You are on page 1of 33

1

A. Latar Belakang Masalah

Hasil kerja ratio manusia dengan menggunakan logika yang dituangkan ke

dalam suatu karya dan kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas, dapat

menjadi suatu gagasan dan ekspresi sebagai objek kekayaan intelektual.

Gagasan atau ide yang diambil melalui suatu pemikiran secara rasional

tersebut tentu saja tidak semua orang dapat dan mampu melakukannya. Oleh

sebab itu suatu gagasan yang bermanfaat bagi praktek kehidupan sehari-hari

bernilai ekonomis, sehingga perlu diberikan suatu perlindungan dalam hal

penggunaannya. Perlindungan gagasan dan ide tersebut dapat dilakukan

melalui pemberian suatu hak kepada pemilik gagasan dan ide tersebut untuk

menggunakan dan atau menyebarluaskan. Perlindungan gagasan dan ide

melalui pemberian suatu hak tersebut dinamakan dengan Hak Kekayaan

Intelektual atau disebut dengan HaKI (setelah tahun 2001 diganti dengan

HKI).

Namun pada dasarnya yang dilindungi oleh HKI adalah ide atau gagasan

yang nantinya diwujudkan dalam suatu bentuk karya intelektualitas, yang bisa

dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan secara praktis.1

Hak kekayaan intelektual merupakan terjemahan resmi dari istilah

Intellectual Property Rights (IPR) menurut Undang-undang No. 25 Tahun

2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang

merupakan penjabaran lebih lanjut dari GBHN 1999-2004. Hak kekayaan

intelektual juga dapat diartikan sebagai Hak Milik Intelektual dari istilah

1
M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan Prakteknya di
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 16
2

Belanda ‘’milik intelektuil’’. Selain itu, hak kekayaan intelektual dapat pula

dimasukkan ke dalam istilah Intangible Property.

Mahadi dalam bukunya mengatakan, bahwa orang cenderung membagi hak


kekayaan menjadi dua bagian, yaitu:
- Hak absolut, merupkan hak yang dapat dipertahankan terhadap
semua orang. Dimana hak ini kemudian dibagi lagi menjadi hak
absolut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
dan hak absolut lainnya diluar KUHPerdata. Hak absolut lainnya
inilah yang di dalamnya termasuk Hak Intelektual.
- Hak relatif, merupakan hak yang dapat dipertahankan terhadap
orang.2

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Hak Intelektual juga

merupakan hak yang dilindungi, yang kemudian memunculkan konsepsi

bahwa Hak Intelektual merupakan hak yang serupa dengan hak milik.

Selanjutnya Racmadi Usman dalam bukunya tentang Hukum Hak atas


Kekayaan Intelektual menyatakan, bahwa istilah yang lebih tepat dipakai
adalah hak milik intelektual karena istilah hak “milik” mempunyai
pengertian yang ruang lingkupnya lebih khusus dibandingkan dengan
“kekayaan”. Menurut sistem hukum perdata Indonesia, hukum harta
kekayaan itu meliputi hukum kebendaan dan hukum perikatan. Intellectual
Property Rights merupakan kebendaan immaterial yang juga merupakan
objek hak milik sebagaimana diatur dalam hukum kebendaan. Oleh karena
itu istilah yang lebih tepat untuk digunakan adalah hak milik inteletual.3

Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia

sedunia, bahwa Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan

(untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah,

kesusastraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta. Dari pemikiran ini

maka dapat diambil kesimpulan bahwa suatu karya intelektualitas dapat

dilindungi karena memiliki hak alami yang muncul dari proses pemikiran

2
Mahadi, Hukum Benda dalam sistem hukum Perdata Nasional, Bina Cipta, Jakarta,
1983,
hlm. 14-17
3
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 1
3

suatu gagasan dan ide menjadi suatu karya intelektual. Secara nalar-nya bahwa

suatu karya dapat dipergunakan seluas-luasnya hanya oleh pemiliknya atau

oleh orang lain sesuai izin dari pemiliknya, sehingga ini disebut sebagai hak

milik dari hasil intelektualitas seseorang dan bernilai ekonomis.

Dalam Pasal 7 persetujuan TRIPs menyebutkan, perlindungan dan

penegakan HaKI bertujuan mendorong timbulnya inovasi, pengalihan dan

penyebaran teknologi dan diperolehnya manfaat bersama antara penghasilan

dan penggunaan teknologi, dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial dan

ekonomi serta keseimbangan antara hak dan kewajiban

Indonesia berperan serta dalam kerja sama di bidang HKI dimulai sejak

tahun 1950 diikuti dengan penandatanganan konvensi Paris pada tahun 1997

dan selanjutnya Indonesia meratifikasi Agreement Establishing the World

Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia yang salah

satu komponennya adalah TRIPs. Sebagai konsekuensinya Indonesia

berkewajiban menaati semua ketentuan yang ada dalam konvensi internasional

tersebut, Indonesia setuju untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan TRIPs

pada tahun 2000.

Namun kenyataannya pada tahun 1989 Indonesia mulai masuk dalam

kategori watch list, tingkatan yang paling rendah. Artinya, negara yang masuk

dalam daftar ini cukup diawasi karena tingkat pelanggaran HKI. Kemudian

pada tahun 2003 berangsur menjadi kategori priority watch list, pada tingkat

ini pelanggaran terhadap HKI tergolong berat, sehingga perlu diprioritaskan

pengawasannya. Lain dari pada itu, usaha Indonesia untuk masuk dalam
4

kancah internasional melalui penegakan HKI telah dimulai sejak Proklamasi

kemerdekaan Indonesia yang walaupun secara substantif materi peraturan

perundang-undangan pada masa Hindia Belanda tidak dengan mudah begitu

saja digantikan tetapi dengan adanya tekad dan tuntutan rakyat maka

dibentuklah peraturan yang sesuai dengan jiwa bangsa. Dengan demikian

peraturan yang ada pada zaman Hindia Belanda dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku, diubah dengan peraturan produk dalam negeri yang juga telah

mengalami berbagai revisi hingga saat ini.

