You are on page 1of 48

FEMINIS MUSLIM INDONESIA

(Aliran Pemikiran Antara 1990-2000)

Ala'i Nadjib
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Artikel ini membahas tentang perkembangan feminisme di Indonesia selama satu dekade
(1990-2000). Wacana dan gerakan feminisme merupakan fenomena baru di Indonesia. Yang
berkembang sebelumnya adalah emansipasi wanita, sebagai buah dari perjuangan perempuan
semenjak Kartini. Feminisme baru muncul secara signifikan selama sepuluh tahun terakhir.
Meskipun begitu, feminisme telah melahirkan organisasi-organisasi peremnpuan di Indonesia
seperti Rahima, kalyanamitra dan rifka Annisa. Masuknya feminisme ke Indonesia
dipengaruhi oleh adanya kontak langsung antara aktivis perempuan di Indonesia dengan
aktivis perempuan dari Negara-negara lain di dunia, dan juga literature feminis dari luar.
Sebagai sebuah fenomena baru, kehadirannya di Indonesia diresponse dengan beragam baik
dalam bentuk watak maupun aliran. Gerakan Feminisme telah melahirkan aliran dan para
pemikir tentang isu perempuan dan aktivis perempuan. Dari sini muncullah para feminis
beraliran konservatif seperti Zakiyah Darajat dan Ratna Megawangi, dan feminis modern
seperti Wardah Hafidz, Masdar Farid Mas’udi, Husein Muhammad dan Nazarudin Umar.
Selain para pemikir, telah lahir pula para aktivis perempuan di Indonesia seperti Lies Marcoes
Natsir dan Farha Ciciek.

Kata kunci: feminisme, feminis, emansipasi, aliran konservatif, aliran modern, aktivis
perempuan

A. Pendahuluan
Perkembangan pendidikan kaum perempuan di Indonesia, dari era kolonial sampai
era kemerdekaan, dari rezim satu ke rezim yang lain, telah melahirkan beberapa perempuan
terpelajar. Meskipun berbeda-beda peranan, mereka telah memainkan peranan yang penting
dalam perjuangan kaum perempuan. Peran perempuan muslim dapat dilihat dari
pembentukan sejumlah organisasi perempuan Islam seperti ‘Aisyiah (1917), Persis (1936)
Muslimat NU (1946), dan yang lain. Organisasi-organisasi tersebut adalah organisasi
perempuan yang berafiliasi kepada organisasi Islam; Aisyiah organisasi perempuan
Muhammadiyah, Persistri organisasi perempuan Persis dan Muslimat NU organisasi perempuan
Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi-organisasi kaum perempuan ini mempunyai
2

kecenderungan untuk mengikuti cara fakir organisasi Islam induknya.1 Setelah Indonesia
merdeka, sejumlah gerakan kaum perempuan Islam meningkat tajam: sebagai contoh, pada
tahun 1967, kaum perempuan Islam mendirikan BMOPII (Badan Musyawarah Organisasi
Perempuan Islam Indonesia), yang pada tahun 1969 berubah menjadi BMOWI (Badan
Musyawarah Organisasi Wanita Islam Indonesia).2 Organisasi ini berfungsi untuk memantapkan
peranan gerakan perempuan, khususnya yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan
agama.
Pada tahun 1974, organisasi-organisasi perempuan dalam lembaga pemerintahan
digantikan oleh organisasi-organisasi yang disponsori oleh pemerintah.3 Pada tahun yang
sama, didirikan juga Dharma Wanita yang beranggotakan isteri-isteri pegawai negeri sipil.4
Masih pada tahun yang sama, pemerintah juga mulai memberikan bantuan finansial kepada
KOWANI, - organisasi ini berdiri senjak tahun 1946 – sebuah organisasi yang memayungi
seluruh organisasi perempuan. Akibat bantuan finansial dari pemerintah ini telah
memperkuat control pemerintah terhadap organisasi kaum perempuan. Mengenai upaya
yang dilakukan pemerintah ini, Sullivan menyatakan bahwa organisasi-organisasi ini
mendukung ideologi Orde Baru yang patriakhal yang memposisikan perempuan sebagai
masyarakat kelas dua.5
Pada tahun 1978, untuk pertama kalinya pemerintah membahas tentang peraturan
khusus mengenai peran perempuan untuk membantu kebijakan Negara. Peraturan tersebut

1 Sebagai perbandingan: keduanya dipengaruhi oleh dewan pengurus organisasi mereka mengenai
pendapatnya tentang gerakan perempuan. Sebagai contoh antara Muslimat NU dan Persistri. Muslimat sebagai
sebuah organisasi perempuan Islam tidak hanya fokus pada persoalan agama saja, tetapi juga mengkritisi
kebijakan pemerintah dan mencoba untuk memecahkan persoalan perempuan ketika berhadapan dengan
masyarakat modern seperti ketidakadilan, kekerasan, hak-hak politik dan lain-lain. Pada sisi lain, Persistri
nampaknya ditujukan untuk aktivitas-aktivitas yang berorientasi kesejahteraan dan cenderung perhatian pada
praktek keagamaan saja. Lihat, Aisyah Hamid Baidhowi, Profil Organisasi Wanita Islam; Studi Kasus Muslimat NU
dan Lies Marcoes Natsir Profil Organisasi Wanita Islam; Studi Kasus Persistri dalam Lies Marcoes Natsir dan
J.H.Meuleman (eds.), hlm. 83 dan hlm. 95. Selanjutnya saya akan mengatakan, bahwa Muslimat terlihat lebih
progresif dibandingkan Persistri, meskipun Persis sebagai induk Persistri dikenal sebagai organisasi kaum
pembaharu dan NU dianggap sebagai organisasi kaum tradisionalis.
2 Departemen Informasi bekerja sama dengan Kantor Kementerian Negara Peranan Wanita

Republik Indonesia. The Women of Indonesia. Jakarta: 1989, hlm. 7


3 Istiadah, Muslim Women in Contemporary Indonesia; Investigating Paths to Resist the Patriarchal System, hlm.

2
4 Departemen informasi bekerja sama dengan Kantor Kementerian Negara Peranan Wanita Republik

Indonesia. hlm. 7
5 Norman Sullivan. Gender and Politics in Indonesia dalam Maila Stivens (ed), Why Gender Matters in

Southeast Asian Politics. Monash Paper on Southeast Asia No.23 hlm.68


3

menunjukkan kehendak politik dan pengakuan pemerintah dan masyarakat bahwa laki-laki
dan perempuan mempunyai hak, kesempatan dan tanggung jawab yang sama dalam seluruh
aspek kehidupan dan pembangunan bangsa.6 Tetapi dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara/GBHN juga terdapat ambiguitas antara paragraf pertama dan kedua. Paragraf
tersebut adalah,
1. pembangunan secara keseluruhan memerlukan partisipasi laki-laki dan peremuan secara maksimum
pada semua bidang. Dengan demikian, perempuan mempunyai hak tanggung jawab dan kesempatan
yang sama seperti laki-laki untuk berpartisipasi secara penuh dalam semua aktivitas pembangunan.
2. tugas perempuan dalam pembangunan tidak mengganggu tugas mereka dalam mencapai keluarga
bahagia secara umum, dan mengarahkan generasi baru secara khusus, dalam pembangunan
masyarakat Indonesia pada semua aspek kehidupan.7

Untuk mendukung keputusan pemerintah, pada tahun yang sama diangkat menteri muda
urusan wanita. Terpilihlah L.Soetanto sebagai Menteri Muda Urusan Wanita pada Kabinet
Pembangunan III (1978-1983). Pembentukan kementrian wanita ini disambut dengan
gembira oleh organisasi-organisasi perempuan termasuk organisasi perempuan Islam.
Namun demikian, beberapa aktivis perempuan, khususnya para aktivis LSM
menolak kementrian ini. Mereka menyatakan bahwa sesungguhnya kementerian wanita tidak
bertujuan untuk memberdayakan perempuan,8 tetapi hanya untuk menegaskan bagaimana
kaum perempuan seharusnya memposisikan diri mereka untuk mendukung suami-suami
mereka. Dengan demikian, kaum perempuan tetap menempati posisi kedua. Keadaan
seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia; untuk informasi portfolio tentang urusan wanita,
kita bisa merujuk pada hasil laporan PBB tahun 1991 yang hanya menunjukkan sangat
sedikit kaum perempuan yang dipilih untuk menempati posisi yang merefleksikan peranan
yang sering dilakukan perempuan hanya dalam ruang privat, seperti perempuan sering diberi
tanggungjawab untuk masalah kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan urusan-urusan
perempuan.9

6 Departemen informasi bekerja sama dengan Kantor Kementerian Negara Peranan Wanita Republik
Indonesia hlm. 20
7 Departemen informasi bekerja sama dengan Kantor Kementerian Negara Peranan Wanita Republik

Indonesia, hlm. ii
8 Salah satu aktivisnya adalah Khofifah Indarparawansa, tetapi pada tahun 1999 dia dipilih oleh

Presiden Wahid untuk posisi ini dan dia menerimanya, meskipun untuk alasan yang baik.
9 Georgina Waylen, Analysing Woman in the Politics of the Third World in Haleh Afshar (ed). Woman

and Politics in the Thrid World. London: Routledge, 1996, hlm. 11.
4

Revitalisasi umat Islam dan isu-isu perempuan dimulai pada tahun 1990-an;
pembaruan Islam sebagaimana disebutkan di atas sejalan dengan revitalisasi. Sebagai contoh,
pada tahun 1991 INIS (the Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies)
mengadakan seminar nasional dengan tema “The Indonesian Muslim Woman studied from a
Textual and Contextual Point of View”. Seminar ini mencoba untuk memulai pembahasan yang
lebih luas tentang Islam dan isu-isu perempuan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan konfigurasi perempuan muslim di Indonesia dan untuk melibatkan sejumlah
perwakilan perempuan dari seluruh IAIN, lembaga-lembaga perempuan Islam, sarjana-
sarjana Indonesia, para peneliti, pelajar dan lainnya.
Selama periode ini, telah didirikan sejumlah organisasi perempuan Islam dan
terjadi peristiwa-peristiwa penting lain.10 Pada tahun 1990, di Yogyakarta, didirikan beberapa
yayasan seperti Rifka Anisa sebagai pusat pengaduan perempuan (WCC/Woman Crisis
Center) dan juga LSPPA (Lembaga Studi Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Pada tahun
1994, Muslimat NU Jakarta membentuk Kelompok Kajian Perempuan dan Islam dan menerbitkan
sebuah buku mengenai emansipasi wanita. Pada tahun yang sama, Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M) meluncurkan program Fiqh al-Nisa. Program ini bertujuan
untuk memperkuat hak-hak kaum perempuan dan status mereka dalam Islam. Kegiatan ini
dijalankan melalui halaqah (pelatihan) dengan didukung penerbitan brosur, poster dan
buku..11

B. Feminisme di Indonesia
1. Pengertian Feminisme
Feminisme merupakan istilah baru di Indonesia. Kaum perempuan Indonesia lebih
familiar dengan istilah emansipasi untuk menyebut gerakan perempuan. Emansipasi diilhami
oleh perjuangan Kartini pada akhir abad ke 19. Karena menyoal konsep Indonesia yang
mendasar, feminisme dapat menimbulkan kebingungan dan menjadi kata yang menakutkan.

10 Perlu dicatat bahwa awal tahun 1989 Universitas Indonesia menggagas mendirikan Program S2

Studi Perempuan; secara resmi program dibuka pada tahun 1990. Lembaga ini telah banyak berkiprah untuk
mengangkat isu perempuan di Indonesia.
11 Semenjak tahun 2000, program Fiqh Nisa pisah dari P3M dan menjadi lembaga independen

bernama Rahima.
5

Ini karena konsep mengenai feminisme masih diasumsikan sebagai nilai Barat sehingga tidak
sesuai dengan konteks Indonesia.12
Sekarang, konsep feminisme tetap problematik bagi sebagian perempuan Indonesia,
khususnya mereka yang tidak faham dengan isu-isu perempuan atau yang tidak akrab
dengan perkembangan feminisme di Barat.13 Seorang Feminis Indonesia, Wardah Hafidz,
mengkritik orang-orang yang menyalah artikan kata feminis, atau terkadang
menggeneralisasi dan mengasosiasikan kata feminine dan feminisme sebagai konsep yang
sama karena adanya kemiripan dalam pengucapan.14
Sebagaimana disebutkan di atas, perjuangan kaum perempuan lebih dikenal sebagai
emansipasi perempuan. Istilah ini diterapkan pada perjuangan Kartini pada akhir abad ke
sembilan belas di Jepara, Jawa Tengah. Kartini dikenal sebagai pahlawan Indonesia yang
berjuang untuk isu-isu perempuan khususnya di bidang pendidikan dan emansipasi.
Selanjutnya, kata emansipasi digunakan secara luas sebelum penggunaan kata feminisme
menjadi umum digunakan, karena emansipasi hanya mempunyai tujuan terbatas dan
mempunyai persamaan terhadap sebagian nilai yang ada pada feminisme. Kartini
mendirikan sekolah untuk kaum perempuan di mana dia dan saudara-saudara
perempuannya mengajar. Dia mendidik mereka untuk berfikir bagaimana perempuan dapat
mengatur dirinya agar tidak terlalu tergantung pada laki-laki dalam sistem masyarakat sangat
patriakhal. Kartini menempatkan persoalan-persoalan perempuan dalam konteksnya seperti
tantangan nyata penindasan terhadap perempuan dianggap sebagai bagian dari sistem
budaya. Inlah alasan mengapa Kartini memilih pendidikan sebagai strategi utama untuk
memecahkan persoalan dan tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran
15
perempuan. Perlu dicatat di sini bahwa setelah Kartini, gerakan perempuan menjadi cukup
yakin mengenai peran mereka baik secara individual maupun kolektif. Sejarah Indonesia
mencatat Dewi Sartika mendirikan sekolah untuk kaum perempuan di Jawa Barat. Terdapat

12 Tita Marlita dan Marilyn Porter, Feminism in Indonesia; An Analysis of the “Stepping Stones Project”
dalam E.Kristi Poerwandari dan R.Surtiati Hidayat. Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yang Tengah Berubah.
Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000, hlm. 26
13 Tita Marlita dan Marilyn Porter. Feminism in Indonesia; An Analysis of the “Stepping Stones Project”, hlm.

25
14 Wardah Hafidz, Feminisme Sebagai Counter-Culture. Ulumul Quran, no. 5 & 6, vol.V. Jakarta: 1994,

hlm. 3.
15 Wardah Hafidz, Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang dan Sumbangannya kepada Transformasi Bangsa in

Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, hlm. 95


6

juga perempuan di Aceh dan Sumatra yang berjuang untuk gerakan perempuan. Sementara
itu, beberapa organisasi seperti Muslimat NU, Aisyiyah, PWKI (Persatuan Wanita Kristen
Indonesia), WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia) dan lainnya telah memainkan peranan
yang penting semenjak didirikan sampai sekarang. Dalam perkembangan ini, beberapa
tokoh seperti Lies Marcoes, Saparinah Sadli, Masdar Mas’udi, Nursyahbany Katjasungkana
dan lain-lain tetap memberi perhatian terhadap isu-isu perempuan, berjuang melalui
berbagai bidang seperti advokasi dan pelatihan atau dengan menerbitkan jurnal dan menulis
buku untuk merevitalisasi kesadaran perempuan.16 Dari pembahasan ini, kita dapat
menentukan bahwa kaum feminis dalam konteks Indonesia adalah mereka, baik laki-laki
maupun perempuan yang berjuang untuk hak-hak perempuan.
Kita dapat mengidentifikasi dua fase: masa lalu, dari 1928 sampai 1979, dan masa kini
dari tahun 1980 sampai sekarang. Perempuan Indonesian telah memainkan peranan penting
pada masa lalu dan masa kini. Pada masa lalu, konggres perempuan tahun 1928 dapat
dilihat sebagai titik kulminasi yang sangat penting bagi perjuangan perempuan. Dalam
upacara pembukaan, Soekarno berpidato dan menyatakan bahwa kaum perempuan harus
bersatu dengan seluruh kelompok bangsa berjuang melawan kolonialisme. Soekarno
menegaskan bahwa ketika Indonesia merdeka, emansipasi harus segera mungkin
diwujudkan. Karena peran serta perempuan sama dengan laki-laki, kaum perempuan juga
memberikan kontribusi terhadap setiap bagian dari konstitusi Indonesia. Sebagai hasil,
konstitusi Indonesia diwarnai dengan semangat persamaan. Tetapi semangat ini tidak
terwujudkan dalam penerapan. Penindasan terhadap perempuan berlanjut, hususnya dalam
lembaga-lembaga perkawinan dan keluarga. Sebagai contoh, poligami yang dilakukan oleh
Soekarno menjadi kasus yang penting. Banyak kaum perempuan menyatakan menentang
tindakan tersebut dan mendesak untuk membuat undang-undang perkawinan. Akhirnya,
setelah berjuang semenjak tahun 1928, perjuangan perempuan berhasil ketika pemerintah
membuat undang-undang perkawinan pada tahun 1974. Meskipun undang-undang tersebut
belum sempurna sebagai undang-undang perkawinan, perlindungan terhadap hak
perempuan dan kesejahteraan keluarga lebih baik dibanding sebelumnya. Di bawah UUD
1945 dan peraturan lainnya, laki-laki dan perempuan setara. Tetapi ini hanya de jure, secara de

16
Saya tidak memasukkan seminar dan konferensi sebagai usaha nyata untuk memperbarui kesadaran
perempuan karena sering hanya bersifat seremonial saja.
7

facto tetap saja terjadi ketidakadilan dan berakibat pada kesengsaraan perempuan. Sebagai
contoh, dalam bidang ekonomi pekerja perempuan tetap menerima upah yang lebih sedikit
dibanding laki-laki, meskipun pekerjaannya sama.17
Semenjak itu, gerakan kaum perempuan merubah strategi: Pada permulaan 1980
didirikan sebuah LSM perempuan. Ini diikuti oleh beberapa kelompok yang memberi
perhatian terhadap kajian-kajian mengenai perempuan di beberapa universitas di beberapa
tempat.18 Masih pada tahun 1980, IAIN mendirikan pusat studi wanita (PSW): pada saat itu
terdapat 14 IAIN di Indonesia.
Kondisi ini mendukung institusionalisasi kajian wanita secara formal. Pertama kali di
Indonesia, pada awal 1990, Universitas Indonesia meluncurkan kajian wanita dan membuka
program master. Sembilan tahun kemudian, program ini masih menjadi satu-satunya
program master dalam kajian perempuan di Indonesia.19
Sebuah buku yang popular di kalangan feminis yang berjudul Men doing Feminism20
akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan. Karena feminisme merupakan fenomena baru di
Indonesia, banyak kaum laki-laki memberi perhatian terhadap isu-isu perempuan. Beberapa
di antara mereka bekerja untuk LSM yang memberi perhatian pada pemberdayaan
perempuan atau menulis artikel dan buku. Apakah mereka feminis? Atau mereka hanya
melakukan untuk karir mereka?

