You are on page 1of 23

PEMANFAATAN SABUT DAN TEMPURUNG KELAPA SERTA CANGKANG SAWIT

UNTUK PEMBUATAN ASAP CAIR


SEBAGAI PENGAWET MAKANAN ALAMI

Juni Prananta
Direktur JINGKI institute (Making Applied Technology for Marginal People)
Alumnus Teknik Kimia Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

Abstract

Have been a research to know the influence of temperature perolisis to liquid smoke result of shell of coconut exploiting,
palm shell and also coconut coir with the variation of temperature to volume quality and also liquid smoke preservered
time result of pirolisis. Liquid smoke result of pirolisis with the variation of temperature 250 0C, 300 0C, 350 0C and
400 0C is later; then perceived by the amount of volume of destilat and time depth its preservervation.Result of research
indicate that the liquid smoke obtained from perolisis of coconut shell temperature 400 0C yielding more amount
kondensat of condensation process with the water temperature. Fast of time the pickling efficiency indicate that the
liquid smoke at temperature 350 0C which is yielding shell of coconut and also palm shell more optimum result

Key word ; Preservered, Coconut shell, Palm shell, Coconut coir, Pirolisys, Liquid smoke

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh suhu perolisis terhadap asap cair hasil pemanfaatan tempurung,
cangkang sawit serta sabut kelapa dengan variasi temperatur terhadap kualitas volume serta waktu pengawetan asap cair
hasil pirolisis. Asap cair hasil pirolisis dengan variasi temperatur 250oC, 300oC, 350oC dan 400oC kemudian diamati
jumlah volume destilat dan lama waktu pengawetannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asap cair yang diperoleh
dari perolisis tempurung kelapa pada suhu 4000C menghasilkan lebih banyak kondensat yang dikondensasikan dengan
suhu air. Laju waktu efisiensi pengawetan menunjukkan bahwa asap cair pada suhu 3500C yang di hasilkan pada
tempurung kelapa serta cangkang sawit lebih optimum

Kata kunci ; pengawetan, tempurung kelapa, cangkang sawit, sabut kelapa, pirolisis, asap cair

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kelapa dan sawit telah ditanam hampir di seluruh Indonesia dan luas arealnya terus meningkat. Pada tahun 2004
luas areal perkebunan kelapa serta sawit baru masing-masing adalah 3.334.000 Ha untuk kelapa dan 4.580.250 Ha untuk
kelapa sawit (Kompas, Juni 2007). Sejak tahun 1988 Indonesia menduduki urutan pertama sebagai negara yang memiliki
areal kebun kelapa terluas di dunia. Dari seluruh luas areal perkebunan kelapa, sekitar 97,4 % dikelola oleh perkebunan
rakyat yang melibatkan sekitar 3,1 juta keluarga petani Sisanya sebanyak 2,1 % dikelola perkebunan besar swasta dan 0,5
% dikelola perkebunan besar negara (Palungkun, 2001). Kabupaten Aceh Utara terkenal sebagai penghasil kelapa dan
kelapa sawit yang potensial di Provinsi NAD. Luas lahan dua hasil pertanian (kelapa dan kelapa sawit) dari kedua
kabupaten tersebut mencapai 110.000 Ha dengan total produksi 120.000 ton per tahun (BPS NAD, 2006).
Adanya potensi sumber daya alam yang sangat besar ini hendaknya dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk
meningkatkan pendapatan petani kelapa dan sawit. Namun saat ini masih ada beberapa kendala yang menyebabkan
pendapatan petani masih rendah. Kendalanya adalah pengolahan lahan yang masih bersifat tradisional dan kurangnya
industri pengolahan hasil (industri hilir). Masalah di atas menyebabkan petani tidak mempunyai alternatif lain untuk
memasarkan kelapa serta sawitnya dalam bentuk bahan baku (raw material).
Dengan adanya ilmu pengetahuan dan teknologi maka beberapa hasil samping pertanian kelapa serta sawit seperti
tempurung, sabut, serta cangkang sawit dapat diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, seperti
arang tempurung kelapa yang sangat potensial untuk diolah menjadi arang aktif. Dengan meningkatnya produksi arang
aktif yang menggunakan bahan dasar tempurung kelapa maka akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara karena
adanya penguraian senyawa-senyawa kimia dari tempurung kelapa pada proses pirolisis. Pada proses pirolisis juga
dihasilkan asap cair, tar dan gas-gas yang tak terembunkan. Asap cair yang merupakan hasil sampingan dari industri
arang aktif tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi jika dibandingkan dengan dibuang ke atmosfir. Asap cair
diperoleh dari pengembunan asap hasil penguraian senyawa-senyawa organik yang terdapat dalam kayu sewaktu proses
pirolisis.
Berbagai jenis kayu dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan asap cair, seperti yang telah dilakukan oleh
Tranggono dkk. (1996) dalam penelitiannya yang memanfaatkan berbagai jenis kayu di Indonesia sebagai bahan dasar
pembuatan asap cair. Untuk mendapatkan asap yang baik sebaiknya menggunakan kayu keras seperti kayu bakau, kayu
rasamala, serbuk dan gergajian kayu jati serta tempurung kelapa sehingga diperoleh produk asapan yang baik (Astuti,
2000).
Penggunaan asap cair terutama dikaitkan dengan sifat-sifat fungsional asap cair, diantaranya adalah sebagai
antioksidan, antibakteri, antijamur, dan potensinya dalam pembentukan warna coklat pada produk. Asap cair dapat
diaplikasikan pada bahan pangan karena dapat berperan dalam pengawetan bahan pangan. Cara pengawetan tradisional

