You are on page 1of 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Asia Tenggara merupakan sebuah kawasan periferal, akan tetapi kawasan


kuno ini strategis dengan menghubungkan jalur perdagangan antara Cina dan
India. Dari situ pula, penyebaran kebudayaan kedua pengaruh bangsa tersebut
masuk sebelum akhirnya pengaruh Islam dan Barat masuk.
Penyebaran kebudayaan India, nampaknya lebih berpengaruh kuat di
kawasan Asia Tenggara daripada pengaruh budaya Cina. Walaupun tidak dapat
dipungkiri bahwa pengaruh budaya Cina juga besar di beberapa bagian di Asia
Tenggara. Hal ini terlihat dari corak-corak kerajaan-kerajaan kuno di Asia
Tenggara yang lebih banyak memperlihatkan corak kerajaan Hindu-Budha,
sehingga menunjukkan pengaruh budaya India yang signifikan. Barangkali,
pengaruh itu tidak hanya sebatas pada agama, tetapi pengaruh itu juga terdapat
dalam sistem politik dan kekuasaan di Asia Tenggara yang terlihat dalam konsepsi
politik, bentuk dan tata pemerintahan di beberapa kerajaan di Asia Tenggara.
Pengaruh budaya India terhadap masyarakat Asia Tenggara sangatlah besar
terutama pada konsep negara dan pemerintahan serta kedudukan raja. Pengaruh
ini ditandai dengan berdirinya negara-negara Hindu-Budha di wilayah Asia
Tenggara. Konsep negara sebagian besar merupakan wujud pengaruh India yang
berusaha menyelaraskan hubungan antara Raja, Dewa dan alam semesta.
Penyelarasan hubungan antara Raja, Dewa dan alam semesta diwujudkan dalam
sebuah konsep makrokosmos dan mikrokosmos.
Tentu banyak konsep-konsep politik dan kekuasaan dalam kerajaan-kerajaan
di Asia Tenggara ini. Namun nampaknya, konsep Dewa-Raja lah yang paling
mewakili konsep polilitik dan kekuasaan pada sebagian besar raja-raja di Asia
Tenggara seperti kerajaan kuno di Birma, Kamboja, Thailand, Nusantara, dan
sebagainya.
Pola pikir tentang kedudukan raja yang dipercaya bersifat Dewa tergantung
kepada kepercayaan yang dianutnya. Bagi agama Hindu, Doktrin Brahma menjadi

1
legitimasi kekuasaan Raja, sedangkan Doktrin Buddha menjadi legitimasi
kekuasan raja-raja di kerajaan bercorak Buddha. Teori-teori tentang inkarnasi dan
penitisan merupakan usaha atau alat untuk meligitimasi kekuasan. Selain itu juga,
merupakan upaya untuk meninggikan posisi seorang Raja. Terkadang, legitimasi
itu juga merupakan bentuk pembenaran atas kesalahan-kesalahan yang di lakukan
oleh raja.
Khususnya di Nusantara yang merupakan negeri dengan banyak kerajaan-
kerajaan bercorak Hindu-Budha telah memperlihatkan perwujudan konsep Dewa
Raja ini dalam sistem politik dan kekuasaan raja. Walaupun akhirnya pengaruh
Hindu-Budha tersebut lambat laun memudar seiring dengan masuknya pengaruh
Islam dan Barat (Eropa) kemudian. Namun, konsepsi mengenai kekuasaan dengan
konsep Dewa Raja ini selanjutnya tetap terlihat pada kerajaan-kerajaan bercorak
Islam di Nusantara. Meskipun terdapat beberapa perbedaan, namun konsepnya
tetap serupa. Hal ini dapat terlihat pada Kerajaan Mataram Islam yang akhirnya
terbagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta.
Keraton Yogyakarta yang selanjutnya bergabung dengan NKRI terhitung
lebih muda dibanding Kraton Surakarta,. Walaupun Kraton Yogyakarta bercorak
Islam dan telah mendapat pengaruh modernisasi yang merasuk kedalam aspek-
aspek kenegaraan dan masyarakat, namun perwujudan konsep Dewa-Raja tetap
melekat dalam kekuasaan raja, kehidupan kenegaraan dan kepatuhan masyarakat
sekitarnya terhadap sistem keraton. Meskipun konsep Dewa-Raja ini lebih kental
dengan nuansa Hindu-Buddha, akan tetapi konsep ini menjadi corak serta karakter
yang unik dan menarik dalam konsep kekuasaaan di Kerton Yogyakarta yang
bercorak Islam.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merasa
tertarik untuk membahas dan mengangkat judul ” SISTEM POLITIK DAN
KEKUASAAN DI ASIA TENGGARA: Konsep Dewa Raja dalam Tipe
Kepemimpinnan di Keraton Yogyakarta ”.

2
1.2. Rumusan dan Batasan Masalah

Dalam penulisan makalah ini kami membuat rumusan masalah yang


menjadi pokok pembahasan. Rumusan masalah dapat membatasi pembahasan
agar tidak melebar. Adapun Rumusan masalah yang kami tetapkan adalah
“bagaimana penerapan konsep politik dan kekuasaan di Keraton Yogyakarta?”
Agar permasalahan yang akan dikaji lebih jelas dan fokus, penulis akan
memberikan batasan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah singkat berdirinya Keraton Yogyakarta?
2. Bagaimana makna keraton dalam konsep kekuasaan dan pemerintahan
raja?
3. Mengapa Ibu Kota Yogyakarta menjadi simbol pusat magis kerajaan?
4. Bagaimana peranan kosmis raja dalam sistem ketatanegaraan di Keraton
Yogyakarta?
5. Bagaimana raja-raja Yogyakarta memperkokoh legitimasinya?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjawab berbagai pertanyaan


permasalahan yang telah dirumuskan sebagai berikut, yakni untuk :
1. Mendeskripsikan tentang sejarah singkat berdirinya Keraton Yogyakarta
2. Mengidentifikasikan makna keraton dalam konsep kekuasaan dan
pemerintahan raja.
3. Mendeskripsikan ibu kota Yogyakarta sebagai pusat magis.
4. Mendeskripsikan peranan kosmis raja dalam sistem ketatanegaraan di
Keraton Yogyakarta
5. menganalisis raja-raja Yogyakarta yang memperkokoh legitimasinya
dengan menggunakan gelar-gelar dan upaca-upacara keagamaan yang
dilakukan di Keraton Yogyakarta.

