You are on page 1of 21

Makalah Ijtihad

Senin, Februari 08, 2010 by Nurgiantoro · 0 komentar

Untuk Ayatnya di tulis tangan yaa….

BABI

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui
dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat.

Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan
seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu
hukum agama.

Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah
mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang
masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di
zaman Rosullulloh maupun yang baru terjadi.

2. RUMUSAN MASALAH

Dari pokok-pokok permasalahan diatas penyusun merumuskan beberapa masalah


yaitu:

1. Pengertian Ijtihad
2. Dasar ijtihad
3. Ruang lingkup ijtihad
4. Syarat mujtahid
5. Tingkatan para mujtahid

BABII

PEMBAHASAN

IJTIHAD
3. Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa berasal dari kata:

berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau mencurahkan kemampuannya daya


upaya atau usaha keras, berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu

Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh


untuk menegaskan prasangka kuat atau Dhon yang didasarkan suatu petunjuk
yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan suatu yang
terdekat dengan kitabullah dan sunnah rosululloh SAW.

4. Dasar Ijtihad

Ijtihad bisa sumber hukumnya dari al-qur'an dan alhadis yang menghendaki
digunakannya ijtihad.

1. Firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat 59

Artinya: Hai orang-orang yang beriman taatilah allah dan taatilah rosul dan
orng-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu kemudian jika kamu
berselisih pendapt tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada allah(alqur'an
dan sunnah nabi)

2. Sabda Rosullullah Saw:


3.

Artinya dari mu'adz bin jabal ketika nabi muhammad saw mengutusnya ke yaman
untuk bertindak sebagai hakim beliau bertanya kepda mu'adz apa yang kamu
lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus di putuskan? Mua'dz
menjawab, "aku akan memutuskan berdasarkan ketentuan yang termaktuk dalam
kitabullah" nabi bertanya lagi "bagaimana jika dalam kitab allah tidak terdapat
ketentuan tersebut?" mu'adz menjawab, " dengan berdasarkan sunnah rosulullah".
Nabi bertanya lagi, "bagaimana jika ketenyuan tersebut tidak terdapat pula dalam
sunnah rosullullah?" mu'adz menjawab, "aku akan menjawab dengan fikiranku,
aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan" , lalu mu'adz
mengatakan, " rosullulah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan, segala
puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusanku untuk hal
yang melegakan".
4. Sabda Rosulullah SAW yang artinya:

"bila seorang hakim akan memutuskan masalah atau suatu perkara, lalu ia
melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh pahala dua
(pahala ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Dan bila hasilnya salah maka ia
memperoleh satu pahala (pahala melakukan ijtihad)

5. Ijtihad seorang sahabat Rosulullah SAW, Sa'adz bin Mu'adz ketika


membuat keputusan hukum kepada bani khuroidhoh dan rosulullah
membenarkan hasilnya, beliau bersabda "Sesungguhnya engkau telah
memutuskan suatu terhadap mereka menurut hukum Allah dari atas tujuh
langit".

Artinya hadist ini menunjukkan bahwa ijtihad sahabat tersebut mempunyai


manfaat dan dihargai oleh rosulullah

6. Firman Allah yang artinya : "Mereka menanyakan kepadamu tentang


pembagian harta rampasan perang. Katakanlah, hanya rampasan perang itu
keputusan Allah dan rosul sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan
perbaikilah hubungan diantara sesamamu, dan taatilah kepada Allah dan
Rosulnya jika kamu adalah orang-orang yang beriman". (Al-Anfal:1)
7. fiman Allah yang artinya : "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat
kamu peroleh sebagai rampaan perang maka sesungguhnya setengah untuk
Allah, Rosul, Kerabat rosul, anak-anak yatim, orang-oarang miskan dan
ibnu sabil. Jika kamu beriamn kepada Allah dan kepada apa yang kami
terunkan kepada hamba kami muhammad dari hari furqon yaitu
bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa ata segala sesuatu". (Al-
Anfal:41)
5. Ruang Lingkup Ijtihad

