You are on page 1of 15

1

Snapshot Dampak Kebijakan Publik Dalam


Program Pengentasan Kemiskinan
Oleh
Dr. Haedar Akib, M.Si
Dosen Program Sarjana dan Pascasarjana UNM

Abstrak
Analisis dampak kebijakan menarik dikaji dalam kaitannya dengan fokus dan lokus
program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Kajian ini lebih menarik ketika dilihat
dari tiga perspektif. Pertama, konteks desentralisasi pemerintahan yang mewarnai wacana
penyelenggaraan pemerintahan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Kedua, studi
dampak kebijakan selalu dikritisi oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Ketiga,
esensi dan orientasi evaluasi kebijakan yang semakin terlihat melalui dampaknya
terhadap sasaran yang dituju. Berkaitan dengan hal itu akan dibahas desentralisasi
pemerintahan yang melahirkan otonomi daerah. Selanjutnya dianalisis dampak kebijakan
publik berdasarkan fokus kritik dari teoritisi dan praktisi serta bukti-bukti empiris
mengenai dampak kebijakan program pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Pada
bagian akhir, diperkenalkan dua hukum umum sebagai alternatif dalam mengatasi
masalah dampak kebijakan.

Pendahuluan

Bandul penyelenggaraan pemerintahan di sejumlah negara, termasuk di Indonesia,

cenderung bergerak ke arah desentralisasi. Hal itu terjadi sebagai pilihan strategis dalam

upaya mereformasi dan memodernisasi pemerintahannya. Secara teoritis, desentralisasi

dipahami sebagai penyerahan otoritas dan fungsi dari pemerintah nasional kepada

pemerintah sub-nasional atau lembaga independen (The World Bank Group,

Decentralization & Subnational Regional Economics, http://www1.worldbank.org.htm,

h. 1, diakses, 22 Mei 2006). Ide dasar desentralisasi adalah pembagian kewenangan di

bidang pengambilan keputusan pada organisasi dengan tingkat yang lebih rendah (Daft,

1992). Artinya, jika pengambilan keputusan dilakukan hanya oleh sekelompok pimpinan

dalam organisasi maka dianggap tersentralisasi, sedangkan jika pengambilan keputusan

diserahkan kepada unit-unit organisasi yang lebih rendah dianggap terdesentralisasi. Pada
2

konteks Indonesia, pemahaman ini sesuai dengan asumsi bahwa organisasi pemerintah

pada tingkat bawah (pemerintah daerah) lebih mengetahui kondisi dan kebutuhan aktual

dari masyarakat setempat, serta tidak mungkin pemerintah di tingkat nasional mampu

melayani dan mengurusi segala kepentingan dan urusan masyarakat yang demikian

kompleks. Desentralisasi juga dianggap sebagai respons atas tuntutan demokratisasi yang

begitu besar karena pemerintah daerah diharapkan lebih kreatif dan responsif dibanding

pemerintah pusat terhadap berbagai kebutuhan masyarakat setempat (Leach et al, 1994:

128-151).

Pemerintahan dipahami sebagai lembaga atau institusi yang menyelenggarakan

dan menyeimbangkan antara kebutuhan individu atau masyarakat akan barang-barang

dan jasa/pelayanan publik (Dharma dan Simanjuntak, 2000: 59). Pemahaman itu sejalan

dengan terminologi ilmu pengetahuan sosial modern yang mengartikan pemerintah

daerah sebagai sistem yang berfungsi bersama-sama dengan sistem lain dalam sistem

yang lebih besar, karena semua (komponen) sistem tersebut berinteraksi satu sama lain

(Leemans, A.F. 1970). Dengan demikian, desentralisasi pemerintahan merupakan

pelimpahan kewenangan dan fungsi dari pemerintah ke pemerintah daerah. Motivasi

desentralisasi berbagai negara dan daerah menurut Shah dan Thomson yang dikutip oleh

Kammeier (2002: 3-4) adalah sebagai berikut: transformasi ekonomi dan politik (Eropa

