuai
dan bertentangan dengan sistem demokrasi kekeluargaan
yang terkandung dalam pembukaan.

Amandemen menciptakan tirani DPR


Rumusan pasal 20 baru menciptakan supremasi dari
DPR tanpa ada yang dapat menghalangnya. Hal ini me-
nimbulkan tirani DPR sebab walaupun menurut peni-
laian keadaan yang dilakukan presiden kuranglah tepat
waktunya untuk pemberlakuan suatu RUU, presiden
dipaksa untuk tetap memberlakukannya dengan segala

Pengantar
Sri Soemantri
47
Kegiatan lobby yang dilakukan Amin Arjoso dalam SU MPR 1999.

48 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Sebagai anggota DPR-MPR RI dari PDI Perjuangan, Amin Arjoso aktif
mengikuti Sidang Umum MPR RI 1999.

Pengantar
Sri Soemantri
49
resiko yang mungkin terjadi. Dengan begitu tidak ada
sistem check and balances seperti yang disepakati oleh
MPR. Check hanya berlangsung satu pihak saja yaitu dari
pihak DPR dan tidak ada balance sebagai imbalannya.
Dapat dikatakan bahwa dengan demikian DPR telah
melakukan intervensi ke bidang kekuasaan presiden.
Tirani dari DPR tampak lagi dalam rumusan pasal 23
ayat (3). Presiden harus menerima apa kehendak DPR.
Pemaksaan kehendak DPR Nampak juga dalam pasal
11 baru, pasal 13 baru, dan pasal 14 ayat (2) baru.
Kesimpulannya pasal-pasal baru tersebut bertentang-
an dengan jiwa dan semangat demokrasi kekeluargaan
yang terkandung dalam pembukaan. Demokrasi keke-
luargaan menghendaki keseimbangan dan kerja sama
antara presiden dan DPR dan bukan pemaksaan ke-
hendak.

Peranan kepala negara


Dari amandemen yang dilakaukan oleh MPR tidak
jelas kedudukan presiden sebagai kepala Negara. Di tiap
Negara,kepala negaralah yang merupakan lambang dari
Negara dan bukan parlemen atau MPR atau lembaga
Negara lain. Kepala Negaralah yang mengangkat dan
meresmikan pengangkatan pejabat-pejabat negara.
Yang memilih para anggota MPR dan DPR bisa saja
rakyat tetapi yang mengangkat dan meresmikan keang-
gotaanya adalah presiden selaku kepala negara. Begitu
juga halnya dengan para anggota Mahkamah Agung dan
BPK, pengangkatan serta peresmiannya dilakukan oleh
presiden selaku kepala negara. Apalagi kalau diingat
bahwa pengangkatan itu mempunyai konskuensi ke-
uangan negara.
Tidak ada ketentuan dalam seluruh amandemen yang
mengatur masalah yang sangat mendasar ini.

50 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Mahkamah Konstitusi
Kalau melihat kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang diuraikan dalam pasal 7B baru, maka semua kewe-
nangan dari Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan oleh
Mahkamah Agung, untuk itu lingkungan Mahkamah
Agung dibentuk kamar baru dan undang-undang yang
ada mengenai peradilan perlu disempurnakan. Dengan
demikian tidak perlu repot-repot membentuk suatu lem-
baga baru.
Terdapat suatu keanehan mengenai Mahkamah
Konstitusi ini yaitu diuraikan dalam pasal 17A baru. Ke-
tentuan ini menggambarkan seolah-olah hanya presiden
yang dapat melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. Me-
nurut hemat penulis hal-hal itu bisa juga dibuat oleh para
naggota DPR dan pejabat-pejabat negara lainnya.
Menurut penelitian penulis ketentuan mengenai per-
adilan pengkhianatan terhadap negara dan tindak pidana
serupa terdapat di Perancis yaitu houte cour de justice (pe-
ngadilan tertinggi di Perancis yang mengadili tindakan-
tindakan politik tertentu). Yang dimaksud yurisdiksinya
bukan hanya presiden Perancis saja tetapi juga pejabat-
pejabat pemerintah dan para pesertanya (komplotannya)
jadi, termasuk para anggota parlemen dan lain-lain. Agak
mengherankan kalau hanya presiden yang dapat melaku-
kan pengkhianatan terhadap negara. Rumusan yang ter-
dapat dalam pasal tersebut berbau emosi dan mungkin
“balas dendam“ dan bukan berdasar pemikiran rasional.
Tak jelas urgensi pembentukan suatu Mahkamah Kons-
titusi yang berdiri sendiri. Ada kemungkinan bahwa
MPR agak prihatin dengan keadaan dan kondisi serta
prestasi para hakim sekarang. Kalau itu yang menjadi
alasan maka tidak terjamin dan tidak tertutup kemung-
kinan bahwa penyakit yang menimpa para hakim seka-

Pengantar
Sri Soemantri
51
rang ini juga akan menjangkiti para hakim Mahkamah
Konstitusi. Kalau itu yang menjadi alasannya maka yang
harus dilakukan adalah pembenahan dan pembaruan
kebijakan pembentukan dan pembinaan para hakim.

MPR menghapus penjelasan UUD 1945


MPR menganggap UUD 1945 sudah ketinggalan za-
man. UUD 1945 terlalu singkat sehingga tidak memuat
hal-hal yang menurut MPR harus ada dalam UUD. Juga
MPR berpendapat bahwa penjelasan UUD tidak perlu.
Karena itu MPR telah memutuskan menghapus penje-
lasan UUD 1945 dan memasukkan materinya ke dalam
batang tubuh UUD 1945.
Hal itu dimulai antara lain dengan rumusan pasal 1
ayat (3) baru dalam amandemen III yang berbunyi negara
Indonesia adalah negara hukum. Rumusan ini dicuplik
dari penjelasan tentang sistem pemerintahan negara dan
lengkapnya berbunyi bahwa Indonesia adalah negara
yang berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machtsstaat).
Negara hukum merupakan suatu asas dan bukan atur-
an hukum sehingga tempatnya lebih tepat dalam penje-
lasan. Ditempatkan dalam penjelasan karena memberi-
kan penjelasan mengenai asas yang terkandung dalam
UUD 1945. Menurut teori konstitusi pembukaan memuat
asas-asas dasar dan asas-asas mana lahir aturan-aturan
hukum yang dirumuskan dalam batang tubuh UUD.
Jadi, penjelasan UUD 1945 selain memuat uraian yang
bersifat penjelasan mengenai hal-hal yang diatur dalam
pasal-pasal UUD 1945, juga memuat uraian penjelasan
mengenai asas-asas dasar-dasar dan asas-asas hukum
yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Dengan
demikian uraian–uaraian tersebut tidak mungkin untuk
dipindah ke dalam batang tubuh.
Sebagai contoh adalah mengenai cita hukum (rechtsdee)

52 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
yang merupakan salah satu masalah mendasar dalam
hukum konstitusi. Dalam penjelasan dikatakan bahwa
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembu-
kaan menguasai hukum dasar tertulis dan tidak tertulis.
Menurut teori cita hukum merupakan landasan berla-
kunya suatu konstitusi atau UUD.
Contoh lain adalah cita UUD (grond wetside) yaitu suatu
masalah mendasar lain dalam hukum konstitusi, yaitu
mengenai hubugan UUD dengan konstitusi artinya hal-
hal apa saja dari konstitusi yang harus dimuat dalam
UUD. Cita UUD merupakan masalah penting dalam ke-
hidupan ketatanegaraan. Hal ini jarang dipelajari di In-
donesia.
Dalam penjelasan UUD 1945 dapat dibaca kita harus
hidup dinamis sehingga oleh karenanya janganlah ter-
gesa-gesa memberi bentuk kepada pikiran–pikiran yang
masih mudah berubah. Harus dijaga supaya sistem UUD
jangan sampai ketinggalan zaman, supaya UUD jangan
lekas usang (verouderd). Berhubung dengan itu hanya
aturan-aturan pokok saja harus ditetapkan dalam UUD,
sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan
aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada
undang–undang.
Hal itu menggambarkan cita UUD kita yaitu hanya
yang terpokok saja yang dimuat dalam UUD. Kemudian
kalau kita mempelajari UUD 1945 maka akan ternyata
bahwa yang dimaksud dengan yang terpokok itu adalah
jiwa UUD, sendi–sendi atau asas-asas kehidupan negara
dan bangsa yang menjelma dan sistematika UUD 1945.
Perlu dicatat bahwa pengertian cita UUD yang di bahas
oleh para bapak pendiri negara kita pada tahun 1945 ini
kemudian pada tahun 1970-an dan 1980-an dibahas oleh
para ahli konstitusi Barat. Umpamanya pakar dari Inggris
Prof. Dr. K.C. Wheare mengatakan bahwa isi dari UUD
adalah the very minimum, and that minimum to be rules of

Pengantar
Sri Soemantri
53
law. Pakar dari Belanda Prof. Mr. M.C. Burkens menga-
takan bahwa De grondwet moet berusten op gezonde beginselen
(..) die moet blijken uit de in houd van de bidende regels voor
staat en maatschappij,die uit die beginselen voorvloeien (UUD
harus didasarkan asas yang sehat (...) yang dibuktikan
oleh aturan–aturan hukum yang mengikat negara dan
masyarakat, aturan–aturan mana mengalir dari asas-asas
tersebut tadi).
Contoh lain lagi adalah pengertian budaya nasional
dan cita budaya yang terkandung penjelasan pasal 32 yai-
tu bahwa kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang
timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia selu-
ruhnya dan bahwa kebudayaan lama dan asli yang ter-
dapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-dae-
rah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan
bangsa. Selanjutnya bahwa usaha kebudayaan harus me-
nuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan
tidak menolak bahan–bahan baru dari kebudayaan asing.
Jadi, UUD 1945 menghendaki dialog yang positif antara
masa lalu dengan keadaan sekarang dan antara keadaan
sekarang dengan masa yang akan datang. Contoh lain
adalah pasal 6 ayat (1) dan (2) baru rumusan yang terda-
pat dalam ayat (1) dari pasal 6 baru ini pada hakekatnya
hanya menjelaskan pengertian yang terkandung dalam
ayat (1) asli. Dengan demikian lebih tepat kalau ditem-
patkan dalam penjelasan pasal 6 ayat (1). Demikian juga
rumusan pasal 6 ayat (2) baru tidak perlu ditempatkan
dalam batang tubuh UUD tetapi lebih tepat di dalam
penjelasan pasal 6.
Dengan menghilangkan penjelasan, MPR telah mele-
nyapkan originalitas UUD 1945 dan menjadikannya UUD
saduran. Kita tidak perlu risau karena UUD Negara lain
tidak memakai penjelasan. Adanya penjelasan sama se-
kali tidak mengganggu, malahan bermanfaat karena men-
jelaskan hal-hal yang terkandung dalam pembukaan.
Dapat disimpulkan bahwa MPR dengan sengaja telah

54 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
merusak jiwa, semangat dan asas-asas yang terkandung
dalam pembukaaan UUD 1945.
Dari itu semua secara jelas tampak bahwa MPR sejak
semula bermaksud membuat UUD yang baru sehingga
dengan demikian MPR telah mengingkari UUD 1945
sebagai UUD Proklamasi Kemerdekaan dan sebagai lam-
bang perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut
kemerdekaannya.

Desa yang merupakan benteng dalam


revolusi kemerdekaan dilupakan oleh MPR
UUD 1945 secara khusus memberikan tempat bagi de-
sa. Sejarah membuktikan bahwa desa dan masyarakat pe-
desaan telah menyelamatkan perjuangan bangsa Indo-
nesia untuk merebut kemerdekaannya. Tanpa desa tidak
ada Republik Indonesia. Negara berhutang budi kepada
desa. Seharusnya desa harus ditulis dengan tinta emas.
Pemerintah RI bersandar atau bertumpu kepada pe-
merintahan desa. Seharusnya kemampuan pemerintahan
desa dan keadaan masyarakat pedesaan menjadi barome-
ter bagi keadaan Indonesia dan bukan kota, kabupaten
dan provinsi. Tidak demikian halnya dengan amandemen
yang dilakukan oleh MPR. Perjuangan rakyat pedesaan
sama sekali tidak dihiraukan oleh MPR.
Desa dimasukkan sebagai onderdil dari kabupaten.
Seharusnya desa masuk ke dalam UUD. Selama desa ma-
sih dianak-tirikan maka selama itu tidak akan tercapai
tujuan mendirikan negara Indonesia merdeka yaitu un-
tuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat In-
donesia. Bagian terbesar rakyat Indonesia hidup di
daerah pedesaan.

Kepentingan daerah
Alasan dibentuknya DPD adalah karena selama ini
kepentingan daerah terabaikan. Kalau demikian halnya

Pengantar
Sri Soemantri
55
maka kesalahan seharusnya ditimpakan kepada DPR dan
para anggotanya. Yang mengetahui dan menyelami
kepentingan daerah adalah orang–orang daerah sendiri
yaitu pemimpin-pemimpin masyarakat daerah sendiri
dan mereka itu belum tentu anggota partai politik.
Sistem pemilihan umum juga ikut bersalah dalam hal
ini. Kepentingan daerah tidak terjamin dengan sistem
proporsional dan sistem daftar. Supaya kepentingan dae-
rah terperhatikan maka pemilihan umum harus dilaku-
kan sistem distrik dan para pesertanya bisa siapa saja
dengan persyaratan para calon harus setidak-tidaknya
terakhir sekali tiga tahun berturut-turut secara nyata diam
atau tinggal di distrik pemilihannya. Dengan begitu akan
terpilih orang-orang yang oleh masyarakat daerah ber-
sangkutan dipercayai mengerti serta mampu memper-
juangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat daerah.
Menurut ketentuan pasal 22E ayat (4) baru anggota-
anggota DPD ditentukan melalui pemilihan umum dan
para pesertanya adalah perseorangan, cuma belum jelas
bagaimana pelaksanaannya. Kalau yang digunakan ma-
sih tetap sistem yang lama maka belum ada jaminan ke-
pentingan daerah akan diperhatikan. Akan tetapi berda-
sar ketentuan pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) baru pemerin-
tah pusat dan DPR tidak berwenang mengatur dan me-
ngurus hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
daerah kalau tanpa DPD.
Disadari atau tidak, ketentuan ini mengandung penger-
tian adanya kedaulatan daerah di samping kedaulatan
pusat. Dengan demikian rumusan pasal 22E baru itu
secara terselubung menginginkan negara federal. Dengan
sistem yang terkandung dalam amandemen dan dengan
adanya lembaga DPR maka sudah secara lebar terbuka
menuju negara serikat.
Dengan demikian lembaga DPR mengandung bahaya
yang riil bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik

56 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Indonesia.

Masalah pertahanan negara


Isi dari Pasal 30 baru secara praktis adalah sama de-
ngan isi Ketetapan MPR No.VI dan No. VII/MPR/2000.
Dalam UU No. 13 tahun 1961 tentang ketentuan-ke-
tentuan pokok Kepolisian ditetapkan dalam Pasal 3 bah-
wa Polri adalah Angkatan Bersenjata. Hal ini kemudian
dikukuhkan oleh UU no. 20 Tahun 1982 tentang Keten-
tuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI
yang mengatakan ABRI terdiri dari TNI dan Polri. Pada
tahun 2000 melalui ketetapan MPR No.VI/MPR/2000
Polri dipisahkan dari TNI.
Yang menarik perhatian dari ketetapan ini adalah bah-
wa kedudukan TNI dan Polri ditentukan sama yaitu se-
bagai alat negara. Dengan demikian ketetapan ini sebetul-
nya telah mengubah UUD 1945 sebab menurut Pasal 10
UUD 1945 hanya TNI merupakan alat negara. Dalam hu-
bungan ini kiranya perlu dicatat bahwa di negara mana
pun Kepolisian adalah alat pembantu pemerintah baik
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Hal lain yang menarik adalah bahwa TNI ditetapkan
hanya berperan dalam pertahanan negara dan Polri
berperan memelihara keamanan. Dengan demikian masa-
lah keamanan negara dipisah secara tajam dari masalah
pertahanan negara. Keamanan negara ditujukan terhadap
ancaman yang datang dari dalam negara dan pertahanan
ditujukan terhadap ancaman dari luar.
Perbedaan ancaman ini dianut negara-negara sebelum
abad XX dan kini sudah lama ditinggalkan: ancaman
terhadap eksistensi negara bisa datang dari luar dan juga bisa
datang dari dalam negara. Sekarang ini cara lebih mudah
yang digunakan oleh suatu negara untuk memaksakan
kehendaknya atau menaklukkan negara lain tanpa resiko
kehilangan nyawa prajuritnya adalah melalui subversi.

Pengantar
Sri Soemantri
57
Kini yang digunakan sebagai pegangan adalah fungsi-
fungsi negara yaitu (1) fungsi pemeliharaan keamanan
dan ketertiban umum, (2) fungsi pengurusan kesejah-
teraaan masyarakat, dan (3) fungsi pemeliharaan kelang-
sungan eksistensi negara. Khusus untuk Indonesia
mengingat ekologi negara maka ditambah dengan fungsi
integrasi. Polri terutama berperan dalam rangka fungsi
negara yang pertama dan TNI terutama berperan dalam
fungsi ketiga dan juga fungsi pertama dan keempat.
Kekeliruan yang dibuat Ketetapan No.VI diteruskan
oleh ketetapan No.VII/MPR/2000 dan amandemen
UUD. TNI ditetapkan sebagai alat pertahanan negara saja
sedangkan Polri berperan dalam memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, membe-
rikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Rumusan peran Polri sebagaimana diuraikan agak me-
nyesatkan, sebab pemeliharaan ketertiban dan keamanan
masyarakat, memberikan pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat adalah tugas pemerintah, peran Polri
hanya bersifat membantu pemerintah.
Karena Polri ditetapkan menjadi alat negara maka
pemerintah kehilangan alat untuk membantu melaksana-
kan tugas tersebut. Untuk itu terpaksa pemerintah mem-
bentuk alat tersendiri. Terjadilah doublures dan waste of
money and energy. Selain itu menurut ketetapan ini TNI
memberikan bantuan militer kepada Polri dalam rangka
tugas keamanan dan bukan memberikan bantuan kepada
pemerintah. Di negara manapun bantuan militer diberi-
kan kepada pemerintah atau alat pemerintah.
Keanehan yang terdapat dalam ketetapan ini adalah
dengan meniru lembaga pertahanan nasional diadakan-
nya lembaga kepolisian nasional. Tugas lembaga kepoli-
sian nasional ini adalah membantu Presiden menetapkan
arah kebijakan polri. Kalau ini diwujudkan maka Indo-
nesia merupakan satu-satunya negara yang mempunyai
lembaga semacam ini.

58 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Kekeliruan lain yang terdapat dalam Ketetapan No.VII
ini adalah ditetapkannya bahwa prajurit TNI tunduk ke-
pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran
hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan
umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Mengenai ini ada beberapa catatan yang sifatnya menda-
sar sekali.
Catatan pertama, perlu diketahui bahwa hukum mili-
ter diwujudkan oleh norma-norma hukum dari hukum
nasional (yaitu hukum perdata, hukum pidana, hukum
tata negara, hukum tata usaha negara, dan hukum inter-
nasional) yang mengenai kehidupan militer dan angkatan
perang sehingga hukum militer terdiri dari hukum per-
data militer, hukum pidana militer, hukum tata negara
militer, hukum tata usaha negara militer, dan hukum pe-
rang. Selain itu hukum militer mengenal hukum disiplin
militer yang tidak ada ekuavalensinya atau mitranya
dalam hukum nasional. Dengan demikian rumusan anak
kalimat menjadi problematis.
Catatan kedua adalah bahwa dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) terdapat
ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 bahwa bagi militer berlaku
juga hukum pidana umum selain hukum pidana militer.
Malahan ajaran–ajaran umum mengenai hukum pidana
yang diatur dalam KUHP dinyatakan berlaku juga bagi
hukum militer.
Catatan ketiga adalah bahwa dalam KUHPM terdapat
banyak sekali ketentuan yang berlaku bagi siapa saja
termasuk orang yang bukan militer. Jadi, orang sipil pun
diadili oleh peradilan militer apabila melanggar keten-
tuan-ketentuan itu. Apabila Negara dalam keadaan baha-
ya peradilan militer dapat mengadili orang-orang sipil.
Jadi, ketetapan ini telah memporakporandakan hukum
dan hukum militer yang berlaku. Rupa-rupanya para
anggota MPR tidak menguasai masalah hukum khu-

Pengantar
Sri Soemantri
59
susnya yang menyangkut hukum militer.
Masalah lain yang menarik adalah bahwa anggota TNI
dan Polri tidak diberikan hak pilih, suatu masalah yang
sangat mendasar dalam negara demokrasi.
Masalah pertahanan dan keamanan ini agak panjang
dan lebar diuraikan di sini karena menyangkut eksistensi
negara dan bangsa. Rupa-rupanya masalah yang sangat
mendasar ini kurang dipahami atau dengan sengaja tidak
mau dipahani oleh MPR.
Masih ada satu catatan lagi, yaitu rumusan yang terda-
pat dalam Pasal 27 ayat (3) baru adalah salah tempat dan
seharusnya masuk Pasal 30.

Cita UUD yang dianut MPR


Setelah mempelajari semua amandemen, bagi penulis
tidak jelas cita UUD (grondwetsidee) yang dianut oleh MPR.
Kalau cita yang dianut oleh UUD 1945 sebagai mana telah
diutarakan sebelumnya adalah jenis: hanya pokok-po-
koknya saja yang dimuat dalam UUD sedangkan hal-hal
yang lain yang diperlukan untuk melaksanakannya di-
atur dalam undang-undang.
Umpamanya ketentuan dari Pasal 6 dan pasal 6A baru
pada hakekatnya merupakan materi yang lebih tepat di-
tempatkan dalam penjelasan Pasal 7 dan lebih lanjut di-
uraikan dalam UU tentang Kepresidenan yang hingga
kini belum pernah ada. Itulah sebabnya presiden selama
ini dapat berbuat sesuka hatinya. Secara umum dapat
dikatakan di sini bahwa masalah-masalah yang berhu-
bungan dengan persyaratan, pencalonan, pelantikan dan
pemberhentian presiden dan wakil presiden lebih tepat
kalau diatur dalam UU tentang Kepresidenan. Begitu
pula rumusan Pasal 9 ayat (2) baru merupakan materi
dari UU tentang Kepresidenan.
Banyak rumusan–rumusan yang terdapat dalam
amandemen merupakan materi dari undang-undang.

60 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Umpamanya, terlepas cocok-tidaknya rumusan dari
pasal 28A s/d Pasal 28J baru tetapi isinya adalah materi
dari Undang-undang.

MPR hendak menerapkan pemikiran James


Madison di Indonesia?
Setelah mempelajari ulang Perubahan Pertama sampai
dengan Perubahan Keempat UUD 1945 pada diri penulis
timbul kesan seolah-olah MPR bermaksud hendak
menerapkan pemikiran James Madison tentang check and
balance di Indonesia.
Pemikiran James Madison bertumpu pada empat (atau
lima) unsur yaitu (1) pemisahan kekuasan, (2) kedaulatan
yang dibagi antara pusat dan negara-negara bagian, (3)
human rights, dan (4) nggota kongres dan presiden dipilih
langsung oleh masyarakat. Unsur pertama terealisasi de-
ngan Pasal 20 baru, unsur yang kedua tersirat dalam Pasal
22C dan 22E baru, unsur ketiga terurai dalam Bab X baru
dengan Pasal 28 A sampai 28J baru, dan unsur keempat
(dan kelima) menjelma dalam Pasal 6A baru.

Pengantar
Sri Soemantri
61
Aktivitas Amin Arjoso, SH dalam Sidang Umum MPR RI, Oktober 1999.

62 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Bawah: Memasuki ruang sidang bersama Soebagyo Anam (alm).

Pengantar
Sri Soemantri
63
BAB I
Pemikiran

64 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
UUD ‘45 (Asli) Tolak
Demokrasi Liberal

W
acana ditegakkannya lagi UUD 1945 ki-
ni bagai gayung bersambut, setelah bebe-
rapa ormas memperingati HUT ke-47
Dekrit Presiden Soekarno kembali ke
UUD 1945 di Pelataran Tugu Proklamasi dan di Perpus-
takaan Nasional, 5 Juli 2006.
Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres
Jusuf Kalla, Gubernur Lemhannas Muladi, Ketua DPR
Agung Laksono, dan Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud
bereaksi dengan opininya, Adnan Buyung Nasution
“nimbrung” dengan artikel Kembali ke UUD 45, Anti-
demokrasi (Kompas, 7/7).
Meski tidak secara spesifik menuduh tokoh yang ingin
ditegakkannya UUD 1945 sebagai “antidemokrasi”, judul
tulisan Buyung pada dasarnya menjurus ke sana.

Manipulasi hukum
Pertama, kami tidak menyatakan kembali ke UUD
UUD ‘45 (Asli) Tolak
Demokrasi Liberal
65
1945. Keputusan MPR 1999-2004 secara prosedural tidak
membatalkan Dekrit 5 Juli 1959, dan menurut ketentuan
hukum, UUD 1945 masih berlaku. Sedangkan UUD 1945
yang diamandemen empat kali diberlakukan secara
politis, padahal perubahannya menyimpang dari tata
tertib yang ditetapkan MPR, apalagi tidak dicantumkan
dalam Lembaran Negara.
Kedua, UUD 1945 amandemen, oleh MPR dinamakan
UUD Negara Republik Indonesia 1945. Istilah itu sama
sekali tidak dikenal karena namanya tidak sesuai Dekrit
Presiden dan telah diberlakukan MPRS melalui TAP
MPRS No X/MPRS/1966 dan No X/MPRS/1966. Lalu
MPR dalam Pasal 115 TAP MPR No I/ MPR/1978 menya-
takan MPR tidak berkehendak dan tidak akan melaku-
kan perubahan atas UUD 1945. Melalui TAP No III/MPR/
2000 tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan, MPR menyatakan, UUD
1945 merupakan hukum dasar tertulis negara RI.
Dengan nama itu, MPR melakukan manipulasi hukum
yang merupakan hasil konspirasi asing bekerja sama
dengan eksponen tertentu di dalam negeri. Sebenarnya
UUD 1945 amandemen lebih tepat disebut UUD 2002.
Ketiga, persoalan utama yang ingin dikemukakan
bukan untuk mendekritkan kembali UUD 1945 (asli),
tetapi menegakkan konstitusi karena dilakukan empat
kali perubahan, dibuat melalui prosedur yang salah,
karena itu batal demi hukum.
Dari segi substansi, “UUD 2002” bermuatan gagasan
neoliberalisme yang terbukti menghancurkan tatanan so-
sial politik dan sosial ekonomi sejumlah negara berkem-
bang, terutama Indonesia. Selain itu dengan amandemen,
Indonesia tidak memiliki lagi GBHN sehingga arah dan
konsep pembangunan tidak jelas. Karena itu kami men-
dukung pendapat Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi
yang menyebut, andaikata Presiden SBY mau mendekrit,

66 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
yang didekritkan bukan kembali ke UUD 1945 (asli),
tetapi membatalkan “UUD 2002” atau melalui referen-
dum, sebab MPR sekarang bukan lagi referensi rakyat
karena statusnya tidak Lembaga Tertinggi Negara.
Keempat, demokrasi Indonesia berdasar UUD 1945
(asli) bertentangan dengan demokrasi liberal karena de-
mokrasi Indonesia menganut sosio demokrasi, yaitu
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sehingga para
penganut UUD 1945 (asli) tidak benar jika disebut anti-
demokrasi. Para pendukung UUD 1945 (asli) jelas anti-
demokrasi liberal.
Kelima, seperti dikatakan Prof Mr Soepomo, demo-
krasi Indonesia berbeda dengan demokrasi Barat. Bagi
bangsa Indonesia, individu tak lepas dari masyarakat.
Maka hak dan kewajiban yang dimiliki terkait fungsi di
masyarakat. Berarti bertentangan dengan individualisme
Demokrasi Barat, yang tidak mengenal asas kekeluargaan
dan gotong-royong demi keadilan sosial.

Bukan lagi sementara


Keenam, lebih dari itu, empat perubahan UUD 1945
bertentangan dengan Pembukaan, Batang Tubuh UUD
1945 (asli), selanjutnya dengan menghapuskan Penjelas-
an sehingga benar-benar merupakan penerapan neo-
liberalisme. Artinya, “UUD 2002” menghapus peran go-
longan fungsional dan utusan daerah dalam MPR, pada-
hal golongan fungsional merupakan 90 persen rakyat In-
donesia (petani, buruh, nelayan, guru, pemuda, agama-
wan, TNI/Polri, cendekiawan, wartawan, dan lainnya).
Apalagi dalam pengambilan keputusan, demokrasi In-
donesia menekankan musyawarah dan mufakat untuk
mencapai keadilan sosial, sedangkan demokrasi Barat
selalu berpegang pada voting, di mana pemilik modal
dengan mudah mengalahkan rakyat kecil (the winners get
all, the loosers get nothing). Hal seperti itu jelas

UUD ‘45 (Asli) Tolak


Demokrasi Liberal
67
menimbulkan kemiskinan struktural.
Ketujuh, UUD 1945 (asli) adalah UUD sementara dan
dapat diubah seperti dikatakan Bung Karno, 18 Agustus
1945. Namun, Bung Karno menginginkan perubahan
melalui suara rakyat/pemilu. Bung Karno menginginkan
pemilu bukan hanya untuk memilih anggota parlemen,
tapi juga anggota konstituante yang bertugas menetap-
kan UUD. Kenyataannya Konstituante gagal menetapkan
UUD sehingga untuk mencegah kemungkinan perpecah-
an antarbangsa, atas nama rakyat Indonesia, Presiden/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang mendekritkan
kembali ke UUD 1945, sekaligus dibuat Keppres No 150/
1959 dan dicantumkan dalam Lembaran \Negara No 75/
1959. Maka UUD 1945 tidak lagi berstatus sementara.
Jika Dekrit 5 Juli 1959 disebut “permainan” sisa-sisa
militer pendukung Soekarno, pantas juga ada pertanya-
an, bagaimana dengan amandemen UUD 1945 (asli) yang
tergambar demi kepentingan asing?
Kedelapan, hal itu membuktikan Bung Karno amat
demokratis dan tidak otoriter sebagaimana dituduhkan
pihak asing dan pihak-pihak tertentu di dalam negeri.
Kesembilan, kembali ke UUD 1945 (asli) tentu tak dapat
dikatakan setback karena sejarah UUD 1945 (asli) ditetap-
kan 1945 (abad ke-20), sedangkan demokrasi Barat ber-
sumber paham liberalisme. Artinya, dibanding dengan
konstitusi negara mana pun di dunia, menurut ahli
hukum tata negara Prof Dr ASS Tambunan SH, UUD 1945
(asli) adalah paling modern.
Kesepuluh, khusus mengenai hak-hak asasi manusia
(HAM) sudah dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945
(asli), tercermin dengan kalimat, “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, ka-
rena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perike-
adilan”, yang dijabarkan rinci Pasal 27 dan 33, diperkuat

68 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
sila kedua Pancasila sebagai dasar negara. Sementara
“UUD 2002” mengutip Deklarasi HAM PBB yang di-
keluarkan tahun 1948, berarti UUD 1945 (asli) sudah
mendahului menetapkan HAM pada tahun 1945.

Oleh H. Amin Arjoso, SH


Mantan Ketua Komisi II DPR 1999-2002 yang saat
sidang MPR menentang amandemen
Aktivis Yayasan Kepada Bangsaku; Alumnus GMNI

UUD ‘45 (Asli) Tolak


Demokrasi Liberal
69
H. Amin Arjoso, SH intens berdiskusi tentang amandemen. Ia pelopor
penolak amandemen terhadap UUD 1945.

70 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
UUD 1945 Hasil
Amandemen I – IV
Bertentangan dengan
Falsafah dan Jati diri
Bangsa

A
da sedikitnya 8 (delapan) alasan mengapa
amandemen terhadap UUD 1945 adalah
sebuah kekeliruan. Delapan alasan mendasar
yang bisa dijadikan pegangan bahwa pada
hakikatnya, perubahan konstitusi negara kita sejatinya
adalah bertentangan dengan falsafah dan jati diri bangsa.
Itu pula yang —disadari maupun tidak disadari— telah
mengantarkan bangsa Indonesia ke tepi jurang kehan-
curan. Cita-cita kemerdekaan menuju terbentuknya ma-
syarakat adil-makmur berdasar Pancasila, makin jauh
panggang dari api. Berikut butir-butir alasan dimaksud:
1. Lahirnya Negara-Bangsa (Nation-State) Indonesia
adalah hasil dari pergerakan kemerdekaan bangsa In-
donesia. Perjuangan meraih kemerdekaan melalui
perjalanan waktu yang sangat panjang, pahit, dan me-
lelahkan, dengan cucuran darah dan air mata, dengan
pengorbanan lahir-batin, harta dan jiwa.

UUD 1945 Hasil Amandemen I - IV


Bertentangan dengan Falsafah dan Jati Diri Bangsa
71
2. Sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat, yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 Indonesia me-
miliki falsafah hidup berbangsa dan bernegara serta
hukum dasar sebagai pedoman bagi perjalanan hidup
dan penyelenggaraan negaranya. Falsafah hidup bang-
sa Indonesia adalah Pancasila dan Hukum Dasar itu
adalah UUD 1945 yang disepakati dan disahkan oleh
para Pendiri Republik (Founding Fathers) pada 18
Agustus 1945.
3. Pancasila (Pembukaan UUD 1945) berikut Batang Tu-
buh serta Penjelasan UUD 1945 adalah bagian integral
(yang tidak terpisahkan) dari perjuangan kemerdeka-
an, karena dihasilkan dalam dan melalui perjuangan
kemerdekaan tersebut. Pancasila/UUD 1945 adalah
kristalisasi dari hasil perenungan yang mendalam dan
melalui proses panjang perjalanan perjuangan kemer-
dekaan, mulai dari Kebangkitan Nasional tahun 1908
melalui Sumpah Pemuda tahun 1928 dan mencapai
puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945.
4. Oleh karena itu Pancasila/UUD 1945 adalah nilai oten-
tik yang diwariskan oleh perjuangan kemerdekaan,
sekaligus Jatidiri Bangsa dan Negara Republik Indo-
nesia. Nilai otentik dan jatidiri bangsa dan Negara Re-
publik Indonesia ini harus senantiasa dipertahankan.
Tidak boleh diubah atau diganti. Mengubah atau
menggantinya dapat dianggap menutup mata dan
tidak menghargai hasil perjuangan kemerdekaan,
bahkan dapat dianggap meniadakan eksistensi bangsa
dan negara RI hasil proklamasi kemerdekaan.
5. Agar bangsa dan Negara Proklamasi RI dapat sinkron
dengan perkembangan zaman, UUD 1945 yang asli
dapat disempurnakan misalnya dengan menambah-
kan melalui Addendum pada Batang Tubuh UUD 1945
yang asli. Dengan demikian falsafah serta jatidiri dan
karakter bangsa dan negara tetap dipertahankan. Hal
ini juga sesuai pesan Bung Karno dan para Pendiri

72 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Republik lainnya pada saat penyusunan UUD 1945
bahwa kelak di kemudian hari jika keadaan sudah me-
mungkinkan UUD 1945 itu dapat disempurnakan.
Tetapi bukan diubah atau diganti. Karena mengubah
atau mengganti UUD 1945 yang asli berarti mengubah
atau mengganti jatidiri bangsa, bahkan dapat berarti
meniadakan eksistensi Negara Proklamasi Republik
Indonesia.
6. Karakter dan jatidiri bangsa dan negara Proklamasi RI
itu seperti dikemukakan oleh Pokok-Pokok Pikiran
dalam Pembukaan UUD 1945 seperti tercantum dalam
Penjelasan UUD 1945 (yang asli), yaitu:
- Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar
atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia;
- Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia;
- Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas ke-
rakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh
karena itu sistem negara yang terbentuk dalam UUD
harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar
Permusyawaratan Perwakilan. Aliran ini sesuai de-
ngan sifat masyarakat Indonesia.
- Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu UUD harus mengandung isi yang
mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyeleng-
gara negara untuk memelihara budi pekerti kemanu-
siaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur.

7. Berdasarkan pokok-pokok pikiran tersebut di atas,


maka dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 hasil
Amandemen I – IV bertentangan dengan Falsafah dan

UUD 1945 Hasil Amandemen I - IV


Bertentangan dengan Falsafah dan Jati Diri Bangsa
73
Jatidiri Bangsa.
- Amandernen-amandernen tersebut bukan bersifat
menyempurnakan tetapi sudah mengubah UUD
1945 yang asli. Perubahan tersebut telah mengubah
karakter dan jatidiri bangsa. Bahkan dapat diganti-
kan dikatakan telah mengganti UUD 1945 yang asli
menjadi UUD baru yaitu UUD 2002.
- Falsafah yang melandasai UUD hasil amandemen
tersebut bukan lagi Pancasila tetapi Liberalisrne,
kendati Pembukaan UUD 1945 yang asli masih di-
pertahankan, falsafah dan jatidiri bangsa berazaskan
kekeluargaan dan Gotong royong diganti dengan
liberalisme dan individualisme.
- Dengan falsafah liberalisme dan individualisme yang
melandasi UUD hasil amandemen tersebut (UUD
2002), maka:
- Negara akan sulit melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia;
- Negara akan sulit mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat;
- Kedaulatan rakyat berdasarkan Permusyawa-
ratan Perwakilan yang sesuai dengan sifat ma-
syarakat Indonesia ditiadakan, MPR tidak lagi
menjadi lembaga tertinggi negara yang mewa-
kili rakyat sebagai pemegang kekuasaan ter-
tinggi ditiadakan.
- Dengan dihapuskannya seluruh penjelasan UUD
1945 yang asli, maka nilai-nilai otentik perjuangan
kemerdekaan yang diwariskan oleh para Pendiri
Republik terhapus dari sejarah bangsa.

8. Oleh karena itu kami mengajak seluruh masyarakat


bersama-sama menyelamatkan Negara Proklamasi
Republik Indonesia. Caranya adalah kembali dulu ke

74 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pancasila dan UUD 1945 yang asli.
Sesudahnya, jika diperlukan adanya Penyempurnaan
atas UUD 1945 yang asli, dan saya berpendapat memang
diperlukan, maka hal tersebut dilakukan melalui renung-
an dan pemikiran yang mendalam. Bentuk penyempur-
naan melalaui ADDENDUM (Tambahan) pada UUD 1945
yang asli. Penyempurnaan tersebut harus tetap berpe-
gang pada Falsafah dan Jatidiri Bangsa, yaitu Pancasila
dengan berazaskan kekeluargaan dan Gotong Royong.
Bukan Falsafah Liberalisme dan Individualisme atau
falsafah lainnya yang bertentangan dengan Pancasila dan
Jatidiri Bangsa.

UUD 1945 Hasil Amandemen I - IV


Bertentangan dengan Falsafah dan Jati Diri Bangsa
75
Silaturahmi dengan Gus
Dur sewaktu masih
menjabat Presiden RI.
Setelah lengser, keduanya
tetap intens berhubungan,
termasuk memperjuangkan
76 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
kembalinya UUD 1945 (asli)
MENOLAK KONSTITUSI BARU

1. K.H. Abddurahman Wahid (Gus Dur) menanggapi


pernyataan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
saat menghadiri penutupan peringatan Hari Bangkit
ke-5 Partai Bintang Reformasi (PBR) di Hotel Sahid
(tgl 20/01/07), saat mana Presiden berkata “Saya
mengajak sekali lagi, homatilah konstitusi, aturan main
dan etika politik, ada regulasi dalam demokrasi dan
sistem politik yang berlaku untuk semua dan mesti
dipatuhi”. Gus Dur setuju dengan ajakan mentaati
konstitusi, tetapi dengan pertanyaan, Konstitusi yang
mana?

2. Manipulasi MPR 1999 saat melakukan Perubahan


UUD 1945:
1) Rakyat tidak pernah memberi mandat khusus.
2) Intervensi Asing (baca: NDI = National Democratic
Institutes), sebuah LSM dari Amerika Serikat.
3) Format putusan perubahan MPR 1999 - 2004 ke I, II,
III, dan IV tidak sah.
4) Kesepakatan 11 fraksi MPR tidak pernah dijadikan
TAP MPR, sehingga tidak memiliki kekuatan
hukum.

3. Fakta: ada 2 konstitusi;


a. Konstitusi UUD 1945 (asli).
b. Konstitusi Baru = Perubahan I, II, III, dan IV Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 =
UUD 2002.

Menolak Konstitusi Baru


77
4. Tidak punya dasar hukum;
a. Konstitusi UUD 1945 (asli) mempunyai kekuatan
hukum yang pasti : Dekrit Presiden 5 Juli 1959 For-
mat Keppres No: 150/1959 dan ditempatkan dalam
LN No: 75/1959 Yo. Resolusi DPRGR tanggal 20 Juli
1959 Yo. Tap MPRS No:XX/1966.
b.Perubahan Konstitusi Baru ( UUD 2002 );
(Perubahan I, II, III, dan IV Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 = UUD 2002,
tidak mencabut Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli
1959, Keppres No: 156/1959 Yo. LN No: 75/1959).

5. Konstitusi Baru hanya terdiri dari;


a. Pembukaan.
b. Batang Tubuh.

6. Konstitusi Baru = Perubahan I, II, III, dan IV Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 = UUD
2002.
Batang Tubuh bertentangan dengan Pembukaan, dan
Penjelasan “non exsist” (Penjelasan UUD 1945 sudah
dicabut), sehingga terbuka multi tafsir.

7. Batang Tubuh Konstitusi Baru bertentangan dengan


Pembukaan :
a. Falsafah asas kekeluargaan gotong royong dan
idealisme diganti dengan: materialisme, indivi-
dualisme, dan pragmatisme.
b. Ideologi Pancasila yang sesuai dengan hati nurani
rakyat Indonesia dan umat manusia dengan moral
gotong royong untuk masyarakat adil makmur,

78 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
diganti dengan faham liberalisme dengan sistim
kapitalisme yang menguntungkan golongan
ekonomi kuat.
c. GBHN tidak lagi diperlukan oleh Konstitusi Baru,
dengan demikian negara Indonesia itu kehilangan
arah pembangunan (politik, ekonomi, sosial,
budaya dan Hankamnas, tergantung siapa yang
berkuasa).
d. Bentuk Negara Kesatuan RI (Unitaris) diganti de-
ngan bentuk negara Federal (Bicameral dengan
adanya DPD).

8. Materi Penjelasan Konstitusi Baru “non exsist”


(dihapus):
a. Tidak ada penjelasan mengenai konsep falsafah
seperti cita-cita negara dan cita-cita hukum.
b. Tidak ada penjelasan pada Konstitusi Baru jalan
pemikiran sekelompok elit politik MPR 1999 - 2004,
yang ditentang 206 anggota MPR.
c. ”Non exsist” arus transformasi dari ideologi
Pancasila yang memproyeksikan khusus untuk
kehidupan kenegaraan.
d. “Non exsist” kebersamaan yang mendasari sistem
kenegaraan Indonesia.
e. “Non exsist” sistem Undang-Undang Dasar yang
tersusun oleh 3 (tiga) komponen, yaitu aturan po-
kok yang diatur dalam UUD, aturan pelaksanaan
diatur dalam UU dan moral penyelenggaraan
negara.

Kesimpulan;
PAH I/BP MPR ataupun MPR sebagai lembaga negara

Menolak Konstitusi Baru


79
dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945, sama
sekali telah mengabaikan Pembukaan maupun
Penjelasan UUD 1945.

9. Batang Tubuh Konstitusi Baru bertentangan derngan


Pembukaan, dan tidak ada Penjelasan, menimbulkan
sumber krisis ketatanegaraan baru, antara lain :
- Terjadi benturan antara Mahkamah Konstitusi (MK)
dengan Presiden dan DPR mengenai Undang-
Undang.
- Mahkamah Agung (MA) berlawanan dengan Komisi
Yudisial (KY).
- DPR dengan DPD.

10. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili teritorial


(daerah), bukan mewakili rakyat/warganegara, hal ini
merupakan embrio bentuk negara Federasi dan bukan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

11. Dosa-dosa MPR :


a. MPR 1999 - 2004 tidak menyabut Dekrit Presiden 5
Juli 1959 Yo. Keppres No: 150/1959 (LN No: 75/
1959), namun tetap melakukan amandemen terha-
dap UUD 1945 menjadi Konstitusi Baru.
b. Niat dan tujuan pembuatan Konstitusi Baru di-
ungkapkan oleh Wakil Ketua PAH I/BP MPR Sla-
met Effendi Yusuf, pada acara talk show 10 Agustus
2002 malam di Universitas Gajah Mada (UGM) Yog-
yakarta yang diselenggarakan oleh TVRI, dalam
rangka acara penutupan Seminar Uji Sahih Per-
ubahan UUD 1945 yang diselenggarakan oleh KA-
GAMA. Berikut ini pernyataannya: “ Saya buka

80 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
rahasia, untuk membuat Undang-Undang Dasar Baru itu
banyak tantangannya, karena itu di antara tanda kutip
(sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dan
menggerak-gerakkan jari telunjuk dan jari tengah
secara bersamaan dari kedua tangannya sebagai
lambang dari tanda kutip), kita kesankan sebagai aman-
demen“, jadi logis motivasi melakukan Amandemen
PAH I/BP MPR maupun MPR menginginkan Pem-
bukaan UUD 45 dan Batang Tubuh dan mengabai-
kan Penjelasan UUD 45, karena bagi sebagian besar
dari anggota PAH I/BP MPR, Pembukaan UUD 45
yang di dalamnya tercantum Pancasila, dasar nega-
ra Republik Proklamasi 45, dan Penjelasan UUD 45
yang muatannya adalah kesepakatan dan pema-
haman pertama dari para pendiri negara Republik
Proklamasi 45 merupakan masa lampau yang hen-
dak mereka tinggalkan untuk selama-lamanya dan
menggantikannya dengan Konstitusi Baru. Berarti
mendirikan Negara Baru, dalam sistem Pemerin-
tahan Baru, tanpa izin khusus dari rakyat yang
Berdaulat. MPR 1999 – 2004 tanpa hak khusus mela-
kukan amandemen UUD 45 menjadi UUD 2002 =
Konstitusi Baru. Lebih lanjut Konstitusi Baru
sinkron dengan konsep NDI (National Democratic
Institutes): Constitutional Reform (Reformasi
Konstitusi) (lihat: Raissa Tatad, program officer NDI,
melalui email raissa.tatad@ndi.com).

