You are on page 1of 49

Misteri Gagal Jantung

Pendahuluan
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin meningkat. Oleh karena
itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang
terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun(4). Penelitian Framingham
menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita
Berdasar perkiraan tahun 1989, di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan setiap
tahunnya bertambah 400.000 orang. Walaupun angka-angka yang pasti belum ada untuk seluruh
Indonesia, dapat diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan bertambah setiap tahunnya
Definisi
Gagal jantung atau payah jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai
oleh sesak napas (dispneu) dan mudah lelah (fatigue), baik pada saat istirahat atau saat aktivitas)
yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, yang mengganggu kemampuan
ventrikel (bilik jantung) untuk mengisi dan mengeluarkan darah ke sirkulasi.
Gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya
abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan kelainan regulasi neurohormonal, disertai dengan
intoleransi kemampuan kerja fisis retensi cairan, dan memendeknya umur hidup.
Etiologi (Penyebab)
Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation), emboli
paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid
(hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure,
gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems),
intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat.
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam enam
kategori utama:
1.    Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh
hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch block),
berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2.    Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3.    Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4.    Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5.    Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).
6.    Kelainan kongenital jantung.
Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus
♣    Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri
koroner, kardiomiopati, enyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis mitral,
dan penyakit perikardial.
♣    Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake) garam,
ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia
akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif.
Patofisiologi
Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada gagal jantung akan
mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel menjadi
meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut.
Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP
(Left Ventricle End Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada
kelenturan  ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium dan ventrikel berhubungan langsung,
maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan LAP( Left Atrium Pressure ), sehingga  tekanan
kapiler  dan   vena  paru-paru  juga   akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-
paru melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan
bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru.
Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang disebut
dengan hipertensi pulmonal, yang mana hipertensi pulmonal akan meningkatkan tahanan
terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi pada
jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme patofisiologi gagal jantung:
1.    Mekanisme neurohormonal
Pengaturan neurohormonal melibatkan sistem saraf adrenergik (aktivasi sistem saraf simpatis
akan meningkatkan kadar norepinefrin), sistem renin-angiotensin, stres oksidatif (peningkatan
kadar ROS/reactive oxygen species), arginin vasopressin (meningkat), natriuretic peptides,
endothelin, neuropeptide Y, urotensin II, nitric oxide, bradikinin, adrenomedullin (meningkat),
dan apelin (menurun).
2.    Remodeling ventrikel kiri
Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan memburuknya
kemampuan ventrikel di kemudian hari.
3.    Perubahan biologis pada miosit jantung
Terjadi hipertrofi miosit jantung, perubahan komplek kontraksi-eksitasi, perubahan miokard,
nekrosis, apoptosis, autofagi.
4.    Perubahan struktur ventrikel kiri
Perubahan ini membuat jantung membesar, mengubah bentuk jantung menjadi lebih sferis
mengakibatkan ventrikel membutuhkan energi lebih banyak, sehingga terjadi peningkatan
dilatasi ventrikel kiri, penurunan cardiac output, dan peningkatan hemodynamic overloading.
Patogenesis Gagal Jantung Kongestif
−    Gangguan katup jantung  aliran darah jantung terganggu  gangguan pengisisan darah
ventrikel  gangguan kontraksi ventrikel  gagal jantung.
−    Hipertensi  penyempitan pembuluh darah jantung  aliran darah ke jantung berkurang 
hipoksia miokard  ischemia miokard  gangguan kontraksi ventrikel  gagal jantung.
−    Kelemahan miokard  kontraksi ventrikel melemah  gagal jantung
−    Sindrom Koroner Akut( SKA)  arteriosklerosis arteri koronaria  hipoksia miokard  ischemia
miokard  gangguan kontraksi ventikel  gagal jantung.
−    CPC  hipertensi pulmonal  aliran darah balik ke ventrikel kanan  ventrikel kanan bekerja
lebih keras  hipertrofi.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gagal jantung kanan (decompensatio dextra) antara lain: JVP meningkat, batas
jantung kanan melebar (terdapat RVH dan pulsasi epigastrium), pembesaran hati (hepatomegali),
pembesaran limpa (splenomegali), cairan di rongga perut (ascites), bengkak (oedem) pada
tungkai.
Sedangkan manifestasi klinis gagal jantung kiri (decompensatio sinistra) antara lain: sesak nafas
(dispneu, orthopneu, paroxismal nocturnal dispneu), batas jantung kiri melebar (terdapat LVH),
nafas cheyne stokes, kebiruan (cyanosis), Right Bundle Branch (RBB), dan suara S3 (gallop).
Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, foto
thorax, ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi.
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA), umum dipakai untuk
menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik:
Klas I: tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada aktivitas yang lebih
berat dari aktivitas sehari-hari.
Klas II: gejala timbul pada aktivitas sehari-hari.
Klas III: gejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari.
Klas IV: gejala timbul pada saat istirahat.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria mayor:
1.    Paroxismal Nocturnal Dispneu
2.    distensi vena leher
3.    ronkhi paru
4.    kardiomegali
5.    edema paru akut
6.    gallop S3
7.    peninggian tekanan vena jugularis
8.    refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1.    edema ekstremitas
2.    batuk malam hari
3.    dispneu de effort
4.    hepatomegali
5.    efusi pleura
6.    takikardi
7.    penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Kriteria mayor atau minor
Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi

Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1 kriteria  minor harus ada
pada saat yang bersamaan.
Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien, terutama
pada usia lanjut. Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba
akibat endokarditis, trauma atau infark miocard luas. Curah jantung yang menurun tiba-tiba
menyebabkan penurunan tekanan darah disertai edema perifer.
Penatalaksanaan
Pada tahap simptomatik dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti cepat capek,
sesak napas, kardiomegali, peningkatan JVP, ascites, hepatomegali dan edema sudah jelas, maka
diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti
pada tahap disfungsi ventrikel kiri, maka keluhan fatig dan keluhan diatas yang hilang timbul
tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rongen, ekokardiografi dan
pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.
Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak gagal jantung sampai edema
atau acites hilang. ACE inhibitor atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat
dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal.
Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE inhibitor
tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supraventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau
ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. intoksikasi digitalis sangat mudah
terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (<3,5
meq/L).
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan
hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian
jenis obat ini.
Pemakaian alat bantu Cardiac Resychronization Theraphy (CRP) maupun pembedahan,
pemasangan ICD (Intra Cardiac Defibrillator) sebagai alat mencegah mati mendadak pada gagal
jantung akibat iskemia maupun noniskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas
hidup, namun mahal.
Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan gagal jantung antara lain:
1.    CAD (angina atau MI)
2.    Hipertensi kronis
3.    Idiopathic dilated cardiomyopathy
4.    Valvular heart disease (misalnya, mitral regurgitation, aortic stenosis)
5.    Cardiomyopathy lainnya (misalnya, sarcoidosis)
6.    Arrhythmia (misalnya, atrial fibrillation)
7.    Anemia
8.    Overload volume cairan yang disebabkan oleh kondisi noncardiac
9.    Penyakit thyroid (hypothyroidism atau hyperthyroidism)
Tinjauan (Pencitraan) Radiologis
a.    Echocardiography (ECG)
Echocardiography merupakan pemeriksaan yang lebih disukai (preferred examination). Doppler
echocardiography dua-dimensi dapat digunakan untuk menentukan penampilan LV sistolik dan
diastolik, cardiac output (ejection fraction), serta tekanan pengisian ventrikel dan arteri pulmoner
(pulmonary artery and ventricular filling pressures). Echocardiography juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi penyakit valvular yang penting secara klinis.
b.    Radiography
Pada kasus-kasus kardiogenik, radiograph dapat menunjukkan cardiomegaly, pulmonary venous
hypertension, dan pleural effusions. Pulmonary venous hypertension (PVH) dapat dibagi menjadi
3 tingkatan (grade).
Pada grade I PVH, pemeriksaan upright menunjukkan redistribusi aliran darah ke bagian
nondependent dari paru-paru dan lobus atas.
Pada grade II PVH, ada bukti interstitial edema dengan ill-defined vessels dan peribronchial
cuffing, juga penebalan septum interlobular.
Pada grade III PVH, terdapat pengisian airspace lobus-bawah dan perihilar, dengan ciri utama
(ke-khas-an) konsolidasi (misalnya, confluent opacities, air bronchogram dan ketidakmampuan
untuk melihat pembuluh darah pulmo di daerah yang tidak normal). Edema airspace cenderung
menuju ke (to spare) perifer di pulmo bagian atas dan tengah.
Pada kasus-kasus noncardiogenic, kardiomegali dan efusi pleura biasanya tidak ada. Mungkin
ada edema interstitial namun lebih sering consolidative. Tidak ada cephalization aliran yang
dicatat, meskipun kemungkinan ada perubahan (shift) aliran darah ke area yang kurang/sedikit
affected. Edema yang terjadi bersifat difus dan tidak menuju ke perifer pulmo bagian atas atau
tengah.
Pada kasus-kasus yang lebih luas, infark miokard akut, dan infark katub mitral membantu
apparatus memproduksi pola atipikal edem pulmoner yang menyerupai edema noncardiogenic
pada pasien yang pada kenyataannya memiliki edema cardiogenic.
Pada kasus-kasus yang secara klinis membingungkan atau menyulitkan, suatu multidetector-row
gated CT scanning dapat memberikan analisis yang baik sekali untuk jantung dan menampakkan
sifat dasar/alamiah dari edema pulmoner.
Menurut Bashore TM, Granger CB, Hranitzky P, Patel MR (2009), ECG dapat mengindikasikan
suatu aritmia sekunder yang mendasari, infark miokard, atau perubahan nonspesifik yang sering
termasuk voltage rendah, defek konduksi intraventrikuler, LVH, dan perubahan repolarisasi
nonspesifik. Radiograf dada menyediakan informasi tentang ukuran dan bentuk dari cardiac
silhouette. Cardiomegaly merupakan penemuan penting dan sebagai tanda prognostik yang
lemah (poor). Bukti hipertensi vena pulmoner termasuk dilatasi relatif upper lobe veins, edema
perivaskuler (haziness of vessel outlines), edema interstitial, cairan alveolar. Pada gagal jantung
akut, penemuan ini berkorelasi cukup baik dengan tekanan vena pulmoner.
Bagaimanapun juga, pasien dengan gagal jantung kronis dapat menunjukkan vaskularisasi pulmo
yang normal (normal pulmonary vasculature) meskipun tekanan meningkat dengan jelas. Efusi
pleura umum terjadi dan cenderung bilateral atau mengenai sisi kanan (right sided).
Penemuan (Findings)
Dua prinsip utama radiografi dada (chest radiograph) bermanfaat untuk evaluasi pasien dengan
CHF (congestive heart failure), yaitu:
(1) Ukuran dan bentuk dari cardiac silhouette.
(2) Edema di dasar paru-paru (lung bases).
Ukuran dan bentuk cardiac silhouette menyediakan informasi penting mengenai ketepatan sifat
alami/dasar dari penyebab yang mendasari penyakit jantung.
Baik CTR (cardiothoracic ratio) maupun volume jantung, seperti tampak pada plain film, relatif
spesifik namun merupakan indikator yang insensitive untuk peningkatan LV end-diastolic
volume.
Ada korelasi kebalikan yang lemah (weak inverse) antara CTR dan LV ejection fraction (LVEF)
pada pasien dengan gagal jantung. Hubungannya tidak bermanfaat secara klinis pada pasien
individu.
Pada keadaan tekanan vena dan kapiler pulmoner normal, basal paru perfused lebih baik
daripada apeksnya saat pasien pada posisi erect, dan pembuluh darah mensuplai lobus bawah
lebih luas secara signifikan dibandingkan dengan suplai lobus atas. Dengan peningkatan tekanan
kapiler pulmoner dan atrium kiri, berkembanglah edema perivaskuler dan interstitial; edema
paling jelas di basal paru karena tekanan hidrostatik lebih besar disana.
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) sedikit meninggi (13-17 mm
Hg), resultant compression dari pembuluh darah pulmoner di lobus bawah menyebabkan
persamaan (equalization) dalam ukuran pembuluh darah tersebut di apeks dan basis (pada awal
grade I PVH).
Saat peningkatan tekanan lebih besar (18-23 mm Hg), redistribusi vaskuler pulmoner yang aktual
menuju bagian nondependent pulmo memang terjadi (yakni, dengan “the patient in an upright
patient”,  ada konstriksi lebih lanjut pembuluh darah yang menuju ke lobus bawah, dan dilatasi
pembuluh darah yang menuju ke lobus atas).
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) melebihi 20-25 mm Hg, terjadi
interstitial pulmonary edema (grade II PVH). Dengan grade II PVH, ada bukti interstitial edema,
dengan ill-defined vessels dan peribronchial cuffing, juga penebalan septum interlobular.
Penebalan septum interlobular ini sering disebut sebagai Kerley B lines. Penumpulan awal sudut
costophrenic lateral dan posterior dapat terjadi. Penumpulan tersebut mengindikasikan adanya
cairan pleura (pleural fluid).
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) melebihi 25 mm Hg, images
menunjukkan efusi pleura yang luas dan grade III PVH, dengan consolidative alveolar edema di
distribusi lobus bawah dan perihilar.
Dengan adanya peninggian tekanan vena sistemik, vena azygos, brachiocephalic veins, dan
superior vena cava dapat melebar.
Pada pasien dengan gagal ventrikel kiri kronis, tekanan kapiler pulmoner yang lebih tinggi dapat
diakomodasi dengan tanda-tanda klinis dan radiologis, karena enhanced lymphatic drainage.
Penelitian pada 22 pasien dengan gagal jantung tingkat lanjut yang ditunjuk untuk evaluasi
cardiac transplant dan yang memiliki pengukuran pulmonary capillary wedge pressure 25 mm
Hg atau lebih, 68%-nya tidak memiliki kongesti pulmoner (atau jika ada, minimal), seperti
ditunjukkan pada radiografi dada.
Intinya, penemuan CHF yang khas pada plain radiograph adalah cardiomegaly; grade I, II, atau
III PVH; dan peningkatan central systemic venous volume, dengan pelebaran (enlargement) vena
mediastinum (termasuk azygous vein) dan efusi pleura.
Derajat Kepercayaan
Derajat kepercayaan (degree of confidence) plain radiograph rendah. Lemahnya korelasi
negative antara CTR dan fraksi ejeksi tidak menentukan keakuratan fungsi sistolik saat tidak
adanya bukti radiografis PVH atau efusi pleura pada pasien dengan gagal jantung. Untuk alasan
inilah, radiograf dada mungkin tidak bermanfaat untuk menentukan tipe disfungsi ventrikel kiri.
Selama fase pengobatan CHF, penemuan radiograf dada seringkali bertolak belakang dengan
perbaikan klinis.
False Positives/Negatives
Penemuan false-negative sering ditemukan.
Electrocardiography
Pada kasus-kasus cardiogenic, ECG dapat menunjukkan bukti adanya MI atau iskemia. Pada
kasus-kasus noncardiogenic, ECG biasanya normal.
Keterbatasan Teknik
Meskipun echocardiography sederhana dan noninvasive, ternyata tidak cukup pada 8-10% kasus.
Sebagai tambahan, hasilnya sulit diinterpretasikan/ diterjemahkan pada pasien dengan penyakit
paru-paru (lung disease).