2. Islam dan Feminisme


Dalam beberapa aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, pendidikan, al-Quran
dengan jelas menggambarkan hak-hak asasi manusia tanpa membedakan laki-laki dan
perempuan. Al-Quran menegaskan bahwa Muslim harus mencari ilmu pengetahuan, seperti
dalam al-Qur’an: “Katakanlah: Ya Tuhan, tingkatkanlah ilmu pengetahuanku”21, dan setiap
Muslim hafal dengan sabda Nabi yang menyatakan:: ‘Carilah ilmu pengetahuan meski ke

17 Sukanti Suryochondro, Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia dalam Perempuan Indonesia; Dulu dan
Kini (Mayling Oey-Gardiner and her associates). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1996. hlm. 298-299
18 Ini terjadi pada tahun 1980 ; Indonesia mempunyai 27 provinces.
19 Dari tahun 2000, Universitas Hasanuddin Makasar membuka program master dalam bidang Jender

dan studi pembangunan, dan ini adalah program kedua setelah UI. Lihat, Saparinah Sadli, Perempuan Indonesia
Dalam Masyarakat Yang Tengah Berubah, hlm. 17
20 lihat, Tom Digby, Men Doing Feminism. Routledge, New York. 1998, also Tania Modleski. Feminism

Without Women, culture and criticism in a “ Postfeminist” Age. Routledge, New York & London. 1991
21 Qurân 20:114
8

negeri Cina’. Para sarjana perempuan muslim tentu saja dapat dicatat dari permulaan Islam.
Aisyah dan Hafsah isteri Nabi, dan beberapa Sahabat Nabi adalah beberapa contoh di
antara mereka. Sejarah juga mencatat bahwa orang yang pertama percaya mengenai wahyu
dan ajaran Islam adalah Khadija, isteri Muhammad dan beberapa Sahabat Nabi yang lain
seperti Shafiyah, Laila al-Ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah dan lain-lain.22 Karena
alasan ini, Lisa Beyer menyatakan,
Untuk zamannya, Nabi Muhammad adalah seorang feminis. Doktrin yang dia nyatakan sebagai
firman Tuhan yang diwahyukan, jelas telah meningkatkan status perempuan pada abad 7 Masehi di
Arab. Pada masyarakat Arab yang pagan, telah menjadi kebiasaan untuk mengubur hidup-hidup bayi
perempuan yang tidak dikehendaki. Islam melarang praktek ini. Perempuan diperlakukan sebagai
harta dari suami mereka; hukum Islam menjadikan pendidikan bagi anak perempuan sebagai
kewajiban suci dan memberikan hak kepada perempuan untuk memiliki dan mewarisi harta.23
Perempuan dengan hak politik juga terjadi dalam sejarah Indonesia. Kerajaan Aceh, sebagai
contoh, diperintah oleh beberapa sultanah (sultan perempuan) seperti Safiatudin (1641-
1675), Naqiatudin (1675-1677), Zakiyatudin Inayat Shah (1677-1688) dan Sri Ratu Kemalat
Shah (1688-1699).24 Di Asia, perempuan Muslimah telah menjabat sebagai perdana menteri
dan presiden seperti Benazir Bhutto di Pakistan, Sheikh Hasina dan Khalida Zia di
Bangladesh, dan Megawati di Indonesia.25
Terdapat periode yang disebut dengan zaman kegelapan perempuan, karena
perempuan dalam kondisi tertindas, hidup di harem-harem, dan tidak mempunyai
kesempatan untuk berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan publik. Kondisi ini telah
mengantarkan Aisha Bewley26 untuk melakukan investigasi dan melakukan kritik terhadap
periode ini serta dengan hati-hati menjelaskan beberapa factor. Di antara factor tersebut
terlihat berasal dari luar komunitas Muslim dan beberapa yang lain dari dalam. 1) penerapan
kembali sistem patriarkhi pra Islam 2) pengadopsian dan emulasi praktek-praktek
masyarakat pra Islam yang terjajah (Byzantium, Persia dan Hindu); sebagai contoh,
pengadopsian praktek gynaeceum pada masyarakat Bizantium yang menjadi harem pada

22 Untuk informasi lebih lanjut mengenai Sahabat Nabi, lihat Ibn al-Hajar al-Atsqalany, Al-Ißâba fi

Asma’ al-‘aÈâba, volume, IV.


23 Dikutip dari sebuah artikel tulisan Lisa Beyer, ketua editor Time Biro Jerusalem dan laporan dari

beberapa jurnalis berjudul The Other Women of Islam, The Taliban perfected subjugation. But nowhere in the Muslim
World are women treated as equals.” Time.com. 30 November 2001
24 Iljas Sutan Pamenan, Rentjong Atjeh Di Tangan Wanita; Zaman Pemerintahan Ratja-Ratja Puteri di Atjeh

1641-1399. Djakarta: 1959, hlm. 4-5


25Di kalangan feminsi. Peranan Presiden Indonesi masih diperdebatkan, karena dia tidak

merepresentasikan perjuangan perempuan, tetapi hanya symbol politik.


26 Aisha Bewley. Islam; The Empowering of Women. London: Ta-Ha Publisher, 1999, hlm. 2
9

masa Ottoman 3) infiltrasi gagasan dari Barat, termasuk pandangan perempuan inferior
(yang merupakan status perempuan di Barat dan baru dihapus belum lama ini) 4) kebijakan
sebagian pemerintah colonial untuk menjadikan perempuan (dan orang-orang Muslim
keseluruhan) tetap rendah 5) warisah colonial bahwa Islam adalah barbar sementara Eropa
atau dunia Barat beradab dalam segala segi.27
Harus dicatat secara objektif bahwa kaum laki-laki muslim juga memainkan peran
penting dalam kondisi tersebut di atas. Mereka menguasai posisi-posisi politik yang penting
dan menjadikan perempuan muslim tertinggal jauh di belakang laki-laki. Seperti dalam
pendidikan, kontrol rejim Taliban di Afganistan adalah contohnya. Rejim ini melarang
perempuan untuk mengambil bagian pada wilayah publik khususnya dalam memperoleh
pendidikan. Sehingga, banyak kaum perempuan yang menghabiskan waktu hanya di
rumah.28
Faktor lainnya adalah penafsiran tekstual. Teks adalah milik laki-laki yang berarti
bahwa nash dalam al-Quran dan hadits selalu ditafsirkan oleh laki-laki. Ini cukup berbeda
dengan periode Nabi karena terdapat beberapa Sahabat perempuan seperti Aisyah, dan
Ummu Salamah yang mempunyai peran dalam periwayatan hadits. Sekarang, setelah Nabi
Muhammad wafat, penafsiran tekstual sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan kondisi.
Sesugguhnya tidak ada agama yang tidak mempunyai masalah berkaitan dengan
pemberdayaan perempuan, dan setiap agama mempunyai sistem patriarchal. Tetapi dalam
konteks ini, Islam memposisikan perempuan dalam posisi yang tepat. Sebagai contoh, al-
Quran mengizinkan perempuan menerima warisan setengah laki-laki, sebuah praktek waris
yang sebelumnya belum pernah terjadi di Jazirah Arab. Atau di tempat lain.29 Sekarang, akar
permasalahannya adalah, dapat dikatakan, gap antara teks sebagai sebuah kodifikasi nilai-
nilai religius dengan tuntutan realitas komunitas Muslim di beberapa Negara.30

27 Aisha Bewley, Islam; The Empowering of Women, hlm. 2


28Pada tanggal 10 Maret 2001, Sayyid Rahmatullah Hashemi,, duta besar Afghanistan memberikan
ceramah kuliah di Southern California Los Angles dengan topic “The Invisible Afghanistan”. Dia menjelaskan
bahwa perempuan tidak dibolehkan ikut dalam peran public karena adanya perang antar suku pda tahun 1996.
larangan ini tidak permanent. Dia berbicara tentang ini sebelum Amerika menyerang Afghanistan. See,
http://www.rawa.org/recent2.htm
29 Dikutip dari wawancara CNN dengan Karen Armstrong (pengarang Islam a Short History) setelah

serangan 11 September.
30 Syu’bah Asa. Perempuan; Di Dalam dan Di Luar Fiqih in Membincang Feminisme; Diskursus Gender

Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1996,hlm. 114


10

Terkadang, teks seperti al-Quran dan hadits muncul untuk melegitimasi penindasan
terhadap perempuan. Kita dapat menemukan contoh bagaimana ayat-ayat al-Quran
berbicara mengenai isteri yang tidak setia (nushūz). Amina Wadud menyatakan bahwa teks
tersebut secara nyata menambah perspektif dan kesimpulan interpretasi. Ayat tersebut
mengekspose individualitas penafsiran.31Amina Wadud mempertahankan alasannya dalam
bukunya yang berjudul Rereading the Sacred Text from a Woman’s perspective. Dia menawarkan
sebuah pendekatan hermeneutic baru untuk membaca al-Quran yang disebut female-inclusive.
Sebagai contoh, dia menjelaskan kata qawwamūna ‘ala (4: 34), yang biasa difahami bahwa
laki-laki adalah pemimpin atau laki-laki bertanggungjawab terhadap urusan perempuan. Dia
mempertanyakan penafsiran ini: apakah semua laki-laki qawwamuna ‘ala seluruh perempuan?
Dia melanjutkan dengan mengutip al-Hibri bahwa penafsiran ini tidak valid dan tidak
konsisten dengan ajaran Islam yang lain karena tidak ada rujukan dalam teks ini mengenai
superioritas laki-laki terhadap perempuan baik fisik atau intelektual.32
Sementara itu, budaya juga mengangkat sistem patriakhal dan menyebabkan
perempuan tersubordinasi. Di Bali, sebagai contoh, isteri bertanggungjawab untuk keluarga
dan suami dapat melakukan apa yang diinginkan, sementara jika suami meninggal, isteri
33
tidak akan pernah mendapatkan warisan. Begitu juga, di Malaysia, Parti Islam Malaysia
(PAS) melarang perempuan mencalonkan diri sebagai calon dalam pemilihan parlemen dan
pemerintahan, dengan alasan demi keamanan perempuan.’34 Contoh lain juga terjadi di
Bangladesh, Negara yang telah lama dipimpin oleh perdana menteri perempuan, sebuah
kelompok Islam menghujat peranan perempuan dalam LSM.
Terdapat dua kelompok umat Islam tentang feminisme: Pertama, mereka yang
berargumen bahwa hubungan antara perempuan muslimah dan laki-laki muslim dalam
masyarakat sekarang ini sesuai dengan nilai-nilai Islami. Kedua, mereka yang berpendapat
bahwa perempuan muslim sekarang hidup dalam diskriminasi dan dibawah sistem yang

31 Amina Wadud Muhsin, Quran and Woman in Charles Kurzman (ed.) Liberal Islam, A Sourcebook.
New York. Oxford: Oxford University Press, hlm. 130
32 Amina Wadud Muhsin. Quran and Woman, hlm. 137. lihat juga Azizah Al-Hibry, “ A Study of Islamic

Herstory: Or How Did We Ever Get into this Mess?, dalam Women’s Studies International Forum, volume. 5 no 2,
1982, hlm. 218.
33 Seperti yang saya dapati dalam penelitian saya mengenai Perempuan dan pendidikan Memlilih di

Bali, Juni 1999.


34 Lihat BBC news.com. Islamic party rejects women MPs, 9 Juni 2000.
11

tidak adil, sehingga situasi ini tidak sesuai dengan prinsip dasar nilai-nilai Islam. Perempuan
muslim dapat dikatakan sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai situasi di mana korban
dapat dijustifikasi, tetapi penafsiran hukum direkonstruksi untuk ketidakberuntungan
mereka. Perempuan muslim dibawah tekanan dan karena alasan didasarkan pada ideologi,
berdasar agama, maka teks harus didekonstruksi.35
Di Indonesia, perdebatan mengenai perempuan dan Islam adalah isu baru.
Perdebatan ini menjadi isu yang lumrah semenjak awal 1980an. Wardah Hafidz, salah
seorang yang terlibat dalam perdebatan tersebut memberikan alsan bahwa perempuan
muslim di Indonesia hidup di bawah bayang-bayang langit (surga) meskipun kondisi mereka
jauh lebih baik dibandingkan dengan perempuan di Arab Saudi. Dia dan banyak aktivis
perempuan menyatakan bahwa, berdasarkan hasil penelitian mereka, problem perempuan
Indonesia tetap masih tersembunyi dan harus segera diselesaikan.36

3. Hubungan antara Isu-isu Perempuan dan Agen-agen Pendanaan


Jika kita menjelaskan tentang perkembangan pendanaan pada dua decade terakhir,
kita menemukan bahwa bagian dari agen-agen pendanaan cenderung untuk mengarahkan
kembali perhatian mereka kepada isu-isu perempuan. Semua organisasi besar seperti
USAID, CIDA, IDRC dan the Ford Foundation mempunyai biro baru atau program baru
mengenai isu-isu perempuan. Agen-agen pendanaan PBB seperti ILO, Bank Dunia,
Universitas-universitas, Negara-negara dunia ketiga, dan LSM yang ada juga mengikuti
perkembangan ini. Mereka memerkenalkan sebuah program yang dikenal dengan nama
Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development/WID). Kelompok Negara-negara
berkembang beranggapan bahwa WID merupakan respon terhadap peran para feminis yang
sebelumnya tidak diakomodasi.37 Namun begitu, dalam pembangunan, masyarakat dan
beberapa feminis dari berbagai aliran pemikiran secara mendasar telah mengkritik WID dan
tidak yakin dengan WID. WID dianggap sebagai rencana untuk menguasai dunia ketiga.38 .

35 Mansour Fakih. Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; Tinjauan Dari Analisis Gender in Membincang

Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam. hlm. 37


36 Wardah Hafidz Feminisme; Agenda Baru Pemikiran Islam, hlm. 108.
37 Mansoer Fakih. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, hlm. 68-69
38 Mansoer Fakih. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, hlm. 51-52
12

LSM perempuan di Indonesia sesungguhnya telah muncul semenjak periode


1980an. Ini ditandai dengan didirikannya Yayasan Annisa Swasti di Yogyakarta pada tahun
1982. Yayasan ini muncul setelah PBB memproklamirkan decade perempuan pada tahun
1975, sebagiamana disebutkan di atas, dan puncaknya pada konferensi Nairobi di mana
semua anggota PBB berkumpul dan meratifikasi draf “The Nairobi Forward Looking Strategies
for the Advancement of women” (NFLS) pada tahun 1985.39 .
Yayasan Asia Foundation dan Ford Foundation berasal dari Amerika. Selain
keduanya terdapat juga beberapa lembaga donor dari Eropa seperti FNS dari Jerman dan
Oxfam dari inggris. Tetapi proyek dari lembaga Eropa mengenai isu-isu perempuan tidak
sebesar isu-isu perempuan dari The Asia Foundation dan Ford Foundation.

C. Hubungan antara Feminis Muslim Indonesia dan Feminis di Dunia


Dua faktor penting di Indonesia yang mempengaruhi penyebaran isu-isu feminis
dan Islam adalah: pertama, kontak antara feminis Muslim Indonesia dengan feminis Muslim
lain di dunia. Kedua, pengaruh literature kaum feminis. Selama sepuluh tahun (1990-2000),
terdapat perkembangan yang pesat mengenai penerbitan buku-buku mengenai isu-isu
feminis.

