You are on page 1of 15

PENELITIAN TINDAKAN KELAS: SEBUAH PENGANTAR

Parlindungan Pardede
Universitas Kristen Indonesia

Pendahuluan
Penelitian tindakan kelas (selanjutnya disingkat PTK) merupakan hasil
perkembangan action research (AR) yang maju pesat dengan dukungan berbagai
universitas di Amerika Serikat sejak tiga dekade lalu. AR pada awalnya merupakan
metode penelitian yang banyak dipakai para praktisi yang bergelut dengan masalah nyata
di masyarakat (seperti bidang kesehatan, manajemen, dan sumber daya manusia).
Keberhasilan AR dalam berbagai bidang tersebut kemudian mendorong peneliti, praktisi,
dan pihak-pihak lain di sektor pendidikan untuk menerapkannya di bidang pendidikan,
dengan asumsi bahwa jika metode penelitian itu berhasil di berbagai sektor dunia nyata,
pastilah metode itu cocok juga untuk sektor pendidikan, sebagai salah satu bagian dunia
nyata. AR yang khusus diterapkan untuk memperbaiki praktik pembelajaran di kelas inilah
yang kemudian dikenal sebagai PTK.
Meskipun metode penelitian ini tergolong baru, PTK langsung populer. Sifatnya
yang sangat praktis dan realistis memungkinkan guru menggunakannya untuk meneliti dan
memperbaiki masalah-sasalah menarik yang terjadi di kelas atau sekolah masing-masing.
Berbagai hasil penelitian (seperti Mills, 2003; Johnson, 2005; dan Tomal, 2005)
menunjukkan PTK adalah sebuah upaya yang prospektif dan efektif untuk
mengembangkan profesionalisme guru, karena dengan metode ini guru dapat menguji
penerapan sebuah strategi pembelajaran baru, menilai suatu kurikulum baru, atau
mengevaluasi metode pengajaran yang ada. Hasil-hasil penelitian lain (Ferrance, 2000)
menunjukkan keterlibatan pendidik dalam PTK mendorong mereka kearah perubahan
positif, yang dibuktikan dengan perbaikan dalam teknik mengajar, refleksi diri, dan
pembelajaran menyeluruh yang meningkatkan praktik pembelajaran di kelas.
Makalah ini adalah hasil studi kepustakaan yang ditujukan untuk memperkenalkan
atau menyegarkan kembali ingatan pembaca mengenai hakikat PTK. Pembahasan diawali
1
dengan, uraian tentang pengertian dan karakteristik PTK. Pada bagian selanjutnya
dijelaskan sejarah, manfaat, jenis, prinsip-prinsip, proses, langkah-langkah, penjaringan
data, validasi dan reliabilitas data PTK. Pada bagian akhir disajikan argument tentang
status PTK sebagai metode penelitian, yang kemudian diakhiri dengan beberapa simpulan.

Pengertian PTK
Istilah PTK berasal dari bahasa Inggris Classroom Action Research—sebuah
pengkajian yang dilakukan oleh guru untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah
yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas atau sekolah. Dalam pengertian yang
luas, McMillan dan Schumacher (2006: 15) menyatakan PTK adalah metode pegkajian
yang dilakukan praktisi untuk meneliti masalah-masalah atau isu-isu yang sedang
berkembang. Sedangkan Hopkins (dalam Gabel, 1995) membatasi PTK sebagai sebuah
proses penelitian yang didisain untuk memberdayakan seluruh partisipan dalam suatu
proses pembelajaran (siswa, guru, dan pihak-pihak lain), untuk memperbaiki praktik
pembelajaran. Seluruh partisipan sama-sama berperan aktif dalam proses penelitian
tersebut.
Senada dengan beberapa definisi di atas, Gwyn (2002) mengatakan PTK merupakan
metode penelitian yang dilakukan pendidik untuk menemukan apa yang terbaik bagi
pembelajaran dalam sebuah kelas agar pembelajaran di kelas itu memberikan hasil terbaik.
Sedangkan Creswell (2008: 597) menegaskan bahwa PTK adalah sebuah prosedur
sistematis yang digunakan guru (atau individu lain dalam konteks pendidikan) untuk
menjaring data kuantitatif dan kualitatif dalam rangka memperbaiki komponen-komponen
pendidikan, seperti teknik pengajaran guru atau proses pembelajaran siswa. Beberapa PTK
bahkan diupayakan khusus untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam sebuah
kelas, seperti persoalan disiplin maupun performa siswa.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa PTK merupakan
sebuah bentuk penelitian berbentuk tindakan yang dilakukan oleh praktisi pendidikan
secara kolaboratif dan diarahkan untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah
yang berhubungan dengan pembelajaran di sekolah atau kelas spesifik, bukan untuk
menghasilkan teori-teori pendidikan yang baru atau menguji teori yang ada—sebagaimana
lazimnya penelitian konvensional.
Orientasi PTK pada penerapan tindakan yang diarahkan untuk meningkatkan mutu
atau memecahkan masalah di sekolah atau kelas secara langsung membuat metode

