You are on page 1of 10

Pentingnya Komunikasi Dakwah

Dakwah merupakan suatu sistem yang penting dalam gerakan-gerakan Islam. Dakwah dapat
dipandang sebagai proses perubahan yang diarahkan dan direncanakan dengan harapan
terciptanya individu, keluarga dan masyarakat serta peradaban dunia yang diridhai Allah SWT,
seperti juga tujuan Perhimpunan Persatuan Umat Islam (PUI). PUI dalam amal usahanya adalah
untuk perbaikan (ishlah), yang kita kenal Islahuts Tsamaniyah/delapan perbaikan. Perbaikan
aqidah, perbaikan syari’at, perbaikan pendidikan dan seterusnya. Semua itu tidak terlepas dari
proses dakwah dan proses komunikasi.
Dakwah dalam dataran normatif dan praktis, tidak terlepas pula dari proses komunikasi.
Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian dan penerimaan informasi kepada orang lain.
Informasinya yang disampaikan adalah pesan-pesan agama, nilai atau aturan Allah SWT, Maka
itulah juga dakwah. Maka diantara komunikasi dengan dakwah secara konsepsional mungkin
berbeda, tetapi secara operasional adalah mungkin sama.
Oleh karena itu pada kesempatan ini ingin kita diskusikan apa itu komunikasi? Apa itu dakwah?
Pengertian Komunikasi
Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang strategi komunikasi dakwah, kiranya perlu sekali
untuk mengetahui terlebih dahulu pengertian komunikasi, baik secara etimologis (bahasa)
maupun secara terminologis (istilah).
Pengertian Komunikasi Secara Etimologis
Pengertian komunikasi secara etimologis menurut Onong Uchyana (1986: 64 ) sebagai berikut :
“Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin Communicatio, dan perkataan ini bersumber pada
kata Communis. Perkataan communis tersebut dalam pembahasan kita ini sama sekali tidak ada
kaitannya dengan partai komunis yang sering dijumpai dalam kegiatan politik. Arti Communis di
sini adalah sama, dalam arti sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal”.
Kemudian menurut Gunter Kuslich, dalam buku Phil Astrid Susanto “Ilmu Komunikasi Teori
dan Praktek” sebagai berikut :
“Perkataan komunikasi berasal dari perkataan “Communicare” yaitu yang di dalam bahasa latin
mempunyai arti “berpartisipasi” ataupun “memberitahukan” perkataan “Communis” berarti
“milik bersama” atau “berlaku dimana-mana”, sehingga “communis opini” mempunyai arti
“pendapat umum” ataupun “pendapat mayoritas”, (Phil Astrid S. Susanto, 1973).
Dari dua pengertian komunikasi secara bahasa di atas menjelaskan bagi kita, bahwa asal kata
komunikasi dari bahasa Latin. Dua ahli komunikasi di atas memang berbeda dalam pengambilan
asal kata komunikasi, namun pada hakekatnya sama, yakni bahwa komunikasi mempunyai arti
memberitahukan atau depat dimengerti bersama.
Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat komunikasi terdapat
kesamaan makna mengenai sesuatu yang dikomunikasikan. Jelasnya jika seorang mengerti
tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi berlangsung dengan
perkataan hubungan antara mereka itu komunikatif. Sebaliknya jika ia tidak mengerti tentang
sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi antara orang-orang itu tidak
komunikatif.
Pengertian Komunikasi Secara Terminologis
Dalam memberikan pengertian komunikasi secara terminologis para ahli berbeda, diantaranya :
Menurut Onong Uchyana Effendi (1986 : 6 ) adalah : Penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau prilaku, baik
langsung secara, lisan, maupun tak langsung secara media.
Menurut Wilber Schramm sebagai berikut : When we communicate, we are trying to establish a
commonness with someone. That is we are trying to shore information, an idea or an attitude, …
communication always requires at least three element, the source, the message, and destination.