Tengah dan Timur, Rusia); krisis politik akibat konflik etnik (Bosnis-Herzegovina,

Ethiopia, Yugoslavia, Nigeria, Sri Langka, Afrika Selatan, Filipina); krisis politik akibat

konflik regional (Indonesia, Madagaskar, Mali, Senegal, Uganda, Mexico, Filipina);

meningkatkan partisipasi (Argentina, Brasil, Bolivia, Columbia, India, Pakistan,

Filipina); kepentingan akses terhadap Uni Eropa (Republik Czech, Slovakia, Hungaria,
3

Polandia); manuver politik (Peru, Pakistan); krisis fiskal (Rusia, Indonesia, Pakistan);

meningkatkan penyediaan pelayanan (Chili, Uganda, Cote D’Ivoire); untuk sentralisasi

(Cina, Turki, Uni Eropa); perubahan defisit yang mengalami penurunan (Eropa Tengah

dan Timur, Rusia); perubahan tanggung jawab terhadap penyesuaian program yang tidak

populer (Afrika); mencegah kembalinya pemerintahan yang otoriter (Amerika Latin);

mempertahankan aturan komunis (China); dan globalisasi dan revolusi informasi

(sebagian besar negara). Adapun tujuan desentralisasi dapat diringkaskan menurut

pendapat Kammeier (2002: 5), seperti termuat dalam tabel 1.

Tabel 1
Kategori dan Tujuan Utama Desentralisasi
(H. Detlef Kammeier, Linking Decentralization to Urban Development,
UN-HABITAT, 2002 Vol. 8 No. 1, h. 5)

Kategori Desentralisasi Tujuan Desentralisasi


Desentralisasi politik Memperbaiki demokrasi dan keadilan di bidang
politik.
Desentralisasi administratif Meningkatkan efisiensi pengelolaan pelayanan
masyarakat.
Desentralisasi fiskal Memperbaiki kinerja keuangan melalui
peningkatan kemampuan menggali sumber
keuangan (pembiayaan) lokal dan keputusan
belanja yang rasional.
Desentralisasi ekonomi Menciptakan lingkungan investasi yang kondusif
bagi perusahaan swasta dan pemenuhan tanggung
jawab terhadap kebutuhan setempat.

Tujuan desentralisasi pemeritahan – yang relevan dengan tema yang dibahas –

dikemukakan oleh Leemans (1970: 17-27) yakni: 1) sebagai instrumen pembangunan

nasional, 2) demokratisasi, 3) kebebasan, 4) efisiensi administrasi, 5) perkembangan

sosial dan ekonomi, dan 6) konflik antara tujuan dengan skala prioritas. Berdasarkan

pendapat tersebut, dapat dipahami desentralisasi pada konteks Indonesia yang bertujuan
4

untuk: 1) mengurangi campur tangan pemerintah pusat dalam masalah kecil di tingkat

daerah; 2) meningkatkan pengertian dan dukungan rakyat dalam kegiatan usaha

pembangunan sosial ekonomi; 3) menyusun program perbaikan sosial ekonomi secara

lebih realistis pada tingkat daerah; dan 4) melatih rakyat untuk mengatur urusannya

sendiri dan membina kesatuan nasional (Tjokroamidjojo, 2000: 1-8).

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa desentralisasi melahirkan otonomi daerah.

Pemahaman ini dipertegas oleh Tjokroamidjojo (1976: 82) yang menyatakan bahwa

desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi. Dengan demikian, konteks

desentralisasi dapat mewarnai dan mewadahi penyelenggaraan pemerintahan suatu

negara dan mencirikan bentuk reformasi dan modernisasi pemerintahannya, serta

pelaksanaan program pengentasan kemiskinan.

Kritik Teoritisi dan Praktisi Terhadap Implikasi Kebijakan.

Sikap skeptis berbagai kalangan terhadap implikasi kebijakan didasarkan pada

pemahaman Dye dan beberapa pakar (1981: 378) yang juga mempertanyakan mengapa

pemerintah seringkali tidak tahu kebijakan yang telah dibuat. Menurut Dye, terdapat

sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam studi evaluasi kebijakan yang belakangan

dideskripsikan sebagai eksperimentasi kebijakan.