KESIMPULAN AKHIR:
Penolakan terhadap Konstitusi Baru = Perubahan I, II, III,
dan IV Undang-Undahg Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 = UUD 2002. karena memiliki prosedur amandemen
vang bertentangan dengan hukum ketatanegaraan.

Menolak Konstitusi Baru


81
SOLUSI:
Mendesak Presiden, agar membatalkan Konstitusi
Baru = UUD Negara RI Tahun 1945/PERUBAHAN I, II,
III dan IV = UUD 2002, sesuai dengan Sumpahnya, keti-
ka dilantik sebagai Presiden yakni akan menjalankan
peraturan selurus-Iurusnya.

Jakarta, 7 Februari 2006

Eddi Elison
Wakil Sekjen
KOMITE NASI0NAL
PENYELAMAT PANCASILA DAN UUD 1945

NOTE: Naskah ini merupakan hasil Rapat Presidium


Komnas PP-UUD 45 (K.H. Abdurrahman Wahid,
Soetardjo Soerjogoerito, Amin Aryoso, Ridwan Saidi
yang disampaikan pada pertemuan pers 24 Januari 2007).

82 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
SERUAN
KEPADA BANGSAKU

PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA PADA


TANGGAL 17 AGUSTUS 1945, MENUJU INDONESIA
YANG DICITA-CITAKAN SEBAGAIMANA TERMAK-
TUB DALAM PEMBUKAAN UNDANG-UNDANG
DASAR 1945, CITA-CITA PROKLAMASI KEMERDEKA-
AN SEHARUSNYA DIWUJUDKAN DALAM BINGKAI
TRISAKTI, SEPERTI DIAMANATKAN OLEH PRESI-
DEN SOEKARNO:

1. BERDAULAT DIBIDANG POLITIK


2. BERDIKARI Dl BIDANG EKONOMI
3. BERKEPRIBADIAN DIBIDANG KEBUDAYAAN

KINI PELAKSANAAN CITA-CITA PROKLAMASI


KEMERDEKAAN INDONESIA MENJADI MUNDUR
SEBAGAI AKIBAT PERILAKU SEBAGIAN MANUSIA
INDONESIA YANG TELAH MENYELEWENGKAN
AMANAT PROKLAMAS1 17 AGUSTUS 1945 DENGAN
MENGHAMBA KEPADA PIHAK ASING.
DIUBAHNYA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
MENJADI “UUD 2002” ADALAH BENTUK INTER-
VENSI PIHAK ASING, YANG MENYEBABKAN KE-
HIDUPAN KENEGARAAN MENGARAH PADA
INDIVIDUALISME, MATERIALISME, LIBERALISME,
SEHINGGA MENJAUH DARI MASYARAKAT YANG
ADIL DAN MAKMUR.
OLEH KARENA ITU KEPADA SELURUH RAKYAT
INDONESIA, MARI SELAMATKAN PANCASILA DAN
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 UNTUK DIKUKUH-
KAN KEMBALI SEBAGAI FONDASI DALAM

Seruan Kepada Bangsaku


83
BERBANGSA DAN BERNEGARA, BERSAMA “KOMITE
NASIONAL PENYELAMAT PANCASILA DAN
UNDANG-UNDANG DASAR 1945”
.
JAKARTA, 5 DESMBER 2006
PRESIDIUM :
KOMITE NASIONAL PENYELAMAT
PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Riwan Saidi, Gus Dur, Amin Arjoso

84 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
KOMITE NASIONALPENYELAMAT
PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

PRESIDIUM :
1. K.H. Abdurrahman Wahid
2. Soetardjo Suryogoeritno
3. Amin Aryoso
4. Ridwan Saidi

SEKJEN :
H. Fachruddin

Sekretaris :
1. Tjahjadi Nugroho
2. Eddi Elison
3. Ridwan A.Dalimunte

BENDAHARA :
Didiek Poernomo

PLENO KOMITE NASIONAL :


1. R. Soeprapto (Penasehat) 11. Djon Pakan (Penasehat)
2. Ali Sadikin (Penasehat) 12. M.Tahir (Anggota)
3. Prof. Usep Ranawijaya (Penasehat) 13. Nurhasanah AS (Anggota)
4. Prof. A.S.S, Tambunan SH (Penasehat) 14. Suparwan G. Parikesil (Anggota)
5. M. Achadi (Penasehat) 15. Franky Sahilatua (Anggota)
6. John Lumingkewas SH (Penasehat) 16. Hardi (Anggota)
7. Harsudijono Hartas (Penasehat) 17. Subagio Anam (Anggota)
8. Drs, Kwik Kian Gie (Penasehat) 18. Masgarta Kartanegara ZH (Anggota)
9. Prof. Sri Edi Swasono (Penasehat) 19. Husni Ibrahim (Anggota)
10. Abdul Madjid (Penasehat) 20. Alexander Riung (Anggota)

Komite Nasional Penyelamat


Pancasila dan UUD 1945
85
Amin Arjoso dan
AM Fatwa

86 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Demokrasi Model
Eropa Barat
& Amerika Serikat
Apakah Cocok untuk
Bangsa Indonesia

K
ita maklumi bersama bahwa kata demokrasi
memberikan pengertian bahwa kekuasaan
ada di tangan rakyat, rakyatlah yang berkuasa.
Demikianlah di bidang politik, kenegaraan
dan pemerintahan, istilah demokrasi mempunyai arti
bahwa pemerintahan harus dikuasai dan dipimpin de-
ngan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Prinsip tersebut tentulah sangat baik dan sangat me-
narik, sehingga menggelora ke seluruh dunia. Menda-
lami paham demokrasi serta praktek-praktek demokrasi
yang nyata perlu sekali kita lakukan agar kita bisa me-
maklumi, bahwa demokrasi sebagai prinsip kekuasaan
di tangan rakyat/rakyatlah yang bekuasa dalam pelaksa-
naannya mempunyai berbagai variasi, mempunyai
berbagai bentuk praktek-praktek dan implementasinya
di antara berbagai bangsa di Eropa Barat (sebgai sum-
bemya demokrasi) termasuk Amerika Serikat.

Demokrasi Model Eropa Barat & Amerika Serikat


Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia
87
I. Sejarah Ringkas Demokrasi Barat
Revolusi Perancis yang berkobar dalam akhir abad 18
adalah menjadi awal perjuangan untuk menjebol peme-
rintahan yang berbentuk feodal untuk dirombak menjadi
pemerintahan rakyat. Dengan doktrin Liberty, Egalite dan
Fratemite, Revolusi Perancis menggelora dan menggelora-
kan seluruh dunia, merombak pemerintahan feodal di
Eropa Barat yang juga menjalar ke seluruh dunia. Peristi-
wa politik yang begitu fundamental terjadi tentulah ada
sebab-sebab fundamental yang mendorong atau menjadi
landasan bagi kejadian tersebut.
Perlu kita tandaskan bahwa feodalisme adalah sistim
politik, kenegaraan dan pemerintahan di mana kekuasaan
ada di tangan raja atau sistem kerajaan. Di dalam sistem
feodal, negara dan isinya adalah milik raja khususnya
tanah sebagai sumber kehidupan dan penghidupan nega-
ra dan rakyat. Raja sebagai pusat penguasa dan kekuasa-
an tersebut mendelegasikan kekuasaan kepada pengua-
sa-penguasa wilayah-wilayah bawahannya dengan sank-
si loyal kepada raja dan untuk itu harus menyetor upeti-
upeti serta membela kekuasaan raja, apabila ada yang
menantang atau menentang raja dan kekuasaanya.
Prinsip feodal ini menetapkan juga bahwa pergantian
raja selalu atas dasar keturunan, sedangkan pergantian
penguasa wilayah yang dilimpahkan oleh raja didasarkan
kepada loyalitas kepada raja dan keturunannya yang sah.
Dengan demikian itu maka kita bisa simpulkan atau tan-
daskan bahwa feodalisme adalah sistem di mana kekua-
saan politik: negara dan pemerintah, adalah monopoli
di tangan raja dan bawahan raja yang loyal, (yang terkait
erat dengan penguasaan wilayah yang menjadi sumber
penghidupan bangsa dan rakyat dalam negara tersebut).
Pergantian-pergantian penguasa tersebut didasarkan
pada keturunannya yang sah. Sistem feodal tersebut ten-
tulah mencakupi kekuasaan di bidang ekonomi, karena

88 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
penguasaan wilayah tidak lepas dari pengelolaan-penge-
lolaan kekayaan alam di dalam wilayah-wilayah yang
bersangkutan, dengan demikian feodalisme juga meru-
pakan monopoli kekuasaan atas penghidupan rakyat dan
masyarakat yang mengelola dan menggarap tanah-tanah
dan kekayaan-kekayaan alam di wilayah-wilayah terse-
but. Jadi feodalisme juga merupakan monopoli kekuasa-
an di bidang perekonomian oleh raja dan bawahan-ba-
wahan raja (para penguasa wilayah), yang justru harus
setor upeti dari kekayaan-kekayaan dan hasil perekono-
mian wilayahnya kepada raja sebagai salah satu bukti
loyalitas kepada raja.
Kita tentu juga memaklumi bahwa asal mulanya sese-
orang bisa menjadi raja dan memperoleh tahta kekuasaan
tentulah karena mempunyai dukungan kekuatan ter-
utama kekuatan fisik dan kekuatan bersenjata yang
cukup untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya, dan
menjaga kelestarian kekuasaannya. Di samping itu juga
harus ada dukungan aparatur pemerintahan yang bisa
mengelola pemerintahan dengan baik. Untuk kesemua-
nya itu tentulah sangat dibutuhkan dana dan harta yang
cukup untuk pembiayaan-pembiayaannya. Demikianlah
usaha-usaha pengerahan dana dan harta dalam berbagai
upeti, pungutan, pajak, dan sebagainya perlu dilaksana-
kan. Kadang-kadang malah dilakukan peperangan de-
ngan negara lain justru untuk memperebutkan sumber
dana bagi kepentingan kerajaan.
Dalam abad XVII dan XVIII kompetisi antara negara-
negara barat untuk merebut superioritasnya, masing-
masing Negara berlomba untuk meraih keuntungan yang
paling besar dari perdagangan internasionalnya, yang
terkenal dengan doktrin Merkantilisme. Dalam perlom-
baan atau kompetisi dagang tersebut akhimya masing-
masing ingin menemukan sumber-sumbemya dari ba-
rang-barang dagangan yang paling menguntungkan,
yaitu rempah-rempah dari Asia. Dengan armada-armada

Demokrasi Model Eropa Barat & Amerika Serikat


Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia
89
dagang yang tangguh dan berpengalaman berlayar jarak
jauh dengan dikawal kekuatan-kekuatan bersenjata
akhirnya sampai di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Pedagang-pedagang dari Spanyol, Portugis, Belanda,
Inggris dan Perancis aktif berebut mendapatkan rempah-
rempah anatara lain: pala, lada, cengkeh, kayu manis, se-
reh dan sebagainya yang sangat menguntungkan itu
membawa munculnya kekuatan masyarakat baru yang
tak kalah pentingnya bagi kerajaan dibandingkan para
ningrat dan bangsawan yang memegang monopoli
kekuasaan.
Justru dari golongan-golongan pedagang besar inilah
dana dan harta yang cukup besar bagi kepentingan raja
dan pemerintahannya diperoleh. Di dalam kalangan pe-
dagang-pedagang besar ini tentulah ada kegiatan-
kegiatan dagang intemasional tersebut, juga pengalaman
dalam kegiatan perdagangan internasional tersebut telah
juga menjalin kekuatan-kekuatan bersenjata yang dike-
rahkan dan dibiayai untuk pengawalan armada-armada
dagang, maupun untuk penguasaan wilayah di daerah
untuk menguasai barang-barang dagang yang sangat
menguntungkan. Pengusaha-pengusaha dagang Belanda
dengan nama V.O.C menduduki Jakarta tahun 1601 dan
mengganti nama Jakarta menjadi Batavia tahun 1609.
Kekuatan-kekuatan baru inilah yang mulai menantang
dan menyaingi para bangsawan dan ningrat dalam meme-
gang monopoli kekuasaan dalam negara (politik). Kenya-
taannya memang bahwa kekuatan baru ini kaum borjuis
sangat berpengaruh bagi kemakmuran dan kebesaran
Negara waktu itu ingatlah semboyan: The Flag Follows The
Trade.
Ekses-ekses pemerintahan feodal telah menyakiti dan
menindas rakyat dan masyarakat di luar para ningrat dan
bangsawan puluhan tahun lamanya, karena otoriter dan
kesewenang-wenengannya, karena pajak dan pungutan-
pungutan yang berat, hidup bermewah-mewah para

90 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
bangsawan di atas penderitaan dan kesengsaraan rakyat,
dan sebagainya maka iklim ini sangat subur bagi gerakan
perjuangan melawan monopoli kekuatan raja dan para
ningrat.
Demikianlah gerakan-gerakan dengan panji-panji
Demokrasi–Kekuasaan Rakyat–untuk menjebol mono-
poli kekuasaan raja dan para bangsawan menjadi sangat
menggelora. Walaupun demikian perjuangan menegak-
kan pemerintahan di tangan rakyat memakan waktu yang
lama, walaupun Revolusi Perancis serta merta dapat
menggulingkan kekuasaan raja, namun pemerintahan
republik yang demokratis yang berbentuk Republik
Perancis dengan sarana lembaga-lembaga yang demo-
kratis tidak bisa dibangun langsung dengan munculnya
Napoleon Bonaparte yang memegang pemerintahan
militer dan otoriter dikarenakan merajalelanya ekses-
ekses daripada Revolusi Perancis yang menjadi anarki.
Di dalam menerapkan prinsip demokrasi, kekuatan
rakyat dalam kehidupan politik: Negara dan pemerin-
tahan di Eropa Barat, ternyata terdapat berbagai variasi
bentuk dan mekanismenya. Negara ada yang berbentuk
republik dan ada yang masih berbentuk kerajaan, di ma-
na kepala negara yaitu raja, pergantiannya berdasarkan
keturunan bukan pemilihan oleh rakyat. Sedangkan repu-
blik, kepala negara dipilih oleh rakyat. Dalam bentuk
kerajaan tersebut memang ditetapkan bahwa raja tidak
berkuasa, yang berkuasa adalah perdana menteri (kabi-
net) yang dibentuk oleh perwakilan rakyat. Pada kerajaan
Inggris ada istilah, “The King/The Queen can do no wrong,
the prime minister is responsible”. (Raja/Ratu tidak bisa
disalahkan, yang bertanggung jawab adalah perdana
menteri/kabinet).
Perwakilan rakyat yang dipilih memalui pemilihan
umum, yang akan membentuk pemerintahan yang ber-
kuasa, ada yang berisikan wakil-wakil dari banyak partai
politik (sistem multipartai) dan ada negara yang pewakil-
Demokrasi Model Eropa Barat & Amerika Serikat
Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia
91
an rakyatnya hanya dibatasi oleh wakil-wakil dari dua
partai. Berdasarkan demokrasi negara ada yang berben-
tuk negara kesatuan dan negara federal, sehingga bentuk
lembaga-lembaga perwakilan rakyatnya juga berbeda:
negara kesatuan punya satu lembaga perwakilan rakyat,
sedangakan negara federal punya dua perwakilan rakyat,
yaitu perwakilan dari partai hasil pemilu dan perwakilan
dari negara bagian. Dalam hal pemilihan wakil-wakil
rakyatpun (PEMILU) ada yang memakai sistim distrik,
dan ada yang pemilihan sistim proporsionil.
Dari pengamatan dan penghayatannya, demokrasi
yang lahir dan berkembang di Eropa Barat, sebagaimana
diungkapkan di atas, maka jelaslah bahwa peranan ke-
kuatan-kekuatan yang menguasai kehidupan dan peng-
hidupan perekonomian di negara-negara tersebut sangat-
lah kuat dalam pelaksanaan demokrasinya, yang menca-
kupi pengorganisasian masyarakat dalam parati piltik
untuk bias aktif dalam menggalang suara dalam pemilih-
an umum untuk membeentuk perwakilan rakyat dan
pemerintah.
Jadi, kekuatan-kekuatan ekonomi sangatlah besar pe-
ranannya dalam kehidupan danpenghidupan demokrasi
dan pemerintahan demokratis. Tentulah ini sangat nayat,
karena negara-negara di Eropa Barat yang melahirkan dan
mengembangkan pemerintahan demokrasi tidaklah lepas
dari kepentingan-kepentingan pengembangan usaha dan
kepentingan-kepentingan ekonomi mereka. Coba re-
nungkan, negara-negara Eropa Barat yang mendengung-
kan demokrasi justru negara-negara yang melakukan
penjajahan atas bangsa lain, yang merupakan kelanjutan
dari merkantilisme, yaitu menguasai dan mengeruk keka-
yaan alam negara atau bangsa lain bagi kepentingan dan
kemakmuran bangsa dan negara sendiri (kolonialisme)
yang mana mereka adalah penguasa-penguasa pemerin-
tahan yang menjajah tersebut.
Segi lain dari demokrasi yang dipraktekkan di Eropa

92 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Barat adalah individualisme, prinsip kepentingan
perorangan, sehingga kepantingan orang peroranglah
yang menetukan.
Dengan demikian, keputusan-keputusan rapat diam-
bil berdasarkan suara terbanyak, yaitu 50% ditambah 1
saja sudah menjadi penentu, mengalahkan yang 49%
(suara yang 49% sama sekali tidak dihargai). Dari sinilah
kita bisa simpulkan dengan tegas bahwa bukan kebersa-
maan yang diutamakan tetapi kepentingan orang per
orangnya. Memang roh demokrasi barat adalah indivi-
dualisme sebagai rohnya kapitalisme, dilahirkan impe-
rialisme, mengejar keuntungan maksimal bagi modal
bukan keuntungan bagi kepentingan masyarakat.
Dari kesemua ungkapan tersebut, maka jelaslah prin-
sip kekuasaan politik, kekuasaan rakyat di bidang kene-
garaan dan pemerintah di Eropa Barat adalah dipelopori
dan dikendalikan oleh penguasa-penguasa kekuatan-
kekuatan ekonomi (Business Corporation). Dengan de-
mikian tidak mengherankan bahwa negara-negara dan
pemerintahan-pemerintahan tersebut berambisi untuk
menguasai bangsa dan negara lain bagi kepentingan-ke-
pentingan ekonominya.
Jadi demokrasi di Eropa Barat adalah dilandasi oleh
budaya dan peradaban untuk mengejar kepentingan dari
penguasa-penguasa kekuatan ekonomi (kaum kapitalis)
yang beroperasi global. Memang kebebasan berbicara,
kebebasn berserikat, kebebasan berfikir, kebebasan pers,
dan sebagainya dibiarkan karena kendali sudah dikuasai
penguasa kekuatan-kekuatan ekonomi tersebut. Kebe-
basan-kebebasan tersebut dijadikan vebtilasi maupun
petunjuk iklim dan arah angina (opini publik).

II.Demokrasi di Indonesia
Bagaimana dengan demokrasi yang cocok dengan
kepribadian Indonesia? Untuk menjawab ini perlulah

Demokrasi Model Eropa Barat & Amerika Serikat


Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia
93
kita tandaskan bahwa budaya dan peradaban Indonesia
adalah gotong-royong sehigga kebersamaan menjadi
prinsip serta cara-cara melaksanakan maupun menye-
lesaikan persoalan.
Prinsip gotong-royong mengutamakan kebersamaan
bukan orang perorang, tetapi mencakupi semua kepen-
tingan orang. Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
kita, dikalangan rakyat, melakukan gotong-royong dalam
berbagai bentuk untuk menghadapi duka maupun suka,
musibah maupun hajat dan pesta. Segalanya dibicarakan
secara musyawarah mufakat dan menjaga kerukunan
dan kekompakan masyarakat. Bahkan kalau ada makanan
ataupun rezeki supaya dibagi dengan istilah jawa “Sitik
Edang”, artinya sedikit-dikit tetapi dibagi rata, hal mana
untuk memelihara kerukuna dan kebersamaan.
Proklamasi kemerdekaan kita 17 Agustus 1945 me-
negaskan dengan kata-kata: “Atas nama Bangsa Indone-
sia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…..”
Kalimat terakhir berbunyi: “Atas nama Bangsa Indone-
sia (tertanda) Soekamo-Hatta”. Dengan ini tegaslah bahwa
kepentingan bangsa yang diutamakan bukan orang per
orang, demikian juga untuk mempertahankan dan meng-
isi kemerdekaan yang kita proklamasikan tersebut.
Lebih jelas lagi ditandaskan dalam Mukadimah UUD
1945 yang berbunyi: “Bahwa sesungghnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka pen-
jajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak se-
suai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan
perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa dan
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu kemerde-
kaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdau-
lat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdeka-

94 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
annya”.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pe-
merintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdas-
kan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian aba-
di, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang
Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam satu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhana Yang Maha
Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”.
Berdasarkan ketegasan-ketegasan tersebut di atas maka
demokrasi yang cocok dengan Indonesia adalah yang bi-
sa melaksanakan cita-sita Proklamasi tersebut, demokrasi
yang mengabdi pada kebersamaan bukan kepentingan
perorangan dan golongan, memperjuangkan agar penja-
jahan tidak kembali menimpa Indonesia walaupun ben-
tuknya terselubung, demokrasi yang bisa menyatukan
bangsa Indonesia sebagai satu enity termasuk membela
negara kesatuan Republik Indonesia, demokrasi yang
juga bisa meningkatkan kesejahteraan umum bukan
kesejahteraan perorangan dan golongan, mencerdaskan
kehidupan bangsa bukanorang perorangan atau go-lon-
gan tertentu.
Mekanisme pengambilan keputusan yang membela
kebersamaan hendaknya berbentuk musyawarah untuk
mufakat bukan pengambilan voting. Partisipasi dalam
pemerintahan hendaknya diikutkann golongan-golongan
fungsional yang sehari-hari bergulat dengan bidang-
bidang kekaryaannya, misalnya buruh tani, guru, cende-
Demokrasi Model Eropa Barat & Amerika Serikat
Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia
95
kiawan, nelayan, veteran pejuang kemerdekaan, seniman
dan budayawan, tokoh-tokoh agama, dan lain sebagai-
nya, agar kegotongroyongan bukan dibatasi oleh kalang-
an parta-partai politik saja. Perhatikanlah bunyi sila ke-
empat pada Pancasila “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Per-
wakilan”, serta ayat kelima “Dengan Mewujudkan Ke-
adilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Janganlah demokrasi Indonesia mengambil contoh
demokrasi di Barat karena latar belakang dan arahnya
berbeda dengan ideologi Bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang di atas. Jangan pula kita mengekor kehidupan
dan peradaban Barat yang berkembang atas dasar indi-
vidualisme dan penjajahan-penjajahan yang telah mereka
lakukan berabad-abad walaupun dalam kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi kita perlu mengehar keter-
tinggalan kita sebagai bekas negara dan bangsa yang
terjajah.
Mengingat kesemuanya itu kita bangsa Indonesia hen-
daknya punya tolok ukur agar supaya demokrasi di In-
donesia benar-benar cocok dengan kepribadian bangsa
Indonesia sehingga beberapa tolok ukur kita ungkapkan
sebagai berikut :
1. Mengutamakan kebersamaan, kepentingan bangsa dan
Cita-cita Proklamasi tercantum dalam Mukadimmah
UUD 1945, di atas kepentingan perorangan dan ke-
lompok/golongan.
2. UUD 1945 sebagai dasar untuk pengaturan negara dan
pemerintahan untuk melaksanakan Cita-cita Pro-
klamasi tidaklah bisa diubah dengan ketentuan-keten-
tuan dalam Mukadimmah dan Pancasila. Amande-
men-amandemen dilaksanakan demi kejelasan pasal-
pasal yang diperlukan bagi pelaksanaannya serta
amandemen hanya bisa dilakukan dalam rangka
menerapkan pasal-pasal untuk disesuaikan dengan

96 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
perkembangan bagi suksesnya pelaksanaan-pelaksa-
naan dan pasal-pasal tersebut. Oleh karena itu aman-
demen-amandemen yang kelewat batas-batas tersebut
perlu dicabut karena akan membahayakan arah dan
Cita-cita Proklamasi.
3. Demokrasi Indonesia harus bisa memperkuat ke-
kuatan-kekuatan politik yang konsekuen melaksana-
kan Cita-cita Proklamasi Berdaulat dalam Politik,
Berdikari dalam Ejonomi dan Berkepribadian dalam
Budaya dan menyisihkan kekuatan-kekuatan yang
secara terang-terangan maupun terselubung menen-
tang dan akan menyelewengkan pelaksanaan Cita-cita
Proklamasi.
4. Demokrasi Indonesia harus bisa menimbuhkan pe-
mimpin-pemimpin baru, kader-kader baru dari gene-
rasi muda penerus yang konsekuen memper-juangkan
untuk mencapai Cita-cita Proklamasi.
5. Kerjasama negara, bangsa, maupun masyarakat Indo-
nesia dengan pihak asing/negara, bangsa, ataupun
masyarakatnya adalah perlu untuk saling mengun-
tungkan dan meningkatkan daya dan kemampuan
perjuangan bagi kepentingan pelaksanaan Cita-cita
Proklamasi (“ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial”).

III. Perintisan Demokrasi Indonesia


Perlu kita sadar diri bahwa sejarah perkembangan
kehidupan politik yang tumbuh selama kebangkitan na-
sional selagi dalam penjajahan Belanda (tahun 1908-1942)
adalah pengorganisasin kekuatan dan kemampuan poli-
tik demi Indonesia merdeka. Berbagai pengorganisasian-
pengorganisasian di bidang politik, sosial ekonomi, pen-
didikan, kebudayaan, dan sebagainya telah dilaksanakan
dengan arah serta perjuangan untuk Indonesia merdeka

Demokrasi Model Eropa Barat & Amerika Serikat


Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia
97
bebas dari penjajahan.
Sebagai contoh: Budi Utomo (pimpinan Dr. Sutomo,
Dr. Wahidin), Serikat Dagang Islam–Partai Serikat Islam
Indonesia (HOS. Cokroaminoto), Partai Komunis Indo-
nesia (Alimin, Semaun, Tan Malaka), Indische Partai (Dr.
Cipto Mangunkusumodan dr. Setia Budi), Partai Nasional
Indonesia dan Partai Indonesia (Bung Kamo), Partai Pen-
didikan Nasional (Bung Hatta), Muhammadiyah (Kyai
Haji Ahmad Dahlan dan Kyai Haji Mas Mansyur), Taman
Siswa (Ki Hajar Dewantara), Sumpah Pemuda: Satu Bang-
sa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa, Permufakatan partai-
partai Kebangsaan Indonesia, Kepanduan Bangsa Indo-
nesia, dan sebagainya merupakan bukti nyata daripada
jiwa arah dan idiologi perjuangan politik bangsa Indo-
nesia menuju Indonesia merdeka, dan kesemuanya ini
juga merupakan perintisan bagi Demokrasi Indonesia,
dengan jiwa arah dan idiologi menuju Indonesia
merdeka.
Semua kekuatan-kekuatan perjuangan tesebut diatas
adalah kekuatan-kekuatan yang melahirkan kekuatan-
kekuatan untuk mampu melaksanakan Proklamasi 17
Agustus 1945, dengan persiapan-persiapan seperti lahir-
nya Pancasila, Mukadimmah dan UUD 1945, ke-kuatan
generasi penerus yang berhasil mempertahankan Pro-
klamasi kemerdekaan melawan semua bentuk usaha-
usaha bekas penjajah untuk menguasai Indonesia lagi.
Sebenarnya kita sudah memaklumi kesemuanya itu
dan bagi generasi muda perlu sekali hal ini untuk dire-
sapi. Dalam membina dan mengembangkan demokrasi
yang cocok dengan kepribadian Indonesia itu hendaknya
selalu berpegang teguh kepada jiwa dan budaya arah
dan ideologi perjuangan bangsa Indonesia. Proses dan
bentuk-bentuk perjuangan hendaklah kita resapi karena
sejarah adalah bekesinambungan, “History Is A Conti-
nuity” dan kita “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”
(JAS MERAH).

98 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Menyimpulkan kesemuanya yang saya ungkapkan
dalam seminar ini, maka demokrasi yang cocok di Indo-
nesia ialah demokrasi yang mengemban misi perjuangan
bangsa Indonesia yang ideologi perjuangan tersebut
tercantum dalam Mukadimmah UUD 1945 dan Pancasila
serta melaksanakan UUD 1945 secara tepat. Bukan
menyelewengkan apalagi mengubah-ubah jiwa dan arah
perjuangannya: jiwa gotong-royong dan kebersamaan,
bukan individualisme.
Selain itu, membela kesatuan bangsa dan negara bukan
mengarah federasi suku-suku bangsa. Juga membina
keserasian antara kepentingan nasional dan daerah,
menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
melaksanakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwa-kilan,
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perike-
manusiaan yang adil dan beradab.

Demokrasi Model Eropa Barat & Amerika Serikat


Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia
99
100 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Jangan Sampai
MPR Keblinger

S
etelah Konstituante gagal menyusun UUD Res
Publica sesudah bersidang 2 tahun, 5 bulan 12
hari, Presiden Soekamo atas nama Pemerintah
menganjurkan kepada Konstituante supaya
menetapkan saja UUD 1945, dengan menempuh prose-
dur yang konstitusional dan legal berdasarkan pasal 134
UUDS yang berlaku pada waktu itu.
Anjuran ini ditolak, yang berakibat gagal totalnya
Konstituante menghasilkan UUD karena sidang-sidang
Konstituante sesudah itu terus menerus tidak mencapai
quorum, bahkan Konstituante tidak mungkin lagi bersi-
dang, sehingga akhirnya Presiden mengambil tin-dakan
ekstra parlementer yaitu mendekritkan kembali berlaku-
nya UUD 1945 pada tangga15 Juli 1959 dengan dukungan
para ahli hukum tata negara, angkatan bersenjata, partai-
partai politik dan ormas-ormas, dan membubarkan
Konstituante.
Dekrit 5 Juli 1959 diundangkan dan ditempatkan dalam
Jangan Sampai
MPR Keblinger
101
Lembaran Negara Tahun 1959 No. 75 dan kemudian
mendapat dukungan DPR hasil Pemilihan Umum Tahun
1955 dan kemudian MPRS pada tahun 1966 melalui
Ketetapannya No. XX/MPRS/1966 dijadikan sumber
dari segala sumber hukum dalam Republik Indonesia.
Dengan demikian UUD 1945 bukan saja UUD yang pal-
ing modern seperti diakui oleh Bung Hatta, tetapi
dipandang dari sudut mana pun UUD 1945 sudah
menjadi UUD yang tetap.
Di sinilah esensi ke-keblinger-an pertama MPR hasil
pemilu 1999 yang memaksakan perubahan UUD 1945
dengan berlindung di balik “Amandemen”. Padahal
dalam Pemilu 1999 rakyat pemilih sama sekali tidak
memberikan mandat kepada MPR untuk mengubah UUD
1945 atau menyusun UUD baru.
Lebih menyedihkan lagi, karena perubahan yang dise-
but Amandemen UUD 1945 dan oleh MPR dinyatakan
mulai berlaku 10 Agustus 2002 sesudah diamandemen 4
kali dilakukan atas intervensi LSM Asing yang ikut
menghadiri sidang-sidang PAH I dan ikut memberikan
fasilitas dan konsep-konsep selama proses penyusunan
amandemen, untuk memastikan amandemen tersebut
patut diduga keras sesuai dengan pemikiran “democratic
values and American self-interest”.
Seorang diplomat dari Kedutaan Besar Amerika
Serikat, setelah mengetahui bahwa saya menolak keras
amandemen yang kebablasan menemui saya dan me-
ngatakan bahwa pemikiran kelompok saya adalah kon-
servatif. “Self-interest” adalah akar “individualisme” yang
mungkin cocok untuk Barat termasuk Amerika Serikat,
tetapi bertentangan dengan paham “kebersamaan” dan
“asas kekeluargaan” (mutualisme/kolektivisme” dan
“brotherhood”) yang dianut bangsa Indonesia!
Adanya utusan-utusan dari daerah-daerah dan go-lon-
gan-golongan ditekankan oleh Bung Hatta sebagai ke-

102 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
lengkapan/keutuhan sistem perwakilan dalam MPR,
dan MPR merupakan lembaga tertinggi negara. Bagi
Bung Hatta, tidak menggeser/meniadakan utusan-
utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, ka-
rena prinsip “semua dipilih” melalui Pemilihan Umum
tidak menjamin bahwa “semua diwakili”. Dengan demi-
kian MPR sebagai pelaku sepenuhnya dari kedaulatan
rakyat memperoleh tempatnya yang rasional.
Tapi setelah kemudian temyata amandemen banyak
penentangnya, diplomat yang lain datang lagi menemui
saya dan kali ini menyatakan keterkejutannya mengapa
begitu banyak yang menentang amandemen. Sang diplo-
mat akhimya mengakui bahwa UUD 1945 setelah meng-
alami amandemen 4 kali dan dinyatakan berlaku mulai
10 Agustus 2002, memang telah berubah (secara ideolo-
gis, struktural dan substansial) menjadi UUD 2002, bukan
lagi UUD 1945, karena yang terjadi memang bukan
sekedar amandemen, melainkan benar-benar perubahan
UUD 1945.
Tindakan MPR mengubah UUD 1945 lewat Aman-
demen untuk patut diduga keras disesuaikan dengan
pemikiran dan campur tangan LSM Asing. Sangat mele-
cehkan sejarah perjuangan dan idealisme bangsa, tetapi
juga mengabaikan peringatan Founding Fathers. Para
Founding Fathers telah berpesan supaya negara kita jangan
sekali-kali menjiplak atau meng-copy bangsa lain, karena
Indonesia mempunyai cita-cita, karakter dan pengalaman
sejarahnya sendiri. Dengan sikap meniru-niru hanya akan
membuat Indonesia bubrah.
Kekhususan Indonesia yang menolak paham indivi-
dualisme juga ditegaskan oleh Bung Hatta melalui paham
“kerakyatan” dan “kebangsaan” Indonesia yang berda-
sarkan kebersamaan dan asas kekeluargaan (1932). Itulah
sebabnya Bung Hatta adalah pembela dan penganjur
Pancasila yang sangat gigih karena Pancasila memangku

Jangan Sampai
MPR Keblinger
103
paham kerakyatan (demokrasi Indonesia) dan kebang-
saan (nasionalisme Indonesia) serta secara tegas menolak
individualisme dan liberalisme. Menurut pendapat saya
amandemen yang dilakukan MPR hakekatnya hanya
jiplakan dan copy pemikiran asing yang benar-benar
menjadikannya Amandemen yang kebablasan karena
merombak tata nilai yang menjadi jiwa UUD 1945, yang
tidak lain adalah Hukum Dasar Negara yang tidak
seharusnya dirombak-rombak, apalagi Hukum Dasar itu
mengemban Amanat Proklamasi Kemerdekaan yang
paling luhur, yaitu supaya menghantarkan rakyat Indo-
nesia kepada perubahan menuju social justice.
Kita tidak anti Barat, termasuk Amerika Serikat, tetapi
secara prinsip pemikiran UUD/Hukum Dasar, karena
kekhasan paham ideologi, sejarah, cita-cita dan budayanya,
maka kita tidak bisa menjiplak begitu saja sistem negara lain.
Akan menjadi fatal sekali jika amandemen yang meng-
ubah jiwa Amanat Proklamasi Kemerdekaan untuk dise-
suaikan dengan sistem individualisme ala Barat dan
mengkhianati sistem gotong royong (kebersamaan ber-
dasarkan asas kekeluargaan) yang adalah kepribadian
bangsa Indonesia yang telah berhasil mengantarkan kita
kepada Kemerdekaan.
Bukankah amandemen yang seperti itu benar-benar
sudah kebablasan, bahkan keliru sekali ?!
Amandemen yang tidak menjerumuskan bangsa, yaitu
amandemen demi untuk penyempumaan yang murni,
atau mempertegas dan memperjelas tentu saja dapat dila-
kukan dari waktu ke waktu, tapi tidak mengobrak-abrik
tata nilai yang sudah mapan. Seperti bangsa Amerika
yang sudah 200 tahun lebih kemerdekaannya tidak
pemah mengubah Declaration of Independence dan Hukum
Dasar negaranya yang mengatakan bahwa “men are born
equal and has the same right for the pursuit of happiness”.
Amerika Serikat memang melakukan amandemen-

104 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
amandemen atas UUD-nya, bahkan lebih 10 kali selama
225 tahun merdeka, tetapi dengan persetujuan rakyatnya
berdasarkan prosedur yang berlaku, tapi tidak pemah
merubah Hukum Dasarnya. Itu pun kita tidak harus
meniru-niru Amerika Serikat. Untuk menjawab tantangan
baru bisa saja ditampung dalam UU biasa yang mudah
dirubah sesuai tuntutan zaman, bukan mengubah tata
nilai atau Hukum Dasar dalam UUD.
Maka menarik sekali dialog antara Bung Kamo dengan
Presiden Kennedy ketika berkunjung ke Amerika, di
mana Bung Kamo mengatakan kepada Kennedy: “I need
your help - your money and technology, but regarding Indone-
sia do not teach me about Politics”. Bung Kamo menolak keras
jika Amerika hendak mengajari kita tentang politik yang
disesuaikan dengan pemikiran Amerika.
Pembukaan UUD 1945 menekankan mutlaknya per-
lindungan kepada segenap bangsa dan wilayah Indo-
nesia, dengan meningkatkan kesejahteraan umum, men-
cerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan keter-
tiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Ini sesuai dengan penjelasan pasal 33 UUD 1945, yaitu
perekonomian dikelola berdasarkan demokrasi ekonomi,
produksi dikerjakan oleh semua pihak, untuk semua, di
bawah kepemimpinan atau kepemilikan anggota
masyarakat. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu
adalah koperasi. Kemakmuran masyarakat yang di-
utamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Penjelasan
ini telah dihapus dalam amandemen. Dihapuskannya Penjelasan
UUD 1945 ini adalah esensi keblingeran MPR.
Amandemen itu juga katanya menghendaki keseim-
bangan kekuasaan antara Eksekutip dengan Legislatip.
Tapi dalam kenyataannya justru yang terjadi ialah
ketidak-seimbangan, karena dengan amandemen maka

Jangan Sampai
MPR Keblinger
105
Kabinet Presidentil direduksi kekuasaannya dan diambil
alih oleh legislatif.
Ini adalah bentuk keblingeran MPR berikutnya.
Pembukaan UUD 1945 juga menekankan prinsip ke-
gotong-royongan sebagai asas Kedaulatan Rakyat yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-
ratan perwakilan, dan untuk keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dalam pen-
jabarannya justru sekarang didegradasi oleh amandemen,
sehingga kembali menunjukan betapa makin jauhnya
bentuk keblingeran MPR.
Semua keblingeran MPR itu harus diteliti oleh Komisi
Konstitusi agar UUD tetap sesuai dengan kehendak
rakyat yaitu UUD 1945 yang asli.
Sesudah Bung Karno dan Bung Hatta tidak ada lagi,
muncul orang-orang yang mau merevisi total paham
demokrasi Indone sia yang secara utuh termaktub dalam
UUD 1945 yang asli, dan bersedia masuk dalam Grand
Strategy-nya kekuatan asing terhadap Indonesia.
Bung Karno memang mengatakan dalam sidang pleno
kontituante bahwa tidak perlu kita menutup pada dunia
sekeliling kita, sebaliknya kita perlu mempelajari
pengalaman-pengalaman mereka. Tapi tidak boleh
mendorong kita menghasilkan satu UUD yang hanya
merupakan copy belaka dari Konstitusi asing itu.
Diperingatkan, 3 amanat penderitaan rakyat harus jelas
tercermin dalam UUD kita, yaitu :
1. Penciptakan satu masyarakat yang adil dan makmur.
2. Bentuk satu negara kesatuan berdasarkan paham
unitarisme.
3. Sistem musyawarah dalam satu badan atau sistem
mono-kameral.

106 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Atas dasar pertimbangan ini maka Forum Kajian
Ilmiah Konstitusi (FKIK) merasa terpanggil menge-
luarkan pernyataan yang diterbitkan oleh yayasan
Kepada Bangsaku ini, supaya bisa lebih luas dipahami
rakyat termasuk input untuk Komisi Konstitusi (KK),
sinkron dengan sikap politik 207 Anggota MPR, 7 No-
vember 2001.

Jakarta, 10 Desember 2003

Jangan Sampai
MPR Keblinger
107
108 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Budiman Sudjatmiko [1]

Restorasi UUD 1945

S
emangat nasionalisme yang tinggi terbaca dalam
pemikiran dan perjuangan Amin Arjoso. Hal itu
terlihat dalam perjuangannya mengembalikan
spirit Proklamasi yang tercermin dalam keingin-
an kembali menegakkan UUD 1945 (asli). Amin Arjoso
menilai bahwa amandemen UUD 1945 sudah hampir
kebablasan. Sebenarnya Amin Arjoso tidak menolak
Amandemen an sich, tetapi menolak proses amandemen
yang kebablasan. Amandemen UUD 1945 yang kebablas-
an cenderung malah akan menciptakan krisis konstitusi.
Seperti jamak diketahui, pada tanggal 18 Agustus 1945
dalam sidang PPKI mengesahkan Undang-undang Dasar
yang kini terkenal dengan UUD 1945. Rumusan Dasar
Negara Pancasila yang tercantum dalam pembukaan
UUD 1945 adalah sah dan benar, karena disamping mem-
punyai kedudukan konstitusional juga disahkan oleh
suatu badan yang mewakili seluruh bangsa Indonesia
(PPKI) yang berarti disepakati oleh seluruh rakyat Indo-

Restorasi UUD 1945


109
nesia.
Hal itu berarti pilihan ideologis bangsa Indonesia yang
tertuang dalam deklarasi kemerdekaan kita (Pembukaan
UUD 1945) untuk mengusung tipe ideologi komuni-
tarianisme demokratik. Hal ini karena deklarasi kemer-
dekaan kita menekankan pada upaya untuk “memajukan
kesejahteraan umum”. Ini membedakannya dengan
deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang lebih
bersifat individualisme demokratik.[2]
Sejalan dengan itu, Amin Arjoso dalam buku ini me-
miliki semangat yang sama bahwa segi lain dari demo-
krasi yang dipraktekan di Eropa Barat adalah individual-
isme, prinsip kepentingan perorangan, sehingga
kepantingan orang peroranglah yang menetukan.
Dengan demikian, menurutnya, keputusan-keputusan
rapat diambil berdasarkan suara terbanyak, yaitu 50%
ditambah 1 saja sudah menjadi penentu, mengalahkan
yang 49% (suara yang 49% sama sekali tidak dihargai).
Dari sinilah bisa disimpulkan dengan tegas bahwa bukan
kebersamaan yang diutamakan tetapi kepentingan orang
perorangnya. Memang roh demokrasi barat adalah
individualisme sebagai rohnya kapitalisme, dilahirkan
imperialisme, mengejar keuntungan maksimal bagi modal
bukan keuntungan bagi kepentingan masyarakat.
Saat ini, banyak elite politik kita telah mengganti
semangat demokrasi, patriotisme, dan sosialisme dengan
semangat pragmatisme ala neoliberal, plutokrasi (kekua-
saan politik berdasarkan uang), bahkan kleptokrasi
(kekuasaan politik berdasarkan kemampuan mencuri
uang). Kehendak mulia para pendiri bangsa untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan turut menciptakan ketertiban
dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial
kian digantikan oleh histeria spekulasi keuangan global
kapitalistik.

