You are on page 1of 17

ANALISIS IMPLIKATUR DALAM RUBRIK Mr.

PECUT JAWA POS EDISI DESEMBER


TENTANG KASUS BANK CENTURY

Disusun oleh:
Priyo Raharjo
(06320081)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INGGRIS

FAKULTAS HUMANIORA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2010
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Menurut Grice (1975) mengemukakan bahwa implikatur adalah makna tidak langsung
atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh yang tersurat (eksplikatur). Implikatur
dimaksudkan sebagai suatu ujaran yang menyiratkan suatu yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan sebagai jalan keluar untuk menjelaskan makna bahasa yang tidak dapat
diselesaikan oleh teori semantik. Implikatur mencakup beberapa pengembangan teori
hubungan antara ekspresi,makna tuturan,makna penutur,dan implikasi suatu tuturan (Grice,
1975:43).

Mengembangkan pendapat Grice (1975), bahwa implikatur dibedakan menjadi dua,


yaitu (a) implikatur konvensional, dan (2) implikatur nonkonvensional. Implikatur
konvensional adalah implikatur yang diperoleh dari makna kata, bukan dari pelanggaran
prinsip percakapan. Adapun implikatur nonkonvensional adalah implikatur yang diperoleh
dari fungsi pragmatis yang tersirat dalam suatu percakapan. Contoh implikatur konvensional:
“Matroji orang Madura sehingga dia pemberani.”

Implikasi tuturan tersebut adalah bahwa keberanian Matroji karena dia orang Madura.
Apabila matroji bukan orang Madura, tentu saja tuturan tersebut tidak berimplikasi bahwa
keberanian Matroji karena ia orang Madura.

Contohimplikaturnonkonvensional:
“Dia sekarang sudah mapan”

Implikatur nonkonvensional tersebut adalah pada waktu sebelumnya, dia kehidupannya serba
tidak menentu, baik penghasilan, perumahan, pekerjaan, dan sejenisnya.

Surat kabar Jawa Pos menyajikan sebuah rubrik yang diberi judul Mr. Pecut.
Rubrik semacam ini ditampilkan di media sebagai bacaan ringan yang bermaksud
melakukan kritik secara tidak langsung atau pesan-pesan khusus terhadap orang atau
pihak-pihak tertentu. Surat kabar Jawa Pos memberi judul Mr. Pecut tampaknya
bermaksud melakukan kritik kepada orang atau pihak-pihak tertentu yang dianggap
melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat
umumnya pada umumnya dan norma-norma atau peraturan perundangan yang berlaku
di negeri ini yang seharusnya dihormati oleh rakyat dan terutama oleh para pejabatnya.
Dengan simbol Mr. Pecut, rubrik ini menggambarkan “sentilan” atau ajakan kepada
para pembaca untuk berpikir tentangmasalah-masalah yang serius, seperti masalah politik,
ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Salah satu permasalahan yang masih memanas sampai saat ini adalah kasus Bank Century.
Kasus penggelapan kucuran dana dari Bank Indonesia senilai 6,7 milyar ini sangat menyita
perhatian publik, baik masyarakat menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Bahkan
kasus ini juga menyeret beberapa institusi hukum di Indonesia seperti halnya KPK, POLRI,
dan DPR. Dampak serius secara tidak lansung pada sektor perekonomian dan politik negara
dirasa perlu untuk segera dilakukan penyelesaian secepatnya atas kasus ini. Maka fenomena
terbaru dan hangat (up to date) seperti ini bila dikaitkan dengan analisis linguistik dalam
pemberitaannya di media cetak dirasa cukup perlu untuk membantu masyarakat dalam
memahami teks (makna tersirat yang dimaksud).

Pencarian pesan atau pun makna yang terdapat dalam wacana rubrik Mr. Pecut perlu
ditelusuri karena pesan, kritik, ataupun maknanya tidak jarang masih belum bisa
dipahami secara tersurat oleh masyarakat atau pembaca. Oleh Karena itu peneliti mencoba
untuk mengadakan penelitian bahasa dengan judul: “Analisis Implikatur Dalam Rubrik Mr.
Pecut Jawa Pos Edisi Desember Tentang Kasus Bank Century”.