2
penelitian yang relatif masih baru ini segera menjadi trend di kalangan pendidik. Diakui
bahwa pengalaman dan hasil-hasil penelitian di bidang pendidikan selama ini memang
telah memberikan pengetahuan yang cukup banyak tentang metode pengajaran yang
efektif (McKeachie, 1999; Weimer, 1996). Namun, karena setiap pengajaran memiliki
keunikan tersendiri dalam hal isi, kemampuan pelajar, gaya belajar siswa, kompetensi dan
gaya mengajar guru maupun faktor faktor lain, setiap guru harus menemukan apa yang
terbaik bagi siswa di kelas yang diasuhnya. Dengan demikian, dia tidak hanya berperan
memfasilitasi, tetapi juga memaksimalkan, pembelajaran di kelasnya.
Istilah kelas dalam PTK tidak terbatas hanya pada sekelompok peserta didik (siswa)
yang sedang belajar di dalam ruangan tertutup saja, tetapi dapat juga pada siswa yang
sedang melakukan praktik di laboratorium, bengkel, rumah, atau atau sedang
berkaryawisata, atau ketika pelajar sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
Sehubungan dengan itu, komponen dalam suatu kelas yang dapat dikaji melalui PTK
adalah pelajar, guru, materi pelajaran, sarana pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Komponen siswa dapat dicermati ketika yang bersangkutan sedang mengikuti proses
pembelajaran di kelas, lapangan, laboratorium atau bengkel; ketika sedang mengerjakan
tugas di rumah; atau ketika sedang kerja bakti di halaman sekolah. Komponen guru dapat
dicermati ketika yang bersangkutan sedang mengajar di kelas, sedang membimbing siswa
pada karya-wisata, atau ketika sedang mengawasi siswa melakukan praktik di
laboratorium. Komponen materi pelajaran, dapat dicermati ketika guru sedang
mengajarkannya atau sebagai bahan yang ditugaskan kepada pelajar. Sarana pembelajaran
dapat dicermati ketika guru sedang menggunakannya dalam proses mengajar atau ketika
siswa sedang menggunakannya dalam proses belajar. Sebagai produk pembelajaran, hasil
dapat diamati dalam bentuk perubahan kompetensi, sikap, atau kemahiran pelajar.
Komponen pengelolaan dapat diamati dalam bentuk teknik pengelompokan pelajar,
pengaturan tempat duduk, teknik berdiskusi, cara guru memberikan tugas, maupun
penataan sarana pembelajaran.

Karakteristik PTK
Menurut Nunan (1992), kombinasi dari berbagai definisi PTK yang ada pada
hakikatnya memunculkan tiga karakteristik utama: (1) dilakukan oleh praktisi (guru
kelas); (2) bersifat kolaboratif; dan (3) ditujukan untuk mengubah sesuatu. Secara lebih
terperinci, Creswell (2008: 605-609) menjelaskan enam karakteristik. (1) PTK terfokus
3
pada tujuan praktis, dalam pengertian diarahkan untuk mengidentifikasi dan memecahkan
masalah aktual yang spesifik. Dengan demikian, PTK digunakan peneliti untuk
memperoleh manfaat langsung bagi dirinya dan pihak lain yang terlibat dalam penelitian
tersebut. (2) PTK merupakan penelitian yang reflektif-mandiri (self-reflektive) atau
kolaboratif. Dalam konteks ini, peneliti (atau kelompok peneliti) mengkaji praktik yang
dia/mereka lakukan—bukan praktik orang lain—untuk melihat apa yang harus dilakukan
dalam rangka memperbaiki praktik tersebut. (3) PTK bersifat kolaboratif karena
dilaksanakan oleh individu dengan bantuan orang lain (minimal sebagai observer) atau
oleh sekelompok kolega, praktisi (guru) atau peneliti. (4) PTK merupakan sebuah proses
yang dinamis dan fleksibel yang melibatkan pengulangan-pengulangan aktivitas (sehingga
membentuk pola spiral) yang maju-mundur diantara refleksi, penjaringan data, dan
tindakan. (5) PTK merupakan suatu rencana tindakan. Meskipun merupakan proses yg
dinamis dan fleksibel, sebagai sebuah metode penelitian, PTK harus dirancang secara
sistematis yang memenuhi pola umum prosedur PTK (lihat Langkah-Langkah Pelaksanaan
PTK pada bagian berikut). (6) PTK merupakan penelitian kebersamaan (sharing
research). Berbeda dengan hasil penelitian tradisional yang biasanya langsung
dipublikasikan dalam jurnal atau buku, peneliti PTK biasanya mendistribusikan laporan
penelitiannya kepada teman sejawat yang mungkin dapat memakai temuan tersebut.
Meskipun saat ini laporan PTK juga sudah dipublikasikan melalui jurnal, biasanya para
peneliti PTK lebih cenderung untuk membagikan informasi tersebut dengan berbagai
rekan sejawat untuk dipraktikkan atau dikaji ulang di sekolah/kelas masing-masing.