110 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Alhasil, kita justru semakin jauh dari jiwa Pembukaan
UUD 1945. Hak-hak ekonomi rakyat malah diingkari oleh
sebagian besar elite politik dan ekonomi kita. Di antara
indikasi dari pengingkaran itu adalah dikeluarkannya
undang-undang yang memberangus kedaulatan rakyat
atas sumber daya ekonomi bangsa. Oleh karena itu, kita
perlu meletakan nasionalisme kembali kepada kerangka
sejarahnya, sehingga selalu berkaitan dengan perubahan
masyarakat, tidak dipandang sebagai sesuatu yang statis.
Nasionalisme yang berurat-akar pada sejarah masya-
rakat Indonesia yang juga sebagai ikhtiar untuk mencari
keberesan ekonomi dan keberesan politik. Ia sekaligus
adalah negasi atas neoliberalisme yang mengakibatkan
kesenjangan ekonomi masyarakat dan merusak pilar
gotong-royong dalam perekonomian nasional. Menurut
Bung Karno, konsep sosio-nasionalisme didefinisikan
olehnya sebagai upaya:”...memperbaiki keadaan-keadaan di
dalam masjarakat itu sehingga keadaan yang kini pintjang itu
mendjadi keadaan jang sempurna, tidak ada kaum jang tertindas,
tidak ada kaum jang tjilaka, tidak ada kaum jang papa-sengsara.
Oleh karenanja, maka sosio-nasionalisme adalah nasionalisme
Marhaen, dan menolak tiap tindak bordjuisme jang mendjadi
sebabnja kepintjangan masjarakat itu.”[3]
Dasar berjuang mendirikan nationale staat untuk me-
wujudkan apa yang kemudian oleh Pembukaan UUD
1945 disebut sebagai untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehi-
dupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial; di mana kesemuanya itu dicapai dalam
keadaaan merdeka. Yakni merdeka sebagai political inde-
pendence yang merupakan Jembatan Emas menuju
masyarakat adil dan makmur.
Berkaca dari cermin sejarah, maka tak ada keraguan
bahwa tiap-tiap pemerintahan yang didirikan di atas
Restorasi UUD 1945
111
Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, maka
tujuannya adalah untuk mewujudkan tujuan sebagai-
mana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 tersebut.
Kita harus menempatkan kembali UUD 1945 di dalam
konteks sejarahnya. Berarti, kita harus memperhatikan
perkembangan masyarakat kita dan juga tuntutan dihari
depan. Proses demokratisasi itu tidak bisa dihindari lagi,
itu adalah bagian dari tuntutan konstitusi kita untuk
mencerdaskan bangsa. Dan dalam pelaksanaan kedau-
latan rakyat. Kita harus berdialog dengan landasan, untuk
apa negara kita dirikan dan dengan melihat sistem dan
perbuatan politik kita sekarang ini, apakah sudah sesuai
belum dengan konstitusi kita.

Kaum Muda Menyoal UUD 1945


Dalam lansekap global kini, Indonesia tengah dike-
pung oleh tiga jenis krisis sekaligus, yakni krisis pangan,
krisis energi, dan krisis finansial global. Sampai hari ini
kapitalisme belum sampai pada tingkat zusammenbruch
atau keruntuhan. Sekarang, harus dikembangkan oleh
kaum muda Indonesia adalah oposisi terhadap cara
berpikir dan paradigma pembangunan yang mengandal-
kan pada spekulasi dan transasksi finansial. Apapun
rejim pemerintahannya, haruslah dikritik jika bersandar
pada perekonomian judi yang tidak sesuai dengan visi
ideologi nasional. Visi kedaulatan Nasional yang tak bisa
dikangkangi oleh penjajah-penjajah dalam bentuk dan
rupa yang baru.
Kedaulatan inilah yang merupakan sebuah ungkapan
hak kita menentukan nasib sendiri berdasarkan kepen-
tingan-kepentingan Nasional kita yang tidak bertentang-
an nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya. Ini sudah
sangat jelas diungkap dalam Mukadimah UUD 1945
yang menyuruh kita untuk ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, bukan berdasarkan Pax Britanica

112 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
(ketertiban berdasarkan hegemoni Inggris) sebagaimana
era kolonialisme klasik, ataupun Pax Americana (keter-
tiban berdasarkan hegemoni Amerika Serikat) sebagai-
mana era akhir Abad ke 20 atau awal Abad ke 21 ini.
Saya mempercayai bahwa tenaga pendorong yang
memungkinkan kita pernah menjadi bangsa pelopor di
masa lampau adalah karena nasionalisme yang menjadi
tenaga penggeraknya adalah nasionalisme yang berbasis
kerakyatan. Inilah nasionalisme yang akan menghantar-
kan kita pada kedaulatan itu. Di lain pihak, saya juga
percaya bahwa kita akan merosot menjadi bangsa pariah
dan berserakan dalam pentas dunia, jika kita men-
gkhianati nasionalisme kerakyatan ini.
Menurut Taufik Abdullah, kalau kita memahami UUD
1945 dalam sudut historis, bisa diumpamakan seperti
rumput yang diletakan di mulut kuda, kuda akan selalu
mengejar rumput itu, tetapi rumput pun akan ikut lari
dengan kuda itu. Jadi apa pun yang akan kita lakukan
akan selalu bersamaan dengan tujuan normatif kita itu.
Kuda ingin memakan rumput, nah itulah cita-cita kita
yang dulu dibuat oleh Bung Karno dulu bisa kita umpa-
makan sebagai rumput, dan kita sekarang ini menjadi
kudanya, kita akan kejar terus rumput itu. Jadi, kita perlu
pemahaman baru terhadap tuntutan nasionalisme kita.
Dan pemahaman baru itu masuk dalam wilayah perde-
batan, karena setiap jaman memerlukan pemahaman
terhadap nasionalisme. Sampai saat ini, ideologi nasional-
isme yang ada dalam UUD 1945 sampai sekarang dan
sampai 10-20 tahun ke depan masih sangat relevan.[4]
Pada mulanya, dokumen UUD 1945 terdiri dari Pem-
bukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Amandemen
menghasilkan Pembukaan tetap, Batang Tubuh berubah
di sana-sini, dan Penjelasan ditiadakan. Proses Amande-
men ini sendiri mencakup 4 (empat) tahap perubahan,
pertama (1999); kedua (2000); ketiga (2001); dan keempat
(2002). Dari sekian banyak materi ketentuan dirumuskan
Restorasi UUD 1945
113
dalam naskah konsolidasi (consolidated text) UUD, ada
beberapa materi masih asli, namun sebagian besar telah
berubah secara mendasar jika dibandingkan naskah
aslinya.
UUD1945 memang memuat banyak sekali semangat
proklamasi yang harus dilaksanakan dengan taat. Akan
tetapi, UUD 1945 juga tidak luput dari kesalahan. Bebera-
pa pasal yang mengatur pemerintahan justru membuka
peluang cita-cita proklamasi itu tidak tercapai. Seperti
misalnya ada hal yang memungkinkan presiden untuk
dipilih lagi seumur hidup, karena Presiden tidak dipilih
langsung oleh rakyat, tapi oleh MPR.
Akan tetapi, apa yang terasa bila sesering apapun UUD
1945 di amandemen namun amanah Pembukaan UUD
1945 hingga sekarang saja belum terlaksana. Jika menatap
Venezuela, terutama rakyat pekerja dan kaum miskin-
nya, sangat mencintai UUD mereka yang baru. Sebab
merekalah yang membuat UUD itu. UUD itu dibuat
bukan di dalam gedung-gedung parlemen yang mewah
dan kantuk cepat datang tiba-tba, tapi melalui referen-
dum, pemungutan pendapat rakyat secara Nasional.
Dengan demikian, menurut Nurani Soyomukti, konsti-
tusi Venezuela sangatlah berpihak pada orang miskin
dan rakyat pekerja pada umumnya. 50% isi dari konstitusi
ditulis sendiri oleh rakyat-lewat surat-surat dan jajak
pendapat mengenai apa yang dibutuhkan rakyat. Konsti-
tusi ini memenangkan 70% suara dalam referendum,
mencakup hak-hak dasar demokratik, sosial dan hak-hak
azasi manusia lainnya yang sangat luas diatas batas-batas
demokrasi parlementer yang dangkal. Konstitusi
Republik Bolivarian Venezuela adalah konstitusi hasil
perubahan Venezuela hingga sekarang. Konstitusi ini
disusun pada tahun 1999 oleh majelis konstitusional yang
dipilih melalui referendum rakyat. Konstitusi 1999 ini
diadopsi pada bulan Desember 1999, menggantikan
Konstitusi tahun 1961-yang telah menjadi, dari 26

114 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
konstitusi yang digunakan
Venezuela sejak merdeka pada tahun 1811, dokumen
yang dipaksakan dalam waktu yang paling lama.
Konstitusi tersebut lahir dari demokrasi rakyat, dan
bukan dari diskusi elit atau tokoh. Konstitusi 1999 ini
merupakan konstitusi pertama yang dibuat dan disetujui
melalui referendum rakyat (popular referendum) dalam
sejarah Venezuela, dan secara ringkas menandai apa
yang dinamakan sebagai “Republik Kelima” Venezuela
agar perubahan sosial ekonomi digariskan dan ditekan-
kan dalam tiap-tiap halamannya, sebagaimana perubahan
resmi terjadi di Venezuela dari Republik Venezuela (Re-
publica de Venezuela) menjadi Republik Bolivarian Ven-
ezuela (Republica Bolivariana de Venezuela). [5]
Perubahan utama dibuat dalam struktur pemerintahan
dan pertanggungjawaban Venezuela, sedangkan banyak
hak-hak asasi manusia diabadikan dalam dokumen yang
dimaksudkan sebagai jaminan bagi rakyat Venezuela-
yang mencakup pendidikan bebas hingga tingkat ketiga
(tertiary level), pelayanan kesehatan gratis, akses
terhadap lingkungan bersih, hak-hak minoritas (terutama
masyarakat pribumi, indiginous people) untuk
menegakkan budaya, agama, dan bahasa serta tradisi
mereka sendiri di antara kebudayaan lainnya.
Konstitusi Venezuela 1999 yang berjumlah 350 ayat
adalah yang paling panjang, lengkap, dan komprehensif.
Kebijakan yang berawal dari penentangan terhadap
penindasan neoliberalisme tentu saja merupakan anti-
tesis yang tepat darinya. Neoliberalisme bertahan dengan
segelintir elit yang berusaha mengeruk kepentingan
pribadi dengan menjalankan ekonomi yang dikendalikan
oleh keputusan sedikit orang (oligarki) dan mengorban-
kan rakyat mayoritas. Sumber-sumber ekonomi dikuasai
oleh kaum modal, rakyat dianggap tidak memiliki dan
hanya bekerja untuk kepentingan pemilik modal yang
menjalankan kegiatan produksinya. Maka, upaya untuk
Restorasi UUD 1945
115
merebut hak-hak segelintir elit dan mengembalikannya
pada mayoritas rakyat membawa dampak yang luas
dalam hal perasaan solidaritas untuk berproduksi secara
bersama dan hasilnya dinikmati bersama.[6]
Memang, Indonesia bukan Venezuela, tetapi neolibe-
ralisme bukan cuma memperparah kesenjangan berdasar
kelas antara para pebisnis besar dengan kalangan buruh,
tani, dan kalangan pengusaha kecil. Di sejumlah negeri
Amerika Latin yang ditandai dengan banyaknya masya-
rakat suku Indian, segregasi itu juga berkait dengan
pembagian masyarakat berdasar etnis. Kemakmuran
para imigran Spanyol yang tinggal di dataran rendah
sangat kontras dengan kaum Indian dan mestizo
(campuran) yang banyak tinggal di dataran tinggi (alti-
plano). Maka, gerakan ekonomi kita harus dibarengi
dengan keberanian politik yang bertumpu pada kedau-
latan nasional. Dengan menuju bangsa yang berdaulat,
kuat dan mandiri.
Karenanya, kita harus mengacu kepada rumusan akhir
dari nasionalisme kita. Karena nasionalisme Indonesia,
memang sejak dulu selalu menjadi perdebatan, misalnya
ada nasionalisme Jawa, Minangkabau, itu ada sejak dulu.
Tetapi akhirnya kita menemukan suatu rumusan yang
dipakai di dalam Pembukaan UUD 1945. Pada Pem-
bukaan UUD 1945 dikatakan, bahwa kemerdekaan ada-
lah hak segala bangsa, oleh karena itu kita berkeinginan
untuk merdeka. Yang kedua, dikatakan maka sampailah
perjuangan Indonesia ke depan pintu gerbang kemer-
dekaan atas berkat rahmat Illahi.
Dalam bagian lain konstitusi kita juga dikatakan, untuk
apa kita mendirikan negara. Untuk mempertahankan
bangsa dan tanah Indonesia dan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan untuk ikut serta dalam ketertiban dunia yang
berdasarkan keadilan sosial. Ini adalah nasionalisme kita.
Keempat-empatnya ini bersifat historis, setiap zaman

116 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
akan mengalami perubahan.
Di sinilah kaum muda ditantang untuk cerdas dalam
kerangka pertarungan pemikiran dan juga penguasaan
atas teknologi dalam kerangka membangun peradaban.
Konstribusi yang positif hanya akan memilikibobot
ketika visi ideologi nasional Pancasila, bia dielaborasi
lebih lanjut dalam dataran yang lebih operasional dan
modern. Saat ini, Ada tiga hal yang justru berada dalam
bahaya. Bangsa adalah status yang hanya bisa ada setelah
(dialektika) sejarah (masyarakat) dan mesti ada sebelum
negara politik berdiri. Dengan begitu, nasionalisme
adalah ide yang telah menuntun agar bangsa melahirkan
negara dan negara pada gilirannya hendak melindungi
serta mensejahterakan segenap elemen bangsa.
Namun begitu, persoalan tidak bisa kita hentikan
begitu saja di sini. Pada gilirannya, konsep kebersamaan
manusia sebangsa dan kesatuan bangsa dengan negara
dalam kawalan nasionalisme lantas juga menuntut
berlakunya praktik-praktik demokratis dalam penye-
lenggaraan ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi ini me-
rupakan organisasi bagi kegiatan produksi dan konsumsi
kebutuhan barang dan jasa sebagai alas material
kehidupan bersama (shared life). Dengan begitu, orang-
orang ini hendak diyakinkan bahwa hidup bersama
dalam satu negara-bangsa akan menggenapi janji bahagia
material dan spiritual. Pada urusan inilah yang Bung
Karno sebut dengan Indonesia Merdeka sebagai jembatan
emas menuju keadilan sosial dan kemakmuran!
Semangat yang sama juga terdapat dalam percikan
pemikiran Amin Arjoso dalam buku ini. Bahwa pilar-
pilar sejarah penyangga republik ini harus ditegakkan
kembali. Hal itu harus menjadi pemahaman kolektif kita
bersama bahwa perlu kembali membangun semangat
republiken dan patriotik untuk mengawal cita-cita para
founding fathers. Tentunya dengan kembali melibatkan
Pancasila sebagai ideologi bangsa. Ini adalah urusan
Restorasi UUD 1945
117
ideologis untuk sebuah kekuatan yang akan menjadi
entitas pembentuk pemerintah negara Indonesia
sekaligus sebagai jawaban atas gagalnya para pemimpin
melakukan amanat Alinea ke IV Pembukaan UUD 1045
yaitu: “Untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.”

[1] Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan


[2] Budiman Sudjatmiko,”Sosialisme, Jiwa Konstitusi Kita,” Kompas,
Kamis, 5 Maret 2009
[3] Ir. Sukarno, Demokrasi-Politik dan Demokrasi-Ekonomi , Di Bawah
Bendera Revolusi (Djilid Pertama Tjetakan keempat, 1965) h. 175
[4] Wawancara, Majalah Tempo, Edisi 25/02 – 21 Agustus 1997
[5] Nurani Soyomukti, “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan
Politik Radikal,” diunduh pada 8 Juni 2010 dalam http://
amerikalatin.blogspot.com .
[6] Ibid, selain ini, mengenai Amerika Latin dapat juga di lihat
dalam Budiman Sudjatmiko, “Jalan Keadilan di Amerika Latin,”
Kompas, 18 Desember 2006

118 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Bahkan setelah tidak lagi duduk di DPR/MPR RI, H. Amin Arjoso, SH tetap
semangat menggalang dukungan bagi penolakan terhadap amandemen
UUD 1945, serta menggalang gerakan kembali ke UUD 1945 (asli).

119
Aktif memperjuangkan kembalinya UUD 1945, baik melalui
penggalangan dukungan dari para anggota DPR-MPR RI periode 2004-
2009, hingga berbicara di forum-forum diskusi.

120 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Rekam Jejak
Perubahan UUD 1945

P
erubahan UUD 1945 telah berlangsung. Praktik
ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam
perubahan konstitusi kita telah berjalan. Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) sudah dihapus.
MPR pun bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara.
Garis-garis besar haluan negara tidak lagi menjadi pe-
doman pembangunan nasional. Semua ini konsekuensi
dari perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR
tahun 1999-2002.
Di tengah masyarakat, baik dalam tata kehidupan
berbangsa, bernegara dan berpemerintahan atas nama
demokrasi yang berhasil mengubah UUD 1945; tampak
jelas tidak selaras dengan cita-cita proklamasi sebagai-
mana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Indi-
kasinya, sejak perubahan UUD 1945 stabilitas prosedural
(konsistensi menjalankan perundang-undangan) tidak
berjalan, sebaliknya terjadi bongkar pasang undang-un-
dang dalam waktu relatif singkat dan sangat membi-

Rekam Jejak
Perubahan UUD 1945
121
ngungkan masyarakat. Selain itu, konsolidasi demokrasi,
yaitu terselenggaranya pemerintahan yang stabil untuk
mewujudkan keadilan dan kesdejahteraan rakyat
semakin jauh. Berbanding lurus dengan perkara tersebut,
terjadi konflik kepentingan antara lembaga negara.
Niscaya, baik dari tataran substansi perubahan UUD
1945, prosedur perubahan yang dijalankan, serta impli-
kasinya dalam kehidupan kenegaraan dan kemasya-
rakatan –sistem ketatanegaraan kita derwasa ini, meng-
alami apa yang disebut krisis konstitusi ketatanegaraan.
Lantaran itu, Amin Arjoso dan kawan-kawan seperjuang-
an terus berjuang menegakan sistem konstitusi
proklamasi.
Memang, dalam setiap langkah perjuangan untuk
menegakan UUD 1945 banyak rintangan. Bahkan sejak
Amin Arjoso berada dalam pusaran perubahan konstitusi
di MPR 11 tahun lalu –dalam kapasitasnya sebagai wakil
ketua PAH III, ganjalan untuk menyelamatkan konstitusi
proklamasi demikan kuat dan besar– bagaikan gelom-
bang tsunami. Akan tetapi sebagai seorang aktivis dan
pejuang sosok Amin Arjoso tidak berhenti dan letih untuk
menegakkan UUD 1945.
Bagiamana proses perubahan konstitusi proklamasi
berjalan –yang semula dijadwalkan menggunakan pende-
katan addendum (tambahan dalam satu lampiran), itu
sebabnya Amin Arjoso berkenan menjadi wakil ketua
PAH III dan menyetujui perubahan UUD 1945. Namun,
begitu agenda perubahan berhasil dimasukan dalam
sidang-sidang MPR –kesepakatan awal fraksi-fraksi MPR
segera diabaikan.
Peta politik pun segera berubah, MPR dikepung de-
ngan pelbagai opini, tuntutan, demonstrasi yang semua-
nya mengarah pada perubahan UUD 1945 secara menye-
luruh, itu sebabnya MPR sampai empat kali melakukan
perubahan. Padahal opini dan tuntutan yang berlangsung

122 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
hanya aspirasi elit politik dan tokoh masyarakat tertentu
yang kecil jumlahnya, namun menguasai akses komuni-
kasi (media massa) dan dukungan logistik memadai dari
donasi internasional yang berafiliasi dengan kekuatan
neo-liberal.
Dalam kepungan arus informasi yang didukung ke-
kuatan neo-liberal, Amin Arjoso dan kawan-kawan terus
menepis dan berjuang tak kenal lelah menjernihkan hal-
ihwal menegani perubahan UUD 1945 yang bukan saja
kebablasan, tapi juga melanggar pelbagai aturan. Untuk
itu, Amin Arjoso dituduh konservatif dan hendak me-
mutar jarum sejarah, yaitu mengembalikan UUD 1945
yang otoriter.
Demikian, cara-cara agen dan antek neo-liberal ber-
argumentasi seraya memfitnah setiap potensi yang anti
terhadap ideologi sekuler dan materialistik yang di-
usungnya. Agen dan antek-antek neoliberal dengan suka
cita menjual negeri dan bangsa ini untuk kepentingan
asing dengan dalil “demokrasi dan HAM”.
Naifnya lagi, mereka sok tahu, sok pintar merasa pa-
ling tahu mengenai konstitusi. Sementara membedakan
konstitusi yang masuk dalam lingkup hukum tata negara
dan praktik kekuaan yang masuk dalam lingkup hukum
tata usaha negara –sama sekali tidak tahu dan dicampur
aduk begitu saja.
Tak satu pun dari mereka, agen-agen neoliberal, baik
yang bergerak di bidang partikelir (swasta), akademisi
dan ilmuan sungguh-sungguh menelaah UUD 1945 seca-
ra saksama, cermat dan komprehensif –sehingga mene-
mukan suatu formula teori tentang prosedur yang tepat
dan memadai untuk mengubah UUD 1945 yang diperin-
tah pasal 37 itu. Mereka hanya beropini gaya pokrol bam-
bu, bahwa UUD 1945 sangat singkat, supel, multi tafsir
dan otoriter.
Satu-satunya tokoh yang telah dan berhasil melakukan

Rekam Jejak
Perubahan UUD 1945
123
studi mendalam dan menemukan formulasi teori me-
ngenai prosedur perubahan UUD 1945 adalah Sri Soe-
mantri –pendiri Gerakan Mahasiswa Nasional Inbdonesia
(GMNI) yang tentunya tidak tergolong dalam agen neo-
liberal. Dalam telaah yang dituangkan dalam desrtasinya
tahun 1978, ia menemukan suatu teori yang disebut seba-
gai sidang khusus untuk mengubah UUD 1945 sebagai-
mana diamanatkan dalam pasal 37.
Artinya perubahan UUD 1945 yang diserahkan kepada
MPR dengan ketentuan kourum harus dilakukan dalam
sidang yang hanya khusus membahas perubahan
undang-undang dasar. Untuk sampai kearah sana, dalam
pengembangan teorinya lebih lanjut, pakar hukum tata
negara ini menyaratkan perlunya suatu grand desain,
yaitu untuk apa kita melakukan perubahan dan pasal
serta ayat apa saja yang akan diubah. Hal ini harus dila-
kukan lebih awal dan cermat oleh suatu komisi negara
—sebelum melangkah kearah perubahan yang kan
ditetapkan MPR.
Kerangka terori yang telah dituangkan Sri Soemantri
oleh Amin Arjoso kemudian dijadikan landasan untuk
menelaah kembali perubahan UUD 1945. Untuk itu, ber-
sama-sama dengan kelompok alumni HMI dan potensi
kebangsaa lainnya, Amin Arjoso menyelengarakan dis-
kusi-diskusi dan seminar yang intensif. Setelah itu telah
dibentuk pula satu tim di bawah prakarsanya untuk me-
nelusuri proses dan prosedur perubahan UUD 1945
sebagaimana yang terekam dalam risalah perubahan
UUD 1945.
Dalam studi pendahuluannya, tim bekerja meneliti
risalah perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada
Sidang Umum MPR tahun 1999. Ada pun materi yang
ditelusuri meliputi: Rapat ke-1 BP MPR RI (6 Oktober
1999), Rapat ke-2 BP MPR RI (6 Oktober 1999), Rapat ke-
3 BP MPR RI (14 Oktober 1999), Rapat Paripurna ke-7
Sidang Umum MPR RI (14 Oktober 1999), Rapat Sidang

124 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Paripurna ke-12 Sidang Umum MPR RI (19 Oktober 1999),
Rapat Paripurna ke-12 (lanjutyan) Sidamng Umum MPR
RI (19 Oktober 1999).
Dari telaah itu ternyata perubahan UUD 1945 tidak
dilakukan dalam sidang khusus, melainkan bersamaan
dengan materi sidang pembuatan Tap MPR. Perhatikan
agenda Rapat ke-3 BP MPR RI (14 Oktober 1999):
1. Rancangan Perubahan atas ketetapan MPR No. VII/
MPR/1973 tentang keadaan Presiden dan/atau Wakil
Presiden Republik Indonesia berhalangan
2. Rancangan perubahan atau pencabutan atas ketetapan
MPR no. III/MPR/ 1978 tentang kedudukan dan
hubungan tata kerja lembaga tertinggi negara dengan
/atau antar lembaga-lembaga tinggi negara.
3. Rancangan pencabutan atau perubahan atas ketetapan
MPR no.III/MPR/1988 tentang pemilihan umum.
4. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tentang pencabutan TAP MPRS Nomor XX/
MPRS/1966 tentang memorandum DPR GR mengenai
sumber tertib hukum RI tata urutan peraturan
perundangan RI.
5. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tentang Tata Cara Pertanggung Jawaban
Presiden.
6. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tentang Peran TNI dalam Kehidupan
Kenegaraan
7. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tentang Pembaharuan Hukum Agraria.
8. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tentang Rekonsiliasi Nasional
9. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tentang KKN

Rekam Jejak
Perubahan UUD 1945
125
10. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rak-
yat tentang Narkoba
11. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rak-
yat tentang Hutang Luar Negeri dan Peran IMF
dihubungkan dengan prosedur pembuatan perjanjian
dengan luar negeri.
Ini berarti, perubahan undang-undang dasar yang
diletakan setara dengan undang-undang dasar prosesnya
berjalan sebagaimana mertumuskan dan menetapkan
Tap MPR yang kedudukannya di bawah undang-undang
dasar. Dalam pada itu, merujuk terori Sri Sumantri
mengenai sidang khusus untuk mengubah UUD 1945,
maka proses perubahan yang demikian, tidak sah.
Menindak lanjuti temuan tersebut, diselenggarakan
Seminasr Nasional “Tinjauan yuridis Terhadap
Perubahan UUD 1845 (Kerarah Perumusan Addendum)
pada 11 Nopember 2009 di Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya, adapun hasilnya sebagai berikut:

Memorandum
Kembali ke UUD 1945 Dengan Addendum
Bahwa sesungguhnya Perubahan UUD 1945 meru-
pakan amanat konstitusional sebagaimana termaktub
dalam Pasal 37. Perintah perubahan tersebut merupakan
kebijakan politik (ketatanegaraan) yang kewenangannya
diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia. (MPR RI).
Meski MPR RI diberi kewenangan mengubah dan
menetapkan undang-undang dasar, bukan berarti dalam
pelaksanaan tugas konstitusional tersebut —dapat
dilakukan dengan mengabaikan segala bentuk peraturan
(tata hukum) nasional yang meliputi kegiatan
(kewenangan) MPR RI, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR

126 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
dan DPRD No. 4 Tahun 1999 dan Tata Tertib MPR RI
Tahun 1998--2002. Selain itu, pasal-pasal dan ayat-ayat
perubahan yang ditetapkan tidak boleh bertentangan
dengan Pembukaan UUD 1945. Untuk itu, mengubah
undang-undang dasar memerlukan grand desain
terpadu.
Nayatanya, dari hasil penelitian Panitia Pengarah
Seminar Nasional Mengkritisi Perubahan UUD 1945 dan
pembahasan ilmiah oleh beberapa narasumber yang
dilaksanakan di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya pada 11 Nopember 2009, menunjukkan :
1. Ada kesalahan prosedur, yaitu: dalam mengubah UUD
1945 MPR RI melanggar Undang-undang No. 4 Tahun
1999 dan Tata Tertib MPR RI Tahun 1998-2002;
2. Materi perubahan UUD 1945 sebagaimana tertuang
dalam Pasal-pasal dan ayat-ayat perubahan
bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945.
Maka, wajar perubahan UUD 1945 masih mengundang
polemik.
Seyogianya, UUD 1945 dengan perubahannya harus
diterima secara bulat oleh seluruh rakyat Indonesia dari
Sabang sampai Merauke. Namun, qua realitas perubahan
UUD 1945 masih mengundang polemik sampai hari ini.
Sementara, sasaran dari perubahan UUD 1945 antara lain
mendorong proses demokratisasi dalam format asas
keseimbangan antar lembaga negara.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya tidak kurang dari
11 (sebelas) lembaga negara dan alat kelengkapan
lembaga negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945
hasil perubahan mengalami konflik kepentingan, seperti:
Mahkamah Agung vs Komisi Yudisial; Komisi Pemilihan
Umum vs Mahkamah Konstitusi, Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung vs Komisi
Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan vs

127
Bank Indonesia dan Menteri Keuangan, Mahkamah
Agung vs Departemen Pendidikan Nasional. Fenomena
ini menunjukan asas keseimbangan sebagaimana
dimaksud dalam perubahan UUD 1945 tidak tercapai.
Demikian, konflik-konflik tersebut membahayakan
kelangsungan kehidupan kenegaraan kita.
Pada bagian lain, proses demokratisasi belakangan ini
semakin menjauhkan kita dari sistem hukum, budaya,
politik dan ekonomi yang berlandasarkan Pancasila.
Tampak, terang benderang proses demokrastisasi yang
mendapat legitimasi konstitusi sebagaimana diatur da-
lam amandemen UUD 1945, merupakan usaha liberali-
sasi-liberalisme dalam kehidupan kenegaraan kita. Hal
ini jelas bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945.
Ketika Pasal-pasal dan ayat-ayat perubahan UUD 1945
bertentangan dengan Pembukaan dan pada pelaksanan-
nya, antara lain: melahirkan konflik kepentingan antar
lembaga negara dan alat kelengkapan lembaga negara
yang ada; sementara kepastian hukum dan keadilan tidak
berpihak kepada rakyat sebagaimana dijamin oleh kons-
titusi —yang demikian menunjukan gejala krisis konsti-
tusional sekaligus membahayakan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Untuk mengakhiri hal tersebut, diperlukan upaya
alternatif di lapangan ketatanegaraan, yaitu :
1. Melakukan addendum terhadap UUD 1945
sebagaimana ditetapkan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. (PPKI), tanggal 18 Agustus
1945 -yang diberlakukan kembali melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 seperti tercantum dalam Lembaran
Negara No. 75 Tahun 1959;
2. Sebelum UUD 1945 dengan addendumnya ditetapkan
MPR RI dan didaftarkan pada. Lembaran Negara,
sistem ketatanegaraan yang berlaku masih mengikuti
aturan sebagaimana termaktub dalam Perubahan

128 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 yang
dilakukan MPR RI pada tahun 1999-2002;
3. Setelah UUD 1945 dengan addendum ditetapkan MPR
RI dan didaftarkan pada Lembaran Negara, maka
Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga. dan Keempat UUD
1945 dicabut (dinyatakan) tidak berlaku lagi;
4. Melalui cara ini kita telah kembali ke UUD 1945 dengan
addendum; dan berarti kita telah dan sedang mene-
gakkan prinsip-prinsip ketatanegaraan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang fundamental dengan
tidak mengabaikan perkembangan zaman.
5. Proses perumusan addendum tidak boleh melanggar
prosedur (tata hukum) yang berlaku; sedangkan materi
(pasal-pasal dan ayat-ayat) yang akan dilampirkan
(tambahan) dalam UUD 1945 tidak boleh bertentangan
dengan Pembukaan, hal ini semata-mata dilakukan
untuk dan demi kepentingan nasional;
6. Addendum UUD 1945 merupakan spirit dan etos
konstitusionalisme sebagai koreksi-konstruktif ter-
hadap Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keem-
pat UUD 1945 yang telah melahirkan krisis konstitusi
ketatanegaraan – lantaran menyalahi prosedur dan
bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945.
Demikian memorandum ini kami maklumkan ke
segenap penjuru tanah air sebagai pertanggung jawaban
politik-kebangsaan kami di tengah krisis konstitusi
ketatanegaraan dewasa ini.

Rekam Jejak
Perubahan UUD 1945
129
Spanduk
“menolak
UUD 2002”,
istilah lain
untuk hasil
amandemen
UUD 1945.

H. Amin
Arjoso, SH
pencetus
istilah “UUD
2002” untuk
membedakan
dengan UUD
1945 yang
asli.

130 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
FORUM PERJUANGAN
PELURUSAN UUD 1945

SERUAN:
I. MENGAPA KITA MENOLAK AMANDEMEN UUD
1945 YANG KEBABLASAN, KARENA BERTEN-
TANGAN DENGAN CITA-CITA PROKLAMASI 17
AGTUSTUS 1945 YANG MENUJU KE INDIVI-
DUALISME, LIBERALISME, KAPITALISME, DAN
NEOIMPERIALISME. KARENA ITU:
1. Kembali ke UUD 1945 untuk menegakkan kedaulat-
an negara dan keutuhan teritorial (suvernity integrity
dan teritorial integrity).
2. Amandemen kabablasan mengakibatkan penjajahan
baru dengan melumpuhkan ekonomi nasional.
3. Menimbulkan krisis konstitusi karena locus kedau-
latan rakyat, siapa yang mewakili kedaulatan rakyat
tidak lagi jelas, karena MPR tidak lagi sepenuhnya
mewakili rakyat.
4. Prinsip semua dipilih tidak sama dengan semua
yang diwakili, sehingga Utusan Daerah dan Utusan
Golongan semena-mena dihapus. Ini menyalahi de-
mokrasi Indonesia yang berdasarkan sosio nasional-
isme dan sosio demokrasi khas Indonesia, dengan
demikian menghapus sejarah bangsa Indonesia.

II. PROSES AMANDEMEN UUD 1945 YANG KE-


BABLASAN DENGAN DALIH REFORMASI
DIDALANGI OLEH PIHAK ASING
Tidaklah perlu diragukan lagi bahwa pihak asing be-
kerja sama dengan MPR pada tahun 1999-2004 melalui
tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok politik tertentu di

Forum Perjuangan
Pelurusan UUD 1945
131
Indonesia, secara nyata mengadakan amandemen UUD
1945 yang menyeleweng dari cita-cita Proklamasi dan
menuju: INDIVIDUALISME, LIBERALISME, KAPITAL-
ISME, DAN NEOIMPERIALISME, yang menguntungkan
pihak asing dan kaki tangannya yang berbangsa Indone-
sia dan mengorbankan kepentingan Negara, Bangsa, dan
Rakyat Indonesia sendiri.
Contoh-contoh dan bukti-bukti adalah sebagai berikut:
1. Penjelasan UUD 1945 dihapus
2. MPR tidak lagi berfungsi sebagai lembaga tertinggi
Negara kedaulatan rakyat dengan dihapuskannya
GBHN.
3. Dihapusnya perwakilan dari unsur-unsur golongan
dan utusan daerah, pemilihan presiden dan wakil
presiden oleh MPR, dan Presiden selaku mandataris
MPR dicabut.
4. Dihapusnya Penjelasan pasal 33 UUD 1945 dan
penambahan ayat-ayat tambahan.
5. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung,
membuka peranan orang-orang dan kelompok-
kelompok bermodal dalam pemilu.

III. SERUAN PERJUANGAN UNTUK BANGSA DAN


RAKYAT INDONESIA
Marilah kita camkan pesan Bapak Pendiri Bangsa ten-
tang TRISAKTI yaitu: terwujudnya kehidupan bernegara
yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang
ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Untuk mencegah perkembangn situasi menjadi per-
pecahan bangsa yang mengarah pada terjadinya perten-
tangan di Indonesia, kami mendesak kepada seluruh
Bangsa dan Rakyat Indonesia serta para Wakil Rakyat di
MPR untuk mengerahkan segala bentuk jiwa juang dan

132 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
segenap tenaga kembali ke Pancasila dan UUD 1945.
Jakarta, 5 Juli 2005

Forum Perjuangan Pelurusan UUD 1945


1. Ali Sadikin 5. Sutrisno
2. H. Amin Arjoso 6. Chris Siner Key Timu
3. Sri-Edi Swasono 7. Sadjarwo Sukardiman
4. M. Achadi 8. Alfian Husin

LAMPIRAN SERUAN FPP UUD 1945

Fakta Sejarah dan Proses


Amandemen UUD ‘45 yang
Kebablasan

PENGALAMAN SERTA FAKTA SEJARAH


PERJUANGAN BANGSA INDONESIA
Khususnya semenjak Proklamasi 17-8-1945 dengan
UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila bangsa Indonesia
selalu menghadapi tantangan-tantangan secara terbuka
dan terselubung dari pihak-pihak asing bekas penjajah
untuk merobohkan Indonesia Merdeka dengan UUD 1945
dan Pancasila, karena ingin menguasai Indonesia kem-
bali. Beberapa bukti sejarah antara lain:

1. Dikeluarkannya Maklumat X bulan November 1945,


yang mengesahkan berdirinya sistem multi partai dan
sistem kabinet parlementer yang dipimpin Perdana
Menteri. Hal ini adalah cara untuk memotong kepe-
mimpinan Presiden/Proklamator digantikan oleh

Forum Perjuangan
Pelurusan UUD 1945
133
Perdana Menteri sehingga memberikan kesempatan
pihak asing tersebut untuk berperan di bidang Politik,
Ekonomi, dan Sosial Budaya.
2. Operasi-operasi militer pihak asing/Belanda untuk
menguasai NKRI proklamasi 17-8-1945 dengan mem-
bentuk negara-negara boneka antara lain; NIT (Negara
Indonesia Timur), Negara Pasundan, Negara Sumatera
Timur, Negara Jawa Timur, Negara Madura, dan seba-
gainya dengan membentuk pemerintahan federal
B.F.O. (Bijeenkomst Federale Overleg).
3. Dengan menduduki Ibukota RI di Yogyakarta bulan
Desember 1949, serta menangkap dan menahan Presi-
den, Wakil-Presiden dan Menteri-Menteri NKRI serta
dibawa dan ditahan di Prapat dan Bangka (Sumatera),
mengharapkan NKRI proklamasi 17-8-1945 bisa bubar
dan digantikan dengan pemerintahan Indonesia bone-
ka pemerintah asing Belanda. Rencana tersebut gagal
total karena perang gerilya dari rakyat dengan TNI dan
laskar-laskar perjuangan bersenjata terus-menerus
bergerak, serta Perserikatan Banga Bangsa (PBB) lewat
komisi tiga negara menyalahkan Belanda dan diseleng-
garakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk
mencari penyelesaian.
4. KMB menghasilkan pembentukan Republik Indone-
sia Serikat (RIS bukan NKRI), terdiri atas Republik In-
donesia 17-8-1945 beserta negara-negara boneka pihak
asing antara lain: NIT (Negara Indonesia Timur), Nega-
ra Pasundan, Negara Sumatera Timur, Negara Jawa
Timur, Negara Madura, dan sebagainya. Setelah peng-
akuan Kemerdekaan Indonesia oleh PBB (hasil dari
KMB), serta ditariknya semua pasukan Belanda dari
Indonesia terjadilah pergolakan dan perjuangan rakyat
menolak Republik Indonesia Serikat/RIS untuk kem-
bali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia Prokla-
masi 17 Agustus 1945 dengan UUDS 1950.

134 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
5. Pihak-pihak asing terus merongrong pemerintahan
NKRI dengan berbagai bentuk; baik secara terbuka
maupun terselubung, antara lain; pemberontakan
KNIL di Makasar, disusul di Ambon dengan mendiri-
kan RMS (Republik Maluku Selatan), pemberontakan
APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), yang kemudian
bergabung dengan DI (Darul Islam) di Jawa Barat,
usaha-usaha pembunuhan (assasination) kepada Pre-
siden NKRI Sukarno: Peristiwa Cikini, peristiwa Idul
Adha, peristiwa Cendrawasih di Makasar, peristiwa
penembakan dengan pesawat terbang ke Istana Mer-
deka dan peristiwa percobaan pembunuhan lainnya.
Pemberontakan PRRI/PERMESTA (Perjuangan
Semesta) di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara yang
didukung oleh Amerika Serikat.
Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh IGGI, CGI,
World Bank, IMF, dll.
Kesimpulan dari 1 - 5 di atas adalah pihak asing bekas
penjajah ingin merobohkan NKRI 17-8-1945 yang ber-
dasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan menggantikan
pemerintahan yang sesuai dengan keinginan dan ke-
pentingan mereka (pihak asing).

PROSES AMANDEMEN UUD 1945 YANG


KEBABLASAN DENGAN DALIH
REFORMASI DIDALANGI OLEH PIHAK
ASING
1. Pengakuan-pengakuan yang diungkapkan oleh NDI
(National Democratic Institute for International Affaris)
dengan CETRO sebagai mitra beserta LSM-LSM di In-
donesia memberi petunjuk-petunjuk yang nyata akan
adanya skenario pihak asing untuk mengubah tatanan
politik, kepemimpinan politik dan kehidupan politik
dan ekonomi yang mengikuti kepentingan pihak asing
tersebut.

Forum Perjuangan
Pelurusan UUD 1945
135
2. Berikut adalah: pengakuan tertulis dari pihak NDI
tentang rencana kegiatan-kegiatan serta pembiayaan
atas maksud-maksud di atas: “Democratic Reform since
the opening of political space ini 1998, three democratic re-
form issues have come to forefront of Indonesia politics:
constitutions reform, and decentraliszation or, as it is
known in Indonesia is regional autonomy. Over the past
three years, NDI has assisted Indonesian political leader
move forward in these reform areas in a participatory man-
ner.
Since February 2000, NDI has been providing vital
comperative materials and information on constitu-
tional and electoral reforms to Indonesian lawmakers
Involved in these issues, including members of the
People’s Consultative Assembly (MPR), the highest
political institution of the state and its mandated to de-
termine the constitutions and to decree the guidelines of state
policy. The materials provided by NDI have informed the
MPR’s continuing issues. The Institute is also working closely
with universities in Indonesia and civil society partners
to encourage citizen in the reform process.
3. Tidaklah perlu diragukan lagi bahwa pihak asing
bekerja sama dengan MPR pada tahun 1999-2004 me-
lalui tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok politik ter-
tentu di Indonesia, secara nyata mengadakan amande-
men UUD 1945 yang menyeleweng dari cita-cita Pro-
klamasi dan menuju; INDIVIDUALISME, LIBERAL-
ISME, KAPITALISME, DAN NEOIMPERIALISME,
yang menguntungkan pihak asing dan kaki tangannya
yang berbangsa Indonesia dan mengorbankan kepen-
tingan Negara, Bangsa, dan Rakyat Indonesia sendiri.
Contoh-contoh dan bukti-bukti adalah sebagai berikut:
1. Penjelasan UUD 1945 dihapus
2. MPR tidak lagi berfungsi sebagai lembaga tertinggi
negara kedaulatan rakyat dengan dihapusnya GBHN;

136 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
3. Dihapusnya perwakilan dari unsur-unsur golongan
dan utusan daerah, pemilihan presiden dan wakil
presiden oleh MPR, dan Presiden selaku mandataris
MPR dicabut;
4. Dihapusnya Penjelasan pasal 33 UUD 1945 dan
penambahan ayat-ayat tambahan;
5. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung,
membuka peranan orang-orang dan kelompok
bermodal dalam Pemilu.

Forum Perjuangan
Pelurusan UUD 1945
137
BAB II
Perjuangan

138 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Amin Arjoso akrab dengan wartawan. Pers adalah salah satu alat
perjuangan Amin Arjoso dalam menegakkan kembali UUD 1945.

139
Dua tokoh nasionalis, H. Amin
Arjoso, SH dan Abdul Madjid
ketika sama-sama dilantik
menjadi Anggota DPR/MPR RI
masa bhakti 1999 - 2004.

140 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Abdul Madjid

Sempat
Didamprat Megawati

K
alau ada warga Indonesia yang paling berani
menentang amandemen UUD 1945 dan paling
gigih memperjuangkan kembalinya UUD 1945
adalah Amin Arjoso. Saya masih punya doku-
men berisi pernyataan menolak amandemen lintas fraksi.
Waktu itu, saya dan Amin Arjoso sama-sama masih
duduk di Fraksi PDIP, DPR RI.
Suatu hari, Amin Arjoso dan Sri-Edi Swasono datang
membawa dokumen tersebut yang sudah ditandatangani
kurang lebih 20 anggota DPR RI lintas fraksi. Sebagai
anggota DPR yang sepaham, menolak aksi amandemen
terhadap UUD 1945, saya tentu saja dengan senang hati
menandatangani memorandum tersebut. Namun, ketika
ia bersiap menuliskan nama dan menandatanganinya
pada urutan terbawah, Amin Arjoso mencegah, “Bukan
di situ… tapi di atas, nomor urut satu, sengaja di-
kosongkan buat pak Madjid.”

Sempat
Didamprat Megawati
141
Begitulah, Abdul Madjid pun menandatanganinya di
urutan kesatu. Tapi bukan berarti saya pelopornya,
karena pelopornya ya Amin Arjoso. Bahwa saya diminta
tanda tangan di urutan pertama, mungkin karena mereka
menilai saya yang paling tua.
Nah, tentang amandemen itu sendiri, PDIP sudah
menentukan sikap sejak Kongres di Semarang tahun 2000.
Ketika itu kongres memutuskan, setuju amandemen
dengan beberapa catatan. Pertama, sesedikit mungkin
pasal yang diamandemen. Kedua, tidak boleh mengubah
hal-hal yang bersifat mendasar.
Sayangnya, orang-orang PDIP sendiri banyak yang
tidak taat terhadap keputusan Kongres, termasuk Mega-
wati Soekarnoputri. Bahkan, pelopor amandemen di
antaranya orang PDIP sendiri, yaitu Jacob Tobing. Dia
yang menjadi ketua panita amandemen.
Padahal, kalau konsisten, PDIP harusnya menolak
amandemen itu. Sebab kembali kepada komitmen, bahwa

Dua orang Sukarnois: H. Amin Arjoso, SH dan Abdul Madjid.

