You are on page 1of 6

RELASI AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA

Disusun oleh :
1. Muhammad Shokhib
2. Lutfina

Tingkat/Progam : I/S-1 PAI


Dosen Pembimbing : Sukarno, S.Ag, M.SI
Mata Kuliah : Ilmu Kewarganegaraan

UNWAHAS
Relasi Agama dan Negara

Membincang Negara dan agama adalah sebuah pembicaraan yang cenderung


mengarah pada ruang lingkup membangun persepsi. Ini bisa kita lihat bagaimana
penafsiran agama dan negara cenderung pada porsi bagaimana negara dan
bagaimana agama menjadi menarik untuk diketengahkan sebagai dua perbedaan.
Saya melihat selama ini orang mendefinisikannya baik peran dan fungsi
hubungan antara agama dan negara cenderung melihat pada sisi politis. Karena
itu berbagai kepentingan sosial-politik sangat mewarnai penggambaran konflik
kepentingan antara yang menghendaki agama sebagai dasar negara dengan
kalangan politik modern yang menolaknya.
Tapi bukan bagimana kita mempermasalahkan apakah mungkin antara agama
dapat berdampingan sesuai dengan apa yang kita bangun dan persepsikan; adil,
sejahtera dan berujung pada perdamaian. Maka menjadi sesuatu yang krusial bila
kita lihat sebab dan akibat dari konflik yang ada baik itu mempertahankan
bangunan keyakinan beragama dan bernegara. Bahkan acapkali darah menjadi
hiasannya.

Hakikat Agama
Agama adalah realitas yang selalu melingkupi manusia. Muncul dari berbagai
dimensi sejarah kehidupan. Karena itu tidak muda mendefinisikannya. Dapat
dipastikan akan selalu diwarnai oleh latar belakang pemikiran yang digelutinya.
Termasuk spesifikasi para ahli dalam ranah paradigma kajian yang
mengkhususkan pada agama tertentu.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta yang tersusun dari kata
”a” yang berati tidak dan “gam” yang berati pergi. Dalam bentuk harfiah yang
terpadu kata agama berati tidak pergi, tetap ditempat, langgeng abadi yang
diwariskan terus menerus dari satu generasi kepada generasi lainnya.
Secara umum kata agama berarti tidak kacau yang secara analitis kritis diuraikan
dengan cara memisahkan kata demi kata: “a” berati tidak dan “gama” berarti
kacau. Jadi kehidupan orang yang memeluk agama atau beragama akan
mengamalkan ajaran-ajaranya dengan sungguh sungguh tidak akan mengalami
kekacauan atau split personality.
Bahkan kalau kita rujuk dari berbagai referensi agama bisa menjadi definisi yang
multi interpretasi. Termasuk disetiap daerah dan pemeluknya cenderung terikat
pada khasanah maritimnya. Sehingga kita tidak terjebak pada ranah penafsiran
linier. Bahkan agama menut bahasa arab mempunyai banyak arti sesuai dengan
konteksnya, secara terminologis memiliki arti berbeda-beda bahkan setiap ahli
mengemukakan sesuai fokus keilmuannya. Tapi dari beberapa konsepsi yang ada
saya melihat agama merupakan satu syistem credo (tata keimanan atau
keyakinan) atas sesuatu yang mutlak diluar manusia. Agama juga sistem ritus
manusia kepada yang dianggapnya mutlak. Juga sistem norma yang mengatur
hubungan antara manusia dan sesama manusia, serta hubungan antara manusia
dan alam lainnya yan sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata
peribadatan yang dimaksud.

