You are on page 1of 177

ISSN 1411-2620

MAJALAH ILMIAH ILMU-ILMU HUMANIORA


MENTARI

DAFTAR ISI

Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi Pertanian Terpadu


di Aceh, 111-119
Ishak Hasan

Analisis Kualitas Vegetasi Sepanjang Pantai Banda Aceh


Pascatsunami, 120-136
Djufri

Teori dalam Penelitian Sosial, 137-148


T.M. Jamil

Keberadaan Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas di


Desa Terutung Pedi Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh
Tenggara, 149-160
Ahadin

Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah, 161-185


Nyak Arif Fadhillah

Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Berbasis Budaya


Aceh pada Siswa Kelas II SD 54 Banda Aceh, 186-194
Usman

Efektivitas Pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis


Masalah pada Materi Persamaan Garis Lurus Kelas VIII SMP
Negeri 2 Banda Aceh, 195-208
Syahjuzar

Pembelajaran Konsep Geometri dengan Model Advance


Organizer di SMP Negeri 3 Banda Aceh, 209-219
Suhartati
Kompetensi Profesional Guru Matematika SMP Se-Kota
Banda Aceh yang sudah Lulus Sertifikasi dan yang belum
Lulus Sertifikasi, 220-240
Budiman

Ability Prediction of Earnings and Current Operational Cash


Flow to Future Operational Cash Flow, 241-256
H. Aliamin dan Jen Surya

The Functions of Fund Raising in The Development of


Strategic Planning Process, 257-274
Sayed Mahdi

Tahapan Belajar Motorik dan Implikasinya dalam


Pembelajaran Pendidikan Jasmani, 275-288
Razali
Hasan,
Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

PROSPEK PEMBANGUNAN KAWASAN


KOPERASI PERTANIAN TERPADU DI ACEH
(Integrasi Semangat Kooperatif dalam Meningkatkan Kemandirian
Produksi dan Ekspor Komoditas Pertanian)

oleh
Ishak Hasan
Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
email: is_abdya@yahoo.com

ABSTRACT

Secara nasional subsektor pertanian masih berjalan terpisah satu sama


lain, termasuk juga dengan sektor-sektor lainnya. Kondisi ini juga
terjadi di Provinsi Aceh, padahal sektor ini memiliki potensi yang cukup
besar apabila dikelola secara terintegratif dan bersifat kooperatif.
Sektor pertanian yang terdiri dari subsektor pertanian tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, dan perikanan jika disatukan mulai dari
kegiatan di hulu sampai ke hilir dalam wadah koperasi akan memiliki
kekuatan yang besar dalam memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat. Gagasan ini menjadi sangat penting di masa depan,
mengingat persaingan global semakin ketat yang berakibat buruk pada
kemampuan sektor pertanian berkompetisi dengan negara lain. Apabila
semua subsektor pertanian ini berjalan secara terpadu maka nilai
tambah menjadi meningkat. Di sisi lain ketidakmampuan sektor
pertanian berorientasi ekspor juga menjadi masalah yang penting
dalam menghadapi persaingan. Hal ini sangat penting karena sebagian
besar rakyat kita bergantung hidup pada sektor ini. Koperasi memegang
peranan penting dalam menyatukan kekuatan yang tercerai-berai
tersebut sehingga memiliki bargaining positon yang kuat dalam
menghadapi persaingan. Kawasan terpusat tersebut dapat direncanakan
dalam bentuk pilot proyek sedemikian rupa agar sub sektor dimaksud
terkait satu sama lain. Apabila gagasan ini dapat diwujudkan secara
nyata di lapangan maka diperkirakan pendapatan masyarakat dapat
meningkat dan dengan demikian kantong-kantong kemiskinan di Aceh
dapat dientaskan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Kata kunci: koperasi pertanian terpadu, temanidirian sektor pertanian.

111
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119

PENDAHULUAN
Pada awal tahun 2004 sebelum gempa dan tsunami menerjang
Aceh, saya dan beberapa teman di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
bersama-sama dengan jajaran Dinas Koperasi dan PKM Provinsi NAD
saat itu telah bersepakat untuk merancang sebuah program dalam rangka
pemberdayaan ekonomi masyarakat di wilayah Aceh. Program ini di
samping diharapkan berdampak positif pada ekonomi Aceh juga
diharapkan dapat berdampak positif bagi pembangunan ekonomi
nasional. Program dimaksud diberi nama dengan “Pilot Proyek
Pembangunan Koperasi Pertanian Terpusat (Farm Co-operative
Center)” di Aceh. Program ini direncanakan berlangsung dalam jangka
waktu 3 hingga 5 tahun. Dalam rangka mewujudkan program tersebut
tim dari Universitas Syiah Kuala telah mencoba menyusun beberapa
tahapan mulai dari desain program dan kegiatan sampai kepada
monitoring dan evaluasi. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) saat itu melalui Dinas Koperasi dan PKM
bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh dan didukung oleh Menteri Koordinator bidang Ekonomi Republik
Indonesia saat itu Dorodjatun Kuntjorojakti serta Panitia Anggaran
DPRD NAD hampir positif untuk dilaksanakan. Namun gagasan
pemikiran tersebut menjadi terhenti akibat bencana gempa dan tsunami
yang sangat dahsyat melanda Aceh.
Sungguhpun gagasan ini dianggap sudah agak terlambat, karena
ada beberapa negara seperti di kawasan Afrka, Asia Selatan dan
beberapa tempat lainnya di dunia, telah mempraktikkan model
pembangunan kawasan terpadu ini dalam bentuk “kawasan koperasi
pertanian terpusat”, (Cobia, 1989) dan ternyata telah berhasil
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hendaknya patut direvitalisasi
kembali dalam kegiatan aksi nyata di lapangan. Sejatinya, pilot proyek
ini diperkirakan menelan biaya yang relatif besar untuk tahap awal yang
bersumber dari uang rakyat. Menurut rencana anggaran bersumber dari
APBA, APBK, APBN, Investor (swasta), dan bantuan luar negeri
(negara donor) yang merupakan “paket rekonstruksi/recovery ekonomi
Provinsi NAD saat itu, baik dalam bentuk dana bergulir, hibah ataupun
kredit lunak.
Berdasarkan pokok-pokok pikiran yang dipaparkan oleh Dinas
Koperasi dan PKM ketika itu kepada Lembaga Penelitian Universitas
Syiah Kuala, ada beberapa sasaran yang ingin dicapai oleh pilot proyek
ini. Setidak-tidaknya ada empat sasaran yang ingin dicapai, yaitu; (1)
Mampu mendayagunakan lahan tidur produktif/potensial dengan

112
Hasan,
Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

menggunakan teknologi tepat guna dan akan memberikan nilai tambah


yang tinggi bagi pekebun, petani, peternak dan nelayan, (2) Mampu
menampung dan memanfaatkan tenaga kerja yang mempunyai skill
(tenaga terdidik) dan nonskill (pekebun, petani, peternak dan nelayan)
secara terintegrasi yang akan membuka lapangan kerja tetap dalam
kawan tersebut (secara permanen), (3) Terwujudnya pekebun, petani,
peternak, dan nelayan terampil, professional, dan mandiri dalam
wadah/lembaga ekonomi mereka (koperasi), serta mampu melaksanakan
hak dan kewajibannya dalam organisasi, termasuk dalam hal
mengembalikan kredit, dan (4) Meningkatkankan pendapatan dan
kesejahteraan pekebun, petani, peternak, nelayan anggota koperasi, dan
masyarakat sekitarnya (adanya multiplier effect). Dengan demikian
dalam kondisi persaingan global yang semakin terasa denyutnya
diharapkan mereka dapat bersaing dengan segenap potensi yang ada.
Sebab dalam persaingan global semua pihak dituntut dapat eksis dengan
keahlian dan kemampuannya sendiri dengan melihat potensi pasar yang
ada (Kenichi Ohmae, 2005).

PEMBAHASAN

Peranan Koperasi dalam Memperkuat Posisi Tawar Sektor


Pertanian
Di berbagai negara koperasi memegang peranan yang teramat
penting dalam memberdayakan ekonomi rakyat yang terkena imbas dari
persaingan pasar, termasuk peranannya dalam memajukan sektor
pertanian. Pemasaran hasil-hasil produksi seringkali merupakan
hambatan yang dapat mematikan usaha seorang produsen. “Apalagi bagi
produsen kecil yang tidak terorganisir. Mereka sangat tergantung pada
pedagang perantara” (M. Umar Burhan & Munawar Ismail, 1988).
Selain itu “hasil pertanian yang sering melimpah (over produksi)
menjadikan tingkat harga di pasaran sangat rendah, terutama disebabkan
kurang kuatnya persatuan para petani” (Ima Suwandi, 1986).
Ketergantungan para produsen kecil ini dapat dikurangi atau
dihilangkan dengan cara menghimpun mereka ke dalam Koperasi
pemasaran. Fungsi-fungsi seperti; pengumpulan (pooling), pergudangan
(storage), pengolahan (manufacturing), dan fungsi lainnya yang sangat
diperlukan bagi kelangsungan hidup usaha dapat diatasi secara bersama-
sama. Dengan demikian bargaining position mereka menjadi lebih kuat.
Hal ini sesuai dengan tujuan-tujuan dasar terbentuknya Koperasi
Pemasaran yaitu untuk mengatasi berbagai masalah dalam kegiatan

113
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119

pemasaran, antara lain seperti yang dikemukakan oleh I.G. Raka (1986):
(1) Sistem pemasaran yang tidak lancar dan terdapatnya praktek-praktek
yang merugikan dari pedagang-pedagang (monopoli pedagang,
tengkulak-tengkulak, dan lain-lain), (2) Diperlukan fasilitas-fasilitas
pengolahan, pada umumnya dalam bentuk pabrik untuk memungkinkan
penjualan langsung kepada konsumen, misalnya susu yang bermutu
tinggi, daging yang sudah siap untuk dimakann dan sebagainya. (3)
Keadaan pasar setempat tidak memuaskan, (4) Dibutuhkan barang-
barang konsumsi yang bermutu.
Selanjutnya Umar Burhan & Munawar Ismail (1988),
mengemukakan bahwa pelayanan Koperasi pemasaran terhadap
anggotanya dapat meliputi; (1) Menampung hasil produksi anggota dan
secara kolektif menjualnya ke pedagang besar, eksportir, maupun pabrik
pengolahan. Dengan cara kolektif, syarat-syarat penjualan menjadi lebih
menguntungkan, karena kekuatan tawar-menawar (bargaining power)
menjadi lebih berimbang antara pembeli atau pedagang dan Koperasi.
Syarat-syarat penjualan tersebut meliputi; harga, jangka waktu
pembayaran, pengangkutan, dan syarat-syarat kontrak pembelian. (2)
Memperpendek saluran pemasaran. Umumnya hasil-hasil produksi
produsen kecil ini melalui mata rantai yang sangat panjang. Sehingga
margin pemasaran cukup besar diterima oleh pedagang, sedangkan
produsen kecil menerima tingkat harga yang sangat rendah. Karena
biasanya semakin besar margin yang diterima oleh pedagang, semakin
kuat tekanan terhadap harga di tingkat produsen kecil, (3) Memperluas
daerah pemasaran hasil produksi, (4) Penyediaan berbagai fasilitas yang
diperlukan, seperti; pengangkutan, pabrik pengolahan, pergudangan dan
lain-lain yang diperlukan. Umumnya lokasi para produsen tidak terpusat
pada satu tempat, melainkan terpencar-pencar pada lokasi yang cukup
luas. Dengan demikian, alat angkut yang efisien akan sangat membantu
para produsen. Biaya angkut-nya menjadi lebih rendah bila dikoordinir
oleh Koperasi, jika dibandingkan dengan angkutan pribadi atau
angkutan umum. Hal ini disebabkan “utilization rate” atau daya guna
kendaraan yang dikelola Koperasi lebih tinggi dari daya guna kendaraan
pribadi.
Banyak bidang usaha dalam masyarakat membutuhkan
pemasaran secara kooperatif. Terutama bidang usaha yang bersifat
agraris. Hasil produksi pertanian, termasuk hasil-hasil peternakan dan
perikanan mempunyai ciri khusus yang mempunyai implikasi penting
dalam pemasarannya. Hal ini disebabkan karena ciri-ciri produksi
pertanian pada umumnya: “(1) diproduksi musiman, (2) selalu segar

114
Hasan,
Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

(freshable), (3) mudah rusak (perishable), (4) jumlahnya banyak tetapi


nilainya relatif sedikit (bulky), dan (5) lokal dan spesifik” (Soekartawi
(1995).
Lebih lanjut Soekartawi menambahkan, dalam pemasaran
komoditas pertanian seringkali dijumpai adanya rantai pemasaran yang
terlalu panjang. Akibatnya terlalu besar keuntungan pemasaran
(marketing margin) yang diambil oleh pelaku pemasaran. Ada beberapa
sebab mengapa terjadi rantai pemasaran hasil pertanian yang panjang
yang menyebabkan produsen (petani) sering dirugikan, antara lain
sebagai berikut: (1) pasar tidak bekerja secara sempurna, (2) lemahnya
informasi pasar, (3) lemahnya produsen (petani) memanfaatkan peluang
pasar, (4) lemahnya posisi produsen (petani) melakukan penawaran dan
mendapatkan harga yang baik, dan (5) produsen (petani) melakukan
usaha tani tidak didasarkan pada permintaan pasar.

Peran Strategis Kawasan Koperasi Pertanian Terpusat


Sebagai bagian dari rencana rekonstruksi dan recovery ekonomi
di Provinsi Aceh, pilot proyek ini dipandang sebagai rencana
pembangunan yang strategis. Hal ini mengingat pembukaan suatu
kawasan yang sifatnya terintegrasi dari semua sektor memiliki sinergi
yang kuat untuk pemberdayaan ekonomi. Manfaat tersebut bukan saja
diperoleh karena berkembangnya suatu kawasan, tetapi munculnya
multiplier effect dari aktivitas yang ada di dalam kawasan itu. Misalnya
terbukanya lapangan kerja baru yang dapat mengurangi jumlah
pengangguran yang semakin hari semakin bertambah, terutama
pengangguran kelas intelektual (berpendidikan). Pengangguran
kelompok ini lebih berbahaya ketimbang penganggur yang tidak
berpendidikan (Hans H. Munkner, 1997 ; Indra Ismawan, 2001).
Relokasi tenaga terdidik yang belum memperoleh pekerjaan tetap ke
kawasan koperasi pertanian terpusat ini dapat mengurangi beban yang
ditanggung oleh masyarakat. Apalagi Aceh baru memasuki tahap baru
yaitu era damai setelah tercabik-cabik oleh konflik bersenjata dan
masifnya terjangan Tsunami. Kondisi tersebut masih menyisakan
banyak persoalan, di antaranya banyaknya kantong kemiskinan yang
tersebar di berbagai wilayah Aceh. Tentu pemikiran ini sangat tepat
apabila dapat dikaitkan dengan gagasan pembangunan koperasi
pertanian terpusat.
Harapan lain adalah munculnya budaya agro-industri dan agro-
bisnis dengan didukung oleh organisasi koperasi milik bersama
diperkirakan semakin kuat dalam mendorong terwujudnya kemakmuran

115
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119

masyarakat adalah sisi strategis lain yang dapat dipetik dari manfaat
koperasi pertanian terpusat ini. Budaya agro-industri dan agro-bisnis ini
sangat perlu ditumbuh-kembangkan, karena masyarakat kita masih
miskin semangat kewirausahaannya. Oleh karena itu dengan adanya
kawasan koperasi pertanian terpusat ini warga masyarakat dapat
mendidik dirinya sendiri untuk menjadi masyarakat yang mandiri yang
kaya jiwa wirausahanya. Dalam kaitan ini J.A. Schumpeter (Yuyun
Wirasasmita, 2000), seorang ahli kewirausahaan berkebangsaan Jerman
penggagas jiwa wirausaha yang terkenal sangat menaruh harapan
terciptanya wirausahawan yang banyak dalam suatu bangsa. Schumpeter
meyakini bahwa “apabila suatu bangsa ingin meraih kemajuan dalam
berbagai bidang, maka bangsa itu mutlak perlu melahirkan manusia
wirausaha yang banyak”. Demikian juga dalam agama Islam yang
mengandung doktrin paripurna, seperti doktrin tentang umatan wahidan
(SDM nomor wahid), umatan wasatan (SDM penentu), umatan khairun
atau thoyyiban (SDM terunggul) (Suparma Sumahamijaya, 2003). SDM
yang berkualifikasi semacam ini tidak akan terwujud, tanpa melalui
proses pendidikan, pembinaan dan pelatihan yang terus-menerus dalam
berbagai bentuknya.
Salah satu contoh pembangunan kawasan terpadu dengan fokus
satu komidi dalam rangka menumbuhkan jiwa wirausaha, agro-industri
dan agro-bisnis sebenarnya telah dipraktekkan juga di Indonesia, khusus
untuk kawasan agro-bisnis peternakan seperti yang pernah saya teliti
dalam bentuk Disertasi di Provinsi Jawa Barat. Misalnya kawasan
peternakan Pangalengan Bandung Selatan yang digerakkan oleh
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) dan Koperasi Peternakan
Bandung Utara (KPSBU) Lembang yang saat ini memiliki jumlah
anggota yang relatif besar 5.000 dan 15.000 orang. KPBS dan KPSBU
telah memiliki sendiri sarana pendukung sebagai sebuah kawasan agro-
industri dan agro-bisnis persusuan terkemuka di Indonesia. Mulai dari
pemilikan pabrik makanan ternak, unit pengolahan susu (milk
treatment), armada angkutan susu, kantor koperasi yang sangat
representatif, jumlah sapi milik anggota yang mencapai ± 18 ribu ekor,
lembaga keuangan mikro berupa BPR, unit usaha agro-wisata, hotel
milik koperasi, beberapa buah klinik kesehatan untuk anggota, unit
usaha waserda (swalayan koperasi), unit usaha saprodi, dokter hewan
mandiri, semuanya milik bersama anggota. Demikian juga dengan
kawasan peternakan di Lembang milik Koperasi Peternakan dan Sapi
Perah Bandung Utara (KPSBU), juga memiliki sarana yang sama.
Contoh-contoh kawasan ini dapat dijadikan sebagai salah satu model

116
Hasan,
Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

pembinaan untuk bidang peternakan di dalam kawasan koperasi


pertanian terpusat ini.

Strategi Implementasi
Dalam mewujudkan pelaksanaan gagasan tersebut maka
diperlukan strategi dan tahapan yang dilakukan. Strategi yang ditempuh
meliputi: (1) Perlu melakukan investigasi secara tepat di lapangan
tentang kebutuhan ril masyarakat, (2) Melakukan koordinasi dengan
berbagai elemen masyarakat tentang lokasi dan berbagai karakter sosial
budaya yang ada di masyarakat, (3) Merencanakan secara matang
kebutuhan pendanaan di lapangan, (4) Dukungan yang kuat dari
berbagai pihak terutama lembaga pemerintah, swasta dan lembaga-
lembaga sosial lainnya.
Dalam rangka mewujudkan strategi tersebut perlu dilakukan
tahapan yang sesuai dengan skala prioritas. Setidak-tidaknya ada enam
tahapan pembangunan Pilot Proyek Koperasi Pertanian Terpusat di
Aceh. Tahap pertama didahului oleh survei tentang kelayakan
pembangunan kawasan tersebut berdasarkan lokasi dan komoditi yang
akan dikembangkan (locus dan focus). Tahap kedua mengadakan
koordinasi dengan pemerintah Kabupaten/Kota, Camat, pemuka adat,
tokoh masyarakat, dan sosialisasi pada sasaran binaan (pekebun, petani,
peternak, dan nelayan), persiapan lahan, sarana dan prasarana, pelatihan
SDM dan memulai kegiatan awal. Tahap ketiga merupakan tahap
pelaksanaan kegiatan proyek secara penuh, Tahap kelima evaluasi dan
monitoring untuk diadakan penyesuaian (review) di lapangan, dan
Tahap keenam merupakan tahap pengembangan lanjutan serta
pengembalian pinjaman.

PENUTUP
Apabila gagasan ini dapat diwujudkan di Aceh maka sangat
tepat apabila kita dapat berangkat dari ungkapan bahwa pengalaman
adalah guru yang paling baik. Hal ini mengingat banyak proyek yang
selama ini di Aceh yang menggunakan uang rakyat kurang menuai hasil
yang memuaskan. Ungkapan ini tidak terlalu berlebihan apabila dalam
konteks ini dijadikan landasan pemikiran untuk kegiatan yang
mengatasnamakan pembangunan untuk kepentingan rakyat. Sebab sudah
terlalu panjang daftar penggunaan uang rakyat tapi sering menyimpang
dari kepentingan rakyat. Banyak sudah proyek-proyek pembangunan
yang sebelumnya dicita-citakan untuk menyejahterakan rakyat tetapi
menguap di tengah jalan tidak tentu rimbanya. Contoh kasus sudah

117
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119

banyak sebagai pedoman, yang semula bertujuan mulia untuk perbaikan


ekonomi rakyat tetapi dalam perjalanannya tidak mencapai sasaran yang
dicita-citakan. Alangkah baiknya apabila dari awal kita saling
mengingatkan agar setiap kegiatan yang dilakukan dapat memiliki
gunalaksana yang tinggi bagi upaya memperbaiki kehidupan rakyat.
Berdasarkan itu maka, gagasan yang dianggap tepat dan sesuai
dengan kondisi ekonomi rakyat di Aceh saat ini yang sangat
memerlukan pembinaan dan pembenahan secara mendasar dan terus
menerus, baik strukturnya maupun infrastrukturnya pantas untuk
dicermati oleh semua pihak. Mari kita berpikir secara jernih dan
melangkah dengan niat yang tulus dan tindakan kita yang cerdas untuk
kepentingan rakyat dan bangsa kita yang memang sudah lama
bergelimang dengan krisis ke krisis. Mari kita bebaskan sebagian rakyat
kita yang masih diselimuti oleh tirai-tirai kemiskinan yang semakin
tebal, sementara sebagian kita ada yang hidup dalam keadaan
kemewahan. Sekali lagi kalaupun krisis ekonomi telah menghimpit kita,
tetapi janganlah kita dihinggapi pula oleh krisis moral. Semoga gagasan
ini mendapat apresiasi yang layak dari pengambil kebijakan dan sebagai
upaya kita bersama dalam memperbaiki ekonomi rakyat hendaknya
mendapat prioritas utama.

DAFTAR PUSTAKA

Cobia, David W. 1989. Cooperative In Agriculture, Prentice Hall, New


Jersey.

Hans H. Munkner (1997). Masa Depan Koperasi, Dekopin, Jakarta.

Indra Ismawan (2001). Sukses Di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi


dan Perusahaan Kecil Menengah, Grasindo, Jakarta.

I.G. Raka (1986). Dasar-Dasar Koperasi, Departemen Koperasi,


Jakarta.
Ima Suwandi (1986). Koperasi: Organisasi Ekonomi yang Berwatak
Sosial, Bhratara, Jakarta.

Ishak Hasan (2004). Gagasan Kawasan Terpusat di NAD, Opini Harian


Serambi Indonesia edisi Kamis 14 Juli 2004.

118
Hasan,
Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

Ohmae, Kenichi (2005). The Next Global Stage: Tantangan dan


Peluang Di Dunia yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan.
PT. Indeks-Gramedia, Jakarta.

Soekartawi (1990). Teori Ekonomi Produksi, Rajawali Pers, Jakarta.

Suparman Sumahamjaya (2003). Pendidikan Karakter Mandiri dan


Kewirausahaan, Angkasa, Bandung.

Umar Burhan & Munawar Ismail (1988). Koperasi Produksi, Karunika,


Jakarta.

Yuyun Wirasasmita (2000). Kewirausahaan di Perguruan Tinggi,


Makalah UNPAD, Bandung.

119
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

ANALISIS KUALITAS VEGETASI SEPANJANG PANTAI


BANDA ACEH PASCATSUNAMI
(THE VEGETATION QUALITY ANALISYS IN BANDA ACEH BEACH
AFTER TSUNAMI)

oleh
Djufri
Dosen FKIP Unsyiah, Banda Aceh

ABSTRACT

The objectivees of this research were; to acquered of vegetation in


Banda Aceh beach after tsunami, and else the research to find
expression about of camposition, association, species diversity index
(H’), similarity index (IS), and species distribution pattern. The stap of
research were; observation and segmentation of study area. The size of
study area is 420 ha, and sampel area is 10% of population. The station
of sampling is (a). Ujung Batee Beach (UBB), (b). Lhoknga Beach (LB),
and Ule Lee Beach (ULB). For each of sampling location a given ten of
sampling quadrat with five replicatiion until of total sample is 50
quadrat. The observated variable is total species, absolute diversity,
absolute frequency, and absolute dominance. The calculated of
infortance value used formula is DR + FR + DMR., and calculated of
species diversity index with Shannon-Wiener formula. The category of
species diversity index is; if H’<1 very low category, H’>1-2 low
category, H’>2-3 median category, and H’>3-4 high category. The
result of this research; (a). The vegetation physiognomy in Ule Lee
Beach was fundamental changed after tsunami, (b). The vegetation
physiognomy in Ujung Batee Beach no significans changed after
tsunami, (c). The planting of mangrove species in Ujung Batee Beach
not yet optimal results, (d). Dominance of tree in Ujung Batee Beach
and Loknga Beach is Casuarina equisetifolia, and Cocos nucifera, and
dominance of underbrush is Calatropis gigantea, (5). For the moment
effort necessary of serious reclamation in Banda Aceh Beach after
tsunami specific.

Key words: kualitas vegetasi, spesies

120
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

PENDAHULUAN
Pantai Banda Aceh merupakan salah satu kawasan terparah
dilanda tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Akibat tsunami
tersebut membuat keadaan pantai berubah, sehingga banyak sekali
tumbuhan yang mati dan hanya beberapa jenis pohon yang masih bisa
bertahan hidup pada kondisi tersebut. Keadaan yang demikian
mempengaruhi vegetasi yang ada di sepanjang pantai Banda Aceh.
Perubahan yang dimaksud baik dalam hal komposisi, jumlah, maupun
keanekagaman jenisnya. Penelitian tentang Analisis kualitas vegetasi di
kawasan sepanjang pantai Banda Aceh sangat penting dilakukan
mengingat belum ada penelitian tentang perubahan vegetasi di sepanjang
pantai Banda Aceh Pasca tsunami Desember 2004.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini
diharapkan memberikan informasi yang mendasar tentang perubahan
kualitas vegetasi di sepajang pantai Banda Aceh pasca tsunami yang
dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan kawasan pantai ditinjau dari
aspek vegetasi. Selanjutnya data tersebut dapat digunakan sebagai
informasi awal untuk melakukan langkah-langkah yang kongkrit untuk
melakukan upaya reboisasi di kawasan sepanjang pantai Banda Aceh,
sehingga fungsi pantai dapat dipertahankan sebagaimana mestinya.
Mengingat begitu besarnya dampak tsunami terhadap vegetasi di
sepanjang pantai Banda Aceh maka dipandang perlu dilakukan riset
yang serius dan mendalam untuk memperoleh informasi tentang kualitas
vegetasi khususnya di daerah yang terkena tsunami baik ditinjau dari
aspek komposisi vegetasi penyusun pantai maupun dari aspek kualitas
vegetasi (Nilai Penting dan Indeks Keanekaragaman Spesies,).
Pengungkapan data dasar tersebut berfungsi sebagai indikator tentang
kualitas vegetasi di sepanjang pantai Banda Aceh yang bermanfaat bagi
pengembangan ilmu dasar (basic science) yang berperan sebagai fondasi
atau pilar utama pengembangan ilmu terapan (applied science) bagi
pihak-pihak yang membutuhkannya seperti Dinas Kehutanan dan
BKSDA Provinsi Aceh.
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang
komposisi vegetasi di kawasan sepanjang pantai Banda Aceh pasca
tsunami, sekaligus dilakukan analisis tentang kualitas vegetasi yang
berfungsi untuk mempertahankan daerah sekitar, terutama pasca tsunami
2004. Selain itu penelitian ini diharapkan mengungkapkan tentang
perubahan vegetasi sepanjang pantai Banda Aceh pasca tsunami.
Penelitian ini mengungkapkan informasi dasar tentang kualitas
vegetasi disepanjang pantai Banda Aceh mencakup komposisi, indeks

121
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

keanekaragaman spesies (H’), sehingga dapat digunakan sebagai dasar


dalam rangka pengelolaan fungsi ekosistem pantai terutama pasca
tsunami.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berlangsung mulai Juli 2009 sampai Nopemebr
2009. Pengambilan sampel dilakukan di Pantai Ulee Lee (PUL) dan
Pantai Ujung Batee (PUB). Bahan dan alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah spesies tumbuhan yang ditemukan di lokasi
penelitian, alkhol 70%, kertas label, etiket gantung, herbarium press,
kaleng penyimpan herbarium, dan buku identifikasi tumbuhan.
Sebelum dilakukan pengambilan sampel, terlebih dahulu
dilakukan observasi dan pembuatan stasiun pengamatan (segmentasi).
Luas seluruh kawasan mencapai 42 ha, dari luas keseluruhan tersebut
diambil sampel 10%, penetapan ini berdasarkan pertimbangan bahwa
masing-masing stasiun pengamatan adalah homogen. Dengan demikian,
unit sampel penelitian ini adalah 4,2 ha. Dari 4,2 ha dibedakan atas 2
stasiun pengamatan berdasarkan karakter pantai yaitu (a). Pantai Ujung
Bate selanjutnya disebut PUB, dan Pantai Ule Lee selanjutnya disebut
PUL. Penelitian ini menggunakan metode kuadrat, pada unit sampel
yang luasnya 4,2 ha ditetapkan sebanyak 10 stasiun pengamatan dengan
luas setiap stasiun 0,42 ha. Selanjutnya pada setiap stasiun pengamatan
dicuplik sampel sebanyak 5 kuadrat sampel dengan demikian diperoleh
kuadrat sampel (ulangan) sebanyak 50 kuadrat. Penentuan jumlah
kuadrat dengan teknik seri tiga (Syafei, 1994), dan penentuan luas
kuadrat sampel berdasarkan teknik kurva minimum area (Barbour et al.,
1987; Setiadi, 2001). Pelaksanan teknik sampling disajikan pada
Gambar 1.
Variabel yang diamati mencakup jumlah spesies, nilai Kerapatan
Mutlak (KM), Frekuensi Mutlak (FM), dan Dominansi Mutlak (DM).
Pengenalan spesies di lapangan mengacu pada buku Backer &
Bakhuizen (1963, 1965, 1968); Steenis (1978); dan Soerjani, dkk.
(1987).
Untuk menghitung Nilai Penting (NP) setiap spesies digunakan
rumus menurut Cox (2001); Shukla & Chandell (1982) sebagai berikut :
NP = Frekuensi Relatif (FR) + Kerapatan Relatif (KR) + Dominansi
Relatif (DR). Hasil perhitungan nilai penting selanjutnya digunakan
sebagai nilai untuk mengetahui besarnya Indeks Keanekaragaman
Spesies (H’) pada suatu komunitas dengan menggunakan rumus
berikut: (Barbour et al., 1987; Krebs, 2000).

