You are on page 1of 6

A.

Latar Belakang 

Air merupakan media bagi usaha budidaya ikan, maka pengelolaan air yang
baik merupakan langkah awal dalam pencapaian keberhasilan budidaya
ikan. Secara umum pengelolaan kualitas air dibagi kedalam tiga bagian,
yaitu secara biologi, kimia dan fisika. Dalam hal ini akan dibahas mengenai
pengelolaan air secara kimia, khususnya pH (derajat keasaman) dan
salinitas (kandungan garam) suatu perairan.

pH (Power of Hydrogen) adalah suatu parameter kimia perairan yang


menunjukan jumlah ion H+ yang terurai dalam air. Nilai pH berkaitan erat
dengan karbondioksida dan alkalinitas (Mackereth et al., 1989 dalam
Effendi, 2003). pH merupakan parameter penting untuk reaksi-reaksi kimia
dan senyawa-senyawa yang mengandung racun perubahan asam atau basa di
perairan dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. Nilai pH juga
sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses
nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selain itu,nilai pH juga sangat
berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia.Menurut Swingle
dalam Hickling (1978), mengatakan bahwa pH yang baik atau cocok untuk
budidaya ikan adalah antara 6.50-9.00. Sedangkan titik kematian ikan
terjadi pada pH 4.00 untuk asam dan 11.00 untuk basa.

Salah satu parameter kimia lainnya ialah salinitas. Dalam Oceanografi


salinitas diartikan sebagai ukuran yang menggambarkan tingkat keasinan
(kandungan Na Cl ) dari suatu perairan . Satuan salinitas umumnya dalam
bentuk promil (0/00) atau satu bagian perseribu bagian, misalnya 35 gram
dalam 1 liter air (1000 ml) maka kandungan salinitasnya 35‰ atau dalam
istilah lainnya disebut psu (practical salinity unit). Air tawar memiliki
salinitas 0 ‰, sedangkan air payau memiliki salinitas antara 1‰ - 30‰,
sedangkan air laut/asin memiliki salinitas diatas 30‰. (Surat Faathir ayat
12)
Dengan dasar pengetahuan di atas maka dalam usaha budidaya ikan
salinitas air yang digunakan dalam budidaya ikan harus disesuaikan dengan
kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh ikan. Dalam laporan kali ini
ikan yang digunakan dalam praktikum adalah ikan air tawar yaitu ikan mas
(Cyprinus carpio). Dengan melakukan praktikum ini dapat diketahui kisaran
salinitas yang dapat ditoleransi oleh ikan mas.

B. Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui kisaran pH yang optimum bagi kehidupan
ikan.
Mahasiswa dapat mengetahui kebutuhan kapur untuk menetralkan pH
perairan.
Mahasiswa dapat mengetahui kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh
ikan mas.

BAB II
TINJAUAN PUSAKA

A. Pengaruh Salinitas pada Ikan Air Tawar (ikan mas)


1. Ikan mas (Cyprinus carpio)

Berdasarkan ilmu taksonomi (hewan), ikan mas termasuk ke dalam golongan


family Cyprinidae. Ikan mas menyukai tempat hidup (habitat) diperaoran
tawar yang tidak terlalu dalam dan airannya tidak terlalu deras, misalnya
dipinggiran sungai atau danau. Ikan ini dapat hidup baik pada ketinggian
150-600 m diatas permukaan laut (dpl) dan pada suhu 25-30OC. meskipun
tergolong ikan air tawar, ikan mas terkadang juga ditemukan perairan
payau atau di muara sungai yang bersalinitas (kadar garam) 25-30%o.

2. Salinitas

Salinitas menurut Boyd (1982) dalam Ghufran dkk (2007), salinitas adalah
kadar seluruh ion – ion yang terlarut dalam air. Komposisi ion – ion pada air
laut dapat dikatakan mantap dan didominasi oleh ion – ion tertentu seperti
klorida, karbonat, bikarbonat, sulfat, natrium, kalsium dan magnesium.
Berdasarkan kemampuan ikan menyesuaikan diri pada salinitas tertentu,
dapat digolongkan menjadi Ikan yang mempunyai toleransi salinitas yang
kecil (Ctenohaline) dan Ikan yang mempunyai toleransi salinitas yang lebar
(Euryhaline). Pada Tabel 1. menyajikan klasifikasi air berdasarkan salinitas

3. Osmoregulasi 

Organisme akuatik mempunyai tekanan osmotik yang berbeda-beda dengan


lingkungannya, oleh karena itu ikan harus mencegah kelebihan air atau
kekurangan air, agar proses-proses fisiologis di dalam tubuhnya berlangsung
normal. Pengaturan osmeotik cairan pada tubuh ikan disebut osmoregulasi.

Osmoregulasi pada organisme akuatik dapat terjadi dalam dua cara yang
berbeda (Gilles dan Jeuniaux, 1979 dalam Affandi et al., 2002) yaitu :
• Usaha untu menjaga konsentrasi osmotik cairan diluar sel (ekstraseluler)
agar tetap kosntan terhadap apapun yang terjadi pada konsentrasi osmotik
medium eksternalnya.
• Usaha untuk memelihara isoosmotik cairan dalam sel (interseluler)
terhadap cairan luar sel.

Setiap organisme mempunyai kemampuan yang berbeda-beda untuk


menghadapi masalah osmoregulasi sebagai respon atau tanggapan tehadap
perubahan osmotik lingkungan eksternalnya. Perubahan kosentrasi ini
cenderung mengganggu kondisi internal yang mantap. Untuk menghadapi
masalah ini hewan melakukan pengaturan tekanan osmotik dengan cara :
• Mengurangi gradien osmotik antara cairan tubuh dengan ingkungannya.
• Mengurangi permeabilitas air dan garam.
• Melakukan pengambilan garam secara selektif.