3
1.4. Metodologi Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode


historis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis
rekaman peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1986: 32). Sebagaimana
dikemukakan pula oleh Ismaun (2005: 35) bahwa metode ilmiah sejarah adalah
proses untuk menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peningggalan-
peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-
data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat
dipercaya.
Mengenai langkah-langkah dalam penulisan makalah ini menurut
Sjamsuddin (2007: 85-239) antara lain sebagai berikut :
1. Heuristik, yaitu proses pengumpulan sumber-sumber sejarah yang
berhubungan dengan makalah ini. Dalam tahap ini, penulis melakukan
pencarian sumber-sumber sejarah baik yang berupa wawancara, buku,
dokumen, maupun artikel. Realisasi dari tahap ini, penulis mencaba
mengunjungi beberapa perpustakaan yang dianggap mempunyai sumber-
sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji. Selain itu
juga kami mencoba mengkaji sumber-sumber artikel dari internet yang
dianggap relefan dengan pembahasan ini.
2. Kritik Sumber, merupakan langkah selanjutnya dari metode ilmiah sejarah
yang dilakukan ketika sumber-sumber sejarah telah ditemukan. Kritik
sumber terbagi kedalam dua, yaitu Kritik Eksternal dan Kritik Internal.
Kritik Eksternal ditujukan untuk menilai otentisitas sumber sejarah. Dalam
kritik ekstern dipersoalkan bahan dan bentuk sumber, umur, dan asal
dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa, instansi apa, atau atas nama
siapa. Dalam tahapan ini, kami mencoba menilai sumber-sumber sejarah
tersebut berdasarkan ketentuan dari kritik eksternal. Kritik Internal lebih
ditujukan untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan isinya,
kemampuan pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Pada tahap ini,
kami membandingkan isi dari sumber-sumber sejarah dari satu penulis
buku dengan penulis buku lainnya dengan maksud agar fakta-fakta sejarah

4
yang diperoleh lebih valid untuk mendukung pembahasan yang akan
dikaji.
3. Interpretasi adalah proses pemberian penafsiran atas fakta-fakta sejarah
yang telah dikritisi melalui kritik sumber. Dalam hal ini, proses ini
dilakukan untuk memberikan makna pada fakta-fakta sejarah agar dapat
mendukung peristiwa yang dikaji. Dalam tahap ini, kami memberikan
penafsiran pada fakta-fakta sejarah yang diperoleh dengan
menghubungkan beberapa fakta menjadi suatu kesatuan makna yang
sejalan dengan peristiwa tersebut.
4. Historiografi merupakan tahapan terakhir dari metode ilmiah sejarah
dalam penulisan makalah ini. Dimana dalam historiografi ini, fakta-fakta
yang telah melalui berbagai macam proses kemudian disusun menjadi satu
kesatuan sejarah yang utuh sehingga terbentuklah suatu makalah.

Untuk mendukung hasil sintesis, kami menggunakan pendekatan


interdisipliner yaitu pendekatan yang menggunakan satu disiplin ilmu yang
dominan, yang ditunjang oleh ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam hal ini, penulis
mengambil satu disiplin ilmu yaitu ilmu sosial yang berupa ilmu Politik,
Sosiologi, dan Antropologi.
Sedangkan teknik pengumpulan data yang kami gunakan dalam penulisan
makalah ini adalah studi kepustakaan, yaitu mencari sumber baik berupa buku,
artikel dan dokumen yang berkaitan dengan pembahasan yang kami kaji,
kemudian dikaji untuk dapat menganalisis tentang pokok bahasan yang kami
angkat.

1.5. Sistematika Penulisan

Mengenai sistematika penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah


sebagai berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN
Menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah dan batasannya,
tujuan, metode dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.

5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Menjelaskan secara singkat tentang sumber-sumber kepustakaan yang
dijadikan sebagai bahan referensi yang berhubungan dengan pokok pembahasan
yang juga disertai dengan analisis yang dapat mempermudah dalam memberikan
konsep dasar tentang masalah yang kami angkat..

BAB 3 SISTEM POLITIK DAN KEKUASAAN DI ASIA TENGGARA: Konsep


Dewa Raja dalam Tipe Kepemimpinnan di Keraton Yogyakarta
Bab ini merupakan bagian utama dari makalah yang berisi tentang kajian-
kajian seperti yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Ada pun rumusan
masalahnya yaitu Bagaimana sejarah singkat berdirinya Keraton Yogyakarta?
Bagaimana makna keraton dalam konsep kekuasaan dan pemerintahan raja?
Mengapa Ibu Kota Yogyakarta menjadi simbol pusat magis dari kerajaan?
Bagaimana peranan kosmis raja dalam sistem ketatanegaraan di Keraton
Yogyakarta? Bagaimana raja-raja Yogyakarta memperkokoh legitimasinya?

BAB 4 KESIMPULAN
Merupakan bagian terakhir dari makalah kami yang berisi pernyataan yang
terangkum dari hasil analisis semua fakta yang berhubungan dengan permasalahan
yang dikaji, yang diutarakan secara ringkas dan jelas.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Konsep Makrokosmos dan Mikrokosmos