122
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

s
H' = −∑ ( pi ) (ln pi )
i =1

dimana :
pi = ni/N
ni = Jumlah nilai penting satu spesies
N = Jumlah nilai penting seluruh spesies
ln = Logaritme natural (bilangan alami)

5m
B 10 m
A C

2m

20 m

20 100 m

Gambar 1. Desain jalur pengamatan vegetasi dengan kombinasi metode


transek dan kuadrat
Keterangan Gambar
 Jalur A (lebar 2 m) dengan petak-petak 2 m x 2 m (herba)
 Jalur B (lebar 5 m) dengan petak-petak 5 m x 5 m (perdu)
 Jalur C (lebar 10 m) dengan petak-petak 10 m x 10 m
(pohon)

Agar nilai Indeks Keanekaragaman Spesies (H’) Shanon-


Wieneer dapat ditafsirkan maknanya maka digunakan kriteria sebagai
berikut : Nilai H’ biasanya berkisar dari 0-7. Jika H’ = < 1 kategori
sangat rendah, Jika H’ = > 1-2 kategori rendah, Jika H’ = > 2-3 kategori
sedang (medium), Jika H’ = > 3-4 kategori tinggi, dan jika H’ = > 4
kategori sangat tinggi (Barbour et al., 1987; Djufri, 2006).

123
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Pantai Ule Lee pasca tsunami kondisi sangat parah,
sebab sebagian besar spesies yang dulu hadir di pantai tersebut saat ini
sudah hilang. Kondisi pantai ini pasca tsunami mengalami perubahan
bentang alam yang sangat berbeda dengan kondisi sebelum tsunami.
Sebelum tsunami, pantai ini menjadi salah satu pantai yang
diminati warga masyarakat untuk berkreasi, karena disamping pantainya
yang menarik dan terbentang luas, di tempat ini juga dijumpai beberapa
spesies pantai berupa pohon, perdu, dan herba khususnya dijadikan
sebagai tempat berteduh. Beberapa spesies yang dijumpai di tempat
tersebut sebelum tsunami antara lain; waru laut (Hibiscus rosasinensis),
kelapa (Cocos nucifera), cemara (Casuarina equisetifolia), kedondong
laut (Polycias fruticosa), dan petai cina (Leucaena leucocepala) dari
kelompok pohon, dan nyawon (Eupatorium odoratum), pandan laut
(Pandanus tectorius), biduri (Calotropis gigantea), bulu babi (Theprosia
candida), dan beluntas (Plucea indica) dari kelompok perdu, dan tapak
kuda (Ipomoea prescaprae), rumput laut (Spinifex littoralis), jarong
lelaki (Stachytarpeta indica), teki (Cyperus rotundus), sida gori (Sida
rhombifolia), belulang (Eleusine indica), kacangan (Desmodium
triflorum), dan meniran (Phyllantus debilis). Spesies tersebut di atas
pernah diteliti oleh Djufri dalam penelitian sebelumnya pada saat belum
terjadi bencana tsunami.
Namun saat ini spesies yang disebutkan di atas sudah tidak
ditemukan lagi, akibat peristiwa tsunami yang menyebabkan luas
daratan di pantai ini jauh berkurang dari sebelumnya. Selain itu di
kawasan pantai Ule Lee saat ini telah dibangun satu dermaga besar
sebagai tempat bersandarnya beberapa kapal barang dan kapal
penumpang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan transportasi
laut, seperti masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Pulo Aceh,
Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Simeuleu, Kabupaten Sinabang, dan
Kota Madya Sabang. Akibat perubahan fungsi pantai tersebut maka
secara otomatis fisiognomi pantai Ulee Lheue mengalami perubahan
baik bentang alamnya maupun fungsinya. Kondisi umum pelabuhan
yang ada di pantai Ujung Batee disajikan pada Gambar 2.
Sejalan dengan program Rehabilitasi wilayah pantai pasca
tsunami di Provinsi Aceh, maka sebagian besar kawasan pantai Ule Lee
telah dilakukan penanaman spesies bakau (Rhizopora mucronata).
Penanaman tersebut dimaksudkan sebagai barier penahan abrasi pantai
ke daerah pemukiman dan juga berguna sebagai wilayah tanggul hijau
(belt green) sebagai upaya untuk memulihkan kembali kondisi pantai

124
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

Ule Lee, meskipun spesies yang ditanaman bersifat tegakan murni yang
hanya terdiri dari satu spesies. Kondisi keberhasilan penanaman spesies
bakau pada kawasan ini disajikan pada Gambar 3.
Berdasarakan data pada Gambar 2 di atas dapat dikemukakan
bahwa tingkat keberhasilan penanaman bakau pada kawasan pantai Ule
Lee ini belum menunjukkan tingkat keberhasilan yang memuaskan,
karena sudah hampir 5 tahun kondisinya belum menggembirakan, baik
ditinjau dari laju pertumbuhannya, maupun luas penutupan wilayahnya
(covered). Hal ini kemungkinan disebabkan karena lemahnya
pemiliharaan terhadap tanaman bakau tersebut atau bisa juga disebabkan
karena salah dalam memilih spesies yang cocok hidup di tempat
tersebut.
Bila dikaitkan dengan kehadiran vegetasi di pantai yang
peranannya sangat penting, maka perlu dilakukan upaya yang serius
untuk melakukan rehabilitasii pantai Ujung Batee melalui penanaman
beberapa spesies yang cocok secara kontiniu dengan pengawasan dan
pemantauan yang kontiniu pula, baik oleh Dinas Konservasi Sumber
Daya (KSDA) maupun oleh Dinas Kehutanan, sehingga secara perlahan
kondisi pantai Ujung Batee dapat membaik terutama dikaitkan dengan
komponen vegetasi, sebagai salah satu komponen penting suatu pantai,
teruma ditinjau dari fungsi ekologis.

Gambar 2 Keadaan pelabuhan di pantai Ule Lee

Kondisi Pantai Ujung Batee (PUB)


Pantai Ujung Batee tidak mengalami perubahan yang berarti
akibat bencana tsunami, karena pada kawasan ini sebagian besar tidak
terkena tsunami. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa
spesies yang hadir saat ini relatif sama dengan spesies yang dijumpai

125
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

pada saat belum terjadi tsunami. Oleh karenanya, sampai saat ini pantai
Ujung Batee masih diminati oleh masyarakat dan pada hari libur selalu
ramai dikunjungi oleh masyarakat luas. Berhubung karena kondisi
vegetasinya tidak banyak mengalami perubahan pasca tsunami, maka
secara ekologi fungsinya masih berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi
pantai Ujung Batee secara umum dapat dibedakan atas beberapa tegakan
pohon yang dominan yaitu :
 Tegakan kelapa (Cocos nucifera) yang dijumpai pada lapisan paling
belakang dari tepi laut menuju badan jalan. Spesies ini memang
merupakan spesies yang lazim dijumpai di pantai. Penutupan
tegakan kelapa mencapai 50% dari luas kawasan pantai Ujung Batee
yang diteliti, yaitu sekitar 10 Ha. Fisiognomi tegakan kelapa di
wilayah studi disajikan pada Gambar 4.3. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kelapa yang tumbuh di
pantai ini sudah berusia tua, sehingga produksi buahnya sudah
sangat sedikit, dan tidak jarang kita melihat pohon kelapa yang tidak
menghasilkan buah lagi. Kepadatan rata-rata tegakan kelapa
mencapai 6-7 pohon per 10 m2. Berhubung karena kepadatan pohon
kelapa relatif rendah persatuan luas tertentu, hal tersebut
memungkinkan beberapa spesies herba dapat hidup di bawah pohon
tersebut, terutama jenis rumput-rumputan (Poaceae). Hal ini
tentunya menguntungkan karena kawasan tersebut dapat digunakan
sebagai area pengembalaan (grazing) untuk hewan ternak milik
masyarakat di sekitar pantai tersebut.

Gambar 3. Fisiognomi pantai Ujung Batee yang ditumbuhi tegakan


bakau

126
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

 Tegakan nimba (Azadiracta indica) yang dijumpai pada lapisan


kedua dari tepi laut setelah formasi tegakan cemara. Spesies ini
memang merupakan spesies yang lazim dijumpai di pantai.
Penutupan tegakan nimba mencapai 15% dari luas kawasan pantai
Ujung Batee yang diteliti. Fisiognomi tegakan nimba di wilayah
studi disajikan pada Gambar 5. Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa sebagian besar nimba yang tumbuh di pantai ini
sudah berusia tua, hal ini ditunjukkan dengan ukuran diameter
batang rata-rata mencapai 0,75 cm. Kepadatan rata-rata tegakan
nimba mencapai 4-5 pohon per 10 m2. Berhubung karena kepadatan
pohon nimba relatif rendah persatuan luas tertentu, hal tersebut
memungkinkan beberapa spesies herba dapat hidup di bawah pohon
tersebut, terutama jenis rumput-rumputan (Poaceae). Hal ini
tentunya menguntungkan karena kawasan tersebut dapat digunakan
sebagai area pengembalaan (grazing) untuk hewan ternak milik
masyarakat di sekitar pantai tersebut.

Gambar 4. Tegakan kelapa (Cocos nucifera) di pantai Ujung Batee

 Tegakan cemara (Casuarina equisetifolia) yang dijumpai pada


lapisan pertama dari tepi laut. Spesies ini memang merupakan
spesies yang lazim dijumpai di pantai. Penutupan tegakan cemara
mencapai 30% dari luas kawasan pantai Ujung Batee yang diteliti.
Fisiognomi tegakan cemara di wilayah studi disajikan pada Gambar
6. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian
besar cemara yang tumbuh di pantai ini sudah berusia tua, hal ini
ditunjukkan dengan ukuran diameter batang rata-rata mencapai 0,75
cm. Kepadatan rata-rata tegakan nimba mencapai 10-12 pohon per
10 m2. Di bawah tegakan cemara tidak dijumpai adanya spesies
herba yang hidup, hal ini kemungkinan disebabkan oleh salinitas
yang cukup tinggi mengingat sangat dekat dengan laut, atau
disebabkan karena adanya alelopati yang diproduksi pohon cemara

127
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

yang menyebabkan spesies lain tidak dapat hidup di tempat tersebut.


Kemungkinan lain juga disebabkan karena tingginya kepadatan
pohon cemara persatuan luas tertentu menyebabkan intensitas
cahaya yang tembus ke lantai hutan menjadi terbatas, hal tersebut
tentunya menjadi faktor penghambat utama bagi spesies lain untuk
hadir di tempat tersebut.

Gambar 5. Tegakan nimba (Azadirachta indica) di pantai Ujung Batee

Gambar 6. Tegakan cemara (Casuarina equisetifolia) di pantai Ujung


Batee

 Tegakan biduri (Calotropis gigantea) yang dijumpai pada lapisan


setelah formasi nimba, bahkan sebagian besar berasosiasi dengan
tegakan nimba. Spesies ini memang merupakan spesies yang lazim
dijumpai di pantai. Penutupan tegakan biduri mencapai 10% dari
luas kawasan pantai Ujung Batee yang diteliti. Fisiognomi tegakan
biduri di wilayah studi disajikan pada Gambar 7. Hasil pengamatan
di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar biduri yang tumbuh
di pantai ini sudah mencapai fase klimaks, hal ini ditunjukkan

128
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

dengan luasnya penyebaran di seluruh plot pengamatan. Spesies ini


berasosiasi positif dengan tegakan kelapa dan cemara, serta terhadap
spesies yang lainnya. Secara ekologi spesies ini merupakan spesies
indikator kawasan pantai, karena mempunyai kemampuan adaptasi
yang baik terhadap kadar garam yang tinggi, serta kondisi yang
kering dan terdedah oleh sinar mataharari. Kepadatan spesies ini
mencapai 4-6 individu per 5 m2.

Gambar 7. Tegakan biduri (Calotropis gigantea) di pantai Ujung Batee

Komposisi Spesies Penyusun Pantai Ujung Batee (PUB)


Strata Pohon

Hasil pendataan pohon di pantai ujung batee dan nilai kuantitatif


setiap spesies disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Penting dan Indkes Keanekaragaman Spesies Pohon di
Pantai Ujung Batee

NAMA NP
NO. SPESIES FAMILIA H’
DAERAH (%)
1. Casuarina cemara laut Casuarinaceae 140 -
equisetifolia 0.35567
2. Cocos nucifera kelapa Arecaceae 60 -
0.32189
3. Azadirachta nimba Meliaceae 45 -
indica 0.28457
4. Hibiscus waru laut Malvaceae 30 -
tilaceus 0.23026
5. Terminalia ketapang Combretaceae 10 -
catappa 0.11337

129
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

6. Syzigium jamblang Mirtaceae 15 -


commune 0.14979
JUMLAH 300 -
1.45554

Berdasarkan data pata Tabel 1. dapat dikemukakan bahwa


spesies pohon yang mendominasi kawasan Pantai Ujung Batee (PUB)
berdasarkan Nilai Penting (NP) adalah Casuarina equsetifolia (NP =
140 %), dan Cocos nucifera (NP = 60 %), sedangkan spesies lainnya
memiliki nilai penting relatif rendah. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa secara ekologi kedua spesies tersebut di atas
menguasai kawasan pantai tersebut dan menentukan klimaks vegetasi
strata pohon dimasa yang akan datang. Jika tidak terjadi sesuatu yang
dapat merubah bentang alam pada kawasan tersebut, maka dapat
dipastikan bahwa kecenderungan klimaks vegetasi strata pohon di pantai
ujung batee adalah Casuarina-Arecaceae, sehingga pantai ini dapat
diberi nama asosiasi tegakan pohon Casuarina-Arecaceae..
Bila ditinjau dari aspek nilai Indeks Keanekaragaman (H’), dapat
dikemukakan bahwa nilai yang dihasilkan pada Tabel 1. tergolong
dalam kategori rendah (1,45554). Hal tersebut bermakna bahwa
keanekaragaman spesies pohon di kawasan pantai ujung batee tergolong
rendah. Secara ekologi bila keanekaragaman spesies rendah pada suatu
kawasan, maka tingkat kestabilan komunitas di tempat tersebut kurang
baik, sehingga tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara optimal,
baik ditinjau dari aspek habitat bagi satwa maupun fungsi tegakan di
pantai sebagai penahan abrasi pantai dimasa yang akan datang. Oleh
karenanya, perlu dilakukan upaya pengelolaan keanekaragaman vegetasi
pantai untuk strata pohon melalui program reboisasi, terutama pada
kawasan yang terkena dampak tsunami.

Strata Perdu
Hasil pendataan strata perdu di pantai ujung batee dan nilai
kuantitatif setiap spesies disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Penting dan Indkes Keanekaragaman Spesies Perdu di
Pantai Ujung Batee

NAMA NP
NO. SPESIES FAMILIA H’
DAERAH (%)
1. Calotropis biduri Asclepiadaceae 126 -
gigantea 0.36435

130
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

2. Eupatorium nyawon Asteraceae 34 -


odoratum 0.24677
3. Plucea indica beluntas Asteraceae 45 -
0.28457
4. Vernonia selasih Asteraceae 24 -
cinerea 0.20206
5. Vitex trifolia viteks Verbenaceae 15 -
0.14979
6. Gautheria anting- Lyrtaceae 19 -
punctata anting 0.17476
7. Jatropa curcas jarak pagar Euphorbiaceae 10 -
0.11337
8. Theprosia bulu babi Fabaceae 7 -
candida 0.08768
9. Lantana Temblek Verbenaceae 20 -
camara ayam 0.18054
JUMLAH 300 -
1.80389

Berdasarkan data pata Tabel 2. dapat dikemukakan bahwa


spesies perdu yang mendominasi kawasan Pantai Ujung Batee (PUB)
berdasarkan Nilai Penting (NP) adalah Calotropis gigantea (NP = 126
%), dan Plucea indica (NP = 45 %), sedangkan spesies lainnya memiliki
nilai penting relatif rendah. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa
secara ekologi kedua spesies tersebut di atas menguasai kawasan pantai
tersebut dan menentukan klimaks vegetasi strata perdu dimasa yang
akan datang. Jika tidak terjadi sesuatu yang dapat merubah bentang alam
pada kawasan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kecenderungan
klimaks vegetasi strata perdu di pantai Ujung Batee adalah Calotropis-
Asteraceae, sehingga pantai ini dapat diberi nama asosiasi tegakan perdu
Calotropis-Asteraceae..
Bila ditinjau dari aspek nilai Indeks Keanekaragaman (H’), dapat
dikemukakan bahwa nilai yang dihasilkan pada Tabel 2. tergolong
dalam kategori rendah (1,80389). Hal tersebut bermakna bahwa
keanekaragaman spesies perdu di kawasan panati Ujung Batee tergolong
rendah. Secara ekologi bila keanekaragaman spesies rendah pada suatu
kawasan, maka tingkat kestabilan komunitas di tempat tersebut kurang
baik, sehingga tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara optimal,
baik ditinjau dari aspek habitat bagi satwa maupun fungsi tegakan di
pantai sebagai penahan abrasi pantai dimasa yang akan datang. Oleh

131
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

karenanya, perlu dilakukan upaya pengelolaan keanekaragaman vegetasi


pantai untuk strata perdu melalui program reboisasi, terutama pada
kawasan yang terkena dampak tsunami.

Strata Herba
Hasil pendataan strata herba di pantai ujung batee dan nilai
kuantitatif setiap spesies disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Penting dan Indkes Keanekaragaman Spesies Herba di
Pantai Ujung Batee

NAMA NP
NO. SPESIES FAMILIA H’
DAERAH (%)
1. Ipomoea tapak kuda Convolvulaceae 67.53 -
prescapre 0.33567
2. Chloris rumput Poaceae 44.12 -
barbata angin 0.28191
3. Sporobulus cakar ayam Poaceae 12.87 -
diander 0.13509
4. Eragrostis empritan Poaceae 13.43 -
amabilis 0.13906
5. Fimbristilis rumput Poaceae 15.01 -
spathaceae sabit 0.14985
6. Panicum jajagoan Poaceae 3.12 -
repens 0.04749
7. Mimosa putri malu Mimosaceae 7.03 -
pudica 0.08796
8. Tridax cagak Asteraceae 12.12 -
procumbens langit 0.12964
9. Eleusine belulang Poaceae 22.14 -
indica 0.19235
10. Desmodium kacangan Fabaceae 10.55 -
triflorum 0.11773
11. Cyperus teki Cyperaceae 18.03 -
pygmaeus payung 0.16899
12. Leucas paci Lamiaceae 5.02 -
lavandufolia 0.06845
13. Stachytarpeta jarong Lamiaceae 6.12 -
indica lelaki 0.07940
14. Sida pulutan Malvaceae 8.05 -
rhombifolia 0.09709

132
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

15. Borreria laevis kopian Rubiaceae 16.02 -


0.15646
16. Brachiaria bayapan Poaceae 9.11 -
reptans 0.10611
17. Achyrantes jarong Amaranthaceae 2.23 -
aspera 0.03644
18. Euphorbia patikan Poaceae 8.12 -
hirta kebo 0.09770
19. Imperata alang- Poaceae 9.03 -
cylindrica alang 0.10545
20. Abotilon kapasan Malvaceae 7.18 -
indicum 0.08933
21. Turnera alata kuningan Malvaceae 2.02 -
0.03367
22. Urena lobata pulutan Malvaceae 1.15 -
0.02133
JUMLAH 300 -
2.67714

Berdasarkan data pata Tabel 3. dapat dikemukakan bahwa


spesies herba yang mendominasi kawasan Pantai Ujung Batee (PUB)
berdasarkan Nilai Penting (NP) adalah Ipomoea prescapre (NP = 67,53
%), dan Chloris barbata (NP = 44,12 %), sedangkan spesies lainnya
memiliki nilai penting relatif rendah. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa secara ekologi kedua spesies tersebut di atas
menguasai kawasan pantai tersebut dan menentukan klimaks vegetasi
strata herba dimasa yang akan datang. Jika tidak terjadi sesuatu yang
dapat merubah bentang alam pada kawasan tersebut, maka dapat
dipastikan bahwa kecenderungan klimaks vegetasi strata herba di pantai
Ujung Batee adalah Ipomoea-Poaceae, sehingga pantai ini dapat diberi
nama asosiasi strata herba Ipomoea-Poaceae..
Bila ditinjau dari aspek nilai Indeks Keanekaragaman (H’), dapat
dikemukakan bahwa nilai yang dihasilkan pada Tabel 3. tergolong
dalam kategori sedang (2,67714). Hal tersebut bermakna bahwa
keanekaragaman spesies herba di kawasan panati Ujung Batee tergolong
sedang (baik). Secara ekologi bila keanekaragaman spesies tergolong
kategori sedang pada suatu kawasan, maka tingkat kestabilan komunitas
di tempat tersebut relatif baik, oleh karenanya perlu dipertahanakan,
baik bagi kepentingan habitat satwa maupun fungsi spesies tersebut di
pantai sebagai penahan abrasi pantai dimasa yang akan datang. Namun

133
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

kelompok herba tidak terlalu baik untuk menahan abrasi pantai, namun
kelompok ini berfungsi baik untuk menahan pasir, sehingga tidak mudah
diterbangkan angin, sehingga pergerakan pasir menuju daratan dapat
dicegah.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa (a). Fisiognomi vegetasi pantai Ule Lee telah
mengalamii perubahan mendasar pasca tsunami, (b). Fisiognomi
vegetasi di pantai Ujung Batee secara umum tidak mengalami perubahan
yang berarti pasca tsunami, (c). Upaya penanaman mangrove di wilayah
pantai Ulee Lee dan Ujung Batee belum memberikan hasil yang optimal,
(d). Berdasarkan nilai penting spesies maka kawasan pantai Ujung Batee
untuk strata pohon didominasi oleh Casuarina equisetifolia, dan Cocos
nucifera , strata perdu didominasi oleh Calotropis gigantea, dan Plucea
indica, dan strata herba didominasi oleh Ipomoea prescaprae dan
Chloris barbata, dan (e). Mengacu pada nilai indeks keanekaragaman
baik untuk strata pohon, perdu, dan herba, maka kawasan pantai Ujung
Batee perlu dilakukan upaya pengelolaan keanekaragaman melalui
program reboisasi, terutama kawasan yang terkena dampak tsunami
yang serius.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Setyo Leksono. 2007. Ekologi (Pendekatan Deskriptif dan


Kuantitatif). Bayumedia Publishing. Malang.
Anwar, C. 1991. Pertumbuhan Anakan Shorea Pada media Beberapa
Tingkat Usia Tegakan Acasia Mangium Wilid. Buletin
Penelitian Hutan, no. 554. Pusat Penelitian Hutan dan
Pengembangan Hutan

Barbour , G.M., J.K. Burk and W.D. Pitts. Terrestrial Plant Ecology.
New York. : The Benyamin/Cummings Publishing Company.

Cox, G.W. (2002). Laboratory Manual of General Ecology. USA :


WM.C. Brown Company Publisher.

Djufri. 2002. Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi, dan Interaksi Spesies


Tumbuhan Khususnya Padang Rumput di Taman Nasional

134
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

Baluran, Jawa Timur. Biodiversitas. Journal of Biological


Diversity. 3 (1): 181-188.

______. 2006. Analisis Vegetasi di Savana Tanpa Tegakan Akasia


(Acacia nilotica) di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Jurnal
Forum Pasca. 29 (14): 261-275.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung: ITB.

Heddy, S.K. Metty. 1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. Jakarta: PT


Grafindo Pesada.

Gold-Smith. (1986). Discription and Analysis of Vegetation. Dalam


Methods in Plant Ecology. (eds. Chapman, S.B. & P.D. Moore).
Blacwell Scientific Publication, Oxford, London.

Greig-P. Smith. 1983. Quantitative Plant Ecology. Third Edition.


University Press. Iowa, USA.

Krebs, C.J. 2002. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution


and Abudance. Second Edition. Harper & Row, publisher. New
York Hagerstown San Francisco, London.

Ludwig, J.A. and Reynolds, J.F. (1988). Statistical Ecology. United


States of America.

Melati Ferianita Fachrul. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi


Aksara. Jakarta.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan


Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Mueller-Dombois, D & H.H. Ellenberg. (1974). Aims and Methods of


Vegetation Ecol N.A.S. 1980. Firewood crops. Scrub and tree
species for energy production. National Academy of Sciences.
Washington, DC.

Reynolds, J.A. and Carter, J.O. 1990. Woody Weeds in Central Western
Queensland in : Proceedings 6 th Biennial Conference,

135
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

Australian Rangelands Society. Carnarvon, Western Australia.


Pp. 304-306.

Samingan, T. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Sastroutomo, S,S. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama.

Suarni, T. 1995. Keragaman Tumbuhan di Pantai dalam wilayah Kota


Madya Banda Aceh Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Skripsi.
Banda Aceh: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Syiah Kuala.

Steenis. C G. G. J. 1992. Flora untuk Sekolah di Indonesia.


Diterjemahlan oleh Moesa Surjowinoto. Bandung: Pradya
Paramita.

Shukla, R.S. & P.S. Chandel. (1982). Plant Ecology. New Delhi : S.
Chand & Company, Ltd. Ram Nagar.

Steel, R.C.D. and J.M. Torrie. 1980. Principles and Procedures of


Statistic; A Biometric Approach. Mc-Graw-Hill, Tokyo.

Syafei, E.S. (1994). Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB, Bandung.

Tisdell, Clem. (1999). Biodiversity, Conservation and Sustainable


Development. Principles and Practices With Asian Examples.
Edward Elgar Cheltenham, U.K. Northampton, MA, USA.

Tjitrosoepomo, G. 1981. Taksonomi Umum (Dasar-Dasar Taksonomi


Tumbuhan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wahab, H. 2002. Ekologi Tumbuhan. Diktat Kuliah. Banda Aceh:


Universitas Syiah Kuala.

Wirakusuma, S. 2003. Pengetahuan Ilmu-Ilmu Lingkungan. Jakarta:


Universitas Indonesia Press.