(Toto Tasmara, 1986:1).
Artinya, ketika berkomunikasi, kita sedang mencoba mengadakan sebuah pertukaran pikiran
dengan seseorang. Hal itu berarti kita sedang mencoba menginformasikan sebagian informasi,
baik ide maupun sikap, … Komunikasi selalu membutuhkan sedikitnya tiga elemen (unsur);
sumber, pesan dan tujuan.
Menurut Carl Hovland, Komunikasi adalah :
“Communication is the process by which an individual (the communicator) transmit stimuli
(usually verbal symbol) to modify the behavior of other individual”. (Toto Tasmara, 1986 : 3 ).
Yang kira-kira begini artinya : Komunikasi adalah suatu proses dimana individu (komunikator)
memberikan rangsangan (biasanya sistem verbal) untuk merubah tingkah laku individu yang lain
(komunikan).
Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab
pertanyaan sebagai berikut, Who says what in which channel to whom with what Effect. ( Onong
Uchyana, 1988:13).
Yang artinya kira-kira begini : Siapa pesan apa media apa untuk siapa serta bagaimana atau apa
yang diharapkan.
James A. P. Stoner, dalam bukunya yang berjudul “Manajemen” menyebutkan bahwa
komunikasi adalah proses dimana seseorang berusaha memberikan pengertian dengan c cara
pemindahan pesan.
John R. Sehewerhorn C.S dalam bukunya yang berjudul “Managing Organizational Behavior”
menyatakan, bahwa komunikasi itu dapat diartikan sebagai proses antara pribadi “dalam
mengirim dan menerima simbol-simbol yang berarti bagi kepentingan mereka.
William P. Glueck, dalam bukunya “Management” menyatakan bahwa komunikasi dapat dibagi
dua bagian utama, yakni :
1. Interpersonal Communications, komunikasi antar pribadi, yaitu proses pertukaran
informasi serta pemindahan pengertian antara dua orang atau lebih dalam suatu kelompok
kecil manusia.
2. Organizational Communications, yaitu dimana pembicara secara sistematis memberikan
informasi dan memindahkan pengertian kepada orang banyak di dalam organisasi dan
kepada pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga di luar yang berhubungan.
(A. W. Wigjaya, 1986 J 8).
Dari beberapa pengertian komunikasi menurut para ahli di atas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa pengertian komunikasi secara terminologi adalah : Suatu proses penyampaian
dan penerimaan informasi, ide, atau gagasan kepada atau dari orang lain melalui simbol untuk
merubah sikap dan tingkah laku sesuai dengan yang diinginkan.
Pengertian yang sangat sederhana penulis dapat kemukakan, bahwa komunikasi adalah
penyampaian informasi, ide, gagasan kepada orang lain melalui simbol untuk merubah sikap atau
tingkah laku sesuai dengan yang diinginkan.
Komponen-komponen Komunikasi
Dalam memaparkan komponen-komponen tidak bisa lepas dari pengertian komunikasi yang
telah dibahas di atas. Para ahli berbeda .dalam memberikan pengertian komunikasi begitu juga
dalam komponen-komponen komunikasi.
Menurut Aristoteles dalam bukunya “Rethorika” mengatakan ;
Bahwa kita harus melihat tiga unsur komunikasi; pembicara, pembicaraan dan pendengar. Dia
maksudkan bahwa unsur-unsur ini perlu ada dalam komunikasi dan bahwa kita dapat
mengorganisasi kajian kita mengenai proses komunikasi dalam tiga hal :
a) Orang yang berbicara
b) Pembicaraan yang diungkapkan
c) Orang yang mendengarkan. (Abdillah Hanafi, 1984 : 83-84).
Salah satu komponen komunikasi yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi
adalah komunikator.
Komunikator adalah orang yang memulai dalam proses komunikasi. Dalam istilah ahli lain
adalah sumber (source).