Makrokosmo dan Mikrokosmos adalah kepercayaan tentang kesejajaran


antara jagad raya dan dua manusia (Geldern, 1972: 2 ). Konsep makrokosmos dan
mikrokosmos, menurut kepercayaan ini kemanusiaan itu senantiasa berada di
bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin dan pada
bintang-bintang dan planet-planet. Tenaga-tenaga ini mungkin menghasilkan
kemakmuran dan kesejahteraan atau berbuat kehancuruan, bergantung pada dapat
tindakannya individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat, terutama
sekali negara, berhasil dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka
dengan jagat raya. Individu-individu bisa mengesahakan keselarasan demikian itu
dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh astrologi, pengetahuan
tentang hari-hari baik dari-hari naas, dan banyak lagi peraturan-peraturan kecilan
lainnya. Keselarasan antara kerajaan dan jagat raya dapat dicapai dengan
menyusun kerajaan itu sebagai gambaran dari jagat raya dalam bentuk kecil.
Menurut doktrin Brahma jagad ini terdiri dari Jambudwipa, sebuah bentuk
lingkaran dan terletak di pusat, di kelilingi oleh tujuh buah samudera berbentuk
cincin dan tujuh buah benua lain berbentuk cincin juga. Di luar samudera terakhir
dari ketujuh samudra tadi, jagad itu ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat
besar. Di tengah-tengah Jambudwipa, jadinya di tengah-tengah jagad, berdirilah
gunung meru, gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan dan bintang-
bintang. Di puncaknya terletak kota dewa-dewa yang dikellingi pula oleh tempat-
tempat tinggal dari delapan lokapala atau dewa-dewa penjaga jagad. Maka
tampaklah oleh kita bahwa dalam hubungan ini ajaran-ajaran Brahma dan Budha
itu, walaupun mengandung perbedaan-perbedaan dalam hal-hal kecil, namun
bersesuaian juga tentang segi-segi pokoknya: bentuknya yang merupakan
lingkaran dan susunan dalam wilayah-wilayah yang berpusat pada pusat lingkaran
dengan mengelilingi Gunung Meru. Oleh karena sebab itu gambaran singkat dari

7
konsepsi ini mempunyai pengertian simbolis yang sama bagi pengikut-pengikut
setia dari kedua macam kepercayaan itu.

1.2. Konsep Kosmis

Kosmos (yaitu semua yang ada); berhubungan dengan jagat raya. Energi
kosmis berada dimanapun di kosmos ini. Dialah yang mengikat galaksi-galaksi,
planet-planet, manusia dan molekul. Dia adalah ruang antara semuanya. Energi
kosmis adalah ikatan yang membuat keseluruhan kosmos dalam keteraturan. Dia
adalah kekuatan kehidupan. Energi kosmis berkedudukan sangat penting untuk
mengatur kehidupan kita dan untuk memperkaya consciousness (kesadaran) kita.
Energi kosmis menjadi basis semua tindakan dan berfungsinya kita.
Sehingga dengan pengertian diatas kosmis bisa dikatakan sebagai inti dari
segala sesuatu yang ada, sehingga bisa kita lihat penerapan konsep ini sebagai inti
dari segalanya melalui konsep yang dilakukan Pancabuwana dalam meletakkan
keraton sebagai pusat. Pancabuwana memuat keblat papat lima pancer. Artinya,
bahwa buwana manusia selalu dilingkupi oleh empat anasir dan keraton sebagai
sentral (pancer) kehidupan.

1.3. Konsep Dewa Raja


Konsep dewa raja, yaitu raja sebagai perwakilan dewa atau titisan dewa.
Karena raja sebagai orang besar dan dianggap sebagai utusan Dewa untuk
mengelola atau mengatur bumi. Raja dianggap sebagai seorang tokoh yang
diidentikan dengan dewa (kultus dewa-raja). Kekuasaan raja dianggap tidak
terbatas. Ia tak dapat diatur dengan cara-cara duniawi, tetapi dalam dirinya
terdapat kekuatan yang mencerminkan roh dewa atau jiwa illahi yang
mengendalikan kehendak pribadinya. Negara dianggap sebagai citra kerajaan para
dewa, baik dalam aspek materialnya maupun aspek spiritualnya. Raja dan para
pengawalnya harus memiliki kekuasaan dan kekuatan yang sepadan dengan yang
dimiliki oleh para dewa. Konsep dewa raja ini juga dipergunakan oleh seorang
raja untuk melegistimasi dirinya sebagai titisan dari seorang dewa sehingga dapat
memperkuat posisinya dalam memegang kekuasaan.

8
1.4. Konsep Negara Mandala

Secara sederhana kata mandala dapat dipahami sebagai konfigurasi kosmis


yang menggambarkan ploting kedudukan dewa-dewa secara hierarkis. pandangan
ini, jagad besar (makrokosmos) itu harus berhubungan dengan mikrokosmos yang
bertemu dalam dalam satu titik di lingkaran kosmis itu. Dalam perspektif ini,
sebuah mandala, pusat (center, centrum) itu menjadi sangat penting.
Keharmonisan makrokosmos dan mikrokosmos sangat bergantung pada apa yang
terjadi di titik pusat ini. Pada mulanya, konfigurasi bentuk mandala itu
berkembang dari bentuk persegi yang mewakili keempat penjuru mata angin,
selanjutnya berkembang menjadi bentuk segi delapan, dua belas, tigapuluh dua,
dan seterusnya, sehingga membentuk diagram-diagram tertentu. Dari sejumlah
besar titik sudut itu maka bagian tengah merupakan bagian yang paling penting
karena menjadi tempat kedudukan arca utama atau simbol lain yang
menggantikan arca itu. Titik-titik di bagian luarnya secara melingkar dan
mengelilingi titik tengah tadi merupakan tempat kedudukan dewa-dewa lain yang
lebih rendah. Secara sistematis dan hierarkis, struktur dan hubungan antara dewa
yang satu dengan yang lain, baik yang setingkat maupun yang tidak setingkat,
baik secara vertikal maupun horisontal, secara keseluruhan saling terkait satu
sama lain. Secara integral, konfigurasi dari dewa-dewa itu dapat digunakan
sebagai sarana untuk meditasi dan di dalam ritual dapat berfungsi sebagai wadah
bagi dewa-dewa itu. Untuk membedakan antara yantra dan mandala itu sendiri
dapat dilihat melalui penggambaran dewa-dewa atau simbol-simbol tentang dewa
itu. Di dalam mandala, umumnya, dewa-dewa itu digambarkan dalam wujud yang
sangat raya dan lengkap hingga ke bagian-bagian detailnya. Sesuai dengan
fungsinya di atas, yaitu sebagai sarana meditasi atau sebagai wadah dari dewa-
dewa maka suatu mandala setidak-tidaknya dapat dibedakan dalam beberapa tipe
bentuk apakah ia berfungsi sementara ataukah ia berfungsi permanen. Suatu
mandala dapat diwujudkan dalam bentuk gambar atau lukisan, dapat terbuat dari
bahan-bahan yang bersifat plastis, seperti pasir, nasi, atau mentega. Namun, juga
dapat diwujudkan dalam bentuk komposisi sejumlah arca perunggu dan dalam
bentuk suatu bangunan.