1. Titik temu antara Feminis Muslim Indonesia dengan Feminis Muslim lain di
Dunia
Hubungan antara feminis muslim Indonesia dengan feminis muslim dari beberapa
Negara bermula dari keikutsertaan mereka pada konferensi-konferensi internasional seperti
konferensi di Kairo dan di Beijing pada tahun 1995, dan beberapa workshop yang bertujuan
menginternasionalisasikan feminisme. Lebih lebih, lembaga-lembaga Islam, kelompok-
kelompok diskusi dan penelitian juga telah mendukung hubungan antar mereka. Pada
tahun 1990an, beberapa organisasi memulai rencana untuk mengundang sarjana-sarjana
Muslim luar negeri yang mempunyai perhatian dengan isu-isu feminis ke Indonesia tanpa
membeda-bedakan asal mereka, dari Barat, Timur Tengah Asia atau Afrika. Kedatangan
mereka, selain membawa pencerahan juga mempengaruhi dan mendorong gerakan

39 Endah Triwijati, LSM Perempuan Transformatif, Gerakan Alternatif Pemberdayaan Perempuan dalam
Perempuan Indonesia; Dulu dan Kini, hlm. 355
13

perempuan Islam. Pada awal periode 1990an, sebagai contoh, Asghar Ali Engineer datang
ke Indonesia dengan membawa gagasan-gagasan Islam liberal dan perempuan.40 Pada tahun
1993, Riffat Hasan, seorang sarjana perempuan Muslim terkenal, dari Departmen studi
agama Universitas Louisville, Amerika, yang berasal dari Pakistan datang ke Indonesia.
Dengan mencontohkan Negaranya, Riffat Hasan menyatakan bahwa hukum Islam sangat
sering menjauhkan perempuan dari aktivitas.. Ini karena pemerintah tidak mempunyai
konsep politik dan ekonomi Islam untuk Negara. Jadi, cara paling mudah memperlakukan
perempuan adalah membatasi dan mendiskriminasi mereka. Diskriminasi melahirkan
misogini yang didasarkan pada anggapan bahwa perempuan adalah manusia kelas dua.41
Pada saat yang sama, Zainah Anwar42 dan Zakiah Adam, dua tokoh feminis
terkemuka dari Malaysia dan anggota LSM Sis (Sister in Islam), datang ke Indonesia pada
beberapa kesempatan. Kedekatan letak geografis antara Indonesia dan Malaysia
menyebabkan jaringan antar kaum feminis kedua Negara ini tidak hanya terbatas pada
pemberian kuliah dan diskusi.43 Selanjutnya, pada tahun 1999, Amal Abdul Hadi, seorang
feminis Muslim dari Mesir juga datang ke Indonesia untuk mengisi workshop internasional
tentang hak-hak reproduksi.44
Seorang sarjana Perancis, Andrée Feillard, juga membahas tentang feminisme dalam
beberapa penelitiannya. Dia memfokuskan penelitiannya pada bagaimana ajaran Islam
dikombinasikan dengan nilai-nilai lokal dan tradisi di Indonesia. Dia meneliti isu feminisme
pada beberapa organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Seluruh
karyanya diterbitkan di jurnal-jurnal internasional.45 Seorang feminis Belanda, Saskia

40 Dua buku karya Asghar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; Islam and Liberation Theology

dan Women’s right in Islam.


41 Lihat Mengikis Kebencian terhadap Perempuan. Republika, 13 Agustus 1993 ; lihat juga HAM masih

Harus Diperjuangkan, Republika, 8 January 1996. Theology Dibahas Tiga Pakar, Kompas, 14 Agustus 1997.
42 Lihat Islam dan Prinsip Moderasi, Republika 21 September 1996. pada bulan November 1999, dia

juga memimpin diskusi yang diorganisir Lakpesdam NU dan pusat Studi Wanita IAIN Jakarta.
43 Setelah workshop internasional mengenai feminisme di Amsterdam November lalu, kami

mengundang Zainah dan koleganya ke Leiden untuk mendiskusikan feminisme di Malaysia. Dia menyatakan
bahwa kaum feminis Malaysia sangat iri dengan kaum feminis Indonesia karena di Indonesia terdapat banyak
buku-buku tentang feminisme. Hal seperti ini tidak ditemukan di Malaysia sehingga dia akan menerjemahkan
buku karya Husein Muhammad ke dalam bahasa Inggris.
44 Lihat Syafiq Hasyim (ed.), Menakar Harga Perempuan. Bandung: Mizan, 1999
45 Lihat beberapa karyanya, seperti The veil and Polygamy: Current Debates on Women and Islam in Indonesia,

Mousson, vol. 99, université de Provence, December 1999. Indonesia’s Emerging Muslim Feminism; Women Leaders
on Equality, Inheritance and Other Gender Issue, Jakarta: Studia Islamika, vol. 4 number 1, 1997. mengenai khitan
peempuan, lhat di antaranya Archipel, no. 56, 1998.
14

Wieringa, mengikuti jejak Feillard meneliti isu-isu feminis di Indonesia. Meskipun dia tidak
secara khusus membahas Islam, dia memasukkan bagian mengenai bagaimana peranan
agama dalam gerakan perempuan di Indonesia.46

2. Pengaruh Literatur
Untuk melihat bagaimana literature berkaitan dengan isu-isu perempuan
berpengaruh terhadap penyebaran isu-isu tersebut, kita data mengelompokkan ke dalam tiga
kelompok. Pertama, dari perspektif pesantren, yang berarti bahwa karya-karya beberapa
ulama yang ditulis pada masa lampau masih tetap digunakan. Kedua, dari buku-buku, dan
terakhir dari karya-karya asli sarjana Muslim Indonesia. Kategori ini termasuk semua buku
yang terbit dari tahun 1990 sampai tahun 2000 kecuali buku-buku yang digunakan di
pesantren. Ini karena cetak ulang sangat mempengaruhi bagaimana perempuan harus
bersikap dalam kaitannya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Di pesantren, salah satu buku yang sering dikutip untuk menggambarkan hubungan
antara pasangan suami isteri adalah kitab Uqūd al-Lujjayn Fi Huqūq az-Zaujain karya al-
Nawawi al-Bantani47. Buku ini digunakan di berbagai pesantren sebagai rujukan utama
untuk mengajarkan bagaimana perempuan seharusnya menjadi isteri dalam Islam. Kitab ini
juga menjadi materi yang telah lama diajarkan di Madrasah Aliyah, terutama pada kelas
tiga.48 Kitab ini ditulis pada tahun 1877, jauh sebelum feminisme menjadi isu. Al-Bantani
mengutip banyak penjelasan dari ulama-ulama sebelumnya. Berbagai kitab kuning49 ditulis
pada periode lebih awal dan pada kondisi social yang berbeda. Dengan mengutip banyak
ayat-ayat al-Quran dan hadits, para kyai jarang sekali membandingkan pernyataan-

46 Lihat Saskia Wieringa, The Politicization of Gender Relations in Indonesia; The Indonesian Women’s

Movement and Gerwani Until the New Order State. Academic Proefschrift, UVA, Amsterdam. 1995.
47 Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi Nawawi al-

Bantani, lahir di Banten tahun 1230 H/1813 M. Buku tersebut ditulis pada tahun 1294 H/1877, lebih dari satu
abad yang lalu. Dia merupakan seorang ulama terkemuka di Hijaz dan di Indonesia. Beberapa karyanya seperti
Tafsir Munir/ Marah Labid, dan Nihayah al-Zain banyak digunakan di pesantren-pesantren di Indonesia sampai
sekarang. Lihat Uqud Al-Lujjain karya Al-Nawawi dalam beberapa edisi; bandngkan Forum Kajian Kitab
Kuning (F3), Wajah Baru Relasi Suami –Istri, Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn. LKIS.Yogyakarta. 2001
48 Khataman peristiwa khusus dimana kyai menghabiskan bulan Ramadhan untuk mengajarkan seluruh

isi kitab. Ketika saya duduk di bangku aliyah dan di pesantren, saya telah menyelesaikan Uqūd al-Lujjain Fi
Huqūq az-Zaujain dan tidak ada seorang santripun yang berani mengkritisi kitab tersebut.
49 Kita menyebutnya kitab kuning karena dicetak di atas kertas kuning. Dalam tulisan ini, saya tidak

merujuk seluruh kitab adalah kuning, karena sekarang kitab dicetak diatas kertas putih secara bebas baik berisi
gagasan yang sama ataupun yang berbeda.
15

pernyataan yang ada dalam kitab tersebut dengan ayat-ayat dan hadis yang lain, yang
menggambarkan hak perempuan dalam semangat Islam dan bagaimana Islam menjaga nasib
mereka. Sebagai tambahan, kitab Uqūd al-Lujjayn karya al-Bantani ini secara luas
digunakan di berbagai pesantren sampai sekarang. Pada tahun 1995, beberapa sarjana
Muslim mengkritisi seluruh isi kitab tersebut, khususnya tentang hadîts-hadits dalam kitab
tersebut. Hasilnya, kita sekarang dapat membaca edisi kritisnya yang berjudul Wajah Baru
Relasi Suami-Istri, Telaah Kitab ‘Uqūd al-Lujjayn.
Pada satu sisi, beberapa kyai mengkritik dan mendidik para santrinya untuk
mendaptkan perspektif yang berimbang. Sebagai kelompok intelektual, mereka dengan
mudah dapat mengakses buku-buku, artikel, dan publikasi lainnya seperti jurnal, majalah,
surat kabar, hasil penelitian dan lain-lain. Perkembangan ini didukung oleh beberapa kyai
50
seperti Masdar F. Mas’udi dan Husein Muhammad yang menulis beberapa buku dan
artikel tentang isu-isu perempuan yang digunakan oleh pesantren sebagai sebuah
pendekatan untuk merekonstruksi penafsiran yang tidak sesuai. Mereka mengajarkan buku-
bukunya kepada para santri. Untuk menjaga keberlangsungan perkembangan ini, mereka
juga menjalin hubungan dengan LSM.51
Mendukung gerakan perempuan, Taufik Abdullah, sejarawan Indonesian, menyatakan
bahwa terdapat tiga factor yang mempengaruhi pembaruan gagasan dan gerakan-gerakan
perempuan di Indonesia. Factor pertama berkaitan dengan para intelektual yang
mempelopori wacana feminis. Sementara orang mungkin menganggap bahwa para
intelektual tersebut adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dengan perdebatan yang
terjadi di kalangan orang asing tentang aspirasi, liberasi dan persamaan bagi perempuan.
Taufik Abdullah mengidentifikasi intelektual sebagai individual yang berasal dari kelompok
Islam tradisional atau mereka yang tumbuh dalam komunitas tradisional. Dia menjelaskan
bahwa sebagian kelompok membawa ide-ide modern yang didasarkan pada buku-buku asli
atau terjemahan-terjemahan karya Asghar Ali, Mernissi, Amina Wadud Muhsin, dan Riffat
Hasan, dan lain-lain. Ide-ide tersebut adalah ide-ide asing yang tidak sesuai dengan konteks

50 Karena melakukan poligami, Masdar Mas'udi tidak lagi terlibat dalam perjuangan kaum
perempuan.
51 Abdul Halim Soebahar dan Hamdanah Utsman. Hak Reproduksi Perempuan dalam Pandangan Kyai.

Yogyakarta: Ford Foundation –Universitas Gadjah Mada, 1999, hlm. 49


16

Indonesia. Faktor kedua adalah orang-orang yang terlibat dalam perdebatan yang terjadi
karena mereka tidak setuju dengan struktur social. Para pendukung gerakan ini biasanya
dimulai dari pengalaman personal. Sebagai contoh, Marsinah tidak mempunyai kemampuan
untuk mengakses buku atau pendidikan Barat, tetapi mampu mengorganisir dan
membangkitkan demonstrasi buruh memprotes pengusaha.52 Factor ketiga berkaitan dengan
persoalan teologi. Banyak aktivis yang berpendapat bahwa tidak ada penyimpangan dari
ajaran Islam, yang melegitimasi ketidakadilan dan penindasan terhadap hak-hak perempuan
dan lain-lain.53
Alasan kedua yang mempengaruhi kemunculan pengaruh literature adalah ledakan
penerbitan buku terjemahan dari Bahasa Arab dan Inggris ke dalam Bahasa Indonesia dan
juga karya-karya asli dari sarjana Muslim Indonesia. Fenomena ini dapat dilacak pada
sepuluh tahun terakhir.
Alasan lain adalah apa yang dinyatakan oleh J.H Meuleman. Pada tahun 1992, dia
menerbitkan hasil penelitiannya terhadap 52 buku mengenai Islam dan isu-isu perempuan
dalam berbagai judul dari berbagai aliran pemikiran.54 Mengomentari buku-buku ini,
Meuleman menolak kenyataan bahwa buku yang paling penting mengenai wanita dan Islam
didasarkan pada stereotype perempuan sebagai sebuah gagasan yang abstrak, jeneral dan
statis, jauh dari realitas perempuan dan ekspektasi pembaca. Buku-buku tersebut
nampaknya untuk menolak perkembangan-perkembangan lain dalam budaya dan status
komunitas social. Tidak terfikirkan oleh pengarang untuk menunjukkan kenyataan bahwa
perempuan adalah manusia yang selalu berkembang dan berubah. Yang paling penting
untuk difahami adalah bahwa para pengarang mendasarkan diri mereka pada hukum Islam
sebagai standar pembahasan mengenai perempuan. Beberapa buku dari beberapa Negara

52 Pendapat ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian selanjutnya.


53 Lihat Didin Syafruddin, Isu Perempuan dan Masa Depan Pemikiran atau Gerakan Islam Progresif, hlm. 8-
10, makalah dipresentasikan pada seminar di Jakarta 14 Oktober 1995. Sebagai bagian dari pendapat ketiga ini,
Abdullah menambahkan bahwa alasan pertama dan kedua tidak mendukung pembahasan mengenai isu-isu
perempuan karena pemikiran tradisional masih dominant, sebaliknya, kemajuan Islam telah bermula. Dia
mengatakan masalah ini tujuh tahun lalu. Sekarang wacana telah berubah. Meskipun tradisi Islam tetap
dominan, pengaruhnya tidak terlalu kuat dan isu-isu tentang perempuan telah menjadi bagian dari wacana
hamper dalam setiap disiplin Islam.
54 Karya tersebut diterbitkan pada tahun 1992, tetapi buku-buku yang direview tidak hanya dari tahun

1990, tetapi dari tahun 1955 sampai 1991. Tujuh dari 52 buku tersebut dicetak dua kali dalam delapan tahun
belakangan. Meuleman tidak hanya focus pada tahun-tahun ini, tetapi dia mendata pandangan-pandangan
dalam buku yang disebarkan di Indonesia dan diduga telah membentuk pandangan tentang perempuan.
17

Timur Tengah diterjemahkan dari Bahasa Arab.55 Sejumlah buku juga menganalisis
perempuan dalam Islam dengan cara yang jauh dari relaitas Indonesia masa kini. Sebagai
konsekuensi dari realitas tersebut, banyak dari mereka tidak diidentifikasikan sebagai
terjemahan.56 Meuleman juga menyatakan bahwa karena banyak buku diterjemahkan dari
Bahasa Arab, buku-buku tersebut sepertinya membawa semangat Arabisasi, bukan
Islamisasi.57
Beryl C. Syamwil merespon penelitian Meuleman dengan menyatakan bahwa
keberadaan buku-buku tersebut tidak banyak mempengaruhi pembaca di Indonesia dan
fikiran mereka. Dia menegaskan bahwa kita tidak dapat menganggap bahwa buku-buku
mengenai perspektif Indonesia terhadap perempuan didistribusikan kepada kaum
perempuan. Dia membuat perbandingan antara Muslim Indonesia yang tertarik untuk
mendengarkan dengan mereka yang tertarik untuk membaca. Nyatanya, tabligh akbar, ceramah
dan pengajian58 jauh lebih banyak dihadiri orang dibandingkan dengan yang datang ke toko
buku atau perpustakaan. Sarjana Muslim juga lebih suka mendatangi seminar dan konferensi
atau mengecek sumber-sumber normative seperti al-Quran dan hadits daripada melahap
buku.59
Kita dapat memahami alasan Beryl karena pada tahun 1992, tidak seperti sekarang,
ketertarikan membaca dan penyebaran isu-isu perempuan tidak terlalu popular.60 Sekarang,
ketertarikan terhadap jender atau isu-isu feminis berkembang pesat. Informasi dapat
diperoleh tidak hanya dari buku, tetapi juga dari pamphlet, brosur dan lain-lain yang dibagi
bagikan secara gratis. Penelitian lain mengenai literature dan perempuan juga dilakukan oleh
Wardah Hafidz dan Musda Mulia.
Gema Insani Press merupakan sebuah penerbit yang mewakili pendekatan
konservatif terhadap isu-isu perempuan. Lebih dari itu, sebagaimana ditunjukan oleh

55J.H.Meuleman, Analisis Buku-Buku tentang Wanita Islam yang Beredar di Indonesia dalam Marcoes-Natsir

dan J.H.Meuleman (eds.) Wanita Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual: Kumpulan Makalah Seminar,
Jakarta: INIS, 1993, hlm. 177
56 J.H Meuleman, menyatakan bahwa sulit untuk membedakan antara buku-buku tersebut karena

sejumlah penerbit tidak menyebut asal buku-buku tersebut.


57 J.H Meuleman, Analisis Buku-Buku tentang Wanita Islam yang Beredar di Indonesia, hlm. 179-180
58 Tabligh akbar, ceramah atau pengajian adalah kumpulan pengajaran Islam informal tempat orang-orang

biasanya berkumpul untuk mendengarkan ceramah yang disampaikan ustadz.


