Professional Documents
Culture Documents
Penerbit:
YAYASAN
2010
3
Pemikiran dan Perjuangan
Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Tim Penyusun
Moch. Achadi
Eddi Elison
Roso Daras
Azis Arjoso
Giat Wahyudi
Pengantar
Prof. Dr. Sri Soemantri
Desain Sampul
Maryanto
Desain Isi
Junianto Bara
ISBN: 978-979-96254-5-8
Penerbit
Yayasan
Cetakan I: 2010
5
Daftar Isi
BAB I PEMIKIRAN
1. UUD 45 (Asli) Tolak Demokrasi Liberal ............................................... 65
2. UUD 1945 Hasil Amandemen I – IV
Bertentangan dengan Falsafah dan Jati diri Bangsa ........................... 71
3. Menolak Konstitusi Baru ......................................................................... 77
4. Seruan Kepada Bangsaku ....................................................................... 83
5. Demokrasi Model Eropa Barat & Amerika Serikat
Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia ............................................... 87
6. Jangan Sampai MPR Keblinger .............................................................. 101
7. Budiman Sudjatmiko: Restorasi UUD 1945 ......................................... 109
8. Rekam Jejak Perubahan UUD 1945 ....................................................... 121
9. Forum Perjuangan Pelurusan UUD 1945 ............................................. 131
BAB II PERJUANGAN
1. M. T. Tarigan, SE : Sejarah Amin Arjoso, Dulu dan Sekarang ........ 139
2. Abdul Madjid: Sempat Didamprat Megawati .................................... 153
3. Sri Edi Swasono: Amin Arjoso dalam
Pusaran Perubahan Konstitusi .............................................................. 169
4. Sulastomo: Amin Arjoso dan UUD 1945 ............................................. 175
5. Moch. Achadi: Amin Arjoso dalam
Dialektika, dan Romantika Perjuangan
Mencapai Cita-cita Proklamasi ............................................................. 181
6. Saiful Sulun: Politisi tidak Boleh Obok-obok Konstitusi .................. 191
7. Haryanto Taslam: Amin Arjoso, Orang Keras Kepala
Menolak Amandemen ............................................................................ 195
8. Ridwan Saidi: Amin Arjoso Pejuang UUD 1945 ................................ 205
9. Koesalah Soebagyo Toer: “Riungan” di Blok Q LP Salemba ........... 213
10. Soemarjati Arjoso: Gigih, Konsisten, tetapi Lembut .......................... 221
LAMPIRAN
1. Memorandum tentang Perubahan UUD 1945
oleh MPR 1999-2002 ................................................................................. 285
2. Pernyataan Sikap Kembali ke UUD 1945 ............................................. 292
3. Pernyataan Komponen Bangsa
untuk Kembali ke UUD 1945 .................................................................. 297
4. Pernyataan Sikap Anggota MPR RI ...................................................... 303
5. Sikap Politik para Anggota MPR yang Menolak
Masuknya DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
dalam Sistem dan Struktur Ketatanegaraan
Kesatuan Republik Indonesia ................................................................. 320
6. Bentuk-bentuk Putusan Majelis dan
Perubahan Peraturan Tata Tertib ........................................................... 322
7. Kronik Prosedur dan Mekanisme
Pengumuman Pemberlakuan dan
Pembatalan Konstitusi Republik Indonesia ......................................... 325
ALBUM
BIODATA
Menggugat
Cengkeraman Asing
A
tas desakan berbagai pihak, akhirnya H. Amin
Arjoso, SH menyetujui penyusunan buku
Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45. Semula buku ini
diusulkan untuk disusun sebagai sebuah memoar, tetapi
kemudian Drs. Moch. Achadi mengusulkan judul lain,
seperti yang Anda baca.
Buku ini bukan semata mengupas tentang diri pribadi
mantan tokoh GMNI ini, melainkan lebih ditekankan
pada unsur pemikiran dan perjuangan Amin Arjoso
dalam menegakkan kembali UUD 1945, yang telah
diamandemen secara semena-mena.
Dalam buku ini juga disajikan bukti-bukti adanya
manipulasi MPR RI 1999 - 2004 saat mengubah UUD 1945
dengan dalih amandemen. Amandemen itu sejatinya tak
lain adalah sebuah upaya mengganti landasan konstitusi
NKRI, yakni UUD 1945 menjadi konstitusi baru, yaitu
UUD 2002, melalui risalah dan bukan keputusan MPR.
Prakata
Penerbit
9
Risalah itu sendiri per tanggal 10 Agustus 2002.
Penggantian konstitusi negara itu, pada dasarnya
adalah sebuah maha bencana. Sebab, implikasi dari
penggantian konstitusi negara tadi adalah sebuah
ancaman keterpurukan, bahkan lebih tragis dapat
menghancurkan NKRI
Itu artinya, kita sebagai elemen bangsa, tanpa kecuali,
harus menaruh concern yang tinggi atas persoalan ini.
Segala daya dan upaya harus dikerahkan untuk kemba-
linya konstitusi negara kita, yakni UUD 1945. Bukan saja
karena proses penggantian yang cacat hukum, lebih dari
itu, dilakukan secara serampangan. Di atas itu semua,
ternyata memuat kepentingan asing (baca: Amerika
Serikat).
Konsekuensi langsung maupun tak langsung yang
sudah dan sedang kita rasakan saat ini adalah sebuah
imperialisme dan kolonialisme dalam wujud baru.
Sebuah kondisi yang sering disebutkan Bung Karno
sebagai exploitation de l’homme par l’home dan menjadi tugas
bersama untuk mengenyahkannya dari bumi Republik
Indonesia yang merdeka.
Ratusan tahun bangsa kita hidup dalam cengkeraman
penjajahan Belanda, serta beberapa tahun lamanya men-
derita di bawah tekanan Jepang, adalah sebuah pelajaran
berharga, bahkan teramat berharga untuk dilupakan.
Bahwa akhirnya bangsa kita dengan gagah berani
menyatakan kemerdekaan dan berjuang hingga tetes
darah terakhir untuk mempertahankan kemerdekaan itu,
tak lepas dari Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa disertai
dorongan luhur untuk menggapai tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang berdaulat, merdeka.
Mengapa bangsa Indonesia menyatakan kemerdeka-
annya dan membela kemerdekaan itu? Jawabnya adalah
karena esensi merdeka adalah hidup dalam kemandirian.
Karena hanya dengan kemerdekaanlah kita akan dapat
Prakata
Penerbit
11
12 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Foto kenangan
Amin Arjoso
bersama Soetardjo
Soerjogoeritno, yang
sempat menuliskan
Kata Sambutan
untuk buku ini
sebelum wafat.
13
SAMBUTAN
Soetardjo Soerjogoeritno
Pintu Gerbang
Penjajahan Baru
S
ebagai sahabat seideologi, saya bersama-sama
Amin Arjoso berjuang tanpa pamrih di sidang-
sidang MPR 1999-2002, agar UUD 1945 tidak
perlu diamandemen. Sebab ketika itu, karena
PAH I BP MPR telah secara sadar melanggar 5 butir
rambu atau kesepakatan mengenai amandemen UUD
1945 di antara 11 fraksi di dalam MPR, yaitu:
1. Tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945;
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
3. Tetap mempertahankan sistem Pemerintahan Pre-
sidensiil;
4. Hal-hal yang normatif di dalam Penjelasan akan
dipindahkan ke dalam pasal-pasal UUD;
5. Perubahan dilakukan dengan cara addendum.
Namun kenyataannya, akibat intervensi pihak asing
Sambutan
Soetardjo Soerjogoeritno
17
Oleh karena itu ketika saya diminta untuk memberi-
kan Kata Sambutan, saya sempat trenyuh dan merenung
dan bertanya; kapan Amin Arjoso berhenti memperjuang-
kan tegaknya UUD 1945?
Jelas tidak ada yang dapat memberikan jawabannya,
kecuali Amin Arjoso sendiri.
Saya yakin buku ini cukup komprehensif mengenai
segala hal terkait amandemen UUD 1945. Dengan men-
dalami materi buku ini, saya sangat mengharapkan dapat
dicari suatu solusi yang tepat, agar bangsa ini segera da-
pat melaksanakan Cita-cita Proklamasi yakni mewujud-
kan masyarakat sejahtera lahir dan batin berdasar
Pancasila.
Untuk itu marilah kita bangkitkan kembali kesadaran
menentang sistem penjajahan baru yang saat ini terus
ditanamkan oleh imperialis/kapitalis asing dan dikem-
bang-luaskan oleh para anteknya yang bersembunyi di
balik baju nasional. Ingat kata Bung Karno: “Revolusi
belum selesai”. “Rawe-rawe rantas, malang-malang
putung!”
TETAP MERDEKA!
Jakarta, 05 Juli 2010
19
Amin Arjoso dan Kwik Kian Gie (kanan) saat Sidang Umum MPR 1999.
Amin Arjoso dan Theo Sambuaga (kanan) saat Sidang Umum MPR 1999.
MPR Melanggar
Pembukaan UUD ‘45,
Membuat UUD Baru
T
ulisan ini dimaksudkan untuk mensosia-
lisasikan amandemen-amandemen yang telah
dibuat MPR terhadap UUD 1945 sejak tahun
1999 hingga tahun 2002, agar rakyat dapat me-
ngetahui apa sebetulnya yang telah terjadi dan apa ke-
mungkinan dampaknya terhadap kehidupan negara dan
bangsa Indonesia.
Disadari atau tidak, dengan amandemen-amandemen
tersebut MPR telah mengadakan perubahan-perubahan
yang sangat mendasar tehadap UUD 1945. Kalau diban-
dingkan negara lain, perubahan yang begitu mendasar
sifatnya tidak dapat dilakukan dengan prosedur biasa
tetapi harus melalui prosedur khusus. Masalah per-
ubahan UUD bukanlah peristiwa biasa, sebab perubahan
UUD menyangkut hari depan negara, bangsa dan seluruh
rakyat yang bersangkutan.
Oleh karena itu tiap negara mengadakan pengamanan
agar tidak terjadi hal-hal yang didorong oleh kepenting-
Pengantar
Sri Soemantri
21
an-kepentingan sesaat atau hanya untuk memenuhi ke-
inginan-keinginan satu golongan tertentu saja.
Selain itu ternyata bahwa amandemen-amandemen itu
mengandung begitu banyak kontradiksi dan keanehan
sehingga menimbulkan pertanyaan apa sebabnya hal itu
bisa terjadi. Inilah yang dicoba dibahas dalam tulisan ini.
Sebelum mengadakan amandemen-amandemen ter-
hadap UUD 1945, pada awal sidang umum MPR tahun
1999 telah terjadi kesepakatan di kalangan anggota MPR
yang tidak tertuang dalam keputusan resmi MPR. Inilah
keanehan pertama, bagaimana bisa terjadi, kesepakatan
yang begitu mendasar sifatnya tidak tertuang dalam ke-
putusan resmi MPR, padahal kesepakatan itulah yang
dimaksudkan hendak dijadikan landasan kerja MPR.
Kesepakatan itu adalah sebagai berikut :
1. Mempertahankan Pembukaan UUD 1945
2. Mempertahankan Bentuk Negara Kesatuan Repu-
blik Indonesia
3. Mempertahankan Sistem Pemerinahan Presidensiil
4. Memindahkan ketentuan-ketentuan normatif dalam
Penjelasan ke dalam Pasal-Pasal UUD 1945
5. Perubahan dilakukan dengan cara addendum.
Kesepakatan inilah yang oleh MPR akan dijadikan pe-
doman dalam mengamandemen UUD 1945.
Ternyata semua kesepakatan itu dilanggar oleh MPR
sendiri. Hal itu semua menjadi objek pembahasan dalam
tulisan ini. Karena sempitnya waktu maka yang dikemu-
kakan hanya yang pokok-pokok saja.
Pengantar
Sri Soemantri
25
berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Alinea keempat memuat pokok-pokok pikiran berupa
asas-asas dasar yang paling mendasar yaitu falsafah
dasar negara dan fungsi-fungsi negara.
Dari asas-asas dasar yang termuat empat alinea dalam
Pembukaan kemudian mengalir aspek-aspek dari teori
bernegara bangsa Indonesia dan asas-asas yang mengua-
sai kehidupan dan perkembangan negara. Ternyata masa-
lah yang sangat mendasar ini tidak dipahami atau sengaja
tidak mau dipahami oleh MPR.
Maka terjadilah perubahan-perubahan yang berten-
tangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang pada haki-
katnya telah mengubah UUD 1945 menjadi UUD 2002 dan
perubahan ini dilakukan tanpa mandat khusus dari rakyat
sebagai pemilik kedaulatan. Dengan demikian MPR se-
cara terang-terangan telah melakukan peyelewengan.
Pengantar
Sri Soemantri
27
Suasana Sidang Umum MPR 1999. Tampak Amin Arjoso melakukan
diskusi, lobby, dan perdebatan dengan sesama anggota MPR terkait
amandemen UUD 1945.
Pengantar
Sri Soemantri
31
nai salah satu aspek saja dari kedaulatan dan semua itu
oleh UUD 1945 dipadukan sehingga dengan begitu telah
terkandung dalam pengertian kadaulatan yang dianut
UUD 1945. Berbagai aspek dari kedaulatan yang di Barat
berdiri sendiri-sendiri, oleh UUD 1945 diintegrasikan dan
dipadukan sehingga dikatakan bahwa UUD 1945 meng-
anut ajaran kedaulatan yang terpadu.
Pendapat yang dikemukakan oleh MPR tersebut di
atas diambil dari rumusan Pasal 1 ayat (2), dihubungkan
dengan Penjelasan Pasal 3. Jadi, ketentuan Pasal 1 ayat
(2) dan Penjelasan Pasal 3 dilepaskan dari induknya yaitu
rumusan yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 ke-
pada kedaulatan rakyat.
Dari rumusan mengenai kedaulatan ini sudah tampak
secara jelas teori integrasi yang dianut UUD 1945 menge-
nai negara. Para Bapak Pendiri Negara kita tidak meng-
hendaki negara demokrasi Indonesia didasarkan kedau-
latan rakyat yang dilandasi individualisme.
Dipandang dari sudut ini maka rumusan Pasal 1 ayat
(2) baru, selain tidak sesuai juga bertentangan dengan
Pembukaan.
Persatuan Indonesia
Di atas telah diuraikan bahwa kedaulatan rakyat juga
berdasarkan persatuan Indonesia. Dalam hubungan ini
hendaknya perlu diingat bahwa bahasa yang digunakan
UUD 1945 adalah bahasa Indonesia yang sedang dalam
awal pertumbuhan. Persatuan berarti bersatu dalam satu
kesatuan dan bukan dalam arti federalisme. Hal ini me-
ngandung arti bahwa kedaulatan adalah terpusat dan
tidak dapat dibagi seperti di Amerika Serikat.
Dengan adanya Bab VII baru, dengan pasal 22C dan
22E baru, maka nampaknya kedaulatan telah terbagi anta-
ra pusat dan daerah. Dari rumusan pasal 22Cdan 22D
Pengantar
Sri Soemantri
33
baru itu dapat diketahui bahwa pemerintah pusat tidak
dapat melakukan tindakan atau pengaturan yang ber-
kaitan dengan masalah daerah tanpa mengikutsertakan
daerah, karena itu diadakan dewan perwakilan daerah.
Hal ini merupakan federalisme secara terselubung. Jadi
walaupun dikatakan negara kesatuan secara formal di-
pertahankan, tetapi dengan adanya pasal-pasal baru ini
maka pada hakikatnya negara kesatuan Indonesia telah
berubah menjadi Negara Serikat.