Ruang lingkup ijtihad ialah furu' dan dhoniah yaitu masalah-masalah yang tidak
ditentukan secara pasti oleh nash Al-Qur'an dan Hadist. Hukum islam tentang
sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil Dhoni atau ayat-ayat Al-qur'an dan hadis
yang statusnya dhoni dan mengandung penafsiran serta hukum islam tentang
sesuatu yang sama sekali belum ditegaskan atau disinggung oleh Al-qur'an,
hadist, maupan ijma' para ulama' serta yang dikenal dengan masail fiqhiah dan
waqhiyah

berijtihad dalam bidang-bidang yang tak disebutkan dalam Al-qur'an dan hadist
dapat ditempuh dengan berbagai cara :

1. Qiyas atau analogi adalah salah satu metode ijtihad, telah dilakukan
sendiri oleh rosulullah SAW. Meskipun sabda nabi merupakan sunah yang
dapat menentukan hukum sendiri
2. Memelihara kepentingan hidup manusia yaitu menarik manfaat dan
menolak madlarat dalam kehidupan manusia. Menurut Dr. Yusuf
qordhowi mencakup tiga tingkatan:
1. Dharuriyat yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi
untuk kelangsung hidup manusia.
2. Hajjiyat yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam
hidupnya.
3. Tahsinat yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebisaan
dan akal yang baik

6. Syarat Mujtahid

Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para ulama' menurut Dr. Yusuf
Qordhowi sebagai berikut:

1. Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:


1. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat
2. Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau
penyusunan al-qur'an.
3. Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah,
nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya
4. Menguasai ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-
qur'an.

2. Mengetahui Assunah dan ilmu Hadits


3. Mengetahui bahasa arab
4. Mengethui tema-tema yang sudah merupakan ijma'
5. Mengetahui usul fiqih
6. Mengetahui maksud-maksud sejarah
7. Mengenal manusia dan alam sekitarnya
8. Mempunyai sifat adil dan taqwa

syarat tambahan :

9. Mengetahui ilmu ushuluddin


10. Mengetahui ilmu mantiq
11. Mengetahui cabang-cabang fiqih

7. Tingkatan-Tingkatan Para Mujtahid


Para mujtahid mempunyai tingkatan-tingkatan:

1. Mujtahid mutlaq atau mujtahid mustakhil yaitu mujtahid yang mempunyai


pengetahuan lengkap untuk berisbad dengan Al-qur'an dan Al-
haditsdengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui kekuatannya
oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah
imam madzhab empat
2. Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti
keterkaitan murid dan guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin
Huzail yang merupakan murid imam Abu Hanifah
3. Mujtahid fil madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik
dalam usul maupun dalam furu' misalnya imam Al-Muzani adalah
mujtahid fil madzhab Syafi'i
4. Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat
sebagai imam untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana
yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-
nash khot'i dan tujuan syariat, misalnya Abu Ishaq al syirazi, imam
Ghazali

BAB III

PENUTUP

8. KESIMPULAN
1. Ijtihad adalah suatu upaya pemikiran atau penelitian untuk mendapatkan
hukum dalam kitabullah dan sunah rosul
2. dasar ijtihad:
1. Firman Allah surat An nisa' :59
2. Firman Allah surat Al anfal: 1,41
3. Dan banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang
menyebutkan tentang dasar-dasar ijtihad
4. Tingkatan mujtahid :
1. Mujtahid Mutlak
2. Mujtahid Muntasib
3. Mujtahid fil Madzhab
4. Mujtahid Tarjih

9. SARAN
Para pembaca hendaknya memahami betul masalah-masalah mengenai ijtihad.
Karena dengan ijtihad seseorang mampu menetapkan hukum syara' dengan jalan
menentukan dari kitab dan sunnah.