Gagal Jantung
1. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaring an dan/atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2001).
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) CHF adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan
Oksigen dan nutrisi.
2. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1997) penyebab kegagalan jantung yaitu :
a. Disritmia, seperti: Bradikardi, takikardi, dan kontraksi premature yang sering dapat
menurunkan curah jantung.
b. Malfungsi katup, dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan
(obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik atau stenosis
pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke
ventrikel kiri.
c. Abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark miokard,
aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari aterosklerosis koroner jantung atau
hipertensi lama), fibrosis endokardium, penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi
l uas karena hipertensi pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik.
d. Ruptur miokard, terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan kegagalan pompa
dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi selama 8 hari pertama setelah infa rk.
Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth (2002) penyebab gagal jantung kongestif, yaitu:
kelainan otot jantung, aterosklerosis koroner, hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan
afterload) , peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, penyakit jantung lain, faktor
sistemik
3. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2001) berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,
gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif.
Menurut New York Heart
Association (Mansjoer, 2001) klasifikasi fungsional jantung ada 4 kelas, yaitu:
Kelas 1 : Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari-hari tidak
menyebabkan keluhan.
Kelas 2 : Penderita dengan kelainan jantung yang mempunyai akti vitas fisik terbatas. Tidak ada
keluhan sewaktu istirahat, tetapi aktivitas sehari - hari akan menyebabkan capek, berdebar, sesak
nafas.
Kelas 3 : Penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada keadaan istirahat tidak
terdapat keluhan, tetapi ak tivitas fisik ringan saja akan menyebabkan capek, berdebar, sesak
nafas.
Kelas 4 : Penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik tanpa rasa terganggu.
Tanda-tanda dekompensasi atau angina malahan telah terdapat pada keadaan istirahat.
4. Patofisiologi
Menurut Soeparman (2000) beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada
ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya
kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang
lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan t
erjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung
yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi
cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokonstriksi perifer dengan
tujuan untuk memperbesar aliran balik vena
(Venous return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolik dan
menaikkan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi , dan redistribusi cairan badan
merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi badan.
Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut diata s sudah dipergunakan
seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga tepenuhi, maka terjadilah keadaan gagal
jantung. Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan
pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan
akhir diastol dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat.
Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada
waktu diastolik, dengan akib at terjadinya kenaikan tekanan rata - rata dalam atrium kiri.
Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah
dari vena - vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga
dalam paru - paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda - tanda
akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini merupakan
hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil).
Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan merangsang ventrikel kanan
untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas
kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan,
sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri - kanan. Gagal jantung kanan dapat pula
terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup
ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. De ngan menurunnya isi sekuncup
ventrikel kanan, tekanan dan volum akhir diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini
menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole,
dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan
yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava superior
dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada
vena -vena sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis dan bendungan dalam hepar)
dengan segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bika
keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan
akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak dan Gallo (1997) tanda dan gejala yang terjadi pada gagal
jantung kiri antara lain kongesti vaskuler pulmonal, dyspnea, ortopnea, dispnea
nokturnal paroksismal, batuk, edema pulmonal akut, penurunan curah jantung,
gallop atrial (S3), gallop ventrikel (S4), crackles paru, disritmia, bunyi nafas
mengi, pulsus alternans, pernafasan chey ne-stokes, bukti - bukti radiologi
tentang kongesti vaskuler pulmonal. Sedangkan untuk gagal j antung kanan
antara lain curah jantung rendah, peningkatan JVP, edema, disritmia, S3 dan S4
ventrikel kanan, hiperesonan pada perkusi.
6. Diagnosis
Menurut Framingham ( Mansjoer, 2001) kriterianya gagal jantung kongestif ada 2 kriteria yaitu
kriteria mayor dan kriteria minor.
a. Kriteria mayor terdiri dari:
1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2) Peningkatan vena jugularis
3) Ronchi basah tidak nyaring
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Irama derap S3
7) Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O
 Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor terdiri dari:
1) Edema pergelangan kaki
2) Batuk malam hari
3) Dyspnea
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital berkurang menjadi ? maksimum
7) Takikardi (>120 x/ menit)
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor
harus ada di saat bersama an.
7. Potensial Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002) potensial komplikasi mencakup: syok kardiogenik, episode
tromboemboli, efus i perikardium, dan tamponade perikardium.
8. Pemeriksaan penunjang
Menurut Dongoes (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat d ilakukan untuk menegakkan
diagnosa CHF yaitu:
a. Elektro kardiogram (EKG)
Hipertropi atrial atau ventrikule r, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia, takikardi, fibrilasi
atrial.
b. Skan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding .
c. Sonogram (ekocardiogram, ekokardiogram dopple)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/ struktur katup, atau area
penurunan kontraktili tas ventrikular.
d. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung kanan dan
gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
e. Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik,
atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.
f. Enzim hepar
Meningkat dalam gagal / kongesti hepar.
g. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal, terapi diuretik.
h. Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut menjadi kronis.
i. Analisa gas darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini) atau hipoksemia dengan
peningkatan PCO2 (akhir).
j. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik BUN dan kreatinin
merupakan indikasi gagal ginjal.
k. Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre pencetus gagal jantung
kongestif.
9. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2001) prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure adalah:
a. Meningkatkan Oksigenasi dengan pemberian Oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui
istirahat / pembatasan aktivitas.
b. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1) Mengatasi keadaan reversibel termasuk tirotoksikosis, miksedema dan aritmia.
2) Digitalisasi, digoksin, condilamid.
c. Menurunkan beban jantung
1) Menurunkan beban awal dengan:
a) Diit rendah garam
b) Diuretik: furosemid ditambah kalium
c) Vasodilator: menghambat Angiotensin-converting enzyme (ACE),
Isosorbid dinitrat (ISDN), nitrogliserin, nitroprusid.
2) Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol.

Pendahuluan

Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin meningkat. Oleh karena
itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang
terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun(4). Penelitian Framingham
menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita.

Berdasar perkiraan tahun 1989, di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan setiap
tahunnya bertambah 400.000 orang. Walaupun angka-angka yang pasti belum ada untuk seluruh
Indonesia, dapat diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan bertambah setiap tahunnya.

Definisi
Gagal jantung atau payah jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai
oleh sesak napas (dispneu) dan mudah lelah (fatigue), baik pada saat istirahat atau saat aktivitas)
yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, yang mengganggu kemampuan
ventrikel (bilik jantung) untuk mengisi dan mengeluarkan darah ke sirkulasi.

Gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya
abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan kelainan regulasi neurohormonal, disertai dengan
intoleransi kemampuan kerja fisis retensi cairan, dan memendeknya umur hidup. 

Etiologi (Penyebab)

Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation), emboli
paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid
(hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure,
gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems),
intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat.

Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam enam
kategori utama:

1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh


hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch
block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).
6. Kelainan kongenital jantung.

Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus

♣  Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri
koroner, kardiomiopati, enyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis mitral,
dan penyakit perikardial.
♣ Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake) garam,
ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia
akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif.

Patofisiologi

Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada gagal jantung akan
mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel menjadi
meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut.
Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP
(Left Ventricle End Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada
kelenturan  ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium dan ventrikel berhubungan langsung,
maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan LAP( Left Atrium Pressure ), sehingga  tekanan  
kapiler  dan   vena  paru-paru  juga   akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-
paru melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan
bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru.

Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang disebut
dengan hipertensi pulmonal, yang mana hipertensi pulmonal akan meningkatkan tahanan
terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi pada
jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.

Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme patofisiologi gagal jantung:

1. Mekanisme neurohormonal : Pengaturan neurohormonal melibatkan sistem saraf


adrenergik (aktivasi sistem saraf simpatis akan meningkatkan kadar norepinefrin), sistem
renin-angiotensin, stres oksidatif (peningkatan kadar ROS/reactive oxygen species),
arginin vasopressin (meningkat), natriuretic peptides, endothelin, neuropeptide Y,
urotensin II, nitric oxide, bradikinin, adrenomedullin (meningkat), dan apelin (menurun).
2. Remodeling ventrikel kiri: Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan
langsung dengan memburuknya kemampuan ventrikel di kemudian hari.
3. Perubahan biologis pada miosit jantung: Terjadi hipertrofi miosit jantung, perubahan
komplek kontraksi-eksitasi, perubahan miokard, nekrosis, apoptosis, autofagi.
4. Perubahan struktur ventrikel kiri: Perubahan ini membuat jantung membesar, mengubah
bentuk jantung menjadi lebih sferis mengakibatkan ventrikel membutuhkan energi lebih
banyak, sehingga terjadi peningkatan dilatasi ventrikel kiri, penurunan cardiac output,
dan peningkatan hemodynamic overloading.