59 Beryl C. Syamwil, Harapan Kepada Peran Buku-Buku Tentang Wanita Islam di Indonesia in Wanita Islam

dalam Kajian Teks dan Kontekstual dalam Lies Marcoes and JH. Meuleman (eds. ) hlm. 207
60 Setelah tahun 1995,informasi mengenai isu perermpuan didistribusikan melalui beragam publikasi.
18

penelitian sebelumnya, terdapat banyak buku hasil terjemahan dari bahasa Arab. Sebagian
besar pengarang gagal membedakan antara ajaran Islam dengan budaya Arab yang jauh dari
realitas Indonesia. Pada sisi lain, sarjana Muslim dari Timur Tengah seperti Muhammad
Abduh, atau Qasim Amin yang memperkenalkan isu-isu dan penafsiran baru, tidak pernah
dirujuk oleh para pengarang tersebut.61
Literature terakhir yang mempengaruhi isu-isu feminis pada decade terkait (1990-
2000) adalah karya sarjana Indonesia yang tidak pernah studi ke luar negeri secara resmi
seperti Masdar F. Masu’di. Sebagai seorang kyai, Masdar mempunyai hubungan yang dekat
dengan para kyai lain, yang memungkinkannya untuk memainkan peranan penting dalam
memperkenalkan isu-isu mengenai hak-hak perempuan melalui halaqah, yang bernama
pelatihan Fiqh Nisa’, atau melalui penerbitan dan publikasi Islam dan Hak-Hak Reproduksi
Perempuan. Sebagai tambahan, buku yang ditulis oleh Farha Ciciek, “Ikhtiar Mengatasi
Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Belajar dari Kehidupan Rasulullah, dan sebuah buku karya
Nasaruddin Umar “Kodrat Perempuan dalam Islam” dan lain-lain.
Mengikuti perkembangan ini, banyak sarjana Indonesia telah menulis artikel, jurnal,
selebaran, bulletin, brosur, website dan lain-lain yang bertujuan untuk mengangkat isu
feminisme dan Islam. Bulletin Sehat62 adalah bulletin pertama yang mengangkat isu dan hak-
hak perempuan sesuai dengan ajaran Islam.
Dari pembahasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Islam dan isu-isu feminis di
Indonesia dipengaruhi dari berbagai aspek. Aspek pertama adalah kontak antara feminis
Muslim Indonesia dengan sarjana muslim lain atau muslim feminis lain di dunia. Dalam
waktu dekat, para alumni Timur Tengah diharapkan dapat berpartisipasi lebih banyak
dibandingkan sekarang. Sementara itu, peran kyai melalui pesantren berkaitan dengan isu ini
tidak dapat diabaikan. Penyebaran literature adalah aspek kedua yang menggambarkan
betapa banyak pengarang buku yang mendukung isu tersebut. Para sarjana muslim tidak
hanya bertindak, tetapi juga menulis buku untuk mendukung isu tersebut. Pemerintah tidak
melarang penerbitan mengenai isu-isu perempuan dan aktif dalam penyebaran isu tersebut.
61 Sebenarnya, Quraish Shihab, dalam dua karyanya, Membumikan Al-Quran dan Wawasan Al-Quran,

yang juga membahas tentang isu-isu perempuan memasukkan penafsiran yang dilakukan Muhammad Abduh
dan pemikiran modern lainnya. Namun Musdah tidak memasukkan buku-buku tersebut dalam daftar. Lihat
supplement pada halaman terakhir artikelnya.
62 Karena Fiqh al-Nisa’ tidak berafiliasi pada LSMnya Masdar, Sehat dihadirkan di Swara Rahima.com

dengan isi yang sama mengenai perjuangan perempuan.


19

Ini menjadikan literature mengenai isu-isu perempuan berbeda dengan isu-isu lain seperti
politik dan ideology.
Terjadi beberapa hal yang tidak diinginkan seperti pelarangan untuk membaca karya
Masdar di pesantren Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jawa Timur. Semenjak awal
decade ini sampai sekarang, banyak penerbitan telah mendapatkan dukungan financial dari
agen-agen pendanaan, sehingga masyarakat dapat membelinya dengan harga murah.
Indonesia cukup beruntung karena di Indonesia perdebatan mengenai isu perempuan dan
feminis secara keseluruhan terlihat moderat –meskipun kita tidak bisa mengabaikan
kecenderungan minor yang lain- dan ini sangat berbeda dari kondisi yang terjadi di Negara
lain seperti Malaysia dan lainnya. Penjelasannya terletak pada kenyataan bahwa banyak
kelompok seperti kyai dari pesantren, sarjana muslim dan literature mempunyai peranan
yang sama pentingnya dalam masyarakat dalam mendukung isu tersebut. Namun begitu, ini
tidak menghalangi peningkatan jumlah penerbitan literature. Meskipun terdapat banyak
buku terjemahan, terjadi perimbangan dengan penerbitan karya-karya asli yang dibangun
dengan publikasi beragam brosur dan jurnal.

D. Aliran Pemikiran di Kalangan Feminis Muslim Indonesia


Banyak ayat mengenai isu-isu perempuan yang tidak pernah dibahas dengan
pendekatan perempuan dan hermeneutic. Untuk masa yang lama, ayat-ayat ditafsirkan apa
adanya sebagaimana penafsiran Nabi dan setelah periode Nabi, dalam penafsiran ini
ditambahkan apa yang dinamakan “Isrâ’îliyât”. Ketika datang ke sebuah daerah, beberapa
pendeta (rabih) hidup di wilayah sekeliling Mekah dan Madinah. Salah satu penafsiran
berkaitan dengan isu-isu perempuan yang mempengaruhi umat Islam, menurut Abduh,
penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam dalam keyakinan Islam datang dari Genesis. Kita
tidak dapat menghilangkan adanya kemungkinan bahwa banyak penafsiran dipengaruhi oleh
Isrâ’îliyât dan bahwa beberapa penafsiran hadis mungkin palsu. Islam tidak mungkin
memahami dengan satu penafsiran saja. Banyak ayat-ayat al-Quran harus dianalisis secara
metaforis, bukan literal.63 Mengomentari pentingnya penafsiran ulang, Shihab menyatakan
bahwa bahasa al-Quran sendiri adalah salah satu alasan lahirnya perbedaan pendapat di

63Isrâ’îliyât adalah penafsiran yang berasal dari sebuah agama sebelum Islam, lihat, Nasr Hamid Abu
Zaid, Dawa’ir al-Khauf, Qira’ah Fi Khiãâb al-Mar’ah. Beirut. Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1999, hlm. 18.
20

kalangan umat Islam. Sebagaimana kita ketahui, terdapat ayat-ayat mutasyabih,64 yang makna
dan isinya bisa dipertanyakan.65 Dengan demikian, benar bahwa Nabi sering mentolerir
perbedaan pendapat. Sungguh, tidak ada seorangpun yang dapat memahami secara pasti
makna kata kecuali yang mengucapkan kata tersebut. Makna dan pemahaman bersifat
relative bagi pendengar dan pembaca.66 Lebih lagi, al-Quran bukan hanya milik Negara, atau
ulama, tetapi milik semua umat Islam. Tanpa penelitian, penafsiran pesan-pesannya
mungkin keliru. Karena adanya beragam penafsiran, tidak mengejutkan bahwa Islam
dipraktekkkan berbeda-beda pada tempat dan wilayah yang berbeda. Islam di Indonesia,
sebagia contoh, tidak sama dengan praktek Islam di Arab atau Afrika. Perbedaan pendapat
mengenai perempuan dapat dilihat sesuai dengan kondisi ini. Bagaimana peranan
perempuan muslim dilihat sangat tergantung pada bagaimana ulama menganalisis dan
menafsirkan ayat-ayat mengenai perempuan atau bagaimana kuatnya perjuangan perempuan
di Negara ini.67
Sekarang, ketika Islam berhadapan dengan masyarakat modern, umat Islam masih
saja menggunakan teks-teks yang diwahyukan pada masa Nabi, maka teks-teks tersebut
harus dikontekstualisasikan dengan masa sekarang karena klaim bahwa Islam sebagai agama
universal adalah benar. Mernissi dengan mengutip pendapat Al-Jabiry menyatakan bahwa
untuk memahami teks-teks klasik, kita harus memahami masa kini. Kita harus menjaga jarak
dengan teks untuk menemukan maknanya. Kita –sebagai pembaca- harus memisahkan masa
kita –masa kini- dari masa terciptanya teks.68 Al-Jâbiry memberikan contoh: bahwa al-

64 Shihab menggunakan ayat-ayat mutashabih untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qurân yang

penafsirannya meraguan, sementara Masdar menggunakan ayat-ayat zanni (bisa ditafsirkan).


65 Quraish Shihab, Keragaman Pandangan Tentang Islam dan Tantangan Masa Depan, hlm. 3.
66 Rashid Rida, Tafsir al-Manar, Kairo: Maãba’ al-Manar, 1367.A.H, vol. v, hlm. 196.
67 Sebagai contoh, di Arab Saudi, ulama’ cenderung menafsirkan al-Qurân secara literal. Perempuan

dibatasi oleh beberapa kebijakan pemerintah. Seperti pada tahun 1970, perempuan dilarang untuk belajar di
luar negeri tanpa disertai orang tua atau suami. Pada tahun 1990, pemerintah menahan para perempuan yang
demonstrasithe memprotes peraturan bahwa merempuan tidak diizinkan mengendarai mobil. Lihat Gerakan
Perempuan Islam. Jurnal Perempuan, no. 14, 1999.
68 Fatima Mernissi, Women in Islam, an Historical and Theological Enquiry. Oxford: Basic Blackwell, 1991,

hlm. 20.
21

Quran menyatakan bahwa perempuan menerima harta waris setengah dari laki-laki69, harus
ditafsirkan sesuai dengan latar belakang pada masa turun dan masa sekarang.70
Penafsiran teks-teks keagamaan bukanlah kerja yang mudah. Terdapat banyak aspek
dalam Islam. Untuk ayat-ayat al-Quran, kita harus melihat asbâb al-nuzūl (sebab-sebab
diturunkannya ayat); untuk Hadîts, kita harus melacak asbab al-wurud (sebab-sebab lahirnya
hadits). Fiqh berkaitan dengan mazhab hukum yang meliputi periode pembentukan
termasuk pertimbangan-pertimbangan politik dan geografi. Penafsiran-penafsiran di
dalamnya sangat beragam dan harus dijabarkan. Hermeneutika, metode penafsiran teks,
sejatinya merupakan penerapan persyaratan-persyaratan yang disebutkan di atas. Sementara
itu, ulama menafsirkan al-Quran dengan metode klasik, dan menganggap asbâb al-nuzūl
sebagai salah satu bagian terpenting dalam penafsiran. Al-Suyūthi menyatakan bahwa asbâb
al-nuzūl menghindarkan manusia dari konklusi yang salah dan tidak berguna. Asbab an-
Nuzul juga dapat membantu menentukan pendapat masa lalu yang ada pada masa Nabi dan
memperoleh makna serta menghindari ambiguitas. Al-Wahidi melanjutkan bahwa tidak
mungkin menafsirkan al-Quran tanpa mempelajari konteks kesejarahan serta asbâb al-
nuzūlnya. Lebih lagi, Ibn Taimiyah menegaskan bahwa di kalangan ulama salaf terdapat
keraguan mengenai makna ayat, tetapi ketika mereka mulai menganalisis asbâb al-nuzūl
keraguan mereka hilang.71
Jika sekian banyak ulama menganalisis al-Quran begitu detail –dan Islam adalah
agama bagi laki-laki dan perempuan- mengapa terdapat banyak penafsiran yang tidak
membela perempuan? Apakah Islam bertentangan dengan hak-hak perempuan? Nyatanya,
salah satu misi Nabi Muhammad adalah untuk melindungi hak-hak perempuan dalam
konteks kehidupan beliau. Banyak perkataan beliau merupakan permintaan dan peringatan
untuk menghargai perempuan. Sebagai contoh: suami yang baik adalah suami yang
memperlakukan isterinya dengan baik, dan saya adalah suami terbaik karena saya memperlakukan isteri
saya dengan sangat baik.72

69Qurân, 4: 176.
70M. ‘&bid al-Jâbiry, Al-Turâth wa al-\adâthah, Dirâsâ wa Munâqashât. Beirut: al-Markaz al-Thaqâfî al-
‘Arabi, 1991, hlm. 54-55. See also Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khiãâb al-Dîny. Cairo: Maktabah Madbūly,
1995, hlm. 84-85.
71 Jalal al-Suyūthi, Lubâb al-Nuqul fi Asbâb al-Nuzūl. Beirut: Maktabah ‘Aßriyah, 1999, hlm. 7.
72 Lihat Mahmud Abdul \amîd, \uqūq al-Mar’ah, Misr: Maktabah Madbūly, 1996.
22

Mernissi menyatakan bahwa dalam perkembangannya, hadits sebagai sumber ajaran


Islam kedua mengandung perspektif misoginis. Meskipun risalah Nabi egaliter, sekarang
risalah tersebut terdengar asing bagi banyak masyarakat muslim. Jika hak-hak perempuan
merupakan problem bagi sebagian laki-laki muslim modern, itu bukan karena al-Quran atau
Nabi, atau juga tradisi Islam, tetapi karena hak-hak perempuan bertentangan dengan
kepentingan elit laki-laki. Dengan segala persoalan yang ada dalam masalah ini, Mernissi
berusaha untuk menangkap kembali ajaran Islam yang menakjubkan dan kejadian-kejadian
indah yang terjadi pada masa Nabi dengan memberi pendapat kritis terhadap hadits.73
Seorang sarjana muslim, Nasr Hamid Abu Zaid juga menawarkan metode baru
untuk menafsirkan dan mengkontekstualisasikan ajaran Islam, khususnya berkaitan dengan
isu-isu perempuan. Nasr menyebut metodenya dengan qirâat al-siyaqiyah (membaca dalam
konteks). Tujuan utamanya adalah mengembangkan penafsiran kontemporer dalam bentuk
penafsiran dengan menganalisis teks dengan konteks sejarah sosialnya. Metode ini berusaha
menafsirkan ulang teks-teks dan mengaitkannya dengan realitas social dan budaya pada
masa ayat-ayat tersebut diwahyukan. Hubungan antara teks dan konteks tidak dapat
dipisahkan karena al-Quran diwahyukan di Arab Saudi.74 Dia menegaskan bahwa hubungan
antara teks dan masa lalu (sejarah) tidak boleh dianggap sebagai hambatan, karena masa lalu
berkaitan dengan masa sekarang dan masa sekarang dipengaruhi masa lalu. Dengan
demikian, terdapat orisinalitas (al-ashl) dan modernitas (al-mu’âshirah) dalam al-Qurán. Untuk
menerapkan hubungan antara teks dan konteks, teks harus ditafsirkan secara dialogis dan
dialektis (al-hiwâr wa al-jadal) dan tidak diperkenalkan secara pasif (al-inshât al-silbî).75 Nashr
berpendapat bahwa metode ini bukan metode baru tetapi kelanjutan dari metode usul fiqh
klasik yang diadaptasi dan telah dimodifikasi oleh Muhammad Abduh dan Amin al-Khūli,
yang pakar dalam bidang studi al-Quran. Mereka menggunakan metode studi al-Quran
dengan menggunakan asbâb al-nuzūl dan al-nâsîkh wa al-mansūkh (pembatalan) serta
linguistik untuk memahami teks dan aturan-aturan dalam hukum Islam.76

73 Fatima Mernissi, Women in Islam, an Historical and Theological Enquiry, hlm. viii dan ix.
74
Nasr Hamid Abu Zaid, Dawa’ir al-Khauf, Qira’ah Fi Khiãâb al-Mar’ah, hlm. 202.
75 Nasr Hamid Abu Zaid. Ishkâliyât al-Qirâah wa Aliyyâh al-Ta’wil. Beirut:. Al-Markaz al-Tsaqafi al-

‘Arabi, 1999, hlm. 42.


76 Nasr Hamid Abu Zaid, Dawa’ir al-Khauf, Qira’ah Fi Khiãâb al-Mar’ah, hlm. 202.
23

Kita dapat menerapkan karakteristik kontekstual yang secara garis besar telah
disebutkan di atas untuk mengangkat isu-isu persamaan antara laki-laki dan perempuan
dalam al-Quran. Terdapat dua kasus mengenai isu persamaan: pertama, aspek penciptaan
manusia, bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari jiwa yang satu (al-nafs al-wahidah)77;
kedua, mengenai kewajiban agama, perempuan akan mendapat ganjaran yang sama dengan
laki-laki.78 Teks-teks yang menjelaskan kewajiban agama adalah teks-teks hukum. Teks yang
membicarakan tentang jawaban Tuhan terhadap orang-orang kafir di Mekah diklasifikasikan
sebagai teks-teks yang terbuka untuk diperdebatkan. Sementara itu, teks-teks deskriptif
adalah teks-teks yang menggambarkan perempuan, di mana mereka seperti tidak setara,
seperti cerita isteri Imran yang kuatir karena dia melahirkan anak perempuan (Maryam).79
Ayat-ayat lain yang dapat dimasukkan dalam kelompok ini adalah ayat tentang laki-laki
sebagai pemimpin perempuan al-rijâlu qawwamūna ‘ala nisâ’80 ayat-ayat ini adalah deskripsi
mengenai ketidaksetaraan jender yang berakar dari masyarakat Arab. 81
Dari metode Nasr ini, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada ayat al-Quran yang
bertentangan dengan kesetaraan jender. Ayat-ayat atau teks beragam sesuai dengan situasi
dan tidak bebas dari budaya dan kondisi ketika ayat-ayat tersebut turun. Ayat-ayat al-Quran
tidak hanya terbatas menjadi teks. Sungguh, teks-teks tersebut sangat relevan untuk
menjawab persoalan yang dihadapi oleh umat Islam pada periode turunnya wahyu. Sebagai
contoh, sebelum Islam, perempuan Arab tidak pernah mendapatkan bagian warisan,
kemudian Islam memberinya setengah bagian laki-laki. Dengan demikian, ini adalah
kemajuan yang luar biasa ketika kita menganggap bahwa budaya Arab adalah budaya
patriakhal. Sebagaimana pernyataan Muhammad Arkoun, al-Quran adalah korpus yang
terbuka untuk penafsiran. Bagi umat Islam, penafsiran adalah sebuah keharusan. Lebih lagi,
Shahrour menegaskan bahwa al-Quran harus dibaca dan ditafsirkan, tidak melalui prisma

