You are on page 1of 24

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG

PEMERINTAHAN DAERAH SERTA PRINSIP-PRINSIP


GOOD GOVERNANCE OLEH KEPALA DAERAH
DALAM PENYELENGGARAAN HAK OTONOMI

M Satria

ABSTRAK
Di erah otnomi daerah (pemerintah daerah) kewenangan eksekutif tidak
lagi hanya merumuskan dan menentukan arah pembangunan suatu daerah
tetapi eksekutif juga dapat mengatur kebijakannya melalui kewenangan
legislative yang ada padanya. Kewenangan ini merupakan suatu pijakan,
pedoman maupun perlindungan hukum agar setiap langka ataupun
rencana yang telah disipkan tidak lagi dapat diganggu gugatoleh siapapukn
juga. Hal ini dikarenakan, potensi dan keaneka ragaman, peluang dan
persaingan global dengan memberikan peluang yang seluas-luasnya
kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan pemerintah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat di daerah. Sehingga keinginan untuk
memberikan hak otonomi dalam menjalankan sendiri pemerintahan
didaerah, pemerintah pusat melalui berbagai peraturan perundang-
undangan berupaya secara maksimal untuk lebih memperhatikan lagi
daerah-daerah yang ada gunanya menjaga keutuhan NKRI dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.

LATAR BELAKANG
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam menyelenggarakan pemerintah dengan memberikan
kesempatan dan keleluasan kepada daerah untuk menyelenggarakan
otonomi daerah. Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Pasal 18 ayat 1 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan
kotra mempunyai pemerintahan daerah, yang diatyur oleh undang-undang.
Era otonomi daerah menjadi parameter terbaru bagi siap tidaknya
daerah mengurus rumah tangganya sendiri. Eksistensi dan kebijaksanaan
tersebut diarahkan agar pemerintah daerah mampu mencoba
pembangunan dirinya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dalam kaintannya dengan itu, maka otonomi daerah bisa
dipahami sebagai pemberian kepercayaan yang strategis kepada organisasi
pemerintah daerah. Maka, konsep otonomi harus mampu mengalahkan
prakarsa, inovasi reorganisasi dalam menggerakkan semangat rakyatnya
untuk membangun daerahnya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal
18 (sebelum mengalami perubahan) memang tidak mengatur secara detail
segala aspek menyangkut pemerintahan daerah, akan tetapi hanya
mengatur pokok-pokoknya saja. Oleh karena itu, the founding father telah
memformulasikan adanya pembagian organisasi Negara Indonesia kedalam
bangsa Indonesia memiliki berbagai keberagaman yang tidak bisa dikelola
dengan menerapkan paham sentralistik. Namun diperlukan kearifan local
dan tindakan local yang memiliki oleh masing-masing pemerintah daerah
dan masyarakat yang disesuaikan dengan etika dan budaya local, tanpa
menyimpang dari tujuan nasional dan prinsip Negara kesatuan NKRI.
Dalam konteks otonomi daerah inilah sangat diperlukan perubahan
organisasi yang lebih tanggap dan memilki akuntabilitas. Dalam kaitannya
dengan itu, maka diperlukan pelayanan birokrasi untuk memberikan respon
terhadap berbagai tantangan secara adil dan bijaksana. Munculnya
partisipasi politik terhadap pengambilan kebijaksanaan birokrasi
merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Dalam hal itu,
diperlukan perubahan yang cukup mendasar dalam menyusun program-
program pemerintah dengan tanpa meninggalkan tata aturan organisasi
yang ada.
Melihat keadaan ini, perlu segera dilakukan reorganisasi birokrat
pemerintahan daerah. Sehingga menjadi bentuk organisasi yang terbuka,
fleksibel, ramping, efisien, rasional, dan terdesentralisasi secara kuat.
Artinya harus diciptakan wahana baru birokrasi pemerintah dengan titik
berat pada pemberdayaan secara social, ekonomi dan politik pada daerah
kabupaten dan kota. Karena, daerah berkeinginan untuk mengelola sendiri
pelaksanaan administrasi pemerintahan serta sumber-sumber kekayaan
yang dimilkinya.
Terdapat beberapa dasar pemikiran yang melatar beklakangi
mengapa kepemimpinan kepal daerah penting dan menraik untuk
dipelajari. Sepanjang sejarah, sejak masa pemerintahan Hindia Belanda,
masa pendudukan Jepang, masa prokalamasi kemerdekaan, masa orde
lama, orde reformasi dewasa ini, kedudukan dan peran kepala daerah
dengan beragam penyebutan seperti gubernur, bupati, walikota telah
menunjukan esistensinya baik sebagai pemimpin organisasi pemrintahan
yang mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat, maupun dalam
memimpin organisasi administrasi pemerintahan.
Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 2 yang terdiri dari kepal
daerah dan perwakilan daerah (DPRD). Keberadaan pemerintahan di
daerah adalah merupakan suatu bentuk organisasi pemerintah yang lebih
kecil atau pada tingkatan daerah yang dikatakan sebagai pemerintahan
daerah. Karena itu, penyerahan kekuasaan dari rakyat pada Negara
demokrasi terbagi dua.
1. Pemerintah (eksekutif) yang diserahi kekuasaan untuk
melaksanakan pengaturan berbagai kebutuhan masyarakat.
2. Lembaga perwakilan rakyat (legislative) yaitu lembaga yang
berwenang dalam hal merumuskan dan membuat aturan untuk
dilaksanakan oleh pemerintah serta melakukan pengawasan atas
tindakan-tindakan pemerintah.
Fungsi yang diemban oleh eksekutif (kepala daerah) terdiri dari tiga
fingsi yaitu: fungsi eksekutif, fungsi legislative dan fungsi yudikatif. Oleh
karena itu, eksekutif dalam melaksanakan system demokrasi salah satu
fungsinya yang paling menonjol adalah fungsi pemerintahan. Sehingga,
sejalan dengan berbagai hal tersebut di atas mendorong secara serius
kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) untuk melaksanakan dan
menjalankan roda pemerintahan guna mewujudkan masyarakat yang
sejahtera dan pembangunan yang berkelanjutan.
Berbagai pengaturan dalam semua undang-undang tentang
pemerintahan daerah membuat peran kepala daerah sangat strategis,
karena kepala daerah sangat penting dalam menunjukan keberhasilan
pembangunan local maupun pembangunan nasional pada umumnya, sebab
pemerintahan daerah merupakan subsistem dari pemerintahan nasional
atau Negara, efektifitas pemerintahan Negara tergantung pada efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keberhasilan kepemimpinan di
daerah menentukan kesuksesan kepemimpinan nasional. Ketidakmampuan
kepala daerah dalam mensukseskan kinerja dan efektifitas
penyelenggaraan pembangunan nasional.
Pembangunan dan tidak ikut campurnya pemerintah pusat dalam hal
pelaksanaan otonomi di daerah belumlah menjadi suatu jaminan akan
tercipta serta terlaksananya prinsip-prinsip good governance (tata
pemerintahan yang baik). Bagian juga yang sangat mwenetukan terhada
ppelaksanaannya good governance adalah pelaksanan fungsi admnistrasi
pemerintahan. Karena, kepala daerah (gubernur/bupati dan walikota)
bersama dengan wakil kepala daerahnya sering tidak sejalan dalam
manajemen pemerintahan ayang akhirnya berdampak kepada program
menjadi terhambat. Kemudian juga, sering terjadi pergantian pejabat yang
memimpin suatu biro, dinas, instansi dan badan setiap saat tanpa melihat
beberapa lama penjabat tersebut menjabat. Selain itu, penempatan para
pejabat yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