142 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
amandemen harus sesedikit mungkin dan tidak meng-
ubah hal-hal mendasar. Padahal, amandemen itu sendiri
sangat bertentangan dengan kesepakatan PDIP, sebab
amandemen yang terjadi justru sangat mendasar, ter-
masuk mengubah sistem pemerintahan. Dulu satu
kamar, sekarang menjadi dua kamar. Ini adalah per-
ubahan besar.
Padahal yang namanya NKRI adalah final. Dengan
dua kamar, saya tidak bilang bahwa dengan begitu negara
menjadi federasi, tetapi bahwa sistem itu membuka
kemungkinan menjadi federasi.
Satu hal lagi yang menurut saya mendasar adalah
Penjelasan UUD 1945 dibuang. Alasannya, di negara-
negara lain Undang Undang Dasar tidak pakai Penjelasan.
Mereka lupa, bahwa tidak ada satu pun ketentuan yang
mengatur sebaliknya, bahwa UUD tidak boleh ada
Penjelasan.
Padahal Bung Karno pernah menegaskan bahwa ini
adalah Undang Undang Dasar untuk Indonesia, bukan
untuk negara lain. Bung Karno juga mengatakan, kepada
panitia penyusun UUD, untuk tidak menjiplak konstitusi
negara mana pun.

Bukan UUD Sementara


Hal lain yang ketika itu sering dipakai pembenar oleh
para kelompok pro amandemen adalah, bahwa Bung
Karno pernah mengatakan, UUD yang dibuat waktu itu
bersifat UUD Sementara. Kemudian dibentuklah Kons-
tituante yang antara lain diberi tugas menyusun Undang
Undang Dasar yang tetap. Itulah latar belakang Bung
Karno mengatakan bahwa UUD itu bersifat sementara.
Akan tetapi pernyataan Bung Karno itu sudah mati,
sudah tidak valid, sudah tidak berlaku. Mengapa? Karena
badan yang dibentuk menyusun Undang Undang Dasar
telah gagal. Konstituante gagal menyusun UUD, hingga

Sempat
Didamprat Megawati
143
lahirlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Itu artinya, begitu
Bung Karno selaku Presiden menyatakan dekrit kembali
ke UUD 1945, maka UUD 1945 bukan lagi bersifat semen-
tara, melainkan UUD yang sudah bersifat tetap, tidak ada
lagi ada embel-embel sementara.
Ada latar belakang lain mengapa Bung Karno pernah
menyatakan bahwa UUD itu bersifat sementara. Hal itu
karena konflik politik, tarik-menarik kepentingan
antarkelompok begitu kuat. Jika tidak diambil langkah
tegas, negara tidak akan memiliki landasan konstitusi.
Karenanya Bung Karno menawarkan kepada semua faksi
yang bersilang pendapat untuk menerima UUD 1945
dengan embel-embel sementara. Langkah selanjutnya
adalah membentuk badan yang menyempurnakan
UUDS tadi.
Sejarah kemudian mencatat, konflik di Konstituante
seperti tak berkesudahan. Tenggat waktu yang ditetap-
kan gagal mereka manfaatkan. Kepada Konstituante pun
sudah ditawarkan untuk menerima dan mengesahkan
saja UUDS menjadi UUD. Akan tetapi dalam peng-
ambilan suara, tidak tercapai kesepakatan bulat. Negara
pun terkatung-katung dalam konstitusi sementara.
Bung Karno selaku Presiden lantas mengumpulkan
seluruh perwakilan politik, angkatan perang, ahli tata ne-
gara untuk mengatasi deadlock konstitusi di Konstituante.
Dengan kekuasaannya sebagai Kepala Negara demi
menyelamatkan bangsa dan negara itulah Bung Karno
kemudian mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1945. Sekali lagi
saya tegaskan, bahwa sejak itu pula pernyataan Bung
Karno yang menyebut UUD 1945 sebagai UUD Sementara
sudah mati, sudah tidak berlaku. Sebab yang berlaku ya
UUD 1945 itu, tanpa embel-embel Sementara.
Kembali ke pokok soal, amandemen UUD 1945 oleh
MPR 1999 – 2004. Ada skenario besar yang menunggangi
proses perubahan konstitusi itu. Dalam suatu dokumen

144 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Panitia Ad Hoc ada keterangan yang menyebutkan bahwa
blessing in disguise perubahan terhadap UUD 1945 boleh
dilakukan terhadap semua, meliputi pembukaan, batang
tubuh, dan penjelasan.
Yang sangat disayangkan adalah, tidak ditulisnya
kesepakatan Panitia Ad Hoc Amandemen UUD 1945
sebelum melakukan amandemen. Ada lima kesepakatan,
antara lain, tidak boleh mengubah pembukaan, tidak
boleh mengubah bentuk negara (NKRI), sistem presiden-
tial tetap, tetapi sayangnya tidak dituang dalam dokumen
tertulis. Jacob Tobing sebagai ketua panitia pun tidak
berinisiatif mengamankan kesepakatan itu menjadi
dokumen tertulis, sebaliknya justru mendorong aman-
demen menjadi bebas sebebas-bebasnya.
Fraksi PDIP sendiri suasananya cukup panas, meng-
ingat hampir mayoritas anggota Fraksi berdiri di bela-
kang Amin Arjoso menentang amandemen. Karenanya,
keseluruhan proses amandemen nyaris tidak pernah
diputuskan di tingkat fraksi. Dalam setiap rapat fraksi
selalu terjadi benturan keras. Oleh Jacob Tobing, dengan
kelicikannya ditengahi dengan kalimat, “Semua ditam-
pung sebagai masukan”.

Paradoks Mega dan Bung Karno


Jacob Tobing kemudian menghadap sendiri ke Mega-
wati Soekarnoputri, sebagai Ketua Umum PDIP maupun
sebagai Presiden RI. Sebagai ketua panitia Ad Hoc
amandemen UUD tentu saja dia bisa menghadap presiden
kapan saja. Nah, kepada Megawati dilaporkan bahwa
semua dalam keadaan kondusif. Bukan hanya itu, bela-
kangan diketahui juga bahwa Jacob Tobing pun menakut-
nakuti Megawati dengan mengatakan, “Kalau aman-
demen gagal, Presiden bisa jatuh.”
Sikap Mega pun menjadi lunak. Karenanya sejarah
pun mencatat sebuah paradoks, konstitusi yang dilahir-

Sempat
Didamprat Megawati
145
kan pada era kepemimpinan bapaknya, justru diobrak-
abrik di era kepemimpinan anaknya. Sikap Megawati
yang mendukung amandemen bahkan pernah meng-
akibatkan benturan langsung dengan saya. Dalam sebuah
rapat kerja di Bogor, saya didamprat Megawati.
Megawati sebagai Ketua Umum PDIP menginstruksi-
kan kepada anggota Fraksi agar tidak boleh mengaki-
batkan rapat yang membahas amandemen di DPR RI itu
deadlock, harus suara bulat. Seketika Abdul Madjid angkat
tangan dan bicara, bahwa deadlock bukan hal tabu dalam
sistem politik. Saat itulah Megawati marah seraya mene-
gaskan, bahwa pada dasarnya dia pun tidak setuju aman-
demen, tetapi harus melihat situasi dan kondisi. Jika
situasi dan kondisi mengharuskan terjadi amandemen,
maka dia setuju.
Belum selesai mendebat, Megawati sudah berpamitan
dari arena rapat karena hendak menghadiri acara lain.
Kemudian kalimat Mega yang mengatakan pada dasar-
nya tidak setuju amandemen, saya gunakan sebagai dasar
menentang amandemen di rapat PDIP itu. Kemudian
Sekjen PDIP waktu itu, Sucipto menjawab, “Ya, tapi Bu
Mega juga bilang, tergantung situasi dan kondisi.”
Jadi kesimpulan saya, Megawati memang menggan-
tung sikapnya. Tidak tegas. Itu yang dimanfaatkan or-
ang-orang pro amandemen seperti Sucipto dan lain-lain
yang dikomandani Jacob Tobing. Yang “menggarap”
Megawati juga Jacob Tobing.
Sedangkan yang “menggarap” Jacob Tobing tentu saja
NDI, seperti ditulis ASS Tambunan. NDI itu adalah
kepanjangan tangan Amerika Serikat dengan maksud
antara lain mengubah UUD 1945 sehingga Indonesia
menjadi berpahamkan liberal, baik politiknya, maupun
ekonominya. ASS Tambunan menguak itu semua dalam
buku yang kemudian diedarkan secara luas.
Memang, ada yang pernah bertanya kepada saya ihwal

146 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
isi buku ASS Tambunan itu. Jika saya ditanya apakah
saya percaya dengan isi buku yang ditulis ASS Tambunan
yang menguak konspirasi Amerika Serikat melalui NDI
dan elite-elite politik dalam negeri dalam mengobrak-
abrik tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, saya
tentu saja akan menjawab balik, bahwa faktanya tidak
ada satu pun pihak yang menyanggah dan membantah
isi buku Tambunan. Sepanjang tidak ada bantahan, bisa
diartikan apa yang ditulis Tambunan adalah benar.
Lepas dari apa yang berkembang sebagai wacana pro
dan kontra terhadap amandemen Undang Undang Dasar
1945, yang terjadi sekarang ini adalah, kita sudah hidup
dalam alam liberal, ya politiknya, ya ekonominya. Nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945 sudah diingkari, dinafikan.
Padahal, pembukaan UUD 1945 itu adalah sebuah
rumusan atas pidato Bung Karno. Dalam pembukaan itu
pula tercantum cita-cita proklamasi. Apa itu cita-cita
proklamasi? Dalam pembukaan UUD 1945 itu ada
deklarasi mengenai cita-cita proklamasi. Ini yang selama
ini tidak pernah diungkap.
Pada kalimat ketiga, bukan alinea. Sebab alinea itu
satu ruang di halaman, isinya bisa satu, dua, atau tiga
kalimat bahkan lebih. Dalam pembukaan UUD 1945 tiap
alinea isinya satu kalimat. Isinya berbunyi kalimat. Nah,
kalimat ketiga itu berbunyi, “Atas berkat rahmat Tuhan
Yang Maha Esa, dan didorong oleh keinginan luhur
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, rakyat
Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”.
Itulah cita-cita proklamasi. Rakyat didorong keinginan
luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Karena itulah Indonesia memproklamasikan kemerde-
kaannya. Jadi intinya, kehidupan kebangsaan yang bebas.
Memang tidak dijelaskan, tetapi dari isi UUD 1945 itu
bisa kita ketahui apa yang dimaksud dengan kehidupan

Sempat
Didamprat Megawati
147
kebangsaan yang beas.
Nah, dengan adanya amandemen, hal ini tidak dibahas.
Sekarang ini negara mau dibawa kemana, tidak jelas. Cita-
cita luhur bangsa Indonesia ketika merdeka, menjadi
diabaikan. Amanat pembukaan konstitusi kita juga sudah
sangat jelas menyebutkan bahwa sesunggunya kemer-
dekaan adalah hak segala bangsa, karena itu penjajahan
harus hapus dari seluruh dunia, termasuk dari bumi In-
donesia, dari bangsa Indonesia. Dus, bangsa Indonesia
harus bebas dari segala bentuk penjajahan.
Sedangkan nenek moyang penjajahan adalah kapital-
isme, karenanya kita harus bebas dari kapitalisme. Itu
adalah amanat konstitusi, tetapi tidak ada yang memper-
hatikan. Ada beragam kebebasan, bebas dari ketakutan,
bebas dari kekurangan, bebas dari kebodohan, bebas
menganut agama dan kepercayaan, bebas berbicara dan
berpikir. Tetapi dilengkapi oleh Bung Karno, freedom to
be free, bebas untuk merdeka. Itu bebas yang paling asasi.
Di Pembukaan UUD 1945 sejatinya ada lima amanat.
Amanat pertama adalah alinea pertama tadi, mengama-
natkan supaya bebas dari kapitalisme dan imperialisme.
Kedua, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah.
Ketiga, memajukan kesejahteraan umum. Empat mencer-
daskan kehidupan bangsa. Kelima, mengatur ketertiban
dunia. Inilah amanat pembukaan UUD 1945. Mengapa
ini tidak dijadikan pokok program pembangunan
kabinet?
Dengan demikian, program pembangunan ada relnya,
tidak ke kana dan ke kiri, semua kabinet harus berpe-
doman pada lima amanat tadi. Itu artinya, perjuangan
Amin Arjoso dkk mengembalikan UUD 1945 sudah benar,
karena hendak mengembalikan kehidupan berbangsa
dan bernegara sesuai amanat konstitusi, amanat kemer-
dekaan, amanat cita-cita luhur bangsa ketika memerde-
kakan dirinya dari penjajahan, bebas dari imperialisme.

148 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Tak Jelas Arah
Sebab, dengan adanya amandemen terhadap konstitusi
kita, bukan saja bangsa ini tidak jelas arahnya, tetapi yang
lebih parah, terhadap landasan idiil Pancasila saja,
pemahaman rakyat kita semakin hari semakin mengam-
bang. Bayangkan apa yang terjadi ketika bangsa ini tidak
lagi berpegang pada landasan konstitusi UUD 1945 dan
landasan idiil Pancasila. Coba jawab, bangsa apa kita ini?
Cita-cita pendiri bangsa adalah menjadikan bangsa ini
bangsa yang Pancasilais yang berbangsa dengan landasan
konstitusi UUD 1945. Seperti apakah warga negara yang
Pancasilais itu? Apakah dia seorang yang feodal, kapi-
talis, dictator, federalis, atau apa? Mari kita baca pidato
Bung Karno 1 Juni 1945, lahirnya Pancasila. Tentang sila,
yang kalau diperas bisa menjadi tiga, yaitu ketuhanan
Yang Maha Esa, sosio-nasionalisme, dan sosio-demo-
krasi. Kalau diperas menjadi satu, Gotongroyong.
Jadi, seorang Pancasilais itu harus trisila, artinya dia
harus berketuhanan yang Maha Esa, dia harus seorang
sosio-nasionalis, dan seorang yang sosio-demokratis.
Atau pendeknya, warga bangsa yang berjiwa gotong
royong. Kalau seseorang tidak bertuhan, dia tidak bisa
menjadi seorang Pancasilais. Kalau seseorang tidak
berjiwa sosio-nasionalis, maka tidak tidak bisa menjadi
Pancasilais. Kalau seseorang tidak berjiwa sosio-demo-
kratis, dia tidak akan bisa menjadi seorang Pancasilais.
Kalau seseorang tidak berjiwa gotong royong, maka dia
bukan seorang Pancasilais.
Bung Karno bahkan pernah bilang, nasionalisme tanpa
keadilan sosial sama dengan nihilisme. Padahal yang
menciptakan keadilan sosial itu adalah demokrasi. Bung
Karno secara umum di luar negeri pernah bilang, rumus-
an demokrasi Indonesia secara universal adalah from the
people, by the people, and for the people. Implementasi di In-
donesia adalah begini, memang from the people dan by the

Sempat
Didamprat Megawati
149
people itu penting, tetapi yang terpenting adalah for the
people.
Dalam konteks Pancasila, kalau kita bertanya, di mana
sila demokrasi itu? Adanya di sila keempat: Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permu-
syawaratan/perwakilan. Itu benar, tetapi masih kurang.
Meskipun, sila itu sendiri hebat, bahwa demokrasi itu
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-
waratan, kalau di luar negeri demokrasi dipimpin oleh
cipoa, tak-tek… tak-tek hitung-menghitung, yang banyak
yang menang.
Jadi, dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan itu tidak ada
di luar, di seluruh dunia hanya ada di Indonesia, Cuma
kita yang ada, jadi sudah mulia banget. Akan tetapi kalau
menurut Bung Karno itu pun belum lengkap. Sila 4 dan
5 itu harus dibaca satu nafas: Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jadi artinya, meskipun sudah musyawarah dalam
hikmat kebijaksanaan atau mufakat kalau tidak ber-
barengan dengan upaya mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu bukan demo-
krasi Indonesia.
Lebih lengkap lagi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi,
suatu keadilan sosial yang diridhoi oleh Tuhan Yang
Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah demokrasi
Indonesia.
Jadi Bung Karno mengatakan bahwa demokrasi itu
bukan hanya alat. Alat memilih kepala desa, memilih
bupati-walikota, memilih gubernur atau bahkan presi-
den, tidak! Kalau istilah Bung Karno adalah, demokrasi
harus menjadi “chelof”, atau penghayatan. Jadi demokrasi
itu menjadi penghayatan. Maka Pancasila sebagai ideo-
logi negara, demokrai Indonesia menjadi sub ideologi,

150 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
jadi bukan cuma alat yang diatur dengan undang-un-
dang, tetapi harus menjadi naluri dari bangsa Indonesia.
Sekali lagi, bukan demokrasi kalau muaranya bukan
keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Di Eropa muara
demokrasi apa? Liberalisme dan individualisme. Di
Amerika muaranya kapitalisme dan imperialisme. Demi-
kian pula di Jepang, Belanda, ada bau-bau feodalisme.
Di Rusia, di Cina muaranya demokrasi sentralisme. Di
Indonesia muaranya jelas, terwujudnya suatu keadilan
sosial yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Nah, itu semua hilang dengan adanya amandemen
terhadap UUD 1945. Padahal, seperti saya tegaskan di
atas, amandemen itu tidak sah, karena Dekrit Presiden
tidak pernah dibatalkan.
Dalam hal ini yang kita pegang adalah Undang-
Undang Dasar 1945 yang asli, yang tidak diamandemen,
karena amandemen telah membuang Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945. Padahal dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 terkandung penjelasan
tentang Pokok-Pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan Undang-Undang 1945.
Dengan dihilangkannya Penjelasan oleh amandemen
penafsiran makna dan hakikat Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 dapat dilakukan secara sewenang-
wenang. Sedangkan pemahaman dan penghayatan
amanat-amanat yang terkandung di dalamnya menjadi
dangkal.
Saya membaca bukunya pak A.S.S. Tambunan. Jelas
tertulis, bahwa NDI (National Democratic Institute)
terlibat dalam proyek amandemen konstitusi kita. Dan
NDI itu arahnya adalah democratic reform dan constitutional
reform. Pak Tambunan menulis itu. Bahwa ada
keterlibatan asing dalam proses amamdemen. Di panitia
ad hoc selalu ada orang asingnya untuk mengamat-amati.

Sempat
Didamprat Megawati
151
Saya baca buku pak Tambunan, jelas dikatakan ini misi
asing, misi Amerika Serikat.
Dia tulis di buku. Buku itu sendiri tersebar luas. NDI
dalam hal ini tidak pernah menggugat atau memprotes
dan menolak. Dan kalau Tambunan bersalah atau
menulis fakta yang tidak benar, kan dia bisa digugat dan
dituntut secara hukum. Akan tetapi faktanya tidak ada
gugatan dan tuntutan dari mana pun, termasuk NDI.
Karena itu kesimpulan saya, pak Tambunan benar.
Last but not least, upaya Sdr. Amin Arjoso mengem-
balikan UUD 1945 mutlak harus mendapat dukungan
penuh segenap rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Berjuang
terus hingga titik darah penghabisan, sampai jalannya
negara ini kembali ke rel konstitusi dan rel ideologi, yakni
UUD 1945 (asli) dan Pancasila.
Akan tetapi, menegakkan atau mengembalikan UUD
1945 yang asli memang bukan pekerjaan ringan, terlebih
ada kekuatan besar, kekuatan asing yang ikut bermain
di balik ini semua. Meski begitu, perjuangan harus terus
dikobarkan. Perjuangan ini semata-mata bukan demi
Amin Arjoso, bukan demi Abdul Madjid, ini semua demi
masa depan bangsa dan negara sesuai cita-cita
proklamasi kemerdekaan.

152 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Abdul Madjid (berbaju hitam) di antara Moch. Achadi dan Soetardjo
Soerjogoeritno.

Abdul Madjid (paling kanan), bersama Moch Achadi, Soetardjo


Soerjogoeritno dan segenap elemen nasionalis lain penentang
amandemen UUD 1945.

153
154 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
155
156 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Sri Edi Swasono

Amin Arjoso
dalam Pusaran
Perubahan Konstitusi


Ketika perubahan Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945) pada tahun 1999 -2002 berlangsung,
saya aktif sebagai anggota MPR mewakili Utus-
an Golongan. Sementara sahabat saya Amin Arjo-
so adalah wakil ketua PAH III yang membidangi per-
ubahan UUD 1945. Keberadaan Amin Arjoso jelas mewa-
kili partainya yaitu: PDI Perjuangan yang waktu itu me-
rupakan partai pemenang Pemilu”. Demikian ungkap
guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
“Dalam kapasitas sebagai anggota MPR kami berdua
dan bersama-sama dengan anggota MPR lainnya —yang
mewarisi spirit kebangsaan dan kerakyatan, dari para
pendiri negara bangsa, bahu membahu memperjuang-
kan perubahan UUD 1945 agar tidak keluar dari sistem
konstitusi proklamasi”. Kenang penggemar musik klasik
dan kerongcong itu.
Tentang apa yang dimaksud dengan sistem konstitusi

Amin Arjoso dalam Pusaran


Perubahan Konstitusi
157
proklamasi, dia menjelaskan, bahwa: UUD 1945 meng-
anut demokrasi sosial, yaitu jaminan atas demokarsi poli-
tik dan demokrasi ekonomi; sedang sistem pemerin-
tahannya adalah semi-presidensial (presiden merupakan
mandataris dan harus bertanggungjawab pada MPR),
sedang MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat
anggotanya terdiri dari anggota DPR, Utusan Golongan
dan Utusan Daerah.
“Memasuki perubahan demi perubahan, satu persatu
jiwa dan karakter konstitusi proklamasi diamandemen
dalam arti dihapus, bukan ditambah. Padahal kesepakat
fraksi-fraksi MPR menyatakan perubahan UUD 1945 dila-
kukan dengan cara addendum (penambahan dalam satu
lampiran). Tak terkecuali pasal 33 yang menjadi jiwa dari
sistem perekonomian nasional dalam beberapa kesem-
patan akan diubah. Namun, atas perjuangan yang gigih
dari seantero anggota MPR dan dukungan masyarakat
pasal 33 tidak berhasil diubah –melainkan ditambah.
Akan tgetapi, tambahan dalam pasal 33 itu justru pada
akhirnya mengacaukan spirit dari sistem demokrasi
sosial yang menjadi sendi perekonomian nasional,” ujar
Sri Edi.
“Tidak berehenti sampai di situ”, kenang guru besar
fakultas ekonomi UI. “MPR sebagai lembaga tertinggi
negara dipreteli, begitu pun dengan keanggotaanya –
Utusan Golongan dihapus. Mereka sungguh tidak me-
ngerti dan gegabah sekali, menghapus utusan golongan,
berarti menghilangkan hak konstitusi sebagian besar dari
jumlah potensi masyarakat yang harus diwakili dalam
suatu lembaga yang menjadi penjelmaan dari kedaulatan
rakyat,” tandasnya.
Melihat gelagat yang sudah keluar dari konteks spirit
dan karakter konstitusi proklamasi, menurut Sri Edi:
Amin Arjoso, saya dan beberapa anggota MPR yang lain
mengambil inisiatif membuat memorandum yang meno-
lak dimasukannya Utusan Golongan dalam sistem

158 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
ketatanegaraan Indoensia melalui lembaga tersendiri –
yang kelak menjadi Dewan Perwaklian Daerah (DPD).
Penolakan kami ini mendapat dukungan sekitar 206
anggota. Seyogianya, gerakan ini dibaca sebagai langkah
strategis menyelamatkan UUD 1945 dari agenda per-
ubahan yang menyalahi aturan dan kesepakatan awal.
Sayangnya, gejala ini tidak dibaca demikian, bahkan frak-
si TNI/Polri yang seharusnya menjadi benteng konstitusi
abstain. Andai fraksi TNI/Polri tidak bersikap banci UUD
1945 tidak amburadul seperti ini.
Sri Edi mengakui: Perjuangan untuk menyelamatkan
konstitusi proklamasi dalam pusaran perubahan UUD
1945, untuk sementara gagal, setidaknya kami kalah
suara. Dan yang menyedihkan, kami dituduh antek rezim
Suharto lantaran mengambil langkah-langkah kritis dan
mendasar dalam menghadapi perubahan UUD 1945.
Padahal, bagi kami perubahan UUD 1945 suatu kenis-
cayaan, akan tetapi cara mengubah dan tujuan per-
ubahannya harus dikerjakan secara saksama, cermat dan
demi kepentingan nasional, tidak serampangan –apalagi
terpengaruh oleh agenda politik dari negara-negara ter-
tentu yang memiliki kekuatan ekonomi internasional”.
“Kami merasakan dan melihat langsung bagaimana
kepentingan asing turut berpatisipasi melalui beberapa
LSM dan beberapa staf ahli yang menyusup dalam kori-
dor lembaga tertinggi negara –untuk memberikan ekstra
fuding dan rancangan-racangan tertentu kepada anggota-
anggota MPR seraya menjaring opini publik melalui
media massa akan pentingnya perubahan –bahkan kalau
perlu membuat konstitusi baru. Gelagat yang demikian
kami tentang dan Amin Arjoso lagi-lagi dengan gigih
menghadapinya, bahkan tekanan demi tekanan dan ter-
ror menghampirinya; akhirnya dia jatuh sakit.” Demikian
Sri Edi yang menantu Bung Hatta itu memberi kesaksian.
Apakah perjuangan menegakan konstitusi proklamasi

Amin Arjoso dalam Pusaran


Perubahan Konstitusi
159
berakhir? “Tidak,” kata Sri Edi penuh semangat. “Sampai
hari ini, walau Amin Arjoso sakit nyatanya dia terus
berjuang dan demikian pula dengan saya dan beberapa
pejuang konstitusi proklamasi lainnya, bahu-membahu
memberi pendidikan polkitik dan pencerahan kepada
masyarakat –bahwa sistem ketatanegaraan kita dengan
perubahan UUD 1945 telah menyimpang dari jiwa
proklamasi dan Pembukaan UUD 1945”.
“Diskusi, seminar, debat publik dan pengkajian me-
ngenai perubahan UUD 1945 dan implikasinya terhadap
praktik ketatanegaraa dewasa ini –terus kami lakukan.
Kesimpulan kami adalah, kita harus kembali kepada
UUD 1945 dan jika diperlukan untuk mengubahnya –kita
sepakat akan melalukannya dengan cara addendum.
Dengan demikian, kita tetap menjaga orsinalistas UUD
1945 seperti yang wasiatkan Bung Hatta”. Tandas Sri Edi
Swasono menutup pendapatnya sebagai apresiasi untuk
sahabatnya, Amin Arjoso.

___________________

Catatan:
Artikel di atas disarikan dari beberapa tulisan Sri Edi Swasono
dan kutipan-kutipan pendapatnya yang sempat direkam di
pelbagai kesempatan seperti antara lain pada saat Seminar
Nasional Perubahan UUD 1945 Dengan Addendum yang
diprakarsai Amin Arjoso dan kawan-kawan, diselenggarakan
di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

160 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Dengan konsisten, H. Amin Arjoso, SH terus dan terus berjuang
mengembalikkan UUD 1945, baik semasa menjadi anggota DPR-MPR RI
maupun ketika tidak lagi menjadi anggota DPR-MPR RI.

161
H. Amin Arjoso, SH dalam salah satu acara bersama Sulastomo (kanan).

162 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Sulastomo,
Koordinator Gerakan Jalan Lurus

Amin Arjoso
dan UUD 1945

A
min Arjoso adalah salah satu tokoh yang amat
gelisah dengan masa–depan bangsa ini,
ketika UUD 1945 mengalami perubahan di
tahun 2002. Ia berusaha untuk mencegah
bahkan menolak perubahan itu, namun gagal.
Amin Arjoso menilai, bahwa perubahan itu sudah me-
nyimpang dari UUD 1945 (yang asli), sehingga tidak layak
disebut UUD 1945 lagi. Perubahan UUD 1945 telah mela-
hirkan UUD baru, yang disebutnya sebagai UUD 2002.
Karena itu, iapun berusaha untuk mengembalikan UUD
1945 diberlakukan kembali. Dan tentu ia masih akan geli-
sah, sebelum cita–citanya terwujud. Amin Arjoso adalah
seorang idealis dan nasionalis sejati.

Tanpa lelah
Dengan memperhatikan usia dan kondisi kesehatan-
nya, Amin Arjoso telah mempertaruhkan dirinya sendiri

Amin Arjoso
dan UUD 1945
163
bagi cita–citanya itu. Tidak saja dikala “sehat”, ketika
terbaring di Rumah–Sakit pun, ketika terserang “stroke”,
ia berpikir bagaimana mewujudkan cita–citanya itu. Ia
bahkan menggelar “rapat” di rumah–sakit dengan te-
man–teman yang mengunjunginya dan merencanakan ke-
giatan yang diperlukan. Ia tidak mau sisa hidupnya diisi
dengan berpangku tangan tanpa mengingatkan kita se-
mua, bahwa bangsa ini telah memilih jalan yang keliru
dengan melakukan perubahan UUD 1945 ditahun 2002.
Pertaruhannya adalah masa–depan bangsa, masa–depan
anak–anak dan cucu kita. Kepada istrinya yang seorang
dokter dan sekarang angguta DPR, saya mengatakan,
itulah obat bagi mas Amin. Amin Arjoso akan semakin
sakit, kalau dilarang berbicara tentang cita–citanya, yaitu
kembalinya UUD 1945 menjadi konstitusi negara ini.
Namun, dalam pembicaraan lebih mendalam, Amin
Arjoso sesungguhnya tidak semata–mata menolak per-
ubahan UUD 1945. Ia menolak perubahan itu, disebabkan
substansi perubahan itu yang sudah dianggapnya me-
nyimpang dari UUD 1945 yang asli. Dan dari substansi
pemikiran yang disampaikan kepada khalayak, alasan-
nya (sebenarnya) sulit ditolak.
Dari aspek susunan lembaga kenegaraan , kita telah
kehilangan peran Majlis Permusyawaratan Rakyat ( MPR)
yang bertugas menyusun Garis–garis Besar Haluan Ne-
gara (GBHN), yang mestinya menjadi arah penyelengga-
raan negara jangka pendek, menengah dan panjang. Pe-
ran MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang memilih
Presiden/Wakil Presiden juga dihapus. Presiden tidak
lagi sebagai “mandataris“ MPR. Penyelenggaraan negara
sepenuhnya akan tergantung pada program–program
yang dijanjikan ketika kampanye pemilihan Presiden/
Wakil Presiden. Esensi “gotong–royong” melemah, dise-
babkan prinsip demokrasi langsung, yang cukup diten-
tukan oleh suara 50% plus satu. Demokrasi kita, secara
substansi, tidak lagi merujuk pada demokrasi Pancasila,

164 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
sebagaimana termaktub dalam Sila Keempat Pancasila.
Lebih jauh, perubahan UUD 1945 yang dinilai tidak
sesuai dengan UUD 1945 (asli) itu, tentunya juga akan
membuka peluang terbitnya berbagai perundangan dan
kebijakan yang juga menyimpang dari cita–cita UUD 1945
yang asli, khususnya terkait upaya mewujudkan kesejah-
teraan. Hal ini terlihat dari berbagai perundangan dan
kebijakan yang terkait dengan perekonomian rakyat, pe-
ngelolaan sumber daya alam, BUMN, usaha swasta dan
koperasi. Perekonomian kita, bahkan sudah dinilai se-
bagai “neolib”, yang sangat membuka peluang peran
“pasar–bebas”, sehingga ketergantungan Indonesia pada
modal asing semakin tidak terelakkan. Cita–cita keadilan
sosial juga semakin jauh, dimana terjadi peluang yang
kaya semakin kaya, di tengah pergulatan mengentaskan
kemiskinan yang justru disindir menambah kemiskinan.
Semua itu, menurut Amin Arjoso hanya dapat dilurus-
kan dengan kembali ke UUD 1945 (asli) terlebih dahulu.
Perubahan UUD 1945 yang akan dilakukan tidak boleh
menyimpang dari substansi UUD 1945, sehingga per-
ubahan UUD 1945 itu lebih merupakan penyempurnaan
UUD 1945 itu sendiri.
Begitulah pemahaman saya terhadap cita–cita mas
Amin Arjoso.

Titik temu
Dengan pemikiran seperti itu, saya merasakan ada titik
temu dengan Gerakan Jalan Lurus, yang menilai UUD
1945 perlu “dipagari”, agar tidak ada peluang untuk
menyimpang dari UUD 1945 itu sendiri. Misalnya, ada
pembatasan masa jabatan Presiden, yang selama ini bisa
multitafsir. Demikian juga tentang perwakilan “Utusan
Golongan” dan “Utusan Daerah” dalam Majelis Permu-
syawaratan Rakyat harus lebih mencerminkan “demo-
krasi perwakilan” sebagaimana Sila keempat Pancasila.

Amin Arjoso
dan UUD 1945
165
Apa yang harus dilakukan?
UUD 1945 hasil amandemen 2002, setuju atau tidak
setuju, telah diberlakukan selama hampir 10 tahun.
Perubahan itu berlangsung di MPR yang sah, sehingga
(secara moral) selayaknya diakui sebagai keputusan ber-
sama dan dengan demikian menjadi tanggung jawab ber-
sama, meskipun kita tidak setuju. Demikian juga ber-
bagai perundangan dan kebijakan penyelenggaraan ne-
gara. Cita–cita untuk kembali ke UUD 1945, dengan
demikian juga harus menempuh jalan demokrasi, jalan
konstitusional yang sudah kita miliki. Di sinilah urgensi-
nya kita meyakinkan seluruh rakyat, membangun opini,
bahwa jalan yang kita tempuh selama era reformasi ini
perlu diluruskan kembali. Untuk itu, diperlukan lang-
kah–langkah sebagai berikut :
Melakukan kaji ulang jalannya reformasi, termasuk
kaji ulang UUD 1945 hasil amandemen 2002. Langkah–
langkah seperti itu hanya akan bisa berjalan kalau mem-
peroleh dukungan yang luas, termasuk dari partai–par-
tai politik dan lembaga
Merumuskan “peta–jalan”, bagaimana mengoperasio-
nalkan Pancasila/UUD 1945, sehingga “peta–jalan” itu
mengandung prinsip–prinsip dasar di dalam menyusun
Garis Besar Haluan Negara, yang akan mampu mewujud-
kan cita–cita buat apa negara ini didirikan dengan arah
yang jelas, sehingga meyakinkan kita semua, bahwa Pan-
casila/UUD 1945 masih relevan dan bahkan diperlukan
bangsa ini memasuki era globalisasi.
Kedua langkah itu, harus bisa diselenggarakan secara
simultans, sehingga cita–cita untuk kembali ke UUD 1945
(asli) tidak berarti kita berhenti dengan apa yang tertulis
dalam naskah UUD 1945, tetapi juga membuka peluang
perubahan kearah perbaikan UUD 1945 itu sendiri, agar
tertutup kemungkinan penyimpangan UUD 1945 dan se-
baliknya menjamin terbitnya perundangan dan kebijakan

166 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
yang sesuai dengan UUD 1945 itu sendiri.
Di sinilah titik temu saya dengan mas Amin Arjoso.
Meskipun kami berasal dari petarangan yang berbeda,
yaitu HMI dan GMNI, tumbuhnya persahabatan dan
pertemanan terbuka lebar. Kalau ada perbedaan, hal itu
dapat diibaratkan sebagai kata–kata mutiara “banyak
jalan ke Roma”. Bisa lewat Bangkok dan bisa lewat Jed-
dah. Tujuannya sama, yaitu ke Roma. Tujuannya sama,
yaitu kembali ke semangat UUD 1945.
Inilah catatan untuk mas Amin Arjoso. Semoga mas
Amin Arjoso dapat selalu dan senantiasa menjaga ke-
sehatannya. Amien.

Jakarta, 1 Juni 2010

Amin Arjoso
dan UUD 1945
167
Dari kiri ke kanan:
Eddi Elison, Moch.
Achadi, Amin Arjoso,
Didik Poernomo

Moch. Achadi, Menteri Transmigrasi dan Koperasi pada Kabinet Dwikora,


tampak hadir dalam kegiatan mengembalikan UUD 1945 (asli) bersama
sejumlah tokoh: KH Abdurrahman Wahid, Guruh Soekarnoputra, dan
Soetardjo Soerjogoeritno.

168 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Drs. Moch. Achadi

Amin Arjoso
dalam Dialektika,
dan Romantika
Perjuangan Mencapai
Cita-cita Proklamasi

B
ung Karno memberikan wasiat, : Jangan sekali-
kali meninggalkan sejarah, kalau tidak, maka
akan kebingungan seperti kera di malam hari,
kehilangan arah.
Sejak proklamasi 17 agustus 1945 dengan dasar tujuan
Pancasila dan ketentuan ketatanegaraan tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945, merupakan ukuran pokok,
apakah sikap, pendirian, pemikiran dan langkah-langkah
perjuangan kita adalah konsekuen, tidak menyimpang,
menyeleweng ataupun bertentangan dan berkhianat
kepada dasar tujuan perjuangan.
Setelah dengan keuletan, keteguhan dan penyatuan
kekuatan nasional perjuangan bangsa Indonesia dibawah
kepemimpinan Soekarno – Hatta berhasil mematahkan
segala bentuk agresi, intervensi , subversi asing penjajah,
maka tahun 1949 Kemerdekaan Bangsa Indonesia diakui
oleh PBB, dan sekitar tahun 1962 setelah kembali ke

Amin Arjoso dalam Romantika, Dialektika,


dan Romantika Perjuangan Mencapai Cita-cita Proklamasi
169
Undang-Undang Dasar 1945, semua bentuk gejolak
politik bisa diatasi dan tahun 1963 Irian Barat bisa disa-
tukan ke dalam NKRI.
Demikianlah kemerdekaan NKRI dari Sabang sampai
Merauke berhasil dipertahankan. Sedang fase perjuangan
bangsa yang tak kenal menyerah sejak Agustus 1945 sam-
pai Januari 1963.
Perjuangan yang penuh pengabidan dan penuh pe-
ngorbanan jiwa, raga, harta dan lain sebagainya dan per-
satuan serta kegotong-royongan nasional adalah cara
untuk mencapai sukses-sukes tersebut.
Dalam fase perjuangan setelah 1963, maka bangsa In-
donesia yang meredeka dari Sabang sampai Merauke
tersebut menghadapi medan perjuangan untuk cita-cita
proklamasi sebagai berikut:
1. Memperjuangkan berdiri diatas kaki sendiri di bidang
ekonomi ( berdiadri)
2. Mengganyang proyek Nekolim Malyasia yang telah
menggagalkan kesepakatan Mafilindo (Malaya,
Filipina dan Indonesia), sebagai penyatuan rumpun
melayu (Komando Dwikora: bubarkan proyek Neko-
lim Inggris – Malaysia dan dukung Malaya merdeka,
Kalimantan merdeka bebas dari penajahan Inggris)
3. Conference of the New Emerging Forces (CONEFO)
untuk menghimpun kekuatan bangsa-bangsa yang
sudah merdeka bebas dari penjajahan beserta Negara
Sosialis, untuk mematahkan garis hidupnya imperial-
isme di dunia (peningkatan dari Konferensi Asia
Afrika, Asia Afrika – Amerika Latin, dan Non Blok).
Tanpa menyadari dan mencermati medan perjuangan
bangsa Indonesia tersebut (sekitar tahun 1964), maka kita
sulit untuk bisa mengerti mengapa terjadi peristiwa G-
30-S dan penyalahgunaan Surat Pemerintah Presiden Soe-
karno tanggal 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto,

170 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
kejadian-kejadian mana membawa perubahan mendasar
dan besar-besaran, diikuti korban dan penindasan serta
pelanggaran HAM secara besar-besaran terhadap ratusan
ribu warga Indonesia, untuk bisa mengubah Pemerintah-
an Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soehar-
to, yang didukung modal-modal/perusahaan-perusa-
haan raksasa asing (motor-motornya imperialisme di
dunia) dan lembaga-lembaga ekonomi serta keuangan
antara lain (IGGI, IMF, World Bank, ADB dan lain-lain)
sebagai kesepakatan antara delegasi Indonesia dan
mereka pada akhir tahun 1967 di Geneva- Swiss.
Bangsa Indonesia yang merdeka, maka sejak 1967
sudah menjadi bangsa yang dikuasai oleh kekuatan-
kekuatan ekonomi asing tersebut di atas. Perkembangan
dan perubahan mendasar ini merupakan kontra revolu-
sioner (kebalikan dasar tujuan) dari perjuangan mem-
bangun Indonesia yang berdaulat di bidang politik, ber-
dikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang
kebudayaan. Perubahan kontra revolusioner ini ternyata
formilnya tetap berpegang kepada Pancasila dan Un-
dang-Undang Dasar 1945
Orde baru yang dibangun dengan dukungan asing
seperti itu harus melaksanakan pemerintahan otoriter
dan fasistis untuk menghancurkan dan melumpuhkan
kepemimpinan dan kekuatan-kekuatan perjuangan
bangsa Indonesia yang anti imperialisme dengan tujuan
mengamankan masuknya dan peran asing di bidang
politik, ekonomi dan sebagainya.
Ternyata dukungan asing serupa itu tidaklah mem-
bawa manfaat bagi kesejahteraan bangsa, tetapi justru
hanya menguntungkan asing dan kelompok–kelompok
yang berkuasa beserta pendukung-pendukungnya,
Utang Luar negeri bangsa dan rakyat terus meningkat.
Krisis yang melanda tahun 1997-1998, dipicu oleh hal-
hal tersebut di atas, maka berdirilah pemerintahan

Amin Arjoso dalam Romantika, Dialektika,


dan Romantika Perjuangan Mencapai Cita-cita Proklamasi
171
dengan program reformasi untuk mengubah pemerintah-
an otoriter yang penuh dengan KKN dan pelanggaran
HAM yang menyengsarakan rakyat dan bangsa Indone-
sia,
Runtuhnya orde baru pada tahun 1998, yang merupa-
kan hasil perjuangan rakyat Indonesia sebenarnya juga
menjadi kehendak asing yang sudah mencengkeram eko-
nomi Indonesia. Mereka juga menginginkan mengubah
tatanan politik dan kepemimpinan agar supaya lebih
menjamin perkembangan mereka lebih lanjut, yang ter-
hambat karena pemerintahan otoriter Penuh KKN dan
Pelanggaran HAM.
Dalam proses reformasi ternyata asing dengan kekuat-
an-kekuatan ekonomi dan politiknya, lewat mitra-mitra
dan kaki tangannya dari bangsa Indonesia sendiri,
bergerak terus sehingga bisa mengadakan perubahan-
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan terhadap konstitusi negara itu menjadikan
kehidupan Politik Ekonomi Indonesia menjadi liberal,
materialistis dan individualistis.
Kondisi di atas, semua bermuara pada terkorbankan-
nya kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Fakta yang
bisa kita liat antara lain, utang-utang negara dan bangsa
terus meningkat, angka kemiskinan meningkat, dan
kepercayaan diri dan kepribadian Indonesia merosot.
Tidak heran jika kondisi tersebut mendatangkan ge-
lombang tidak puas masyarakat. Sebagai bentuknya
adalah unjuk rasa yang tidak pernah berhenti dari ka-
langan buruh, mahasiswa, guru-guru dan pedagang-
pedangan rakyat kecil. Sementara di sisi lain, penggusur-
an-penggusuran, sengketa tanah dan lain sebagainya
terus berjalan sebagai tanda ketidakpuasan atas kehi-
dupan mayoritas bangsa dan rakyat Indonesia.
Belum lagi persoalan-persoalan korupsi yang me-
rajalela melibatkan pejabat-pejabat, petinggi-petinggi

172 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
negeri di berbagai lapisan lembaga dan birokrasi yang
belum bisa diatasi dan ditindak sebagaimana mestinya.
Kesemuanya menjadi kenyataan yang benar-benar nyata.
Bagaimana mengatasi hal ini? Jawabnya ialah bahwa
kita sebagai bangsa dan rakyat Indonesia beserta generasi
penerusnya harus tahu dan sadar akan penyebabnya,
yaitu penyelewengan atas dasar dan tujuan kemerdekaan
bangsa Indonesia yang terjadi tahun 1967, dengan cara
mengadakan kerjasama dengan raksasa-raksasa ekonomi
asing untuk pembangunan dan pengelolaan ekonomi di
Indonesia.
Hal inilah yang merupakan awal pembelokan arah
penggunaan bangsa dari berdikari ke menggantungkan
kepada kekuatan-kekuatan politik ekonomi asing. Pada
saat bersamaan, dikembangkan pemerintahan otoriter
untuk menghancurkan kepemimpinan dan kekuatan-
kekuatan perjuangan bangsa yang konsekuen berjuang
untuk Indonesia merdeka yang benar-benar bebas dari
segala bentuk penjajahan.
Oleh karena itu kekuatan-kekuatan politik ekonomi
dengan kepemimpinan yang handal harus dibangun
untuk bisa membawa perubahan mendasar berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang asli melaksanakan per-
juangan bagi kepentingan bangsa dan rakyat, mewujud-
kan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (ma-
syarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila)
perjuangan mendasar yang harus kita laksanakan dengan
juga estafet kepada generasi penerus.
Dalam romantika, dialektika dan dinamika perjuangan
bangsa Indonesia seperti diungkapkan di atas, maka
Amin Arjoso, SH adalah salah satu dari Tokoh Nasionalis
dan Pancasilais yang selalu konsekuen dengan dasar dan
tujuan perjuangan bangsa. Juga sebagai salah satu tokoh
GMNI sangat aktif dalam menghadapai gerakan-gerakan
yang dimotori asing untuk penyelewengan perjuangan

Amin Arjoso dalam Romantika, Dialektika,


dan Romantika Perjuangan Mencapai Cita-cita Proklamasi
173
bangsa dan mendongkel kepemimpinan Presiden Soekar-
no, sebagai akibatnya maka beliau juga mengalami dita-
han oleh rezim Orde Baru selama sekitar 6 tahun, bersama
tokoh-tokoh nasionalis, Soekarnois lainnya.
Setelah bebas dari tahanan, maka Amin Arjoso masih
tetap aktif untuk menegakkan dasar tujuan perjuangan
bangsa, dengan berbagai cara antara lain agar supaya pe-
ristiwa-peristiwa G-30-S dan penyalahgunaan Surat Perin-
tah 11 Maret 1966 yang diselewengkan bisa diungkapkan
kejadian yang sebenarnya. Dia juga concern untuk melu-
ruskan ungkapan-ungkapan yang tidak benar. Oleh ka-
rena itu beliau juga aktif dalam forum-forum pelurusan
sejarah, agar supaya bangsa dan raktyat tidak diracuni
oleh keterangan-keterangan yang tidak benar tentang
peristiwa tersebut, yang bisa mengadu-domba bangsa
beserta akibat-akibatnya, yang menguntungkan penjajah-
an atas bangsa Indonesia.
Sebagai pengacara terkenal beliau juga menjadi Tim
Pengacaranya R. Subandrio, mantan Wakil Perdana
Menteri I dan menteri luar negeri kabinet Dwikora juga
mengambil inisiatif untuk menyusun buku tentang
berhasilnya perjuangan menyatukan Irian Barat tahun
1963. Buku itu berhasil diluncurkan pada November
2000. Pada perisitiwa itu hadir dan ikut menyambut: Dr.
Roeslan Abdulgani, Isnaeni dan Letjen TNI Soesilo
Bambang Yudhoyono (Menteri Polkam dalam Kabinet
Presiden Abudurrahman Wahid).
Dengan Pemilu tahun 1999 Amin Aryoso, SH terpilih
menjadi anggota DPR-RI dari fraksi PDI-P, dan pejabat
sebagai ketua Komisi II (Bidang Hukum). Dalam posisi
tersebut beliau terus aktif dalam meluruskan sejarah serta
berperan dalam keluarnya Undang-Udang Keadilan,
Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, yang menyangkut
dan menangani korban-korban G-30-S yang harus dise-
lesaikan karena diskriminasi dan perlakukan yang tidak

174 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
benar terhadap bekas tahanan dan keluarganya.
Sebagai anggota DPR terus aktif menyelenggarakan
pertemuan-pertemuan untuk mendiskusikan berbagai
masalah kehidupan bangsa akibat pengaruh globalisasi
yang negatif, untuk bisa mengatasi hal tersebut. Yang
paling gigih adalah perjuangan beliau menetang aman-
demen-amandemen terhadap Undang-Undang Dasar
1945 yang kebablasan sehingga menyimpang dari Pan-
casila dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Amandemen-Amandemen tersebut yang berhasil pada
tahun 2002, oleh beliau dinyatakan dengan amandemen-
amendemen seperti itu, maka sudah tidak lagi merupa-
kan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi sudah menjadi
Undang-Undang Baru bagi Republik Indonesia, yaitu
UUD 2002. Istilah UUD 2002 ini adalah meluncur dari
kata-kata Amin Arjoso SH, sehingga menjadi istilah yang
menyebar luas untuk bukti bahwa pihak-pihak asing telah
berperanan dalan perubahan dan pembentukan Undang-
Undang Dasar 2002 yang kita pakai saat ini.
Institusi Amerika yang disebut Nasional Democratic
Institute For International Affairs (NDI), dengan dukung-
an United Agency For International Development
(USAID) dengan dana-dananya, menggerakkan LSM-LSM
asuhannya di Indonesia untuk mendorong terjadinya
amandemen tersebut dengan mengembangkan diri
melaksanakan program: Electroal Reform, Constitutional
Reform, Otonomi, dimana mengaku bekerjasama dengan
berbagai anggota dari DPR dan MPR untuk mensukses-
kan program tersebut.
Hal-hal serupa itu oleh Amin Arjoso, SH diungkapkan
dan disebarkan secara luas dalam pertemuan-pertemuan,
forum-forum diskusi, penerbitan buku dan tabloid, serta
wawancara di berbagai televisi.
Karena gigihnya dalam menentang amandemen, serta
dikecewakan oleh berhasilnya amandemen-amandemen
Amin Arjoso dalam Romantika, Dialektika,
dan Romantika Perjuangan Mencapai Cita-cita Proklamasi
175
itu, dikarenakan kalah voting di DPR ( karena fraksi ABRI
menyatakan abstain), maka hal ini menjadi salah satu
sebab Amin Arjoso jatuh Sakit (stroke). Walaupun
demikian, keluar dari rumah sakit beliau tetap berjuang
untuk menegakkan kembali UUD 1945 ( Undang-Undang
Proklamasi) dan mencabut atau menyatakan tidak berla-
kunya amandemen-amandemen atas UUD 1945 tersebut.
Saya yang sering diajak mendampingi beliau di ber-
bagai kesempatan, dengan menyaksikan sendiri sikap,
pemikiran dan langkah perjuangannya, maka saya benar-
benar mengagumi. Semoga kesemuanya itu akan mem-
bawa hasil yang benar-benar mengembalikan jalannya
perjuangan bangsa kembali kepada dasar dan tujuan
proklamasi 17 Agustus 1945 yaitu Indonesia merdeka
yang benar-benar berdasakan Pancasila dan UUD 1945
asli. Hanya dengan begitu kita bisa mewujudkan ma-
syarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Buku yang berjudul Pemikiran dan Perjuangan Amin
Arjoso Menegakkan Kembali UUD ‘45 ini merupakan salah
satu bukti tentang sikap, pemikiran dan langkah per-
juangan beliau yang konsekuen dengan cita-cita prokla-
masi. Walaupun untuk itu harus menghadapi berbagai
resiko. Bung Karno berpesan bahwa kita harus berjuang
yang terpikul oleh alam dan memikul alam untuk
kesuksesannya.