1. Penentuan apa tujuan yang akan dicapai oleh program. Siapa kelompok target dan apa

efek yang diharapkan? Pemerintah seringkali menghendaki tujuan yang “trade off’

(bertentangan) untuk memuaskan berbagai kelompok sekaligus. Ketika tidak ada

kesepakatan mengenai tujuan program kebijakan, maka studi evaluasi akan

diperhadapkan pada konflik kepentingan yang besar.


5

2. Sejumlah program dan kebijakan lebih memiliki nilai simbolis. Program dan

kebijakan tersebut tidak secara aktual mengubah kondisi kelompok target, melainkan

semata-mata menjadikan kelompok tersebut merasa bahwa pemerintah memberikan

“memperhatikan”.

3. Agen pemerintah memiliki kepentingan tetap (vested interest) yang kuat dalam

“mencoba” apakah program membawa dampak positif. Administrator seringkali

melakukan percobaan untuk mengevaluasi dampak program yang dibuat bagaikan

mencoba membatasi atau merusak programnya, atau mempertanyakan kompetensi

administrator yang terlibat di dalamnya.

4. Agen pemerintah biasanya memiliki investasi besar – organisasi, finansial, pisikal,

dan psikologikal – pada program dan kebijakan yang sedang dikerjakan.

5. Sejumlah studi empiris mengenai dampak kebijakan yang dikerjakan oleh agen

pemerintah mengalami berbagai hambatan atau gangguan terhadap kegiatan program

yang sedang berjalan.

6. Evaluasi program memerlukan pembiayaan, fasilitas, waktu, dan pegawai yang mana

agen pemerintah tidak ingin berkorban dari program yang berjalan. Studi dampak

kebijakan, seperti halnya sejumlah penelitian, membutuhkan uang untuk membiayai.

Studi itu tidak dapat dilakukan dengan baik hanya bagaikan kegiatan ekstrakurikuler

atau paruh waktu. Penyiapan sumber daya untuk studi tersebut berarti pengorbanan

sumber daya program yang tidak ingin dilakukan oleh administrator.

Selain sikap skeptis di atas, administrator pemerintah dan pendukung program

memikirkan berbagai cara untuk memberikan alasan mengapa temuan negatif dampak
6

kebijakan harus ditolak. Begitu pula ketika menghadapi bukti empiris di mana program

yang diunggulkan tidak berguna atau kontra-produktif maka pihak tersebut menyatakan:

1. Efek program tersebut bersifat jangka panjang dan tidak dapat diukur pada saat

sekarang.

2. Efek program tersebut menyebar dan bersifat umum, karena itu tidak ada kriteria

tunggal atau kesesuaian indeks yang dapat digunaan untuk mengukur apa yang

dicapai.

3. Efek program tidak jelas dan tidak dapat diidentifikasi dengan ukuran kasar atau

statistik.

4. Fakta yang ditemukan mengenai tidak adanya perbedaan orang yang menerima

pelayanan dan orang yang tidak menerima berarti bahwa program itu tidak intensif

dan mengindikasikan perlunya lebih banyak mengeluarkan sumber daya untuk

pelaksanaan program tersebut.

5. Kegagalan mengidentifikasi sejumlah efek positif dari suatu program dapat menandai

ketidaksesuaian atau bias dalam penelitian, bukan pada program tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa sikap skeptis teoritisi dan

praktisi seperti itu tidak sepenuhnya dapat diterima, karena realitas yang ditemukan di

lapangan justru “berbeda”. Adanya perbedaan dan bukti-bukti nyata yanga ditunjukkan

dapat dipahami berdasarkan dampak kebijakan publik secara teoritis dan praktek sebagai

berikut.

Dampak Kebijakan Publik. Dampak kebijakan adalah keseluruhan efek yang

ditimbulkan oleh suatu kebijakan dalam kondisi kehidupan nyata (Dye, 1981: 367).

