You are on page 1of 41

BAB I

KEBUDAYAAN MINAHASA

A. IDENTIFIKASI
Minahasa adalah kawasan didalam propinsi di semenanjung Sulawesi Utara di Indonesia,
sesuatu daerah yang indah, terletak di bagian utara timur pulau Sulawesi, yang mencakup 27.515
km persegi, terdiri dari empat daerah - Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan
Sangihe dan Talaud.
Minahasa juga terkenal oleh sebab tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk
berbagai variasi tanaman dan binatang, didarat maupun dilaut. Tertutup dengan daunan hijau
pepohonan kelapa dan kebun-kebun cengkeh, tanah itu juga menyumbang variasi buah-buahan dan
sayuran yang lengkap. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langkah seperti burung
Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum).
Kebanyakan penduduk Minahasa adalah orang yang beragama Kristen, yang ramah dan salah
satu suku-bangsa yang paling dekat dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Europa
terjadi saat pedagang Espanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen
tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. Kata
Minahasa berasal dari confederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi
bukti sistem suku-suku lama.
Orang Minahasa adalah suatu suku bangsa yang mendiami suatu daerah pada bagian timur laut
jazirah sulawesi utara. Luas daerah ini, termasuk kota Manado dan Bitung . Luas daerah ini

termasuk kota-kota Manado dan Bitung, kurang dari 6.000 km 2. Dalam ucapan umum orang
Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Touwenang (orang Wenang), orang
Minahasa, atau pula Kawanua. Tetangga-tetangganya di sebelah utara adalah orang Sangir
dan orang Talaud, serta orang Bolaang Mongondow di sebelah selatan.
Penduduk Minahasa dapat dibagi ke dalam delapan kelompok subetnik, yaitu :
a. Tounséa
b. Toumbulu
c. Tountemboan
d. Toulour

1
e. Tounsawang
f. Pasan
g. Panosakan
h. Bantik
Setiap kelompok subetnik ini memiliki bahasa sendiri yang disebut dengan nama subetnik
itu sendiri.
Malayu Manado adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antara
orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun antara mereka denga penduduk dari
suku-suku bangsa lainnya, baik dalam lingkungan pergaulan kota maupun dalam lingkungan
pergaulan desa. Bahkan lebih dari itu, terutama di kota-kota, secara umum terlihat orang-
orang menggunakan Malayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi
Minahasa atau bahasa suku bangsa yang bersangkutan. Peranan Malayu Manado seperti di
kota-kota ini sudah terlihat pula secara jelas di desa-desa yang penduduknya merupakan
campuran dari berbagai subetnik tersebut di atas. Generasi terakhir dari orang MInahasa di
kota-kota dan di desa-desa yang dimaksud tidak dapat lagi menggunakan bahasa pribumi
subetnik yang bersangkutan. Proses indigenisasi Malayu Manado sedang berlangsung
dengan pesat, membentuk suatu cirri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya
Minahasa.

2
B. ASAL USUL SUKU MINAHASA ANAK SUKU TONSEA
Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti: Kaum Kuritis yang
berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek) Kaum Malesung/ Minahasa yang
menurunkan suku-suku : Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan
(Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 . Suku
Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang,
yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk
fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dan lain-lain.
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua
Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun biasanya
dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak
baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan
tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat
Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur
Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan Sampai pada suatu saat keluarga bertambah
jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang
melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan minahasa.
Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas
manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak awal.

3
C. DATA KEPENDUDUKAN DAN DESA
Sekarang ini wilayah yang dianggap wilayah etnik orang MInahasa yang terdiri dari
delapan kelompok tersebut di atas, terbagi pada tiga wilayah administrasi pemerintahan,
yaitu Kabupaten Minahasa, Kota Madya Manado, dan Kota Bitung. Mayoritas dari penduduk
di ketiga wilayah ini ialah suku bangsa Minahasa. Selain tiga wilayah tersebut, di Provinsi
Sulawesi Utara juga terdapat Kab. Gorontalo, Kab. Bolaang Mongondow, Kab.Sangihe
Talaud, Kodya Gorontalo, dan Kodya Bitung.
Kabupaten MInahasa mampunyai 468 desa (kampung), senagai kesatuan-kesatuan
administrasi yang dipimpin oleh kepala desa, secara adat disebut Hukum Tua (Kuntua).
Dewasa ini, kesatuan administrasi desa telah dirubah menjadi kelurahan dan dipimpin oleh
seorang Lurah. Apa yang sekarang dikenal sebagai aparatur pemerintah desa terdiri dari
Kepala Desa / Lurah, Orang-orang Tua Desa, dan Pamong Desa yang mengepalai sub-sub
wilayah di dalam desa dan yang bertugas sebagai juru tulis, pengukur tanah, pengurus
perkebunan, pengurus pengairan, dan pejabat urusan agama. Di seluruh Minahasa terdapat
27 kecamatan.
Kecuali desa sebagai kesatuan administrasi tersebut ada juga perkampungan yang
berupa kompleks perumahan bersama dengan kebun-kebun dan sawah-sawah yang secara
administratif merupakan bagian dari suatu desa. Ada kalanya suatu bagian desa
ditingkatkan menjadi desa dengan kepala desa sendiri.
Suatu masyarakat pedesaan dapat pula merupakan kelompok dari beberapa desa.
Masyarakat seperti itu memperlihatkan ciri-ciri kesatuan adat tertentu dan sering kali
memiliki suatu bahasa atau dialek tersendiri. Suatu kelompok desa yang sudah demikian
besarnya itu, biasanya juga merupakan tempat kedudukan Kepala Kecamatan (Camat). Baik
desa anak, desa, maupun kelompok desa-desa seperti itu, disebut wanua.
Pola perkampungan di Minahasa bersifat menetap, dalam arti bahwa suatu desa
cenderung tidak berkurang penduduknya atau lenyap karena ditinggalkan akibat ladang-
ladang yang makin jauh. Desa itu sendiri memang merupakan pusat aktifitas social dari para
petani. Kecuali itu, setiap desa dalam perkembangannya bersifat mengelompok menjadi
padat dan luas.