Jakarta, 18 Mei 2010

176 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Karikatur-karikatur yang pernah dimuat Tabloid Cita Cita pimpinan H.
Amin Arjoso, SH.

177
178 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Saiful Sulun

Politisi tidak Boleh


Obok-obok
Konstitusi

J
ika ada anak bangsa yang begitu gigih membela dan
mempertahankan konstitusi, dialah H. Amin Arjoso,
SH. Sejak amandemen terhadap UUD 1945 digulir-
kan oleh MPR RI periode 1999 – 2004, Amin Arjoso
yang merupakan anggota MPR/DPR RI dari Fraksi PDI-
P periode yang sama, langsung melakukan gerakan pe-
nentangan. Ia tidak peduli jika dikatakan menentang arus.
Ia bahkan tidak peduli jika harus menerjang bahaya.
Itu sekelumit komentar pembuka Mayjen TNI (Pur)
Saiful Sulun, tentang Amin Arjoso. Selanjutnya, ia me-
ngisahkan ihwal awal perjuangan bersama Amin Arjoso,
membela konstitusi kita. “Kalau tidak salah tanggal 14
Mei 2002, kami dari Foko menghadap pimpinan MPR
untuk menyampaikan aspirasi terkait amandemen yang
sudah dan sedang berlangsung. Nah, itulah kali pertama
saya kenal Amin Arjoso dalam ajang perjuangan yang
sama,” ujar Saiful.
Foko atau Forum Komunikasi adalah sebuah lembaga
Politisi tidak Boleh
Obok-obok Konstitusi
179
bersama tempat bernaung para purnawirawan ABRI.
Ketika itu, para pensiunan ABRI menyampaikan aspirasi
agar MPR membatalkan dua amandemen terdahulu
(amandemen I, II, dan III), dan menghentikan amandemen
keempat yang sedang berlangsung,” ujar mantan Pang-
dam V/Brawijaya itu.
Sejarah kemudian mencatat, bahwa aspirasi para
purnawirawan itu seperti angin yang berlalu. Bukan saja
amandemen I, II, dan III tidak dibatalkan, tetapi aman-
demen IV juga dilanjutkan. “Kami waktu itu berprinsip,
bahwa tidak mudah dan tidak boleh serampangan meng-
amandemen konstitusi,” tandasnya.
Undang Undang Dasar, lanjut Saiful, adalah sebuah
dasar negara yang tidak boleh diobok-obok semau-mau-
nya. Lebih dari itu, Undang Undang Dasar tidak boleh
diobok-obok oleh para politisi. Sebab, pada founding fa-
thers memikirkan dasar negara juga tidak seram-pangan
dan melalui pergulatan panjang. Mereka adalah para
negarawan dan para ilmuwan.
Dituturkan, bahwa dalam waktu bersamaan, ia tahu
betul bahwa Amin Arjoso dan kawan-kawan juga terus
bergerak melakukan penentangan terhadap amandemen
UUD 1945. Sejak itu pula, hubungan Amin Arjoso dan
Saiful Sulun semakin intens. “Setidaknya kami memikiki
concern yang sama atas konstitusi kita,” tandas mantan
Wakil Ketua DPR/MPR RI itu.
Dalam pada itu, kata Saiful, para purnawirawan sepa-
kat bahwa MPR RI memang memiliki kewenangan mela-
kukan amandemen terhadap konstitusi. Akan tetapi,
yang mengerjakan hendaknya bukan politisi, melainkan
dibentuk tim yang terdiri atas para negarawan dan para
ilmuwan, serta tidak bisa dilakukan hanya dalam satu
periode waktu yang pendek.
Sejak semula kelompok Foko sudah mengingatkan,
pihaknya tidak semata-mata anti-amandemen. Pihaknya

180 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
justru memperingatkan, amandemen adalah sebuah gawe
politik yang besar. Amandemen konstitusi tidak bisa
dilakukan oleh politisi, dan tentu saja tidak bisa dilaku-
kan dalam era euforia reformasi.
Sedangkan para pendahulu kita merancang konstitusi
dalam waktu yang lama, dan dilakukan para negarawan
dan ilmuwan, jadi tidak bisa serampangan. Selain itu,
dilakukan dalam suasana kebatinan yang tenang, bukan
pada masa perang. Empat puluh lima hari sebelum pro-
klamasi, para pendiri bangsa sudah merancang secara
cermat. Sedangkan, amandemen UUD 1945 pada tahun
1999–2002 bisa dikatakan dilakukan pada masa “perang”.
“Suasana pasca reformasi yang panas, mirip suasana
perang. Tidak ada ketenangan, sehingga sangat tidak
kondusif pada masa seperti itu digunakan untuk meng-
amandemen konstitusi,” papar Saiful pula.
Saiful berpendapat, karena amandemen dilakukan
oleh politisi serta dilakukan pada masa “perang”, tentu
saja berakibat munculnya gerakan perlawanan dan pe-
nentangan, yang salah satunya dilakukan secara gigih
oleh kelompok Amin Arjoso. Ia ingat, perjuangan Amin
Arjoso dengan sejumlah elite PDI Perjuangan dan ang-
gota DPR/MPR lain yang jumlahnya mencapai 206 or-
ang adalah batalkan amandemen atau kembali ke UUD
1945.
Selain itu, Saiful juga ingat bagaimana akhirnya Fraksi
PDI-P sendiri tidak merestui gerakan Amin Arjoso Cs
dalam menentang amandemen terhadap UUD 1945. Ia
menduga, waktu itu suasana benar-benar kacau. Banyak
politisi “bermain” dalam proses amandemen. Tidak he-
ran jika elit partai politik besar seperti PDIP saja akhirnya
tidak bisa satu suara.
Mereka yang nota bene kader nasionalis sepertinya
lupa, bahwa Bung Karno, Bung Hatta dan para negarawan
ketika itu, sudah mendiskusikan mengenai konstitusi,
Politisi tidak Boleh
Obok-obok Konstitusi
181
dasar negara, dan segala hal menyangkut Indonesia mer-
deka itu sejak tahun 1934. Sejak itu pula mereka sudah
membahas tentang format atau bentuk negara, cita-cita
negara, dan semua hal yang intinya berujung pada tekad
dan niat mewariskan Indonesia yang merdeka, menuju
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.
“Bayangkan, PDI-P saja tidak bisa satu suara menyi-
kapi soal amandemen UUD 1945 itu. Padahal, harusnya
mereka menolak tegas dengan dalih apa pun. Jika akhir-
nya sampai pecah suara, ada apa?” tanya Saiful.
Namun, atas sikap yang berbeda dari fraksinya, Amin
Arjoso tidak peduli. Ia terus saja melangkah, terus ber-
gerak, terus berjuang menentang amandemen dan mem-
perjuangkan kembalinya UUD 1945. Langkahnya men-
dapat apresiasi banyak pihak. Tidak heran jika sejak 2001
hingga hari ini, barisan yang ada di belakang Amin Arjoso
semakin panjang. Sejak itu pula, Amin Arjoso tidak per-
nah lelah memperjuangkan kembalinya UUD 1945. Se-
kalipun, hal itu mengakibatkan ia terserang stroke.

Rakyat Mulai Sadar


Saiful Sulun mengagumi kegigihan Amin Arjoso
dalam memperjuangkan keyakinannya. Ini bisa menjadi
inspirasi dan motivasi bagi siapa pun, termasuk dirinya.
Segala jerih payah dan upaya tak kenal lelah Amin Arjo-
so, seperti dijanjikan sebuah falsafah, bahwa ketekunan
akan berbuah keberhasilan, maka tanda-tanda ke arah
sana sudah mulai tampak.
Sekarang, bertahun-tahun setelah amandemen dila-
kukan, rakyat mulai merasakan betapa konstitusi kita
(hasil amandemen) tidak berpihak kepada rakyat banyak.
Betapa konstitusi kita sekarang sama sekali tidak men-
janjikan sebuah masyarakat yang adil dan makmur se-
perti cita-cita proklamasi. Bahwa konstitusi kita justru
membuat perjalanan bangsa dan negara ini seperti tak

182 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
punya arah.
Kesadaran itu bahkan mulai merasuk ke masyarakat,
baik individu maupun kelompok yang barangkali dulu
pernah berpendapat setuju terhadap amandemen.
Kelompok yang dahulu menganggap bahwa amandemen
itu bagus. Nah, kini mereka mulai mempertanyakan
manfaat konstitusi. Mereka mulai menyadari bahwa
amandemen justru makin merusak dan membuat jalan-
nya negara tak tentu arah.
Karenanya, kiprah perjuangan Amin Arjoso senantiasa
akan aktual dan perlu didukung semua pihak. Ia pribadi,
maupun bersama Foko (Forum Komunikasi) yang di an-
taranya ada Pepabri, PP AD, PP AL, PP AU dan lain-lain,
senantiasa mendukung langkah Amin Arjoso demi
kembalinya konstitusi atau apa pun istilahnya, agar arah
negara menjadi semakin jelas dan terarah menuju cita-
cita menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Saiful Sulun menengarai, amandemen UUD 1945 tidak
lepas dari skenario global yang hendak menyeret Indo-
nesia menginduk kepada salah satu blok. Amandemen
konstitusi tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian tak
terpisahkan dari guliran era reformasi, guliran otonomi
daerah, guliran demokratisasi dan HAM versi Barat.
Pasca amandemen, diyakini masih ada agenda global lain
menuju tercerai-berainya bangsa ini menjadi berkeping-
keping, sehingga menjadi lemah adanya.
Sebelum mengamandemen, sebelum menggulirkan
demokratisasi dan HAM, pihak asing dibantu elemen da-
lam negeri membuat berbagai publikasi dan pencitraan
seolah-olah Presiden Soeharto otoriter, seolah-olah peme-
rintahan Soeharto tidak demokratis. Itu semua karena
Presiden dan Pemerintahan Soeharto (baca: Orde Baru)
didukung oleh konstitusi, UUD 1945. Karenanya, jika
ingin Indonesia demokratis… jika ingin Indonesia mene-
rapkan standar HAM… jika Indonesia ingin lepas dari

Politisi tidak Boleh


Obok-obok Konstitusi
183
kepemimpinan seorang diktator,maka yang pertama kali
harus dilakukan adalah mengamandemen konstitusi.
Kita bisa membayangkan guliran isu dan pembentuk-
an opini publik seperti itu ditangkap mentah-mentah
oleh berbagai kalangan. Ada yang benci Soeharto, ada
yang menghendaki pergantian rezim, ada yang meng-
anggap demokrasi liberal itu baik. Siapa saja mereka?
Mereka bisa dikategorikan kelompok “PKI”, “DI”, dan
semua barisan sakit hati.
Dalam situasi seperti itu, pasti ada harapan diterima-
nya kembali komunis sebagai dasar negara, Islam sebagai
dasar negara, yang penting bukan Pancasila. Yang penting
konstitusi kita bukan UUD 1945. Artinya, jika menghen-
daki negara kita menjadi lebih bagus, maka harus diganti
konstitusinya. Jika menghendaki terciptanya demokrati-
sasi dan kesejahteraan bagi rakyat, harus diamandemen
konstitusinya. Begitulah mereka meniupkan opini pu-
blik, sehingga berbagai latar belakang elite bangsa ter-
masuk kelompok yang sejatinya tidak mengerti apa-apa,
terjerumus dalam gerakan ikut-ikutan menyetujui aman-
demen terhadap UUD 1945.
Mereka, ditambah konspirasi asing, yang kemudian
mematangkan situasi dan kondisi, termasuk situasi po-
litik yang kondusif sehingga memperlancar proses aman-
demen UUD 1945. “Jadi sesungguhnya, tanpa sadar kita
telah dipermainkan oleh asing,” tandas Saiful Sulun.
Kepentingan asing, setelah mendapat angin segar,
mulailah meniupkan agenda-agenda mereka, seperti
misalnya konsep negara, dari kesatuan menjadi federasi.
Dengan dalih negara yang begini besar, tidak bisa meng-
gunakan sistem kesatuan, melainkan harus federasi se-
perti Amerika. “Nah, banyak yang tidak ngerti, bahwa
Amerika itu satu land, China itu satu land… tidak masa-
lah jika mereka menggunakan sistem federasi, tetapi In-
donesia yang beribu-ribu pulau, tidak bisa!” tandas

184 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Saiful Sulun.
Singkatnya, Undang-Undang Dasar 1945 adalah pro-
duk konstitusi asli Indonesia. “Sangat indah dan khas
Indonesia, serta paling sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Kita harus tahu, bahwa konstitusi Amerika itu
juga bagus, tetapi bagus untuk bangsa Amerika. Undang-
Undang Dasar Cina bagus, tapi bagus untuk bangsa Cina.
Nah, UUD 1945 paling pas buat bangsa kita,” ujarnya.
Di mana letak keindahan UUD 1945? Saiful Sulun men-
jawabnya sendiri, keindahan UUD 1945 terletak pada
pembukaannya. Pembukaan UUD 1945 adalah ruh atau
jiwa konstitusi kita. Apa, siapa bangsa Indonesia, dan
mau ke mana kita, serta apa yang mau kita capai teru-
muskan dengan baik di pembukaan UUD 1945. Dan se-
muanya terilhami oleh Pancasila sebagai dasar ideologi
negara.
Ditambahkan, pembukaan UUD 1945 adalah suatu
cara untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Nah, bagai-
mana caranya, itulah yang terangkum dalam batang tu-
buh serta penjelasannya. Sekarang, setelah pasal-pasal
yang ada diamandemen, maka arah menuju cita-cita ke-
merdekaan bisa bergeser. “Inilah yang berbahaya dari
dampak amandemen yang serampangan,” kata Saiful.
Contoh kecil dari kerusakan amandemen adalah
dalam hal penerapan sistem demokrasi ala Barat. Padahal,
demokrasi Indonesia adalah demokrasi perwakilan.
Dampak dari demokrasi ala liberal semua tatanan kehi-
dupan politik berubah. Money politics merajalela, konflik
horizontal terjadi di mana-mana, kita menjadi bangsa
individualistis dan tidak produktif. Selain itu, demokrasi
liberal yang sekarang kita pakai, tidak menjamin lahirnya
pemimpin berkualitas dan berintegritas. Tidak heran jika
banyak di antara mereka yang berakhir di balik jeruji
penjara.
Mengapa hal itu terjadi? Dalam sistem demokrasi
Politisi tidak Boleh
Obok-obok Konstitusi
185
seperti ini, siapa punya uang bisa berkuasa. Sebab, uang
bisa digunakan membeli suara. Sementara, tokoh yang
punya kualitas dan berintegritas tinggi tetapi tidak punya
uang, akan terhambat, tidak akan bisa memegang ke-
kuasaan untuk memajukan bangsa dan negara. “Ada lagi
yang lebih parah… sudah bodoh, tidak punya uang…
tapi punya cukong…. Nah, jika dia kemudian jadi
pemimpin, bisa dibayangkan seperti apa kepemimpinan-
nya,” kata Saiful, geram.
Bangsa Indonesia benar-benar telah menjadi bulan-
bulanan bangsa asing. Negara yang memaksakan sistem
demokrasi liberal seperti Amerika Serikat saja, sekalipun
rakyatnya memilih langsung, tetapi hasil tetap menggu-
nakan sistem electoral vote. Jadi dulu, Al Gore dipilih lebih
banyak rakyat dalam pemilihan presiden, tetap kalah se-
cara electoral vote dari George W. Bush. Beda dengan Oba-
ma yang menang dua-duanya. Sementara Indonesia me-
nerapkan pilih langsung secara mentah dan mengabaikan
sistem demokrasi perwakilan yang hingga saat ini masih
sangat relevan buat bangsa kita.
Demokrasi liberal adalah ciri bangsa yang menganut
individualisme, sedangkan bangsa kita adalah bangsa
kolektivisme. Makanya, sangat aneh jika sekarang kita
mengagung-agungkan sistem luar yang sama sekali tidak
sesuai dengan kondisi bangsa kita. Tidak heran jika di
seluruh wilayah Indonesia, hampir setiap hari merebak
kerusuhan, dari mulai masalah sengketa politik sampai
alasan-alasan kecil yang tidak prinsip. Ini tidak lepas dari
bergesernya tatanan sosial masyarakat akibat doktrin li-
beral yang dicekokkan pihak asing kepada bangsa kita.
Terakhir Saiful Sulun mengingatkan, berbagai usaha
intervensi asing tadi, termasuk dalam proses amande-
men UUD 1945 tidak lain merupakan bagian dari desain
besar pihak asing. “Grand design itu bermuara pada han-
curnya Indonesia,” tandasnya.

186 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Haryanto Taslam

Amin Arjoso,
Orang Keras Kepala
Menolak Amandemen

T
idak terbantahkan, bahwa Undang-Udang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diberlakukan sekarang ini adalah produk mo-
numental Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) periode 1999 – 2004.
Undang-Undang Dasar (UUD) tersebut sengaja dilahir-
kan dari proses amandemen yang sejatinya adalah ‘pem-
bantaian’ terhadap UUD 1945 yang dilakukan sebanyak
empat kali dalam kurun waktu tahun 1999 sampai
dengan tahun 2002 dengan dalih memenuhi tuntutan
reformasi.
Mungkin, karena UUD itu disusun dari proses ‘pem-
bantaian’ terhadap UUD 1945, maka dengan naifnya MPR
menamai dengan sebutan sebagai UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Padahal nyata-nyata UUD itu di-
buat pada tahun 2002. Sehingga penamaan dan penye-
butannya pun menjadi terkesan manipulatif, dan bahkan

Amin Arjoso, Orang Keras Kepala


Menolak Amandemen
187
berkonotasi membodohi generasi anak cucu bangsa.
Sebab, bagaimana pun pencantuman tahun di belakang
penyebutan UUD itu jelas ada maksudnya, yaitu untuk
memberi keterangan waktu kapan UUD itu dibuat. Na-
mun sayangnya, sampai sekarang tidak ada penjelasan
resmi, baik dari MPR maupun dari para ahli hukum tata-
negara dan juga dari para ahli semantik, mengapa harus
mencantumkan tahun 1945? Dan mengapa MPR tidak
berani mencantumkan tahun 2002 saja supaya terasa lebih
fair dan sesuai dengan kenyataannya?
Nah, yang pasti, dan suka atau tidak suka, kehadiran
dan pemberlakukan UUD produk MPR itu sejak awalnya
memang sudah mengundang kontroversi berbagai pihak.
Banyak orang yang menolaknya, dan menghendaki agar
UUD 1945 asli sebagaimana yang ditetapkan oleh PPKI
pada 18 Agustus 1945 dan yang kemudian didekritkan
pemberlakuannya kembali oleh Presiden Soekarno pada
5 Juli 1959, dinyatakan berlaku lagi untuk menyeleng-
garakan kehidupan bernegara Republik Indonesia. Di
antara mereka yang selalu konsisten menyuarakan keti-
dak-setujuannya terhadap UUD produk MPR, dan me-
minta diberlakukannya kembali UUD 1945 asli, adalah
Amin Arjoso dan kawan-kawan.
Gerakan menolak UUD produk MPR dan kembali ke
UUD 1945 asli yang dimotori oleh Amin Arjoso dkk, bu-
kanlah sekadar retorika melawan arus perubahan zaman.
Dan bukan pula sekadar mengagung-agungkan roman-
tisme masa lalu. Sebagai anggota MPR dan sekaligus
Ketua Panitia Ad-Hoc I (PAH-I) dalam persidangan MPR
1999, Amin Arjoso jelas terlibat aktif menyusun “konsen-
sus nasional” yang menjadi dasar untuk melakukan
amandemen terhadap beberapa pasal UUD 1945 yang
dipandang perlu untuk dipertegas atau disempurnakan
supaya tidak multi tafsir dan disalah-gunakan oleh pe-
nguasa, seperti yang pernah terjadi di era orde baru.
Dalam konsensus itu disepakati, bahwa amandemen

188 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
yang dilakukan terhadap beberapa pasal itu bersifat ad-
dendum. Artinya, ketentuan baru yang merupakan pe-
nyempurnaan peraturan yang ada tidak langsung meng-
ubah bunyi dan mengganti substansi pasal-pasal UUD
1945 asli, melainkan merupakan ketentuan tambahan
yang menjadi bagian integral dari UUD 1945 tersebut.
Sehingga format dan sistematika UUD 1945 pasca aman-
demen seharusnya menjadi; Pembukaan, Batang Tubuh
yang terdiri 16 Bab dan 37 Pasal dengan 4 Aturan Tam-
bahan dan 2 Aturan Peralihan, Penjelasan, dan Adden-
dum.
Tapi faktanya, amandemen dilakukan tidak lagi dida-
sarkan pada konsensus dan sudah jauh kebablasan. Semua
pasal, tanpa kecuali, langsung ‘dibantai’ habis. Diubah
bunyinya, dan diganti substansinya. Termasuk bagian
Penjelasan yang memuat pokok-pokok pikiran adiluhung
para pendiri bangsa pun dimusnahkan. Ada Bab dan pa-
sal yang dihilangkan. Tapi ada beberapa Bab dan puluhan
pasal baru yang diduplikasi dan dijejalkan secara paksa
hanya dengan pemberian kode A, B, C, D, dst. Sehingga
format dan sistematika UUD produk MPR itu menjadi
kacau dan tidak jelas, bahkan mungkin juga menjadi
paling aneh di dunia. Ditambah lagi dengan kenyataan,
bahwa amandemen yang dilakukan sebanyak empat kali
itu justru terbukti selalu dikawal dan dipandu oleh pihak
asing lewat LSM - National Democratic Institute (NDI)
yang dibiayai oleh Amerika Serikat.
Alhasil, amandemen yang kebablasan itu memang sejak
awal sudah mengguratkan kekecewaan dan kecemasan
pada sebagian anggota MPR. Puncaknya, dalam Sidang
Tahunan MPR tahun 2001, secara terang-terangan, Amin
Arjoso bersama 207 anggota MPR yang meliputi beberapa
fraksi menyatakan “menolak dan tidak ikut bertanggung-
jawab terhadap usaha-usaha perombakan UUD 1945” de-
ngan kedok amandemen tapi sejatinya akan mengganti-
nya dengan UUD yang sama sekali baru.

Amin Arjoso, Orang Keras Kepala


Menolak Amandemen
189
Amin Arjoso memang tergolong orang yang ‘keras
kepala’ untuk urusan menolak amandemen dan sekali-
gus mempertahankan UUD 1945. Meski sudah tidak lagi
jadi anggota MPR dan mengalami keterbatasan fisik kare-
na terserang stroke beberapa waktu lalu, tapi ia pantang
menyerah untuk mengembalikan UUD 1945.
Dengan langkah kakinya yang tertatih-tatih, dan bica-
ranya pun tergagap-gagap, Amin Arjoso masih sering
nekad keluyuran ke beberapa daerah untuk bertemu de-
ngan tokoh atau teman-temannya di daerah yang sepemi-
kiran dan sehaluan dengannya. Juga tidak jarang ia meng-
gelar acara diskusi publik di berbagai tempat, dan meng-
adakan pertemuan-pertemuan di rumahnya dengan be-
berapa tokoh tua maupun muda. Adapun tema diskusi
atau pertemuan-pertemuan itu selalu tidak pernah ber-
geser, yaitu “menolak amandemen dan menggugat UUD
produk MPR tahun 2002 untuk kembali ke UUD 1945”.
Bahkan beberapa waktu lalu, Amin Arjoso bersama
beberapa rekan sempat pula membentuk Panitia Per-
siapan Kembali ke UUD 1945. Kelompok ini mencoba
melakukan kajian-kajian empiris maupun akademis ter-
hadap semua aspek berkonstitusi yang sesuai dengan
ideologi dan falsafah hidup bangsa, kemudian men-
sosialisasikan ke berbagai lapisan masyarakat melalui
berbagai penerbitan buku, jurnal, brosur, dan lain seba-
gainya. Termasuk berkirim surat maupun berkorespon-
densi dengan tokoh-tokoh politik, pimpinan-pimpinan
organisasi kemasyarakatan seperti PPAD, DHN 45 dsb,
serta pejabat-pejabat tinggi di pemerintahan.
Dengan didorongkan oleh itikad baik dan niat yang
tulus untuk menyelamatkan masa depan bangsa dan
negara, Amin Arjoso bersama kawan-kawan tanpa ragu
melangkahkan kaki ke Sekretariat Negara untuk me-
nyampaikan surat kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Dalam surat itu, Amin Arjoso dkk menyam-

190 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
paikan pokok-pokok pemikiran dan argumentasi logis
kepada presiden agar berani melakukan Dekrit yang
pada prinsipnya mengenai dua hal. Pertama, membatal-
kan amandemen yang melahirkan UUD produk MPR
tahun 2002 yang nyata-nyata sangat bersifat individual-
liberalistik sehingga tidak sesuai dengan falsafah hidup
dan budaya bangsa Indonesia. Kedua, menyatakan diber-
lakukannya kembali UUD 1945 asli dalam penyeleng-
garaan kehidupan berbangsa dan bernegara Republik
Indonesia,
Pendek kata, tiada hari tanpa upaya menegakkan kem-
bali UUD 1945. Meski sudah banyak yang dilakukan,
nampaknya bagi Amin Arjoso memang tidak boleh ada
aral yang melintang untuk terus berjuang, dan berjuang
lagi kembali ke UUD 1945. Dan Amin Arjoso menikmati
perjuangan itu sebagai bagian dari ibadahnya.

Amin Arjoso, Orang Keras Kepala


Menolak Amandemen
191
Alm. Ali Sadikin atau yang akrab disapa Bang Ali, termasuk salah satu
tokoh Petisi 50 yang aktif mendukung langkah Amin Arjoso dkk,
mengembalikan UUD 1945 (asli).

192 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Ridwan Saidi

Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945

B
erbicara tentang UUD 1945 tentu saja UUD
seperti ditetapkan oleh Sidang PPKI tanggal 18
Agustus 1945, bukan ‘UUD 1945’ yang telah
diamandemen sebanyak empat kali.
Amin Arjoso, SH termasuk yang paling gigih berjuang
untuk kembali kepada UUD 1945 dan menolak aman-
demen sejak ia masih menjadi anggota DPR/MPR 1999-
2004. Ia orang yang tak dapat jeda sedikit pun dari sua-
sana kejuangan meski pun terbaring di Rumah Sakit. Apa
yang diperjuangkan Amin Arjoso, SH adalah menja-di
keprihatinan banyak kalangan mengingat keadaan negeri
semakin memprihatinkan semenjak memasuki era Refor-
masi. Reformasi seolah menjadi zaman baru karena para
jubir reformasi mencela periode Presiden Soeharto dan
Presiden Sukarno.
Seseorang dapat memandang Presiden Sukarno dari
sisi buruk. Ia membubarkan Masyumi, PSI, dan Murba.

Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945
193
Ia memenjarakan puluhan politisi yang punya jasa besar
dalam perjuangan kemerdekaan tanpa proses pengadil-
an. Tetapi Presiden Sukarno telah membuat jasa yang
amat besar. Ia seorang pahlawan pembebasan tanah air.
Ia mengutuhkan wilayah NKRI dengan kembalinya Irian
Barat, meski dengan cost tinggi. Ia menolak pelaksanaan
isi perjanjian KMB 1949 yang amat memberatkan. Antara
lain Indonesia harus membayar kerugian yang diderita
Belanda akibat pemberontakan Diponegoro dan Perang
Aceh, juga kerugian warga Belanda akibat pengambil-
alihan perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan.
Pemberitaan koran-koran dan radio pada zaman Pre-
siden Sukarno hanya menyangkut pidato Bung Karno
dan para pembesar tentang Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian hari saya mencoba memahami Pancasila dan
UUD 1945 itu secara hukum dan konstitusi.
Pemahaman saya akan hukum terbentuk kerana kelak
setamat SMA saya menjadi mahasiswa pada Fakultas
Publisistik Universitas Padjadjaran tahun 1962-1963, dan
sejak tahun 1963 menjadi mahasiswa Fakultas Hukum
dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas In-
donesia. Menyelesaikan studi pada tahun 1976 sebagai
sarjana Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia.
Setelah itu pada tahun 1977-1982 dan 1982-1987 men-
jadi anggota DPR RI mewakili Partai Persatuan Pemba-
ngunan. Dalam kesempatan itu saya menjadi anggota
Badan Pekerja MPR, Wakil Ketua Komisi APBN, dan
Wakil Ketua Komisi X bidang ilmu pengetahuan.
Sebenarnya konstruksi berpikir hukum saya mulai ter-
bentuk ketika usia remaja belajar Ilmu Fiqh pada Mu’alim
Roji’un, kampung Pekojan, kemudian pada ayah di
rumah. Kemudian berkat didikan guru-guru saya yakni:
Mr Mohammad Rum, A. Dachlan Ranuwihardjo, SH, dan
Prof Hamid S. Attamimi, SH, guru dan mitra debat dalam
Pansus-pansus sejumlah RUU di DPR, konstruksi

194 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
berpikir hukum saya semakin kokoh. Di samping peng-
alaman saya kemudian hari selama enam bulan diperiksa
Kejaksaan Agung, dan di Pengadilan Negeri pada tahun
1996 dalam perkara politik, ikut memantapkan kons-
truksi berpikir hukum saya.
Karena itulah saya cenderung melihat tidak berhasil-
nya pemerintah-pemerintah hasil reformasi karena tidak
tertibnya hukum dan konstitusi, bahkan mulai dari tahap
pembentukan hukum dan perundang-undangan.
Sejak terbit reformasi tahun 1998 Indonesia dilanda
krisis ekonomi yang belum pulih hingga sekarang.
Agenda perbaikan ekonomi tak pernah digarap dengan
tekun oleh pemerintah-pemerintah reformasi. Mereka
senantiasa sibuk pemilu dengan derivasinya pilpres dan
pilkada. Maka, performa pemerintah yang dihasilkan,
1. Pemerintahan bukan sebuah sistem yang padu, baik
dalam arti governance maupun administration. Dalam
arti governance lembaga-lembaga tinggi negara
merupakan kekuasaan yang mempunyai kedaulatan
sendiri-sendiri dan bergerak dalam orbit masing-
masing. Dan ini dimungkinkan oleh UUD Perubahan
2002.
2. Pemerintahan dalam arti administration, secara vertikal
kerap kali mengalami gerak centrifugal. Bupati/
Walikota tak taat Gubernur, Wakil Gubernur tak taat
Gubernur, Gubernur tak taat Presiden.
3. Korupsi makin meluas ke segala lapisan pemerintahan
Saya anti PKI dan terlibat dalam aksi Angkatan 66,
tetapi istilah kapitalis birokrat yang diciptakan PKI sung-
guh jenius. Indonesia tidak pernah punya akar kapitalis
sejati seperti Blavatsky, Ford, Rockefeller, Bandar bin
Sultan, keluarga Bin Laden, dan Onassis. Kecuali pada
masa 1816 hingga 1942. Oei Tiong Ham per definisi adalah
kapitalis sejati. Di samping sejumlah orang yang terlibat

Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945
195
dalam industri rokok kretek. Begitu juga owners
ondeneming di Jawa dan Sumatera, dan mereka yang
memiliki tanah particulier. Mereka tidak memakai uang
Bank dengan kattabeletje pejabat pemerintahan.
Sejak kemerdekaan, kapitalis-kapitalis Indonesia
adalah rata-rata kapitalis birokrat. Pengecualian kecil
sekali. Terlebih-lebih pada zaman Orde Baru dan Refor-
masi. Mereka menjadi kapitalis karena hubungan kroni
dengan birokrasi. Skandal BLBI adalah contoh yang
legendaris. Dan contoh-contoh makin banyak saja di era
Reformasi. Tidak ada perang yang tak berbuntut kehan-
curan ekonomi. PD I dan PD II berbuntut kehancuran
ekonomi dunia. Begitu juga perang Korea tahun 1952.
Krisis Indonesia diperparah dengan krisis Global yang
telah melibas Yunani dan Portugal. Krisis Global dise-
babkan karena Amerika Serikat mengeluarkan belanja
perang yang amat tinggi.
Perang Iraq dan Afghanistan setidaknya menelan biaya
lebih dari 10 Trilyun dollar. Bahkan ada yang memper-
kirakan 15 Trilyun Dollar. Federal Reserve harus bertang-
gung jawab pada investor yang membeli obligasi.
Maka diaturlah skenario bahwa krisis keuangan glo-
bal disebabkan pasar modal yang jatuh. Kejatuhan pasar
modal disebabkan karena jatuhnya saham-saham pe-
rumahan. Saham perumahan jatuh karena kredit macet.
Omong kosong ini dibeli oleh ekonom Indonesia baik
yang di pemerintahan maupun yang di luar. Hanya se-
jumlah kecil ekonom dan pengamat krisis yang tak mem-
percayai krisis pasar modal bibit krisis global.
Akhirnya bau bangkai tak dapat ditutup-tutupi. Dalam
beberapa kali pertemuan Menteri-menteri Keuangan
dimulai sejak di Sao Paolo Brasil minggu pertama No-
vember 2008 terungkap bahwa semua negara mengalami
krisis likuiditas, termasuk Amerika. Juga dalam beberapa
kali pertemuan G-20 di Amerika, delegasi negara-negara

196 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Eropa bersikukuh mengatakan bahwa pemicu krisis
keuangan global adalah krisis sektor keuangan Amerika.
Tentu saja krisis ini akan makin berkepanjangan jika
semua kita tidak menginsyafi bahwa mengubah UUD
1945 menyebabkan sistem kenegaraan tak dapat dipa-
hami, apalagi dijalankan. Bahkan sekarang pelajaran Tata
Negara sudah tidak diajarkan lagi di SMU karena guru-
guru mengalami kesulitan mengajarkan UUD 1945.
Indonesia akan tetap dapat bangkit kembali sebagai
bangsa. Paling tidak kita mempunyai tiga kekuatan un-
tuk dapat melesat sebagai negara maju, yakni pertama
kekayaan alam, kedua the power of history, kekuatan seja-
rah, dan yang ketiga adalah azas dan falsafah negara yang
kita namakan Panca Sila, sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila-
sila yang lain merupakan penggalian dari sejarah per-
jalanan bangsa Indonesia yang panjang. Tidak ada or-
ang Indonesia yang menyembah batu, pohon-pohonan,
atau benda apa pun juga. Di dalam teologi dibedakan
antara God dan the idea of God.
Itulah sebabnya bangsa Indonesia tidak menyukai
kekerasan. Sepanjang sejarah Indonesia akan kita saksikan
betapa penduduk negeri ini menolak kekerasan dalam
segala bentuknya. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mengan-
dung makna bahwa kekuasaan adalah zat yang bersih
yang tidak boleh dikotori oleh permainan kekuasaan.
Dalam pandangan Panca Sila kekuasaan adalah sesuatu
yang utuh yang fungsi-fungsinya dapat dibagikan, tetapi
kekuasaan itu sendiri sebagai zat tidak terbagi.
Kekuasaan itu utuh adalah pandangan kebudayaan
yang sudah hidup di Indonesia ribuan tahun. Bahkan
kekuasaan tidak diperebutkan karena asal kekuasaan itu
bukan dari manusia tetapi dari Yang Kuasa. Itulah

Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945
197
sebabnya ketika Tarumanagara memerangi Salakanagara
dan mereka disuruh takluk, mereka pun takluk. Juga keti-
ka Majapahit diruntuhkan, tidak ada perlawanan sama
sekali. Para menak dan hulun, pendukung, kerajaan me-
ninggalkan Majapahit. Hal serupa terjadi ketika pela-
buhan Kalapa dirampas dan Padjadjaran diruntuhkan.
UUD 1945 merupakan sebuah susunan kesatuan hu-
kum yang jelas yang didasarkan pada staatfundamen-
talsnorm seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Staatfundamentalsnorm, norma dasar negara, adalah kelima
sila yang tercantum dalam Pancasila. Kelima sila meru-
pakan hogere optrekking, idealisasi tertinggi, dari segala
ideologi yang dipergumulkan di banyak negara.
Seperti yang dikatakan Ato Masuda, pergumulan ide-
ide di Indonesia dipicu oleh kebangkitan bangsa-bangsa
Asia yang disebabkan oleh kemenangan Jepang dalam
perang terhadap Rusia di Manchuria pada tahun 1904.
Inilah modal untuk bergerak ke depan sebagai bangsa.
Meskipun hidup memerlukan fantasi, tetapi cita-cita ke
depan untuk mencapai Indonesia Jaya sama sekali bukan
fantasi, tetapi tantangan sejarah bagi putra-putra Indo-
nesia.
Rakyat harus bersatu untuk memutuskan rantai ke-
miskinan yang membelenggu dirinya. Kita adalah rakyat,
dan harus bersama rakyat. Jangan dengan yang lain.
Dengan yang lain mungkin kita dapat tidur satu bantal,
tapi mimpi berlain-lainan. Dimana pun rakyat berada
mimpinya sama: Perubahan kontan untuk Indonesia
sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut maka;
1. Diperlukan konstitusi yang dapat mengatur bekerjanya
mekanisme kenegaraan secara benar, sehingga itu da-
pat menjadi kondisi bagi terselenggaranya perekono-
mian yang sehat dan mandiri untuk menyelamatkan
kehidupan rakyat. Dan itu adalah UUD 1945 sebagai-
mana ditetapkan oleh sidang PPKI tanggal 18 Agustus

198 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
1945;
2. Diperlukan kepemimpinan Nasional yang memiliki
visi futuristik dengan tetap berakar pada jangkar
sejarah Indonesia.
Demikianlah pandangan ringkas saya menyambut dan
menghormati teman sejawat saya Amin Arjoso yang ber-
juang tak mengenal lelah untuk mengembalikan kedu-
dukan UUD 1945 pada tempat yang semestinya.

Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945
199
H. Amin Arjoso, SH (di ujung meja berbaju batik kuning) menggelar
sarasehan tentang amandemen UUD 1945 di kediamannya. Ini adalah
salah satu acara yang digelar beberapa tahun lalu. Hadir antara lain
Moch. Achadi, Soebagyo Anam (alm), Usep Ranawidjaya (alm), Hadori
Yunus (alm), Haryanto Taslam, Ki Utomo Darmadi, John Pakan, Sutrisno,
dan masih banyak tokoh nasionalis lainnya.