77Seperti Nasr, Quraish Shihab juga menafsirkan al-nafs al-wahidah dengan “jiwa yang sama”. Kata al-
wahidah mempunyai makna banyak. Namun demikian, penafsiran ini menolak penafsiran lama bahwa
perempuan diciptakan dari satu juwa yaitu Adam. Lihat Quraish Shihab, Membumikan Qur’an, Bandung: Mizan,
1992, hlm. 270.
78 Qurân, 4:1, 7: 189, 16:97, 4;124, 40:40, 3:195, 9:71-72.
79 Qurân, 3: 35-37.
80 Qurân 4: 34.
81 Nasr Hamid Abu Zaid, Dawa’ir al-Khauf, Qira’ah Fi Khiãâb al-Mar’ah, hlm. 208-219.
24

yurisprudensi Islam yang berabad-abad, tetapi seolah-olah Nabi baru saja meninggal dan
mengajarkan al-Quran kepada kita.82
Menggunakan alasan seperti ini, kita mungkin bisa menemukan mengapa sarjana
Muslim terlihat moderat atau tegas mengenai isu-isu perempuan. Apakah Islam dan
feminisme mempunyai kecenderungan dan aliran yang dapat dikatakan aliran pemikiran?
Dalam hal ini, Yamani berpendapat bahwa karena hukum Islam terkait dengan feminisme,
kategori feminisme Islam mungkin didasarkan pada adanya perbedaan. Sumbangan
terhadap perdebatan tersebut telah dianggap sebagai tradisionalis feminis baru, pragmatis,
feminis secular, feminis neo-Islam dan lainnya.83 Lebih lagi, dalam hermeneutika teologis,
Carolyn Osiek membedakan antara lima pendekatan hermeneutic pada teks biblikal dengan
feminis kontemporer: loyalist, revisionist, sublimationist, rejectionist dan liberationist. Dia
menerapkan pendekatannya untuk mengelompokan feminis muslim. Nawa al-Saadawi,
sebagai contoh, dapat dikategorikan sebagai feminis rejectionist. Amina Wadud Muhsin dan
Riffat Hassan, pada sisi lain, dianggap sebagai loyalist dan revisionist. Fatima Mernissi dan
Leila Ahmed diklasifikasikan sebagai liberationist. Pada kenyataannya, kralsifikasi ini tidak
dapat dibedakan secara total.84 Namun demikian, Nawal al-Saadawi menolak
pengklasifikasian tersebut. Dia menyatakan bahwa Islamisasi feminisme tidak benar karena
dengan mengislamisasikan sesuatu atau menghubungkan sesuatu dengan Islam, sama juga
mempolitisasi Islam. Jika kita mempunyai persoalan dengan penasiran teks-teks keagamaan,
itu karena para ulama menjebak kita. Islam benar-benar merupakan agama keadilan. Agenda
kita sekarang adalah berjuang untuk hak-hak perempuan, kemiskinan, dominasi Amerika
dan lainnya.85
Sementara itu, feminis muslim mernafsirkan ulang ayat-ayat dan mencoba
mengkontekstualisasikannya pada konteks Indonesia. Sebagian kecil dari mereka masih
tetap mempertahankan nilai-nilai konservatif yang hanya membuat pemikiran menganai isu-
isu perempuan menjadi rumit. Merujuk pada karya-karyanya, feminis muslim Indonesia
tidak sekaliber Riffat Hasan, Nawa al-Saadawi dan yang lainnya. Ini karena perdebatan
82 Muhammad Shahrour, Al-Kitâb wa al-Quran: Qira’a al-Mu’aßira, Damascus: Al-Ahali li-al-Taba’

wa-al-Nashr wa al-Tauzia’a, 1990, hlm. 44.


83 Mai Yamani. Feminism and Islam legal and Lliterary perspective. London: Ithaca, 1996, hlm.1.
84 Untuk pernyataan Osiek lebih lanjut, lihat, Karin Ask dan Marit Tjomsland (eds.). Women and

Islamization; Contemporary Dimensions of Discourse on Gender Relations, Oxford: Berg, 1998, hlm. 20.
85 Wawancara dengan Nawal al-Saadawi di rumahnya, 15 July 2002, Kairo.
25

mengenai feminisme dan Islam di Indonesia merupakan fenomena baru yang baru mulai
semenjak sepulunh tahun lalu. Dengan demikian, kita tidak bisa mengikuti klasifikasi yang
dibuat oleh Carolyn Osiek maupun argumentasi Yamani.
Dengan demikian, ketika kita berbicara mengenai aliran pemikiran kaum feminis
Indonesia, rujukannya adalah pendapat atau cara berfikir feminis muslim yang memberikan
bayak sumbangan karya mengenai isu-isu perempuan dan Islam di Indonesia. Gagasan-
gagasan mereka mungkin dapat disebut sebagai kecenderungan atau aliran. Istilah aliran
pemikiran merujuk pada siapapun yang menyatakan pendapatnya mengenai isu-isu
perempuan dalam pandangan Islam. Pendapat mereka sebagian besar didasarkan pada
pengalaman, pendidikan, dan hubungan mereka dengan realitas perempuan. Meskipun
mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengangkat isu-isu perempuan, tidak berarti
bahwa mereka mempunyai gagsan yang sama mengenai isu-isu tersebut, karena adanya
ragam penafsiran.
Di sini akan dibahas dua kategori mengenai perhatian feminis muslim. Pertama
adalah pemikir feminis muslim dan kedua adalah aktivis feminis muslim. Klasifikasi ini
didasarkan pada sumbangan mereka terhadap perdebatan feminis selama sepuluh tahun
belakangan. Pemikir feminis muslim, sebagia contoh, dapat diklasifikasikan menurut posisi
dan pendapatnya mengenai feminisme berkaitan dengan Islam. Mereka berjuang untuk
perempuan dengan beragam cara. Di antara mereka ada yang konsevatif, sebagian yang lain
cenderung modernis. Selain itu, terdapat posisi tengah di antara mereka, yaitu feminis
Muslim yang konsern dengan pemikiran, tetapi juga ikut dalam aktivitas di lapangan.
Kelompok ini akan dimasukkan ke dalam aktivis feminis muslim. Penjelasan dimulai dengan
biografi singkat dan pemikiran-pemikiran yang penting dalam isu perempuan melalui karya-
karya mereka.
Konservatisme merujuk pada penganut tradisi, metode, prosedur maupun pendapat.
Konservatisme secara karakteristik tidak artikulatif, tidak berusaya menerjemahkannya ke
dalam formula atau maksim, tidak mau menyatakan tujuannya atau pandangannya.86 Jadi,

86 Lihat Webster’s Third New International New Dictionary, Encyclopedia Brittannica, 1986. hlm.

483. atau lihat pernyataan Scruton, “Konservatisme secara karaktreistik tidak akurat, tidak mau
menerjemahkan dirinya dalam formula atau maksim, tidak mau mengatakan tujuannya atau pandangannya.”
Roger Scruton, The Meaning of Conservatism.London: Palgrave, 2001, hlm. 9, bandingkan dengan. Noel
O’Sullivan.Modern Ideologies, Conservatism. London: J.M. Dent and Sons LTD, 1976.
26

konservatisme dalam keyakinan adalah sikap untuk memelihara nilai-nilai lama. Pada sisi
lain, seorang modernis adalah pemuja cara-cara modern, dan percaya bahwa periode
modern harus menang dari masa lalu.87
Dalam pemikiran Islam, modernisme berarti pendekatan yang terbuka bagi
perkembangan modern, pertimbangan rasional dan mempertimbangkan kembali secara
kritis pemikiran para sarjana masa lalu.88 Lebih lagi, membahas Islam dan modernisasi,
Fazlurahman menegaskan bahwa Islam pada akhirnya berubah dan akan berlanjut untuk
berubah bahkan dengan lebih cepat lagi. Transformasi dari tradisi-tradisi kecil dalam
hubungannya dengan tradisi yang lebih besar dapat disifatkan sebagai ortodoxifikasi tradisi
atau, dengan kata lain, modernisasi tradisi besar.89 Dalam tulisan ini, istilah “modernis”
didasarkan pada apa yang dinyatakan oleh para feminis muslim Indonesia, termasuk aspirasi
mereka untuk mengkontekstualisasi Islam dengan relaitas kehiduan perempuan di
Indonesia. Selain semua di atas, sarjana atau feminis mungkin tidak menganggap cara
berfikir mereka sebagai cara modernis atau konservatif. Tetapi kategorisasi ini digunakan
sebagai dasar pembuatan klasifikasi.

1. Pemikir Feminis Muslim


a. Aliran Konservatif
1. Zakiah Daradjat
Zakiah Daradjat adalah seorang sarjana Islam terkemuka di Indonesia. Dia lahir di
Bukittinggi pada tahun 1929.90 Meskipun dikenal sebagai seorang psikolog, dia juga menulis
beberapa buku dan artikel mengenai isu-isu perempuan. Setelah tamat dari PTUIN
(kemudian menjadi IAIN) pada tahun 1954, dia menerima bea siswa dari Departemen
Agama. Dia menjadi satu-satunya perempuan dari sepuluh mahasiswa yang dikirim Depag

87 Webster’s Third New International Dictionary, volume II. Encyclopedia Brittannica, INC. 1986.
hlm. 1452.
88 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan

Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, hlm. 43.


89 Lihat Fazlurrahman, Approaches to Islam in Religious Studies; A Review Essay dalam Richard C. Martin

(ed.), Approaches to Islam in Religious Studies .Tucson: The University of Arizona Press, 1985), hlm. 202.
90 Arief Subhan, Agama Sebagai Terapi; Lebih Dekat dengan Prof.Dr.Zakiah Daradjat. Ulumul Quran, no.

1, vol.V, 1994, hlm. 17.


27

ke Universitas Ainus Syam Mesir. Dia menyelesaikan doktornya sepuluh tahun kemudian.
Pada saat itu, jarang sekali perempuan yang belajar ke luar negeri.
Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1964, Zakiyah Darajat memulai karirnya di
Departemen Agama dan mengajar di beberapa IAIN di Indonesia. Dia menggunakan
keahliannya dalam bidang psikologi agama untuk mengajar di beberapa universitas,
termasuk beberapa IAIN, dan beberapa lembaga lain seperti stasiun radio dan televisi. Pada
tahun 1983 dia terpilih sebagai dekan fakultas di IAIN Yogyakarta. Selain dikenal sebagai
seorang psikolog, Zakiah juga dikenal sebagai seorang muballigah. Dia berdakwah dalam
materi psikologi. Dia tetap menjadi dosen di IAIN Jakarta dan sebagai dosen tamu di
beberapa IAIN di Indonesia.91 Dia mendirikan klinik psikologi di rumahnya. Selain
perannya dalam masyarakat, dia menulis banyak buku berkaitan dengan agama dan
psikoanalisis. Di antara buku tersebut berkaitan dengan perempuan dan Islam.
Keterlibatannya dalam isu-isu perempuan ditandai dengan aktivitasnya di
Perwanida/Persatuan Wanita Departemen Agama. Zakiah adalah salah seorang pendiri organisasi
tersebut dan dalam konggresnya yang ketiga pada tahun 1964 dan selama konggres
berlangsung, dia terpilih sebagai ketua Perwanida pada tahun 1970.92 Organisasi ini
nampaknya hanya ditujukan bagi wadah kaum perempuan departemen Agama untuk
berkumpul.93
Pada tahun 1975, ketika isu-isu tentang feminisme belum popular di Indonesia, dia
menerbitkan buku berjudul Perkawinan Yang Bertanggung Jawab. Pendapat dia mengenai
perkawinan dalam buku ini adalah bahwa perkawinan adalah institusi yang dapat melindungi
hak-hak kaum perempuan. Hubungan dalam perkawinan memberikan pasangan suami isteri
hak-hak yang sama dan tanggung jawab yang sama dalam mencapai kebahagiaan. Dia

91 Arief Subhan, Prof.Dr. Zakiah Daradjat; Pendidik dan Pemikiran Ulama Perempuan Indonesia dalam
Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia , Jakarta: Gramedia, 2002, hlm. 138.
92
Sejarah Perkembangan Perwanida, Tahun 1967-1976. Departemen Agama. Jakarta: 1976
hlm. 5.
93 Tidak ada indikasi apakah organisasi ini masih ada atu tidak. Sekarang masyarakat mengetahui

bahwa Darma Wanita adalah organisasi perempuan untuk semua departemen pemerintah. Dari agendanya,
Darma Wanita hanya untuk tempat berkumpul isteri-isteri pegawai negeri sipil dari tiap departemen. Kaum
feminis berendapat bahwa organisais ini telah menempatkan perempuan dalam peran subordinat, karena apa
yang dilakukan perempuan dalam Darma Wanita atas nama suami mereka.
28

berpendapat bahwa pernikahan yang ideal harus dimulai dari kesiapan pasangan.94 Dia
mencoba untuk menyeimbangkan hak laki-laki dan perempuan. Anehnya, pada karyanya
yang lain, Ketenangan dan Kebahagian Dalam Keluarga, nampaknya dia membebankan tanggung
jawab pada perempuan. Sebagai contoh, kesalahan yang dilakukan suami kemudian terjadi
masalah, maka isteri harus bisa memahami dan isteri harus bisa menghibur suami.95
Karyanya yang kedua terbit pada tahun 1978 dengan judul Islam dan Peranan
Wanita. Sebagai latar belakang karyanya ini, dia menggunakan analisis psikologi. Isi buku ini
agak mirip dengan buku dia sebelumnya. Namun demikian, di sini dia menambahkan bahwa
pernikahan tidak hanya sekedar persoalan kesetaraan jender. Sangat diperlukan untuk tetap
menjaga pernikahan dalam keserasian.
Dengan agak tidak konsisten, dia menegaskan kembali bahwa laki-laki dan perempuan harus
memikul tanggung jawab masing-masing. Dia mengingatkan bahwa seorang isteri yang bijak
adalah isteri yang bisa menciptakan rumah yang damai bagi suaminya dan menjalankan
rumah tangga dengan penuh tanggung jawab. Seorang isteri yang tidak bijak akan
membebani suami. Zakiah tidak pernah menegaskan bahwa seorang suami juga harus
bertanggungjawab untuk menjaga keseimbangan rumah tangga. Dengan demikian,
pemikiran Zakiah tetap mengikuti pandangan konservatif yang menyatakan bahwa
keberhasilan keluarga hanya ditentukan oleh isteri.
Pada tahun 1999, ketika pemikiran feminis telah berkembang luas, Zakiah
menerbitkan sebuah buku mengenai isu-isu perempuan. Buku ini berasal dari sebuah paper
yang dipresentasikan pada tahun 1994. Dalam Peran Ganda dan Kepemimpinan Perempuan,
pemikirannya tidak lebih meningkat. Khususnya, dia menfokuskan pada dua permasalahan:
kepemimpinan dan peran perempuan. Meskipun Zakiah menekankan hak-hak perempuan,
dia lagi-lagi menempatkan perempuan dalam posisi yang ambigu. Dia menyatakan bahwa
perempuan mampu untuk mengembangkan diri menjadi pemimpin, politisi, dan jabatan lain
dalam masyarakat. Namun demikian, masyarakat dan budaya mencegah perempuan untuk

94 Arief Subhan, Prof.Dr. Zakiah Daradjat; Pendidik dan Pemikiran Ulama Perempuan Indonesia hlm.
168-169.
95
Zakiah Daradjat, Ketenangan dan Kebahagian Dalam Keluarga. Jakarta: Bulan Bintang, 1974, buku ini
merupakan kumpulan ceramah-ceramah dia dan catatan-catatan dari kliniknya. Tentu saja artikelnya banya
didasarkan pada pengalamannya. Sebagai contoh, lihat,hlm. 22 -31, 37-62.
29

melakukan ini semua.96 Dia juga menekankan bahwa keadaan tetap mendukung terjadinya
subordinasi perempuan di mana mereka dianggap sebagai manusia kelas dua dengan
mengikuti persepsi yang salah tentang Islam. Untuk mendukung pendapatnya, dia mengutip
ayat-ayat al-Quran yang berhubungan degan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh, laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban yang sama untuk berbuat
baik dan menjauhi perbuatan buruk (3;104, 3;110, 3;114). Mengenai peran ganda
perempuan, Zakiyah merujuk pada 31; 14, 2; 233. berdasarkan ayat-ayat ini, dia menegaskan
bahwa peran perempuan sebagai ibu adalah tugas alamiah yang tidak dapat dihindari.
Namun demikian, karena kemampuan perempuan, mereka dapat bekerja sebagaimana laki-
laki dan mendapatkan upah. Perempuan dapat melakukan apapun yang Allah izinkan. Dia
merujuk pada al-Qurân; (16; 97 and 4; 124). Zakiah meneruskan bahwa Islam dengan jelas
telah membahas peran ganda perempuan sepanjang kaum perempuan dapat mengatur
waktu dan tidak melupakan bahwa mereka adalah perempuan muslim.
Mengenai kepemimpinan perempuan, Zakiah mengutip al-Qurân (9; 71-72) yang
menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk
menjadi pemimpin. Untuk mendukung pendapatnya bahwa perempuan sebagai ibu
mempunyai peran yang penting dalam kehidupan manusia, dia mengutip sebuah hadits: al-
nisa’ ‘imad al-bilad fain shalihat fashalihat fain fasadat fafasadat (perempuan adalah tiang Negara.
Perempuan salihah membentuk Negara yang baik dan perempuan rusak merusak negara).
Sebenarnya ini bukan hadits, tetapi perkataan ulama yang disebut hikmah (kata mutiara).97
Sayangnya, ini sangat sering dikutip oleh para muballigh untuk menunjukkan bahwa hanya
perempuan yang mempunyai tanggung jawab dalam membentuk masyarakat. Nyatanya,
hadits yang dirujuk oleh Zakiah mengingatkan perempuan akan tugas mereka dalam
masyarakat. Ini adalah alasan mengapa pendidikan bagi perempuan sangat penting.
Sayangnya, Zakiah tidak memberikan catatan kritis terhadap hadits ini. Dalam
perkembangannya, Hikmah juga sering dirujuk untuk memojokkan kaum perempuan dalam
pengertian bahwa nasib sebuah Negara semata-mata tergantung pada perempuan. Nampak

96 Zakiah Daradjat, Peran Ganda dan Kepemimpinan Perempuan, dalam Lily Zakiyah Munir (ed.)
Memposisikan Kodrat. Bandung: Mizan, 1999, hlm. 115.
97 Penemuan ini didasarkan pada hasil penelitian pada fakultas Ushuluddin, IAIN, Jakarta, di bawah

bimbingan Prof. Musthofa Ali Ya’kub, pada tahun 1996.


