You are on page 1of 20

BAB II

MANAJEMEN SEKOLAH BERWAWASAN GENDER

Empat komponen pendidikan yang dapat dijumpai


di lingkungan sekolah

A. Organisasi dan Budaya Sekolah


B. Sarana dan Prasarana
C. Administrasi Sekolah
D. Kebijakan dan Pengelolaan Sekolah

1
A. Organisasi Dan Budaya Sekolah
Pengertian:
Seluruh pengalaman psikologis warga sekolah (sosial, emosional dan intelektual)
yang diserap mereka selama berada dalam lingkungan sekolah mencerminkan KKG

1. Hubungan timbal balik antara budaya sekolah dengan manajemen sekolah

2
2. Masalah-masalah dalam budaya sekolah yang sensitif
gender; yaitu masih terdapatnya gejala kesenjangan dan bias
gender yang dapat diidentifikasi di dalam lingkungan sekolah:
partisipasi murid, stereotipi, diskriminasi gender, kekerasan
berbasis gender.
3. Manfaat budaya sekolah sensitif gender; yaitu terciptanya
budaya sekolah yang memiliki ciri-ciri kesetaraan dan keadilan
gender dalam bentuk sikap, norma dan relasi warga sekolah,
sehingga laki-laki dan perempuan memperoleh keuntungan:
akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pendidikan.
4. Analisis budaya sekolah; analisis budaya adalah analisis
situasi umum, perilaku dominan dan kebiasaan yang diterima
dan dianggap wajar yang membentuk pola relasi antar personal
dan etos kerja sekolah. Kultur sekolah meliputi aspek-aspek
sebagai berikut: (1) Ekspresi verbal; (2) Ekspresi non-verbal;
(3) Lingkungan internal dan eksternal, dan (4) Kultur sekolah.
Sekolah perlu dibangun di atas landasan keadilan dan
kesetaraan gender, terutama yang berkaitan dengan
perkembangan sikap, norma dan hubungan antar gender

3
Langkah menciptakan Budaya Sekolah yang Sensitif Gender:

 Menciptakan rasa aman dan nyaman tanpa ada kekerasan


fisik, psikis, seksual berbasis perbedaan jenis kelamin
 Memberikan penghargaan dan penghormatan sesuai
dengan posisi dan perannya masing-masing
 Menghindari terjadinya diskriminasi gender baik
terhadap laki-laki maupun terhadap perempuan
 Menghilangkan stereotipi gender baik mengenai fungsi
dan peran laki-laki maupun perempuan
 Tidak menggunakan simbol-simbol, gambar, poster, lukisan
dan bahasa verbal maupun non-verbal yang dapat
menimbulkan pelecehan laki-laki maupun perempuan

4
Karakteristik Budaya Sekolah yang Bias Dan Sensitif
Gender
Karakteristik
Aspek-aspek
No
Situasi Bias gender Sensitif gender

1. Pola komunikasi Bersifat hirarkhis dan dominatif Bersifat setara dan proporsional

2. Idiom-idiom Merendahkan dan melecehkan Saling menghormati

3. Lelucon Bersifat merendahkan, mengejek dan melecehkan Bersifat menyegarkan dan menghibur

4. Pajangan dan dekorasi Bernuansa melecehkan, meremehkan, Bernuansa mendorong warga sekolah
menempatkan sebagai objek: kalender, layar untuk bersikap dan perilaku santun
komputer, dll terhadap siapapun

5. Pengaturan kerja Bersifat dominatif, meminggirkan aspirasi dan Bersifat partisipatif, menghindari
internal potensi salah satu jenis kelamin marjinalisasi jenis kelamin tertentu dan
sinergi

6. Penawaran peran Mengarah pada peran stereotipi yang merugikan Membiasakan untuk menghindari peran
bagi capaian target bersama stereotipi yang merugikan