Menurut Dye (1981: 367) dan Anderson (1984: 138), semua bentuk manfaat dan biaya
7

kebijakan, baik yang langsung maupun yang akan datang, harus diukur dalam bentuk

efek simbolis atau efek nyata yang ditimbulkan. Output kebijakan adalah berbagai hal

yang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, pembangunan dan rehabilitasi jalan raya,

pembayaran tunjangan kesejahteraan atau tunjangan profesi, penangkapan terhadap

pelaku tindak kriminal, atau penyelenggaraan sekolah umum. Ukuran yang digunakan

adalah pengeluaran “perkapita” untuk jalan raya, kesejahteraan, penanganan kriminal per

100.000 penduduk, persiswa sekolah umum, dan sebagainya (Anderson, 1984: 136).

Kegiatan tersebut diukur dengan standar tertentu. Angka yang terlihat hanya memberikan

sedikit informasi mengenai outcome atau dampak kebijakan publik, karena untuk

menentukan outcome kebijakan publik perlu diperhatian perubahan yang terjadi dalam

lingkungan atau sistem politik yang disebabkan oleh aksi politik. Pengetahuan mengenai

jumlah dana perkapita yang digunakan untuk siswa dalam sistem persekolahan atau untuk

kasus lainnya, tidak dapat memberikan informasi mengenai efek persekolahan terhadap

kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotik siswa.

Menurut sebagian pakar, seperti Dye (1981: 366) dan Anderson (1984: 136-139),

terdapat sejumlah dampak (manfaat) kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam evaluasi

kebijakan, yakni:

(1) Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok target. Obyek yang

dimaksud sebagai sasaran kebijakan harus jelas, misalnya orang miskin, pengusaha

kecil, anak sekolah yang tidak beruntung, atau siapa saja yang menjadi sasaran. Efek

yang dituju oleh kebijakan juga harus ditentukan. Jika berbagai kombinasi sasaran

tersebut dijadikan fokus maka analisisnya menjadi lebih rumit karena prioritas harus

diberikan kepada berbagai efek yang dimaksud. Lebih daripada itu, perlu dipahami
8

bahwa suatu suatu kebijakan kemungkinan akan membawa konsekuensi yang

diinginkan atau tidak diinginkan.

Faktanya: implikasi kebijakan pengetasan kemiskinan (Inpres Desa Tertinggal/IDT,

Program Pengembangan Kecamatan/PPK) dengan sasaran orang miskin di berbagai

wilayah Indonesia merupakan salah satu bukti nyata. Implikasi kebijakannya terlihat

misalnya melalui keberhasilan program tersebut dalam mengembangkan kegiatan

ekonomi produktif masyarakat miskin, kemudahan akses masyarakat memperoleh

pinjaman (modal bergulir), akses ke pasar, termasuk kemudahan akses memperoleh

pelayanan publik dan adanya peningkatan kualitas hidup masyarakat paska-program

dilaksanakan. Kualitas hidup masyarakat dapat dilihat dari fasilitas sosial, prasarana

dan sarana, pendidikan, faktor lingkungan, perwakilan (hak) politik, dan kebutuhan

lainnya.

(2) Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok lain selain situasi atau

kelompok target. Hal ini disebut efek eksternalitas atau spillover, karena sejumlah

outcome kebijakan publik sangat berarti dipahami dengan istilah eksternalitas.

Faktanya ialah kebijakan IDT dan PPK sebagai contoh telah melibatkan (langsung

dan tidak langsung) berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, aparat

pemerintah daerah, tokoh masyarakat, guru dan penyuluh kesehatan, kontraktor, dll.

(3) Dampak kebijakan terhadap kondisi sekarang dan kondisi masa depan.

Faktanya ialah dampak kebijakan IDT dan PPK misalnya, telah menguatkan fondasi

ekonomi kerakyatan dan kemandirian masyarakat miskin khususnya dan masyarakat

pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa dampak positif kebijakan tersebut

meneguhkan keinginan masyarakat dalam merespons gagasan otonomi daerah yang


9

baru dimulai pelaksanaanya sejak tahun 1999 (UU Nonor 22 dan UU Nomor 25, yang

kemudian diganti dengan UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan UU

Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah).

