You are on page 1of 21

Page |1

Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia


Kerajaan Kutai

Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Kerajaan ini
terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil . Nama Kutai
diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi
kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit
informasi yang dapat diperoleh.

Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada
tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai.
Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum
brahmana.

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental
dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan
Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.

Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri
dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman
memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.

Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman,
Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan
Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing,
hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan
Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura)
berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute).
Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara
selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

Nama-Nama Raja Kutai

1. Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman


2. Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)
3. Maharaja Mulawarman
4. Maharaja Marawijaya Warman
5. Maharaja Gajayana Warman
6. Maharaja Tungga Warman
7. Maharaja Jayanaga Warman
8. Maharaja Nalasinga Warman
9. Maharaja Nala Parana Tungga
10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
11. Maharaja Indra Warman Dewa
Page |2

12. Maharaja Sangga Warman Dewa


13. Maharaja Candrawarman
14. Maharaja Sri Langka Dewa
15. Maharaja Guna Parana Dewa
16. Maharaja Wijaya Warman
17. Maharaja Sri Aji Dewa
18. Maharaja Mulia Putera
19. Maharaja Nala Pandita
20. Maharaja Indra Paruta Dewa
21. Maharaja Dharma Setia

Lain-lain

Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum
terpengaruh dengan nama budaya India.Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah
terpengaruh budaya Hindu.Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa
Sangsekerta.Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian
Selatan.

Kerajaan TarumaNegara

Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa
pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang
meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat
bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai
siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat
terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati
dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan
selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Empat di Bogor,
satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam
Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah
kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

Prasasti yang ditemukan

1. Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan
Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi
3. Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa
Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Page |3

Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai:
Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara.
Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.

Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota
pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur
sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang
bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.

Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari
aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih
melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang
digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.

Prasasti Pasir Muara

Prasasti Ciaruteun

Prasasti Telapak Gajah

Prasasti Jambu

Naskah Wangsakerta

Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta. Sayangnya, naskah ini mengundang polemik
dan banyak pakar sejarah yang meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.

Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada
tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan
di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.

Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru
pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura--pertama kalinya nama
"Sunda" digunakan.

Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat
tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M)
Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan
bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang
menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap
Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik
ayahnya.

Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi
Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang
belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di
sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk
kawasan Kerajaan Sunda?
Page |4

Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman
berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah
kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162)
menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari
Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di
Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa
Barat pada masa silam.

Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan
gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat
pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan
Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini
sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).

Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi
kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri
seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan
ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak
kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah
bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di
Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama
kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara.
Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam
tahun 612 M.

Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja
Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri,
yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi
isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh
kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih
menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan
Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk
berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.

Kerajaan Sriwijaya

Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes
menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.Coedes kemudian menetapkan bahwa,
Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak
ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on
the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah
Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang
sekarang

Sumber-sumber sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijayaberasal dari berita asing
dan prasasti-prasasti.
Page |5

 Sumber Asing

•Sumber Cina

Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan
bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta
Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal
selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India.
Setelah lama belajardi Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun untuk
menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina.Catatan Cina yang lain menyebutkan
tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M

•Sumber Arab

Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada
tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang
sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu,
gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

•Sumber India

Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di India seperti dengan
Kerajaan Nalanda, dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan
sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda

•Sumber lain

Pada tahun 1886 Beal mengemukakan pendapatnya bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak
di tepi Sungai Musi, Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih
merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti
Kota Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap
Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai
sebutan atau gelar raja.

 Sumber Lokal atau Dalam Negeri

•Prasasti Kota Kapur

Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta
Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213
tentara yang berjalan kaki.

•Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa
tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan
Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang
terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk perdagangan
Page |6

•Prasasti Talangtuo

Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta
Hyang.

•Prasasti Karang Berahi

Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan penguasaan Sriwijaya
atas daerah itu.

•Prasasti Ligor

Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligordengan tujuan untuk mengawasi pelayaran
perdagangan di Selat Malaka.

•Prasasti Nalanda

Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa
Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa
meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga
menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para
mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

•Prasasti Telaga Batu.

Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi
lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat
keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah
kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang
dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti
itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan., maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan
SriwijayaPrasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar menggunakanhuruf Pallawa dan bahasa
Melayu Kuno.

Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :

o Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M)
o Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
o Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
o Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
o Maharaja (berita Arab, 851 M)
o Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)
o Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
o Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
o Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
o Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
o Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)

 Masa keemasan
Page |7

Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 - 850, pemerintahan Jambi menyatakan diri
sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China pada tahun 853 dan 871. Kemerdekaan Jambi
bertepatan dengan dirampasnya tahta Sriwijaya di Jawa dengan diusirnya raja Balaputradewa. Di tahun 902, raja
baru mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada
utusan Sriwijaya. Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong,
kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903,
penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi
Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

 Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya

Akibat dari persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan, Raja Rajendra Chola melakukan dua kali
penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya. Bahkan pada penyerangganya yang kedua, Kerajaan Chola berhasil menawan
Raja Cri Sanggrama Wijayatunggawarman serta berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Kerajaan
Sriwijaya.Pada abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang luar biasa. Kerajaan besar di
sebelah utara, seperti Siam. Kerajaan Siam yang juga memiliki kepentingan dalam perdagangan memperluas
wilayah kekuasaannya ke wilayah selatan. Kerajaan Siam berhasil menguasai daerah semanjung Malaka, termasuk
Tanah Genting Kra. Akibat dari perluasan Kerajaan Siam tersebut, kegiatan pelayaran perdagangan Kerajaan
Sriwijaya semakin berkurang. Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan lemah yang wilayahnya terbatas di daerah
Palembang, pada abad ke-13 Kerajaan Sriwijaya di hancurkan oleh Kerajaan Majapahit.

Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Medang (Rajya Medang i Bhumi Mataram) dikenal juga dengan nama Kerajaan Bhumi Mataram,
atau Mataram saja. Karena di kemudian hari juga ada nama yang sama, maka orang sering menyebutnya sebagai
Kerajaan “Mataram kuno” atau kerajaan “Mataram Hindu”.

Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama
kalinya istana Kerajaan Medang (diperkirakan sekitar tahun 732) berdiri. Nama ini ditemukan dalam beberapa
prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjukladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk
menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana Pusat
Kerajaan Medang pernah beberapa kali berpindah. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang
berdasarkan beberapa prasasti yang sudah ditemukan antara lain:

o di daerah Yogyakarta sekarang.


o di Mamrati dan Poh Pitu - di sekitar Kedu, Jawa Tengah.
o di Tamwlang (sekarang Tembelang) di sekitar Jombang, Jawa Timur
o di Watugaluh (Megaluh), sekitar Jombang, Jawa Timur.
o di Wwatan (Wotan). Letaknya di kawasan Madiun, Jawa Timur.

Dalam beberapa catatan sejarah, disebutkan bahwa terdapat hubungan antara Kerajaan Galuh di Jawa
Barat dengan Kerajaan Kalingga . Pernikahan putri Parwati anak dari Ratu Shima, penguasa Kalingga dengan Raja
Mandiminyak (Kerajaan Galuh) menghasilkan putra bernama Sanna atau Bratasenawa. Sanna disebut-sebut juga
berkuasa sebagai raja ketiga di Kerajaan Galuh – dan karena pertikaian dengan Kerajaan Sunda - mengungsi ke
Kalingga tempat neneknya memerintah.
Page |8

Wacana lain menyebutkan, bahwa ada suatu masa Kalingga kemudian dibagi dua: Kalingga Utara yang
kemudian disebut sebagai Bumi Mataram dan Kalingga Selatan yang disebut sebagai Bumi Sembara.Lalu dari
pernikahan Sanna dengan salah seorang putri di Kalingga lahirlah Sanjaya yang juga menjadi pewaris tahta di
Kerajaan Sunda karena menikah dengan Putri Tejakancana. Sanjaya juga menikah dengan putri dari Raja
Dewasingha di Kalingga Selatan bernama Putri Sudiwara. Dari dua pernikahan itu Sanjaya memiliki dua putra:
Rakeyan Panaraban atau sering disebut sebagai Tamperan Barmawijaya. Sementara dari pernikahan dengan
Sudiwara lahirlah Rakai Pikatan .