Tentang komunikator Onong Uchyana E (1988:44) mengatakan:
Ada faktor yang penting pada diri komunikator bila ia melancarkan komunikasi yaitu: sumber
daya tarik (source attractiveness) dan sumber kepercayaan (source credibility).
1) Sumber daya tarik
Seorang komunikator akan berhasil dalam komunikasi, akan mampu merubah sikap, opini dan
prilaku komunikan melalui daya tarik, jika pihak komunikan merasa ada kesamaan antara
komunikator dengannya, sehingga komunikan bersedia taat pada isi pesan yang dilancarkan
komuniktor.
2) Sumber kepercayaan
Faktor yang kedua yang bisa menyebabkan komunikasi berhasil ialah kepercayaan komunikan
pada komunikator. Kepercayaan ini banyak bersangkutan dengan profesi atau keahlian yang
dimiliki oleh seorang komunikator. Seorang dokter akan mendapat kepercayaan jika ia
menerangkan tentang kesehatan, seorang perwira kepolisian akan memperoleh kepercayaan bila
ia membahas keamanan dan ketertiban masyarakat, seorang Duta Besar akan mendapat
kepercayaan kalau berbicara mengenai situasi Internasional, dan lain sebagainya.
Melihat pernyataan di atas, maka bagi seorang komunikator apabila ingin proses komunikasinya
berhasil harus ada pada diri kominikator itu sumber daya tarik dan sumber kepercayaan yang
bisa menimbulkan komunikan simpati pada komunikator. Sehingga apa yang disampaikan oleh
komuikator dapat merubah sikap dan prilaku komunikan.
Komunikator yang baik, selain mempunyai daya tarik dan sumber kepercayaan, juga
komunikator harus selalu memperhatikan umpan balik, sehingga ia dapat segera merubah gaya
komunikasinya dikala ia mengetahui bahwa umpan balik dari komunikan bersifat negatif.
Dalam hal komunikator Jalaluddin Rakhmat (1988:289) mengatakan :
Bahwa dalam ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh bukan saja apa yang ia
katakan, tetapi juga. keadaan ia sendiri. He doesn’t communicate what he says, he communicates
what he is. Ia tidak dapat menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang ia katakan,
pendengar juga akan memperhatikan siapa yang mengatakan, Kadang-kadang siapa lebih penting
dari apa.
Dengan demikian faktor komunikator menentukan sekali terhadap keberhasilan komunikasi.
Keberhasilan komunikasi bukan saja hanya ditunjang oleh materi yang disampaikan, akan tetapi
juga harus ditunjang dengan komunikator yang baik.
Aristoteles menyebut karakter komunikator ini sebagai atau dengan sebutan ethos. Ethos terdiri
dari pikiran baik akhlak yang baik dan maksud yang baik. Kemudian Hovland dan Weiss
menyebut ethos ini credibility yang terdiri dari dua unsur ; Expertise (keahlian) dan dapat
dipercaya (trust worthiness).
Kemudian Jalaluddin Rakhmat (1988:290) melihat dua unsur yang mempengaruhi efektivitas
sumber (komunikator) adalah : atraksi komunikator (source attractiveness) dan kekuasaan
(source power) yang dia sebut sebagai ethos sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles.
Dari pernyataan para ahli di atas, maka diambil ke simpulan, bahwa komunikator yang baik
adalah yang memenuhi syarat-syarat di bawah ini :
a) Mempunyai pikiran yang baik,
b) Berakhlak yang baik,
c) Punya tujuan yang baik,
d) Keahlian,
e) Dapat dipercaya,
f) Punya keterampilan khusus, dan
g) Kekuasaan.
Pengertian dan Komponen Dakwah
Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang dakwah, kira nya perlu sekali untuk mengetahui
pengertian dakwah, baik secara etimologis maupun secara terminologis. Selain itu juga akan
penulis uraikan mengenai kata-kata dalam al-Qur’an yang pengertiannya sama dengan dakwah.