biasanya dilakukan dengan pengasapan. Beberapa teknik pengasapan dapat dilakukan pada temperatur di atas 70 oC
kemudian bahan diasap langsung di atas sumber asap. Saat ini sedang dikembangkan metode pengawetan yang lain yaitu
menggunakan metode pengasapan asap cair dengan mencelupkan bahan pada larutan asap atau menyemprotkan larutan
asap pada bahan kemudian produk dikeringkan (Girard, 1992)
Pengasapan telah lama dikenal sebagai salah satu tahapan dalam pengolahan produk pangan. Tujuan semula dari
pengasapan adalah menghambat laju kerusakan produk. Namun dalam perkembangannya tujuan pengasapan tidak hanya
itu, tetapi lebih ditujukan untuk memperoleh kenampakan tertentu pada produk asapan dan citarasa asap pada bahan
makanan. Astuti (2000) mengemukakan bahwa penggunaan asap cair lebih menguntungkan daripada menggunakan
metode pengasapan lainnya karena warna dan citarasa produk dapat dikendalikan, kemungkinan menghasilkan produk
karsinogen lebih kecil, proses pengasapan dapat dilakukan dengan cepat dan bisa langsung ditambahkan pada bahan
selama proses. Pengasapan diperkirakan akan tetap bertahan pada masa yang akan datang karena efek yang unik dari
citarasa dan warna yang dihasilkan pada bahan pangan.

1.2 Rumusan masalah


Beberapa permasalahan dapat dirumuskan:
1. Bagaimana teknik pembuatan liquid smoke yang optimal menggunakan sabut kelapa serta bahan baku biomasa
dengan parameter suhu pirolisis.
2. Peningkatan mutu asap cair dari masing-masing sampel yang diindikasikan dengan peningkatan rendemen maupun
aroma
3. Pengaruh pemberian liquid smoke terhadap kualitas bahan makanan

1.3 Tujuan penelitian


Tujuan penelitian ini adalah :
a. Mengetahui kondisi terbaik pembuatan asap cair (liquid smoke) dari masing-masing sampel yaitu sabut kelapa,
tempurung kelapa, dan cangkang sawit

b. Peningkatan mutu asap cair sebagai pengawet alami makanan dengan variasi suhu pirolisis

c. Menentukan pengaruh pemberian liquid smoke terhadap kualitas bahan makanan seperti bau, rasa dan tekstur.

1.4 Manfaat penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan didapatkan:


1. Teknik yang cocok dalam pembuatan liquid smoke dari limbah kelapa maupun limbah kelapa sawit.
2. Asap cair yang dapat digunakan sebagai pengawet alternatif pengganti formalin
3. Pembuatan alat penghasil asap cair sederhana untuk pengembangan teknologi tepat guna
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman kelapa (Cocos nucifera L) merupakan salah satu tanaman yang termasuk dalam famili Palmae dan
banyak tumbuh di daerah tropis, seperti di Indonesia. Tanaman kelapa membutuhkan lingkungan hidup yang sesuai untuk
pertumbuhan dan produksinya. Faktor lingkungan itu adalah sinar matahari, temperatur, curah hujan, kelembaban, dan
tanah (Palungkun, 2001).

2.1 Kelapa
Kelapa dikenal sebagai tanaman yang serbaguna karena seluruh bagian tanaman ini bermanfaat bagi kehidupan
manusia serta mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi.
Salah satu bagian yang terpenting dari tanaman kelapa adalah buah kelapa. Buah kelapa terdiri dari beberapa
komponen yaitu kulit luar (epicarp), sabut (mesocarp), tempurung kelapa (endocarp), daging buah (endosperm), dan air
kelapa (Palungkun, 2001). Adapun komposisi buah kelapa disajikan pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Komposisi buah kelapa


Bagian buah Jumlah berat (%)
Sabut 35
Tempurung 12
Daging buah 28
Air kelapa 25
(Palungkun 2001)

Komponen-komponen penyusun buah kelapa disajikan pada gambar


2 . 1 berikut ini :

Keterangan Gambar :
1. Kulit luar (epicarp)
2. Sabut (mesocarp)
3. Tempurung (endocarp)
4. Daging buah (endosperm)
5. Air kelapa

Gambar 2.1 Penampang membujur buah kelapa

2.2 Tempurung Kelapa


Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang fungsinya secara biologis adalah pelindung inti buah
dan terletak di bagian sebelah dalam sabut dengan ketebalan berkisar antara 3–6 mm. Tempurung kelapa dikategorikan
sebagai kayu keras tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah dengan kadar air
sekitar enam sampai sembilan persen (dihitung berdasarkan berat kering) dan terutama tersusun dari lignin, selulosa dan
hemiselulosa (Tilman, 1981).
Tabel 2.2 Komposisi kimia tempurung kelapa (Suhardiyono, 1988)
Komponen Persentase
Selulosa 26,6 %
Hemiselulosa 27,7 %
Lignin 29,4 %
Abu 0,6 %
Komponen ekstraktif 4,2 %
Uronat anhidrat 3,5 %
Nitrogen 0,1 %
Air 8,0 %
Apabila tempurung kelapa dibakar pada temperatur tinggi dalam ruangan yang tidak berhubungan dengan udara
maka akan terjadi rangkaian proses peruraian penyusun tempurung kelapa tersebut dan akan menghasilkan arang selain
destilat, tar dan gas (Anonim, 1983). Destilat ini merupakan komponen yang sering disebut sebagai asap cair.
Tempurung kelapa termasuk golongan kayu keras dengan kadar air sekitar enam sampai sembilan persen
(dihitung berdasar berat kering), dan terutama tersusun dari lignin, selulosa dan hemiselulosa. Data komposisi kimia
tempurung kelapa disajikan pada tabel 2.2

3 Sabut kelapa
Sabut kelapa merupakan bagian yang cukup besar dari buah kelapa, yaitu 35 % dari berat keseluruhan buah. Sabut
kelapa terdiri dari serat dan gabus yang menghubungkan satu serat dengan serat lainnya. Serat adalah bagian yang
berharga dari sabut. Setiap butir kelapa mengandung serat 525 gram (75 % dari sabut), dan gabus 175 gram (25 % dari
sabut).