Pengantar
Sri Soemantri
37
Atas:
Amin Arjoso
(belakang
tengah) berfoto
bersama para
anggota MPR RI
peserta Sidang
Paripurna MPR RI
tahun 1999.
Bawah:
Amin Arjoso aktif
berdiskusi
dengan anggota
MPR RI peserta
sidang, 1999.
Pengantar
Sri Soemantri
39
UUDS 1950 hak memilih dan hak dipilih diberikan ke-
pada perorangan. Jadi, amandemen yang dibuat MPR
adalah lebih mundur. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan
hanya diberikan hak memilih. Dengan demikian aman-
demen kembali ke zaman abad XVIII sewaktu demokrasi
sedang di awal perkembangannya.
Hal ini adalah tidak sesuai dengan pengertian demo-
krasi kekeluargaan yang dianut dalam pembukaan. Ke-
simpulannya, amandemen ini tidak sesuai dengan Pem-
bukaan UUD 1945. Selain itu dapat dikatakan, kedaulatan
rakyat telah berubah menjadi kedaulatan partai politik.
Pengantar
Sri Soemantri
41
mukakannya dalam The Federalist No. LI yaitu mengenai
pengaturan pemerintahan by so contriving the interior
sctructure of the government as that its several constituent part
may, by their mutual relations,be the means of keeping each other
in their proper places. Karenanya di Amerika Serikat ke-
kuasaan kongres adalah pembentukan undang-undang
yang terpisah secara tajam dari kekuasaan presiden yang
terletak di bidang eksekutif saja, sehingga presiden dan
para pembantunya tidak campur-tangan dalam urusan
pembentukan undang-undang.
Kalau itu yang dijadikan ukuran, maka sistem presi-
densiil hanya terdapat di Amerika Serikat. Menurut Ma-
dison pemisahan kekuasaan dan federalisme adalah demi
terjaminnya kebebasan warga serta pemerintahan yang
baik dan untuk menegakkan check and balances, sehingga
mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Madison memu-
satkan perhatiannya kepada kongres dan presiden, wa-
laupun antaranya harus terjalin kerja sama tetapi kedua
lembaga itu adalah merdeka.
Anggota kongres merupakan pilihan langsung rakyat
dan demikian juga presiden dengan mengikuti pendapat
Montesquieu bahwa yang terpenting adalah legislatif dan
bahwa eksekutif menjalankan putusan legislatif, maka
presiden harus menjalankan putusan kongres. Oleh kare-
na itu kekuasaan membuat UU hanya pada kongres, pre-
siden dan para menteri tidak ikut campur dalam pemba-
hasan sesuatu RUU.
Akan tetapi kalau suatu RUU telah disetujui oleh kong-
res maka sebelum dapat berlaku harus memperoleh tan-
da tangan presiden. Apabila isi RUU tidak sesuai dengan
gagasan presiden dan partainya merupakan minoritas
dalam kongres sehingga kalah suara, maka presiden da-
pat mem-veto RUU tersebut artinya dia tidak mau menan-
datangani dalam waktu dua hari yang diwajibkan. De-
ngan begitu RUU dikembalikan dan kongres harus
mengulangi proses pembahasannya. Untuk dapat diaju-
Pengantar
Sri Soemantri
45
rut UUD 1945 (asli) program yang harus dikerjakan oleh
presiden adalah program yang dibuat MPR sebagai pen-
jelma seluruh rakyat Indonesia. Dan penilaian hasil kerja
presiden didasarkan pada program itu. Kalau menurut
sistem baru ini, presiden bekerja menurut yang dibuatnya
sendiri dan di akhir masa jabatannya tidak perlu mem-
pertanggungjawabkan pelaksanaan programnya itu.
Dengan demikian rumusan pasal 6A baru ini berten-
tangan dan tidak sesuai dengan jiwa serta prinsip yang
terkandung dalam pembukaan yang menjelma dalam
sistematika UUD 1945.
Pengantar
Sri Soemantri
47
Kegiatan lobby yang dilakukan Amin Arjoso dalam SU MPR 1999.
Pengantar
Sri Soemantri
49
resiko yang mungkin terjadi. Dengan begitu tidak ada
sistem check and balances seperti yang disepakati oleh
MPR. Check hanya berlangsung satu pihak saja yaitu dari
pihak DPR dan tidak ada balance sebagai imbalannya.
Dapat dikatakan bahwa dengan demikian DPR telah
melakukan intervensi ke bidang kekuasaan presiden.
Tirani dari DPR tampak lagi dalam rumusan pasal 23
ayat (3). Presiden harus menerima apa kehendak DPR.
Pemaksaan kehendak DPR Nampak juga dalam pasal
11 baru, pasal 13 baru, dan pasal 14 ayat (2) baru.
Kesimpulannya pasal-pasal baru tersebut bertentang-
an dengan jiwa dan semangat demokrasi kekeluargaan
yang terkandung dalam pembukaan. Demokrasi keke-
luargaan menghendaki keseimbangan dan kerja sama
antara presiden dan DPR dan bukan pemaksaan ke-
hendak.
Pengantar
Sri Soemantri
51
rang ini juga akan menjangkiti para hakim Mahkamah
Konstitusi. Kalau itu yang menjadi alasannya maka yang
harus dilakukan adalah pembenahan dan pembaruan
kebijakan pembentukan dan pembinaan para hakim.
Pengantar
Sri Soemantri
53
law. Pakar dari Belanda Prof. Mr. M.C. Burkens menga-
takan bahwa De grondwet moet berusten op gezonde beginselen
(..) die moet blijken uit de in houd van de bidende regels voor
staat en maatschappij,die uit die beginselen voorvloeien (UUD
harus didasarkan asas yang sehat (...) yang dibuktikan
oleh aturan–aturan hukum yang mengikat negara dan
masyarakat, aturan–aturan mana mengalir dari asas-asas
tersebut tadi).
Contoh lain lagi adalah pengertian budaya nasional
dan cita budaya yang terkandung penjelasan pasal 32 yai-
tu bahwa kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang
timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia selu-
ruhnya dan bahwa kebudayaan lama dan asli yang ter-
dapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-dae-
rah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan
bangsa. Selanjutnya bahwa usaha kebudayaan harus me-
nuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan
tidak menolak bahan–bahan baru dari kebudayaan asing.
Jadi, UUD 1945 menghendaki dialog yang positif antara
masa lalu dengan keadaan sekarang dan antara keadaan
sekarang dengan masa yang akan datang. Contoh lain
adalah pasal 6 ayat (1) dan (2) baru rumusan yang terda-
pat dalam ayat (1) dari pasal 6 baru ini pada hakekatnya
hanya menjelaskan pengertian yang terkandung dalam
ayat (1) asli. Dengan demikian lebih tepat kalau ditem-
patkan dalam penjelasan pasal 6 ayat (1). Demikian juga
rumusan pasal 6 ayat (2) baru tidak perlu ditempatkan
dalam batang tubuh UUD tetapi lebih tepat di dalam
penjelasan pasal 6.
Dengan menghilangkan penjelasan, MPR telah mele-
nyapkan originalitas UUD 1945 dan menjadikannya UUD
saduran. Kita tidak perlu risau karena UUD Negara lain
tidak memakai penjelasan. Adanya penjelasan sama se-
kali tidak mengganggu, malahan bermanfaat karena men-
jelaskan hal-hal yang terkandung dalam pembukaan.
Dapat disimpulkan bahwa MPR dengan sengaja telah
Kepentingan daerah
Alasan dibentuknya DPD adalah karena selama ini
kepentingan daerah terabaikan. Kalau demikian halnya
Pengantar
Sri Soemantri
55
maka kesalahan seharusnya ditimpakan kepada DPR dan
para anggotanya. Yang mengetahui dan menyelami
kepentingan daerah adalah orang–orang daerah sendiri
yaitu pemimpin-pemimpin masyarakat daerah sendiri
dan mereka itu belum tentu anggota partai politik.
Sistem pemilihan umum juga ikut bersalah dalam hal
ini. Kepentingan daerah tidak terjamin dengan sistem
proporsional dan sistem daftar. Supaya kepentingan dae-
rah terperhatikan maka pemilihan umum harus dilaku-
kan sistem distrik dan para pesertanya bisa siapa saja
dengan persyaratan para calon harus setidak-tidaknya
terakhir sekali tiga tahun berturut-turut secara nyata diam
atau tinggal di distrik pemilihannya. Dengan begitu akan
terpilih orang-orang yang oleh masyarakat daerah ber-
sangkutan dipercayai mengerti serta mampu memper-
juangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat daerah.
Menurut ketentuan pasal 22E ayat (4) baru anggota-
anggota DPD ditentukan melalui pemilihan umum dan
para pesertanya adalah perseorangan, cuma belum jelas
bagaimana pelaksanaannya. Kalau yang digunakan ma-
sih tetap sistem yang lama maka belum ada jaminan ke-
pentingan daerah akan diperhatikan. Akan tetapi berda-
sar ketentuan pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) baru pemerin-
tah pusat dan DPR tidak berwenang mengatur dan me-
ngurus hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
daerah kalau tanpa DPD.
Disadari atau tidak, ketentuan ini mengandung penger-
tian adanya kedaulatan daerah di samping kedaulatan
pusat. Dengan demikian rumusan pasal 22E baru itu
secara terselubung menginginkan negara federal. Dengan
sistem yang terkandung dalam amandemen dan dengan
adanya lembaga DPR maka sudah secara lebar terbuka
menuju negara serikat.
Dengan demikian lembaga DPR mengandung bahaya
yang riil bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik
Pengantar
Sri Soemantri
57
Kini yang digunakan sebagai pegangan adalah fungsi-
fungsi negara yaitu (1) fungsi pemeliharaan keamanan
dan ketertiban umum, (2) fungsi pengurusan kesejah-
teraaan masyarakat, dan (3) fungsi pemeliharaan kelang-
sungan eksistensi negara. Khusus untuk Indonesia
mengingat ekologi negara maka ditambah dengan fungsi
integrasi. Polri terutama berperan dalam rangka fungsi
negara yang pertama dan TNI terutama berperan dalam
fungsi ketiga dan juga fungsi pertama dan keempat.
Kekeliruan yang dibuat Ketetapan No.VI diteruskan
oleh ketetapan No.VII/MPR/2000 dan amandemen
UUD. TNI ditetapkan sebagai alat pertahanan negara saja
sedangkan Polri berperan dalam memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, membe-
rikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Rumusan peran Polri sebagaimana diuraikan agak me-
nyesatkan, sebab pemeliharaan ketertiban dan keamanan
masyarakat, memberikan pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat adalah tugas pemerintah, peran Polri
hanya bersifat membantu pemerintah.
Karena Polri ditetapkan menjadi alat negara maka
pemerintah kehilangan alat untuk membantu melaksana-
kan tugas tersebut. Untuk itu terpaksa pemerintah mem-
bentuk alat tersendiri. Terjadilah doublures dan waste of
money and energy. Selain itu menurut ketetapan ini TNI
memberikan bantuan militer kepada Polri dalam rangka
tugas keamanan dan bukan memberikan bantuan kepada
pemerintah. Di negara manapun bantuan militer diberi-
kan kepada pemerintah atau alat pemerintah.
Keanehan yang terdapat dalam ketetapan ini adalah
dengan meniru lembaga pertahanan nasional diadakan-
nya lembaga kepolisian nasional. Tugas lembaga kepoli-
sian nasional ini adalah membantu Presiden menetapkan
arah kebijakan polri. Kalau ini diwujudkan maka Indo-
nesia merupakan satu-satunya negara yang mempunyai
lembaga semacam ini.
Pengantar
Sri Soemantri
59
susnya yang menyangkut hukum militer.
Masalah lain yang menarik adalah bahwa anggota TNI
dan Polri tidak diberikan hak pilih, suatu masalah yang
sangat mendasar dalam negara demokrasi.
Masalah pertahanan dan keamanan ini agak panjang
dan lebar diuraikan di sini karena menyangkut eksistensi
negara dan bangsa. Rupa-rupanya masalah yang sangat
mendasar ini kurang dipahami atau dengan sengaja tidak
mau dipahani oleh MPR.
Masih ada satu catatan lagi, yaitu rumusan yang terda-
pat dalam Pasal 27 ayat (3) baru adalah salah tempat dan
seharusnya masuk Pasal 30.
Pengantar
Sri Soemantri
61
Aktivitas Amin Arjoso, SH dalam Sidang Umum MPR RI, Oktober 1999.
Pengantar
Sri Soemantri
63
BAB I
Pemikiran
W
acana ditegakkannya lagi UUD 1945 ki-
ni bagai gayung bersambut, setelah bebe-
rapa ormas memperingati HUT ke-47
Dekrit Presiden Soekarno kembali ke
UUD 1945 di Pelataran Tugu Proklamasi dan di Perpus-
takaan Nasional, 5 Juli 2006.
Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres
Jusuf Kalla, Gubernur Lemhannas Muladi, Ketua DPR
Agung Laksono, dan Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud
bereaksi dengan opininya, Adnan Buyung Nasution
“nimbrung” dengan artikel Kembali ke UUD 45, Anti-
demokrasi (Kompas, 7/7).
Meski tidak secara spesifik menuduh tokoh yang ingin
ditegakkannya UUD 1945 sebagai “antidemokrasi”, judul
tulisan Buyung pada dasarnya menjurus ke sana.
Manipulasi hukum
Pertama, kami tidak menyatakan kembali ke UUD
UUD ‘45 (Asli) Tolak
Demokrasi Liberal
65
1945. Keputusan MPR 1999-2004 secara prosedural tidak
membatalkan Dekrit 5 Juli 1959, dan menurut ketentuan
hukum, UUD 1945 masih berlaku. Sedangkan UUD 1945
yang diamandemen empat kali diberlakukan secara
politis, padahal perubahannya menyimpang dari tata
tertib yang ditetapkan MPR, apalagi tidak dicantumkan
dalam Lembaran Negara.
Kedua, UUD 1945 amandemen, oleh MPR dinamakan
UUD Negara Republik Indonesia 1945. Istilah itu sama
sekali tidak dikenal karena namanya tidak sesuai Dekrit
Presiden dan telah diberlakukan MPRS melalui TAP
MPRS No X/MPRS/1966 dan No X/MPRS/1966. Lalu
MPR dalam Pasal 115 TAP MPR No I/ MPR/1978 menya-
takan MPR tidak berkehendak dan tidak akan melaku-
kan perubahan atas UUD 1945. Melalui TAP No III/MPR/
2000 tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan, MPR menyatakan, UUD
1945 merupakan hukum dasar tertulis negara RI.
Dengan nama itu, MPR melakukan manipulasi hukum
yang merupakan hasil konspirasi asing bekerja sama
dengan eksponen tertentu di dalam negeri. Sebenarnya
UUD 1945 amandemen lebih tepat disebut UUD 2002.
Ketiga, persoalan utama yang ingin dikemukakan
bukan untuk mendekritkan kembali UUD 1945 (asli),
tetapi menegakkan konstitusi karena dilakukan empat
kali perubahan, dibuat melalui prosedur yang salah,
karena itu batal demi hukum.
Dari segi substansi, “UUD 2002” bermuatan gagasan
neoliberalisme yang terbukti menghancurkan tatanan so-
sial politik dan sosial ekonomi sejumlah negara berkem-
bang, terutama Indonesia. Selain itu dengan amandemen,
Indonesia tidak memiliki lagi GBHN sehingga arah dan
konsep pembangunan tidak jelas. Karena itu kami men-
dukung pendapat Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi
yang menyebut, andaikata Presiden SBY mau mendekrit,
A
da sedikitnya 8 (delapan) alasan mengapa
amandemen terhadap UUD 1945 adalah
sebuah kekeliruan. Delapan alasan mendasar
yang bisa dijadikan pegangan bahwa pada
hakikatnya, perubahan konstitusi negara kita sejatinya
adalah bertentangan dengan falsafah dan jati diri bangsa.
