You are on page 1of 7

STUDI PEMATAHAN DORMANSI BENIH MUCCUNA

(Mucuna bracteata L.)

Firdaus Sulaiman, Dwi Putro Priadi, dan Tresna Raharja


Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

ABSTRACT
The objective of the experiment was to study the effect of soaking on breaking seed dormancy of
mucuna. It was conducted at Laboratory of Seed Technology, Faculty of Agriculture, Sriwijaya University,
from November 2008 to February 2009. The experiment was arranged in Completely Randomized Design
with five treatments and replicated by five. The treatments were (A) soaking in glyceric acid, (B) soaking in
water for 8 hours, (C) soaking in hot water (85oC) for 2 hours, (D) soaking in KNO3 5% for 2 hours, and (E)
soaking in H2SO4 10% for 10 minutes.
The parameters observed were increase of seed weight (g), increase of seed moisture content (g),
germination rate (% per day), seed germination (%), seedling height (cm), time of dropped cotiledone (days
after planting), and leave number (page).
The result showed that the soaking in hot water (85 oC) for two hours gave the best result in breaking
dormancy of mucuna seeds for parameters; seed weight, seed moisture content, germination rate, seedling
height, time of dropped cotiledone, and leave number.

PENDAHULUAN
Penanaman tanaman kacangan penutup tanah (LCCs =Leguminous Cover Crops)
dapat berfungsi sebagai mulsa hidup, untuk mengendalikan erosi dan mencegah
tumbuhnya gulma. Jenis tanaman kacangan umumnya juga merupakan pakan ternak yang
bernilai gizi tinggi. Tanaman ini akan menyumbang sejumlah besar bahan organik,
nitrogen dan fosfor yang tersedia kedalam tanah, serta dapat digunakan untuk menghambat
pertumbuhan dan perkembangan alang-alang di lahan perkebunan (Irwanto, 2006).
Spesies yang umumnya digunakan untuk LCC yaitu Calopogonium mucunoides
(kacang asu), Centrosema pubescens (ki besin), Mucuna bracteata, Phaseolus carcaratus
(kacang oci), Pueraria spp. (kacang ruji), Stylosanthes guyanensis, dan campuran spesies
lainnya. Pada saat ini, LCC yang relatif baru diperkenalkan di Indonesia adalah Mucuna
bracteata. LCC ini ditemukan pertama kali di areal hutan negara bagian Tripura, India
Utara, dan sudah ditanam secara luas sebagai penutup tanah di perkebunan karet di Kerala,
India Selatan. Subronto (2002), mengungkapkan bahwa mucuna memiliki hampir
keseluruhan syarat LCC ideal yang disebutkan di atas dan nyata lebih unggul dibandingkan
dengan LCC konvensional.
Mucuna merupakan salah satu tanaman kacangan penutup tanah yang dominan
digunakan dan sangat bermanfaat bagi pertanaman kelapa sawit. Mucuna berasal dari
dataran tinggi Kerala, India dan telah tersebar secara luas di seluruh daerah tropika,
termasuk Indonesia. Karakteristik mucuna sebagai tanaman penutup tanah lebih
menguntungkan bila dibandingkan dengan jenis penutup tanah lainnya. Mucuna
merupakan tanaman merambat dengan pertumbuhan yang sangat cepat, memiliki
perakaran yang dalam, serta berdaun lebar (Sutarno dan Ilham, 1993).
Benih tanaman dari kelompok LCCs dapat dipercepat perkecambahannya dengan
berbagai perlakuan, baik secara fisik, kimia dan biologi. Dari hasil penelitian di Quensland
bila hanya perlakuan fisik saja belum menunjukkan hasil yang memuaskan baik jumlah
benih yang berkecambah maupun waktu yang dipergunakan untuk berkecambah. Benih
direndam dalam air panas (50 C) selama semalam, dan dalam satu hektar dibutuhkan benih
sebanyak 3-4 kg (Elisa, 2007).
Sejalan dengan itu, dipandang perlu untuk mengadakan serangkaian kajian
penelitian pematahan dormansi benih mucuna, baik secara fisik maupun kimiawi guna
memberi masukan bagi pengembangan pembudidayaaan salah satu jenis tanaman LCC ini.
Penelitian ini juga akan menganalisa efektivitas tiap perendaman fisik maupun kimiawi
1
yang baik untuk diterapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan
perendaman terhadap pematahan dormansi benih mucuna.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Benih Jurusan Budidaya
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya. Penelitian ini berlangsung
dari awal bulan November 2008 sampai dengan akhir Februari 2009. Bahan dan alat yang
digunakan adalah : 1) benih kacangan Mucuna bracteata, 2) larutan asam sulfat (H2SO4),
kalium nitrat (KNO3), dan asam giberelin (GA3), 3) fungsida dan insektisida dengan dosis
masing-masing 2 g/L air dan 2 cc/L air, 4) air panas dengan suhu 85 o C, 5) aquadest, 6)
pasir halus. Alat yang dipakai: 1) bak tanam plastik, 2) hand sprayer, 3) mistar, 4)
termometer, 5) ayakan pasir, 6) oven, 7) gelas ukur, dan 8) neraca analitik.
Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan lima
perlakuan dan lima ulangan, sehingga didapatkan dua puluh lima unit percobaan. Setiap
unit percobaan menggunakan sepuluh benih untuk peubah awal (kadar air dan bobot benih)
dan duapuluh benih peubah akhir penelitian, sehingga keseluruhannya ada 750 benih.
Perlakuan adalah perendaman dengan asam giberelin selama 2 jam (A), perendaman
dengan air biasa selama 8 jam (B), perendaman dengan air panas (suhu 85 oC) sampai air
setara suhu ruangan (C), perendaman dengan KNO3 5% selama 2 jam (D), dan perendaman
dengan H2SO4 10% selama 15 menit (E). Peubah yang diamati adalah pertambahan bobot
benih (g), pertambahan kadar air benih (%), daya berkecambah (%), kecepatan tumbuh
benih (% per hari), tinggi kecambah (cm), waktu kotiledon rontok (hari), dan jumlah daun
(helai)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengujian benih di laboratorium menunjukkan bahwa kecepatan imbibisi
benih dari berbagai perlakuan dengan cara mengukur peningkatan bobot benih setiap hari
(selama satu minggu) diperlihatkan pada Gambar 1, sedangkan peningkatan kadar air benih
selama satu minggu dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk melihat pengaruh perlakuan
terhadap bobot benih dan kadar air benih pada hari ke-7, dilakukan sidik ragam dengan
menggunakan pola Rancangan Acak Lengkap (Tabel 2).

