Professional Documents
Culture Documents
Oleh
By
PENDAHULUAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat miskonsepsi
fisika siswa SMA di Bandar Lampung.
KAJIAN TEORETIS
Siswa sebelum menerima suatu pelajaran fisika dari gurunya biasanya telah
mengembangkan tafsiran-tafsiran atau dugaan-dugaan konsep yang akan
diterimanya. Pinker (2003) mengemukakan bahwa siswa hadir di kelas umumnya
tidak dengan kepala kosong, melainkan mereka telah membawa sejumlah
pengalaman-pengalaman atau ide-ide yang dibentuk sebelumnya ketika mereka
berinteraksi dengan lingkungannya. Gagasan-gagasan atau ide-ide yang dimiliki
oleh siswa sebelum menerima suatu pembelajaran ini disebut dengan prakonsepsi.
Siswa sering kali mengalami konflik dalam dirinya ketika berhadapan dengan
informasi baru dengan ide-ide yang dibawa sebelumnya. Informasi baru ini bisa
sejalan atau bertentangan dengan prakonsepsi siswa. Kebanyakan yang terjadi
adalah informasi baru tersebut bertentangan dengan prakonsepsi siswa seperti
yang dikemukakan oleh Redhana dan Kirna (2004) bahwa prakonsepsi ini sering
merupakan miskonsepsi.
Fisika dan begitu pula ilmu pengetahuan yang lainnya merupakan kumpulan
konsep-konsep yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Menurut
Ausubel dalam Berg (Ed.) (1999: 8) Konsep adalah benda-benda, kejadian-
kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri yang memiliki ciri-ciri khas dan yang
terwakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau simbol (objects, events,
situations, or properties that possess common critical attributcs and are
designated in any given culture by some accepted sign or symbol. Dengan
demikian konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah
komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berpikir (Berg
(Ed.), 1999: 8).
Konsep dalam fisika sebagian besar telah mempunyai arti yang jelas karena
merupakan kesepakatan para fisikawan, tetapi tafsiran konsep fisika tersebut bisa
berbeda-beda diantara siswa satu dengan siswa yang lainnya. Misalnya penafsiran
konsep hambatan listrik dan arus listrik berbeda untuk setiap siswa. Tafsiran
perorangan mengenai suatu konsep ini disebut konsepsi.
Tafsiran konsep seseorang atau konsepsi tersebut kadang sesuai dengan tafsiran
yang dimaksud oleh para ilmuwan atau pakar dalam bidang itu kadang pula tidak
sesuai. Konsepsi yang tidak sesuai dengan yang diterima para pakar dalam bidang
itu disebut salah konsep atau miskonsepsi. Suparno (1998 : 95) memandang
miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan
konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-
konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar.
Jadi bentuk miskonsepsi fisika yang dialami siswa berupa kesalahan konsep awal,
hubungan yang tidak benar antara konsep satu dengan lainnya, atau gagasan
intuitif atau pandangan yang naif. Untuk pembelajar pemula, miskonsepsi sering
juga diistilahkan dengan konsep alternatif.
Penyebab Miskonsepsi
Miskonsepsi akan terbentuk bila konsepsi seseorang mengenai suatu materi tidak
sesuai dengan konsepsi yang diterima oleh ilmuwan atau pakar dibidangnya.
Suatu miskonsepsi siswa bisa berasal dari beberapa sebab. Miskonsepsi siswa bisa
berasal dari siswa sendiri, yaitu siswa salah menginterpretasi gejala atau peristiwa
yang dihadapi dalam hidupnya. Selain itu, miskonsepsi yang dialami siswa bisa juga
diperoleh dari pembelajaran dari gurunya. Pembelajaran yang dilakukan gurunya
mungkin kurang terarah sehingga siswa melakukan interpretasi yang salah terhadap
suatu konsep, atau mungkin juga gurunya mengalami miskonsepsi terhadap suatu
konsep sehingga apa yang disampaikannya juga merupakan suatu miskonsepsi .
Msikonsepsi yang bersumber dari guru ini ditekankan pula oleh Sadia (1996:13)
yang menyatakan bahwa miskonsepsi mungkin pula diperoleh melalui proses
pembelajaran pada jenjang pendidikan sebelumnya.
Mengatasi miskonsepsi fisika siswa ternyata bukan persoalan yang mudah karena
sejumlah miskonsepsi fisika bersifat resistan meskipun telah diusahakan untuk
menjelaskannya dengan penalaran yang logis melalui penunjukkan perbedaannya
dengan pengamatan sebenarnya yang diperoleh dari peragaan dan percobaan.
Penyebab dari resistennya sebuah miskonsepsi karena setiap orang membentuk
pengetahuan dalam kepalanya persis dengan pengalaman yang diperolehnya.
Begitu pengetahuan terbentuk dalam diri siswa dari pengalaman yang diperoleh
langsung maka akan menjadi susah untuk memberi tahu siswa itu untuk
mengubah miskonsepsi itu (Wiliantara, 2005).
Kesulitan dalam mengatasi masalah miskonsepsi juga dikatakan oleh Berg (Ed.)