Penulis: Dadan Ramdani, Bahasa: Indonesia, Kategori: Karya Tulis Ilmiah, Makalah
Mata Kuliah Metodologi Studi Islam. Jumlah Halaman: 21, Format File: PDF, Publisher:
pangandaraninfo.com, Tahun Terbit: 2010, Download Makalah Lengkap: dadanramdani-
ijtihadsebagaisumberagamaislam.rar

Setelah nabi Muhammad SAW wafat, persoalan syar’i terus bermunculan, baik dalam
kaitannya dengan ibadah mahdoh maupun ibadah ghair mahdoh, di dalam semua
lapangan kehidupan, baik ekonomi, politik, kesehatan, rumah tangga, dan lain-lain. Akan
tetapi Al-Qur’an ataupun hadits belum menjelaskan secara eksplisit hukum masalah
tersebut, padahal tetap memerlukan solusi, agar segenap perilaku manusia tidak keluar
dari syari’at Islam. Oleh karena itu diperlukan pemecahan masalah melalui cara yang
lain, yakni dengan mengerahkan segenap kemampuan intelektual untuk menetapkan
hukum sesuatu itu dengan melihat dalil-dalil yang memiliki hubungan tak langsung
(implisit) dengan persoalan yang dibahas. Dalil-dalil tersebut dikumpulkan kemudian
dianalisis dengan menggunakan teknik pendekatan tertentu, kemudian disimpulkan
sehingga sampai kepada penetapan hukum yang dicari. Cara demikian disebut Ijtihad.

Ijtihad ini bisa melalui teknik pendekatan istihsan, qiyas, mashalaihul mursalah
maupun ijmak. Metode pendekatan ini dirumuskan oleh para imam Mujtahidin yang
sampai saat ini diakui akurasinya.

Walaupun menggunakan teknik pendekatan yang sama belum tentu dijamin akan
menghasilkan kesimpulan yang sama. Hal ini karena banyak faktor penyebabnya, antara
lain karena perbedaan kemampuan intelektual dan latar belakang pengalamannya. Juga
karena perbedaan jumlah hadits yang dijadikan referensi, maklum ketika itu hadits belum
ditulis secara lengkap.

walaupun hasil ijtihad para imam mujtahid dalam suatu persoalan yang sama sering
berbeda, namun semua imam mujtahid memiliki ketawadluan intelektual, mereka semua
berpesan, agar apabila ia keliru, hendaklah pendapatnya itu dibuang jauh-jauh. Lebih
tegas lagi, mereka semua sepakat mengharamkan umat Islam bersikap taqlid kepadanya.
Namun sayangnya, umat Islam banyak sekali yang taqlid buta sehingga fanatik madzhab.
NASH DAN IJTIHAD

Abu Mahdi
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi
mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab:36)

Dasar-dasar Hukum Islam

Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu
Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber hukum
peringkat selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan
Rasul Allah; disebut as-Sunnah.

Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-
Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat
dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain
Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan
Al-Quran, sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah
ditetapkan Allah. Dengan landasan ini, muslimin sependapat bahwa barang siapa yang
menentang dan mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai
kufur.

Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan
kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk
mengikuti Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang
ada dari keduanya dalam kehidupan keseharian. Tapi, ada hal yang tidak dapat ditolak,
yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari
dasar sumber yang sama, ternyata, muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber
yang sama (Al-Quran dan Hadits), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun
dengan praktik yang berbeda. Karena, memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan
yang sama tetapi muatannya berbeda.

Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian
wahyu atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu
terhenti. Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah terhenti,
sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber
hukum yang mutlak.
Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat Nabi
Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah. Karena,
Sunnah dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad SAW,
tetapi juga ada pada tiga belas orang maksum setelah beliau. Yaitu, dimulai dari Ali bin
Abi Thalib AS sampai dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS (termasuk Fatimah
az-Zahra AS), hingga akhir zaman. Kedua pandangan inilah yang menjadi pemilah
kesatuan muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW. Hinggalah sekarang, pengaruh
dan bara tersebut masih saja menyala.

Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah telah terbentuknya
ideologi yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar
perspektif pandangan masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada
tindakan pun menjadi berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan
muslimin dalam menghadapi tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan
fisik.

Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi muslim zaman ini.
Generasi kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi
pandangan muslim dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan
yang tercipta dari waktu ke waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini,
telah membentuk opini keislaman seseorang.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara memandang pada
fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman yang berbeda pula.
Sehingga i'tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara itu, semua muslim sepakat
bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan merupakan hamparan jalan tunggal
menuju kepada Allah. Karena itu, muslimin, mau tak mau, harus memilih juga, yang
konsekuensinya adalah i'tiqad dasar dari pandangan di atas harus ditimbang kembali
untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga seseorang dapat memastikan keberadaan
setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal tersebut.

Ijtihad di Kalangan Muslimin

Ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih
payah. Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mendefinisikan ijtihad sebagai tindakan
menguras tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu dalam batas menduga.
Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang hukum syar'i. (al-Ra'ya al-
Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa al-Ihthiyath, hal.9). Ijtihad juga diartikan menguras
tenaga dan jerih-payah untuk memperoleh hukum syar'i yang bersifat dugaan dari Al-
Quran, Sunnah, Qiyas, Ihtihsan dan sebagainya.

Muslimin (secara historis) menggunakan kesempatan berijtihad untuk melepaskan


tanggung jawab dalam menjawab permasalahan kehidupan yang belum ditemui dalam
hukum yang jelas (dhahir) sampai datangnya masa penaklukan kota Baghdad di masa
kekuasaan Dinasti Abbasiyah oleh Bangsa Tartar (sekitar 665 H.) Setelah adanya
kejadian tersebut, ulama tidak lagi terkumpul dan pintu ijtihad menjadi "tertutup". Dari
sinilah hak ijtihad hanya menjadi milik mujtahid terdahulu.

Selanjutnya, perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan


secara umum tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda
di antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan
qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak.

Kasus Seputar Ijtihad

Dasar sumber-sumber ijtihad adalah Al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma'. Namun
demikian, dari keempat sumber ini, bukan berarti tidak terbuka kemungkinan untuk tidak
ditemukannya ketentuan hukum dari keempatnya. Atau, didapatkan hasil kesimpulan
yang tidak kokoh. Atau, dalil-dalil yang ada tidak cukup untuk mendukung kasus yang
ada.

Karena itu, terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa
fiqih dan pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak
akan teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang
lingkup kehidupan yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan
mengembangkan akal pikiran manusia.

Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan
membentuk opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam
menjadi hukum yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang
mengenal Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.

Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah
menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang
muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani
dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.

Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-
ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas
hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan
Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya
pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak
diketahui keabsahan dan kebenarannya.

Mujtahid Sebagai Standar Keilmuan

Islam sebagai agama dan ideologi merupakan sarana penghantar perjalanan manusia
kepada Allah. Dengan sarana yang pasti ini, memastikan manusia untuk tidak memilih
jalan lain atau berjalan di jalan yang salah. Sehingga manusia dengan sendirinya wajib
memastikan dirinya untuk berada di dalam Islam. Pemikiran ideal ini menjadi i'tiqad
muslimin. Dasarnya adalah dengan adanya Maksum maka i'tiqad dan idealnya Islam
dapat terjaga bersamanya.

Tetapi dengan tidak adanya maksum, maka pikiran ideal merupakan i'tiqad tanpa
kepastian untuk didapatkan dalam praktik kehidupan muslim. Maka muslimin mengejar
idealisme kesempurnaan Islam dengan berusaha mendapatkan nilai ideal. Namun, karena
agama samawi ini tidak memberikan jaminan kepada manusia yang tidak maksum secara
takwin, maka Nilai Islam yang ada dalam i'tiqad muslimin pun tidak terjamin untuk
kesempurnaannya pada kebenaran Ilahi. Kebenaran yang ada adalah nilai yang didapat
dari usaha maksimal sebagai manusia untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab di
hadapan Allah.

Maka akan ada selisih antara kebenaran yang bersifat absolut Ilahi yang di-i'tiqadi dengan
nilai kebenaran yang diamalkan oleh manusia. Namun demikian, usaha yang dilakukan
oleh muslimin untuk mendapatkan ilmu Islam dari sumber-sumber dasar hukum (Al-
Quran, Hadits/Sunnah, Ijma' dan Akal) yang kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang
tidak dapat dihindari, karena:

Pertama, tidak hadirnya Imam Maksum di antara muslimin. Islam sebagai sumber hukum
dan nilai absolut, hanya ada pada Allah dan Maksumin. Selain dari keduanya, Islam
masih merupakan konsep yang harus digali. Paling tidak dengan memprediksikan bahwa
konsep tadi dinyatakan benar oleh pandangan muslimin.

