You are on page 1of 35

KEKUATAN DIPLOMASI DAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah


Diplomasi

Dosen:
Hj. Aelina Surya, Dra

Oleh:

MEGA MUSTIKA
170210070067

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
JATINANGOR
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur


hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas
intenasional lainnya. Kebijakan tersebut nerupakan bagian dari politik luar negeri
yang dijalankan negara dan merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya.
Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yang
senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan. dalam negeri dan perubahan
situasi internasional. Ini menjadikan manuver diplomasi sebagai potensi lain selain
ekonomi dan militer yang membuat sebuah negara diperhitungkan.
Diplomasi dapat diterjemahkan sebagai segenap kemampuan negara atau
aktor lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan politik luar negerinya kepada
aktor lainnya, mewujudkan pengharapan tentang apa yang diinginkan dan yang tidak.
Ketika sebuah negara menemukan keterbatasan dalam mewujudkan apa yang
diharapkannya dari pihak lain, diplomasi dapat diandalkan sebagai alat pemaksa
secara halus, tetapi sangat efektif. Negara yang mampu melakukan diplomasi dengan
baik, selemah apa pun potensi ekonomi dan militernya, akan memiliki pengaruh yang
sangat kuat. Sebaliknya, sekuat apa pun potensi ekonomi dan militer sebuah negara,
jika tidak didukung oleh kemampuan diplomasi dengan baik, potensi tersebut tidak
akan banyak berarti.
Indonesia sebagai negara yang besar telah mengalami pasang surut dalam
kekuatan diplomatik dan politik luar negerinya. Berbagai peristiwa yang mewarnai
perkembangan negara ini membawa Indonesia semakin matang dalam diplomasi
demi mencapai tujuan dari politik luar negeri itu sendiri. Indonesia sebelum
kemerdekaannya, telah menggunakan diplomasi sebagai cara atau alat untuk
memperoleh kemerdekaan tersebut. Bahkan, pengakuan secara de facto atas
keberadaan Indonesia bukanlah diperoleh melalui angkat senjata tetapi negosiasi
yang alot di meja perundingan. Sungguh, diplomasi telah menjadi cara utama untuk
mencapai tujuan-tujuan dari politik luar negeri Indonesia dengan hubungannya
terhadap negara-negara lain.
Dengan semakin berkembangnya Indonesia, diplomasi yang muncul juga
semakin kompleks. Bagaimanapun juga, dengan perubahan-perubahan kapabilitas
negara dan stabilitas politik dalam negeri memberikan pengaruh yang sangat besar
demi tercapainya tujuan tersebut. Namun, terlihat jelas, tidak hanya dipengaruhi oleh
dinamika politik domestik, kekuatan diplomasi Indonesia sekarang ini juga
dipengaruhi oleh fenomena-fenomena yang muncul dalam hubungan internasional. Ia
tidak sekedar berubah karena adanya pergantiaan Orde, dari Orde Kemerdekaan
hingga Reformasi, tetapi kekuatan tersebut juga dipengaruhi oleh dinamika sistem
internasional itu sendiri.
Globalisasi merupakan kata yang sering muncul ketika membahas kekuatan
diplomasi dan politik luar negeri Indonesia. Globalisasi disini tidak sekedar batas-
batas negara yang melebur sehingga jarak bukan lagi menjadi halangan dari
terbentuknya hubungan yang solid antarnegara, tetapi juga dampak yang timbul dari
globalisasi tersebut. Ia dapat berupa, integrasi ekonomi, perkembangan teknologi,
peningkatan kemampuan dalam perpindahan barang, jasa, dan SDM, termasuk
pengaruh dari tindakan negara lain yang dianggap sebagai ancaman atau kesempatan.
Walau demikian, kekuatan diplomasi dan politik luar negeri Indonesia sangat
bergantung kepada falsafah dan pemikiran yang melandasi pengambil kebijakan
untuk menyusun politik luar-negerinya. Karenanya, terasa lebih dominan terlihat
pengaruh dari individu pengambil keputusan dalam hal ini presiden mengenai seni
berdiplomasi itu sendiri. Untuk mengkaji kekuatan politik Indonesia, lebih tepat
dirasa dengan menggunakan pembagian Orde dari masa kemerdekaan hingga
sekarang.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Indonesia melandasi pelaksanaan politik luar negerinya secara struktural


terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan landasan ideal yaitu Pancasila.
Hal ini berarti, pasal-pasal pada UUD 1945-lah yang mengatur kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan memberikan garis-garis besar dalam kebijakan luar negeri
Indonesia tanpa lepas dari falsafah hidup negara dan bangsa Indonesia. dengan
demikan, politik luar negeri indonesia dapat dianggap sebagai salah satu upaya untuk
mencapai kepentingan nasional Indonesia itu sendiri.
Selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia, ia mengalami berbagai dinamika
yang menimbulkan pasang-surut dari diplomasi dan politik luar negeri. Pergantian
kepemimpinan yang telah berlangsung enam kali menandakan maju mundurnya
proses demokrasi di Indonesia yang juga mempengaruhi kebijakan negara dalam
mencapai tujuan dari diplomasi. Pada setiap periode pemerintahan juga terjadi
pemaknaan yang bervariasi terhadap prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam
perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri indonesia. Perbedaan interpretasi
tersebut diantaranya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di dalam negeri
maupun di luar negeri. sementara itu, terdapat prinsip atau landasan yang tetap
dipertahankan, namun mengalami persoalan dalam relevansi dan dilema karena
dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan perubahan situasi yang
demikian cepat.
Untuk memahaminya lebih lanjut, kekuatan diplomasi dan politik Indonesia
jelas terlihat melalui pembagian-pembagian periode Orde yang menyertainya.