Sejarah Ringkas Perkembangan PTK


Untuk memperoleh pemahaman lebih yang komprehensif terhadap PTK, latar
belakang dan perkembangan metode penelitian ini perlu diketahui. Menurut Mills (dalam
Creswell, 2008: 597) istilah AR dicetuskan oleh Kurt Lewin (seorang ahli psikologi sosial)
Amerika Serikat (AS) pada tahun 1930-an. Dia merasa bahwa kondisi sosial pada tahun
1940an di AS—seperti kurangnya daging dan perbaikan hubungan intercultural antar
kelompok-kelompok masyarakat—dapat ditingkatkan melalui proses diskusi kelompok
yang dilakukan dalam empat tahapan: perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi.
Metode diskusi yang melibatkan proses bertahap, partisipasi semua pihak, dan keterlibatan
yang demokratis tersebut terbukti efektif menghasilkan perubahan sosial. Metode ini
kemudian diadopsi untuk meneliti isu-isu pendidikan. Itulah sebabnya mengapa karya
4
Kurt Lewin tersebut sering dijadikan sebagai tonggak sejarah perkembangan PTK menjadi
sebuah metodologi penelitian (Koshy, 2005: 2-3).
Penyebaran PTK mengalami penurunan sejak pertengahan hingga akhir 1950-an
karena meningkatnya kecenderungan untuk menekankan penelitian eksperimen dan
sistematis selama periode itu. Namun pada akhir tahun 1960-an para filsuf pendidikan
mendorong pelaksanaan penelitian naturalistic inqiry atau constructivisme karena,
menurut mereka, penelitian kuantitatif terlalu condong pada pandangan peneliti, sehingga
sudut pandang partisipan cenderung diabaikan. (Creswell, 2008: 49-50). Akibatnya, pada
tahun 1970-an PTK (sebagai salah satu bentuk naturalistic inqiry) kembali berkembang di
AS, Inggris, dan Australia. Di AS, perkembangan PTK ditandai oleh perubahan
pelaksanaannya dari program in-service training di kampus-kampus pada tahun 1970-an
menjadi metode pengembangan profesionalisme guru yang dilaksanakan secara langsung
di sekolah atau kelas (site-based-development) pada tahun 1980-an dan menjadi metode
refleksi para guru pada saat ini (Creswell, 2008: 598). Menurut Hopkins (dalam Koshy,
2005: 2), perkembangan PTK di Inggris dapat ditelusuri pada Schools Council‘s
Humanities Curriculum Project (1967–72) yang menekankan implementasi kurikulum
eksperimental dan rekonseptualisasi pengembangan kurikulum. Untuk merealisasikan
proyek ini, Elliot and Adelman (1976) menggunakan PTK dalam proyek penelitian praktik
pembelajaran. Sedangkan di Australia, Stephen Kemmis and Robert McTaggart
memelopori gerakan penelitian partisipatori di Deakin University.

Manfaat PTK
Seperti terungkap melalui paparan sebelumnya, PTK merupakan pendekatan
sistematis bagi pemecahan masalah-masalah faktual yang dihadapi Guru, bukan sekedar
upaya trial and error. Keika melaksanakan PTK, guru tidak perlu meninggalkan tugas
utamanya—mengajar—karena penelitian itu justru meneliti proses pembelajaran yang
sedang dilakukannya. Berdasarkan kondisi ini, pelaksanaan PTK dapat memberikan
keuntungan-keuntungan berikut: (1) dapat segera dilaksanakan pada saat muncul
kebutuhan, (2) dilaksanakan dengan tujuan perbaikan, (3) berbiaya relatif murah, (4)
disain lentur/fleksibel, (5) analisis data seketika, dan (6) hasilnya langsung dinikmati atau
dilaksanakan.