1.2. Masalah Penelitian

1. Apakah makna tersirat (implikatur) dalam rubrik Mr. Pecut Jawa Pos edisi desember
tentang kasus Bank Century?

2. Implikatur jenis apa yang digunakan dalam rubrik Mr. Pecut Jawa Pos edisi desember
tentang kasus Bank Century?

3. Apakah fungsi implikatur dalam rubrik Mr. Pecut Jawa Pos edisi desember tentang
kasus Bank Century?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Memahami implikatur (makna tersirat) dalam rubrik Mr. Pecut Jawa Pos edisi
desember tentang kasus Bank Century.

2. Memahami jenis implikatur yang digunakan dalam rubrik Mr. Pecut Jawa Pos edisi
desember tentang kasus Bank Century?

3. Memahami fungsi implikatur dalam rubrik Mr. Pecut Jawa Pos edisi desember
tentang kasus Bank Century?

1.4. Manfaat Penelitian

a) Bagi Masyarakat umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diguakan sebagai salah satu alternasi bentuk
pemahaman teks disebuah media cetak, khususnya tentang penggunaan implikatur.

(b) Bagi guru bahasa Indonesia


Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan guru bahasa Indonesia sebagai salah satu
alternasi bahan pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam pembelajaran memahami
maksud sebuah tuturan.

(c) Bagi penelitian selanjutnya


Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternasi bahan informasi bagi
penelitian-penelitian selanjutnya di bidang pragmatik, khususnya dalam kajian implikatur.

1.5 Relevansi dan Kebermaknaan Masalah


Dalam konteks makro, penelitian ini termasuk penelitian sosiolinguistik, sedangkan
dalam konteks mikro, penelitian ini termasuk dalam penelitian pragmatik. Dikatakan
demikian karena penelitian ini lebih memfokuskan makna tutur secara nonliteral dan terikat
konteks interaksi antara Mr. Pecut dan Pembaca terhadap kasus Bank Century. Makna
nonliteral tersebut selalu berbeda dengan makna yang membangun sebuah tuturan yang
dilakukan pembaca dan Mr. Pecut atau sebaliknya.
Dari segi sosiolinguistik, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
memahami makna tuturan yang disampaikan Mr. Pecut terhadap pembaca dalam menanggapi
permasalahan Bank Century, yang dihubungkan dengan variabel-variabel social, seperti: latar
belakang pembaca, pendidikan, strata sosial, dan lain-lain.
Dari segi kajian pragmatik, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan deskripsi
tentang implikatur (makna tersirat), jenis implikatur, dan fungsi implikatur dalam rubrik Mr.
Pecut Jawa Pos edisi desember tentang kasus Bank Century.

1.6 Landasan Teori


Dalam penelitian ini, terdapat beberapa teori pragmatik yang relevan yang
dikemukakan oleh (Austin, 1962; Searle, 1973; Leech, 1989; dan Grice, 1991). Namun
peneliti hanya fokus menggunakan teori Grice (1991) saja, agar penelitian dapat dilakukan
secara detail dan mendalam. Teori tersebut diharapkan dapat mendeskripsikan dan
mengeksplanasikan keberadaan implikatur dalam rubrik Mr. Pecut Jawa Pos edisi desember
tentang kasus Bank Century.

1.9 Definisi Operasional

Beberapa istilah dalam penelitian ini yang perlu didefinisikan, yaitu:

1. Implikatur: implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan
oleh yang tersurat (eksplikatur) sebagai jalan keluar untuk menjelaskan makna bahasa
yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik

2. Mr. Pecut: Salah satu Rubrik dalam surat kabar Jawa pos yang memuat bacaan ringan
yang bermaksud melakukan kritik secara tidak langsung atau pesan-pesan khusus
terhadap orang atau pihak-pihak tertentu

3. Jawa Pos: Salah satu media cetak atau surat kabar harian berskala nasional yang memuat
segala berita local, nasional, maupun internasional.

