You are on page 1of 7

Dalam ilmu sosial terdapat dua pendekatan yang saling bertentangan

di dalam dinamika masyarakat. Yang pertama adalah pendekatan


struktural-fungsional. Pendekatan struktural-fungsional mencakup bagian-
bagian yang berbeda fungsi namun memiliki satu keterkaitan satu sama
lain secara fungsional. Sedangkan yang kedua adalah pendekatan
struktural-konflik yaitu berbagai bagian yang memiliki kepentingan yang
saling bertentangan. Konflik merupakan gejala yang tidak terhindarkan di
dalam masyarakat. Konflik antar pihak yang menginginkan tujuan yang
sama akan selalu menuju ke arah kesepakatan. Masyarakat tidak mungkin
terintegrasi secara permanen dengan mengandalkan kekuasaan yang
dominan. Sebaliknya masyarakat yang terintegrasi dengan konsensus
sekalipun tidak dapat bertahan secara permanen tanpa adanya pihak
dominan yang memiliki kekuatan untuk melakukan pemaksaan kehendak.

Konflik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik yang berwujud


kekerasan dan konflik yang tidak berwujud kekerasan. Pada konflik yang
berwujud kekerasan sering terjadi pada masyarakat yang belum memiliki
consensus (kesepakatan ) mengenai dasar dan tujuan negara serta
mekanisme penyelesaian konflik yang melembaga. Sehingga berbagai
bentuk kekerasan menjadi wujud konflik. Sedangkan konflik yang tak
berwujud kekerasan masyarakat sudah mengenal dan memiliki
consensus (kesepakatan ) mengenai dasar dan tujuan negara serta
mekanisme penyelesaian konflik yang melembaga. Biasanya wujud dari
konflik ini dengan adanya debat pendapat, dialog, demonstrasi, dan lain-
lain.

Konflik tidak selamanya bersifat negatif atau berujung pada


kekerasan dan kerusuhan. Kekerasan yang terjadi dalam konflik biasanya
adalah jalan terakhir untuk memenuhi tujuan suatu pihak. Disisi lain
konflik juga bersifat positif yaitu mampu menghilangkan unsur-unsur
“pengganggu” dalam suatu hubungan. Dalam hal ini konflik menjadi
sebagai penyelesaian bagian yang bertentangan yang berfungsi stabilisasi
dan menjadi komponen yang mempererat hubungan.
Pada dasarnya konflik merupakan gejala di dalam masyarakat yang
dapat terjadi karena adanya perbedaan. Konflik yang terjadi dapat dalam
bentuk konflik pribadi (perorangan), kelompok, atau suatu badan tertentu.
Namun tidak semua konflik berimplikasi konflik politik sehingga tidak
semua mekanisme penyelesaiannya melalui proses politik. Bila pihak-
pihak yang berkonflik tidak dapat menemukan jalan keluar yang terbaik,
maka persoalan konflik dapat di bawa ke jalur pengadilan. Dalam hal ini
pihak-pihak yang ber konflik tidak dapat menemukan solusi yang terbaik,
untuk itu mereka meminta pihak lain dalam hal ini pemerintah untuk
membuat suatu keputusan melalui mekanisme politik yaitu pengadilan.
Pemerintah menjadi mediator atau arbitrator atau dapat dikatakan
menjadi “wasit” diantara pihak-pihak yang berkonflik.

Konflik politik secara sederhana adalah perbedaan pendapat,


pertentangan, persaingan diantara sejumlah individu, kelompok, atau pun
organisasi dalam upaya mendapatkan dan atau mempertahankan
sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan
pemerintah.