Kata dakwah berasal dari bahasa arab, dalam bentuk masdar dari lapadz ((‫عَوُة‬
ْ ‫عْو – َد‬
ُ ‫عا – َيْد‬
َ ‫ َد‬yang
artinya ajakan, seruan, panggilan dan undangan. (Mahmud Yunus 1973: 127 ).
Pengertian ini diambil dari firman Allah SWT dalam surat Yunus ayat 25. Artinya : “Allah
menyeru (manusia) ke Darussalam, dan menunjukki orang yang dikehendaki-Nya kepada .ialan
yang lurus“. (Departemen Agama, 1971: 310 ).
Pengertian Dakwah Secara Terminologi
Untuk memberi pengertian dakwah secara terminologis, ada beberapa pendapat para ahli yang
perlu dikemukakan di sini, diantaranya:
Menurut Syamsuri Siddiq (1982:8), dakwah adalah :
Segala usaha dan kegiatan yang disengaja dan berencana dalam ujud sikap, ucap dan perbuatan
yang mengandung ajakan dan seruan, baik langsung atau tidak langsung di-tujukan kepada orang
perorangan, masyarakat, maupun golongan supaya tergugah jiwanya, terpanggil hatinya kepada
ajaran Islam untuk selanjutnya mempelajari dan menghayati serta mengamalkannya dalam
kehidupan sehari hari.
Sedangkan Endang Saifuddin Anshari memberikan definisi dakwah dalam arti sempit dan arti
Luas :
Definisi dakwah secara sempit, dakwah berarti menyampaikan Islam kepada manusia secara
lisan maupun tulisan, serta lukisan. Arti Dakwah secara luas adalah penyebaran penterjemahan,
dan pelaksanaan Islam dalam peri kehidupan dan penghidupan manusia (termasuk di dalamnya
politik, ekonomi, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian, kekeluargaan dan sebagainya.
( Endang Saifuddin Anshari, 1982:159)
Syeh Ali Mahpudz memberikan pengertian dakwah sebagai berikut:
Mendorong manusia agar memperbuat kebaikan dan menuruti petunjuk, menyuruh mereka
untuk berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan mungkar, agar mereka mendapat
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. (Shalahuddin Sanusi, 1964:10).
Menurut Jend. H. Sudirman dakwah ialah membangun ummat untuk mencapai keridlaan Allah
SWT. hidup bahagia jasmani dan rohani di dunia dan di akhirat. (Masdar Helmy, 1986:3 )
Menurut A. Timur Djaelani Dakwah ialah menyeru kepada ummat manusia berbuat baik dan
menjauhi yang buruk sebagai pangkal kekuatan mengubah masyarakat dari keadaan yang kurang
baik kepada keadaan yang lebih baik, sehingga merupakan suatu pembinaan (Masdar Helmy,
1986:3).
Thoha Yahya Omar memberikan pengertian dakwah menurut Islam ialah : mengajak manusia
dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk
kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. (Toto Tasmara, 1986:32).
Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengertian dakwah secara
terminologis adalah: segenap usaha manusia muslim yang dilakukan dengan sengaja dan
berencana, baik melalui lisan, tulisan dan tulisan untuk merubah suatu kondisi kepada kondisi
yang lebih baik untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Komponen Dakwah
Kegiatan dakwah bukan kegiatan yang baru, tetapi kegiatan yang telah ada sejak zaman Nabi
Adam hingga kini. Dakwah yang merupakan tugas manusia dari Tuhannya, mempunyai dasar
teori yang sangat kuat, yaitu al-Qur’an. Dari dasar-dasar teori Qur’ani itu dapat diformulasikan
tentang unsur-unsur dakwah yaitu : da’i, mad’u atau mustami’, materi, media dan metoda.