Dalam sistem hukum di Indonesia khususnya di bidang hukum hak

kekayaan intelektual hingga saat ini telah disahkan berbagai peraturan,

misalnya;

- Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

- Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.

- Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

- Undang-undang No. 29 tahun 2000 tentang Varietas Tanaman.

- Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

- Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

- Undang-undang No.32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit

Terpadu.

- Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement

Establishing the World Trade Organization. Dan berbagai produk

peraturan dibidang HKI dan bidang terkait lainnya.


5

Dengan diubahnya berbagai peraturan produk barat maka terlihat bahwa

konstruksi sistem hukum Barat dirasa kurang cocok bagi bangsa Indonesia,

apalagi di Indonesia telah ada hukum adat yang dulunya memang tidak dapat

diberlakukan karena Indonesia adalah negara jajahan, tetapi untuk saat ini

Indonesia telah bebas dalam menentukan arah, tujuan, dan pandangan bangsa.

Ahmad Ube dalam makalahnya menyebutkan bahwa pembentukan


identitas hukum nasional suatu negara dilandasi oleh:
a. Alasan politik, dilandaskan pada pemikiran bahwa suatu negara
merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional dan
demi kebanggaan nasional.
b. Alasan sosiologis, menghendaki adanya hukum yang mencerminkan
nilai-nilai budaya suatu bangsa.
c. Alasan praktis, bersumber dari antara lain pada kenyataan bahwa
biasanya negara bekas jajahan mewarisi hukum penjajahnya dengan
bahasa aslinya. Namun kemudian hari, bahasa itu tidak lagi dipahami
oleh generasi muda di negara yang baru merdeka tersebut. Hal ini
disebabkan karena negara yang baru merdeka itu, menjadikan
bahasanya sendiri sebagai bahasa nasional, sehingga bahasa negara
penjajahnya hanya dimiliki dan dipahami oleh generasi yang
mengalami penjajahan.4

Telah diakui bahwa banyak aspek dari hukum Barat yang kurang sesuai

dengan hukum Adat di Indonesia, begitu pula dengan adanya perlindungan

HKI di Indonesia. Perbedaan dua sistem hukum ini terletak pada prinsip

universal yang melekat dan ada dalam hukum Adat, dimana hukum ini lebih

mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan perseorangan. Bagi

hukum Adat makin banyak karya seseorang ditiru dan dipakai oleh pihak lain,

maka akan semakin baik pula bagi pemilik karyanya. Sebab disini lebih

ditonjolkan adanya prinsip bahwa semakin banyak yang memakai suatu karya

maka semakin akan dikenal pemilik karya, dan akan semakin berguna pula
4
Ahmad Ubbe-Media HaKI, identitas hukum nasional dalam perspektif reformasi hukum
-Lokakarya Penguatan Peran Kelembagaan Sosial , BPHN Dept.Kehakiman dan HAM, 8-10
Desember 2003
6

karyanya bagi penggunaannya. Dengan perkataan lain inilah yang

menyebabkan perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia masih

kurang, sehingga membuka peluang bagi para penikmat karya-karya

intelektualitas untuk mengeksploitasi suatu karya secara bebas dan seluas-

luasnya.

Di Indonesia angka pembajakan juga masih sangat tinggi. Selain hal yang

berpengaruh di atas, kesadaran masyarakat Indonesia yang kurang sebagai

pengguna suatu karya juga berpengaruh bagi terlaksananya perlindungan hak

kekayaan intelektual dengan sebaik-baiknya.

Menurut data yang ada, untuk tingkat ASEAN, kesadaran masyarakat

Indonesia untuk melindungi hak kekayaan intelektualnya kurang dari 10 %.5

Oleh karena itu diperlukan adanya sistem sosialisasi yang menyeluruh

bagi semua lapisan masyarakat Indonesia, karena Indonesia terdiri dari

berbagai pulau yang dapat dijangkau dengan mudah dan ada pula yang sulit

untuk dijangkau.

Achmad Zen menyebutkan dalam makalahnya, bahwa program sosialisasi


HaKI adalah untuk menumbuhkan sikap tanggap terhadap tanda-tanda
perubahan dan kesadaran akan pengaruh HaKI pada kehidupan sehari-hari,
oleh sebab itu keberhasilan sistem HaKI hanya bisa dilakukan bersama-
sama dengan anggota masyarakat. Jadi sosialisasi ini merupakan elemen
sentral dalam keberhasilan sistem HaKI.6

Hak kekayaan intelektual merupakan suatu hasil karya intelektualitas yang

dianggap sebagai suatu maha karya yang hanya ada pada golongan tertentu

5
Waluyo-Media HaKI, Sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual di Perguruan Tinggi-Dirjen
HKI, jakarta, 2004, hlm. 14
6
Achmad Zen-News Letter, Menyambut Millenium III TRIPs, Dimensi Baru HaKI dan
Kesiapan Kita-Yayasan PPH, Jakarta, 1999, hlm. 2
7

saja, sehingga kebanyakan orang menganggap bahwa hukum hak atas

kekayaan intelektual hanya berlaku bagi kalangan pembuat dan pemiliknya

saja. Namun sesungguhnya yang lebih berperan disini adalah para

penggunanya, karena hak ini diberikan adalah untuk menghindari adanya

eksploitasi suatu karya yang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya.

Dalam Kompilasi Undang-undang Hak Cipta Paten dan Merek


disebutkan, bahwa HaKI lazimnya mencakup dua objek, yaitu Hak Cipta
(dan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, atau Copyrights dan
Neighbouring Rights) dan Hak Milik Industrial (Industrial Property Rights)
yang mencakup Paten, Paten sederhana (utility models), desain industri,
merek, dan rahasia dagang, serta varietas tanaman baru.7

Hak cipta yang merupakan cabang dari HaKI adalah merupakan hak untuk

mencipta atau hak yang berhubungan dengan pencipta.8

Istilah hak cipta berasal dari negara common law, yakni copyrights atau

negara Eropa dikenal dengan droit d’aueteur dan di Jerman dikenal sebagai

unheberecht.9.