Itu pula yang —disadari maupun tidak disadari— telah
mengantarkan bangsa Indonesia ke tepi jurang kehan-
curan. Cita-cita kemerdekaan menuju terbentuknya ma-
syarakat adil-makmur berdasar Pancasila, makin jauh
panggang dari api. Berikut butir-butir alasan dimaksud:
1. Lahirnya Negara-Bangsa (Nation-State) Indonesia
adalah hasil dari pergerakan kemerdekaan bangsa In-
donesia. Perjuangan meraih kemerdekaan melalui
perjalanan waktu yang sangat panjang, pahit, dan me-
lelahkan, dengan cucuran darah dan air mata, dengan
pengorbanan lahir-batin, harta dan jiwa.
Kesimpulan;
PAH I/BP MPR ataupun MPR sebagai lembaga negara
KESIMPULAN AKHIR:
Penolakan terhadap Konstitusi Baru = Perubahan I, II, III,
dan IV Undang-Undahg Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 = UUD 2002. karena memiliki prosedur amandemen
vang bertentangan dengan hukum ketatanegaraan.
Eddi Elison
Wakil Sekjen
KOMITE NASI0NAL
PENYELAMAT PANCASILA DAN UUD 1945
PRESIDIUM :
1. K.H. Abdurrahman Wahid
2. Soetardjo Suryogoeritno
3. Amin Aryoso
4. Ridwan Saidi
SEKJEN :
H. Fachruddin
Sekretaris :
1. Tjahjadi Nugroho
2. Eddi Elison
3. Ridwan A.Dalimunte
BENDAHARA :
Didiek Poernomo
K
ita maklumi bersama bahwa kata demokrasi
memberikan pengertian bahwa kekuasaan
ada di tangan rakyat, rakyatlah yang berkuasa.
Demikianlah di bidang politik, kenegaraan
dan pemerintahan, istilah demokrasi mempunyai arti
bahwa pemerintahan harus dikuasai dan dipimpin de-
ngan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Prinsip tersebut tentulah sangat baik dan sangat me-
narik, sehingga menggelora ke seluruh dunia. Menda-
lami paham demokrasi serta praktek-praktek demokrasi
yang nyata perlu sekali kita lakukan agar kita bisa me-
maklumi, bahwa demokrasi sebagai prinsip kekuasaan
di tangan rakyat/rakyatlah yang bekuasa dalam pelaksa-
naannya mempunyai berbagai variasi, mempunyai
berbagai bentuk praktek-praktek dan implementasinya
di antara berbagai bangsa di Eropa Barat (sebgai sum-
bemya demokrasi) termasuk Amerika Serikat.
II.Demokrasi di Indonesia
Bagaimana dengan demokrasi yang cocok dengan
kepribadian Indonesia? Untuk menjawab ini perlulah
S
etelah Konstituante gagal menyusun UUD Res
Publica sesudah bersidang 2 tahun, 5 bulan 12
hari, Presiden Soekamo atas nama Pemerintah
menganjurkan kepada Konstituante supaya
menetapkan saja UUD 1945, dengan menempuh prose-
dur yang konstitusional dan legal berdasarkan pasal 134
UUDS yang berlaku pada waktu itu.
Anjuran ini ditolak, yang berakibat gagal totalnya
Konstituante menghasilkan UUD karena sidang-sidang
Konstituante sesudah itu terus menerus tidak mencapai
quorum, bahkan Konstituante tidak mungkin lagi bersi-
dang, sehingga akhirnya Presiden mengambil tin-dakan
ekstra parlementer yaitu mendekritkan kembali berlaku-
nya UUD 1945 pada tangga15 Juli 1959 dengan dukungan
para ahli hukum tata negara, angkatan bersenjata, partai-
partai politik dan ormas-ormas, dan membubarkan
Konstituante.
Dekrit 5 Juli 1959 diundangkan dan ditempatkan dalam
Jangan Sampai
MPR Keblinger
101
Lembaran Negara Tahun 1959 No. 75 dan kemudian
mendapat dukungan DPR hasil Pemilihan Umum Tahun
1955 dan kemudian MPRS pada tahun 1966 melalui
Ketetapannya No. XX/MPRS/1966 dijadikan sumber
dari segala sumber hukum dalam Republik Indonesia.
Dengan demikian UUD 1945 bukan saja UUD yang pal-
ing modern seperti diakui oleh Bung Hatta, tetapi
dipandang dari sudut mana pun UUD 1945 sudah
menjadi UUD yang tetap.
Di sinilah esensi ke-keblinger-an pertama MPR hasil
pemilu 1999 yang memaksakan perubahan UUD 1945
dengan berlindung di balik “Amandemen”. Padahal
dalam Pemilu 1999 rakyat pemilih sama sekali tidak
memberikan mandat kepada MPR untuk mengubah UUD
1945 atau menyusun UUD baru.
Lebih menyedihkan lagi, karena perubahan yang dise-
but Amandemen UUD 1945 dan oleh MPR dinyatakan
mulai berlaku 10 Agustus 2002 sesudah diamandemen 4
kali dilakukan atas intervensi LSM Asing yang ikut
menghadiri sidang-sidang PAH I dan ikut memberikan
fasilitas dan konsep-konsep selama proses penyusunan
amandemen, untuk memastikan amandemen tersebut
patut diduga keras sesuai dengan pemikiran “democratic
values and American self-interest”.
Seorang diplomat dari Kedutaan Besar Amerika
Serikat, setelah mengetahui bahwa saya menolak keras
amandemen yang kebablasan menemui saya dan me-
ngatakan bahwa pemikiran kelompok saya adalah kon-
servatif. “Self-interest” adalah akar “individualisme” yang
mungkin cocok untuk Barat termasuk Amerika Serikat,
tetapi bertentangan dengan paham “kebersamaan” dan
“asas kekeluargaan” (mutualisme/kolektivisme” dan
“brotherhood”) yang dianut bangsa Indonesia!
Adanya utusan-utusan dari daerah-daerah dan go-lon-
gan-golongan ditekankan oleh Bung Hatta sebagai ke-
Jangan Sampai
MPR Keblinger
103
paham kerakyatan (demokrasi Indonesia) dan kebang-
saan (nasionalisme Indonesia) serta secara tegas menolak
individualisme dan liberalisme. Menurut pendapat saya
amandemen yang dilakukan MPR hakekatnya hanya
jiplakan dan copy pemikiran asing yang benar-benar
menjadikannya Amandemen yang kebablasan karena
merombak tata nilai yang menjadi jiwa UUD 1945, yang
tidak lain adalah Hukum Dasar Negara yang tidak
seharusnya dirombak-rombak, apalagi Hukum Dasar itu
mengemban Amanat Proklamasi Kemerdekaan yang
paling luhur, yaitu supaya menghantarkan rakyat Indo-
nesia kepada perubahan menuju social justice.
Kita tidak anti Barat, termasuk Amerika Serikat, tetapi
secara prinsip pemikiran UUD/Hukum Dasar, karena
kekhasan paham ideologi, sejarah, cita-cita dan budayanya,
maka kita tidak bisa menjiplak begitu saja sistem negara lain.
Akan menjadi fatal sekali jika amandemen yang meng-
ubah jiwa Amanat Proklamasi Kemerdekaan untuk dise-
suaikan dengan sistem individualisme ala Barat dan
mengkhianati sistem gotong royong (kebersamaan ber-
dasarkan asas kekeluargaan) yang adalah kepribadian
bangsa Indonesia yang telah berhasil mengantarkan kita
kepada Kemerdekaan.
Bukankah amandemen yang seperti itu benar-benar
sudah kebablasan, bahkan keliru sekali ?!
Amandemen yang tidak menjerumuskan bangsa, yaitu
amandemen demi untuk penyempumaan yang murni,
atau mempertegas dan memperjelas tentu saja dapat dila-
kukan dari waktu ke waktu, tapi tidak mengobrak-abrik
tata nilai yang sudah mapan. Seperti bangsa Amerika
yang sudah 200 tahun lebih kemerdekaannya tidak
pemah mengubah Declaration of Independence dan Hukum
Dasar negaranya yang mengatakan bahwa “men are born
equal and has the same right for the pursuit of happiness”.
Amerika Serikat memang melakukan amandemen-
Jangan Sampai
MPR Keblinger
105
Kabinet Presidentil direduksi kekuasaannya dan diambil
alih oleh legislatif.
Ini adalah bentuk keblingeran MPR berikutnya.
Pembukaan UUD 1945 juga menekankan prinsip ke-
gotong-royongan sebagai asas Kedaulatan Rakyat yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-
ratan perwakilan, dan untuk keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dalam pen-
jabarannya justru sekarang didegradasi oleh amandemen,
sehingga kembali menunjukan betapa makin jauhnya
bentuk keblingeran MPR.
Semua keblingeran MPR itu harus diteliti oleh Komisi
Konstitusi agar UUD tetap sesuai dengan kehendak
rakyat yaitu UUD 1945 yang asli.
Sesudah Bung Karno dan Bung Hatta tidak ada lagi,
muncul orang-orang yang mau merevisi total paham
demokrasi Indone sia yang secara utuh termaktub dalam
UUD 1945 yang asli, dan bersedia masuk dalam Grand
Strategy-nya kekuatan asing terhadap Indonesia.
Bung Karno memang mengatakan dalam sidang pleno
kontituante bahwa tidak perlu kita menutup pada dunia
sekeliling kita, sebaliknya kita perlu mempelajari
pengalaman-pengalaman mereka. Tapi tidak boleh
mendorong kita menghasilkan satu UUD yang hanya
merupakan copy belaka dari Konstitusi asing itu.
Diperingatkan, 3 amanat penderitaan rakyat harus jelas
tercermin dalam UUD kita, yaitu :
1. Penciptakan satu masyarakat yang adil dan makmur.
2. Bentuk satu negara kesatuan berdasarkan paham
unitarisme.
3. Sistem musyawarah dalam satu badan atau sistem
mono-kameral.
Jangan Sampai
MPR Keblinger
107
108 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Budiman Sudjatmiko [1]
S
emangat nasionalisme yang tinggi terbaca dalam
pemikiran dan perjuangan Amin Arjoso. Hal itu
terlihat dalam perjuangannya mengembalikan
spirit Proklamasi yang tercermin dalam keingin-
an kembali menegakkan UUD 1945 (asli). Amin Arjoso
menilai bahwa amandemen UUD 1945 sudah hampir
kebablasan. Sebenarnya Amin Arjoso tidak menolak
Amandemen an sich, tetapi menolak proses amandemen
yang kebablasan. Amandemen UUD 1945 yang kebablas-
an cenderung malah akan menciptakan krisis konstitusi.
Seperti jamak diketahui, pada tanggal 18 Agustus 1945
dalam sidang PPKI mengesahkan Undang-undang Dasar
yang kini terkenal dengan UUD 1945. Rumusan Dasar
Negara Pancasila yang tercantum dalam pembukaan
UUD 1945 adalah sah dan benar, karena disamping mem-
punyai kedudukan konstitusional juga disahkan oleh
suatu badan yang mewakili seluruh bangsa Indonesia
(PPKI) yang berarti disepakati oleh seluruh rakyat Indo-
119
Aktif memperjuangkan kembalinya UUD 1945, baik melalui
penggalangan dukungan dari para anggota DPR-MPR RI periode 2004-
2009, hingga berbicara di forum-forum diskusi.
P
erubahan UUD 1945 telah berlangsung. Praktik
ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam
perubahan konstitusi kita telah berjalan. Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) sudah dihapus.
MPR pun bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara.
Garis-garis besar haluan negara tidak lagi menjadi pe-
doman pembangunan nasional. Semua ini konsekuensi
dari perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR
tahun 1999-2002.
Di tengah masyarakat, baik dalam tata kehidupan
berbangsa, bernegara dan berpemerintahan atas nama
demokrasi yang berhasil mengubah UUD 1945; tampak
jelas tidak selaras dengan cita-cita proklamasi sebagai-
mana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Indi-
kasinya, sejak perubahan UUD 1945 stabilitas prosedural
(konsistensi menjalankan perundang-undangan) tidak
berjalan, sebaliknya terjadi bongkar pasang undang-un-
dang dalam waktu relatif singkat dan sangat membi-
Rekam Jejak
Perubahan UUD 1945
121
ngungkan masyarakat. Selain itu, konsolidasi demokrasi,
yaitu terselenggaranya pemerintahan yang stabil untuk
mewujudkan keadilan dan kesdejahteraan rakyat
semakin jauh. Berbanding lurus dengan perkara tersebut,
terjadi konflik kepentingan antara lembaga negara.
Niscaya, baik dari tataran substansi perubahan UUD
1945, prosedur perubahan yang dijalankan, serta impli-
kasinya dalam kehidupan kenegaraan dan kemasya-
rakatan –sistem ketatanegaraan kita derwasa ini, meng-
alami apa yang disebut krisis konstitusi ketatanegaraan.
Lantaran itu, Amin Arjoso dan kawan-kawan seperjuang-
an terus berjuang menegakan sistem konstitusi
proklamasi.
Memang, dalam setiap langkah perjuangan untuk
menegakan UUD 1945 banyak rintangan. Bahkan sejak
Amin Arjoso berada dalam pusaran perubahan konstitusi
di MPR 11 tahun lalu –dalam kapasitasnya sebagai wakil
ketua PAH III, ganjalan untuk menyelamatkan konstitusi
proklamasi demikan kuat dan besar– bagaikan gelom-
bang tsunami. Akan tetapi sebagai seorang aktivis dan
pejuang sosok Amin Arjoso tidak berhenti dan letih untuk
menegakkan UUD 1945.
Bagiamana proses perubahan konstitusi proklamasi
berjalan –yang semula dijadwalkan menggunakan pende-
katan addendum (tambahan dalam satu lampiran), itu
sebabnya Amin Arjoso berkenan menjadi wakil ketua
PAH III dan menyetujui perubahan UUD 1945. Namun,
begitu agenda perubahan berhasil dimasukan dalam
sidang-sidang MPR –kesepakatan awal fraksi-fraksi MPR
segera diabaikan.
Peta politik pun segera berubah, MPR dikepung de-
ngan pelbagai opini, tuntutan, demonstrasi yang semua-
nya mengarah pada perubahan UUD 1945 secara menye-
luruh, itu sebabnya MPR sampai empat kali melakukan
perubahan. Padahal opini dan tuntutan yang berlangsung
Rekam Jejak
Perubahan UUD 1945
123
studi mendalam dan menemukan formulasi teori me-
ngenai prosedur perubahan UUD 1945 adalah Sri Soe-
mantri –pendiri Gerakan Mahasiswa Nasional Inbdonesia
(GMNI) yang tentunya tidak tergolong dalam agen neo-
liberal. Dalam telaah yang dituangkan dalam desrtasinya
tahun 1978, ia menemukan suatu teori yang disebut seba-
gai sidang khusus untuk mengubah UUD 1945 sebagai-
mana diamanatkan dalam pasal 37.
Artinya perubahan UUD 1945 yang diserahkan kepada
MPR dengan ketentuan kourum harus dilakukan dalam
sidang yang hanya khusus membahas perubahan
undang-undang dasar. Untuk sampai kearah sana, dalam
pengembangan teorinya lebih lanjut, pakar hukum tata
negara ini menyaratkan perlunya suatu grand desain,
yaitu untuk apa kita melakukan perubahan dan pasal
serta ayat apa saja yang akan diubah. Hal ini harus dila-
kukan lebih awal dan cermat oleh suatu komisi negara
—sebelum melangkah kearah perubahan yang kan
ditetapkan MPR.
