You are on page 1of 13

PENILAIAN SIKAP DAN NILAI

DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

Joko Budi Poernomo, M.pd

A. Pendahuluan
Salah satu aspek yang mendapat sorotan tajam masyarakat dalam dunia
pendidikan dewasa ini adalah lemahnya hasil pembelajaran nilai, yang berdampak
rendahnya budi pekerti para lulusan pada berbagai jenjang pendidikan.
Kelemahan ini disinyalir akibat lemahnya pendidikan nilai di sekolah. Guru pada
umumnya hanya mengajarkan kepada siswa sejumlah pengetahuan berupa fakta
atau konsep, dan dalam porsi yang terbatas juga mengajarkan keterampilan.
Upaya untuk menanamkan nilai-nilai sosial, terutama yang berkaitan dengan mata
pelajaran Fisika masih sangat langka di lakukan. Pada hal semua mata pelajaran,
termasuk sains, memiliki tiga ranah tujuan, yakni: kognitif. afektif, dan
psikomotor.
Tidak berbeda, dengan proses pembelajaran, dalam pelaksanaan penilaian,
aspek perkembangan sikap dan nilai, masih jarang dilakukan oleh guru Fisika dan
sains dewasa ini. Pada umumnya, guru Fisika, sudah merasa puas apabila siswa
dapat menyelesaikan soal-soal Fisika secara tertulis dengan baik, misalnya dalam
Ujian Nasional, dan dalam berbagai perlombaan Fisika. Kondisi ini perlu
diperbaiki. Semua guru, termasuk guru Fisika, ikut memikul tanggung jawab
dalam menginternalisasi nilai-nilai sosial kepada siswa, dalam rangka membina
pribadi siswa, untuk warga masyarakat dan warga negara yang baik, karena
hakikat dari pendidikan adalah upaya pembudayaan.
Dilihat dari perspektif profesionalitas guru sebagai pendidik, tugas guru
adalah mengajar, melatih, dan mendidik, bukan hanya mengajar. Hal ini juga
berlaku untuk guru Fisika dan guru sains. Dilihat dari perspektif taksonomi tujuan
pendidikan, ada tiga domain tujuan pendidikan, yakni kognitif, afektif, dan
psikomotor. Hal ini juga berlaku untuk semua mata pelajaran, termasuk mata
pelajaran matematika dan sains. Penekanan pada tugas mendidik serta aspek
perkembangan sikap dan nilai pada siswa menjadi lebih penting lagi bagi guru
Fisika lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, karena mereka ikut
membawa label dan misi Islam yang melekat pada lembaga yang meluluskan.
Makalah ini berisi uraian ringkas tentang mengapa dan bagimana guru
Fisika sepatutnya melakukan penilaian terhadap perkembangan sikap dan nilai
siswa, sebagai hasil dari proses pembelajaran. Adapun tentang aspek
pembelajaran, bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai dalam pembelajaran fisika.

B. Penilaian Kelas
1. Pengertian
Dalam pembahasan ini, istilah penilaian digunakan dalam pengertian
assessment dalam Bahasan Inggris. Ada beberapa istilah lain yang sering
digunakan dan berkaitan erat dengan penilaian. Istilah-istilah itu adalah: tes,
pengukuran, dan evaluasi.
Tes dalam proses pembelajaran adalah salah satu tehnik pengukuran
untuk mengumpulkan data tentang tingkat penguasaan kompretensi dan
materi pelajaran, sebagai hasil dari proses pembelajaran, dengan cara
memberikan sejumlah tugas yang harus diselesaikan oleh peserta didik. Tes
merupakan suatu prosedur yang sistematis untuk mengetahui dan menjelaskan
karakteristik seseorang dengan menggunakan Skala angka (misalnya: 0 s.d.
10) atau kategori (misalnya: berhasil, tidak berhasil, dsb.). Adapun
pengukuran (measurement) adalah prosedur penentuan angka (biasanya

1
berupa skor) untuk karakteristik tertentu dari seseorang (misalnya: tingkat
pencapaian hasil belajar hasil belajar IPA, kecerdasan, dan sebagainya).
Evaluasi dalam bidang pendidikan menurut Nitko (1977) dapat diartikan
proses sistematis dalam membuat pertimbangan (judgement) tentang nilai atau
kebehargaan berkaitan dengan siswa, proses pembelajaran, atau program
pembelajaran.
Penilaian dalam pengertian assessment dalam bidang pendidikan,
menurut Popham (1995: h.3) adalah "... a formal attempt to determine
students' status with respect to educational variables of interest'. Berdasarkan
batasan ini dapat dipahami bahwa penilaian lebih luas pengertiannya dari tes.
Pengertian tes lebih spesifik, merupakan salah satu tehnik pengumpulan data
dalam rangka penilaian. Pengumplan data untuk kepentingan penilaian dapat
juga dilakukan dengan cara lain, misalnya dengan pengamatan, pemberian
angket, portofolio, dan sebagainya.
Penilaian kelasa (classroom assessment) adalah penialaian yang
dilakukan oleh guru sehari-hari selama dan setelah proses pembelajaran.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tabun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan menggunakan istilah penilaian oleh pendidik.
2. Penilaian kelas perlu dilakukan secara professional
Penilaian dalam proses pembelajaran perlu dilakukan secara profesonal:
dipersiapkan dengan baik, dilaksanakan dengan baik, dan datanya diolah
dengan baik, untuk memperoleh hasil penilaian yang baik pula. Hasil yang
baik adalah yang reliable, valid, dan akurat. Persyaratan ini harus dipenuhi,
karena informasi yang diperoleh dari hasil penilaian tersebut digunakan
sebagai dasar dalam pengambilan berbagai keputusan. Misalnya, keputusan
tentang siswa (kenaikan kelas, penjurusan); keputusan tentang prproses
pembelajaran (perbaikan proses pembelajaran, remedial, pengayaan); dan
keputusan tentang program pembelajaran (perbaikan atau perubahan program,
dsb.).
Penilaian yang tidak dilakukan secara professional, akan menghasilkan
informasi yang tidak tepat dan dapat menyesatkan. Apabila digunakan sebagai
dasar dalam pengambilan keputusan akan menghasilkan keputusan yang tidak
tepat dan menyesatkan pula.