MASA KEMERDEKAAN

Pada 17 Agustus 1945 Sukarno, atas nama bangsa Indonesia, membacakan


proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kemudian menjadi tonggak lahirnya negara
baru, yaitu Indonesia. Dengan dibacakannya teks proklamsi tersebut Indonesia
terbebas dari penjajahan dan memiliki kekuatan sendiri untuk menentukan nasibnya
di masa yang akan datang.
Landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia dinyatakan melalui
maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno yang beberapa saat setelah
kemerdekaan dikeluarkan maklumat politik pemerintah tanggal 1 November 1945,
yang diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut:1
1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai.
2. Politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
3. Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang
ekonomi, politik dan lain-lain.
4. Politik berdasarkan Piagam PBB.
Berdasarkan maklumat tersebut, sesungguhnya telah jelas prinsip yang
digunakan Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negerinya, yaitu kebijakan hidup
bertetangga baik dengan negara-negara di kawasan, kebijakan tidak turut campur
tangan urusan domestik negara lain dan selalu mengacu pada Piagam PBB dalam
melakukan hubungan dengan negara lain.
Tetapi, kedatangan sekutu yang berniat melucuti senjata tentara Jepang
menimbulkan ancaman bagi kemerekaan yang baru diraih karena sekutu ternyata
ditunggangi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tindakan ini jelas
memperlihatkan sikap pemerintah Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan
republik dan berniat menanamkan kembali kekuasaannya atas Indonesia.2
Kedatangan Belanda ini semakin memperparah situasi pasca kemerdekaan. Ditengah
kondisi membangun negeri dari 0, Indonesia harus melawan sekutu demi
mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih.
Pada masa pasca kemerdekaan (1945-1950)3, keadaan ekonomi sangatlah
buruk dan militer Indonesia hanya mengandalkan sisa-sisa dari penjajah Jepang.
Keputusan untuk melawan Belanda secara frontal adalah keputusan yang salah,
sehingga diplomasi dianggap sebagai cara yang tepat untuk memperoleh pengakuan
dari dunia luas. Pihak-pihak yang mendukung jalur diplomasi seperti Sutan Sjahrir

1 Anonymous. 2009. Diplomasi Soekarno Hingga SBY Prinsip Politik Luar Negeri. Melalui
http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-politik-luar-negeri-indonesia/ [04/05/10]
2 Anonymous. 2008. Revolusi Indonesia, Perjuangan Diplomasi atau Konfrontasi? Melalui
http://adelwulan.blog.com/2008/01/07/revolusi-indonesia-perjuangan-diplomasi-atau-konfrontasi/
[04/05/10]
3 Ibid

5
beranggapan bahwa diplomasi adalah jalan keluar yang paling realistis agar Republik
di akui secara de facto oleh dunia internasional khususnya pengakuan kedaulatan dari
Belanda. Hal ini perlu dilakukan karena pada saat itu, Belanda adalah pihak yang
termasuk dalam pemenang Perang Dunia II sedangkan Indonesia sama sekali belum
dikenal di dunia internasional. Pada saat itu, proklamasi kemerdekaan pun belum
banyak diketahui oleh orang karena keterbatasan teknologi komunikasi. Sehingga,
pengakuan dunia internasional menjadi penting sebagai modal awal menghadapi
kolonialisme Belanda.
Pada bulan November 1945, Belanda menutup pintu perdagangan luar negeri
RI sehingga menghambat ekspor Indonesia. Kondisi ekonomi yang parah semakin
memburuk dengan banyaknya barang yang bertumpuk di dalam negeri. Berbagai
peperanganpun terjadi antara sekutu dan Indonesia dalam perebutan kekuasaan.
Untuk mengupayakan pengakuan Indonesia dari negara lain, pada Agustus 1946,
Soekarno mengirimkan beras sebagai bantuan Indonesia untuk rakyat India yang
sedang dilanda bencana kelaparan. Diplomasi ini dikenal dengan diplomasi beras.
Pemerintah India membalas dengan mengirimkan obat-obatan, pakaian, dan mesin
yang dibutuhkan Indonesia. Ini dinilai sebagai keberhasilan awal dari proses
diplomasi Indonesia menuju NKRI.
Baru, pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord
Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan
Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di
Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn.
Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata pada 14 Oktober dan
mencanangkan perundingan Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.4
Dalam perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Kabinet Sjahrir III yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan tiga anggota: Mohammad Roem,
Susanto Tirtoprodjo, dan AK Gani. Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi
Jendral dan dipimpin oleh Schermenhorn dengan anggota Max Van Poll, F de Boer,
dan HJ Van Mook. Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam
perundingan ini.