Kerangka terori yang telah dituangkan Sri Soemantri
oleh Amin Arjoso kemudian dijadikan landasan untuk
menelaah kembali perubahan UUD 1945. Untuk itu, ber-
sama-sama dengan kelompok alumni HMI dan potensi
kebangsaa lainnya, Amin Arjoso menyelengarakan dis-
kusi-diskusi dan seminar yang intensif. Setelah itu telah
dibentuk pula satu tim di bawah prakarsanya untuk me-
nelusuri proses dan prosedur perubahan UUD 1945
sebagaimana yang terekam dalam risalah perubahan
UUD 1945.
Dalam studi pendahuluannya, tim bekerja meneliti
risalah perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada
Sidang Umum MPR tahun 1999. Ada pun materi yang
ditelusuri meliputi: Rapat ke-1 BP MPR RI (6 Oktober
1999), Rapat ke-2 BP MPR RI (6 Oktober 1999), Rapat ke-
3 BP MPR RI (14 Oktober 1999), Rapat Paripurna ke-7
Sidang Umum MPR RI (14 Oktober 1999), Rapat Sidang
Rekam Jejak
Perubahan UUD 1945
125
10. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rak-
yat tentang Narkoba
11. Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rak-
yat tentang Hutang Luar Negeri dan Peran IMF
dihubungkan dengan prosedur pembuatan perjanjian
dengan luar negeri.
Ini berarti, perubahan undang-undang dasar yang
diletakan setara dengan undang-undang dasar prosesnya
berjalan sebagaimana mertumuskan dan menetapkan
Tap MPR yang kedudukannya di bawah undang-undang
dasar. Dalam pada itu, merujuk terori Sri Sumantri
mengenai sidang khusus untuk mengubah UUD 1945,
maka proses perubahan yang demikian, tidak sah.
Menindak lanjuti temuan tersebut, diselenggarakan
Seminasr Nasional “Tinjauan yuridis Terhadap
Perubahan UUD 1845 (Kerarah Perumusan Addendum)
pada 11 Nopember 2009 di Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya, adapun hasilnya sebagai berikut:
Memorandum
Kembali ke UUD 1945 Dengan Addendum
Bahwa sesungguhnya Perubahan UUD 1945 meru-
pakan amanat konstitusional sebagaimana termaktub
dalam Pasal 37. Perintah perubahan tersebut merupakan
kebijakan politik (ketatanegaraan) yang kewenangannya
diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia. (MPR RI).
Meski MPR RI diberi kewenangan mengubah dan
menetapkan undang-undang dasar, bukan berarti dalam
pelaksanaan tugas konstitusional tersebut —dapat
dilakukan dengan mengabaikan segala bentuk peraturan
(tata hukum) nasional yang meliputi kegiatan
(kewenangan) MPR RI, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR
127
Bank Indonesia dan Menteri Keuangan, Mahkamah
Agung vs Departemen Pendidikan Nasional. Fenomena
ini menunjukan asas keseimbangan sebagaimana
dimaksud dalam perubahan UUD 1945 tidak tercapai.
Demikian, konflik-konflik tersebut membahayakan
kelangsungan kehidupan kenegaraan kita.
Pada bagian lain, proses demokratisasi belakangan ini
semakin menjauhkan kita dari sistem hukum, budaya,
politik dan ekonomi yang berlandasarkan Pancasila.
Tampak, terang benderang proses demokrastisasi yang
mendapat legitimasi konstitusi sebagaimana diatur da-
lam amandemen UUD 1945, merupakan usaha liberali-
sasi-liberalisme dalam kehidupan kenegaraan kita. Hal
ini jelas bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945.
Ketika Pasal-pasal dan ayat-ayat perubahan UUD 1945
bertentangan dengan Pembukaan dan pada pelaksanan-
nya, antara lain: melahirkan konflik kepentingan antar
lembaga negara dan alat kelengkapan lembaga negara
yang ada; sementara kepastian hukum dan keadilan tidak
berpihak kepada rakyat sebagaimana dijamin oleh kons-
titusi —yang demikian menunjukan gejala krisis konsti-
tusional sekaligus membahayakan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Untuk mengakhiri hal tersebut, diperlukan upaya
alternatif di lapangan ketatanegaraan, yaitu :
1. Melakukan addendum terhadap UUD 1945
sebagaimana ditetapkan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. (PPKI), tanggal 18 Agustus
1945 -yang diberlakukan kembali melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 seperti tercantum dalam Lembaran
Negara No. 75 Tahun 1959;
2. Sebelum UUD 1945 dengan addendumnya ditetapkan
MPR RI dan didaftarkan pada. Lembaran Negara,
sistem ketatanegaraan yang berlaku masih mengikuti
aturan sebagaimana termaktub dalam Perubahan
Rekam Jejak
Perubahan UUD 1945
129
Spanduk
“menolak
UUD 2002”,
istilah lain
untuk hasil
amandemen
UUD 1945.
H. Amin
Arjoso, SH
pencetus
istilah “UUD
2002” untuk
membedakan
dengan UUD
1945 yang
asli.
SERUAN:
I. MENGAPA KITA MENOLAK AMANDEMEN UUD
1945 YANG KEBABLASAN, KARENA BERTEN-
TANGAN DENGAN CITA-CITA PROKLAMASI 17
AGTUSTUS 1945 YANG MENUJU KE INDIVI-
DUALISME, LIBERALISME, KAPITALISME, DAN
NEOIMPERIALISME. KARENA ITU:
1. Kembali ke UUD 1945 untuk menegakkan kedaulat-
an negara dan keutuhan teritorial (suvernity integrity
dan teritorial integrity).
2. Amandemen kabablasan mengakibatkan penjajahan
baru dengan melumpuhkan ekonomi nasional.
3. Menimbulkan krisis konstitusi karena locus kedau-
latan rakyat, siapa yang mewakili kedaulatan rakyat
tidak lagi jelas, karena MPR tidak lagi sepenuhnya
mewakili rakyat.
4. Prinsip semua dipilih tidak sama dengan semua
yang diwakili, sehingga Utusan Daerah dan Utusan
Golongan semena-mena dihapus. Ini menyalahi de-
mokrasi Indonesia yang berdasarkan sosio nasional-
isme dan sosio demokrasi khas Indonesia, dengan
demikian menghapus sejarah bangsa Indonesia.
Forum Perjuangan
Pelurusan UUD 1945
131
Indonesia, secara nyata mengadakan amandemen UUD
1945 yang menyeleweng dari cita-cita Proklamasi dan
menuju: INDIVIDUALISME, LIBERALISME, KAPITAL-
ISME, DAN NEOIMPERIALISME, yang menguntungkan
pihak asing dan kaki tangannya yang berbangsa Indone-
sia dan mengorbankan kepentingan Negara, Bangsa, dan
Rakyat Indonesia sendiri.
Contoh-contoh dan bukti-bukti adalah sebagai berikut:
1. Penjelasan UUD 1945 dihapus
2. MPR tidak lagi berfungsi sebagai lembaga tertinggi
Negara kedaulatan rakyat dengan dihapuskannya
GBHN.
3. Dihapusnya perwakilan dari unsur-unsur golongan
dan utusan daerah, pemilihan presiden dan wakil
presiden oleh MPR, dan Presiden selaku mandataris
MPR dicabut.
4. Dihapusnya Penjelasan pasal 33 UUD 1945 dan
penambahan ayat-ayat tambahan.
5. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung,
membuka peranan orang-orang dan kelompok-
kelompok bermodal dalam pemilu.
Forum Perjuangan
Pelurusan UUD 1945
133
Perdana Menteri sehingga memberikan kesempatan
pihak asing tersebut untuk berperan di bidang Politik,
Ekonomi, dan Sosial Budaya.
2. Operasi-operasi militer pihak asing/Belanda untuk
menguasai NKRI proklamasi 17-8-1945 dengan mem-
bentuk negara-negara boneka antara lain; NIT (Negara
Indonesia Timur), Negara Pasundan, Negara Sumatera
Timur, Negara Jawa Timur, Negara Madura, dan seba-
gainya dengan membentuk pemerintahan federal
B.F.O. (Bijeenkomst Federale Overleg).
3. Dengan menduduki Ibukota RI di Yogyakarta bulan
Desember 1949, serta menangkap dan menahan Presi-
den, Wakil-Presiden dan Menteri-Menteri NKRI serta
dibawa dan ditahan di Prapat dan Bangka (Sumatera),
mengharapkan NKRI proklamasi 17-8-1945 bisa bubar
dan digantikan dengan pemerintahan Indonesia bone-
ka pemerintah asing Belanda. Rencana tersebut gagal
total karena perang gerilya dari rakyat dengan TNI dan
laskar-laskar perjuangan bersenjata terus-menerus
bergerak, serta Perserikatan Banga Bangsa (PBB) lewat
komisi tiga negara menyalahkan Belanda dan diseleng-
garakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk
mencari penyelesaian.
4. KMB menghasilkan pembentukan Republik Indone-
sia Serikat (RIS bukan NKRI), terdiri atas Republik In-
donesia 17-8-1945 beserta negara-negara boneka pihak
asing antara lain: NIT (Negara Indonesia Timur), Nega-
ra Pasundan, Negara Sumatera Timur, Negara Jawa
Timur, Negara Madura, dan sebagainya. Setelah peng-
akuan Kemerdekaan Indonesia oleh PBB (hasil dari
KMB), serta ditariknya semua pasukan Belanda dari
Indonesia terjadilah pergolakan dan perjuangan rakyat
menolak Republik Indonesia Serikat/RIS untuk kem-
bali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia Prokla-
masi 17 Agustus 1945 dengan UUDS 1950.
Forum Perjuangan
Pelurusan UUD 1945
135
2. Berikut adalah: pengakuan tertulis dari pihak NDI
tentang rencana kegiatan-kegiatan serta pembiayaan
atas maksud-maksud di atas: “Democratic Reform since
the opening of political space ini 1998, three democratic re-
form issues have come to forefront of Indonesia politics:
constitutions reform, and decentraliszation or, as it is
known in Indonesia is regional autonomy. Over the past
three years, NDI has assisted Indonesian political leader
move forward in these reform areas in a participatory man-
ner.
Since February 2000, NDI has been providing vital
comperative materials and information on constitu-
tional and electoral reforms to Indonesian lawmakers
Involved in these issues, including members of the
People’s Consultative Assembly (MPR), the highest
political institution of the state and its mandated to de-
termine the constitutions and to decree the guidelines of state
policy. The materials provided by NDI have informed the
MPR’s continuing issues. The Institute is also working closely
with universities in Indonesia and civil society partners
to encourage citizen in the reform process.
3. Tidaklah perlu diragukan lagi bahwa pihak asing
bekerja sama dengan MPR pada tahun 1999-2004 me-
lalui tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok politik ter-
tentu di Indonesia, secara nyata mengadakan amande-
men UUD 1945 yang menyeleweng dari cita-cita Pro-
klamasi dan menuju; INDIVIDUALISME, LIBERAL-
ISME, KAPITALISME, DAN NEOIMPERIALISME,
yang menguntungkan pihak asing dan kaki tangannya
yang berbangsa Indonesia dan mengorbankan kepen-
tingan Negara, Bangsa, dan Rakyat Indonesia sendiri.
Contoh-contoh dan bukti-bukti adalah sebagai berikut:
1. Penjelasan UUD 1945 dihapus
2. MPR tidak lagi berfungsi sebagai lembaga tertinggi
negara kedaulatan rakyat dengan dihapusnya GBHN;
Forum Perjuangan
Pelurusan UUD 1945
137
BAB II
Perjuangan
139
Dua tokoh nasionalis, H. Amin
Arjoso, SH dan Abdul Madjid
ketika sama-sama dilantik
menjadi Anggota DPR/MPR RI
masa bhakti 1999 - 2004.
Sempat
Didamprat Megawati
K
alau ada warga Indonesia yang paling berani
menentang amandemen UUD 1945 dan paling
gigih memperjuangkan kembalinya UUD 1945
adalah Amin Arjoso. Saya masih punya doku-
men berisi pernyataan menolak amandemen lintas fraksi.
Waktu itu, saya dan Amin Arjoso sama-sama masih
duduk di Fraksi PDIP, DPR RI.
Suatu hari, Amin Arjoso dan Sri-Edi Swasono datang
membawa dokumen tersebut yang sudah ditandatangani
kurang lebih 20 anggota DPR RI lintas fraksi. Sebagai
anggota DPR yang sepaham, menolak aksi amandemen
terhadap UUD 1945, saya tentu saja dengan senang hati
menandatangani memorandum tersebut. Namun, ketika
ia bersiap menuliskan nama dan menandatanganinya
pada urutan terbawah, Amin Arjoso mencegah, “Bukan
di situ… tapi di atas, nomor urut satu, sengaja di-
kosongkan buat pak Madjid.”
Sempat
Didamprat Megawati
141
Begitulah, Abdul Madjid pun menandatanganinya di
urutan kesatu. Tapi bukan berarti saya pelopornya,
karena pelopornya ya Amin Arjoso. Bahwa saya diminta
tanda tangan di urutan pertama, mungkin karena mereka
menilai saya yang paling tua.
Nah, tentang amandemen itu sendiri, PDIP sudah
menentukan sikap sejak Kongres di Semarang tahun 2000.
Ketika itu kongres memutuskan, setuju amandemen
dengan beberapa catatan. Pertama, sesedikit mungkin
pasal yang diamandemen. Kedua, tidak boleh mengubah
hal-hal yang bersifat mendasar.
Sayangnya, orang-orang PDIP sendiri banyak yang
tidak taat terhadap keputusan Kongres, termasuk Mega-
wati Soekarnoputri. Bahkan, pelopor amandemen di
antaranya orang PDIP sendiri, yaitu Jacob Tobing. Dia
yang menjadi ketua panita amandemen.
Padahal, kalau konsisten, PDIP harusnya menolak
amandemen itu. Sebab kembali kepada komitmen, bahwa
Sempat
Didamprat Megawati
143
lahirlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Itu artinya, begitu
Bung Karno selaku Presiden menyatakan dekrit kembali
ke UUD 1945, maka UUD 1945 bukan lagi bersifat semen-
tara, melainkan UUD yang sudah bersifat tetap, tidak ada
lagi ada embel-embel sementara.
Ada latar belakang lain mengapa Bung Karno pernah
menyatakan bahwa UUD itu bersifat sementara. Hal itu
karena konflik politik, tarik-menarik kepentingan
antarkelompok begitu kuat. Jika tidak diambil langkah
tegas, negara tidak akan memiliki landasan konstitusi.
Karenanya Bung Karno menawarkan kepada semua faksi
yang bersilang pendapat untuk menerima UUD 1945
dengan embel-embel sementara. Langkah selanjutnya
adalah membentuk badan yang menyempurnakan
UUDS tadi.
Sejarah kemudian mencatat, konflik di Konstituante
seperti tak berkesudahan. Tenggat waktu yang ditetap-
kan gagal mereka manfaatkan. Kepada Konstituante pun
sudah ditawarkan untuk menerima dan mengesahkan
saja UUDS menjadi UUD. Akan tetapi dalam peng-
ambilan suara, tidak tercapai kesepakatan bulat. Negara
pun terkatung-katung dalam konstitusi sementara.