C. Konsep Nilai, Sikap, dan Perilaku


1. Pengertian Nilai
Para pakar psikologi dan pendidikan telah merumuskan definisi yang
beragam tentang nilai. Namur dari berbagai definisi yang ada dapat ditarik
benang merah, bahwa nilai adalah sesuatu yang dijadikan sebagai kriteria bagi
seseorang dalam memandang, mempersepsikan, dan melakukan sesuatu
perbuatan. Misalnya, Fraenkel (1977; 1980), mendefinisikan nilai sebagai
ukuran dari perbuatan, keindahan, atau harga yang diakui oleh seseorang dan
dia berusaha untuk berbuat sesuai dengan ukuran tersebut. Hampir sama
dengan batasan tersebut, Superka et al. (1976) mendefinisikan nilai sebagai
kriteria untuk menentukan peringkat kebaikan, harga, atau keindahan.
Definisi-definisi tersebut mencakup nilai dalam arti yang luas. Dalam
kehidupan manusia terclapat berbagai nilai, meliputi: nilai moral, nilai
keindahan, nilai agama, nilai politik, dan lain-lain. Nilai merupakan sasaran
yang bersifat abstrak, yang ingin dicapai oleh seseorang. Menurut Schibeci
(1984), nilai mendasari pandangan hidup seseorang, dan sangat penting
peranannya dalam pembentukan sikap.
Berdasarkan batasan-batasan tersebut dapat dipahami bahwa nilai
seseorang tidak dapat diamati. Yang dapat diamati adalah hasil ekspresi dari

2
nilai dalam bentuk sikap, dan selanjutnya dalam bentuk yang lebih konkrit,
diwujudkan dalam perilaku lahiriah sehari-hari. Oleh karena itu, pengukuran
hasil pembelajaran nilai sering dilakukan dengan pengukuran sikap dan
pengamatan terhadap perilaku. Dalam pembahasan berikut, penulis akan lebih
banyak memberi penekanan pada pembentukan dan penilian sikap.
2. Pengertian Sikap
Pakar psikologi juga membuat rumusan yang berbecla-beds tentang
batasan sikap. Fernandes (1985) mendefinisikan sikap sebagai perasaan suka
atau tidak suka tehadap sesuatu, yang dapat berupa kelompok, institusi, atau
konsep. Hampir sama dengan batasan tersebut, Anastasi (1982)
mendefinisikan sikap adalah kecenderungan untuk bertindak secara suka atau
tidak suka terhadap perangsang tertentu. Agak berbeda dengan kedua batasan
di atas, Birrent et al. (1981) mendefinisikan sikap sebagai kumpulan hasil
evalusi seseorang terhadap objek, orang, atau masalah sosial tertentu. Lebih
lanjut beliau menjelaskan, sikap merupakan stereotype dari seseorang.
Walaupun definisi yang dirumuskan berbeda-beda, namun para pakar
sependapat dalam dua hal, bahwa: sikap berakar dalam perasaan seseorang,
dan sikap senantiasa memiliki objek. Menurut Mehrens dan Lehmann (1991).
apabila objeknya benda (konkrit atau abstrak, termasuk orang) disebut sikap
(attitude), dan apabila objeknya profesi atau pekerjaan disebut minat
(interest). Jadi, menurut beliau, perbedaan antara sikap dan minat terletak
objeknya yang berbeda, yang satu objeknya benda (misalnya: orang,
organisasi. dsb.) dan yang lain objeknya pekerjaan atau profesi (misalnya:
profesi guru, dokter, dsb.).
Dalam perkembangan sekarang ini, sebagian besar pakar sependapat
bahwa sikap merupakan suatu perpaduan dari tiga komponen, yakni: kognisi,
afeksi, dan konasi (Gahagan 1980; Sears et al. 1988). Komponen kognisi
adalah keyakinan, komponen afeksi adalah perasaan suka atau tidak suka, clan
komponen konasi adalah kecenderungan untuk bertindak (bedasarkan pada
perasaan suka atau tidak suka tersebut). Kedudukan ketiga komponen tersebut
serta hubungannya dengan pengetahuan clan perilaku dapat digambarkan
sebagai berikut.