30

bahwa beberapa sarjana memanipulasi ajaran Islam untuk kepentingan dan keuntungan diri
pribadi.
Zakiah dalam beberapa hal nampak berjuang untuk kaum perempuan, tetapi dia
tidak menggunakan teori feminis untuk menganalisis isu-isu nyata kaum perempuan. Ini
penting karena dalam gerakan perempuan, perdebatan nampaknya untuk memecahkan
problem ini. Buku-buku Zakiah memuat pengalaman yang terjadi di kliniknya sehingga
banyak argumentasi yang ditulis berasal dari nasihat dia untuk pasien-pasiennya.
Pemikirannya mengenai perjuangan perempuan sederhana. Kasus-kasu yang dia
buat jauh dari realitas problem perempuan di Indonesia. Persepsinya juga tetap didasarkan
pada keyakinan lama bahwa rumahtangga atau masyarakat tergantung pada perempuan dan
bukan tanggung jawab laki-laki.
Pendapat-pendapatnya dapat dilihat sebagai pendapat para muballigh pada
umumnya. Dia memberikan tuntutan normative terhadap perempuan, meskipun dia
mempunyai klinik di mana dia banyak menemukan persoalan perempuan seperti kekerasan,
perceraian dan lainnya. Zakiah mendukung perempuan, tetapi juga memberikan peran
ganda kepada mereka.98 Dia memberi banyak perhatian terhadap perempuan, tetapi hanya
dalam bentuk norma-norma yang tidak berguna untuk membebaskan perempuan, tetapi
memberi peran ganda untuk bertanggung jawab kepada keluarga. Pembelaannya terhadap
kaum peempuan tetap menyatu dalam sistem patriarchal yang menganut keyakinan lama.

2. Ratna Megawangi
Ratna dilahirkan di Jakarta, pada bulan Agustus 1957. Dia lulus dari jurusan gizi,
Tufts University, Massachusetts, AS International food and Nutrition Policy pada tahun
1991. Dia menjadi dosen di IPB dan anggota Department of Community Nutrition and Family
Research, sebuah lembaga di IPB. Dia banyak menulis artikel mengenai isu-isu perempuan.
Pada tahun 1999, dia menerbitkan sebuah buku berjudul Membiarkan Berbeda. Argumentasi-
argumentasinya dibangun untuk mengkounter arus utama feminisme. Dia mendapat banyak
kritik, tidak hanya karena bukunya, tetapi karena dia juga menggunakan paradigma

98 Arief Subhan, Prof.Dr. Zakiah Daradjat; Pendidik dan Pemikiran Ulama Perempuan Indonesia hlm.
170.
31

feminisme yang tidak jelas. Beberapa orang beranggapan bahwa argumentasi yang diajukan
bertujuan untuk melawan feminisme dan mempertahankan sistem patriarchal.99 Ratna
sendiri cenderung konservatif, seperti yang ada dalam beberapa publikasi dalam surat kabar.
Sebagai contoh, ambillah pendapatnya yang menyatakan bahwa konservatisme adalah isu
yang tidak popular dan mempertahankan status quo.100
Para pengkritik Ratna berdasarkan konsep feminisme. Ratna menyatakan bahwa
feminisme sering mengklaim superioritas feminine dan kritis terhadap laki-laki. Feminisme
seharusnya tidak hanya dilihat dari perspektif social, tetapi juga dari perspektif agama. Dia
menggunakan pendekatan sufistik untuk menggambarkan hubungan antara laki-laki dan
perempuan, memposisikan mereka dalam posisi yang sejajar dari segi kelebihan dan
kekurangan. Ratna banyak belajar dari seorang sufi yang bernama Bawa Muhaiyyaden,
ketika dia belajar di Amerika dan ini sangat mempengaruhi pemikiran-pemikirannya.101
Dia mengatakan bahwa dia sama seperti para feminis yang lain, menjadi wanita
karier, tetapi dia memperkenalkan bahwa kaum feminis mungkin tidak suka argumentasinya
karena dia mempunyai konsepsi yang berbeda dibanding feminis yang lain. Sebagai contoh,
pemikiran bahwa keluarga adalah unit dasar masyarakat berarti bahwa jika terdapat keluarga
yang broken home, maka masyarakat akan rusak. Dengan demikian, dia mengkritik perempuan
yang bekerja keluar karena dorongan ekonomi dan perempuan yang bekerja untuk
memperkaya diri sendiri. Jika perempuan bekerja untuk membantu suaminya, biasanya
dalam seting informal, anak-anak akan menghormati ibunya yang bekerja. Tetapi
perempuan yang ingin memperkaya diri sendiri melalui pendidikan biasanya tidak akan
mencapai kepuasan karena standar pribadinya yang tinggi. Ini karena peran ganda mereka
sebagai perempuan ditantang oleh orientasi karir yang materialistis. Rumah sebagai institusi
perkawinan dan tempat yang nyaman akan kehilangan fungsinya. Dia menegaskan bahwa
perempuan harus mengembangkan bakatnya seperti laki-laki. Dia berpendapat bahwa
analisis tentang kesetaraan dengan memberikan hak kepada perempuan sama persis seperti
hak laki-laki masih abstrak. Feminisme membesar-besarkan sikap egoistiknya dan dapat

99 Dilema Membiarkan Berbeda? http//neo.mizan.com, Mizan online, 19 Juni 2001. Bandingkan


dengan poliemiknya dengan kaum feminis Indonesia, Julia Suryakusuma Kompas, 1 Mei 1997.
100 Feminism, Ekofeminisme Aktualisasi Diri dan Sunnatullah, Republika, 17 Juni 2001.
101 Ratna Megawangi, Sekapur Sirih dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan Tentang

Relasi Gender dalam Kosmologi dan Islam. Bandung: Mizan. 1996.


32

dibandingkan dengan sosialisme dalam hal tujuannya untuk persamaan kelas sebagaimana
dipraktekkan oleh para penganut Marxis. Dia mengingatkan kaum feminis dengan mengutip
pakar ekonomi, Sylvia Hewlett, yang menyatakan bahwa perjuangan kaum perempuan
sangat melelahkan dan tidak menghasilkan apa-apa. Feminisme adalah pendekatan yang
tidak menarik ketika sebuah teori dapat dikembangkan lebih rasional dan sistematis.102 Dia
melanjutkan bahwa sudah menjadi sifat alami (sunnatullah) tidak ada masyarakat dengan
struktur horizontal. Dengan demikian, patriarkhi atau kelas adalah sunnatullah. Dia
menegaskan bahwa al-Qurân menggambarkan ada orang miskin dan orang kaya. Orang
kaya memberi zakat kepada orang miskin. Dia mengingatkan kita bahwa tujuan kita adalah
Tuhan dan ilustrasi yang digambarkan di atas adalah simbol. Namun demikian, kita tahu
bahwa Tuhan adalah Dzat tertinggi dan kita tidak bisa melawan sunnatullah.103 Patriarkhi
benar-benar ada dalam Islam. Sebagai contoh, Islam mengajarkan kita untuk menghormati
orang yang lebih tua dan menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga. Ini semua secara
eksplisit dibahas dalam al-Quran (2; 228) “…wa lirrijâli ‘alaihinna daraja, wallahu ‘azîzun
Èakîm; Dan laki-laki mempunyai derajat (tanggung jawab) terhadap mereka. Sebagai
tambahan, ayat lain yang sering disebut oleh kaum feminis (4; 34) Arrijâlu qawwamūna ‘ala
al-nisa’ bimâ fa··alallahu ba’·uhum ‘ala ba’·in wa bimâ anfaqū min amwâlihim; Laki-laki adalah
pemimpin dan penjaga kaum perempuan, karena Allah telah menjadikan satu diantara
mereka lebih atas yang lain, dank karena mereka memberikan infak dari harta mereka.
Dia menyatakan bahwa aliran-aliran teori teologi feminis menafsirkan ayat secara
eksternal, dengan pendapat untuk mentransformasikan struktur social. Dia mengingatkan
bahwa penafsiran ulang berdasarkan pada tujuan mufassir dapat merubah arti dari ayat-ayat
dan dapat menyebabkan kotradiksi dalam ayat-ayat sendiri. Dengan demikian, penafsiran
sepenuhnya tergantung pada mufassir. Ini memberi kesan bahwa agama dapat direduksi
untuk melegitimasi perjuangan manusia untuk kesejahteraan material, status dan kekuasaan.
Manusia nampaknya sama otiritatifnya dengan al-Quran jika mereka merubah penafsiran

102 Lihat Ratna Megawangi; Tokoh Ibu, Emansipasi dan Ketahanan Keluarga. Kompas, 12 Desember
1993.
103 Kompas, 17 Juni 2001.
33

agar sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka mengklaim bahwa otoritasnya datang dari
Tuhan.104
Sayangnya, dia tidak menyebut ayat-ayat lain dan penafsir-penafsir lain untuk
emndukung pendapatnya. Kita tidak bisa memperoleh pemahaman yang lebih baik, karena
Ratna hanya mengutip ayat-ayat tanpa membahas sumber-sumber lain, seperti, apa yang dia
maksud dengan sunatullah dan konsep masyarakat dalam al-Qurân. Lebih lagi, dia
berpendapat bahwa usaha yang telah dilakukan oleh kaum feminis untuk memberikan
alternative penafsiran terhadap al-Quran dengan meneliti asbâb al-nuzūl, mengkritisi
validitas dan autentisitas Hadîts. Dalam hal ini, mereka menawarkan penafsiran baru, yang
bisa bertentangan dengan pesan inti dari ayat-ayat. Kaum feminis tidak sadar bahwa mereka
terjebak oleh agenda mereka.105 Argumentasinya mengenai isu-isu agama tidak beralasan.
Sangat disesalkan bahwa dia tidak pernah menyebut alasan lain untuk mendukung
kesimpulannya. Pada kenyataaanyya, dia menggunakan pendekatan sufi, yang tidak dapat
diterapkan pada gerakan kaum perempuan karena kaum feminis Islam mencoba untuk
mengkontekstualisasikan Islam dan mentransformasikan masyarakat. Sementara sufisme
adalah sebuah cara berfikir eskatologis bukan cara berfikir empiris. Dia mengkritik kaum
feminis muslim yang menafsirkan ulang ajaran Islam padahal mereka adalah para ahli dalam
bidang tersebut. Ratna, seperti feminis muslim yang lain, sangat dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikannya, tetapi gagasan-gagasannya tidak seimbang, terutama ketika dia
mengacu penafsiran agama.

b. Aliran Modern
1. Wardah Hafidz
Ketika membicarakan Islam dan feminisme di Indonesia, Wardah adalah orang
yang paling terkemuka pada periode 1990an. Dia lahir di Jombang, pada tanggal 28 Oktober
1952 dalam sebuah keluarga yang religius. Dia memeroleh gerlar Master dari Bali State
University, Indiana, Amerika. Keterlibatannya dengan gerakan feminisme dimulai pada

104 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda. Bandung: Mizan, 1999, hlm. 155. lihat juga, Ratna
Megawangi, Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang Serta Kaitannya Dengan Pemikiran Keislaman
dalam Mansour Fakih (ed.) Membincang Feminism; Diskursus Gender Perspektif Islam, hlm. 219
105
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, hlm. 153.
34

tahun 1980an, tetapi dia tidak pernah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan agama.106
Dia kuatir menghubungkan feminisme dengan agama karena dia tidak mempunyai latar
pendidikan agama. Perubahan dalam masyarakat telah membuat dia heran bagaimana agama
melihat posisi perempuan dan membuat dia belajar dan membaca banyak buku tentang isu-
isu perempuan dalam Islam.107
Menanggapai isu-isu perempuan dan Islam, dia menganalisis kepemimpinan
perempuan sebagai isu yang telah berkembang dalam Islam dan bagaimana latar belakang
kultural telah mempengaruhi pemikiran Islam. Analisisnya sepertinya tidak menyeluruh. Dia
terlihat sebagai motivator dan pengusung Islam dan feminisme, bukan pemikir. Sungguh,
gerakan yang dia usung telah memacu masyarakat untuk menguji hubungan antar mereka.
Pada sisi lain, dia adalah satu-satunya orang yang cukup berani untuk mempermasalahkan
isu pada masa itu dan menyegarkan kembali kesadaran perempuan menganai Islam dan
feminisme.
Dari tahun 1993, dia telah membantu masyarakat miskin perkotaan di wilayah
Jakarta dan sekitarnya, khususnya dalam negosiasi politik melalui Konsorsium Rakyat
Miskin Kota (UPC). Dia baru-baru ini menjadi direktur UPC. Meskipun gagasan-gagasanya
menganai feminisme tidak banyak berkembang dalam masyarakat, dia mendukung
108
keyakinan-keyakinan feminis yang muncul dalam Islam.

2. Masdar F. Mas’udi
Masdar adalah seorang sarjana muslim terkemuka di Indonesia. Dia lahir di
Purwokerto pada tahun 1954. Dia lulus dari IAIN Yogyakarta pada tahun 1980 dan banyak
menghabiskan waktunya di beberapa pesantren. Masdar dikenal sebagai seorang tokoh
Islam di Indonesia yang terlibat dalam sejumlah organisasi NU. Baru-baru ini, dia menjadi
salah seorang ketua NU. Dia bekerja di beberapa LSM, dan sekarang menjabat sebagai ketua
P3M (Program Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Dia banyak menulis artikel
dalam jurnal, surat kabar, menerbitkan buku dan menghadiri berbagai seminar nasional dan
internasional.

106 Sebagai contoh, lihat tulisannya Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang dan Sumbangannya Kepada
Transformasi Bangsa.
107 Lihat, Wardah Hafidz, Islam and Gerakan Feminisme.
108Wardah Hafidz; Ibu Kaum Miskin dari Jombang. Tajuk, Mei 19-23, 1993
35

Ketika gerakan perempuan di Indonesia muncul, pada tahun 1994 P3M (didirikan
pada tahun 1983) meluncurkan program untuk kaum perempuan yang diberi nama Fiqh al-
Nisa.’ Masdar dan beberapa koleganya seperti Lies Marcoes Natsir, menggagas program ini.
Sebagai seorang kyai, Masdar adalah seorang pelopor, karena belum ada kyai yang
melakukan ini sebelumnya. Masdar, melalui hubungannya dengan para kyai, adalah satu-
satunya sarjana Muslim yang mengenalkan isu perempuan ke dalam pesantren. Pad waktu
itu, program ini berlangsung di sejumlah pesantren di Jawa.
Sungguh, bagi pesantren, perbincangan mengenai perempuan adalah hal baru. Lagi
pula, sebagaimana disebutkan sebelumnya, jarang pesantren yang mendukung isu-isu
perempuan. Masdar menggunakan terminologi yang ada di pesantren, seperti nama
programnhya sendiri: fiqh al-nisâ,’109 Halaqah dan juga training. Dia mengundang tokoh-
tokoh penting dalam pesantren seperti Ibu Nyai (isteri kyai), santri dan beberapa muballigh.
Pengenalan yang dilakukan Masdar mengenai isu-isu perempuan dengan mudah dapat
diterima para kyai karena dia sendiri seorang kyai. Tidak diragukan, pembahasannya
mengenai isu perempuan menyeluruh.110 Pendekatan yang dia lakukan sukses. Fiqh al-nisâ’
kemudian berlanjut di beberapa pesantren di Jawa, Jakarta dan tempat-tempat lain.
Dia membuat daftar kitab kuning dan mengkritisi bagaimana bahasa Arab telah
digunakan dengan cara yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Kitab kuning
mengakui perempuan hanya separuh dari laki-laki. Sebagai contoh, untuk menjadi saksi, dua
saksi perempuan sama dengan seorang saksi laki-laki. Pandangan dia didasarkan pada
bagaimana kitab kuning telah difahami dari pespektif laki-laki yang telah berlangsung lama.
Dia melanjutkan pembahasan mengenai perkawinan, dan perempuan hanya sebagai objek.
Sebagai contoh, laki-laki mempunyai hak untuk menikahi perempuan, tetapi perempuan
tidak mempunyai hak menikahi laki-laki.111 Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa ini tidak
berarti bahwa kitab kuning tidak mengakui persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai sepirit ketuhanan (potensi
spiritual), seperti terlihat dari penafsiran hukum ayat “Inna akramakum ‘indallâhi atqâkum”;

109 Penerapan program tersebut dirubah oleh Lies Marcos Natsir.


110 Tetapi tidak semua pesantren mengizinkan pemikiran-pemikiran Masdar. Seperti yang telah saya
katakana, pesantren Salafiyah Safiiyah Sukorejo Situondo Jawa Timur, melarang santrinya membaca karya-
karya Masdar.
111 hlm. 158.
36

sungguh, yang paling mulia di antara kamu (laki-laki dan perempuan) di sisi Allah adalah
mereka yang bertakwa.112 Dan ayat yang lain, “man ‘amila sâlihan min dhakarin au untha wa
huwa mu’min falanuhyiyannahu hayâtan ãayyibatan walanajziyannahum ajrahum biahsani ma kanū
ya’malūn”: siapapun yang beramal shalih baik laki-laki maupun perempuan sedangkan dia beriman,
sungguh, Kami akan memberikan kehidupan yang baik baginya dan sesungguhnya Kami berikan balasan
kepada mereka pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.113
Dia melanjutkan bahwa keadilan hanya dinyatakan dalam kitab kuning yang berisi tafsir.
Keadilan ini juga sepertinya hanya dalam masalah eskatologis saja dan tidak ada
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. 114
Pada sisi lain, Masdar juga mengakui bahwa jika kita membahas tentang perempuan
dalam kitab kuning, kita pasti mendapatkan kesan negative. Ini karena kita membahasnya
dengan perspektif Barat modern, yang menuntut adanya persamaan hak. Kita harus meneliti
dan membandingkan konteks histories dari kitab kuning yang sarat dengan bias patriakhal
dan bias jender. Kitab-kitab kuning dihasilkan di Timur Tengah dan dipengaruhi oleh sistem
patriarchal yang menjadi kecenderungan dominan pada masa kitab kuning lahir.115 Karya
lengkap Masdar diterbitkan pada tahun 1997 dengan judul Islam dan Hak-Hak Reproduksi
Perempuan; Dialog Fiqh Pemberdayaan.
Pemilihannya mengenai hak-hak reproduksi sebagai topic dalam beberapa hal
berbeda dengan topic-topik yang dipilih oleh para feminis. Dia mengangkat isu-isu hak
reproduksi seperti perempuan dapat memilih pasanganya, menikmati hubungan badan,
mempunyai anak, menentukan masa kehamilannya, dan lain-lain. Sayangnya, sekitar tahun
1998, Masdar F.Mas'udi memutuskan menikah poligami, sesuatu yang membuat kecewa
gerakan perempuan karena cenderung akan menimbulkan kekerasan rumah tangga.
Meskipun Islam mengizinkan, lebih bisa dilakukan (salah satu syaratnya adalah berbuat adil
terhadap isteri-ister) bukan semata-mata ibadah. Banyak pro dan kontra menanggapi
keputusan Masdar, dan semenjak itu, dia tidak lagi memperjuangkan hak-hak perempuan.