Patogenesis Gagal Jantung Kongestif

 Gangguan katup jantung  aliran darah jantung terganggu  gangguan pengisisan darah
ventrikel  gangguan kontraksi ventrikel  gagal jantung.
 Hipertensi  penyempitan pembuluh darah jantung  aliran darah ke jantung berkurang 
hipoksia miokard  ischemia miokard  gangguan kontraksi ventrikel  gagal jantung.
 Kelemahan miokard  kontraksi ventrikel melemah  gagal jantung
 Sindrom Koroner Akut( SKA)  arteriosklerosis arteri koronaria  hipoksia miokard 
ischemia miokard  gangguan kontraksi ventikel  gagal jantung.
 CPC  hipertensi pulmonal  aliran darah balik ke ventrikel kanan  ventrikel kanan bekerja
lebih keras  hipertrofi.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis gagal jantung kanan (decompensatio dextra) antara lain: JVP meningkat, batas
jantung kanan melebar (terdapat RVH dan pulsasi epigastrium), pembesaran hati (hepatomegali),
pembesaran limpa (splenomegali), cairan di rongga perut (ascites), bengkak (oedem) pada
tungkai.
Sedangkan manifestasi klinis gagal jantung kiri (decompensatio sinistra) antara lain: sesak nafas
(dispneu, orthopneu, paroxismal nocturnal dispneu), batas jantung kiri melebar (terdapat LVH),
nafas cheyne stokes, kebiruan (cyanosis), Right Bundle Branch (RBB), dan suara S3 (gallop).

Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, foto
thorax, ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi.
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA), umum dipakai untuk
menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik:
Klas I: tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada aktivitas yang lebih
berat dari aktivitas sehari-hari.
Klas II: gejala timbul pada aktivitas sehari-hari.
Klas III: gejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari.
Klas IV: gejala timbul pada saat istirahat.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif.

Kriteria mayor:

1. Paroxismal Nocturnal Dispneu


2. distensi vena leher
3. ronkhi paru
4. kardiomegali
5. edema paru akut
6. gallop S3
7. peninggian tekanan vena jugularis
8. refluks hepatojugular

Kriteria minor:

1. edema ekstremitas
2. batuk malam hari
3. dispneu de effort
4. hepatomegali
5. efusi pleura
6. takikardi
7. penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal

Kriteria mayor atau minor

Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi


Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1 kriteria  minor harus ada
pada saat yang bersamaan.

Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien, terutama
pada usia lanjut. Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba
akibat endokarditis, trauma atau infark miocard luas. Curah jantung yang menurun tiba-tiba
menyebabkan penurunan tekanan darah disertai edema perifer.

Penatalaksanaan

Pada tahap simptomatik dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti cepat capek,
sesak napas, kardiomegali, peningkatan JVP, ascites, hepatomegali dan edema sudah jelas, maka
diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti
pada tahap disfungsi ventrikel kiri, maka keluhan fatig dan keluhan diatas yang hilang timbul
tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rongen, ekokardiografi dan
pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.

Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak gagal jantung sampai edema
atau acites hilang. ACE inhibitor atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat
dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal.
Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE inhibitor
tersebut diberikan.

Digitalis diberikan bila ada aritmia supraventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau
ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. intoksikasi digitalis sangat mudah
terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (<3,5
meq/L).

Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan
hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian
jenis obat ini.

Pemakaian alat bantu Cardiac Resychronization Theraphy (CRP) maupun pembedahan,


pemasangan ICD (Intra Cardiac Defibrillator) sebagai alat mencegah mati mendadak pada gagal
jantung akibat iskemia maupun noniskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas
hidup, namun mahal.

Diagnosis Banding

Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan gagal jantung antara lain:

1. CAD (angina atau MI)


2. Hipertensi kronis
3. Idiopathic dilated cardiomyopathy
4. Valvular heart disease (misalnya, mitral regurgitation, aortic stenosis)
5. Cardiomyopathy lainnya (misalnya, sarcoidosis)
6. Arrhythmia (misalnya, atrial fibrillation)
7. Anemia
8. Overload volume cairan yang disebabkan oleh kondisi noncardiac
9. Penyakit thyroid (hypothyroidism atau hyperthyroidism)
Tinjauan (Pencitraan) Radiologis

a. Echocardiography (ECG)

Echocardiography merupakan pemeriksaan yang lebih disukai (preferred examination). Doppler


echocardiography dua-dimensi dapat digunakan untuk menentukan penampilan LV sistolik dan
diastolik, cardiac output (ejection fraction), serta tekanan pengisian ventrikel dan arteri pulmoner
(pulmonary artery and ventricular filling pressures). Echocardiography juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi penyakit valvular yang penting secara klinis.

b. Radiography

Pada kasus-kasus kardiogenik, radiograph dapat menunjukkan cardiomegaly, pulmonary venous


hypertension, dan pleural effusions. Pulmonary venous hypertension (PVH) dapat dibagi menjadi
3 tingkatan (grade).

Pada grade I PVH, pemeriksaan upright menunjukkan redistribusi aliran darah ke bagian
nondependent dari paru-paru dan lobus atas.
Pada grade II PVH, ada bukti interstitial edema dengan ill-defined vessels dan peribronchial
cuffing, juga penebalan septum interlobular.
Pada grade III PVH, terdapat pengisian airspace lobus-bawah dan perihilar, dengan ciri utama
(ke-khas-an) konsolidasi (misalnya, confluent opacities, air bronchogram dan ketidakmampuan
untuk melihat pembuluh darah pulmo di daerah yang tidak normal). Edema airspace cenderung
menuju ke (to spare) perifer di pulmo bagian atas dan tengah.

Pada kasus-kasus noncardiogenic, kardiomegali dan efusi pleura biasanya tidak ada. Mungkin
ada edema interstitial namun lebih sering consolidative. Tidak ada cephalization aliran yang
dicatat, meskipun kemungkinan ada perubahan (shift) aliran darah ke area yang kurang/sedikit
affected. Edema yang terjadi bersifat difus dan tidak menuju ke perifer pulmo bagian atas atau
tengah.

Pada kasus-kasus yang lebih luas, infark miokard akut, dan infark katub mitral membantu
apparatus memproduksi pola atipikal edem pulmoner yang menyerupai edema noncardiogenic
pada pasien yang pada kenyataannya memiliki edema cardiogenic.

Pada kasus-kasus yang secara klinis membingungkan atau menyulitkan, suatu multidetector-row
gated CT scanning dapat memberikan analisis yang baik sekali untuk jantung dan menampakkan
sifat dasar/alamiah dari edema pulmoner.

Menurut Bashore TM, Granger CB, Hranitzky P, Patel MR (2009), ECG dapat mengindikasikan
suatu aritmia sekunder yang mendasari, infark miokard, atau perubahan nonspesifik yang sering
termasuk voltage rendah, defek konduksi intraventrikuler, LVH, dan perubahan repolarisasi
nonspesifik. Radiograf dada menyediakan informasi tentang ukuran dan bentuk dari cardiac
silhouette. Cardiomegaly merupakan penemuan penting dan sebagai tanda prognostik yang
lemah (poor). Bukti hipertensi vena pulmoner termasuk dilatasi relatif upper lobe veins, edema
perivaskuler (haziness of vessel outlines), edema interstitial, cairan alveolar. Pada gagal jantung
akut, penemuan ini berkorelasi cukup baik dengan tekanan vena pulmoner.
Bagaimanapun juga, pasien dengan gagal jantung kronis dapat menunjukkan vaskularisasi pulmo
yang normal (normal pulmonary vasculature) meskipun tekanan meningkat dengan jelas. Efusi
pleura umum terjadi dan cenderung bilateral atau mengenai sisi kanan (right sided).
Penemuan (Findings)

Dua prinsip utama radiografi dada (chest radiograph) bermanfaat untuk evaluasi pasien dengan
CHF (congestive heart failure), yaitu:
(1) Ukuran dan bentuk dari cardiac silhouette.
(2) Edema di dasar paru-paru (lung bases).

Ukuran dan bentuk cardiac silhouette menyediakan informasi penting mengenai ketepatan sifat
alami/dasar dari penyebab yang mendasari penyakit jantung.
Baik CTR (cardiothoracic ratio) maupun volume jantung, seperti tampak pada plain film, relatif
spesifik namun merupakan indikator yang insensitive untuk peningkatan LV end-diastolic
volume.

Ada korelasi kebalikan yang lemah (weak inverse) antara CTR dan LV ejection fraction (LVEF)
pada pasien dengan gagal jantung. Hubungannya tidak bermanfaat secara klinis pada pasien
individu.

Pada keadaan tekanan vena dan kapiler pulmoner normal, basal paru perfused lebih baik
daripada apeksnya saat pasien pada posisi erect, dan pembuluh darah mensuplai lobus bawah
lebih luas secara signifikan dibandingkan dengan suplai lobus atas. Dengan peningkatan tekanan
kapiler pulmoner dan atrium kiri, berkembanglah edema perivaskuler dan interstitial; edema
paling jelas di basal paru karena tekanan hidrostatik lebih besar disana.

Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) sedikit meninggi (13-17 mm
Hg), resultant compression dari pembuluh darah pulmoner di lobus bawah menyebabkan
persamaan (equalization) dalam ukuran pembuluh darah tersebut di apeks dan basis (pada awal
grade I PVH).

Saat peningkatan tekanan lebih besar (18-23 mm Hg), redistribusi vaskuler pulmoner yang aktual
menuju bagian nondependent pulmo memang terjadi (yakni, dengan “the patient in an upright
patient”,  ada konstriksi lebih lanjut pembuluh darah yang menuju ke lobus bawah, dan dilatasi
pembuluh darah yang menuju ke lobus atas).
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) melebihi 20-25 mm Hg, terjadi
interstitial pulmonary edema (grade II PVH). Dengan grade II PVH, ada bukti interstitial edema,
dengan ill-defined vessels dan peribronchial cuffing, juga penebalan septum interlobular.
Penebalan septum interlobular ini sering disebut sebagai Kerley B lines. Penumpulan awal sudut
costophrenic lateral dan posterior dapat terjadi. Penumpulan tersebut mengindikasikan adanya
cairan pleura (pleural fluid).

Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) melebihi 25 mm Hg, images
menunjukkan efusi pleura yang luas dan grade III PVH, dengan consolidative alveolar edema di
distribusi lobus bawah dan perihilar.
Dengan adanya peninggian tekanan vena sistemik, vena azygos, brachiocephalic veins, dan
superior vena cava dapat melebar.
Pada pasien dengan gagal ventrikel kiri kronis, tekanan kapiler pulmoner yang lebih tinggi dapat
diakomodasi dengan tanda-tanda klinis dan radiologis, karena enhanced lymphatic drainage.

Penelitian pada 22 pasien dengan gagal jantung tingkat lanjut yang ditunjuk untuk evaluasi
cardiac transplant dan yang memiliki pengukuran pulmonary capillary wedge pressure 25 mm
Hg atau lebih, 68%-nya tidak memiliki kongesti pulmoner (atau jika ada, minimal), seperti
ditunjukkan pada radiografi dada.
Intinya, penemuan CHF yang khas pada plain radiograph adalah cardiomegaly; grade I, II, atau
III PVH; dan peningkatan central systemic venous volume, dengan pelebaran (enlargement) vena
mediastinum (termasuk azygous vein) dan efusi pleura.

Derajat Kepercayaan

Derajat kepercayaan (degree of confidence) plain radiograph rendah. Lemahnya korelasi


negative antara CTR dan fraksi ejeksi tidak menentukan keakuratan fungsi sistolik saat tidak
adanya bukti radiografis PVH atau efusi pleura pada pasien dengan gagal jantung. Untuk alasan
inilah, radiograf dada mungkin tidak bermanfaat untuk menentukan tipe disfungsi ventrikel kiri.
Selama fase pengobatan CHF, penemuan radiograf dada seringkali bertolak belakang dengan
perbaikan klinis.

False Positives/Negatives
Penemuan false-negative sering ditemukan.

Electrocardiography

Pada kasus-kasus cardiogenic, ECG dapat menunjukkan bukti adanya MI atau iskemia. Pada
kasus-kasus noncardiogenic, ECG biasanya normal.
Keterbatasan Teknik

Meskipun echocardiography sederhana dan noninvasive, ternyata tidak cukup pada 8-10% kasus.
Sebagai tambahan, hasilnya sulit diinterpretasikan/ diterjemahkan pada pasien dengan penyakit
paru-paru (lung disease).

GAGAL JANTUNG
(diterjemahkan dari "Heart Failure" dalam Harrison's Principles of Internal Medicine 17 ed by
Husnul Mubarak,S.Ked)

DEFINISI

Gagal Jantung (heart failure/HF) merupakan suatu syndrome klinis yang terjadi pada
pasien yang mengalami abnormalitas (baik akibat keturunan atau didapat) pada
struktur atau fungsi jantung sehingga menyebabkan terjadinya perkembangan
rangkaian gejala klinis (fatigue dan sesak) dan tanda klinis (edema dan rales) yang
mengakibatkan opname, kualitas hidup buruk, dan harapan hidup memendek.