Da’i (Subyek Dakwah)
Da’i dalam ilmu dakwah bermakna sebagai pelaku dakwah, biasa disebut dengan istilah subyek
dakwah. Tentang subyek dakwah ini ada yang mengatakan hanya da’i atau mubaligh saja.
Sedang da’i yang penulis maksud adalah dalam pengertian yang luas, sehingga yang menjadi
da’i itu tidak hanya orang yang menyandang predikat Kyai, ulama atau pemuka agama saja, akan
tetapi juga dapat seorang guru, pembina suatu organisasi, orang tua, pimpinan lembaga, atau
profesi-profesi yang lain termasuk da’i, sebab bagaimanapun profesinya, mereka adalah sebagai
pelaku dakwah.
Yang menjadi subyek dakwah adalah manusia, meskipun ada pendapat yang berpendapat bahwa
yang menjadi subyek dakwah itu selain manusia adalah Allah SWT. sendiri.
Adapun manusia yang menjadi subyek dakwah adalah semua muslim yang mukallaf sesuai
dengan kemampuannya, kesanggupannya masing-masing, karena Islam tidak memaksa manusia,
kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Jadi sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa
kewajiban dakwah bukan hanya untuk ulama, Kiyai atau para santri dan lembaga-lembaga baik
yang beridentitas lembaga dakwah atau yang ada di bawah Departemen Agama, tetapi di luar itu
semua wajib untuk melaksanakan dakwah. Pelukis dapat berdakwah lewat ekspresi gambarnya,
penulis atau wartawan dapat berdakwah lewat tulisannya, aktor dan aktris dapat berdakwah lewat
aktingnya, sutradara dapat berdakwah lewat karya film atau dramanya.
Diantara para ulama masih terjadi perbedaan pendapat tentang dakwah itu, apakah wajib kifayah
atau wajib a’in, sementara Muhammad Abduh cenderung berpendapat, bahwa dakwah itu
hukumnya wajib a’in. Demikian menurut Syamsuri Siddiq (1982:12). Penulis sendiri cenderung
kepada wajib a’in, hanya bentuk dakwahnya yang berbeda tergantung kepada profesi dan
kemampuan masing-masing.
Subyek dakwah sangat menentukan terhadap keberhasilan suatu proses dakwah di samping
faktor hidayah Allah. Manusia tertarik oleh ajaran Islam karena sikap subyek dakwah,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap orang kafir, sehingga mereka
mau masuk Islam. Dengan demikian faktor subyek da’i sangat mempengaruhi terhadap
keberhasilan suatu proses dakwah.
Untuk itu, subyek dakwah harus memiliki beberapa sifat dan kriteria. Hamzah Ya’qub
mengemukakan tentang sifat yang harus dimiliki oleh subyek dakwah (da’i) adalah sebagai
berikut :
1) Mengetahui tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai pokok Agama Islam.
2) Memiliki pengetahuan Islam yang berinduk kepada al-Qur’an, seperti tafsir, ilmu hadits,
Sejarah Kebudayaan Islam dan lain-lainnya.
3) Memiliki pengetahuan yang menjadi kelengkapan dakwah seperti, teknik dakwah, Ilmu
Jiwa (Psikologi), Sejarah, Antropologi, Perbandingan Agama, dan sebagainya.
4) Memahami bahasa umat yang akan diajak kepada jalan yang diridlai Allah. Demikian juga
Ilmu Retorika dan kepandaian berbicara atau mengarang.
5) Penyantun dan lapang dada. Karena apabila dia keras dan sempit pandangan, maka akan
larilah manusia meninggalkan dia.
6) Berani kepada siapapun dalam menyatakan, membela dan mempertahankan kebenaran.
Seorang mubaligh yang penakut, bukannya dia yang akan mempengaruhi masyarakat ke jalan
Allah melainkan dialah yang akan terpengaruh oleh masyarakat itu.
7) Memberi contoh pada setiap medan kebajikan supaya paralel antara kata-katanya dengan
tindakannya.