Bung Karno selaku Presiden lantas mengumpulkan
seluruh perwakilan politik, angkatan perang, ahli tata ne-
gara untuk mengatasi deadlock konstitusi di Konstituante.
Dengan kekuasaannya sebagai Kepala Negara demi
menyelamatkan bangsa dan negara itulah Bung Karno
kemudian mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1945. Sekali lagi
saya tegaskan, bahwa sejak itu pula pernyataan Bung
Karno yang menyebut UUD 1945 sebagai UUD Sementara
sudah mati, sudah tidak berlaku. Sebab yang berlaku ya
UUD 1945 itu, tanpa embel-embel Sementara.
Kembali ke pokok soal, amandemen UUD 1945 oleh
MPR 1999 – 2004. Ada skenario besar yang menunggangi
proses perubahan konstitusi itu. Dalam suatu dokumen
Sempat
Didamprat Megawati
145
kan pada era kepemimpinan bapaknya, justru diobrak-
abrik di era kepemimpinan anaknya. Sikap Megawati
yang mendukung amandemen bahkan pernah meng-
akibatkan benturan langsung dengan saya. Dalam sebuah
rapat kerja di Bogor, saya didamprat Megawati.
Megawati sebagai Ketua Umum PDIP menginstruksi-
kan kepada anggota Fraksi agar tidak boleh mengaki-
batkan rapat yang membahas amandemen di DPR RI itu
deadlock, harus suara bulat. Seketika Abdul Madjid angkat
tangan dan bicara, bahwa deadlock bukan hal tabu dalam
sistem politik. Saat itulah Megawati marah seraya mene-
gaskan, bahwa pada dasarnya dia pun tidak setuju aman-
demen, tetapi harus melihat situasi dan kondisi. Jika
situasi dan kondisi mengharuskan terjadi amandemen,
maka dia setuju.
Belum selesai mendebat, Megawati sudah berpamitan
dari arena rapat karena hendak menghadiri acara lain.
Kemudian kalimat Mega yang mengatakan pada dasar-
nya tidak setuju amandemen, saya gunakan sebagai dasar
menentang amandemen di rapat PDIP itu. Kemudian
Sekjen PDIP waktu itu, Sucipto menjawab, “Ya, tapi Bu
Mega juga bilang, tergantung situasi dan kondisi.”
Jadi kesimpulan saya, Megawati memang menggan-
tung sikapnya. Tidak tegas. Itu yang dimanfaatkan or-
ang-orang pro amandemen seperti Sucipto dan lain-lain
yang dikomandani Jacob Tobing. Yang “menggarap”
Megawati juga Jacob Tobing.
Sedangkan yang “menggarap” Jacob Tobing tentu saja
NDI, seperti ditulis ASS Tambunan. NDI itu adalah
kepanjangan tangan Amerika Serikat dengan maksud
antara lain mengubah UUD 1945 sehingga Indonesia
menjadi berpahamkan liberal, baik politiknya, maupun
ekonominya. ASS Tambunan menguak itu semua dalam
buku yang kemudian diedarkan secara luas.
Memang, ada yang pernah bertanya kepada saya ihwal
Sempat
Didamprat Megawati
147
kebangsaan yang beas.
Nah, dengan adanya amandemen, hal ini tidak dibahas.
Sekarang ini negara mau dibawa kemana, tidak jelas. Cita-
cita luhur bangsa Indonesia ketika merdeka, menjadi
diabaikan. Amanat pembukaan konstitusi kita juga sudah
sangat jelas menyebutkan bahwa sesunggunya kemer-
dekaan adalah hak segala bangsa, karena itu penjajahan
harus hapus dari seluruh dunia, termasuk dari bumi In-
donesia, dari bangsa Indonesia. Dus, bangsa Indonesia
harus bebas dari segala bentuk penjajahan.
Sedangkan nenek moyang penjajahan adalah kapital-
isme, karenanya kita harus bebas dari kapitalisme. Itu
adalah amanat konstitusi, tetapi tidak ada yang memper-
hatikan. Ada beragam kebebasan, bebas dari ketakutan,
bebas dari kekurangan, bebas dari kebodohan, bebas
menganut agama dan kepercayaan, bebas berbicara dan
berpikir. Tetapi dilengkapi oleh Bung Karno, freedom to
be free, bebas untuk merdeka. Itu bebas yang paling asasi.
Di Pembukaan UUD 1945 sejatinya ada lima amanat.
Amanat pertama adalah alinea pertama tadi, mengama-
natkan supaya bebas dari kapitalisme dan imperialisme.
Kedua, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah.
Ketiga, memajukan kesejahteraan umum. Empat mencer-
daskan kehidupan bangsa. Kelima, mengatur ketertiban
dunia. Inilah amanat pembukaan UUD 1945. Mengapa
ini tidak dijadikan pokok program pembangunan
kabinet?
Dengan demikian, program pembangunan ada relnya,
tidak ke kana dan ke kiri, semua kabinet harus berpe-
doman pada lima amanat tadi. Itu artinya, perjuangan
Amin Arjoso dkk mengembalikan UUD 1945 sudah benar,
karena hendak mengembalikan kehidupan berbangsa
dan bernegara sesuai amanat konstitusi, amanat kemer-
dekaan, amanat cita-cita luhur bangsa ketika memerde-
kakan dirinya dari penjajahan, bebas dari imperialisme.
Sempat
Didamprat Megawati
149
people itu penting, tetapi yang terpenting adalah for the
people.
Dalam konteks Pancasila, kalau kita bertanya, di mana
sila demokrasi itu? Adanya di sila keempat: Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permu-
syawaratan/perwakilan. Itu benar, tetapi masih kurang.
Meskipun, sila itu sendiri hebat, bahwa demokrasi itu
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-
waratan, kalau di luar negeri demokrasi dipimpin oleh
cipoa, tak-tek… tak-tek hitung-menghitung, yang banyak
yang menang.
Jadi, dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan itu tidak ada
di luar, di seluruh dunia hanya ada di Indonesia, Cuma
kita yang ada, jadi sudah mulia banget. Akan tetapi kalau
menurut Bung Karno itu pun belum lengkap. Sila 4 dan
5 itu harus dibaca satu nafas: Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jadi artinya, meskipun sudah musyawarah dalam
hikmat kebijaksanaan atau mufakat kalau tidak ber-
barengan dengan upaya mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu bukan demo-
krasi Indonesia.
Lebih lengkap lagi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi,
suatu keadilan sosial yang diridhoi oleh Tuhan Yang
Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah demokrasi
Indonesia.
Jadi Bung Karno mengatakan bahwa demokrasi itu
bukan hanya alat. Alat memilih kepala desa, memilih
bupati-walikota, memilih gubernur atau bahkan presi-
den, tidak! Kalau istilah Bung Karno adalah, demokrasi
harus menjadi “chelof”, atau penghayatan. Jadi demokrasi
itu menjadi penghayatan. Maka Pancasila sebagai ideo-
logi negara, demokrai Indonesia menjadi sub ideologi,
Sempat
Didamprat Megawati
151
Saya baca buku pak Tambunan, jelas dikatakan ini misi
asing, misi Amerika Serikat.
Dia tulis di buku. Buku itu sendiri tersebar luas. NDI
dalam hal ini tidak pernah menggugat atau memprotes
dan menolak. Dan kalau Tambunan bersalah atau
menulis fakta yang tidak benar, kan dia bisa digugat dan
dituntut secara hukum. Akan tetapi faktanya tidak ada
gugatan dan tuntutan dari mana pun, termasuk NDI.
Karena itu kesimpulan saya, pak Tambunan benar.
Last but not least, upaya Sdr. Amin Arjoso mengem-
balikan UUD 1945 mutlak harus mendapat dukungan
penuh segenap rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Berjuang
terus hingga titik darah penghabisan, sampai jalannya
negara ini kembali ke rel konstitusi dan rel ideologi, yakni
UUD 1945 (asli) dan Pancasila.
Akan tetapi, menegakkan atau mengembalikan UUD
1945 yang asli memang bukan pekerjaan ringan, terlebih
ada kekuatan besar, kekuatan asing yang ikut bermain
di balik ini semua. Meski begitu, perjuangan harus terus
dikobarkan. Perjuangan ini semata-mata bukan demi
Amin Arjoso, bukan demi Abdul Madjid, ini semua demi
masa depan bangsa dan negara sesuai cita-cita
proklamasi kemerdekaan.
153
154 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
155
156 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Sri Edi Swasono
Amin Arjoso
dalam Pusaran
Perubahan Konstitusi
“
Ketika perubahan Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945) pada tahun 1999 -2002 berlangsung,
saya aktif sebagai anggota MPR mewakili Utus-
an Golongan. Sementara sahabat saya Amin Arjo-
so adalah wakil ketua PAH III yang membidangi per-
ubahan UUD 1945. Keberadaan Amin Arjoso jelas mewa-
kili partainya yaitu: PDI Perjuangan yang waktu itu me-
rupakan partai pemenang Pemilu”. Demikian ungkap
guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
“Dalam kapasitas sebagai anggota MPR kami berdua
dan bersama-sama dengan anggota MPR lainnya —yang
mewarisi spirit kebangsaan dan kerakyatan, dari para
pendiri negara bangsa, bahu membahu memperjuang-
kan perubahan UUD 1945 agar tidak keluar dari sistem
konstitusi proklamasi”. Kenang penggemar musik klasik
dan kerongcong itu.
Tentang apa yang dimaksud dengan sistem konstitusi
___________________
Catatan:
Artikel di atas disarikan dari beberapa tulisan Sri Edi Swasono
dan kutipan-kutipan pendapatnya yang sempat direkam di
pelbagai kesempatan seperti antara lain pada saat Seminar
Nasional Perubahan UUD 1945 Dengan Addendum yang
diprakarsai Amin Arjoso dan kawan-kawan, diselenggarakan
di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
161
H. Amin Arjoso, SH dalam salah satu acara bersama Sulastomo (kanan).
Amin Arjoso
dan UUD 1945
A
min Arjoso adalah salah satu tokoh yang amat
gelisah dengan masa–depan bangsa ini,
ketika UUD 1945 mengalami perubahan di
tahun 2002. Ia berusaha untuk mencegah
bahkan menolak perubahan itu, namun gagal.
Amin Arjoso menilai, bahwa perubahan itu sudah me-
nyimpang dari UUD 1945 (yang asli), sehingga tidak layak
disebut UUD 1945 lagi. Perubahan UUD 1945 telah mela-
hirkan UUD baru, yang disebutnya sebagai UUD 2002.
Karena itu, iapun berusaha untuk mengembalikan UUD
1945 diberlakukan kembali. Dan tentu ia masih akan geli-
sah, sebelum cita–citanya terwujud. Amin Arjoso adalah
seorang idealis dan nasionalis sejati.
Tanpa lelah
Dengan memperhatikan usia dan kondisi kesehatan-
nya, Amin Arjoso telah mempertaruhkan dirinya sendiri
Amin Arjoso
dan UUD 1945
163
bagi cita–citanya itu. Tidak saja dikala “sehat”, ketika
terbaring di Rumah–Sakit pun, ketika terserang “stroke”,
ia berpikir bagaimana mewujudkan cita–citanya itu. Ia
bahkan menggelar “rapat” di rumah–sakit dengan te-
man–teman yang mengunjunginya dan merencanakan ke-
giatan yang diperlukan. Ia tidak mau sisa hidupnya diisi
dengan berpangku tangan tanpa mengingatkan kita se-
mua, bahwa bangsa ini telah memilih jalan yang keliru
dengan melakukan perubahan UUD 1945 ditahun 2002.
Pertaruhannya adalah masa–depan bangsa, masa–depan
anak–anak dan cucu kita. Kepada istrinya yang seorang
dokter dan sekarang angguta DPR, saya mengatakan,
itulah obat bagi mas Amin. Amin Arjoso akan semakin
sakit, kalau dilarang berbicara tentang cita–citanya, yaitu
kembalinya UUD 1945 menjadi konstitusi negara ini.
Namun, dalam pembicaraan lebih mendalam, Amin
Arjoso sesungguhnya tidak semata–mata menolak per-
ubahan UUD 1945. Ia menolak perubahan itu, disebabkan
substansi perubahan itu yang sudah dianggapnya me-
nyimpang dari UUD 1945 yang asli. Dan dari substansi
pemikiran yang disampaikan kepada khalayak, alasan-
nya (sebenarnya) sulit ditolak.
Dari aspek susunan lembaga kenegaraan , kita telah
kehilangan peran Majlis Permusyawaratan Rakyat ( MPR)
yang bertugas menyusun Garis–garis Besar Haluan Ne-
gara (GBHN), yang mestinya menjadi arah penyelengga-
raan negara jangka pendek, menengah dan panjang. Pe-
ran MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang memilih
Presiden/Wakil Presiden juga dihapus. Presiden tidak
lagi sebagai “mandataris“ MPR. Penyelenggaraan negara
sepenuhnya akan tergantung pada program–program
yang dijanjikan ketika kampanye pemilihan Presiden/
Wakil Presiden. Esensi “gotong–royong” melemah, dise-
babkan prinsip demokrasi langsung, yang cukup diten-
tukan oleh suara 50% plus satu. Demokrasi kita, secara
substansi, tidak lagi merujuk pada demokrasi Pancasila,
Titik temu
Dengan pemikiran seperti itu, saya merasakan ada titik
temu dengan Gerakan Jalan Lurus, yang menilai UUD
1945 perlu “dipagari”, agar tidak ada peluang untuk
menyimpang dari UUD 1945 itu sendiri. Misalnya, ada
pembatasan masa jabatan Presiden, yang selama ini bisa
multitafsir. Demikian juga tentang perwakilan “Utusan
Golongan” dan “Utusan Daerah” dalam Majelis Permu-
syawaratan Rakyat harus lebih mencerminkan “demo-
krasi perwakilan” sebagaimana Sila keempat Pancasila.
Amin Arjoso
dan UUD 1945
165
Apa yang harus dilakukan?
UUD 1945 hasil amandemen 2002, setuju atau tidak
setuju, telah diberlakukan selama hampir 10 tahun.
Perubahan itu berlangsung di MPR yang sah, sehingga
(secara moral) selayaknya diakui sebagai keputusan ber-
sama dan dengan demikian menjadi tanggung jawab ber-
sama, meskipun kita tidak setuju. Demikian juga ber-
bagai perundangan dan kebijakan penyelenggaraan ne-
gara. Cita–cita untuk kembali ke UUD 1945, dengan
demikian juga harus menempuh jalan demokrasi, jalan
konstitusional yang sudah kita miliki. Di sinilah urgensi-
nya kita meyakinkan seluruh rakyat, membangun opini,
bahwa jalan yang kita tempuh selama era reformasi ini
perlu diluruskan kembali. Untuk itu, diperlukan lang-
kah–langkah sebagai berikut :
Melakukan kaji ulang jalannya reformasi, termasuk
kaji ulang UUD 1945 hasil amandemen 2002. Langkah–
langkah seperti itu hanya akan bisa berjalan kalau mem-
peroleh dukungan yang luas, termasuk dari partai–par-
tai politik dan lembaga
Merumuskan “peta–jalan”, bagaimana mengoperasio-
nalkan Pancasila/UUD 1945, sehingga “peta–jalan” itu
mengandung prinsip–prinsip dasar di dalam menyusun
Garis Besar Haluan Negara, yang akan mampu mewujud-
kan cita–cita buat apa negara ini didirikan dengan arah
yang jelas, sehingga meyakinkan kita semua, bahwa Pan-
casila/UUD 1945 masih relevan dan bahkan diperlukan
bangsa ini memasuki era globalisasi.