EPIDEMIOLOGI

HF merupakan suatu permasalahan medis yang secara global semakin berkembang,


dengan lebih 20 juta orang menderita. Prevalensi keseluruhan HF pada populasi
dewasa di negara maju adalah 2%. Perkembangan prevalensi HF mengikuti pola
eksponensial, meningkat seiring umur, dan mengenai 6-10% individu berumur 65 tahun
keatas. Walaupun insiden pada HF relatif lebih rendah pada wanita dibanding pria,
wanita paling tidak merupakan 50% dari populasi pasien HF karena harapan hidup
mereka yang lebih panjang. Di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) dan Eropa,
resiko terkena HF berkisar 1 dari 5 individu berumur 40 tahun keatas. Prevalensi HF
secara keseluruhan cenderung meningkat, dapat disebabkan karena terapi terkini dari
gangguan kardiak seperti infark myokard (IM), penyakit katup (valvular heart disease),
dan arrhitmia, yang menyebabkan pasien bertahan hidup lebih lama. Sangat sedikit
diketahui mengenai prevalensi atau resiko terkena HF pada negara berkembang karena
kurangnya penelitian berbasis populasi pada negara-negara ini. Walaupun HF
diperkirakan berkembang akibat fraksi ejeksi yang menurun pada ventrikel kiri,
penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar separuh pasien yang terkena HF
memiliki fraksi ejeksi (Ejection Fraction/EF) yang normal (EF > 40-50%). Karena itu,
pasien HF sekarang dikategorikan menjadi dua kelompok : (1) HF dengan EF yang
menurun (biasanya dianggap systolic failure) atau (2) HF dengan EF normal (biasa
disebut diastolic failure).

ETIOLOGY

Seperti ditampilkan pada tabel 1, setiap keadaan yang mengakibatkan perubahan pada
struktur atau fungsi ventrikel kiri (Left ventricular/LV) dapat menyebabkan pasien
terkena HF. Walaupun etiologi HF pada pasien dengan EF yang normal berbeda dengan
yang EF yang menurun, terdapat suatu etiologi yang dianggap overlap untuk kedua
keadaan ini. Pada negara industrialisasi, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan
suatu penyebab dominant pada pria dan wanita dan terjadi pada 60-75% kasus HF.
Hipertensi berperan pada perkembangan HF pada 75% pasien, termasuk pasien dengan
PJK. Baik PJK dan hipertensi dapat bekerja sama untuk meningkatkan resiko HF,
begitu pula dengan diabetes mellitus.

Tabel 1 Etiologi Gagal Jantung


Fraksi Ejeksi Menurun (<40%)
Penyakit Jantung Koroner Cardiomyopathi
noniskemik dilatasi
a
Infark Myokard Kelainan genetic/familial
Iskemik Myokarda Gangguan infiltratifa

Pressure overload kronik Kerusakan akibat


toxic/obat-obatan
a
Hipertensi Gangguan Metabolika

Penyakit katup obstruktifa Viral

Volume Overload kronik Penyakit Chagas


Penyakit katup regurgitasi Gangguan ritme
Shunting intrakardiak (left-to-right) Bradyarrhythmias kronik
Shunting extrakardiak Tachyarrhythmias kronik
Fraksi Ejeksi Normal (>40–50%)
Hipertrofi Patologis Kardiomyopati restriktif
Primer (Kardiomyopati hipertrofi) Gangguan Infiltratif
(amyloidosis, sarcoidosis)
Sekunder (hipertensi) Gangguan penyimpanan
(hemochromatosis)
Penuan Fibrosis
Gangguan
Endomyocardial
Pulmonary Heart Disease
Cor pulmonale
Gangguan vaskuler pulmoner
Keadaan High-Output
Gangguan metabolic Peningkatan kebutuhan
aliran darah berlebih
Thyrotoxicosis Systemic arteriovenous
shunting
Gangguan Nutrisi (beriberi) Chronic anemia
a
Note: Mengindikasikan keadaan yang dapat menyebabkan gagal jantung dengan fraksi
injeksi yang normal.

Pada 20–30% kasus HF dengan EF yang menurun, dasar etiologi pasti belum diketahui
secara pasti. Pasien ini dikatakan memiliki kardiomyopati yang noniskemik, dilatasi
atau idiopatik jika sebabnya tidak diketahui. Infeksi virus sebelumnya atau paparan
toxin (mis. alcohol atau kemoterapi) dapat pula menyebabkan kardiomyopati dilatasi.
Terlebih lagi, sudah semakin jelas bahwa sekelompok besar kasus kardiomyopati
dilatasi merupakan akibat dari defek genetic tertentu, paling ditandai pada sitoskeleton.
Hampir semua jenis kardiomyopati dilatasi familial diturunkan melalui suatu pola
autosomal dominant. Mutasi gen yang mencetak protein sitoskeletal (desmin, cardiac
myosin, vinculin) dan protein membran inti (lamin) telah diidentifikasi sejauh ini.
Kardiomyopati dilatasi juga terkait dengan penyakit Duchenne’s, Becker’s, dan distrofi
muskuler tungkaiy. Keadaan yang mengakibatkan kardiak output yang meningkat (mis.
fistel arteriovenous, anemia) cenderung berperan dalam perkembangan HF pada
jantung yang normal. Tetapi, keberadaan gangguan struktural pada jantung
menyebabkan terjadinya HF.

PROGNOSIS

Walaupun banyak perkembangan terkini mengenai penatalaksanaan HF,


perkembangan HF masih memberikan prognosis yang buruk. Penelitian berbasis
komunitas mengindikasikan bahwa 30-40% pasien HF akan meninggal dalam 1 tahun
setelah diagnosis ditegakkan dan 60-70% dalam waktu 5 tahun, terutama dikarenakan
memburuknya HF atau sebagai kejadian mendadak(kemungkinan karena adanya
aritmia ventrikuler). Walaupun sulit untuk memprediksi prognosis pada seseorang,
pasien dengan gejala pada istirahat [New York Heart Associtaion (NYHA) class IV]
memiliki angka mortalitas sebanyak 30-70% pertahun, dimana pasien dengan gejala
pada aktivitas moderat (NYHA class II) memiliki angka mortalitas tahunan sebanyak 5-
10%. Sehingga status fungsional merupakan suatu predictor penting untuk outcome
pasien (Lihat table 2).

PATOGENESIS

Gambar 1 memberikan suatu kerangka konseptual umum dalam pertimbangan


perkembangan dan progresi HF dengan EF yang menurun. Seperti terlihat, HF dapat
digambarkan sebagai suatu gangguan progressif yang dimulai setelah kejadian penanda,
baik kerusakan pada otot jantung, dengan rusaknya myosit kardiak fungsional, maupun
adanya gangguan terhadap kemampuan myokard untuk menciptakan tekanan, sehingga
mencegah terjadinya kontraksi normal. Kejadian penanda ini dapat berupa onset yang
mendadak, seperti pada kasus IM; dapat pula berupa onset gradual atau perlahan,
seperti pada kasus overload tekanan hemodinamik atau volume overload; dan dapat
pula herediter, seperti pada banyak kasus kardiomyopati genetic. Tanpa
mempertimbangkan sifat dari kejadian merusak ini, gejala yang serupa dari setiap
kejadian penanda adalah bahwa gejala ini, pada beberapa cara, menghasilkan
penurunan pada kapasitas pompa pada jantung. Pada kebanyakan keadaan, pasien
tidak mengalami gejala apapun atau dengan gejala minimal setelah mengalami
penurunan kapasitas pompa jantung, atau gejala berkembang hanya setelah disfungsi
ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga, jika ditinjau dari kerangka
konseptual ini, disfungsi ventrikel kiri berperan penting, namun tidak cukup, untuk
perkembangan kumpulan gejala pada HF.

Gambar 1. Patogenesis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun. Gagal jantung
bermula setelah kejadian penanda menghasilkan penurunan awal pada kapasitas pompa jantung. Akibat
terjadinya penurunan kapasitas ini, berbagai mekanisme kompensasi terjadi, termasuk sistem saraf
adrenergic, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan sistem sitokin. Dalam jangka pendek, sistem ini
dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler ke derajat homeostatik yang normal dan menyebabkan tidak
adanya gejala pada pasien (asimptomatis). Namun, seiring dengan waktu aktivasi sistem kompensasi
yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan organ dalam ventrikel, disertai dengan remodelling
pada ventrikel kiri yang memburuk, dan pada akhirnya dekompensasi kardiak.

Walaupun alasan yang tepat mengapa pasien dengan disfungsi LV dapat tetap
asimptomatis belum dipastikan, salah satu penjelasannya kemungkinan karena
beberapa mekanisme kompensasi menjadi aktif dengan keberadaan jejas pada jantung
dan/atau disfungsi LV, dan sepertinya hal ini dapat dipertahankan dan mengatur fungsi
LV selama beberapa bulan atau tahun. Daftar mekanisme kompensasi yang telah
dijelaskan diatas termasuk (1) aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan
sistem saraf adrenergic, dimana berperan dalam menjaga kardiak output dengan
meningkatkan retensi garam dan ait (Gambar 2), dan (2) meningkatkan kontraktilitas
myokard. Disertai dengan aktivasi dari molekul yang menghambat vasodilatasi,
termasuk peptida natriuretik otak dan atrial (ANP dan BNP), prostaglandin (PGE 2 dan
PGI2), dan nitric oxide (NO), yang menimbulkan vasokonstriksi vaskuler perifer yang
berlebihan. Latar belakang genetis, jenis kelamin, umur, dan lingkungan dapa
mempengaruhi mekanisme kompensasi tersebut, dimana dapat memodulasi fungsi LV
dalam suatu homeostatik yang fisiologis, pada keadaan demikian, kapasitas fungsional
dari pasien dapat dijaga atau hanya sedikit menurun. Sehingga, pasien dapat menjadi
tetap asimpomatis atau dengan gejala minimum untuk jangka waktu beberapa bulan
bahkan tahun. Namun, pada suatu poin ,pasien akan mendapatkan gejala yang jelas,
disertai dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas. Walaupun mekanisme pasti
yang berperan dalam transisi ini tidak diketahui, seperti yang dijelaskan dibawah,
transisi antara HF asimptomatik menjadi simptomatik diikuti oleh adanya peningkatan
aktivasi sistem neurohormonal, adrenergik, dan sitokin yang mengakibatkan beebrapa
perubahan adaptif dalam myokard yang secara keseluruhan disebut LV remodelling.

Gambar 2. Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal ginjal. Penurunan cardiac output pada
pasien HF menghasilkan “pengehentian” dari baroreseptor tekanan tinggi pada ventrikel kiri (lingkaran)
pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arcus aorta. Efek ini menghasilkan pembentukan sinyal aferen
terhadap sistem saraf pusat (CNS) yang menstimulasi pusat cardioregulator pada otak yang menstimulasi
pelepasan arginine vasopression (AVP) dari hipotalamus posterior. AVP [antidiuretic hormone (ADH)]
merupakan vasokonstriktor kuat yang meningkatkan permeabilitas dari duktus koligens renal,
menyebabkan reabsorbsi air. Sinyal aferen ini juga mengaktivasi sistem simpatetik eferen yang
menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal.
Stimulasi simpatetik pada ginjal mengakibatkan pelepasan renin, dengan peningkatan resultan pada
kadar angotensin II dan aldosteron yang bersirkulasi, Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
memicu retensi air dan garam dan mengakibatkan vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer,
hipertrophy myosit, kematian sel myosit, dan fibrosis myokard. Sementara mekanisme neurohormonal
ini memfasilitasi adaptasi jangka pendek untuk menjaga tekanan darah, dan perfusi kepada organ vital,
mekanisme ini juga dipercaya menyebabkan perubahan tahap akhir pada jantung dan sirkulasi dan
retensi air dan garam berlebih pada HF berat.

Berbeda dengan pengetahuan kita mengenai patogenesis HF dengan penurunan EF,


pemahaman mengenai mekanisme yang berperan dalam perkembangan HF dengan EF
yang normal masih diteliti. Walaupun disfungsi diastolic (lihat penjelasan dibawah)
diketahui merupakan mekanisme tunggal yang berperan dalam perkembangan HF
dengan EF normal, penelitian berbasis komunitas menyatakan bahwa mekanisme
tambahan lainnya, seperti peningkatan kekakuan vaskuler dan ventrikuler, dapat
berperan penting pula.