136
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial

TEORI DALAM PENELITIAN SOSIAL

oleh
T. M. Jamil T. A.
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

PENDAHULUAN
Manusia senantiasa berusaha mencari kesempurnaan dan
kebenaran, di dorong oleh hasrat ingin tahunya yang selalu ada dan tidak
pernah padam. Melalui berbagai penelitian, banyak rahasia tersingkap
sudah. Pengetahuan orang semakin luas. Ilmu pengetahuan sebenarnya
merupakan kumpulan pengalaman dan pengetahuan sejumlah orang
yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur dan
kebenarannya sudah teruji. Maka ilmu pengetahuan mempunyai nilai
umum yang dapat dipergunakan menghadapi persoalan hidup sehari-
hari. Namun, banyak masalah belum juga terpecahkan; disamping itu
muncul masalah-masalah baru. Oleh karena itu, penelitian/ penyelidikan
lahir dari masalah kehidupan manusia sendiri yang memerlukan
pemecahan. Meskipun tidak ada cara yang sama sekali dapat
dipergunakan untuk menghilangkan ketidaktentuan (uncertainty),
namun unsur-unsur ketidak tentuan karena kurangnya informasi itu
dapat diperkecil dengan mempergunakan metode ilmiah. Metode ini
akan mengurangi bahaya berbuat salah atas pilihan dari bermacam-
macam tindakan. Riset sebenarnya merupakan penerapan atau aplikasi
dari metode ilmiah. Dengan kata lain riset sinonim dengan metode
ilmiah.
Sifat ilmiah atau tidak ilmiah erat hubungannya dengan metode
penyimpulan. Suatu tulisan disebut ilmiah bila pokok pikiran yang
dikemukakannya disimpulkan melalui suatu prosedur yang sistematis
dengan mempergunakan pembuktian-pembuktian yang cukup
meyakinkan. Bukti yang cukup meyakinkan ini biasanya merupakan
fakta-fakta yang didapat secara objektif dan berhasil lolos dari berbagai
proses pengujian. Kadar ilmiah dari suatu penelitian dapat bervariasi
bergantung pada pengalaman dan keterampilan penelitian serta besarnya
dana yang tersedia dan waktu penelitian.

137
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

PEMBAHASAN

Pengertian Teori
Seorang ahli ilmu pengetahuan tidak hanya bertujuan
menemukan fakta atau kenyataan. Ia ingin mencari dalil, yaitu
generalisasi atau kesimpulan yang berlaku umum. Dan dengan dalil ini
ahli tersebut dapat meramalkan rangkaian peristiwa berikutnya.
Sekumpulan data baru mempunyai arti dan guna kalau tersusun
dalam satu sistem pemikiran yang disebut teori.1
Teori adalah prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta;
mungkin juga berupa dugaan yang menerangkan sesuatu seperti teori
atom, teori gravitasi, teori evolusi, dan sebagainya. Jadi teori merupakan
suatu sudut pandangan. apakah teori itu spekulasi? Sebelum dibuktikan
kebenarannya, teori memang dianggap sebagai spekulasi. Tetapi ia akan
menjadi fakta setelah pembuktian dilakukan. Bagi seorang peneliti, teori
menjadi alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Betapa teori ini
sangat penting, untuk menuntun peneliti dan ilmuwan dalam upaya
mengembangkan wawasan keilmuan, agar tak mengalami stagnasi. Oleh
karena itu (1) teori bukan spekulasi (2) teori dan fakta saling
berhubungan (3) peneliti sangat berkepentingan dengan keduanya - teori
dan fakta.
Fakta dan teori bersifat saling mendorong. Teori memberi arah
dalam proses ilmiah, sebaliknya fakta memegang peranan dalam
mengembangkan teori. Pertumbuhan ilmu pengetahuan nampak dalam
fakta-fakta baru dan teori baru. Fakta-fakta yang baru dan menyimpang
akan menciptakan teori baru; dan teori yang ada mungkin menjadi tidak
berguna lagi atau harus dirumuskan kembali. Melakukan suatu riset
tanpa interprestasi teoritis atau membuat teori tanpa riset adalah
melupakan pokok teori sebagai alat untuk mencapai suatu pemikiran
yang ekonomi.2
Untuk menemukan sebuah teori yang terbukti kebenarannya,
mula-mula dibuat teori sementara yang dipergunakannya sebagai
pedoman atau petunjuk untuk memecahkan masalah. Peneliti kemudian
mencari data untuk menguji kebenaran teori sementara yang dibuatnya
itu. Teori ini disebut hipotesis, selaku pemecahan sementara terhadap

1
Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972,
hal.53
2
J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas
Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15.

138
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial

masalah yang diteliti. Ia akan menjadi dalil atau teori setelah berulang
kali diperiksa kebenarannya.
Contoh:3
Teori : Manusia yang dibesarkan di dalam suasana yang bebas pada
umumnya lebih berkesempatan untuk berhasil maju dengan usaha
sendiri dari pada yang dididik di dalam suasana penuh tekanan dan
larangan.
Bertitik tolak pada teori ini dibuat hipotesa sebagai berikut :
Anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya tidak membebaskan
keluar rumah untuk mengunjungi berbagai peristiwa, tidak dapat
melakukan tugas luar yang diberikan oleh guru.
Dalam survai "Kesejahteraan Anak dan Pemuda Tahun 1969”,
dikemukakan anggapan dasar (postulate) sebagai titik tolak pemikiran.4
Bahwa anak-anak dan pemuda adalah tenaga yang potensial yang akan
memberikan tenaganya di hari depan untuk pembangunan sosial dan
ekonomi. Oleh karena itu haruslah mereka diberi perlindungan terhadap
penyakit kelaparan kekurangan makanan dan dislokasi-dislokasi sosial
serta disiapkan untuk pekerjaan melalui pendidikan dan latihan. Maka
dari itu tindakan-tindakan yang tepat perlu diambil untuk memenuhi
kebutuhan anak. Dalam hubungan ini para petugas perencanaan yang
menyusun pola pembangunan nasional harus memberi perhatian yang
lebih memadai dalam memenuhi kebutuhan anak-anak dan pemuda.
Hipotesa yang ditarik sejalan dengan anggapan dasar di atas:
Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan penduduk pada
umumnya (termasuk anak dan pemuda) masih sangat rendah.
Kondisi-kondisi sosial-ekonomi-budaya pada umumnya
belum memenuhi syarat-syarat yang memadai untuk
perkembangan anak dan pemuda.
Hipotesa tersebut diperoleh setelah penelitian pendahuluan
bahwa di Indonesia mayoritas penduduk berpenghasilan rendah yang
sebagian besar habis untuk makan, sehingga mereka tidak mampu untuk
menabung dan memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi
dan sebagainya.
Jadi tidak ada perbedaan pokok antara teori dan hipotesa dari
segi pemecahan masalah. Hipotesa sebagai pemecahan sementara dan
menjadi teori setelah terpecahkan. Perbedaan hipotesa, teori dan dalil
terletak pada tingkat generalitas dan kepastiannya. Teori merupakan

3
Dr. Winarno Surachmad op.cit., hal.54
4
Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian
Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.

139
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

anggapan dasar atau postulat yang menjadi sumber hipotesa ; sedangkan


dalil adalah titik tolak yang lebih kuat tingkatannya.

Manfaat Teori dalam Penelitian


Kita melakukan kegiatan penelitian sosial secara ilmiah karena
kita ingin memahami dunia yang kompleks ini, baik demi memuaskan
rasa ingin tahun maupun untuk mengantisipasi peristiwa yang akan
terjadi ataupun untuk mengontrol peristiwa yang terjadi. Karena itu
suatu penelitian ilmiah selalu dimulai dengan suatu yang ingin kita
ketahui. Inilah yang disebut masalah penelitian.
Yang ingin kita ketahui itu dapat dibedakan menjadi dua
tingkatan. Pertama suatu pernyataan yang belum diketahui jawabannya
sama sekali. Misalnya, apakah betul remaja masa kini telah melakukan
hubungan seks sebelum nikah (free sex)? Jawaban pertanyaan ini akan
berupa diskripsi dan kesimpulan data dari satu variable. Yang ingin kita
ketahui ini baru pada tingkatan gejala sosial saja, belum mencari
jawaban atas kehadiran gejala tersebut. Misalnya, 42 % remaja Jawa
Timur telah melakukan free sex (hasil penelitian T.M. Jamil di Jawa
Timur).
Kedua, suatu pertanyaan telah diketahui jawabannya tetapi masih
meragukan kebenarannya. Misalnya, betulkah control sosial yang lemah
merupakan penyebab praktek free sex dikalangan remaja (penjelasan
yang dikemukakan T.M. Jamil di Surabaya Post, 2 November 2007).
Bentuk pertanyaan yang berangkat dari keraguan ini sudah mengandung
kemungkinan penjelasan atas suatu gejala terjadi. Dalam pertanyaan ini
telah terkandung suatu teori yang ingin diuji kebenarannya dalam dunia
nyata.
Apabila free sex dilihat sebagai salah satu bentuk perilaku
menyimpang, maka teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim
tentang “integrasi sosial” mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan
gejala tersebut. “Makin tinggi derajat deferensiasi structural dan
generalisasi nilai tanpa diikuti oleh spesifikasi norma yang sama
derajatnya dalam suatu sistem sosial, maka makin besar pula derajatnya
dalam suatu sistem sosial, maka makin besar pula derajat anomie
sehingga makin tingggi pula tingkat penyimpangan dalam kelompok
tersebut”.5 Yang hendak kita ketahui karena itu, ialah betulkah derajat
integrasi sosial yang rendah akan melahirkan perilaku menyimpang.

5
Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory,
(Homewood, II : The Dorsey Press, 1981).

140
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial

Konkretnya, betulkah intgrasi sosial yang rendah dikalangan remaja


melahirkan perilaku free sex?
Cara yang paling efektif untuk mendapatkan jawaban yang
berguna dan akurat bagi pertanyaan tipe kedua ialah menggunakan
metode penelitian empiric untuk menyelidiki hubungan kedua variable
tersebut (integrasi sosial dan perilaku menyimpang) dalam dunia nyata.
Akan tetapi selain untuk tujuan penelitian, teori juga berguna untuk
tujuan-tujuan ilmiah lainnya. Pertama, teori memberikan pola bagi
intrepretasi data. Kedua, teori menghubungkan satu studi dengan studi
lainnya.6 Ketiga, teori menyajikan kerangka sehingga konsep dan
variable mendapatkan arti penting. Dan keempat, teori memungkinkan
kita mengintepratasi makna yang lebih besar dari temuan yang kita
peroleh dari suatu penelitian.

Teori dan Penjelasan


Apabila konsep merupakan pertanyaan “what” sehingga yang
dilakukan dalam konseptualisasi tiada lain merupakan diskripsi realitas
baik secara denotative (keluasan) maupun secara konotatip (kedalaman),
maka teori merupakan pertanyaan “why” sehingga yang dilakukan
dalam teoritisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala terjadi seperti
itu.
Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan
mengapa suatu gejala terjadi seperti itu. Proposi-proposisi yang
dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang
terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Akan tetapi karena di
dalam teori juga terkandung konsep teoritik, maka sebenarnya selain
berfungsi menjelaskan suatu gejala yang timbul teori juga berfungsi
menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.
Kalau teori diartikan sebagai hubungan kausal, logis dan
sistematik antara dua atau lebih konsep, maka teori tiada lain merupakan
penjelasan suatu gejala konsep atau variable pengaruh menjelaskan
mengapa konsep atau variable terpengaruh terjadi. Karena itu penjelasan
(explanation) dapat dibagi dua unsur, yaitu yang menjelaskan
(explanan) dan yang dijelaskan (explanandum). Yang menjekaskan itu
terdiri atas dua jenis pernyataan : generalisasi/ konsep, dan kondisi
antesendent atau yang menyebabkan generalisasi/ konsep tersebut.
Kedua pernyataan ini akan digunakan untuk menjelaskan eksplanandum.
Mengikuti Durkheim tadi deferensiasi structural dan generalisasi nilai
6
Kenneth R. Hoover, The Elements of Sosial Scientific Thinking, (New York: St.
Martin’s Press, 1980), halaman 39.

141
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

merupakan suatu konsep ( generalisasi atas suatu fenomena yang


kompleks), anomie merupakan kondisi antesedentnya, dan perilaku
menyimpang (free sex) sebagai eksplanandumnya. Penjelasan sendiri
terletak pada deferensiasi structural, generalisasi nilai dan anomie.
Penjelasan atas pertanyaan “mengapa” suatu gejala terjadi harus
dapat menunjukkan bahwa gejala yang hendak dijelaskan itu secara
logis sesuai dengan premisnya atau kemungkinan besar sesuai dengan
premisnya. Dengan kata lain, penjelasan dapat pula dibedakan menjadi
dua model, yaitu model deduktif, dan model induktif-statistika.
Model deduktif ditandai oleh hubungan logic antara premis dan
konklusi, antara eksplanan dan eksplandum. Jika premis benar maka
konklusi juga benar. Dalam model ini, kaharusan tidak terletak pada
premis tetapi pada hubungan antara premis dan konklusi yang dikontrol
oleh premis. Selain itu, suatu penjelasan dapat dikatakan benar-benar
menjelaskan apabila generalisasinya didukung oleh fakta empiric. Jadi
penjelasan ilmiah terhadap suatu kejadian diberikan dengan jalan
menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan salah satu contoh dari
tendensi umum.
Kenyataan bahwa Amerika Serikat menerapkan sistem dua partai
dapat dijelaskan secara deduktif sebagai berikut : 1) semua sistem
politik yang menerapkan sistem tunggal anggota per distrik (single
member district) mempunyai sistem dua partai (generalisasi), 2) sistem
politik Amerika menerapkan sistem tunggal anggota per distrik (kondisi
antesendent). Dalam kenyataan generalisasi itu tidak dengan sendirinya
benar. Karena itu generasi emperik harus diuji dan secara potensial
dapat dibuktikan keliru.
Tidak seperti model penjelasan deduktif, penjelasan induktif
statistika terhadap suatu kejadian individual tidak selalu sesuai dengan
generalisasi kejadian itu. Premis (generalisasi) mungin saja benar, tetapi
konklusi tentang suatu kejadian dapat saja salah. Penjelasan tidak
terletak pada mengapa konduksi benar tetapi mengapa hal itu sangat
mungkin (probable). Kalau data menunjukkan bahwa 80% pegawai
negeri mengidentifikasi diri secara politik kepada GOLKAR, kita tidak
dapat begitu saja menarik kesimpulan bahwa semua pegawai negeri
adalah anggota GOLKAR. Akan tetapi kita dapat menarik kesimpulan
bahwa apabila bertemu dengan seorang pegawai negeri kemungkinan
besar dia adalah anggota GOLKAR.
Dalam literatur metodologi disebutkan berbagai macam
penggolongan atas pola penjelasan. Akan tetapi dari berbagai

142
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial

penggolongan itu, lima pola penjelasan ini selalu disebutkan.7 Dalam


praktek penelitian penjelasan yang ditawarkan tidak hanya satu jenis
saja melainkan kombinasi dari dua atau lebih penjelasan. Pertama,
penjelasan genetic atau historic memberi jawaban atas pertanyaan
“mengapa” dengan merujuk pada serangkaian tahap peristiwa yang telah
terjadi sebelum kemunculan gejala tersebut. Penjelasan yang diberikan
oleh Marx mengenai kemunculan kapitalisme misalnya merupakan
penjelasan historik.
Kedua, penjelasan fungsional memberi jawaban atas pertanyaan
“mengapa” dengan merujuk pada letak dan kegunaan objek yang
ditelaah itu dalam keseluruhan sistem tempat objek itu berada. Mengapa
pemerintah melaksanakan penataran P4 secara menyeluruh? Jawaban
yang diberikan secara fungsional ialah penataran P4 tidak hanya
berfungsi bagi integrasi nasional tetapi juga memberikan legitimasi bagi
pihak yang memerintah.
Ketiga, penjelasan disposisi memberikan jawaban atas
pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada kecenderungan seseorang
untuk bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu pula.
Termasuk kedalam kecenderungan ini ialah sikap, pendapat,
kepercayaan, nilai dan ciri-ciri kepribadian. “Seorang liberal memilih
Partai Demokrat” (liberal menggambarkan disposisi) merupakan contoh
penjelasan disposisi.
Keempat, penjelasan intensional memberikan jawaban atas
pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada maksud atau tujuan
tindakan. “X melakukan tindakan Y karena X ingin mendapatkan/
mencapai T” berdasarkan generalisasi bahwa “seseorang yang
menginginkan T cenderung melakukan Y dalam situasi tertentu”.
Mengapa kalangan masa cenderung mengikuti kegiatan suatu gerakan
politik justru pada tahap akhir suatu gerakan mencapai tujuannya?
Jawaban yang diberikan penjelasan intensional ialah massa mengikuti
gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai
tujuannya karena massa ingin ikut mendapatkan keuntungan dari hasil
gerakan tersebut.

7
Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the
Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981),
halaman 147-165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine
Publishing Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in
Sociology, (New York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan
Ernest Nagel, The Structure of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc.,
1961). Halaman 20-26.

143
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

Kelima, penjelasan rasional memberikan jawaban atas


pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada cara pencapaian tujuan
yang paling efisien. Suatu tindakan dianggap rasional apabila ia
mencapai tujuannya secara paling efesien. Perbedaan penjelasan
intensional dengan rasional terletak pada klaim bahwa tindakan rasional
adalah tindakan yang paling efesien untuk mencapai tujuan. Tindakan
yang intensional tidak mengajukan klaim seperti ini. Penjelasan rasional
atas keterlibatan massa pada tahap akhir gerakan politik itu ialah massa
mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan
mencapai tujuannya karena massa ingin mendapatkan keuntungan dari
hasil gerakan tersebut karena dinilai paling sedikit resikonya. Mengikuti
kegiatan suatu gerakan sejak awal dianggap tidak rasional karena
mengandung banyak resiko.
Selain menjelaskan, teori juga berfungsi untuk memperkirakan
gejala yang bakal terjadi. Kedua fungsi ini berkaitan erat. Artinya,
apabila seseorang ilmuan dapat memberikan penjelasan (generalisasi
dan kondisi antesendent) terhadap suatu gejala (eksplandum) secara
tepat, maka ilmuan dengan sendirinya juga dapat memperkirakan gejala
yang akan terjadi. Kalau penjelasan yang diberikan Vilfredo Pareto
benar, yaitu “makin tinggi derajat sentralisasi kekuasaan, maka paksaan
atau ancaman paksaan makin sering digunakan sebagai alat
pengendalian masyarakat.8 Maka dimana saja dan kapan saja terjadi
sentralisasi kekuasaan yang tinggi akan banyak menggunakan paksaan
atau ancaman paksaan sebagai alat pengendalian masyarakat.

Hal yang Bukan Teori


Sebelum kita membahas bagaimana menggunakan teori, ada
baiknya terlebih dahulu kita menjernihkan penggunaan kata teori yang
tidak tepat. Pertama, perbedaan yang sering dibuat, antara teori dan
praktek; “that is fine in theory, but it won’t work in practice”. Baik
dalam teori tetapi tidak dalam prakteknya. Pandangan ini mencoba
mengatakan bahwa teori itu tidak realistic. Penggunaan kata teori di sini
tidak tepat karena setiap teori yang “baik” mestilah sesuai dengan
kenyataan.
Apabila suatu teori tidak ingin sesuai dengan realitas empiric,
maka teori itu tidak tepat lagi dikatagorikan sebagai teori karena telah
kehilangan objektivitas. Suatu pernyataan dikatakan objektif kalau
pernyataan itu sesuai dengan objeknya (kenyataan). Sebagaimana telah

8
Turner dan Beeghley, The Emergence…, halaman 534.

144
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial

diungkapkan di atas, teori merupakan abstraksi, sistimatisasi, dan


generalisasi atas realitas atau fenomena yang kompleks. Hal ini berarti
setiap ilmuan dituntut untuk mengkaji secara terus menerus teori yang
dimilikinya dengan menghubungkannya dengan realitas yang
membentuk teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah.
Kedua, kata teori digunakan baik untuk menggambarkan yang
seharusnya (what ought to question) maupun untuk menggambarkan
senyatanya (what is question). Pengertian teori yang dimaksudkan dalam
ilmu sosial ialah yang menggambarkan kenyataan empirik.
Sementara itu, teori acapkali digambarkan dalam bentuk
“procedural rule” dan sistem klasifikasi. Durkheim dalam buku “The
Rules of Sociologial Method” mengemukakan bahwa sebab yang
menentukan suatu fakta sosial hendaklah dicari diantara fakta sosial
yang mendahuluinya dan tidak diantara keadaan kesadaran individual.9
Artinya, fungsi suatu fakta sosial harus selalu dicari dalam hubungan
dengan beberapa tujuan sosial. Awal mula semua proses sosial yang
penting seyogyanya dicari di dalam konstitusi internal suatu kelompok
sosial, bukan pada psikologi ataupun pisiologi anggota kelompok
tersebut. Ketika menganjurkan kita untuk mengkaji “konstitusi internal”
suatu kelompok sosial sebagai sumber perilaku sosial, Durkheim
sesungguhnya tidak menyodorkan penjelasan melainkan menyodorkan
aturan prosedural. Tidak seperti teori yang sesungguhnya, aturan
procedural ini tidak dapat diuji kebenarannya dalam dunia empiric.
Namun aturan prosedural dapat dinilai dari segi kemanfaatanya.
Sistem klasifikasi pada dasarnya menggolongkan satu kasus
tertentu pada salah satu dari beberapa klas atau tipe yang disusun
berdasarkan kriteria tertentu. Kalau tempat tinggal di daerah pemukiman
elit dijadikan sebagai salah satu kriteria bagi keanggotaan dalam strata
sosial “upper-upper sosial class” maka seseorang yang termasuk strata
“upper-upper sosial class” tidak mungkin tinggal di pemukiman kumuh.
Fakta ini tidak menggambarkan dunia nyata tetapi menggambarkan
konsekuensi logis dari kriteria yang diadopsi oleh orang menyusun
klasifikasi. Akan tetapi klasifikasi ini berguna untuk menyederhanakan
fenomena sosial yang kompleks.

Strategi Menggunakan Teori


Untuk menjelaskan suatu gejala, kita dapat menggunakan salah
satu dari tiga strategi berikut ini.10 Pertama, strategi kausal yaitu
9
Halaman 110-111
10
Wallace, The Logic…, halaman 101-106.

145
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

mencari sebab-sebab dari suatu gejala. Sistem politik birokratik-otoriter


(gejala) mungkin merupakan produk pembangunan ekonomi kapitalistik
tergantung yang tertunda (independent and delayed capitalistic
economic development) (sebab-sebab gejala); penggunaan kriteria
universal yang semakin meluas dalam rekrutmen berbagai organisasi
politik dan masyarakat dan hubungan-hubungan impersonal yang
semakin berkembang dalam masyarakat, mungkin merupakan akibat
yang ditimbulkan oleh birokrasi rasional.
Kedua, strategi komposisional yaitu mencari komponen-
komponen yang membentuk suatu gejala, seperti organisasi jabatan yang
hirarkis, pengangkatan hanya berdasarkan kualifikasi tehnis saja, dan
setiap jabatan mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri merupakan
komponen-komponen yang membentuk gejala birokrasi rasional. Atau,
mencari konteks yang menjadi “induk” gejala yang diteliti (gejala yang
diteliti merupakan bagian saja dari konteks yang lebih besar), seperti
sistem politik, sistem budaya ataupun sistem ekonomi merupakan
konteks gejala birokrasi tersebut.
Dan akhirnya, strategi klasifikasi yaitu menjelaskan suatu gejala
dengan cara mencari dan menentukan posisi gejala tersebut dalam
skema taksonomi (klasifikasi suatu fenomena kompleks berdasarkan
kriteria tertentu). Hubungan birokrasi dengan politik misalnya, dapat
diklasifikasi menjadi empat kategori berdasarkan prinsip atau nilai yang
mengatur kedua konsep ini : birokrasi patrimonial, Negara birokrasi
(bureaucratic polity), birokrasi otoriter, dan birokrasi politik
(bureaucratic politics). Apabila hendak menjelaskan gejala birokrasi dan
politik di Indonesia dengan strategi ini, maka yang harus dilakukan ialah
menempatkan gejala birokrasi di Indonesia dalam empat kategori itu
termasuk tipe birokrasi manakah gejala birokrasi dan politik tersebut.
Dimensi lain dari teori yang perlu diketahui ialah dimensi
lingkup (scope) dan tingkat abstraksi suatu teori. Lingkup teori dapat
dilihat dari segi substansinya, yaitu fokus gejala yang hendak dijalankan
apakah unsur dari suatu sistem ataukah sistem itu sendiri. Selain itu,
lingkup teori dapat pula dilihat dari segi tempat dan waktu, yaitu kapan
dan dimana gejala yang akan dijelaskan itu terjadi. Gejala yang hendak
dijelaskan itu mungkin hanya klas menengah suatu masyarakat, bukan
sistem politiknya. Klas menengah yang hendak dijelaskan itu hanya
yang terjadi di Eropa Barat pada abad ke sembilan belas, bukan
diseluruh benua Eropa dan tidak pada abad keduapuluh.
Dimensi tingkat abstraksi suatu teori dapat dilihat dari segi
kedekatan konsep-konsep yang terkandung dalam teori dengan observasi

146
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial

aktual. Hipotesis yang sudah siap diuji memiliki derajat abstraksi yang
rendah, sedangkan nalar hubungan kausal antar konsep memiliki derajat
abstraksi yang tinggi. Yang terakhir ini masih berupa general law,
sedangkan yang pertama sudah mengalami proses deduksi. Kedua
dimensi di atas berkaitan erat. Semakin tinggi tingkat abstraksi teori,
semakin luas pula lingkup teori tersebut. Akan tetapi semakin luas
lingkup teori belum tentu semakin tinggi tingkat abstraksinya.11
Perubahan pada tingkat abstraksi akan mempengaruhi luas sempit
lingkup teori. Akan tetapi perubahan luas lingkup teori belum tentu
mempengaruhi tingkat abstraksi.
Karena persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu
sosial, maka yang dianjurkan ialah prinsip parsimony, yaitu daya cakup
teori yang bersyarat berikut sederhana bila dibandingkan dengan teori
lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas
lingkupnya, dan dapat diuji dalam dunia nyata.

PENUTUP

11
Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program
Doktor, Universitas. Airlangga, 2008.

147
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

DATAR PUSTAKA

Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah


Program Doktor, Universitas. Airlangga, 2008.

Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the


Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981),
halaman 147-165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine
Publishing Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in
Sociology, (New York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan
Ernest Nagel, The Structure of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc.,
1961). Halaman 20-26.

Kenneth R. Hoover, The Elements of Sosial Scientific Thinking, (New


York: St. Martin’s Press, 1980), halaman 39.

Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological


Theory, (Homewood, II : The Dorsey Press, 1981).

Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian
Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.

Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972,
hal.53
1
J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas
Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15.

Hasrat Ingin Tahu Manusia dan Pengertian Metode Ilmiah

148
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

KEBERADAAN SERIKAT TOLONG MENOLONG


MASYARAKAT ALAS DI DESA TERUTUNG PEDI
KECAMATAN BABUSSALAM KABUPATEN ACEH
TENGGARA

oleh
Ahadin

ABSTRAK
Serikat Tolong Menolong pada masyarakat alas yang ada di Desa
Terutung Pedi adalah suatu organisasi atau perkumpulan yang memiliki
fungsi untuk membantu sesama anggota dalam hal-hal seperti: pada
upacara atau pesta perkawinan, pesta pemamanen, sunat rasul, dan
pada saat terjadinya orang meninggal dunia atau kemalangan,
organisasi ini dilaksanakan atau di dirikan didasari oleh ikatan atau
adanya hubungan persaudaraan yang memiliki ikatan garis keturunan
yang berasal dari orang tua yaitu bapak dan anak laki-laki. Keberadaan
Serikat Tolong Menolong ini telah ada sejak pada zaman dahulu sampai
dengan saat ini, dan sudah merupakan akar budaya atau tradisi bagi
masyarakat alas pada umumnya dan masyarakat desa terutung pedi
pada khususnya, tradisi ini diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya dan tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat dan terus bertahan hidup, hal ini karena selalu dapat
menyesuaikan diri dengan segala bentuk perubahan dari zaman ke
zaman, dengan segala keadaan yang ada dan perkembangan maupun
perubahan dalam masyarakat, hal ini juga membuktikan bahwa ikatan
persaudaraan dalam masyarakat alas sangatlah baik dan kuat dengan
telah terujinya hubungan perkumpulan yang ada. Organisasi Serikat
Tolong Menolong ini bukan hanya menjadi hal yang dapat membantu
pada anggota dalam setiap event kegiatan dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, organisasi ini akan membuat kehidupan dalam masyarakat
menjadi lebih baik dan semua anggota masyarakat akan merasakan
suatu perlindungan, persaudaraan, kebersamaan dalam tradisi budaya
dan dalam kehidupan bermasyarakat, dengan tetap terjaganya
organisasi yang dimaksud maka dengan demikian tradisi dan adat
istiadat masyarakat alas pun diharapkan tetap terjaga kelangsungannya
dalam masyarakat yang berkembang dengan dinamis dan harmonis.