4. Bank Century: Bank yang dianggap bermasalah mengenai hilangnya kucuran dana dari
Bank Indonesia sebesar 6,7 milyar.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN MODEL TEORI

2.1 Kajian Pustaka


2.1.1 Hakikat Implikatur

Implikatur adalah makna yang tersirat melalui ujaran sebuah kalimat dalam sebuah
konteks, meskipun makna itu bukan merupakan suatu bagian atau pemenuhan dari apa yang
dituturkan. Implikatur dapat pula diartikan sebagai implikasi makna berupa satuan pragmatis
dari suatu tuturan, baik lisan maupun tulisan. Implikatur merupakan kegiatan menganalisis
makna terselubung dari sebuah tuturan yang disampaikan oleh Pn.
Grice menyatakan bahwa ada dua jenis implikatur, yaitu impikatur konvensio-nal
dan konversasional, atau performatif langsung dan performatif tidak langsung dalam tindak
tutur. Fraser (1974) menamakannya dengan sebutan ceremonial dan vercular. Bach dan
Hanish (1979) menyebutkannya sebagai tindak tutur konvensional dan nonkonvensional.
Implikatur dapat menjembatani antara apa yang dituturkan oleh Pn dengan apa yang
menjadi makna sebuah tuturan, dengan mengacu pada asumsi kedua prinsip bertutur yang
dipakainya. Konsep implikatur yang pertama kali dikemukakan oleh Grice pada ceramah
Wiliam James di Universitas Harvard pada tahun 1967 sebagai solusi untuk menanggulangi
persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik.
Lebih lanjut, Grice (1975) mengemukakan bahwa pada dasarnya implikatur
berkaitan dengan prinsip umum dalam pragmatik. Prinsip-prinsip umum tersebut adalah
adanya kerja sama yang konstributif antara Pn dengan Mt dalam suatu percakapan.
Kerjasama yang dimaksud adalah bahwa antara Pn dan Mt mengharapkan sumbangan sesuai
yang diperlukan dan tingkat penerimaan yang sesuai dengan makna yang dapat diterima dan
disepakati sehingga sejumlah implikasi makna tuturan dapat dipahami oleh Mt. Implikatur
yang dikemukakan oleh Grice dimaksudkan sebagai tuturan yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan atau tindak tutur tidak langsung
2.1.2 Ragam Implikatur
Menurut Grice (dalam Gasdar, 1979) bahwa implikatur terbagi menjadi dua jenis
yakni implikatur konvensional dan implikatur nonkonvensional. Implikatur kon-vensional
mengandung implikasi yang diperoleh langsung dari makna kata (yang didengar) bukan dari
prinsip percakapan. Implikatur konvensional dapat dianggap memiliki kandungan atau makna
yang relatif tetap, dan dianggap tidak memiliki tendensi universal dalam kaitannya dengan
kondisi kebenaran.
Berbeda dengan implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional (kon-
versasional) adalah tindak ilokosi yang implikasi pragmatiknya diambil dari prinsip-prinsip
percakapan. Implikatur nonkonvensional inilah yang saat ini dikenal dengan sebutan
implikatur.
Grice (dalam Wiryotinoyo, 1996:40-41) menyampaikan bahwa ada lima ciri
implikatur konversasional (percakapan). Pertama, dalam keadaan tertentu implikatur
percakapan dapat dibatalkan, baik dengan cara eksplisit atau pun dengan cara kon-tekstual
(cancellable). Kedua, ketidakterpisahan dengan cara mengatakan sesuatu itu sehingga orang
memakai tuturan bermuatan implikatur percakapan untuk menyam-paikannya
(nondetachable). Ketiga, implikatur percakapan mempersyaratkan makna konvensional dari
kalimat yang dipakai, tetapi isi implikatur percakapan tidak masuk dalam makna
konvensional tuturan tersebut (nonconventional). Keempat, kebenaran isi implikatur
percakapan tidak tergantung pada apa yang dikatakan (calculable). Kelima, implikatur
percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya (indeterminate).