Konsep sikap
Pengetahuan Kg Af Kn Periksa

- Kg =Komponen kognisi dari sikap


- Af = Komponen afeksi dari sikap
- Kn = Komponen konasi dari sikap
Berdasarkan gambar tersebut, dapat dijelaskan bahwa apabila seseorang
menerima sejumlah pengetahuan berupa informasi verbal, misalnya tentang
bahaya virus HIV/AIDS, pengetahuan ini dapat menumbuhkan keyakinan
pada orang tersebut bahwa virus HIV/AIDS berbahaya. Keyakinan seperti itu,
selanjutnya menumbuhkan perasaan suka (favorable) atau tidak suka
(unfavorable) terhadap sesuatu. Dalam kasus ini, akan menumbuhkan
perasaan tidak suka dan bahkan takut (unfavorable) terhadap penularan virus
HIV/AIDS. Perasaan tersebut selanjutnya menumbuhkan dorongan dalam
dirinya untuk menghindar dari berbagai kemungkinan yang dapat menularkan
virus HIV/AIDS. Dorongan ini masih merupakan perilaku dalaman (internal
behavior), belum muncul sebagai perilaku yang dapat diamati. Selanjutnya,
apabila perasaan tidak suka, takut, dan dorongan untuk menghindari

3
HIV/AIDS ini bertahan secara permanen dalam diri seseorang, maka pada
tahap berkutnya akan terbentuk perilaku, berupa kebiasaan bertindak,
menghindar dari berbagai hal yang memungkinkan penularan virus
HIV/AIDS. Penjelasan ini Sejalan dengan pendapat Chaiken dan Stangor
(1987), bahwa sikap adalah watak untuk memberi respon secara suka atau
tidak suka terhadap sesuatu objek. Menurut beliau, perasaan, kognisi, dan
perilaku merupakan tiga komponen, dengan mana perilaku yang dapat diamati
diekspresikan.
3. Pengertian Perilaku
Perilaku (behavior), menurut Allport (1975) adalah proses untuk
bertindak terhadap suatu stimulus yang ada di sekitar kita. Menurut Gage dan
Berliner (1988), perilaku merupakan kegiatan lahiriah yang dapat diamati, dan
dapat pula bermakna kegiatan dalaman, misalnya berpikir.
Perilaku berbeda dengan perbuatan. Perilaku lebih merupakan pola
untuk bertindak yang telah menjadi kebiasaan pada seseorang. Misalnya,
kesopanan seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan sebagainya. Adapun
perbuatan meliputi seluruh tindakan seseorang yang dapat diamati, walaupun
belum menjadi pola kebiasaan.
4. Hubungan antara Nilai, Sikap, dan Perilaku
Nilai, sikap, dan perilaku memiliki hubungan yang erat. Menurut More
(1982), nilai dan sikap kedua-duanya merupakan konstruk hipotetik, yang
berfungsi sebagai panduan untuk bertingkah laku. Seperti telah dijelaskan di
atas, nilai merupakan sasaran yang bersifat abstrak yang ingin dicapai oleh
seseorang, menjadi kriteria dalam membuat pertimbangan dan pengambilan
keputusan. Sejalan dengan pendapat Chaiken dan Stangor (1987), bahwa nilai
merupakan kepercayaan nomatif tentang apa yang disukai dan tidak disukai.
Dengan demikian, nilai mempengaruhi pembentukan dan arah sikap
seseorang. Sejalan dengan penjelasan ini, Olson dan Zlanna (1993) melihat
sikap sebagai pernyataan nilai yang dimiliki seseorang.
Sebagian pakar berpendapat bahwa antara sikap dan perilaku tidak ada
hubungan satu sama lain. Misalnya, Rest (1992) menyatakan bahwa unsur
kognitif, afektif, dan perilaku masing-masing berdiri sendiri. Menurut hemat
penulis, hasil penelitian yang dijadikan dasar oleh para pakar yang menolak
hubungan antara ketiga komponen sikap tersebut, pada umumnya pengukuran
sikap dilakukan secara tertulis dengan menggunakan skala, Seperti skala
Likert. Perlu diingat, apabila tidak hati-hati, dalam penggunaan skala
semacam ini, kemungkinan untuk mendapat jawaban yang bisa sangat tinggi,
karena responden cenderung memberi jawaban sesuai nilai-nilai yang
diharapkan oleh masyarakat (social desirable), tidak sesuai dengan sikap
mereka yang sesungguhnya.
Berbeda dengan pandangan Rest, sebagian besar pakar sependapat
bahwa antara sikap dan perilaku memiliki hubungan yang sangat erat. Seperti
telah dijelaskan di atas, sikap sangat berpengaruh terhadap pembentukan dan
perkembangan perilaku seseorang. Namun demikian patut dipahami pula
bahwa konsistensi antara sikap dan perilaku sangat ditentukan motivasi dan
kesempatan. Apabila seseorang memiliki motivasi untuk melakukan sesuatu,
dan ada kesempatan untuk melakukannya, maka perilaku seseorang akan
konsisten dengan sikap yang dimilikinya. Munurut Ajzen dan Fishbein
(1977). ada empat faktor yang mentukan konsistensi antara sikap dan
perilaku, yakni: perbuatan, sasaran, konteks, dan waktu. Apabila keempat
faktor ini ada dan saling berhubungan, maka perilaku seseorang akan
konsisten dengan sikap yang dimilikinya. Dengan kata lain, sikap akan
mempengaruhi terwujudnya perilaku lahiriah seseorang.