4 Sawit
Kelapa sawit (Elleis Guinensis) merupakan salah satu sumber minyak nabati yang penting di Indonesia. Kelapa
sawit mengandung kurang lebih 80 % pericarp dan 20 % yang di lapisi dengan cangkang.
Hasil dari pada pengolahan kelapa sawit selanjutnya dapat digunakan dalam berbagai bidang terutama industri makanan,
kosmetik, sabun, cat, bahkan akhir-akhir ini sedang di galakkan penggunaannya dari minyak kelapa sawit sebagai bahan
baku pembuatan bahan bakar alternative.
Kelapa sawit mengandung lebih kurang 67 % daging buah kelapa sawit (brondolan), 23 % janjangan kosong
(tandan), dan 10 % air (penguapan). Di dalam daging diperoleh kadar minyak mentah (Crude Oil) sekitar 43 %, biji 11
%, dan ampas 13 %, dalam biji mengandung inti sekitar 5 %, cangkang 5 %, dan air 1 %. (Naibaho, 1996) Industri
Kelapa sawit mulai dirintis di Indonesia oleh seorang kebangsaan Belgia yang telah belajar banyak di afrika yang
bernama Addrian Hallet yang mengusahakan perkebunan kelapa sawit di Sungai Liput Aceh Tamiang dan di Pulau raja
(Asahan) pada tahun 1911. Dan ternyata industri kelapa sawit sangat cocok untuk dikembangkan di Indonesia karena
memiliki kawasan tropis yang luas yang sesuai dengan kondisi alam yang cocok untuk tanaman kelapa sawit.
Komoditas kelapa sawit yang merupakan salah satu dari komoditas andalan pada subsektor perkebunan yang
menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Sampai saat ini, kelapa sawit telah diusahakan dalam bentuk perkebunan
dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Hasil utama dari pengolahan kelapa sawit yaitu Crude Palm Oil (CPO), Palm
Kernel Oil (PKO) dan Palm Kernel Meal (PKM).
Industri pengolahan kelapa sawit saat ini milliki prospek yang cerah untuk masa depan seiring dengan tantangan
industri masa depan yaitu penggunaan bahan baku industri yang ramah lingkungan serta ketersediaan bahan baku dapat
diperbaharui (renewable). Hasil dari pada pengolahan kelapa sawit selanjutnya dapat digunakan dalam berbagai bidang
terutama industri makanan, kosmetik, sabun, cat, bahkan akhir-akhir ini sedang digalakkan penggunaanya dari minyak
kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar alternatif. Produksi minyak kelapa sawit dan konsumsi minyak
nabati menunjukkan peningkatan, sehingga untuk menghadapi persaingan pasar bebas perlu dikaji dan dikembangkan
kualitas dan kuantitas dari minyak kelapa sawit.

5 Cangkang sawit
Cangkang merupakan bagian paling keras pada komponen yang terdapat pada kelapa sawit. Saat ini pemanfaatan
cangkang sawit di berbagai industri pengolahan minyak CPO belum begitu maksimal. Ditinjau dari karakteristik bahan
baku, jika dibandingkan dengan tempurung kelapa, tempurung kelapa sawit memiliki banyak kemiripan. Perbedaan yang
mencolok yaitu pada kadar abu (ash content) yang biasanya mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan oleh
tempurung kelapa dan tempurung kelapa sawit. Tabel 1.
Tabel 2.3 Karakteristik bahan baku tempurung kelapa
Parameter Hasil ( % )

Kadar air (moisture in analysis) 7.8

Kadar abu (ash content) 2.2

Kadar yang menguap (volatile matter) 69.5

Karbon aktif murni (fixed carbon) 20.5

Tempurung kelapa sawit dapat diolah menjadi beberapa produk yang bernilai ekonomis tinggi, yaitu karbon aktif, fenol,
asap cair, tepung tempurung dan briket arang. Masing-masing produk akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.

2.6 Asap Cair


Asap diartikan sebagai suatu suspensi partikel-partikel padat dan cair dalam medium gas (Girard, 1992).
Sedangkan asap cair menurut Darmadji (1997) merupakan campuran larutan dari dispersi asap kayu dalam air yang
dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil pirolisis kayu.
Cara yang paling umum digunakan untuk menghasilkan asap pada pengasapan makanan adalah dengan
membakar serbuk gergaji kayu keras dalam suatu tempat yang disebut alat pembangkit asap (Draudt, 1963) kemudian
asap tersebut dialirkan ke rumah asap dalam kondisi sirkulasi udara dan temperatur yang terkontrol (Sink dan Hsu,
1977). Produksi asap cair merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi karena
pengaruh panas, polimerisasi, dan kondensasi (Girard, 1992).
Penggunaan berbagai jenis kayu sebagai bahan bakar pengasapan telah banyak dilaporkan. Pembuatan bandeng
asap di daerah Sidoarjo, menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan bakar seperti kayu bakau, serbuk gergaji kayu
jati, ampas tebu dan kayu bekas kotak kemasan (Tranggono dkk, 1997).
Namun untuk menghasilkan asap yang baik pada waktu pembakaran sebaiknya menggunakan jenis kayu keras
seperti kayu bakau, rasa mala, serbuk dan serutan kayu jati serta tempurung kelapa, sehingga diperoleh ikan asap yang
baik (Tranggono dkk, 1997). Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras akan berbeda komposisinya dengan asap
yang dihasilkan dari pembakaran kayu lunak. Pada umumnya kayu keras akan menghasilkan aroma yang lebih unggul,
lebih kaya kandungan aromatik dan lebih banyak mengandung senyawa asam dibandingkan kayu lunak (Girard, 1992).
Asap memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan
karbonil. Seperti yang dilaporkan Darmadji dkk (1996) yang menyatakan bahwa pirolisis tempurung kelapa
menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13 %, karbonil 11,3 % dan asam 10,2 %. Aplikasi
asap cair dalam pengolahan RSS dengan skala pabrik dapat berfungsi sebagai pembeku dan pengawet dalam pengolahan
RSS. Pembekuan sempurna terjadi dalam waktu 5 menit, dan pengeringan sit hanya memerlukan waktu selama 36 jam
dan menghemat kayu bakar sebanyak 2,45 m3 per ton karet kering dibandingkan dengan pengolahan RSS secara normal.
Hal ini akan banyak mengurangi pencemaran udara akibat pembakaran kayu, biaya pengolahan lebih efisien dan proses
pengolahan lebih cepat dari 5-6 hari menjadi 2 hari. Mutu spesifikasi teknis, karakteristik vulkanisasi dan sifat fisik
vulkanisat dari karet RSS yang dibekukan dan diawetkan dengan asap cair adalah setara dengan yang diproses secara
konvensional.
Di Amerika serikat, pengolah daging menggunakan asap cair yang telah mengalami pengendapan dan
penyaringan untuk memisahkan senyawa tar. Pasar internasional untuk produk asap cair ini meliputi Amerika, Eropa,
Afrika, Australia, dan Amerika Selatan. Asap cair ini telah diaplikasikan pada pengawetan daging, termasuk daging
unggas, kudapan dari daging, ikan salmon dan kudapan lainnya. Asap cair juga digunakan untuk menambah citarasa pada