2.2. Model Teori

2.2.1 Prinsip Kerjasama (PK)


Melalui teori implikatur, Grice mengemukakan dua macam teori. Dalam teori yang
pertama, Grice membedakan adanya dua macam makna di dalam komunkasi, makna alamiah
(natural meaning), dan makna non-alamiah (nonnatural meaning).
Teori Grice yang kedua membimbing orang agar dapat memakai bahasa secara
efektif dan efisien dalam melakukan percakapan untuk mentransaksikan berbagai jenis isi
komunikasi. Menurut Grice (1991:309), percakapan akan mengarah pada usaha penyamaan
unsur-unsur pada transasksi kerja sama yang semula berbeda dengan jalan: (1) menyamakan
tujuan jangka pendek, meskipun tujuan akhirnya berbeda atau bahkan bertentangan, (2)
menyatukan sumbangan partisipan sehingga Pn dan Mt saling membutuhkan, dan (3)
mengusahakan agar Pn dan Mt mempunyai pengertian bahwa transaksi berlangsung dengan
suatu pola tertentu yang cocok, kecuali bila bermaksud hendak mengakhiri kerja sama.
Untuk keperluan tersebut, Grice mengemukakan PK yang berbunyi “Buatlah
sumbangan percakapan Anda seperti yang diinginkan pada saat berbicara berdasarkan
tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang Anda ikuti.” Prinsip
yang digunakan dalam melakukan percakapan terdiri atas empat maksim. Keempat maksim
beserta submaksimnya menurut Grice (1991:307), Levinson (1987: 101) adalah sebagai
berikut.
1) Maksim Kuantitas
a. Buatlah sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan.
b. Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diper-lukan.

2) Maksim Kualitas
a. Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah.
b. Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak mempunyai buktinya.

3) Maksim Hubungan
Bicaralah yang relevan.

4) Maksim Cara
a. Hindarilah ungkapan yang membingungkan.
b. Hindarilah ambiguitas.
c. Bicaralah secara singkat.
d. Bicaralah secara teratur.

Leech (1989:8) mengomentari maksim itu sebagai kendala di dalam berbaha-sa.


Maksim-maksim itu berlaku secara berbeda dalam konteks-konteks penggunaan bahasa yang
berbeda. Maksim berlaku dalam tingkatan berbeda dan tidak ada prinsip yang berlaku secara
mutlak, atau sebaliknya tidak berlaku sama sekali. Maksim dapat berlawanan satu sama lain
dan dapat dilanggar tanpa meniadakan jenis tindakan yang dikendalikan. Leech (1989:80)
berkomentar bahwa justru karena hal itulah diperlukan adanya sosiopragmatik untuk
menjelaskan bagaimana masyarakat yang berbeda menggunakan maksim tersebut.
Leech (1989:80) berpendapat bahwa PK dibutuhkan untuk memudahkan pen-jelasan
hubungan antara makna dan daya. Penjelasan demikian sangat memadai, khususnya untuk
memecahkan masalah yang timbul di dalam semantik yang menggu-nakan pendekatan
berdasarkan kebenaran. Akan tetapi, PK itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa
seseorang sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud.
PK juga tidak dapat menjelaskan hubungan antara makna dan daya dalam kalimat
nondeklaratif. Untuk mengatasi kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar PK,
yang dikenal dengan Prinsip Sopan Santun (PS).

2.2.2 Prinsip Sopan Santun (PS


Setelah mengemukakan keempat maksim kerjasama, Grice (1991:308) juga
menyebutkan adanya aturan lain yang bersifat sosial, estetis, dan moral yang biasanya diikuti
orang dalam melakukan percakapan. Misalnya, ‘Anda harus sopan’ yang kemudian juga
dapat melahirkan IP. Aturan kesopanan itu oleh Leech dinilai tidak setingkat dengan maksim
PK dan dapat ditambahkan saja ke dalam empat maksim Grice. Aturan itu merupakan dasar
pemakaian bahasa tersendiri, yang disebut prinsip Sopan Santun (PS).
Leech (1989:132) selanjutnya mengemukakan selengkapnya PS yang meliputi enam
maksim. Keenam maksim beserta submaksimnya adalah sebagai berikut.
1) Maksim Kearifan (tact maxim)
a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.
b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.

2) Maksim Kedermawanan (generosity maxim)


a. Buatlah keuntungan sendiri sekecil mungkin.
b. Buatlah kerugian sendiri sebesar mungkin.

3) Maksim Pujian (approbation maxim)


a. Kecamlah orang lain sedikit mungkin.
b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin.
4) Maksim Kerendahan Hati (modesty maxim)
a. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.
b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
5) Maksim Kesepakatan (agreement maxim)
a. Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sedikit
mungkin.
b. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak
mungkin.
6) Maksim Simpati (sympathy maxim)
a. Kurangilah rasa antipati antara diri dan orang lain sebanyak mungkin.
b. Tingkatkan rasa simpati diri terhadap orang lain setinggi mungkin.