4 Anonymous. 2009. Perjuangan Diplomasi Bangsa Indonesia Untuk Mempertahankan


Kemerdekaan. Melalui http://nissasukavanilla.wordpress.com/2009/09/01/perjuangan-diplomasi-
bangsa-indonesia/ [04/05/10]
Perjanjian Linggarjati dianggap sebagai kekalahan diplomasi Indonesia
karena Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia yang terdiri
dari Jawa, Sumatera dan Madura. Terlebih, Indonesia diakui bukan sebagai NKRI
tetapi RIS dengan Ratu Yuliana sebagai kepala perserikatan. Kekalahan ini dianggap
sebagai hasil dari lemahnya kekuatan diplomasi Indonesia pada saat itu hingga
menghasilkan pergolakan dan menguatkan upaya revolusi. Jenderal Sudirman dan
Tan Malaka beranggapan bahwa berunding dengan Pemerintahan Belanda tidak ada
gunanya karena hanya merugikan Republik saja, tuntutan Merdeka 100% serta
slogan-slogan “merdeka atau mati” menjadi tujuan perjuangan revolusioner.
Perjanjian Linggarjati akhirnya dilanggar oleh pihak Belanda dengan
melakukan Agresi Militer I. Kemudian perjanjian Renville yang mulai melibatkan
pihak ketiga mengalami kegagalan akibat ketidak patuhan Belanda terhadap isi
perjanjian. Kegagalan yang terus berlangsung dari pihak yang berdiplomasi
menimbulkan banyak kecaman dari dalam negeri terutama bagi mereka yang
menuntut gerakan-gerakan revolusioner dan konfrontasi karena kecewa atas hasil-
hasil yang dicapai selama ini.
Hal tersebut yang kemudian membawa Wakil Presiden merangkap Perdana
Menteri RI Mohammad Hatta menyampaikan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri
RI yang bebas dan aktif di hadapan Sidang Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) pada 2 September 1948. Pada pidatonya yang berjudul
“Mendayung di Antara Dua Karang”, menegaskan perlu adanya sikap rasional dalam
menanggapi permasalahan yang muncul pada bangsa Indonesia saat itu.5 Perjuangan
melawan kekuatan Belanda yang kala itu mendapat dukungan dari pihak Barat tidak
serta merta harus dilawan melalui peperangan yang menggunakan media fisik tetapi
juga perlu adanya perjuangan diplomasi. Tindakan ini yang kemudian ditekankan
oleh Bung Hatta melalui slogan politik luar negerinya yaitu politik bebas aktif
dimana frase tersebut tidak hanya sebuah retorika tetapi ada makna penting yang
tersimpan di baliknya.
Pada Desember 1948, Belanda menggelar agresi militer untuk kedua kalinya
terhadap Indonesia. Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta dan Menteri Luar Negeri
Agus Salim ditangkap Belanda di ibukota Yogyakarta dan kemudian diasingkan ke

5 Suara Karya Online melalui http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=118823

7
Pulau Bangka, Sumatra. Sidang Kabinet Darurat RI kemudian menunjuk Menteri
Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI). A.A. Maramis yang saat itu sedang berada di New Delhi
menjadi Menteri Luar Negeri PDRI.
Ini menimbulkan kecaman bagi masyarakat internasional karena Dewan
Keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda dan Indonesia segera
menghentikan segala aktifitas militer. Belanda diminta DK PBB untuk segera
melepaskan semua tahanan politik yang ditahan sejak awal Agresi Militer II.
Pada masa-masa ini, mulai terlihat buah dari hasil perjuangan diplomasi
Indonesia. Untuk membantu Indonesia yang sedang diserang Belanda, India dengan
dukungan Birma menyelenggarakan Konferensi Asia mengenai Indonesia di New
Delhi. Konferensi dipimpin langsung oleh PM India Jawaharlal Nehru.
Terselenggaranya KKA menjadi poin utama munculnya simpati dari dunia
internasional terhadap perjuangan bangsa Indonesia dengan pengakuan kedaulatan
dari kebanyakan negara-negara di Afrika maupun Asia. Selain itu, semua delegasi
yang hadir saat itu, mulai dari negara-negara Asia hingga Australia dan Selandia
Baru dari Pasifik, mengutuk Agresi Militer II Belanda.
Indonesia juga mendapat bantuan dari negara tetangga Birma yang
memberikan dukungan bagi perjuangan Indonesia melawan Belanda dengan
mengizinkan pesawat “Indonesian Airways” Dakota RI-001 Seulawah untuk
beroperasi di Birma. Pesawat Seulawah adalah hadiah dari rakyat Aceh kepada
Presiden Soekarno.6
Semakin menuju titik kemenangan, kemudian Konferensi Inter-Indonesia
diselenggarakan diantara “negara-negara federal” di Hindia Belanda, seperti: Jawa
Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar. Dalam Konferensi
tersebut, negara-negara tersebut mendukung penyerahan tanpa syarat kedaulatan
mereka kepada Republik Indonesia. Lalu, barulah dengan ditandatanganinya
Persetujuan Meja Bundar di Den Haag pada 27 Desember 1949, konflik diantara
Indonesia dan Belanda berakhir. Di hari yang sama, Wakil Kerajaan Belanda
menyerahkan kekuasaan formal kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)
di Jakarta, yang diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Penjabat

6 Kementerian Luar Negeri Indonesia melalui http://www.deplu.go.id/


Perdana Menteri RIS.
Keberhasilan Indonesia dalam merebut kemerdekaan melalui meja
perundingan ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai
kepentingannya. Betapa pada masa ini, kekuatan diplomasi Indonesia disegani oleh
negara-negara lain. Pada kondisi kapabilitas militer dan ekonomi yang kurang,
Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan memperoleh
kemerdekaannya dengan diplomasi
ORDE LAMA

Setelah berakhirnya Konferensi Meja Bundar. berlangsung aksi besar-besaran


menuntut dibentuknya NKRI menggantikan Republik Indonesia Serikat. Hal ini
ditanggapi dengan diadakannya perjanjian oleh tiga negara bagian, Negara Republik
Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur pada 17 Agustus
1950. Sejak itu, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet
parlementer dan mulai berlangsungnya Orde Lama.
Orde lama menandakan jalan baru bagi Indonesia untuk membangun
negaranya terbebas dari ancaman-ancaman sekutu untuk melakukan invasi. Orde ini
berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Dengan terbentuknya NKRI,
Indonesia mulai terlibat secara aktif dengan hubungan-hubungan antarnegara baik
dalam high politics atau low politics.
Pada dasawarsa 1950-an landasan operasional dari prinsip bebas aktif
mengalami perluasan makna. Hal ini dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam
pidatonya berjudul “Jalannya Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1960. Dalam
pandangan Presiden Soekarno, pendirian Indonesia yang bebas aktif itu, secara aktif
pula harus dicerminkan dalam hubungan ekonomi dengan luar negerinya yang tidak
berat sebelah ke barat atau ke timur”.
Kemudian inti dari politik luar negeri indonesia kembali dinyatakan oleh
presiden soekarno dalam “perincian pedoman pelaksanaan manifesto politik republik
indonesia” sekaligus merupakan garis-garis besar politik luar negei indonesia dengan
Keputusan Dewan Pertimbangan Agung NP.2/ KPTS/ SD/ I/ 61 tanggal 19 Januari
1961. inti kebijakan tersebut antara lain berisi tentang sifat politik luar negeri