CONTOH KASUS KONFLIK POLITIK :

1. Konflik politik Yusril Ihza Mahendra dan Hendarman Supandji

Konflik politik Yusril Ihza Mahendra dan Hendarman Supandji adalah salah
satu contoh konflik politik yang melibatkan langsung lembaga politik pemerintahan.
Dalam kasus ini Yusril Ihza Mahendra diduga melakukan korupsi dalam terkait
pengadaan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Saat itu Yusril
dipanggil oleh kejaksaan agung untuk diperiksa namun Yusril menolak untuk di periksa.
Yusril justru mempertanyakan keabsahan Hendarman Supandji yang saat itu menjabat
sebagai jaksa agung dan melaporkan hendarman ke mahkamah konstitusi. Hendarman
sendiri menganggap bahwa dirinya sah sebagai jaksa agung. Namun dalam
perkembangannya ternyata Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan Yusril atas
Hendarman dan mencabut jabatan Jaksa Agung dari Hendarman.
2. Konflik Sampit

Konflik Sampit adalah konflik etnis di Kota Sampit, Kalimantan Tengah


yang terjadi pada tahun 2001. Konflik ini melibatkan etnis Dayak dan
Madura dimana etnis Dayak yang merupakan suku asli Kalimantan
dengan etnis Madura yang menjadi pendatang dan menetap di
Sampit Kalimantan Tengah. Akibat konflik ini ratusan orang baik dari
Etnis Dayak dan Madura serta ribuatn warga kehilangan harus
mengungsi dan kehilangan tempat tinggal.

Analisa kasus :

Konflik Sampit adalah salah satu konflik sosial-politik yang berujung


pada kekerasan dan menyebabkan huru-hara. Konflik ini terjadi karena
adanya kemajemukan atau perbedaan horizontal dan vertical.
Kemajemukan horizontal seperti suku, ras, agama, adat, dan
kebudayaan. Dalam kasus ini etnis Dayak yang merupakan penduduk
asli Kalimantan merasa bahwa etnis Madura yang merupakan etnis
pendatang tidak menghargai dan menghormati adat dan budaya etnis
Dayak.

Etnis Madura kerap membawa senjata tajam ketika berada di luar


rumah termasuk ketika mengunjungi rumah atau lahan milik etnis
Dayak. Etnis Dayak merasa tersinggung atas perlakuan tersebut,
karena didalam kebudayaan suku Dayak membawa senjata tajam ke
ke dalam rumah atau lahan orang lain dinilai sebagai tindakan yang
tidak sopan, menghina, mengancam sekaligus sebagai ajakan
berperang. Suku Dayak sendiri dikenal sebagai suku yang sopan,
ramah, dan tidak memicu kekerasan. Sementara hal ini dianggap
biasa saja oleh etnis Madura dan kegiatan tersebut terus dilakukan.
Selain itu etnis Dayak adalah etnis yang sangat menjunjung tinggi
nilai adatnya menilai bahwa etnis Madura adalah etnis yang telah
melanggar sumpah perdamaian yang pernah dibuat oleh kedua pihak.
Sementara pihak Madura merasa tidak ada yang salah dengan
perbuatan mereka.
Kemajemukan kultural horizontal dalam kasus ini, dimana setiap etnis
atau suku berusaha mempertahankan jati diri dan identitas mereka
serta karakteristik budaya mereka dari ancaman budaya lain
menyebabkan konflik yang menimbulkan perang saudara.

Selain itu kemajemukan vertikal juga mendukung terjadinya konflik


ini. Konflik Sampit banyak dipicu oleh kenyataan bahwa etnis Madura
dalam perkembangan taraf hidupnya berhasil menjelma menjadi
kelompok yang menguasai sumberdaya ekonomi di Sampit sedangkan
disisi lain kehidupan social etnis Madura semakin eksklusif dan
semakin menegaskan komunalitas etnisnya. Tentu saja hal ini
membuat ‘gesekan’ perbedaan antar etnis lebih besar.