Itulah cerita dari versi yang ditulis Carita Prahyangan yang ditulis berabad-abad setelah wafatnya Sanjaya.
Sementara jika merujuk kepada beberapa catatan sejarah berupa prasasti atau peninggalan lain, versi itu belum
bisa dibuktikan kebenarannya. Yang jelas menurut Prasasti atas nama Dyah Balitung (salah satu penguasa Medang)
nama Sanjaya memang disebut-sebut sebagai raja pertama Medang. Prasasti Canggal pada tahun 732 yang
merupakan catatan Sanjaya tentang pemerintahannya juga tidak menyebutkan asal-usul itu. Hanya disebutkan,
sebelum ia memerintah, sudah ada raja sebelumnya bernama Sanna. Atas dukungan Sannaha, ibunya - saudara
perempuan dari Sanna - Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya mulai membangun kerajaannya.
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang:

 Wangsa Sanjaya ( di Jawa Tengah)


 Wangsa Sailendra ( Jawa Tengah)
 Wangsa Isana, (Jawa Timur

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Menurut sebuah teori
dari ahli Belanda bernama van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar
tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan
Sriwijaya di Pulau Sumatera. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai
Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra . Berkat perkawinan itu ia bisa
menjadi raja Medang. Ia kemudian memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal
kembalinya Wangsa Sanjaya berkuasa.

Di luar itu ada teori lain. Profesor Slamet Muljana – berdasarkan penemuan Prasasti Kalasan yang ditulis
tahun 778 - menemukan bahwa Rakai Panangkaran (raja kedua) bukan putra Sanjaya. Alasannya karena dalam
prasasti disebut bahwa Rakai Panangkaran adalah “permata wangsa Sailendra”. Dengan demikian pendapat ini
menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendr

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai
Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai
Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.

Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana. Dinasti ini didirikan oleh
Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok
menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Medang i Bhumi Mataram.

Daftar raja-raja Medang:

o Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang


o Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra
Page |9

o Rakai Panunggalan atau Dharanindra


o Rakai Warak atau Samaragrawira
o Rakai Garung alias Samaratungga
o Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kembalinya Wangsa Sanjaya
o Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala
o Rakai Watuhumalang
o Rakai Watukura Dyah Balitung
o Mpu Daksa
o Rakai Layang Dyah Tulodong
o Rakai Sumba Dyah Wawa
o Mpu Sindok, Wangsa Isana, saat pusat kekuasaan Medang berada di Jawa Timur
o Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
o Makuthawangsawardhana
o Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir

Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan
beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah
Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau
Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali
kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena perebutan
kekuasaan oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh
menantunya, Dyah Tulodhong. Tulodhong sendiri akhirnya turun tahta karena kekuasaannya direbut oleh Dyah
Wawa.

Ada beberapa sebab kenapa ibukota Medang pindah ke Jawa Timur. Yang paling banyak diyakini adalah
karena kawasan ibukota lama di sekitar Yogyakarta amat rawan bencana. Gunung Merapi pernah meletus dengan
hebat sehingga istana kerajaan hancur.

Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah
meninggal sebelum peristiwa itu terjadi. Selanjutnya pusat kekuasaan Medan sudah pindah ke Tamwlang, Jawa
Timur dengan raja bernama Mpu Sindok (Sri Isana Wikramadharmottungga), dari wangsa Isana pada tahun 929.

Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatera.
Prasasti Ligor tahun 775 menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.
Hubungan saudara antara Mataram-Sriwijaya (Wangsa Sailendra) berubah jadi permusuhan saat Rakai Pikatan
(Wangsa Sanjaya) mengambilalih tahta Medang. Pada sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan menyingkirkan
Balaputradewa putra Samaragrawira seorang Wangsa Sailendra yang kemudian akhirnya menjadi Raja Sriwijaya.