Terhadap setiap maksim, Leech memberikan keterangan bagaimana hubungan antara


maksim dan ilokusi. Maksim kearifan dan kedermawanan berlaku dalam ilokusi impositif dan
komisif, maksim pujian dan kerendahan hati dalam ilokusi ekspresif dan asertif, dan maksim
kesepakatan dan simpati hanya dalam ilokusi asertif.
PS tidak hanya dianggap sebagai prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada PK,
tetapi lebih jauh dari itu, PS diperlukan untuk melengkapi PK dalam mengatasi kesulitan. PS
diperlukan karena PK tidak dapat menerangkan mengapa orang sering berbicara tidak
langsung di dalam menyampaikan pesan. Selain itu, PK tidak dapat menerangkan bagaimana
hubungan antara makna dan daya dalam kalimat-kalimat yang bukan pernyataan.
Tentang PK dan PS, Nababan (1987:34) mengemukakan bahwa kedua prinsip yang
menghasilkan IP itu dalam pergaulan sosial sama-sama bekerja. Dalam suatu situasi, PS lebih
dominan, tetapi dalam situasi lain, PK lebih dominan untuk menen-tukan apa yang
sewajarnya diucapkan oleh Pn dan mengarahkan bagaimana seharus-nya Mt
menginterpretasikan suatu tuturan yang diucapkan oleh Pn.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Ancangan Penelitian


Penelitian ini mengkaji bentuk implikatur dalam transaksi di Kopsis SMKN kota
Pasuruan, yang meliputi: (a) wujud tutur implikatur, (b) implikasi pragmatis wujud tutur
implikatur, dan (c) kendala penggunaan implikatur. Untuk mencapai tujuan tersebut,
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dua ancangan, yaitu (1) ancangan
pragmatik dan (2) etnografi komunikasi. Penggunaan kedua ancangan ini didasarkan pada
alasan bahwa deskripsi bentuk implikatur tuturan siswa dan petugas Kopsis tidak dapat
dilepaskan dari unit-unit komunikasi yang oleh Hymes (1972) disebut dengan hierarki
lingkar. Unit-unit komunikasi tersebut adalah situasi tutur, peristiwa tutu), dan tindak tutur.
Pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri (a) berlatar alamiah, (b) bersifat deskriptif,
(c) lebih mengutamakan proses daripada hasil, dan (d) analisis data bersifat induktif (Bogdan
dan Biklen, 1982; Djaya Sudarma,1993).
Berlatar alamiah, maksudnya data penelitian bersumber dari peristiwa-peristiwa
komunikasi dan situasi alamiah yang berlangsung di Koperasi Sekolah. Tidak ada upaya dari
peneliti untuk mengendalikan subjek, baik di dalam maupun di luar kelas. Karena itu, strategi
pengumpulan data diusahakan tidak mencolok dan tidak diketahui siswa dan petugas Kopsis.
Bersifat deskriptif, maksudnya data dikumpulkan berbentuk deskripsi wacana dalam
transaksi antara siswa dan petugas Kopsis. Data dilengkapi dengan konteks terjadinya
interaksi. Pendeskripsian konteks diupayakan hingga menyentuh hal-hal kecil, seperti waktu,
tempat, dan kedudukan partisipan. Hasil analisis data dilaporkan dalam bentuk deskripsi
fenomenologis, artinya hasil analisis dipaparkan sesuai dengan temuan di lapangan tanpa
dihubungkan dengan variabel-variabel tertentu.
Lebih mengutamakan proses daripada hasil, maksudnya dalam pelaksanaan
penelitian ini, khususnya kegiatan pengumpulan lebih diorientasikan pada proses.
Pengorientasian tersebut, misalnya pengupayaan waktu pelaksanaan pengumpulan data yang
bersifat fleksibel. Karena itu, jadwal tidak dijadikan target. Demikian hal-nya dengan
perolehan data, baik jenis maupun jumlahnya tidak didasarkan pada perencanaan atau target
tertentu.
Analisis data bersifat induktif, maksudnya penelitian ini tidak diarahkan untuk
memperkuat atau menolak hipotesis tertentu. Karena itu, paparan hasil analisis penelitian
yang berkaitan dengan bentuk implikatur dalam transaksi di Kopsis SMKN kota Pasuruan
lebih didasarkan pada data alamiah yang terkumpul di lapangan, sedangkan keberadaan
kerangka teori lebih banyak difungsikan sebagai acuan dalam mengidentifikasi bentuk
implikatur bahasa Indonesia dalam interaksi guru dan siswa, baik di dalam maupun di luar
kelas.