saus, sup, sayuran dalam kaleng, bumbu, rempah-rempah dan lain-lain (Tranggono dkk, 1997).

2.7 Komposisi Asap Cair


Asap cair mengandung berbagai senyawa yang terbentuk karena terjadinya pirolisis tiga komponen kayu yaitu
selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lebih dari 400 senyawa kimia dalam asap telah berhasil diidentifikasi.
Komponen-komponen tersebut ditemukan dalam jumlah yang bervariasi tergantung jenis kayu, umur tanaman sumber
kayu, dan kondisi pertumbuhan kayu seperti iklim dan tanah. Komponen-komponen tersebut meliputi asam yang dapat
mempengaruhi citarasa, pH dan umur simpan produk asapan; karbonil yang bereaksi dengan protein dan membentuk
pewarnaan coklat dan fenol yang merupakan pembentuk utama aroma dan menunjukkan aktivitas antioksidan (Astuti,
2000).
Diketahui pula bahwa temperatur pembuatan asap merupakan faktor yang paling menentukan kualitas asap yang
dihasilkan. Darmadji dkk (1999) menyatakan bahwa kandungan maksimum senyawa-senyawa fenol, karbonil, dan asam

dicapai pada temperatur pirolisis 600 oC. Tetapi produk yang diberikan asap cair yang dihasilkan pada temperatur 400
oC dinilai mempunyai kualitas organoleptik yang terbaik dibandingkan dengan asap cair yang dihasilkan pada temperatur

pirolisis yang lebih tinggi. Adapun komponen-komponen penyusun asap cair meliputi:

1. Senyawa-senyawa fenol
Senyawa fenol diduga berperan sebagai antioksidan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk asapan.
Kandungan senyawa fenol dalam asap sangat tergantung pada temperatur pirolisis kayu. Menurut Girard (1992),
kuantitas fenol pada kayu sangat bervariasi yaitu antara 10-200 mg/kg Beberapa jenis fenol yang biasanya terdapat dalam
produk asapan adalah guaiakol, dan siringol.
Senyawa-senyawa fenol yang terdapat dalam asap kayu umumnya hidrokarbon aromatik yang tersusun dari cincin
benzena dengan sejumlah gugus hidroksil yang terikat. Senyawa-senyawa fenol ini juga dapat mengikat gugus-gugus lain
seperti aldehid, keton, asam dan ester (Maga, 1987).

2. Senyawa-senyawa karbonil
Senyawa-senyawa karbonil dalam asap memiliki peranan pada pewarnaan dan citarasa produk asapan. Golongan
senyawa ini mepunyai aroma seperti aroma karamel yang unik. Jenis senyawa karbonil yang terdapat dalam asap cair
antara lain adalah vanilin dan siringaldehida.

3. Senyawa-senyawa asam
Senyawa-senyawa asam mempunyai peranan sebagai antibakteri dan membentuk cita rasa produk asapan.
Senyawa asam ini antara lain adalah asam asetat, propionat, butirat dan valerat.

4. Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis


Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (HPA) dapat terbentuk pada proses pirolisis kayu.Senyawa hidrokarbon
aromatik seperti benzo(a)pirena merupakan senyawa yang memiliki pengaruh buruk karena bersifat karsinogen (Girard,
1992).
Girard (1992) menyatakan bahwa pembentukan berbagai senyawa HPA selama pembuatan asap tergantung dari
beberapa hal, seperti temperatur pirolisis, waktu dan kelembaban udara pada proses pembuatan asap serta kandungan
udara dalam kayu.Dikatakan juga bahwa semua proses yang menyebabkan terpisahnya partikel-partikel besar dari asap
akan menurunkan kadar benzo(a)pirena. Proses tersebut antara lain adalah pengendapan dan penyaringan.

5. Senyawa benzo(a)pirena

Benzo(a)pirena mempunyai titik didih 310 oC dan dapat menyebabkan kanker kulit jika dioleskan langsung pada
permukaan kulit. Akan tetapi proses yang terjadi memerlukan waktu yang lama (Winaprilani, 2003).

2.8 Keuntungan dan Sifat Fungsional Asap Cair


Keuntungan penggunaan asap cair menurut Maga (1987) antara lain lebih intensif dalam pemberian citarasa,
kontrol hilangnya citarasa lebih mudah, dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan, lebih hemat dalam
pemakaian kayu sebagai bahan asap, polusi lingkungan dapat diperkecil dan dapat diaplikasikan ke dalam bahan dengan
berbagai cara seperti penyemprotan, pencelupan, atau dicampur langsung ke dalam makanan. Selain itu keuntungan lain
yang diperoleh dari asap cair, adalah seperti diterangkan di bawah ini:
1. Keamanan Produk Asapan
Penggunaan asap cair yang diproses dengan baik dapat mengeliminasi komponen asap berbahaya yang berupa
hidrokarbon polisiklis aromatis. Komponen ini tidak diharapkan karena beberapa di antaranya terbukti bersifat
karsinogen pada dosis tinggi. Melalui pembakaran terkontrol, aging, dan teknik pengolahan yang semakin baik, tar dan
fraksi minyak berat dapat dipisahkan sehingga produk asapan yang dihasilkan mendekati bebas HPA (Pszczola dalam
Astuti, 2000).