112 Qurân 14; 13.


113
Qurân 16; 97.
114 Masdar F. Masudi. Perempuan Di Antara Lembaran Kitab Kuning hlm. 162. lihat juga Masdar F.

Masudi. Perempuan Di Antara Lembaran Kitab Kuning dalam Mansoer Fakih (ed.) Membincang Feminisme;
Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
115 Masdar F. Masudi. Perempuan Di Antara Lembaran Kitab Kuning, hlm. 162.
37

3. Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar lahir di Sulawesi Selatan 23 Juni 1959. dia memperoleh
pendidikan dasar dari Pesantren As’adiyah Sengkang pada tahun 1976. setelah
menyelesaikan S1 di IAIN Alauddin Ujung Pandang, dia melanjutkan S2 dan S3 di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan selesai pada tahun 1992.
Dia memulai karya mengenai isu-isu perempuan dengan menulis beberapa artikel
pada awal tahun 1995. dia mempertanyakan bagaimana jilbab telah dianggap sebagai bagian
dari ajaran Islam sementara aslinya berasal dari budaya Timur Tengah.116 Pada tahun 1999,
dia menerbitkan disertasinya dengan judul Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qurân.
Pandangan dia mengenai perempuan dalam al-Quran ditentukan oleh akar-akar bahasa
Qurani. Nasaruddin mengajukan analisis etimologi dan menggunakan sejarah untuk meneliti
banyak kata-kata dalam al-Quran. Tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh aspek mengenai
isu-isu perempuan berakar dari bahasa al-Quran. Tanpa adanya penafsiran, al-Quran hanya
akan menjadi bahasa langit. Banyak kata digunakan dalam al-Quran seperti nisa’
(perempuan), mar’ah (perempuan) al-rajul (laki-laki), dhzakar (laki-laki) al-zaujah (isteri), al-ab
(ayah) al-um (ibu) al-Ibn (anak laki-laki) al-bint (anak perempuan) dan lain-lain.
Sebagia contoh dari pendapatnya adalah mengenai status perempuan dalam al-
Quran. Ini adalah tema yang hangat dibicarakan dalam kalangan umat Islam. Sebagian besar
masyarakat sangat ingin mengetahui bagaimana Islam menempatkan perempuan sejajar
dengan laki-laki. Di Indonesia, isu ini mempunyai hubungan dengan gerakan politik,
kedudukan pada pasar tenaga kerja atau pada struktur kepemimpinan di kalangan umat
Islam.
Dia mengutip sejumlah ayat pokok yang berhubungan dengan status perempuan
dalam al-Quran. Pertama, sebagai hamba Tuhan, laki-laki dan perempuan setara di hadapan
Allah. Untuk itu, dia melanjutkan pendapatnya mengenai penciptaan manusia. Dalam al-
Quran (51; 56), manusia diciptakan untuk beribadah tanpa adanya perbedaan. Sebagai
contoh: dan Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada Ku
(51;56). Dan Q.S. (49;13); “Wahai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dengan

116
Nasaruddin Umar, Teologi Menstruasi; Antara Mitologi dan Kitab Suci. Ulumul Quran, No.2, vol.
VI, LSAF.Jakarta: 1995 dan Antropologi Jilbab, Ulumul Qur’ân no.5 vol. VI, 1996.
38

jenis laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kamu sekalian
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Beberapa di antara ayat-ayat tersebut ditujukan untuk laki-laki. Sebagia contoh, laki-
laki memperoleh harta warisan lebih banyak dibanding perempuan (4; 11) laki-laki sebagai
pelindung perempuan (4; 34), menjadi saksi (2; 282), dan poligami dan syarat-syaratnya (4;
3). Tidak semua ayat-ayat yang dikutip di atas menyebabkan laki-laki menjadi hamba Tuhan
yang utama.117 Untuk memperkuat pendapatnya ini Nasaruddin juga mengutip hadits.
Harus dicatat di sini bahwa Nasaruddin menggunakan pendekatan sejarah.
Penafsirannya didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan filologis mengenai bagaimana tekst
dalam al-Quran dan teks-teks yang lain harus difahami, darimana datangnya teks, apakah
teks asli atau tidak, bahasa yang digunakan dan siapa yang menerjemahkan. Jika
penerjemahan memerlukan waktu lama, siapa yang mendanainya? Penerjemahan juga harus
diberi perhatian, karena penerjemahan dan pengalihbahasaan dari satu bahasa ke dalam
bahasa lain pasti menyebabkan reduksi, sementara setiap bahasa mempunyai latar belakang
budaya sendiri-sendiri. Mengingat hal ini, dia menerapkan teori hermeneutik, karena lebih
sesuai dengan studi tafsir. Lebih baik bagi seorang pembaca teks untuk masuk dalam
kondisi di mana teks diciptakan dan memahami kondisi sosial dan geografis karena setiap
pengarang adalah anak dari zamannya.118
Dari sini, selanjutnya adalah dia menganggap dirinya sebagai seorang mufasir. Dia
mengajukan alasan-alasan rasional dengan merujuk pada konteks sejarah dan menggunakan
teori hermeneutic sebagai metode. Dia menjelaskan bahwa apa yang terjadi dan mengapa
serta apa yang ada di balik teks. tidak seperti pengarang lainnya, dia hanya sedikit mengutip
teks lain.

4. Hussein Muhammad
Hussein Muhammad lahir di Cirebon tanggal 9 Mei 1953. Latar belakang pendidikan
pesantrennya dimulai dari Lirboyo, Jawa Timur. Setelah menyelesaikan pendidikan
formalnya di PTIQ (Pendidikan Tinggi Ilmu Al-Quran) pada tahun 1980, dia melanjutkan

117 Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’ân, hlm. 249.
118 Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’â,n hlm. 267.
39

studinya ke Al-Azhar, Mesir dan pulang ke Indonesia tahun 1983. sejak itu, dia mengabdi di
Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon Jawa Barat.
Seperti Masdar, Hussein menfokuskan pada kitab kuning dengan menganalisis isi dan
konteks sejarahnya. Dia mulai dengan isu-isu perempuan yang telah berkembang luas pada
era modern, seperti perempuan sebagai pemimpin masyarakat, organisasi atau Negara.
Hussein melihat bahwa kitab-kitab kuning adalah karya yang dibuat untuk menjawab
persoalan-persoalan sosial pada masanya.
Dia memberi perhatian pada sejumlah persoalan seperti: hubungan manusia dengan
Tuhan, manusia dan masyarakat seperti dalam hukum keluarga, ekonomi, politik dan lain-
lain. Dengan demikian, fiqh mempunyai karakteristik khusus dan diterapkan untuk waktu
yang terbatas. Menggunakan fiqh untuk menjawab problem masyarakat sekarang tidak tepat.
Dia mengutip sejmlah tokoh Muslim seperti Jalal al-Din al-Suyūthi dan Ibn al-Qayyim al-
Jauziyah, untuk menyatakan bahwa ijtihad harus dilakukan. Kita tidak bisa menggunakan
teks-teks lama untuk diterpkan pada setiap kondisi dan zaman. Ibnu al-Qayyim
menegaskan, sebagaimana dikutip Hussein, bahwa shari’a (hukum Islam) pada prinsipnya
bertujuan untuk kemanusiaan, keadilan dan perilaku yang baik. Dengan demikian, nilai-nilai
tersebut sangat substansial dan harus dijelaskan secara detail. Penyimpangan apapun dari
nilai-nilai tersebut berarti menolak syariah.119 Jika fiqh digunakan tanpa memperhatikan
kondisi sosial, keputusan yang diambil tidak sesuai.
Untuk argumentasi ini, Hussein memberikan contoh bagaimana perempuan bisa
menjadi presiden. Pembahasan mengenai ini didasarkan pada hasil Muktamar NU pada
tahun 1997, yang mengeluarkan pernyataan bahwa perempuan bisa menjadi presiden. Isu-
isu mengenai kepemimpinan perempuan ditanggapi oleh tokoh-tokoh dari berbagai disiplin,
terutama ahli teologi. Berdasarkan pada teks fiqh, dia menganlisis peran perempuan dalam
Islam. Sebagaimana dikutip di atas, fiqh telah membentuk pemikiran umat Islam dalam
jangka waktu yang lama. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, dia
menyimpulkan bahwa shari’a melalui fiqh diformulasikan untuk melahirkan maslahah dan ini
terkait dengan kemanusiaan, keadilan dan kebaikan. Untuk mencapai tujuan ini, fuqahâ harus
hati-hati mempertimbangkan setiap keputusan hukum yang dilakukan dan bagaimana tujuan

119 KH.Husein Muhammad, Membongkar Konsepsi Fiqh Tentang Perempuan dalam Syafiq Hasyim (ed.)
Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, hlm. 36
40

tersebut diwujudkan. Mengenai hal ini, al-Ghazali menyatakan bahwa untuk mewujudkan
tujuan agama, kita harus menjaga lima hal: agama(hifdh al-din), akal (hifdh al-aqal), jiwa (hifdh
al-nafs), keturunan (hifdh al-nasl) dan harta (hifdh al-mal). Menolak salah satu dari kelimanya
ini adalah mafsadah (kejahatan). Yang paling penting adalah menekankan bagaimana Islam
menghargai hak-hak asasi manusia dan bagaimana memandangnya. Dengan demikian,
diskriminasi dalam bentuk baik itu jender, etnis, statu suku, atau agama dan lainnya harus
ditolak karena tidak dibenarkan dalam Islam.120
Meskipun umat Islam dengan setia memegangi lima hal tentang hak-hak dasar,
ketika mereka menghadapi pilihan-pilihan social modern tertentu, seperti hak perempuan
untuk menjadi presiden atau perenan perempuan dalam politik, penerapannya tidak mudah.
Sungguh, para fuqaha konservatif menyatakan bahwa tugas politik amar ma’ruf nahi munkar
untuk laki-laki dan perempuan.
Dalam kasus ini, Hussein merekonstruksi teks fiqh dengan ijtihad dengan berdasar pada
usaha untuk menjawab persoalan perempuan dengan melakukan penelitian mengenai kitab
kuning. Karyanya yang berjudul “Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender”
merupakan sebuah karya kontemporer yang diberi kata pengantar oleh Andree Feillard.
Karya ini didedikasikan bagi orang-orang yang konsern dengan isu-isu perempuan. Sekarang
ini, dia menjadi anggota komisi nasional untuk hak-hak perempuan dan mengajar di
Pesantren Arjuwinangun Cirebon.

2. Aktivis Feminis Muslim

Jika teks harus diinterpretasi ulang, teks juga harus diterapkan. Dalam bagian ini,
saya akan menganalisis bagaimana pemikiran feminis muslim dapat diwujudkan membantu
memecahkan isu-isu ketidakadilan jender. Jadi, feminisme atau isu-isu perempuan dalam
kenyataan mempunyai akar dan tidak hanya dimiliki oleh para pemikir. Membicarakan isu-
isu perempuan tanpa melakukan aksi tidak efektif.

120 KH.Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, hlm. 141.
lihat, Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushūl. Beirut. Dâr Ihyâ
at-Turats al-Arabî, vol. I, hlm. 286.
41

a. Lies Marcoes Natsir


Lies Marcoes Natsir lahir di Ciamis 17 February 1959. Dia menyelesaikan S1 di
IAIN Jakarta dan memperoleh gelar master di University of Amsterdam dalam bidang
antropologi medis pada tahun 2000. Dia dikenal sebagai seorang trainer. Karirnya bermula
ketika dia terlibat dalam berbagai riset mengenai tema-tema social, perempuan dan Islam di
Indonesia. Pada tahun 1983, sebelum tamat dari IAIN Jakarta, dia bekerja untuk Martin van
Bruinessen sebagai pembantu peneliti mengenai migrasi dan hubungannya dengan
perubahan social. Setelah itu, dia bekerja untuk Mies Grijn membantu meneliti pekerja
perkebunan the di Jawa Barat. Pada waktu itu, dia menulis artikel pertamanya yang
diterbitkan di salah satu majalah terkemuka dengan judul Kisah Rakyat yang Gagal. Pada
tahun 1990 -1992, dia secara resmi bergabung dengan divisi pelatiha Novib, Kalyanamitra.121
Kemudian dia menerbitkan artikel pertamanya dalam bahasa Inggris The Female Preacher as a
Mediator in Religion.122 Masih tahun 1992, dia mengorganisir seminar nasional pertama yang
mengambil tema isu-isu perempuan dan Islam, kerja sama antar Universitas Leiden dengan
IAIN Jakarta. Ketika perbincangan mengenai Islam dan isu-isu perempuan mengemuka
pada tahun 1992 dia melanjutkan keterlibatannya dengan bergabung dengan P3M.
Hubungan antara pesantren dan P3M mengangkat kesadaran akan isu-isu kesehatan
reproduksi perempuan di pedalaman Jawa dan Madura, yang bermula pada tahun 1994.123
Bermula tahun 1995 ketika P3M memberi perhatian pada Fiqh al-Nisa’, dia berperan sebagai
coordinator dan trainer utama dalam program tersebut. Fiqh al-Nisa’ adalah sebuah
pendekatan didaktik baru dan mengambil pendekatan alternative mengenai hak-hak
perempuan dalam istilah-istilah sekuler. Program terebut melibatkan masyarakat pesantren
seperti Ibu Nyai dan santri.124 Dia tidak hanya sebagai tokoh utama dalam program
tersebut, tetapi dia juga menjadi tokoh kunci dalam setiap sesi pelatihan. Untuk menfasilitasi
dalam mengakat isu-isu, fiqh al-Nisa’ mengadakan workshop dan mendata sejmlah pesantren
untuk bergabung dengan program tersebut. Program ini menggunakan metode participatori

121 Kalyanamitra adalah LSM Perempuan di Jakarta.


122 Lies Marcoes-Natsir, The Female Preacher as a Mediator in Religion, dalam Van Bemmelen dkk.,
Women and Mediation in Indonesia . Leiden: KITLV, 1992, hlm. 203-228.
123 Lies Marcoes-Natsir & Syafiq Hasyim, P3M dan Program Fiqh al-Nisa Untuk Penguatan Hak-Hak

Reproduksi Perempuan Tahun 1995-1997, buklet, Jakarta: diterbitkan oleh Ford Foundation , 1997 hlm. 11.
124 Masdar F. Mas’udi, Rosalia Sciortino dan Lies Macoes. Learning From Islam; Advocacy of Reproductive