3.2 Data dan Sumber Data


Data dalam penelitian ini berupa data non-verbal. Data verbal tersebut berupa (1)
wujud tuturan implikatur, (2) fungsi tuturan implikatur, dan (3) kendala penggunaan
implikatur dalam transaksi di Kopsis SMKN kota Pasuruan.
Sumber data dalam penelitian ini adalah (1) percakapan dalam sebuah transaksi
antara siswa dengan petugas Kopsis, (2) konteks tuturan yang diperoleh melalui pengamatan
dan pencatatan lapangan secara langsung.
Konteks tuturan juga merupakan sumber data. Konteks tuturan diperoleh peneliti
dengan mengadakan pencatatan lapangan setiap mengadakan perekaman. Konteks ini
dimasukkan dalam sumber data karena konteks tuturan berpengaruh ter-hadap pemaknaan
sebuah tuturan.
Subjek penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah seluruh siswa dan petugas
Kopsis ketika melakukan transaksi di Kopsis SMKN kota Pasuruan. Semua siswa dianggap
memiliki kedudukan yang sama sebagai subjek penelitian. Hubungan antara data, sumber
data, dan subjek penelitian tampak pada bagan berikut.

Data dianalisis selama dan setelah pengumpulan data. Maksudnya, selama


pengumpulan data, data ditranskripsikan (dari pita rekaman ke data tulisan) dan disesuaikan
dengan catatan peneliti. Apabila terdapat penyimpangan, pada observasi berikutnya dapat
dilakukan perekaman atau pencatatan data dengan lebih cermat untuk menghidari kesalahan.
Data dianalisis dengan memperhatikan konteks tuturan dengan menggunakan teknik
analisis wacana. Pemanfaatan teknik analisis wacana dalam penelitian ini karena untuk
mengetahui bentuk-bentuk implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis tidak
dapat dilepaskan dengan konteks tuturan. Dari analisis ini diharapkan ditemukan (a) wujud
tutur implikatur, (b) implikasi pragmatis wujud tutur implikatur, dan (c) kendala penggunaan
implikatur.

3.3 Prosedur Pengumpulan Data


3.3.1 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, para ahli mengemukakan pendapatnya bahwa yang
menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri, atau dengan bantuan orang lain yang
merupakan alat pengumpul data utama (Guba dan Lincoln, 1981; Moleong, 1995; Dimyati,
1989; dan Furchan, 1992). Hal ini dikarenakan peneliti dalam penelitian kualitatif dipandang
sebagai pencari tahu alami dalam pengumpulan data.
Peneliti sebagai instrumen, ada beberapa prasyarat yang harus diperhatikan, yaitu:
(1) peneliti ada jarak dengan objek terteliti, (2) tetap objektif, (3) berorientasi pada tujuan
penelitian, (4) tetap setia pada data penelitian, dan (5) menyelesaikan sesuai dengan disiplin
ilmu serta paradigma.
Selain peneliti sebagai instrumen utama, penelitian ini menggunakan instrumen
Bantu, yaitu tape recorder dan catatan lapangan. Tape recorder digunakan untuk merekam
tuturan siswa dan petugas Kopsis, sedangkan catatan lapangan digunakan untuk mencatat
konteks tuturan.

3.3.2 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah (1) observasi partisipasi dan
pencatatan lapangan, dan (2) perekaman. observasi partisipan digunakan untuk mengetahui
masalah yang berhubungan langsung dengan bentuk implikatur pada sebuah kegiatan
transaksi di Kopsis SMKN kota Pasuruan.
Sesuai dengan fokus penelitian tersebut, kegiatan penelitian ini berfokus pada proses
penggunaan implikatur dalam transaksi yang terjadi di Kopsis SMKN kota Pasuruan. Teknik
observasi partisipan dilakukan dengan mengamati perilaku subjek ketika melakukan
transaksi. Dengan menggunakan teknik observasi partisipasi, peneliti lebih leluasa bergaul
dengan subjek penelitian dengan latar alami.
Teknik pencatatan lapangan digunakan untuk mencatat konteks tuturan yang
berguna untuk memaknai data yang diperoleh, sedangkan teknik perekaman dalam penelitian
ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang sebenarnya, berupa bentuk
implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis. Perekaman dilakukan dengan
menggunakan alat perekam tape recorder Sony tipe M 505 berukuran 11,5 cm x 5,5 cm x 2,4
cm. Alat perekam ini cukup peka sehingga mampu merekam data secara memadai dan
memenuhi syarat.