4
D. Landasan Penilaian Sikap dan Nilai
1. Landasan Filosofis
Dalam konsep Islam, hakikat dari pembentukan sikap adalah
pembangunan akhlak, dan merupakan hal yang sangat penting menclapat
penekanan dalam pendidikan. Dalam sebuah hadits yang cukup populer,
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah s.a.w. bersabda: sesungguhnya
aku diutus (oleh Allah) adalah untuk menyempurnakan akhlak (manusia).
Makna hadits ini dalam konteks yang lebih luas dapat dipahami bahwa
seluruh ajaran Islam, seluruh amal ibadah, seluruh perintah dan larangan,
bermuara kepada pembentukan dan penyempurnaan akhlak manusia. Artinya,
semakin dalam seseorang memahami ajaran-ajaran Islam, dan semakin baik
dia menjalankan ibadah, akan membuahkan akhlak yang semakin baik dan
mulia. Akhlak yang mulia adalah budi pekerti clan perilaku yang baik, yang
dilandasi iktikat dan niat yang tulus ikhlas semata-mata karena mengharapkan
ridlo Allah S.w.T. Iktikat dan niat yang tulus ikhlas, yang mendorong
seseorang untuk berbuat baik adalah sikap positif (positive attitudes) dalam
istilah psikologi. Hal ini sejalan dengan pandangan Harrell (2005), bahwa
sikap kita merefleksikan kepribadian kita yang sebenarnya, dan
mempengaruhi segala sesuatu yang kita lakukan. Sikap kita hari ini
menentukan kesuksesan kita di masa depan.
Dalam sebuah hadits yang lain Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa segala
sesuatu yang dilakukan didasarkan pada niat. Dalam konteks ini, apabila
seseorang memiliki niat yang baik untuk melakukan sesuatu, apabila karena
sesuatu hal dia tidak sempat melakukannya, Allah S.w.T. tetap menjanjikan
ganjaran pahala kepadanya. Berdasarkan makna dari hadits ini, dapat
dipahami betapa penting kesucian clan niat seseorang dalam melakukan
sesuatu.
Penjelasan di alas juga sejalan dengan tujuan pendidikan nasional,
seperti yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003,
bahwa"Pendidikan nasional ... bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, m-
andiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Oleh karena itu, upaya pembentukan sikap dan penilaian sikap sangat penting
dilakukan oleh guru di sekolah.
2. Landasan Pedagogik
Para pakar pendidikan dewasa ini secara umum menerima pandangan
Bloom tentang taxonomi tujuan pendidikan, yang terdiri dari: domain
kognitif, domain afektif, dan domain psikomotor. Berdasarkan konsep ini,
tujuan pendidikan bukan hanya mentrasfer ilmu pengetahuan dan
keterampilan kepada siswa, tetapi juga membentuk sikap dan
mengembangkan budi pekerti siswa.
Sesuai dengan taxonomi tujuan pendidikan, penilaian dalam proses
pembelajaran yang harus dilakukan oleh guru, juga tidak terbatas pada tingkat
penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai hasil belajar. Sejalan
dari itu, guru juga dituntut untuk menilai perkembangan nilai dan sikap siswa,
yang direfleksikan dalam perkembangan perilaku sebagai akhlak atau budi
pekerti.
Dari perspektif yang lain, tugas profesional guru juga terdiri atas 3
aspek: mengajar, mendidik, dan melatih. Oleh karena itu, guru dalam
melakukan penilaian harus memberikan perhatian secara komprehensif dan
proporsional terhadap seluruh aspek dari hasil pelaksanaan tugas
profesionalnya, yakni: hasil mengajar, hasil mendidik, dan hasil melatih. Hal

5
ini berlaku untuk seluruh mata pelajaran, temasuk mata pelajaran matematika
dan sains. Pelaksanaan penilaiannya, tentu disesuaikan dengan karekteristik
materi dan kompetensi masing-masing mata pelajaran.
3. Landasan Yuridis
Dasar hukum penilaian kelas yang menjadi tanggung jawab guru, antara
lain sebagai berikut :
1. Undang-undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem pendidikan Nasional,
pasal 518 ayat (1):
Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
meinantau proses, kemqjitan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan "
2. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional
Pendidikan, Pasal 63 ayat (1):
Penilaian pendidkan pada .jenjang pendidikan dasar dan menengah
terdiri alas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik:
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh pemerintah.
3. Peraturan Menteri. Pendidakan Nasional No. 20 Tahun 2006, tentang
Standar penilaian pendidikan:
Menurut ketentuan yang diatur dalam Standar penilaian Pendidikan
(Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan No, 20 Tahun 2006), huruf E,
butir 9, bahwa salah satu kewajiban yang dibebankan kepada (seluruh)
pendidik dalam rangka penilaian oleh pendidik adalah melaporkan tentang
hasil penilaian akhlak kepada guru agama, dan hasil penilaian kepribadian
kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), sebagai informasi untuk
menentukan nilai akhir semester akhlak dan kepribadian.
Makna dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa yang harus menilai
perkembangan akhlak siswa bukan hanya guru agama, dan yang harus
menilai perekembangan kepribadian siswa bukan hanya guru PKn, tetapi
menjadi tanggung jawab semua guru, termasuk guru matematika dan guru
sains. Guru agama dan guru PKn harus menerima hasil penilaian guru
berbagai mata pelajaran ini, sebagai masukan yang harus dipertimbangkan
dalam menetukan nilai akhir semester siswa untuk akhlak dan kepribadian.

E. Sikap dan Nilai yang Perlu Dikembangkan dan Dinilai pada Siswa dalam
Pembelajaran Matematika dan Sains
Seperti telah diuraikan di alas, semua guru mata pelajaran, termasuk mata
pelajaran matematika dan sains, dalam proses pembelajaran perlu
mengembangkan mlai dan sikap positif pada siswa sebagai generasi muda untuk
menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik. Sebaliknya, semua guru
juga memiliki kewajiban profesional untuk menilai perkembangan sikap dan nilai
siswa tersebut, sebagai hasil dari proses pembelajaran.
Berkaitan dengan maksud dan tujuan tersebut, ada sebuah pertanyaan besar
yang perlu dijawab. Sikap dan nilai apakah yang perlu dikembangkan dan dinilai
oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas? Menurut hemat penulis, sikap dan
nilai-nilai positif yang perlu dikembangkan dan dinilai oleh guru fisika pada
peserta didik, secara ringkas dapat diklasifikasi menjadi 5 kategori sebagai
berikut.
1. Sikap dan nilai positit siswa terhadap guru.
2. Sikap dan nilai positif siswa terhadap mata pelajaran.
3. Sikap dan nilai positif siswa terhadap proses pembelajaran.
4. Sikap siswa yang berhubungan dengan nilai-nilai tertentu (specific values)