5
Jenis-Jenis PTK
Berdasarkan tinjauan yang dilakukannya atas karya-karya utama tentang PTK, Mills
(dalam Creswell, 2008: 599) membagi PTK ke dalam dua jenis utama: practical action
research (PAR) dan collaborative action research (CAR). Perbedaan diantara keduanya
cenderung hanya pada tujuan dan ruang lingkup obyek penelitian. Tujuan PAR adalah
untuk mengkaji suatu masalah spesifik yang muncul di sebuah sekolah atau kelas dalam
rangka memperbaiki praktik pendidikan. Untuk mencapai tujuan ini, proyek penelitian
harus berskala kecil, terfokus pada sebuah masalah atau isu yang spesifik, dan
dilaksanakan oleh seorang atau sebuah tim guru di satu sekolah atau beberapa sekolah
yang berdekatan. Contoh-contoh isu yang diteliti dengan PAR, misalnya: (1) sekelompok
dosen meneliti perkembangan kemahiran mereka menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi dalam pembelajaran; (2) seorang guru mencoba meningkatkan kemampuan
murid-murid kelas VI yang diajarinya untuk memahami penggunaan noun phrase dengan
menggunakan komik berbahasa Inggris sebagai media pembelajaran; (3) sebuah kelompok
di sebuah SMA (terdiri dari beberapa guru, 20 siswa, dan seluruh orangtua ke duapuluh
siswa tersebut) meneliti hasil penerapan sebuah metode pengajaran matematika yang baru;
(4) seorang guru SD meneliti mengapa salah satu murid di kelasnya selalu mengganggu
murid-murid lainnya.
Berbeda dengan PAR yang terfokus pada upaya peningkatan praktik pendidikan,
CAR, yang juga sering dinamai community-based inquiry atau collaborative action
research, berorientasi pada pemberdayaan atau perubahan dalam masyarakat atau
kehidupan sosial. Tujuan CAR adalah meningkatkan kualitas kehidupan organisasi,
komunitas, dan keluarga dengan cara memberdayakan setiap individu untuk memeriksa
bagaimana bagaimana pemahaman, kemahiran, keyakinan, dan pengetahuannya
membentuk dan sekaligus membatasi tindakan-tindakannya.
Paparan di atas memperlihatkan bahwa obyek kajian CAR jauh lebih luas daripada
PAR yang terfokus pada sebuah masalah yang spesifik di sekolah. CAR lazim digunakan
dalam penelitian sosial yang mencakup industri, perusahaan, dan organisasi di luar bidang
pendidikan. Meskipun demikian, CAR juga biasa diterapkan di dunia pendidikan dengan
tujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas setiap individu di sekolah-
sekolah, sistem pendidikan, dan komunitas-komunitas pendidikan. Contoh-contoh isu
yang diteliti dengan CAR, misalnya: (1) dampak sosial, ekonomi, dan politis pelaksanaan
Ujian Nasional di Indonesia; (2) pengaruh penerapan model interaksi yang membungkam
6
suara siswa-siswa minoritas; (3) penghilangan tokoh-tokoh dan peristiwa penting dalam
teks sejarah yang digunakan di SMA.

Prinsip-prinsip PTK
Agar memperoleh informasi atau kejelasan tetapi tidak menyalahi kaidah yang
ditentukan, peneliti perlu memahami dan memenuhi tujuh prinsip berikut apabila sedang
melakukan penelitian tindakan kelas (Sulipan, n.a.).
Pertama, PTK dilakukan tanpa mengubah situasi yang biasa terjadi. Jika penelitian
dilakukan dalam situasi yang berbeda dari biasanya, maka hasilnya mungkin berbeda jika
dilaksanakan lagi dalam situasi aslinya. Oleh karena itu penelitian tindakan tidak perlu
mengadakan waktu khusus untuk diamati, jadi harus dibiarkan apa adanya namun yang
berbeda adalah adanya tindakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
Kedua, PTK yang dilakukan berkaitan dengan tugas peneliti sebagai guru atau
kepala sekolah. Jadi tindakan yang dilakukan merupakan tindakan nyata yang dilakukan
dalam tugasnya sehari-hari dan secara empirik memang terjadi di lapangan.
Ketiga, PTK merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan mutu sesuatu yang sudah
ada dan biasa menjadi lebih baik; atau merupakan sebuah upaya untuk memecahkan
masalah yang terjadi di kelas atau di sekolahnya.
Keempat, PTK dilakukan bukan karena ada paksaan atau permintaan dari pihak lain,
tetapi atas dasar sukarela, karena mengharapkan hasil yang lebih baik.
Kelima, PTK dilakukan secara sistemik (terencana, terarah, dan teratur berdasarkan
sebuah mekanisme tertentu). Jadi, jika peneliti mengupayakan cara mengajar yang baru,
dia juga harus memikirkan tentang langkah-langkahnya, bahan ajarnya, sarana pendukung
dan hal-hal yang terkait dengan cara baru tersebut. Jika kepala sekolah akan melakukan
upaya manajemen yang baru maka harus dipersiapkan prosedurnya, kebijakan
pendukungnya serta sosialisasi implementasinya.
Keenam, PTK harus dapat menunjukkan bahwa tindakan yang diberikan kepada
siswa memang berbeda dari apa yang sudah biasa dilakukan. karena yang biasa sudah jelas
menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Oleh karena itu guru melakukan tindakan
yang diperkirakan dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Ketujuh, PTK berpusat pada proses, bukan hanya pada hasil. PTK merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh guru atau peneliti untuk memperbaiki atau meningkatkan
hasil dengan mengubah cara, metode, pendekatan atau strategi yang berbeda dari biasanya.
7
Cara, metode, pendekatan atau strategi tersebut adalah proses yang harus diamati secara
cermat, dilihat kelancarannya, kesesuaian/penyimpangannya dari rencana, kesulitan atau
hambatan yang dijumpai, sejauh mana proses ini sudah memenuhi harapan, dan
bagaimana kaitannya dengan hasil setelah satu atau dua siklus. Jadi, dalam PTK harus ada
indikator proses dan indikator keberhasilan.