OTONOMI DAERAH SECARA UMUM


Pelaksanaan otonomi daerah dilihat sebagai wada berkah bagi
daerah-daerah. Dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, daerah-daerah
menjadi milik keleluasan dan kebebasan untuk mengatur dan mengelola
dirinya sendiri. Otonomi bertiti tolak dari adanya hak dan wewenang untuk
berprakarsa dan mengambil keputusan dalam mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya guna kepentingan masyarakatnya dengan jalan
mengadakan berbagai peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan
UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi
(E.Koswara 2001:77).
Dalam hubungan inilah pemerintah perlu melaksanakan pembagian
kekuasaan kapada pemerintah daerah yang dikenal dengan istilah
desentralisasi, bentuk dan susunannya tampak dari ketentuan-ketentuan
didalam undang-undang yang mengaturnya. Seperti Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat
pengertian otonomi daerah dalam Pasal 1 angka 5 “otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Karena praktek penyelenggaraan Negara yang dahulu dilaksanakan
diubah yaitu kekuasaan eksekutif yang tidak terpusat dan mekanisme
hubungan pusat dan daerah pun menganut asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kekuasaan kepada
daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah melalui peraturan
perundang-undangan tentang pemerintahan didaerah. Hal yang sangat
mendasar dari peraturan perundang-undangan tersebut adalah
memberikan kesempatan dan kekuasaan daerah untuk membangun
daerahnya dan lebih memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa
dan kreativitas serta meningkatkan peran dan fungsi lembaga eksekutif,
(gubernur, bupati, walikota) serta legislative (DPRD).
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, pada BAB 1 ketentuan umum Pasal 1 ayat (5) menuliskan,
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Bahwa, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan pembantuan, diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan, pelayanan, pem,berdayaan, dan peran serta masyarakat,
serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jadi, inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya
memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan
dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan
demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dan
penerapan otonomi daerah luas dan kelangsungan pelayanan umum untuk
tidak terabaikan. Selain itu juga, kata kunci otonomi daerah sebenarnya
adalah kewenangan. Makin besar kewenangan digunakan untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat maka makin bermanfaat
implementasi daerah itu. Kemudian Van Kepmen mendefinisikan otonomi
daerah antara lain:
a. Bahwa otonomi mempunyai arti lain dari pada kedaulatan yang
merupakan atribut dari Negara, akan tetapi tidak pernah
merupakan atribut dari bagian-bagiannya seperti gemeente,
provinsi dan sebagainya, yang hanya memiliki hak-hak yang
berasal dari Negara, sebagai bagian yang dapat berdiri sendiri
akan tetapi tidak mungkin dianggap merdeka, lepas ataupun
sejajar dengan Negara.
b. Bahwa dengan demikian, Negara atau pemerintah pusatlah yang
mempunyai kata terakhir terhadap ketentuan tentang batas-batas
otonom, baik dengan cara positif maupun negative.
c. Bahwa yang demikian itu, sesuai pula sepenuhnya dengan maksud
dari pada desentralisasi, yang tidak lebih dari pada suatu saran
untuk mencapai penyelenggaraan kepentingan-kepentingan
setempat dengan cara yang tepat atau patut, sehingga
desentralisasi itu dilakukan tidak hanya karena adanya kehendak
untuk mendentralisasikan.
Pengertian otonomi daerah diatas mencerminkan adanya
desentralisasi, sebagaimana isi dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 7 “desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
system Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Ada beberapa alasan
mengapa pemerintah perlu melakukan desentralisasi kekuasaan kepada
pemerintah daerah. Menurut Josep Riwu Kaho antara lain:
a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan (game
teori), desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan
kekuasaann pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat
menimbulkan tirani.
b. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap
sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta
dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-
hak demokrasi.
c. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alas an
mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-
,ata untuk mencapai sesuatu pemerintah yang efisien. Apa yang
dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat,
pengurusannya diserahkan kepada daerah.
d. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian
dapat sepenuhnya ditumpuhkan pada kekhususan suatu daerah,
seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak
kebudayaan dan latar belakang sejarah.
e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi
diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan
secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup
dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun
yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomin
yang dalam penyelenggaraan harus benar-benar sejalan dengan tujuan
dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Pendukung daripada
pelaksanaan tugas otonomi dengan sebaik-baiknyaantara lain: (a) Faktor
manusia, (b) Faktor keuangan, (c) Faktor supra dan infrastrukturdan (d)
Faktor organisasi dan manajemen.