Balaputradewa menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini
berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Medang dan Sriwijaya juga bersaing
untuk menguasai lalu lintas pelayaran perdagangan. Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus
berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Saat Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya
datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang
dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
P a g e | 10

Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur. Tahun terjadinya peristiwa itu ada
dua versi. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya
menyebut tahun 1016. Namun untuk sementara banyak yang menetapkan tahun 1006 sebagai musnahnya
kerajaan Medang.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh , yang naik takhta tahun 991. Pada tahun 1006 (atau
1016) saat Dharmawangsa tengah imengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu
oleh Aji Wurawari dari Lwaram. Aji Wurawari adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut,
Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya
tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga . Ia
adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Kerajaan Singasari

Kerajaan Singasari (1222-1293) adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara vang didirikan oleh Ken
Arok pada 1222. Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Raja Kertanegara (1268-1292)
yang bergelar Maharajadhiraja Kertanegara Wikrama Dharmottunggadewa.

Candi Singasari disebut juga Candi Tumapel berupa kuil Syiwa yang besar dan tinggi. Ken Arok merebut
daerah Tumapel, salah satu wilayah Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Tunggul Ametung, pada 1222. Ken Arok
pada mulanya adalah anak buah Tunggul Ametung, namun ia membunuh Tunggul Ametung karena jatuh cinta
pada istrinya, Ken Dedes. Ken Arok kemudian mengawini Ken Dedes. Pada saat dikawini Ken Arok, Ken Dedes telah
mempunyai anak bernama Anusapati yang kemudian menjadi raja Singasari (1227-1248). Raja terakhir Kerajaan
Singasari adalah Kertanegara.

Ketika di pusat Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan kaum Brahmana, semua pendeta
melarikan diri ke Tumapel dan dilindungi oleh Ken Arok. Pada 1222, para pendeta Hindu kemudian menobatkan
Ken Arok sebagai raja di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Adapun nama
kerajaannya ialah Kerajaan Singasari. Berita pembentukan Kerajaan Singasari dan penobatan Ken Arok
menimbulkan kemarahan raja Kediri, Kertajaya. la kemudian memimpin sendiri pasukan besar untuk menyerang
Kerajaan Singasari. Kedua pasukan bertempur di Desa Ganter pada 1222. Ken Arok berhasil memenangkan
pertempuran dan sejak itu wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri dikuasai oleh Singasari.

Candi Jago terletak di Malang, Jawa Timur, merupakan peninggalan Kerajaan Singasari yang dibangun
untuk Raja Wisnuwardhana, raja Singasari, pada pertengahan abad ke-13. Dalam Negarakertagama, candi ini
merupakan salah satu tempat yang dikunjungi Hayam Wuruk pada 1359. Ken Arok memerintah Kerajaan Singasari
hanya lima tahun. Pada 1227 ia dibunuh oleh Anusapati, anak tirinya (hasil perkawinan Tunggul Ametung dan Ken
Dedes). Sepuluh tahun kemudian Anusapati dibunuh oleh saudara tirinya, Tohjaya (putra Ken Arok dengan Ken
Umang).

Kematian Anusapati menimbulkan kemarahan Ranggawuni, putra Anusapati. Ranggawuni langsung


menyerang Tohjaya. Pasukan Tohjaya kalah dalam pertempuran dan meninggal dunia dalam pelarian. Pada 1248
Ranggawuni menjadi raja Singasari bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Ranggawuni memerintah Kerajaan Singasari
selama 20 tahun (1248-1268) dan dibantu oleh Mahisa Cempaka (Narasingamurti). Ranggawuni wafat pada 1268
dan digantikan oleh putranya, Kertanegara. la memerintah Kerajaan Singasari selama 24 tahun (1268-1292).
P a g e | 11

Kertanegara terus memperluas pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Singasari. Pada 1275 ia mengirim
pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Sriwijaya sekaligus menjalin persekutuan dengan Kerajaan Campa
(Kamboja). Ekspedisi pengiriman pasukan itu dikenal dengan nama Pamalayu. Kertanegara berhasil memperluas
pengaruhnya di Campa melalui perkawinan antara raja Campa dan adik perempuannya. Kerajaan Singasari sempat
menguasai Sumatera, Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali, dan Gurun (Maluku).