Pada organisme akuatik seperti ikan, terdapat beberapa organ yang


berperan dalam pengaturan tekanan osmotik atau osmoregulasi agar proses
fisiologis di dalam tubuhnya dapat berjalan dengan normal. Osmoregulasi
ikan dilakukan oleh organ-organ ginjal, insang, kulit dan saluran
pencernaan.
a. Ginjal

Ginjal merupakan organ ekresi yang mempunyai peranan di dalam proses


penyaringan (filtrasi). Ikan Jumlah glomerulus ginjal ikan betulang sejati
(teleostei) air tawar lebih banyak dan diameternya juga lebih besar apabila
dibandingkan dengan ikan bertulang sejati (teleostei) air laut. Kondisi ini
dikaitkan dengan fungsinya untuk lebih dapat menahan garam-garam tubuh
tidak keluar dan mengeluarkan atau memompa air keluar dengan
menggunakan urine sebanyak-banyaknya. Urine yang dikeluarkan sangan
ancer.

b. Insang

Insang emmpunyai peranan yang sangat penting sebagai organ yang mampu
dilewati air maupun mineral, serta tempat dibuangnya sisa metabolisme
(Moyle dan Cech, 1999 dalam Affandi, 2001). Permeabilitas insang yang
tinggi terhadap ion-ion monovalen Na+ dan Cl- , sehingga pasif brgerak dari
media atau lingkungan air laut ke dalam plasma.

c. Kulit

Pada ikan teleostei ikan yang bersifat hiperostomik terhadap media atau
lingkungan hidupnya, masalah utama yang muncul adalah bagaimana
memamsukkan air secara osmose. 

d. Saluran Pencernaan

Saluran pencernaan yang berperan dalam osmoregulasi adalah bagian


esofagus dan usus. Dinding saluran pencernaan memberikan sedikit resisten
terhadap difusi garam-garam dan air ke dalam kamar-kamar cairan
ekstraseluler pada kelompok ikan Peromyzonid, utuk mengganti kehilangan
air hasil dari gradien difusi medium eksternal. 

B. Pengaruh pemberian kapur terhadap pH


a. pH Perairan 

pH perairan merupakan salah satu parameter kualitas air yang sangat


berpengaruh pada perairan budidaya. Menurut Wetzel (2001) dalam Effendi
(2003) pH (puissance negatif de H) adalah suatu parameter kimia perairan
yang menunjukan jumlah ion H+ yang terurai dalam air. Nilai pH
menyatakan tingkat keasaman atau mengukur konsentrasi aktivitas hidrogen
ionnya.

Menurut Ghufran dkk (2007), dalam perairan pH dapat mempengaruhi :


• tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik
seperti plankton
• proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi
• toksisitas suatu senyawa kimia.
• tipe dan laju kecepatan beberapa bahan dalam air

Organisme akuatik hidup pada pH tertentu. Menurut Asikin (1992) besaran


pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa/alkalis).
Nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai
diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalin). Sedangkan pH = 7
disebut sebagai neteral.
Menurut Irawan (2002) pada pH rendah (Keasaman yang tinggi) kandungan
oksigen menurun , aktivitas pernapasan naik dan selera makan akan
berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada suasana basa. Berdasarkan nilai
kisaran pH menurut EPA (Environmental Protection Agency) untuk
kehidupan organisme air adalah 6,5 - 8,5. Menurut Swingle dalam Hickling
(1978) usaha budidaya ikan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 –
9,0, sedangkan titik kematian ikan terjadi pada pH 4.00 untuk asam dan
11.00 untuk basa. Sedangkan selera makan tertinggi di dapat pada pH 7,5 –
8,5. Pada kolam dan tambak yang banyak dijumpai tumbuhan renik, pH air
pada pagi hari biasanya mencapai kurang dari 6,5. Sedangkan pada sore
dapat mencapai 8-9. Pada kolam dengan system resirkulasi, air cenderung
menjadi asam karena proses nitrifikasi dari bahan organic akan
menghasilkan karbondioksida dan ion hydrogen.

Reaksi-reaksi kimia dan senyawa-senyawa yang mengandung racun


perubahan asam atau basa di perairan dapat mengganggu sistem
keseimbangan ekologi sangat berkaitan dengan pH (Mackereth et al., 1989
dalam Effendi, 2003). Tidak semua makhluk hidup dapat bertahan pada
perubahan pH perairan. Oleh karena itu alam telah menyediakan
mekanisme yang unik,agar perubahan tidak terjadi. Misalkan terjadi tetapi
berjalan secara perlahan. Sistem pertahanan ini biasa disebut dengan
sistem pembufferan. 

Menurut Ghufran dkk (2007), untuk penurunkan kandungan pH di dalam


perairan dapat dilakukan dengan melalukan air melalui tanah gambut,
biasanya yang digunakan adalah meat moss (gambut yang berasal dari
moss). Biasanya juga dilakukan dengan menganti air dengan air yang
berkadar kesadahan rendah, air hujan atau air yang telah direbus, air ion,
dan air suling (air destilasi). Sedangkan untuk meningkatkan pH perairan
dengan cara memberikan aerasi yang efektif, melewatkan air pada pecahan
koral, pecahan kulit kerang, atau potongan batu kapur, atau melakukan
pergantian air.

You might also like