1.8
1.6
Bobot Benih (gram)

1.4 A
1.2 B
1
C
0.8
0.6 D
0.4 E
0.2
0
ke-0 ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 ke-7

Gambar 1. Grafik peningkatan bobot benih mucuna (g) dari hari ke-0 (sebelum
pengecambahan) sampai hari ke-7.

Pengukuran kadar air benih pada setiap perlakuan, dilakukan bersamaan dengan
pengukuran bobot benih. Kadar air benih mucuna diukur setiap hari selama tujuh hari sejak

2
benih dikecambahkan dalam media. Pada Gambar 2 disajikan grafik peningkatan kadar air
benih mucuna.

Gambar 2. Grafik peningkatan kadar air benih mucuna (%) dari hari ke-0 (sebelum
pengecambahan) sampai hari ke-7.

Hasil uji benih di Laboratorium Teknologi Benih menunjukkan bahwa perlakuan


pematahan dormansi benih memberikan pengaruh yang sangat nyata pada kadar air benih
dan bobot benih. Kedua peubah ini merupakan indikator kecepatan imbibisi benih, yang
dinyatakan dengan pertambahan kadar air benih setelah benih ditanam dalam media
pengujian. Bersamaan dengan penambahan kadar air benih, terjadi peningkatan bobot dan
volume benih pada setiap saat terjadi penyerapan air oleh benih. Akan tetapi, peningkatan
volume benih tidak diukur dalam penelitian ini. Menurut Lakitan (1996) bahwa imbibisi
merupakan proses masuknya air ke dalam benih sebagai proses awal perkecambahan pada
benih hidup. Proses masuknya air ke dalam benih, ditandai oleh penambahan kadar air
benih, peningkatan bobot benih, dan penambahan volume benih. Pada benih mucuna,
pembengkakan tersebut terjadi sebagai akibat adanya proses imbibisi.
Pada Gambar 1 dan 2, menunjukkan adanya peningkatan terhadap kadar air benih dan
bobot benih. Peningkatan sangat jelas terjadi pada benih yang diperlakukan dengan
perendaman air panas 85oC, dibanding dengan perlakuan lainnya. Diduga dengan
perlakuan perendaman air panas terjadi pengembangan kulit benih. Pengembangan kulit
benih yang semula keras, dapat menjadi lunak yang mengakibatkan mudahnya air masuk
ke dalam benih. Kemudahan dalam penyerapan air pada benih yang mengalami dormansi
merupakan keuntungan untuk dapat berkecambah lebih cepat. Penyerapan air merupakan
tahap awal dari proses perkecambahan benih (Copeland dan McDonald, 1976), tanpa
adanya peningkatan kadar air benih, perkecambahan sulit untuk tercapai. Tahap
perkecambahan berikutnya adalah pengaktifan enzim-enzim metabolisme perkecambahan,
seperti amilase, protease, dan lipase. Ketiga enzim ini akan melakukan aktifitasnya dalam
prose perkecambahan setelah terjadinya proses rehidrasi (Duke et al, 1983). Rehidrasi pada
benih ortodoks dtandai oleh adanya proses imbibisi dengan indikator penambahan volume
dan bobot benih (Mugnisjah dan Setiawan, 1990). Hasil pengamatan pengaruh perlakuan
terhadap peubah bobot benih dan kadar air benih (masing-masing pada hari ke-7), daya