TUJUAN OTONOMI DAERAH


Paradigma otonomi daerah adalah bertolak dari asumsi bahwa cita-
ita demokrasi, keadilan dan kesejateraan bagi rakyat tidak semata-mata
ditentukan oleh Negara. Dalam otonomi daerah perlu asdanya jaminan
distribusi kekuasaan secara sehat dan adail, akuntabilitas pemerintahaan,
tegaknya supermasi hokum dan hak asas manusia (HAM) serata struktur
ekonomi yang adil dan berkerakyatan. Otonomi bertitik tolak dan adanya
hak dan wewenang untuk berprakarsa dan mengambil keputusan dalam
negatur dan mengurus rumah tangga daerahnya guna kepentingan
masyarakatnya dengan jalan mengadakan berbagai peraturan daerah yang
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang lebih tinggi.
Selain itu efisisensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek
hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintah daerah,
potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan
global dengan memberikan kewenangan yag seluas-luasnya kepada:
Pertama, system ketatanegaraan Indonesia tidak menganut paham
sentralisme, melainkan membagi daerah Indonesia atas
dasar daerah besar kecil yang diatur dengan undang-undang.
Kedua, pengaturan dalam undang-undang tersebut harus
memandang dan mengingat dari pada permusyawaratan
dalam system pemerintahan Negara.
keTiga, daerah besar dan kecil bukan merupakan Negara bagian
melainkan Negara yang tidak terpisahkan dari bentuk dalam
kerangka Negara Kesatuan (endheidstaat).
Keempat, corak daerah besar dan kecil itu ada yang bersifat otonom
(streak en locale rechtsgemeenschappen) atau ada yang
bersifat daerah administrasi belaka.
Kelima, adapun sampai sejauh mana otonomi itu akan diberikan
kepada daerah, sudah cukup jelas kebijaksanaan dasarnya
yaitu terkandung dalam alinea pertama penjelasan Pasal 18
UUD 1945 (sebelum perubahan) secara impilisit juga
memberikan arah bahwa pemberian otonomi itu dalam
proposi yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan,
mengingat kondisi nyata pada daerah yang bersangkutan.
Dalam hubungan inilah pemerintah perlu malaksanakan pembagian
kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan
istilahdesentralisasi, bentuk dan susunannya tampak dari ketentuan-
ketrentuan didalam undang-undang yang mengaturnya. Seperti Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat
pengertian otonomi daerah dalam Pasal 1 angka 5 “otonomin daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Sejalan dengan prinsip otonomi tersebut dilaksanakan pula prinsip
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah
otonomi yang dalam penyelenggaraan harus benar-benar sejalan dengan
tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang ada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama daru tujuan nasional.

PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE


Permasalahan-permasalahan yang dihadapi di era otonomi daerah
yang merupakan tuntutan masyarakat dapat terwujud apabila terciptanya
suatu system pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karena
itu, perubahan perilaku birokrasi sangat diperlukan dalam penyelenggaraan
otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan konsep good governance
sebagai domain pemerintahan yang baik antara lain:
1) Menekankan penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan
pada peraturan perundang-undangan.
2) Kebijakan public yang transparan.
3) Adanya partisipasi masyarakat dan akuntabilitas public.
Untuk dapat mewujudkan kepemerintahan yang baik menurut
Hardijanto (2002: 2), beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan
antara lain:
1) Prinsip kepastian hukum
a. System hokum yang benar dan adil, meliputi hokum nasional,
hokum adat dan etika kemasyarakatan.
b. Pemberdayaan pranata hukum, meliputi kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga kemayarakatan.
c. Desentralisasi dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan, pengambilan keputusan public dan lain-lain yang
berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas.
d. Pengawasan masyarakat yang dilakukan DPRD, dunia pers,
dan masyarakat umum secara transparan, adil, dan dapat
dipertanggungjawab.
2) Prinsip keterbukaan
a. Menumbuhkan iklim yang kondusif bagi terlaksananya asas
desentralisasi dan transparansi.
b. Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk
hidup layak, hak akan rasa aman dan nyaman, persamaan
kedudukan dalam hokum dan lain-lain.
c. Memberikan informasi yang benar, jujur dan tidak
diskriminatif.
3) Prinsip akuntabilitas
a. Prosdur dan mekanisme kerja yang jelas, tepat, dan benar,
yang diatur dalam peraturan prundang-undang, dengan
mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.
b. Mampu mempertanggungjawabkan hasil kerja, terutama
yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum.
c. Memberikan sanksi yang tegas bagi aparat yang melanggar
hokum.
4) Prinsip professional
a. Sumber daya manusia yang memiliki profesionalitas dan
kapabilitas yang memadai, netral serta didukung dengan
etika dan moral sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
b. Memilki kemampuan kompetensi dan kode etik sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Memodernisasi administrasi Negara dengan mengaplikasikan
teknologi telekomunikasi dan informatika yang tepat guna.
Organisasi yang terbesar dimanapun sudah barang tentu organisasi
public yang mewadahi seluruh lapisan mayarakat dengan ruang lingkup
Negara. Oleh karena itu, organisasi public mempunyai kewenangan yang
terlegitimasi dibidang politik, administrasi, pemerintahan, dan hokum
secara terlembaga sehingga mempunyai kewajiban melindungi warganya,
dan melayani kebutuhannya, sebaliknya berhak pula memungut pajak
untuk pendanaan, serta menjatuhkan hukuman sebagai sanksi penegakkan
peraturan. Untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik, membina
hubungan kemitraan dan saling percaya merupakan kunci utama.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, prinsip penyelenggaraan
pemerintahan yang memenuhi prinsip good governance yang dikemukakan
oleh team work lapera sebagai berikut:
1. Akuntabilitas, maksudnya adalah bisa dibaca rakyat dan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat melalui indicator-
indikator atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh rakyat sendiri.
2. Transparansi, maksudnya segala kegiatan dan kebijakan yang
diambil oleh pemerintah bersifat terbuika, bisa diketahuii atau
diakses oleh masyarakat. Keputusan diambil dengan melibatkan
masyarakat, memungkinkan adany ide-ide dan aspirasi dari
masyarakat
3. Kejujuran, Maksudnya adalah adanya kejujuran dari pemerintah
dalam melakukan atau menyelenggarakan pemerintahan.
4. Kesetaraan, dalam pelayanan non diskriminasi atau tidak mebeda-
bedakan dalam proses pelayanannya.
5. Keterlibatan, masyarakat dalam seluruh tahap proses
penyelengaraan mulai dari perencanaan sampai distribusi hasil-
hasil bangunan.
6. Konstitusional, berjalan diatas aturan yang ada dan senantiasa
menegakkan hokum.
7. Pengambilan keputusan, mengedepankan musyawara agar
keputusan yang diambil tidak merugikan masyarakat.
Pada era otonomi daerah, setiap organisasi pemerintah daerah
menghadapi tantangan yang sangat kompleks dan tuntuta kebutuhan
masyarakat yang semakin meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan model
organisasi yang ramping serta didukung oleh personil yang mempunyai
kemampuan, keahlian sesuai dengan tugas pokok dan fungsi organisasinya
seperti untuk promosi karier diperlukan adanya ukuran-ukuran baku yang
dapat dijadikan acuan obyektif yang akan dipergunakan sebagai alat ukur
promosi.
Good governance (penyelenggaraan pemerintahan yang baik) ada
beberapa prinsip yang bisa menunjuk dijalankannya good governance,
yaitu:
1. Adanya pengakuan atas pluralitas politik
2. Adany prinsip keadilan
3. Akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan
4. Prinsip keterbukaan
Satu hal yang sangat menarik dari adanya prinsip good governance,
yaitu mengenai akuntabilitas. Dalam prinsip ini ada tiga dimensi
perencanaan daerah yang memperkuat prakarsa masyarakat untuk ikut
dalam pelaksanaan otonomi daerah:
1. Dimensi financial
Segala penggunaan dana yang dilakukan oleh pemerintah
(eksekutif), harus benar-benar sesuai dengan persetujuan
legislative (parlemen), control parlemen tidak dimaksudkan untuk
bargaining politik (negosiasi) pihak parlemen, melainkan untuk
memastikan bahwa seluruh dana yang digunakan oleh pemerintah
adalah alokasi yang tepat, murah (efisien) dan terhindar darin
manipulasi yang akhirnya bisa merugikan masyarakat.
2. Dimensi politik
Dimensi ini berlaku pada pemerintahan, artinya setiap tindakan
dari masing-masing pihak jelas legitimasi dan
pertanggungjawabannya pejabat publik tidak boleh merupakan
hasil negosiasi politik, melainkan harus benar-benar melalui proses
politik yang demokratis. Ketika pemilihan umum, rakyat haru
sjelas memilih siapa, dan yang terpilih juga memilki kejelasan
pihak yang dipilih oleh siapa.
3. Dimensi legal (formal)
Dimensi ini merupakan penjabaran nyata dari prinsip Negara
hukum, diaman pejabat publik harus memilki keabsahan secara
legal (formal), berdasarkan hukum atau aturan yang berlaku. Hal
ini diperlukan agar tidak terjadi akhir dan ketika muncul suatu
persoalan masyarakat juga bisa jelas memiliki rujukan untuk suatu
tuntutannya.
Ketiga prinsip dimensi tersebut, merupakan pondasi dari prinsip good
governance. Jika dilihat dari dimensi tersebut, sangat jelas bahwa
pemerintah harus dibangun dari sendi-sendi demokrasi. Maka good
governance hanya bisa terwujud jika syarat-syarat berikut bisa dipenuhi,
seperti akuntabilitas pemerintah, dan partisipasi. Implementasi otonomi
daerah dengan watak dasar memberi kepercayaan pada daerah dan
adanya keinginan untuk menibgkatkan partisiasi rakyat, merupakan
indikasi kuat bahwa skema otonomi daerah bisa menjadi momentum untuk
menumbuhkan good governance.

PEMERINTAH DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32


TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
1. Pengertian pemerintah dan pemerintahan daerah
Pemerintahan adalah semua kegiatan lembaga-lambaga atau
badan-badan public tersebut dalam menjalankan fungsinya untuk
mencapai tujuan Negara (pemerintah dilihat dari aspek dinamikanya).
Kemudian pengertian pemerintahan dapat dibedakan dalam pengerti
luas dan sempit. Pengertian pemerintahan dalam arti luas adalah
segala kegiatan badan-badan public yang meliputin kekuasaan
eksekutif, legislative, yudikatif dalam usaha mencapai tujuan Negara,
sedangkan dalam arti sempit adalah segala kegiatan badan-badan
public yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif saja.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam system dan prinsip Negara kesatuan republic Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dasar Negara republic
Indonesia tahun 1945.
Jadi dengan demikian, pekerja dapat dikoordinasikan oleh
pemerintah atasan kepada para bawahan yang menjangkau dari
puncak sampai dasar dari seluruh badan usaha. Menurut Ibnu kencana
syafiie (1999: 53) organisasi merupakan:
a) Wadah atau tempat terselenggaranya administrasi
b) Terjadinya berbagai hubungan antar individu maupun
kelompok, baik dalam organisasi itu sendiri maupun keluarga
c) Terjadinya kerja sama dan pembagian tugas
d) Berlangsungnya prosess aktivitas berdasarka kinerja masing-
masing.
Pelayanan pemerintahan di tingkat provensi merupakan tugas
dan fungsi utama kepala daerah provinsi sebagai kepala wilayah dan
wakil pemerintah pusat di daerah. Kepala daerah menerimah
pelimpahan sebagai kewenangan pemerintahan dari pusat yang
mempunyai tugas pelaksanaan kegiatan pemerintahan di daerah
provensi, pemberdayaan masyarakat, pelayanan masyarakat,
penyelenggaraan ketentraman dan ketertibaan umum dan
pemeliharaan prasarana dan faslitas pelayanan umum serta
pertanggungjawaban kepada dewan perwakilan rakyat daerah provensi
(DPRD) sebagai lembaga legislative di daerah. Hal ini berkaitan dengan
fungsi dan tugas utama pemerintah secara umum, yaitu memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik
kepada masyarakat maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan
Negara yaitu menciptakan kesejaterabn masyarakat. Pelayanan kepada
masyarakat tersebut terintegrasi dalam penyelenggaran pemeintahan
dan pembangunan.
Oleh karena itu, pemerintah dalam melaksanakan fungsi
pelayanannya mempunyai tiga fungsi utma, antara lain: 1 memberikan
pelayanan baik pelayanan perorangan maupun pelayanan public, (2)
melakukan pembangunan fasilitas ekonomi untik meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan (3) memberikan perlindungan kepada
masyaraka. Kemudian juga, pemerintah wajib memberikan pelayanan
perorangan dengan biaya murah, cepta, berkualitas, professional dan
baik serta adil.
2. Pengertian kepala daerah
Kepala daerah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 34
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 24 ayat (1) dan (2)
adalah :
Ayat 1 setiap daerah memimpin oleh kepala pemwrintah daerah
yang disebut kepala daerah.
Ayat 2 kepala daerah sebagaiman dimaksu pada ayat 1 untuk
provensi disebut gubernur, untuk kabupaten diebut bupati
dan untuk kota disebut walikota.
Artinya, ketentuan Pasal 24 ini telah memberikan ketegasan
bahwa yang diamaksud dengan kepala daerah adalah gubernur, bupati,
dan walikota sebagai pelaksana penyelenggaraan pemerintah diwilayah
otonominya masing-masing. Karena, dalam fungsinya sebagai alat
pemerintah daerah, kepala daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan
eksekutif pemerintah daerah baik dalam urusan rumah tangga daerah
maupun bidang pembantuan. Oleh karena itu, sebagai pihak yang
memimpin pelaksanaan eksekutif daerah, maka ia dikatakan sebagai
lemabaga eksekutif daerah. Sebagai lembaga eksekutif daerah, kepala
daerah memberikan penanggungjawabnya kepada DPRD.
Selain itu juga, J. Kaloh (2003:4) kepala daerah dalam semua
undang-undang tentang pemerintahan daerah membuat peranan
kepala daerah sangat strategi, karena kepala daerahsangat strategis,
karena kepala daerah merupakan komponen signifikan bagi
keberhasilan pembangunan nasional, sebab pemerintahan daerah
merupakan subsistem dari pemerintah nasional atau Negara. Efektifitas
pemerintahan Negara tergantung pada efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Maka, fungsi kepala daerah dalam bidang
pemerintahan hanyalah meliputi tiga hal yaitu: 1. Pelayanan kepada
masyarakat (services), 2. Pembuatan pedoman/arah atau ketentuan
kepada masyarakat (regulation), dan 3. Pemberdayan (empowerment).
Kepala daerah menurut Hanif Nurcholis (desember 2007:212)
adalah pimpinan lembaga yang melaksanakan peaturan perundangan.
Dalam wujud konkritnya lembaga pelaksana kebijakan daerah adalah
organisasi pemerintahan. Kepala daerah menyelenggarakan
pemerintahan didaerahnya, seperti:
a. Untuk daearah provinsi lembaga pelaksana kebijakan daerah
adalah pemerintah provinsi yang dipimpin oleh gubernur
sebagai kepala daerah provinsi dan dibantu oleh perangkat
pemerintah provinsi.
b. Kemudian, kepala daerah kabupaten adalah lembaga
pelaksana adaripada kebijakan daerah kabupaten yang
dipimpin oleh bupati. Jadi, bupati dan perangkatnya adalah
pelaksana peraturan perundangan dalam lingkup kabupaten
(peratruran daerah dan peraturan kepala daerah) serta
pelaksana dari pada kebijakan/peraturan daerah yang dibuat
bersama dengan DPRD kabupaten maupun melaksanakan
semua peraturan perundangan yang baik yang dibuat oleh
DPR dan presiden, menteri, dan gubernur.
c. Pemerintah kota yang dipimpin oleh walikota bukan bawahan
pemerintah provinsi. Pemerintah kota adalah daerah otonom
dibawah koordinasi pemerintah provinsi. Walikota dan
perangkatnya adalah pelaksana kebijakan daerah kota yang
dibuat bersama DPRD kota.
Oleh karena itu, SH. Sarundajang (2000:75-76), menyatakan
bahwa kepala daerah disamping sebagai pimpinan pemerintahan juga
sebagai penyelenggara pemeritahan daerah berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD, sekaligus adalah pimpinan daerah dan
pengayom masyarakat sehingga kepala daerah harus berpikir,
bertindak dan bersikap dengan lebih mengutamakan kepentingan
bangsa, Negara dan masyarakat umum. Maka dalam menjalankan
tugas dan kewajiban pemerintah daerah apabila kepala daerah itu
gubernur maka bertanggungjawabnya kepada DPRD provinsi dalam
kedudukannya sebagai wakil pemerintah, gubernur betanggungjawab
kepada presiden. Bupati dan walikota bertanggungjawab kepada DPRD
kabupaten/kota dan berkewajiban memberikan laporan kepada
presiden melalui menteri dalam negeri dengan tembusan kepada
gubernur.
Kemudian, Syaukani HR (2000:43) kepala daerah adalah pejabat
Negara yang menjalankan tugas-tugas dibidang dekonsentrasi. Kepala
daerah bertanggungjawab kepada pemerintah pusat. Sedangkan
kepada DPRD, kepala daerah hanya memberikan keterangan
pertanggungjawaban dalam bidang tugas pemerintah. Adapun
tugasnya sebagai pejabat Negara dalam bidang dekosentrasi meliputi:
a. Membina ketentraman dan ketertiban umum
b. Melaksanakan usaha-usaha dalam pembinaan ideologio
Negara dan politik dalam negeri dan pembinaan kesatuan
bangsa
c. Menyelenggarakan koordinasi antara instansi-instansi vertical
dan dinas-dinas daerah
d. Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah
daerah
e. Mengawasi dan mengusahakan dilaksanakan peraturan
perundang-undangan pemerintah pusat dan daerah
f. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah
pusat
g. Melaksanakan tugas yang belum diatur oleh pemerintah
pusat.
Pengertian yang lain juga disampaikan oleh Andi Mustari Pide
(1999:50-52) tentang kepala daerah adalah pejabat yang menjalankan
hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintah daerah atau
pejabat yang memimpin penyelenggaraan dan pertanggungjawaban
sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah. Adapun tugas
kepala daerah adalah kekuasaan kepala daerah yang dirinci secara
jelasmenurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang wajib
dikerjakan atau dilaksanakan oleh kepala daerah. Termasuk hak-hak
kepala daerah seperti kekuasaan kepala daerah dengan persetujuan
DPRD untuk menetapkan peraturan daerah (perda) atau mengeluarkan
keputusan dan peraturan kepala daerah untuk melaksanakan perda.
Oleh karena itu, maka posisi kepala daerah terdapat dua fungsi
(lihat juag bagir manan, 2001: 129-130) yaitu: (1) Fungsi sebagai
kepala daerah otonomi yang memimpin penyelenggaraan dan
bertanggungjawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah
dan (2) Fungsi sebagai kepala wilayah yang memimpin
penyelenggaraan urusan pemeintahan umum yang menjadi tugas
pemerintahan pusat didaerah. Hal ini juga dalam pandangan BN
Marbun (1983: 87) mengatakan bahwa begitu penting dan luasnya
tugas seorang kepala daerah baik sebagai kepala wilayah yang harus
mempunyai kecakapan dibidang pemerintahan dan dipercaya
sepenuhnya oleh pemerintah serta sebagai kepala daerah otonom,
maka ia perlu pendapatkan dukungan dari rakyat yang dipimpinnya.
Pendapat lainnya juga di nyatakan oleh, Sayuti Unan (2004: 100)
bahwa dalam fungsinya sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah
memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif dibidang pemerintahan
daerah, baik dalam urusan rumah tangga daerah maupun bidang
pembantuan. Kemudian, pengertian kepala daerah menurut Abdul latief
(2006:7) kepala daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah
yang akan bertindak mewakili pemerintah daerah dalam segala
hubungan hukum baik yang bersifat public maupun privat, mempunyai
kewenangan untuk bertindak dalam menyelenggarakan pemerintah
daerah.
3. Kedudukan kepala daerah
Kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah menurut Undang-
Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
khususnya pada Pasal 37 (1) gubernur yang karena jabatannya
berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah diwilayah provinsi yang
bersangkutan. (2) dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), gubernur bertanggngjawab kepada presiden.
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, seorang kepala
daerah dalam implementasi pola kepemimpinannya seharusnya tidak
hanya berorientasi pada tuntutan untuk memperoleh kewenangan yang
sebesar-besarnya, tanpa menghiraukan makna otonomi daerah itu
sendiri yang lahir dari suatu kebutuhan akan efisiensi dan efektivitas
manajemen menyelenggarakan pemerintahan, yang betujuan untuk
memberikan pelayanan yang, lebih baik pada masyarakat.
Paradigma baru otonomi daerah harus diterjemahkan oleh kepala
daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan
sehingga serasi dan focus pada tuntutan kebutuhan masyarakat,
karena otonomi daerah bukanlah tujuan, melainkan suatu instrument
untuk mencapai tujuan. Instrument tersebut harus digunakan secara
arif oleh kepala daerah tanpa harus menimbulkan konflik pusat dan
daerah, atau antara provinsi dan kabupaten karena jika demikian
makna otonomi daerah menjadi kabur.
4. Tugas dan kewajiban kepala daerah
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah khususnya dalam Pasal 25 yang
menyangkut tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah
adalah:
1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
2) Mengajukan rencangan perda;
3) Menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan bersama
DPRD;
4) Menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang APBD
kepada DPRD utnuk dibahas dan ditetapkan;