Mekanisme dasar Gagal Jantung

LV remodeling terjadi akibat adanya kejadian kompleks yang terjadi pada level
molekuler dan seluler. Perubahan ini termasuk : (1) hipertrofi myosit; (2) perubahan
pada kemampuan kontraktilitas myosit; (3) kematian myosit progressif melalui
nekrosis, apoptosis, dan aotophagic; (4) desensitasi β-adrenergic; (5) tingkat
metabolisme dan energi abnormal pada jantung; dan (6) reorganisasi dari matriks
ekstraseluler dengan kerusakan dari struktur kolagen yang mengelilingi myosit dan
digantikan dengan matriks kolagen interstitial yang tidak memberikan dukungan
structural terhadap myosit. Stimulus biologis untuk perubahan ini termasuk regangan
mekanis pada myosit, sirkulasi neurohormonal (misal, norepinephrin, angiotensin II),
sitokin inflamasi [misal. tumor necrosis fator (TNF)], peptide dan faktor pertumbuhan
lainnya (mis. endothelin) dan jenis oksigen reaktif (mis. superoxide, NO). Walaupun
molekul ini secara kolektif dianggap neurohormon, terminology neurohormon selama
ini hanya mengarah kepada neurohormon klasik seperti norepinephrin dan angiotensin
II, yang dapat disintesis langsung di dalam myokard dan kemudian bekerja dalam
mekanisme autokrin dan parakrin.Akan tetapi, konsep paling penting adalah adanya
ekspresi yang berlebihan dari molekul yang secara biologis aktif berperan dalam
menimbulkan efek yang merusak pada jantung dan sirkulasi sehingga menimbulkan
progresi HF. Sehingga kemudian, pandangan ini membentuk rasionalisasi klinis untuk
pemakaian agen farmakologis yang melawan sistem ini [mis. angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor dan beta blocker] dalam menangani pasien HF.

Disfungsi Sistolik

Untuk memahami bagaimana perubahan yang terjadi dalam kerusakan myosit kardiak
berperan terhadap penurunan fungsi sistolik yang menurun dari LV pada HF, penting
untuk mempelajari kembali histologi dari sel otot jantung. Aktivasi neurohormonal
berkepanjangan mengakibatkan perubahan transkripsi dan paska-transkipsi pada gen
dan protein yang mengatur eksitasi-kontraksi dan interaksi cross-bridge. Secara
bersamaan, perubahan ini mengganggu kemampuan myosit untuk berkontraksi dan
kemudian berperan terhadap penurunan fungsi sistolik LV yang menurun yang diamati
pada pasien HF.

Disfungsi Diastolik

Relaksasi myokard merupakan proses yang bergantung pada ATP yang diregulasi oleh
uptake kalsium sitoplasmik didalam sarcoplasmic reticulum oleh sarcoplasmic
reticulum Ca2 adenosin triphosphatase (SERCA2A) dan pengeluaran ion calcium oleh
pompa sarcolemma Sehingga yang terjadi kemudian adalah penurunan konsentrasi
ATP, seperti yang terjadi pada iskemia, dapat mempengaruhi proses ini dan
mengakibatkan perlambatan relaksasi myokard. Kemungkinan lainnya, jika pengisian
LV tertunda karena komplians LV menurunan (mis. akibat hypertrophy atau fibrosis),
tekanan pengisian LV akan tetap meningkat pada akhir diastole Peningkatan heart rate
akan menyebabkan pemendekan waktu pengisian diastolic, dimana akan
mengakibatkan peningkatan tekanan pengisian pada LV, terutama pada ventrikel
noncomplians. Peningkatan tekanan pengisian pada akhir diastolic LV mengakibatkan
peningkatan tekanan kapiler pulmoner, dimana berperan terhadap terjadinya dyspnea
yang dialami oleh pasien dengan disfungsi diastolic. Lebih penting lagi, disfungsi
diastolic dapat terjadi sendiri atau berkombinasi dengan disfungsi sistolik pada pasien
HF.

Remodeling Ventrikel Kiri (LV Remodelling)

Remodeling ventrikuler berarti adanya perubahan pada massa ventrikel kiri, volume,
bentuk, dan komposisi dari jantung yang terjadi setelah jejas kardiak dan/atau
hemodinamika abnormal. LV remodeling dapat berperan secara independent terhadap
progresi HF dengan memberikan beban mekanis yang jelas yang membuat perubahan
pada geometri dari ventrikel kiri. Sebagai contoh, perubahan bentuk LV dari bentuk
ellipsoid menjadi bentuk yang lebih spheris selama LV remodeling mengakibatkan
tekanan dinding meridian pada LV meningkat, sehingga menimbulkan beban mekanis
baru pada jantung yang sudah lemah. Sebagai tambahan terhadap peningkatan volume
end-diastolic ventrikel kiri, penipisan dinding ventrikel kiri juga terjadi seiring dilatasi
ventrikel. Penipisan dinding bersamaan dengan peningkatan afterload yang
ditimbulkan oleh dilatasi ventrikel kiri menyebabkan afterload mismatch
(ketidakserasian afterload) fungsional yang berkontribusi lebih lanjut terhadap
penurunan stroke volume. Ditambah lagi dengan tingginya tekanan dinding pada akhir
diastolic yang secara logis dapat mengakibatkan (1) hipoperfusi pada subendokardium,
sehingga fungsi ventrikel kiri semakin memburuk; (2) peningkatan stress oksidatif, yang
kemudian mengaktivasi gen yang sensitive terhadap pembentukan radikal bebas (mis.
TNF dan interleukin 1β); dan (3) ekspresi berkelanjutan dari gen yang diaktivasi oleh
regangan (angiotensin II, endothelin, dan TNF) dan/atau aktivasi regangan dari jalur
sinyal hypertrophy. Masalah terpenting kedua yang terjadi akibat peningkatan
spherisitas dari ventrikel adalah otot papillary tertarik mengakibatkan inkompetensi
pada katup mitral dan menyebabkan regurgitasi mitral fungsional. Ditambah dengan
berkurangnya aliran darah, regurgitasi mitral akan memperburuk keadaan dengan
menyebabkan overloading pada hemodinamika ventrikel. Secara bersamaan, beban
mekanis yang bertambah pada LV remodelling diperkirakan mengakibatkan penurunan
kardiak output, peningkatan dilatasi LV (regangan), dan peningkatan overloading
hemodinamika, yang kesemuanya cukup untuk menyebabkan progresi gagal jantung.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala

Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah
dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF, sepertinya
abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga
berkontribusi terhadap gejala ini. Pada tahap HF yang dini, sesak napas dialami pada
saat beraktivitas berat (dyspneu d’effort);namun semakin penyakit ini berkembang,
sesak napas juga dialami pada aktivitas ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat
beristirahat. Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada HF. Mekanisme paling
penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau
intraalveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi
pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit jantung.
Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat
adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas,
kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas dapat menjadi
lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan regurgitasi tricuspid.

Orthopnea
Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring,
biasanya merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan dyspneu d’effort. Hal ini
terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah
kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler
pulmoner. Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari) merupakan gejala
yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan gejala HF yang lain.
Orthopneu umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1
bantal. Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada HF,
ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan
pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan posisi
tegak.

Paroxysmal Nocturnal Dyspenea (PND)

Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang
biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3
jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing,
kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan
kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial yang meyebabkan
peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan
setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing
yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma
sepertinya berhubungan dekat dengan PND, ditandai dengan adanya wheezing akibat
bronchospasme, dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan penyebab
pulmoner lainnya yang menimbulkan wheezing. tom of HF, it may occur in patients
with abdominal obesity or ascites and in patients with pulmonary disease whose lung
mechanics favor an upright posture.

Pernapasan Cheyne-Stokes

Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan Cheyne-
Stokes umum terjadi pada HF berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak
ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada
pusat respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat
penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas
darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan
hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi
oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.

Edema Pulmoner Akut

Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat,
tachynepa, tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat kompresi
saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi
akibat pelepasan cathecolamine endogenous.

Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada edema
paru akut. Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan
diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang
berubah yang biasanya diagnostic untuk infark myokard dan sebaiknya dilakukan
protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi arteri koroner. Kadar brain
natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal jantung sebagai
etiologu sesak napas akut dengan edema pulmoner .

Gejala Lainnya

Pasien dengan HF dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. Anorexia,


nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala
yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau
kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran
kanan atas. Gejala serebral, seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula
diamati pada pasien dengan HF berat, terutama pasien lanjut usia dengan
arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi
pada HF dan dapat berperan dalam insomnia.

PEMERIKSAAN FISIS

Pemeriksaan fisis yang teliti selalu penting dalam mengevaluasi pasien dengan HF.
Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan penyebab daei HF, begitu
pula untuk menilai keparahan dari sindrom yang menyertai. Memperoleh informasi
tambahan mengenai keadaan hemodinamika dan respon terhadap terapi serta
menentukan prognosis merupakan tujuan tambahan lainnya pada pemeriksaan fisis.

Keadaan Umum dan Tanda Vital

Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami gangguan
pada waktu istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan
yang datar dalam beberapa menit. Pada HF yang lebih berat, pasien harus duduk
dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan tidak dapat
mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang dirasakan. Tekanan darah sistolik
dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun biasanya berkurang pada HF berat,
karena adanya disfungsi LV berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang,
menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda
nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer
menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku
juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih.

Vena Jugularis

Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan.


Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan kepala
membentuk sudut 45o. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm H2O (normalnya
< 8 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut sternal.
Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat
namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan
abdomen (abdominojugular reflux positif). Gelombang v besar mengindikasikan
keberadaan regurgitasi trikuspid.

Pemeriksaan pulmoner

Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan dari
ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner, rales dapat
terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada
ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki penyakit
paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk HF. Perlu diketahui bahwa rales
seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan HF kronis, bahkan dengan tekanan
pengisian LV yang meningkat, hal ini disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik
dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan tekanan kapiler
pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena
pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi
dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada HF efusi pleura seringkali bilateral,
namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura kanan

Pemeriksaan Jantung

Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan informasi


yang berguna mengenai tingkat keparahan HF. Jika kardiomegali ditemukan, maka
apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah
lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S 3) dapat terdengar dan dipalpasi pada
apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat memiliki
denyut oarasternal yang berkepanjangan meluas hingga systole. S 3 (atau prodiastolic
gallop) paling sering ditemukan pada pasien dengan volume overload yang juga
mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan gangguan
hemodinamika. Suara jantung keempat (S 4) bukan indicator spesifik untuk HF namun
biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral
dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan HF tahap lanjut.

Abdomen dan Ekstremitas

Hepatomegaly merupakan tanda penting pada pasien HF. Jika ditemukan, pembesaran
hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama systole jika regurgitasi
trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terhadi sebagai konsekuensi peningkatan
tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga
merupakan tanda lanjut pada HF, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic akibat
kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan peningkatan bilirubin
direct dan indirect.

Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada HF, namun namun tidak spesifik
dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic. Edema perifer
biasanya sistemik dan dependen pada HF dan terjadi terutama pada daerah Achilles
dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan tirah
baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan skrotum.
Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.

Cardiac Cachexia

Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan dan
cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada HF tidak diketahui,
sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting metabolic rate;
anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada
perut; peningkatan konsentrasi sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan
absorbsi intestinal akibat kongesti pada vena di usus. Jika ditemukan, cachexia
menandakan prognosis keseluruhan yang buruk.

DIAGNOSIS

Diagnosis HF relatif tidak sulit jika pasien datang dengan gejala dan tanda klasik untuk
HF; akan tetapi, gejala dan tanda HF kebanyakan tidak spesifik dan tidak sensitive.
Karena hal tersebut, kunci untuk mendiagnosis adalah mempunyai tingkat kecurigaan
tinggi terutama pada pasien beresiko. Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda HF,
pemeriksaan laboratorium penunjang sebaiknya dilakukan.

Pemeriksaan Laboratorium Rutin

Pasien dengan onset HF yang baru atau dengan HF kronis dan dekompensasi akut
sebaiknya melakukan pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urean nitrogen
(BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Pasien tertentu sebaiknya
memiliki pemeriksaan tertentu seperti pada Diabetes Mellitus (gula darah puasa atau
tes toleransi glukosa), dislipidemi (profil lipid), dan abnormaltas thyroid ( kadar TSH).
Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan keberadaan hypertrophy pada LV atau riwayat MI (ada atau
tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya
disfungsi diastolic pada LV.