Hakikat Negara
Hakikat negara menjadi suatu hal yang penting ketika kita hidup dalam wilayah
kekuasaan. Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya
baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh
pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Bahkan negara merupakan
pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah
tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini.
Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat
negara itu berada. Yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui
oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada
wilayah tempat negara itu berada. Keberadaan negara, seperti organisasi secara
umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama
atau cita-citanya.
Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai
Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat
sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita
bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum
tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara
dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk
mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk
paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni
pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah
bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi
pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman.
Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua
rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam
perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi
warganya. Bahkan negara menjadi penting bila kita lihat dari fungsi dalam
mensejahterakan serta memakmurkan rakyat Melaksanakan ketertiban
Pertahanan dan keamanan Menegakkan keadilan.
Relasi Agama Dan Negara
Agama dan negara adalah dua istilah yang mempunyai keterikatan dan
keterkaitan. Baik darai sisi peran, fungsi hingga klasifikasi kepentingan. Bila
sejarah kia jadikan rujukan, maka banyak perlakuan berbeda dari kesaling pautan
antara negara dan agama. Keduanya saling mengisi denfan agama sebagai ajaran
yang mengikat untuk mempraktekan dan negara sebagai bagian yang mengikat
akan fungsi pelayanan atas kesepakatan kolektif.
Pada awalnya, terdapat tiga sistem hubungan antara keduanya yang hingga kini
masih sering dipermasalahkan oleh para cendekiawan. Pertama, hubungan
paralel. Dalam hal ini, terdapat suatu relasi yang tidak sejalan antara agama dan
negara. Di mana, antara keduanya sama-sama jalan dan menerapkan sistem
(pemerintahan) yang dimilikinya sendiri-sendiri. Agama menjalankan dan
berjalan pada sistem kepentingannya sendiri. Negara pun juga demikian adanya
dan hanya mementingkan keinginannya masing-masing. Sehingga terjadilah
suatu konsep yang tidak sejalan dan sepaham yang kemudian antara keduanya
tidak akan pernah bertemu dan bertutursapa sampai kapan pun.
Sementara, yang diinginkan banyak kalangan adalah adanya suatu hubungan dan
adanya pertemuan antar-keduanya. Kedua, hubungan linier. Hampir sama dengan
hubungan yang pertama, namun, ada perbedaan yang sedikit mencolok. Dalam
arti bahwa antara agama dan negara itu sama-sama jalan akan tetapi pada
akhirnya akan menemukan jalan kebuntuan. Dengan lain ungkapan, salah satu
dari mereka akan menafikan yang lain dan akan terjadi hegemoni dan dogma-
dogma bahwa ada salah satunya yang menjadi primadona (negara atau agama).
Mereka hanya menganggap bahwa itulah satu-satunya yang paling benar.
Padahal, masih ada yang lebih unggul darinya. Meski hal itu tidak sepenuhnya
sesuai, paling tidak, ada sedikit kesesuaian. Singkat kata, di sini, masih ada
pendikotomian yang sifatnya hanya mementingkan dan menganggap bahwa
dirinyalah yang paling benar (agama atau negara).
Ketiga, hubungan sirkuler. Dalam hubungan ini, antara agama dan negara, sama-
sama mempunyai posisi yang cukup penting dalam masyarakat. Artinya, sama-
sama jalan dan mempunyai suatu hubungan yang saling mengontrol. Dengan
begitu, adanya kekakuan, rigiditas, dan kekurangan, bahkan ketidaksesuaian
antara keduanya dapat dikurangi dan akan berkurang yang kemudian akan
tercipta suatu hubungan yang harmonis dan adanya saling keterkaitan antar-
keduanya.
Sehingga, hal ini dapat menjadi kontrol dan dapat saling mengisi kekurangan
yang melekat pada diri masing-masing dan harus bisa menerima kekurangan-
kekurangan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern. Dengan demikian,
diperlukan suatu hubungan yang cukup berarti antara agama dan negara, di mana,
agama itu bisa menjadi sistem kontrol dan melengkapi kekurangan yang terdapat
pada sebuah negara. Begitu juga negara bisa menjadi kontrol untuk agama, yang
mana agama itu, agar tidak menjalankan keinginannya sendiri secara individu,
melainkan harus ada campur tangan negara agar tercipta suatu tatanan kehidupan
yang sejahtera dan berlandaskan pada agama (Islam) dan negara.

Khasanah Multikulturalisme
Untuk melihat dan meninjau ulang hubungan antara agama dan negara. hubungan
antara keduanya yang semestinya, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi
dan budaya dalam realitas keberagamaan. Istilah multikulturalisme mengandung
tiga komponen penting, yakni terkait dengan kebudayaan,konsep ini merujuk
kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas
itu.Karena itu,multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan
sebagai cara pandang kehidupan manusia.Sebab,hampir semua negara di dunia
tersusun dari aneka ragam kebudayaan.Artinya,perbedaan menjadi asasnya dan
gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif.
Karena itu,multikulturalisme harus diterjemahkan ke dalam kebijakan
multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.
Pemahaman seperti ini memunculkan diskursus berkepanjangan mengenai
hubungan antara negara dan agama dalam Islam. Diskusi-diskusi tersebut hingga
saat ini mengerucut dalam dua arus besar: pertama menginginkan bentuk
kekhilafahan sebagai satu-satunya bentuk negara Islam. Kedua bersikap lebih
moderat serta mentolerir semua bentuk negara, sepanjang nilai-nilai Islam bisa
dijalankan. Bagaimana kemudian sikap dan posisi para ulama klasik tentang ini.

Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan Negara dan
Agama yang menganggap bahwa Negara dan agama merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu
(integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu
lembaga politik dan sekaligus lembaga Agama. Konsep ini menegaskan kembali
bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau Negara.
Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi.
Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang Agama-Negara, yang berarti
bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip
keagamaan. Dari sinilah kemudian peradigma integralistik dikenal juga dengan
paham Islam: din wa dawlah, yang sumber positifnya adalah hukum Agama.
Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh kelompok Islam Syi’ah. Hanya
saja Syi’ah tidak menggunakan term dawlah tetapi dengan term Imamah.
Paradigma Simbiotik
Menurut konsep ini, hubungan Negara dan Agama dipahami saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks ini, Negara memerlukan
Agama, karena agama juga membantu Negara dalam pembinaan moral, etika, dan
spiritualitas. Begitu juga sebaliknya, agama juga membutuhkan Negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan Agama.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban
Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak
bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara
Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling
membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini
tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh
hukum Agama (syari’at).

Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara
Negara dan Agama. Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan
satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan
intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif
yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia
melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama (syari’ah).
Konsep sekularistik ini bisa dilihat dari pendapat Ali Abdul Raziq yang
menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah pun tidak ditemukan
keinginan nabi Muhammad untuk mendirikan Agama. Rasulullah hanya
penyampai risalah kepada manusia dan mendakwahkan ajaran agama kepada
manusia.

You might also like