Kedua, perkembangan pola hidup manusia. Ketika muslim merupakan bagian komunitas
alam yang saling mengikat, maka perubahan yang terjadi selalu memiliki keterikatan
dengan yang lain. Baik pada komunitas muslim atau dengan yang di luar muslim.
Perubahan pola hidup yang dimaksud adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta
adanya tuntutan keperluan hidup. Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam
merupakan suatu keharusan.

Pada sisi lain, tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan muslim,
maka muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni ia harus selalu
berada dan berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal mendapatkan hukum
tersebut merupakan kewajiban muslimin.

Dengan hal di atas pun bukan berarti permasalahan kewajiban tersebut telah terlepas dari
persoalan, tetapi masih banyak masalah lain dalam ijtihad, seperti:

a. Apakah ijtihad hanya terbatas pada kasus-kasus yang tidak ada nashnya?

b. Apakah boleh berijtihad (ta'awul) ketika ada nash?

c. Mana yang harus didahulukan, ijtihad atau hadits nabawi?

d. Siapa yang berhak untuk berijtihad?


Empat kasus di atas telah membelah muslim menjadi dua pecahan, yaitu kelompok Ahl
al-Ra'yu dan Ahl al-Hadits, tanpa disadari. Boleh jadi, dari sini pula kelompok kalam
terbagi menjadi Mu'tazilah yang menggunakan akal untuk qiyas dalam menentukan hasan
(baik) dan qubuh (buruk); dan kelompok Asy'ariy yang lebih mengutamakan hadits
nabawi.

Apapun yang terjadi, permasalahan ini akan kembali kepada persoalan: adakah kini
masih terbuka pintu ijtihad dan siapa yang dibenarkan untuk berijtihad?

Dibalik pertanyaan ini sebenarnya tersembunyi suatu hal yang sangat penting, yaitu fiqih
itu sendiri. Karena, fiqih merupakan gambaran atau penjelas dari simbol dan amal serta
kriteria Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat dilihat dari keberadaan fiqih.
Keislaman seseorang terlihat dengan bentukan (pengejawantahan) fiqih pada dirinya.
Karena itu keberadaan ijtihad dan mujtahid memegang peran yang sangat penting atas
keberadaan Islam dalam kehidupan manusia.

Dalam Surat al-Taubah ayat 122 ditegaskan: "Mengapa tidak pergi sebagian di antara
setiap golongan kamu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka dapat menjaga dirinya."

Fiqih berasal dari akar kata tafaqquh. Fiqih adalah pemahaman mendalam serta
pengertian sempurna tentang realitas sesuatu. Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufrad Al-
Quran menyatakan bahwa tafaqquh ialah spesialisasi, dengan mengatakan: tafaqqahu idza
thalabahu fatakhashshasha bihi. Begitulah, Al-Quran memerintahkan muslimin untuk
memperdalam pengetahuan sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini.

Bergabungnya Semua Hukum Islam dengan Politik

Islam bukan merupakan satu sisi penilai terhadap persoalan, tapi Islam merupakan penilai
dan penilaian dari semua sisi. Semua permasalahan, baik yang berhubungan dengan
dunia, politik, masyarakat, ekonomi, dan juga semua permasalahan yang berhubungan
dengan sisi-sisi yang tidak diketahui oleh ahli-dunia. Agama Tauhid didatangkan agar
manusia mengetahui kedua sisi tersebut dan membahasnya. Dan untuk keduanya terdapat
hukum di dalamnya.