7. Kultur birokrasi Hirakhis, dominatif dan paternalistik Demokratis, akomodatif dan toleran

5
Warga Sekolah dalam Menciptakan Budaya Sensitif Gender
NO UNSUR AKTIVITAS

1. Guru Memberikan keteladanan yang setara gender;


Menerapkan pembelajaran adil gender;
Memberikan penilaian yang tidak diskriminatif;
Membangun relasi gender yang tidak diskriminatif.
2. Kepala Sekolah Memberi keteladanan setara dan adil gender
Melakukan kebijakan yang setara dan adil gender
Menegakkan peraturan tanpa diskriminasi gender
Mengembangkan relasi warga sekolah yang setara dan adil gender.
3. Murid Berperilaku tidak melecehkan gender tertentu
Mematuhi kebijakan sekolah yang responsif gender
Menerapkan kesetaraan gender dengan menempatkan diri sesuai dengan posisinya
Hubungan sosial setara sesama teman tanpa diskriminasi gender.
4. Karyawan Memberi keteladanan yang setara dan adil gender
Memberikan pelayanan tanpa diskriminasi gender
Melaksanakan pekerjaan tanpa stereotype gender dan tidak memihak
Menjalankan peraturan tanpa diskriminasi gender
Menerapkan kesetaraan gender di lingkungan kerjanya
Mendukung kebijakan sekolah yang berorientasi kesetaraan dan keadilan gender
5. Komite Sekolah Komite sekolah memberi keteladanan dalam kesetaraan dan keadilan gender
Melakukan kebijakan responsif gender
Membiasakan pemberian akses, peran pengambilan keputusan atau kontrol yang sama antar laki-laki
dan perempuan
Mendorong terwujudnya partisipasi kelompok marjinal dalam kegiatan sekolah 6
B. Sarana dan Prasarana

 Dalam mewujudkan pendidikan di sekolah yang


berwawasan gender (PSBG), pengembangan
sarana dan prasarana pendidikan yang responsif
gender perlu dilakukan sehingga semua komponen
sekolah yang terlibat di dalamnya memiliki akses
yang sama untuk mendayagunakannya dengan
tanpa membedakan jenis kelamin.

7
Tabel 6: Sarana dan Prasarana yang Responsif
Gender

Aspek Indikator
Infrastruk-  Tersedianya sarana-prasarana yang
tur pendidik- mempertimbangkan kebutuhan berbeda
an di sekolah antara laki-laki dan perempuan.
 Pemanfaatan sarana-prasarana tidak terjadi
dominasi atas dasar perbedaan jenis
kelamin.
 Meninjau kembali sarana-prasarana yang
penggunaannya tidak ramah (kesulitan)
pada jenis kelamin tertentu.
 Menyediakan sarana-prasarana untuk
menunjang fungsi reproduksi dan kultural,
misalnya: tempat penitipan anak, kamar
mandi terpisah, dan transportasi yang aman,
dll.
8
C. Administrasi Sekolah
 data yang terpilah antara laki-laki dan
perempuan dapat disajikan pada berbagai
dokumen sekolah. Indikator yang
dikembangkan dalam sistem pendataan dan
informasi tersebut diusahakan mencakup
unsur-unsur input, proses, dan hasil.
 diprogramkan pula penguatan fungsi
monitoring dan evaluasi.

9
D. Kebijakan dan Pengelolaan Sumberdaya
1. Pertama, APBS yang Responsif Gender. APBS yang berorientasi
terhadap pemenuhan kebutuhan untuk laki-laki dan perempuan secara
setara, adil, dan seimbang.
2. Kedua, APBS dalam perwujudan pendidikan yang Responsif Gender;
APBS adalah instrumen yang cukup penting dalam rangka menciptakan
iklim sekolah yang responsif gender,
3. Ketiga, Indikator Anggaran Pendidikan yang Responsif Gender; untuk
menyusun indikator APBS dan kesetaraan gender digunakan beberapa
pertanyaan kunci sebagai berikut.
 Seberapa besar anggaran yang diperuntukkan pada kebutuhan perempuan
sebagai tindakan khusus (affirmative action)?
 Seberapa besar anggaran untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan
gender di sekolah?
 Seberapa besar anggaran untuk kebijakan dan program sekolah yang
responsif gender dengan indikator akses, partisipasi, kontrol dan
manfaatnya untuk laki-laki dan perempuan secara setara dan adil gender

10
PEMBELANJAAN SPESIFIK GENDER

KATEGORI PEMBELANJAAN UNTUK MENDORONG


INDIKATOR KESETARAAN GENDER
APBS

PEMBELANJAAN UNTUK MENDORONG


PUG

11
E. Manajemen Sekolah Responsif
Gender
 Menyediakan akses yang sama bagi laki-laki maupun
perempuan untuk berperan dan mendapatkan manfaat
yang sama bagi keduanya.
 Menghargai adanya karakter kerja, kesempatan dan
tugas kultural yang berbeda antara perempuan dan
laki-laki dalam menjalankan tugas kedinasan.
 Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan
kepentingan yang sama dalam menempati setiap
posisi, kontrol dan manfaat yang sama.

12
1.Tupoksi Sekolah untuk
menerapkan MBS Responsif Gender
 Kesetaraan dan keadilan gender dapat diintegrasikan melalui
tugas dan fungsi (tupoksi) sekolah dalam menerapkan MBS
yang meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
 pengelolaan proses belajar mengajar
 perencanaan, evaluasi, dan supervisi
 pengelolaan kurikulum dan pembelajaran
 pengelolaan ketenagaan
 pengelolaan fasilitas
 pengelolaan keuangan
 pelayanan siswa
 peran serta masyarakat
 pengelolaan budaya sekolah.