(1991:5-6) Menurutnya miskonsepsi awet dan sulit diubah. Apabila guru berhasil
mengoreksi miskonsepsi siswa pada suatu konsep tertentu maka apabila siswa
diberi soal yang sedikit menyimpang dari konsep yang semula, miskonsepsi akan
muncul lagi.
Walaupun sulit mengatasi miskonsepsi ini, tetapi tetap ada cara yang bisa
dilakukan untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi miskonsepsi siswa. Cara
mengatasi miskonsepsi yang efektif dan efisien memang sulit ditemukan, namun
ada beberapa langkah yang bisa dilakukan seperti yang dikemukakan oleh Berg
(Ed) (1991: 6), yaitu:
1). Langkah pertama adalah mendeteksi prakonsepsi siswa. Apa yang sudah
ada dalam kepala siswa sebelum kita mulai mengajar? Prakonsepsi apakah
yang sudah terbentuk dalam kepala siswa oleh pengalaman dengan peristiwa-
peristiwa yang akan dipelajari? Apa kekurangan prakonsepsi tersebut ?
Prakonsepsi dapat diketahui dari literatur atau hasil-hasil penelitian
sebelumnya, test diagnostik, pengamatan, membaca jawaban-jawaban yang
diberikan siswa langsung, dari peta konsep dan dari pengalaman guru.
Literatur dan test diagnostik sangat membantu, demikian juga membaca hasil
tes esai siswa dengan cara yang kritis dan santai. Fokuskan perhatian kepada
jawaban siswa yang salah.
2). Langkah kedua adalah merancang pengalaman belajar yang bertolak dari
prakonsepsi tersebut dan kemudian menghaluskan bagian yang sudah baik dan
mengoreksi bagian konsep yang salah. Prinsip utama dalam koreksi
miskonsepsi adalah bahwa siswa diberi pengalaman belajar yang
menunjukkan pertentangan konsep mereka dengan peristiwa alam. Dengan
demikian diharapkan bahwa pertentangan pengalaman ini dengan konsep yang
lama akan menyebabkan koreksi konsepsi. (cognitive dissonance theory,
Festinger). Atau dengan memakai istilah Piaget dapat dikatakan bahwa
pertentangan pengalaman baru dengan konsep yang salah akan menyebabkan
akomodasi, yaitu penyesuaian struktur kognitif (otak) yang menghasilkan
konsep baru yang lebih tepat, akan tetapi, belum tentu pengalaman yang tidak
cocok dengan prakonsepsi akan berhasil.
3). Langkah ketiga adalah latihan pertanyaan dan soal untuk melatih konsep
baru dan menghaluskannya. Pertanyaan dan soal yang dipakai harus dipilih
sedemikian rupa sehingga perbedaan antara konsepsi yang benar dan konsepsi
yang salah akan muncul dengan Jelas. Cara mengajar yang tidak membantu
adalah kalau guru hanya membahas soal tanpa memperhatikan konsep (drill),
atau hanya menulis banyak rumus di papan tulis, atau hanya berceramah tanpa
interaksi dengan murid.
METODOLOGI PENELITIAN
Adapun jumlah sampel seluruhnya yaitu 98 siswa yang terdiri dari 34 Siswa Kelas
XII IPA 1 SMAN 2 Bandar Lampung, 32 Siswa Kelas XII IPA 1 SMAN 3 Bandar
Lampung, dan 32 Siswa Kelas XII IPA 1 SMAN 9 Bandar Lampung. Teknik
pengambilan data dilakukan dengan memberikan soal-soal konsep fisika yang
telah mereka pelajari. Jumlah soal yang diberikan sebanyak 25 butir soal dan
disusun sendiri oleh peneliti. Soal tersebut adalah tipe soal objektif yang disertai
alasan dalam menjawabnya dan dirancang sedemikian rupa sehingga mampu
mengungkap miskonsepsi fisika siswa. Materi soal merupakan materi fisika yang
telah dipelajari oleh siswa yang digunakan sebagai sampel. Soal-soal tersebut
terdiri dari vektor, kinematika, dinamika, suhu dan kalor, fluida, usaha dan energi,
getaran dan gelombang, optik, dan listrik magnet.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa secara rata-rata dari semua sampel, hanya 35%
siswa yang menjawab benar tiap soal yang diberikan dan sebanyak 65% siswa
menjawab salah. Dari ketiga sampel penelitian ini, SMAN 2 Bandar Lampung
menjadi sekolah yang paling baik penguasaan konsep fisika siswanya walaupun
secara rata-rata hanya 47% dari sebanyak 34 siswa yang menjawab benar setiap
soal yang diujikan. Hasil yang diperoleh SMAN 3 Bandar Lampung yaitu
sebanyak 22% dari 32 siswa dan SMAN 9 Bandar Lampung sebesar 34% dari 32
siswa yang menjawab benar setiap soal yang diujikan. Adapun hasil analisis dari
tiap-tiap soal yang diujikan, diuraikan pada bagian bawah ini, yaitu sebagai
berikut:
Dari hasil pengamatan dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa rata-rata
siswa yang mengalami miskonsepsi terhadap konsep-konsep fisika sangat tinggi,
yaitu 65%. Dengan demikian, tingkat miskonsepsi fisika siswa secara umum di
Bandar Lampung lebih tinggi lagi dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA