You are on page 1of 3

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI

SATU
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?
Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah,
tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad
Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki
diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para
wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai
mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan
oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid.
Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah
manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang
menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang
berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya
tanpa rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak
berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak
adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama memainkan
wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala sesuatu.”; Syekh
Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh Bentong
menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh
Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar teologinya
di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh
Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka
terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan
sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab
Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali
mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai
masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang
teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang tetep
ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di
dalam dzahir dan batin) . Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon,
terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.
DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang
Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S.
Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
1 of 44
Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti
Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang
berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari
sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang
diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam
kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.
TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun
Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut
sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “tidak usah kebanyakan bicara tentang teori
ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang
Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui segala-
galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah kepada Allah
sebagai Tuhan”.
EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita,
tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu”
[Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita,
tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-
sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam
merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal sebagai
niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al
Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas ungkapan
itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan
berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at
lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan
keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya
ditiupkan atas setiap pribadi manusia.
LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya
disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu
tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan
tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka
tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar
Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan
yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang
2 of 44
lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya
kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang
dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan.
Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar
tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap
mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm.
18-20).
TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada
pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya
orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R.
Tanaja, hlm. 42-46).
Ungkapan no. 5, 6, dan 7.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri
Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan
Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh
Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang
mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari
berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling
Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda,
firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau
Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan
Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual
harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang
akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya
diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana
dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi
manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan
pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj.
Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat
Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan
Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi
sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-
Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq
Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi
Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.
3 of 44

You might also like