Proses PTK
PTK merupakan suatu proses dinamis yang berlangsung dalam satu atau lebih siklus,
dan masing-masing siklus terdiri dari empat momen (fase) dalam spiral perencanaan,
tindakan (action), observasi, dan refleksi yang oleh Kemmis dan McTaggart (1988)
diilustrasikan dalam model PTK spiral
(lihat gambar 1). Jumlah siklus dalam satu
penelitian tergantung pada kebutuhan.
Siklus pertama bisa diulangi menjadi
siklus kedua, yang kemudian diulangi lagi
menjadi siklus ketiga dan selanjutnya
hingga peneliti menganggap hasil yang
ada sudah memuaskan dan saatnya untuk
menghentikan penelitian. (Disarankan agar
satu PTK dilaksanakan minimal dalam dua
siklus, karena hasil refleksi siklus pertama,
sedikit atau banyak, akan memberikan
manfaat kepada tindakan di siklus kedua.
Dalam praktik, Kemmis dan
Gambar 1: Model Spiral PTK Kemmis dan Taggart
McTaggart menyatakan model ini tidak
boleh digunakan secara kaku, karena dalam kenyataan proses rencana—tindakan—
observasi—refleksi tersebut tidak berlangsung serapi model spiral tersebut. Fase-fase itu
biasanya berlangsung tumpang tindih.

1. Perencanaan
Pada fase ini peneliti mengidentifikasi suatu masalah atau isu dan mengembangkan
suatu rencana tindakan untuk memperoleh solusi atau perbaikan bagi masalah tersebut.
Masalah yang akan diteliti hendaklah berhubungan dengan praktik pengajaran yang
8
berlangsung atau akan dilaksanakan dan ingin diubah oleh peneliti. Isu yang tidak akan
diterapkan untuk perbaikan praktik pembelajaran idak ada manfaatnya untuk diteliti.
Selain itu, masalah tersebut harus berada dibawah kendali peneliti, seperti strategi
pembelajaran, pemberian tugas, dan aktivitas kelas. Beberapa masalah yang sesuai
untuk diteliti adalah: ―Apakah kebijakan yang mewajibkan mahasiswa hadir pada setiap
perkuliahan meningkatkan hasil pencapaian belajar? Apakah pemberian tugas dalam
bentuk yang variatif meningkatkan pemahaman siswa?
Pada fase perencanaan ini peneliti perlu memperkaya pengetahuannya tentang
masalah yang akan diteliti dengan cara mempelajari informasi yang relevan melalui
studi kepustakaan. Dia juga harus mempertimbangkan: (i) strategi penelitian apa yang
sesuai digunakan memecahkan masalah tersebut; dan (ii) perbaikan yang bagaimana
yang diperkirakan mungkin dicapai.

2. Tindakan
Fase tindakan merupakan tahapan pelaksanaan tindakan-tindakan (intervensi) yang
telah direncanakan. Pada fase ini peneliti peneliti sudah harus benar-benar menguasai
skenario pengajaran sebelum menerapkannya. Fokus perhatian peneliti pada fase bukan
pada bagaimana mengimplementasikan rencana atau pada proses peningkatan
keterampilan mengajar guru, tetapi pada proses menggunakan strategi yang
direncanakan untuk melihat seberapa jauh strategi itu mengatasi masalah yang ingin
diatasi. Peneliti disarankan untuk berkolaborasi dengan satu atau lebih kolega yang
mengampu mata pelajaran yang sama. Kolaborator tersebut bertugas mengamati
implementasi perencanaan dan melihat seberapa jauh strategi itu memecahkan masalah.

3. Observasi
Observasi merupakan proses pengumpulan data mengenai tingkat keberhasilan
strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah. Observasi difokuskan pada data
yang berhubungan dengan kriteria keberhasilan yang telah ditentukan. Pertanyaan-
pertanyaan yang lazim diajukan pada fase observasi adalah: ―Seberapa efektif strategi
yang digunakan memecahkan masalah?‖ bukan ―Seberapa baik pengajaran guru?‖ atau
―Seberapa baik strategi pengajaran itu diimplementasikan oleh guru?‖ Kedua
pertanyaan terakhir adalah pertanyaan untuk observasi ketika mahasiswa melakukan
praktik mengajar, bukan dalam observasi PTK.
9
Pada fase observasi ini, peneliti dan kolaborator juga menyepakati sumber dan
jenis data yang akan dikumpulkan serta teknik dan instrument yang akan digunakan
untuk mengumpulkan data tersebut. Proses penjaringan data sesuai dengan kesepakatan
yang diambil juga dilakukan pada fase observasi ini.