6
yang melekat pada misi mata pelajaran fisika.
5. Sikap siswa yang berhubungan dengan nilai-nilai umum (common-values),
yakni nilai-nilai etika dan moral, yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.
Masing-masing kategori dari sikap dan nilai tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut. Pertama-tama, guru perlu mengembangkan dan menilai
perkembangkan sikap dan nilai positif siswa terhadap dirinya. Apabila siswa
respek terhadap guru, secara psikologis siswa akan cenderung menjadikan guru
sebagai model, meniru perilakunya, learning through modeling (Bandura, 1977),
dan cenderung memperhatikan segala arahan pembelajaran yang diberikannya.
Kunci bagi guru untuk menumbuh-kembangkan sikap respek siswa antara lain:
konsisten dalam perkataan dan perbuatan, menguasai materi/kompetensi mata
pelajaran dengan baik, dapat mengajar dengan cara yang menarik, dan tidak
pernah melukai perasaan siswa dengan perkataan atau perbuatan, yang dapat
dipahami sebagai merendahkan martabat siswa sebagai manusia. Hal ini tidak
berarti bahwa guru tidak boleh menghukum. Guru dapat memberikan hukuman.
Haman harus bersifat edukatif dan tuntas. Edukatif artinya hukumam harus
bersifat mendididik. Tuntas artinya, dalam memberikan hukuman guru harus
berupaya sedemikian rupa supaya siswa memahami dan menyadari bahwa mereka
memang bersalah.
Kedua, guru perlu mengembangkan dan menilai perkembangan sikap dan
nilai positif siswa terhadap mata pelajaran yang dibinanya. Kunci dalam
pengembangan sikap dan nilai positif siswa terhadap mata pelajaran adalah: pada
awal pembelajaran, guru berupaya menanamkan pemahaman dan keyakinan pada
siswa bahwa mata pelajaran yang dibinanya penting bagi mereka, menarik, dan
tidak sukar untuk dipelajari. Pada umumnya siswa telah memiliki persepsi negatif
bahwa mata pelajaran matematika dan sains sukar. Persepsi negatif ini perlu
diperbaiki oleh guru matematika dan sains sejak awal dan sepanjang pertemuan
dengan siswa dalam proses pembelajaran.
Ketiga, guru perlu mengembangkan dan menilai perkembangan sikap dan
nilai positif siswa terhadap proses pembelajaran. Mengembangkan sikap positif
siswa terhadap proses pembelajaran adalah dengan cara mengajar yang menarik,
misalnya menggunakan metode dan teknik yang bervariasi. Apabila pembinaan
sikap siswa dalam tiga hal ini dapat dilakukan dengan baik oleh guru: siswa
respek terhadap guru, menarik terhadap mata pelajaran serta mempercayai mudah
untuk dipelajari dan merasa tertarik dalam proses pembelajaran dampak lanjutan
yang diharapkan adalah siswa dapat menyerap materi/kompetensi mata pelajaran
secara lebih maksimal.
Keempat,guru perlu mengembangkan dan nilai sikap siswa yang
berhubungan dengan nilai-nilai tertentu (spesific valuaes) yang melekat pada misi
mata pelajaran. Dalam mata pelajaran IPA, nilai ilmiah, nilai rasional, nilai
pentingnya mempelajari serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk kemaslahatan, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut perlu diinternalisasikan
oleh guru kepada siswa sepanjang pertemuan.
Kelima, guru perlu mengembangkan dan menilai sikap siswa yang
berhubungan dengan sejumlah nilai umum (common-values), yakm nilai-nilai
etika dan moral yang tumbuh, berkembang, dan berlaku sebagai norma dalam
kehidupan masyarakat, dalam rangka pengembangan kepribadian siswa sebagai
warga masyarakat dan warga negara yang baik. Nilai-nilai itu misalnya: beriman
dan bertaqwa; kasih sayang, saling menghormati, saling membantu, gigih, sopan
santun, dan sebagainya.
Ada lima strategi yang perlu diperhatikan dan digunakan oleh guru dalam
menginternalisasikan secara efektif nilai-nilai kebaikan, seperti diuraikan dalam

7
butir ke-4 dan ke-5 di atas, kepada siswa sbb.
1) Memberi teladan, dengan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai
kebaikan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan
pepatah dan nilai budaya kita, bahwa guru adalah orang yang pantas digugu
dan ditiru.
2) Memberi informasi verbal, dengan nasehat dan penjelasan –
penjelasan, sesuai dengan perkembangan penalaran dan kedewasaan siswa.
3) Memberi ganjaran positif dan negatif (positive/negative
reinforcement), untuk perilaku dan basil belajar yang dicapai siswa;
4) Membiasakan siswa mengamalkan nilai-nilai yang ingin
diinternalisasikan dalam proses pembelajaran: dan
5) Menciptakan kondisi kondusif, yang memungkinkan dan memudahkan
siswa dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang ingin
diternalisasikan.