berkecambah benih, kecepatan tumbuh benih, waktu kotiledon rontok, tinggi bibit, dan
jumlah daun disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hasil sidik ragam pada semua peubah yang diamati

3
No. Peubah F hitung F Tabel KK
0,05 0,01 (%)
1. Bobot benih (g) pengamatan hari ke-7 8,308** 2,67 4,43 11,962
2. Kadar air benih (%), pengamatan hari ke-7 30,17** 15,046
3. Daya berkecambah benih (%) 11,259** 20,938
4. Kecepatan tumbuh benih (% per hari) 28,769** 26,424
5. Waktu kotiledon rontok (hari) 109,736** 8,272
6. Tinggi bibit (cm) 3,40* 13,288
7. Jumlah daun (helai) 0,239tn 18,96
Keterangan. **) sangat nyata *
) nyata tn
) tidak nyata

Pada tabel di atas terlihat bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sangat
nyata pada peubah bobot benih, kadar air benih, daya berkecambah benih, kecepatan
tumbuh benih, dan waktu kotiledon rontok. Semua perlakuan juga memberikan pengaruh
yang nyata pada peubah tinggi bibit. Akan tetapi, semua perlakuan berpengaruh tidak nyata
pada peubah jumlah daun. Untuk melihat pengaruh terhadap masing-masing perlakuan
dilakukan uji lanjut dengan uji BNJ pada taraf 0,05 dan 0,01. Hasil uji BNJ disajikan pada
Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada setiap peubah

Perlakuan Bobot Kadar Air Daya Kecepatan Waktu Tinggi


Benih Benih Berkecam Tumbuh Kotiledon Kecambah
bah Benih Rontok
A. asam Giberelin 1,29 ab 41,15 b 38 a 1,67 ab 18,88 c 10,72 ab
B. air biasa 1,05 a 21,11 a 29 a 1,08 a 23,78 d 8,38 b
C. air panas 1,62 c 67,21 c 66 c 6,05 d 9,42 a 11,20 a
D. KNO3 5% 1,35 bc 45,35 b 46 ab 2,81 b 13,42 b 9,60 ab
E. H2SO4 10% 1,43 bc 51,01 bc 58 bc 4,36 c 11,06 a 9,84 ab
BNJ 0,05 0,286 12,035 17,576 1,497 2,243 2,341
Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama, berarti berbeda nyata pada taraf BNJ
0,05

Berdasarkan hasil uji BNJ pada Tabel 3 didapatkan bahwa perlakuan perendaman
air panas 85oC memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua peubah dibanding
perlakuan lainnya. Pada perlakuan ini juga ditemukan bobot benih dan kadar air benih
tertinggi, dengan daya berkecambah benih yang dihasilkan juga paling besar (66%). Hal ini
didukung pula oleh cepatnya tumbuh benih dengan nilai 6,05% per hari. Tinggi bibit di
akhir penelitian juga lebih tinggi dengan jumlah daun yang lebih banyak. Kemampuan
tanaman untuk bertahan hidup juga lebih cepat, ditandai dengan waktu kotiledon rontok
yang relatif singkat (9,42 hari).
Gambar 3 menunjukkan pengaruh perlakuan terhadap jumlah daun, dengan hasil
analisis sidik ragam berpengaruh tidak nyata, tetapi dari hasil analisis histogram perlakuan
C menunjukkan bibit yang paling dominan jumlah daunnya diantara perlakuan lainnya.
Semua bibit diamati banyaknya jumlah daun pada akhir penelitian.