4
Aspek lain dari pola desa di Minahasa ialah bahwa kelompok rumah-rumah itu
mempunyai bentuk memanjang mengikuti jalan raya.desa yang mulai menjadi besar, pada
sebelah menyebelah jalan raya dihubungkan dengan jalan-jalan samping untuk masuk lebih
dalam. Namun demikian, jalan raya tetap sebagai urat nadi desa dan sepanjang itu terletak
pusat-pusat aktivitas desa seperti kantor Kepala Desa, pasar, gereja, kantor polisi,
pertokoan, warung, dan sebagainya. Walaupun demikian ada pula contoh-contoh dari desa
yang berbentuk meluas dimana pusat-pusat aktivitas desa tidak terletak pada satu deretan
memanjang pada jalan raya tetapi tersebar.
Kelancaran komunikasi antar desa terutama untuk jarak-jarak yang agak jauh banyak
ditentukan oleh kendaraan-kendaraan seperti bis kecil dan kendaraan bermotor lainnya,
namun demikian ini hanya terbatas pada jalan-jalan yang baik. Di desa-desa yang tidak
dapat dilalui oleh kendaraan-kendaraan bermotor, maka gerobak yang ditarik oleh sapi
(roda sapi) atau gerobak yang ditarik oleh kuda (roda kuda) menjadi alat pengangkutan
yang pokok. Roda sapi juga penting sebagai alat pengangkutan yang menghubungkan desa
dengan lokasi pertanian. Jaringan jalan-jalan desa seperti itu, yang disebut jalan roda,
menghubungkan tempat-tempat pertanian dengan desa, atau beberapa desa yang
berdekatan. Kebanyakan dari jalan-jalan tersebut tidak dapat dilalui oleh kendaraan
bermotor.
Bentuk rumah orang MInahasa sekarang telah banyak berbeda dari bentuk-bentuk
rumah kuno, walaupun masih juga terlihat adanya unsur-unsur yang khas. Unsur-unsur khas
yang dimaksud antara lain lantai rumah yang berada diatas tiang-tiang yang tingginya
sampai 21/2 meter. Tiang-tiang tersebut dapat dibuat dari kayu (balak) maupun dari batu
kapur. Ruangan depan yang biasanya selebar rumah dimana terdapat sebuah atau dua buah
tangga tidak berdinding tetapi dikelilingi dengan regel setinggi kurang lebih 1 meter dengan
terali-terali dari kayu yang berukir secara sederhana. Biasanya di atas regel diletakkan
gerabah-gerabah bertanah yang ditanami berbagai tanaman kembang atau tanaman hias
lainnya. Dapat juga ditemukan tiang-tiang dalam ruangan itu yang dihiasi dengan ukiran-
ukiran seerhana.

5
Sebuah rumah biasanya dibagi dua oleh gang pada bagian tengah. Sepanjang gang itu
terletak kamar-kamar di kedua sisinya. Bagian bawah rumah atau kolong rumah, biasanya
dipakai sebagai gudang kalau diberi dinding, atau pula sebagai kamar, atau tempat gerobak
dan alat-alat pertanian. Rumah yang biasanya berbentuk persegi panjang itu, beratapkan
daun rumbia atau seng. Genteng tidak dikenal di Minahasa. Selain dari bangunan induk itu,
suatu rumah juga mempunyai bangunan-bangunan tambahan pada bagian belakang atau
samping, yang dipakai unuk dapur dan lain-lain. Tidak setiap rumah mempunyai sumur.
Mereka yang tidak mempunyai sumur mengambil air dari mata air dengan bambu atau dari
sumur tetangga. Umumnya, setiap rumah tangga memiliki jamban; namun demikian, apa
yang terlihat pada penduduk pedesaan pada umumnya belum sesuai dengan persyaratan
sanitasi lingkungan.
Adapun bentuk rumah seseorang di dalam desa dapat menentukan pula apakah ia
tergolong pada orang yang kaya atau tidak. Biasanya orang yang lebih kaya membuat rumah
dari bahan-bahan yang lebih mahal, misalnya seng untuk atap, kaca untuk isi jendela,
sedangkan jenis-jenis kayu yang dipakai adalah dari jenis kayu yang baik seperti cempaka,
wasian, bahkan lingua yang terkenal sebagai kayu terbaik. Rumah seperti itu di kalangan
penduduk desa disebut rumah seng atau rumah kaca. Dahulu rumah-rumah tradisional
selalu dicat putih, dengan menggunakan tanah kapur sebagai bahan catnya.

6
D. EKONOMI
Ekonomi pedesaan sebagai suatu aspek yang mengandung ciri-ciri perilaku “petani”
Minahasa tentu bukan padanan istilah ekonomi nasional. Ekonomi pedesaan merupakan
suatu kompleks pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma yang terwujud sebagai
pranata-pranata social yang mengatur proses dan mekanisme produksi, ditribusi, dan
konsumsi yang diturunkan secara antargenerasional, yang dipengaruhi oleh ekonomi
nasional, perubahan sosiobudaya umum, dan perubahan-perubahan ekologis dalam
lingkungan-lingkungan sumber-sumber ekonomi. Kecuali itu, dari segi kebudayaan, proses-
proses produksi, ditribusi, dan konsumsi dari setiap kegiatan ekonomi tidak terlepas dari
segi-segi lain, seperti teknologi, aturan dan organisasi kerja, upacara keagamaan, nilai dan
etos kerja, motivasi, dan lain-lain, kesemuanya merupakan pola/pola-pola mata
pencaharian yang menunjukkan perbedaan dengan sistem ekonomi nasional, atau modern,
atau formal. Namun demikian ini bukan berarti ekonomi nasioanl terpisah dari ekonomi
pedesaan. Seperti dikemukakan di atas, ekonomi nasional mempengaruhi dan merupakan
salah satu factor yang meyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam ekonomi
pedesaan maupun segi-segi kebudayaan lainnya. Dapat pula dikatakan bahwa ekonomi
pedesaan merupakan suatu kategori ekonomi di dalam ekonomi nasional.
Di Minahasa, jaringan jalan raya tergolong baik, serta adanya pelabuhan Bitung dan
bandara Sam Ratulangi, adanya industri-industri kecil, toko-toko di kota, dan kegiatan-
kegiatan ekonomi modern lainnya memang secara erat berhubungan dengan, dan sangat
mempengaruhi, ekonomi pedesaan yang berpangkal pada sektor pertanian rakyat yang
masih tradisional. Ekonomi pedesaan di Minahasa mempunyai bentuk tersendiri yang
menunjukkan adanya perbedaan dari masyarakat- masyarakat pedesaan lainnya, seperti
Sangir, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Jawa, Bali, dan sebagainya, terutama dari segi
sosiobudaya. Namun, pernyataan ini tidak mengabaikan adanya kenyataan-kenyataan
variasi intrabudaya di dalam setiap masyarakat etnis ini, bukan hanya seperti yang
dimaksud dengan keragaman pola-pola kegiatan ekonomi tersebut di atas tetapi juga
keragaman antarlokalitas pedesaan yang diperlihatkan oleh setiap kegiatan ekonomi karena
keragaman sub budaya maupun karena variasi lingkungan fisik yang melahirkan bentuk

7
adaptasi yang berbeda-beda. Berbagai prasarana, sarana, dan pranata ekonomi di Minahsa
sekarang telah mengalami perkembangan, jauh berbeda dari masa-masa, katakanlah Orde
Baru. Jalan, jembatan, dan pengangkutan darat telah cukup berkembang, menyebabkan
tidak ada lagi desa - yang memiliki peranan ekonomis berarti – yang masih terisolasi.
Sekalipun desa-desa secara ekonomis tergolong tidak penting dengan jaringan jalan yang
tidak beraspal, namun dapat dijangkau dengan kendaraan umum. Sekarang, desa-desa
terpencil yang yang hanya dapat dicapai dengan gerobak sangat terbatas jumlahnya.
Namun peranan gerobak ini masih dapat mencukupi kebutuhan distribusi dan pengankutan
keluar desa-desa jenis ini. Rata-rata panjang jalan gerobak (jalan roda) ini sampai pada jalan
atau desa lain yang terletak dalam jaringan lalulintas kendaraan bermotor adalah sekitar 5
km, suatu jarak yang relatif singkat. Panjang jalan di kabupaten Minahasa adalah 722.052
km; terdiri dari jalan Negara 213,860 km, jalan provinsi 118.075 km, dan jalan kabupaten
390.605 km (BAPPEDA tingkat II Minahasa 1985 : 63). Selain kemajuan sarana dan prasarana
pengangkutan darat, bandara Sam Ratulangi dan pelabuhan samudra Bitung terus
mengalami pengembangan dan peningkatan daya tamping pemakai-pemakainya maupun
bagi berbagai kegiatan ekonomi, langsung maupun tidak langsung.
Berbagai pabrik, pertokoan yang menjual barang-barang mewah maupun kebutuhan
sehari-hari, kegiatan-kegiatan perdagangan ekspor dan impor antar pulau maupun lokal,
dan masih banyak lagi lainnya, kesemuanya tergolong pada kegiatan ekonomi modern,
menunjukkan gejala-gejala perkembangan ekonomi.
Kebutuhan masyarakat akan tenaga listrik dipenuhi dengan adanya pembangkit listrik
tenaga air pada sungai Tondano di desa Tanggari selain pembangkit listrik tenaga air terjun
di Tonsea Lama yang sudah dibangun sejak sebelum Perang Dunia II, yang menyebabkan
peningkatan pertumbuhan berbagai industri dan kegiatan ekonomi lainnya. Demikian pula
pusat pendayagunaan panas bumi seperti yang terdapat di Lahendong.
Dalam sektor pertanian sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang
perkebunan rakyat tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala.
Perkebunan-perkebunan tersebut terus mengalami peningkatan intensifikasi dan