4. Refleksi
Refleksi merupakan proses analisis data dan diskusi (keduanya selalu berlangsung
tumpang tindih) untuk menentukan sejauh mana data yang dijaring menunjukkan
keberhasilan strategi mengatasi masalah. Refleksi juga menunjukkan faktor-faktor apa
saja yang mendukung keberhasilan strategi atau persoalan-persoalan tambahan apa
yang muncul selama proses implementasi strategi.
Analisis terhadap hasil observasi dilakukan dengan membandingkan data yang
terjaring dengan criteria keberhasilan yang telah ditargetkan. Sebagai contoh, sebuah
strategi yang diarahkan untuk meningkatkan kemahiran para dosen di sebuah program
studi menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembelajaran
melalui metode pelatihan eksplisit-sistematis dianggap berhasil bila (i) para dosen
tersebut menyenangi pembelajaran bermedia TIK; (ii) peneliti/instruktur merasa
nyaman menggunakan strategi pelatihan eksplisit-sistematis; (iii) para dosen semakin
aktif menggunakan TIK dalam aktivitas pembelajaran; (iv) para dosen berinisiatif untuk
saling membantu selama aktivitas pelatihan; dan (v) kemahiran para dosen
menggunakan TIK dalam aktivitas pembelajaran seperti terungkap melalui penilaian
mahasiswa yang memberikan nilai rata-rata 4,6 (dalam skala 5) kepada dosen melalui
angket.
Refleksi yang dilakukan melalui proses analisis data dan diskusi ini berfungsi
untuk menilai kriteria keberhasilan yang mana yang sudah tercapai, mana yang belum
tercapai dan apa yang menyebabkan kriteria itu belum tercapai. Hasil penilaian ini akan
memperlihatkan unsur strategi yang perlu diperbaiki. Dengan demikian peneliti dan
kolaborator dapat memperbaiki strategi tersebut secara optimal sehingga
pengimplementasian strategi revisi ini nantinya dapat mencapai semua target
keberhasilan.
Strategi yang sudah diperbaiki (revised strategy) inilah yang menjadi fase
perencanaan (plan) pada siklus kedua, yang nantinya diimplemetasikan, diobservasi,
dan direfleksi kembali. Siklus tersebut dapat diulang beberapa kali hingga seluruh
10
kriteria keberhasilan tercapai. Jumlah siklus tidak dapat diprediksi pada awal penelitian.
Jika setelah siklus pertama semua kriteria keberhasilan dapat dicapai maka penelitian
dapat dihentikan. Namun selama criteria-kriteria keberhasilan itu belum tercapai, revisi
terhadap strategi perlu dilakukan dan siklus berikutnya dilaksanakan.

Langkah-Langkah Pelaksanaan PTK


Sebagai penelitian berbentuk proses yang dinamis dan fleksibel, langkah-langkah
PTK tidak dapat diformulasikan menjadi sebuah cetak biru yang berlaku bagi setiap PTK.
Sehubungan dengan itu langkah-langkah PTK yang diuraikan dalam teori-teori PTK harus
diterima sebagai panduan umum. Prosedur berikut diusulkan oleh Cohen, Manion, dan
Morrison (dalam McKay, 2008: 31-32) yang menggambarkan langkah-langkah
pelaksanaan PTK dalam delapan tahapan.

Tahap 1: Peneliti mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memformulasikan sebuah masalah


yang dianggap perlu diatasi.
Tahap 2: Peneliti berkonsultasi dengan berbagai pihak yang tertarik, seperti guru atau
peneliti lain untuk merumuskan masalah menjadi lebih jelas dan spesifik dan
sedapat mungkin mengidentifikasi penyebabnya. Tahapan ini bersifat sangat
krusial karena mencakup penentuan tujuan dan asumsi penelitian.
Tahap 3: Peneliti memperkaya pengetahuannya tentang masalah yang akan diteliti dengan
cara mempelajari informasi yang relevan melalui studi kepustakaan. Jika
tersedia, peneliti sangat disarankan untuk membaca hasil-hasil penelitian
terdahulu tentang masalah yang sama.
Tahap 4: Berdasarkan studi kepustakaan di tahap 3, jika dibutuhkan, peneliti dapat
mengubah atau memperbaiki fokus penelitian. Selain itu, asumsi penelitian yang
dibuat pada tahap 2 juga bisa dinyatakan secara lebih terperinci.
Tahap 5: Peneliti menetapkan desain penelitian, termasuk partisipan, sumber dan jenis
data yang akan dijaring, perlengkapan, dan prosedur.
Tahap 6: Peneliti menjelaskan bagaimana penelitian akan dievaluasi secara berkelanjutan
sesuai dengan jumlah siklus yang terlaksana.
Tahap 7: Peneliti melaksanakan penelitian untuk menjaring data.

11
Tahap 8: Peneliti melaksanakan refleksi untuk menganalisis data, menarik kesimpulan,
dan mengevaluasi penelitian. Jika kriteria keberhasilan ternyata belum dicapai,
peneliti perlu mempersiapkan pelaksanaan siklus kedua.