3.4 Teknik Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis pragmatik dengan didukung
analisis struktur dan analisis semantik. Analisis struktur digunakan untuk mencari wujud tutur
implikatur dalam interaksi antara siswa dan petugas Kopsis. Dalam analisis tersebut, data
disorot dari segi sintaksis, sedangkan analisis semantik digunakan untuk mengetahui makna
tuturan yang disampaikan siswa dan petugas Kopsis ketika bertransaksi, dalam rangka
menjawab implikasi pragmatik tuturan tersebut. Analisis Pragmatik digunakan untuk
menjawab masalah implikasi pragmatik wujud tutur implikatur dalam transaksi antara siswa
dan petugas Kopsis, serta kendala penggunaan implikatur dalam tuturan tersebut.
Teknik analisis data ini didasarkan pada teknik yang dikemukakan oleh Miles dan
Huberman (1992: 15-20). Teknik analisis yang dimaksud meliputi: (a) reduksi data, (b)
penyajian data, dan (c) penyimpulan. Ketiga langkah tersebut merupakan satu siklus yang
saling terkait dan dilaksanakan secara serentak selama dan setelah pengumpulan data. Ketiga
langkah itu secara memadai dipaparkan di bawah ini.
Reduksi data adalah kegiatan analisis yang meliputi (a) identifikasi, (b) klasifikasi,
dan (c) kodefikasi data. Identifikasi data adalah kegiatan menyeleksi kelayakan data,
misalnya dari segi kejelasan dan ada tidaknya bentuk implikatur di dalam tuturan siswa dan
petugas Kopsis. Klasifikasi data adalah kegiatan memilah dan mengelompokkan data atas
konteks tuturan, misalnya latar terjadinya transaksi dan topik transaksi. Kodefikasi data
adalah kegiatan memberi identitas data sesuai dengan konteks tuturan dan wujud implikatur,
misalnya KT, KM, Bt, Tn, Pr, dan Sr.
Penyajian data adalah kegiatan mengelompokkan data yang telah direduksi.
Pengelompokan data dilakukan dengan menggunakan tabel, yang meliputi tabel wu-
jud implikatur, tabel implikasi pragmatis, dan tabel transkrip data rekaman. Dengan penyajian
data ini diharapkan penarikan kesimpulan menjadi lancar dan terarah.
Penarikan simpulan adalah kegiatan analisis yang lebih dikhususkan pada penafsiran
data yang telah disajikan. Penafsiran dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
analisis pragmatik. Prinsip analisis pragmatik lebih terkait pada konteks komunikasi. Untuk
memperjelas teknik dan proses analisis data digambarkan dalam bagan berikut.
3.5 Pengecekan Keabsahan Data
Konsekuensi bagi peneliti yang melakukan penelitian kualitatif adalah sering
dijumpai data kasus negatif dan data bervariasi. Dalam kegiatan penelitian diperlukan kriteria
tertentu yang dapat memenuhi nilai kebenaran (keabsahan) terhadap data informasi yang
dikumpulkan peneliti dari lapangan, untuk mengantisipasi kemung-kinan-kemungkinan
terjadi kesalahan, kekurangan atau bias terhadap data yang dianalisis. Kekhawatiran ini dapat
dihindari dengan melakukan trianggulasi sebagai salah satu teknik pemeriksaan data
(Moleong, 1994).
Pengecekan keabsahan data menurut Moleong (1995:175) ada sembilan tek-nik,
yaitu: (1) perpanjangan keikutsertaan, (2) ketekunan pengamatan, (3) triang-gulasi, (4)
pemeriksaan sejawat melalui diskusi, (5) analisis kasus negatif, (6) kecu-kupan referensi, (7)
pengecekan keanggotaan, (8) uraian rinci, dan (9) auditing. Dalam penelitian ini,
pemeriksaan keabsahan data hanya difokuskan pada ketekunan pengamatan, trianggulasi, dan
kecukupan referensial.
Ketekunan pengamatan dimaksudkan untuk mengadakan pengamatan secara terus-
menerus dan berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol berupa wujud
implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis di SMKN kota Pasuruan.
Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu (Maleong, 1995:178). Teknik trianggulasi paling banyak digunakan
ialah pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, meto-de penyidik dan teori
(Denzin dan Moleong, 1995). Perlunya diadakan trianggulasi adalah untuk memeriksa
kepercayaan dan validasi dari hasil-hasil temuan penelitian. Trianggulasi sebagai salah satu
alat yang tepat untuk mengatasi terjadinya perbedaan-perbedaan sumber dalam temuan
penelitian. Beberapa ahli mengatakan bahwa triang-gulasi dilakukan untuk pengecekan data
agar penelitian memiliki taraf kepercayaan yang tinggi (Miles dan Huberman, 1984; dan
Mathison, 1988). Dalam penelitian ini, trianggulasi digunakan untuk memeriksa keabsahan
dan kesalahan data sebagai strategi yang dapat meningkatkan kredibitas penelitian ini.
Kecukupan referensi dapat digunakan sebagai batas/patokan untuk menguji sewaktu-
waktu analisis dan penafsiran data. Penelitian tentang bentuk implikatur dalam transaksi
antara siswa dan petugas Kopsis ini dipandang memiliki kecukupan referensi apabila
ditemukan hasil penelitian yang memfokus pada wujud tutur implikatur, implikasi pragmatis
wujud tutur implikatur, dan kendala penggunaan implikatur dalam kegiatan transaksi di
Kopsis kota Pasuruan.
Daftar Rujukan

