You are on page 1of 2

Hukum 

Ijarah

Diarsipkan di bawah: Muamalah — Abu Al Maira @ 3:46 am

 Pengertian secara bahasa : “Menjual manfaat / kegunaan”. Sedangkan secara istilah : “Akad
untuk mendapatkan manfaat dengan pembayaran”.

“Dan jika mereka telah menyusukan buat kamu, maka berilah upah kepada mereka“. (At-
Tholak : 6).

“Salah satu dari keduanya berkata : Wahai ayahku, sewalah dia, sesungguhnya orang
yang terbaik yang kau sewa adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qoshos: 26)

“Berilah upah buruh sebelum kering keringatnya“. (H.R. Abu Ya’la, Ibnu Majah, Tabrani
dan Tirmidzi).

“Sesungguhnya Rasululah SAW berbekam dan memberikan upah kepada pembekamnya.”


(H.R.Bukhori, Muslim dan Ahmad).

Pada prinsipnya terdapat kesepakatan di kalangan para sahabat sebelum kedatangan beberapa
orang seperti Hasan Basri dan Abu Bakar al-Ashom, Ibnu Kisan, Ismail bin Aliyah, Qosyani dan
Nahroni. Ijarah ini dibolehkan karena manusia memerlukan akad semacam ini dalam kehidupan
muamalah mereka.

Rukun Ijaroh

1. Mu’jar ( Orang / barang yang diupah/disewa).


2. Musta’jir ( Orang yang menyewa/ mengupah)
3. Shighot ( Ijab dan qobul).
4. Upah dan manfaat.

Kaidah-Kaidah dalam Ijaroh :

 Semua barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa mengurangi substansi barang
tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.
 Semua barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi tidak
mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta dan air dalam sumur dapat juga
disewakan.
 Uang dari emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena barang-barang ini setelah
dikonsumsi menjadi hilang atau habis.

Syarat Ijaroh :

 Baik Mu’jar atau musta’jir harus balig dan berakal.


 Musta’jir harus benar-benar memiliki barang yang disewakan itu atau mendapatkan
wilayah untuk menyewakan barang itu.
 Kedua pihak harus sama-sama ridho menjalankan akad.
 Manfaat yang disewakan harus jelas keadaannya maupun lama penyewaannya sehingga
tidak menimbulkan persengketaan.
 Manfaat atau imbalan sewa harus dapat dipenuhi secara nyata dan secara syar’i. Misalnya
tidak diperbolehkan menyewakan mobil yang dicuri orang atau perempuan haid untuk
menyapu masjid.
 Manfaat yang dapat dinikmati dari sewa harus halal atau mubah karena ada kaidah ”
menyewakan sesuatu untuk kemaksiatan adalah haram hukumnya”.
 Pekerjaan yang diupahkan itu tidak merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh orang yang diupah sebelum terjadinya akad seperti menyewa orang untuk sholat.
 Orang yang diupah tidak boleh menikmati manfaat karena pekerjaannya. Tidak boleh
pengupahan (ijaroh) terhadap amalan-amalan thoat.
 Upah harus berupah harta yang secara syar’i bernilai.
 Barang yang disewakan tidak cacat yang dapat merugikan pihak penyewa..

Berakhirnya akad ijaroh :

 Salah satu pihak meninggal dunia (Hanafi); jika barang yang disewakan itu berupa hewan
maka kematiannya mengakhiri akad ijaroh (Jumhur).
 Kedua pihak membatalkan akad dengan iqolah.
 Barang yang disewakan hancur atau rusak.
 Masa berlakunya akad telah selesai.

 Sumber :

1.      Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57 2.      An Nabhani,
Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif . Surabaya: Risalah Gusti.3.      Abu Bakr Jabr Al
Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.

You might also like