Metode Penjaringan Data PTK


Teknik pengumpulan data yang lazim dilakukan dalam PTK adalah observasi,
wawancara, kuesioner, dokumentasi dan tes. Sebagai teknik penjaringan data, observasi
meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan menggunakan
seluruh alat indera. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman,
pendengaran, peraba dan pengecap yang di dalam penelitian dilakukan dengan tes,
kuesioner, rekaman gambar, rekaman suara. Observasi dapat dilakukan dengan dua cara:
non-sistematis (dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen
pengamatan) dan sistematis (dilakukan dengan menggunakan pedoman sebagai
pengamatan).
Teknik wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara, khususnya informasi
tentang keadaan seseorang (seperti latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian,
dan sikap). Sebagai teknik penjaringan data, teknik dokumentasi dilakukan dengan cara
mengumpulkan dan mencermati benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah,
dokumen, peraturan-peraturan notulen rapat, catatan harian dan sebagainya. Kuesioner
adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memproleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Teknik lain
yang lazim digunakan untuk menjaring data adalah tes—serentetan pertanyaan atau latihan
atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi,
kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes dapat berbentuk
tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik

Validitas dan Reliabilitas PTK


Sebagai sebuah penelitian, PTK perlu memenuhi persyaratan validitas dan
reliabilitas data. Validitas, yang dibutuhkan untuk meningkatkan objektivitas penelitian,
dapat ditingkatkan melalui trianggulasi, baik trianggulasi peneliti, trianggulasi waktu,
trianggulasi ruang, dan trianggulasi teoretis (Burns, 1999: 164). Trianggulasi peneliti
dilakukan dengan menugaskan beberapa peneliti mengumpulkan data yang sama hingga
12
data yang diperoleh ‗jenuh‘ atau konstan. Misalnya, dua atau tiga peserta penelitian dapat
mengamati proses pembelajaran yang sama dalam waktu yang sama pula. Trianggulasi
waktu dapat dilakukan dengan mengumpulkan data dalam waktu yang berbeda, sedapat
mungkin meliputi rentangan waktu tindakan dilaksanakan dengan frekuensi yang memadai
untuk menjamin bahwa efek perilaku tertentu bukan hanya suatu kebetulan. Misalnya, data
tentang proses pembelajaran dengan seperangkat teknik tertentu dapat dikumpulkan pada
jam awal, tengah dan siang pada hari yang berbeda dan jumlah pengamatan yang
memadai, katakanlah 4-5 kali. Trianggulasi ruang dapat dilakukan dengan mengumpulkan
data yang sama di tempat yang berbeda. Sebagai contoh, sebuah PTK dapat dilaksanakan
pada dua atau tiga kelas yang setingkat dan data yang sama dikumpulkan dari kelas-kelas
tersebut. Trianggulasi teoretis dapat dilakukan dengan memaknai gejala perilaku tertentu
dengan dituntun oleh beberapa teori yang berbeda tetapi terkait. Misalnya, perilaku
tertentu yang menyiratkan motivasi dapat ditinjau dari teori motivasi aliran yang berbeda:
aliran behavioristik, kognitif, dan konstruktivis.
Mengingat bahwa PTK merupakan penelitian yang situasinya terus berubah dan
prosesnya bersifat transformatif tanpa kendali apapun (alami), sulit untuk mencapai
tingkat reliabilitas yang tinggi dalam penelitian ini. Dalam kenyataan, tingkat reliabilitias
tinggi hanya dapat dicapai dengan mengendalikan hampir seluruh aspek situasi yang dapat
berubah (variabel), dan hal ini tidak mungkin dan tidak baik dilakukan dalam PTK karena
akan melanggar salah satu dengan ciri khas PTK—kontekstual/situasional dan
terlokalisasi, dengan perubahan yang menjadi tujuannya. Karena pengendalian seluruh
aspek situasi tidak menungkin dilakukan, reliabilitas PTK dapat dilakukan dengan cara
melampirkan data asli, seperti transkrip wawancara dan catatan lapangan, menggunakan
lebih dari satu sumber data untuk mendapatkan data yang sama dan kolaborasi dengan
sejawat atau orang lain yang relevan.

Status PTK Sebagai Metode Penelitian


Sebagai catatan akhir, perlu digarisbawahi bahwa hingga saat ini masih terdapat
berbagai penganut fanatik penelitian konvensional yang mempertanyakan status PTK
sebagai sebuah metode penelitian. Pada umumnya keberatan mereka diajukan melalui tiga
argumen (Koshy, 2005: 30-31). Pertama, PTK tidak memiliki prosedur yang tetap (fixed)
dan validitasnya rendah. Keberatan terhadap proses yang tidak fixed ini pada dasarnya
kurang mendasar, karena PTK meneliti proses yang dinamis, tidak mungkin hal itu
13
dilaksanakan dengan prosedur yang kaku. Keberatan terhadap validitas data PTK juga
kurang mendasar, karena hal itu dapat ditingkatkan oleh peneliti melalui triangulasi untuk
mencegah bias.
Keberatan kedua yang diajukan terhadap PTK adalah bahwa temuan PTK tidak
dapat digeneralisasi. Argument ini juga tidak mendasar karena PTK tidak bertujuan untuk
menjaring data yang akan digeneralisasi tetapi memperoleh pengetahuan berdasarkan
tindakan dalam konteks tersendiri. Temuan-temuan PTK hanya dapat digeneralisasikan
pada situasi dan konteks dimana penelitian itu dilakukan.
Keberatan ketiga adalah argumen bahwa cakupan dan manfaat PTK sangat terbats.
Argumen ini juga kurang mendasar karena PTK pada hakikatnya diarahkan untuk
memecahkan masalah dalam konteks khusus, dan pengembangan strategi untuk
memecahkan masalah dengan ruang lingkup terbatas juga merupakan sumbangan kepada
ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan itu, Nunan (1992), menegaskan bahwa PTK harus
diterima sebagai sebuah metode penelitian dengan karakteristik tersendiri.