Kedua langkah itu, harus bisa diselenggarakan secara
simultans, sehingga cita–cita untuk kembali ke UUD 1945
(asli) tidak berarti kita berhenti dengan apa yang tertulis
dalam naskah UUD 1945, tetapi juga membuka peluang
perubahan kearah perbaikan UUD 1945 itu sendiri, agar
tertutup kemungkinan penyimpangan UUD 1945 dan se-
baliknya menjamin terbitnya perundangan dan kebijakan
Amin Arjoso
dan UUD 1945
167
Dari kiri ke kanan:
Eddi Elison, Moch.
Achadi, Amin Arjoso,
Didik Poernomo
Amin Arjoso
dalam Dialektika,
dan Romantika
Perjuangan Mencapai
Cita-cita Proklamasi
B
ung Karno memberikan wasiat, : Jangan sekali-
kali meninggalkan sejarah, kalau tidak, maka
akan kebingungan seperti kera di malam hari,
kehilangan arah.
Sejak proklamasi 17 agustus 1945 dengan dasar tujuan
Pancasila dan ketentuan ketatanegaraan tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945, merupakan ukuran pokok,
apakah sikap, pendirian, pemikiran dan langkah-langkah
perjuangan kita adalah konsekuen, tidak menyimpang,
menyeleweng ataupun bertentangan dan berkhianat
kepada dasar tujuan perjuangan.
Setelah dengan keuletan, keteguhan dan penyatuan
kekuatan nasional perjuangan bangsa Indonesia dibawah
kepemimpinan Soekarno – Hatta berhasil mematahkan
segala bentuk agresi, intervensi , subversi asing penjajah,
maka tahun 1949 Kemerdekaan Bangsa Indonesia diakui
oleh PBB, dan sekitar tahun 1962 setelah kembali ke
177
178 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Saiful Sulun
J
ika ada anak bangsa yang begitu gigih membela dan
mempertahankan konstitusi, dialah H. Amin Arjoso,
SH. Sejak amandemen terhadap UUD 1945 digulir-
kan oleh MPR RI periode 1999 – 2004, Amin Arjoso
yang merupakan anggota MPR/DPR RI dari Fraksi PDI-
P periode yang sama, langsung melakukan gerakan pe-
nentangan. Ia tidak peduli jika dikatakan menentang arus.
Ia bahkan tidak peduli jika harus menerjang bahaya.
Itu sekelumit komentar pembuka Mayjen TNI (Pur)
Saiful Sulun, tentang Amin Arjoso. Selanjutnya, ia me-
ngisahkan ihwal awal perjuangan bersama Amin Arjoso,
membela konstitusi kita. “Kalau tidak salah tanggal 14
Mei 2002, kami dari Foko menghadap pimpinan MPR
untuk menyampaikan aspirasi terkait amandemen yang
sudah dan sedang berlangsung. Nah, itulah kali pertama
saya kenal Amin Arjoso dalam ajang perjuangan yang
sama,” ujar Saiful.
Foko atau Forum Komunikasi adalah sebuah lembaga
Politisi tidak Boleh
Obok-obok Konstitusi
179
bersama tempat bernaung para purnawirawan ABRI.
Ketika itu, para pensiunan ABRI menyampaikan aspirasi
agar MPR membatalkan dua amandemen terdahulu
(amandemen I, II, dan III), dan menghentikan amandemen
keempat yang sedang berlangsung,” ujar mantan Pang-
dam V/Brawijaya itu.
Sejarah kemudian mencatat, bahwa aspirasi para
purnawirawan itu seperti angin yang berlalu. Bukan saja
amandemen I, II, dan III tidak dibatalkan, tetapi aman-
demen IV juga dilanjutkan. “Kami waktu itu berprinsip,
bahwa tidak mudah dan tidak boleh serampangan meng-
amandemen konstitusi,” tandasnya.
Undang Undang Dasar, lanjut Saiful, adalah sebuah
dasar negara yang tidak boleh diobok-obok semau-mau-
nya. Lebih dari itu, Undang Undang Dasar tidak boleh
diobok-obok oleh para politisi. Sebab, pada founding fa-
thers memikirkan dasar negara juga tidak seram-pangan
dan melalui pergulatan panjang. Mereka adalah para
negarawan dan para ilmuwan.
Dituturkan, bahwa dalam waktu bersamaan, ia tahu
betul bahwa Amin Arjoso dan kawan-kawan juga terus
bergerak melakukan penentangan terhadap amandemen
UUD 1945. Sejak itu pula, hubungan Amin Arjoso dan
Saiful Sulun semakin intens. “Setidaknya kami memikiki
concern yang sama atas konstitusi kita,” tandas mantan
Wakil Ketua DPR/MPR RI itu.
Dalam pada itu, kata Saiful, para purnawirawan sepa-
kat bahwa MPR RI memang memiliki kewenangan mela-
kukan amandemen terhadap konstitusi. Akan tetapi,
yang mengerjakan hendaknya bukan politisi, melainkan
dibentuk tim yang terdiri atas para negarawan dan para
ilmuwan, serta tidak bisa dilakukan hanya dalam satu
periode waktu yang pendek.
Sejak semula kelompok Foko sudah mengingatkan,
pihaknya tidak semata-mata anti-amandemen. Pihaknya
Amin Arjoso,
Orang Keras Kepala
Menolak Amandemen
T
idak terbantahkan, bahwa Undang-Udang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diberlakukan sekarang ini adalah produk mo-
numental Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) periode 1999 – 2004.
Undang-Undang Dasar (UUD) tersebut sengaja dilahir-
kan dari proses amandemen yang sejatinya adalah ‘pem-
bantaian’ terhadap UUD 1945 yang dilakukan sebanyak
empat kali dalam kurun waktu tahun 1999 sampai
dengan tahun 2002 dengan dalih memenuhi tuntutan
reformasi.
Mungkin, karena UUD itu disusun dari proses ‘pem-
bantaian’ terhadap UUD 1945, maka dengan naifnya MPR
menamai dengan sebutan sebagai UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Padahal nyata-nyata UUD itu di-
buat pada tahun 2002. Sehingga penamaan dan penye-
butannya pun menjadi terkesan manipulatif, dan bahkan
Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945
B
erbicara tentang UUD 1945 tentu saja UUD
seperti ditetapkan oleh Sidang PPKI tanggal 18
Agustus 1945, bukan ‘UUD 1945’ yang telah
diamandemen sebanyak empat kali.
Amin Arjoso, SH termasuk yang paling gigih berjuang
untuk kembali kepada UUD 1945 dan menolak aman-
demen sejak ia masih menjadi anggota DPR/MPR 1999-
2004. Ia orang yang tak dapat jeda sedikit pun dari sua-
sana kejuangan meski pun terbaring di Rumah Sakit. Apa
yang diperjuangkan Amin Arjoso, SH adalah menja-di
keprihatinan banyak kalangan mengingat keadaan negeri
semakin memprihatinkan semenjak memasuki era Refor-
masi. Reformasi seolah menjadi zaman baru karena para
jubir reformasi mencela periode Presiden Soeharto dan
Presiden Sukarno.
Seseorang dapat memandang Presiden Sukarno dari
sisi buruk. Ia membubarkan Masyumi, PSI, dan Murba.
Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945
193
Ia memenjarakan puluhan politisi yang punya jasa besar
dalam perjuangan kemerdekaan tanpa proses pengadil-
an. Tetapi Presiden Sukarno telah membuat jasa yang
amat besar. Ia seorang pahlawan pembebasan tanah air.
Ia mengutuhkan wilayah NKRI dengan kembalinya Irian
Barat, meski dengan cost tinggi. Ia menolak pelaksanaan
isi perjanjian KMB 1949 yang amat memberatkan. Antara
lain Indonesia harus membayar kerugian yang diderita
Belanda akibat pemberontakan Diponegoro dan Perang
Aceh, juga kerugian warga Belanda akibat pengambil-
alihan perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan.
Pemberitaan koran-koran dan radio pada zaman Pre-
siden Sukarno hanya menyangkut pidato Bung Karno
dan para pembesar tentang Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian hari saya mencoba memahami Pancasila dan
UUD 1945 itu secara hukum dan konstitusi.
Pemahaman saya akan hukum terbentuk kerana kelak
setamat SMA saya menjadi mahasiswa pada Fakultas
Publisistik Universitas Padjadjaran tahun 1962-1963, dan
sejak tahun 1963 menjadi mahasiswa Fakultas Hukum
dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas In-
donesia. Menyelesaikan studi pada tahun 1976 sebagai
sarjana Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia.
Setelah itu pada tahun 1977-1982 dan 1982-1987 men-
jadi anggota DPR RI mewakili Partai Persatuan Pemba-
ngunan. Dalam kesempatan itu saya menjadi anggota
Badan Pekerja MPR, Wakil Ketua Komisi APBN, dan
Wakil Ketua Komisi X bidang ilmu pengetahuan.
Sebenarnya konstruksi berpikir hukum saya mulai ter-
bentuk ketika usia remaja belajar Ilmu Fiqh pada Mu’alim
Roji’un, kampung Pekojan, kemudian pada ayah di
rumah. Kemudian berkat didikan guru-guru saya yakni:
Mr Mohammad Rum, A. Dachlan Ranuwihardjo, SH, dan
Prof Hamid S. Attamimi, SH, guru dan mitra debat dalam
Pansus-pansus sejumlah RUU di DPR, konstruksi
Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945
195
dalam industri rokok kretek. Begitu juga owners
ondeneming di Jawa dan Sumatera, dan mereka yang
memiliki tanah particulier. Mereka tidak memakai uang
Bank dengan kattabeletje pejabat pemerintahan.
Sejak kemerdekaan, kapitalis-kapitalis Indonesia
adalah rata-rata kapitalis birokrat. Pengecualian kecil
sekali. Terlebih-lebih pada zaman Orde Baru dan Refor-
masi. Mereka menjadi kapitalis karena hubungan kroni
dengan birokrasi. Skandal BLBI adalah contoh yang
legendaris. Dan contoh-contoh makin banyak saja di era
Reformasi. Tidak ada perang yang tak berbuntut kehan-
curan ekonomi. PD I dan PD II berbuntut kehancuran
ekonomi dunia. Begitu juga perang Korea tahun 1952.
Krisis Indonesia diperparah dengan krisis Global yang
telah melibas Yunani dan Portugal. Krisis Global dise-
babkan karena Amerika Serikat mengeluarkan belanja
perang yang amat tinggi.
Perang Iraq dan Afghanistan setidaknya menelan biaya
lebih dari 10 Trilyun dollar. Bahkan ada yang memper-
kirakan 15 Trilyun Dollar. Federal Reserve harus bertang-
gung jawab pada investor yang membeli obligasi.
Maka diaturlah skenario bahwa krisis keuangan glo-
bal disebabkan pasar modal yang jatuh. Kejatuhan pasar
modal disebabkan karena jatuhnya saham-saham pe-
rumahan. Saham perumahan jatuh karena kredit macet.
Omong kosong ini dibeli oleh ekonom Indonesia baik
yang di pemerintahan maupun yang di luar. Hanya se-
jumlah kecil ekonom dan pengamat krisis yang tak mem-
percayai krisis pasar modal bibit krisis global.
Akhirnya bau bangkai tak dapat ditutup-tutupi. Dalam
beberapa kali pertemuan Menteri-menteri Keuangan
dimulai sejak di Sao Paolo Brasil minggu pertama No-
vember 2008 terungkap bahwa semua negara mengalami
krisis likuiditas, termasuk Amerika. Juga dalam beberapa
kali pertemuan G-20 di Amerika, delegasi negara-negara
Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945
197
sebabnya ketika Tarumanagara memerangi Salakanagara
dan mereka disuruh takluk, mereka pun takluk. Juga keti-
ka Majapahit diruntuhkan, tidak ada perlawanan sama
sekali. Para menak dan hulun, pendukung, kerajaan me-
ninggalkan Majapahit. Hal serupa terjadi ketika pela-
buhan Kalapa dirampas dan Padjadjaran diruntuhkan.
UUD 1945 merupakan sebuah susunan kesatuan hu-
kum yang jelas yang didasarkan pada staatfundamen-
talsnorm seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Staatfundamentalsnorm, norma dasar negara, adalah kelima
sila yang tercantum dalam Pancasila. Kelima sila meru-
pakan hogere optrekking, idealisasi tertinggi, dari segala
ideologi yang dipergumulkan di banyak negara.
Seperti yang dikatakan Ato Masuda, pergumulan ide-
ide di Indonesia dipicu oleh kebangkitan bangsa-bangsa
Asia yang disebabkan oleh kemenangan Jepang dalam
perang terhadap Rusia di Manchuria pada tahun 1904.
Inilah modal untuk bergerak ke depan sebagai bangsa.
Meskipun hidup memerlukan fantasi, tetapi cita-cita ke
depan untuk mencapai Indonesia Jaya sama sekali bukan
fantasi, tetapi tantangan sejarah bagi putra-putra Indo-
nesia.
Rakyat harus bersatu untuk memutuskan rantai ke-
miskinan yang membelenggu dirinya. Kita adalah rakyat,
dan harus bersama rakyat. Jangan dengan yang lain.
Dengan yang lain mungkin kita dapat tidur satu bantal,
tapi mimpi berlain-lainan. Dimana pun rakyat berada
mimpinya sama: Perubahan kontan untuk Indonesia
sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut maka;
1. Diperlukan konstitusi yang dapat mengatur bekerjanya
mekanisme kenegaraan secara benar, sehingga itu da-
pat menjadi kondisi bagi terselenggaranya perekono-
mian yang sehat dan mandiri untuk menyelamatkan
kehidupan rakyat. Dan itu adalah UUD 1945 sebagai-
mana ditetapkan oleh sidang PPKI tanggal 18 Agustus
Amin Arjoso
Pejuang UUD 1945
199
H. Amin Arjoso, SH (di ujung meja berbaju batik kuning) menggelar
sarasehan tentang amandemen UUD 1945 di kediamannya. Ini adalah
salah satu acara yang digelar beberapa tahun lalu. Hadir antara lain
Moch. Achadi, Soebagyo Anam (alm), Usep Ranawidjaya (alm), Hadori
Yunus (alm), Haryanto Taslam, Ki Utomo Darmadi, John Pakan, Sutrisno,
dan masih banyak tokoh nasionalis lainnya.
“Riungan” di Blok Q
LP Salemba
B
ermula dari runtuhnya rezim Sukarno dan
bangkitnya rezim Soeharto. Bersamaan itu pula,
ribuan orang ditangkap oleh rezim baru. Di
antara yang ribuan itu, satu di antaranya adalah
Koesalah Soebagyo Toer, seorang guru dan dosen bahasa
Rusia.
Aksi penangkapan ribuan orang oleh rezim Orde Baru
itu, bersamaan dengan momentum masuknya modal
asing. Kiblat rezim Orde Baru yang mutlak ke Barat,
mengakibatkan semua yang berbau “Timur” disingkir-
kan. Nah, kebetulan, Koesalah ini jebolan Universitas
Moskow, sehingga ia patut dicurigai sebagai ekstrem kiri,
karenanya harus ditangkap, bersama ribuan orang lain
yang pada hakikatnya “berseberangan” dengan rezim
Soeharto.
Presiden RI kedua itu, pada awal kekuasaannya be-
nar-benar memainkan sayap militernya (baca: Angkatan
“Riungan” di Blok Q
LP Salemba
201
Darat) untuk membatasi ruang gerak lawan-lawan po-
litik, bahkan mematikannya secara sosial. Kartu Tanda
Penduduk (KTP) mereka diembel-embeli kode “ET”
sebagai singkatan (Eks Tapol/Tahanan Politik).