2. Aktivitas Antioksidan
Adanya senyawa fenol dalam asap cair memberikan sifat antioksidan terhadap fraksi minyak dalam produk
asapan. Dimana senyawa fenolat ini dapat berperan sebagai donor hidrogen dan efektif dalam jumlah sangat kecil untuk
menghambat autooksidasi lemak (Astuti, 2000).

3. Aktivitas Antibakterial
Peran bakteriostatik dari asap cair semula hanya disebabkan karena adanya formaldehid saja tetapi aktivitas dari
senyawa ini saja tidak cukup sebagai penyebab semua efek yang diamati. Kombinasi antara komponen fungsional fenol
dan asam-asam organik yang bekerja secara sinergis mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikrobia (Pszczola dalam
Astuti, 2000). Adanya fenol dengan titik didih tinggi dalam asap juga merupakan zat antibakteri yang tinggi (Astuti,
2000).

4. Potensi pembentukan warna coklat


Menurut Ruiter (1979) karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya pembentukan warna coklat pada produk
asapan. Jenis komponen karbonil yang paling berperan adalah aldehid glioksal dan metal glioksal sedangkan formaldehid
dan hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna coklat
pada produk yang diasap meskipun intensitasnya tidak sebesar karbonil.

5. Kemudahan dan variasi penggunaan


Asap cair bisa digunakan dalam bentuk cairan, dalam fasa pelarut minyak dan bentuk serbuk sehingga
memungkinkan penggunaan asap cair yang lebih luas dan mudah untuk berbagai produk (Pszczola dalam Astuti,2000).

9 Manfaat Asap Cair


Asap cair memiliki banyak manfaat dan telah digunakan pada berbagai industri, antara lain :

1. Industri pangan
Asap cair ini mempunyai kegunaan yang sangat besar sebagai pemberi rasa dan aroma yang spesifik juga sebagai
pengawet karena sifat antimikrobia dan antioksidannya. Dengan tersedianya asap cair maka proses pengasapan
tradisional dengan menggunakan asap secara langsung yang mengandung banyak kelemahan seperti pencemaran
lingkungan, proses tidak dapat dikendalikan, kualitas yang tidak konsisten serta timbulnya bahaya kebakaran, yang
semuanya tersebut dapat dihindari.

2. Industri perkebunan
Asap cair dapt digunakan sebagai koagulan lateks dengan sifat fungsional asap cair seperti antijamur, antibakteri
dan antioksidan tersebut dapat memperbaiki kualitas produk karet yang dihasilkan.

3. Industri kayu
Kayu yang diolesi dengan asap cair mempunyai ketahanan terhadap serangan rayap daripada kayu yang tanpa
diolesi asap cair (Darmadji, 1999)
2.10 Pirolisis
Pirolisis adalah proses pemanasan suatu zat tanpa adanya oksigen sehingga terjadi penguraian
komponen-komponen penyusun kayu keras. Istilah lain dari pirolisis adalah penguraian yang tidak teratur dari
bahan-bahan organik yang disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa berhubungan dengan udara luar. Hal tersebut
mengandung pengertian bahwa apabila tempurung dan cangkang dipanaskan tanpa berhubungan dengan udara dan diberi
suhu yang cukup tinggi, maka akan terjadi reaksi penguraian dari senyawa-senyawa kompleks yang menyusun kayu keras
dan menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu padatan, cairan dan gas (Widjaya, 1982).
Pembakaran tidak sempurna pada tempurung kelapa, sabut, serta cangkang sawit menyebabkan senyawa karbon
kompleks tidak teroksidasi menjadi karbon dioksida dan peristiwa tersebut disebut sebagai pirolisis. Pada saat pirolisis,
energi panas mendorong terjadinya oksidasi sehingga molekul karbon yang kompleks terurai, sebagian besar menjadi
karbon atau arang. Istilah lain dari pirolisis adalah “destructive distillation” atau destilasi kering, dimana merupakan
proses penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik yang disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa
berhubungan dengan udara luar. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa apabila tempurung dipanaskan tanpa
berhubungan dengan udara dan diberi suhu yang cukup tinggi maka akan terjadi rangkaian reaksi penguraian dari
senyawa-senyawa kompleks yang menyusun tempurung dan menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu padatan, cairan
dan gas (Anonim, 1983).
Tempurung kelapa dan kayu keras memiliki komponen-komponen yang hampir sama. Kandungan selulosa,
hemiselulosa dan lignin dalam kayu berbeda-beda tergantung dari jenis kayu. Pada umumnya kayu mengandung dua
bagian selulosa, satu bagian hemiselulosa serta satu bagian lignin. Girard (1992) menyatakan bahwa produk dekomposisi
termal yang dihasilkan melalui reaksi pirolisis komponen-komponen kayu adalah sebanding dengan jumlah
komponen-komponen tersebut dalam kayu.
Salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas pengasapan yaitu dengan menggunakan asap cair yang diperoleh
dengan cara pirolisis kayu atau serbuk kayu kemudian dilakukan kondensasi. Menurut Maga (1987) asap cair merupakan
suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari asap kayu dalam air yang dapat diperoleh dari hasil pirolisis kayu. Asap
cair merupakan campuran larutan dari dispersi asap kayu dengan mengkondensasikan asap cair hasil pirolisis kayu yang
merupakan proses dekomposisi dari komponen-komponen penyusun kayu seperti lignin, selulosa dan hemiselulosa
akibat panas tanpa adanya oksigen (Tahir, 1992).
Menurut Tahir (1992), pada proses pirolisis dihasilkan tiga macam penggolongan produk yaitu :
1. Gas-gas yang dikeluarkan pada proses karbonisasi ini sebagian besar berupa gas CO2 dan sebagian lagi berupa

gas-gas yang mudah terbakar seperti CO, CH4, H2 dan hidrokarbon tingkat rendah lain. Komposisi rata-rata dari total

gas yang dihasilkan pada proses karbonisasi kayu disajikan pada tabel 3.1.