Kata kunci: Serikat tolong menolong, masyarakat, dan adat budaya.

149
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

PENDAHULUAN
Penelitian ini akan difokuskan tentang keberadaan Serikat
Tolong Menolong pada Masyarakat Alas yang ada pada desa Terutung
Pedi Kecamatan Babussalam di Kabupaten Aceh Tenggara. Yang
dimaksud dengan Serikat Tolong Menolong pada Masyarakat Alas
adalah: suatu organisasi atau perkumpulan yang berfungsi untuk saling
membantu sesama anggota dalam hal seperti: upacara perkawinan, sunat
rasul, dan kemalangan yang terjadi di dalam suatu kelompok masyarakat
yang di dasari oleh hubungan persaudaraan atau adanya pertalian
hubungan darah.
Pengertian Masyarakat dalam bahasa Inggris dipakai istilah
Society yang berasal dari bahasa Latin Socius yang berarti: kawan.
Sedangkan dalam bahasa Arab Syaraka yang memiliki arti: ikut
berpartisipasi. Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
kontiniu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Definisi ini
menyerupai suatu defenisi yang dikemukakan oleh J.L.Gillin dan
J.P.Gillin dalam buku Cultural Society (1954; hal 139), yang menuliskan
masyarakat adalah: ” The largest grouping in which common custom,
tradition, attitudes and feelings of unity are operative”.
Jadi, yang dimaksud dengan masyarakat adalah: sekumpulan
manusia yang saling bergaul, atau saling berinteraksi dalam suatu ikatan
yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat harus
memiliki pola tingkah-laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan
dalam suatu kesatuan, yang bersifat mantap dan kontiu, sudah menjadi
adat istiadat yang khas dan memiliki rasa identitas diantara para
warganya, bahwa mereka memang suatu kesatuan khusus yang berbeda
dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya.
Penelitian tentang tolong menolong dalam masyarakat telah
diteliti oleh (Damanhuri; 1996) di desa blok VI Kecamatan Simpang
Kanan Kabupaten Aceh Selatan dengan nama buwuh, yang
dimaksudkan dengan Buwuh adalah: tradisi saling memberikan bantuan
antara anggota masyarakat. Bantuan itu baik dalam bentuk uang maupun
dalam bentuk barang, yang diberikan oleh tamu kepada tuan rumah
sebagai sumbangan dalam suatu upacara pesta perkawinan, syukuran
atau khitanan. Kata buwuh ini sendiri berasal dari bahasa Jawa secara
bebas dapat diartikan dengan pemberian.
Dalam pengertian ini, buwuh berfungsi sebagai salah satu
sumber biaya untuk suatu pesta. Menurut pendapat (Clifford Geertz;

150
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

1983) bahwa masyarakat Jawa dalam mengadakan suatu upacara pesta


mempunyai beberapa sumber bantuan, yaitu: 1) menggunakan tenaga
sanak famili dan terutama kalau ia kaya dan mempunyai kedudukan
tinggi, juga teman-teman sejawat, 2) membelanjakan tabungan sendiri
atau menjual harta benda, 3) menggunakan uang pinjaman dari teman-
teman atau pemberian kredit dengan bunga, 4) menerima buwuh yakni
pembayaran kontan dari orang-orang yang hadir dalam suatu pesta yang
dilaksanakan.
Penelitian terhadap keberadaan serikat tolong menolong pada
masyarakat di Desa Terutung Pedi Kecamatan Babussalam Kabupaten
Aceh Tenggara ini memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dengan
Buwuh di mana pada buwuh bantuan berupa sumbangan yang bersifat
sukarela dan tidak ditentukan jumlahnya, sedangkan pada serikat tolong
menolong pada masyarakat Alas bantuan yang diberikan telah
ditentukan jumlahnya dan akan berlaku tetap untuk semua anggota
masyarakat.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian etnografi
merupakan suatu penelitian yang mengkaji prilaku manusia dalam
setting alamiah dengan penekanan pada perspektif budaya. Etnografi
adalah penelitian satu langkah di atas naturalistik. Menurut pendapat
(Spradley; 1980) etnografi adalah hasil karya yang menggambarkan
budaya atau aspek-aspek budaya, sebagai pengetahuan yang diperoleh
manusia yang di gunakan untuk menginterpretasikan dan menimbulkan
prilaku.
Perilaku yang dimaksud adalah prilaku subjek yang diteliti yaitu
tokoh masyarakat, dan seluruh masyarakat yang ada di desa Terutung
Pedi. Dalam penelitian kualitatif terdapat lima karakteristik yaitu: 1)
naturalistik adalah dijadikan sebagai sumber data langsung di mana
peneliti sebagai instrumen, bahwa setiap tindakan yang dilakukan ketika
di lakukan observasi, wawancara di mana kejadian itu berlangsung dapat
dipahami dengan baik, 2) bersifat deskriptif adalah disebabkan semua
data yang dikumpulkan cenderung berupa kata-kata atau gambar. Hasil
penelitian yang ditulis berupa kutipan-kutipan data untuk
mengilustrasikan penyajian. Seperti data yang berupa transkrip,
wawancara, catatan lapangan, memo, dan catatan lainnya, 3) penekanan
pada proses adalah seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam

151
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

penelitian kualitatif peneliti lebih menekankan proses dari pada hasil


misalnya bagaimana sikap dan kepedulian setiap anggota masyarakat
jika terjadi suatu kejadian seperti adanya pesta pernikahan dalam desa
mereka, 4) penelitian kualitatif cenderung menganalisis data secara
induktif, di mana jenis penelitian ini tidak untuk membuktikan hipotesis,
dan 5) penelitian kualitatif menghasilkan makna yang merupakan tujuan
utama dari penelitian kualitatif.

Deskripsi Latar
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Terurtung Pedi Kecamatan
Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara, dengan subjek penelitian adalah
Tokoh-tokoh Masyarakat dan seluruh Masyarakat yang ada di Desa
tersebut.
Desa ini merupakan salah satu desa yang subur yang banyak di
tanami tanaman kelapa, karet, cokelat, kopi di samping itu merupakan
lahan persawahan yang dapat dijadikan dua fungsi yaitu: pada waktu
musim tanam padi hampir semua sawah ditanami padi, pada waktu
selesai panen sawah biasanya ditanami dengan ikan mas atau ikan
mujair. Desa ini berbatasan dengan desa satu kecamatan dan desa yang
bukan satu kecamatan tetapi masih dalam satu kabupaten yaitu: sebelah
timur dengan Kampung Raja Kecamatan Babussalam, Sebelah barat
dengan Gunung Lauser, Sebelah Selatan dengan Desa Batumbulan
Kecamatan Babussalam, Sebelah Utara dengan Desa Lawe Bekung
Kecamatan Badar.
Peneliti memilih latar penelitian ini sesuai dengan pendapat
Spradley yang menyatakan ada lima kriteria dalam memilih situasi
sosial, yaitu: 1) simplicity atau kesederhanaan yang maksudnya hanya
ada satu situasi seperti desa terutung pedi kecamatan babussalam yang
berada di kabupaten Aceh Tenggara, 2) accessibility atau kemudahan
dalam hal mengakses atau kemudahan dalam memasuki latar penelitian,
3) unobstrusiveness yang berarti ketidak kentaraan atau tidak ada
halangan dalam pelaksanaan penelitian, 4) permissibleness yang
maksudnya kemudahan dalam mendapatkan izin, 5) frequently recurring
activity yang berarti kejadian tersebut berulang-ulang.

Entry
Sebelum melakukan penelitian di lapangan terlebih dahulu
peneliti meminta surat izin penelitian kepada yang berwenang, yang
ditujukan kepada kepala Desa Terutung Pedi Kecamatan Babussalam
Kabupaten Aceh Tenggara. Untuk memperoleh gambaran umum dan

152
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

mendapatkan hasil penelitian yang baik dan memuaskan serta untuk


kelancaran proses penelitian, peneliti berusaha untuk menciptakan
suasana akrab dengan objek yang diteliti.

Kehadiran Peneliti
Peneliti dalam penelitian ini lebih mengutamakan suasana
keakraban dengan subjek yang penelitian dan dengan seluruh
masyarakat yang ada di lokasi penelitian, hal ini sejalan dengan
pendapat Moleong bahwa peneliti perlu membina hubungan dengan
subjek yang sedang di teliti. Hubungan ini perlu dibina berupa rapport;
yaitu hubungan antara peneliti dan subjek sudah melebur seolah-olah
tidak ada dinding pemisah di antara keduanya. Sehingga dengan
demikian, subjek tersebut dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan
atau informasi yang diperlukan.

TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Untuk mendapatkan informasi dan data yang sesuai tentang


bagaimana keberadaan dari Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas
yang ada di Desa Terutung Pedi, maka dilakukan penelitian lapangan
dengan metode sebagai berikut:
1. Menjajaki dan menilai Lapangan
Tahap ini belum sampai pada titik yang menyingkapkan bagaimana
penelitian masuk kelapangan dalam arti mulai mengumpulkan data
yang sebenarnya, jadi tahap ini barulah merupakan orientasi lapangan,
namun dalam hal-hal tertentu telah menilai lapangan. Penjajakan dan
penilaian lapangan akan terlaksana dengan baik apabila peneliti sudah
membaca terlebih dahulu dari kepustakaan atau mengetahui melalui
orang lain dalam tentang situasi dan kondisi daerah tempat penelitian
yang akan dilakukan. Sebaiknya sebelum menjajaki lapangan, peneliti
sudah memiliki gambaran umum tentang geografi, demografi, sejarah,
tokoh-tokoh, adat istiadat, konteks kebudayaan, dan hal-hal lainnya
tentang tempat penelitian, hal ini tentu akan sangat membantu
pelaksanaan penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti ,
pengenalan dan penjajakan adalah usah untuk mengenal lingkungan
tempat penelitian yang hendak dilaksanakan.

153
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

2. Observasi Langsung
Dengan membuat kunjungan ke lapangan peneliti menciptakan
kesempatan untuk melakukan observasi langsung. Dengan asumsi
bahwa fenomena yang akan diteliti, dan beberapa pelaku atau kondisi
lingkungan sosial yang relevan akan tersedia untuk di observasi.
Observasi mutu lingkungan sosial atau unit organisasi akan menambah
dimensi-dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena
yang akan di teliti. Observasi tersebut bisa begitu berharga sehingga
penelitan akan membantu membuat karakteristik-karakteristik bagi para
pengamat luar (Dabbs; 1982).

3. Wawancara
Metode wawancara atau metode interview, dapat mencakup
cara yang di gunakan kalau seseorang, untuk tujuan tertentu, mencoba
mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seseorang
informan, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.
Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan masyarakat yang ada di desa tempat
penelitian dan cara-cara mereka melaksanakan persatuan tolong
menolong atau tata cara membantu sesama anggota masyarakat
kelompok baik di dalam satu desa ataupun di luar desa, itulah sebabnya
data yang tidak di peroleh dari hasil observasi dapat di peroleh dari
wawancara (Paul; 1953).
Dalam penelitian ini akan dilakukan dua macam wawancara
yaitu: 1) wawancara untuk mendapatkan keterangan dan data dari
individu tertentu untuk keperluan informasi, 2) wawancara untuk
mendapatkan keterangan tentang diri pribadi, pendirian atau pandangan
dari individu yang di wawancara terhadap sejumlah informan pokok,
tidak hanya dipakai dalam hal mengumpulkan data tentang unsur-unsur
kebudayaan tertentu dalam masyarakat kecil, akan tetapi dalam hal
mengumpulkan data unsur-unsur kebudayaan kompleks dalam
masyarakat yang besar (Trembley; 1957).
Pencatatan data wawancara pada penelitian ini dilakukan
dengan dua cara yaitu: 1) pencatatan langsung, 2) pencatatan dari
ingatan. Pencatatan langsung dilakukan pada saat wawancara agar data
dari hasil wawancara yang dilakukan tetap dapat dipelihara keasliannya
dan untuk memudahkan peneliti dalam pencatatan data, dalam penelitian
ini wawancara dilakukan dalam bahasa setempat. Percatatan dari ingatan
memiliki keuntungan bagi peneliti yaitu tidak usah membawa buku
catatan pada waktu melakukan wawancara (Payue; 1949).

154
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN


Serikat Tolong Menolong adalah: suatu organisasi atau
perkumpulan yang ada di Desa Terutung Pedi yang berfungsi untuk
saling membantu sesama anggotanya dalam hal-hal seperti pada upacara
atau pesta perkawinan, sunat rasul, kemalangan atau adanya yang
meninggal dunia, dan pada pesta pemamanen, perkumpulan ini di dasari
pada hubungan persaudaraan dan hubungan keturunan sedarah.
Serikat Tolong Menolong ini sudah ada sejak pada zaman
dahulu sampai pada saat sekarang ini tidak ada yang mengetahui dengan
pasti kapan hal ini mulai dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat
desa. Kebiasaan saling membantu dalam masyarakat alas dalam anggota
keluarga dan pada masyarakat baik di dalam desa ataupun antara desa
yang satu dengan desa yang lainnya telah ada sejak zaman dahulu,
walaupun hal ini akan ada perubahan dari waktu ke waktu dan akan
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya dengan perubahan dan
sesuai dengan kemajuan pada masanya.
Kebiasaan saling membantu sudah merupakan suatu tradisi
budaya bahkan sudah menjadi adat kebiasaan yang telah diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya, hubungan di dalam kelompok
masyarakat atau antara desa yang satu dengan desa yang lainnya, yang
memiliki marga yang sama telah terjalin lama dengan adat kebiasaan
yang telah dijalankan.
Tradisi saling membantu atau tolong menolong telah berakar
pada kehidupan masyarakat alas bahkan pada zaman dahulu hampir
semua pekerjaan di kerjakan dengan gotong ronyong atau saling
membantu, seperti untuk mengerjakan sawah, mulai dari membersihkan
sawah, memanen padi, memotong padi, menginjak padi, pada waktu
masa dahulu cukup diundang dengan cara lisan oleh pemiliknya, semua
muda-mudi yang ada di desa akan datang mengerjakan tanpa adanya
imbalan yang harus diberikan.
Dengan adanya perubahan zaman, dan perkembangan tradisi
kebiasaan dalam masyarakat juga turut berubah, perkembangan
selanjutnya di dalam masyarakat kebiasaan yang saling membantu dari
hampir semua aspek kehidupan berubah menjadi bekerja bergiliran atau
di sebut pelengari, hal ini pun tidak dapat bertahan lama, sesuai dengan
arus perubahan pada saat ini saling membantu dengan tanpa pamrih

155
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

hanya terjadi pada keluarga dekat saja, di mana pelengari pun sudah
sangat jarang dikerjakan.

Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang berlaku di desa Terutung Pedi adalah
berdasarkan pada prinsip silsilah keturunan dari pihak bapak dam
adanya hubungan darah. Dalam masyarakat adat dan budaya bersumber
dari ajaran Agama Islam, mereka tidak boleh kawin dari satu desa yang
memiliki marga yang sama walaupun hal ini dalam ajaran agama islam
diperbolehkan. Sedangkan ada beberapa kepala keluarga yang memiliki
marga yang berbeda hal ini secara adat dan kebiasaan para anak-anak
mereka secara adat dan budaya diperbolehkan saling kawin dengan
penduduk desa.
Mengenai masalah penyelenggaraan upacara-upacara peresmian
perkawinan memiliki serangkaian upacara adat, seorang pria yang mau
kawin dengan seorang gadis pilihannya terlebih dahulu mengirimkan
utusan untuk menanyakan pinangan atau lamaran terhadap sigadis
apakah si gadis tersebut masih belum ada yang punya atau dengan kata
lain masih sendiri.
Ada juga perkawinan di mana dua orang hendak melaksanakan
perkawinan sudah terlebih dahulu berkenalan dan telah berjanji untuk
melangsungkan perkawinan. Bila si gadis belum ada yang punya dan
telah mendapatkan persetujuan dari orang tua atau wali, maka akan
ditetapkan hari untuk melakukan upacara peradatan tentang hal pinangan
di mana dalam sistem adat yang berlaku kalau laki-laki berasal dari desa
maka, petua adat akan pergi ke desa sang gadis untuk tujuan
melaksanakan adat pinangan, yang dalam hal ini akan merundingkan
masalah hal-hal seperti upah anak gadis yang dimaksud, uang adat, mas
kawin, tanggal pelaksanaan pesta dan hal-hal lainnya yang dianggap
perlu.
Sedangkan apabila sang gadis yang dimaksudkan berasal dari
desa yang bersangkutan, maka pihak keluarga sang gadis akan
melaksanakan penerimaan adat pinangan, menerima uang adat, mas
kawin, dan sesegera mungkin akan menetapkan hari pelaksanaan pesta
perkawinan, di mana pesta perkawinan akan dilaksanakan dengan
terlebih dahulu dengan adat meraleng artinya di mana keluarga dari
pihak pengantin pria datang ke pihak pengantin perempuan untuk
menjemput dengan upacara adat, dalam hal ini ada yang meminta
sebelum tamu dipersilakan untuk naik atau masuk ke rumah pengantin
perempuan terlebih dahulu melaksanakan pertandingan persahabatan

156
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

bola kaki atau bolavoli, konon pada zaman dahulu akan juga
dilaksanakan persahabatan peulebat, artinya dilaksanakan perang
tanding satu lawan satu dengan mempergunakan sebilah pedang yang
pada perkembangan selanjutnya pertandingan ini digantikan dengan alat
sebilah bambu, setelah selesai upacara ini baru tamu akan dipersilakan
memasuki rumah pengantin wanita.
Acara pernikahan pada umumnya dilaksanakan pada saat
rombongan pengantin pria telah tiba dan biasanya acara pernikahan
dilaksanakan di dalam rumah pengantin wanita, dalam hal ini ada yang
melaksanakan tamu dan pengantin pria akan bermalam semalam di
rumah pengantin wanita, ada pula yang melaksanakan pada hari itu juga
pengantin wanita langsung di bawa ke rumah pengantin pria.
Setelah acara di rumah pengantin wanita selesai maka acara
berikutnya adalah upacara adat mengantarkan pengantin wanita atau
naruhken pengantin wanita ke rumah pengantin pria selanjutnya akan
dilaksanakan lagi beberapa kali antar antara pengantin wanita dan
pengantin pria setelah satu tahun masa pernikahan maka pada tahun
pertama dari pernikahan pengantin pria dan pengantin wanita akan ada
di rumah pengantin wanita, dalam hal ini bertujuan untuk melaksanakan
kegiatan menyambut satu Syawal, idul fitri, dan juga Idhul Adha, setelah
hal ini dilalui barulah pengantin wanita akan tetap tinggal di rumah
pengantin pria dan segala urusan adat tradisi yang akan dipakai adat
tradisi yang berlaku pada kaum pengantin pria.

Adat dan Upacara Perkawinan dalam Masyarakat Suku Bangsa


Alas
Di dalam hampir semua masyarakat manusia di seluruh dunia,
hidup individu dibagi pada beberapa tingkatan sepanjang hidup,
misalnya: masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pernikahan,
masa tua, dan sebagainya. Pada waktu individu beralih dari satu tingkat
ke tingkatan yang lainnya, pada saat itu biasanya akan diadakan suatu
upacara atau pesta untuk merayakan masa peralihan tersebut
(Koentjaraningrat; 1990).
Peralihan yang terpenting dalam putaran hidup manusia adalah
saat peralihan dari masa remaja ke masa berkeluarga atau perkawinan.
Dengan demikian di dalam masyarakat akan menciptakan suatu
peraturan-peraturan yang mengatur pelaksanaan perkawinan tersebut.
Sama halnya dengan suku bangsa alas memiliki seperangkat aturan atau
adat budaya yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang berlaku di
dalam masyarakat alas.

157
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

Perkawinan yang ideal pada masyarakat alas adalah pekawinan


dengan berimpal yaitu: suatu perkawinan yang dilakukan dengan anak
saudara perempuan dari ayah atau anak saudara laki-laki dari keluarga
ibu. Hal ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan kembali antara
saudara yang namanya memperbaharui hubungan keluarga.
Sedangkan perkawinan dengan satu marga merupakan
perkawinan samih atau melanggar adat budaya dan kebiasaan, karena
satu marga masih dianggap merupakan saudara, apabila ada yang
melanggarnya maka akan diberikan sangsi adat atau disebut denda adat
hal ini diatur sesuai dengan kebiasaan yang dijalankan, dan apabila
kesalahan yang dilakukan tidak dapat dimaafkan maka si pelanggar adat
akan dikeluarkan dari desa tidak boleh lagi tinggal di dalam desa yang
bersangkutan.
Untuk uang adat perkawinan yang diberi nama upah adalah
benda yang diberikan kepada calon istri dan keluarganya akan
disesuaikan atas permintaan perempuan dengan adanya kesepakatan
dengan pihak pengantin laki-laki, upah biasanya tidak diketahui oleh
pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan akan tetapi atas
kesepakatan atau sesuai janji yang telah disepakati oleh pihak laki-laki
dan pihak perempuan itu sendiri.
Cara memilih jodoh pada masyarakat alas dilaksanakan melalui
perkenalan yang dilakukan lewat cara mepahur yaitu perkenalan antara
pemuda dan pemudi pada saat adanya pesta perkawinan atau adanya
pesta sunatan yang dilakukan di malam hari, hal ini di zaman sekarang
sudah sangat jarang dilakukan. Di mana pada malam pesta tersebut para
pemuda dan pemudi dapat mencari jodoh atau dapat berkenalan mencari
khamah atau kenalan, biasanya dari hal seperti ini akan berlanjut dan
pada akhirnya akan menjalin suatu kesepakatan untuk menuju jenjang
perkawinan.
Pesta perkawinan pada masyarakat Alas dapat dibagi menjadi
dua yaitu: pesta perkawinan anak laki-laki dan pesta perkawinan anak
perempuan. Pesta perkawinan anak laki-laki di mana semua biaya
bersumber dari orang tua seperti biaya adat yang akan diberikan kepada
pihak perempuan, biaya pesta dan upah perkawinan yang akan diberikan
kepada pengantin perempuan sesuai dengan janji kedua belah pihak
antara pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan. Jika anak laki-
laki dari suatu desa yang akan melaksanakan pesta pernikahan maka
bantuan atau sumbangan yang akan diberikan oleh anggota masyarakat
kepada yang akan melaksanakan pesta akan lebih besar, bantuan atau
sumbangan biasanya diberikan dalam dua macam atau jenis yaitu; dalam

158
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

bentuk benda seperti beras, dan dalam bentuk uang yang jumlahnya
akan ditetapkan atau disesuaikan dengan perubahan harga-harga dengan
kesepakatan bantuan ini biasanya akan dikutip oleh orang yang telah
ditetapkan.

KESIMPULAN
Keberadaan Serikat Tolong Menolong pada masyarakat Alas
merupakan suatu tradisi budaya yang telah diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya, walaupun secara pasti tidak ada yang
mengetahuinya sejak kapan tradisi ini telah ada.
Serikat Tolong Menolong yang ada di Desa Terurung Pedi
Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara telah diketahui
keberadaannya sejak pada zaman dahulu sampai pada dengan saat ini,
yang telah merupakan suatu adat budaya atau tradisi dari pada
masyarakat dengan adanya suatu perubahan-perubahan dalam
pelaksanaannya, akan tetapi tetap dapat hidup terus di dalam kehidupan
bermasyarakat di lingkungan desa. Hal ini terbukti karena serikat tolong-
menolong ini selalu dapat menyesuaikan diri dengan segala bentuk
perkembangan dan perubahan zaman, dengan segala keadaan
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.
Penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilaksanakan
tentang keberadaan serikat tolong-menolong dalam masyarakat Alas, di
mana masih banyak aspek tradisi dan budaya yang belum diteliti tentang
hal-hal yang berhubungan dengan penelitian tentang adat dan budaya
masyarakat Alas, maka bagi peneliti yang memiliki keinginan untuk
melestarikan adat budaya masyarakat Alas yang ada di Kabupaten Aceh
Tenggara merupakan suatu hal yang menarik dan perlu untuk melakukan
penelitian yang berhubungan dengan tradisi adat budaya masyarakat
Alas, agar dapat di lestarikan sampai dengan waktu yang tanpa batas.

159
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar, Pokoknya Kualitatif. Jakarta; Dunia Pustaka


Jaya dan Pusat Studi Sunda, 2002.

Damanhuri, Buwuh dalam dalam Masyarakat Desa Blok VI Kecamatan


Simpang Kanan Aceh Selatan, 1977.

Fernandes, Walter, Tandon. Rajesh, Riset Partisipatoris Riset


Pembebasan, P.T.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Jin, R.K, Studi Kasus Desain dan Metode, Grafindo Persada, Jakarta,
1996.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga


PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.

Koentjaraningrat, ”Pengamatan Terlihat oleh Seorang Peneliti Pribumi


dan Asing: Masalah masuk ke dalam dan Keluar dari
Kebudayaan”, dalam Koentjaraningrat dan Donald K.
Emmeron, Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat,
Jakarta: Gramedia, 1985.

Vredenbregt Jacob, Pengantar Metodologi untuk Ilmu-ilmu Empiris, PT


Gramedia, Jakarta, 2001.

Matthew B. Miles, A. Michael Humberman, Analisis data Kualitatif.


Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.

Miles,B. Mathew, Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New


Methods, Beverly Hills: Sage Publication, 1986.

Tujin, Adat Tanah Alas, dalam Kenang-kenangan Musyawarah


Masyarakat Alas ke-1, Kuta Cane, Aceh Tenggara, 1960.

Weber, Robert Philip, Basic Content Analysis, Baverly Hills: Sage


Publication, 1986.

160
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

ALQURAN SEBAGAI SUMBER HUKUM SYARIAH

oleh
Nyak Arif Fadhillah
Dosen Yayasan pada Unmuha, Banda Aceh

PENDAHULUAN
Beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam,
Alquran dianggap sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna.
Alquran adalah sebuah “Teks” (dengan T besar) yang mengatasi dan
melampaui “teks-teks” lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab Alquran
merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui malaikat-Nya)
kepada umat manusia. Ruh keilahian Alquranlah yang membuatnya
tahan dari pelbagai kritik dan gempuran.
Sebagai sebuah teks,1 Alquran tidak pernah kering, apalagi habis.
Teks Alquran bisa ditafsirkan secara kaya, tergantung konteks sosial-
budaya dan “hermeneutik dalam” (struktur nilai dan kesadaran)
pembacanya. Dengan demikian, persentuhan antara penafsir dengan
Alquran merupakan pergulatan yang dinamis, bahkan sering tak terduga.
Ibarat sebuah puisi dan tanda, Alquran tidak pernah berhenti dan
membeku, tetapi selalu mengajak para penafsirnya untuk mencari dan
menjelajah, suatu “peziarahan” hidup yang tak pernah usai.
Alquran dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah
peradaban Arab, bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan
bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Artinya, bahwa
dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di
atas landasan yang “teks” sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini
tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata.
Teks apa pun tidak dapat membangun peradaban dan tidak pula mampu
memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.2

1
Pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah
pemahaman yang disertai kesadaran bahwasanya kitab suci itu tidak hanya sekadar
teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang
sedang berjalan, yakni berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat-
masyarakat yang menganggapnya sakral dan normatif. William A. Graham, “Quran as
Spoken Word: an Islamic Contribution to the Understanding of Scripture”, dalam
Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Arizona: The
University of Arizona Press, 1985), hlm. 27.