13
2. Hasil MBS Responsif gender
 Penerapan MBS responsif gender diharapkan dapat
mewujudkan sekolah yang berprestasi bagi murid
perempuan dan laki-laki. Sekolah berprestasi dapat
dikategorikan menjadi dua; yaitu prestasi akademik dan non
akademik.
 Pertama, Prestasi akademik; murid laki-laki dan perempuan sama-
sama mempunyai prestasi akademik berbentuk nilai NUN, UAN yang
tinggi, juara karya ilmiah, juara lomba-lomba akademik (seperti:
Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan sebagainya).
 Kedua, Prestasi non akademik; murid laki-laki dan perempuan sama-
sama mempunyai prestasi non akademik berupa semangat/kemauan
belajar seumur hidup, mencintai ilmu, toleransi, disiplin, taat
beragama, kerajinan, memiliki cita rasa seni yang tinggi.
 Ketiga, tahapan mewujudkan MBS responsif gender dengan
melakukan sosialisasi tentang MBS Responsif gender.

14
Tahapan sosialisasi tentang MBS responsif gender:
 .Merumuskan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah dengan memasukkan
kesetaraan gender sebagai bagian integral dan eksplisit.
 Mengidentifikasi fungsi-fungsi sekolah yang menggunakan prinsip MBS dengan
mengintegrasikan masalah gender yang diperlukan untuk mencapai sasaran.
 Melakukan analisis SWOT untuk mengetahui potensi pengembangan kesetaraan
gender dalam perencanaan program dan pengembangan strategis untuk
mencapai sasaran.
 Mengidentifikasi langkah-langkah pemecahan masalah terkait dengan hambatan
kesetaraan gender di sekolah akibat konstruksi sosial budaya.
 Menyusun rencana dan program peningkatan mutu yang responsif terhadap
perbedaan gender sebagai kostruksi sosial dengan memperhatikan kebutuhan
gender praktis dan gender strategis.
 Melakukan monitoring dan evaluasi dengan menggunakan indikator kesetaraan
gender dan indikator kebijakan responsif gender.
 Merumuskan sasaran mutu baru melalui reformulasi manajemen sekolah yang
bias atau netral gender menuju manajemen responsif gender.

15
16
Gambar 3: Manajemen Netral, Bias
Dan Responsif Gender

17
KEBUTUHAN GENDER
KEBUTUHAN GENDER PRAKTIS KEBUTUHAN GENDER STRATEGIS
Kebutuhan untuk mendukung pelaksanaan peran Kebutuhan untuk mengubah relasi dan peran
gender konvensional sehingga tidak menghalangi gender tradisional guna mencapai target
target yang diharapkan. manajemen yang diharapkan.
1) Memberlakukan "perlakuan khusus" dalam
Mengupayakan terjadinya fleksibilitas peran antara waktu tertentu (affirmative action) kepada
laki-laki dan perempuan melalui : perempuan untuk meningkatkan ketrampilan
1) Penyadaran terhadap seluruh staf, partner staf dan dan kapasitas manajerial.
stakeholder yang lain. 2) Misalnya : Menerapkan kuota 30% dalam
2) Mempertahankan peran gender konvensional. peran yang terkait dengan pengambilan
Misalnya: menyediakan tempat penitipan anak bagi keputusan.
guru/pegawai agar bisa tetap menjalankan peran 3) Memberikan bantuan pada perempuan untuk
gender konvensionalnya. penguatan motivasi dalam pemberdayaan diri.
3) Mengatur jadwal mengajar yang disesuaikan dengan
kegiatan reproduksi, misalnya: guru yang memiliki
anak balita diberi jam agak siang, atau tidak diberi
tugas guru kelas.
4) Mengatur waktu rapat dengan mempertimbangkan
peran-peran gender konvensional.

18
3. Karakteristik MBS yang Efektif
dan Responsif gender
 MBS yang yang efektif adalah yang memiliki
karakteristik yang responsif gender, baik yang
berkaitan dengan sekolahnya itu sendiri,
kepala sekolah, guru, serta kurikulum dan
pembelajaran.

19
Beberapa karakteristik yang cukup penting
adalah sebagai berikut:

 Pertama, sekolah memiliki visi dan misi yang berperspektif


gender
 Kedua, kepala sekolah memiliki karakteristik yang profesional
dan sensitif Gender.
 Ketiga, karakteristik guru yang profesional dan Sensitif Gender
 Keempat, kurikulum yang Seimbang dan Responsif Gender
 Kelima, lingkungan sekolah yang sensitif gender;
 Keenam, ramah terhadap perbedaan gender;
 Ketujuh, manajemen sekolah yang responsif gender;
 Kedelapan, upaya mewujudkan Komite Sekolah responsif
gender;

20

You might also like