KEPALA DAERAH DALAM SYSTEM PEMERINTAHAN


Salah satu tugas pokok pemerintahan yang terpenting adalah
memberikan pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu,
organisasi pemerintahan sering kali disebut sebagai “pelayanan
masyarakat” (public service). Dalam kenyataannya, belum semua aparat
pemerintah menyadari arti pentingnya pelayanan. Muncul ungkapan “kalau
dapat dipersulit, kenapa dipermudah?”, yang beredar dikalangan aparatur
pemerintah menunjukkan bahwa mereka umumnya belum sadar mengenai
posisinya sebagai pelayanan masyarakat dan juga filosofi pelayanan itu
sendiri.
Tjosvold, menyatakan bahwa melayani masyarakat baik sebagai
kewajiban maupun sebagai kehormatan, merupakan dasar bagi
terbentuknya masyarakat yang manusiawi. Selain itu, bagi organisasi
melayani konsumen merupakan “saat yang menentukan peluang bagi
organisasi untuk menunjukkan kredibilitas dan kapebilitasnya”.
Berkaitan dengan pelayanan ada dua istilah yang perlu diketahui
melalui yaitu melayani dan pelayanan. Pengertian melayani adalah
membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang.
Pelayanan adalah usaha melanyani kebutuhan orang lain. Pelayanan pada
dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan oleh organisasi atau perorangan
kepada konsumen (yang dilayani) yang bersifat tidak berwujud dan tidak
dapat dimiliki.
Menurut Normann (1991: 14) karakteristik tentang peleyanan yakni
sebagai berikut:
a. Pelayanan bersifat tidak dapat diraba,pelayanan sangat
berlawanan sifatnya dengan barang jadi.
b. Pelayanan itu kenyataannya terdiri dari itndakan nyata dan
merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindakan social.
c. Produksi dan konsumsi dari pelayanan tidak dapat dipisahkan
secara nyata, karena pada umumnya kejadiannya bersamaan dan
terjadi di tempat yang sama.
Dimaksud dengan pelayanan umum dalam pemberian jasa baik oleh
pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta
kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi
kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat, dengan demikian yang dapat
memberikan pelayanan umum kepada masyarakat luas bukan hanya
instansi pemerintah melainkan juga pihak swasta. Pelayanan umum yang
dijalankan oleh instansi pemerintah bermotif social dan politik, yakni
menjalankan tugas pokok serta menbcari dukungan suara. Sedangkan
pelayanan umum oleh pihak swasta bermotif ekonomi, yakni mencari
keuntungan.
Menyelenggarakan pemerintah daerah, pemerintah daerah
menggunakan asas dan tugas pembantuan, sebagaimana dinyatakan
dalam undang-undang pemerintahan daerah Pasal 1 ayat (7), (8), dan (9),
antara lain:
Ayat (7) desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah
oleh pemerintah kepala daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara kesatuan.
Ayat (8) dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah
oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat dan/atau kepada instansi vertical diwilayah tertentu.
Ayat (9) tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provensi kepada
kabupaten/kota atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Menurut Darma Kusuma (2002:6-7), secara umum pola hubungan
yang ada dalam setiap organisasi dapat dilihat dalam dua pola hubungan,
yakni hubungan yang bersifat internal dan eksternal. Pola hubungan paa
birokrasi pemerintah, dapat diidentifikasi hubungan internal mwerupakan
pola interaksi yang terjadi antara atasan, sejawat dan bawahan. Pola
hubungan internal pada organisasi birikrasi pemerintah sangat diwarnai
olah pola hubungan yang searah dan bersifat top down dari atas, artinya
pola hubungan dan interaksi lebih banyak ditentukan dari atas, artinya
bahwahan menunggu dan melaksanakan sesuai dengan arahan pimpinan.
Menurut HAW Widjaj (2002:81), dalam hal ini perlu mendapat
perhatian birokrasi dalam mengantisifasi akan kebutuhan pelayanan
tersebut:
1) Sifat pendekatan tugas, lebih mengarah kepada pengayoman dan
pelayanan masyarakat, bukan pendekatan kekuasn dan
kewenangan.
2) Penyempurnan organisasi, efisien, efektif dan professional
3) System dan prosedur kerja cepat, tepat dan akurat
Birokrasi yang modern tidak lagi berpikir sebagaiman membelanjakan
dana yang tersedia dalam anggaran, tetapi bagaimana membelanjakan
anggaran yang terbatas seefisien mungkin, dan memanfaatkan apa yang
diperoleh hasilnya. Berdasarkan fungsi pemerintah dalam melakukan
pelayanan umum terdapat 3 fungsi pelayanan yaitu (1) environmental
service, (2) development service, (3) protective service. Pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah juga dapat dibedakan berdasarkan siapa yang
dapat menikmati atau memperoleh dampak dari suatu layanan, baik
seseorang secara individu maupun kelompok atau kolektif.
Satu hal yang baru dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
dibagi berdasarkan tiga asas, antara lain:
1. Eksternalitas, yaitu penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan luas, besaran dan jangkauan dampak
yang timbul akibat pennyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan.
2. Akuntabilitas, penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas,
besaran dan jangkauan dampak yang timbulkan oleh
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
3. Efisiensi, penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan
berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi
yang dapat diperoleh.
Dengan demikian untuk menunjang pelaksanaan system
pemerintahan didaerah dan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengenai
prinsip otonomi, bahwa prinsip otonomi menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab.
1. Prinsip otonomi seluas-luasnya adalah daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua unsure
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang
ditetapkan dalam undang-undang pemerintah daerah.
2. Prinsip otonomi nyata, adalah suatu prinsip bahwa
untukmenangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan
tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan
berpotensi untuk tumbuh hidup dan berkembang sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah.
3. Prinsip otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang
dalam penyelesaiannya harus benar-benar sejalan dengan
sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi yang ada dasarnya
untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.
Keanekaragaman istilah system otonomi daerah diperlukan untuk
meksud yang sama, maka dapat dikemukakan guna keperluan acuan
pengertian dari system daerah, yakni patokan tentang cara penentuan
batas-batas urusan rumah tangga daerah (Krishna D. Darumurti dan Umbu
Rauta, 2000:14), antara lain:
1. System otonomi formil
Pengertian otonomi secara formil, tidak ada perbedaan antara
urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan
oleh daerah-daerah otonom. Hal ini berarti bahwa apa yang dapat
dilakukan oleh Negara (pemerntah pusat) pada prinsipnya dapat
pula dilakukan oleh daerah-daerah otonom bila ada pemabgian
tugas (wewenang dan tanggungjawab), hal ini semata-mata
disebabkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan
praktis, efisiensi tugas pelayanan public.
2. System otonomi riil
Dalam system ini, penyerahan urusan atau tugas dan
kewenangan kepada daerah didasarkan pada factor yang
nyata/riil, sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan yang riil
dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertmbuhan
masyarakat yang terjadi. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah
pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah, dengan
memperhatikan kemampuan masyarakat daerah untuk mengatur
dan mengurusnya sendiri