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge: Harvard University Press.
Bogdan, R.C. dan Biklen, S.K.1982. Riset Kualitatif untuk Pendidikan. Terjemahan oleh
Munandir. Jakarta: Depdikbud.
Brown, G dan Yule, G. 1996. Analisis Wacana. Terjemahan oleh I. Soetikno. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Djajasudarma, T. F. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung:
Eresco.
Furchan, A. 1992. Pengantar metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Gazdar, G. 1979. Pragmatics: Implikature, Presupposition, and Logical Form. New
York: Akademic Press.
Grice, H.P. 1975. Futher notes on logic and conversation. Dalam P. Cole (Ed.), Syntax
and semantics (hlm. 113-128). New York: Horcourt Brace Jovanovich Publisher.
Grice, H.P. 1991. Logic and Conversation. Dalam Davis, S. (Ed.), Pragmatics: A Reader
(hlm. 305-315). New York: Oxford University Press.
Hymes, D. 1972. Models of the Interactions of Language and Social Life. Dalam Jhon J.
G. dan Dell Hymes (Ed.), Direction in Sociolinguitics (hlm. 35-71). New York: Holt,
Ricehart and Winstton Inc.
Ibrahim, A. S. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.
Kartomihardjo, S. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Depdikbud.
Kartomihardjo, S. 1992. Analisis Wacana dan Penerapannya. Pidato Ilmiah dalam rangka
Pengukuhan Guru Besar. Malang: IKIP Malang.
Kartomihardjo, S. 1993. Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana.
Forum Penelitian. 5 (1): 31-51.
Leech. G. 1974. Semantics. Harmondsworth: Penguin Books.
Leech. G. 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M.D.D Oka. 1993. Jakaria :
Penerbit UI.
Leech, G. 1989. Principles of Pragmatics. London: Logman.
Levinson. S. C. 1985. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Miles. M. B. dan Huberman. A. M. 1984. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep
Rohendi. 1992. Jakarta Universitas Indonesia (UI) Press.
Moleong, L. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik: (Teori dan Pengajarannya). Jakarta:
Depdikbud.
Rahardi, R.K. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Searle, J. R. 1969. Speech acts: An Essay in the Philosophy of Language. Cambridge:
Cambridge U.P.
Searle, J. R. (Ed). 1973. Speech Act Theory And Pragmatics. London: D. Reidel
Publishing Company.
Spradley, J. P. Tanpa tahun. Metode Etnografi. Terjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth.
1997. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Suparno. 1998. Analisis Wacana, Bahan Ajar Kapita Selekta Bidang Studi. Tidak
diterbitkan. Malang: IKIP Malang.
Wijana, D. P. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogjakarta: Anda.

You might also like