F. Teknik Penilaian Sikap dan Nilai


Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh guru dalam menilai
perkembangan sikap dan nilai pada siswa. Masing-masing teknik tersebut dapat
diuraikan secara ringkas sebagai berikut :
1. Observasi perilaku
p
erilaku pada umumnya menunjukkan nilai dan sikap yang dimiliki oleh
seseorang. Misalnya, orang yang diamati sering membaca dapat disimpulkan
bahwa is senang membaca. Dalam berbagai kesempatan dia akan cenderung
memanfaatkan waktu untuk membaca. Demikian juga, apabila kita mengamati
setiap akhir minggu seseorang sering kedapatan keluar dari gedung bioskop,
dapat disimpulkan bahwa dia senang nonton film di gedung bioskop.
Berdasarkan pada dua contoh perilaku di atas dapat dipahami bahwa
kebiasaan-kebiasaan seperti itu menunjukkan kecenderungan, nilai, dan sikap
yang dimiliki oleh seseorang. Oleh karena itu, menilai sikap dan nilai yang
dimiliki siswa dapat dilakukan dengan pengamatan atau observasi terhadap
perilaku sehari-hari yang ditampilkannya. Untuk kepentingan ini, sebaiknya
setiap guru memiliki buku catatan harian tentang siswa. Yang dicatat dalam
buku tersebut adalah perilaku, perbuatan, dan berbagai kejadian pada siswa,
yang penting untuk kepentingan pembinaan. misalnya: untuk memberi pujian,
penghargaan dan sebagainya (positive reinforcement); atau untuk memberi
nasehat, peringatan, dan sebagainya (negative reinforcement).
2. Pertanyaan langsung
Sikap dan nilai yang dimiliki siswa dapat juga diperoleh dengan
mengajukan pertanyaan secara langsung. Misalnya, seseorang siswa sering
sekali absen pada jam pelajaran matematika. Untuk mengetahui sikap dan
nilai siswa secara lebih jelas, guru dapat mengajukan pertanyaan secara
langsung: mengapa dia sering membolos pada jam pelajaran fisika? Mungkin
jawabannya: karena takut, fisika sangat sulit, atau dia tidak tertarik kepada
fisika, dan sebagainya. Dari jawaban yang diberikannya, guru dapat
mengetahui dan menarik kesimpulan tentang sikap dan nilai yang dimiliki
siswa berkaitan dengan pelajaran fisika.
3. Laporan pribadi
Yang dimaksud dengan laporan pribadi adalah laporan yang berisi
persepsi siswa tentang sesuatu, yang dibuat oleh siswa atas permintaan guru.
Dalam pelajaran fisika misalnya, guru memberi tugas kepada siswa untuk
membuat sebuah karangan tentang pandangan mereka masingmasing tentang
mata pelajaran fisika. Dalam pelajaran sains, misalnya ada kejadian kebakaran
hutan siswa ditugaskan untuk mengunjungi dan membuat sebuah karangan

8
yang berisi pandangan mereka tentang kejadian tersebut. Berdasarkan isi
karangan seperti itu, guru dapat mengetahui dan menyimpulkan sikap dan
nilai yang dimiliki siswa.
4. Penggunaan skala sikap
dua macam skala sikap yang mudah dikembangkan dan digunakan oleh
guru dalam penilaian kelas yakni: Skala Diferensiasi Semantik; clan Skala
Likert. Masing-masing bentuk skala ini dapat dijelaskan seabagai berikut.
• Skala Diferensiasi Semantik
Skala diferensiasi sementik, sebagai instrumen pengukuran sikap,
dapat digunakan dalam berbagai bidang dan mudah dikembangkan.
Pilihan jawaban diletakkan pada suatu skala bipolar. Langkah-langkah
penyusunannya sebagai berikut.
1) Menentukan objek sikap yang akan dikembangkan skalanya,
misalnya: mata pelajaran fisika.
2) Membuat daftar kata sifat yang relevan dengan objek penilaian
sikap.
3) Memilih kata sifat yang tepat dan akan digunakan dalam skala.
4) Menentukan rentang skala pasangan bipolar dan penskorannya.
Pernyataan dan pilihan jawaban dalam skala diferensiasi sematik
dengan objek sikap, "Pelajaran fisika", dapat dibuat sebagai berikut.

1) Tingkat kesukaran mata pelajaran menurut Anda:

Mudah Sukar

2) Tingkat kemenarikan mata pelajaran fisika bagi Anda:

Menarik memebosankan

Petunjuk mengerjakan perlu dirumuskan secara jelas, dan kalau


perlu disertai contoh cara mengerjakan. Selain harus jelas, petunjuk juga
harus dapat mengarahkan siswa untuk menjawab secara jujur, karena
jawaban yang tidak jujur tidak menunjukkan sikap siswa yang
sesungguhnya. Contoh rumusan butir-butir petunjuk mengerjakan skala
diferensiasi sematik sebagai berikut.
1) Skala sikap ini berhubungan dengan Pelajaran fisika, yang
Anda pelajari di sekolah.
2) Tujuan penggunaan skala sikap ini Linaik mengtahui
penadapat Anda tentang Pelajaran fisika.
3) Tuliskan jawaban secara jujur, dengan cara memberi tanda cek
(√) pada posisi skala yang paling sesuai dengan pandangan Anda.
4) Apapun jawaban yang Anda berikan tidak memberi pengaruh
terhadap nilai mata pelajaran Anda.
5) Jawaban yang Anda berikan secara jujur sangat bermanfaat
bagi perbaikan proses pembelajaran di masa yang akan datang.
• Skala Likert
Skala Likert juga banyak digunakan dalam berbagai bidang sebagai
instrumen pengukuran sikap. Langkah-langkah penyusunannya sebagai
berikut.
1) Menentukan objek sikap yang akan dikembangkan skalanya,
misalnya Pelajaran fisika.
2) Menyusun kisi-kisi instrumen.
3) Menuliskan butir-butir pernyataan. dengan memperhatikan