8
ekstensifikasi dengan metode dan teknologi pertanian modern. Komoditi lain seperti coklat,
vanili, jahe putih, dan jambu mete, juga sudah digiatkan secara intensif.
Persawahan juga menunjukkan perkembanga dalam peningkatan produksi padi,
misalnya perbaikan dan pembangunan irigasi, penggunaan pupuk dan bibit unggul.
Pertebatan ikan mas dengan mempraktekkan metode baru (menggunakan air yang
mengalir deras ke dalam tebat-tebat yang terbuat dari semen) sudah dijalankan di banyak
desa, terutama oleh petani-petani kaya.
Perladangan tradisional (kebun kering) yang umum di MInahasa ialah perladangan
jagung, umumnya untuk konsumsi petani sendiri. Bisanya petani menanam pula dalam
kebun jagung berbagai jenis sayur, tanaman bumbu masakan, dan buah-buahan (terutama
kelapa, alpukat, papaya, jeruk, nangka, sirsak, jambu biji, jambu air) untuk konsumsi sendiri.
Pemerintah Daerah telah mengusahakan peningkatan produksi melalui Koperasi Unit Desa
(KUD).
Selain pengembangan perikanan laut yang dilaksanakan oleh perikani yang berpusat di
Aertembaga, terutama penangkapan dan pengolahan cakalang. Nelayan tradisional mulai
meningkatkan produksi berbagai jenis ikan dan binatang laut dengan menggunakan
peralatan yang lebih baik. Teknologi tradisional dipergunakan pula dalam penangkapan
jenis-jenis biotic sumber protein di danau-danau dan sungai-sungai. Desa-desa di sekeliling
danau Tondano ada segolongan penduduk yang khusus menjalankan kegiatan menangkap
berbagai jenis ikan dan binatang danau. Golongan nelayan ini mengisi sebagian dari
kebutuhan protein hewani yang dapat diperoleh di pasar di kota-kota.
Hutan merupakan sumber energi maupun materi untuk berbagai kebutuhab penduduk.
Berbagai jenis kebutuhan makanan (binatang dan tumbuhan) untuk kebutuhan sehari-hari
maupun untuk pesta, bersumber dari hutan. Jenis binatang yang umum dimakan ialah babi
hutan, tikus hutan (ekor putih), dan kalong. Sedangkan yang lainnya jarang dimakan karena
sudah tergolong langka atau tidak umum dimakan oleh orang Minahasa seperti rusa, anoa,
babirusa, monyet, ular piton, biawak, ayam hutan, telur burung maleo, dan jenis-jenis
unggas lainnya. Berbagai jenis tumbuhan liar baik yang terdapat di hutan maupun
lingkungan-lingkungan fisik lainnya merupakan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan

9
sayuran, terutama pangi, rebung, dan pakis. Demikian pula hutan menghasilkan berbagai
jenis buah-buahan seperti mangga, pakoba, dan kemiri. Selain itu, enau (tumbuhan ini
tumbuh di hutan maupun kebun) merupakan sumber nira sebagai minuman yng terkenal di
Minahsa (disebut saguer), maupun bahan gula merah.
Hutan juga merupakan sumber daya untuk berbagai kebutuhan kayu sebagai bahan
untuk membuat berbagai alat, dan bahan untuk bangunan gedung dan rumah. Selain dari
pada itu, hutan dan lingkungan fisik lainnya merupakan tempat bertumbuhnya tanaman-
tanaman yang member bahan-bahan untuk berbagai kebutuhan umum, seperti rotan, kayu
bakar, dan daun rumbia (bahan atap rumah). Sayang sekali luas hutan di Minahasa semakin
berkurang terutama karena ekstensifikasi perkebunan cengkeh yang dilakukan oleh
penduduk desa dan kota.

10
E. KEKERABATAN
Pada umunya orang Minahasa membenarkan kebebasan orang untuk menentukan
jodohnya sendiri; walaupun dulu kalanya dikenal juga penentuan jodoh atas kemauan orang
tua sekalipun yang bersangkutan belum saling mengenal. Dalam hal pembatasan jodoh
dalam perkawinan ada adat eksogami yang mewajibkan orang kawin di luar family, ialah
kelompok kekerabatan yang mencakup semua anggota keluarga batih dari saudara-saudara
sekandung ibu dan ayah, baik pria maupun wanita; beserta semua keluarga batih dari anak-
anak mereka.
Sesudah nikah, secara ideal pengantin baru tinggal menurut aturan neolokal
(tumampas) pada tempat kediaman yang baru dan tidak mengelompok di sekitar tempat
kerabat si suami maupun kerabat si isteri. Dalam kenyataan, ada neolokal ini tidak lagi
diharuskan. Rumah tangga (sanga awu, satu dapur) baru dapat tinggal dalam lingkungan
kekerabatan pihak suami maupun pihak isteri sampai mereka memperoleh rumah sendiri.
Bentuk rumah tangga orang Minahasa dapat terdiri dari hanya satu keluarga batih dan
dapat pula lebih. Anak tiri dan anak angkat karena adopsi dianggap sebagai anggota kerabat
penuh dalam keluarga batih maupun kelompok kekerabatan yang lebih luas. Dulu ada
kecenderungan untuk memperluas jumlah anggota keluarga batih dengan adopsi karena hal
ini dapat menambah tenaga kerja untuk pekerjaan pertanian. Suatu rumah tangga yang
memiliki lebih dari satu kelurga batih dapat terjadi bilamana sesudah perkawinan, rumah
tangga baru ini tinggal bersama dengan salah satu orang tua mereka. Bentuk rumah tangga
lainnya adalah seperti apa yang dilukiskan oleh Padtbrugge yang terdapat beberapa abad
yang lalu yaitu rumah famili besar yang didiami oleh enam sampai Sembilan keluarga batih,
masing-masing sebagai rumah tangga sendiri karena masing-masing keluarga batih itu
memiliki dapurnya sendiri. Dasar perwujudan keluarga batih orang Minahasa melalui adat
perkawinan adalah monogamy.
Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan
oleh prinsip keturunan bilateral, dimana hubungan kekerabatan ditentukan berdasarkan
garis keturunan pria maupun wanita.