9
republik indonesia yang bebas aktif, anti imperalisme dan kolonialisme, dan
memiliki tujuan sebagai berikut:7
1. mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional indonesia.
2. mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh
bangsa di dunia.
3. mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian di dunia.
ketiga tujuan politik luar negeri tersebut pada kenyataannya tidak bisa
dipisah-pisah satu dari yang lain, khususnya dalam perjuangannya untuk membengun
dunia kembali yang aman, adil, dan sejahtera.
Tetapi, pada masa ini, Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno memiliki
kecenderungan untuk menjalin hubungan yang hangat dengan Uni Soviet yang
berhaluan komunis daripada tetangganya yang berlandaskan demokrasi. Sejumlah
monumen persahabatan Indonesia dan Uni Soviet bertebaran di berbagai wilayah
Indonesia yang antara lain, Stadion Utama Bung Karno, Pabrik Baja Krakatau Steel,
dan jalan raya di Kalimantan dari Palangkaraya ke Sampit. Pembangunan Stadion
Utama Bung Karno mendapatkan bantuan lunak dari Uni Soviet sejumlah 12,5 juta
Dollar AS. Stadion dibangun mulai tahun 1958 dan pembangunan tahap pertama
selesai pada tahun 1962.8 Ini memunculkan sentimen negatif dari publik internasional
setelah diplomasi sebelumnya mendapatkan pengakuan atas upaya-upaya damai yang
dilakukan oleh Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan.
Hubungan Indonesia dengan Barat tidaklah harmonis. Indonesia pada masa
kepemimpinan Soekarno memperlihatkan sifat-sifat militan dan cenderung
konfrontatif terhadap segala unsur yang diidentifikasi sebagai imperialisme. Dalam
hal ekonomi, Soekarno mengatur segala rencana pembangunan ekonomi dan
memiliki semboyan BERDIKARI yang merefleksikan pendirian anti-Barat. Karena
inilah, secara umum hubungan Indonesia dengan negara – negara Barat bisa
dikatakan tidak harmonis. Hingga pada akhirnya terjadi berbagai pemberontakan
untuk membawa kembali Indonesia ke jalan demokrasi.

7 Anonymous, op.cit., melalui http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-politik-luar-


negeri-indonesia/
8 Anonymous. 2010. Diplomasi; Dari Bung Karno hingga Yudhoyono. Melalui
http://indonesiafile.com/content/view/2341/39/ [04/05/10]
ORDE BARU

Pergantian kekuasaan dari rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno menuju
rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto memberikan perubahan yang cukup
mendasar dalam sifat diplomasi Indonesia. Soekarno dengan haluan politik luar
negeri yang revolusioner dan anti-imperialisme bersifat sangat konfrontatif.
Sebaliknya, setelah memasuki rezim Orde Baru, sifat politik luar negeri Indonesia
yang konfrontatif tersebut berganti dengan politik yang bersifat kooperatif. Pada
rezim Orde Baru, hubungan yang tidak baik dengan Barat mulai diperbaiki. Hal ini
dilakukan terutama karena orientasi politik luar negeri Indonesia berubah haluan
menjadi pembangunan ekonomi dalam negeri melalui kerja sama dengan negara-
negara lain.
Walaupun Orde Baru dianggap bobrok, namun kekuatan diplomasi Indonesia
dianggap kembali pada kejayaannya dengan kembali diperhitungkannya keberadaan
Indonesia dalam kancah politik dan ekonomi. Indonesia dipandang sebagai negara
tempat berinvestasi yang menjanjikan dan suara Indonesia didengarkan di kawasan
Asia Tenggara.
Pada masa orde baru, landasan operasional politik luar negeri indonesia
kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, diantaranya adalah
ketetapan MPRS no. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan
kembali landasan kebijaksanaan politik luar negeri indonesia. TAP MPRS ini
menyatakan bahwa sifat politik luar negeri indonesia adalah:9
1. Bebas aktif, anti-imperealisme dan kolonialisme dalam
segala bentuk manifestasinya dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2. Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat
penderitaan rakyat.
Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa untuk melakukan pembangunan,
Indonesia membutuhkan dana yang sangat besar. Karenanya kerja sama dengan