9
kaeclah sebagai berikut :
a) Hindari kalimat yang mengandung banyak interpretasi.
b) Rumuskan kalimat secara singkat.
c) Saw pernyataan hendaknya hanya mengandung satu pikiran
yang lengkap.
d) Sedapat mungkin pernyataan dirumuskan dalam kalimat yang
sederhana
e) Hindari penggunaan kata-kata: semua, selalu, tidak pernah,
clan sejenisnya.
f) Hindari pernyataan tentang fakta atau dapat diinterpretasikan
sebagai fakta.
4) Antara pernyataan positif dan pernyataan negatif hendaknya
relatif berimbang.
5) Setiap pernyataan diikuti dengan skala sikap (bisa genap,
misalnya 4 atau 6; bisa ganjil, misalnya 5 atau 7).
Kisi-kisi dalam perumusan skala Likert dapat disusun sebagai
berikut :
Komponen Sikap Kognisi Afeksi Konasi
Jumlah
No Jml No. Jml No. Jml No.
Soal
Komponen Objek Soal Soal Soal Soal Soal Soal
1 Pelajaran Fisika 2 1,2 2 3,4 2 5,6 6
2 Guru….dst 1 7 1 8 1 9 3
…. …… …… ….. ….. ….. ……

Contoh-Contoh butir pernyataan untuk Skala Likert sebagai berikut.


1. Pernyataan untuk mengukur komponen kognisi (keyakinan):
Mata pelajaran fisika penting untuk kepentingan dalam kehidupan
sehari-hari. (pernyataan positif)
2. Pernyataan untuk mengukur komponen afeksi (perasaan
suka/tidak suka):
Materi pelajaran fisika sering membosankan untuk dipelajari
(pernyataan negatif).
3. Pernyataan yang mengukur komponen konasi (kecenderungan
untuk bertindak):
Bila diperkenankan saga lebih suka meninggalkan kelas pada jam
pelajaran matematika (pernyataan negatif)
Pilihan jawaban berada dalarn suatu rentang skala, biasanya berisi
pernyataan: Sangat Setuju; Setuju-, Neutral; Tidak Setuju; dan Sangat
Tidak Setuju. Petunjuk mengerjakan harus jelas dan dapat mengarahkan
siswa untuk menjawab secara jujur, sesuai dengan sikap yang
sesungguhnya mereka miliki. Contoh rumusan petunjuk mengerjakan
sebagai berikut.
Petujuk:
1) Tujuan penggunaan skala sikap ini untuk mengetahui pendapat
Anda tentang pelajaran fisika.
2) Tidak ada jawaban benar atau salah datum pernyataan ini.
Oleh karena itu, jawaban apapun yang Anda berikan ticlak
berpengaruh terhadap nilai mata pelajaran fisika Anda.
3) Jawablah soal berikut secara spontan dan jujur, sesuai dengan
perasaan yang anda miliki ketika pertama kali Anda membaca butir
pernyataannya!
4) Berilah tanda cek (√) untuk setiap pernyataan pada kolom
pilihan sikap yang paling sesuai bagi Anda sendiri!
5) Keterangan pilihan sikap: SS= Sangat Setuju; S= Setuju; N=

10
Netral; TS= Tidak Setuju; STS= Sangat Tidak Setuju.
6) Jawaban yang Anda berikan secara spontan dan jujur untuk
seluruh butir soal Sangat bermanfaat bagi perbaikan pembelajaran
fisika.
Format skalanya dapat disusun sebagai berikut.
Pilihan Sikap
No Pernyataan
SS S N TS STS
1
2
dst

G. Pemanfaatan Hasil Penilaian Sikap clan Nilai


1. Pembinaan siswa
Pembinaan siswa dapat dilakukan, baik secara individual maupun
kelompok, berdasarkan informasi yang diperoleh dari pengolahan data hasil
pengukuran sikap. Misalnya, bagi siswa tertentu memiliki persepsi negatif
terhadap fisika. guru dapat melakukan pembinaan secara khusus dan
individual, menggali lebih lanjut faktor penyebab dia memiliki persepsi
negatif, kemudian memberi bimbingan dan penjelasan untuk menumbuhkan
kesadaran tentang pentingnya dia menguasasi pengetahuan dan keterampilan
fisika.
Pembinaan siswa secara klasikal dapat dilakukan, apabila berdasarkan
informasi hasil pengolahan data disimpulkan bahwa banyak siswa memiliki
persepsi negatif terhadap pelajaran matematika. Pembinaan dilakukan dengan
memberikar, penjelasan secara klasikal tentang pentingnya pengetahuan dan
keterampilan fisika dalam kehidupan nyata dan dalam melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
2. Peningkatan profesionalitas guru
Hasil pengukuran sikap dapat memberi informasi pula tentang kekuatan
dan kelemahan guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran.
Misalnya, siswa memiliki persepsi negatif terhadap pelajaran matematika,
karena guru terkesan kurang menguasasi materi dan kompetensi fisika yang
diajarkannya. Berdasarkan informasi tersebut, guru dapat memperbaiki dan
mengembangkan kemampuannya secara berkelanjutan dalam melaksanakan
tugas-tugas profesional: mengajar, mendidik, dan melatih.
3. Perbaikan proses pembelajaran
Persepsi negatif siswa terhadap mata pelajaran fisika dapat pula
disebabkan karena adanya kelemahan-kelemahan dalam proses pembelajaran.
Misalnya, guru mengajar terlalu cepat, teknik pembelajaran kurang bervariasi
dan membosankan, dan sebagainya. Informasi yang diperoleh dari
pengukuran sikap dapat digunakan oleh guru sebagai umpan balik dalam
memperbaiki proses pembelajaran.
4. Pelaporan
Pelaporan tentang perkembangan sikap siswa dapat dimuat dalam buku
penghubung dengan orang tua, atau dalam rapot pada setiap akhir semester.
Laporan perkembangan sikap siswa dapat ditulis dalam bentuk peringkat: A,
B, dan C, atau: Baik, Sedang, Kurang. Dapat pula ditulis dalam bentuk
deskripsi. Misanya: Sering meninggalkan kelas pada jam pelajaran fisika, ...
dan sebagainya..
Laporan dalam bentuk deskripsi lebih komunikatif dan lebih mudah
dipahami oleh orang tua. Dengan demikian, orang tua dapat mengambil
langkah-langkah pembinaan di rumah secara lebih cepat dan tepat.
Perlu dipahami bahwa pelaporan lebih tepat didasarkan pada informasi