Tabel 2.4 Komposisi rata-rata dari total gas yang dihasilkan pada proses karbonisasi kayu
No Komponen gas Persentase (%)
Karbondioksida 50,77
Karbonmonoksida 27,88
Metana 11,36
Hidrogen 4,21
Etana 3,09
Hidrokarbon tak jenuh 2,72
(Panshin, 1950)
2. Destilat berupa asap cair dan tar
Komposisi utama dari produk yang tertampung adalah metanol dan asam asetat. Bagian lainnya merupakan
komponen minor yaitu fenol, metil asetat, asam format, asam butirat dan lain-lain.

3. Residu (karbon).
Tempurung kelapa dan kayu mempunyai komponen-komponen yang hampir sama. Kandungan selulosa,
hemiselulosa dan lignin dalam kayu berbeda-beda tergantung dari jenis kayu. Pada umumnya kayu mengandung dua
bagian selulosa dan satu bagian hemiselulosa, serta satu bagian lignin. Adapun pada proses pirolisis terjadi dekomposisi
senyawa-senyawa penyusunnya, yaitu :

2.10.1 Pirolisis selulosa


Selulosa adalah makromolekul yang dihasilkan dari kondensasi linear struktur heterosiklis molekul glukosa.
Selulosa terdiri dari 100-1000 unit glukosa (Fengel dan Wegener, 1995). Selulosa terdekomposisi pada temperatur 280
oC dan berakhir pada 300-350 oC. Girard (1992), menyatakan bahwa pirolisis selulosa berlangsung dalam dua tahap,

yaitu :
1. Tahap pertama adalah reaksi hidrolisis menghasilkan glukosa.
2. Tahap kedua merupakan reaksi yang menghasilkan asam asetat dan homolognya, bersama-sama air dan sejumlah kecil
furan dan fenol

2.10.2 Pirolisis hemiselulosa


Hemiselulosa merupakan polimer dari beberapa monosakarida seperti pentosan (C5H8O4) dan heksosan

(C6H10O5). Pirolisis pentosan menghasilkan furfural, furan dan derivatnya beserta satu seri panjang asam-asam

karboksilat. Pirolisis heksosan terutama menghasilkan asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa akan terdekomposisi

pada temperatur 200-250 oC.

2.10.3 Pirolisis lignin


Lignin merupakan sebuah polimer kompleks yang mempunyai berat molekul tinggi dan tersusun atas unit-unit
fenil propana. Senyawa-senyawa yang diperoleh dari pirolisis struktur dasar lignin berperanan penting dalam
memberikan aroma asap produk asapan. Senyawa ini adalah fenol, eter fenol seperti guaiakol, siringol dan homolog serta

derivatnya (Girard,1992). Lignin mulai mengalami dekomposisi pada temperatur 300-350 oC dan berakhir pada 400-450
oC.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat penelitian


a. Peralatan perolisis dan kondensasi
Peralatan yang digunakan adalah: alat pirolisa yang terbuat dari drum stainless steel dengan volume tinggi 60 cm
dan diameter 20 cm, menara pendingin dengan tinggi 100 cm dan diameter 10 cm yang dilengkapi dengan pipa coil ½”
sebagai media perpindahan panas secara konduksi, alat-alat gelas, termometer, pengaduk, buret, corong penyaring, pipet
dan alat-alat plastik.

b. Peralatan analisa
- alat-alat gelas
- thermometer
- buret
- pengaduk
- corong
- penyaring
- pipet
- alat-alat plastik
- Kromatografi gas, kolom HP-5 jenis kapiler merk Hewlet-Packard

3.2 Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan adalah dalam penelitian ini adalah :
- Sabut Kelapa
- Tempurung Kelapa
- Cangkang Sawit
- Ikan teri
- Aquades

3 Variabel Penelitian
a. Variabel bebas
- Jenis Bahan Baku : Sabut Kelapa, Tempurung Kelapa, Cangkang Sawit

- Suhu perolisis : 250oC, 300oC, 350oC dan 400oC


b. Variabel tetap
- Jumlah Bahan Baku 2 Kg
- Waktu Pirolisa 2 jam
c. Variabel terikat
- Volume asap cair yang dihasilkan
- Waktu pengawetan asap cair yang terjadi pada masing-masing sampel
3.4 Prosedur penelitian
Tahap pelaksanaan penelitian meliputi :

a. Persiapan bahan baku dan pembuatan alat


Cara pengerjaan tahap ini adalah sebagai berikut :
- Persiapan dasar teori serta referensi pembuatan alat serta di lanjutkan dengan perancangan alat perolisis serta
condenser sederhana
- Sebanyak 2 kg sabut kelapa, tempurung kelapa, cangkang sawit di jemur selama 1 hari agar tidak banyak
mengandung air
- Setelah dikeringkan, sample tersebut dipotong kecil-kecil untuk memudahkan proses pmbakaran
- Sample kering dan bersih yang telah diperkecil tersebut dimasukkan ke dalam drum pembakar (pirolisa) yang terletak
di atas tungku

b. Tahap pembuatan
a. Pirolisa
- Dari bagian bawah dinyalakan api sehingga sample terbakar secara pirolisis
- Suhu pembakaran di atur sesuai dengan sampel yang diinginkan
- Asap yang dihasilkan secara liquidasi akan mengalir ke tabung kondensasi
b. Tahap kondensasi
- Asap output dari tabung pirolis akan mengalir ke menara pendingin dengan suhu air biasa sebagai media pendingin
- Asap akan terkondensasi dan mencair
- Cairan asap mengalir melalui bottom condenser column dialirkan ke kolom penampungan sementara
- Kondensat langsung di ukur rendemennya dan digunakan sebagai sample pengujian untuk pembanding katahanan
pangawetan

c. Tahap analisa
kondensat yang keluar dari tabung kondensasi di ukur volume yang di hasilkan kemudian dianalisa menggunakan
kromatografi gas untuk mengetahui jumlah komponen yang terkandung di dalamnya. Adapun kondisi operasi

kromatografi gas yang digunakan adalah dengan kolom HP-5 panjang 30 m, laju pemanasan 5oC/menit temperatur

kolom : 60–250oC, temperatur injektor 260oC, temperatur detektor pada 270oC, detektor FID, gas pembawa : He, laju
alir : 40 mL/menit dan Volume injeksi : 1 µl.
Setelah melalui tahap analisa tersebut di uji waktu pengawetan terhadap sampel ikan basah dan di hitung waktu serta
efek pengawetannya

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, dilakukan pirolisis terhadap sampel secara batch menggunakan reaktor pirolisis dilengkapi
dengan pendingin spiral yang dihubungkan dengan penampung destilat.