4
4.9
4.8
4.7
jumlah daun

4.6

4.5
4.4
4.3
4.2
4.1
A B C D E
perlakuan

Gambar 3. Jumlah daun mucuna yang dihitung pada hari ke-40

Perlakuan perendaman air panas 85oC menghasilkan daya berkecambah terbanyak


yaitu 66% yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan ini memungkinkan air
masuk ke dalam benih untuk memulai berlangsungnya proses perkecambahan benih.
Sutopo (2002) menjelaskan bahwa tahap pertama suatu perkecambahan benih dimulai
dengan proses penyerapan air, melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma.
Perlakuan perendaman air panas 85oC merupakan perlakuan yang lebih baik
dibandingkan perlakuan lainnya memungkinkan bahwa suhu 85oC ideal untuk pematahan
dormansi benih mucuna yang secara fisik memiliki seed coat yang tebal. Adapun untuk
perlakuan air biasa dan perendaman bahan kimiawi lainnya dapat menjadi bahan penelitian
lanjutan untuk mencari konsentrat dan lama perendaman yang ideal untuk pematahan
dormansi benih mucuna.
Dormansi pada benih mucuna disebabkan oleh keadaan fisik dari kulit biji yang
menyababkan pembatasan struktural terhadap perkecambahan dikarenakan kulit biji yng
keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas.
Pengambilan air terhalang kulit biji yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel-sel
serupa palisade berdinding tebal terutama di permukaan paling luar dan bagian dalamnya
mempunyai lapisan lilin dari bahan kutikula (Sutopo, 2002).
Menurut Bewley (1986) bahwa penyerapan air oleh benih yang akan berkecambah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu lingkungan, kelembaban udara, viskositas
larutan, dan kadar air benih di awal perkecambahan. Kecepatan penyerapan air oleh benih
akan berkecambah dengan meningkatnya suhu dan rendahnya viskositas larutan. Kadar air
benih yang rendah di awal perkecambahan akan memproses masuknya air lebih cepat ke
dalam endosperm.
Keragaman daya kecambah ini diduga juga disebabkan oleh tingkat kematangan
benih yang berbeda dari sumber benihnya. Tingkat kematangan benih akan memberikan
perbedaan indeks vigor, waktu yang digunakan untuk mulai berkecambah dan persentase
perkecambahan (Sutopo, 2002). Hal ini sejalan dengan Prabowo (1995), yang menyatakan
bahwa penyerapan air pada benih yang telah matang penuh lebih cepat daripada benih
belum matang. Semakin cepat air terserap, maka proses biokimia dalam benih akan lebih
cepat dimulai sehingga embrio lebih cepat berkembang dan benih dapat cepat
berkecambah.
Kecepatan benih berkecambah pada perlakuan C dengan rata-rata kecepatan
berkecambah 6,05% per hari, didukung oleh banyaknya benih yang dapat berkecambah.
Mugnisjah dan Setiawan (1990) menyatakan bahwa benih yang berviabilitas tinggi
5
ditunjukkan oleh adanya daya berkecambah yang lebih besar dengan kecepatan
berkecambah yang tinggi. Pada benih yang penyerapan airnya lebih mudah, umumnya juga
akan diikuti oleh kemudahan masuknya senyawa lain dalam perkecambahan, misalnya
oksigen dan karbondioksida. Kedua gas ini akan saling melintas pada saat terjadinya
perkecambahan, oksigen diperlukan untuk proses respirasi dan karbondioksida sebagai
hasil respirasi akan dilepas keluar. Keduanya masuk dan keluar melalui tempat masuknya
air, sehingga kulit benih menjadi lebih permeabel pada benih (Prawiranata et al.1981).
Perendaman H2SO4, KNO3, dan asam giberelin merupakan perlakuan kimia dalam
pematahan dormansi benih. Kulit benih mucuna yang keras bersifat impermeabel terhadap
air dan udara sehingga menghalangi proses perkecambahan benih, hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Sulaiman dan Gozali (2004) pada tanaman keranji. Menurut Sutopo (2002),
perlakuan benih yang mempunyai kulit keras (dormansi fisik) dengan cara perendaman
bahan kimia bertujuan untuk melunakkan kulit benih, sehingga mempermudah masuknya
air dan O2 yang dibutuhkan untuk proses perkecambahan. KNO3 dan H2SO4 berfungsi
sebagai pelunak, meregangkan kulit benih dan merangsang proses respirasi untuk
perkecambahan. Reaksi asam dapat melarutkan lamella tengah dari suatu jaringan,
sehingga jaringan menjadi lebih lunak dan memudahkan pertukaran gas O2 dan CO2 serta
memudahkan calon akar untuk tumbuh (Hartutiningsih dan Utami, 1999). Akan tetapi,
proses masuknya air dari perlakuan kimia ini tidak secepat pada perlakuan perendaman air
panas. Peningkatan kadar air dan bobot benih selama satu minggu pada perlakuan
perendaman bahan kimia juga tidak sebesar pada perlakuan perendaman air panas.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan perendaman
air panas dalam pematahan dormansi benih mucuna merupakan perlakuan yang terbaik
dibandingkan perlakuan lainnya pada peubah pertambahan kadar air benih, bobot benih,
daya berkecambah benih, kecepatan tumbuh benih, waktu kotiledon rontok, dan tinggi
bibit.
Perlu penelitian lanjutan tentang perlakuan KNO3 dan H2SO4 dengan menggunakan
konsentrasi dan lama perendaman yang lebih tinggi sehingga didapatkan metode yang
lebih tepat untuk pemecahan dormansi benih mucuna. Perlakuan perendaman pada air
biasa selama 8 jam tidak efektif sebagai salah satu perlakuan pematahan dormansi benih
mucuna.