200 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Koesalah Soebagyo Toer

“Riungan” di Blok Q
LP Salemba

B
ermula dari runtuhnya rezim Sukarno dan
bangkitnya rezim Soeharto. Bersamaan itu pula,
ribuan orang ditangkap oleh rezim baru. Di
antara yang ribuan itu, satu di antaranya adalah
Koesalah Soebagyo Toer, seorang guru dan dosen bahasa
Rusia.
Aksi penangkapan ribuan orang oleh rezim Orde Baru
itu, bersamaan dengan momentum masuknya modal
asing. Kiblat rezim Orde Baru yang mutlak ke Barat,
mengakibatkan semua yang berbau “Timur” disingkir-
kan. Nah, kebetulan, Koesalah ini jebolan Universitas
Moskow, sehingga ia patut dicurigai sebagai ekstrem kiri,
karenanya harus ditangkap, bersama ribuan orang lain
yang pada hakikatnya “berseberangan” dengan rezim
Soeharto.
Presiden RI kedua itu, pada awal kekuasaannya be-
nar-benar memainkan sayap militernya (baca: Angkatan

“Riungan” di Blok Q
LP Salemba
201
Darat) untuk membatasi ruang gerak lawan-lawan po-
litik, bahkan mematikannya secara sosial. Kartu Tanda
Penduduk (KTP) mereka diembel-embeli kode “ET”
sebagai singkatan (Eks Tapol/Tahanan Politik).
Pada awal Orde Baru berdiri, penangkapan terhadap
lawan-lawan politik dikenal dengan istilah “Operasi
Kalong”. Sebelum dijebloskan ke LP Salemba, ribuan
tahanan politik itu ditahan di markas Opsus (Operasi
Kalong) di Jl. Gunung Sahari V. Di sana, karena saking
banyaknya tahanan, sampai-sampai banyak yang tidur
di emperan kantor. “Kalau pas hujan, kami basah kuyup
karena tampias,” kenang Koesalah.
Ia mencatat, masa penahanan di Gunung Sahari sekitar
empat bulan. Setelah itu, ribuan tahanan politik itu tidak
langsung dimasukkan LP Salemba, melainkan “transit”
di markas Lidiksus (Penyelidikan Khusus) Jl. Lapangan
Banteng Barat. “Sama seperti di Gunung Sahari, di markas
Lidiksus juga berjubel. Para tahanan pun tidur di emper-
an dan halaman kantor menggunakan tenda,” imbuhnya.
Pada masa-masa penahanan inilah ia kemudian ber-
baur dengan banyak tawanan politik lain, dari berbagai
latar belakang. Ada yang dituding terlibat langsung atau
tidak langung dengan PKI serta terlibat pada organisasi-
organisasi onderbouw seperti Lekra, BTI, dan lain-lain.
Bahkan, sekalipun anggota PNI (Partai Nasionalis Indo-
nesia), jika ditengarai “kiri”, tetap ditangkap.
Nah, beberapa tokoh PNI yang dituding “kiri” dan
ditangkap antara lain Amin Arjoso, Jhon Lumingkewas,
Kartjono, Sitor Situmorang, dan lain-lain. Menyebut na-
ma Kartjono, ia teringat bagaimana kedekatan hubungan
dia dengan Amin Arjoso. Bahkan saking dekatnya, mere-
ka juga pernah berseteru. “Saya tidak tahu sebab-musa-
babnya… tapi suatu hari, mereka bertengkar dan tiba-
tiba Kartjono marah kemudian mengangkat gelas berisi
air dan menyiramkannya ke arah Amin Arjoso,” kenang

202 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Koesalah.
Koesalah juga ingat, ketika itu, penangkapan besar-
besaran memang terjadi di Tanah Air. Walhasil, dari
ribuan tawanan politik itu memiliki latar belakang yang
beragam. Ada yang PNS, militer, praktisi hukum, po-
litisi, seniman, dan berbagai profesi lain.
Ihwal Koesalah dan Amin Arjoso, sejatinya memiliki
latar belakang yang jauh berbeda. Koesalah adalah peng-
ajar bahasa Rusia di Akademi Bahasa Asing, di bawah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (PDK), semen-
tara Amin Arjoso adalah aktivis GMNI dan anggota PNI
dengan latar belakang pendidikan hukum. “Saya sendiri
kurang paham kapan Amin Arjoso ditangkap, dan bagai-
mana proses penahanannya. Yang pasti, perkenalan saya
dengan Amin Arjoso terjadi di LP Salemba persisnya di
Blok Q, bukan di Gunung Sahari dan bukan pula di
Lapangan Banteng Barat,” tutur Koesalah.
Karena itu, jalan dan kisah penangkapan keduanya
juga berbeda. Koesalah ditangkap setelah kantornya
melakukan skrining kepada semua pegawainya. Skrining
dimaksudkan untuk menyaring (mencari) siapa-siapa
yang diindikasikan terlibat langsung atau tidak langsung
dengan PKI dan semua onderbouw-nya. Koesalah dan
empat teman sejawat yang sama-sama lulusan Moskow,
kontan dipecat.
“Sekalipun SK-nya berbunyi diberhentikan dengan
hormat dan berhak atas pensiun, tapi faktanya nol….
Kami dipecat dengan tidak hormat dan uang pensiun
kami tidak pernah diberikan,” ujar Koesalah. Itu artinya,
Koesalah ditangkap dan ditahan dalam status yang sudah
dipecat dari kedudukannya sebagai dosen Bahasa Rusia
di Akademi Bahasa Asing.
Koesalah sendiri tidak langsung ditempatkan di Blok
Q, yang disebutnya sebagai Blok “orang-orang penting”
atau “blok elite”. Ia sempat ditempatkan di Blok C, kemu-
“Riungan” di Blok Q
LP Salemba
203
dian pindah ke Blok G, Blok R, barulah ke Blok Q ber-
sama tahanan penting lainnya, termasuk Amin Arjoso,
Kartjono, Simonti Randa, Jhon Lumingkewas, dan lain-
lain. Ia berada satu Blok dengan Amin Arjoso. “Satu blok
isinya sekitar seratus orang,” tambahnya.
Pengalaman bersama Amin Arjoso, antara lain ya seba-
gai pendengar acara-acara ceramah yang diisi oleh para
tahanan itu sendiri. Misalnya ceramah tentang kewar-
tawanan diberikan oleh Satyagraha. Kemudian ceramah
pertanian oleh Ir. Soetarso. Materi yang dibawakan oleh
tawanan berlatar belakang militer juga tentang operasi-
operasi militer. Meski begitu, ceramah terbanyak berisi
materi keagaman (lintas agama). “Yang saya heran, pak
Arjoso seingat saya tidak pernah memberikan ceramah,
padahal dia kan tergolong pintar. Jadi, saya lihat pak
Amin jadi pendengar saja,” tambah Koesalah.
Sebagai sesama tahanan, Amin Arjoso tidak berbeda
dengan tahanan lain. Bangun pagi-pagi sekali untuk
sholat shubuh. Setelah itu, menunggu jam kantor, jam
08.00. Ketika jam kantor sudah bunyi, para tahanan pun
diperintahkan bekerja membersihkan kamar tahanan,
halaman, menimba air, dan sebagainya.”Nah, jam
sembilan, barulah diadakan acara-acara ceramah atau
pengajian,” imbuhnya.
Usai pengajian biasanya sudah menjelang jam makan
siang. Makanan diantar ke setiap sel, dengan menu yang
itu-itu saja, yakni nasi sedikit dengan sayur berganti-
ganti antara sayur bayam dan sayur kangkung. Nasinya
itu kalau dikumpulkan sedikit sekali, tetapi kelihatan
lebar selebar permukaan piring karena ditipiskan. Jadi
dari kejauhan jatah makan itu tampak sebagai tumpukan
piring-piring alumunium. Sedangkan sayur-sayurannya
didapat dari hasil kebun di sekitar LP Salemba itu
sendiri.
Acara makan siang selesai, dilanjutkan “acara bebas”.

204 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Di situlah para tahanan boleh melakukan berbagai
aktivitas. Ada yang memilih tidur, berolah-raga, ada yang
membaca, ada yang mengikuti kursus-kursus, ada pula
yang menekuni bidang-bidang tertentu. Motif berakti-
vitas di antara mereka tentu saja berbeda-beda. Ada yang
sekadar membunuh waktu, ada pula yang memang
dengan kesadaran ingin menguasai bidang-bidang baru,
yang siapa tahu bisa menjadi bekal selepas dari penjara
nanti.
Satu hal lain yang ia kenang dari seorang Amin Arjoso
adalah perawakannya. “Dulu dia itu kurus, tinggi,”
ramping,” ujar Koesalah.
Sebagai sesama tahanan, Amin Arjoso pun mengalami
banyak kesamaan kehidupan dengan Koesalah. Salah
satunya adalah tradisi “riungan”, yakni sebuah tradisi
mengumpulkan makanan-makanan antaran keluarga.
Dari makanan-makanan hasil “riungan” para tahanan
“the have” tadi, kemudian dibagi-bagikan kepada para
tahanan yang tergolong tidak mampu. Hari antaran
makanan dari keluarga ditetapkan tiga hari dalam
seminggu: Selasa, Kamis, dan Sabtu.
Meski begitu, tidak semua tahanan mendapat antaran
makanan di hari-hari tadi. “Ada yang seminggu sekali
setiap hari Selasa. Atau ada yang dikirim setiap hari
Kamis. Dan ada pula yang dalam seminggu menerima
dua kali antaran. Bahkan ada juga yang tiap Selasa, Kamis,
dan Sabtu menerima antaran, tapi jumlah tahanan yang
seperti ini sangat sedikit. Saya tidak tahu, Amin Arjoso
termasuk yang mana,” ujarnya.
Meski tidak intens berhubungan dan melakukan
kontak selama di tahanan, tetapi dua eks tahanan politik
Orde Baru ini seperti memiliki ikatan. Bisa jadi karena
ada satu benang merah, yakni sama-sama Sukarnois.
Hubungan keduanya terjalin kembali manakala Amin
Arjoso sempat bertandang ke kediaman Koesalah di
“Riungan” di Blok Q
LP Salemba
205
Depok, diantar wartawan senior Tarigan. Ketika itu, Amin
Arjoso sedang menyusun buku. Nah, ia meminta jasa
Koesalah sebagai penyunting atau editor. Sebab, seperti
dituturkan Koesalah, memang benar bahwa menyunting
buku, apalagi yang terkait dengan sejarah, harus dilaku-
kan oleh editor yang juga menguasai sejarah.
Jalinan persahabatan yang terbina di penjara Salemba
puluhan tahun lalu, kembali terjalin dalam sebuah kerja
bersama penyusunan sebuah buku berdimensi sejarah.
Koesalah menerima dengan baik permintaan Amin
Arjoso, dan dia melakukan editing buku tadi, khususnya
yang menyangkut data-data sejarah. “Pak Arjoso bebera-
pa kali ke rumah saya, tapi saya justru yang belum per-
nah ke kediaman beliau di Taman Amir Hamzah,” ujar
Koesalah sambil tersenyum.
Sekalipun begitu, Koesalah mengaku pernah meng-
hadiri acara yang diprakarsai Amin Arjoso, yang dise-
lenggarkan di Taman Ismail Marzuki. “Waktunya saya
lupa, tapi itu jelas membahas tentang gugatan terhadap
amandemen UUD 1945 dan desakan untuk kembali ke
UUD 1945. Itu memang concern Amin Arjoso, dan saya
salut. Saya hadir waktu itu, dan saya ikuti pembicaraan
Kwik Kian Gie, Ridwan Saidi, Sri Edi Swasono, dan lain-
lain,” ujar Koesalah.
Di mata Koesalah, Amin Arjoso relatif pendiam.
Bahkan ketika di penjara pun, Arjoso tidak pernah terlihat
menjadi pembicara, sekalipun ia memiliki kapasitas
untuk itu. Arjoso lebih menyukai diskusi terbatas dengan
teman-temannya. Jadi, dia jarang bersinggungan dengan
massa. “Itu kesan saya lho yaaa….,” kata Koesalah pula.
Selebihnya, ia mengikuti dari jauh, sekalipun tidak
intens. Termasuk ia bangga ketika mengetahui Amin
Arjoso menjadi aktor penting di PDI Perjuangan, dan
akhirnya bisa duduk menjadi anggota DPR-MPR RI
periode 1999 - 2004. Salah satu perjuangan yang hingga

206 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
hari ini masih konsisten dilakukan adalah menentang
amandemen UUD 1945 dan memperjuangkan kembali-
nya konstitusi UUD 1945 yang asli. “Saya hormat dan
bangga terhadap beliau,” ujar Koesalah.
Ini justru beda sekali dengan apa yang terjadi ketika
Megawati Soekarnoputri memegang kekuasaan. Justru
di era dia penyelewengan konstitusi itu terjadi dan dia
tidak melakukan apa-apa. Bukan hanya itu, untuk mem-
bela dan mengembalikan nama baik dan ajaran-ajaran
Bapaknya saja dia tidak mau. Sekarang, kita kembali tidak
berkuasa manakala konstitusi diselewengkan demi ma-
suknya paham neoliberalisme yang jelas-jelas akan
mendorong bangsa ini ke jurang kehancuran.
Karenanya, saya salut dengan Amin Arjoso yang sudah
berjuang dan terus bekerja untuk mengembalikan ke-
aslian konstitusi kita. Saya juga salut dengan para tokoh
yang segaris dengan Arjoso, seperti Kwik Kian Gie,
Ridwan Saidi, Sri Edi Swasono, dan banyak tokoh lain.
“Sayang, ada kalanya dalam tulisan-tulisan orang-orang
itu, masih tersirat paham neolib, dan saya sudah sam-
paikan ke pak Arjoso,” ujar Koesalah.

“Riungan” di Blok Q
LP Salemba
207
Amin Arjoso dan keluarga,
berwisata ke Pantai Prigi yang
elok di Trenggalek - Jawa Timur
tahun 2005.

208 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Soemarjati Arjoso

Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut

A
pa, siapa dan bagaimana tentang Amin Arjoso,
saya sebagai istrinya tentu banyak memahami
dan tahu, terutama tentang kehidupan
pribadinya.
Amin Arjoso suami saya adalah seorang politisi yang
punya pendirian keras dan konsisten memegang prinsip.
Atas kepribadiannya itu, Amin Arjoso sering berbenturan
pendapat dengan teman-temannya yang pendiriannya
bertentangan.
Memang, sikap atau kepribadian seseorang terbentuk
selain karena genetika atau bawaan juga dipengaruhi fak-
tor lingkungan dan pengalaman hidup. Tak bisa di-
pungkiri, pasti hal tersebut juga tercermin dalam kese-
hariannya di lingkungan keluarga. Namun Amin Arjoso
–sebenarnya juga memiliki sisi lembut yang cukup
menonjol.
Amin Arjoso sangat menyayangi keluarga. Sewaktu

Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
209
anak kami, Azis belum lahir, ia sering mengajak istri
tercinta berwisata ke berbagai destinasi, baik di dalam
maupun di luar negeri. Dalam hal berwisata, kami merasa
memiliki kesamaan. Dengan cara “jalan-jalan” itulah kami
mengusir kejenuhan atas pekerjaan rutin yang sangat
menyita tenaga dan pikiran, sekaligus belajar dari apa
saja yang dilihat dan dialami.
Ketika Azis beranjak besar, acara jalan-jalan bersama
keluarga tetap dilaksanakan. Saya, mas Joso, Yuli, dan
Azis sering berwisata ke berbagai daerah di Indonesia
dan berkeliling Eropa bahkan kami juga sempat umrah
bersama-sama. Begitulah antara lain sisi lembut Amin
Arjoso. Beliau begitu perhatian dan mencintai kami,
keluarganya.
Memang, bentuk perhatian itu relatif. Apalagi jika
disoal bahwa Amin Arjoso sebagai pengacara maupun
politisi, memiliki tingkat kesibukan yang di atas rata-rata
kepala rumah tangga pada umumnya. Bahkan jika di-
hitung jumlah jam dalam satu hari yang berbilang 24 jam,
barangkali lebih dari separuhnya dihabiskan Amin
Arjoso di luar rumah.
Buat saya, hal itu tidak masalah. Sebab, saya sendiri
bukannya tidak punya kesibukan. Status saya sebagai
PNS Departemen Kesehatan dan juga pernah di Depar-
temen Sosial dan terakhir di BKKBN Pusat sering kali
mengharuskan beraktivitas di luar jam kantor, secara
waktu barangkali sedikit, tetapi dari yang sedikit itu
kami merasakan kehadiran Amin Arjoso sebagai suami
maupun kepala rumah tangga lebih dari cukup. Karena-
nya nyaris tidak pernah ada komplain, baik dari saya
maupun anak-anak.
Kehidupan keluarga kami tetap harmonis. Masing-
masing anggota keluarga tahu dan sadar posisi. Sekali-
pun begitu, saya mengakui bahwa dalam rumah tangga
tentu saja ada persoalan. Saya rasa semua keluarga juga

210 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
pasti memiliki kisah-kisah seperti itu. Tidak ada yang
terlalu istimewa, yang lebih penting adalah komitmen
bersama saling menjaga dan saling menghormati serta
tanggung jawab bersama.

Tidak saling ikut campur


Khusus hubungan saya dan suami, juga bukan berarti
tidak ada perbedaan pendapat. Kebetulan saya seorang
birokrat, yang seperti suami, juga memiliki tipikal pe-
kerja keras dan bertanggung jawab atas tugas-tugas.
Menyadari kesibukan luar biasa antara saya dan suami,
saya memilih sikap: Tidak saling ikut campur. Prinsip
saya: Pekerjaan saya adalah urusan saya. Dalam beberapa
hal, paling saya minta saran bila merasa perlu. Demikian
pula sebaliknya, saya tidak ikut campur urusan suami
baik di bidang politik maupun sebagai pengacara. Beliau
pun tidak mencampuri pekerjaan saya sebagai birokrat.
Tidak saling mencampuri juga tidak bisa diartikan
sebagai saling “cuek” antara yang satu dan yang lain.
Kami saling memberi perhatian, dari hal-hal kecil sampai
hal-hal yang besar. Nah, kebiasaan saling memperhatikan
itulah yang membuat ia begitu merasa menyesal ketika
dalam salah satu perayaan ulang tahun suaminya, saya
tidak bisa hadir.
Ceritanya begini. Pernah suatu kali suami saya
berulang tahun, dirayakan teman-temannya di DPR, saya
kebetulan harus dinas keluar kota, dan tidak tahu acara
tersebut, tidak ada yang memberi tahu saya, jadi saya
tidak hadir. Wah kalau ingat peristiwa itu, saya menyesal.
Karena setiap perayaan ultahnya, saya senantiasa men-
dampinginya, setidaknya makan bersama keluarga,
tumpengan, dan lain-lain. Oh ya, setiap berulang tahun
saya selalu menerima kiriman bunga dari Mas Amin
Arjoso.
Akan tetapi, penyesalan (tidak menghadiri ultah

Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
211
suami) itu biasanya tidak sampai berlarut. Terlebih hari-
hari selanjutnya mereka sudah kembali menjalani ru-
tinitas kerja. Saya sebagai birokrat, dan Amin Arjoso
sebagai politisi yang memiliki kantor pengacara. Selama
menjabat anggota DPR, beliau tidak aktif sebagai peng-
acara. Beliau tidak mau ada interest di antara dua profesi
tersebut, sehingga banyak mendelegasikan kantor
pengacaranya kepada partner.
Selama mengisi fungsi sebagai legislator dan peng-
acara itulah saya makin melihat sosok suami yang gigih
dan banyak ide. Terus terang, saya adalah pengagum Mas
Amin Arjoso. Dan ternyata yang mengagumi Mas Amin
Arjoso juga bukan cuma saya, pernah saya dalam perja-
lanan dinas ke New York transit di Bangkok. Kebetulan
bertemu beberapa orang Indonesia, yang kemudian saya
ketahui bahwa mereka itu para pengusaha, yang juga se-
dang transit. Kami sempat ngobrol. Saya perkenalkan
bahwa saya adalah istri Amin Arjoso. Saya ‘surprise’ wak-
tu seorang di antara mereka mengatakan ‘Amin Arjoso
advokat terkenal. Saya heran kenapa mau menjadi
anggota DPR?’.”
Kekaguman saya kepada suami termasuk dalam hal
kiprah politik yang kemudian mendapat pengakuan juga
dari berbagai kalangan. “Wah”, kata berbagai pihak,
“dulu kalau dengar Amin Arjoso bicara, pasti kami me-
milih untuk mendengarkannya”. Juga banyak politisi PDI
Perjuangan yang mengaku, “Saya ini muridnya pak Amin
Arjoso”.
Pada waktu Sidang MPR yang melakukan aman-
demen UUD 1945, hampir setiap hari Mas Amin Arjoso
menjadi pembicara di dalam setiap debat atau dialog di
media massa. Bahkan pada waktu itu ada seseorang
pemuda yang ditugaskan Bapaknya dari Belanda untuk
meliput khusus kegiatan Amin Arjoso bahkan, pernah
suatu hari –ketika Amin Arjoso sudah terkena stroke—

212 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
ada anak muda datang ke rumah. Anak muda itu menge-
mukakan maksud kedatangannya, “Saya diminta bapak
saya (bapaknya seseorang yang terkemuka) untuk ber-
guru politik ke pak Amin Arjoso.”
Namun di antara kisah manis tadi, ada juga kisah lain,
khususnya yang menyangkut status suami saya sebagai
tokoh politik (GMNI) yang pernah ditahan rezim Orde
Baru, sehingga membekaskan status “eks-Tapol” (tahan-
an politik). Tapi tidak menjadi masalah karena keluarga
tidak mempermasalahkan hal tersebut, meski ada juga
kerabat jauh yang bisik-bisik.

Status “eks Tapol”


Di luar keluarga, saya pun mengalami permasalahan
terkait status suaminya. Di dunia ini ada saja orang yang
“sentimen” dan memakai status eks Tapol suami untuk
menghambat karier saya di Departemen Kesehatan.
Bahkan kalau saya hendak ditugaskan ke luar negeri
(kebetulan saya sering mendapatkan tugas itu) saya di-
litsus (penelitian khusus oleh pertugas inspektorat jenderal).
Sampai akhirnya saya tanyakan kenapa demikian?
Mereka menjawab, ‘Karena Amin Arjoso pernah menjadi
Tapol.’ Saya lalu menunjukkan bahwa hal tersebut tidak
benar dengan bukti-bukti. Dan setelah itu semua beres,
saya tidak di-litsus lagi setiap hendak keluar negeri dan
jenjang karier saya berjalan.
Pendeknya, mengarungi hidup besama Amin Arjoso,
bagai mengarungi samudera luas, lengkap dengan ke-
indahan panorama fatamorgana serta hempasan ombak-
nya yang dahsyat. Akan tetapi secara keseluruhan, saya
menikmatinya sebagai sebuah kodrat indah karunia Al-
lah dan saya mensyukuri semuanya.
Satu hal lagi yang saya catat, sebagai catatan berkesan
adalah manakala suami saya aktif dalam tim pembela
kasus 27 Juli 1996 (penyerbuan maskas PDI Perjuangan di Jl.

Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
213
Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang mengakibatkan jatuhnya
banyak korban jiwa-pen). Saat-saat itu bisa dikatakan
merupakan klimaks dari upaya rezim Orde Baru mem-
berangus kebangkitan PDI Perjuangan yang mengangkat
icon Megawati (baca: Bung Karno).
Suami saya, sebagai anggota pengacara PDI-P, acap
kedatangan tokoh-tokoh elit partai, termasuk Megawati
Soekarnoputri. “Mbak Mega dan para elit PDI-P sering
ke rumah, mengadakan rapat-rapat terkait tragedi 27 Juli
itu. Sehingga ada kerabat yang menegur, ‘Mbak kan PNS,
kok berani menerima Ibu Mega di rumah?’ Saya jawab,
‘Kan yang menerima suami saya’.
Begitulah hingga roda zaman terus berputar, dan
kehidupan pun berjalan pada rel yang sudah digariskan.
Amin Arjoso pun terus berkutat dengan politik dan
politik. Concern-nya terhadap kebangsaan begitu tinggi.
“Beliau selain pekerja keras, juga merupakan sosok yang
bersemangat. Sampai-sampai pernah suatu kali, saat
kami mengadakan pesta pernikahan Juli, usai pesta dia
langsung pamit pergi rapat bersama Kwik Kian Gie…
yaaa… kami semua pun memakluminya”.
Satu hal yang terkadang ia sesalkan adalah, kemau-
annya yang keras, semangatnya yang tinggi dan kesu-
kaanya makan enak mengakibatkan sering lupa akan
kesehatan. Manusia toh bukan mesin. Pada saat fisik dan
pikiran diforsir, berat badan tidak terkendali dan kurang
olah raga tentu ada gangguan kesehatan yang terganggu.
Demikian juga kepada mas Amin Arjoso.
Sebagai istri yang juga seorang dokter, saya wajib
mengingatkan suami akan pentingnya menjaga kesehat-
an. Untuk keperluan check up kesehatan, saya pun mem-
buatkan appointment dengan dokter spesialis pada hari
dan jam tertentu, confirmed. Apa yang terjadi? “Pada hari
dan jam yang sudah disepakati, eh… dia tidak datang,
karena rapat, karena ini… karena itu…. Okelah, saya

214 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
arrange lagi di hari dan jam yang lain. Eh… dia tidak
datang lagi karena kesibukannya… lama-lama saya jadi
malu membuat janji temu dengan dokter….”
Tak urung, saya sendiri yang acap turun merawat
suami manakala sakit di rumah. Seperti saya contohkan
tentang penyakit kakinya, reumatoid arthritis. Jika sakit itu
kumat di pagi hari, maka saya langsung memberinya
suntikan, sehingga mas Amin Arjoso bisa ke kantor
dengan nyaman. “Tapi kalau sudah merasa baik, dia lupa
berobat lagi,” katanya.

Suka makan enak


Mas Amin Arjoso suka makan enak di berbagai
restoran. Referensi kulinernya luar biasa…. Jadi percuma
di rumah diatur makannya, tetapi di luar sering makan
di restoran. Akibatnya berat badan bertambah dan asam
urat tinggi, tensi darah naik. Itu yang membuatnya
terserang stroke. Alhamdulillah, meski terkena stroke, tapi
otak masih berfungsi dengan baik.
Berkat fungsi otak yang tetap baik, daya ingat yang
masih tajam hingga buku ini disusun, membuat mas
Amin Arjoso terus dan terus melahirkan ide dan mereali-
sasikan keinginan-keinginan yang begitu banyak. Apa-
lagi kalau memikirkan nasib UUD 1945 yang diaman-
demen secara semena-mena, emosinya selalu tergerak.
Saya bahkan terkadang merasa harus berusaha “me-
ngeremnya”. Dalam arti jangan sampai membuatnya
stres, agar tidak memacu tekanan darahnya.
Saya mengakui, pada dasarnya, saya dan suami me-
miliki karakter yang tidak sepenuhnya sama. Saya suka
berterus terang, apa adanya. Saya tidak bisa mengatakan
‘ya’ untuk hal-hal yang memang harus saya katakan
‘tidak’. Kadang saya seperti menentang ide suami, dan
mengatakan ‘tidak bisa’. Suami saya sering marah dan
emosi. Tapi setelah beberapa lama dan dijelaskan dengan

Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
215
baik, ia bisa memahami dan minta maaf atas kemarah-
annya.
Apa yang disebutnya berbeda, bukan dalam konteks
sikapnya atas amandemen terhadap UUD 1945 yang
kemudian melahirkan “UUD 2002”. Saya mengaku men-
dukung sikap suami yang dengan gigih berada di garis
depan membela UUD 1945 (yang asli), meski untuk itu
ia tidak lagi dekat dengan PDI Perjuangan.
Sekarang, mas Amin Arjoso sudah tidak lagi di DPR.
Giliran saya yang menjadi anggota DPR, dari partai
Gerindra. Mulanya saya tidak berkeinginan berpolitik,
karena menurut saya, perilaku politik kita sering terlihat
kurang fair dan tidak konsisten. Dan, itu berbeda dengan
sifat saya yang apa adanya dan konsisten, dan kurang
bisa berdiplomasi.
Namun demi melihat visi dan misi Gerindra yang me-
nyatakan ‘kembali ke UUD 1945, membela rakyat kecil,
ekonomi kerakyatan dan mensejahterakan kehidupan
bangsa’, saya menyatakan “ya” sewaktu ditawari masuk
Gerindra, pada saat pendaftaran sudah hampir ditutup.
Tentu visi dan misi tersebut mewarnai perjuangan saya
di partai dan fraksi di DPR RI. Keputusan saya didukung
oleh suami yang yang menyatakan “visi dan misi Gerin-
dra bagus, silakan menerima tawaran tersebut.
Dalam hal berpolitik, saya banyak belajar dari suami.
Dalam hal belajar berpolitik setiap anggota DPR yang
baru wajib hukumnya untuk belajar kepada yang senior,
juga dari buku-buku dan berbagai pengalaman lainnya.
Prinsipnya setiap orang harus belajar seumur hidup.
Karakter mas Amin Arjoso yang bertanggung jawab,
gigih, konsisten dalam ide dan menyayangi keluarga
layak menjadi teladan para generasi muda. Dalam hu-
bungan berkeluarga setiap permasalahan harus disele-
saikan bersama sehingga keluarga selalu kompak dan
harmonis.

216 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Saya mewarnai kehidupan bersama mas Amin Arjoso
dengan toleransi dan doa di samping usaha. Saya selalu
berusaha mendampingi suami untuk berdoa, menyam-
paikan rasa syukur atas apa yang dikaruniakan Allah
SWT kepada keluarga, serta memohon ampunan atas
segala kesalahan dan kekhilafan dan berharap selalu
mendapatkan bimbingan agar berada di jalan yang di-
ridhoiNya, selamat di dunia dan akhirat.
Saya yakin apa pun yang terjadi, apa pun yang diha-
dapi dengan selalu berdoa, memohon ampunan dan
memohon takdir yang terbaik dari Allah SWT kita dapat
menjalani hidup ini dengan tentram, damai, dan bahagia.
Semoga Allah SWT selalu meridhoi dan melindungi kita
semua. Amin.

Merayakan ulang
tahun secara
sederhana di
rumahnya.
Sebelum momen
potong tumpeng,
Amin Arjoso
menggelar
sarasehan tentang
amandemen UUD
1945 di ruang
tengah
kediamannya yang
dihadiri puluhan
peserta.

Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
217
H. Amin Arjoso, SH beserta istri saat berada di Eropa.

218 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
219
BAB III
Publikasi Media

220 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
A.S.S. Tambunan, SH

UUD 2002
Meniadakan
Jati Diri Kita

A
hli filsafat G.W. Hegel mengemukakan suatu
filsafat, revolusi Prancis dengan asas-asasnya
tentang kebebasan dan kesamaan (liberte &
egalite) berakhirlah sejarah, dalam arti bahwa
perkembangan pemikiran manusia mengenai pengatur-
an kehidupan yang paling khas telah mencapai titik
akhir. Berdasarkan filsafat ini kemudian pada 1980 Francis
Fukuyama mengemukakan suatu tesis dalam bukunya The
End of History, dengan berakhirnya Perang Dingin antara
Barat melawan Timur yang dimenangkan demokrasi
kapitalisme, maka berakhirlah sejarah.
Hal itu berarti, bahwa ideologi Barat beserta asas-asas
dan lembaga-lembaga ketatanegaraan dan ekonominya,
atau dengan lain perkataan, demokrasi dan ekonomi lib-
eral merupakan titik akhir dari perkembangan kehidupan
manusia. Tidak ada lagi persoalan kecuali masalah-
masalah teknis yang dapat diselesaikan oleh para pakar.

UUD 2002 Meniadakan


Jati Diri Kita
221
Satu-satunya tugas yang menanti adalah menerapkan
perkembangan itu kepada seluruh dunia, agar dapat
mencapai tingkat kemajuan masyarakat Barat. Dalam
hubungan ini Thomas Fiedman mengatakan, dunia harus
menerima demokrasi Barat sebagai suatu kebenaran
mutlak yang harus diikuti oleh negara di dunia, jika mau
tetap survive.
Selanjutnya dia mencatat, bahwa Futuyamas path-break-
ing book contained the most accurate insight about what was
new – the triump of liberation and free market capitalism as the
most effective way to organize society (terobosan yang
dilakukan Fukuyama dalam bukunya mengandung
penilaian yang paling akurat mengenai hal yang baru –
kemenangan dari liberalisme dan kapitalisme pasar
bebas sebagai sarana yang paling efisien untuk meng-
organisir masyarakat).
Pakar hukum tatanegara Belanda Prof. Mr. Dr. S. W.
Couwenberg berkomentar, pendirian tersebut sesuai
dengan aliran pikiran yang timbul di Barat, yang menga-
takan, perkembangan budaya tertinggi adalah budaya
Barat dan semua budaya di dunia akan menuju ke sana.
Menurut Couwenberg aliran ini mendapat kritik, ter-
masuk dari kalangan pemikir-pemikir di Barat sendiri.
Ternyata di Indonesia pun banyak orang yang meng-
anut pemikiran Fukuyama, termasuk banyak para ang-
gota DPR dan MPR. Mereka semua menilai, budaya
Baratlah yang paling maju, sehingga harus diikuti oleh
Indonesia. Maka mereka dengan bangga mengubah UUD
1945 dan menggantinya dengan UUD 2002 (sesuai dengan
tahun pembuatannya).
Mereka dengan tenang dan senang hati menggantikan
demokrasi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan
demokrasi liberal. Ekonomi kerakyatan diganti dengan
ekonomi kapitalis (pasar bebas dan negara tidak boleh
campur tangan). Kewajiban negara hanya menjaga, agar

222 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
pasar bebas tidak terganggu.
Ketua MPR Prof. Dr. Amien Rais dengan bangga ber-
komentar, bahwa hasil karya MPR itu merupakan suatu
lompatan besar. Kurang jelas maksudnya apakah lom-
patan dalam arti maju atau dalam arti mundur.
Amien Rais tidak menyadari, bahwa MPR telah meng-
abaikan sejarah perjuangan bangsa. Dr. Adnan Buyung
Nasution berpendapat, UUD 1945 adalah anti demokrasi.
Dari komentar-komentar mereka secara jelas tergambar
kekaguman mereka pada demokrasi Barat dan juga
memperlihatkan, mereka sama sekali tidak memahami
UUD 1945. Mereka mengabaikan komentar Bung Hatta
yang mengatakan, bahwa UUD 1945 merupakan UUD
yang termodern. Seharusnya mereka kagum dan bangga
atas hasil karya bangsanya sendiri yang lahir dari rahim
budaya bangsanya sendiri.
***
Tidak semua UUD atau konstitusi mempunyai suatu
Preambule atau Pembukaan. Menurut teori konstitusi,
Pembukaan adalah bagian dari UUD atau konstitusi yang
tertinggi tingkatannya yang mendasari sistem konstitusi
dan struktur bangunan negara yang bersangkutan. Jadi,
Preambule UUD 1945 mendasari sistem konstitusi dan
mengikat sistem kenegaraan Indonesia. Pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam pembukaan menguasai
hukum dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis.
Semua itu dikendalikan oleh falsafah dasar negara
yaitu Pancasila. Kalau masyarakat Barat selama berabad-
abad berada di bawah kekuasaan raja-raja yang mutlak
berkuasa, sehingga rakyatnya berjuang untuk kebebasan
dan persamaan, maka rakyat Indonesia berjuang untuk
melenyapkan penjajahan dari muka bumi. Tujuan yang
hendak dicapai bangsa Indonesia dengan demikian ada-
lah (1) ke dalam : (a) Persatuan bangsa dan Negara Indo-

UUD 2002 Meniadakan


Jati Diri Kita
223
nesia (b) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, (2) ke luar : (a) Menghapuskan penjajahan di
atas bumi, (b) Tercapainya ketertiban dunia yang berda-
sarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Oleh karena itu Deklarasi Universal PBB tentang hak-
hak manusia 1948 dan Konvensi Roma 1950 telah meng-
alami perkembangan. Para pengagum demokrasi Barat
melupakan, bahwa hak-hak manusia yang diperjuang-
kan orang-orang Barat hanya bersifat perorangan dan ha-
nya bersifat perdata, politis dan ekonomi saja. Sedangkan
hak-hak manusia menurut UUD 1945 meliputi hak bang-
sa, hak daerah, hak golongan masyarakat, hak masyara-
kat, hak warga negara, hak orang Indonesia, hak tiap or-
ang, hak untuk penghidupan yang layak bagi kemanu-
siaan dan hak fakir miskin, sifatnya bukan hanya bersifat
perdata, dan bukan hanya di bidang politik dan ekonomi
saja, tetapi juga di bidang sosial dan budaya.
Kalau di Barat pengertian demokrasi hanya bersifat
formal atau prosedural, maka demokrasi yang dianut
bangsa Indonesia berdasarkan UUD 1945 bukan hanya
bersifat formal atau prosedural, tetapi juga bersifat mate-
riil atau substansial, sehingga juga meliputi isi dan tuju-
annya. Istilah yang digunakan dalam Pembukaan UUD
1945 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebi-
jaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kata
kerakyatan berasal dari brayat yang berarti keluarga. Kata
keluarga berasal dari kata kawulo dan warga. Kawulo ber-
arti abdi yang berkewajiban mengabdikan diri dan me-
nyerahkan segenap tenaganya kepada yang olehnya di-
anggap tuannya. Warga berarti anggota yang berwenang
ikut mengurus, ikut memimpin dan menetapkan segala
apa yang diperlukan.
Jadi, keluarga menggambarkan kedudukan yang
ganda yaitu sebagai abdi, tetapi sekaligus sebagai tuan.

224 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Hal itu menggambarkan rasa kebersamaan yang mengan-
dung arti bukan saja sama rata seperti di Barat, tetapi juga
sama rasa. Dengan demikian pengertian kerakyatan atau
demokrasi Indonesia mengandung keadilan sosial.
Yang mengarahkan kehidupan negara dan bangsa
adalah cita negara (staatsidee), cita UUD (grondwetsidee) dan
cita hukum (rechtsidee). Cita negara yang dianut Indone-
sia adalah integrasi yang berarti, bahwa aspek kenyataan
tidak dapat dipisahkan dari aspek yuridis, hal mana
tergambar dalam kalimat pertama, kedua dan ketiga dari
Pembukaan UUD 1945.
Bangsa Indonesia sangat heterogen bersifat multi ras
dan multi etnik dengan tradisi, budaya, bahasa, agama
dan kepercayaan yang berbeda-beda, yang tidak dilebur
menjadi satu menurut dialektikanya G.W. Hegel tetapi
menurut dialektikanya Pierre Joseph Proudhon, perbedaan-
perbedaan itu berjalan terus dalam suatu keseimbangan:
Bhineka Tunggal Ika. Cita UUD yang dianut UUD 1945
adalah, keinginan untuk meletakkan masalah-masalah
pokok tentang pengorganisasian kehidupan bernegara
dalam suatu UUD, sehingga yang pokok-pokok saja yang
dimuat dalam UUD, yang lainnya diatur dalam peratur-
an pelaksanaan.
Cita hukum yang terkandung dalam Pembukaan ada-
lah pandangan etis, filsafat dan politik bangsa Indone-
sia. Dari situlah kemudian disadur sendi-sendi dan asas-
asas yang menguasai dan mengarahkan hukum, baik ter-
tulis maupun tidak tertulis dalam usaha-usaha bangsa
mencapai cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai. Jadi,
cita hukum merupakan landasan berlakunya konstitusi
Indonesia.
***
UUD 2002 telah mematikan Pembukaan dalam arti,
bahwa Pembukaan tidak berfungsi lagi, sehingga batang
tubuh UUD 2002 tidak ada hubungannya dengan Pembu-
UUD 2002 Meniadakan
Jati Diri Kita
225
kaan. Hal itu berarti bahwa UUD 2002 telah menghilang-
kan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan. UUD
2002 adalah penganut demokrasi liberal dan ekonomi
kapitalis. Melalui UUD 2002, MPR telah menjadikan In-
donesia sebagai penganut demokrasi Barat dengan
liberalismenya dan kapitalismenya. Dengan UUD 2002
Indonesia telah kehilangan jati dirinya.
Jakarta, 4 Agustus 2006
(Tabloid Cita Cita edisi Agustus 2006)

DATA PENULIS
Nama lengkap: Arifin Sari Surunganlan Tambunan. Lahir:
Surabaya, 18 Maret 1924, menikah dengan Marie Sere Marthauli
br. Sinaga, dikaruniai 5 anak, 11 cucu, 2 cicit.
Pendidikannya dimulai dari Ika Daigaku di Singapura,
Akdemi Militer di Brastagi sampai yang terakhir Program Pasca
Sarjana S3 UI (1997). Di bidang kemiliteran pangkat terakhir
Brigadir Jenderal TNI (Pur).
Jabatan di bidang kemiliteran cukup banyak di berbagai
daerah, di antaranya Jaksa Tentara di Surabaya, Kepala
Kejaksaan Daerah Pertempuran Wil. Indonesia Timur, Kepala
Inspeksi Kehakiman di Kodam V Brawijaya, Kepala Perundang-
undangan Dir.Kehakiman TNI-AD, Hakim Ketua Pengadilan
Tentara Jakarta, Oditur Militer di Jakarta, Hakim Ketua
Mahkamah Militer Luar Biasa Jakarta.
Juga aktif di bidang sospol sebagai asisten khusus pimpinan
MPRS, anggota DPR(GR)/MPRS (1968-1987), Paban Ur. Poldagri
Dephankam, dosen di berbagai perguruan tinggi militer/swasta.
Sekitar 32 karya tulisnya sudah dibukukan, selain ratusan
tulisan yang diterbitkan oleh berbagai mass-media.
Tanda penghargaan yang diterima; Bintang Gerilya, Bintang
Sewindu, Bintang Eka Paksi Kl.III, Satya Lencana Perang
Kemerdekaan I dan II, Satya Lencana Gerakan Operasi Militer VII,
Satya Lencana Dwija Sisitha (3 kali berturut-turut), Satya Lencana
Penegak dan Satya Cikal Bakal TNI.

226 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
R. Soeprapto

MPR 1999 = Malin


Kundang
(Durhaka terhadap
Founding Fathers)

P
ernyataan Ketua Dewan Harian Nasional (DHN)
45, R. Soeprapto seperti tersebut di atas tentu
mengejutkan. Belum ada seorang pemimpin
pun yang dengan gamblang mengucapkan kali-
mat demikian. Soalnya legenda Malin Kundang dari Su-
matera Barat itu, sudah begitu melekat di hati kebanyak-
an anak bangsa ini. Si Maling Kundang yang berasal dari
keluarga miskin, tetapi setelah merantau kemudian
menjadi orang kaya, lantas malu mengakui ibunya yang
masih saja seperti dulu.
Sang ibu kecewa atas perbuatan anaknya itu, sehingga
ia meyumpahinya, agar Malin Kundang menjadi batu.
Benar saja, Malin Kundang berikut kapalnya, akhirnya
memang menjadi batu, kemudian terpuruk bagaikan
pulau di Teluk Bayur.
Mengapa sampai “wong Solo” yang lahir 12 Agustus
1924 itu mengambil kesimpulan demikian disampaikan-

MPR 1999 = Malin Kundang


227
nya kepada Tim CITA CITA yang sengaja mewawancarai-
nya secara khusus di kantornya di Gedung Joang Men-
teng 31 beberapa waktu lalu, setelah menguraikan pan-
jang lebar tentang perjalanan sejarah berdirinya Republik
ini. Saat-saat mempertahankan, mengisi dan mengem-
bang-tumbuhkannya.
Dengan gamblang dan sistematis mantan Gubernur
DKI Jaya (1982-1987) itu menyampaikan pula makna pro-
klamasi, yakni nilai-nilai yang terkandung dalam prokla-
masi itu sendiri, nilai-nilai ideologi Pancasila, nilai-nilai
Undang-Undang Dasar 1945 dan lain-lain yang terkait de-
ngan mempertahankan, mengisi dan menumbuh-kem-
bangkan kemerdekaan yang telah dicapai, karena toh ke-
nyataannya kaum penjajah yang berhasil kita singkirkan
tetap masih berusaha kembali menjajah, sehingga di
mana terjadi perang fisik.
Di saat-saat beginilah “watak” bangsa Indonesia me-
nonjol, yakni sikap heroik “lebih baik mati daripada
dijajah”, pantang menyerah, tanpa pamrih dan lain seba-
gainya yang semakin mengokohkan persatuan dan kesa-
tuan bangsa, karena para pendiri bangsa telah menyiap-
kan “grand design”nya yakni UUD 1945 dan “grand strat-
egy” (penuntunnya) – Pancasila.
Pada era berikutnya yaitu mengisi kemerdekaan. Di
saat inilah mulai kelihatan adanya pergeseran nilai-nilai,
terutama menyangkut sikap tanpa pamrih. Perubahan
nilai dan memaknai apa yang terkandung dalam tanpa
pamrih, pada ujudnya malah lebih cenderung menjadi
slogan kosong, terutama bangsa ini memasuki era
reformasi.
“Coba lihat sebagai negara demokrasi, tentunya kita
pantas berbangga, karena Indonesia mampu melaksana-
kan pemilu langsung. Namun sangat disayangkan mere-
ka yang dipilih langsung oleh rakyat justru tidak mem-
perlihatkan sikap tanpa pamrih, tetapi yang menonjol

228 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
malah pamrihnya. Lihat saja begitu terpilih jadi anggota
DPR yang diperjuangkan pertama adalah kedudukan
dan rebutan jabatan ketua komisi, kenaikan honor, gaji
dal fasilitas lainnya. Sikap demikian jelas sangat pam-
rih…,” tukas Pak Prapto yang pernah pula menjabat se-
bagai Wakil Ketua MPR (1987-1992), sehingga ia hafal
dan tahu persis tentang seluk-beluk “permainan” di
lembaga negara tersebut.