Kesimpulan
PTK merupakan suatu penelitian proses yang dilaksanakan praktisi pendidikan untuk
mengkaji praktik yang mereka laksanakan untuk meningkatkan praktik tersebut atau untuk
memecahkan masalah yang timbul dalam proses tersebut. PTK bisa dilakukan oleh
seorang guru yang dibantu oleh teman sejawat sebagai pengamat, oleh beberapa guru
sebagai tim, atau oleh seorang guru dengan seorang peneliti. Penelitian dilaksanakan
sebagai suatu proses dinamis yang berlangsung dalam satu atau lebih siklus, dan masing-
masing siklus terdiri dari empat fase, yakni: tindakan, observasi, dan refleksi. Jumlah
siklus dalam satu PTK tergantung pada kebutuhan. Siklus pertama bisa diulangi menjadi
siklus kedua, yang kemudian diulangi lagi menjadi siklus ketiga dan selanjutnya hingga
peneliti menganggap hasil yang ada sudah memuaskan dan saatnya untuk menghentikan
penelitian.
Walaupun kadang-kadang PTK dikritik sebagai suatu penelitian informal karena
pelaksananya adalah guru (bukan peneliti akademis) hasil-hasil penelitian menunjukkan
bahwa PTK sangat sesuai untuk sektor pandidikan karena tujuannya membantu guru
(sebagai peneliti), memecahkan masalah melalui tindakan. PTK memungkinkan peneliti
mamahami pembelajaran masing-masing dan mengatasi masalah yang timbul. Oleh karena
itu, PTK sangat sesuai dan bermanfaat bagi bidang pendidikan.
14
Referensi

Burns, Anne. 1999. Collaborative AR for English Teachers. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
_____ 2010. Doing AR in English Language Teaching. New York: Routledge.
Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. 2000. Research Methods in Education. London,
UK: Routledge Falmer.
Cowie, N. 2001. ―It‘s not ARyet, but I‘m getting there‖ approach to teaching writing. In J.
Edge (Ed.), AR (pp. 21–33). Alexandria, VA: TESOL.
Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating
Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson.
Ferrance, E. 2000, Themes in Education: Action Research, The Education Alliance:
Brown University, Providence, Rhode Island.
Gabel, Dorothy. 1995. ―An Introduction to Action Research‖. Disampaikan dalam pidato
pembukaan National Association for Research in Science Teaching (NARST) di San
Francisco, April 24, 1995.
Gall, J.P., Gall, M.D., and Borg, W.R. 1999. Applying Educational Research: A Practical
Guide (4th Ed.). New York: Longman.
Johnson, A.P. 2005. A Short Guide to AR (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Kemmis, S., & McTaggart, R. (Eds.). 1988. The AR Planner. Geeloong, Victoria,
Australia: Deakin University Press.
Koshy, Valsa. 2005. AR for Improving Practice. Paul Chapman Publishing London.
McKay, Sandra Lee. 2008. Researching Second Language Classrooms. New jersey:
Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers
McKeachie, W.J. 1999. Teaching Tips: Strategies, Research and Theory for College and
University Teachers. Boston: Houghton Mifflin.
McMillan, J. H., & Schumacher, S. 2006. Research in Education: Evidence-Based Inquiry
(6th ed.). Boston: Pearson.
Gwynn, Mettetal. 2002. ―Improving Teaching through Classroom Action Research‖.
Diterbitkan dalam jurnal Toward the Best in the Academy Vol. 14, No. 7, 2002-2003
diunduh pada tanggal 27 Oktober 2009 dari: http://academic.
udayton.edu/FacDev/Newsletters/EssaysforTeaching Excellence/
_____ 2001. ―The What, Why and How of Classroom Action Research‖. Diterbitkan
dalam jurnal The Journal of Scholarship of Teaching and Learning (JoSoTL)
Volume 2, Number 1 (2001).
Mills, G.E. 2003. Action Research: A Guide for the Teacher Researcher (2nd ed.). New
Jersey: Merrill Prentice Hall.
Nunan, D. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Sagor, R. 2004. The AR Guidebook: A Four-Step Process for Educators and School
Teams. Thousand Oaks, CA: Sage.
Sulipan. (n.a.) ―Penelitian Tindakan Kelas‖. Makalah, disusun untuk Program Bimbingan
Karya Tulis Ilmiah secara Online Dan Program Peningkatan Kompetensi Guru
Sekolah Indonesia di Luar Negri. Diunduh pada tanggal 15 Juni 2008 dari:
http://massholeh.webs.com/sulipan.pdf
Tomal, D.R. 2005. AR for Educators. Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield.
Weimer, M. 1996. Improving your Classroom Teaching. Newbury Park, CA: Sage.

15

You might also like