Pada awal Orde Baru berdiri, penangkapan terhadap
lawan-lawan politik dikenal dengan istilah “Operasi
Kalong”. Sebelum dijebloskan ke LP Salemba, ribuan
tahanan politik itu ditahan di markas Opsus (Operasi
Kalong) di Jl. Gunung Sahari V. Di sana, karena saking
banyaknya tahanan, sampai-sampai banyak yang tidur
di emperan kantor. “Kalau pas hujan, kami basah kuyup
karena tampias,” kenang Koesalah.
Ia mencatat, masa penahanan di Gunung Sahari sekitar
empat bulan. Setelah itu, ribuan tahanan politik itu tidak
langsung dimasukkan LP Salemba, melainkan “transit”
di markas Lidiksus (Penyelidikan Khusus) Jl. Lapangan
Banteng Barat. “Sama seperti di Gunung Sahari, di markas
Lidiksus juga berjubel. Para tahanan pun tidur di emper-
an dan halaman kantor menggunakan tenda,” imbuhnya.
Pada masa-masa penahanan inilah ia kemudian ber-
baur dengan banyak tawanan politik lain, dari berbagai
latar belakang. Ada yang dituding terlibat langsung atau
tidak langung dengan PKI serta terlibat pada organisasi-
organisasi onderbouw seperti Lekra, BTI, dan lain-lain.
Bahkan, sekalipun anggota PNI (Partai Nasionalis Indo-
nesia), jika ditengarai “kiri”, tetap ditangkap.
Nah, beberapa tokoh PNI yang dituding “kiri” dan
ditangkap antara lain Amin Arjoso, Jhon Lumingkewas,
Kartjono, Sitor Situmorang, dan lain-lain. Menyebut na-
ma Kartjono, ia teringat bagaimana kedekatan hubungan
dia dengan Amin Arjoso. Bahkan saking dekatnya, mere-
ka juga pernah berseteru. “Saya tidak tahu sebab-musa-
babnya… tapi suatu hari, mereka bertengkar dan tiba-
tiba Kartjono marah kemudian mengangkat gelas berisi
air dan menyiramkannya ke arah Amin Arjoso,” kenang
“Riungan” di Blok Q
LP Salemba
207
Amin Arjoso dan keluarga,
berwisata ke Pantai Prigi yang
elok di Trenggalek - Jawa Timur
tahun 2005.
Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
A
pa, siapa dan bagaimana tentang Amin Arjoso,
saya sebagai istrinya tentu banyak memahami
dan tahu, terutama tentang kehidupan
pribadinya.
Amin Arjoso suami saya adalah seorang politisi yang
punya pendirian keras dan konsisten memegang prinsip.
Atas kepribadiannya itu, Amin Arjoso sering berbenturan
pendapat dengan teman-temannya yang pendiriannya
bertentangan.
Memang, sikap atau kepribadian seseorang terbentuk
selain karena genetika atau bawaan juga dipengaruhi fak-
tor lingkungan dan pengalaman hidup. Tak bisa di-
pungkiri, pasti hal tersebut juga tercermin dalam kese-
hariannya di lingkungan keluarga. Namun Amin Arjoso
–sebenarnya juga memiliki sisi lembut yang cukup
menonjol.
Amin Arjoso sangat menyayangi keluarga. Sewaktu
Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
209
anak kami, Azis belum lahir, ia sering mengajak istri
tercinta berwisata ke berbagai destinasi, baik di dalam
maupun di luar negeri. Dalam hal berwisata, kami merasa
memiliki kesamaan. Dengan cara “jalan-jalan” itulah kami
mengusir kejenuhan atas pekerjaan rutin yang sangat
menyita tenaga dan pikiran, sekaligus belajar dari apa
saja yang dilihat dan dialami.
Ketika Azis beranjak besar, acara jalan-jalan bersama
keluarga tetap dilaksanakan. Saya, mas Joso, Yuli, dan
Azis sering berwisata ke berbagai daerah di Indonesia
dan berkeliling Eropa bahkan kami juga sempat umrah
bersama-sama. Begitulah antara lain sisi lembut Amin
Arjoso. Beliau begitu perhatian dan mencintai kami,
keluarganya.
Memang, bentuk perhatian itu relatif. Apalagi jika
disoal bahwa Amin Arjoso sebagai pengacara maupun
politisi, memiliki tingkat kesibukan yang di atas rata-rata
kepala rumah tangga pada umumnya. Bahkan jika di-
hitung jumlah jam dalam satu hari yang berbilang 24 jam,
barangkali lebih dari separuhnya dihabiskan Amin
Arjoso di luar rumah.
Buat saya, hal itu tidak masalah. Sebab, saya sendiri
bukannya tidak punya kesibukan. Status saya sebagai
PNS Departemen Kesehatan dan juga pernah di Depar-
temen Sosial dan terakhir di BKKBN Pusat sering kali
mengharuskan beraktivitas di luar jam kantor, secara
waktu barangkali sedikit, tetapi dari yang sedikit itu
kami merasakan kehadiran Amin Arjoso sebagai suami
maupun kepala rumah tangga lebih dari cukup. Karena-
nya nyaris tidak pernah ada komplain, baik dari saya
maupun anak-anak.
Kehidupan keluarga kami tetap harmonis. Masing-
masing anggota keluarga tahu dan sadar posisi. Sekali-
pun begitu, saya mengakui bahwa dalam rumah tangga
tentu saja ada persoalan. Saya rasa semua keluarga juga
Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
211
suami) itu biasanya tidak sampai berlarut. Terlebih hari-
hari selanjutnya mereka sudah kembali menjalani ru-
tinitas kerja. Saya sebagai birokrat, dan Amin Arjoso
sebagai politisi yang memiliki kantor pengacara. Selama
menjabat anggota DPR, beliau tidak aktif sebagai peng-
acara. Beliau tidak mau ada interest di antara dua profesi
tersebut, sehingga banyak mendelegasikan kantor
pengacaranya kepada partner.
Selama mengisi fungsi sebagai legislator dan peng-
acara itulah saya makin melihat sosok suami yang gigih
dan banyak ide. Terus terang, saya adalah pengagum Mas
Amin Arjoso. Dan ternyata yang mengagumi Mas Amin
Arjoso juga bukan cuma saya, pernah saya dalam perja-
lanan dinas ke New York transit di Bangkok. Kebetulan
bertemu beberapa orang Indonesia, yang kemudian saya
ketahui bahwa mereka itu para pengusaha, yang juga se-
dang transit. Kami sempat ngobrol. Saya perkenalkan
bahwa saya adalah istri Amin Arjoso. Saya ‘surprise’ wak-
tu seorang di antara mereka mengatakan ‘Amin Arjoso
advokat terkenal. Saya heran kenapa mau menjadi
anggota DPR?’.”
Kekaguman saya kepada suami termasuk dalam hal
kiprah politik yang kemudian mendapat pengakuan juga
dari berbagai kalangan. “Wah”, kata berbagai pihak,
“dulu kalau dengar Amin Arjoso bicara, pasti kami me-
milih untuk mendengarkannya”. Juga banyak politisi PDI
Perjuangan yang mengaku, “Saya ini muridnya pak Amin
Arjoso”.
Pada waktu Sidang MPR yang melakukan aman-
demen UUD 1945, hampir setiap hari Mas Amin Arjoso
menjadi pembicara di dalam setiap debat atau dialog di
media massa. Bahkan pada waktu itu ada seseorang
pemuda yang ditugaskan Bapaknya dari Belanda untuk
meliput khusus kegiatan Amin Arjoso bahkan, pernah
suatu hari –ketika Amin Arjoso sudah terkena stroke—
Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
213
Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang mengakibatkan jatuhnya
banyak korban jiwa-pen). Saat-saat itu bisa dikatakan
merupakan klimaks dari upaya rezim Orde Baru mem-
berangus kebangkitan PDI Perjuangan yang mengangkat
icon Megawati (baca: Bung Karno).
Suami saya, sebagai anggota pengacara PDI-P, acap
kedatangan tokoh-tokoh elit partai, termasuk Megawati
Soekarnoputri. “Mbak Mega dan para elit PDI-P sering
ke rumah, mengadakan rapat-rapat terkait tragedi 27 Juli
itu. Sehingga ada kerabat yang menegur, ‘Mbak kan PNS,
kok berani menerima Ibu Mega di rumah?’ Saya jawab,
‘Kan yang menerima suami saya’.
Begitulah hingga roda zaman terus berputar, dan
kehidupan pun berjalan pada rel yang sudah digariskan.
Amin Arjoso pun terus berkutat dengan politik dan
politik. Concern-nya terhadap kebangsaan begitu tinggi.
“Beliau selain pekerja keras, juga merupakan sosok yang
bersemangat. Sampai-sampai pernah suatu kali, saat
kami mengadakan pesta pernikahan Juli, usai pesta dia
langsung pamit pergi rapat bersama Kwik Kian Gie…
yaaa… kami semua pun memakluminya”.
Satu hal yang terkadang ia sesalkan adalah, kemau-
annya yang keras, semangatnya yang tinggi dan kesu-
kaanya makan enak mengakibatkan sering lupa akan
kesehatan. Manusia toh bukan mesin. Pada saat fisik dan
pikiran diforsir, berat badan tidak terkendali dan kurang
olah raga tentu ada gangguan kesehatan yang terganggu.
Demikian juga kepada mas Amin Arjoso.
Sebagai istri yang juga seorang dokter, saya wajib
mengingatkan suami akan pentingnya menjaga kesehat-
an. Untuk keperluan check up kesehatan, saya pun mem-
buatkan appointment dengan dokter spesialis pada hari
dan jam tertentu, confirmed. Apa yang terjadi? “Pada hari
dan jam yang sudah disepakati, eh… dia tidak datang,
karena rapat, karena ini… karena itu…. Okelah, saya
Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
215
baik, ia bisa memahami dan minta maaf atas kemarah-
annya.
Apa yang disebutnya berbeda, bukan dalam konteks
sikapnya atas amandemen terhadap UUD 1945 yang
kemudian melahirkan “UUD 2002”. Saya mengaku men-
dukung sikap suami yang dengan gigih berada di garis
depan membela UUD 1945 (yang asli), meski untuk itu
ia tidak lagi dekat dengan PDI Perjuangan.
Sekarang, mas Amin Arjoso sudah tidak lagi di DPR.
Giliran saya yang menjadi anggota DPR, dari partai
Gerindra. Mulanya saya tidak berkeinginan berpolitik,
karena menurut saya, perilaku politik kita sering terlihat
kurang fair dan tidak konsisten. Dan, itu berbeda dengan
sifat saya yang apa adanya dan konsisten, dan kurang
bisa berdiplomasi.
Namun demi melihat visi dan misi Gerindra yang me-
nyatakan ‘kembali ke UUD 1945, membela rakyat kecil,
ekonomi kerakyatan dan mensejahterakan kehidupan
bangsa’, saya menyatakan “ya” sewaktu ditawari masuk
Gerindra, pada saat pendaftaran sudah hampir ditutup.
Tentu visi dan misi tersebut mewarnai perjuangan saya
di partai dan fraksi di DPR RI. Keputusan saya didukung
oleh suami yang yang menyatakan “visi dan misi Gerin-
dra bagus, silakan menerima tawaran tersebut.
Dalam hal berpolitik, saya banyak belajar dari suami.
Dalam hal belajar berpolitik setiap anggota DPR yang
baru wajib hukumnya untuk belajar kepada yang senior,
juga dari buku-buku dan berbagai pengalaman lainnya.
Prinsipnya setiap orang harus belajar seumur hidup.
Karakter mas Amin Arjoso yang bertanggung jawab,
gigih, konsisten dalam ide dan menyayangi keluarga
layak menjadi teladan para generasi muda. Dalam hu-
bungan berkeluarga setiap permasalahan harus disele-
saikan bersama sehingga keluarga selalu kompak dan
harmonis.
Merayakan ulang
tahun secara
sederhana di
rumahnya.
Sebelum momen
potong tumpeng,
Amin Arjoso
menggelar
sarasehan tentang
amandemen UUD
1945 di ruang
tengah
kediamannya yang
dihadiri puluhan
peserta.
Gigih, Konsisten,
tetapi Lembut
217
H. Amin Arjoso, SH beserta istri saat berada di Eropa.
UUD 2002
Meniadakan
Jati Diri Kita
A
hli filsafat G.W. Hegel mengemukakan suatu
filsafat, revolusi Prancis dengan asas-asasnya
tentang kebebasan dan kesamaan (liberte &
egalite) berakhirlah sejarah, dalam arti bahwa
perkembangan pemikiran manusia mengenai pengatur-
an kehidupan yang paling khas telah mencapai titik
akhir. Berdasarkan filsafat ini kemudian pada 1980 Francis
Fukuyama mengemukakan suatu tesis dalam bukunya The
End of History, dengan berakhirnya Perang Dingin antara
Barat melawan Timur yang dimenangkan demokrasi
kapitalisme, maka berakhirlah sejarah.
Hal itu berarti, bahwa ideologi Barat beserta asas-asas
dan lembaga-lembaga ketatanegaraan dan ekonominya,
atau dengan lain perkataan, demokrasi dan ekonomi lib-
eral merupakan titik akhir dari perkembangan kehidupan
manusia. Tidak ada lagi persoalan kecuali masalah-
masalah teknis yang dapat diselesaikan oleh para pakar.
DATA PENULIS
Nama lengkap: Arifin Sari Surunganlan Tambunan. Lahir:
Surabaya, 18 Maret 1924, menikah dengan Marie Sere Marthauli
br. Sinaga, dikaruniai 5 anak, 11 cucu, 2 cicit.
Pendidikannya dimulai dari Ika Daigaku di Singapura,
Akdemi Militer di Brastagi sampai yang terakhir Program Pasca
Sarjana S3 UI (1997). Di bidang kemiliteran pangkat terakhir
Brigadir Jenderal TNI (Pur).
Jabatan di bidang kemiliteran cukup banyak di berbagai
daerah, di antaranya Jaksa Tentara di Surabaya, Kepala
Kejaksaan Daerah Pertempuran Wil. Indonesia Timur, Kepala
Inspeksi Kehakiman di Kodam V Brawijaya, Kepala Perundang-
undangan Dir.Kehakiman TNI-AD, Hakim Ketua Pengadilan
Tentara Jakarta, Oditur Militer di Jakarta, Hakim Ketua
Mahkamah Militer Luar Biasa Jakarta.
Juga aktif di bidang sospol sebagai asisten khusus pimpinan
MPRS, anggota DPR(GR)/MPRS (1968-1987), Paban Ur. Poldagri
Dephankam, dosen di berbagai perguruan tinggi militer/swasta.
Sekitar 32 karya tulisnya sudah dibukukan, selain ratusan
tulisan yang diterbitkan oleh berbagai mass-media.
Tanda penghargaan yang diterima; Bintang Gerilya, Bintang
Sewindu, Bintang Eka Paksi Kl.III, Satya Lencana Perang
Kemerdekaan I dan II, Satya Lencana Gerakan Operasi Militer VII,
Satya Lencana Dwija Sisitha (3 kali berturut-turut), Satya Lencana
Penegak dan Satya Cikal Bakal TNI.
P
ernyataan Ketua Dewan Harian Nasional (DHN)
45, R. Soeprapto seperti tersebut di atas tentu
mengejutkan. Belum ada seorang pemimpin
pun yang dengan gamblang mengucapkan kali-
mat demikian. Soalnya legenda Malin Kundang dari Su-
matera Barat itu, sudah begitu melekat di hati kebanyak-
an anak bangsa ini. Si Maling Kundang yang berasal dari
keluarga miskin, tetapi setelah merantau kemudian
menjadi orang kaya, lantas malu mengakui ibunya yang
masih saja seperti dulu.