Rights in Indonesian Pesantren. Studia Islamika, vol. 4 number 2, IAIN Jakarta: 1997, hlm. 94.
42

untuk membahas hak-hak reproduksi dan kesehatan seksual dari perspektif muslim. Tentu
saja, ini brebeda dengan pendekatan-pendekatan lain yang ada dalam pesantren.
Kenyataannya, workshop ini menarik para peserta karena programnya berupa kuliah yang
diberikan oleh para ahli dan kelompok diskusi dengan permainan peran, pemecahan
persoalan dan permainan simulasi. Dia juga mempunyai peran penting dalam
menvisualisasikan mengenai pengaruh berbagai factor social yang saling terkait, ajaran-
ajaran agama, dan politik pada kesehatan reproduksi perempuan.
Dia meninggalkan program tersebut ketika dia belajar ke Belanda. Setelah dia selesai
studi, dia tidak bergabung kembali dengan P3M atau Rahima, tetapi dia tetap aktif di
berbagai LSM di Indonesia. Lebih lagi, dia juga menulis setidaknya sepuluh artikel di media
internasional. Dia menolak disebut sebagai pelopor pelatihan dalam hak-hak reproduksi
perempuan dan Islam. Sebagai tambahan, dia memberikan kursus-kursus pelatihan jender
pada berbagai kalangan, dan mengkoordinir proyek-proyek besar mengenai perempuan dan
kesehatan reproduksi. Dia sekarang menjabat sebagai konsultan Asia Foundation untuk
program Islam dan masyarakat dan juga konsultan proyek air bersih bagi masyarakat miskin
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

b. Farha Ciciek
Farha Ciciek lahir do Ambon 26 juni 1963. SI diperoleh dari IAIN Yogyakarta dan
mendapat gelar master dari fakultas sosiologi UGM. Dia terlibat dalam perjuangan melawan
kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta selama dia belajar di kota ini. Dia membentuk
forum diskusi mengenai isu-perempuan dan agama pada tahun 1982. Setelah menyelesaikan
studi, dia bergabung dengan INTERFIDEI dan dengan beberapa kawan dia mendirikan
LSPAA. Ketertarikannya terhadap isu kekerasan terhadap perempuan mengantarkan dia
berkenalan dengan beberapa LSM di Jakarta. Dia kemudian bergabung dengan
Kalyanamitra, sebuah LSM yang membantu dan mendampingi korban kekerasan.125 Dia
membantu perjuangan perempuan dengan memberi asistensi mereka secara langsung.
Mendatangi para korban dan menenangkan mereka sangat penting. Sangat tidak berarti
membahas isu-isu perempuan tanpa mempraktekkannya. Islam, isu-isu feminis, dan gerakan

125
Sebagaimana kita ketahui, selama kejatuhan rejim Soeharto, 13-14 Mei 1999, sejumlah kerusuhan
dan pemerkosaan terjadi di Indonesia, sehingga asistensi korban sangat relevan.
43

perempuan harus digabungkan untuk memecahkan persoalan perempuan sebagai inti dari
perjuangan dan pemberdayaan mereka. Pada tahun 1999, ketika coordinator fiqh al-Nisa
P3M, Lies Marcoes Natsir, melanjutkan studi ke Amsterdam, dia menggantikannya di P3M.
Dia telah menghadiri berbagai seminar dan workshop nasional dan internasional.
Sebagai kenyataan, masih saja terdapat banyak kekerasan domestik di Indonesia,
khususnya ketika terjadi krisis ekonomi. Namun demikian, budaya Indonesia tidak secara
khusus terbuka untuk mengadu dan komplain bagi kekerasan domestik. Kekerasan
domestik, di mana mayoritas korbanya adalah para isteri, sering dianggap sebagai urusan
privat dalam keluarga. Namun begitu, karena banyak pusat konsultasi peempuan telah ada,
banyak kasus yang telah ditangani, dan keadaan secara bertahap berubah.
Selanjutnya untuk partisipasi dalam sejumlah LSM dan memberikan asistensi
terhadap para korban kekerasan, seperti kekerasan seksual dan kekerasan rumah tangga, dia
terlibat juga dalam penulisan beberapa artikel dan buku.126 Ini semua sangat berguna untuk
memperkuat gerakan perempuan, karena tanpa basis teoretis, gerakan perempuan akan
mengalami kegagalan (bandingkan dengan pernyataan sejarawan Indonesia, Taufik Abdullah
yang disebut di atas). Biasanya, kekerasan yang dilakukan oleh suami dianggap sebagai hak
laki-laki karena adanya kesalahan dalam memahami beberapa ayat dalam al- Qurân.127
Lebih lanjut, bukunya yang disusun untuk menolak kekerasan dalam keluarga,
“Efforts to overcome domestic violence; learning from the prophet’s life” (Ikhtiar Mengatasi Kekerasan
dalam Rumah Tangga; Belajar dari Kehidupan Rasulullah Saw) adalah modul bagi para
aktivis yang berusaha menghapus kekerasan. Untuk melindungi para korban, dia
menjelaskan bagaimana Negara seperti Belanda, Pakistan dan Singapura telah mendirikan
pusat-pusat pengaduan bagi perempuan dan tempat tinggal bagi para korban.128 Semenjak
periode 90-an, melalui usaha para aktivis perempuan di Indonesia, dia juga memulai
membentuk pusat-pusat pengaduan perempuan atau tempat tinggal bagi para perempuan
korban kekerasan. Untuk mewujudkan ini, dia bekerja sama dengan sejumlah lembaga untuk

126 Dua tulisannya telah diterbitkan seperti 1) Feminisme, Gerakan Protes Terhadap Ketidakadilan Tatanan
Jenis Kelamin in Perempuan dan Kekuasaan. Jakarta: PB Kopri. 2000 2) Perjalanan Merangkai Dunia Baru dalam
Yanti Muchtar (ed.) Pengalaman Perempuan; Pergulatan Lintas Agama. Jakarta: Kapal Perempuan, 2000.
127 Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: LSPAA, 1994, p. 68. Lihat

juga, Sister in Islam (Sis Forum Malaysia). Domestic Violence is a Crime, Surat untuk Editor. 18 Maret 1996.
128 See Triayaningtias dan Lies Marcos, “ Mendekatkan Teori and Realitas: Penangan Korban Kekerasan

Rumah Tangga di Belanda: Sehat, Tahun V, number 27 Agustus 1999.


44

mendirikan pusat-pusat tersebut di sejumlah kota di Indonesia.129 Lima di antara mereka


berada di sejumlah pesantren di Jakarta. Tempat-tempat tersebut menyediakan perlindungan
bagi kaum perempuan dari ancaman yang dilakukan oleh fihak-fihak tertentu sebelum
mereka ke pengadilan. Ini adalah efek yang ditimbulkan tidak hanya oleh sejumlah LSM,
tetapi juga lembaga-lembaga lain.130

F. Penutup
Tidak semua feminis muslim menggunakan metode penafsiran seperti metode Nasr
atau penelitian Mernissi dalam menjelaskan detail. Nampak juga bahwa kecenderungan
aliran feminis muslim Indonesia mempunyai karakteristik lokal yang berusaha untuk
menjawab ketegangan antara wahyu dan akal, idealisme dan realisme. Wahyu harus di
kontekstualisasikan melalui “ijtihad gender”131 sebagai tindak lanjut untuk menjelaskan bahwa
tidak ada ajaran Islam yang bertentangan dengan akal dan perubahan.
Banyak aliran metode pendekatan kaum feminis muslim Indonesia dapat diamati:
a) Zakiyah membahas isu-isu perempuan didasarkan pada apa yang diamati di
kliniknya, kebanyakan dari isu tersebut adalah persoalan rumah tangga. Ini dapat
dilihat sebagai saran dan nasehat psikologis sebagai pendekatan untuk
memecahkan berbagai problem perempuan. Pemikirannya mengenai isu-isu
perempuan secara implisit menunjukkan bahwa feminis dapat dikenali melalui
latar belakang pendidikan. Meskipun dia tidak menyediakan pendekatan teoretis
terhadap feminisme, dia melihat isu-isu tentang hak-hak perempuan melalui teks-
teks keagamaan, yang mengakibatkan ambiguitas status perempuan dalam bidang
publik dan domestik. Ratna, pada sisi lain, mengajukan pendapat otentik mengenai
isu-isu feminisme yang berseberangan dengan mainstream feminisme Indonesia,
sehingg tanggapan dia menimbulkan ketegangan dan jurang antara kaum feminis
Indonesia dan juga kelompok-kelompok feminis muslim, karena dia juga
mengkritisi teks-teks keagamaan dan menuduh para tokoh Islam yang menafsirkan

129 Untuk tempat-tempat tersebut, lihat Farha Ciciek. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga
hlm. 62
130 Farha Ciciek. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Belajar dari kehidupan Rasulullah saw,.
Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999, hlm. 21-46.
131 Bagi para sarjana Muslim, ijtihad adalah metode rekonstruksi fiqh yang popular.
45

isu-isu perempuan mempunyai agenda tersendiri. Pendapat Ratna banyak


dipengaruhi oleh statusnya sebagai perempuan kelas atas yang menjadikan dia
konservatif. Inilah mengapa dia tidak pernah terlihat membahas kesulitan yang
dihadapi perempuan kelas bawah yang mempunyai pengalaman hidup yang keras,
tidak hanya karena kemiskinan, tetapi juga kuatnya sistem patriakhal.
Kenyataannya, Ratna bukan satu-satunya perempuan yang mempertahankan
konservatisme dan menolak reinterpretasi isu-isu perempuan. Ada juga tokoh-
tokoh muslim Indonesia yang mempunyai pandangan seperti dia.
b) Wardah nampak mengakui bahwa teks-teks agama harus direkonstruksi untuk
menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Meskipun dia tidak ahli dalam bidang
agama, Wardah menegaskan anggapan dasar bahwa agama sering digunakan untuk
melegitimasi ketidak adilan atau bagaimana budaya yang mapan dapat
mempengaruhi dan menentukan penafsiran mengenai tugas dan peran
perempuan. Sementara itu, Masdar Mas’udi menegaskan bahwa teks-teks
keagamaan tidak dapat diterapkan untuk masa sekarang. Dia dengan jelas
menyatakan, sebaliknya, kitab kuning harus perlakukan sebagai produk zamannya.
Sehingga, kita harus merekonstruksinya agar memperoleh pemahaman yang lebih
baik sebagai sunstansi dari risalah agama, keadilan untuk semua. Idenya bahwa
ayat-ayat harus dibedakan menjadi qath’i dan dhanni adalah pendapat baru dan
menunjukkan bagaimana fiqh terlihat tidak dinamis. Dalam penjelasan penelitian
linguistic, Nasarudin Umar menegaskan bahwa setiap kata dalam al- Qurân tidak
hanya mempunyai makna literal, tetapi kita harus melacak akarnya. Dia
menggunakan pendekatan antropologis untuk membahas isu-isu perempuan.
Hussein Muhammad focus pada fiqh, khususnya bagaimana fiqh digunakan tanpa
mempertimbangkan kondisi sekarang. Meskipun fiqh dapat dianggap memuat
nilai-nilai lama, tidak ada pengarang kontemporer seperti Wahbah Zuhaily yang
dapat diharapkan untuk mengkontekstualisasikannya. Dia menyimpulkan bahwa
sampai sekarang, tidak ada ahli fiqh yang mengizinkan perempuan menjadi
pemimpin, yang didasarkan pada penafsiran ayat dan hadits, meskipun kita
menemukan bahwa Islam tidak mempunyai persoalan mengenai hal ini.
46

c) Menyimpulkan apa yang telah dilakukan oleh kaum feminis, kita dapat
mengelompokkan ke dalam dua pendekatan: Lies Marcoes cenderung untuk
bergerak dalam bidang pelatihan pendidikan, Farha Ciciek banyak terlibat dalam
pendampingan berjuang melawan kekerasan domestic. Sungguh, tanpa aksi,
penafsiran ulang tidak akan berguna untuk memecahkan persoalan-persoalan
perempuan. Para aktivis memerlukan justifikasi keagamaan, dengan demikian, para
pemikir dan para aktivis harus saling bekerja sama. Tanpa aksi, isu-isu perempuan
hanya akan dikenali dalam lingkaran akademik saja dan tidak akan ada
kontribusinya bagi perjuangan perempuan.
47

BIBLIOGRAFI

Abdul Halim Soebahar and Hamdanah Utsman, Hak Reproduksi Perempuan dalam Pandangan Kyai, Yogyakarta:
Ford Foundation–Universitas Gadjah Mada, 1999.
Aisha Bewley, Islam: The Empowering of Women, London: Ta-Ha Publisher, 1999.
Amina Wadud Muhsin, “Quran and Woman” in Charles Kurzman (ed.) Liberal Islam: A Sourcebook, New York-
Oxford: Oxford University Press.
Arief Subhan, “Agama Sebagai Terapi; Lebih Dekat dengan Prof.Dr.Zakiah Daradjat”, Ulumul Quran, no. 1,
vol.V, 1994.
Arief Subhan, “Prof.Dr. Zakiah Daradjat; Pendidik dan Pemikiran Ulama Perempuan Indonesia” in Jajat
Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002.
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: LSPAA, 1994.
Department of information in Co-operation with The Office of The Minister of State for the Role of
Woman Republic of Indonesia, The Women of Indonesia, Jakarta: Department of information in Co-
operation with The Office of The Minister of State for the Role of Woman Republic of Indonesia,
1989.
Endah Triwijati, LSM Perempuan Transformatif, Gerakan Alternatif Pemberdayaan Perempuan in Perempuan Indonesia;
Dulu dan Kini, p. 355
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Belajar dari kehidupan Rasulullah saw, Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999.
Fatima Mernissi, Women in Islam, an Historical and Theological Enquiry, Oxford: Basic Blackwell, 1991.
Fazlurrahman, “Approaches to Islam in Religious Studies; A Review Essay” in Richard C. Martin (ed.),
Approaches to Islam in Religious Studies, Tucson: The University of Arizona Press, 1985.
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami –Istri, Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, Yogyakarta:
LKIS, 2001.
Georgina Waylen, “Analysing Woman in the Politics of the Third World”, in Haleh Afshar (ed), Woman
and Politics in the Thrid World, London: Routledge, 1996.
Iljas Sutan Pamenan, Rentjong Atjeh Di Tangan Wanita; Zaman Pemerintahan Ratja-Ratja Puteri di Atjeh 1641-1399,
Djakarta: 1959.
J.H.Meuleman, “Analisis Buku-Buku tentang Wanita Islam yang Beredar di Indonesia”, in Marcoes-Natsir and
J.H.Meuleman (eds.) Wanita Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual: Kumpulan Makalah Seminar,
Jakarta: INIS, 1993.
Jalal al-Suyūthi, Lubâb al-Nuqul fi Asbâb al-Nuzūl. Beirut: Maktabah ‘Asriyah, 1999.
Karin Ask and Marit Tjomsland (eds.), Women and Islamization; Contemporary Dimensions of Discourse on Gender
Relations, Oxford: Berg, 1998.
Lies Marcoes-Natsir & Syafiq Hasyim, P3M dan Program Fiqh al-Nisa Untuk Penguatan Hak-Hak Reproduksi
Perempuan Tahun 1995-1997, A booklet, Jakarta: Ford Foundation, 1997.
Lies Marcoes-Natsir, “The Female Preacher as a Mediator in Religion”, in Van Bemmelen et. al., Women and
Mediation in Indonesia, Leiden: KITLV, 1992.
Mai Yamani, Feminism and Islam legal and Literary perspective, London: Ithaca, 1996.
Mansoer Fakih (ed.), Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
48

Mansour Fakih, “Posisi Kaum Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender” in Membincang
Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam.
Masdar F. Mas’udi, Rosalia Sciortino and Lies Macoes, “Learning From Islam; Advocacy of Reproductive
Rights in Indonesian Pesantren”, Studia Islamika, vol. 4 number 2, IAIN Jakarta, 1997.
Muhammad Shahrour, Al-Kitâb wa al-Quran: Qira’a al-Mu’aßira, Damascus: Al-Ahali li-al-Taba’ wa-al-Nashr
wa al-Tauzia’a, 1990.
Nasaruddin Umar, “Teologi Menstruasi; Antara Mitologi dan Kitab Suci”, Ulumul Quran, No.2, vol. VI,
1995.
Nasr Hamid Abu Zaid, Dawa’ir al-Khauf, Qira’ah Fi Khiãâb al-Mar’ah, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi,
1999.
Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitâb al-Dîny, Cairo: Maktabah Madbūly, 1995.
Nasr Hamid Abu Zaid. Ishkâliyât al-Qirâah wa Aliyyâh al-Ta’wil. Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1999.
Noel O’Sullivan, Modern Ideologies, Conservatism, London: J.M. Dent and Sons LTD, 1976.
Norman Sullivan, “Gender and Politics in Indonesia” in Maila Stivens (ed), Why Gender Matters in Southeast
Asian Politics, Monash Paper on Southeast Asia No.23.
Quraish Shihab, Membumikan Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
Rashid Rida, Tafsir al-Manar, Cairo: Matba’ al-Manar, 1367.A.H.
Ratna Megawangi, “Sekapur Sirih”, in Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender
dalam Kosmologi dan Islam. Bandung: Mizan. 1996.
Ratna Megawangi, “Tokoh Ibu, Emansipasi dan Ketahanan Keluarga”, Kompas, December 12, 1993.
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, Bandung: Mizan, 1999
Saskia Wieringa, The Politicization of Gender Relations in Indonesia; The Indonesian Women’s Movement and Gerwani
Until the New Order State. Academic Proefschrift, UVA, Amsterdam. 1995.
Sukanti Suryochondro, “Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia” in Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini
(Mayling Oey-Gardiner and her associates), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Syafiq Hasyim (ed.), Menakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan, 1999.
Syu’bah Asa, ”Perempuan Di Dalam dan Di Luar Fiqih” in Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif
Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Tania Modleski, Feminism Without Women, culture and criticism in a “ Postfeminist” Age, New York & London:
Routledge, 1991.
Tita Marlita and Marilyn Porter, Feminism in Indonesia: An Analysis of the “Stepping Stones Project” in E.Kristi
Poerwandari and R.Surtiati Hidayat, Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah, Jakarta:
Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000.
Tom Digby, Men Doing Feminism, New York: Routledge, 1998.
Wardah Hafidz, “Feminisme Sebagai Counter-Culture”, Ulumul Quran, no. 5 & 6, vol. V, 1994.
Wardah Hafidz, ”Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang dan Sumbangannya kepada Transformasi Bangsa” in
Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia.
Zakiah Daradjat, “Peran Ganda dan Kepemimpinan Perempuan”, in Lily Zakiyah Munir (ed.) Memposisikan
Kodrat, Bandung: Mizan, 1999.
Zakiah Daradjat, Ketenangan dan Kebahagian Dalam Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

You might also like