Dalam pengaturannya hak cipta telah melalui beberapa kali perubahan,


yaitu mengenai peraturan-peraturan yang dimuat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Auteurswet dalam Stb. No. 600 Tahun 1912
tentang Hak Cipta) dicabut melalui Undang-undang No. 6 Tahun 1982
kemudian secara berturut-turut direvisi melalui Undang-Undang No. 12
Tahun 1997 dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002.10

Perlindungan hak cipta merupakan keseluruhan hal yang berkaitan dengan

pembuatan suatu karya melalui pola pikir intelektual dan rasio yang harus

7
Kompilasi Undang-undang HCPM dan Terjemahan Konvensi-Konvensi di Bidang HaKI-PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002:xxiv
8
Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar-PT Alumni, Bandung, 2002, hlm.
6
9
Endang Purwaningsih, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights Kajian Hukum
terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten-Ghalia Indonesia,
Bogor, 2005, hlm. 1
10
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual-PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, hlm. 2
8

benar-benar merupakan hasil ciptaanya, ditinjau dari segi penggunaan suatu

karya tersebut oleh pihak lain sesuai dengan izin dari pemilik atau

pembuatnya. Salah satu pokok permasalahan di Indonesia yang menjadi

sorotan dunia adalah lemahnya penegakan hukum. Hal ini penting karena

perlindungan hukum terhadap pemegang hak kekayaan intelektual tidak akan

ada artinya tanpa penegakan hukum.

Pada era globalisasi sekarang ini, dengan kemajuan teknologi informasi

dan komunikasi yang semakin pesat, kebutuhan masyarakat juga semakin

bertambah dan seakan tidak ada habisnya. Kini teknologi merupakan suatu

sarana yang merambah hampir ke seluruh sektor kehidupan. Mulai dari dunia

pendidikan, hiburan, perdagangan, dari kalangan bawah hingga kalangan atas.

Misalnya saja jaringan internet, dengan jaringan internet ini orang dengan

mudah mendapatkan informasi atau melakukan komunikasi lebih cepat,

murah, dan efektif.

Contoh lainnya terkait dengan dunia hiburan, mulanya orang hanya bisa

menikmati seni pertunjukan berupa tonil (opera). Namun seiring dengan

perkembangan teknologi film menjadi salah satu alternatif hiburan yang dapat

dinikmati mulai dari fasilitas layar tancap, bioskop, dan kemudian berangsur-

beralih ke produk media optikal. Tidak hanya terbatas pada karya seni

audiovisual (yang merupakan perpaduan antara seni peran dan suara), produk

media optikal juga merambah ke dalam dunia tarik suara. Masyarakat kini

dapat menikmati berbagai lagu atau musik yang dikemas melalui teknologi

LD (Laser Disc), VCD (Video Compact Disc), dan DVD (Digital Video Disc).
9

Bahkan dengan adanya fasilitas teknologi terbaru yang berupa flash disk atau

pun iPod, orang dapat dengan mudah men-download lagu-lagu yang

diminatinya atau menghapusnya dan digantikan dengan lagu yang lainnya.

Kendati ada berbagai kemudahan yang telah ditawarkan oleh kemajuan di

bidang teknologi ini, namun tidak selamanya membawa dampak positif.

Animo atau antusiasme masyarakat terhadap teknologi mendorong para pelaku

dunia usaha untuk dapat mencari keuntungan dengan memanfaatkan tingkat

daya beli masyarakat, pengetahuan akan aturan yang ada, dan hasrat untuk

memenuhi kebutuhan akan hiburan. Dari sinilah kemudian muncul berbagai

pelanggaran Hak Cipta, bentuk dan jenis pelanggaran Hak Cipta pada

dasarnya sangat beragam, hal ini disebabkan oleh objek-objek ciptaan yang

sangat banyak. Namun yang sering kali terjadi adalah pembajakan buku-buku,

produk media optikal, lagu atau musik, piranti lunak (soft ware) dan lain

sebagainya.

Fenomena penggunaan barang bajakan ini tentunya sudah tidak asing lagi

didengar, begitu pula di wilayah Purwokerto pada umumnya dan di kalangan

civitas akademika Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada

khususnya. Banyak orang yang lebih memilih membeli buku-buku bajakan

yang memang harganya lebih murah, CD/VCD bajakan yang tentunya bila

dibandingkan dengan harga aslinya bisa berkali-kali lipat, penggunaan soft

ware tanpa memiliki izin (lisensi) yang jelas, dan sebagainya. Selain itu ada

juga sebagian orang yang mencantumkan hasil karya tulis orang lain yang

telah diterbitkan tanpa menyebutkan sumbernya (kutipan).


10

Hal seperti ini sering terjadi karena memang ada pihak yang memfasilitasi

(penjual) dan cara mendapatkannya pun tidak sulit. Sebagai contoh para

pedagang buku di Yogyakarta, pedagang kaki lima di Purwokerto yang

menjual kepingan VCD/CD, bahkan mal-mal di Yogyakarta yang

menyediakan berbagai macam soft ware yang tidak resmi. Didukung pula

adanya faktor pengetahuan masyarakat yang kurang akan hukumnya, faktor

ekonomi, persepsi masyarakat, kemauan untuk menaati aturan, keikutsertaan

aparat penegak hukumnya, dan sebagainya. Dalam pengaturan sanksinya pun

dirasa masih kurang menjamah para pengguna karya cipta, misalnya pada

Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta hanya

disebutkan adanya sanksi bagi pelaku pembajakan. Padahal sasaran utama dari

perlindungan Hak Cipta adalah ‘’penggunaan atau pemakaian’’ hasil karya

cipta yang diakukan hanya dengan izin dari pemiliknya, sehingga muncul

kesadaran dari masyarakat untuk tidak menggunakan hasil bajakan. Para

pelaku usaha pun akan enggan membuat barang bajakan apabila konsumennya

(masyarakat) lebih memilih produk aslinya. Pada intinya semua itu terjadi

karena penegakan hukumnya masih kurang berfungsi atau kurang kokoh.