(4) Biaya langsung kebijakan, dalam bentuk sumber daya dan dana (uang)

yang telah digunakan dalam program. Faktanya ialah berbagai lembaga penyandang

dana telah merealisasikan programnya. Hal ini logis dan sejalan dengan program

pengentasan kemiskinan yang dibiayai oleh berbagai pihak, termasuk Bank Dunia,

United Nations Development Program (UNDP), pemerintah pusat dan pemerintah

daerah setempat.

(5) Biaya tidak langsung kebijakan, yang mencakup kehilangan peluang

melakukan kegiatan-kegiatan lain. Biaya tersebut sering tidak diperhitungkan dalam

melakukan evaluasi kebijakan, karena sebagian tidak dapat dikuantifikasi. Faktanya

ialah tidak bisa dipungkiri bahwa program yang dijalankan akan melibatkan berbagai

pihak yang dengan keterlibatannya menghalangi melakukan kegiatan lain, misalnya

anak dan anggota keluarga dari masyarakat miskin yang dulunya turut membantu

kegiatan orang tua, harus berada di bangku sekolah untuk belajar pada jam tertentu.

Hal ini berarti kesempatan membantu orang tuanya bekerja menjadi hilang atau

berkurang.

(6) Tentu saja, juga sulit mengukur manfaat tidak langsung dari kebijakan

terhadap komunitas yang dituju oleh suatu program kebijakan. Faktanya, hal ini

sesungguhnya dapat dilihat dari dampak simbolis kebijakan, misalnya di bidang

pendidikan terlihat dari perubahan sikap dan perilaku warga masyarakat untuk
10

menjadi sadar akan arti penting pendidikan atau di bidang kesehatan melalui sikap

dan perilaku terdidik atau cerdas dan perilaku sehat yang ditunjukkan.

Secara teoritis, “dampak kebijakan” tidak sama dengan “output kebijakan.” Oleh

karena itu, menurut Dye (1981: 368), penting untuk tidak mengukur manfaat dalam

bentuk aktivitas pemerintah semata. Hal ini perlu dicermati karena yang seringkali

terlihat adalah pengukuran aktivitas pemerintah – mengukur output kebijakan. Dalam

menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting

diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas

perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah

tersebut.

Kegiatan analisis dampak ekonomi internal kebijakan yang disponsori oleh lembaga

penyandang dana nasional dan internasional merupakan bukti nyata dan jawaban atas

sikap skeptis tersebut. Oleh karena itu, segala macam efek yang merupakan konsekuensi

dari suatu kebijakan, baik simbolis maupun material, terhadap satu atau beberapa

kelompok sasaran merupakan esensi yang mencirikan dampak kebijakan publik. Hal ini

sesuai dengan pendapat Anderson (1984: 151) bahwa evaluasi kebijakan meruakan

kegiatan yang bertujuan untuk menilai manfaat kebijakan. Evaluasi kebijakan merupakan

kegiatan yang menyangkut perkiraan atau estimasi dan penilaian kebijakan yang

mencakup substansi, implementasi, dan dampaknya.

Sebagai penguatan atas konsep, pendekatan dan kriteria pengukuran dampak suatu

kebijakan, maka berikut ini disajikan hasil penelitian Tim World Bank yang dikoordinir

oleh penulis selaku advisor KPEL (Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal) Bappenas

beberapa tahun lalu.


11

Tema penelitiannya adalah CDD (Community Development Driven) dimana salah

satu judul penelitian yang relevan dengan tulisan ini adalah studi dampak kebijakan

program pemberdayaan masyarakat, melalui proyek P2KP, P2D, CERD, dan WSLIC.

Pada kajian kebijakan pemberdayaan masyarakat ini hubungan sebab akibat

ditelusuri dengan pendekatan pemetaan komponen kebijakan yang meliputi: Konsep,

Prosedur, Proses, Hasil, dan Manfaat. Matriks hubungan elemen keberdayaan dan sebab-

akibat program memberikan gambaran signifikan pencapaian sasaran setiap kebijakan.