8) Berakhlak baik sebagai seorang muslim, umpamanya, tawadhu, tidak sombong, pemaaf,
dan ramah tamah.
9) Memiliki ketahanan mental yang kuat (kesabaran), keras kemauan, optimis, walaupun
menghadapi pelbagai cobaan dan rintangan.
10) Khalish, berdakwah karena Allah, mengikhlaskan amal dakwahnya semata-mata karena
menuntut keridlaan Allah SWT.
11) Mencintai tugas kewajibannya sebagai da’i dan mubaligh dan tidak gampang
meninggalkan tugas tersebut, karena pengaruh-pengaruh keduniaan (Hamzah Ya’qub, 1981:38-
39).
Kemudian kepribadian da’i-pun menjadi tonggak keberhasilan dakwah. Pentingnya kepribadian
seorang da’i, Hamka dalam buku Asmuni Sukir (1983:34) mengatakan: “Jayanya dan suksesnya
suatu dakwah memang sangat bergantung kepada pribadi dari pembawa dakwah itu sendiri”.
Di antara kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang da’i adalah :
1) Niat yang ikhlas
Seorang da’i harus mempunyai niat (motivasi) yang tulus semata karena Allah. Sebab jika
terpaksa dakwahnya akan kurang berpengaruh.
2) Iman dan takwa kepada Allah
Seorang da’i sebagai penyampai dan penganjur iman dan takwa itu, sekaligus sebagai orang yang
beriman dan takwa. Tak akan berhasil dakwahnya jika dia berbicara tentang iman dan takwa
sementara dirinya tidak beriman dan takwa. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 44:
“Apakah kamu menyuruh manusia berbuat kebaikan, pada-hal kamu lupa terhadap dirimu
sendiri, sedangkan kamu sama membaca kitab Tuhan, … (Departemen Agama, 1971 : 16 ).
3) Teladan Utama
Dakwah merupakan suatu kegiatan mengajak orang lain, isi ajakan itu tentunya ajakan kebaikan,
tentunya r seorang yang mengajaknya (da’i) harus dapat memberikan contoh tauladan yang baik
pula. Seorang da’i mestilah bersikap simpatik, menjadi teladan dan panutan bagi orang banyak.
Bila seorang mengajak orang lain agar berakhlak mulia sementara akhlaknya sendiri tidak baik,
tentu tidak akan atau kurang berdampak ajakannya itu.
4) Penyantun dan lemah lembut
Sejarah telah mencatat tentang keberhasilan seorang juru dakwah (da’i) yang punya sikap lemah
lembut, yaitu Nabi Muhammad Saw. Santun dan lemah lembut merupakan syarat pula untuk
berhasilnya menarik simpati mereka. Rata-rata manusia tak suka kekerasan dan sejenisnya.
Sebagaimana firman Allah SWT. dalam al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 159:
“Jika engkau (Muhammad), berlaku kasar dan keras, pastilah mereka akan menjauh darimu,
karena itu senantiasalah bersikap pema’af, mohonkan ampun bagi mereka dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu” (Departemen Agama, 1971: 103).
Seorang da’i tidak hanya dituntut pandai berargumentasi tetapi yang terpenting adalah
merealisasikan akhlak yang baik melalui tingkah lakunya.
Upaya membawa umat manusia dengan kasih sayang dan lemah lembut terhadap orang yang
jauh dari ajaran Islam dan menentangnya merupakan suatu derita. Karena itu da’i tidak boleh
cepat merasa jemu, bosan, atau putus asa. Itulah sebabnya sikap lemah lembut dan penyantun itu
sangat dibutuhkan dalam diri seorang da’i.