Radiology

Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan


bentuknya, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi
penyebab nonkardiak pada gejala pasien. Walaupun pasien dengan HF akut memiliki
bukti adanya hipertensi pulmoner, edema interstitial, dan/atau edema puloner,
kebanyakan pasien dengan HF tidak ditemukan bukti-bukti tersebut. Absennya
penemuan klinis ini pada pasien HF kronis mengindikasikan adanya peningkatan
kapasitas limfatik untuk membuang cairan interstitial dan/atau cairan pulmoner

Penilaian fungsi LV

Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan


menangani HF. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler,
dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV
begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian
diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai HF dengan
EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran
ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan
penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap
anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV.
Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi
dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan
noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para
ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas,
karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai
contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam
atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF
normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara
bermakna (<30-40%),>

Biomarker

Kadar peptide natriuretik yang bersirkulasi berguna sebagai alat tambahan dalam
diagnosis HF. Baik B-type natriuretic peptide dan N-terminal pro-BNP, yang
dikeluarkan dari jantung yang mengalami kerusakan, merupakan marker yang relative
sensitif untuk menentukan keberadaan HF dengan EF yang rendah; peptide ini juga
meningkat pada pasien HF dengan EF yang normal, walaupun dengan kadar yang lebih
sedikit. Namun demikian, penting untuk diketahui bahwa kadar peptide natriuretik juga
meningkat seiring umur dan dengan gangguan ginjal, lebih meningkat pula pada
wanita, dan dapat meningkat pada HF kanan dari penyebab apapun. Kadar ini dapat
terlihat lebih rendah pada pasien obesitas dan kadarnya dapat normal pada beberapa
pasien setelah pengobatan yang tepat dijalani. Konsentrasi peptide natriuretik yang
normal pada pasien yang tidak ditangani sangat bermanfaat untuk menyingkirkan
diagnosis HF. Biomarker lainnya seperti troponon T dan I, C-reactive protein, reseptor
TNF, dan asam urat, dapat meningkat pada HF dan memberikan informasi penting
mengenai prognosis. Pemeriksaan berkala dari salah satu (atau lebih) biomarker
tersebut sangat membantu untuk mengarahkan terapi pada HF, namun tidak
dianjurkan untuk tujuan ini.

Pemeriksaan latihan
Treadmill atau latihan bersepeda tidak rutin dianjurkan pada pasien HF, namun
bermanfaat untuk menilai perlunya transplantasi kardiak pada pasien dengan HF berat.
peak oxygen uptake (VO2) <14>O2 <14>

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

HF menyerupai namun harus dapat dibedakan dengan (1) keadaan dimana kongesti
sirkulasi disebabkan oleh retensi air dan garam yang abnormal tetapi tidak terdapat
kelainan pada struktur atau fungsi jantung (mis. pada gagal ginjal) dan (2) penyebab
nonkardiak terhadap kejadian edema pulmoner (mis. syndrome distress pernapasan
akut . Pada kebanyak pasien yang datang dengan tanda dan gejala khas untuk HF,
diagnosis relative tidak sulit. Namun, bahkan ahli berpengalaman memiliki kesulitan
untuk membedakan antara sesak napas akibat jantung atau pulmoner. Untuk hal ini,
pencitraan jantung noninvasif, biomarker, fungsi pulmoner, dan pemeriksaan radiology
dapat berguna. Kadar BNP atau N terminal pro-BNP yang sangat rendah membantu
menyingkirkan penyebab jantung pada sesak napas. Edema engkel dapat timbul akibat
varises vena, obesitas, penyakit ginjal, dan efek gravitasi. Ketika HF terjadi pada pasien
dengan EF yang normal, sulit untuk menentukan apakah sesak napas akibat kontribusi
HF atau akibat penyakit paru kronis dan/atau obesitas.

PENATALAKSANAAN GAGAL JANTUNG

HF sebaiknya dipandang sebagai suatu seri yang terdiri dari 4 stadium yang saling
berkaitan. Stadium A termasuk pasien dengan resiko tinggi terkena HF namun tanpa
gangguan structural jantung atau gejala HF (pasien diabetes mellitus atau hipertensi).
Stadium B termasuk pasien yang memiliki gangguan structural pada jantung namun
tanpa gejala HF (misal. pasien dengan riwayat MI dan disfungsi LV asimptomatis).
Stadium C termasuk pasien yang memiliki gangguan structural pada jantung dan
memiliki gejala HF yang berkembang (misal. pasien dengan riwayat MI dengan sesak
napas dan kelemahan ). Stadium D termasuk pasien dengan HF refrakter yang
membutuhkan intervensi khusus (pasien dengan HF refrakter yang membutuhkan
transplantasi jantung). Pada seri ini, setiap usaha sebaiknya dilakukan untuk mencegah
HF, tidak hanya dengan menangani penyebab HF yang dapat dicegah (hipertensi)
namun dengan mengatasi pasien pada stadium B dan stadium C dengan obat yang
mencegah progresi penyakit ini (mis. ACE inhibitor dan beta blocker) dan dengan
penanganan simptomatik pasien pada stadium D.

Menentukan Strategi Terapi yang Tepat untuk HF Kronis.


Setelah pasien mengalami perkembangan kerusakan structural jantung, terapi
berganrung terhadap klasifikasi fungsional NYHA (Tabel 2). Walaupun sistem
klasifikasi ini diketahui bersifat subjektif dan memiliki variabilitas yang besar antar
pengamat, klasifikasi ini sudah lama digunakan dan berlanjut diterima secara luas
untuk aplikasi pada pasien HF. Untuk pasien dengan disfungsi sistolik LV namun tetap
bertahan asimptomatis (class I), tujuan terapi sebaiknya untuk memperlambat progresi
penyakit dengan memblokir sistem neurohormon yang menyebabkan remodeling
jantung. Untuk pasien dengan gejala yang telah berkembang (class II-IV), tujuan terapi
utama adalah untuk meringankan retensi cairan, mengurangi disabilitas, dan
menurunkan resiko dari progresi penyakit dan kematian. Tujuan ini biasanya
membutuhkan strategi yang mengkombinasikan diuretic (untuk mngendalikan retensi
air dan garam) disertai dengan intervensi neurohormonal (untuk meminimalisir
remodeling jantung).

Tabel 2. Klasifikasi New York Heart Association


Kapasitas Penilaian Objektif
Fungsional
Class I Pasien dengan penyakit jantung
namun tanpa keterbatasan pada
aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa
tidak menyebabkan keletihan,
palpitasi, sesak, atau nyeri anginal
Class II Pasien dengan penyakit jantung yang
menyebabkan keterbatasan aktivitas
fisik ringan. Pasien merasa nyaman
pada waktu istirahat. Aktivitas fisik
biasa mengakibatkan kelemahan,
palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.
Class III Pasien dengan penyakit jantung yang
mengakibatkan keterbatasan
bermakna pada aktivitas fisik. Pasien
merasa nyaman pada waktu istirahat.
Aktivitas fisik yang lebih ringan dari
biasanya menyebabkan keletihan,
palpitasi, sesak, dan nyeri anginal..
Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang
mengakibatkan ketidakmampuan
untuk menjalani aktivitas fisik apapun
tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal
jantung atau sindroma angina dapat
dialami bahkan pada saat istirahat.
Jika aktivitas fisik dilakukan, maka
rasa tidak nyaman semakin
meningkat.
Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood Vessels: Nomenclature and Criteria for
Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown, 1964, p. 114.

Penatalaksanaan HF dengan Fraksi Ejeksi Menurun (<40%)>

Pemeriksaan Umum

Klinisi, dalam pemeriksaan, sebaiknya bertujuan untuk mengskrining dan menangani


komorbiditas tertentu seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,
anemia, dan gangguan pernapasan pada saat tidur, dimana keadaan ini cenderung
mengawali eksaserbasi HF. Pasien HF sebaiknya dianjurkan untuk berhenti atau
mengurangi merokok dan konsumsi alcohol. Temperatur ekstrim dan aktivitas fisik
berlebih sebaiknya dihidari. Obat tertentu yang dapat memperburuk HF (Tabel 3)
sebaiknya dihindari. Sebagai contoh, nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAID),
termasuk cyclooxygenase 2 inhibitor tidak dianjurkan pada pasien dengan HF kronis
karena resiko gagal ginjal dan retensi cairan dapat meningkat secara bermakna dalam
keadaan fungsi renal yang terganggu atau dalam terapi ACE inhibitor. Pasien sebaiknya
diberikan imunisasi influenza atau pneumococcus untuk mencegah infeksi respirasi.
Penting pula memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai HF,
pentingnya pola makan yang tepat, dan pentingnya pemberian regimen obat yang
teratur. Pengawasan pasien rawat jalan oleh perawat atau asisten dokter dan/atau pada
klinik khusus HF terbukti bermanfaat, terutama pada pasien dengan penyakit yang
berat.

Tabel 3. Faktor yang Dapat Memicu Dekompensasi Akut Pada Pasien


dengan Gagal Jantung Kronis
Pola diet yang tidak dianjurkan
Iskemia Myokard/ Infark Myokard
Arrhythmia (tachycardia atau bradycardia)
Penghentian terapi HF
Infeksi
Anemia
Pemberian obat yang memperburuk HF
- Calcium antagonists (verapamil, diltiazem)
- Beta blockers
- Nonsteroidal anti-inflammatory drugs
- Antiarrhythmic agents [semua agen kelas 1, sotalol (kelas III)]
- Anti-TNF antibodies
Konsumsi Alkohol
Kehamilan
Hipertensi yang memburuk
Insufisiensi valvular akut

Aktivitas

Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada HF, suatu latihan rutin ringan
terbukti bermanfaat pada pasien HF dengan NYHA kelas I-III. Pasien euvolemik
sebaiknya didorong untuk melakukan latihan rutin isotonic seperti jalan atau mengayuh
sepeda ergometer statis, yang dapat ditoleransi. Beberapa penelitian mengenai latihan
fisik memberikan hasil yang positif dengan berkurangnya gejala, meningkatkan
kapasitas latihan, dan memperbaiki kualitas dan durasi kehidupan. Manfaat
pengurangan berat badan dengan restriksi intake kalori belum diketahui secara jelas

Diet

Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien HF (baik dengan
penurunan EF maupun EF yang normal). Restriksi lebih lanjut (<2g name="2902141">
simtomatik karena kurangnya bukti manfaat dan berpotensi untuk interaksi negative
dengan terapi HF.

Diuretik
Diuretik

Kebanyakan dari manifestasi klinik HF sedang hingga berat diakibatkan oleh retensi
cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan gejala kongestif. Diuretik (Tabel 4)
adalah satu-satunya agen farmakologik yang dapat mengendalikan retensi cairan pada
HF berat, dan sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga status volume
pada pasien dengan gejala kongestif (sesak napas, orthopnea, dan edema) atau tanda
peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis, edema perifer).
Furosemide, torsemide, dan bumetanide bekerja pada loop of Henle (loop diuretics)
dengan menginhibisi reabsorbsi Na+, K+,dan Cl –
pada bagian asendens pada loop of
henle; thiazide dan metolazone mengurangi reabsorbsi Na + dan Cl- pada bagian awal
tubulus kontortus distal, dan diuretic hemat kalium seperti spironolakton bekerja pada
tingkat duktus koligens.