Perguruan tinggi merupakan salah satu sarana efektif penyaluran

pendidikan dan pengetahuan, khususnya di bidang kekayaan intelektual.

Sehingga penguasaan akan hal-hal yang berkaitan tentang hak cipta di

kalangan civitas akademika Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

sangatlah berarti., hal ini sejalan dengan peningkatan kreativitas penciptaan

suatu karya. Tidak berhenti sampai taraf pemahaman, penerapan dan


11

pelaksanaannya pun harus diwujudkan. Usaha ini tentunya akan berpengaruh

bagi masyarakat luas dan perlindungan terhadap semua pihak akan tercapai.

Berdasarkan uraian diatas, maka sampailah pada satu pokok permasalahan

yang layak untuk dikaji yaitu tentang:

‘’Penegakan Hukum Terhadap Penggunaan Karya Cipta Di Kalangan

Dosen Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (Studi dengan Pendekatan

Yuridis Sosiologis)’’

Penelitian ini dicapai dengan terlebih dahulu membandingkan penelitian-

penelitian tentang Hak Cipta lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh penulis

ini menunjukkan originalitas karena kajian-kajian terhadap suatu karya cipta

selama ini hanya dilakukan secara doktrinal atau normatifnya saja. Inilah yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, dimana

penelitian ini lebih berorientasi pada kajian yang sosiologis atau empiris.
12

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tingkat penegakan hukum terhadap penggunaan karya

cipta di kalangan Dosen Universitas Jenderal Sodirman Purwokerto?

2. Faktor-faktor dominan apakah yang cenderung berpengaruh terhadap

penegakan hukum dalam penggunaan suatu karya cipta?

3. Bagaimanakah persepsi kalangan Dosen Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto terhadap Hak Cipta pada umumnya dan

penggunaan karya cipta pada khususnya?

C. Tinjauan Pustaka

Dalam Pasal 449 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),

disebutkan bahwa yang termasuk ke dalam kategori barang adalah merupakan

benda bergerak atau benda tidak bergerak yang termasuk di dalamnya ‘’hak’’.

Oleh karena itu ‘’Hak’’ Kekayaan Intelektual juga masuk dalam kategori

barang, sehingga perlu dilindungi oleh hukum. Namun dalam hal ini tidak

seutuhnya HKI diartikan sebagai ‘’barang’’ (Pasal 499), karena ‘’hak’’

sifatnya adalah immateriil atau tidak ada hak menguasai seperti dalam

pengertian ‘’benda’’ (Pasal 499). Inilah yang kemudian memperkuat arti

penting perlindungan HKI, karena bila ‘’hak’’ ini menyebar ke masyarakat

maka sudah tidak bisa dikontrol lagi.


13

HKI juga merupakan bagian dari kekayaan intangible (kekayaan yang

tidak berwujud) yaitu kekayaan yang diperoleh dari hasil realisasi suatu ide

atau intelektual.11

Untuk mengetahui arti dari istilah Hak Kekayaan Intelektual, dapat dilihat

pada pendapat David I Bainbridge yang disitir oleh M. Djumhana dan R.

Djubaedillah, bahwa;

‘’ intellectual property is the collective name given to legal rights which


protect the product of the human intellect. The term intellectual property
seem to be the best available to cover that body of legal rights which arise
from mental and artistic endeavour’’
Dari uraian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa hak milik intelektual
merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan
daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam
berbagai bentuknya, yang mamiliki manfaat serta berguna dalam
menunjang kehidupan menusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk
nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut bisa di bidang teknologi,
ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra.12

HKI yang merupakan bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual di

bidang teknoogi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dapat dibagi lagi menjadi

beberapa cabang.

Adapun cabang-cabang dari HKI adalah:

1. Copy Right (Hak Cipta), yang di dalamnya termasuk juga Neighbouring

Rights (HakTerkait).

2. Industrial Property (Hak Milik Industri), yang dibagi dalam

a. Paten

b. Merk (Dagang, Jasa, Nama Dagang, dan sebagainya)

c. Varitas Tanaman
11
Liliana Sugiharto, Pemanfaatan Hak Cipta secara Tepat dalam Proses Pembelajaran
Menggunakan Multimedia, Gloria Juris vol. 4 No. 3-September 2004, hlm. 183
12
M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Loc.cit
14

d. Desain Industri

e. Intergrated Circuit (Tata Letak Sirkuit Terpadu)

f. Rahasia Dagang

Dari beberapa cabang HKI di atas, penulis lebih memfokuskan terhadap

pembahasan mengenai Hak Cipta. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang

Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 pengertian Hak Cipta itu sendiri adalah ‘’hak

eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau

memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak

mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata

diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang bisa

menggunakan atau memanfaatkan hak tersebut tanpa izin dari pemegangnya.

Dalam pengertian Hak Cipta terdapat istilah pencipta, karya cipta,

mengumumkan, memperbanyak, dan pembatasan-pembatasan menurut

peraturan perundangan. Adapun arti dari peristilahan di atas dapat dilihat pada

ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta, yakni:

- Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama

yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan

kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, atau keahlian

yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

Dalam hal ini Pencipta berlaku juga sebagai Pemegang Hak Cipta

(selain pihak penerima Hak Cipta).


15

- Karya Cipta atau Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang

menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan

sastra.

- Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan,

pengedaran, atau penyebarluasan suatu Ciptaan dengan menggunakan

alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa

pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang

lain.

- Perbanyakan adalah penambahan jumlah suatu Ciptaan, baik secara

keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan

menggunakan bahan-bahan yang sama atau pun tidak sama, termasuk

mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.

- Pembatasan Hak Cipta adalah pembatasan terhadap Ciptaan yang tidak

dilindungi (Pasal 13 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta)

Sebelum membahas mengenai ruang lingkup Hak Cipta, penulis akan

memaparkan beberapa alasan tentang arti penting dari perlindungan Hak

Cipta.