5) Memberi kemudahan
Kemampuan seorang untuk mengerjakan pekerjaan tidaklah sama. Yang penults anggap ringan
belum tentu bagi orang lain. Oleh karena itu bagi seorang da’i harus cermat mengetahui tingkat
perkembangan pemikiran dan kemampuan mustami’. Berikanlah kemudahan bagi mustami’
jangan sekali-kali memberikan beban yang sekiranya tak dapat dilakukan oleh mustami’.
6) Sabar dan Tawakkal
Manusia yang menjadi sasaran dakwah ada yang menerima ada pula yang menolak bahkan ada
yang memperolok-olokan, meskipun usaha dan metoda dakwah telah dilakukan sedemikian rupa.
Hal itu sudah merupakan kewajiban dan kewajaran setiap da’i mempersiapkan rasa sabar dan
tawakkal kepada Allah. Sebab sikap sabar dan tawakkal ini merupakan solusi terakhir untuk
mencapai keberhasilan dakwah.
Mad’u (Obyek Dakwah)
Obyek dakwah adalah orang menerima pesan dakwah. Yang menjadi obyek dakwah adalah
seluruh manusia yang ada di dunia, yang pada garis besarnya dapat dibagi dua bagian :
a) Muslim
b) Non-Muslim.
Kemudian Masdar Helmy (1986:53) membagi lagi obyek dakwah yang muslim kepada :
Muslim yang formal dan muslim yang riil. Muslim yang formal adalah mereka yang telah
menyatakan muslim tapi belum memahami isi ajaran Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan
muslim riil adalah mereka yang telah menyatakan muslim dan sudah memahami isi ajaran Islam,
kemudian mengamalkan ajaran Islam itu dalam kehidupan dan penghidupan sehari-hari.
Berdasarkan keterangan di atas, maka obyek dakwah adalah seluruh umat manusia.
Obyek dakwah dapat diklasifikasikan menurut :
a) Berdasarkan derajat pikiran (intelektual);
b) Berdasarkan pekerjaannya (profesi);
c) Berdasarkan jenis kelamin;
d) Berdasarkan umur;
e) Berdasarkan geografis;
f) Berdasarkan keadaan ekonomi.
Menurut Syeh Muhammad Abduh, berdasarkan derajat pikirannya, obyek dakwah terbagi kepada
tiga golongan, yaitu :
a) Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis
dan mendalam.
b) Golongan awam, orang kebanyakan, yang belum dapat berpikir secara kritis dan
mendalam serta belum dapat menangkap pengertian yang tinggi.
c) Golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut
(Abdurrahim Arroisi, 1986:39)
Begitu pula Hamzah Ya’qub (1981:33) membagi obyek dakwah berdasarkan derajat pikiran
kepada tiga golongan, yaitu :
a) Ummat yang berpikir kritis. Golongan ini tidak mudah menerima apa yang
didapatnya, tetapi dipikirkan dulu. Jika pernyataan itu rasional mereka terima, tetapi bila kurang
dimengerti mereka terus mencari jawabannya.
b) Ummat yang mudah dipengaruhi. Golongan ini mudah sekali dipengaruhi oleh
sesuatu faham, baik faham yang benar maupun faham yang salah.
c) Umat yang bertaklid. Golongan ini amat kuat fanatik memegang suatu tradisi dan
faham tertentu. Sehingga bila ada faham baru sulit sekali menerimanya. Begitu pula terhadap
usaha dakwah, mereka akan bersikap menentang bila tidak sefaham.
Menurut pekerjaan dan profesinya obyek dakwah dapat berupa : Petani, pedagang, karyawan,
pelaut, pelayan, guru, dosen, pengusaha, murid, pelajar, mahasiswa, pejabat pemerintah, baik
ABRI maupun sipil, mulai dari Presiden sampai pangkat yang paling terendah, wakil-wakil
rakyat dan pemimpin-pemimpin segala golongan dan Iain-lain (Masdar Helmy, 1986:53).
Berdasarkan jenis kelamin, masyarakat dakwah itu terdiri dari pria dan wanita, dimana pria dan
wanita berbeda dalam beberapa hal.