MPR MELANGGAR KEHENDAK


RAKYAT
Ketika disinggung kembali masalah Malin Kundang,
dengan penuh antusias purnawiran Letnan Jenderal TNI
itu langsung merinci sebab musababnya, yang yang pada
dasarnya sebagai akibat tidak adanya kesamaan visi
dalam memaknai reformasi. Bahwa reformasi itu perlu,
tidak usah dipersoalkan lagi, karena kaitannya adalah
usaha perbaikan atau penyempurnaan dari sebuah sistem
yang dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan tata
kehidupan masyarakatnya. Namun demikian ketika ma-
hasiswa dan rakyat bangkit dilaksanakannya reformasi,
yang dituntut adalah; pemberantasan KKN, penegakan
hukum secara konsekuen dan di bidang ekonomi tidak
tergantung pada kekuatan asing.
“Rakyat sama sekali tidak menuntut dilakukannya
amandemen atau perubahan mendasar atas landasan
konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Nah,
kalau rakyat menuntut, tapi kemudian MPR-nya mela-
kukan perubahan justru pada frame yang menyatukan
bangsa ini, bukankah itu namanya MPR telah melanggar
kehendak rakyat? DPR pun tidak memintanya, apalagi
pribadi-pribadi tokoh.”
Nada suara bekas Pangdam Kodam Udayana (1970-
1972) itu mendadak meninggi, ketika menyampaikan hal
tersebut. Dan dengan tegas, laki-laki yang hampir berusia

MPR 1999 = Malin Kundang


229
82 tahun, tetapi masih sangat fit dan energik tersebut
dengan lantang mengatakan:
“Menurut penilaian saya, MPR 1999 itu adalah Malin
Kundang. Anak durhaka terhadap Founding Fathers bangsa
ini.”
Selanjutnya bapak tujuh orang putra-putri yang me-
nikah dengan RA Soeprapti Probodipuro itu menying-
gung pula peran lembaga asing yang bisa mempengaruhi
setiap keputusan dan kinerja MPR. Bahkan ia menyebut
dengan tegas nama NDI dan Cetro (LSM-LSM dengan du-
kungan dana dari AS dan berorientasi menjalankan kebi-
jakan AS) yang menjadi “biang kerok” dan mampu mem-
pengaruhi para anggota MPR yang keblinger, padahal
pada saat itu (7 November 2001), terdaftar 207 anggota
MPR membikin pernyataan tertulis menolak amandemen
tersebut.
“Kalaupun ada perubahan bukan dengan amandemen,
tapi cukup dengan addendum yang bertujuan untuk me-
nyempurnakan pasal 7 saja,” tegas Pak Prapto. Pasal
yang dimaksud menyangkut masa jabatan seorang
presiden, menjadi hanya dua periode saja.
Ketika ditanya, apakah ia setuju jika UUD 1945 di-
dekritkan kembali, seperti dilakukan Bung Karno pada
5 Juli 1959, sambil tersenyum tokoh yang memulai karier
militernya dari Shodancho PETA sebelum proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu, malah bertanya:
“Siapa yang akan mendekritkannya?”
“Sudah tentu Presiden, sesuai dengan hak prerogatif
yang dimilikinya” tegas CITA CITA.
Pak Prapto ketawa dan tidak memberi jawaban apa-
apa, selain hanya memberi signal melalui tangannya, yang
bisa diartikan, rasanya apa yang dilakukan Bung Karno
sulit bisa dilaksanakan saat ini.

230 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
KEHIDUPAN IDEOLOGI SAAT INI
RETAK
Dampak dari tindakan MPR yang melanggar kehendak
rakyat dan reformasi yang terimplikasi dengan euforia
dan tanpa program itu, keadaan negara kita menurut Pak
Prapto bisa dikategorikan sebagai “compang-camping”.
Buktinya; Kehidupan ideologi = retak, ini bisa disaksikan
bagaimana makna yang terkandung dalam Pancasila ha-
nya dijadikan wacana, tidak diimplementasikan dalam
sikap dan perbuatan; kehidupan politik = resah, karena
saat ini bisa dirasakan adanya saling curiga antarparpol;
kehidupan ekonomi = ganas, ini disebabkan ekonomi
kerakyatan atau demokrasi ekonomi “termakan” ekono-
mi liberal, apalagi peran modal asing semakin “buas”;
kehidupan agama = rawan, karena di beberapa tempat
pertentangan antara pemeluk agama yang berbeda se-
makin mencolok, contoh aktual adalah kasus-kasus di
Poso; kehidupan sosial-budaya = gawat, hal ini bisa
dilihat bagaimana dominannya pengaruh asing terhadap
budaya bangsa dan perilaku kebanyakan generasi muda,
sehingga tidak sedikit yang kehilangan jati dirinya
sebagai bangsa Indonesia, yang berbudaya sangat tinggi
itu. Kenyataan tersebut bisa dilihat terutama dalam
suguhan acara televisi swasta.
R. Soeprapto yang pernah menempuh pendidikan
kemiliteran di United States Command and General Staff
College dan Senior Officer Preventive Maintenance
Course di Amerika Serikat, kini berusaha keras membu-
dayakan nilai-nilai kejuangan Angkatan ‘45 kepada gene-
rasi muda melalui kursus atau pendidikan khusus di
perguruan tinggi, agar meskipun Angkatan ‘45 sebentar
lagi akan habis, nilai-nilai kejuangan akan tetap hidup
dan terpelihara, karena relevansinya tidak pernah akan
basi atau sirna. Sekilas ia memaparkan aktivitasnya di
bidang pendidikan.
Cita-cita edisi Januari 2006
MPR 1999 = Malin Kundang
231
H. Amin Arjoso, SH didampingi Eddi Elison saat beraudiensi ke DHN ‘45
pimpinan R. Soeprapto. Amin Arjoso juga tercatat sebagai Anggota
Dewan Paripurna DHN ‘45 periode 2006 - 2011.

232 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Suradi

Perubahan UUD
1945, Dialektika
Sebuah Konstitusi

P
erubahan Undang-Undang dasar 1945 (UUD’45)
masih dipersoalkan sebagian kelompok
masyarakat. Suara penolakan atas perubahan
itu makin nyaring dan mereka menginginkan
agar perubahan itu ditinjau lagi karena tidak sesuai
prosedur. Berangkat dari diskusi sehari di kantor Sinar
Harapan bertema “Pro-Kontra kembali ke UUD’45 Asli”
yang menghadirkan tokoh-tokoh yang pro dan kontra,
laporan khusus kali ini menyoroti soal tersebut.
“Hendaknya tidak ada komponen bangsa yang ber-
pikir untuk mundur dengan cara memutar arah jarum
jam sejarah kembali ke belakang, ke masa UUD’45 yang
terdiri atas 37 pasal, dan telah kita ketahui praktik penye-
lenggaraan negara berlandaskan konstitusi tersebut”.
Pernyataan tersebut dikemukakan Amien Rais empat
tahun lalu. Tepatnya 1 Agustus 2002, saat membuka Si-
dang Tahunan MPR. Agenda penting sidang ini adalah
pengesahan perubahan keempat UUD’45 dan pem-
Perubahan UUD 1945,
Dialektika Sebuah Konstitusi
233
bentukan Komisi Konstitusi sebagai badan baru untuk
menyempurnakan perubahan UUD’45.
Amien Rais yang kala itu Ketua MPR dan Ketua
Umum Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan, per-
ubahan keempat UUD’45 ini akan menuntaskan, me-
lengkapi dan menyempurnakan, sekaligus mengakhiri
perjalanan rangkaian gerbong reformasi.
Mengenai proses perubahan itu, Amien Rais menya-
takan MPR menerapkan prinsip kehati-hatian, sistematis,
komperehensif, dan berdasarkan kearifan yang tinggi. Di
sisi lain, kita juga menerapkan kaidah bahwa hal-hal yang
sangat fundamental dari UUD’45 tetap kita pertahankan.
MPR ketika itu juga membentuk Komisi Konstitusi yang
bertugas menyempurnakan hasil-hasil perubahan
pertama hingga keempat.
Dukungan penyelesaian proses akhir perubahan
keempat UUD’45 datang dari mantan Presiden Megawati
sehari sebelum pembukaan Sidang Tahunan. Megawati
selaku Ketua Umum PDIP mengumpulkan seluruh
Anggota Fraksi MPR dari PDIP dan menginstruksikan
untuk mensukseskan perubahan UUD’45 ini. Mega
bahkan menegaskan, perubahan UUD’45 ini memang
harus dituntaskan saat ini sebelum waktunya semakin
jauh dari sejarah pembentukannya pada tahun 1945.
Perubahan UUD’45 ini merupakan implementasi dari
tuntutan lama pejuang pro-demokrasi yang berujung
pada gerakan reformasi 1998. Proses perubahan itu
sendiri cukup panjang. Perubahan dimulai pertama pada
Sidang MPR pertengahan Oktober 1999, dilanjutkan
perubahan kedua pada tahaun 2000; perubahan ketiga
tahun 2001; dan terakhir perubahan keempat pada Sidang
MPR tahun 2002.

Konstitusi Baru
Meski secara politis perubahan UUD’45 mendapat

234 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
dukungan dari presiden, DPR, lembaga pemerintahan,
dan berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam
koalisi konstitusi baru, MPR periode 1999-2004 yang telah
berhasil membuat “sejarah baru” atas UUD’45 ini
menghadapi tekanan dan protes baik dari Anggota MPR
sendiri maupun masyarakat yang tetap menginginkan
UUD’45 asli digunakan sebagai dasar kehidupan ber-
bangsa dan bernegara.
Protes yang sangat nyaring disuarakan Forum Pembela
Negara Kesatuan Republik Indonesia (FP NKRI) yang
sebagian besar adalah Anggota MPR, seperti Amin Arjo-
so, ImamMuniat, Bambang Pranoto, Guruh Soekarno-
putra, dan lain-lain. Belakangan Amin Arjoso memben-
tuk Gerakan Nurani Parlemen dengan tujuan sama.
Forum Kajian Ilmiah Konstitusi (FKIK) pimpinan Prof.
Usep Ranawidjaya juga aktif menyuarakan penolakan.
Terakhir Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri.
Mereka yang aktif mendatangi pimpinan MPR menyua-
rakan penolakan, antara lain mantan Wapres Try Sutrisno,
mantan Ketua MPR/DPR Kharis Suhud, mantan Men-
hankam Edy Sudrajat dan sejumlah purnawirawan.
Penolakan dilakukan karena proses perubahan yang
dilakukan MPR menurut mereka telah kebablasan karena
telah meniadakan jati diri bangsa Indonesia dan meng-
ancam kesatuan dan keutuhan NKRI. Perubahan itu telah
menciptakan konstitusi baru.
Untuk itu harus ada upaya untuk mengembalikan
kembali UUD’45 seperti semula, sebab menurut mereka
kesalahan bukan terletak pada konstitusi tapi pada
pelaksanaannya.
Empat tahun telah lewat, perubahan UUD’45 itu telah
dipraktekan dalam kehidupan bernegara. Yang sangat
menonjol adalah peranan DPR yang makin proses dalam
proses legislasi, pemilihan presiden langsung yang
demokratis, dan pemilihan kepala daerah (Pilkada)
Perubahan UUD 1945,
Dialektika Sebuah Konstitusi
235
langsung di seluruh kabupaten dan provinsi seluruh In-
donesia.
Ekses Pilkada langsung dan konflik kelembagaan hasil
perubahan membuat mereka yang selama ini menentang
perubahan UUD’45 makin bersemangat untuk
membuktikan bahwa perubahan UUD’45 itu tidak sesuai
dengan kehidupan politik dan kenegaraan Indonesia.

Debat
Penolakan terus disuarakan. Mereka yang meningin-
kan kembali ke UUD’45 asli makin bertambah. Mungkin
eksperimen politik hasil perubahan UUD’45 tidak mem-
buahkan hasil seperti yang diharapkan yang membuat
orang berfikir lebih baik seperti dulu sebelum ada
perubahan. Harian sore Sinar Harapan membuka ruang
bagi mereka yang menolak perubahan dan setuju per-
ubahan, termasuk pelaku sejarah perubahan. Oleh
karena itu, acara yang diberi nama “Pro-Kontra Kembali
Ke UUD’45 Asli” pun digelar Rabu,, 8 September lalu di
kantor SH.
Praktisi hukum Adnan Buyung Nasution yang dikenal
sangat mendukung perubahan, hadir. Rekan sepaham
seperti mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, mantan
Pimpinan Panitia Adhoc Slamet Effendi Yusuf dan
Hamdan Zoelva juga hadir. Dari mereka yang menentang
nampak Amin Arjoso, John Pakan, Leo Soetawidjaya,
Mohammad Isnaeni Ramdhan, Suparman Parikesit, dan
Ridwan Saidi yang datang dengan membawa buku-buku
konstitusi dan setunpuk dokumen. Diskusi dipandu
Sugeng Sarjadi yang tak mau terlibat dalam pro-kontra
namun lebih memilih mencari titik temu.
Buyung yang pada tahun 1992 menulis disertasi The
Aspiration for Constitutional Government in Indonesia; A
Soscio-Legal Study of Konstituante 1956-1959 menyatakan
dirinya sejak lama mengusulkan perubahan UUD ’45

236 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
untuk menyesuaikan dengan perkembangan bangsa ini.
“Bung Karni sendiri dalam dokumen yang saya baca di
Belanda juga menyarankan agar kita membuat konstitusi
yang sesuai pemikiran bangsa kita,” katanya.
Tokoh Golkar Slamet Effendy Yusuf menegaskan,
perubahan yang dilakukan berdasarkan addendum, yak-
ni hanya beberapa pasal tertentu yang dinilai tidak rele-
van lagi, seperti pelaksanaan kedaulatan dikembalikan
ke rakyat, masa jabatan presiden, dan sebagainya. “Jadi
tidak mengubah konstitusi kita,” katanya.
Praktisi hukum yang pada periode 1999-2004 ikut me-
lakukan perubahan, Hamdan Zoelva juga menegaskan
tidak ada yang keliru dalam perubahan UUD’45 ini.
“Kita menggunakan UUD ’45, terutama pasal 37 ini
untuk melakukan perubahan atas UUD ’45,” jelasnya
untuk menjawab keraguan atas proses dan prosedur
perubahan.
Namun bagi Ridwan Saidi perubahan itu tetap saja
tidak benar, sebab naskah asli UUD 1945 tidak dibatalkan,
otomatis UUD 1945 masih berlaku, seharusnya, MPR
membatalkan dulu yang lama. Tapi, itu tidak dilakukan
sehingga menimbulkan masalah. “Saya melihat ini, ada
double konstitusi. Ada UUD 1945 dan ada UUD oplosan
(sebutan UUD ’45 hasil perubahan),” tegasnya.
Mohammad Isnaeni Ramdhan dan Leo Sutawijaya
melihat proses perubahan ini menyalahi prosedur dan
teknis. Selain itu mereka menuduh perubahan itu sarat
pengaruh dan kepentingan asing. “Apakah hasil per-
ubahan itu menyejahterakan rakyat? Kan tidak juga. akyat
hanya melakukan pencoblosan langsung presiden dan
kepala daerah kok, ujar Leo sambil menambahkan per-
ubahan itu tidak pas dengan cita-cita proklamasi. Kita
bisa lihat, hasil perubahan itu sudah menyimpang dari
pembukaan UUD 1945. bukan hanya menyimpang, tapi
sudah bertolak belakang. (Sinar Harapan)
Perubahan UUD 1945,
Dialektika Sebuah Konstitusi
237
H. Amin Arjoso, SH

238 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
H. Amin Arjoso saat masih aktif di DPR.

239
Begini gaya berpolitik H. Amin Arjoso, SH di DPR. Komunikatif dan sportif.
Itu yang membuat kehadirannya di DPR disegani baik oleh kawan
maupun lawan politiknya.

240 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Adnan Buyung Nasution

Tidak Boleh Ada


Kekosongan
Konstitusi

P
raktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution
pernah memimpin Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) 1981 – 1983. Dalam
disertasinya di Utrecht, Belanda, The Aspiration
for Constitutional Government in Indonesia: A Soscio-Legal
Study of Konstituante 1956-1959, ia menyebutkan per-
ubahan perlu dilakukan karena UUD 1945 memiliki kele-
mahan atau cacat konseptual bagi pegangan berbangsa
dan bernegara. Berikut petikan wawancara wartawan SH,
Tutut Herlina.

Masih ada dua pendapat mengenai perlu atau tidaknya


perubahan UUD 1945. Pendapat Anda?
Ternyata mereka (Amien Rais dkk-red) lebih maju dari
yang sebelumnya. Mereka tidak mau kembali ke UUD
1945 asli yang sebelumnya disakralkan. Cuma prosedur-
nya yang sekarang dianggap kurang tepat. Ke depan bisa

Tidak Boleh Ada


Kekosongan Konstitusi
241
disempurnakan.
Bagaimana dengan substansinya?
Itu tinggal apa yang ingin dicapai. Diperbaiki sub-
stansi-substansi yang supaya tidak terjadi kontradiksi.
Karena kalau kita mau lihat, UUD yang sekarang ini
beberapa substansinya paling kontradiksi.
Dimana kontradiksinya?
Mungkin yang tepat bukan kontradiksi, tapi semacam
tumpang tindih. Contohnya, HAM (Hak Asasi Manusia).
Sangat banyak substansi yang menyebut soal itu. Satu
dan yang satunya diulang-ulang. Secara sistemik itu tidak
bagus. Pasal 28 diperpanjang dari a-i, jadinya tidak cantik.
Kalau mau bagus mungkin bisa membuat bab sendiri
tentang HAM. Atau dimasukkan tambahan perubahan
ke dalam bab perubahan. Atau bagaimana tergantung
kesepakatan bersama supaya cantik.
Jika ada perubahan lagi, jadi pintu masuk kembali memasukkan
Piagam Jakarta, pendapat anda?
Itu tetap akan kita tolak. Kalau kita ke sana, akan
ketinggalan. Itu mimpi dan tidak mungkin terjadi.
Tokoh-tokoh Islam sudah meninggalkan pemikiran
semacam itu. Karena jika itu mau dipaksakan, dasar-
dasar fundamental kita akan rusak, juga merusak lan-
dasan berbangsa yang menyebutkan tanah air satu tanah
air Indonesia, bangsa satu bangsa Indonesia, dan bahasa
satu bahasa Indonesia. Ini tidak bisa dielakkan karena
akan melawan arus sejarah.
Kalau ada perubahan bagaimana pemberlakuannya?
Jangan berfikir untuk menghentikan sementara
berlakunya perubahan. Meski ada perubahan, UUD yang
sudah diubah sebelumnya tetap harus digunakan. Kita
tidak bisa memiliki kekosongan Konstitusi. Dilihat
kewajarannya, negara hukum tidak bisa berjalan tanpa

242 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
konstitusi.
Jadi UUD 1945 tidak harus dikeramatkan?
Itu pandangan dogmatis yang mengkeramatkan UUD
1945. Bung Karno dan Bung Hatta saja dulu tidak begitu.
Mereka bilang bahwa Indonesia harus memiliki kon-
stitusi yang nantinya sesuai dengan kehendak rakyat,
maka dibentuklah badan konstituante. Jadi itu sudah
menjadi keharusan sejarah. (Sinar Harapan)

Tidak Boleh Ada


Kekosongan Konstitusi
243
Kepada Yth,
Pimpinan Redaksi
Sinar Harapan
di Tempat

Perihal:

KAMI TETAP MENOLAK PERUBAHAN UUD 1945


Sehubungan dengan pemuatan berita berjudul
“Perubahan UUD 45 Akhirnya Diterima” yang dimuat
dalam Harian “Sinar Harapan” Halaman 1 Kolom 1-2 ter-
bitan Kamis, 7 September 2006, terkait dengan dilaksa-
nakannya Dialog Terbatas “Pro Kontra Kembali ke UUD
1945 Asli” oleh “Sinar Harapan”, dengan ini kami me-
nyampaikan bantahan keras atas pemberitaan tersebut,
karena sama sekali tidak mencerminkan fakta yang
terjadi.
Kejadian yang sebenarnya saat Dialog Terbatas
tersebut adalah sbb:
1. Kami datang dalam diskusi tersebut sebagai satu tim
yang dengan tegas menolak perubahan UUD ‘45 yang
dilakukan oleh MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan
2002.
2. Alasan penolakan tersebut adalah:
a. Perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur
yang tidak benar.
b. Substansi perubahan bertentangan dengan Pem-
bukaan UUD ‘45.
Sehingga perubahan-perubahan UUD ‘45 tersebut
tidak mengikat secara hukum.
3. Kami tidak pernah mensakralkan UUD ‘45 yang berarti
perubahan UUD ‘45 itu dimungkinkan, asal melalui
prosedur yang benar, dilakukan secara addendum dan

244 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
addendumnya merupakan penjabaran dari Pembuka-
an. Hal itu berarti, kalaupun kelak dilakukan per-
ubahan, UUD ‘45 asli tetap utuh, yang terdiri dari Pem-
bukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasannya: perubah-
annya merupakan addendum.
4. Dalam Dialog Terbatas tersebut, sama sekali tidak
dilahirkan kesimpulan atau keputusan apa pun, dan
kedua belah pihak tetap pada pendirian masing-
masing sehingga apa yang diberitakan oleh “Sinar
Harapan” tersebut merupakan manipulasi yang dapat
disamakan dengan menyesatkan pembaca. Hal ter-
sebut terbukti dari tajuk rencana yang berjudul “Per-
debatan mengenai UUD ‘45” yang dimuat pada hari
yang sama.
5. Pemuatan berita bahwa Amin Arjoso, John Pakan,
Isnaeni dan Leo H. Soetowidjojo, pada akhirnya me-
nerima perubahan UUD ‘45, itu merupakan opini Sinar
Harapan sendiri menjadi suatu fitnah dan pencemaran
nama baik kami yang dapat dikualifikasikan sebagai
tindak pidana.
6. Kami juga menyesalkan bahwa terdapat 2 (dua) isu
penting yang mengemuka dalam diskusi tersebut
tetapi tidak diberitakan. Isu tersebut adalah:
a. Peranan asing dalam mempersiapkan dan mem-
biayai perubahan UUD ‘45 (sedangkan bukti-bukti
sudah kami sampaikan pada waktu itu),
b. Dalam perdebatan pada saat itu, terbantahkan
tuduhan Adnan Buyung Nasution bahwa UUD ‘45
dipengaruhi oleh Jepang.
7. Untuk membuktikan hal-hal yang kami ungkapkan di
atas, kami memiliki rekaman audio visual Dialog
Terbatas tersebut.
8. Besar harapan kami, sesuai dengan Kode Etik Jur-
nalistik, bantahan ini dapat dimuat pada halaman dan

Surat Bantahan
kepada Sinar Harapan
245
kolom yang sama dalam penerbitan berikutnya, dan
kami meminta agar Sinar Harapan meralat berita yang
tidak sesuai dengan fakta tersebut, oleh karenanya
Sinar Harapan harus meminta maaf kepada kami. Bila
tuntutan kami tersebut tidak dipenuhi, akan kami
tempuh upaya hukum baik secara Perdata maupun
Pidana.

Jakarta, 6 September 2006

Kami yang membantah:


1. Amin Arjoso
2. John Pakan
3. Leo H. Soetowidjojo
4. Mohammad Isnaeni Ramdhan

246 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Moh Isnaeni Ramdhan

Secara Hukum,
UUD ‘45 Asli
Masih Berlaku

M
antan anggota Komisi Konstitusi,
Mohamamad Isnaeni Ramdhan, yang
menjadi salah satu narasumber diskusi,
tetap berpendirian bahwa prosedur
perubahan UUD’45 keliru. Berikut petikan wawancara
wartawan SH, Daniel Duka Tagukawi, seusai diskusi.

Bisa dijelaskan alasan penolakan terhadap hasil perubahan


UUD 1945?
Kita bicara dari prosedur perundangan dulu, ya.... Dari
sisi ini saja, sebenarnya MPR tidak melakukan hal itu.
Sesuai asas hukum, setiap produk hukum itu memiliki
kekuatan mengikat atau dianggap sudah diketahui
masyarakat, kalau sudah diundangkan dalam lembaran
negara. Ini tidak dilakukan MPR. Secara teori hukum,
perubahan UUD 1945 itu tidak mempunyai kekuatan
mengikat.

Secara Hukum, UUD ‘45 Asli


Masih Berlaku
247
Bukankah lembaran negara itu hanya pengumuman kepada
publik?
Iya. Itu juga disampaikan Pak Hamdan Zoelva. Tapi,
itu saya kira keliru, karena suatu produk hukum memiliki
kekuatan mengikat atau tidak tergantung apakah di-
undangkan dalam lembaran negara atau tidak. UUD 1945
itu ada dalam Lembaran Negara No 75 Tahun 1959. Jadi,
harus diundangkan dalam lembaran negara. Secara
teoretis, publik dianggap mengetahui kalau sudah
diundangkan. Kalau tidak diundangkan berarti tidak
mengikat, kan?
Tapi, kenyataannya hasil perubahan UUD 1945 itu tetap
berlaku?
Memang secara politik, hasil perubahan itu sudah
diberlakukan, misalnya, dengan adanya pemilihan
presiden secara langsung. Itu secara politik. Tapi, kalau
dari aspek yuridis, hasil perubahan itu tidak mengikat,
karena prosedurnya sudah tidak benar. Secara hukum,
UUD 1945 asli masih tetap berlaku.
Maksudnya, baik UUD 1945 maupun perubahannya juga
berlaku?
Saya hanya lihat dari aspek yuridis, di mana UUD 1945
itu masih tetap berlaku. MPR tidak pernah mencabut atau
membatalkan UUD 1945. Begitu juga, MPR tidak pernah
memberlakukan hasil perubahan UUD 1945.
Karena UUD 1945 yang diundangkan dalam lembaran
negara, UUD 1945 yang berlaku. Meski ada ketentuan
dalam UU No 10 tahun 2004, kalau UUD tidak perlu
diundangkan, tapi itu menyalahi asas hukum.
Seandainya prosedur dilakukan secara benar, apakah Anda
menerima hasil perubahan?
Begini ya, sekarang ini, ada UUD 1945 yang sah secara
yuridis dan ada UUD yang diberlakukan karena men-

248 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
dapat dukungan politik. Kalau saya, ya, kembali saja
dulu ke UUD 1945, karena itu yang sah. (Sinar Harapan)

Secara Hukum, UUD ‘45 Asli


Masih Berlaku
249
250 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Rikando Somba

Perjalanan
Perubahan
Konstitusi RI

K
eberlakuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, atau di-
singkat UUD’45 sebagai konstitusi Negara
Republik Indonesia telah mengalami pasang
surut dalam perjalanan bangsa ini. Selain pernah tidak
diberlakukan dan kemudian diberlakukan kembali,
UUD’45 sebagai konstitusi juga telah mengalami per-
ubahan untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman seba-
gaimana hukum yang berlaku dinamis, selama 4 kali.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, perubahan ini
(amandemen) membawa implikasi berubahnya susunan
lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia.
Awalnya UUD ’45 disahkan sebagai undang-undang
dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
UUD ini terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 Bab,
37 Pasal, 49 Ayat, 4 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 Ayat

Perjalanan Perubahan
Konstitusi RI
251
Aturan Tambahan), serta Penjelasan. Setelah dilakukan
4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal,
170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan
Tambahan. Berikut beberapa pokok dan momentum
sejarah yang terjadi pada konstitusi RI ini.
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta
yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
Sedang, naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun
pada waktu Sidang Kedua BPUPKI pada tanggal 10-17
Juli 1945. Pengesahan UUD ini terjadi pada 18 Agustus
1945 oleh PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia.
Tak lama, UUD ini diganti konstitusi RIS (Republik
Indonesia Serikat) sesuai dengan perubahan bentuk
negara sejak tanggal 27 Desember 1945.
Keberlakuan ini tak lama, karena sejak tanggal 17
Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS (Sementara)
1950.
Upaya konstituante untuk membuat UUD yang baru
tak kunjung selesai dan gagal mencapai kesepakatan
bulat. Situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 lebih
terfokus pada saling tarik-ulur kepentingan partai politik
yang ada di Konstituante. Ini melatarbelakangi keluar-
nya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali member-
lakukan UUD 1945. Secara aklamasi, DPR mengukuhkan-
nya pada tanggal 22 Juli 1959.
Tahun 1966 – 1988, Orde Baru menyatakan kembali
manjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan
konsekuen. Pada masa ini, konstitusi menjadi sangat
“sakral”, dengan adanya sejumlah aturan yang mele-
gitimasinya.
Di antaranya: Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983
yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan

252 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
melakukan perubahan terhadapnya.
Berikutnya ada pula Ketetapan MPR Nomor IV/
MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menya-
takan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD
1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat
melalui referendum.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Referen-
dum, yang merupakan pelaksanaan Tap MPR Nomor
IV/MPR/1983.
Pasca Reformasi 1998, perubahan UUD 1945 terjadi.
Periode rakyat dan kalangan politisi menyadari adanya
berbagai penyimpangan dari pelaksanaan UUD 1945
sebelumnya. Perubahan yang mendasar diingini adalah
melaksanakan demokrasi sepenuhnya dengan meletak-
kan kekuasaan tertinggi pada rakyat.
Kekuasaan yang sebelumnya dinilai berfokus pada
MPR diubah. Majelis ini bukan lagi sebagai lembaga
tertinggi negara. Kedudukannya dijadikan setara dengan
lembaga negara lainnya.
Tujuan perubahan UUD ini menurut legislatif dan
Komisi Konstitusi adalah menyempurnakan aturan dasar
seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pem-
bagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan
negara hukum serta hal-hal lain yang sesuai dengan
perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Namun,
perubahan ini tidak mengubah kedudukan UUD 1945
dengan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Re-
publik Republik Indonesia, serta mempertegas sistem
presidensiil.
Perubahan UUD ’45 pertama dilakukan dalam Sidang
Umum dan Sidang Tahunan MPR Oktober 1999 dan
pengesahan perubahan terakhir pada Sidang Tahunan
MPR 2002, tepatnya Sabtu (10/8) malam pukul 23.55.
Perubahan ini dicantumkan dalam Risalah Sidang

Perjalanan Perubahan
Konstitusi RI
253
Tahunan MPR Tahun 2002, yang menerbitkan UUD ’45
dalam satu naskah yang terdiri dari Naskah Perbantuan
dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

254 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Laporan Diskusi 1,
Harian Pelita 11 September 2002

Orang Amerika
Serikat di Balik
Amandemen
UUD 1945?

S
akralisasi UUD 1945 tentu bukan zamannya lagi.
Tapi sebaliknya, mengubah atau membuat UUD
baru bukanlah suatu hal yang mestinya segam-
pang yang ada dalam pemikiran LSM dan Ang-
gota MPR periode 1999-2004.
Menurut motor Gerakan Nurani Parlemen (GNP) yang
juga anggota Deperpu DPP-PDIP Amin Arjoso, ada sya-
rat-syarat yang harus ditempuh untuk melakukan per-
ubahan atau membuat UUD tersebut.
Pertama, jika pihak yang ngotot untuk mengubah atau
mengganti UUD itu adalah aktivis LSM, tokoh atau non
partisan lain, maka tak ada pilihan lain mereka harus
membentuk parpol, ikut pemilu, memenangkan pemilu
lalu mengusulkan perubahan UUD itu. Kedua, jika tak
mau pilihan pertama, tapi mau mengubah atau mengganti
UUD, silahkan bikin revolusi.
Bagi kalangan anggota Majelis, perubahan atau

Orang Amerika Serikat


di Balik Amandemen UUD 1945?
255
penggantian UUD 1945 harus pula didasarkan kepada
amanat reformasi dan program masing-masing parpol
yang dikampanyekan pada pemilu 1999. Idealnya,
menurut Amin Arjoso, harus begitu.
Amanat reformasi, katanya, tidak pernah meng-
amanatkan penggantian UUD 1945. Reformasi yang
dicetuskan mahasiswa tahun 1998 adalah memperbaiki
UUD 1945, bukan membuat UUD baru. Fakta juga men-
dukung bahwa tidak ada satu parpol (yang berhasil me-
nempatkan wakil-wakilnya di DPR) yang memprogram-
kan mengubah (total) atau membuat UUD baru. Kecuali
satu parpol yaitu PUDI pimpinan Sri Bintang Pamung-
kas, yang kala itu memang giat mengkampanyekan
konstitusi baru.
Tapi, apa yang terjadi sungguh mengherankan. Hanya
dengan desakan-desakan segelintir orang, MPR rontok.
Bahkan, kata Amin Arjoso, MPR tak segan-segan melang-
gar rambu-rambu kesepakatan fraksi-fraksi, yang mereka
buat sendiri.
Ada apa ini? begitu kemudian pertanyaannya. Adakah
tangan-tangan ajaib yang ikut campur mempengaruhi
proses amandemen ini dari awalnya? Siapa mereka, dan
apa tujuan mereka?
Amin Arjoso, tokoh vokal dalam proses amandemen
UUD 1945 karena dianggap anti amandemen (kemudian
dibantah Amin sendiri, “Saya bukan anti amandemen,
hanya memang ada hal yang tidak dapat saya terima.
Stempel sebagai anti amandemen itu sudah melekat ke-
pada diri saya, ya sudah... mau apa lagi?”) membeberkan,
tidak adanya suatu alasan yang kuat untuk membuat
UUD baru (istilah yang lebih suka dipakai Amin), mem-
buat dirinya berkesimpulan bahwa pasti ada “sesuatu”
di balik proses amandemen tersebut.
“Jika dilihat dari hasil amandemen UUD 1945 keselu-
ruhan, saya berkesimpulan bahwa amandemen tersebut

256 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
mengandung dua tujuan yaitu tujuan politik sesaat yang
nyambung dengan globalisasi yang tak lain adalah Ame-
rikanisasi. Dalam konteks ini saya melihat ini bagian dari
dekolonisasi, pengkapling-kaplingan ekonomi Indone-
sia,” kata Amin.
Dekolonisasi? Globalisasi? Amerikanisasi? Boleh
percaya, boleh tidak. Namun dari penjelasan Amin dalam
diskusi yang diselenggarkan Forum Kajian Harian Pelita
(FKHP) di Jakarta, Senin (9/9) lalu, beberapa poin bisa
dijadikan bahan pemikiran.
Mengutip Thomas L Friedman dalam bukunya Un-
derstanding Globalization, Amin Arjoso mengatakan,
globalisasi mengandung tiga arti, yaitu penyebaran ka-
pital tanpa batas negara, secara kultural adalah Ameri-
kanisasi dan merupakan pembangunan kekuatan baru
pasca perang dingin. Intinya globalisasi dihembuskan
oleh AS sebagai upaya untuk memperkuat AS sebagai
super power dalam semua bidang, dan di sisi lain terus
berupaya untuk memperlemah posisi negara-negara lain.
AS, menghendaki agar negara-negara lain itu menjadi
subordinat mereka.
Salah satu upaya untuk memperlemah itulah mereka
bermain di arena proses amandemen UUD 1945, dengan
mendorong terjadi pengacauan sistem ketatanegaraan
Indonesia. Ujung-ujungnya adalah semakin besar ke-
kuatan untuk mengkapling-kapling Indonesia secara
ekonomi.
“Saya pernah bertemu dengan Daniel S. Lev. Dia me-
ngatakan kepada saya ‘Pak Amin, menurut saya sebaik-
nya Indonesia jangan menjadi negara kuat. Kalau kuat
maka yang jadi korban adalah HAM’. Ini apa maksudnya?
Maka saya bilang lagi ke dia supaya nasihat ini diala-
matkan saja kepada AS, sebab AS ini kan super power,”
kata Amin.
Amin mengakui, sumbangan AS bagi perjalanan
Orang Amerika Serikat
di Balik Amandemen UUD 1945?
257
kepemimpinan nasional di Indonesia tidak boleh dika-
takan sedikit. Sebut saja lahirnya Perjanjian Renville,
yang bisa terjadi akibat tekanan AS kepada Belanda
supaya tidak menggunakan bantuan mereka untuk
melakukan agresi ke Indonesia. Begitu juga dalam
Konferensi Meja Bundar, dan lainnya.
“Dalam tahun 1965 juga bantuan AS ini sangat besar.
Dan masalahnya bantuan-bantuan itu punya imbalan.
Contohnya adalah Freeport, itu adalah imbalan bagi AS
yang diberikan Indonesia. Sejak itu kita sudah dikapling-
kapling oleh AS. Masalahnya adalah Rekolonisasi itu
semakin besar. Kalau pada masa penjajahan Belanda
yang diambil itu adalah buahnya. Sekarang yang diambil
semuanya ya buah, ya batang, ya daun, sampai akarnya,”
sambung Amin.
Tapi apa bukti permainan AS di balik amandemen
UUD 1945 itu? Amin menyebut lembaga National Demo-
cratic Institute/NDI (for International Affairs) asal AS.
Lembaga ini, menurut Amin, telah memainkan kepen-
tingan AS dalam rangka monopolar, dengan dalih
pengaturan demokrasi Indonesia.
Agen yang mereka pergunakan di dalam negeri Indo-
nesia tidak lain adalah Cetro (Center for Electoral Reform)
yang merupakan bagian dari Koalisi Ornop untuk Kons-
titusi Baru, yang selama ini paling bersuara lantang
dalam menggagas konstitusi baru.
“Orang-orang NDI itu ada dari kalangan aktivis, peng-
amat, mahasiswa, wartawan bahkan anggota DPR/MPR.
Saya tahu ada orang-orang NDI nongkrong di DPR!” kata
dia.
Bukti keterlibatan AS dalam proses amandemen UUD
1945 itu, makin terang setelah Amin Arjoso pada suatu
kali dalam masa pembahasan amandemen UUD 1945 di
Gedung DPR/MPR, ditemui oleh orang-orang Kedubes
AS di Jakarta. “Dia mengatakan kepada saya mengapa

258 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
saya sangat konservatif mengenai amandemen UUD 1945
ini. Lha, ini mau apa? Saya bilang saja kepada mereka
apa urusannya? Kenapa mereka ikut-ikutan?” tanya Amin
Arjoso.
Nah, kata Amin, “Saya jadi bertanya-tanya apakah
teman-teman ini sadar telah menjadi bagian dari sebuah
permainan besar AS?” Ini pula yang mendorong dia
meminta kepada semua pihak untuk bertanya kepada
hati nurani masing-masing, dan berjuang terus untuk
mengembalikan keadaulatan ekonomi, politik dan
kultural indonesia.
Bomer Pasaribu sebagai kesamaan sikap bahwa UUD
hasil amandemen UUD 1945 ternyata lebih menawarkan
instabilitas daripada stabilitas.
Fungsionaris DPP Partai Golkar yang mantan Menaker
Bomer Pasaribu memberi penilaian bahwa amandemen
UUD 1945 telah menyebabkan penyebaran, pembagian
dan pemisahan kekuasaan dan wewenang menjadi terlalu
luas dan cepat. Hal ini akan memperumit pembangunan
sistem kelembagaan, pengembangan konstitusionalisme,
manajemen kenegaraan kesatuan, manajemen potitik
nasional baik supra maupun infrastruktur, manajemen
pemerintahan eksekutif dan pembangunan budaya
politik baru.
“Jadi terbuka peluang krisis benturan kekuasaan, con-
flict of interest antar-lembaga, dan sulit menemukan
penyelesaian cepat,” kata Bomer.
Kesulitan lainnya, penyiapan transisi dan proses
sosialisasi, pembelajaran dan pelembagaan, perangkat
lunak dan keras yang dibutuhkan serta SDM pemerin-
tahan, elit, politisi dan masyarakat.
Karena itu Bomer membayangkan adanya kondisi
yang lebih mengancam bangsa dan negara khususnya
menjelang Pemilu 2004, sebab “Perubahan yang

Orang Amerika Serikat


di Balik Amandemen UUD 1945?
259
demikian besar itu tidak diikuti dengan perubahan
kultural politik”.
Pandangan yang sama disampaikan oleh Amin Arjoso.
Menurut anggota F-PDIP DPR/MPR ini, perubahan I, II,
III, dan IV UUD 1945 oleh MPR telah mengubah struktur
ketatanegaraan dari monokameral menjadi bikameral,
dari Negara Kesatuan dicampur aneh dengan sistem Fe-
deral. MPR sebagai penjabaran demokrasi perwakilan
plus perwakilan kepentingan dalam sistem perwakilan
dirombak menjadi demokrasi perwakilan politik murni
dan langsung.
Demikian pula, sistem pemerintahan negara yang ex-
ecutive heavy ke legislative heavy yang tidak menjunjung
prinsip checks and balance namun lebih mengedepankan
kepada pelaksanaan sistem dan semangat parlemen-
tarisme.
“DPR pasca amandemen UUD 1945 dengan segenap
hak-hak yang ada padanya seperti hak interpelasi, hak
angket (penyelidikan) dan hak menyatakan pendapat
telah mengakibatkan tata kehidupan kenegaraan Indo-
nesia menjadi legislative heavy dan unbatanced yang tiba
gilirannya mengganggu stabititas politik dan meng-
hambat pembangunan nasional”, begitu Arnin Arjoso.
Berikut adalah pasal-pasal yang mengandung prob-
lem konstitusional pasca amandemen I, II, III, dan IV.
Pasal 1 ayat (2), Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal
7C, Pasat 8 ayat (2), Pasal 22D ayat (2), Pasal 22A (1) dan
Pasal 24 C (1), Pasal 2 ayat (1), Pasal 23D, Pasal 20 ayat
(5), Pasal 28 ayat (1), Pasal 13 ayat (3), Pasal 20 ayat (1),
Pasal 20 ayat (2), Pasal II Aturan Peralihan.
Menurut Amin Arjoso, perubahan UUD 1945 memper-
gunakan kewenangan berdasarkan pasal 37 adalah
manipulatif, karena kewenangan MPR untuk mengubah
UUD sebagaimana dirumuskan dalam pasal 37 tidak
terlepas dari rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 asli

260 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
dimana MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indone-
sia dan merupakan Lembaga Tertinggi Negara, peme-
gang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Dengan demikian apabila Pasal 1 ayat (2) sudah diubah
(melalui perubahan III) yaitu bahwa MPR tidak lagi
memegang kedaulatan rakyat sepenuhnya dan bukan
lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Maka, Pasal
37 telah kehilangan relevansinya untuk dipergunakan
sebagai dasar hukum Perubahan UUD dalam Sidang
MPR.
Demikian pula penggunaan Pasal 3 UUD baru (hasil
perubahan III) juga telah kehilangan relevansinya ber-
kaitan dengan, telah berubahnya fungsi dan kewenangan
MPR melalui amandemen III.
Manipulasi itu sudah berulang kali diprotes dan di-
interupsi oleh anggota MPR, tetapi tidak dihiraukan oleh
Pimpinan MPR. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
telah meniadakan fungsi MPR sebagai pemegang dan
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Perubahan
tersebut juga bertentangan dengan alinea IV Pembukaan
UUD 1945. Yaitu mengubah sistem demokrasi perwakil-
an menjadi demokrasi langsung (representative democracy
ke direct democracy). Menjadi tidak jelas locus of sofereignity
dari kedaulatan negara, MPR bukan pemegang dan
pelaksana kedaulatan rakyat.
Pasal 3 mengenai kewenangan MPR, menurut Amin,
tidak jelas landasan dan kewenangan MPR Pasca Aman-
demen III, karena MPR bukan lagi sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat tetapi anehnya diberi kewenangan
seperti halnya lembaga konstituante. Yaitu berwenang
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
Soal Pasal 7 C yaitu mengenai Presiden tidak dapat
membekukan dan atau membubarkan DPR, bisa di-
artikan Presiden bisa membubarkan DPD. Demikian pula
Pasal 8 ayat (2) yang mengatur dalam hal terjadi keko-
Orang Amerika Serikat
di Balik Amandemen UUD 1945?
261
songan Wapres, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari
MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wapres
dari dua calon yang diusulkan Presiden.
“Pasal ini tidak sejalan dan rancu dengan sistem pemi-
lihan Presiden secara langsung,” kata Amin Arjoso.
Pasal 22 A (1) dan Pasal 24C (1) mengenai kewenangan
MA, juga bisa terjadi MA menyatakan sebuah aturan di
bawah UU tidak bertentangan dengan UUD, sementara
Mahkamah Konstitusi menyatakan UU itu bertentangan
dengan UUD.

262 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
263
264 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
SBY Melaksanakan
UUD tanpa Makna

U
ndang-undang No.10 Tahun 2004 pasal 2
berbunyi: “Pancasila merupakan sumber dari
sumber hukum Negara.” Penjelasannya;
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pem-
bukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai
dasar ideologi negara sekaligus dasar filosofis bangsa
dan negara, sehingga setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Apakah pemerintah, termasuk Presiden telah melak-
sananakan amanat Undang-Undang tersebut?
Suatu hal yang terjadi pada akhir-akhir ini, justru
pengimplementasian dasar negara Pancasila, sangat dira-
sakan inkonsistensi, bila dikaitkan dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara.