11
yang diperoleh dari pengamatan terhadap perilaku siswa seharihari. Misalnya,
dari basil pencatatan guru dalam buku catatan harian tentang siswa. Hasil
pengolahan data yang dijaring dengan skala sikap tidak tepat digunakan
sebagai bahan laporan seperti ini. Bahkan, apabila siswa mengetahui bahwa
data dari skala sikap digunakan sebagai bahan dalam penulisan laporan, siswa
akan memberi jawaban tidak sesuai dengan sikap mereka yang sesungguhnya.
Mcreka akan cenderung memberi jawaban yang baik. sesuai dengan harapan
guru dan harapan masyarakat pada umumnya, untuk memperoleh laporan
hasil penilaian yang baik. Misalnya, apabila ada pernyataan sikap yang
berbunyi: "merokok membahayakon kesehalan'". Seorang siswa perokok berat
juga akan memilih jawaban Sangat Setuju, untuk memperoleh laporan hasil
penilaian sikap yang baik.
H. Penutup
Pada umumnya pakar psikologi dan pendidikan sependapat bahwa nilai
sikap, dan perilaku memiliki hubungan yang sangat eras. Perilaku seseorang yang
dapat diamati, pada hakikatnya merupakan ekspresi nilai dan sikap yang
dimilikinya.
Sama halnya dengan pembinaan sikap dan nilai pada siswa yang menjadi
tanggung jawab semua guru, termasuk guru matematika dan sains; penilaian sikap
dan nilai juga perlu dilakukan oleh semua guru, tidak terkecuali guru fisika.
Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam penilaian sikap dan nilai adalah:
observasi, pertanyaan langsung, laporan pribadi, dan penggunaan skala sikap.
Hasil penilaian sikap dan nilai pada siswa dapat dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan: pembinaan siswa secara berkelanjutan; peningkatan
profesionalitas guru; perbaikan proses pembelajaran; dan pelaporan. Khusus
untuk pelaporan, untuk menghindari informasi yang bisa, sebaiknya digunakan
data hasil pencatatan guru sehari-hari tentang siswa.
Mudah-mudahan makalah ringkas ini bermanfaat bagi upaya peningkatan
pembelajaran serta penilaian sikap dan nilai pada siswa, khususnya bagi guru
fisika, dalam rangka mengemban tanggung jawab dan tugas profesional kita
bersama, sebagai pendidik dan tenaga kependidikan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. & Fishbein, M. (1977). Attitude-behavior Relation: a Theoretical Analysis


and Review of Empirical Research. Psychological Bullentin 84(5): 888-918.
Allport, F.H. (1975). Social Psychology. Cetakan Kedua. New York: Houghton
Mifflin Company.
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Chaiken, S. & Stangor, C. (1987). Attitude and Attitude Change. Annual Review of
Psychology 38: 575-630.
Gage, L.N. & Berliner, D.C. (1979). Educational Psychology. Boston: Houghton
Mifflin Company.
Gahagan, D. 1980. Attitude. Dim. Radford, J. & Govier, E. (ed.). A Texbook of
Psychology: 642-680. London: Sheldon Press.
Harrell, K. (2005). Attitude is Everything: 10 Life-changing Steps to Turning Attitude
into Action. New York: Collins.
Mehrens, W.A. & Lehmann, I.J. (1991). Measurement and Evaluation in Education
and Psychology. New York: Harcourt Brace College Publishers.
Nitko, A.J. (1983). Educational Tests and Measurement.- An Introducyion. New
York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Olson, J.M. & Zanna, M.P. (1993). Attitude and Attitude Change. Annual Review of
Psychology 44: 117-154.
Popham, W.J. (1994). Classroom Assessment: What Teachers Need to Know. Boston:
Allyn and Bacon.
Rest, J.R. (1992). Komponen-komponen Utama Moralitas. Dim. Kurtines, W.M. &
Gerwitz, J.L. (ed.). Moralitas, Prilaku Moral, dan Perkembangan Moral: 37-
60. Terj. Soelaeman, M.I. & Dahlan, M.D. Jakarta: Universitas Indonesia.
Schibeci, R.A. (1984). Students, Teachers, and Assessment of Attitudes to
Schools. The Australian Journal of Education 28(1): 17-24.
Sear, D.O., Peplau, L.A., Freedman, J.L. & Taylor, S.E. (1988). Social Psychology.
New Jersey: Prentice Hall.

13

You might also like