9
Meskipun kata mandala pada dasarnya berangkat dari pengertian tentang
peta mengenai kosmos alam semesta dengan seluruh esensi perencanaannya, serta
asal-usul dan akhirnya, tetapi lalu juga memiliki implikasi politis di dalam
penerapannya, khususnya di bidang pemerintahan. Dalam struktur negara-negara
klasik, baik di Asia Tenggara daratan maupun kepulauan yang pernah tersentuh
oleh kebudayaan India, maka unit-unit politiknya, baik yang berskala regional
maupun supraregional diatur dan diorganisasikan menurut konsep-konsep model
pusat dan pinggiran yang secara keseluruhan menggambarkan mandala. Beberapa
contoh: Kerajaan Sukothai di Thailand menurut sumber-sumber tertulis terbagi
antara wilayah inti dan pinggiran. Kerajaan Angkor menurut Prasasti
Suryawarman I (1002-1050) disebutkan pembagian wilayahnya menjadi tiga,
yaitu praman, wisaya, dan sruk; yang berarti wilayah, distrik, dan desa, dan lain
sebagainya.

10
BAB 3
KONSEPSI POLITIK DAN KEKUASAAN DI ASIA TENGGARA:
Konsep Dewa Raja Dalam Tipe Kepemimpinan di Keraton Yogyakarta

3.1. Sejarah Berdirinya Kasultanan Yogyakarta

Sejarah berdirinya Kasultanan Yogyakarta diawali dengan perlawanan


Pangeran Mangkubumi sebagai protes karena pengaruh VOC sudah menguasai
Mataram. Disebutkan pada tahun 1742, pada masa Mataram diperintah Susuhunan
Paku Buwana II yang beristana di Kartasura, terjadilah pemberontakan yang
dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Peristiwa ini dalam sejarah dikenal dengan
sebutan Geger Pacinan (Suyami, 2008: 20).
Sebelum berdirinya Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan
Kadipaten Pakualaman, pada waktu itu yang ada hanya Keraton Kasunanan
Surakarta, pindahan dari Keraton Mataram Kartasura. Ketika istananya masih
berada di Kartasura, terjadi peristiwa pemberontakan orang-orang China (Geger
Pacinan) pada tahun 1740-1743. Paku Buwono II tidak berdaya menghadapi
pemberontakan ini, dan hanya dengan bantuan Belanda lah peristiwa itu dapat
dipadamkan. Karena istana Kartasura mengalami kerusakan yang parah sekali,
lalu ibu kota dipindahkan ke Desa Solo, yang kemudian disebut Surakarta.
Namun, pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono II di Keraton
Surakarta (1744), masih terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung
Mertopuro melawan Keraton Surakarta karena pengaruh VOC yang semakin kuat.
Namun oleh Pangeran Mangkubumi (adik Paku Buwono II) Tumenggung
Mertopuro dapat ditaklukannya.
Dalam suatu perundingan antara Paku Buwono II yang disampingi oleh
Pangeran Mangkubumi (penasehat kepercayaannya) dengan pihak Belanda yang
diwakili oleh Mr. Hoogendorf, utusan Belanda itu meminta Paku Buwono II untuk
menyerahkan seluruh wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC. Permintaan itu
sebagai tuntutan atas jasa Belanda ketika berhasil memadamkan pemberontakan
orang-orang Cina di Kartasura. Pangeran Mangkubumi tidak menyetujui
permintaan itu, meski ia tahu bahwa kedudukan Paku Buwono II sangat sulit.

11
Berawal dari masalah itu Pangeran Mangkubumi kemudian memohon izin dan
doa restu kepada Paku Buwono II, untuk menentang dan mengangkat senjata
melawan Kompeni Belanda/VOC.
Setelah mendapat restu dari Paku Buwono II, dengan memperoleh pusaka
tombak Kyai Plered, lalu pada tanggal 21 April 1747, Pangeran Mangkubumi
meninggalkan Keraton Surakarta menuju ke dalam hutan bersama keluarga dari
pasukannya yang setia, untuk bergerilya melawan VOC. Dalam mengadakan
perlawanannya itu, Pangeran Mangkubumi bergabung dengan RM. Said
(Pangeran Sambernyawa) yang sudah lebih dahulu menentang Paku Buwono II
dan VOC.
Sebelum Paku Buwono II wafat, kekuasaan seluruh tanah Jawa telah
diserahkan kepada VOC (16 Desember 1749). Karena itu yang
menobatkan/mengangkat raja-raja di tanah Jawa keturunan Paku Buwono II
adalah VOC. Setelah Paku Buwono II wafat, Belanda mengangkat RM. Suryadi
(Putra Mahkota) sebagai Sunan Paku Buwono III. Ia praktis jadi boneka, karena
menurut kontrak politik, raja tersebut hanya berkedudukan sebagai peminjam
tanah VOC.
Ketika pemerintahan Paku Buwono III ini, perlawanan Pangeran
Mangkubumi terhadap Belanda semakin menghebat. Dalam setiap pertempuran
pasukan Belanda selalu terdesak oleh serangan Pangeran Mangkubumi. Bahkan
ketika terjadi pertempuran sengit di Sungai Bogowonto, semua pasukan Belanda
termasuk komandannya mati terbunuh. Akhirnya Belanda meminta kepada
Pangeran Mangkubumi untuk berunding.
Kemudian terjadilah perjanjian antara ketiga pihak, yaitu Pangeran
Mangkubumi, Paku Buwono III dan Belanda / VOC. Perjanjian itu diadakan di
Desa Giyanti (Salatiga), pada tanggal 13 Februari 1755, maka disebut Perjanjian
Giyanti. Akibat dari perjanjian itu, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian,
yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Selanjutnya dengan daerah barunya itu, pangeran Mangkubumi mendirikan
Kerajaan Mataram Yogyakarta di wilayah Beringan, pada tahun 1755.