Menurut Lindsey et , arti pentingnya perlindungan Hak Cipta antara lain:


a. Hak Cipta merupakan hak alami
Hak Cipta merupakan hak yang lahir secara otomatis atau dengan
sendirinya, bersifat absolut, dan dilindungi selama hidup penciptanya
b. Untuk melindungi reputasi
Bangsa Indonesia bukan merupakan bangsa satu-satunya di dunia,
namun hidup berdampingan dengan negara-negara lainnya yang
masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri. Dalam hidup
berdampingan antar negara adakalanya harus saling menghormati,
begitu pula dengan masalah penggunaan suatu karya cipta. Bangsa
16

Indonesia pun harus ikut berpartisipasi dalam kerjasama di bidang ini


demi menjaga reputasi bangsa dan untuk menjaga keselarasan
hubungan antar negara.
c. Dorongan dan imbalan untuk suatu inovasi
Dengan adanya perlindungan Hak Cipta maka diharapkan akan
timbul keinginan dan semangat dari masyarakat untuk dapat
mengembangkan kemampuan intelektualnya dengan menciptakan
suatu karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Karena
pertumbuhan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra sangat penting bagi
peningkatan taraf hidup bangsa Perlindungan Hak Cipta ini pun
dimaksudkan karena suatu karya cipta adalah mengandung suatu nilai
ekonomis dan komersil.13

Ide dasar dari tujuan perlindungan Hak Cipta adalah untuk melindungi

wujud hasil karya yang lahir karena kemampun intelektual menusia yang

merupakan endapan perasaannya. Wujud hasil karya intelektualitas yang

digolongkan sebagai Ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta dapat dilihat

dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,

disebutkan bahwa Ciptaan yang dilindungi adalah meliputi:

a. buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out), karya tulis

yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

b. ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, perwayangan, dan

pantomim;

f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,

seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

13
Lindsey dkk, Op.cit, hlm. 13
17

g. arsitektur;

h. peta;

i. seni batik;

j. fotografi;

k. sinematografi;

l. terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, database, dan karya-

karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Selanjutnya sebagai pengembangan dari berbagai pasal lainnya maka

dapat ditemukan adanya sifat Hak Cipta, yaitu:

a. Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak (Pasal 3 ayat 1 Undang-

Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002)

b. Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya atau sebagian,

karena pewarisan, hibah, wasiat, dijadikan milik negara yang

dilakukan dengan akta (Pasal 3 ayat 2)

c. Hak yang dimiliki oleh pencipta, demikian pula hak yang tidak

diumumkan yang setelah penciptanya meninggal dunia menjadi milik

ahli warisnya atau penerima wasiat, dan tidak dapat disita (Pasal 4)

Pada hakekatnya hak Pencipta yang terkandung dalam Hak Cipta terdiri

dari Hak Ekonomi atau Economic Right dan Hak Moral atau Moral Right,

yang masing-masing dibagi lagi menjadi:

- Hak Ekonomi

a. Hak reproduksi atau penggandaan (Reproduction Right)

b. Hak adaptasi (Adaptation Right)


18

c. Hak distribusi (Distribution Right)

d. Hak pertunjukan (Public Performance Right)

e. Hak Penyiaran (Broadcasting Right)

f. Hak Programa Kabel (Cablecasting Right)

g. Droit de Suite

h. Hak Pinjam Masyarakat (Public Lending Right)

- Hak Moral

a. Larangan mangadakan perubahan dalam Ciptaan

b. Larangan mengubah judul

c. Larangan mengubah penentuan Pencipta

d. Hak untuk mengadakan perubahan

Keseluruhan hak tersebut kemudian di-cover ke dalam peraturan

perundang-undangan sebagai Hak Cipta untuk melindungi proses lahirnya

suatu karya cipta, pendaftaran menjadi Ciptaan, hingga penggunaannya

kemudian di masyarakat. Sehingga melindungi suatu karya cipta seolah-olah

menjadi hakekat disahkannya Undang Undang Hak Cipta. Namun walaupun,

sejak masa Indonesia merdeka hingga era globalisasi saat sekarang ini, sudah

mengalami beberapa kali perubahan tetap saja masih banyak pelanggaran Hak

Cipta yang terjadi di masyarakat. Pelanggaran yang sering terjadi adalah yang

berupa pengumuman dan atau perbanyakan karya cipta tanpa melalui izin dari

pemilik hak tersebut. Tidak hanya itu yang menjadi permasalahan akhir-akhir

ini, para pengguna setia karya cipta bajakan pun sepertinya sudah mulai

mendominasi.
19

Memperhatikan banyaknya kasus di bidang Hak Kekayaan Intelektual

umumnya dan Hak Cipta pada khususnya, akhir-akhir ini, terlihat bahwa

hukum seakan-akan kurang berfungsi atau kurang kokoh untuk mencegah

terjadinya pelanggaran terhadap penggunaan, perbanyakan, dan pengumuman

karya cipta.

Sebenarnya peranan hukum itu harus dinilai dalam hubungannya dengan

faktor-faktor lain, seperti faktor politik, kemauan pimpinan, struktur

masyarakat, dan juga dari sudut filsafat.14

Maksudnya adalah bahwa pembentukan hukum harus melihat pada

masyarakatnya, yaitu tempat hukum itu akan berlaku. Karena menurut

Homans hukum lahir setelah adanya pernyataan (statement) dari masyarakat

untuk bertingkahlaku menurut cara yang tertentu (hukum).15

Liliana sugiharto memberikan salah satu contoh dari pelanggaran


terhadap suatu karya cipta, bahwa salah seorang pengajar yang dengan
mudah dapat memperoleh presentasi lengkap seorang guru besar dari
Harvard University tanpa perlu hadir di kelasnya hanya dengan
menggunakan search engine.16
Atau menurut Theresia Nolda et, bahwa pada awal tahun 2000 seorang
pencipta lagu mengetahui karyanya telah dibajak oleh www.ringtones.com
yang menjual karyanya secara gratis.17

Bahkan sekarang tidak hanya para pengusaha karya bajakan saja yang

antusias untuk memperbanyak dan mengumumkan karya bajakan, tetapi para

pengguna atau konsumennya pun seakan-akan merasa diuntungkan dengan

perbuatan itu. Hal ini tentunya perlu untuk dikritisi. Namun kadang kala

14
Erman Rajagukguk, Hukum dan Masyarakat, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 74
15
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986, hlm. 76
16
Liliana Sugiharto, Op.cit, hlm. 188
17
Theresia Nolda dkk, Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Cipta atas Lagu yang di
Download di Internet, sosiosains vol. 17 No. 4 Oktober 2004, hlm. 736
20

konsumen memang kesulitan untuk membedakan antara yang asli dengan

yang bajakan (palsu).