KESIMPULAN
Konsep pembangunan dan pengambilan kebijakan dari suatu
penyelenggaraan pemerintahan sudah tidak dapat lagi dilaksanakan
bilaman lapisan-lapisan masyarakat yang ada tidak dilibatkan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Sebab, masyarakat adalah pelaksana
dan pelaku dari suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh
karena itu, partisipasi masyarakat dan pelaksanaan prinsip-prinsip dari
pada good governance akan semakin sinergi dan dapat diterima dengan
baik. Karena tidak ada lagi yang perlu ditutupi maupun disembunyikan.
Selain itu efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek
hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintah daerah,
potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan
global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada
daerah yang disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan system
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dengan pembagian tugas yang
jelas antara pemerintahan pusat dan daerah, akan semakin jelas pula siapa
yang bertanggung jawab atas kegagalan suatu kebijakan.
Paradigma pemerintahan yang baik, good governance
memperhatikan tiga domain yang bersinergi yakni antara sektor publik,
swasta, dan masyarakat. Sesuai dengan paradigma kepemerintahan yang
baik, maka hubungan kerja pada sekor pemerintah tidak lagi bersifat
“hirarkhis” (system koordinasi dari bawah keatas ataupun sebaliknya),
tetapi menjadi “heterarkhis”, artinya penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan dengan memperhatikan hubungan dari tiga domain
kepemerintahan yang baik.
Dengan melaksanakan konsep good governance, maka sector
pemerintah tidak dapat lagi sebagai pemain utama untuk melakukan hak
monopoli dalam penentuan kebijakan public. Hubungan pemerintahan
antara pemerintah, swasta, dan masyarakat harus dikembangkan jika
paradigma kepemerintahan yang baik benar-benar akan dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anonym, 1993. kamus besar bahasa Indonesia, tanpa penerbit, Jakarta.
Abdul latief, 2006. Hokum dan peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) pada
pemerintahan daerah, UII Jogyakarta press, Yogyakarta.
Alexander abe, 2001. Perencanaan daerah memperkuat prakarsa rakyat
dalam otonomi daerah, lapera pustaka utama. Yogyakarta.
Andi mustari pide, 1999. Otonomi daerah dan kepala daerah memasuki
abad XXI, gaya media pratama, Yogyakarta.
Agussalim andi gadjom, 2007. Pemerintyahan daerah: kajian hokum dan
politik, ghalia Indonesia, Jakarta.
Aos kuswandi, 2000. Pelaksaan fungsi legislative dan dinamika politik
DPRD, laboratorium ilmu pemerintahan FISIP UNISMA, Jkarta.
Bagir manan, 2001. Menyongsong fajar otonomi daerah, PSH UII
Yogyakarta, Yogyakarta.
BN marbun, 1983. DPRD pertumbuhan masalah dan masa depannya,
ghalia Indonesia, Jakarta.
CST. Kansil, 1991. Pokok-pokok pemerintahan didaerah, rimaka cipta,
Jakarta.
Darama kusuma, 2002. Merubah perilaku birokrasi pada organisasi
pemerintahan daerah, orasi ilmiah dalam rangka dies natalis XII
sekolah tinggi pemerintahan dalam negeri, jatinangor,
bandung.
E. koswara, 2001. Otonomi daerah untuk demokrasi dan kemandirian
rakyat, PT. Sembrani aksara nusantara, Jakarta.
Ermaya suradianata, 1998. Manajemen pemerinathan dan otonomi daerah,
CV. Ramadan, Bandung.
Hanif nurcholis, 2007. Teori dan praktik pemerintahan dan otonomi daerah,
gramedia widiasarana Indonesia, Jakarta.
HAW Widjaja, 2004. Otonomi daerah dan daerah otonom, raja garafindo
persada, Jakarta.
Hardijanto, 2000. Pemberdayaan aparatur Negara menuju good
governance, makalah disampaikan pada TOT pengadaan
barang/jasa menuju good governance.
Hanif nurcholis, 2007. Teori dan praktek pemerintahan dan otonomi daerah
(cetakan ketiga), grasindo, Jakarta.
Inu kencana syafie, 1999. Ilmu administrative public, rineka cipta,
bandung.
J kaloh, 2003 kepala daerah: pola kegiatan, kekuasaan dan perilaku kepala
dalam pelaksanaan otonomi daerah, gramedia pustaka utama,
Jakarta.
Josef riwu kaho, 1991. Prospek otonomi daerah diengara republic
Indonesia, raja wali citra, Jakarta.
Josef riwu kaho, 2005. Prospek otonomi daerah dinegara republic
Indonesia, rajawali citra, Jakarta.
J salusu, 1996. Pengambilan keputusan startejik untuk organisasi public
dan organisasi nonprofit, PT. Gramedia, Jakarta.
Khrisna D darumurti dan umbu rauta, 2000. Otonomi daerah
perkembangan pemikiran pelakasanaan, PT. citra aditya bhakti,
bandung.
Laode ami jaya kamiludin, 2007. politk local dan otonomi daerah, penerbit
aji, kendari.
Muh. Ryas rasyid, 1999. Birokrasi pemerinathan public orde baru, yasrif
watampone, Jakarta.
Normann, 1991. Pengawasan pemerinathan daerah, lasbang mediatama,
malang.
Rizali Abdullah, 2000. Pe;akasanaan otonomi daerah luas dan isu
federalism sebagai suatu alternative, rajawali pers, Jakarta.
SH sarundajang, 2000. Arus balik kekuasaan pusat kedaerah, sinar
harapan, Jakarta.
Sayuti unan, 2004. Pergeseran kekuasaan pemerinatahan daerah menurut
konstitusi Indonesia (kajian tenatng distribusi kekuasaan antara
DPRD dan kepala daerah pasca kembali berlakunya UUD 1945)
UII Yogyakarta prss, Yogyakarta.
Syukani HR, 2000. Menatap harapan masa depan otonomi daerah, gerbang
dayaku, Kalimantan timur.
Team lapera, 2001. Otonomi versi Negara, lapera pustaka utama,
Yogyakarta.
Van kepmen, 1976. Sejarah pemerinatahan daerah di Indonesia, penerbit
pradya paramita, Jakarta.

Peraturan perundang-undangan
Undang-undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
Peraturan pemerintah nomor 84 tahun 2000 tentang pedman organisasi
perangkat daerah
Keputusan MENPAN nomor 81 tahun 1993 tentang pelayanan public

You might also like