SBY Melaksanakan UUD


tanpa Makna
265
Nah, untuk mencari titik solusi mengenai hal tersebut,
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan
Bernegara (LPPKB) menggelar sebuah “Sarasehan Sehari
LPPKB” di Gedung Granadi, Jakarta Selatan (6/12-06),
yang mendapat dukungan penuh dari PT Granadi,
Yayasan Dakab, Darmais, Damandiri dan Supersemar,
selain lembaga lainnya.
Tiga narasumber ditampilkan; Prof. Dr. H. R. Soeyadi
SH dari UGM Yogyakarta, Drs. Ridwan Saidi (Komnas
Penyelamat Pancasila dan UUD 1945) dan Dr. Maria
Farida Indarti SH, MH (Universitas Indonesia). Panitia
menyebutkan, bahwa peserta untuk sarasehan dibatasi
hanya untuk 60 orang, sehingga yang hadir didominasi
oleh orang-orang sepuh dan hanya satu dua orang saja
dari kalangan anak muda. Tampak hadir mantan Menkeh
Orba Oetojo Oesman, Irjen Pol (Pur) Putra Astaman seba-
gai Ketua Pepabri, mantan Mentraskop Kab. Dwikora M.
Achadi, tokoh-tokoh pejuang Angkatan ‘45 dan lain-lain.
Oleh karena membicarakan dan membahas masalah
Pancasila sama sekali tidak bisa dilepaskan dari UUD
1945, dengan sendirinya sarasehan ini menjadi “ramai”.
Prof. Soeyadi berurai tentang terjadinya perubahan-
perubahan terhadap UUD 1945 oleh MPR periode 1999-
2004 dengan banyak mengutip pendapat dari beberapa
pakar seperti Roscoe Pound, Nieuwenhuijs, Gustav Rad-
bruch, Prof. Mochtar Kusumatmadja, Prof. Purnadi
Purbacaraka, C.J.M. Schuijt, Prof. Harun Al Rasjid, Prof.
Laica Marzuki, dan Dr. Ellydar Chaidir.
Persis sebagaimana kebiasaan kaum akademisi yang
lebih cenderung mengakui pendapat orang lain daripada
pendapat sendiri, akhirnya tidak yakin secara tegas untuk
menolak atau menerima perubahan terhadap UUD 1945
yang didekritkan Presiden Soekarno, 5 Juli 1959. Bahkan
ia memberi solusi yang ngambang dengan mengatakan
perlunya ditata ulang Perubahan UUD 1945, meskipun

266 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
minta dipulihkan kembali Penjelasan UUD 1945 yang
dalam amandemen dihapuskan. Dengan kata lain, Prof
Soeyadi menginginkan UUD ‘45 Amandemen, diaman-
demen kembali.
Sikap tegas justru disampaikan oleh Ridwan Saidi.
Mantan anggota DPR dan Ketua HMI itu dengan tandas
berkata: “Saya menolak UUD ‘45 Amandemen, karena
prosedurnya melanggar hukum, subtansinya “ngaco”,
UUD 1945 (asli) tidak pernah dicabut atau dibatalkan,
sehingga saat ini yang berlaku sebenarnya dua konsti-
tusi, yakni UUD 1945 dan UUD ‘45 Amandemen yang
lebih tepat disebut “UUD 2002”.
Prof. Maria Farida ternyata lebih berani dalam bersi-
kap, karena sebagai pakar dalam penyusunan undang-
undang, ia dapat merasakan ketidakberesan MPR saat
membahas dan mengubah UUD 1945. Bahkan ia me-
nyinggung dengan terus terang adanya intervensi asing.
Bagi Dr. Maria “UUD 2002” yang meniadakan Penjelas-
an, merupakan UUD tanpa makna. Diuraikannya makna
Penjelasan yang berpedoman pada pasal 149-UU No.10/
2004; Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pem-
bentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma
tertentu dalam Batang Tubuh. Oleh karena itu, Penjelasan
hanya memuat uraian atau jabatan lebih lanjut dari norma
yang diatur dalam Batang Tubuh. Dengan demikian, Pen-
jelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam
Batang Tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ke-
tidakjelasan dari norma yang dijelaskan.
Dosen Pasca Sarjana tersebut mengungkapkan adanya
pelanggaran yang dilakukan pemerintah daerah terha-
dap Pancasila dan UUD dengan menerbitkan Perda atau
Surat Edaran Bupati/Walikota atau Gubernur. Dicatat-
nya ada 22 Perda yang bermotif syariah dan tidak sesuai
Pancasila, 10 Surat Edaran, SK, Instruksi Kepala Daerah,
ada 2 Kepala Desa yang menerbitkan Peraturan Desa dan

SBY Melaksanakan UUD


tanpa Makna
267
“menabrak” Pancasila. Semua ini sebagai akibat lahirnya
UU Otonomi Daerah yang ditafsirkan berbeda antara
Pusat dan Daerah.
Selesai sarasehan, ketika dihubungi CITA-CITA, Dr.
Maria membenarkan, bahwa Presiden yang sekarang
telah menjalankan UUD yang tidak punya makna atau
cacat.
Mungkin karena itu banyak pihak yang menghendaki
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendekritkan di-
bubarkannya “UUD 2002” yang cacat hukum dan tidak
bermakna, karena dilahirkan akibat intervensi asing dan
terburu-buru.
Sayang, dalam kesimpulan Tim Perumus, setelah
terjadi tanya jawab, tetapi hanya berkomentar, tidak ter-
cantum tentang UUD 45 Amandemen yang tanpa makna
dan “keanehan” kita dalam bernegara, yakni Presiden
melaksanakan konstitusi yang tidak punya arti….

UUD ‘45 Asli


Tetap Berlaku
Oleh: Abdulkadir Besar, SH

Dengan ungkapan lain, perkenankan saya menyatakan,


bahwa berhubung Perubahan I, II, III dan IV UUD 1945,
yang berdasarkan 5 butir kesepakatan antara semua
Fraksi dalam MPR dimaksudkan sebagai amandemen
terhadap UUD 1945, dan diberlakukan secara berturut-
turut oleh MPR pada Sidang Tahunan 1999, 2000, 2001
dan 2002, tidak memiliki kekuatan hukum, maka ber-
dasarkan teori hukum: UUD 1945 asli tetap berlaku.
Atau, realitas MPR beserta PAH I/BP-MPR-nya yang

268 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
mengingkari Pembukaan UUD 1945, dan mengabaikan
Penjelasan UUD 1945 dengan menghapuskannya dari
naskah UUD 1945, memang suatu tindak logik yang sadar
dilakukannya, karena sejak mula yang mereka akan laku-
kan memang bukan amandemen UUD 1945, tetapi pem-
buatan konstitusi baru.
Niat pembuatan konstitusi baru ini dungkapkan oleh
Wakil Ketua PAH I/BP MPR pada siaran talk show tanggal
10 Agustus 2002 malam di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh TVRI. Talk show
tersebut diselenggarakan sebagai acara penutupan Semi-
nar Uji Sahih Perubahan UUD 1945 yang diselenggarakan
oleh KAGAMA (Keluarga Alumni Gadjah Mada).
Berikut ini pernyataan beliau: “Saya buka rahasia,
untuk membuat undang-undang dasar baru itu berat
tantangannya; karena itu, di antara tanda kutip (sambil
mengangkat kedua tangannya ke atas, dan menggerak-
gerakkan jari telunjuk dan jari tengah secara bersamaan
dari kedua tangannya sebagai lambang “tanda kutip”,
kita kesankan sebagai “amandemen”.
Apabila pernyataan itu –meskipun dinyatakan sebagai
hal yang berada di antara tanda kutip– memang benar
adanya sebagai motivasi dalam melakukan “amande-
men” (tanda kutip dari saya), maka menjadi logik sepe-
nuhnya, bahwa PAH I/BP-MPR maupun MPR, meng-
ingkari Pembukaan UUD 1945 dan mengabaikan Penje-
lasan UUD 1945, karena bagi bagian besar dari anggota
PAH-I/BP-MPR dan bagian besar anggota MPR, Pem-
bukaan UUD 1945 yang di dalamnya tercantum Pancasila
dasar negara Republik Proklamasi 45, dan Penjelasan
UUD 1945 yang muatannya adalah kesepakatan dan pe-
mahaman pertama dari para pendiri Republik Proklama-
si 1945, termasuk batang tubuh UUD 1945, merupakan
masa lampau yang hendak mereka tinggalkan untuk se-
lama-lamanya dan menggantinya dengan undang-
undang dasar baru.
SBY Melaksanakan UUD
tanpa Makna
269
Apabila ini susbtansi sebenarnya dari Perubahan I, II,
III, IV UUD 1945, maka seluruh proses pembuatan kon-
stitusi baru, baik yang berlangsung dalam PAH I/BP-
MPR maupun yang berlangsung dalam Sidang Tahunan
MPR 1999, 2000, 2001, 2002, adalah proses sembunyi-
sembunyi menghindari pengetahuan rakyat berdaulat.
Pembuatan konstitusi baru itu –karena berdefinisi
seperti yang diungkapkan oleh Maxim yang saya kemu-
kakan paling pertama dalam orasi ilmiah ini– berarti
mendirikan Negara baru, dalam sistem pemerintahan de-
mokrasi, harus mendapatkan izin khusus dari rakyat ber-
daulat. Sekurang-kurangnya izin itu didapatkan melalui
pemilihan umum rekrutmen anggota MPR, dengan
mengumumkan secara terbuka, bahwa MPR hasil pemilu
tersebut akan membuat konstitusi baru.
Tanpa izin khusus dari rakyat berdaulat, konstitusi
baru tidak mendapat legitimasi rakyat dan karenanya
batal demi hukum. Lebih-lebih konstitusi baru yang di-
buat dengan sembunyi-sembunyi untuk tidak diketahui
rakyat berdaulat, seperti yang dilakukan MPR angkatan
1999-2004, dengan sendirinya tidak memiliki kekuatan
hukum; dengan sendirinya batal karena hukum.
Apakah para elit politik Indonesia, terutama yang ber-
status anggota MPR terpanggil untuk segera menyeleng-
garakan Sidang Umum MPR, khusus untuk memper-
baiki Perubahan I, II, III, IV UUD 1945 yang terbukti tidak
memiliki kekuatan hukum: atau membiarkan rakyat In-
donesia berjalan sendiri dengan menaati UUD 1945 asli,
sejarah politik Indonesia yang akan menentukan.

(Tulisan ini dikutip khusus bagian solusinya dari orasi


ilmiah oleh Abdulkdir Besar SH dalam Rapat Terbuka
Senat Dies Natalis XXXVI & Wisuda 2001-2002, Uni-
versitas Pancasila tanggal 3 Oktober 2002 yang
berjudul “Amandemen I, II, III dan IV UUD 1945

270 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Ditinjau dari Faham Konstitusionalisme”).

Tabloid Cita Cita edisi Desember 2006

SBY Melaksanakan UUD


tanpa Makna
271
Lampiran

272 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Memorandum
tentang Perubahan
UUD 1945
oleh MPR 1999-2002
Kami yang bertandatangan di bawah ini setelah
mempelajari :

I. Perubahan Pertama UUD 1945 tanggal 19


Oktober 1999
Perubahan dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu
membatalkan dasar hukum pemberlakuan UUD 1945
yaitu :
1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana
diundangkan Keputusan Presiden No.150/1959
(Lembaran Negara No. 75/1959).
2. Ketetapan MPRS No. XX/1966 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia.

Memorandum tentang Perubahan UUD 1945


oleh MPR 1999-2002
273
Format putusan Majelis tentang Perubahan Pertama
UUD 1945 melanggar Pasal 90 Ketetapan MPR No. 11/
1999 tentang Tata Tertib Majelis. Bentuk-bentuk putusan
Majelisadalah Ketetapan dan Keputusan. Perubahan
pertama UUD 1945 di luar ketentuan yang diatur Tap
No. 19/1999. Dengan demikian perubahan pertama UUD
1945 suatu penyelundupan hukum, wet smokkelarij, yang
menurut hukum tidak sah.

II. Perubahan Kedua UUD 1945 tanggal 18


Agustus 2000
Perubahan dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu
membatalkan dasar hukum pemberlakuan UUD 1945
yaitu :
1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang diundangkan
Keputusan Presiden No. 150/1959 (Lembaran Negara
No. 75/1959).
2. Ketetapan MPRS No. XX/1966 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia, sebagaimana diubah oleh TAP
No. III/MPR/2000.
Format putusan majelis tentang Perubahan Kedua
UUD 1945 didasarkan pada TAP No. II/MPR/2000
dimana Pasal 90 tentang bentuk-bentuk putusan Majelis
diubah dengan menambah judul Perubahan dan Pene-
tapan Undang-Undang Dasar sebagai suatu bentuk
putusan Majelis, hal ini jelas bertentangan dengan TAP
No. III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Per-
undangan yang tidak mengenal apa yang dinamakan
Perubahan dan Penetapan Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian perubahan kedua UUD 1945 suatu
penyelundupan hukum, wet smokkelarij, yang menurut
hukum tidak sah.

274 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
III. Perubahan Ketiga UUD 1945 tanggal 9
November 2001
Perubahan dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu
membatalkan dasar hukum pemberlakuan UUD 1945
yaitu :
1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang diundangkan
Keputusan Presiden No. 150/1959 (Lembaran Negara
No. 75/1959).
2. Ketetapan MPRS No. XX/1966 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia, sebagaimana diubah oleh TAP
No. III/MPR/2000.
Format putusan majelis tentang Perubahan Kedua
UUD 1945 didasarkan pada TAP No. II/MPR/2000
dimana Pasal 90 tentang bentuk-bentuk putusan Majelis
diubah dengan menambah judul Perubahan dan
Penetapan Undang-Undang Dasar sebagai suatu bentuk
putusan Majelis, hal ini jelas bertentangan dengan TAP
No. III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan
Perundangan yang tidak mengenal apa yang dinamakan
Perubahan dan Penetapan Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian perubahan ketiga UUD 1945 suatu
penyelundupan hukum, wet smokkelarij, yang menurut
hukum tidak sah.

IV. Perubahan Keempat UUD 1945 tanggal


10 Agustus 2002
Perubahan dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu
membatalkan dasar hukum pemberlakuan UUD 1945
yaitu :
1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang diundangkan
Keputusan Presiden No. 150/1959 (Lembaran Negara
No. 75/1959).

Memorandum tentang Perubahan UUD 1945


oleh MPR 1999-2002
275
2. Ketetapan MPRS No. XX/1966 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia, sebagaimana diubah oleh TAP
No. III/MPR/2000
Format putusan majelis tentang Perubahan Kedua
UUD 1945 didasarkan pada TAP No. II/MPR/2000 di
mana Pasal 90 tentang bentuk-bentuk putusan Majelis
diubah dengan menambah judul Perubahan dan Pene-
tapan Undang-Undang Dasar sebagai suatu bentuk pu-
tusan Majelis, hal ini jelas bertentangan dengan TAP No.
III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perun-
dangan yang tidak mengenal apa yang dinamakan Per-
ubahan dan Penetapan Undang-Undang Dasar. Dengan
demikian perubahan keempat UUD 1945 suatu penye-
lundupan hukum, wet smokkelarij, yang menurut hukum
tidak sah.

V. Pembatalan Pemberlakuan Pasal, Ayat


dan Penjelasan UUD 1945
Mengingat perubahan yang dilakukan MPR 1999-2002
adalah revisi redaksional pasal, penambahan pasal dan
ayat baru, dan pembatalan pemberlakuan pasal-pasal dan
ayat-ayat yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945,
serta penjelasan UUD 1945, dan pembatalan pemberla-
kuan mana tidak dilakukan dalambentuk Putusan Maje-
lis. Maka dengan demikian keseluruhan isi UUD 1945
sebagaimana disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dan
diberlakukan Makloemat Pemerintah RI, 1 November
1945: “Makloemat Politik” dalam berita Repoeblik Indo-
nesia Tahun I, 17 November 1945 yang dimuat ulang da-
lam Berita Repoeblik Indonesia Tahun II/No.7, 15 Fe-
bruari 1946, dan didekritkan pemberlakuannya kembali
tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana diundangkan Keppres
No. 150/1959 (Lembaran Negara No. 75/1959), Dan di-
kuatkan lagi pemberlakuan sebagai Sumber Hukum oleh

276 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
keputusan MPRS No. XX/1966 tentang memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik In-
donesia dan tata, urutan Peraturan Perundangan Repu-
blik Indonesia sebagaimana diubah oleh TAP No. III/
MPR/2000, menurut hukum tetap berlaku sah.

Maka dengan ini menyatakan :


1. Mengingat perubahan dan Penetapan Undang-Undang
Dasar bukan Sumber Hukum dan tidak termasuk
dalam Tata Urutan Peraturan Perundangan sebagai-
mana Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 yang telah di-
ubah oleh Tap III/MPR/2000, dan mengingat Dekrit
Presiden tangga 5 Juli 1959 yang diundangkan Kepu-
tusan Presiden No. 150/1959 (LN No. 75/1959) tidak
pernah dibatalkan, maka secara hukum Perubahan
Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga dan
Perubahan Keempat UUD 1945 yang dilakukan oleh
MPR 1999-2004 suatu penyelundupan hukum yang
menurut hukum tidak sah, dengan demikian Perubah-
an Undang-Undang Dasar tersebut batal demi hukum.
2. Mengingat MPR tahun 1999-2004 tidak melakukan
secara sah perubahan Undang-Undang Dasar terhadap
UUD 1945 maka dengan demikian Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai-
mana disahkan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945
dan didekritkan berlakunya lagi oleh Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 dan diundangkan Keppres No. 150/
1959 (LN No. 75/1959) tetap sah dan berlaku bagi
seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia.
3. Mengingat pada satu sisi Perubahan Pertama, Kedua,
Ketiga dan Keempat Undang-Undang dasar Tahun
1945 tidak ditempatkan dalam Lembaran negara Re-
publik Indonesia, dan pada sisi lain UU No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan pasal 3 ayat (2) berbunyi : “Undang-Undang

Memorandum tentang Perubahan UUD 1945


oleh MPR 1999-2002
277
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ditempatkan dalam Lembaran negara Republik Indo-
nesia”, dan ayat (3) berbunyi : “Penempatan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak
merupakan dasar pemberlakuannya”, yang di dalam
penjelasannya berbunyi, Ayat (3) “Ketentuan ini me-
nyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Re-
publik Indonesia Tahun 1945 sejak ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Maka hal ini jelas
merupakan skandal ketatanegaraan yang mengabur-
kan fungsi penempatan peraturan perundangan dalam
Lembaran Negara. Di samping merusak sendi kenega-
raan tentang azas pemisahan kekuasaan di mana MPR
telah difungsikan sebagai lembaga yang memberlaku-
kan peraturan perundangan. Diundangkannya Un-
dang-Undang No. 10 Tahun 2004 secara jelas telah me-
langgar azas hierarki demi pembenaran post factum
perubahan UUD 1945.
4. Berhubung beredarnya barang cetakan berjudul Un-
dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam satu naskah, diterbitkan Mejelis Permu-
syawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat
Jenderal MPR RI, tahun 2005, yang isinya bertentangan
dengan naskah asli UUD 1945, maka dengan ini kami
meminta pihak berwajib untuk menarik barang cetakan
tersebut dari peredaran untuk dimusnahkan.
5. Atas dasar pertimbangan tersebut diatas, maka bersama
ini Kepada Presiden RI, MPR RI, DPR RI, Mahkamah
Agung RI, kami meminta agar dalam tempo sesingkat-
singkatnya untuk mengakhiri situasi hukum yang ab-
normal dengan menyatakan lagi berlakunya UUD 1945
dan menyatakan perubahan Undang-Undang Dasar
1945 yang dilakukan MPR 1999-2004 tidak sah dan
batal demi hukum. Kelalaian penyelengara negara da-
lam hal ini, membuka peluang bagi rakyat mengguna-

278 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
kan haknya untuk menyelamatkan konstitusi UUD
1945.

Penandatangan Memorandum
Tentang Perubahan UUD 1945
Oleh MPR 1999 – 2002
NAMA PARA PENANDATANGAN

Abdul Madjid H. A. Aryoso


Angg. MPR/DPR RI Angg. MPR/DPR RI

Sri Edi Swasono A.S.S Tambunan


Angg. MPR Mantan Angg. MPR/DPR RI

S. Hartati Murdaya Sadjarwo Sukardiman


Angg. MPR Angg. MPR/DPR RI

Prof. Dr. M. Ali, SH, Dip.Ed, M.Si H. Syahrul Azmir Matondang


Angg. MPR Angg. MPR/DPR RI

Permadi
Bambang Pranoto Angg. MPR/DPR RI
Angg. MPR/DPR RI

Memorandum tentang Perubahan UUD 1945


oleh MPR 1999-2002
279
PERNYATAAN SIKAP
KEMBALI KE UUD 1945
Kami yang bertanda tangan di bawah ini para mitra
juang/komponen bangsa yang setia kepada Proklamasi
17 Agustus 1945, dalam memperingati Hari Kemerde-
kaan Republik Indonesia ke-62, dan sebagai tindak lanjut
dari pernyataan kami tanggal 5 Juli 2007 yang telah disam-
paikan kepada pimpinan DPR-RI dan sudah diteruskan
kepada Presiden Republik Indonesia;
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, apabila
Presiden tidak mengambil keputusan terhadap materi
Pernyataan tersebut, kami atas nama rakyat yang setia
kepada Proklamasi 17 Agustus 1945 :

MENYATAKAN MOSI TIDAK PERCAYA


KEPADA PRESIDEN

Semoga Tuhan yang Maha Kuasa melimpahkan


rahmat dan hidayah-Nya, demi suksesnya perjuangan
kembali ke UUD 1945 dan tercapainya cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945.

Gedung Juang 45, Jakarta, 09 Agustus 2007


Atas nama rakyat yang setia
Proklamasi 17 Agustus 1945

280 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
PENANDATANGAN
PERNYATAAN SIKAP
KEMBALI KE UUD 1945

Pernyataan Sikap
Kembali ke UUD 1945
281
282 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
283
284 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
PERNYATAAN KOMPONEN BANGSA
UNTUK KEMBALI KE UUD 1945

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa,


Kami yang bertandatangan di bawah ini, sebagai
eksponen bangsa baik perorangan maupun yang terga-
bung dalam berbagai organisasi, yang bercorak indepen-
den dan bersifat nasionalis, religius, profesional, hu-
manis, populis/kerakyatan dalam berbagai aspek kehi-
dupan bangsa, di bidang sosial ekonomi, dalam rangka
memperingati kelahiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
ke-48, dengan ini menyatakan dengan khidmat, bahwa:
1. Cita-cita Proklamasi 1945, Pancasila, dan UUD 1945
sebagai Konstitusi yang ditetapkan oleh PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus
1945 dan dinyatakan berlaku kembali pada 5 Juli 1959
melalui Dekrit Presiden, sehingga Pancasila dan UUD
1945 merupakan hal yang sangat fundamental bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Pancasila dan UUD 1945 yang pelaksanaannya telah
dikhianati oleh elit-elit politik, bekerjasama dengan
pihak asing yang membawa akibat sangat merugikan
rakyat, menyusutkan kedaulatan negara dan memper-
lemah jati diri bangsa, tercermin dari kebijakan peme-
ntah mengembang-tumbuhkan liberalisme dan ka-
pitalisme.
3. Empat kali amandemen yang dilakukan oleh MPR pe-
riode 1999-2004, selain melanggar hukum, karena tidak
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan MPR sendiri,
juga substansi dan filosofinya telah sangat menyim-
pang, tercermin dari Batang Tubuh UUD 1945 dirom-
bak sedemikian rupa, sehingga bertentangan dengan
Pembukaannya, menyebabkan terjadinya KRISIS
KONSTITUSI. Apalagi tidak ada TAP MPR yang

Pernyataan Komponen Bangsa


untuk Kembali ke UUD 1945
285
membatalkan atau mencabut UUD 1945 Dekrit
Presiden 1959.
4. Krisis Konstitusi tersebut mengakibatkan Krisis Multi
Dimensi yang meliputi Krisis Ketatanegaraan, Krisis
Kepemimpinan, Krisis Moral, dan Krisis Budaya, yang
keseluruhannya merugikan rakyat, bangsa dan negara.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka kami
mendesak kepada Kepala Negara. agar dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya mengatasi Krisis Konstitusi
dengan memberlakukan kembali UUD 1945.
Jakarta, 5 Juli 2007

286 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
PENANDATANGAN
PERNYATAAN KOMPONEN BANGSA
UNTUK KEMBALI KE UUD 1945

Pernyataan Komponen Bangsa


untuk Kembali ke UUD 1945
287
288 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
289
290 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR RI
A. Titik Tolak dan Sikap
1. MPR 1999-2004 telah gagal total mengamandemen
UUD 1945. Dapat dikatakan demikian karena keber-
samaan dengan ditetapkannya hasil amandemen
termaksud melalui Rapat Paripurna Sidang Tahunan
MPR tanggal 10 Agustus 2002, MPR juga membentuk
Komisi Konstitusi. Komisi konstitusi ini bertugas
melakukan pengkajian secara komprehensif dan
penyempurnaan terhadap hasil amandemen.
Dengan kata lain MPR mengakui bahwa hasil aman-
demen belum sempurna, namun UUD hasil amandemen
telah diberlakukan, sehingga sekali lagi hasil amandemen
oleh MPR merupakan suatu kegagalan dan sekaligus
MPR tidak bertanggung-jawab. Dengan dibentuknya
Komisi Konstitusi berarti MPR mengakui telah dan masih
membuat kesalahan dalam melakukan amandemen. De-
ngan demikian posisi UUD yang masih mengandung
ketidaksempurnaan kesalahan-kesalahan itu, seharusnya
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
291
tidak bisa ditetapkan sebagai berlaku sejak tanggal 10
Agustus 2002. Lagipula belum ditempatkan dalam Lem-
baran Negara. UUD yang masih harus diteliti dan disem-
purnakan semacam itu tidak memberikan akseptabilitas
dan kepastian hukum, oleh karena itu seharusnya tidak
boleh berlaku sampai benar-benar Komisi Konstitusi
menghasilkan UUD yang bersifat permanen. Sementara
itu, sambil menunggu hasil Komisi Konstitusi, seharus-
nya yang tetap berlaku adalah UUD 1945 asli.
Sekarang ini bangsa Indonesia menyerahkan kepada
Komisi Konstitusi suatu tanggungjawab yang sangat be-
sar namun dengan wewenangnya yang terbatas. Bagaima-
na pun hasil ini juga patut kita syukuri mengingat ang-
gota-anggota Komisi Konstitusi terdiri atas orang-orang
terhormat yang memiliki intelektualisme tinggi. Oleh ka-
rena itu menjadi harapan bangsa Indonesia bahwa para
anggota Komisi Konstitusi ini memegang teguh intellec-
tual nobility-nya, sehingga dapat menggunakan kehor-
matan intelektualnya itu untuk mengoreksi penyele-
wengan oleh MPR dalam melakukan amandemen ter-
hadap UUD 1945 asli.
2. UUD hasil amandemen MPR yang telah ditetapkan
berlakunya tanggal 10 Agustus 2002 merupakan UUD
hasil “amandemen kebablasan”. Mengapa dikatakan
“amandemen kebablasan”, karena sebenarnya yang
dilakukan bukanlah suatu amandemen, tetapi adalah
perombakan dan perubahan UUD 1945 secara menda-
sar, yaitu yang mengubah sistem pemerintahan, mem-
porak-porandakan makna demokrasi Indonesia dan
ssistem konstitusi. Dengan amandemen yang keba-
blasan ini, maka MPR tidak lagi menjadi penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia sebagai wujud dari demo-
krasi khas Indonesia dan tidak lagi mencerminkan
makna sosio demokrasi Indonesia, tetapi juga sekaligus
MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara.
(Patut diduga keras, peranan asing, khususnya NDI

292 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
yang mandate dan philosophy-nya adalah democratic
value-nya American self-interest, telah mengaku berperan
aktif atau bekerjasama dalam democratic reform yang
menyangkut perpolitikan Indonesia, melalui anggota-
anggota MPR, lembaga-lembaga tinggi perpolitikan,
universitas-universitas, dan tak terkecuali dengan
Departemen Dalam Negeri).
Sebagai anggota-anggota MPR dan DPR dan sekaligus
mewakili anggota-anggota MPR dan DPR yang menolak
amandemen kebablasan tersebut, kami sekaligus mene-
gaskan bahwa sikap anti amandemen kebabalasan terse-
but ini tidak berarti anti amandemen.
3. Sebanyak 11 Fraksi MPR telah mencapai kesepakatan
mengenai dasar-dasar melakukan amandemen UUD
1945, yaitu :
(a). Tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945;
(b). Tetap mempertahankan Negara Kesatuan RI;
(c). Tetap mempertahankan sistem pemerintahan presi-
dential;
(d). Hal-hal yang normatif di dalam penjelasan akan
dipindahkan ke dalam pasal-pasal UUD;
(e). Perubahan dilakukan dengan cara addendum.
Jika kita memperhatikan dengan seksama, maka kese-
pakatan butir 4 dan 5 itu telah dilanggar oleh MPR dan
pelanggaran kedua butir ini menambah bobot kebablas-
annya hasil amandemen dan sekaligus hilangnya suatu
keabsahan moral (hilangnya moral legitimacy) karena
hilangnya suatu kesepakatan mulia. Pelanggaran kese-
pakatan tersebut berakibat antara lain Kesejahteraan
Sosial (Bab XIV UUD 1945 asli) tereduksi makna mulia-
nya sebagai filsafat dasar negara.
4. (a). Dalam Pemilu 1999 tidak ada partai-partai politik
yang mengusulkan perubahan UUD 1945, semuanya

Pernyataan Sikap
Anggota MPR
293
setuju UUD 1945 dan Pancasila dipertahankan (per-
kecualiannya hanya pada PUDI).
(b). Pendapat Eksekutif tidak didengar oleh MPR da-
lam rangka musyawarah rutin ataupun tindakan
awalnya, hal ini berarti MPR telah “jalan sendiri”
dan mengabaikan partisipasi eksternal.
(c). Kesalahan MPR dalam melakukan amandemen
meliputi :
- segi interprestasi pasal 37 UUD 1945 asli (dimana
mengandung amanat agar kita berhati-hati merubah
dan tidak gampang mengubah UUD 1945, tidak
cukup hanya dengan suara terbanyak);
- segi prosedural;
- segi substansi;
- segi moral legitimacy.
(d). Para Anggota MPR melanggar sumpah jabatan
mereka untuk memegang teguh Pancasila dan
menegakkan UUD 1945.

B. Jalan Keluar
1. Melakukan koreksi total terhadap hasil amandemen.
2. Meminta pertanggungjawaban MPR terhadap kega-
galan dan kesalahan yang dilakukan. Apabila pertang-
gungjawaban itu tidak dilakukan MPR perlu demi-
sioner atau dibubarkan.
3. Secara khusus meminta pertanggungjawaban kepada
para pimpinan MPR. Dengan dipisahkannya antara
pimpinan DPR dengan pimpinan MPR. Dimaksudkan
agar MPR dapat lebih berfungsi efektif untuk meng-
ekspresikan diri sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia, sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai
locus dari kedaulatan rakyat Indonesia yang berdasar

294 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
demokrasi khas Indonesia. Namun pimpinan MPR
telah membiarkan peran MPR tersebut malah justru
menyusut, sehingga MPR bukan lagi menjadi Lembaga
Tertinggi Negara yang mewadahi kedaulatan rakyat
sepenuh-penuhnya. Dengan demikian Pimpinan MPR
bertanggungjawab dengan telah membiarkannya ke-
daulatan rakyat tidak jelas lagi locus-nya. Dengan dihi-
langkannya Utusan-utusan dari Golongan-golongan,
maka tidak seluruh rakyat diwakili dalam MPR, kare-
na perwakilan berdasarkan Pemilu oleh partai-partai
sebagai kontestan, tidak identik perwakilan berdasar-
kan Golongan-golongan. Dengan demikian lengkaplah
keporak-porandaan prinsip demokrasi Indonesia.
4. Mendorong dan mendukung sepenuhnya Komisi
Konstitusi untuk melaksanakan tugasnya sesuai de-
ngan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik In-
donesia, untuk mengkoreksi total terhadap hasil aman-
demen UUD 1945 yang telah ditetapkan MPR itu.
5. Meminta kepada Komisi Konstitusi dengan segala in-
tellectual nobility dan komitmennya terhadap Proklama-
si Kemerdekaan dan masa depan Indonesia, untuk
tidak membuat UUD baru. Namun Komisi Konstitusi
diharapkan melakukan amandemen terhadap UUD
1945 dengan cara memberikan addendum, dalam pe-
ngertian: mempertegas makna kedaulatan rakyat In-
donesia sesuai dengan Pancasila, memperjelas apa
kiranya yang dapat diinterprestasikan secara keliru
(menghindari multi interpretability), menambah hal-hal
pokok yang tidak bisa diakomodasi oleh UU, dan
memperbaharui apa yang usang (verouderd) agar tetap
relevan dengan perkembangan zaman.
Jakarta, 4 November 2003
Ttd.

Pernyataan Sikap
Anggota MPR
295
296 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
297
298 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
299
300 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
301
302 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
303
304 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
305
306 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
307
SIKAP POLITIK
PARA ANGGOTA MPR YANG MENOLAK
MASUKNYA DPD (DEWAN
PERWAKILAN DAERAH) DALAM
SISTEM DAN STRUKTUR
KETATANEGARAAN NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
7 NOVEMBER 2001

Kami para anggota MPR lintas fraksi setelah mengikuti


jalannya persidangan Komisi A ST MPR 2001 dengan
cermat berpendapat bahwa:
a. Ada usaha-usaha dengan sengaja untuk merubah sys-
tem ketatanegaraan NKRI dengan cara mengintrodusir
system bicameral dalam bentuk DPD (Dewan
Perwakilan Daerah).
b. Bahwa usaha tersebut diatas merupakan langkah yang
bertentangan dengan prinsip dasar yang diatur oleh
UUD 1945 sebagai negara unitaris yang hanya menge-
nal mono-kameral.
c. Perombakan yang bertentangan dengan prinsip dasar
demikian itu secara mendasar merusak keseluruhan
sistem ketatanegaraan dan pemerintahan negara. Se-
dangkan tugas MPR didalam Sidang Tahunan adalah
untuk menyempurnakan UUD 1945 dalam rangka
memperkukuh NKRI sesuai dengan tuntutan Refor-
masi – tidak untuk merombak UUD 1945 dan juga tidak
untuk membentuk UUD baru. Untuk mengubah hal-
hal yang sangat mendasar seperti mengubah sistem
pemerintahan negara harus meminta izin lebih dahulu
dari rakyat.

308 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
d. Berdasar alasan-alasan tersebut di atas, kami para
anggota MPR Lintas Fraksi menyatakan menolak dan
tidak bertanggungjawab atas usaha-usaha perombak-
an UUD 1945 seperti termaksud di atas.

Sikap Politik
Anggota MPR
309
Bentuk-bentuk Putusan Majelis dan
Perubahan Peraturan Tata Tertib
Periode Bentuk Putusan
Peraturan Tata Tertib Sifat Pengaturan
MPR/MPRS
1960 - 1966 Tap No. I/MPRS/1960 Tidak mengatur Ketetapan MPRS3
Tidak mengatur bentuk bentuk-bentuk
1
putusan putusan2

1966 - 1973 Perubahan Tap No. Idem dito 1. Ketetapan MPRS


I/MPRS/1960 2. Keputusan MPRS
Tidak mengatur bentuk 3. Resolusi4
putusan

1973-1978 Ketetapan MPR No. Mengatur bentuk- 1. Ketetapan MPR, mengikat


I/MPR/1973 bentuk putusan ke dalam dan ke luar
Majelis.
2. Keputusan MPR mengikat
ke dalam majelis.
1978-1983 Ketetapan MPR No. Idem dito Idem dito
I/MPR/1978
1983-1988 Ketetapan MPR No. Idem dito Idem dito
I/MPR/1983
1988-1993 Ketetapan MPR No. Idem dito Idem dito
I/MPR/1988
1993-1998 Ketetapan MPR No. Idem dito Idem dito
I/MPR/1993
1998-1999 Ketetapan MPR No. Idem dito Idem dito
I/MPR/1998
1999-2004 1. Ketetapan MPR No. Idem dito Idem dito
II/MPR/1999
2. Ketetapan MPR No. Idem ditto 1. Perubahan dan Penetapan
II/MPR/2000 Undang-Undang Dasar.
2. Ketetapan.
5
3. Ketetapan MPR No. 3. Keputusan.
II/MPR/2003
4. Keputusan MPR Idem ditto Idem ditto
No.7/MPR/2004
Sebagaimana telah diubah Idem ditto Idem ditto
oleh
Keputusan No. 13/MPR/
2004

1
Almanak Lembaga-Lembaga Negara dan Kepartaian, Departemen Penerangan RI, Jakarta 1961
2
ibid
3
Mengikat ke dalam dan ke luar Majelis (l ihat ringkasan Ketetapan MPRS-RI, MPRS-RI dan Departemen Penerangan RI,
Jakarta, 1961)
4
Ketiga bentuk putus an mengi kat ke dal am dan ke luar Majelis (lihat has il SU MPRS IV, tahun 1966, Pradjna Parami tha, Jakarta
1971).
5
Keputusan sebagai Putusan Majelis tidak mengi kat ke luar Majelis

310 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Persidangan MPR tahun 2003 mengubah (lagi)
Peraturan Tata tertib sebagaimana tertuang dalam TAP
II/MPR/2003. Ketetapan sebgaimana tersebut, dalam
Sidang MPR tanggal 26 September 2004 telah diubah
formatnya menjadi Keputusan No.7/MPR/2004 sebagai-
mana telah diubah oleh Keputusan MPR No. 13/MPR/
2004. Keputusan sebagai bentuk Putusan Majelis tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat ke luar Ma-
jelis. Maka bentuk Putusan Majelis berjudul Perubahan
dan Penetapan Undang-Undang Dasar tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat seluruh rakyat dan tumpah
darah Indonesia. Keputusan No. 7/MPR/2004 sebagai-
mana telah diubah oleh Keputusan No. 13/MPR/2004
tentang Peraturan Tata Tertib bukan format hukum pem-
berlakuan Undang-Undang Dasar. Apalagi MPR 1999-
2004 menggunakan judul Perubahan Pertama, Perubah-
an Kedua, Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat
yang tidak konsisten dengan Peraturan Tata Tertib Ma-
jelis yang diputuskannya sendiri (vide : Tap II?MPR/
2000 yang diubah Tap II/MPR/2003 yang diubah Tus
7/MPR/2004) dimana judul bentuk Putusan Majelis
yang digunakan adalah Perubahan Undang-Undang Da-
sar dan Penetapan, bukan Perubahan Pertama, Perubahan
Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat.
Situasi hukum yang abnormal semakin diperparah lagi
dengan terbitnya buku Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Dalam Persandingan)
disertai catatan oleh Forum Konstitusi – Perhimpunan
Anggota Panitia Ad Hoc III (1999) dan Panitia Ad Hoc I
(2000-2004) Badan Pekerja MPR RI – yang dalam bagian
Catatan Atas Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 an-
tara lain memuat pernyataan (No. 6) yang sangat brutal:
Putusan MPR RI yang mengenai perubahan UUD 1945
mempunyai tingkatan yang sama dengan UUD 1945.
Putusan perubahan UUD 1945 tidak diberi nomor

Bentuk-bentuk Putusan Majelis


dan Perubahan Peraturan Tata Tertib
311
putusan oleh MPR RI. Hal ini berbeda dengan Ketetapan
MPR RI yang diberi nomor dengan memakai angka
romawi disertai tahun pembuatannya.
Menurut ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
Undangan Republik Indonesia, bahwa dalam hierarki (tata
urutan) perundang-undangan Republik Indonesia, Ketetapan
MPR RI berada di bawah Undang-undang Dasar dan di atas
Undang-Undang. Tap MPR RI No. III/MPR/2000 (maksud-
nya: Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000) tersebut sudah tidak
berlaku lagi dan materi muatannya sudah ditampung dalam UU
No. 10 Tahun 2004 (maksudnya: UU No. 10 Tahun 2004) ten-
tang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dengan
menghilangkan Ketetapan MPR. Oleh karena setelah Perubahan
Keempat, tidak ada lagi kewenangan MPR mengeluarkan
Ketetapan yang bersifat peraturan (regeling).

312 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Kronik Prosedur dan Mekanisme
Pengumuman Pemberlakuan dan
Pembatalan Konstitusi Republik Indonesia
Pengesahan/ Pengumuman Pembatalan/ Keterangan
Konstitusi
Persetujuan Pemberlakuan Tidak Berlaku
UUD 1945 Persetujuan Sidang Makloemat Piagam Persetujuan Makloemat adalah
(Tanpa Kata PPKI tanggal Pemerintah RI, 1 Delegasi RI dan Delegasi dokumen yang
Keterangan 18 Agustus 1945 November 1945 : BFO tanggal 29 Oktober ditandatangani oleh
Sementara) “Makloemat Politik” 19492 yang membentuk Wakil Presiden Moh.
dalam Berita Republik Indonesia Serikat. Hatta yang disetujui
Repoeblik Indonesia Maka wilayah hukum UUD BP KNIP. Makloemat
Thn. I/No.1, 17 1945 hanya di negara (state) dicantumkan langsung
November 1945 Republik Indonesia Ibukota di bawah pengumuman
dimuat ulang dalam Yogyakarta sebagai State tentang UUD,
Berita Repoeblik Constitution sedangkan RIS sedangkan Penjelasan
Indonesia Thn. II/No. adalah Federal Constitution. ditempatkan di bawah
7, 15 Februari 1946.1 Makloemat.
Konstitusi 1. Piagam Persetujuan Keputusan Presiden UUDS 1950 Pasal 1 : UUD 1945 masih
Sementara delegasi RI dan RIS 31 Januari 1950 “Konstitusi Sementara berlaku di negara
RIS Delegasi BFO di No. 48 (LN 50-3, 6 Republik Indonesia Serikat (state) Republik
Scheveningen dan Februari 1950)4 diubah menjadi Undang- Indonesia yang
Deg Haag, Belanda Undang Dasar Sementara ibukotanya Yogyakarta
tanggal 29 Oktober Republik Indonesia, dengan Acting
1949.3 sehingga Naskahnya Presiden Mr. Assaat
2. Pasal 197 Konstitusi berbunyi sebagai berikut : dan Perdana Menteri
RIS : “Konstitusi ini Dr. Halim
berlaku pada saat
pemulihan
kedaulatan.
Naskahnya
diumumkan pada hari
itu dengan keluhuran
menurut cara yang
akan ditentukan oleh
pemerintah”.
UUD 1. Piaga m persetujuan 1. UU No. 7/1950, 15 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Dengan menyatunya
Sementara Pemerintah RI – Agustus 1950 (LN yang diundangkan Keppres negara (state)
1950 Pemerintah RIS No. 56/1950)6 No. 150/1959 (LN. No. Republik Indonesia
tanggal 9 Mei 1950. 2. UUDS 1950 75/1959): “….dan tidak ibukota Yogyakarta ke
2. Persetujuan DPR RIS Bagian III Pasal 2 berlakunya lagi undang- dalam Negara
tanggal 14 Agustus ayatt (1) : Undang Dasar Sementara.” Kesatuan Republik
1950. “Undang-Undang Indonesia, maka UUD
Dasar Sementara 1945 tidak berlaku di
3. Persetujuan Rapat Republik seluruh tumpah darah
Gabungan DPR RIS Indonesia ini Indonesia.
dan Senat RIS mulai berlaku pada

1
Marsilam Si manjunt ak, Pandangan Negara Integralist ik, Pust aka Utama Grafit i, Jakart a 1994.
2
UUD 1945 masih berlaku di Negara (state) Republik Indonesia dengan Ibukota Yogyakarta.
3
UUD RIS, Dua R, bandung, 1949.
4
Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics), Depart emen P.P dan K, jakart a, 1960

Kronik Prosedur dan Mekanisme Pengumuman Pemberlakuan


dan Pembatalan Konstitusi Republik Indonesia
313
Album

314 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
H. Amin Arjoso, SH saat masih aktif menjadi anggota Tim Pembela
Demokrasi Indonesia. Tampak Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua
Umum DPP PDI Perjuangan.

Album
315
H. Amin Arjoso, SH sebagai advokat beraudiensi dengan Kapolri.

316 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Album
317
H. Amin Arjoso, SH memimpin delegasi DPR RI dalam kunjungan kerja ke
Eropa.

318 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Amin Arjoso saat menunaikan ibadah haji.

Album
319
Amin Arjoso dan Aruan, dua sahabat karib sebagai advokat, saat
mengikuti Fifth General Assembly of the ASEAN Law Associaction di Bali,
Desember 1989.

320 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Foto Atas:
H. Amin Arjoso, SH
sebagai pimpinan
Yayasan Kepada
Bangsaku saat
peluncuran buku Dr. H.
Soebandrio. Tampak
Amin Arjoso menyalami
Ibu Soebandrio
disaksikan Soebandrio
(tengah).

Foto Bawah:
H. Amin Arjoso, SH
memberi sambutan
pada peluncuran buku
“Meluruskan Sejarah
Perjuangan
Pembebasan Iran
Barat” karya Dr.
Soebandrio.

Album
321
H. Amin Arjoso, SH memberi cendera mata kepada mantan Gubernur Jawa
Timur, M. Noer. Tampak Ridwan Saidi (kedua dari kanan) menyertai
kunjungan Amin Arjoso ke Surabaya.

Amin Arjoso menghadiri peluncuran buku “Bung Karno, Serpihan Sejarah


yang Tercecer” karya Roso Daras, 2010.

322 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
323
Biodata

324 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso


Menegakkan Kembali UUD ‘45
Nama : Amin Arjoso
Kelahiran : Jember, 14 Oktober 1937
Orangtua : Ayah : Soewondo Soewardi Mintardjo
Ibu : Aminah
Anak kelima dari tujuh bersaudara
Istri : Dr. Soemarjati Arjoso SKM
Anak : 1. Yuli Widianarti
2. Azis Wira Andika
Pendidkan : Mr/SH Th. 1961 Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Bandung (1961)
Organisasi :
1. GMNI Th. 1957 – 1961
2. PNI Th. 1961 – 1967
3. PERADIN Th. 1977 – Sekarang
4. PDI-Perjuangan Th. 1996
Pekerjaan :
1. Sekjen Grafika Th. 1961 – 1967
2. Pengacara Th. 1976 – Sekarang
3. Anggota DPR RI 1999 – 2004
Perjuangan :
1. Korban Orba, Tahanan Politik (1967-1975)
2. Memperjuangkan UUD 1945 asli
mulai 2002 – sekarang
Lain – lain :
1. Pimpinan Yayasan Kepada Bangsaku
2. Pendiri/Pemimpin Umum Tabloid Cita Cita
3. Tim Pembela Demokrasi Indonesia
4. Tim Pengacara Dr. Soebandrio
(mantan Waperdam/Menlu Kabinet Dwikora)
5. Anggota Dewan Paripurna DHN ’45, 2006-2011
6. Ketua Pengawas Yayasan Universitas 17
Agustus 1945, 1998-Sekarang

325
326 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45

You might also like