161
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

Dalam peradaban Islam, Alquran memiliki peran budaya yang


tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam
menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang di dalamnya.
Kalau boleh disimpulkan bahwa peradaban dalam suatu dimensi saja
dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban
“pascakematian”, peradaban Yunani adalah peradaban “akal”, sementara
peradaban Arab-Islam adalah peradaban “teks”.3
Alquran memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab suci
yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa
manusia.4 Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahami Alquran,
telah menghasilkan sangat banyak kitab tafsir yang berupaya
menjelaskan makna pesannya. Namun, sejumlah besar mufassir Muslim
masih memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyabihat
yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.5

2
Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas
di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain. Peradaban dibentuk oleh
interaksi dan dialektika manusia dengan realitas – dengan segala struktur yang
membentuknya: ekonomi, sosial, politik dan budaya.
3
Ketika teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan maka dapat
dipastikan tafsir dan interpretasi akan beragam, dan keragaman interpretasi ini terjadi
karena berbagai faktor. Faktor terpenting, umpamanya, adalah sifat atau watak ilmu
yang disentuh oleh teks, maksudnya, disiplin tertentu menentukan tujuan interpretasi
dan pendekatannya. Faktor kedua, adalah horizon epistemologi yang dipergunakan
oleh seorang ilmuan dalam menangani teks. Melalui horizon tersebut ia berusaha
memahami teks, atau mengusahakan teks mengungkapkan dirinya. Faktor-faktor ini
tidak berdiri sendiri, dalam pengertian satu faktor paling dominan dalam peroses
interaksi. Faktor-faktor ini bergerak secara interaktif dan dinamik dalam proses
interpretasi apa pun. Nasr Hamid Abu Zaid, terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas
Alquran Kritik terhadap Ulmul Quran, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 1-2.
4
Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku,
menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memlihara berbagai
harapan, dan memperkukuh identitas kolektif. Mohammed Arkoun, Berbagai
Pembacaan Alquran, terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), hlm. 9. Alquran juga
digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum Muslimin, serta
dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang
sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap
Muslim. W.M. Watt, Bell’s Introduction to the Qurqan, (Edinburgh: Edinburgh Univ.
Press, 1970), hlm. Xi.
5
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alquran, (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2005), hlm 1-2.

162
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk mengkaji dan


menganalisis kembali tentang Alquran sebagai sumber hukum syariah.
Pertanyaannya yang perlu dirumuskan adalah: apa pentingnya dibahas
Alquran sebagai sumber hukum syariah dan bagaimana kedudukan
Alquran sebagai sumber hukum syariah itu?

PEMBAHASAN
Alquran dan Syariah
1) Alquran
Kitab suci Islam–dalam bahasa Arab dikenal dengan berbagai
sebutan dan yang paling populer adalah Alquran, yang artinya ‘bacaan’–
disepakati oleh seluruh Muslim, tidak peduli dari golongan mazhab apa
pun, sebagai wahyu berupa “Kata-Kata Literal Tuhan” yang diturunkan
ke dalam hati, jiwa dan pikiran Nabi Muhammad melalui perantaraan
malaikat penjaga wahyu; Jibril. Baik huruf maupun arti dari teks
Alquran dipandang sakral, begitu juga segala sesuatu yang berhubungan
dengannya, seperti melantunkan ayat-ayatnya atau menulis kalimat-
kalimatnya.6
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang disebut Alquran dan
termuat dalam mushaf, adalah otentik (semuanya adalah betul-betul dari
Allah swt.), dan semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad saw. dari
Allah melalui malaikat Jibril telah termuat dalam Alquran. Keotentikan
Alquran ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian sahabat Nabi
memeliharanya sebelum dibukukan dan dikumpulkan, begitu pula
kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara
penggandaannya.

6
Alquran memiliki banyak nama, setiap nama tersebut menyampaikan aspek
Alquran dalam kenyataan. Pertama, Alquran, yang berarti bacaan, atau bisa juga
bermakna kumpulan atau pemusatan pikiran. Ia juga disebut Alfurqan, yang artinya
pembeda atau penjelas karena Alquran memberikan kriteria untuk menilai salah dan
benar, kebaikan dan kejahatan, dan yang indah dan buruk. Disebut Umm Alkitab,
maksudnya sebagai arketipe atau induk seluruh kitab, yang mengandung akar atau ide
dari segala pengetahuan. Alquran juga disebut Alhuda karena merupakan petunjuk
dalam perjalanan manusia, laki-laki dan perempuan, untuk menuju Tuhan. Bagi umat
Islam, Alquran adalah sumber segala pengetahuan fisik maupun metafisik, dasar
hukum, tuntunan tertinggi bagi perilaku etika, dan menjadi jaring, yaitu alat bagi
seorang nelayan Tuhan dalam menjerat jiwa manusia dan membawanya kembali
kepada Yang Tunggal. Seyyed Hossein Nasr, terj. Nur Asiah Fakih S. Harahap, the
heart of islam Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 31.

163
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

Sebelum dibukukan, ayat-ayat Alquran berada dalam rekaman


teliti para sahabat, baik melalui hapalan yang kuat dan setia atau melalui
tulisan di tempat yang terpisah. Ia disampaikan dan disebarluaskan
secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol
untuk berdusta. Bentuk periwayatan seperti ini dinamai periwayatan
secara mutawatir yang menghasilkan suatu kebenaran yang tidak
meragukan. Oleh karena itu, Alquran itu bersifat otentik.
Alquran dibukukan pada masa Abu Bakar. Pembukuannya
dilakukan secara teliti dengan mencocokkan tulisan yang ada dengan
hapalan para penghafal, sehingga kuat dugaan bahwa semua wahyu telah
direkam dalam mushaf. Kemudian, hasil pembukuan itu disimpan secara
aman di tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar Ibn Khattab dan
setelah beliau wafat, pindah ke tangan Hafsah binti Umar (isteri Nabi).
Terakhir, diadakan pentashihan pada masa khalifah Usman sehingga
menghasilkan suatu naskah otentik yang disebut mushaf Imam. Salinan
dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan
yang lain dari itu, dibakar. Mushaf Imam yang dijadikan standar itu
dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya
sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai sekarang ini.7
Alquran berisikan beberapa tema atau ajaran pokok. Pertama
sekali, Alquran berbicara tentang hakikat realitas, yaitu realitas Tuhan
dan hubungannya dengan alam dunia. Kedua, Alquran menjelaskan
secara panjang lebar hakikat alam dan dapat disebut sebagai
pembahasan area kosmos Islam yang terkait dalam proses pewahyuan
Alquran. Selanjutnya, Alquran banyak bercerita tentang sejarah
kehidupan para nabi. Akan tetapi, kisah sejarah ini dikemukakan dan
diuraikan lebih karena kepentingannya sebagai pelajaran bagi kehidupan
iman di dalam jiwa dan bukan sebagai suatu indeks atau kumpulan
kejadian sejarah masa lalu. Sejarah kehidupan nabi di dalam Alquran
mengandung pelajaran moral dan spiritual untuk kita yang hidup di
dunia sekarang ini.8

7
Inilah yang dimaksud Allah Swt dalam firman-Nya surat al-Hijr/15: 9:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya”. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa seluruh ayat
Alquran dari segi lafaz dan wurudnya adalah qathi (meyakinkan) serta tidak ada
keraguan di dalamnya. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), hlm. 48-49.
8
Alquran juga membahas aturan-aturan bagi individu dan masyarakat dan
merupakan sumber paling utama hukum Islam atau syariat. Selanjutnya, Alquran

164
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

Surah-surah dan ayat-ayat Alquranmerupakan jalan dan kompas


dalam kehidupan umat Islam. Akar dari segala dalil atau argumentasi
Islam, dari mulai filsafat dan teologi hingga hukum dan etika sampai
pada sains dan seni dapat ditemukan di dalamnya. Semua pergerakan
yang muncul dalam sejarah Islam, apakah itu bersifat keagamaan,
intelektual, sosial, ataupun politik, mendapatkan legitimasi dari Alquran.
Para ahli hukum berusaha menginterpretasikan ayat-ayat hukum dalam
Alquran, sedangkan para ahli tasawuf bekerja mencari makna hakikinya.
Para filosof menekuni ungkapan-ungkapan filosofis Alquran, sedangkan
ahli teologi sibuk memperdebatkan uraian Alquran tentang hakikat sifat
Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia. Hingga saat ini, sama dengan
saat lahirnya, Alquran tetap merupakan realitas sentral dalam Islam dan
jantung kehidupan umat Muslim baik dalam aspek kehidupan individu
maupun sosial.

b. Syariah9
Syariah secara umum dipakai dalam dua arti: arti luas dan arti
sempit.10 Dalam arti luas syariah adalah keseluruhan ajaran Islam yang
berupa norma-norma ilahiyah yang mengatur tingkah laku batin (sistem
kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit pada taraf
individual dan kolektif. Dalam arti ini syariah identik dengan din. Atas
dasar itu ilmu syariah meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan
Islam seperti kalam, tasauf, tafsir, hadis, fiqih dan usulnya, dan
seterusnya.
Dalam arti sempit, syariah dimaksudkan bagian dari ajaran Islam
yang berupa norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku konkret,
baik tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Atas dasar

secara terus-menerus mengulang-ulang pesan-pesan etika, baik dan buruk, dan


pentingnya menjalani kehidupan yang bermoral dan terhormat. Terakhir, Alquran juga
berbicara–dengan memakai bahasa yang menyentuh dan dapat dilihat pada surah-surah
terakhir–tentang peristiwa hari kiamat, tentang akhir alam dunia, tentang Hari
Pembalasan, surga, kehidupan hari akhirat dan neraka. S. H. Nasr, , the heart of
Islam… hlm. 31-32.
9
Syariah diartikan sebagai jalan menuju sumber air, dapat pula diartikan
sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Fazlur Rahman, Islam, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 140. Menurut istilah, Alyathibi menyatakan,
“Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia
dan di akhirat. Alsyathibi, Almuwafaqat fi Ushul Alsyariah, (Kairo: Musthafa
Muhammad, t.th), jilid 2, hlm. 374.
10
Syamsul Anwar, Diktat Kuliah Metodologi Hukum Islam, hlm. 35.

165
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

itu ilmu syariah dibatasi hanya meliputi ilmu fiqih dan ushul fiqih. Arti
sempit inilah yang umum dipakai oleh para pengkaji bila mereka
menyebut kata syariah.
Syariah dalam literatur hukum Islam mempunyai tiga
pengertian,11 pertama, syariah dalam arti sumber hukum yang tidak
dapat berubah sepanjang masa. Kedua, syariah dalam pengertian sumber
hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun sumber
hukum Islam yang dapat berubah. Ketiga, syariah dalam pengertian
hukum-hukum yang digali (berdasarkan atas apa yang disebut al-
Istinbath) dari Alquran dan syariah; hukum sebagaimana yang
diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh para Sahabat, ijtihad para
mujtahid, dan hukum-hukum yang dihasilkan dengan metode qiyas dan
metode-metode hukum lainnya.
Tidak diragukan lagi bahwa syariah merupakan ruang ekspresi
pengalaman agama yang paling penting bagi kaum Muslimin dan
merupakan obyek refleksi utama mengenai Alquran dan teladan ideal
Nabi saw. (syariah). Hal ini dapat dilacak akar-akarnya ke dalam
sumber-sumber pokok ajaran Islam yang senantiasa menekankan
kepatuhan kepada hukum Allah dan tidak melampaui hudud yang telah
ditetapkan-Nya. Demikian syariah merepresentasikan sistem nilai
keagamaan yang menjadi kerangka rujukan bagi tingkah laku dan
perbuatan setiap orang Muslim.12

11
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Unisba, 1995), hlm. 10.
12
Syamsul Anwar, “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations:
Toward a Reinterpretation,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, No. 60, Th. 1997,
hlm. 131.

166
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

Alquran Sebagai Sumber Hukum Syariah13


Sumber paling utama bagi syariah adalah Alquran, yang oleh
beberapa sarjana diklaim sebagai satu-satunya sumber dasar, dan semua
sumber lainnya hanya untuk menjelaskan dan merinci aturan-aturan
pokok dan prinsip-prinsip yang ada di dalam Kitab Suci. Terdapat
sekitar 350 ayat hukum, atau yang dalam hukum Barat disebut juris
corpus, dalam Alquran. Sebagian ayat tersebut berkenaan dengan
masalah hukum secara spesifik dan sanksi-sanksi terhadap perbuatan
yang diharamkan dan dilarang. Sebagian besar berkenaan dengan
aturan-aturan umum dalam beribadah dan beberapa ayat merupakan
perincian aturan-aturan umum dimaksud. Beberapa ayat yang lain
menyinggung masalah perdagangan dan ekonomi. Selebihnya, banyak
ayat yang membicarakan keadilan, persamaan, bukti dalam hukum, hak-
hak dalam hukum, dan lain-lain. Jumlah ayat ini hanya merupakan
sebagian kecil dari jumlah keseluruhan ayat Alquran, tetapi ayat-ayat ini
sangat esensial sebagai dasar hukum Islam.14
Para ulama dan semua umat sepakat menjadikan Alquran sebagai
sumber pertama dan utama bagi syariah Islam, termasuk dalam hukum
Islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum
harus terlebih dahulu mencari rujukan di dalam Alquran.15 Apabila tidak

13
Sumber hukum dalam Islam dapat disimplifikasi menjadi hanya tiga, yaitu:
Alquran, Al-Hadis dan Ijtihad. Sumber-sumber lain semisal al-Istihsan, al-Istishab,
Maslahah al-Mursalah dan lain-lain sesungguhnya dapat diposisikan sebagai
pengejewantahan dari ijtihad. Perdefinisi, ijtihad merupakan aktivitas istinbath hukum
(penggalian hukum) dari sumber-sumbernya dengan menggunakan perangkat
metodologi ‘aqliyah, ushul fiqih. Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Shawkani,
Irshad al-Fuhul, (Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1992), hlm. 250.
14
Perintah-perintah Alquran, bagaimanapun, tidak akan dapat dimengerti
secara sempurna tanpa bantuan Sunnah dan Hadis Nabi, yang berfungsi sebagai
penjelas (tafsir) pertama Alquran. Alquran memerintahkan shalat kepada setiap
Muslim, tetapi bagaimana tata cara shalat dipelajari dari contoh yang dipraktikkan
Nabi. Oleh karena itu, setelah Alquran, Sunnah dan Hadis adalah sumber paling
penting kedua bagi syari’at. Semua mazhab hukum Islam, baik Sunni ataupun Syi’ah,
menerima kedua sumber ini sebagai sumber yang mutlak bagi hukum Islam S.H. Nasr,
the heart of islam……, hlm. 143-144.
15
Yusuf al-Qardhawi, pemikir Islam kontemporer asal Mesir, membuat
postulat 1 banding 9. Artinya, hanya 10 persen teks ajaran suci (Alquran maupun al-
Hadis) yang tidak dapat diganggu gugat karena berupa dictum-diktum aturan qath’i
yang konstan dan immutable. Segmen ini harus diterima apa adanya tanpa harus
adaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada di sekitar. Apa yang termasuk dalam

167
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

ditemukan di dalam Alquran, barulah ia dibenarkan menggunakan dalil-


dalil lain.
Penerimaan ulama dan semua umat Islam menjadikan Alquran
sebagai sumber hukum pertama dilatarbelakangi sejumlah alasan, di
antaranya:
1. Keberadaan Alquran yang diakui secara mutawatir berasal dari
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui
perantaraan malaikat Jibril. Hal ini menimbulkan keyakinan kuat
kepada umat akan kebenaran Alquran sebagai petunjuk yang
diturunkan Allah kepada manusia sehingga pantas dijadikan
sebagai sumber hukum syariah.
2. Informasi dari Alquran sendiri yang menjelaskan ia berasal dari
Allah, di antaranya Q.S., al-Nisa’/4: 105: “Sesungguhnya Kami
telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang karena (membela) orang-orang yang
khianat.
3. Kemukjizatan Alquran sebagai bukti bahwa ia bukan berasal dari
buatan manusia, tetapi berasal dari Allah. Mukjizat berarti
sesuatu yang dapat melemahkan, sehingga manusia tidak dapat
membuat yang sama atau melebihi. Alquran adalah mukjizat
Nabi Muhammad saw. sebagai bukti kerasulannya yang diutus
untuk menyampaikan risalah kepada umat manusia. Bukti
kemukjizatan Alquran dapat dilihat dari ketidakmampuan bangsa
Arab dan manusia secara keseluruhan membuat tandingan
semisal Alquran meskipun satu ayat saja. Tantangan ini tidak
dapat dijawab manusia termasuk bangsa Arab yang terkenal
memiliki sastra yang tinggi, meskipun mereka mempunyai
kesempatan menjawab tantangan itu.

segmen ini ialah persoalan-persoalan dasar menyangkut sendi-sendi ajaran agama yang
mempunyai nilai strategis, seperti persoalan keimanan: tauhid, akhlak dan sejenisnya,
bentuk-bentuk ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Sementara selebihnya
(90 persen teks ajaran) berupa aturan-aturan operasional yang bersifat zhanni dan
adaptable. Segmen kedua ini mempunyai nilai taktis-operasional yang langsung
bersentuhan dengan fenomena sosial dan kemanusiaan. Karena wataknya yang taktis,
segmen ini menerima akses perubahan pada tataran operasionalnya sepanjang tetap
mengacu pada pesan dan tujuan moral yang terkandung dalam Alquran secara global
dan tersirat. Yusuf al-Qarhawi, al-Ijtihad wa al-Tajdid bayn al-Dhawabith al-Alquran
wa al-Hayah al-Mu’ashirah, terj. Muhammad Hussein dalam Dasar Pemikiran Hukum
Islam: Taklid vs Ijtihad, (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.t), hlm. 75.

168
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

Bentuk kemukjizatan Alquran ini dapat diamati dari keindahan


bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi ahli bahasa mana pun.
Di samping itu terbukti dengan kebenaran Alquran dalam pemberitaan
tentang kejadian masa lalu yang sesuai dengan pemberitaan dalam kitab
suci sebelumnya, misalnya kisah Alquran tentang Ashabul Kahfi yang
diakui kebenarannya oleh ahli sejarah dan ulama ahli kitab, padahal
Nabi sendiri tidak pernah belajar dan bergaul dengan mereka.16
Realitas ini, didukung lagi dengan kebenaran Alquran dalam
pemberitaan tentang hal-hal yang ghaib, seperti dalam surat Yunus ayat
92, yang menjelaskan bahwa badan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah
di laut merah diselamatkan Allah sebagai bukti dan pelajaran bagi
generasi sesudahnya. Ini dibuktikan ahli purbakala Loret yang pada
tahun 1896 menemukan sebuah mumi Firaun bernama Maniptah yang
mengejar Musa dan ditenggelamkan Allah di laut merah.17
Selain itu, mukjizat Alquran dapat dilihat dari keseimbangan
antara jumlah bilangan katanya. Di antara keseimbangan itu tergambar
pada keseimbangan antara antonimnya, seperti kata alhayah (hidup) dan
almaut (mati) yang terulang sebanyak 145 kali dan juga kesimbangan
antara sinonimnya, seperti kata alharts dan alziraah (membajak/bertani),
terulang sebanyak 14 kali.18
Sebagai sumber utama ajaran Islam, Alquran mengandung
berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga bagian
besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah berkaitan dengan dasar-
dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan
dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan
af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika
hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan
muamalah (habl min al-nas).19

16
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 63.
17
M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992), hlm.
31.
18
Shihab, Membumikan…., hlm. 29-30.
19
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah, 1978),
hlm. 32.

169
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

a. Hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran


Hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran secara garis besar
dapat dikelompokkan kepada tiga macam, yaitu:20
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keyakinan atau
akidah, seperti keimanan kepada Allah, masalah kenabian, kitab
suci, malaikat, hari kemudian dan takdir serta hal-hal yang
berhubungan dengan doktrin akidah. Hukum-hukum ini menjadi
lapangan kajian ilmu tauhid atau ushuluddin.
2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara sesame manusia,
mengenai berbagai sifat utama yang harus menjadi perhiasan diri
seseorang dan menjauhkan diri dari berbagai sifat yang
membawa kepada kehinaan. Hukum-hukum yang terkait dengan
hal-hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu akhlak.
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan hukum tentang tingkah
laku manusia dalam hubungannya dengan Allah dan dalam
hubungannya dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini dikaji
dan dikembangkan dalam disiplin ilmu syariah. Dari hukum-
hukum amaliyah ini berkembanglah ilmu fiqih. Hukum-hukum
amaliyah yang terdapat dalam Alquran dapat dibagi kepada dua
macam, yaitu hukum-hukum ibadat yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah dan hukum-hukum muamalat yang
mengatur hubungan dengan sesamanya.

Abdul Wahab Khallaf memerinci hukum-hukum muamalat ke


dalam 7 macam, antara lain:21
1. Hukum keluarga (Ahkam al-Ahwal al-Syakhshiah), yaitu hukum-
hukum yang berkaitan dengan keluarga mulai saat berlangsung
pernikahan sampai dengan aturan-aturan tentang hubungan
suami isteri yang meliputi talak, rujuk, iddah, kewarisan dan
sebagainya. Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan masalah ini
berjumlah sekitar 70 ayat.
2. Hukum muamalat/perdata (al-Ahkam al-Madaniah), yaitu
hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya dalam masalah jual beli, sewa-menyewa, gadai,
syirkah (kongsi dagang), utang-piutang dan hukum perjanjian.
Hukum-hukum yang termasuk dalam kelompok ini mengatur

20
Khallaf, Ilmu Ushul….., hlm. 32
21
Khallaf, Ilmu Ushul…., hl, 32-33.

170
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

hubungan perorangan, masyarakat, segala hal yang berkaitan


dengan harta kekayaan, memelihara hak dan kewajiban masing-
masing. Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan masalah ini sekitar
70 ayat.
3. Hukum Pidana (al-ahkam al-jinayat), yaitu hukum-hukum yang
berkaitan dengan tindak kejahatan. Adanya hukum ini bertujuan
untuk menjaga dan memelihara stabilitas dan keamanan
masyarakat dalam kehidupan. Dalam hukum tersebut dibicarakan
aturan, seperti larangan membunuh, berzina, mencuri, merampok
dan dijelaskan pula sanksi bagi pelaku. Ayat-ayat Alquran yang
mengatur masalah ini berjumlah sekitar 30 ayat.
4. Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat), yaitu hukum-hukum yang
mengatur masalah pengadilan, tatacara di pengadilan, kesaksian
dan sumpah. Adanya hukum ini bertujuan agar putusan hakim di
pengadilan objektif dan memuaskan pihak-pihak yang mencari
keadilan. Untuk itu, di dalam hukum ini terdapat sejumlah aturan
yang memberikan peluang kepada hakim untuk menyingkap
mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat Alquran
yang menjelaskan masalah ini berkisar 13 ayat.
5. Hukum Ketatanegaraan (al-Ahkam al-Dusturiah), yaitu hukum-
hukum yang mengatur tentang masalah kenegaraan dan
pemerintahan. Hukum-hukum ini dimaksudkan untuk menata
dan mengatur hubungan penguasa dan rakyat. Selain itu, hukum
ini untuk mengatur secara jelas apa yang menjadi hak individu
dan apa yang menjadi hak masyarakat. Ayat-ayat Alquran yang
berhubungan dengan persoalan ini berjumlah sekitar 10 ayat.
6. Hukum Internasional ((al-Ahkam al-Dauliyah), yaitu hukum-
hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan
negara non-Islam dan mengatur tata cara pergaulan dan
hubungan antara warga negara Islam dengan non-muslim yang
berada di negara Islam. Ayat-ayat Alquran tentang ini berjumlah
sekitar 25 ayat.
7. Hukum Ekonomi dan Keuangan (al-Ahkam al-Iqtishadiyah wa
al-Maliyah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hak-hak fakir
miskin yang terdapat pada harta orang kaya. Hukum-hukum ini
dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang
kaya dan fakir miskin, dan hubungan antara Negara dan
perorangan. Ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan ini sekitar
10 ayat.

171
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

Sementara dari segi rinci dan tidak rincinya hukum yang terdapat
dalam Alquran, Abu Zahrah membaginya kepada beberapa macam,
sebagai berikut:22
1. Ibadah, yaitu ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan ibadah,
diungkapkan dalam Alquran secara mujmal (global) tanpa
merinci tata cara pelaksanaannya (kaifiyatnya). Misalnya,
perintah melaksanakan shalat, puasa, sedekah, zakat dan haji.
Kewajiban Shalat dijelaskan dalam Alquran, tetapi tidak
dijelaskan mengenai rukun, syarat, waktu dan tata cara
pelaksanaannya. Untuk menjelaskan ibadah ini secara rinci Allah
memberikan kewenangan kepada Nabi Muhammad saw. melalui
sunnahnya.
2. Kaffarat (Denda), kaffarat merupakan bagian dari ibadah karena
ia semacam denda terhadap perbuatan dosa (kesalahan) yang
dilakukan seseorang.23
3. Hukum Muamalat. Alquran hanya menjelaskan hukum ini dalam
bentuk prinsip-prinsip dasar. Di antara prinsip-prinsip itu,
larangan memakan harta orang lain secara batil (salah) dan
keharusan perolehan harta dengan suka sama suka (ridha). Di
samping itu, larangan berlaku zalim dan memakan harta melalui
cara yang mengandung unsur riba. Aturan-aturan yang bersifat
umum ini kemudian dirinci Nabi saw. melalui sunnahnya.
Sementara terhadap hal-hal yang tidak dirinci sunnah, para
mujtahid mempunyai peluang untuk mengembangkan sejalan

22
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (t.k. : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm.
94-95.
23
Dalam Alquran dijelaskan tiga macam kaffarat;1) Kaffarat Zihar, yaitu
suatu denda yang diberikan kepada suami karena perkataan yang diucapkan kepada
isteri, semisal’ “engkau bagiku bagaikan punggung ibuku”. Semenjak terjadinya zihar
suami tidak boleh menggali isterinya hingga ia membayar kaffarat zihar (Q.S.
Almujadilah/58: 3-4) Berdasarkan ayat ini, kaffarat bagi suami yang menzihar
isterinya adalah memerdekakan hamba sahaya, jika tidak mendapatinya ia wajib
berpuasa dua bulan berturut-turut. Apabila ia masih tidak mampu melakukan, maka ia
wajib memberi makan 60 orang miskin. 2) Kaffarat sumpah, yaitu suatu denda yang
dikenakan kepada seseorang karena melanggar sumpah. Denda tersebut berupa
pemberian makan 10 orang miskin atau pakaian mereka, atau memerdekakan hamba
sahaya (QS. Al-Maidah/5: 89). 3) Kaffarat karena membunuh orang mukmin secara
tersalah. Orang yang melakukan pembunuhan bentuk ini diwajibkan membayar diyat
(denda) dan kaffarat dengan memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak
didapati, maka puasa dua bulan berturut-turut (QS. Al-Nisa’/4: 92).

172
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat


dengan menggunakan istinbath hukum yang terdapat di dalam
ushul fiqih.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan-
ketentuan hukum dalam Alquran sebagian besarnya disampaikan dalam
bentuk prinsip-prinsip umum dan bersifat global, kecuali dalam
beberapa hal, seperti dalam masalah kaffarat dan hukum keluarga serta
dan beberapa hal dalam hukum pidana.

b. Dalalah Alquran tentang hukum-hukum


Semua umat Islam mengakui bahwa Alquran diturunkan secara
mutawatir, sehingga dari sisi ini Alquran disebut qath’i al-tsubut.
Namun, dari sisi dalalah Alquran tentang hukum tidak semuanya
bersifat qath’i, tetapi ada yang bersifat zanni.
Cukup banyak ayat-ayat qathi dalam Alquran. Pengertian qathi
ini pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, seperti
yang dijelaskan Wahbah al-Zuhaily berikut:24

‫ ا
" ه ا  اارد  اان اى     و
 ا
 واا‬#‫ ا‬$%

Artinya: Nash qathi dalalah ialah lafal yang terdapat di dalam


Alquran yang dapat dipahami dengan jelas dan
mengandung makna tunggal.