11
Telah kita kenal bahwa pada zaman dahulu dikenal suatu kelompok kekerabatan
keluarga luas yang tinggal pada sebuah rumahbesar, yang rupa-rupanya mengenal adat
menetap sesudah menikah yang utrolokal. Sekarang keluarga luas seperti itu tidak ada lagi.
Kelompok kekerabatan yang penting yang terdapat sekarang ini dengan prinsip keturunan
tersebut di atas tadi ialah taranak, atau yang lebih lazim disebut famili, suatu kelompok
kekerabatan yang dalam antropologi biasanya disebut kindred. Kelompok ini sering juga
disebut patuari, sekalipun istilah ini dipakai juga untuk hubungan-hubungan kekerabatan
yang lebih luas yang tidak mempunyai fungsi kekerabatan apa-apa lagi. Suatu famili
setidaknya memiliki ayah dan ibu dari sepasang suami-isteri, saudara-saudara ayah dan ibu,
serta anak-anak dan cucu-cucu mereka, saudara-saudara sekandung dari suami-isteri dan
anak-anak mereka, dan anak-anak sendiri.
Identitas hubungan kekerabatan seseorang dalam kelompok famili ialah nama famili
yang disebut fam. Nama famili diambil dari nama famili suami atau ayah tanpa perubahan
prinsip keturunan bilateral. Hal ini diperkuat pula dengan adanya kenyataan penulisan fam
suami dan fam isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah,
tanpa mencantumkan nama kecil suami. Akan timbul suatu masalah identitas famili, yang
disebut hilang fam, bila sepasang suami-isteri tidak memiliki anak laki-laki yang akan
mendukung fam ayah mereka.
Masalah lain yang sangat erat berhubungan dengan batas-batas hubungan kekerabatan
bilateral itu adalah penurunan warisan yang terdiri dari semua harta milik yang diperoleh
suami-isteri sebagai warisan dari orang tua mereka masing-masing, ditambah dengan harta
yang mereka peroleh bersama selama berumah tangga. Benda-benda warisan yang belum
dapat atau tidak dapat dibagi, penggunaannya secara berganti-ganti atau bergiliran yang
diatur oleh saudara laki-laki yang tertua.

12
F. SISTEM PEMERINTAHAN
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang
raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya
adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata
ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung
= lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan
demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan
sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya
sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus
dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut
Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng.
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada
saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa
dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti
raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan
bahan keperluan rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat
Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya
pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu,
Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut,
dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.
Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu,
peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga
Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil
tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-
tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara
sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah
sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah
kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14.

13
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih
Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu
dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga
golongan Minahasa tsb.

14
G. SOLIDARITAS DAN KERUKUNAN
Mapalus adalah suatu bentuk kerja sama yang tumbuh dalam masyarakat di Minahasa
untuk saling bantu membantu dan tolong menolong menghadapi kendala hidup baik
perorangan maupun kelompok.
Kerja sama yang dimaksud mencakup berbagai aspek kegiatan baik sosial maupun
ekonomi sedangkan kelompok masyarakat yang dimaksud dapat dikolompokkan secara
wilayah seperti Mapalus kampung Sendangan dll., kerabat seperti Mapalus Pemuda,
perkumpulan seperti Kumawangkoan dll., keluarga seperti kel.besar Lapian, Masengi dll.
Mapalus yang lengkap di Kawangkoan banyak diketahui dari penuturan orang2 tua
sedangkan yang dialami generasi sekarang tinggal sebagian kecil saja karena banyak
aktivitas2 mapalus yang sudah tidak dilakukan sejalan dengan perkembangan teknologi dan
taraf hidup masyarakat dengan konsekwensi kehidupan individualistis yang makin dominan.
Bentuk Mapalus dalam sejarah Kawangkoan dikenal dalam beberapa aspek kegiatan
masyarakat Seperti:
1. Kegiatan Sosial, antara lain:
- Mendu impero’ongan, yaitu suatu kegiatan kerja bakti kampung atau lingkungan.
- Berantang, adalah kegiatan membantu keluarga yang terkena kedukaan.
- Sumakey, adalah kegiatan bersama dalam acara syukuran.
2. Kegiatan Ekonomi dan keuangan antara lain:
- Ma’endo, yaitu usaha bersama untuk menggarap kebun atau perbaikan rumah.
- Pa’ando, yaitu aktivitas keuangan dalam bentuk arisan.

15
H. KEGIATAN SOSIAL
Mendu Impero’ongan
Adalah suatu kerja sama dalam bentuk kerja bakti yang dilakukan didalam kampung
apakah itu dalam tingkat wilayah desa ataukah wilayah lingkungan/Jaga tergantung
kelompok tersebut apakah sekampung ataukah se lingkungan.Kegiatan2 yang dilakukan
adalah kebersihan lingkungan, membuka pengairan untuk dialirkan ke kampung. Sebelum
peristiwa Permesta, masyarakat Kawangkoan secara Mapalus/gotong royong membuka
perairan yang bersumber dari Batu Pinabetengan dialirkan ke Kawangkoan dengan jarak
kurang lebih 4 KM. Air tersebut walaupun tidak untuk diminum karena hanya disalurkan
melalui got2 dipinggir jalan, namun sangat membantu usaha peternakan dan kebersihan
kampung dan yang tak kalah penting untuk menjaga kemungkinan terjadinya kebakaran.
Sejak adanya Perusahaan Air Minum di Kawangkoan maka got2 tidak dirawat lagi sehingga
aliran air sudah tidak ada. Bentuk kerja bakti lainnya adalah masyarakat sekampung be-
ramai2 ke taman pemakaman membersihkan tempat pemakaman kampung yang biasanya
dilakukan menjelang hari Natal dan Tahun Baru. Masih ada aktivitas orang2 tua dulu yang
masih tergolong kerja bakti (bukan kerja paksa lho) adalah mengerjakan tanah milik desa
yang hasil garapannya diberikan kepada Hukum Tua (karena Hkm.Tua tidak digaji seperti
lurah jaman sekarang). Semua pekerjaan pekerjaan diatas dilaksanakan dengan penuh suka
relah oleh masyarakat karena semuanya dilaksanakan dalam kepentingan bersama bahkan
sangat tercela apabila ada diantara anggota masyarakat yang tidak ikut sekalipun oprang itu
dikenal kaya. Budaya malu masih sangat tinggi kala itu.

Berantang
Berantang sudah dikenal sejak jaman nenek moyang kita yaitu cara masyarakat
membantu keluarga yang terkena duka/kematian. Jaman dulu ada satu lembaga yang
dibentuk dikampung yang disebut “Pimaesaan”(Bukan Pinaesaan E Kumawangkoan) yang
mengatur bantuan kedukaan sejak meninggal sampai hari kedua kematian. Yang disiapkan
mulai dari peti jenazah, konsumsi kecil pada hari pertama menghadapi acara pemakaman
dan hari kedua makan bersama. Semua disiapkan secara bersama yang dikoordinir oleh

16
Pinaesaan dengan tujuan membantu keluarga yang terkena musibah untuk tidak terlalu
terbebani baik pisik maupun mental, bahkan dalam berantang masih tersisa saldo uang
yang terkumnpul serta sisa makanan yang tidak habis dimakan oleh para pelayat dan
kelebihan2 itu diserahkan kepada keluarga. Dahulu berantang dilakukan secara disiplin
sekali sehingga tidak ada penyimpangan2 yang terjadi yang membuat cukup banyak dana
dan makanan yang tersisa namun perkembangan masa kema-sa seiring perkembangan
teknologi sehingga nilai2 moral manusia makin merosot sehingga sekarang ini banyak
keluarga yang terkena musibah harus berkorban mengeluarkan dana sendiri menutupi bon-
bon pembelian bahan di-warung2 maupun toko2 yang dilakukan oleh pelaksana. Kejadian
ini membuat Sistim Mapalus yang sangat dibanggakan justeru mengecewakan yang
tentunya bukan karena sistimnya tetapi karena moral pelaksana yang buruk.
Sampai sekarang masih dapat kita saksikan gedung2 Pinaesaan, kebun2 milik kampung,
seng2 untuk tenda2, kereta jenazah yang ada di Kawangkoan sebagai bukti dari kejayaan
Pinaesaan sebagai pelaksana Mapalus tempo dulu.