4.1. Hasil pirolisis tempurung kelapa


Pirolisis merupakan proses dekomposisi atau pemecahan bahan baku penghasil asap cair yaitu tempurung kelapa,
cangkang sawit serta sabut kelapa dengan adanya panas. Dalam pelaksanaan proses pirolisis dilakukan variasi temperatur
pirolisis untuk mengetahui pengaruh temperatur pirolisis terhadap hasil pirolisis. Pirolisis dilakukan dalam suatu reaktor
yang di panaskan pada bagian bawahnya selama 2 jam. Proses pirolisis ini menghasilkan cairan yang berbau menyengat,
terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan atas berwarna hitam kecoklatan dikatakan sebagai asap cair dan lapisan bawah
berwarna hitam kental dikatakan sebagai tar. Selain itu juga diperoleh residu berupa arang tempurung kelapa (ATK) dan
gas-gas yang tidak dapat terkondensasikan. Gas yang dihasilkan dari proses pirolisis ini tidak dapat terkondensasikan
oleh pendingin, sehingga tidak tertampung pada penampung cairan. Sebagian dari gas-gas ini terjebak pada penampung
dan yang lain terlepas dari penampung tersebut keluar melalui pipa penyalur asap dan lepas ke atmosfer.
Pada proses pirolisis ini berlaku hukum kekekalan massa dimana massa sebelum dan sesudah reaksi adalah tetap.
Gas yang tidak dapat terkondensasi ini terhitung sebagai massa yang hilang yaitu data yang diperoleh dari perhitungan
berat awal bahan dikurangi dengan berat arang dan cairan. Hasil pirolisis ditampilkan pada tabel
a. Arang
Proses pembuatan asap cair ini menghasilkan arang sebagai bahan sisa pirolisis. Grafik yang memperlihatkan
hubungan temperatur pirolisis dengan rendemen arang dapat dilihat pada gambar 4.1.
Gambar 4.1. Grafik rendemen arang hasil pirolisis

Pada gambar 4.1 terlihat penurunan rendemen arang dari temperatur 250-400oC. Arang yang dihasilkan
beratnya semakin berkurang dengan naiknya temperatur pirolisis, ini disebabkan semakin berkurangnya
komponen-komponen organik yang terdapat dalam tempurung tersebut. Rendemen arang cangkang sawit dinyatakan
lebih tinggi dari pada rendemen arang yang dihasilkan dari perolisis tempurung dan sabut kelapa. Ini disebabkan oleh
karena kandungan lignin pada cangkang sawit lebih tinggi dari dua sampel lainnya, sehingga pada proses penguraian
lignin pada saat peristiwa perolisa terjadi lebih kecil dibanding tempurung dan sabut kelapa.

b. Cairan
Cairan yang dihasilkan pada pirolisis ini terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan atas adalah asap cair sedangkan
lapisan bawah adalah tar. Hasil ditampilkan dalam grafik pada gambar 4.2.
Dari grafik pada gambar 4.2 terlihat bahwa hasil destilat meningkat dengan naiknya temperatur pirolisis.
Gambar 4.2. Grafik rendemen cairan hasil pirolisis

Selama proses pirolisis berlangsung, terjadi beberapa tahap pirolisis yaitu tahap awal adalah proses pelepasan air

yang disertai pelepasan gas-gas ringan seperti CO dan CO2. Tahap awal ini terjadi pada temperatur 100 sampai 200oC.

Pada kisaran temperatur ini dalam wadah pendingin hanya berisi air saja. Tahap kedua adalah proses dekomposisi
unsur-unsur tempurung kelapa, cangkang sawit serta sabut kelapa seperti hemiselulosa, selulosa dan lignin. Hemiselulosa

terdekomposisi pada suhu 200oC sampai 250oC, selulosa mulai terdekomposisi pada temperatur 280oC dan berakhir

pada temperatur 300oC sampai 350oC, sedangkan lignin mulai terdekomposisi pada suhu 300oC sampai 350oC dan

berakhir pada suhu 400oC. Pada tahap ini mulai dihasilkan tar dan semua hasil dekomposisi tempurung kelapa yang
menguap bersamaan dengan meningkatnya temperatur pirolisis, residu yang tertinggal adalah arang. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa pada temperatur pirolisis 400oC dihasilkan cairan yang paling banyak yaitu sebesar 720 mL
(51,43 %).

Menurut Girard (1992) pirolisis pada temperatur 400oC ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas
organoleptik yang tinggi dan pada temperatur lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru
dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linear senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis.