Tabel 4 Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)
Dosis Awal Dosis Maksimal

Diuretics
Furosemide 20–40 mg qd or bid 400 mg/da

Torsemide 10–20 mg qd bid 200 mg/da

Bumetanide 0.5–1.0 mg qd or bid 10 mg/da

Hydrochlorthiazide 25 mg qd 100 mg/da

Metolazone 2.5–5.0 mg qd or bid 20 mg/da

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors


Captopril 6.25 mg tid 50 mg tid
Enalapril 2.5 mg bid 10 mg bid
Lisinopril 2.5–5.0 mg qd 20–35 mg qd
Ramipril 1.25–2.5 mg bid 2.5–5 mg bid
Trandolapril 0.5 mg qd 4 mg qd
Angiotensin Receptor Blockers
Valsartan 40 mg bid 160 mg bid
Candesartan 4 mg qd 32 mg qd
Irbesartan 75 mg qd 300 mg qdb

Losartan 12.5 mg qd 50 mg qd
β Receptor Blockers
Carvedilol 3.125 mg bid 25–50 mg bid
Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd
Metoprolol succinate CR 12.5–25 mg qd Target dose 200 mg qd
Additional Therapies
Spironolactone 12.5–25 mg qd 25–50 mg qd
Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd
Kombinasi 10–25 mg/10 mg tid 75 mg/40 mg tid
hydralazine/isosorbide dinitrate
Dosis tetap 37.5 mg/20 mg (one tablet) tid 75 mg/40 mg (two tablets) tid
hydralazine/isosorbide dinitrate
Digoxin 0.125 mg qd <0.375 mg/db

a
Dosis harus disesuaikan hingga mengurangi gejela kongestif pada pasien

b
Dosis target tidak diketahui

Walaupun semua diuretic meningkatkan eksresi sodium dan volume urin, diuretic
memiliki potensi dan famakologik yang beragam. Loop diuretic meningkatkan eksresi
fraksional sodium hingga 20-25%, sedangkan thiazide hanya 5-10% dan cenderung
berkurang efektivitasnya pada pasien dengan insufisiensi renal moderat atau berat
(creatinin ?2. mg/dl). Sehingga, loop diuretic biasanya dibutuhkan untuk
mengembalikan status volume pasien HF. Diuretik sebaiknya dimulai dengan dosis
rendah (Tabel 4) dan kemudian ditingkatkan secara perlahan lahan untuk meringankan
tanda dan gejala overload cairan. Hal ini biasanya membutuhkan penyesuaian dosis
berulang selama beberapa hari pada pasien dengan overload cairan berat. Pemberian
intravena dapat penting untuk meringankan kongesti akut dan aman digunakan pada
keadaan rawat jalan. Setelah gejala kongesti diringankan, pemberian diuretic sebaiknya
tetap dilanjutkan untuk menghindari rekurensi dari retensi air dan garam

Diuretik memiliki potensi untuk menyebabkan berkurangnya volume dan elektrolit,


begitu pula dengan memperburuk azotemia. Sebagai tambahan, diuretik dapat
memperburuk aktivasi neurohormonal dan progresi penyakit. Satu efek samping
diuretik yang paling penting adalah perubahan homeostatis potassium (hipokalemia
atau hyperkalmei), yang akan meningkatkan resiko arrhythmia. Pada umumnya, baik
loop diuretik maupun thiazid dapat menyebabkan hypokalemia, sedangkan
spironolacton, eplerenone, dan triamterene menyebabkan hyperkalemia.
ACE Inhibitor (ACEI)

Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa ACE inhibitor sebaiknya digunakan
pada pasien simptomatis dan asimptomatis dengan EF menurun. ACE inhibitor
mempengaruhi sistem rennin-angiotensin dengan menginhibisi enzyme yang berperan
terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Tidak hanya itu, karena ACE
inhibitor (ACEI) juga dapat menghambat kininase II, sehingga dapat mengakibatkan
peningkatan bradykinin, yang akan meningkatkan efek bermanfaat dari supresi
angiotensin. ACEI menstabilkan LV remodeling, meringankan gejala, mengurangi
kemungkinan opname, dan memperpanjang harapan hidup. Karena retensi cairan
dapat menurunkan efek ACEI, dianjurkan untuk diberikan diuretic sebelum memulai
terapi ACEI. Akan tetapi, penting untuk mengurangi dosis diuretic selama awal
pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi kemungkinan hipotensi simptomatik.
ACEI sebaiknya dimulai dengan dosis rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara
bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.

Gambar 3. Algoritme penatalaksanaan Gagal Jantung Kronispada pasien dengan


penurunan fraksi ejeksi. Setelah diagnosis klinis HF ditegakkan, penting untuk menangani retensi
cairan sebelum memulai terapi ACEI (atau ARB jika pasien intoleran terhadap ACEI). Βeta-blocker
sebaiknya dilakukan jika retensi cairan telah ditangani dan/atau dosis ACEI telah ditingkatkan. Jika
pasien masih bergejala, ARB, antagonis aldosteron, atau digoxin dapat diberikan sebagai “triple therapy”.
Terapi alat sebaiknya dipertimbangkan dengan pemberian farmakologik yang tepat pada pasien. ACEI,
angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker; NYHA, New York Heart
Association; CRT, cardiac resynchronization therapy; ICD, implantable cardiac defibrillator.
Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin
angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama
pemberian terapi dan biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu
diturunkan. Akan tetapi, jika hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi renal
menjadi lebih berat, maka penting untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi potassium
yang tidak berespon dengan diuretic, dosis ACE juga perlu diturunkan.

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan ACE karena
batuk, rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB menghambat sistem
rennin-angiotensin, kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda.
ACEI memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi
angiotensin II, ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I.
Beberapa penelitian klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB
pada terapi ACEI pada pasien HF kronis.

Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah, fungsi
ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa pula.

β-Adrenergic Receptor Blockers

Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan pasien dengan
penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari aktivasi sistem adrenergic
yang berkepanjangan dengan secara kompetitif memblokir satu atau lebih reseptor
adrenergik (α1, β1, and β2). Walaupun terdapat manfaat potensial dalam memblokir tiga
reseptor ini, kebanyakan efek penurunan aktivasi adrenergic dimediasi oleh reseptor β 1.
Jika diberikan bersamaan dengan ACEI, beta blocker menghambat proses LV
remodeling, meringankan gejala pasien, mencegah opname, dan memperpanjang
harapan hidup. Maka dari itu beta blocker diindikasikan pada pasien HF simptomatik
atau asimptomatik dengan EF menurun (<40%)>
Seperti dengan pemakaian ACEI, beta blocker juga sebaiknya dimulai dalam dosis
rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara gradual jika dosis rendah telah dapat
ditoleransi. Dosis beta blocker sebaiknya ditingkatkan hingga dosis yang terbukti efektif
pada suatu penelitian klinis (Tabel 4). Namun, tidak seperti ACEI, dimana dapat
ditingkatkan secara cepat, penyesuaian dosis beta blocker sebaiknya tidak lebih cepat
dari interval 2 minggu, karena dosis inisiasi dan/atau peningkatan dosis agen ini dapat
memperburuk retensi cairan akibat berkurangnya dukungan adrenergic pada jantung
dan sirkulasi. Maka dari itu, penting untuk mengoptimalkan dosis diuretic sebelum
memulai terapi beta blocker. Peningkatan retensi cairan biasanya dapat diatasi dengan
penambahan dosis diuretic. Pada beberapa pasien, dosis beta blocker perlu diturunkan.

Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul dari
penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa hari setelah
permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi. Terapi betabloker
dapat menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart block. Maka dari itu, dosis
beta blocker sebaiknya diturunkan jika heart rate menurun hingga <50>1 receptor yang
dapat mengakibatkan efek vasodilatasi.

Antagonis Aldosteron

Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang memblokir efek
aldosteron (spironolakton atau eplerenon) memiliki efek bermanfaat yang independent
dari efek keseimbangan sodium. Walaupun ACEI dapat menurunkan sekresi aldosteron
secara transient, dengan terapi jangka panjang, kadar aldosteron akan kembali seperti
sebelum terapi ACEI dilakukan. Maka dari itu, pemberian antagonis aldosteron
dianjurkan pada pasien dengan NYHA kelas III atau kelas IV yang memiliki EF yang
menurun (<35%)>

Permasalahan utama pemberian antagonis aldosteron adalah peningkatan resiko


hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang menerima terapi
suplemen potassium atau mengalami insufisiensi renal sebelumnya. Antagonis
aldosteron tidak direkomendasikan jika kreatinin serum >2.5 mg/dL (atau klirens
kreatinin <30>5.0 mmol/L.
Terapi Antikoagulan dan Antiplatelet

Pasien HF memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian thromboembolik. Pada


penilitan klinis, angka kejadian stroke mulai dari 1,3 hingga 2,4% per tahun. Penurunan
fungsi LV dipercaya mengakibatkan relative statisnya darah pada ruang kardiak yang
berdilatasi dengan peningkatan resiko pembentukan thrombus. Penatalaksanaan
dengan warfarin dianjurkan pada pasien dengan HF, fibrilasi atrial paroxysmal, atau
dengan riwayat emboli sistemik atau pulmoner, termasuk stroke atau transient ischemic
attack (TIA). Pasien dengan iskemik kardiomyopati simptomatik atau asimptomatik dan
memiliki riwayat MI dengan adanya thrombus LV sebaiknya diatasi dengan warfarin
dengan permulaan 3 bulan setelah MI, kecuali terdapat kontraindikasi terhadap
pemakaiannya.

Aspirin direkomendasikan pada pasien HF dengan penyakit jantung iskemik untuk


menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis rendah aspirin (75 atau 81 mg)
dapat dipilih karena kemungkinan memburuknya HF pada dosis lebih tinggi.

Penatalaksanaan HF dengan Fraksi Ejeksi Normal (>40%)

Walaupun banyaknya informasi yang berkaitan dengan evaluasi dan pentalaksanaan HF


dengan EF yang menurun, tidak ditemukan agen farmakologis atau terapi alat untuk
penatalaksanaan pasien dengan HF dengan EF yang normal. Sehingga, dianjurkan
untuk memulai usaha penatalaksanaan pada proses penyakit penyebab (mis. iskemia
myokard, hipertensi) yang berkaitan dengan HF dengan EF yang normal. Faktor pemicu
seperti takikardi atau atrial fibrilasi, sebaiknya ditangani sesegera mungkin melalui
pengendalian dan restorasi ritme sinus. Sesak napas dapat ditangani dengan
mengurangi volume darah total (diet rendah garam dan diuretic), mengurangi volume
darah sentral (nitrat), atau mengurangi aktivasi neurohormonal dengan ACEI, ARB,
dan/atau beta blocker. Penanganan dengan diuretic dan nitrat sebaiknya dimulai
dengan dosis rendah untuk menghindari hipotensi. s tachycardia or atrial fibrillation,
should be treated as quickly as possible through rate control and restoration of sinus
rhythm when appropriate. Dyspnea may be treated by reducing total blood volume
(dietary sodium restriction and diuretics), decreasing central blood volume (nitrates), or
blunting neurohormal activation with ACE inhibitors, ARBs, and/or beta blockers.
Treatment with diuretics and nitrates should be initiated at low doses to avoid
hypotension and fatigue.

Menentukan Strategi Penatalaksanaan untuk HF Akut

Tujuan terapeutik dari penatalaksanaan HF akut adalah untuk (1) memperbaiki


stabilisasi hemodinamika yang terganggu yang menyebabkan munculnya gejala (2)
mengidentifikasi dan menangani faktor reversible yang mempresipitasi dekompensasi ,
dan (3) menentukan regimen farmakologis efektif untuk pasien rawat jalan yang akan
mencegah perkembangan penyakit dan relaps. Pada beberapa keadaan, HF akut
membutuhkan opname, dan seringkali dengan setting ICU. Setiap usaha sebaiknya
diambil untuk mengidentifikasi penyebab pemicu, seperti infeksi, arrhymia, tidak
disiplinnya diet, emboli pulmoner, endocarditis infektif, iskemia/infark myokard samar,
dan stress lingkungan dan emosional (Tabel 3), karena menangani kejadian pemicu ini
sangat penting dalam penatalaksanaan

Terdapat 2 petanda hemodinamika primer terhadap HF akut yaitu peningkatan tekanan


pengisian LV dan penurunan kardiak output. Seringkali, penurunan cardiac output
diikuti oleh peningkatan systemic vascular resisteance (SVR) sebagai akibat adanya
aktivasi neurohormonal berlebihan. Karen kerusakan hemodinamika ini dapat terjadi
sendiri atau bersamaan, pasien dengan HF akut biasanya datang dengan satu dari
empat dasar profil hemodinamika : tekanan pengisian LV normal (Profil A),
peningkatan tekanan pengisian LV dengan perfusi normal (Profil B), Peningkatan
tekanan pengisian LV dengan penurunan perfusi (Profil C) dan tekanan pengisian LV
normal atau rendah dengan penurunan perfusi (Profil D)

Maka dari itu, pendekatan terapeutik pada pasien dengan HF akut sebaiknya
disesuaikan dengan keadaan hemodinamika pasien. Tujuannya sebaiknya, jika
memungkinkan, merestorasi profil hemodinamika pasien (Profil A). Pada beberapa
keadaan, kondisi hemodinamika pasien dapat diperkirakan melalui pemeriksaan klinis.
Sebagai contoh, pasien dengan tekanan pengisian LV yang meningkat dapat
memberikan gejala retensi cairan (ronchi, elevasi vena jugular, dan edema perifer) dan
dikatakan sebagai “basah” sedangkan pasien dengan cardiac output yang menurun dan
dengan peningkatan SVR biasanya memiliki perfusi jaringan yang buruk dan
bermanifestasikan dinginnya ekstremitas distal sehingga dikatakan sebagai “dingin”.
Namun, perlu ditekankan bahwa pasien dengan gagal jantung kronis mungkin saja
tidak ditemukan ronchi atau adanya edema perifer pada kunjungan pertama dengan
dekompensasi akut, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan pengisian tidak
terdeteksi. Pada pasien seperti ini, lebih tepat untuk dilakukan pemeriksaan
hemodinamika secara invasive.