Henry Soelistyo dalam makalahnya menyebutkan, bahwa perlindungan


HaKI pada dasarnya tidak dapat semata-mata digantungkan pada
tersedianya peraturan perundang-undangan. Peran aparat penegak hukum
yang paling bertanggung jawab dari segi pelaksanaan (enforcement) dan
masyarakat sebagai pemakai peraturan perundang-undangan, turut
menentukan tingkat efektivitas perlingungan hukum yang dijanjikan. Ketiga
faktor diatas yakni tersedianya perangkat hukum, kesiapan penegak hukum
dan kesadaran hukum secara keseluruhan menjadi prioritas utama
pemerintah dalam penegakan sistem HaKI.18

Hal ini sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto, bahwa jika

masyarakat mengalami gangguan maka jauh lebih baik apabila masyarakat

secara aktif ikut serta menanggulangi gangguan tersebut, sesuai dengan kaidah

dan peraturan yang berlaku.19

Namun hal ini tentu saja tidak begitu saja mudah untuk diterapkan, banyak

kendala dan hambatan yang menjadikan prinsip ini sulit untuk diikuti.

Antara lain masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang Undang-


Undang Hak Cipta dan kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat untuk
mentaati dan mematuhi perundang-undangan yang berlaku, sehingga ada
sikap pada sementara orang yang seolah-olah membenarkan dirinya sendiri
untuk meniru dan memperbanyak ciptaan orang lain dan menganggap hal
itu sah-sah saja dan tidak ada sanksi hukum. Oleh karena itu faktor
kesadaran hukum masyarakat, merupakan bagian yang terpenting dalam
mekanisme penegakan hukum khsusnya di bidang hak cipta, karena
kedudukannya sebagai obyek hukum sekaligus subyek hukum itu sendiri.20

Adanya toleransi sosial yang merupakan ketidakserasian antara perumusan

pihak yang berwenang dengan masyarakat terhadap gangguan, juga

18
Henry Soelistiyo, Tindakan Pemerintah dalam Mengantisipasi Pelanggaran di Bidang
HaKI, News Letter-PPh No. 31/VIII/Desember/1997, hlm. 3
19
Soerjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Remadja Karya, Bandung,
1985, hlm. 24
20
Emmy Pangaribuan dan Fadia F, Perlindungan Hukum atas Penerbit Buku Berdasarkan
Ketentuan UUHC 1997 terhadap Pembajakan Buku di Yogyakarta, Sosiohumanika No. 13,
September 2000, hlm. 628
21

merupakan salah satu faktor penyebab kurangnya partisipasi masyarakat

dalam penanggulangan masalah.21

Perlindungan terhadap penggunaan suatu Karya Cipta yang dituangkan

dalam Undang-undang Hak Cipta, nantinya akan bermuara pada penegakan

hukumnya. Seperti telah disebutkan pada uraian sebelumnya, bahwa

perlindungan Hak Cipta tanpa penegakan hukum adalah tidak ada artinya.

Masalah penegakan hukum berkaitan dengan bagaimana hukum itu dijalankan

sesuai dengan prosedur, sehingga nantinya terwujud tegaknya hukum. Jadi

penegakan hukum juga dapat dikatakan sebagai bekerjanya hukum (efektif

atau tidak) serta bagaimana hukum itu dilaksanakan (tegak atau tidak). Kedua

hal ini berhubungan erat dengan tujuan dari diterapkannya Undang Undang

Hak Cipta.

Andi Hamzah dalam bukunya mencoba mendefinisikan arti dari penegakan


hukum. Penegakan hukum dalam bahasa Inggris disebut law enforcement
atau rechtshandhaving dalam bahasa Belanda, yaitu ‘’pengawasan
(controle) yang berarti pengawasan pemerintah untuk ditaatinya peraturan
yang sejajar dengan penyidikan dalam hukum pidana, serta penerapan (atau
dengan ancaman) penggunaan instrumen administratif, kepidanaan, atau
keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum dan praturan yang
berlaku umum dan individual’’.22

Sehingga dapat diartikan bahwa penegakan hukum adalah proses untuk

dapat berperannya suatu aturan dalam suatu masyarakat yang didampingi

pengawasan oleh berbagai pihak dan di dalamnya terkandung maksud untuk

mengadili pelanggarannya sebagai bukti bekerjanya hukum dan tegaknya

proses penegakan tersebut. Dengan demikian proses penyelenggaraan Undang

21
Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 30
22
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995, hlm.
61
22

Undang Hak Cipta adalah tindakan penegakan hukum Hak Cipta itu sendiri,

dimana dalam interaksinya tidak terlepas dari faktor-faktor non-hukum antara

lain ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.

Berkaitan dengan penegakan hukum, Satjipto Rahardjo23 mensitir

pendapat dari Robert B Seidman tentang analisa bekerjanya hukum di dalam

masyarakat, dengan model analisa yang dilukiskannya dalam bagan berikut

ini:

Faktor Sosial Personal

Lembaga Pembuat
Aturan

Lembaga Penerapan Pemegang


Aturan Peranan

Faktor Sosial Personal Faktor Sosial Personal

23
Satjipto Rahardjo, Op.cit, hlm. 27
23

Dari bagan di atas dapat diuraikan dalam dalil-dalil sebagai berikut:


1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang
pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak.
2. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai
suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya,
aktivitas kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai
dirinya.
3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai
respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-
peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya,
kaseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-
lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang
dari para pemegang peranan.
4. Bagaimana pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan
fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka,
sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial,
politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta
umpan balik yang datang dari pemegang peranan srta birokrasi.24

Menurut Soerjono Soekanto25, ada beberapa faktor yang bisa

mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia, antara lain:

1. Faktor undang-undang itu sendiri

Hal ini dapat disebabkan oleh tidak diikutinya azas-azas

berlakunya undang-undang, belum ada peraturan pelaksanaan

yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang,

atau ketidakjelasan arti kata dalam undang-undang yang

biasanya menimbulkan multitafsir.