Kedua etnis yang terlibat konflik tidak memiliki saluran mekanisme


pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga dan pada
akhirnya menyebabkan kekerasan dan huru hara. Dalam kasus Sampit
ini pemerintah turun tangan dalam usaha pengaturan konflik di Sampit
dengan baik dengan jalan mediasi atau perwasitan. Dalam upayanya
pemerintah membuat pengaturan sumber daya ekonomi yang lebih
adil. Selain itu pemerintah juga menempuh jalan konsensi yaitu
dengan memberikan pihak etnis Dayak untuk memberi konsensi
kepada pihak Madura. Pemerintah juga berusaha dalam membangun
kembali modal sosial masyarakat Sampit dan mengontrol gejala
konflik etnis. Pemerintah menjadi pihak dominan yang menjaga
integrasi antar etnis di Sampit.

3. Konflik Politik Indonesia-Malaysia (Konflik Ambalat)

Konflik Ambalat merupakan dampak kekalahan Indonesia pada sidang


Mahkamah Internasional yang mengadili status kepemilikan Pulau
Sipadan dan Ligitan 18 Desember 2002. Pemilikan dua pulau itu
diputuskan jatuh ke tangan Malaysia. Konflik Sipadan - Ligitan bermula
ketika Malaysia menerbitkan peta 21 Desember 1979 yang
mencantumkan Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk wilayahnya, yang
dijawab Indonesia dengan protes diplomatik 8 Februari 1980 dan 15
April 1992. Konflik ini setelah mengalami jalan buntu, dibawa ke
Mahkamah Internasional dan memenangkan Malayia sebagai pemilik
dua pulau terluar Indonesia itu. Konsekuensi dari keputusan ini Malaysia secara
sepihak menarik batas laut teritorial 12 mil dan ZEE 200 mil yang tumpang tindih
dengan ZEE RI, tanpa pemberitahuan kepada pihak Indonesia langsung menempatkan
kapal perangnya di wilayah tersebut, menghardik nelayan Indonesia, menghalangi
pembuatan Menara Suar Unarang dan memasang tanda-tanda di perairan Ambalat.

Analisa kasus :

Konflik Ambalat adalah salah satu kasus konflik politik antar dua
negara. Ketika Indonesia dan Malaysia terlibat dalam konflik wilayah
dan menemukan jalan buntu maka ke dua negara membawa
persoalan ini ke lembaga tertinggi yang mampu memproses dan
memutuskan penyelesaian konflik ini. Dalam penyelesaian konflik
Amabalat menimbulkan situasi yang menurut Paul Conn disebut
situasi menang-kalah (zero-sum conflict) dengan menempatkan
Malaysia sebagai pihak yang menang dan Indonesia sebagai pihak
yang salah. Dalam situasi ini hasil kompetisi hanya akan dinikmati
oleh pihak yang menang saja dan tidak memungkinkan diadakan
kerjasama.

Konflik Ambalat juga salah satu contoh kasus yang membuktikan


bahwa tidak selamanya konflik bersifat negatif. Konflik Ambalat
membuktikan bahwa konflik memiliki fungsi positif yaitu pengerat
hubungan masyarakat dan sebagai ‘alat’ pengintegrasian suatu
kelompok. Ketika konflik Amabalt timbul, terjadi kesenjangan antara
Indonesia dan Malaysia. Indonesia menganggap Malaysia secara
sepihak telah mengklaim bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini menyulut kemarahan rakyat Indonesia. Dalam situasi seperti ini
warga masyarakat melupakan sejenak konflik Internal yang terjadi
Indonesia dan mempererat rasa nasionalisme untuik bersama – sama
menentang dan melakukan demonstrasi anti Malaysia. Di samping itu
konflik Ambalat juga membuat pemerintah Indonesia lebih
memberikan perhatian pada batas-batas wlayah Indonesia khususnya
pulau terluar agar tetap terjaga dan terintegrasi dengan Indonesia.

TUGAS PENGANTAR ILMU POLIIK

Konflik dan Proses Politik


MILA MAULIDINA

0802510912

ILMU KOMUNIKASI

You might also like