Tabel 2. Deskripsi Komponen Program Pemberdayaan


Komponen Deskripsi
Dasar pemikiran lahirnya kebijakan dengan mencermati visi, misi,
Konsep
tujuan, sasaran dan target setiap program pemberdayaan masyarakat
Ketentuan, Peraturan, Syarat, Struktur, Administrasi, Manajemen,
Prosedur
Budgeting atau pedoman yang ditetapkan untuk menjalankan program
Mekanisme berjalannya prosedur, kemandirian, ketaatan, penyimpangan
Proses
atau kendala yang dihadapi pada program pemberdayaan
Hasil yang dicapai oleh kegiatan program, kesesuaian atau
Hasil
ketidaksesuaian dengan harapan
Manfaat Manfaat yang dirasakan, dampak langsung maupun tidak langsung

Tujuan penelitiannya adalah 1) melakukan perhitungan Economic Internal Rate of

Return (EIRR) untuk proyek-proyek prasarana desa (kecuali P2KP), 2) menganalisis

secara luas dampak makro-ekonomi dari manfaat yang ditimbulkan oleh prasarana dan

aktivitas pendukung lainnya, dan 3) melakukan perhitungan kembali (re-costing) biaya

yang digunakan untuk membangun infrastruktur dengan menggunakan Harga Satuan

yang diterbitkan pemerintah daerah. Sedangkan, sasaran yang diharapkan sebagai hasil

studi adalah: 1) teridentifikasinya besaran dampak ekonomi program; 2) efisiensi CDD


12

versus kontraktor; 3) pengembalian manfaat ekonomi program; dan 4) kinerja manfaat

program untuk pembelajaran dan partisipasi masyarakat.

Hasil yang dicapai dari penelitian tersebut dideskripsikan sebagai berikut: pertama,

dampak ekonomi program (CDD) terhadap kesejahteraan, meliputi adanya peningkatan

cukup berarti pada kesejahteraan masyarakat dan kegiatan ekonomi lokal dan adanya

kegiatan perputaran ekonomi dalam desa/keluarhan. Kedua, perbandingan efisiensi

pendekatan program menunjukkan bahwa: 1) infrastruktur berteknologi sederhana oleh

masyarakat lebih efisien daripada oleh kontraktor (penghematan 20% - 50%) dan 2)

kualitas bangunan infrastruktur cukup baik dan dinikmati oleh masyarakat. Ketiga,

tingkat pengembalian manfaat program adalah: 1) infrastruktur melalu pemberdayaan

cukup memberikan dampak terhadap masyarakat, 2) besaran EIRR dan GIM – perputaran

modal - (P2KP) berpengaruh bagi peningkatan manfaat ekonomi & QoL. Keempat,

pemberdayaan sebagai pembelajaran, karena keempat program CDD membawa dampak

terhadap peningkatan kemampuan masyarakat dalam pembangunan desa/kelurahan,

walaupun belum sesuai dengan tujuan program.

Rekomendasi yang dibuat terkait dengan penelitian tersebut adalah tim pemelihara

perlu memelihara infrastruktur (manfaat ekonomis 10 tahun). Khusus dalam P2KP,

pemda perlu intervensi penambahan modal, monitoring pinjaman bergulir ditingkatkan,

pengelola diharapkan mencermati efisiensi yang diperoleh agar selaras dengan kualitas

dan standar, program pembangunan desa agar selalu melibatkan masyarakat secara aktif

dari awal hingga akhir, dan sebagai proses pembelajaran maka disarankan untuk

mengefektifkan sistem monitoring, memperbaiki sistem administrasi-manajemen proyek,

meningkatkan kinerja BKM dan pengelolaan BKM-UPK, dan meningkatkan kegiatan


13

operasi dan pemeliharaan. Sementara itu, pengukuran dan penilaian hasil penelitian yang

menunjukkan hubungan kualitas manajemen dasar program/proyek dengan kepuasan atas

pelaksanaan program/proyek dapat divisualkan ke dalam tabel empat kali empat (empat

tabel, empat kolom) berikut ini.