24
Ibid, hlm 28
25
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV rajawali,
Jakarta, 1983
24

2. Faktor penegak hukum yakni pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum

Biasanya para penegak hukum mengalami keterbatasan untuk

menempatkan diri, kurang aspiratif, sulit membuat proyeksi,

atau kurang inovatif.

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku

dan diterapkan

Biasanya yang selalu menjadi masalah adalah masyarakat tidak

mengetahui atau tidak menyadari apabila hak-hak mereka

dilanggar, tidak mengetahui upaya hukum yang harus

ditempuh, kurangnya pengetahuan sosial atau politik,

kurangnya kemampuan finansial, serta masalah psikis.

5. Faktor kebudayaan

Penegakan hukum terhadap karya cipta seharusnya dapat berjalan mulus

karena proses pengajuan perkaranya kini telah berubah dari delik aduan

menjadi delik biasa, sehingga dimana ada pelanggaran aparat penegak hukum

dapat langsung memprosesnya tanpa menunggu lama adanya gugatan dari

pihak yang dirugikan. Tentunya disini dibutuhkan adanya peran aktif,

kejujuran, dan ketelitian dari aparat penegak hukum. Bila tidak maka hanya

akan menimbulkan permainan hukum saja.

Dalam Pasal 71 Undang-Undang Hak Cipta No.19 Tahun 2002

disebutkan bahwa, selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,


25

PPNS atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen

yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan Hak Cipta,

diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, untuk

melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta.

Namun di dalam penelitian lapangan, Emmy Pangaribuan et


menyebutkan, bahwa selama ini yang melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana hak cipta dilaksanakan oleh POLRI bukan kepada PPNS.
Tugas dan wewenang PPNS kurang dikenal oleh masyarakat, selain itu
PPNS tidak memiliki kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan,
kecuali tertangkap tangan. Dalam hal PPNS memerlukan penangkapan
ditujukan kepada Kepala Kesatuan POLRI setempat UP. Kadit / Kasat Srs.26

Dalam kasus ini pun pihak aparat mengalami kondisi yang kurang

memungkinkan untuk dapat mengatasi masalah secara menyeluruh dan pasti,

ada juga sikap antipati dari masyarakat terhadap pihak aparat.

Antipati sebagai sikap tindak atau perilaku lazimnya timbul karena pernah

mengalami hal yang pahit di dalam interaksi disebakan adanya prasangka

yang muncul akibat desas-desus yang belum tentu benar.27

Sikap tindak atau perilaku yang lahir dari pola interaksi yang

menyebabkan timbulnya prasangka tersebut dapat dikatakan sebagai

‘’persepsi’’. Setia Budi mensitir pendapat dari Rakhmat Jalaludin

mengartikan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan

menafsirkan pesan.28

26
Emmy Pangaribuan dkk, Op.cit, hlm. 627
27
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 30
28
Setia Budi, www.damandiri.or.id, 6 Oktober 2006
26

Jadi satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian ekstra, yaitu peranan

aparat kepolisian. Pada prinsipnya sistem yang ada sudah cukup mengatasi

masalah, namun yang menjadi titik tolak peningkatan kreadibilitas pihak

aparat adalah sikap tanggap dalam menghadapi permasalahan, profesionalisme

yang tinggi, dan bentuk pelayanannya kepada masyarakat.

Atau disebutkan oleh Soerjono Sokanto, bahwa faktor manusia sebagai

penegaknya yang memainkan peranan penting, harus memiliki etika yang

terhimpun dalam suatu kode etik, kualitas sikap tindak yang berpedoman pada

norma dan kaidah, serta hubungan dengan warga masyarakat.29

Selain dari pihak aparat, peradilan juga merupakan elemen penting dari

penegakan hukum. Berkenaan dengan peradilan di bidang Hak Kekayaan

Intelektual umumnya dan Hak Cipta pada khususnya, yang digunakan adalah

pengadilan niaga (Pasal 60 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002).

Dasar utama penggunaan pengadilan niaga ini adalah prinsip TRIPs dimana

untuk penyelesaian sengketa harus secara cepat dan profesional seperti yang

diamanatkan dalam TRIPs. Hal ini berkaitan dengan sifat ‘’hak-nya’’’ yang

jangka perlingungannya terbatas. Kecepatan penyelesaian ini juga dikaitkan

dengan batas waktu proses penyelesaian yang tidak boleh lebih dari 90 hari

(Pasal 59 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002). Namun selain

menggunakan penyelesaian melalui pengadilan niaga, sengketa perdata juga

dapat dilaksanakan melalui sistem arbitrase atau alternatif penyelesaian

sengketa (Pasal 130 HIR).

29
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 53
27

Dari kelemahan-kelemahan dan permasalahan yang ada, pada prinsipnya

aspek yang penting untuk ditempuh adalah mencoba mewujudkan penegakan

hukum secara terpadu mulai dari unsur Kepolisian, Kejaksaan, pengadilan,

Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek, Departemen Kehakiman,

serta melibatkan pula perkumpulan para Pencipta, dalam upaya peningkatan

efektivitas penindakan terhadap pelanggaran Hak Cipta. Kesimpulannya, cita-

cita hukum harus diperjuangkan terus oleh siapa saja. Jadi walaupun ada

perbedaan kepentingan di antara para pihak, namun tujuannya harus tetap satu

yaitu mencari keadilan dan kebenaran.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tingkat penegakan hukum penggunaan karya cipta di

kalangan Dosen Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang cenderung

mempengaruhi tingkat penegakan hukum penggunaan karya cipta.