4.2 Efektivitas pengawetan


asap cair yang telah dihasilkan dan kemudian dilakukan uji pengawetan terhadap ikan dan didapatkan hasil
pengujian pengawetan sebagai berikut :
1. Pada hari 1 setelah proses perendaman ikan terlihat masih segar, namun pada pengujian menggunakan asap cair

dari sabut kelapa dengan suhu perolisis 400 0C, bau asap cair sangat terasa. Hal ini dikarenakan tingginya kadar
senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (HPA) yang terbentuk pada perolisis sabut kelapa menurut girard, 1992
senyawa hidrokarbon aromatik seperti benzo(a)pirena merupakan senyawa yang memiliki pengaruh buruk karena
bersifat karsinogen.
2. Pada hari ke dua dan ke tiga tidak tampak perubahan pada ikan (sama seperti pada hari 1) sehingga dapat
disimpulkan bahwa hari 2 dan 3 proses pengawetan berjalan dengan baik
3. Pada hari ke empat warna ikan mulai berubah menjadi kekuningan, hal ini disebabkan karena sifat fungsional
asap cair yaitu sebagai pembentuk warna cokelat (Ruiter,1979)
4. Pada hari ke lima perut ikan mulai pecah (tekstur tubuh memburuk) hal ini mungkin diakibatkan oleh aktivitas
bakterial yang mulai meningkat karena pengaruh air yang terkandung pada ikan sehingga sifat anti bakterial pada
asap cair tidak mampu lagi menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan
5. Pada hari ke enam, ikan mulai berbau busuk, warna ikan cokelat dan tekstur tubuh (daging) ikan telah pecah
6. Perbandingan pengawetan ikan yang tanpa menggunakan asap cair, dan hanya menggunakan es pada awal
perlakuan, hanya tahan selama dua hari, pada hari ketiga ikan tersebut telah membusuk.
Laju pembusukan pada ikan dengan perbandingan antara asap cair tempurung kelapa, cangkang sawit, sabut kelapa
serta tanpa penambahan asap cair dapat dilihat pada gambar 4.3 dibawah ini.

Gambar 4.3. Grafik laju pembusukan pada ikan

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1 Kesimpulan
Dari penelitian mengenai asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Rendemen asap cair optimum dihasilkan pada temperatur pirolisis 400 oC yaitu rata-rata sebesar 719 ml
2. asap cair yang dihasilkan dari sabut kelapa butuh perlakuan lanjutan karena dinilai mengandung kadar
benzo(a)pirena yang bersifat racun lebih tinggi sehingga asap cair sabut kelapa ini disimpulkan belum layak
digunakan pada makanan
3. efektivitas pengawetan pada rata-rata asap cair adalah lima (5) hari dengan perlakuan penambahan es sebagai
penguat struktur hanya pada awal perlakuan

2 Saran
1. Perlu dilakukan teknik pemisahan yang lebih baik untuk memisahkan asap cair dengan tar hasil pirolisis bahan
biomassa lainnya.
1. Perlu dilakukan identifikasi senyawa yang terdapat dalam asap cair hasil destilasi.
2. Perlu dilakukan pemisahan asap cair dengan menggunakan metode destilasi yang lain untuk memperoleh asap cair
dengan sifat-sifat fungsional yang spesifik.
3. Perlu dilakukan penelitian pemanfaatan asap cair hasil destilasi, karena adanya variasi warna dan aroma yang
berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1980, Handbook of Phsycal Chemistry, John Willey & Sons, New York.

Anonim, 1983, Prototype Alat Pembuatan Arang Aktif dan Asap Cair Tempurung, Badan Penelitian dan Pengembangan
Industri, Departemen Perindustrian.

Daun, H., 1979, Interaction of Wood Smoke Components and foods, Foods Tech., 33 (5) : 67 – 71.

Girrard, J.P., 1992. Technology of Meat and Meat Products, Ellis Horwood, New York.

Heyne, K., 1983, Tumbuhan berguna Indonesia, Jilid I, Yayasan Wana Jaya, Jakarta.

Hobart, H.W., 1988, Instrumental Methods of Analysis, 7th ed, Wadswort Publishing Company, California.

Ketaren, S., 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, UI-Press, Jakarta.

Kopkhar, SM, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, Penerbit UI Press, Jakarta.
Maga, J.A. 1987, Smoke in Food Processing, CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida.

Palungkun, R., 2003, Aneka Produk Olahan Kelapa, Cetakan ke Sembilan, Penebar Swadaya, Jakarta.

Panshin, A.J., 1950, Forest Product, Their Sources, Production and Utilization, McGraw Hill Inc., 46-51, 251-253,
263-266..

Poole, F.C., and Poole, K.S.,1997, Chromatography Today, Elsevier, Amsterdam.

Pszczola, D.E., 1995, Tour Highlight Production and Uses of Smoke Based Flavors, Food Tech, 49 (1) : 70 – 74.

Ruswanto, Darmadji, P. dan Raharjo, S., 2000, Potensi Pencoklatan Asap Cair dari Kayu Karet Hasil Reaksi dengan
Beberapa Asam Amino, Seminar Nasional Industri Pangan, Yogyakarta.

Suhardiyono, L., 1988, Tanaman Kelapa, Budidaya dan Pemanfaatannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 153-156.

Tahir, I., 1992, Pengambilan Asap Cair secara Destilasi Kering pada Proses pembuatan Karbon Aktif dari Tempurung
Kelapa, Skripsi, FMIPA Ugm, Yogyakata.

Tilman, D., 1981, Wood Combution : Principles, Processes and Economics, Academics Press Inc., New York, 74-93.

Vartuli,J.C., Malek, A., Roth, W.J., Kersge, C.T. and McCullen, S.B, 2001, The Sorption of As-Synthesized and
Calcined MCM-41 and MCM-48, Microporous, Mesoporous Materials, 44, 691-694.

Vogel, A.I., 1990, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro, Edisi 5, Revisi oleh G. Svehla,
Terjemahan Seyiono dan H. Pudjaatmaka, Kalman Media Pusaka, Jakarta.

Wazyka, A., Darmadji, P. dan Raharjo, R., 2000, Aktivitas Antioksidan Asap Cair Kayu Karet dan Redestilatnya
Terhadap Asam Linoleat, Seminar Nasional Industri Pangan, Yogyakarta.

Wulandari, K.R., Darmadji, P. dan Santoso, U., 1999, Sifat Antioksidatif Asap Cair Hasil Redistilasi Selama
Penyimpanan, Prosiding Seminar Nasional Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM,
Yogyakarta

Yuwanti, S., Darmadji, P. dan Tranggono, 1999, Potensi Pencoklatan Fraksi-fraksi Asap Cair Tempurung Kelapa,
Prosiding Seminar Nasional Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.

You might also like