Sumakey
Adalah bentuk kebersamaan masyarakat di Kawangkoan mengadakan syukuran dalam
acara2 di Gereja, pernikahan, hari ulang tahun perkumpulan dan kedukaan. Di Gereja sering
dilakukan kebaktian2 khusus seperti hari2 gereja, pengucapan syukur panen yang
dipusatkan di Gereja. Jemaat membawa makanan masing2 ke gereja dan setelah kebaktian
syukur jemaat makan bersama.
Dalam hal pernikahan, sanak famili dari keluarga pengantin sudah membagi tugas untuk
membawa bahan2 yang akan digunakan dalam resepsi, seperti ayam, babi, beras, ikan dan
keperluan komsumsi lainnya. Bahan2 tersebut dimasak ber-sama2 dirumah keluarga
pengantin untuk disuguhkan kepada undangan. Dengan demikian keluarga pengantin
sangat tertolong dalam biaya konsumsi.
Dalam kedukaan sumakey dilakukan juga yaitu pada pagi subuh hari kedua kedukaan
dimana pada pagi subuh masyarakat ber bondong2 datang kerumah duka membawa kue2
dan minuman kopi atau teh untuk dicicipi bersama-sama dengan keluarga, dan sesudah

17
minum, bersama-sama berziarah kepemakaman. Pada hari minggu berikutnya dikenal
dikampung dengan acara “Mingguan” setelah sama-sama pulang Gereja sanak famili masih
datang menghibur keluarga dengan makan siang bersama dan untuk itu masing2 keluarga
membawa makanan dari rumahnya.
Untuk yang terakhir ini keadaan sudah berubah dimana acara tetap dilakukan tapi nilai
mapalusnya sudah hilang karena keluarga yang berduka menyediakan konsumsi sendiri
untuk menjamu tamu dengan alasan sebagai ucapan terima kasih kepada pihak2 yang
sudah lelah membantu keluarga saat pemakaman dan pelaksanaan berantang. Bagi
keluarga yang mampu tidak menjadi masalah tetapi bagi keluarga yang tidak mampu hal ini
sangat membebani.

18
I. ASPEK EKONOMI/KEUANGAN
Ma’endo
Bentuk kebersamaan ini dilakukan oleh masayarkat Kawangkoan untuk menggarap
kebun atau mengadakan perbaikan rumah.
Ada 2 cara yang dilakukan yaitu:
1. Sekelompok orang terdiri dari 20 sampai 30 orang membentuk kerja sama
menawarkan tenaga mengerjakan kebun atau rumah orang dan dari jasa ini mereka
diberi imbalan uang. Dalam kelompok ini ada pimpinan dan pengawas yang dipilih
oleh anggota2nya dan biasanya nya dipilihl dari yang tertua dari kelompok itu.
Menurut cerita orang tua, pangawas yang sangat berwibawa tidak segan2
mencambuki anggotanya yang lambat bekerja sehingga yang sudah terlambat harus
mengejar teman2 nya yang sudah didepan. Mungkin mereka mengejar target karena
dalam 1 hari dapat mengerjakan 3 atau 4 bidang kebun. Hebatnya tindakan
pengawas tidak ada yang berani melawan hal mana membuktikan bahwa disiplin
kelompok ini sangat tinggi. Pendapatan dibagi secara adil dan merata pada setiap
minggu.
2. Cara kedua adalah sekelompok orang pemilik kebun dan atau rumah membentuk
kelompok arisan untuk menggarap kebun/rumah Anggota2nya secara bergilir
(Ma’endo arisan). Tentunya bagi anggota yang memilik kebun/rumah lebih besar
memberikan tambahan dalam bentuk uang dan menjadi tabungan kelompok. Pada
saat itu keichlasan sangat berperan sehingga kalau ada beda-beda tipis tidak terlalu
dipermasalahkan.
Dalam hal perbaikan rumah jaman dulu dulu umumnya rumah2 di Kawangkoan masih
menggunakan atap rumbiah sedangkan rumah yang beratap seng masih sangat sedikit.
Karena umumnya rumah dari atap rumbiah maka setiap tahun atap harus diganti baru.
Disini beberap kelompok orang membentuk arisan ba’atap untuk mengerjakannya. Masa
berganti masa perkembangan ekonomi masyarakat makin meningkatmakaseng bukan lagi
menjadi barang langkah sehingga secara ber-angsur2 rumah2 di Kawangkoan beratap seng

19
maka Ma’endo hilang. Ma’endo penggarap kebunpun demikian dimana cangkul mulai
diganti dengan mesin maka ma’endo pun hilang.

Pa’ando
Bentuk mapalus ini biasanya dilakukan oleh ibu2 yang membentuk kelompok arisan
uang yang dijalankan setiap minggu. Arisan ini sangat membantu keluarga2 yang
membutuhkan biaya cukup besar seperti sekolah anak2, perbaikan rumah dll. Pa’ando telah
dijalankan di mana2 sampai kepada orang2 Kawangkoan di Jakarta bahkan sudah meluas ke
mana2 di seluruh Indonesia.
Dari sejarah Mapalus yang diwujudkan oleh masyarakat Kawangkoan secara turun
temurun ternyata sudah banyak menolong masyarakat Kawangkoan dalam peningkatan
kesejahteraan dan juga kebersamaan sekaligus meningkatkan iman kepada Tuhan yang
sudah menganugerahkan segala berkat kepada mereka.
Walaupun beberapa kegiatan mapalus telah hilang ditelan oleh perkembangan
teknologi dan komunikasi yang pesat namun nilai2 luhur dari mapalus sebagai budaya
nenek moyang kita sangat berarti dalam membina kerukunan(me-lo’or2an), saling tolong
menolong(men-sule2an) satu dengan yang lain.
Demikian juga dalam pelaksanaan “berantang” yang sudah terdapat penyimpangan.
Hal ini terjadi bukan karena kesalahan berantang itu sendiri yang bertujuan luhur tetapi
justeru terletak pada manusia pelaksananya yang tidak bermoral.
Dahulu Mapalus begitu luas jangkauannya dan dapat dilaksanakan oleh sedikit maupun
banyak orang, telah melibatkan sikaya maupun simiskin, sipintar maupun sibodoh karena
didalam Mapalus keichlasan dan rela berkorban yang menjadi syarat utama. Tanpa
keichlasan dan rela berkorban apalagi masuknya unsur mementingkan diri sendiri
merupakan racun dari Mapalus yang bukan membawa anggota2 kepada peningkatan taraf
hidup moril maupun materil tetap sebaliknya akan membawa kekecewaan dan penderitaan.
Mapalus mengajak orang untuk bersatu dan bersekutu saling menolong satu dengan
yang lain yang berarti juga bersekutu untuk memuliakan Tuhan.