3. Untuk mengetahui persepsi di lingkungan Dosen Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto terhadap Hak Cipta pada umumnya dan

penggunaan karya cipta pada khususnya.


28

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap:

1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada

khususnya dan dalam pembaharuan hukum dagang atau bisnis

dengan hukum Hak Kekayaan Intelektual pada Umumnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan atau bahan

bandingan bagi peneliti-peneliti di masa yang akan datang.

2. Menunjang Pembangunan

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dan bahan kajian bagi pembuat kebijakan dalam

perencanaan pembentukan hukum dan pengambilan keputusan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber

informasi ilmiah dalam rangka pemecahan masalah-masalah

praktis yang berkaitan dengan penggunaan karya cipta.

3. Pengembangan Kelembagaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diajdikan dasar untuk

menciptakan kerjasama antar lembaga dalam rangka menuju pada

orientasi penegakan terhadap penggunaan karya cipta.


29

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini kajian masalah akan manggunakan metode

pendekatan penelitian kuantitatif, sedangkan pendekatan analisisnya

dilakukan secara yuridis sosiologis. Oleh karena dalam penelitian ini

hukum diartikan sebagai proses-proses sosial dan perilaku sosial.

Pendekatan ini dilakukan juga bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara faktor hukum dengan faktor non hukum.

2. Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini rancangan penelitian yang digunakan meliputi

survei lapangan, studi pustaka, studi peraturan perundangan, dan studi

dokumentasi.

3. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini lebih bersifat deskriptif, yakni suatu penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui tingkat penegakan hukum dalam

penggunaan karya cipta, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya,

serta persepsi kalangan Dosen Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto terhadap penggunaan karya cipta tersebut.

4. Lokasi Penelitian

Konsentrasi penelitian dilakukan di lingkungan Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto dan lokasi lainnya sebagai data penunjang atau

pendukung.
30

5. Populasi Penelitian

Dalam penelitian ini populasi penelitian meliputi dosen-dosen di

lingkungan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dengan sasaran

unit kerjanya meliputi Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas

Pertanian, serta Fakultas Peternakan.

6. Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini sampel dari populasi diambil dengan menggunakan

teknik ‘’simple random sampling’’ , dimana pada masing-masing unit

kerja diambil secara acak sebanyak 5% dari jumlah keseluruhan dosen

di tiap-tiap fakultas, dengan klasifikasi sebagai berikut:

a. Fakultas ekonomi

Dengan jumlah dosen sebanyak 144 orang, maka akan diambil

sampel sebanyak 7 orang.

b. Fakultas Hukum

Dengan jumlah dosen sebanyak 90 orang, maka akan diambil

sampel sebanyak 4 orang.

c. Fakultas Pertanian

Dengan jumlah dosen sebanyak 204 orang, maka akan diambil

sampel sebanyak 10 orang.

d. Fakultas Peternakan

Dengan jumlah dosen sebanyak 166 orang, maka akan diambil

sampel sebanyak 8 orang.


31

Berdasarkan pengambilan sampel di atas, maka jumlah sampel secara

keseluruhan dalam penelitian ini adalah 29 dosen. Penggunaan teknik

pengambilan sampel tersebut di atas didasarkan pada asumsi

karakteristik populasi atau ciri-ciri populasi yang bersifat homogen,

antara lain:

- Semua sampel berstatus sebagai dosen Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto

- Semua sampel adalah Pegawai Negeri Sipil

- Semua sampel tunduk pada aturan-aturan kerja yang ditetapkan

oleh Univrsitas Jenderal Soedirman Purwokerto

- Semua sampel diasumsikan mengetahui penggunaan karya cipta,

mengingat bahwa status semua sampel sangat berkaitan dengan

karya cipta.

7. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini diperlukan dua jenis data, yakni:

a. Data Primer, yaitu data yang bersumber dari hasil angket dan

wawancara dengan responden.

b. Data Sekunder, yaitu data yang berupa informasi-informasi tertulis

yang telah diolah dan bersumber dari buku literatur, peraturan

perundang-undangan, dokumen-dokumen, artikel ilmiah, jurnal

ilmiah, internet, dan sebagainya.


32

8. Metode dan Instrumen Pengambilan Data

Dalam penelitian ini metode pengambilan data digunakan beberapa

metode, yakni:

a.Angket, dengan instrumen yang berupa kuesioner yang ditujukan

kepada responden.

b. Wawancara atau interview dengan instrumen yang berupa outline

interview (pedoman wawancara).

c.Data Sekunder, yaitu data yang akan diambil dengan menggunakan

metode berupa form dokumentasi.

9. Metode Pengolahan Data

Dalam penelitian ini data yang telah dikumpulkan akan diolah dengan

menggunakan metode coding data, editing data, dan tabulasi data untuk

data primer, sedangkan pengolahan data sekunder dilakukan dengan

metode reduksi data, display data, dan katagorisasi data.

10. Teknik Penyajian Data

Dalam penelitian ini data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk

teks naratif, tabel-tabel, distribusi frekuensi, serta tabel-tabel silang.

Dalam rangka untuk menjawab semua permasalahan.

11. Metode Analisis

Dalam penelitian ini data yang telah diolah akan dianalisis dengan

menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif

ditujukan pada data-data yang bersifat kuantitatif dan digunakan model

analisis statistik sederhana terutama model distribusi frekuensi analisis


33

dan tabel silang analisis. Analisis kualitatif ditujukan kepada data yang

bersifat kualitatif dengan model comparative analysis (analisis

perbandingan) dan contemp analysis, sedangkan interpretasi data

dilakukan dengan menggunakan metode diskusi dan interpretasi, yakni

suatu interpretasi dengan cara mendialogkan antara data di satu pihak

dengan teori, doktrin, dan norma hukum di lain pihak. Dengan dialog

tersebut maka diasumsikan pengambilan keputusan yang menyimpang

sekecil mungkin dapat dihindari.

You might also like