Definisi qathi ini menggambarkan suatu ayat disebut qathi


manakala dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tungal
sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang
ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini, takwil tidak berlaku.
Di antara ayat-ayat Alquran yang termasuk dalam kategori qathi
dalalah ialah ayat-ayat tentang ushul Alsyariah yang merupakan ajaran-
ajaran pokok agama Islam seperti shalat, zakat, dan haji , perintah
menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, menegakkan
keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari hadas. Di samping itu,
termasuk kelompok qathi adalah ayat yang berbicara tentang akidah,
akhlak dan sebagian masalah muamalat.25

24
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 1, Cet. Ke-2, hal. 441

173
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

Penempatan ayat-ayat ini dalam kategori qathi dalalah


dilatarbelakangi ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk
pokok-pokok agama (esensial) yang bersifat tsawabith (tetap) dan tidak
bersifat mutaghaiyyirat (berubah) karena perubahan zaman. Andai kata
ayat-ayat ini termasuk kategori zhanni yang menjadi objek ijtihad tentu
akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin
mengalami perubahan-perubahan. Dalam sejarah hukum Islam, tidak
pernah muncul mazhab fikih karena ayat-ayat qathi, tetapi yang ada
dalam ayat-ayat zanni.
Menurut Syatibi26 maqasid alsyari dalam menetapkan syariah
yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada
dalil-dalil qathi karena ketiganya merupakan ushul Alsyariah, Syariah
ditetapkan dengan dalil qathi, maka ushul alsyariah lebih utama
ditetapkan dengan dalil qathi.
Syatibi tidak mengemukakan ayat qathi mana yang berhubungan
langsung dengan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat tersebut. Namun,
diasumsikan ayat-ayat yang mendukung terwujud ketiganya yang
tersimpul dalam pemeliharaan lima hal pokok yaitu agama, diri, akal,
keturunan dan harta merupakan ayat-ayat qathi. Misalnya, ushul al-
ibadat yang meliputi iman, mengucapkan sahadatain, shalat, puasa,
zakat dan haji yang ditunjukkan untuk pemeliharaan agama ditetapkan
dengan ayat-ayat qathi.
Mengingat ayat-ayat qathi dalalah dari sisi lafaznya tidak
mengandung kebolehjadian makna lain dari apa yang dikandung lafal
ayat itu, maka jelas peluang ijtihad tidak dimungkinkan pada setiap ayat
yang qathi dalalah. Mempertegas ketentuan ini para ulama merumuskan
suatu kaidah:

$‫د  رد ا‬% & ' ‫غ‬%)

Artinya: Tidak diperkenankan ijtihad ketika sudah ada ketetapan


nash
Nash yang dimaksudkan dalam kaidah ini adalah nash yang qathi
dalalah. Dengan kata lain ayat-ayat yang qathi dalalah tidak menjadi
majal (ruang lingkup) ijtihad bagi para mujtahid.

25
Abd al-Wahhab al-Salam Thowilah, Atsar al-Lughah fi Ikhtilaf al-
Mujtahidin, (Kairo: Dar al-Salam t.t.), hal. 42
26
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, t,t), hlm. 3-23.

174
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

Meskipun dari sisi lafalnya suatu ayat qathi, dari sisi makna
mungkin saja zhanni sehingga bisa dikembangkan maknanya, tetapi
bukan dimaksudkan menggeser pengertian ayat tersebut. Adapun
metode mengembangkannya melalui qias, seperti halnya mengqiyaskan
keharaman khamar kepada segala jenis minuman atau narkoba yang
sengaja dibuat untuk memabukkan.
Sementara ayat-ayat zhanni dalalah merupakan lapangan ijtihad.
Ini dipahami dari definisi zhanni dalalah sebagaimana dirumuskan Abd
al-Wahhab Khallaf:27

‫ف * ها ا  واد‬,‫  ان ول و‬.‫دل *   و‬%  "
‫ ا‬/‫ ا‬$‫ا‬
01  
Artinya: Nash zhanni dalalah ialah suatu lafal yang
menunjukkan suatu makna, tetapi makna itu
mengandung kebolehjadian sehingga dapat ditakwilkan
dan dipalingkan dari makna itu kepada makna yang lain.

Dari definisi ini dipahami suatu ayat zhanni mengandung lebih


dari satu pengertian sehingga memungkinkan ditakwil, seperti firman
Allah surat Albaqarah, 2: 228
...‫وء‬3 "4'4 )‫ﻥ‬67 ,7  ‫ت‬% # ‫وا‬
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru.

Kata quru dalam ayat ini merupakan lafal musytarak yang


mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh karena itu, apabila
quru diartikan dengan suci sebagaimana yang dipahami ulama Syafiiyah
logis dan benar karena sesuai dengan makna bahasanya. Impikasinya,
wanita-wanita yang ditalak suaminya memiliki masa iddah (menunggu)
selama tiga kali suci. Sementara apabila kata quru diartikan sebagai haid
sebagaimana yang dipahami ulama Hanafiyah adalah benar dan tepat.
Ini berimplikasi dalam menetapkan masa menunggu bagi wanita yang
ditalak suaminya, yaitu tiga kali haid.
Dari penjelasan ini diketahui ayat-ayat musytarak termasuk ayat-
ayat yang zhanni dalalah. Begitu juga dengan lafal am dan mutlak
termasuk ayat-ayat zhanni yang dapat ditakwil dan menjadi lapangan
ijtihad para ulama.

27
Khallaf, Ilmu Ushul…., hal. 35

175
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

Perbedaan Antara Ayat Makkiyah dan Madaniyyah


Ayat-ayat Alquran tidak turun secara sekaligus, tetapi
berangsunr-angsur selama 23 tahun masa kerasulan. Ada yang turun
ketika Nabi masih di Makkah dan ada yang turun sesudah Nabi hijrah ke
Madinah. Perbedaan waktu turun ini menyebabkan adanya klasifikasi
ayat, menjadi; ayat makkiyah dan ayat madaniyyah; ke dalam yang
terakhir dimasukkan semua ayat yang turun sesudah hijrah ke Madinah
walaupun tidak turun di kota Madinah, seperti ayat-ayat yang turun di
Makkah ketika futuh Makkah ataupun ketika Haji Wada, tetap
digolongkan sebagai ayat madaniyyah. Dari segi lain, ayat-ayat
makkiyyah kebanyakan berhubungan dengan masalah keimanan atau
aqidah. Hampir tidak ada ayat-ayat yang berhubungan dengan fiqih.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan fiqih, hampir seluruhnya
merupakan ayat madaniyyah. Penggolongan seperti ini menyebabkan
sebagian ulama tidak mau menggunakan ayat-ayat makkiyah sebagai
dalil untuk sesuatu ketentuan fiqih.

Sebab Turunnya Ayat (Asbab al-Nuzul)


Ayat-ayat Alquran yang turun secara bertahap tersebut, ada yang
turun tanpa sebab. Dengan kata lain, Allah menurunkan ayat tersebut
tanpa pendahuluan, atau peristiwa yang memerlukannya. Misalnya,
Allah mewahyukan kewajiban shalat, mewahyukan hukuman potong
tangan untuk pencurian, menetapkan mahar untuk perkawinan, adalah
“murni” sebagai perintah yang tidak didahului oleh sesuatu peristiwa
atau pertanyaan sahabat kepada Rasul. Akan tetapi, banyak juga ayat-
ayat yang diwahyukan Allah guna menjawab persoalan konkret yang
dihadapi Rasul atau umat. Misalnya, dalam peperangan Uhud (tahun ke-
3 H), seorang sahabat (Sad Ibn al-Rabi’) syahid meninggalkan seorang
isteri dan dua orang anak perempuan serta sejumlah harta. Beberapa
waktu setelah itu saudara laki-laki Sad datang mengambil semua
kekayaan Sad, sesuai dengan adat Arab Jahiliyah. Dia tidak menyisakan
sedikit pun untuk anak perempuan Sad dan isterinya.
Isteri Sad tidak puas dengan perlakuan ini. Dia datang
memberitakan perlakuan paman anak-anaknya (saudara bekas suaminya)
tersebut, serta kesulitan yang bakal dia hadapi karena ketiadaan harta.
Rasul berkata, “tunggu Allah akan menurunkan wahyu untuk
menyelesaikan persoalan Anda”. Setelah itu turun surat al-Nisa’ ayat 11
dan 12 yang menjelaskan hak anak, orang tua, suami dan isteri dalam
masalah kewarisan.

176
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

Pengetahuan tengan Asbab al-Nuzul akan membantu sesorang


memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu akan
memberi penjelasan tentang implikasi sebuah firman, dan selanjutnya
memberi bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana
memahami sebuat ayat itu dalam situasi yang berbeda. Ahmad von
Denfffer memberi rincian arti penting tentang asbab al-nuzul, khususnya
mengenai ayat-ayat hukum, sebagai berikut:
1. Makna dan implikasi langsung dan segera terpahami (muhabir;
immediate)dari sebuah firman, sebagaimana hal tersebut dapat
dilihat dari konteks aslinya.
2. Alasan mula pertama yang mendasari suatu kepentingan hukum.
3. Maksud asal sebuah ayat.
4. Menentukan apakah makna sebuah ayat mengandung terapan
yang bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau demikian,
dalam keadaan bagaimana itu dapat dan harus diterapkan.
5. Situasi histories pada zaman Nabi dan perkembangan komunitas
muslim. Sebagai contoh ialah firman allah, “Kepunyaan Allah-
lah timur dan barat; maka ke manapun kamu menghadapkan
wajahmu, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Meliputi dan Maha Tahu”. (Q.S. Albaqarah/2: 115).
Firman ini diturunkan kepada Nabi berkaitan dengan adanya
peristiwa yang dialami sekelompok orang yang beriman yang
mengadakan perjalanan di malam hari yang gelap gulita. Pagi
harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka shalat
dengan menghadap ke arah yang salah, tidak ke kiblat.
Kemudian mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa
yang mereka alami itu. Turunlah ayat suci itu, yang menegaskan
bahwa ke mana pun sesorang menghadapkan wajahnya, ia
sebenarnya juga menghadap Tuhan, karena Tuhan tidak terikat
oleh ruang dan waktu, sehingga “Tuhan pun ada di mana-mana,
timur ataupun barat”. Akan tetapi, karena konteks turunnya
firman itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu di atas,
tidaklah berarti seorang Muslim dapat menghadap kemana-mana
pun ia suka. Ia harus menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah
al-Masjid al-Haram di Makkah. Ia dibenarkan menghadap mana
saja dalam salat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau
karena kondisi tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke
arah yang benar.28

177
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

Adanya ayat-ayat yang turun guna menyelesaikan persoalan


konkrit, menyebabkan para ulama perlu mengetahui situasi yang
melatarbelakangi sesuatu ayat guna memperoleh tafsiran yang lebih
tepat. Peristiwa yang berhubungan dengan pewahyuan sesuatu ayat ini di
kalangan ulama popular dengan sebutan Asbab al-Nuzul. Lebih dari itu,
sebagian ulama terutama yang kontemporer, ingin meletakkan Alquran
dalam setting yang lebih luas, yaitu adat istiadat dan kehidupan sosial
masyarakat Arab di zaman Nabi saw. Bahwa langsung atau tidak, ayat-
ayat Alquran, pertama diturunkan tentu harus menghadapi kehidupan,
jalan pikiran dan budaya konkret masyarakat pada waktu itu, yaitu
masyarakat Arab Jahiliyah. Menurut jalan pikiran ini, dengan
memperhatikan latar belakang sosial atau budaya masyarakat Arab
tersebut, para ulama akan lebih mampu memperhatikan ‘illat (tambatan)
atau hikmah yang tersirat atau yang harus diungkap dari sesuatu ayat,
serta akan lebih berani merubah aturan “formal” (norma yang diperoleh
dari sesuatu ayat) sekiranya dirasakan bahwa aturan tersebut tidak sesuai
lagi dengan illat atau hikmah yang ingin dicapainya.

F. Nasakh Mansukh
Adanya perbedaan waktu turun, menyebabkan perlu mengetahui
mana ayat yang pertama turun dan mana ayat yang turun lebih
belakangan. Mana ayat yang diterangkan (yang pertama turun) dan mana
ayat yang menerangkan (yang turun lebih belakangan). Lebih jauh dari
itu sebagaian ulama berpendapat bahwa ayat yang turun belakangan ada
yang membatalkan (me-nasakh) ayat yang turun lebih awal.29 Menurut

28
Ahmad Von Denffer, ‘Ulum Alquran, an Introduction to Sciences of the
Qur’an, (London: The Islamic Foundation, 1985), hlm. 92-93.
29
Ulama mutaqaddimin memberi batasan nasakh sebagai dalil syar’i yang
ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut
ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum
yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum
tersebut dinyatakan tidak berlaku terus-menerus, tetapi juga mencakup pengertian
pembatasan (qaid), bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup
pengertian pengkhususan (mukhasshish) terhadap suatu pengertian umum. Bahkan juga
pengertian pengecualian (istitsna). Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut
batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan
mukhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian nasakh terbatas
hanya untuk ketentuan hukum yang dating kemudian, untuk mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan
menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. KH. Ali Yafie, “Nasikh-Mansukh

178
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

sebagian ulama pengetahuan tentang pe-nasakh-kan (pembatalan) antara


sesama ayat ini penting sekali, agar tidak keliru dalam mengidentifikasi
persoalan. Contoh klasik yang biasa dikutip untuk hal ini adalah ayat-
ayat yang mengatur minuman keras. Dalam ayat pertama yang
menyinggung masalah ini dinyatakan bahwa dalam minuman keras ada
manfaat, tetapi mudharat yang dikandungnya jauh lebih besar. Ayat
yang kedua menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh melakukan shalat
apabila sedang dalam keadaan mabuk. Lalu, dalam ayat ketiga, Allah
menyatakan minuman keras dan beberapa jenis perbuatan lain sebagai
perbuatan setan dan harus dijauhi. Menurut ulama, dua ayat sebelumnya,
yang masih mengizinkan meminum minuman keras (sekurang-
kurangnya dalam keadaan tertentu), sudah dianggap mansukh, dan
karena itu tidak perlu digunakan sebagai dalil dalam mengistinbathkan
hukum. Dengan kata lain, keberadaannya di dalam Alquran hanya
sekedar merupakan data sejarah, bukan lagi sebagai dalil fiqih.
Berbeda dengan pendapat umum ini, sebagian ulama terutama di
zaman modern, cenderung berpendapat tidak ada ayat yang mansukh di
dalam Alquran. Pengetahuan tentang tertib turun ayat ini diperlukan
untuk mengetahui mana ayat yang diterangkan dan mana ayat yang
menerangkan serta apa dan bagaimana situasi yang terjadi ketika ayat
tersebut turun.

G. Mengapresiasi Pembacaan Ulang Alquran


Pembacaan ulang Muhammad Syahrur terhadap Alquran – telah
menghasilkan pemahaman dan kesan yang begitu mendalam tentang
akurasi istilah-istilah yang digunakan dalam alkitab30 bila ditinjau dari
segi ilmiah baik masa dulu, kini maupun masa yang akan datang. Isi al-
Kitab secara garis besar dibedakan menjadi dua, yakni ayat-ayat
kenabian (nubuwwah) dan ayat-ayat kerasulan (risalah). Keduanya,
dengan sifatnya masing-masing sama-sama cocok untuk setiap waktu
dan tempat. Muhammad saw adalah penutup para nabi dan rasul, dan
Islam merupakan agama fitrah (al-tabi’ah natural) yang sejalan dengan
hukum-hukum alam yang selalu bergerak dinamis, dan hal ini

dalam Alquran”, dalam Budhy Munawwar-Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin


Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 44.
30
Istilah al-Kitab, menurut Syahrur, lebih tepat dipergunakan untuk sebuah
kitab suci yang selama ini dikenal dengan nama al-Quran. Berdasarkan hasil kajiannya,
istilah al-Quran sesungguhnya menunjuk kepada sebagian isi dari al-Kitab. Lihat
Muhammad Syahrur, al-Kitab Wa al-Quran: Qira’ah Mu’ahirah, Cetakan 2,
(Damaskus: Dar al-Ahali, 1990), hal. 17.

179
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa Allah yang


mewahyukan agama ini juga merupakan pencipta alam semesta. Oleh
karena itu, risalah Muhammad (Islam) bersfat rahmatan li al-‘alamin
dan global (cocok untuk setiap penduduk bumi).
Metode yang diusulkan untuk mengkaji al-Kitab (Alquran)
adalah metode ilmiah (science). Di samping itu, terungkap pula baginya
perbedaan asasi antara al-Kitab, Alquran,31 al-zikr, al-furqan, dan al-
imam al-masani, umm al-kitab, tafsil al-Kitab, al-lawh al-mahfuz, dan
al-imam al-mubin.32 Anggapan selama berabad-abad terhadap lafaz-
lafaz atau istilah-istilah tertentu sebagai sinonim (al-taraduf), menurut
Syahrur, sesungguhnya tidaklah demikian. Jelas pula terungkap baginya
perbedaan antara aspek kenabian (nubuwwah) dan kerasulan (risalah)
Muhammad saw dan juga para rasul sebelumnya. Atas dasar
pemahaman seperti ini ia pun membuat kaidah-kaidah ta’wil. Kajiannya
terhadap tiga tema besar terangkum dalam kenabian dan kerasulan
Muhammad saw yakni Allah, alam, dan manusia – telah menghasilkan
beberapa pandangan (teori), yakni teori tentang ihwal keberadaan Tuhan
dan alam semesta, teori tentang pengetahuan manusia, teori tentang
tasyri’ (umm al-Kitab) yang terdapat di dalamnya teori batas
(nazariyyah al-hudud), teori akhlak, teori ekonomi teori estetika
(kendahan) dan teori (hukum) perjalanan sejarah.
Adapun kerangka teori yang menjadi acuan Syahrur dalam
memformulasikan ide-idenya adalah penilaian ajaran Islam (Quran dan
Sunnah) antara yang berdimensi nubuwwah dan yang berdimensi
risalah. Dalam melontarkan ide-ide pembaharuannya ia banyak sekali
mendasarkan pada pemilihan atas kedua hal tersebut. Oleh karena itu,
menurutnya, al-Kitab (Quran) isinya secara garis besar dapat dibedakan
atas nubuwwah dan risalah. Nubuwwah merupakan kumpulan informasi
(pengetahuan) kealaman dan kesejarahan yang dengan itu dapat
dibedakan antara benar dan salah yang terdapat di alam wujud (realitas

31
Perhatikan al-Quran dengan huruf kecil; ini untuk membedakannya dengan
al-Quran (dengan huruf besar) sebagaimana persepsi umumnya kaum muslimin.
Karena al-Quran menurut Syahrur berbeda dengan al-Quran menurut mereka. Fazlur
Rahman, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago:
The University of Chicago Press, 1982, hal. 27
32
Istilah-istilah ini dapat dipandang sebagai istilah kunci yang diuraikan
secara panjang lebar oleh Syarur dalam bukunya. Pendapat-pendapatnya yang
controversial banyak didasari oleh pemahamannya yang baru sama sekali terhadap
istilah-istilah tersebut dalam al-Quran. Untuk penjelasan istilah-istilah tersebut. Fazlur
Rahman, Islam dan Modernity…, hal. 49-68

180
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

empiris). Sedangkan risalah adalah kumpulan ajaran yang wajib


dipatuhi oleh manusia yang berupa ibadat, muamalat, akhlak, dan
hukum halal dan haram, dan ini semua merupakan taklif yang
dibebankan kepadanya. Jadi nubuwwah bersifat obyektif (mawdu’i)
dalam arti ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam
semesta dan berada di luar, kesadaran manusia, sedangkan risalah
bersifat subyektif (al-zati) yang berarti kumpulan aturan hukum yang
harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia di
dalam berprilaku. Dalam al-Kitab, Alquran merupakan dimensi
nubuwwah sedangkan umm al-Kitab merupakan dimensi risalah.33
Dengan demikian, risalah (umm al-Kitab) merupakan aspek
dinamis dari ajaran Islam karena ia berhubungan dengan aturan
perikehidupan manusia yang juga bersifat dinamis (selalu berubah
menurut waktu dan tempat). Doktrin yang mengatakan bahwa Islam
cocok untuk setiap zaman dan tempat juga menjadi landasan yang kuat
bagi pemikiran Syahrur.34 Oleh karena itu ia menentang keras
pemahaman hukum (ajaran) Islam yang kaku selama ini yang
menganggap bahwa ketentuan-ketentuan Syar’i (dalam Quran maupun
sunnah) yang berekenaan dengan hukum atau cara tertentu harus
dijalankan sebagaimana apa adanya. Anggapan seperti itu, menurutnya
bertentangan dengan sifat dasar manusia yang selalu berubah dari
masa kemasa dan dari satu tempat ke tempat lain, juga bertentangan
dengan hukum alam yang mana tidak ada benda (materi) di alam raya
ini yang geraknya lurus terus. Dalam konteks seperti inilah kemudian
dimunculkan teori batas (Nazariyyah al-Hudud).
Di samping itu, sesuai dengan spesial keilmuannya, ilmu
eksakta-terutama matematika dan fisika35- juga sangat berpengaruh
terhadap kerangka teori yang dibangun. Beberapa kali ia menyebut-
nyebut nama Isaac Newton sebagai rujukan bagi model mathematical
analysis yang digunakannya. Dalil-dalil fisika juga cukup banyak

33
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran, hal. 54, 90, dan 103. Wael B.
Hallaq dalam hal ini kemudian menyimpulkan bahwa fungsi kenabian adalah untuk
keagamaan (religions) sementara risalah merupakan hukum. Lihat Wael B. Hallaq. A
History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cet. 1
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 247
34
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran, hal. 44; al-Munjid,
Munaqasyat, hal. 170
35
Hallaq, A History…, hal. 246

181
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

disebut. Ini semua dilakukannya untuk menunjukkan tidak adanya


pertentangan antara wahyu dan realita (hukum alam) yang juga menjadi
landasan berpikirnya yang cukup kuat.36
Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan
pemikiran Syahrur, yang jelas Syahrur cukup berani dan kritis
melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat Alquran. Sebenarnya, jargon
“qira’ah mu’ashirah” yang dilontarkan Syahrur bertujuan melakukan
penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Alquran sesuai dengan
perkembangan sejarah interaksi antargenerasi, sehingga diharapkan akan
menegaskan eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus
berubah.

H. Penutup
Alquran adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan
firman-firman Allah (Kalam-Allah) yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. di antara tujuan utama diturunkannya Alquran adalah
untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka
supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar tujuan itu
dapat direalisasikan oleh manusia, maka Alquran datang dengan
petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan dan konsep-konsep, baik
yang bersifat global maupun yang terinci, yang tersurat maupun yang
tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan.
Alquran sendiri menyatakan dirinya sebagai al-Kitab (kitab,
buku), hudan (petunjuk) bagi manusia pada umumnya, dan orang-orang
bertakwa pada khususnya, al-furqan (pembeda antara yang baik dan
yang buruk, antara yang nyata dan yang khayal); rahmat (rahmat), syifa
(obat penawar khususnya untuk hati yang resah dan gelisah), thibyan li
kulli syai (penjelasan bagi sesuatu) dan beberapa atribut lainnya. Nama-
nama dan berbagai julukan ini secara tersurat memberi bukti bahwa
Alquran adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan berwawasan
luas.
Kendatipun Alquran mengandung berbagai ragam masalah
ternyata pembicaraannya tentang suatu masalah tidak selalu tersusun
secara sistematis seperti halnya buku ilmu pengetahuan yang dikarang
oleh manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa Alquran kitab yang tidak
sistematis bila dilihat dari sudut metodologi ilmiah. Di samping tidak
sistematis, Alquran juga sangat jarang menyajikan sesuatu masalah
secara terinci dan detail. Pembicaraan Alquran pada umumnya bersifat

36
Muhammad Syahrur, al-Kitab…., hal. 45

182
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

umum dan sering menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip


pokoknya saja.
Keadaan Alquran sebagaimana disebut di atas pada dasarnya
tidak mengurangi nilai Alquran. Sebaliknya, pada letak keunikan
sekaligus keistimewaan Alquran. Sebab dengan keadaan seperti itu,
Alquran akan menjadi objek kajian yang tidak kering-keringnya oleh
para cendikiawan, sehingga ia akan tetap aktual sepanjang masa.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, H.M. at. al, Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma


Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002).

Al-Qardhawi, Yusuf, al-Ijtihad wa al-Tajdid bayn al-Dhawabith al-


Syar’iyah wa al-Hayah al-Mu’ashirah, terj. Muhammad Hussein
dalam Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taklid vs Ijtihad,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, t.t)

Al-Shawkani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Irshad al-Fuhul,


(Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1992)

Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa


Muhammad, t.th.)

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001)

Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Alquran, (Jakarta: Pustaka


Alvabet, 2005)

Anwar, Syamsul, “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations:


Toward a Reinterpretation,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic
Studies, No. 60, Th. 1997

Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta:


Cakrawala, 2006)

183
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

Anwar, Syamsul, Diktat Kuliah Metodologi Hukum Islam.

Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Alquran, terj. Machasin,


(Jakarta: INIS, 1997)

Denver, Ahmad Von, ‘Ulum Alquran, an Introduction to Sciences of the


Qur’an, (London: The Islamic Foundation, 1985)

Graham, William A., “Qur’an as Spoken Word: an Islamic Contribution


to the Understanding of Scripture”, dalam Richard C. Martin
(ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Arizona: The
University of Arizona Press, 1985).

Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to


Sunni Ushul Fiqh, Cet. 1 (Cambridge: Cambridge University
Press, 1997)

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah,


1978)

Martin, Richard C. (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies,


(Arizona: The University of Arizona Press, 1985)

Nasr, Seyyed Hossein, terj. Nur Asiah Fakih S. Harahap, the heart of
islam Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan,
(Bandung: Mizan, 2003)

Nurdin, Ali, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal


dalam Alquran, (Jakarta: Erlangga, 2006).

Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Unisba, 1995)

Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual


Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982)

Rahman, Fazlur, terj. Ahsin Mohammad, Islam, (Bandung: Penerbit


Pustaka, 1984)

Shihab, Quraish, M, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992)

184
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

Syahrur, Muhammad, al-Kitab Wa Alquran: Qira’ah Mu’ahirah,


Cetakan 2, (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990)

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos, 1997)

Thowilah, Abd al-Wahhab al-Salam, Atsar al-Lughah fi Ikhtilaf al-


Mujtahidin, (Kairo: Dar al-Salam t.t.)

Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh


Univ. Press, 1970

Yafie, Ali, KH., “Nasikh-Mansukh dalam Alquran”, dalam Budhy


Munawwar-Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994)

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, (t.k. : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.)

Zaid, Nasr Hamid, terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Alquran Kritik


terhadap Ulmul Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2002)

185
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)


BERBASIS BUDAYA ACEH PADA SISWA KELAS II SD 54
BANDA ACEH

oleh
Usman
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

Abstrak
Penelitian ini maksudkan untuk mendeskripsikan keefektifan penerapan
pembelajaran matematika realistik (PMR) berbasis budaya Aceh pada
materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh. Penelitian ini
termasuk jenis penelitian eksperimen semu dengan pendekatan
deskriptif. Subjek penelitian adalah siswa kelas IIA SD Negeri 54 Banda
Aceh. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: tes hasil
belajar, lembar pengamatan aktivitas siswa (LPAS), lembar
pengamatan kemampuan guru (LPKG), dan angket respon siswa.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik
deskriptif. Kriteria keefektifan PMR berbasis budaya Aceh yaitu hasil
belajar siswa tuntas, aktivitas siswa selama pembelajaran efektif,
kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, dan respon siswa
terhadap pembelajaran positif. Berdasarkan hasil analisis data dan
pembahasan hasil penelitian diperoleh pembelajaran matematika
realistik (PMR) berbasis budaya Aceh efektif untuk mengajarkan materi
pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh.

Kata Kunci: PMR Berbasis Budaya Aceh

PENDAHULUAN
Proses belajar dapat terjadi di mana dan kapan saja sepanjang
hayat. Sekolah merupakan salah satu tempat proses belajar terjadi.
Sekolah merupakan tempat kebudayaan, karena pada dasarnya proses
belajar merupakan proses pembudayaan. Dalam hal ini, proses
pembudayaan di sekolah adalah untuk pencapaian akademik siswa,
untuk membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan tradisi
yang ada dalam suatu komunitas budaya, serta untuk mengembangkan
budaya dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa.
Misalnya siswa belajar matematika untuk mencapai akademik:
kemampuan bernalar matematika.