20
Karena itu di Kawangkoan Pemerintah ikut memberi perhatian terhadap kehidupan
mapalus ini, pihak gerejani ikut mendorong jemaat bermapalus pihak intelektual ikut
memikirkan perkembangan mapalus maka lengkaplah Mapalus menjadi suatu sarana
pembangunan iman, moral dan material untuk pembangunan masyarakat Kawangkoan
sebagai bagian dari Pembangunan Bangsa Indonesia.
Melihat dimensi Mapalus yang cukup luas terhadap kehidupan masyarakat, yang
mewujudkan sifat kasih sebagai perintah Tuhan, menganjurkan kepedulian terhadap
mereka yang susah sebagai wujud perikemanusiaan, dengan kelompok2 yang mau bersatu
dan tunduk pada kehendak suara terbanyak sebagai wujud demokrasi dan bermuara pada
peningkatan kesejahtaraan bersama yang kesemuanya bersumber pada nilai2 luhur budaya
nenek moyang kita.
Kerukunan yang telah mencakup wilayah kecamatan atau wilayah distrik dulu disebut
dengan pakasa’an yang artinya wilayah kesatuan adat yang sama dengan apa yang dahulu
disebut walak, oleh pemerintah Belanda disebut distrik.

21
J. RELIGI
Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang Minahasa yang
sekarang secara resmi telah memeluk agama-agama Protestan, Katolik maupun Islam
merupakan peninggalan sistem religi zaman dahulu sebelum berkembangnya agama
Kristen. Unsur-unsur ini mencakup : konsep-konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan
adikodrati (yang dianggap “baik” dan “jahat” serta manipulasinya, dewa tertinggi, jiwa
manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang berkekuatan gaib, dan dunia
akhirat).
Unsur-unsur religi pribumi terdapat dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang
yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup individu, seperti kelahiran,
perkawinan, kematian maupun dalam bentuk-bentuk pemberian kekuatan gaib dalam
menghadapai berbagai jenis bahaya, serta yang berhubungan dengan pekerjaan atau mata
pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga tampak dalam wujud sebagai kedukunan (sistem
medis makatana) yang sampai sekarang masih hidup.
Dunia gaib sekitar manusia dianggap didiami oleh makhluk-makhluk halus seperti roh-
roh leluhur baik maupun jahat, hantu-hantu dan kekuatangaib lainnya. Usaha manusia
untuk mengadakan hubungan dengan makhluk-makhluk tersebut bertujuan supaya hidup
mereka tidak diganggu sebaliknya dapat dibantu dan dilindungi, dengan mengembangkan
sustu kompleks sistem upacara pemujaan yang dahulu dikenal sebagai na’amkungan atau
ma’ambo atau masambo.
Dalam mitologi orang Minahasa rupanya sistem kepercayaan dahulu mengenal banyak
dewa, salah satunya adalah dewa tertinggi. Dewa oleh penduduk disebut empung atau opo,
dan untuk sewa yang tertinggi disebut opo wailan wangko. Dewa yang penting sesudah
dewa tertinggi ialah karema.
Opo wailan wangko dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan isinya yang dikenal
oleh manusia yang memujanya. Karema yang mewujudkan diri sebagai manusia adalah
sebagai penunjuk jalan bagi lumimuut (wanita sebagai manusia pertama) untuk
mendapatkan keturunan seorang pria yang bernama to’ar, yang juga dianggap sebagai

22
pembawa adat khususnya cara-cara pertanian yaitu sebagai cultural hero (dewa pembawa
adat).
Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut dotu yang pada masa hidupnya adalah
seorang yang dianggap sakti dan juga sebagai pahlawan seperti pemimpin-pemimpin
komunitas besar ( kepala walak dan komunitas desa; tona’as ). Mereka juga dalam hidupnya
memiliki keahlian dan prestasi seperti dalam perang, keagamaan dan kepemimpinan. Ada
kepercayaan bahwa opo-opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap
sebagai cucu mereka ( puyun) apabila mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan.
Pelanggaran yang terjadi dapat mangakibatkan yang bersangkutan akan mengalami
bencana atau kesulitan hidup akibat murka opo-opo, ataupun kekuatan sakti yang diberikan
akan hilang. Disamping itu, ada juga opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal
yang tidak baik, seperti untuk mencuri, berjudi dsb.
Konsepsi makhluk halus lainnya seperti hantu ialah panunggu, lulu, puntianak, pok-pok
dsb yang dianggap berada di tempat tertentu dan pada saat dan keadaan tertentu dapat
maengganggu manusia. Untuk menghadapi hal-hal tersebut sangat dirasakan peranan dari
opo-opo yang dapat menghadapi atau mengalahkan mereka atau mengatasi gangguan dari
mereka.
Roh (mukur) orangtua sendiri ataupun roh-roh kerabat yang sudah meninggal dianggap
selalu berada di sekitar kelurganya yang masih hidup, yang sewaktu-waktu datang menun
jukkan dirinya dalam bentuk bayangan atau mimpi atau dapat pula melalui seseorang
sebagai media yang dimasuki oleh mukur sehingga bisa bercakap-cakap dengan kerabatnya.
Mukur yang demikian tidak dianggap berbahaya malahan bisa menolong kerabatnya.
Kepercayaan orang Minahasa bahwa ada bagian tubuh yang mempunyai kekuatan sakti
seperti rambut dan kuku. Binatang-binatang yang memiliki kekuatan sakti adalah ular hitam
dan beberapa jenis burung, terutama burung hantu (manguni). Untuk tumbuh-tumbuhan
yang memiliki kekuatan sakti adalah tawa’ang, goraka (jahe), balacai, jeruk suangi dll. Gejala
alam seperti gunung meletus dan hujan lebat bersama petir secara terus-menerus dianggap
sebagai amarah para dewa. Senjata yang dianggap memiliki kekuatan sakti yang harus
dijaga dengan baik adalah keris, santi (pedang panjang), lawang (tombak), dan kelung

23
(perisai). Ucapan berupa sumpah dan kutukan juga dikenal sebagai kata-kata yang dianggap
dapat mengakibatkan malapetaka, apalagi kalau yang mengatakannya orangtua, kata-
katanya dianggap memiliki kekuatan sakti. Benda-benda jimat baik yang diwariskan
orangtua ataupun yang didapat dari walian atau tona’as yang disebut paereten adalah
benda-benda yang kesaktiannya dipercaya yang sampai sekarang masih dipakai.
Jiwa yang dianggap sebagai kekuatan yang ada dalam tubuh manusia yang
menyebabkan adanya hidup, rupanya memiliki konsepsi yang sama dengan jiwa sesudah
meninggalkan tubuh karena mati atau roh. Konsepsi jiwa dan roh ini disebut katotouan.
Unsur kejiwaan dalam kehidupan manusia adalah : gegenang (ingatan), pemendam
(perasaan), dan keketer (kekuatan). Gegenang adalah unsure yang utama dalam jiwa.
Pada saat sekarang, sesuai dengan aturan-aturan agama Kristen, maka konsepsi dunia
akhirat (sekalipun untuk mereka yang masih melakukan upacara-upacara kepercayaan
pribumi untuk mendapatkan kekuatan sakti dari makhluk-makhluk halus) ialah surga bagi
yang selamat, serta neraka bagi yang berdosa dan tidak percaya.
Upacara-upacara keagamaan pribumi masih banyak dilakukan oleh orang minahasa
sebagai perwujudan untuk mengadakan hubungan dengan dunia gaib atau
sebagaikelakuakn religi atas dasar suatu emosi keagamaan, upacara-upacara itu
diantaranya adalah yang biasa dilakukan pada malam hari di rumah tona’as atau di rumah
orang lain, bisa juga di tempat-tempat keramat seperti kuburan opo-opo, batu-batu besar
dan di bawah pohon besar. Pada saat tertentu yang dianggap penting upacara dapat
dilakukan di Watu Pinabetengan, tempat di mana secara mitologis paling keramat di
Minahasa.
Upacara dilakukan pada saat tertentu, misalnya pada malam bulan purnama. Tokoh
tradisional yang melakukan dan memimpin upacara keagamaan pribumi dikenal dengan
nama walian, pemimpin upacara dapat dipegang oleh wanita atau pria.
Agama-agama resmi yang umum diatur oleh orang Minahasa antara lain Protestan (yang
terdiri dari berbagai sekte), katolik dan Islam. Terlepas dari tingkat kepercayaan
perseorangan, unsure-unsur religi pribumi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
keagamaan. Misalnya komponen pribumi terpadu bersama komponen Kristen yang diluar