Karena itu, muslim yang ber-tauhid tentu saja tidak hanya memandang dari satu sisi saja
dan melupakan sisi lain. Islam, yang kesempurnaannya melebihi agama lain, semua
hukumnya bergabung dengan politik. Semuanya terikat dalam politik. Shalat bersenyawa
dengan politik. Haji, zakat, pelaksanaan negara, semuanya berhubungan dengan politik.
Kaum isti'mar (penindas)-lah yang berusaha hendak memisahkan dan
mengesampingkannya.

Dengan ini fungsi fuqaha (jamak dari faqih) merupakan fokus perjalanan Islam di tengah
kehidupan Islam. Dinyatakan dalam ungkapan: "Fuqaha adalah benteng Islam seperti
benteng kota untuk membentengi kota." Dari sisi lain dinyatakan: "Ulama adalah pewaris
Nabi."

Jadi, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah faqih (yang menguasai
fiqih) yang dapat menjaga Islam. Maka ulama akan masuk dalam standar keulamaan
dengan predikat faqih-nya, untuk menjaga Islam
Ijtihad
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Bagian dari seri Islam
Ushul fiqih
(Sumber-sumber hukum Islam)

Fiqih
• Al-Qur'an
• Sunnah
• Taklid
• Ijtihad
• Ijma
• Mazhab
• Minhaj
• Kias
• Urf
• Bidah
• Madrasah
• Ijazah
• Istihlal
• Istihsan

• Risalah
Ahkam
• Wajib
• Sunah
• Mubah
• Makruh
• Haram
• Sah

• Batal
Gelar cendekiawan
• Mujtahid
• Marja
• Alim (jamak: Ulama)
• Mufti
• Mufassir
• Qadi
• Faqih
• Ulum hadis
• Mullah
• Imam
• Mawlawi
• Syekh
• Mujaddid
• Hafiz
• Hujja
• Hakim
• Amir al-Mu'minin
• Maulana

Kotak ini: lihat • bicara • sunting

Ijtihad (Arab: ‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu
perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan
akal sehat dan pertimbangan matang.

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya


dilakukan para ahli agama Islam.

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup
dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Fungsi Ijtihad
• 2 Jenis-jenis ijtihad
o 2.1 Ijma'
o 2.2 Qiyâs
o 2.3 Istihsân
o 2.4 Maslahah murshalah
o 2.5 Sududz Dzariah
o 2.6 Istishab
o 2.7 Urf

• 3 Lihat pula

[sunting] Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu
ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern.
Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan
baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di
suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist.
Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran
dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi
yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al
Hadist.

[sunting] Jenis-jenis ijtihad

[sunting] Ijma'

Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum
hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk
kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan
bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

[sunting] Qiyâs

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu
perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan
dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga
dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal
hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

• Beberapa definisi qiyâs (analogi)


1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan diantaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam
[Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan
sebab (iladh).

[sunting] Istihsân

• Beberapa definisi Istihsân


1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia
merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara
lisan olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat
orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara
yang ada sebelumnya...

[sunting] Maslahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan
kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari
kemudharatan.

[sunting] Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi
kepentinagn umat.

[sunting] Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya.

[sunting] Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan


masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan
prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
24 November 2008

IJTIHAD

Pembahasan
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala
kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus
dilakukan dengan susah payah.
Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul
fiqh. Namun secara umum adalah

‫شِرْيَعِة‬
ّ ‫ي ال‬
ِ ‫صْيِلّيِة ف‬
ِ ‫ن َاِدّلِتَها الّتْف‬
ْ ‫عّيِة ِم‬
ِ ‫شْر‬
ّ ‫حَكاِم ال‬
ْ‫ل‬
َ ‫ط ْا‬
ِ ‫سِتْنَبا‬
ْ ‫عَمِلّيُة ا‬
َ
Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari
dalil terperinci dalam syariat”

Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih
(pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui
dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan
bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang
fiqih.