12
Setelah satu bulan Palihan Negari, yaitu tanggal 13 Maret 1755, Sri Sultan
Hamengku Buwono mengumumkan bahwa sebagian dari Nagari Mataram yang
sudah menjadi bagiannya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat. Sejak saat itu
Sri Sultan Hamengku Buwono lalu bersiap-siap untuk membangun ibu kota dan
Keraton. Sementara bangunan keraton sedang dikerjakan, beliau dengan para
pengikutnya bertempat di pesanggrahan yang terletak di Gamping, jaraknya lebih
kurang 5 km di sebelah barat bangunan yang sedang dikerjakan untuk ibu kota.
Tempat yang dipilih untuk ibu kota Ngayogyakatrta Hadiningrat adalah di
hutan beringan. Pemilihan tempat ini berdasarkan berbagai pertimbangan yang
antara lain adalah atas dasar pertimbangan untuk menghormati tempat bersejarah.
Pada masa Mataram diperintah oleh Sri Susuhunan Amangkurat Jawi, di
Beringin telah ada semacam kota kecil dan ada pesanggrahannnya yang disebut
Garjitawati. Kemudian pada zaman Sunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura,
nama Pesanggrahan ini diganti ’Nygayogya’. Pada masa itu, Ngayogya dijadikan
tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di
Imogiri.

3.2. Makna Keraton dalam Konsep Kekuasaan dan Pemerintahan Raja

Kepemimpinan masyarakat Jawa bertitik tolak pada pemerintahan yang


bersifat kerajaan atau istana centris. Masyarakat Jawa selalu berpedoman pada
kehidupan keraton. Mereka menjadikan Keraton Ngayogjakarta Hadiningrat dan
keraton Surakarta Hadiningrat sebagai pusat pemerintahan. Walaupun secara
nyata kedua keraton tersebut telah bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia namun segala kebijaksanaan yang diambil kedua keraton tersebut selalu
dipatuhi oleh masyarakat Jawa terutama yang bermukim di wilayah Yogyakarta
dan Surakarta atau Solo. Mereka sangat patuh dengan keputusan rajanya
(Hadiatmaja dan Endah, 2009: 81).
Seperti halnya konsep makrokosmos dan mikrokosmos di Asia Tenggara,
di Keraton Yogyakarta dikenal kesejajaran antara jagat raya dan dunia yang
tercermin dalam keselarasan antara kerajaan dan jagad raya. Dalam pembahasan
ini, kesejajaran tersebut dapat dilihat dari simbol-simbol keraton maupun

13
kerajaan. Walaupun konsep ini lebih dikenal dalam ajaran Budha di Asia
Tenggara, namun dapat kita analisis dari kerajaan di Nusantara yang telah
bercorak Islam, kendati gambaran itu agak kabur/memudar setelah adanya
pengaruh tadi Islam dan Eropa.
Secara morfologis kata ”keraton” terbentuk dari kata ’ratu’ dengan
mendapat awalan ka dan akhiran an (ke-ratu-an) yang kemudian luluh menjadi
’keraton/kraton’. Kata ’ratu’ berarti raja. Adapun kata ”keraton” berarti ’tempat
tinggal raja’ (Sutami, 2008:11). Sedangkan arti yang lebih luas lagi, dapat
diuraikan secara sederhana bahwa, lingkungan seluruh struktur dan bangunan
wilayah keraton mengandung arti tertentu yang berkaitan dengan salah satu
pandangan hidup Jawa yang sangat esesnsial, yaitu Sangkiang Paraning (dari
mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati) (Hertanto,
2008: 9).
Keraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada
tahun 1756 di wilayah Hutan Beringan. Nama hutan tersebut kemudian
diabadikan untuk nama pasar di pusat kota, yaitu Pasar Beringharjo. Sedang
istilah Yogyakarta berasal dari kata Yogya dan Karta. Yogya artinya baik, dan
Karta artinya makmur. Namun, pengertian lain menyatakan, bahwa Yogyakarta
atau Ngayogyakarta itu berasal dari kata dasar Ayu+Bagya+ Karta, menjadi
Ngayogyakarta.
Pusat wilayah Keraton Yogyakarta luasnya 14.000 meter persegi, dengan
dikelilingi tembok (benteng) setinggi 4 meter dan lebar 3,5 meter. Di setiap
sudutnya terdapat tempat penjagaan atau bastion, untuk melihat/mengawasi
keadaan di luar maupun di dalam benteng Keraton. Di sebelah luar benteng
dikelilingi oleh parit yang dalam yang disebut Jagang (sekarang sudah menjadi
pemukiman penduduk) .Bangunan Keraton terdiri dari beberapa bagian yaitu:
1. Tatag Pagelaran, Sitingil Utara dan sekelilingnya.
2. Kemandhungan Utara atau Keben dan sekelilingnya (termasuk Masjid
Suranatan dan Ratawijayan, tempat menyimpan kereta-kereta pusaka).
3. Sri Manganti.

14
4. Kedhaton (Inti keraton dengan pusat bangunan yang disakralkan yang
disebut Prabayeksa).
5. Kemandungan Selatan dan sekelilingnya.
6. Sitinggil Kidul (Selatan).
Raja beserta seluruh keluarganya tinggal di dalam istana keraton,
sedangkan para kerabat dan kaum bangsawan beserta para abdi dalem tinggal di
lingkungan sekitar keraton, di luar istana, yang nama tempat tinggalnya
disesuaikan dengan sifat atau nama penghuninya (Suyami, 2008: 13).

3.3. Ibu Kota Yogyakarta Sebagai Pusat Magis dari Kerajaan

Terdapat perbedaan makna dari adanya ibu kota di Asia Tenggara jika
dibandingkan dengan ibu kota di Eropa. Di Asia tenggara ibu kota bukan saja
sebagai pusat politis dan kebudayaan dari suatu bangsa, ia pun merupakan pusat
magis dari kerajaan. Dahulu upacara mengelilingi ibu kota merupakan sebuah
bagian-bagian yang sangat penting dalam upacara penobatan raja. Dengan upacara
pengelilingan ini raja bukan saja menjadi pemilik ibu kota melainkan juga seluruh
kerajaan. Memang susunan kosmologis dari keseluruhan negeri hanya dapat
dirupakan dengan jumlah dan letak propinsi-propinsi dan dengan fungsi serta
simbol-simbol gubernur-gubernurnya, tetapi arsitektur ibu kota bisa dibentuk
sebagai gambaran yang lebih riil meyerupai bentuk jagad raya, sebuah
mikrokosmos yang lebih kecil dalam makrokosmos, yaitu kerajaan tadi.
Peninggalan-peninggalan dari beberapa kota tua jelas sekali membuktikan
cita-pikiran kosmologis itu yang memang membayangi keseluruhan susunan
pemerintah. Untunglah sejumlah prasasti-prasasti dari beberapa bagian dari
kronik-kronik pribumi dapat membantu kita dalam memberikan tafsiran tentang
sisa-sisa arkeologi ini.
Dalam tata letak propinsi mau bangunan wilayah Yogyakarta memiliki
simbol-simbol magis. Secara garis besar, wilayah Kraton Yogyakarta memanjang
sepanjang 5 km, dari Panggung Krapyak di sebelah selatan hingga Tugu Kraton di
sebelah utara, terdapat garis linier dualisme terbalik yang bisa dibaca secara