DAFTAR PUSTAKA

Bewley, J.D. 1986. Membrane changes in seeds as related to germination in storage, p.27-
45. In M.B. McDonald and C.J. Nelson (Eds.) Physiology of Seed Deterioration.
CSSA Spec. Pub. No. 11.

Duke, S.H., G. Kakefuda, and T.M. Harvey. 1983. Differential leakage of intracellular
substances from imbibing soybeans seeds. Plant Physiol. 72:919-924.

Elisa. 2007. Aplikasi Manipulasi Lingkungan. www.inline.or.id.

Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1976. Statistical Procedure for Agricultural Research with
Emphasis on Rice Reearch Institute. Los Banos. Laguna, Philippines.

Hartutiningsih dan Utami. 1999. Manipulasi KNO3 dalam Upaya Meningkatkan


Perkecambahan Biji Palem Merah (Chrystotachys lakka Becc.). Prosiding

6
Seminar Nasional Konservasi Flora Nusantara. Balai Pengembangan Kebun Raya
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

Irwanto. 2006. Penggunaan Tanaman Actinorhizal Casuarina equisetifolia L. pada


Rehabilitasi Alang-alang dengan Sistem Agroforestri. www.irwantoshut.com

Lakitan, B. 1996. Fisiologi Benih. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian


Universitas Sriwijaya.

Mugnisjah, W.Q., dan A. Setiawan. 2004. Produksi Benih. Bumi Aksara berkerjasama
dengan Pusat Antar Universitas-Ilmu Hayat IPB. Bogor.

Prawiranata, W., S. Harran, dan P. Tjondronegoro. 1981. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan.


Departemen Botani Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Subronto. 2002. Penggunaan kacangan penutup tanah Mucuna bracteata pada pertanaman
kelapa sawit. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit 10 (1) 2002: 1-6.

Sulaiman, F. dan K. Gozali. 2004. Pengaruh pematahan dormansi terhadap perkecambahan


benih dan pertumbuhan bibit keranji (Dialium indum L.). Jurnal Tanaman
Tropika 7(2): 78- 84.

Sutarno dan Ilham. 1993. Pendayagunaan Tanaman Kacang-Kacangan pada Lahan Kritis.
Yayasan Prosea, Bogor dan MAB Indonesia, UNESCO/ROSTSEA. Jakarta.

Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih (edisi revisi). Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta

You might also like