Pasukan Pamalayu dipersiapkan Kertanegara untuk menghadapi serangan kaisar Mongol, Kubilai Khan,
yang berkuasa di Cina. Utusan Kubilai Khan beberapa kali datang ke Singasari untuk meminta Kertanegara tunduk
di bawah Kubilai Khan. Apabila menolak maka Singasari akan diserang. Permintaan ini menimbulkan kemarahan
Kertanegara dengan melukai utusan khusus Kubilai Khan, Meng Ki, pada 1289. Kertanegara menyadari tindakannya
ini akan dibalas oleh pasukan Mongol. la kemudian memperkuat pasukannya di Sumatera. Pada 1293 pasukan
Mongol menyerang Kerajaan Singasari. Namun Kertanegara telah dibunuh oleh raja Kediri, Jayakatwang, setahun
sebelumnya. Singasari kemudian dikuasai oleh Jayakatwang.

Kerajaan Majapahit

Majapahit adalah sebuah kerajaan di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya dan mejadi Kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas pada
masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah
satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung
Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.

Berdirinya Majapahit

Sesudah Singhasari mengalahkan Sriwijaya pada tahun 1290[rujukan?], Singhasari menjadi kerajaan paling kuat di
wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan
yang bernama Meng Chi[9] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang
terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan
memotong telinganya.[9][10] Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang
memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden
Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai
Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol
tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik
menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-
kabut karena mereka berada di teritori asing. [11][12] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk
menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yang
asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya
sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293.
Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang
tepercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun
pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi
dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara,
dan lalu dihukum mati.[12] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
P a g e | 12

Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang berarti
"penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia,
Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh
tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih
mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana
Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya
untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana,
kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa
di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya
Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah
Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung
Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina[13].
Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya
tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan
yang mungkin berupa monopoli oleh raja [14]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam,
Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[14][2]

Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin
persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mengambil Citraresmi
(Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[15] Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian
persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit
mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai
peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda
dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan
perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga
kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam. [16] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan
hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[17] Kisah Pasunda
Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali. Kisah ini
disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.

Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun,
dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang
pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua,
mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah
legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya
mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas,
pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan
atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras. [18]

Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk
menumpas pemberontakan di Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Salah satu
panglima Gajah Mada yang terkenal adalah Adityawarman[rujukan?], yang termahsyur atas penaklukan Minangkabau.

Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang
kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan
P a g e | 13

perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai
memasuki kawasan ini.

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah
wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan
takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri,
pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga
menuntut haknya atas takhta. [5] Parang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun
1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana,
semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali
Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh
laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai
1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa
kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki
pijakan di pantai utara Jawa.

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah
pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua
Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia
memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijayawafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar
Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa
raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat
pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap
Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit. [7].

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada
akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat
bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di
bagian barat Nusantara[19]. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi
membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka
dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di
daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota
Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada
1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan.
Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian
kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan
Islam di pantai utara Jawa.

Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya
abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan [20]) hingga tahun 1527.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala
ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478
Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya
digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh
Girindrawardhana[21].
P a g e | 14

Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi [21] dan
memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak,
karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527. [22]
Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali.
Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini
mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.

Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad
ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit [23]. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi
Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak,
legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.

Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi
perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan
Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[21].

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah
Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal
kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-
lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung
masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru
P a g e | 15

Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia


Kesultanan Samudera Pasai

Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan
Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara
sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan
berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521. Raja pertama bernama Sultan Malik as-Saleh
yang wafat pada tahun 696 H atau 1297 M[1], kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Sultan Malik at-Thahir.

Kesultanan Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu
Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah di Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah
bercerita bahwa Sultan Malik az-Zahir di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh keramahan. Menurut Ibn
Batuthah, penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi`i.

Kesultanan Malaka

Kesultanan Melaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan yang didirikan oleh Parameswara, seorang putra Melayu
berketurunan Sriwijaya.

Parameswara merupakan turunan ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang
Nila Utama), seorang penerus raja Sriwijaya [1]. Sang Nila Utama mendirikan Singapura Lama dan berkuasa selama
48 tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386) yang kemudian
diteruskan oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399). Pada tahun 1401, Parameswara putra dari
Seri Rana Wira Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah mendapat penyerangan dari Majapahit. [2].

Ibu kota kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada Selat Malaka. Kesultanan ini berkembang pesat menjadi
sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Malaka runtuh
setelah ibukotanya direbut oleh Portugis pada tahun 1511.