15
simbolik filosofis. Sungai Code di sebelah timur dan Sungai Winongo di sebelah
barat, antara Gunung Merapi dan Laut Selatan.
Dari arah selatan ke utara mulai dari Panggung Krapyak, melambangkan
arti proses terjadinya manusia, mulai ketika masih berada di alam arwah (tempat
tinggi), sampai lahir ke dunia lantaran ibu dan bapak. Di sini Kraton sebagai
badan jasmani manusia, sedang Raja/Sultan adalah lambang jiwa sejati yang hadir
ke dalam badan jasmani.
Sedang dari arah utara ke selatan, melambangkan proses perjalanan
manusia pulang kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebagai asal dari segala apa
yang ada (dumadi). Oleh karena itu sebutan Sangkan Paraning Dumadi adalah
sebutan lain untuk Tuhan dalam pandangan hidup Jawa. Panggung Krapyak
adalah tempat tinggi, dalam hal ini adalah lambang asalnya manusia secara
esesnsial di sisi tuhan sebagai tempat yang tinggi.
Bangunan tugu yang merupakan yang merupakan batas utara wilayah
Keraton Yogyakarta, berjarak 2 Km dari Keraton. Bangunan tersebut pada zaman
dahulu berbentuk golong-gilig berarti Manunggaling Kawula Gusti
(manunggalnya raja dengan rakyat, sekaligus manunggalnya manusia dengan
Tuhan). Selanjutnya, antara Tugu hingga Keraton terdapat jalan utama yang
disebut Malioboro. Ada beberapa pendapat salah satunya cita-cita Sri Sultan
Hemengkubuwono I yang melihat jalan tersebut sebagai pengejawantahan jalan
hidupnya.
Gambaran sederhana adalah, Tugu Keraton Yogyakarta sebagai penjelmaan
lingga (laki-laki), dan Panggung Krapyak sebagai penjelmaan yoni (perempuan).
Keraton Yogyakarta sebagai lambang badan jasmani manusia yang berasal dari
laki-laki/Bapak (lingga) dan Perempuan/Ibu (yoni). Jadi, lingga + yoni = Keraton
Yogyakarta (Sangkan Paraning Dumadi).
Keraton Yogyakarta ini menghadap ke arah utara, dengan halaman depan
berupa lapangan yang disebut Alun-alun Lor (Alun-alun Utara), yang pada
jaman dahulu dipergunakan sebagai tempat mengumpulkan rakyat, latihan perang
bagi para prajurit keraton, dan tempat penyelenggaraan upacara adat, serta untuk
keperluan lainnya. Pada masa sekarang fungsi Alun-alun Lor hanya digunakan

16
untuk Upacara Gerebeg dan perayaan Sekaten. Di bagian tengah Alun-alun Lor
terdapat dua pohon beringin yang dikelilingi tembok, yang disebut Beringin
Kurung (Waringin Kurung). Dua pohon beringin yang bersebelahan itu, masing-
masing bernama Kyai Dewadaru (sebelah barat), bibitnya berasal dari Majapahit,
dan Kyai Wijayadaru (sebelah timur), bibitnya berasal dari Pajajaran. Kedua
pohon beringin itu sebagai simbol, bahwa di dunia ini terdapat dua sifat berbeda
yang saling bertentangan (dualisme). Sedangkan pohon beringin yang
mengelilingi Aliun-alun Lor ini jumlahnya 62 pohon, serta ditambah dengan 2
pohon yang berada di tengah, sehingga jumlah seluruhnya menjadi 64 pohon
beringin. Jumlah 64 itu menunjukkan usia Nabi Muhammad SAW ketika beliau
wafat (menurut perhitungan tahun Jawa).
Dahulu di antara kedua beringin kurung tersebut sering digunakan untuk
’pepe’, yaitu suatu cara yang dilakukan oleh rakyat untuk minta keadilan kepada
rajanya dengan cara duduk bersila diantara kedua pohon beringin kurung dengan
mengenakan pakaian putih.

3.4. Peranan Kosmis Raja dalam Sistem Ketatanegaraan di Keraton

Yogyakarta

Peranan kosmis dari seorang raja merupakan alat seorang raja untuk
meligitimasi kekuasaannya. Kita ambil contoh di Birma pelegitimasian kekuasaan
raja disimbolkan dalam suatu keharusan memiliki empat orang permaisuri utama
dan empat orang peramaisuri tingkat bawahan yang mempunyai gelar-gelar
berdasarkan arah mata angin yaitu “permaisuri utara dari istana”, “permaisuri
barat”, “permaisuri perumahan selatan” dan sebagainya. Tanda-tanda pada masa
yang terlebih dahulu kamar-kamar permaisuri dibentuk menyerupai sebuah
lingkaran yang mengeliingi kamar raja di tengahnya sebagai pusatnya. Hal ini
memperlihatkan peranan raja sebagai pusat dari alam sejagad dan sebagai wakil
dari indera, raja dewa-dewa di swarga pada puncak gunung Meru.
Sir James George Scott menyatakan bahwa kegagalan Raja Thibaw (Raja
terakhir Birma) yang tidak dapat memenuhi ketentuan yang telah ada itu dan

17
berdasarkan konsep kosmik itu, memunculkan kegelisahan pada rakyatnya.
Kegelisahan ini dianggap lebih besar dibandingkan akibat dari penyembelihan
karib bait Raja yang dekat. Memeperlihatkan betapa pentingnya konsep kosmik
itu (Robert Heine Geldern, 1972 :12).
Kosmis di Keraton Yogyakarta disimbolkan kedalam susunan istana
(keraton) dengan ruangan-ruangan yang ada di dalamnya dan gerbang-gerbang
yang mengelilinginya. Bangsal Kencana merupakan pusat raja memerintah yang
menyatu dengan Bangsal Prabeyaksa merupakan tempat penyimpanan senjata-
senjata pusaka keraton. Dalam bangsal Prabeyaksa ini terdapat sebuah lampu
minyak Kyai Wiji, yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak padam. Kedua
Bangsal ini dikelilingi oleh pelataran Kedhaton, sehingga untuk mencapai pusat,
harus melewati halaman yang berlapis-lapis menyerupai rangkaian bewa (ombak)
di atas lautan. Tatanan spasial Keraton ini bagaikan gunung dan dataran Jambu
Dwipa, yang dipandang sebagai benua pusatnya jagad raya.
Tugu dan Bangsal Manguntur Tangkil atau Bangsal Kencana (tempat
singgasana raja), terletak dalam garis lurus, ini mengandung arti, ketika Sultan
duduk di singgasananya dan memandang ke arah Tugu, maka beliau akan selalu
mengingat rakyatnya (manunggaling kawula gusti).
Dalam kerajaan-kerajaan Asia Tenggara bagian daratan, ketatanegaraan
berdasarkan pada penjuru mata angin, untuk sebagaian besar ditambah lagi dan
diubah oleh adanya pembagian jabatan-jabatan di “kanan’ dan “kiri”, kanan dan
kiri dalam hal ini berkenaan dengan posisi yang disediakan pada saat upacara-
upacar. Pejabat-pejabat yang bertugas di dalam istana, mereka menempati tempat
di sebelah kanan raja. Sedangkan pejabat-pejabat luar istana menempati sebelah
kiri raja (Geldern, 1982: 14). Dalam implementasi di Keraton Yogyakata sendiri,
pembagian jabatan itu diinterpretasikan ke dalam pembagaian pejabat luar keraton
(peprintahan jawi) dan dalam keraton (peprintahan lebet). Pejabat dalam keratin
bertugas mengurusi administrasi di dalam istana, seperti mengurus keuangan dan
mengurus keprajuritan. Pejabat di luar keraton bertugas menjaga dan mengawasi
hal-hal yang terjadi di luar keraton (Poesponegoro, 1993: 11-12).

18
3.5. Legitimasi Raja di Keraton Yogyakarta

Ketika kita membicarakan mengenai bagaimana seorang raja untuk


menguatkan legitimasinya di Keraton Yogyakarta ini, sedikitnya ada dua konsep
yang harus diperhatikan. Pertama, gelar raja yang dipakai raja; Kedua, upacara
keagamaan. Dengan kedua konsep tersebut, kita dapat mengetahui bagaimana cara
raja-raja di Yogyakarta dapat menguatkan legitimasinya.
Raja mempunyai kekuasaan sentral di dalam wilayah negaranya. Keabsahan
(legitimacy) kedudukan dan kekuasaan raja diperoleh karena warisan menurut
tradisi. Apabila pada masa didirikannya negara oleh Panembahan Senopati pada
tahun 1575, otoritas raja lebih banyak didasarkan pada charisma dan kelebihan
kemampuan pribadinya, maka pada masa-masa kemudian otoritas raja telah
dilembagakan menjadi tradisi (Poesponegoro, 1993: 5).
Gelar Sultan Kraton Yogyakarta adalah “Kanjeng Sultan Hamengkubuwana
Senapati Ing Nalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah”, secara
singkat hanya gelar ketiga yang yang dijadikan gelar panggilan di kraton
Yogyakarta yaitu Hamengkubuwana. Gelar tersebut memiliki makna
Ngayogyakarta Adiningrat, yang menyiratkan bahwa sultan Hamengkubuwana I
mengidentifikasikan dirinya dengan Wisnu, sebab Hamengkubuwana berarti
“Yang Memelihara Dunia”, jadi Wisnu. Ngayogyakarta Adiningrat berarti
“Ayodya Yang Makmur, Yang Indah di Dunia”. Ayodya adalah nama ibukota
kerajaan Rama, dan Rama adalah inkarnasi Wisnu. Dalam babad-babad, Sultan
Hamengkubuwana sering dikatakan sebagai Wisnu yang sedang turun ke bumi.
Raja-raja di Jawa juga memakai gelar Panembahan, Susuhunan (Sunan),
atau Sultan. Agama Islam diangkat menjadi agama Negara. Gelar Sayidin
Panatagama yang berarti orang yang ahli dibidang keagaamaan, sering dipakai
raja-raja Yogyakarta untuk menunjukan bahwa meraka dianggap sebagai pemuka
agama. Penggunaan gelar Khalifatullah juga menunjukan adanya unsure
keagamaan dari kedudukan raja (Poesponegoro, 1993: 6). Penggunaan kedua
gelar tersebut, tentu tidaklah lepas dari adanya sinkretisme antara Islam dengan
unsure-unsur pra-Islam. Sinkretisme ini Nampak pada penarikan garis geneologi
raja-raja di Jawa pada dua cabang nenek moyang, pertama, cabang kanan

19
(panengen) sampai pada nabi-nabi dalam agama Islam dan kedua, cabang kiri
(pangiwo) yang berakhir pada figure dewa-dewa agama Hindu.
Raja dipandang sebagai pusat kosmos dan dari raja terpancar kekuatan yang
berpengaruh pada alam maupun masyarakat. Penempatan raja sebagai keturunan
nabi-nabi dan dewa-dewa dimaksudkan untuk memperkokoh keabsahan
(legitimacy) sebagai raja (Geldern, 1982: 18). Anggapan ini dikaitkan dengan
kepercayaan magis dari wahyu raja (pulung ratu) dan konsep tentang pewaris
keturunan darah raja (trahing kusuma rembesing madu). Di kalangan masyarakat
Jawa sendiri terdapat anggapan bahwa hanya orang yang masih mempunyai darah
rajalah yang dapat menjadi raja. Sehingga raja yang berkuasa sering dianggap
masih keturunan darah dari raja-raja masa lampau. Sikap hidup masyarakat Jawa
yang lebih memilih pemimpin bukan karena atas dasar rasional tetapi emosional.
Oleh karena itu, kharisma lebih penting dari pada kemampuan dalam memimpin.
Wajar jika pemimpin yang kharismatik lebih disukai dari pada pemimpin rasional
(Amin, 200: 214). Bahkan untuk lebih menguatkan legitimasinya, Sultan juga
memerintahkan pujangga-pujangganya untuk menulis sejarah Jawa dengan
maksud untuk memperlihatkan bahwa Sultan tersebut adalah penerus sah
penguasa-penguasa Majapahit (Sofyan, 2004: 119-120).
Disamping itu gelar “Senapati Ing Nalaga”, menunjukkan bahwa dia juga
sebagai seorang panglima perang, yang mahir dalam bidang peperangan.
Legitimasi kekuasaan ini juga dapat kita lihat dari silsilah raja-raja Mataram yang
menunjukkan keunggulan trah, karena dari pihak ibu, Senapati sebagai pendiri
dinasti, adalah keturunan para “wali”. Sementara itu dari pihak ayah, dia adalah
keturunan raja Majapahit. Dengan demikian orang mendapat kesan, bahwa dinasti
Mataram memang berhak dan layak memerintah kerajaan.
Pandangan rakyat terhadap raja di atas lebih memperkuat otoritas raja dan
sebaliknya memungkinkan raja untuk menuntut loyalitas sepenuhnya dari rakyat.
Dalam kitab Wulang Reh, tercantum ajaran yang menekankan agar rakyat
mengabdi dengan sepenuh hati pada raja, raja dianggap sebagai Tuhan dan
mengabaikan perintah raja sama dengan mengabaikan perintah Tuhan. Raja
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kerajaan tercermin dalam kata

20
ingsun (aku) di dalam angger-angger (peraturan-peraturan) kerajaan, seperti “ora
ingsun lilani” (tidak kuperkenankan), “bakal ingsun patrapi paukuman” (akan
kujatuhkan hukuman) dan sebagainya (Poesponegoro, 1993: 8).
Anggapan tentang adanya hubungan mistis antara raja-raja di Jawa dengan
Ratu Kidul menempatkan diri raja tidak hanya sebagai manusia biasa, tetapi
manusia yang mempunyai kemampuan dan kekuatan di atas kodrat. Anggapan
adanya hubungan akrab tersebut diperkuat dengan padanya ritual-ritual khusus,
seperti adanya tarian Bedaya Ketawang, upacara grebeg.

21
BAB 4
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas kelompok kami menyimpulkan, konsep-


konsep pelegitimasian yang digunakan di wilayah Asia Tenggara merupakan
sebagai sebuah upaya untuk mengangkat dirinya sendiri untuk berkuasa, dimana
pelegitimasian ini bagaimanapun bentuknya pada prinsipnya berupaya untuk
meyakinkan orang lain bahwa hanya dirinyalah yang pantas berkuasa untuk
menjadi pemimpin negara sekaligus pemimpin spiritual seperti halnya di daerah
Yogyakarta.
Di daerah Yogyakarta pemimpin pemerintahan juga pemimpin spiritual,
yang kemudian digambarkan dalam sebuah ibu kota yang menjadikan sebagai
pusat magis yang menandakan keharmonisan antara sang pencipta, pemimpin
pemerintah/spiritual dan rakyat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Amin, D. (Eds). (2000). Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.

Endraswara, S. (2003). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.

Geldern, R. H. (1982). Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia


Tenggara. Jakarta: CV. Rajawali.

Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Hadiatmaja, S dan Endah, K. (2009). Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa.


Yogyakarta: Grafika Indah.

Heine, Robert. Geldern; 1972; Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di
Asia Tenggara: Jakarata: CV Rajawali.

Heryanto, F. (2003). Menganal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta:


Warna Grafika.

Ismaun. (2005). Sejarah Sebagai Ilmu. Bandung: FPIPS UPI Bandung.

Kuntowijoyo. (2004). Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Ombak.

Poesponogoro, M. D. dan Notosusanto. N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia IV


(Edisi ke-4). Jakarta: Balai Pustaka.

Reid. A. (2004). Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia.

Ricklefs, M.C. (2004). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi.

23
Sjamsuddin, H. ( 2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sofyan. R. et al. (2004). Merumuskan Kembali Interaksi Islam-Jawa. Yogyakarta:


Gama Media.

Suyami. (2003). Upacara Ritual di Kraton Yogykarta: Refleksi Mithologi dalam


Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.

Sumber Internet

Didu. (2009). Raja-Raja Yogya [Online]. Tersedia:


http://masdidit88.wordpress.com/2009/12/18/raja-raja-yogya/. [27 Maret
2010].

EdsJok. (____). Cosmic Energi (Energi Kosmis). [Online]. Tersedia:


http://bekalkembali.blogspot.com. [31 Maret 2010]

Fauzan, A. (2005). Efek Berhaji [Online]. Tersedia:


http://alvifauzan.blogspot.com/2005/01/efek-berhaji.html. [27 Maret 2010].

Runga, Mali Abraham. (2009). Gempa Politik. [online]. Tersedia:


http://web.bisnis.com/pojok-kafe/archives/189 [12 April 2010]

Soeroso. (1998/1999). Jantra dan Mandala dalam Arsitektur Candi. Berkala


Arkeologi Sangkhakala No. III/1998-1999. Medan: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional – Balai Arkeologi Medan. [online]. Tersedia:
http://siwagrha.wordpress.com/2007/09/20/21/ [12 April 2010]

Tede. (___). Pembudakan dan Pemusyrikan di Keraton Berkedok Kebudayaan


[Online]. Tersedia: http://www.nahimunkar.com/pembudakan-dan-
pemusyrikan-di-keraton-berkedok-kebudayaan/. [27 Maret 2010].

24
Wikipedia. (___). Daftar Raja Jawa [Online]. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_raja_Jawa. [27 Maret 2010]

_____. (2008). Roh Yogya untuk Indonesia Raja Keraton Ngayogyakarta


Hadiningrat [Online]. Tersedia: http://www.hu-
pakuan.com/sosokdetail.php?idberita=20080102135237. [27 Maret 2010]

_____. (2001, 19 November). Menag: Kraton Yogya Merupakan Titik Puncak


Kebudayaan Jawa Islam. Gatra [Online]. Tersedia:
http://www.gatra.com/artikel.php?id=12805. [27 Maret 2010]

25

You might also like