Pasien yang tidak mengalami kongesti dan mempunyai perfusi jaringan yang normal
dikatakan sebagai “kering” dan “hangat”. Jika pasien HF akut masuk RS dengan profil
A, maka gejalanya seringkali akibat keadaan diluar penyebab HF (mis. penyakit
pulmoner atau hati, atau transient myocardial ischemia). Akan tetapi, pasien HF akut
lebih sering datang dengan gejala kongestif yang “hangat dan basah” (Profil B), dimana
penatalaksanaan tekanan pengisian dengan diuretic dan vasodilator diperlukan untuk
menurunkan tekanan pengisian LV. Profil B termasuk kebanyakan pasien dengan
edema pulmoner akut.

Pasien dapat pula datang dengan gejala kongesti dan dengan pengingkatan SVR yang bersifat “dingin dan basah”
(Profil C). Pada pasien ini, cardiac output dapat meningkat dan tekanan pengisian LV diturunkan dengan
menggunakan vasodilator intravena. Agen inotropik intravena dengan kerja vasodilatasi (dobuthamin, dopamine
dosis rendah, milrinone ) memperbaiki cardiac output dengan menstimulasi kontraktilitas myokard sehingga
meringankan fungsi jantung.
Tabel 5 Obat untuk Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut
Dosis Permulaan Dosis Maksimal

Vasodilators
Nitroglycerin 20 µg/menit 40–400 µg/menit
Nitroprusside 10 µg/menit 30–350 µg/menit
Nesiritide Bolus 2 µg/kg 0.01–0.03 µg/kg per menita

Inotropes
Dobutamine 1–2 µg/kg per menit 2–10 µg/kg per menitb

Milrinone Bolus 50 µg/kg 0.1–0.75 µg/kg per menitb

Dopamine 1–2 µg/kg per menit 2–4 µg/kg per menitb

Levosimendan Bolus 12 µg/kg 0.1–0.2 µg/kg per menitc


Vasoconstrictors
Dopamine for hypotension 5 µg/kg per menit 5–15 µg/kg per menit
Epinephrine 0.5 µg/kg per menit 50 µg/kg per menit
Phenylephrine 0.3 µg/kg per menit 3 µg/kg per menit
Vasopression 0.05 units/menit 0.1–0.4 units/ menit

a
Biasanya <4>

b
Inotrope juga memiliki kemampuan vasodilators.

c
Diakui diluar Amerika Serikat untuk penanganan gagal jantung akut

Pasien yang datang dengan profil L (“dingin dn kering”) sebaiknya dievaluasi secara
teliti dengan menggunakan katerisasi jantung-kanan untuk melihat keberadaan dari
peningkatan tekanan pengisian LV yang samar. Jika tekanan pengisian LV rendah
(Pulmonary capillary wedge pressure [PCWP] <12>Tujuan terapi berikutnya
bergantung dari kondisi klinis. Terapi yang mencapai target yang telah dikatakan
sebelumnya mungkin tidak dapat lakukan pada beberapa pasien, terutama bila mereka
memiliki disfungsi RV atau mengalami sindrom cardiorenal, dimana fungsi ginjal
menurun selama diuresis agresif. Memburuknya fungsi ginjal terjadi pada sekitar 25%
pasien yang diopname dengan HF dan berkaitan dengan opname yang lebih lama dan
peningkatan mortalitas setelah pemulangan.

Penatalaksanaan Farmakologik untuk HF Akut

Vasodilator

Selain diuretic, vasodilator intravena adalah pengobatan paling berguna untuk HF akut.
Dengan menstimulasi guanylyl cyclase dalam sel otot halus; nitroglycerin,
nitroprusside, dan nesiritida menghasilkan efek dilatasi pada resistensi arterial dan
venous capacity pada pembuluh darah, sehingga menurunkan tekanan pengisian LV,
penurunan mitral regurgitasi, dan memperbaiki cardiac output, tanpa meningkatkan
heart rate atau menyebabkan arrhythmia.

Nitroglycerin intravena biasanya dimulai pada dosis 20 µg/menit dan ditingkatkan


hingga 20 µg sampai gejala pasien meringan atau PCWP menurun hingga 16 mmHg
tanpa menurunkan tekanan darah sistolik dibawah 80 mmHg. Efek samping yang
paling sering terjadi dari nitrat oral dan intravena adalah sakit kepala, dimana, jika
ringan, dapat diatasi dengan analgesik dan sering berkurang seiring dengan
perlangsungan terapi.

Nitroprusside biasanya dimulai dengan dosis 10 µg/menit dan ditingkatkan 10-20 µg


tiap 10–20 menit jika ditoleransi, dengan tujuan hemodinamika yang sama dengan
yang telah dijelaskan diatas. Kecepatan dari onset dan offset, dengan paruh waktu kira-
kira sekitar 2 menit, memfasilitasi kadar optimal vasodilatasi pada pasien di ICU.
Keterbatasan utama dari nitroprusside adalah efek samping dari sianida, yang
bermanifestasi umumnya pada gastrointestinal dan sistem saraf. Sianida sepertinya
paling sering beakumulasi pada perfusi hepar yang berat dan penurunan fungsi hepatik
akibat cardiac output rendah, dan sepertinya sering terjadi pada pasien yang
mendapatkan >250 µg/menit selama 48 jam. Toksisitas sianida dapat diatasi dengan
penurunan atau penghentian infus nitroprusside. Pemakaian jangka panjang (> 48 jam)
terkait dengan toleransi hemodinamik.

Nesiritide, vasodilator terbaru, merupakan rekombinan dari brain type natriuretic


peptide (BNP), yang merupakan peptide endogenous yang disekresi utamanya pada LV
sebagai respon peningkatan tekanan dinding. Nesiritide diberikan sebagai bolus (2
µg/kg) diikuti dengan infus dosis tetap (0.01–0.03 µg/kg per menit). Nesiritide efektif
menurunkan tekanan pengisian LV dan meringankan gejala selama pengobatan HF
akut. Sakit kepala lebih jarang terjadi pada nesiritide dibandingkan nitroglycerin.
Walaupun disebut sebagai natriuretic peptide, nesiritide tidak pernah menyebabkan
diuresis jika digunakan sendiri pada suatu penelitian klinik. Akan tetapi, sepertinya
memiliki efek positif terhadap kerja pengobatan diuretik jika diberikan bersamaan,
sehingga jumlah dosis diuretik yang dibutuhkan dapat diturunkan

Hipotensi merupakan efek samping yang paling sering terjadi pada ketiga agen
vasodilatasi tersebut, walaupun nesiritide dianggap yang paling kurang efeknya.
Hipotensi biasanya terkait dengan bradykardia, terutama dengan penggunaan
nitroglycerin. Ketiga obat tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi arteri pulmoner,
dimana dapat memperburuk hypoxia pada pasien dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi.

Agen Inotropic

Agen inotropik positif menghasilkan manfaat hemodinamika langsung dengan


menstimulasi kontraktilitas kardiak, dan secara bersamaan menyebabkan vasodilatasi
perifer. Efek hemodinamika ini secara bersamaan menghasilkan perbaikan pada cardiac
output dan penurunan tekanan pengisian pada LV.

Dobutamine, merupakan agen inotropik yang paling sering digunakan pada


penatalaksanaan HF akut, efek kerjanya dengan menstimulasi reseptor β 1 and β2 dengan
sedikit efek pada reseptor α1. Dobutamine diberikan sebagai infuse berkelanjutan,
dengan dosis infuse permulaan sebesar 1–2 µg/kg permenit. Dosis lebih tinggi (>5
µg/kg per menit) biasanya diperlukan pada hipoperfusi berat; akan tetapi, terdapat
sedikit penambahan manfaat jika dosis ditingkatkan diatas 10 µg/kg per menit. Pasien
yang diinfus selama lebih dari 72 jam biasanya mengalami tachyphylaxis dan biasanya
dosis perlu ditingkatkan.

Milrinone merupakan suatu inhibitor phosphodiesterase III yang menyebabkan


peningkatan cAMP dengan meninhibisi katabolismenya. Milrinone dapat bekerja secara
sinergis dengan β-adrenergic agonists untuk mendapatkan peningkatan cardiac output
lebih tinggi dibandingkan jika pemakaian agen tersebut diberikan tersendiri, dan
kemungkinan lebih efektif dibandingkan dengan dobutamin dalam meningkatkan
cardiac output dengan keberadaan beta blocker. Milrinone dapat diberikan dengan cara
bolus 0.5 µg/kg per menit, diikuti dengan dosis infuse sebesar 0.1–0.75 µg/kg per
menit. Karena milrinone merupakan vasodilator yang lebih efektif dibandingkan
dobutamin, obat ini lebih menurunkan tekanan pengisian LV walaupun dengan resiko
hipotensi yang lebih besar.

Walaupun penggunaan jangka pendek inotrop memberikan manfaat hemodinamika,


agen ini lebih cenderung mengakibatkan tachyarrhythmia dan kejadian iskemik
dibandingkan vasodilator. Sehingga inotrop lebih tepat digunakan pada keadaan klinis
dimana vasodilator dan diuretic tidak membantu, seperti pasien dengan perfusi
sistemik yang buruk dan/atau shock cardiogenic, pada pasien yang membutuhkan
dukungan hemodinamika jangka pendek pada infark myokard atau operasi, dan pada
pasien persiapan transplantasi jantung atau sebagai perawatan paliatif pada pasien HF
berat. Jika pasien membutuhkan penggunaan inotrop yang berkesinambungan, sangat
dipertimbangkan untuk diberikan dalam keadaan ICU karena efek proarrhytmia pada
agen tersebut.

Vasokonstriktor

Vasokontstriktor digunakan untuk mendukung tekanan darah sistemik pada pasien


dengan HF. Dari ketiga agen yang biasanya sering digunakan (Tabel 5), dopamine
merupakan pilihan pertama untuk terapi pada situasi dimana inotropy dan dukungan
pressor dibutuhkan. Dopamin merupakan cathecolamine endogen yang menstimulasi
reseptor β1, α1, dan reseptor dopaminergik (DA 1 dan DA2) pada jantung dan sirkulasi.
Efek dopamine bergantung pada dosisnya. Dosis dopamine rendah (<2>1 dan DA 2 dan
menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh splanchnic dan renal. Dosis Moderat (2–4
µg/kg per menit) menstimulasi reseptor β 1 dan meningkatkan cardiac output dengan
sedikit perubahan pada heart rate atau SVR. Pada dosis yang lebih tinggi (< 5 µg/kg per
menit) efek dopamine pada reseptor α1 menyaingi reseptor dopaminergik dan
vasokonstriksi terjadi, menyebabkan peningkatan SVR, tenakan pengisian LV, dan heart
rate.

Dopamine juga menyebabkan pelepasan norepinephrin dari terminal saraf, dimana


akan menstimulasi reseptor α1 andβ 1 sehingga, meningkatkan tekanan darah.
Dopamine merupakan terapi paling berguna pada pasien HF dengan cardiac output
yang rendah dengan perfusi jaringan yang buruk (Profil C). Tambahan signifikan
inotropic dan dukungan tekanan darah dapat diberikan dengan epinephrine,
phenylepinephrin, dan vasopressin (Tabel 5); akan tetapi pemakaian berkepanjangan
dapat menyebabkan kegagalan hati dan ginjal dan dapat menyebabkan gangrene pada
ekstremitas. Sehingga, agen ini tidak diberikan kecuali pada keadaan darurat.

Intervensi Mekanik dan Operasi


Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter maka
intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi yang lebih
efektif. Terapi ini termasuk intraaortic balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan
transplantasi jantung.

You might also like