Sang ibu kecewa atas perbuatan anaknya itu, sehingga
ia meyumpahinya, agar Malin Kundang menjadi batu.
Benar saja, Malin Kundang berikut kapalnya, akhirnya
memang menjadi batu, kemudian terpuruk bagaikan
pulau di Teluk Bayur.
Mengapa sampai “wong Solo” yang lahir 12 Agustus
1924 itu mengambil kesimpulan demikian disampaikan-
Perubahan UUD
1945, Dialektika
Sebuah Konstitusi
P
erubahan Undang-Undang dasar 1945 (UUD’45)
masih dipersoalkan sebagian kelompok
masyarakat. Suara penolakan atas perubahan
itu makin nyaring dan mereka menginginkan
agar perubahan itu ditinjau lagi karena tidak sesuai
prosedur. Berangkat dari diskusi sehari di kantor Sinar
Harapan bertema “Pro-Kontra kembali ke UUD’45 Asli”
yang menghadirkan tokoh-tokoh yang pro dan kontra,
laporan khusus kali ini menyoroti soal tersebut.
“Hendaknya tidak ada komponen bangsa yang ber-
pikir untuk mundur dengan cara memutar arah jarum
jam sejarah kembali ke belakang, ke masa UUD’45 yang
terdiri atas 37 pasal, dan telah kita ketahui praktik penye-
lenggaraan negara berlandaskan konstitusi tersebut”.
Pernyataan tersebut dikemukakan Amien Rais empat
tahun lalu. Tepatnya 1 Agustus 2002, saat membuka Si-
dang Tahunan MPR. Agenda penting sidang ini adalah
pengesahan perubahan keempat UUD’45 dan pem-
Perubahan UUD 1945,
Dialektika Sebuah Konstitusi
233
bentukan Komisi Konstitusi sebagai badan baru untuk
menyempurnakan perubahan UUD’45.
Amien Rais yang kala itu Ketua MPR dan Ketua
Umum Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan, per-
ubahan keempat UUD’45 ini akan menuntaskan, me-
lengkapi dan menyempurnakan, sekaligus mengakhiri
perjalanan rangkaian gerbong reformasi.
Mengenai proses perubahan itu, Amien Rais menya-
takan MPR menerapkan prinsip kehati-hatian, sistematis,
komperehensif, dan berdasarkan kearifan yang tinggi. Di
sisi lain, kita juga menerapkan kaidah bahwa hal-hal yang
sangat fundamental dari UUD’45 tetap kita pertahankan.
MPR ketika itu juga membentuk Komisi Konstitusi yang
bertugas menyempurnakan hasil-hasil perubahan
pertama hingga keempat.
Dukungan penyelesaian proses akhir perubahan
keempat UUD’45 datang dari mantan Presiden Megawati
sehari sebelum pembukaan Sidang Tahunan. Megawati
selaku Ketua Umum PDIP mengumpulkan seluruh
Anggota Fraksi MPR dari PDIP dan menginstruksikan
untuk mensukseskan perubahan UUD’45 ini. Mega
bahkan menegaskan, perubahan UUD’45 ini memang
harus dituntaskan saat ini sebelum waktunya semakin
jauh dari sejarah pembentukannya pada tahun 1945.
Perubahan UUD’45 ini merupakan implementasi dari
tuntutan lama pejuang pro-demokrasi yang berujung
pada gerakan reformasi 1998. Proses perubahan itu
sendiri cukup panjang. Perubahan dimulai pertama pada
Sidang MPR pertengahan Oktober 1999, dilanjutkan
perubahan kedua pada tahaun 2000; perubahan ketiga
tahun 2001; dan terakhir perubahan keempat pada Sidang
MPR tahun 2002.
Konstitusi Baru
Meski secara politis perubahan UUD’45 mendapat
Debat
Penolakan terus disuarakan. Mereka yang meningin-
kan kembali ke UUD’45 asli makin bertambah. Mungkin
eksperimen politik hasil perubahan UUD’45 tidak mem-
buahkan hasil seperti yang diharapkan yang membuat
orang berfikir lebih baik seperti dulu sebelum ada
perubahan. Harian sore Sinar Harapan membuka ruang
bagi mereka yang menolak perubahan dan setuju per-
ubahan, termasuk pelaku sejarah perubahan. Oleh
karena itu, acara yang diberi nama “Pro-Kontra Kembali
Ke UUD’45 Asli” pun digelar Rabu,, 8 September lalu di
kantor SH.
Praktisi hukum Adnan Buyung Nasution yang dikenal
sangat mendukung perubahan, hadir. Rekan sepaham
seperti mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, mantan
Pimpinan Panitia Adhoc Slamet Effendi Yusuf dan
Hamdan Zoelva juga hadir. Dari mereka yang menentang
nampak Amin Arjoso, John Pakan, Leo Soetawidjaya,
Mohammad Isnaeni Ramdhan, Suparman Parikesit, dan
Ridwan Saidi yang datang dengan membawa buku-buku
konstitusi dan setunpuk dokumen. Diskusi dipandu
Sugeng Sarjadi yang tak mau terlibat dalam pro-kontra
namun lebih memilih mencari titik temu.
Buyung yang pada tahun 1992 menulis disertasi The
Aspiration for Constitutional Government in Indonesia; A
Soscio-Legal Study of Konstituante 1956-1959 menyatakan
dirinya sejak lama mengusulkan perubahan UUD ’45
239
Begini gaya berpolitik H. Amin Arjoso, SH di DPR. Komunikatif dan sportif.
Itu yang membuat kehadirannya di DPR disegani baik oleh kawan
maupun lawan politiknya.
P
raktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution
pernah memimpin Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) 1981 – 1983. Dalam
disertasinya di Utrecht, Belanda, The Aspiration
for Constitutional Government in Indonesia: A Soscio-Legal
Study of Konstituante 1956-1959, ia menyebutkan per-
ubahan perlu dilakukan karena UUD 1945 memiliki kele-
mahan atau cacat konseptual bagi pegangan berbangsa
dan bernegara. Berikut petikan wawancara wartawan SH,
Tutut Herlina.
Perihal:
Surat Bantahan
kepada Sinar Harapan
245
kolom yang sama dalam penerbitan berikutnya, dan
kami meminta agar Sinar Harapan meralat berita yang
tidak sesuai dengan fakta tersebut, oleh karenanya
Sinar Harapan harus meminta maaf kepada kami. Bila
tuntutan kami tersebut tidak dipenuhi, akan kami
tempuh upaya hukum baik secara Perdata maupun
Pidana.
Secara Hukum,
UUD ‘45 Asli
Masih Berlaku
M
antan anggota Komisi Konstitusi,
Mohamamad Isnaeni Ramdhan, yang
menjadi salah satu narasumber diskusi,
tetap berpendirian bahwa prosedur
perubahan UUD’45 keliru. Berikut petikan wawancara
wartawan SH, Daniel Duka Tagukawi, seusai diskusi.
Perjalanan
Perubahan
Konstitusi RI
K
eberlakuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, atau di-
singkat UUD’45 sebagai konstitusi Negara
Republik Indonesia telah mengalami pasang
surut dalam perjalanan bangsa ini. Selain pernah tidak
diberlakukan dan kemudian diberlakukan kembali,
UUD’45 sebagai konstitusi juga telah mengalami per-
ubahan untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman seba-
gaimana hukum yang berlaku dinamis, selama 4 kali.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, perubahan ini
(amandemen) membawa implikasi berubahnya susunan
lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia.
Awalnya UUD ’45 disahkan sebagai undang-undang
dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
UUD ini terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 Bab,
37 Pasal, 49 Ayat, 4 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 Ayat
Perjalanan Perubahan
Konstitusi RI
251
Aturan Tambahan), serta Penjelasan. Setelah dilakukan
4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal,
170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan
Tambahan. Berikut beberapa pokok dan momentum
sejarah yang terjadi pada konstitusi RI ini.
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta
yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
Sedang, naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun
pada waktu Sidang Kedua BPUPKI pada tanggal 10-17
Juli 1945. Pengesahan UUD ini terjadi pada 18 Agustus
1945 oleh PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia.
Tak lama, UUD ini diganti konstitusi RIS (Republik
Indonesia Serikat) sesuai dengan perubahan bentuk
negara sejak tanggal 27 Desember 1945.
Keberlakuan ini tak lama, karena sejak tanggal 17
Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS (Sementara)
1950.
Upaya konstituante untuk membuat UUD yang baru
tak kunjung selesai dan gagal mencapai kesepakatan
bulat. Situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 lebih
terfokus pada saling tarik-ulur kepentingan partai politik
yang ada di Konstituante. Ini melatarbelakangi keluar-
nya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali member-
lakukan UUD 1945. Secara aklamasi, DPR mengukuhkan-
nya pada tanggal 22 Juli 1959.
Tahun 1966 – 1988, Orde Baru menyatakan kembali
manjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan
konsekuen. Pada masa ini, konstitusi menjadi sangat
“sakral”, dengan adanya sejumlah aturan yang mele-
gitimasinya.
Di antaranya: Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983
yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan
Perjalanan Perubahan
Konstitusi RI
253
Tahunan MPR Tahun 2002, yang menerbitkan UUD ’45
dalam satu naskah yang terdiri dari Naskah Perbantuan
dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
Orang Amerika
Serikat di Balik
Amandemen
UUD 1945?
S
akralisasi UUD 1945 tentu bukan zamannya lagi.
Tapi sebaliknya, mengubah atau membuat UUD
baru bukanlah suatu hal yang mestinya segam-
pang yang ada dalam pemikiran LSM dan Ang-
gota MPR periode 1999-2004.
Menurut motor Gerakan Nurani Parlemen (GNP) yang
juga anggota Deperpu DPP-PDIP Amin Arjoso, ada sya-
rat-syarat yang harus ditempuh untuk melakukan per-
ubahan atau membuat UUD tersebut.
Pertama, jika pihak yang ngotot untuk mengubah atau
mengganti UUD itu adalah aktivis LSM, tokoh atau non
partisan lain, maka tak ada pilihan lain mereka harus
membentuk parpol, ikut pemilu, memenangkan pemilu
lalu mengusulkan perubahan UUD itu. Kedua, jika tak
mau pilihan pertama, tapi mau mengubah atau mengganti
UUD, silahkan bikin revolusi.
Bagi kalangan anggota Majelis, perubahan atau
U
ndang-undang No.10 Tahun 2004 pasal 2
berbunyi: “Pancasila merupakan sumber dari
sumber hukum Negara.” Penjelasannya;
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pem-
bukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai
dasar ideologi negara sekaligus dasar filosofis bangsa
dan negara, sehingga setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Apakah pemerintah, termasuk Presiden telah melak-
sananakan amanat Undang-Undang tersebut?
Suatu hal yang terjadi pada akhir-akhir ini, justru
pengimplementasian dasar negara Pancasila, sangat dira-
sakan inkonsistensi, bila dikaitkan dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Penandatangan Memorandum
Tentang Perubahan UUD 1945
Oleh MPR 1999 – 2002
NAMA PARA PENANDATANGAN
Permadi
Bambang Pranoto Angg. MPR/DPR RI
Angg. MPR/DPR RI
Pernyataan Sikap
Kembali ke UUD 1945
281
282 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
283
284 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
PERNYATAAN KOMPONEN BANGSA
UNTUK KEMBALI KE UUD 1945
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
293
setuju UUD 1945 dan Pancasila dipertahankan (per-
kecualiannya hanya pada PUDI).
(b). Pendapat Eksekutif tidak didengar oleh MPR da-
lam rangka musyawarah rutin ataupun tindakan
awalnya, hal ini berarti MPR telah “jalan sendiri”
dan mengabaikan partisipasi eksternal.
(c). Kesalahan MPR dalam melakukan amandemen
meliputi :
- segi interprestasi pasal 37 UUD 1945 asli (dimana
mengandung amanat agar kita berhati-hati merubah
dan tidak gampang mengubah UUD 1945, tidak
cukup hanya dengan suara terbanyak);
- segi prosedural;
- segi substansi;
- segi moral legitimacy.
(d). Para Anggota MPR melanggar sumpah jabatan
mereka untuk memegang teguh Pancasila dan
menegakkan UUD 1945.
B. Jalan Keluar
1. Melakukan koreksi total terhadap hasil amandemen.
2. Meminta pertanggungjawaban MPR terhadap kega-
galan dan kesalahan yang dilakukan. Apabila pertang-
gungjawaban itu tidak dilakukan MPR perlu demi-
sioner atau dibubarkan.
3. Secara khusus meminta pertanggungjawaban kepada
para pimpinan MPR. Dengan dipisahkannya antara
pimpinan DPR dengan pimpinan MPR. Dimaksudkan
agar MPR dapat lebih berfungsi efektif untuk meng-
ekspresikan diri sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia, sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai
locus dari kedaulatan rakyat Indonesia yang berdasar
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
295
296 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
297
298 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
299
300 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
301
302 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
303
304 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
305
306 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45
Pernyataan Sikap
Anggota MPR
307
SIKAP POLITIK
PARA ANGGOTA MPR YANG MENOLAK
MASUKNYA DPD (DEWAN
PERWAKILAN DAERAH) DALAM
SISTEM DAN STRUKTUR
KETATANEGARAAN NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
7 NOVEMBER 2001
Sikap Politik
Anggota MPR
309
Bentuk-bentuk Putusan Majelis dan
Perubahan Peraturan Tata Tertib
Periode Bentuk Putusan
Peraturan Tata Tertib Sifat Pengaturan
MPR/MPRS
1960 - 1966 Tap No. I/MPRS/1960 Tidak mengatur Ketetapan MPRS3
Tidak mengatur bentuk bentuk-bentuk
1
putusan putusan2
1
Almanak Lembaga-Lembaga Negara dan Kepartaian, Departemen Penerangan RI, Jakarta 1961
2
ibid
3
Mengikat ke dalam dan ke luar Majelis (l ihat ringkasan Ketetapan MPRS-RI, MPRS-RI dan Departemen Penerangan RI,
Jakarta, 1961)
4
Ketiga bentuk putus an mengi kat ke dal am dan ke luar Majelis (lihat has il SU MPRS IV, tahun 1966, Pradjna Parami tha, Jakarta
1971).
5
Keputusan sebagai Putusan Majelis tidak mengi kat ke luar Majelis
1
Marsilam Si manjunt ak, Pandangan Negara Integralist ik, Pust aka Utama Grafit i, Jakart a 1994.
2
UUD 1945 masih berlaku di Negara (state) Republik Indonesia dengan Ibukota Yogyakarta.
3
UUD RIS, Dua R, bandung, 1949.
4
Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics), Depart emen P.P dan K, jakart a, 1960
Album
315
H. Amin Arjoso, SH sebagai advokat beraudiensi dengan Kapolri.
Album
319
Amin Arjoso dan Aruan, dua sahabat karib sebagai advokat, saat
mengikuti Fifth General Assembly of the ASEAN Law Associaction di Bali,
Desember 1989.
Foto Bawah:
H. Amin Arjoso, SH
memberi sambutan
pada peluncuran buku
“Meluruskan Sejarah
Perjuangan
Pembebasan Iran
Barat” karya Dr.
Soebandrio.
Album
321
H. Amin Arjoso, SH memberi cendera mata kepada mantan Gubernur Jawa
Timur, M. Noer. Tampak Ridwan Saidi (kedua dari kanan) menyertai
kunjungan Amin Arjoso ke Surabaya.
325
326 Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso
Menegakkan Kembali UUD ‘45