186
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194

Menurut Tyler (dalam Suprayekti, 2004:4.5) budaya adalah pola


utuh prilaku manusia dan produk yang dihasilkan membawa pola pikir,
pola lisan, pola aksi, dan artifak dan sangat tergantung pada kemampuan
seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahuannya kepada
generasi berikutnya melalui alat, bahasa, dan pola nalar. Pendidikan
merupakan proses pembudayaan dan pendidikan juga dipandang sebagai
alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah
merupakan proses pembudayaan yang formal (proses akultulasi)
Namun, kenyataan sekarang, kurikulum di sekolah memisahkan
siswa dari komunitas budayanya karena sekolah memiliki budaya dan
mata pelajaran yang diajarkan juga mengajarkan budaya yang lain
dengan budaya komunitas. Guru jarang mengintegrasikan tradisi budaya
siswa dengan materi pelajaran yang diajarkannya. Akibatnya siswa atau
lulusan sama sekali tidak dapat menghargai bentuk pengetahuan dan
kekayaan tradisional dalam kemunitas budayanya Grant & Gomes
(dalam Suprayekti, 2004)
Berkaitan dengan budaya masyarakat Aceh yang kental dengan
Agama Islam, pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah belum
mencerminkan pelaksanaan pendidikan yang islami. Beberapa program
yang telah dilakukan oleh pemerintah antara lain: (1) menghimbau
kepada guru/kepala sekolah untuk mengawali pembelajaran dengan
membaca Ayat Suci Alquran dan doa belajar. Akan tetapi, hasil belum
menunjukkan hal yang mengembirakan. Hal ini sesuai pendapat Banta
(2005) nuansa islami dalam penerapan sistem pendidikan di Aceh belum
menampakkan kesan yang kuat sehingga tidak terlihat perbedaan yang
signifikan antara sebelum dan sesudah pemberlakuan syariat islam.
Salah satu aternatif untuk mengatasi permasalahan di atas adalah
dengan mengembangkan pembelajaran matematika realistik berbasis
budaya Aceh. Pembelajaran matematika realistik yang disingkat dengan
PMR adalah pembelajaran matematikan dengan pendekatan realistik
yang pertama kali dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970. RME
menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana
siswa belajar matematika, dan bagaimana mengajarkan matematika
(www.pmri.or.id/latarbelakang.html).
Salah satu prinsip pendekatan realistik adalah prinsip realitas,
yaitu pembelajaran dimulai dengan dari dunia nyata dan kembali lagi ke
dunia nyata. Berkaitan dengan budaya Aceh, pembelajaran matematika
dengan memulai masalah nyata yang berkaitan budaya-budaya Aceh.
Selain itu, dalam pembelajaran matematika juga disisipkan nilai-nilai
agama islam yaitu disisipkan kata-kata bijak dalam kegiatan

187
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik

pembelajaran. Dalam pembelajaran matematika realistik berbasis


budaya Aceh, lingkungan belajar siswa akan berubah menjadi
lingkungan belajar yang menyenangkan bagi guru dan siswa, yang
memungkinkan guru dan siswa berpatisipasi aktif berdasarkan budaya
yang sudah mereka kenal, sehingga hasil dapat diperoleh hasil belajar
yang optimal.
Pengukuran merupakan salah satu materi matematika yang
diajarkan di kelas II sekolah dasar. Tujuan pembelajaran yang
diharapkan adalah siswa dapat mengenal alat-alat ukur tidak baku dan
baku dalam matematika. Misalnya dalam kehidupan sehari masyarakat
Aceh menggunakan depa, jengkal, atau hah untuk mengukur suatu
benda. Demikian juga ukuran volume (isi) dengan menggunakan ukuran
”Are”, atau ”Naleh. Dalam ukuran tanah sawah dengan ukuran ”
gepang, atau mah”.
Beberapa hasil penelitian antara lain: (1) Zubainur (2006:24)
pengembangan assesment dalam pembelajaran matematika realistik
berbasis budaya Aceh di SD Kota Banda Aceh diperoleh dalam
pembelajaran matematika di SD dapat diintegrasikan nilai-nilai kerifan
lokal dan keberagaman budaya yang ada dalam masyarakat Aceh.
Mengintegrasikan budaya Aceh dalam permasalahan konstektual dan
menanamkan aturan dalam kelompok, (2) Rahma (2006: 33) model
pembelajaran matematika realistik bernuansa islami efektif untuk
mengajarkan mata kuliah pendidikan matematika I di PGSD Unsyiah,
(3) Usman (2007:25) kemampuan siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Banda
Aceh dalam menyelesaikan masalah sistem persamaan linear dua
variabel yang realistik pada umumnya pada level kemampuan superior.
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah apakah penerapan pembelajaran matematika realistik (PMR)
berbasis budaya Aceh efektif untuk mengajarkan materi pengukuran
pada siswa SD Negeri 54 Banda Aceh? Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan keefektifan penerapan pembelajaran matematika
realitik (PMR) berbasis budaya Aceh pada materi pengukuran SD
Negeri 54 Banda Aceh.

METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dibahas yaitu untuk
mengetahui mendeskripsikan keefektifan penerapan pembelajaran
matematika realistik berbasis budaya Aceh pada materi pengukuran di
kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh maka penelitian disebut penelitian
deskriptif. Penelitian ini juga disebut penelitian eksperimen semu karena

188
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194

ditandai ada perlakuan yaitu PMR berbasis budaya Aceh. Rancangan


penelitian ini adalah” the one shot case study” yaitu

T1 X T2

Keterangan:
X1 : Tes awal
T : PMR Berbasis Budaya Aceh
X2 : Tes akhir

Yang menjadi subjek penelitian ini adalah siswa kelas IIA SD


Negeri 54 Banda Aceh. Pemilihan siswa kelas IIA sebagai subjek
penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling. Waktu
pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun
pelajaran 2007-2008.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai
berikut.
1. Tes. Tes terbagi atas dua, yaitu tes awal dan tes akhir. Tes awal
digunakan untuk melihat kemampuan awal siswa sebelum penerapan
PMR berbasis budaya Aceh. Data tes awal ini digunakan untuk
mengelompokkan siswa dalam kelompok belajar. Tes akhir
digunakan untuk melihat kemampuan akhir siswa setelah penerapan
PMR berbasis budaya Aceh.
2. Lembar Pengamatan Aktivitas siswa (LPAS)
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas
siswa selama pembelajaran berlangsung. Pengamat melakukan
pengamatan terhadap 6 orang siswa, yang terdiri dari 2 siswa
berkemampuan tinggi, 2 orang siswa berkemampuan sedang, dan 2
orang siswa berkemampuan rendah. Pada LPAS, pengamat
menuliskan nomor-nomor kategori aktivitas siswa yang dominasi
muncul dalam kegiatan pembelajaran dalam selang waktu 5 menit.
Dalam selang waktu tersebut, setiap 4 menit pengamat melakukan
pengamatan terhadap aktivitas siswa, kemudian 1 menit berikutnya
pengamat menuliskan nomor-nomor kategori aktivitas siswa.
3. Lembar Pengamatan Kemampuan Guru (LPKG)
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang
kemampuan guru menerapkan PMR berbasis budaya Aceh. Dalam
pengamatan, pengamat menuliskan kategori-kategori skor yang
muncul dengan menggunakan tanda cek (√ ) pada baris dan kolom
yang tersedia. Penilaian terdiri dari 4 kriteria yaitu, tidak baik (nilai

189
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik

1), kurang baik (nilai 2), cukup baik (nilai 3), baik (nilai 4), dan
sangat baik (nilai 5). Aktivitas guru yang diamati dapat dilihat pada
LPKG mengelola pembelajaran.

4. Angkat respon siswa


Angket ini digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang
respon siswa terhadap penerapan PMR berbasis budaya Aceh. Siswa
mengisi angket dengan mencontreng (√ ) pada kolom yang tersedia
untuk setiap pertanyaan yang diajukan. Angket tersebut diberikan
kepada siswa pada akhir kegiatan pembelajaran.
Teknik analisisi data dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Data Tes Hasil Belajar
Data tes hasil belajar dianalisis dengan menentukan ketuntasan hasil
belajar siswa. Siswa dikatakan tuntas secara individual (KKM) jika
siswa memperoleh skor 65 % dari skor total. Siswa dikatakan tuntas
secara klasikal jika 80 % siswa sudah mencapai KKM. Hasil belajar
siswa dikatakan tuntas jika 80 % siswa sudah mencapai KKM.
2. Data aktivitas siswa
Data tentang aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran
dianalisis berdasarkan persentase. Persentase aktivitas siswa yaiotu
frekuensi setiap aspek pengamatan dibagi dengan jumlah frekuensi
semua aspek pengamatan dikali 100 % atau dengan rumus ditulis seperti
berikut.

Frek setiap aspek pengamatn


Persentase Aktivitas Siswa =
Jmlh Frek semua aspek pengamtn
Aktivitas siswa dikatakan efektif jika minimal ada enam aspek
dari tujuh aspek yang diamati pada setiap RPP barada dalam rentang
waktu ideal (Hasratuddin, 2002).
3. Data Kemampuan Guru
Data tentang kemampuan guru mengelola pembelajaran
dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dengan mencari skor
rata-rata. Adapun pendeskrepsikan skor rata-rata tingkat kemampuan
guru (TKG) sebagai berikut.
1.00 ≤ TKG ≤ 1,50 : tidak baik
1.50 ≤ TKG ≤ 2,50 : kurang baik
2.50 ≤ TKG ≤ 3,50 : cukup baik
3.50 ≤ TKG ≤ 4,50 : baik
4.50 ≤ TKG ≤ 5.00 : sangat baik (Hasratuddin, 2002)

190
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194

Kemampuan guru mengelola pembelajaran dikatakan efektif jika


rata-rata skor dari semua aspek untuk tiap RPP berada pada kategori
baik atau sangat baik.
4. Data Respon siswa
Data respon siswa yang diperoleh melalui angket dianalisis
menggunakan statistik seskripsi dengan persentase. Persentase dari
setiap respon siswa dihitung dengan rumus:
Jumlah respon positif mhs tiap aspek yang muncul
x100%
Junlah seluruh siswa
Data respon siswa yang diperoleh melalui angket dianalisis berdasarkan
persentase. Respon siswa dikatakan positif jika 80 % atau lebih siswa
siswa merespon dalam kategori senang/baru/berminat/jelas/tertarik,
untuk setiap aspek yang direspon.
5. Kriteria Keefektivan PMR berbasis budaya Aceh
Penerapan PMR berbasis budaya Aceh dikatakan efektif jika
memenuhi syarat: (1) ketuntasan hasil belajar siswa tuntas, (2) aktivitas
siswa efektif, (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, dan
(4) respon siswa baik.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Deskripsi Hasil Tes


Dari 25 orang siswa yang mengikuti tes setelah penerapan PMR
berbasis budaya Aceh diperoleh skor terendah adalah 30 sedangkan skor
tertinggi 95. Dari 25 orang siswa dari 25 orang siswa (80%) yang
mencapai ketuntasan hasil belajar. Dengan demikian ketuntasan hasil
belajar siswa termasuk kategori tuntas. Hal ini menunjukkan PMR
berbasis budaya Aceh menyebabkan ketuntasan hasil belajar siswa pada
materi pengukuran. Salah satu faktor penyebab adalah PMR berbasis
budaya Aceh mengaitkan materi pengukuran dengan pengalaman dalam
kehidupan sehari-hari sehingga siswa terlibat aktif dalam mengkontruksi
pengetahuan. Selain itu dalam pembelajaran matematika disisipkan
budaya-budaya Aceh sehingga siswa lebih termotivasi dalam belajar.

2. Deskipsi Hasil Aktivitas Siswa


Aktivitas siswa diamati oleh seorang pengamat. Pengamat hanya
mengamati 6 orang siswa yaitu 2 orang berkemampuan tinggi, 2 orang
berkemampuan sedang, dan 2 orang berkemampuan rendah. Pengamatan
dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dan hasilnya dapat
dilihat pada tabel berikut ini.

191
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik

Tabel 3. Hasil Pengamatan Aktivitas siswa selama Pembelajaran

No Kategori Pengamatan Persentase Aktivitas Kriteria


Siswa dalam Batasan
Pembelajaran RPP ke Kefektifan
RPP RPP RPP RPP (%)
1 2 3 4
1 Memperhatikan/mendengarkan 28,9 20 15,6 19 12 – 22
penjelasan guru/siswa
2 Membaca/memahami masalah 13,3 10 11,1 5 5 – 15
konstektual dalam LKS
3 Menyelesaiakan masalah atau 22 24,5 27,8 29 22 – 35
menemukan cara
menyelesaikan masalah
4 Membandingkan jawab dalam 15,6 17 20 20 16 – 27
diskusi kelompok atau kelas
5 Bertanya/menyampaikan 7, 8 12 14,4 17 11 – 21
pendapat/ide kepada
guru/siswa
6 Menarik kesimpulan suatu 8, 9 11 11,1 10 4 - `14
prosedur/konsep
7 Perilaku yang tidak relevan 2,5 0 0 0 0 – 5
dengan KBM

Berdasarkan tabel 5 di atas, pada RPP1 aktivitas siswa dalam


pembelajaran belum efektif karena ada beberapa aspek aktivitas yang
berada di luar kriteria batasan keefektifan yaitu pada aspek
memperhatikan/mendengarkan penjelasan guru/siswa. Pada RPP2, RPP3
dan RPP 4 aktivitas siswa dalam pembelajaran termasuk efektif.

3. Deskipsi Hasil Kemampuan Guru


Hasil pengamatan terhadap guru dalam mengelola pembelajaran
selama 4 (empat) pertemuan diperoleh: (1) rata-rata kemampuan guru
pada pertemuan pertama (RPP1) adalah 3, 82, (2) rata-rata kemampuan
guru pada pertemuan kedua (RPP2) adalah 4,38, (3) rata-rata
kemampuan guru pada pertemuan ketiga (RPP3) adalah 4,44, (4) rata-
rata kemampuan guru pada pertemuan keempat (RPP4) adalah 4,11.
Dengan demikian, dapat disimpulkan kemampuan guru mengelola PMR
berbasis budaya Aceh termasuk kategori “ baik”.

192
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194

4. Deskripsi Hasil Respon Siswa


Dari angket respon siswa yang diisi oleh 25 orang siswa setelah
mengikuti pembelajaran untuk materi pengukuran, maka diperoleh: (1)
rata–rata 98% persentase siswa merasa terhadap komponen
pembelajaran : materi pelajaran, LKS, budaya pada LKS, soal latihan,
suasana pembelajaran di kelas, dan cara guru mengajar, (2) rata-rata
99% siswa berminat untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya seperti
yang baru saja diikuti, (3) rata-rata 100 % siswa tertarik dengan
penampiran (tulisan, ilustrasi/gambar dan letak gambar) yang terdapat
dalam LKS dan soal latihan. Dengan demikian, secara keseluruhan
disimpulkan bahwa respon siswa terhadap penerapan PMR berbasis
budaya Aceh adalah positif.
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika realistic (PMR) berbasis budaya Aceh efektif
untuk mengajarkan materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Banda
Aceh. Dalam hal ini, memenuhi empat indicator keefektifan dipenuhi
yaitu: (1) hasil belajar siswa tuntas, (2) aktivitas siswa selama
pembelajaran termasuk efektif, (3) kemampuan guru mengelola
pembelajaran termasuk efektif, dan (4) respon siswa terhadap
pembelajaran termasuk positif.
Beberapa nampak pengiring penerapan pembelajaran matematika
realistik (PMR) berbasis budaya Aceh adalah budaya belajar siswa
meningkat, saling membantu dan menjelaskan sesama teman.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pembelajaran
matematika realistik berbasis budaya Aceh efektif untuk mengajarkan
materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Badan Aceh, karena hasil
belajar tuntas, aktivitas siswa selama pembelajaran efektif, kemampuan
guru mengelola pembelajaran efektif, dan respon siswa terhadap
pembelajaran positif.
Berdasarkan kesimpulan, penulis menyarankan kepada guru
untuk menerapkan pembelajaran matematika realistic (PMR) berbasis
budaya Aceh untuk meningkatkan ketuntasan hasil belajar siswa.
Selanjutnya guru perlu menyisipkan nilai-nilai budaya lingkungan siswa
dalam kegiatan pembelajaran, untuk menanamkan dan memperkenalkan
budaya lingkungan siswa sehingga dapat mengenal dan mengetahui
budayanya sendiri.

193
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik

DAFTAR PUSTAKA

Banta, Teuku Alamsyah. 2005. Efektivitas Pengelolaan Dana


Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam. Makalah
Disampaikan pada Diskusi Panel Nasional ”Recovery
Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam”. Forum Mahasiswa
Pascasarjana Aceh Malang, di Malang pada Tanggal 18-19 Juni
2005.

Hasratuddin. 2002. Pembelajaran Matematika Realistik Unit Geometri


dengan Pendekatan Realistik di SLTP 6 Medan. Tesis Magister
Pendidikan. Subabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya

Johar, Rahmah, dkk. 2007. Penerapan Pendekatan Realistik Bernuansa


Islami Pada Mata Kuliah Pendidikan Matematika I Di PGSD
FKIP Unsyiah. Laporan Penelitian Teaching Grand.
Darussalam: FKIP Unsyiah
Suprayekti, dkk. 2004. Inovasi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas
Terbuka

Zubainur, Cut Morina, dkk. 2007. Pengembangan Assesmen dalam


Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Budaya Aceh.
Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Darussalam: Universitas
Syiah Kuala

Usman & Suhartati. 2007. Penerapan Penilaian Authentik dalam


Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Matematika
Realitik di Kelas VIII SMP Negeri 3 Banda Aceh. Laporan
Penelitian Dosen Muda. Darussalam: Jurusan Pendidikan
Matematika FKIP Unsyiah.

Usman. 2008. Memperbaiki Kualitas Pembelajaran SD Melalui


Pendekatan Matematika Realistik. Makalah Disampaikan pada
”Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah PTK Bagi guru di
Kecamatan Syamtalira Bayu Aceh Utara”. PGRI Kecamatan
Syamtalira Bayu, di SMP Negeri 1 Syamtalira Bayu pada
Tanggal 27-28 Maret 2008.

194
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MODEL PEMBELAJARAN


BERBASIS MASALAH PADA MATERI
PERSAMAAN GARIS LURUS KELAS VIII
SMP NEGERI 2 BANDA ACEH

oleh
Syahjuzar
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk; (1) mendeskripsikan pelaksanaan


model pembelajaran berdasarkan masalah efektif untuk meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah matematika siswa kelas VIII SMP
Negeri 2 Banda Aceh, (2) untuk mengetahui respon siswa terhadap
pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah pada
pembelajaran matematika di kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh.
Penelitian ini disebut penelitian eksperimen. Populasi dalam penelitian
ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh. Subyek
penelitian ini adalah siswa kelas VIII.4 yang dipilih dari 6 kelas.
Iinstrumen yang digunakan adalah: instrument tes, lembar observasi
aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pemeblajaran, dan respon
siswa.Data dianalisis dengan menggunakan analisis statisitik deskriptif.
Hasil yang diperoleh adalah: (1) pelaksanaan model pembelajaran
berdasarkan masalah untuk meningkatkan kemampuan memecahkan
masalah belum efektif di kelas VIII.4 SMP Negeri 2 Banda Aceh, (2)
respon siswa setelah pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan
masalah di kelas VIII.4 pada materi gradien termasuk kategori positif

Kata Kunci: Model pembelajaran berdasarkan masalah, memecahkan


masalah

195
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

PENDAHULUAN
Dalam mempelajari matematika siswa sering menghadapi
masalah, yaitu tidak berhasil menyelesaikannya soal-soal, padahal
menyelesaikan masalah dalam matematika adalah cara yang terbaik
untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah seseorang.
Disadari bahwa karena situasi pemecahan masalah merupakan suatu
tahapan saat individu dihadapkan kepada masalah ia tidak serta merta
mampu menemukan solusinya bahkan dalam proses penyelesaiannya ia
masih kebuntuan. Oleh karena itu, sangat diperlukan kemampuan untuk
individu dapat berpikir secara kritis dan kreatif untuk mencari solusi
terhadap masalah yang dihadapi.
Pembelajaran matematika penting diberikan di sekolah sebagai
wahana untuk mengembangkan kemampuan penalaran, supaya mampu
berpikir logis, sistematis, kritis, cermat dan kreatif dalam
mengkomunikasikan gagasan atau memecahkan masalah baik di sekolah
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai harapan kurikulum
satuan tingkat pendidikan (KTSP) 2006 matematika SMP menyebutkan
tujuan pelajaran matematika diajarkan di SMP adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan: (1) memahami konsep matematika, (2)
menggunakan penalaran pada pola dan sifat, (3) memecahkan masalah,
(4) mengkomunikasikan gagasan, (5) memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan.
Tujuan di atas menunjukkan bahwa siswa dituntut untuk
memahami konsep dan memecahkan masalah matematika yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kenyataan menunjukkan bahwa
pada umumnya pembelajaran matematika sampai saat ini belum
menunjukkan hasil yang optimal. Hasil penelitian di beberapa sekolah
menunjukkan pembelajaran matematika kurang melibatkan aktifitas
siswa secara optimal, kemampuan memecahkan masalah siswa masih
rendah, dan siswa kurang memahami konsep dasar matematika Sutiarso
(2000). Keadaan tersebut tentunya kurang menguntungkan bagi dunia
pendidikan, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran supaya segala kekurangan yang terjadi di sekolah
dapat diminimalisasi sehingga tuntutan dan tujuan yang diharapkan
dalam kurikulum bisa tercapai.
Salah satu cara upaya yang dilakukan yaitu mengadakan
pergeseran kondisi pembelajaran dari guru ke siswa (teacher centered ke
student centered). Berbagai model pembelajaran yang dapat melibatkan
aktivitas siswa, salah satunya adalah pembelajaran berdasarkan masalah.
Pada pembelajaran berdasarkan masalah siswa memahami konsep atau

196
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model

mengkontruksi sendiri pengetahuan melalui situasi atau masalah yang


tidak terstruktur dengan baik, sehingga memungkinkan siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir matematika seperti penalaran,
komunikasi serta memecahkan masalah. Salah satu model pembelajaran
yang menekankan pada pemahaman konsep dan memecahkan masalah
adalah menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah. Model
pembelajaran ini merupakan pembelajaran siswa pada masalah autentik
sehingga dapat menyusun pengetahuannya sendiri, dan
menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan inkuairi,
memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya (Arends,
1997:288). Dengan demikian, model pembelajaran berdasarkan masalah
selain mengembangkan berpikir tingkat rendah tetapi dapat berpikir
tingkat tinggi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)
pemahaman matematika siswa SMU 1 Tasikmalaya melalui
pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik daripada pemahaman
matematika siswa melalui pembelajaran biasa, (2) siswa aktif selama
proses pembelajaran, (3) secara umum, siswa bersikap positif terhadap
pembelajaran berdasarkan masalah Nani R (2005: 154). Sedangkan hasil
penelitian Usman (2007: 30) menunjukkan aktivitas siswa dan respon
siswa kelas XI SMA Negeri 5 Banda Aceh baik setelah penerapan
model pembelajaran berdasarkan masalah.
Terdapat beberapa materi matematika SMP yang dapat diajarkan
dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah, salah
satunya adalah materi persamaan garis. Materi ini banyak penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bidang ekonomi, ilmu fisika,
kimia, biologi, dan bidang teknik. Pengetahuan siswa tentang materi
persamaan garis lurus akan mendasari pemahaman siswa untuk
mempelajari materi matematika selanjutnya.
Berdasarkan pengalaman penulis mengajarkan mata kuliah
matematika ekonomi didapatkan ada beberapa mahasiswa yang tidak
bisa menggambarkan grafik persamaan garis dan tidak bisa menentukan
kemiringan suatu garis. Rendahnya pemahaman mahasiswa salah satu
disebabkan pemahaman mahasiswa tentang persamaan garis di
SMP/SMA belum dikuasai.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis berkeinginan
melakukan penelitian yang berjudul ” Efektifitas pelaksanaan model
pembelajaran berdasarkan masalah untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2
Banda Aceh”.

197
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

Penelitian ini dimaksudkan: (1) untuk mendeskripsikan


pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah efektif untuk
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika siswa
kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh, (2) untuk mendeskripsikan
respon siswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan
masalah pada pembelajaran matematika di kelas VIII SMP Negeri 2
Banda Aceh

METODE PENELITIAN

Jenis Dan Rancangan Penelitian


Mengacu pada perumusan masalah pada Bab I, jenis penelitian
ini termasuk penelitian eksperimen karena ditandai adanya perlakuan
yang dirancang secara sengaja untuk mengubah kondisi yakni
pelakasanaan model pembelajaran berdasarkan masalah. Penelitian ini
disebut juga penelitian eksperimen semu (quasi exsperimen) jenis “ the
one-shot case study”.

Subyek Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 2 Banda Aceh.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP
Negeri 2 Banda Aceh tahun ajaran 2008/2009 yang terdiri dari 6 kelas.
Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII.4 yang dipilih dari 6 kelas.
Pemilihan siswa kelas VIII.4 karena atas hasil wawancara dengan guru
bidang studi matematika kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh.

Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data


Instrumen dan teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah
sebagai berikut
a. Instrumen Tes
Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data hasil belajar siswa
tentang kemampuan siswa memecahkan masalah tentang materi
persamaan garis. Tes terbagi dua jenis yaitu tes awal dan tes akhir.
Tes awal diberikan sebelum pembelajaran dilaksanakan. Tes awal ini
bertujuan untuk mendapatkan data awal tentang kemampuan materi
prasyarat dan untuk mengambil siswa yang kemampuan tinggi,
sedang, dan rendah sebagai siswa yang diamati aktivitas
pembelajaran. Tes akhir diberikan setelah pelaksanaan pembelajaran
berlangsung. Instrumen tes akhir disusun oleh peneliti yang
didasarkan pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006

198
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model

yang berlaku di sekolah tersebut. Adapun kisi-kisi soal tes akhir


dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel 3.1 Kisi-kisi soal tes akhir

Indikator Kisi-kisi butir soal Nomor RPP


soal ke
Menentukan 1. Menentukan gradien 1 1
gradien garis garis bila diketahui dua
titik
2. Menentukan gradien 2 2
garis bila diketahui dua
garis yang saling sejajar
3. Menentukan gradient 3 2
garis bila diketahui dua
garis yang saling tegak
lurus

b. Lembar observasi aktivitas siswa


Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data tentang aktivitas
siswa selama pelaksanaan model berdasarkan masalah berlangsung .
Lembar observasi diberikan kepada seorang pengamat untuk diisi
dengan cara menuliskan cek list (V) sesuai dengan keadaan yang
diamati.

c. Lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran


Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data kemampuan guru
model berdasarkan masalah. Lembar observasi diberikan kepada
seorang pengamat untuk diisi dengan cara menuliskan cek list (V)
sesuai dengan keadaan yang diamati.
d. Angket respon siswa
Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data tentang pendapat
atau komentar siswa mengenai pembelajaran. Angket ini diberikan
kepada siswa untuk di isi setelah pembelajaran berlangsung.

Teknik Analisis Data


Untuk menjawab perumusana masalah pada Bab I, setelah data
dikumpulkan dilakukan analisis dengan menggunakan analisis
deskriptif. Adapun gejala pertama yang diselidiki: apakah pelaksanaan
model pembelajaran berdasarkan masalah efektif untuk meningkatkan

199
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

kemampuan memecahkan masalah matematika siswa kelas VIII SMP


Negeri 2 Banda Aceh?. Data yang digunakan untuk menjawab
pertanyaan ini adalah: (1) menganalisis data hasil belajar siswa, (2) data
aktivitas siswa, dan (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran.
Untuk pertanyaan yang kedua digunakan analisis deskriptif yaitu
menganalisis data respon siswa setelah penerapan model pembelajaran
berdasarkan masalah pada materi limas dan prisma. Uraian teknik
analasis data sebagai berikut.
a. Ketuntasan hasil Belajar Siswa
Data hasil belajar siswa dianalisis secara deskriptif untuk
menentukan ketuntasan hasil belajar. Seorang siswa dikatakan tuntas
secara individual apabila secara klasikal diperoleh skor ≥ 60 dari
skor total. Sedangkan ketuntasan secara klasikal diperoleh jika
terdapat ≥ 80 siswa telah tuntas secara individual
b. Analisis data aktivitas siswa
Setelah data aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung
diperoleh, selanjutnya dianalisis secara deskriptif, dengan skor rata-
rata. Adapun pendeskripsian skor rata-rata tingkat aktivitas siswa
sebagai berikut.
1.00 ≤ TAS < 1,50 : tidak baik
1.50 ≤ TAS < 2,50 : kurang baik
2.50 ≤ TAS < 3,50 : cukup baik
3.50 ≤ TAS < 4,50 : baik
4.50 ≤ TAS < 5,00 : sangat baik
Kriteria aktivitas siswa dalam pembelajaran dikatakan efektif jika
rata-rata skor dari semua aspek dari tipa rencana pembelajaran (RP)
berapa kategori baik atau sangat baik.
c. Analisis data kemampuan guru mengelola pembelajaran
Data tentang kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
dianalisis dengan cara deskriptif yaitu menghitung nilai rata-rata
setiap aspek yang diamati dalam mengelola pembelajaran. Kriteria
tingkat kemampuan guru (TKG) dalam mengelola pembelajaran
sebagai berikut.
1,00 ≤ TKG < 1,50 : Kurang baik
1,50 ≤ TKG < 2,50 : Cukup
2,50 ≤ TKG < 3,50 : Baik
3,50 ≤ TKG ≤ 4,00 : Sangat Baik
TKG : Tingkat kemampuan guru (Saur Nauli, 2002: 32)
Tingkat kemampuan guru mengelola pembelajaran dikatakan baik
jika setiap aspek yang dinilai berada pada kategori minimal baik.