Tabel 3
Hubungan Kualitas Manajemen Dasar Proyek dengan Kepuasan atas Pelaksanaan

KEPUASAN KUALITAS MANAJEMEN DASAR PROYEK


ATAS BAIK CUKUP BAIK KURANG TIDAK BAIK
REALISASI BAIK
SANGAT
PUAS (SB)

PUAS (KG)

KURANG
PUAS (SK)

TIDAK PUAS
(BM)

Catatan:
SB = SEBAGIAN BESAR
KG = KURANG
SK = SANGAT KURANG
BM = BERMASALAH

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat dikritisi bahwa jika dampak (manfaat)

kebijakan merupakan sesuatu yang diharapkan dan terbukti sesuai harapan maka berarti

rangkaian hasil diperoleh konsisten mulai dari konsepsi, prosedur, proses, hasil, dan

manfaat. Dengan kata lain, hasil studi kebijakan dan studi evaluasi harus konsisten

dengan hasil studi dampak. Tetapi, jika hasil berbeda dengan harapan maka perlu dilihat

inkonsistensi tahapannya, termasuk melihat apakah manfaat itu dirasakan oleh kelompok
14

sasaran karena adanya program yang dievaluasi, ataukah justru hasil stimulasi dan

motivasi dari program lain yang diklaim sebagai dampak (manfaat) program yang diteliti,

atau karena kesadaran yang tumbuh dalam diri masyarakat seiring dengan perjalanan

waktu.

Penutup

Sebagai penutup perlu dicermati dua hukum umum Profesor James Q. Wilson yang

dikutip oleh Dye (1984: 379), untuk mengatasi semua kasus penelitian dampak kebijakan

dalam ilmu pengetahuan sosial. Hukum Wilson pertama ialah, semua intervensi

kebijakan dalam permasalahan sosial menghasilkan efek yang diharapkan – sekiranya

penelitian dilakukan oleh orang atau teman yang mengimplementasikan kebijakan

tersebut. Hukum Wilson kedua, tidak ada intervensi kebijakan dalam permasalahan sosial

menghasilkan efek yang diharapkan – sekiranya penelitian dilakukan oleh pihak ketiga

yang independen, lebih khusus lagi oleh pihak yang skeptis pada kebijakan tersebut. Bagi

penulis, selaku pemerhati yang tertarik mencermati dampak kebijakan publik tentu saja

memposisikan diri sebagai penganjur kedua hukum umum Qilson!


15

Daftar Pustaka

Anderson, James E. 1984. Public Policy Making, CBS College Publishing.


World Bank kerjasama dengan Bappenas. 2006. Studi Evaluasi Dampak Kebijakan
Program Pemberdayaan Masyarakat, Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Jakarta.
Daft, Richard L. 1992. Organization Theory and Design, West Publishing Company
Singapore.
Dharma, Surya dan Pinondang Simanjuntak. Paradigma Birokrasi Pemerintah dan
Otonomi Daerah, Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Vol. III No. 3 Oktober 2000.
Dye, Thomas R. 1981. Understanding Public Policy, Prentice-Hall Inc., Englewood
Cliffs, N.J.
Kammeier, H. Detlef. Linking Decentralization to Urban Development, United Nation
Human Settlemens Programme, UN-HABITAT, 2002 Vol. 8 No. 1.
Leach, Steve et al. 1994. The Changing Organisation and Management of Local
Government. London: Macmillan Press LTD.
Leemans, A.F. 1970. Changing Patterns of Local Governmenet, International Union of
Local Authorities, the Hague.
The World Bank Group. Decentralization & Subnational Regional Economics. What,
Why, and Where, http://www1.worldbank.org/publicsector/Decenralization.htm,
diakses 02 April 2004.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1976. Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES Jakarta.
Tjokroamidjojo, Bintoro. Reformasi Birokrasi ke Arah Good Governance, Bisnis dan
Birokrasi Nomor 1/Volume 1 Juli 2000.

You might also like