24
upacara-upacara formal Gerejani seperti yang terlihat dalam upacara-upacara dari masa
hamil sampai masa meninggal maupun pada perilaku keagamaan sehari-hari. Sebagaimana
yang telah dikemukakan pada contoh sebelumnya dapat dilihat adanya komponen religi
pribumi dalam kebudayaan Minahasa yang secara mendalam telah mengalami perubahan
melalui jalur-jalur kolonialisme, pendidikan formal, dan kristenisasi maupun jalur-jalur
kontak atau difusi budaya lainnya.

25
BAB II
PRODUK BUDAYA

A. RUMAH ADAT
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga
didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut
dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka
roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.

B. BAHASA
Di Minahasa ada sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa Totemboan,
Tombulu, Tonsea, Bantik, Tonsawang. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota
Tomohon selain menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan juga
menggunakan bahasa daerah Minahasa. Seperti diketahui di Minahasa terdiri dari delapan
macam jenis bahasa daerah yang dipergunakan oleh delapan etnis yang ada, seperti
Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll. Bahasa daerah yang paling sering digunakan di Kota
Tomohon adalah bahasa Tombulu, karena memang wilayah Tomohon termasuk dalam etnis
Tombulu. Selain bahasa percakapan di atas, ternyata ada juga masyarakat di Minahasa dan
Kota Tomohon khususnya para orang tua yang menguasai Bahasa Belanda karena pengaruh
jajahan dari Belanda serta sekolah-sekolah jaman dahulu yang menggunakan Bahasa
Belanda. Saat ini, semakin hari masyarakat yang menguasai dan menggunakan Bahasa
Belanda tersebut semakin berkurang seiring dengan semakin berkurangnya masyarakat
berusia lanjut.

26
C. PAKAIAN ADAT
Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut
wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang disebut
pasalongan rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria
memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari
ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai krah dan
saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk
celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama.
Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa
Eropa dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari
baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah
kebaya warna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan.
Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang (baniang) yang modelnya
berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain
blacu warna putih. Pada busana pria pengaruh Cina tidak begitu tampak.

Baju Ikan Duyung


Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari baju
kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik ikan.
Model busana pengantin wanita ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang
bermotifkan ikan duyung, terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model
salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut model kaki seribu dan sarong motif bunga,
disebut laborci-laborci.
Aksesori yang dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul atau bentuk
konde, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan gelang.
Aksesori tersebut mempunyai berbagai variasi bentuk dan motif. Konde yang menggunakan
9 bunga Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan Konde yang memakai 5
tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Motif Mahkota pun bermacam-macam,
seperti motif biasa, bintang, sayap burung cendrawasih dan motif ekor burung cendrawasih.

27
Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka, celana
panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup ini,
disebut busana tatutu. Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah
dan saku. Motif dalam busana ini adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan topi,
leher baju, selendang pinggang dan kedua lengan baju.

Busana Pemuka Adat


Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan
baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan motif bunga padi pada
leher baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua
motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna merah yang
dihiasi motif bunga padi warna kuning keemasan pula.
Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tonaas Wangko,
hanya saja lebih panjang seperti jubah. Warna baju putih dengan hiasan corak bunga padi.
Dilengkapi topi porong nimiles, yang dibuat dari lilitan dua buah kain berwarna merahhitam
dan kuning-emas, perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia dan
alam baka. Sedangkan Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya panjang warna putih
atau ungu, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci). Potongan baju tanpa
kerah dan kancing. Dilengkapi selempang warna kuning atau merah, selop, kalung leher dan
sanggul. Hiasan yang dipakai adalah motif bunga terompet.

28
D. ALAT MUSIK
- Kolintang
Kolintang adalah instrument musik tradisional yang sudah sangat terkenal di Indonesia.
Instrument kolintang telah diketahui sejak jaman dahulu dan telah dipopulerkan oleh
masyarakat melalui berbagai macam pertunjukan. Instrument ini semuanya terbuat dari
kayu dan disebut "mawenang".
- Musik Bambu
Musik bambu adalah alat musik yang dibuat dari bambu dan dimainkan oleh kurang
lebih 40 orang. beberapa jenis musik bambu adalah :
- Musik Bambu Melulu : seluruh instrument terbuat dari bambu
- Musik Bambu Klarinet : sebagian instrument terbuat dari bambu dan sebagian dari "bia"
- Musik Bambu Seng ; beberapa instrument terbuat dari bambu
- Musik Bia : instrument terbuat dari bia.

E. LAGU DAERAH
- O Ina Ni Keke
- Oh Minahasa

F. MAKANAN
- Bubur manado
- Ayam rica-rica
- Biakolobi

G. TARI-TARIAN
- Tari Maengket
Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari zaman dulu kala sampai saat ini masih
berkembang. Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal
pertanian terutama menanam padi di lading. Kalau dulu Nenek Moyang Minahasa,
maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang

29
hanya sederhana, maka sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa
bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya.
Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu : - Maowey Kamberu - Marambak – Lalayaan.
- Tari Maowey Kamberu
Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur
kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang
berlipat ganda/banyak.
- Tari Marambak
Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu
membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta
naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan
rumah baru dan semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur.
- Tari Lalayaan
Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada
zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-
mudi zaman dahulu kala di Minahasa.
- Tari Katrili
Menurut legenda rakyat Minahasa, tari katrili adalah salah satu tari yang dibawa oleh
Bangsa Spanyol pada waktu mereka datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi
yang ada di Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-
nari tarian katrili. Lama-kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang
akan menjual hasil bumi mereka didalam menari bersama-sama sambil mengikuti irama
musik dan aba-aba. Ternyata tarian ini boleh juga dibawakan pada waktu acara pesta
perkawinan di tanah Minahasa.
Sekembalinya Bangsa Spanyol kenegaranya dengan membawa hasil bumi yang
dibeli di Minahasa, maka tarian ini sudah mulai digemari Rakyat Minahasa pada
umumnya. Tari katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan.