Klasifikasi obyek dakwah menurut letak geografis terdiri dari masyarakat desa dan masyarakat
kota, yang masing-masing mempunyai sifat dan kebutuhan yang berbeda.
Obyek dakwah berdasarkan tingkat ekonomi, dapat dibagi pada tiga golongan; orang kaya yang
standar kehidupannya (ekonominya) kuat, golongan menengah, dan golongan fakir miskin
(Hamzah Ya’qub, 1981:35).
Demikianlah obyek dakwah dari berbagai lapisan masyarakat, yang menuntut seorang da’i dapat
menentukan strategi dakwah yang baik.
Materi Dakwah
Pada dasarnya materi dakwah itu adalah al-Qur’an, as-hadits memperhatikan beberapa azas
dakwah antara lain :
1. Azas Filosofis: azas ini terutama membicarakan masalah yang erat hubungannya dengan
tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam proses atau dalam aktivitas dakwah.
2. Azas Kemampuan dan Keahlian Da’i (achievement and professional).
3. Azas Sosiologis : azas ini membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi dan
kondisi sasaran dakwah.
4. Azas Psikologis: azas ini membahas masalah yang erat hubungannya dengan kejiwaan
manusia.
5. Asas Efektivitas dan Efisiensi : asas ini maksudnya adalah di dalam aktivitas dakwah
harus menseimbangkan antara biaya, waktu maupun tenaga yang dikeluarkan dengan
pencapaian hasilnya, bahkan kalau bisa waktu, biaya dan tenaga sedikit dapat
memperoleh hasil yang semaksimal mungkin.
Oleh karena itu, maka bagi seorang da’i yang ingin dakwahnya berhasil harus memperhatikan
kelima azas tersebut di atas. Dari kelima azas dakwah di atas, maka sekurang-kurangnya ilmu-
ilmu yang harus dimiliki oleh seorang da’i adalah sebagai berikut :
1. Kepribadian seorang da’i
2. Tujuan-tujuan dakwah
3. Materi dakwah
4. Masyarakat sebagai obyek dakwah
5. Metodologi dakwah, dan
6. Media dakwah.
PENUTUP
Secara konsepsional antara komunikasi dengan dakwah itu berbeda. Komunikasi lahir di negara.
Latin, materinya dan tujuannya tidak terbatas atau terikat oleh syari’at agama (al-Qur’an dan
Hadits), Sedangkan dakwah lahir di negara Arab, materi dan tujuannya terbatas oleh syari’at
agama yakni al-Qur’an dan Hadits.
Salah satu komponen komunikasi dakwah uang sangat menentukan terhadap berhasil tidaknya
menyampaikan pesan, aturan-aturan menuju kepada kondisi yang lebih baik, mengajak kepada
kebaikan, mencegah kemungkaran, terletak pada komunikator atau juru dakwah.
Jika komunikator atau juru dakwah (khatib) mampu mengemas pesan dengan baik, melancarkan
dakwah dengan menarik dan mampu melahirkan kepercayaan dari khalayak, maka proses
komunikasinya berhasil. Jika subyek dakwah (da’i/khatib) yang memiliki sifat dan kriteria
memahami kandungan al-Qur’an dan Hadits, memiliki pengetahuan kelengkapan dakwah, maka
proses dakwahnya akan berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah Hanafi, Memahami Komunikasi antar Manusia, Romadja Karya, Bandung, 1984.
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Remadja Karya, Bandung, 1988.
Syamsuri Siddiq, Dakwah dan Teknik Berkhutbah, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1982.
Endang S. Anshari, Wawasan Islam, 1982.
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1987.*
*** Penulis adalah Sekretaris Umum PW PUI Jabar. Tulisan ini disampaikan pada Pelatihan
Kader Mubalig PUI Jabar, 28-31 Januari 2010.

You might also like