9 Anonymous, op.cit., melalui http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-politik-luar-


negeri-indonesia/

11
negara-negara lain ini mulai dibuka untuk mendapatkan bantuan luar negeri demi
melaksanakan pembangunan ekonomi dalam negeri. Diplomasi yang dilakukan oleh
Orde Baru banyak disebut sebagai ”Diplomasi Pembangunan” (Diplomacy For
Development).10 Salah satu hasil diplomasi pembangunan Orde Baru terkait dengan
upaya untuk mendapatkan bantuan luar negeri adalah Inter-Governmental Group on
Indonesia (IGGI/Kelompok Antarpemerintah Mengenai Indonesia).
Usaha untuk membentuk IGGI tersebut mulai dilakukan pada bulan September 1966
dalam pertemuan antara 12 negara kreditor yang dilaksanakan di Tokyo untuk
mengetahui rencana Indonesia dalam memperbaiki keadaan ekonomi dan evaluasi
IMF akan rencana tersebut. Dalam forum ini, Indonesia berhasil menggalang
dukungan dan menegosiasikan utangnya kepada para kreditur dalam forum Paris
Club dan dirasakan perlunya forum antar pemerintah untuk membantu pembangunan
di Indonesia, baik berupa dana maupun pemikiran. Kesepakatan untuk membentuk
sebuah forum formal dalam rangka membantu perekonomian Indonesia dicapai pada
pertemuan ini. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah keberhasilan diplomasi
pembangunan waktu itu. Pada tanggal 20 Februari 1967, IGGI dibentuk melalui
pertemuan formal di Amsterdam yang dihadiri oleh sejumlah negara kreditor utama
dan lembaga Internasional.
Diplomasi pembangunan Indonesia pada masa awal Orde Baru tersebut dapat
dikatakan berhasil dalam memperoleh bantuan luar negeri. Hal ini sesuai dengan
tujuan dari diplomasi ekonomi, yaitu mengamankan resources ekonomi yang berasal
dari luar negeri untuk pembangunan ekonomi luar negeri. Dalam hal ini, resources
ekonomi utama yang berusaha diamankan adalah bantuan luar negeri yang berasal
dari negara – negara maju.
Pembentukan IGGI ini dapat kita anggap sebagai pelaksanaan dari teori
containment untuk mencegah Indonesia kembali memihak blok Timur seperti pada
masa Demokrasi Terpimpin. Indonesia dinilai sebagai sebuah negara yang sangat
strategis dalam pelaksanaan teori containment ini karena merupakan negara Asia
Tenggara yang cukup terkemuka. Karena itu, penanaman pengaruh blok Barat pada
Indonesia dinilai sangat penting untuk menjaga dan meningkatkan pengaruh blok
Barat di kawasan Asia Tenggara. Masuknya bantuan luar negeri tersebut juga

10 Ibid
bertujuan untuk mengendalikan berbagai kebijakan dalam negeri Indonesia. Hal ini
bertujuan untuk mengamankan kepentingan para negara kreditor tersebut di
Indonesia, terutama kepentingan ekonomi. Sesuai dengan perspektif realis yang
menyatakan bahwa pemberian bantuan luar negeri pada dasarnya dilakukan atas
dasar kepentingan negara pemberi bantuan tersebut.
Pemberian bantuan dengan tujuan seperti ini membuat Indonesia terjebak
dalam kondisi dependensi. Indonesia menjadi sangat tergantung dengan bantuan
asing tersebut, yang terlihat dari dimasukkannya hutang luar negeri dalam daftar
sumber dana APBN. Ketergantungan terhadap sumber pendanaan asing ini
memungkinkan intervensi pihak asing terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Dengan begitu, lewat bantuan luar negeri, maka negara – negara Barat dapat
mengontrol kehidupan politik dan ekonomi dalam negeri. Hal ini terlihat dari
penguasaan pihak asing terhadap sumber daya alam di Indonesia, kemudahan
masuknya barang impor dari negara – negara Barat, dan berbagai kebijakan
Pemerintah yang selalu memihak terhadap perusahaan asing jika terjadi konflik
antara buruh lokal dan perusahaan asing tersebut. Indonesia dalam hal ini berada
dalam posisi sebagai negara perifer yang selalu bergantung pada negara – negara
sentral. Indonesia diposisikan sebagai pemasok tenaga kerja yang murah serta bahan
mentah dalam pembagian kerja global tersebut.
Kondisi dependensia ini menjadi sebuah ”bom waktu” bagi Indonesia.
Terbukti, setelah Perang Dingin berakhir dan nilai strategis Indonesia dalam teori
containment hilang, maka berbagai akses terhadap sumber pendanaan luar negeri
tersebut menjadi sulit. Stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri menjadi
terganggu dan akhirnya berpuncak pada terjadinya Krisis Moneter tahun 1998. Pihak
asing pun telah menguasai banyak sumber daya strategis dalam negeri melalui
berbagai perusahaan multinasional.
Meski begitu, di luar berbagai efek negatif yang disebabkan oleh bantuan luar negeri
yang masuk ke Indonesia, terbentuknya IGGI tetap dapat dilihat sebagai keberhasilan
diplomasi pembangunan pertama Indonesia, karena merupakan bentuk kepercayaan
luar negeri yang dilembagakan.11

11 Anonymous. 2009. IGGI: Sebuah Keberhasilan Diplomasi dan Jebakan Dependensi. Melalui
http://blackswan313.wordpress.com/2009/07/14/iggi-sebuah-keberhasilan-diplomasi-dan-jebakan-
dependensi/ [04/05/10]

13
Hal lain yang menjadi sasaran politik luar negeri indonesia dijelaskan secara
lebih spesifik dan rinci pada TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983 yang menandakan
bahwa indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang
berkembang saat itu. Indonesia berusaha untuk mengangkat hubungan yang lebih
akrab dengan tetangga-tetangganya yang satu kawasan melalui peningkatan
hubungan ASEAN. Dengan demikian, Soeharto mengalihkan prioritas politik luar
negeri Indonesia dari lingkungan geografis yang lebih luas, yakni dari Gerakan Asia-
Afrika dan Non Blok, ke lingkungan geografis yang lebih kecil.
Soeharto berusaha untuk mengangkat regionalisme Asia Tenggara sebagai
landasan politik luar negeri Indonesia. Ia memberikan prioritas yang paling utama
kepada hubungan yang dekat dan harmonis melalui penggalangan kerja sama yang
lebih mantap dengan negara-negara tetangga karena di sinilah terletak kepentingan
nasional kita yang paling vital. Karenanya penciptaan kestabilan dan kerja sama
regional di Asia Tenggara mendapatkan prioritas yang tinggi".
Asia Tenggara yang diidam-idamkan Jenderal Soeharto adalah suatu Asia
Tenggara yang terintegrasi, ia menjadi benteng dan pangkalan paling kuat untuk
menghadapi pengaruh ataupun intervensi dari luar. Ia juga harus mampus
menghadapi imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apa pun dan dari pihak
mana pun.
Untuk mencapai peningkatan stabilitas dan pengembangan itulah Indonesia
memprakarsai pembentukan ASEAN yang lebih terintegrasi melalui pembukaan-
pembukaan jalan menuju Komunitas ASEAN yang diharapkan dapat memupuk dan
membina kerja sama yang lebih erat dan berguna bagi pengembangan ketahanan
masing-masing.