Dasar Hukum Ijtihad


Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya yaitu :
Firman Allah SWT
‫ه‬ َ ‫ما أ ََرا‬
ُ ‫ك الّللل‬ َ ِ‫س ب‬
ِ ‫ن الّنا‬ َ ُ ‫حك‬
َ ْ ‫م ب َي‬ َ ْ ‫ب ِبال‬
ْ َ ‫حقّ ل ِت‬ َ ْ ‫إ ِّنا َأنَزل َْنا إ ِل َي‬
َ ‫ك ال ْك َِتا‬
{105 : ‫}النساء‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu”

Adanya keterangan sunnah, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Umar :

‫م‬ َ ‫ح‬
َ ‫كلل‬ َ ِ ‫ف وَا‬
َ ‫ذا‬ ْ َ‫ه ا‬
ِ ‫جللَرا‬ ُ َ ‫ب فَل‬ َ َ ‫جت َهَد َ فَا‬
َ ‫صا‬ ّ ‫م فا‬ ُ ِ ‫حاك‬َ ْ ‫م ال‬ َ َ ‫حك‬َ ‫ذا‬ َ ِ‫ا‬
َ َ
‫جٌر‬ْ ‫هأ‬ ُ َ ‫طاَء فَل‬َ ‫خ‬ ّ ‫مأ‬ ّ ‫َفا‬
ّ ُ ‫جت َهَد َ ث‬
“Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua,
dan bila salah maka ia mendapat satu pahala”

Macam-macam Ijtihad
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi ijtihad menjadi dua bagian,
yaitu :
Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak menggunakan
dalil syara’
Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’

Syarat-syarat Ijtihad
Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an baik
menurut bahasa maupun syariah
Menguasai dan mengetahui hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun
syariat
Mengetahui naskah dan mansukh dari al-Qur’an
Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga
ijtihadnya tidak bertentang dengan ijma’
Mengetahui Qiyas dan berbagai persyaratannya serta istinbathnya
Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta problematikanya
Mengetahui ushul fiqh yang merupakan fondasi dari Ijtihad.
Mengetahui maqoshidu asy-syariah (tujuan syariah) secara umum, atau rahasia
disyariatkannya suatu hukum
Objek Ijtihad
Menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak
memiliki dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan
ijtihad terbagi dalam dua bagian.
Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah
dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil
qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina,
mencuri dan lain-lain.
Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-
dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan
ijma’ para ulama.

Hukum Melakukan Ijtihad


Fardhu ain : bila ada permasalahan yang meminta dirinya, dan harus mengamalkan
hasil dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.
Juga dihukumi fardhu ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum
ada hukumnya.
Fardhu kifayah : jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan
akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama
memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid
Sunnah : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik di tanya atau
tidak
Haram : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara
qoth’i, sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara’.

Tingkatan Mujtahid
Mujtahid mustaqil : adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah
yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan
madzhab.
Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid
mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi
mengikuti metode salah satu imam.
Mujtahid muqoyyad / mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab
imamnya
Mujtahid tarjih adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij,
tetapi mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-
dalilnya, cara memutuskan hukum dan lain-lain, namun kalau dibandingkan
dengan mujtahid di atas ia tergolong masih kurang.
Mujtahid fatwa : adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam
madzhab, mampu menguasai persoalan yang sudah jelas maupun yang sulit,
namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta
lemah dalam menetapkan qiyas.

Ijtihad bagi Nabi-nabi


Pada ulama telah sepakat bolehnya ber-ijtihad bagi Nabi-nabi dalam hal-hal
yang berhubungan dengan kepentingan dunia dan soal-soal peperangan. Menurut
jumhur, Nabi-nabi boleh ber-ijtihad, kalau seseorang boleh ber-ijtihad sedang ia tidak
terhindar dari kemungkinan luput, mengapa Nabi-nabi tidak boleh ber-ijtihad,
padahal mereka terjamin dari keluputan.

Ijtihad bagi Sahabat-sahabat


Para ahli ushul berbeda pendapat tentang diperbolehkannya ijtihad bagi
sahabat-sahabat di masa Rasul. Pendapat yang kuat membolehkan ijtihad bagi
sahabat-sahabat; baik di kala berdekatan dengan Rasulullah ataupun ketika berjauhan.
Nabi pernah menyerahkan putusan tentang Yahudi Bani Quraidzah kepada
Sa’ad.
Daftar Pustaka
A. Hanafie, MA., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII
Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I
.

You might also like