Kejayaan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka di sebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu, Parameswara telah
mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching
mengunjungi Melaka pada tahun 1403. Salah seorang dari sultan Malaka telah menikahi seorang putri dari negara
Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat
kepada Malaka. Malaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan pemegang kekuasaan terbesar di dunia
pada masa itu untuk menghindari serangan Siam.

Parameswara pada awalnya menjadi raja di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa
dan Siam, yang memaksanya pinda lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah tinggal di
ibukota baru di Melaka pada 1403, tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan upeti
yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada kerajaan baru tersebut. [3]

Parameswara kemudian menganut agama Islam setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari kunjungan Laksamana
Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka
sudah menjadi muslim. [4]. Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.[3][4]

Megat Iskandar Syah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah
yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak menganut agama Islam, dan mengambil gelar Seri
Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada
1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
P a g e | 16

Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai
timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini memancing kemarahan Siam yang menganggap Melaka sebagai
bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam. Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat
dipatahkan.

Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu
Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga
takluk. Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.

Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan
memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah. [5]

Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di
bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24
Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526
Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun
kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak, sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat
Syah II mendirikan kerajaan baru yaitu Johor.

Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan
oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan
ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada
pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 -
1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena
kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang
imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat
pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. [1]

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Di awal-awal masa pemerintahannya
wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Pedir, Pasai, Deli dan Aru. Pada tahun 1528, Ali
Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga
tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga
tahun 1568.

Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada
masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini
dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas
pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu
Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586,
kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah
kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan
semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan
ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.

Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang
karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya
Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-
Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
P a g e | 17

Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran
Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau
Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli
serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan
diantara pewaris tahta kesultanan.

Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala
kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka
di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas
"Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun
di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha
untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan
peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh dan digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia
Timur Belanda. Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang. Pada
tahun 1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di ibukota Hindia Timur
Belanda (Indonesia) segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan
bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan dari Soekarno kepada pemimpin Aceh
Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu[rujukan?].

Kesultanan Demak

Demak pada masa sebelumnya sebagai suatu daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau
Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut
dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit.

Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat
penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan
melakukan penyerangan terhadap Majapahit.

Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan
rajanya yaitu Raden Patah. Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat
pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan
Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi).

Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah
pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara
akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak.

Kesultanan Banten

Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun
1524/1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon dibantu pasukan Demak menduduki pelabuhan Banten, salah satu dari
pelabuhan kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Cirebon dan Demak. Menurut
sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan utama Kerajaan Sunda selain pelabuhan
Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.

Anak dari Sunan Gunung Jati atau Fatahillah (Faletehan) yaitu Maulana Hasanudin menikah dengan seorang putri
dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan
anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara. Terjadi perebutan
P a g e | 18

kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kesultanan Banten daripada
anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda.
Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kesultanan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kesultanan Banten karena
dibantu oleh para ulama.

Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fath Abdul Fatah atau lebih dikenal
dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga
perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan
bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC.
seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang
sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang
membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad
Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari
penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.[1]

Kesultanan Mataram

Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng
Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram
pada masa keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan
beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan
di Karawang.

Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan
Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat
pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar
Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan,
kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya
Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.

Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang
berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak
yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas
Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta
beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.

Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan
sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram
mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia
memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta"). Akibat terjadi
gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu
berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara
Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar
Amangkurat (Amangkurat I).

Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan
P a g e | 19

Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi
pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di
Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat
Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi.
Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang
lama dianggap telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719),


Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang
VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini
menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di
Batavia lalu dibuang ke Ceylon.

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi
dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini
tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar,
Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian
masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari
Kesultanan Mataram.

Kesultanan Gowa dan Tallo

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di
daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan
pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian
daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu
melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh
Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar
bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-
Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di
abad ke-17.

Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan
Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene,
Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung
untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana
Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua
orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya

Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama
Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut
Makassar sangatlah kecil". Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna
mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara
kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah
yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat
hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem
pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu
dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa
ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak. [1]
P a g e | 20

Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk
Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa
setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya
adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh
Tunipalangga.[1]

Kesultanan Ternate dan Tidore

Kesultanan Ternate dan Tidore terletak di kepulauan Maluku. Maluku adalah kepualuan yang terletak di
antara Pulau Sulawesi dan Pulau Irian. Jumlah pulaunya ratusan dan merupakan pulau yang bergunung-gunung
serta keadaan tanahnya subur. Kepulauan Maluku terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia.
Rempah-rempah tersebut menjadi komoditi utama dalam dunia pelayaran dan perdagangan pada abad 15 – 17.
Demi kepentingan penguasaan perdagangan rempahrempah tersebut, maka mendorong terbentuknya
persekutuan daerah-daerah di Maluku Utara yang disebut dengan Ulilima dan Ulisiwa. Ternate, Obi, Bacan, Seram
dan Ambon. Sedangkan Ulisiwa adalah persekutuan sembilan bersaudara yang terdiri dari Tidore, Makayan, Jailolo
dan pulau-pulau yang terletak di kepulauan Halmahera sampai Irian Barat.

Antara persekutuan Ulilima dan Ulisiwa tersebut terjadi persaingan. Persaingan tersebut semakin nyata
setelah datangnya bangsa Barat ke Kepulauan Maluku. Bangsa barat yang pertama kali datang adalah Portugis
yang akhirnya bersekutu dengan Ternate tahun 1512. Karena persekutuan tersebut maka Portugis diperbolehkan
mendirikan benteng di Ternate.

Bangsa Barat selanjutnya yang datang ke Maluku adalah bangsa Spanyol, sedangkan Spanyol sendiri
bermusuhan dengan Portugis. Karena itu kehadiran Spanyol di Maluku, maka ia bersekutu dengwn Tidore. Akibat
persekutuan tersebut maka persaingan antara Ternate dengan Tidore semakin tajam, bahkan menyebabkan
terjadinya peperangan antara keduanya yang melibatkan Spanyol dan Portugis. Dalam peperangan tersebut Tidore
dapat dikalahkan oleh Ternate yang dibantu oleh Portugis.

Keterlibatan Spanyol dan Portugis pada perang antara Ternate dan Tidore, pada dasarnya bermula dari
persaingan untuk mencari pusat rempah-rempah dunia sejak awal penjelajahan samudra, sehingga sebagai
akibatnya Paus turun tangan untuk membantu menyelesaikan pertikaian tersebut. Usaha yang dilakukan Paus
untuk menyelesaikan pertikaian antara Spanyol dan Portugis adalah dengan mengeluarkan dekrit yang berjudul
Inter caetera Devinae, yang berarti Keputusan Illahi. Dekrit tersebut ditandatangani pertama kali tahun 1494 di
Thordessilas atau lebih dikenal dengan Perjanjian Thordessilas. Dan selanjutnya setelah adanya persoalan di
Maluku maka kembali Paus mengeluarkan dekrit yang kedua yang ditandatangani oleh Portugis dan Spanyol di
Saragosa tahun 1528 atau disebut dengan Perjanjian Saragosa.

 proses masuknya Islam di Maluku

Maluku sebagai daerah kepulauan merupakan daerah yang subur terkenal sebagai penghasil rempah
terbesar. Untuk itu sebagai dampaknya banyak pedagangpedagang yang datang ke Maluku untuk membeli
rempah-rempah tersebut. Di antara pedagang-pedagang tersebut terdapat pedagang-pedagang yang sudah
memeluk Islam sehingga secara tidak langsung Islam masuk ke Maluku melalui perdagangan dan selanjutnya Islam
disebarkan oleh para mubaligh salah satunya dari Jawa.

 2. usaha-usaha Portugis dalam rangka menguasai perdagangan di Maluku.


o Portugis melaksanakan politik adu domba antara Ternate dan Tidore.
o Portugis mendirikan benteng di Maluku (menanamkan kekuasaannya di Maluku).
P a g e | 21

o Portugis melakukan monopoli perdagangan di Maluku.


 3. akibat dari perjanjian Saragosa bagi rakyat Maluku
o Maluku dikuasai oleh Portugis.
o Perdagangan Maluku dimonopoli oleh Portugis.
o Rakyat Maluku mengalami kesengsaraan.
o Rakyat Maluku mengangkat senjata melawan Portugis.

You might also like