30
- Tari Kabasaran
Adalah Tari Perang, merupakan tarian tradisional Minahasa yang menceritakan
bagaimana suku Minahasa mempertahankan tanah Minahasa dari musuh yang hendak
mendudukinya. Tari Perang ini memperagakan bagaimana menggunakan Pedang Perisai
dan Tombak. Tarian Kabasaran ini ditarikan untuk acara-acara khusus seperti
Penyambutan tamu dan atau diberbagai Acara.

31
BAB III
UPACARA ADAT

A. PERNIKAHAN ADAT MINAHASA


Proses pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami
penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon
pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum
perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam
muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena
tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi
adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah
calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara /
upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari
memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan
topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi
ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan
nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in
biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan
dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket,
Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.

Upacara Perkawinan adat


Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria
ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin
pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Hal ini
mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin
wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta
perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka

32
pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta
perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin
dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut
agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari
dengan acara kebaktian dan makan malam. Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota
Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang
disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan
upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan
yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi
Upacara Adat di Pelaminan).

Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan


Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan
Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah
yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy
Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut
mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu (kower).
Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan
Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang
dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa. Setelah kedua pengantin duduk
di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh Walian disebut
Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara
"Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai
memegang setangkai pohon Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah
membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu
bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan,
kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau.
Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas
pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-

33
nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni
lagu dalam bahasa daerah. Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk
sastra bahasa sub-etnis Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh
perumpamaan nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari
Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini
disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-etinis lainnya di Minahasa, belum
berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat
perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda
upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas bambu tetap
sama maknanya.

34
B. UPACARA ADAT LAINNYA
Syukuran
Di samping itu di seluruh tanah Minahasa setiap tahunnya di setiap kecamatan atau
kawasan diadakan upacara syukuran yang dikaitkan dengan upacara keagamaan. Kegiatan
ini dipusatkan di gereja-gereja yang ada di kecamatan atau kawasan tersebut. Maksud
diadakannya upacara syukuran adalah untuk mengucap syukur atas segala berkat dan
anugerah yang telah Tuhan berikan di Tanah Minahasa termasuk masyarakat Tomohon
dalam setahun, upacara syukuran ini memiliki kemiripan dengan upacara "Thanksgiving" di
Amerika.

Naik Rumah Baru


Selain upacara syukuran di atas, di tanah Minahasa juga dikenal memiliki upacara-
upacara adat yang lain seperti jika seseorang/keluarga akan menempati sebuah rumah atau
menempati tempat kediaman baru maka orang/keluarga tersebut akan melaksanakan
upacara syukuran "Naik Rumah Baru", hal ini dianalogikan dengan bentuk rumah tradisional
Minahasa yang berbentuk rumah panggung sehingga untuk memasukinya harus menaiki
sejumlah anak tangga

35
BAB IV
PARIWISATA

WISATA MEGALIT DI MINAHASA BATU-BATU EKSOTIK DARI NEGERI BIBIR PASIFIK


1. Waruga
Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga berasal dari dua kata: wale dan maruga.
“Wale artinya rumah, dan maruga artinya badan yang hancur lebur menjadi abu. Salah satu
sisa megalit yang begitu terkenal dan dominan di Minahasa adalah waruga (peti kubur
batu). Ini bukan sembarang peti kubur biasa. Yang istimewa, peti kubur ini terdiri atas dua
bagian: badan dan tutup. Tiap-tiap bagian itu terbuat dari sebuah batu utuh (monolith).
Umumnya, berbentuk kotak segiempat (kubus) untuk bagian badannya dan hanya sedikit
yang berbentuk segidelapan atau bulat. Di dalam bagian badan waruga terdapat rongga
sebagai kubur jasad orang yang meninggal. “Posisi mayat di dalam batu ini dalam keadaan
jongkok, sesuai posisi bayi dalam rahim ibu. Yang laki-laki, tangan berada dalam posisi kunci
tangan dan perempuan kepal tangan,” papar Anton Tahuna (38) juru kunci kompleks
waruga Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa. Posisi mayat tersebut
terkait dengan filosofi manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan semestinya
mengakhiri hidup dengan posisi yang sama. Filosofi ini dikenal dalam bahasa lokal adalah
whom. Setiap waruga biasanya dipakai untuk satu famili. Ada juga waruga yang
dipersiapkan untuk mayat yang berasal dari kesamaan profesi sebelum wafat. Di dalam
waruga seringkali ditemukan tulang-tulang manusia yang berasosiasi dengan benda lain,
macam keramik Cina, perhiasan, alat-alat logam dan manik-manik. “Waktu dikubur, barang-
barang kesayangan mereka semasa hidup harus disertakan juga sebagai bekal kubur.
Karena itu, di bagian bawah mayat ada piring yang besar. Maksudnya, supaya perhiasan tadi
tidak jatuh ke bawah tetapi justru jatuh ke piring tadi.

36
2. Watu Pinawetengan
Batu ini merupakan bongkahan batu-batu besar alamiah, sehingga bentuknya tidak
beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-goresan berbagai motif yang
dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang membentuk gambar manusia,
menyerupai kemaluan laki-laki dan perempuan dan motif garis-garis serta motif yang tak
jelas maksudnya. Para ahli menduga, goresan-goresan ini merupakan simbol yang berkaitan
dengan kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit.
Watu Pinawetengan telah sejak lama menjadi tempat permohonan orang, seperti
kesembuhan dari penyakit dan perlindungan dari marabahaya. Dengan melakukan ritual
ibadah yang dipandu seorang tonaas (mediator spiritual), sebagian orang percaya doa
mereka akan cepat dikabulkan. Arie Ratumbanua – juru kunci Watu Pinawetengan –
menegaskan, masyarakat yang datang ke sini bukan bertujuan menyembah batu, melainkan
menjadikan batu sebagai tempat atau sarana ibadah. Soal asal-usul batu ini, masyarakat
setempat percaya di sinilah tempat bermusyawarah para pemimpin dan pemuka
masyarakat Minahasa asli keturunan Toar-Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa)
pada masa lalu. Para pemimpin itu bersepakat untuk membagi daerah menjadi enam
kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong ke dalam kelompok-kelompok etnis
Minahasa

37
PENUTUP

Pulau Sulawesi di huni oleh beranekaragam suku bangsa, dimana masing-masing


mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri diantaranya suku-suku bangsa tersebut, salah
satunya suku Minahasa yang mendiami daerah pada bagian Timur Jazirah Sulawesi Utara.
Suku Minahasa memiliki berbagai macam kebudayaan yang merupakan kekayaan dari
daerahmya. Berbagai macam kebudayaan ini merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa
manusia yang perlu dijaga kelestariannya.
Dari berbagai macam keebudayaan yang ada pada setiap suku berbeda-beda, hal ini
terkait adanya perbedaan secara demografi astronomi, serta Sumber Daya Manusia yang
menempati daerah tersebut.

38
DAFTAR PUSTAKA

http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm [30 NOV 2007]


http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm [30 NOV 2007]
http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_minahasa [14
Des 2007]
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/ [30 Nov 2007]
http://www.kkk.or.id/artikel3.htm [30 Nov2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html [14 Des 2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.html [30 Nov 2007]
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7 [06 Des 2007]
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/ [30 Nov 2007].
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm
http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_minahasa
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://www.kkk.or.id/artikel3.htm [30 Nov2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.htm

39
LAMPIRAN

Rumah Adat
Tari Maengket
mmmmmmmmm

40
Kolintang Kelompok Pemain Kolintang

Wisata Alam Wisata alam Waruga


Alam

41

You might also like