ORDE REFORMASI

Pemerintahan pasca-orde baru ini setidaknya secara substansif dalam


landasan politik luar negerinya berusaha untuk menuju kembali kepada masa
kejayaan pada masa dulu. Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi
yang menyeluruh. Dalam kaitannya dengan kondisi dalam negeri, politik luar negeri
Indonesia sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 tidak dapat
dilepaskan dari perubahan politik secara masif yang mengikuti kejatuhan
pemerintahan otoritarian tersebut. Pemerintahan Habibie, yang menggantikan
Soeharto, merupakan salah satu contoh tepat untuk menggambarkan pertautan antara
proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri dari sebuah pemerintahan di masa
transisi.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi
yang cukup serius. Tidak hanya menangani masalah ekonomi yang akut, ia juga
harus menyelesaikan masalah HAM yang dihasilkan oleh pemerintahan terdahulu.
Untuk hal ini, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui
beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-
Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia antara
lain:12
1. UU no.5/1998 mengenai Pengesahan Convention against Torture and
other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
2. UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the Elimination of
All Forms of Racial Discrimination 1965.
Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi
internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan
juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Habibie menaikkan kembali derajat
kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Habibie mampu memperoleh simpati
dari IMF dan Bank Dunia dengan keputusan kedua lembaga tersebut untuk
mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar
dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar.13
Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan
domestik tidak terlampau kuat, namun dukungan internasional yang diperoleh
melalui serangkaian kebijakan untuk memberi citra positif kepada dunia
internasional memberikan dukungan bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie
saat periode transisi menuju demokrasi dimulai. Tetapi, Pemerintahan Habibie pula

12 Anonymous, op.cit., melalui http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-politik-luar-


negeri-indonesia/
13 Frans Seda. 2001. Program Ekonomi dengan IMF. Melalui
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2139&coid=2&caid=19&gid=1 [04/05/10]

15
yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat
memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan
Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie
mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor-Timur pada bulan Juni 1998
dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk
provinsi Timor Timur. Hingga pada akhirnya Indonesia harus kehilangan Timor-
Timur melalui jajak pendapat.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata
masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal
mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah
presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro
integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Pemilu pada 1999 membawa Abdurrahman Wahid sebagai presiden terpilih
periode 1999-2004. Tidak banyak kemajuan yang terjadi pada masa
pemerintahannya, terutama dalam politik luar negeri. Terlepas dari perjalanan
transisi menuju demokrasi, kepercayaan internasional masih terasa rendah terhadap
Indonesia. Hubungan sipil militer menjadi salah satu isu utama dalam perjalanan
transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini
terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor
Timur seperti menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor
domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar
negeri). Walau demikian, Presiden Wahid secara terus menerus menggunakan
kredibilitasnya di dunia internasional sebagai tokoh pro-demokrasiuntuk
mendapatkan dukungan atas berbagai kebijakannya mengenai TNI ataupun
penanganan kasus separatisme yang melibatkan TNI. Dalam setiap kunjungan luar
negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman
Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan
setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor
Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu
perbaikan ekonomi. Keputusan pemberhentian Wiranto yang diupayakan oleh
Presiden Wahid dianggap sebagai bentuk bertanggungjawab dari Indonesia oleh
Sekjen PBB Kofi Annan ketika berada di Jakarta.
Setelah Presiden Wahid diberhentikan pada tahun 2001, ia digantikan oleh
Presiden Megawati yang menjabat sebagai wakil presiden pada saat itu. Sebagai
presiden, Megawati secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri untuk
memperoleh dukungan internasional. Megawati antara lain mengunjungi Rusia,
Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB,
Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina
dan juga Pakistan.14 Tetapi, Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai
kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai
lawatan tersebut. Mengingat, seringnya beliau berada di luar negeri untuk kunjungan
kenegaraan padahal seorang presiden tidak diperbolehkan untuk berlama-lama ke
luar negeri. Diantara kontroversi tersebut adalah pembelian pesawat tempur Sukhoi
dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke
Moskow.
Terlepas dari berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri
Indonesia selama masa pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa
nasional maupun internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di
Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun
2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan Ingrris dan juga
operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel yang
mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.
Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang
melawan terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam
kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai
perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi, seiring dengan
meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum untuk
mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali
menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa
pelaksanaan diplomasi di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh

14 Anonymous. 2007. Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia.


http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/demokratisasi.html [04/05/10]

17
struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Bahkan Departemen Luar Negeri
mengalami restrukturisasi guna memperbaiki kinerjanya. Restrukturisasi ini sangat
tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu cepat, terutama setelah
peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini memaksa
setiap negara untuk mampu beradaptasi dan mengelola arus perubahan tersebut.
Dengan kemenangan pada pemilu 2004, membawa Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla memangku jabatan presiden dan wakil presiden. Kabinet
ini meletakkan landasan operasional politik luar negerinya dalam tiga program utama
nasional kebijakan luar negeri, yang termuat dalam rencana pembangunan jangka
menengah (RPJM) tahun 2004-2009, yaitu:15
1. pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi indonesia dalam
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
tujuan pokok dari upaya tersebut adalah meningkatkan kapasitas dan kinerja
politik luar negeri dan diplomasi dalam memberikan kontribusi bagi proses
demokratisasi, stabilitas politik dan persatuan nasional. langkah ini sejalan
dengan pidato bung hatta pada 15 desember 1945, yang menyatakan bahwa
“politik luar negeri yang dijalankan oleh negara mestilah sejalan dengan
politik dalam negeri”. seluruh rakyat harus berdiri dengan tegak dan rapat
dibelakang pemerintah republik indonesia. sebagaimana lebih lanjut
disampaikan oleh hatta, bahwa “persatuan yang sekuat-kuatnya harus ada,
barulah pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya dalam
diplomasi yang dijalankan”.
2. peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan secara
optimal berbagai peluang dalam diplomasi dan kerja sama internasional,
terutama kerjasama ASEAN dalamn penyelenggaraan hubungan luar negeri
dan pelaksanaan politik luar negeri merupakan aktualisasi dari pendekatan
ASEAN sebagai concentric circle utama politik luar negeri indonesia.
3. penegasan komitmen perdamaian dunia yang dilakukan dalam rangka
membengun dan mengembangkan semangat multilateralisme yang dilandasi
dengan penghormatan terhadap hukum internasional dipandang sebagai cara

15 Anonymous, op.cit., melalui http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-politik-luar-


negeri-indonesia/
yang lebih dapat diterima oleh subjek hukum internasional dalam mengatasi
masalah keamanan internasional. komitmen terhadap perdamaian
internasional relevan dengan tujuan hidup bernegara dan berbangsa,
sebagaimana dituangkan dalam alinea IV pembukaan undang-undang dasar
1945.
Hal yang cukup mengejutkan mengenai politik luar negeri Indonesia adalah
digalakkannya politik luar negeri dari “Bebas-Aktif yang menuju Dinamis-
Proaktif”.16 Dalam pidato bersejarah, “Mendayung di Antara Dua Karang”, Bung
Hatta mengatakan:17
“...mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan negara kita hanya harus memilih antara pro-
Rusia atau pro-Amerika?
Beliau kemudian menggariskan bahwa Indonesia tidak boleh sekadar menjadi
objek dalam percaturan internasional. Indonesia harus menjadi subjek yang dapat
menentukan kebijakannya sendiri.
Dalam pandangan Presiden Yudhoyono, prinsip bebas-aktif tidak berarti
menjadikan Indonesia tidak berani bersikap. Dengan prinsip itu, Indonesia berjuang
sebagai pelopor membebaskan bangsa-bangsa dari segala macam penjajahan dan
aktif mendorong mewujudkan tata dunia baru yang menjunjung tinggi
perikemanusiaan dan perikeadilan. Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa sudah
waktunya Indonesia memiliki kebijakan luar negeri baru sesuai dengan perubahan
dunia saat ini. Indonesia harus menegakkan harga dirinya dan tidak mengedepankan
sikap emosional dalam menghadapi masalah internasional. Melihat realitas yang ada,
dalam bersikap kita juga harus dapat memadukan aturan, nilai hubungan
internasional, kondisi pasar dunia, demokrasi, dan rasionalitas.
Karena itu, strategi polugri mendatang harus akomodatif agar mampu
menghadapi berbagai perubahan dunia kontemporer. Indonesia harus dapat
menentukan skala prioritas, apakah fokus pada masalah multilateral, regional,
ataukah bilateral. Selain itu, harus berani berpihak pada masalah-masalah yang tak
kenal batas negara, seperti hak asasi manusia, lingkungan, gender, dan kemiskinan.

16 Suara Karya Online melalui http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=118823


17 Kompas melalui http://umum.kompasiana.com/2010/02/19/sejarah-politik-luar-negeri-bebas-aktif/

19
Indonesia juga dituntut untuk menyelaraskan kemampuan dan kapasitasnya sendiri
dan mendefinisikan kepentingan nasionalnya dengan jelas. Paralel dengan itu,
Indonesia tampaknya perlu prioritas kepada masalah regional dan bilateral yang
secara langsung berdampak pada kepentingan nasional dan mampu meningkatkan
bargaining position Indonesia di dunia.
Sekarang ini, berdasarkan pandangan Menlu Marty Natalagawa,
pemerintahan Indonesia saat ini tampak tegas dalam menjalankan politik luar
negerinya karena Indonesia bisa dengan tegas mengambil keputusannya sendiri
dengan tidak ingin ikut-ikutan membentuk atau bergabung dalam aliansi tertentu
sehingga Indonesia tidak memiliki musuh dalam konteks hubungan internasional.
Selain itu pula, katanya, Indonesia juga tidak pernah menganggap negara mana pun
sebagai ancaman sehingga semua negara sebetulnya mempunyai tataran yang sama
dan setara.
Posisi Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif
menjadikan Indonesia bisa memainkan peranannya dalam kancah dunia
internasional, khususnya dalam menciptakan perdamaian dunia. Demikian juga untuk
pelaksanaan politik di dalam negeri, pemerintah tetap menganut asas demokratis
dalam upaya untuk menunjang politik luar negeri yang bebas aktif.
Presiden Yudhoyono menegaskan bahwa Indonesia akan tetap menjalankan
prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif. Tetapi, Indonesia perlu membangun
sebuah jangkar yang lebih kuat untuk peran regional dan globalnya dimasa depan
memang diperlukan, tetapi tidak cukup jika kita ingin mendapatkan perspektif yang
lebih baik mengenai bagaimana politik luar negeri Indonesia dapat menjadi jangkar
untuk membantu Indonesia dalam menghadapi tantangan yang lebih berat di tahun-
tahun berikutnya
Yang jelas keputusan luar negeri Indonesia dibuat dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor domestik dan internasional. Politik luar negeri Indonesia di tahun-tahun
berikutnya dilakukan dengan target TRUST yaitu uniTy (persatuan), haRmony
(keselarasan), secUrity (keamanan), leaderShip (kepemimpinan), dan prosperiTy
(kemakmuran). Semuanya ini merupakan sasaran inti dari politik luar negeri
Indonesia.
Menjadikan TRUST sebagai sasaran berarti politik luar negeri Indonesia itu
tegas, efektif, konsisten, tetapi fleksibel dan adaptif. Oleh sebab itu, Indonesia, dalam
menjalankan politik luar negerinya membutuhkan kepercayaan dari publik domestik
dan masyarakat internasional. Jangkar yang lebih kuat terhadap politik luar negeri
Indonesia dapat membangun kepercayaan yang membawanya kepada kemitraan yang
ekstensif. Keputusan politik luar negeri harus dibuat berdasarkan prioritas dan
berdasarkan perkiraan mengenai apa yang dapat diberikan oleh mitra Indonesia untuk
pembangunan Indonesia. Disinilah pentingnya sebuah kemitraan. Karena tantangan
politik luar negeri Indonesia yang akan semakin keras di masa depan, maka politik
luar negeri Indonesia harus dirancang sedemikian rupa sehingga ia merefleksikan
kebutuhan-kebutuhan Indonesia sekarang maupun di masa depan.
Bagi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sendiri, TRUST sesungguhnya
adalah bagian penting dari kepentingan nasional yang mencakup ruang domestiK dan
internasional. Karenanya, pemerintah Indonesia akan tetap memilih pendekatan
diplomasi multilateral dalam pelaksanaan politik luar negeri dan kerjasama
internasional pada 2010 dan seterusnya.

21
BAB III
KESIMPULAN

Indonesia sebagai negara yang besar telah mengalami dinamika politik yang
panjang. Dalam perkembangannya, Indonesia meletakkan dasar politik luar negeri
pada Pidato Muhammad Hatta yang berjudul Mendayung Diantara Dua Pulau. Dari
sinilah diambil konsep politik luar negeri Indonesia bebas dan aktif menekankan
kepada ketidakberpihakan Indonesia terhadap Blok Barat dan Blok Timur yang
tengah bersengketa pada masa Perang Dingin.
Dengan berbagai kelumit politik yang muncul. Prinsip bebas aktif ini
mengalami pergeseran-pergeseran bergantung kepada elit politik yang sedang
berkuasa. Pergeseran ini pulalah yang menjadi salah satu faktor, pasang-surutnya
kekuatan diplomasi dari Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, bebas aktif
digunakan untuk menguatkan posisi diplomasi Indonesia yang menentang
penjajahan. Kemudian bergeser pada Orde Lama sebagai penentangan terhadap
imperialisme yang mengakibatkan tidak harmonisnya hubungan Indonesia dengan
negara Barat hingga melemahkan diplomasi itu sendiri. Hingga pada Orde Baru,
prinsip bebas-aktif digunakan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan bagi seluruh
lapisan rakyat Indonesia yang mengarahkan kepada pembangunan dengan basis
investasi luar negeri. Walau ini dirasa menguatkan diplomasi Indonesia, tetapi, ia
juga melemahkan di sisi lain karena menimbulkan ketergantungan yang cukup besar
terhadap negara-negara investor.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, politik luar negeri
bebas aktif diarahkan kepada bebas aktif yang menuju Dinamis-Proaktif. Politik luar
negeri ini dilakukan dengan target TRUST yaitu uniTy (persatuan), haRmony
(keselarasan), secUrity (keamanan), leaderShip (kepemimpinan), dan prosperiTy
(kemakmuran). Ia menekankan kepada politik luar negeri Indonesia yang dapat
membangun kepercayaan yang membawanya kepada kemitraan yang ekstensif.
Keputusan politik luar negeri harus dibuat berdasarkan prioritas dan berdasarkan
perkiraan mengenai apa yang dapat diberikan oleh mitra Indonesia untuk
pembangunan Indonesia. Karena tantangan politik luar negeri Indonesia yang akan
semakin keras di masa depan, maka politik luar negeri Indonesia harus dirancang
sedemikian rupa sehingga ia merefleksikan kebutuhan-kebutuhan Indonesia sekarang
maupun di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA

23
Anonymous. 2009. Diplomasi Soekarno Hingga SBY Prinsip Politik Luar Negeri.
Melalui http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-politik-luar-negeri-
indonesia/ [04/05/10]
Anonymous. 2008. Revolusi Indonesia, Perjuangan Diplomasi atau Konfrontasi?
Melalui
http://adelwulan.blog.com/2008/01/07/revolusi-indonesia-perjuangan-diplomasi-
atau-konfrontasi/ [04/05/10]

25
Anonymous. 2009. Perjuangan Diplomasi Bangsa Indonesia Untuk
Mempertahankan Kemerdekaan. Melalui
http://nissasukavanilla.wordpress.com/2009/09/01/perjuangan-diplomasi-bangsa-
indonesia/ [04/05/10]
Anonymous. 2010. Diplomasi; Dari Bung Karno hingga Yudhoyono. Melalui
http://indonesiafile.com/content/view/2341/39/ [04/05/10]

27
Anonymous. 2009. IGGI: Sebuah Keberhasilan Diplomasi dan Jebakan Dependensi.
Melalui http://blackswan313.wordpress.com/2009/07/14/iggi-sebuah-keberhasilan-
diplomasi-dan-jebakan-dependensi/ [04/05/10]
Anonymous, op.cit., melalui http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-
politik-luar-negeri-indonesia/

29
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/demokratisasi.html [04/05/10]
Anonymous, op.cit., melalui http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-
politik-luar-negeri-indonesia/

31
Frans Seda. 2001. Program Ekonomi dengan IMF. Melalui
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2139&coid=2&caid=19&gid=1
[04/05/10]
Anonymous. 2007. Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia.
Suara Karya Online melalui http://www.suarakarya-online.com/news.html?
id=118823

33
Kompas melalui http://umum.kompasiana.com/2010/02/19/sejarah-politik-luar-
negeri-bebas-aktif/
Kementerian Luar Negeri Indonesia melalui http://www.deplu.go.id/

35

You might also like