200
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model

Kriteria keefektifan pelaksanaan model pembelajaran


berdasarkan masalah untuk meningkatkan kemampuan memecahkan
masalah matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh jika
memenuhi tiga syarat yaitu: (1) ketuntasan hasil belajar siswa berada
pada kategori tuntas, (2) aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran
berada pada kategori efektif, (3) kemampuan guru mengelola
pembelajaran berada pada kategori baik. Jika salah satu syarat di atas
tidak memenuhi maka model pembelajaran berdasarkan masalah tidak
efektif untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh
Selanjunya untuk menjawab perumusan masalah kedua yaitu
bagaimanakan respon siswa terhadap pelaksanaan model
pembelajaran berdasarkan masalah pada pembelajaran matematika di
kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh, maka data repon siswa
dianalisis secara deskriftif dengan prosentase. Prosentase setiap
respon siswa dihitung dengan rumus:
Jumlah respon siswa tiap aspek yang muncul
x100%
Jumlah seluruh siswa
Respon siswa dikatakan positif jika 80% atau lebih siswa merespon
dalam kategori senang/baru/tidak senang untuk setiap aspek yang
direspon.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Hasil Penelitian


Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan beberapa
aspek dalam pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah
pada materi persamaan garis di kelas VIII SMP yang meliputi: (1)
ketuntasan hasil belajar siswa, (2) aktivitas siswa selama pembelajaran,
(3) kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, dan (4) respon
siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika dengan strategi
PBI. Hasil analisis deskriptif data penelitian diuraian sebagai berikut..

Ketuntasan hasil belajar siswa


Data hasil belajar siswa dikumpulkan melalui pelaksanaan tes
tertulis yang diberikan pada siswa kelas VIII.4 yang berjumlah 34 orang
setelah pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah. Hasil
analisis jawaban tes diperoleh skor hasil tes dan ketuntasan hasil belajar
siswa dapat dilihat pada tabel di bawah ini

201
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

Tabel 5.1 Skor dan Ketuntasan Hasil Belajar

NIS Skor THB NIS Skor THB


12245 11 T 12153 13 T
12272 5 BT 12128 11 T
12273 11 T 12279 5 BT
12248 5 BT 12199 6 BT
12288 11 T 12201 8 BT
12290 13 T 12369 7 BT
12291 13 T 12231 10 BT
12216 11 T 12232 10 BT
12217 5 BT 12313 7 BT
12193 7 BT 12207 7 BT
12219 17 T 12236 13 T
12222 7 BT 12209 13 T
12223 7 BT 12238 15 T
12165 15 T 12180 15 T
12226 13 T 12240 13 T
12125 13 T 12242 5 BT
12227 11 T 12322 4 BT

Keterangan: T : Tuntas: BT : Belum tuntas

Berdasarkan tabel 5.1 di atas, diperoleh skor minimal adalah 4,


skor maksimal 17, dan skor rata-rata 9,91. Sedangkan ketuntasan hasil
belajar siswa diperoleh 18 orang dari 34 orang siswa (52,94%) siswa
tuntas secara individual, 16 orang dari 34 orang siswa (47 %) tidak
tuntas secara individual. Dengan demikian ketuntasan hasil belajar siswa
secara klasikal belum termasuk dalam kategori tuntas.

Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa


Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas siswa selama kegiatan
pembelajaran pada pertemuan pertaman dan kedua dapat dilihat pada
tabel berikut ini.

202
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model

Tabel 5.2 Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa

Persentase
Kategori Pengamatan Pertemuan ke- Rata-
1 2 Rata
1. Mendengar atau memperhatikan penjelasan
guru. 16,66 16,66 16,66
2. Membaca/mencermati masalah (soal) 6,66 6,66 6,66
3. Bekerja dalam memecahkan masalah yang
meliputi: mengumpulkan informasi yang
sesuai, menemukan penjelasan, dan peme-
cahan masalah dan bekerjasama menyele- 20,00 20,00 20,00
saikan masalah dengan teman sebangku
4. Menyajikan hasil kerja 8,88 17,77 13,32
5. Berdiskusi/bertanya antar siswa/kelompok
/guru yaitu menyatakan pendapat/ide dan me- 1,11 7,77 4,44
nanggapi pertanyaan guru/teman.
6. Mengkaji/mengecek ulang proses penye- 6,66 6,66 6,66
lesaian masalah.
7. Menyimpulkan hasil pembelajaran. 15,55 15,55 15,55
8. Perilaku yang tidak relevan/sesuai dengan
KBM. 24,44 8,88 16,66
Aktivitas aktif (2, 3, 4, 5, 6 dan 7) 66,68
Aktivitas pasif (1 dan 7) 33,32

Berdasarkan tabel 5.2 di atas, hasil pengamatan aktivitas siswa


selama kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
1. Pertemuan pertama (RPP1)
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, terlihat analisis hasil pengamatan
terhadap aspek-aspek aktivitas siswa pada pertemuan pertama dan
mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan, dapat disimpulkan aktivitas
siswa pada pertemuan pertama (RPP1) belum mencapai efektif karena
ada aspek yang tidak memenuhi kriteria efektif yaitu aspek menyajikan
hasil kerja, berdiskusi/bertanya antar siswa/kelompok/guru yaitu
menyatakan pendapat/ide, dan perilaku yang tidak relevan/sesuai dengan
KBM.
2. Pertemuan kedua (RPP2)
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, terlihat analisis hasil pengamatan
terhadap aspek-aspek aktivitas siswa pada pertemuan kedua dan
mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan, dapat disimpulkan aktivitas

203
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

siswa pada pertemuan kedua (RPP2) belum mencapai efektif karena ada
aspek yang tidak memenuhi kriteria efektif yaitu aspek perilaku yang
tidak relevan/sesuai dengan KBM.
Berdasarkan tabel di atas, secara umum rata-rata persentase
aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran belum mencapai efektif
karena ada aspek yang tidak memenuhi kriteria yaitu aspek perilaku
yang tidak relevan/sesuai dengan kegiatan belajar mengajar. Dengan
demikian aktifitas siswa selama pelaksanaan model pembelajaran
berdasarkan masalah belum termasuk kategori efektif.
.
c. Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran
Berdasarkan hasil pengamatan dari pengamat mengenai
kemampuan guru mengelola pembelajaran dapat dilihat pada tabel
berikut ini

Tabel 5.3 Kemampuan guru mengelola pembelajaran


No Aspek yang diamati Pert. ke Rata- Kate-
1 2 rata gori
I Kegiatan Awal
Tahap1: Mengorientasikan siswa pada
masalah. 3 3 3
1. Membuka pembelajaran . dan berdoa 2 3 2,5
2. Memotivasikan siswa melalui tanya
jawab tentang materi sebelumnya dengan Baik
materi yang akan dipelajari. 3 3 3
3. Menyampaikan tujuan dan kegiatan pem-
belajaran 3 3 3
4. Mengajukan masalah (soal) kepada siswa
dan membimbing siswa mengemukakan
ide me-nyelesaikan masalah

204
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model

II Kegiatan Inti
Tahap 2: Mengorganisasikan siswa untuk
belajar.
Membagi siswa menjadi beberapa 3 3 3 Baik
kelompok dan meminta siswa
menyelesaikan masalah
Tahap 3: Membantu siswa memecakan 3 3 3
masalah.
1. Membimbing siswa mengumpulkan 2 3 2,5 Baik
infomasi yang sesuai, menemukan
penjelasan, dan memecahan masalah. 2 3 2,5
2. Memotivasi untuk bekerjasama/diskusi
da-lam memecahkan masalah.
3. Membimbing/mengamati siswa dalam
me-nyelesaikan masalah. 2 3 2,5 Baik
Tahap 4: mengembangkan dan
menyajikan hasil pemecahan masalah.
Membimbing siswa menyajikan hasil kerja 3 3 3
Tahap 5: menganalis dan mengevaluasi Baik
proses pemecahan masalah 2 3 2,5
1. Membantu siswa mengkaji ulang hasil
pe-mecahan masalah
2. Membimbing siswa yang belum tuntas
pe-mecahan masalahnya

III Kegiatan Akhir


1. Membimbing siswa membuat kesimpulan 3 3 3 Baik
2. Memberikan soal- tugas. 3 3 3
IV Pengelolaan waktu 2 3 2,5 Baik
Suasana Kelas
1. Antusias siswa 2 3 2,5 Baik
2. Antusian guru 2 3 2,5

Berdasarkan tabel 5.3 di atas, kemampuan guru mengelola


pembelajaran berdasarkan masalah memperoleh skor rata-rata setiap
aspek yang diamati dalam mengelola pembelajaran dari 2 (dua) kali
pertemuan termasuk kategori baik. Dengan demikian guru kemampuan
guru dalam mengelola pembelajaran berdasarkan masalah termasuk
kategori baik.

205
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

Respon siswa terhadap pembelajaran


Angket respon diisi oleh 34 orang siswa setelah pembelajaran
berlangsung diperoleh hasil berikut ini.
1) Pendapat siswa terhadap komponen mengajar

Tabel 5.4.1: Pendapat siswa terhadap komponen mengajar

Aspek yang dinilai Respon siswa (%)


Sangat Senang Kurang Tidak Baru Tidak
senang Senang senang Baru
1. Materi pelajaran 5, 88 82,35 8,82 2,74 88,46 11,54
2. Soal di buku paket 5, 88 58,88 5,88 5,88 0,00 100
3. Suasana kelas 14,70 58,82 8,82 5,88 47,05 55,29
4. Penampilan guru 26,47 64,70 8,82 0,0 55,29 47,05
5. Cara guru mengajar 23,52 64,70 11,76 0,0 47,05 55,29
Rata-rata 15,29 65,90 8,82 2,90 47,57 52,43

2) Minat siswa mengikuti pembelajaran

Tabel 5.4.2 Minat siswa mengikuti pembelajaran

Respon siswa (%)


Sangat Berminat Kurang Tidak
Aspek yang dinilai
Berminat Berminat berminat

Minat siswa 26,47 67,64 2,94 2,94


mengikuti
pembelajaran
Rata-rata 26,47 67,64 2,94 2,94

3) Tanggapan siswa terhadap keterbacaan soal dalam buku paket


Tabel 5.4.3. Komentar siswa terhadap keterbacaan soal

Respon siswa (%)


Aspek yang dinilai Sangat Mengerti Sulit Sangat sulit
dimengerti dimengerti Dimengerti
Tanggapan siswa 38,23 47,05 8,82 5,88
terhadap soal –soal di
buku paket
Rata-rata 38,23 47,05 8,82 5,88

206
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model

Berdasarkan tabel 5.4.1, 5.4.2, dan 5.4.3 di atas, secara umum


pendapat siswa dilihat dari hasil angket menunjukkan bahwa rata-rata
81,19 % menyatakan sangat senang dan senang terhadap komponen
mengajar yang meliputi terhadap materi pelajaran, soal di buku paket,
suasana kelas, penampilan guru, dan cara guru mengajar. Berdasarkan
tabel di atas, juga diungkapkan bahwa rata-rata 47,57 % dan 52,43 %
siswa menyatakan baru dan tidak baru terhadap komponen mengajar.
Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa 26, 47 % menyatakan
sangat berminat dan 67,64 % menyatakan berminat untuk mengikuti
kegiatan belajar mengajar berikutnya. Pendapat terhadap keterbacaan
soal-soal dalam buku paket menyatakan bahwa 38,23 % sangat mengerti
dan 47,05 mengerti. Secara umum respon siswa terhadap pelaksanaan
model pembelajaran berdasarkan masalah kategori positif. Dengan
demikian pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat
membangkitkan minat siswa untuk belajar

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1) Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah untuk
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah belum efektif di
kelas VIII.4 SMP Negeri 2 Banda Aceh
2) Respon siswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan
masalah di kelas VIII.4 termasuk kategori positif.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan,
penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut.
1) Model pembelajaran berdasarkan masalah dapat dilaksanakan untuk
materi lain pada pelajaran matematika dan sesuai sengan
karakteristik pembelajaran.
2) Model pembelajaran berdasarkan masalah dapat dilaksanakan untuk
mata pelajaran yang lain, untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah
3) Bagi dosen, dapat melaksanakan model pembelajaran ini dalam
kegiatan perkuliahan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan
masalah matematika.

207
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

DAFTAR PUSTAKA

Arends, 1997. Clasroom Instruction and Management.McGraw-Hill


Companies. Inc. New York.

Arends, 2001.Learning To Teach. McGraw-Companies, Inc. New York.

Dahar, R.W, 1988. Teori-teori Belajar. Depdikbud P2LPTK. Jakarta.

Dediknas, 2003. Kurikulum 2004. Balitbang Depdiknas. Jakarta.

Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)


Matematika SMP. Balitbang Depdiknas. Jakarta.

Hudoyo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Depdikbud P2LPTK.


Jakarta

Nauli, S. 2002. Pengembangan Perangkap Pembelajaran Model


Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based
Instruction) Pada Pokok Bahasan Statistik di Kelas II SMU.
Makalah Komprehensif. Program Studi Pendidikan
Matematika Program Pascasarjana UNESA: Surabaya

Ratumanan, T.G. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Unesa. Universitas


Press.

Ratnaningsih, Nani. 2005. Mengembangkan Kemampuan Berpikir


Matematika Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) melalui
Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Proseding Seminar
Nasional Matematika. UPI. Bandung

Soedjadi, 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Dikti


Depdiknas. Jakarta

208
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri

PEMBELAJARAN KONSEP GEOMETRI


DENGAN MODEL ADVANCE ORGANIZER
PADA SMP NEGERI 3 BANDA ACEH

oleh
Suhartati
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

ABSTRAK
Geometri merupakan bagian dari matematika yang selama ini mendapat
sorotan karena rendahnya prestasi yang diperoleh siswa mulai dari
siswa Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Lanjutan. Demikian juga
yang terjadi di SMP Negeri 3 Banda Aceh. Oleh karena itu, melalui
penelitian ini dicoba menerapkan model pembelajaran advance
organizer pada pembelajaran konsep segi empat dengan tujuan untuk
mengetahui dan mendeskripsikan hal-hal berikut: (1) Aktifitas guru dan
siswa dalam pembelajaran yang dilaksanakan dengan model advance
organizer, (2) Tanggapan siswa terhadap kegiatan dengan model model
advance organizer, (3) Tingkat pencapaian hasil belajar siswa tentang
konsep geometri yang diperoleh melalui pembelajaran dengan model
advance organizer, dan (4) Ketuntasan belajar siswa pada konsep
geometri yang dicapai dengan model. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: (1) Penerapan model pembelajaran Advance Organizer
melibatkan siswa aktif dalam kegiatan belajar dan guru kreatif dalam
kegiatan mengajar, (2) Siswa umumnya merasa senang dan berminat
untuk mengikuti pembelajaran berikutnya dengan model pembelajaran
Advance Organizer, (3) Melalui penerapan model pembelajaran
Advance Organizer, penguasaan materi Segi empat siswa mencapai
tingkat sedang, dan (4) Penerapan model pembelajaran Advance
Organizer pada materi Segiempat telah mewujudkan tercapainya
ketuntasan belajar secara klasikal

Kata kunci : Advance organizer, konsep Geometri

209
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

PENDAHULUAN
Upaya untuk memperbaiki mutu pembelajaran matematika di
Indonesia telah lama dilakukan, tetapi keluhan tentang kesulitan belajar
matematika masih sering terdengar. Bukanlah rahasia bahwa cara
pembalajaran matematika yang dilakukan guru selama ini cenderung
hanya melahirkan hafalan dan bukan melatih olah pikir. Pembelajaran
berkisar pada chalk and talk teacher centered. Zulhardi (2001:1)
menyatakan bahwa umumnya pendekatan pembelajaran matematika di
Indonesia masih menggunakan pendekatan mekanistik yang
menekankan pada latihan mengerjakan soal dan prosedur sehingga siswa
hanya dilatih mengerjakan soal seperti mesin. Soedjadi (2001:1)
menambahkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah selama ini
terbiasa dengan aturan sajian sebagai berikut: (1) Diajarkan
teori/definisi/teorema; (2) diberikan contoh-contoh; (3) diberikan latihan
soal. Tidak heran jika kemudian pelajaran matematika menjadi sesuatu
yang membosankan. Akibat lebih lanjut sudah dapat diprediksikan
bahwa kemampuan matematika siswa menjadi rendah.
Menurut Herawati (1994:110) di antara bahan-bahan kajian
matematika, geometri merupakan bagian dari matematika yang selama
ini mendapat sorotan karena rendahnya prestasi yang diperoleh siswa
mulai dari siswa Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Atas.
Soedjadi (dalam Sukayati, 2000:2) menyatakan bahwa saat ini terdapat
kelemahan penguasaan materi ajar pada siswa di antaranya adalah pada
pemahaman geometri. Hasil penelitian Suhartati (2005,72) menunjukkan
bahwa 73,5% dari 136 siswa SMA di Banda Aceh tidak dapat
membedakan contoh dengan noncontoh konsep segi tiga dan segi empat.
Dewi (2005,43) menemukan 56,67% dari 30 siswa SMP di Banda Aceh
hanya mempunyai nama konsep dan gagal membedakan contoh dan non
contoh segi empat. Collier (dalam Sunardi, 2000:413) menyatakan
bahwa geometri merupakan isu abadi dalam pendidikan matematika dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Pada dasarnya geometri di sekolah terdiri dari geometri ruang
dan geometri bidang. Karakteristik yang menonjol pada geometri adalah
keterkaitan yang kuat antara satu konsep dengan konsep yang lain.
Hirarki penyajian materi sangat mempengaruhi proses belajar geometri.
Hal ini disebabkan adanya tingkatan-tingkatan konsep pada materi
geometri, sehingga dalam belajar geometri materi prasyarat harus
dipelajari terlebih dahulu.
Melihat karakteristik dari geometri, maka pembelajaran yang
diperlukan adalah pembelajaran yang dapat membantu siswa

210
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri

mengaitkan konsep yang ada dalam benaknya dengan konsep yang


sedang dipelajarinya. Menurut Ausubel, kemampuan mengaitkan
pengetahuan yang telah ada dalam benak siswa dengan pengetahuan
yang sedang dipelajarinya adalah ciri belajar bermakna (Hudojo,
1990:54). Untuk itu, Ausubel merekomendasikan advance organizer
untuk menjembatani pengetahuan yang sedang dipelajari dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa (Orton, 1991:156, Nur, 2000:13).
Advance organizer adalah materi pengantar yang disampaikan di awal
pembelajaran yang bertujuan untuk memperjelas, mengintegrasikan, dan
mengaitkan materi baru dengan materi yang telah dipelajari (Ausubel,
1963:27). Dengan berpijak pada ide Ausubel ini, Joice dan Weil (Joyce,
B. & Weil, M, 1980:75-93) berhasil mengembangkan model
pembelajaran advance organizer yaitu model pembelajaran yang diawali
dengan penyajian materi pengantar yang akan mengatur pengetahuan
yang telah dimiliki siswa yang relevan dengan materi baru, sehingga
siswa dapat mengaitkan pengetahuan yang ada dalam benaknya dengan
pengetahuan yang sedang dipelajarinya, serta mempersiapkan struktur
untuk pengetahuan berikutnya.
Adapun model pembelajaran advance organizer yang
dikembangkan oleh Joice dan Weil adalah sebagai berikut:

Fase Pertama: Penyajian Advance Organizer


1. Menentukan tujuan pembelajaran
2. Penyajian advance organizer
• Identifikasi batasan materi yang akan dibahas
• Mempersiapkan konteks dengan mengulangi konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan aturan-aturan yang telah dipelajari
• Memberi contoh-contoh materi yang lalu
3. Mendorong kesadaran pelajar akan pengetahuan yang relevan,
sehingga siap menerima materi baru

Fase Kedua: Penyajian Materi Belajar


1. Menarik perhatian pelajar
2. Mengorganisasi materi belajar
3. Menyusun urutan logis materi belajar
4. Menyajikan materi belajar secara jelas

Fase Ketiga: Memperkuat Struktur Kognitif


1. Memanfaatkan prinsip-prinsip rekonsiliasi integratif
2. Mengintensifkan pembelajaran dengan melibatkan siswa aktif

211
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

3. Meningkatkan pendekatan kritis terhadap pengetahuan yang


dipelajari (umpan balik)
4. Membuat rangkuman
Mengingat pentingnya perbaikan kualitas pembelajaran geometri maka
penulis ingin mengadakan suatu penelitian yang berjudul “Penerapan
Model Pembelajaran Advance Organizer dalam Upaya Membantu Siswa
SMP Memahami Konsep Geometri”. Adapun tahapan pembelajaran
yang dilaksanakan mengadaptasi model advance organizer yang
dikembangkan joice dan Weil sebagai berikut:

Fase Pertama : Penyajian Advance Organizer


1. Guru menjelaskan tujuan mempelajari topik segi empat
2. Penyajian advance organizer, yaitu dengan memberikan peta konsep
dari konsep-konsep yang sudah dipelajari dan menjadi prasyarat
untuk konsep-konsep yang akan dipelajari
3. Mendorong siswa agar konsep-konsep ini terorganisasi dengan baik
dalam benak siswa dengan mendiskusikan pesan yang disampaikan
melalui peta konsep.

Fase Kedua : Penyajian Materi Belajar


1. Materi disampaikan secara terstruktur dan logis melalui Lembar
Kerja Siswa (LKS).
2. Siswa Bekerja dalam kelompok kooperatif sesuai dengan petunjuk
LKS dan menggunakan alat peraga sehingga materi yang dipelajari
menjadi sesuatu yang logis dalam pikirannya.

Fase Ketiga : Memperkuat Struktur Kognitif


1. Meminta siswa secara berkelompok menyelesaikan masalah
matematika yang melibatkan konsep-konsep yang dipelajari, guru
mengarahkan agar tidak diperoleh selesaian yang salah
2. Membuat suatu rangkuman mengenai keterkaitan konsep-konsep
yang sedang dipelajari dengan konsep-konsep yang telah dipelajari
sebelumnya dalam bentuk peta konsep.
Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana aktifitas guru dan siswa dalam
pembelajaran yang dilaksanakan dengan model advance organizer, (2)
Bagaimana tanggapan siswa terhadap kegiatan dengan model model
advance organizer, (3) Bagaimana tingkat pencapaian hasil belajar siswa
tentang konsep geometri yang diperoleh melalui pembelajaran dengan
model advance organizer, dan (4) Apakah pembelajaran konsep

212
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri

geometri dengan model advance organizer dapat mewujudkan


ketuntasan belajar?
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan jawaban atas pertanyaan
penelitian tersebut. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk:
(1) dijadikan informasi bagi lembaga pendidikan dan pihak yang terkait
terutama guru matematika dalam menentukan strategi dan model
pembelajaran matematika khususnya pada materi konsep geometri, (2)
menjadi acuan dalam pengembangan sarana penunjang proses belajar
matematika pada materi pokok yang lain dan (3) masukan bagi guru
dalam upaya peningkatan penalaran dan kegiatan berpikir siswa yang
pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas I SMP Negeri 3
Banda Aceh. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-3 yang dipilih
berdasarkan pertimbangan guru matematika yang mengajar di kelas
yang dimaksud.
Ada tiga jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu: (1)
Aktifitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran, diperoleh
melalui pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan Lembar Observasi; (2)
Respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang diperoleh melalui
Angket Respon Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran; (3) Hasil belajar
siswa setelah kegiatan pembelajaran, diperoleh melalui tes setelah
kegiatan pembelajaran berlangsung.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian dilakukan analisis data
sebagai berikut: (1) data hasil observasi dianalisis untuk
mendeskripsikan kegiatan guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, (2) data hasil angket dianalisis dengan mencari persentase
jawaban siswa untuk setiap butir yang ditanyakan dalam angket, dan (3)
tingkat penguasaan siswa ditentukan dengan menggunakan kriteria rata-
rata tingkat penguasaan siswa yang dikemukakan oleh Suherman
(1993:125) yaitu tingkat penguasaan 90% - 100% (sangat tinggi), 80% -
89% (tinggi), 65% - 79% (sedang), 55% - 64% (rendah), dan 0%-55%
(sangat rendah), (4) untuk criteria ketuntasan belajar yaitu seorang siswa
dikatakan telah tuntas belajar apabila telah memiliki daya serap 65% ke
atas, dan ketuntasan klasikal tercapai jika paling sedikit 85% siswa di
kelas tersebut telah tuntas belajar.

213
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Aktivitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran
Hasil observasi terhadap aktivitas guru dan siswa terdapat pada
tabel berikut.
Tabel 1. Aktivitas Guru Selama Kegiatan Pembelajaran

No Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase


. Aktivitas
dalam Pembelajaran (%)
1 menampilkan advance organizer 9,55
(materi prasyarat dalam bentuk peta
konsep)
2 menjelaskan materi dengan ceramah 10,12
secara terstruktur
3 menjelaskan materi dengan alat 11,28
peraga
4 memberi petunjuk/membimbing 28,08
kegiatan siswa dalam kelompok
5 Memberi kesempatan siswa 12,52
menyampaikan pertanyaan atau
pendapat
6 memotivasi siswa 10,09
7 Mambimbing siswa merangkum/ 18,36
membahas hasil kerja kelompok
8 perilaku yang tidak relevan dengan 0
KBM.

Tabel 2. Aktivitas Siswa Selama Kegiatan Pembelajaran

No Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase


. Aktivitas
dalam Pembelajaran (%)
1 mendengarkan/memperhatikan 10,25
penjelasan guru/teman
2 membaca (buku siswa dan LKS) 7,78
3 menulis (yang relevan dengan 8,26
kegiatan pembelajaran)
4 bekerja (berdiskusi antar siswa 29,24
dalam kelompok) dengan
menggunakan alat dan LKS

214
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri

5 mengkomunikasikan hasil kelompok 12,29


6 berdiskusi (bertanya/menyampaikan 16,35
pendapat) antar siswa dan guru
7 merangkum hasil belajar 14,18
8 perilaku yang tidak relevan dengan 1,65
KBM

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa aktivitas siswa selama


pembelajaran berlangsung menunjukkan siswa terlibat aktif dalam
kegiatan pembelajaran, terutama pada kategori bekerja dengan
menggunakan alat dan LKS, diskusi antara sesama siswa atau guru, dan
mengomunikasikan hasil kerja kelompok (fase penguatan struktur
kognitif). Keaktifan siswa pada fase penguatan struktur kognitif adalah
gambaran keberhasilan guru dalam mengintensifkan pembelajaran yang
melibatkan siswa aktif. Sedangkan aktivitas guru terutama berlangsung
pada kategori memberi petunjuk/membimbing kegiatan siswa dalam
kelompok (tabel 2). Penggunaan peta konsep pada fase Penyajian
Advance Organizer dan fase penguatan struktur kognitif, serta penyajian
materi menggunakan alat peraga menunjukkan kreativitas guru dalam
mengajar untuk menciptakan materi yang logis pada benak siswa. Di
samping itu penggunaan LKS dalam kegiatan pembelajaran merupakan
wujud penyajian materi yang tersruktur dengan baik. Indikator-
indikator yang muncul tersebut sesuai dengan ide dasar model
pembelajaran Advance Organizer yang dikembangkan oleh Joyce and
Weil (1980:84-88).

2. Tanggapan Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

Tabel 3. Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

No Aspek yang Dinilai Respon Siswa (%)


1. Pendapat siswa terhadap komponen Senang Baru
kegiatan pembelajaranmu
mengenai: 96,55 86,21
1. Materi Pelajaran 89,66 93,10
2. LKS (aktivitas) 100,00 100,00
3. Cara Belajar 96,55 100,00
4. Cara Guru Mengajar

Rata-rata (%) 95,69 94,83

215
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

2. Siswa yang berminat untuk 96,55


mengikuti kegiatan pembelajaran
berikutnya seperti yang telah
diikuti pada saat penelitian

Tabel di atas menunjukkan bahwa 95,69 % siswa menyatakan


senang terhadap setiap komponen pembelajaran. Terungkap pula bahwa
94,83% siswa menyatakan komponen kegiatan pembelajaran ini adalah
baru. Berdasarkan wawancara singkat dengan beberapa subjek penelitian
diperoleh keterangan bahwa penggunaan peta konsep, alat peraga dan
LKS yang menjadi dasar bagi siswa dalam memberikan tanggapan.
Siswa merasa mereka lebih mudah mengorganisasi konsep yang telah
dipelajari, dan memahami hubungan antar konsep tersebut. Selain
komentar senang dan baru, diperoleh data bahwa 96,55% siswa
menyatakan berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya seperti
yang telah diikuti sekarang.

3. Hasil Tes Akhir setelah Kegiatan Pembelajaran


Indikator yang digunakan untuk menilai hasil belajar siswa
setelah penerapan model pembelajaran Advance Organizer adalah hasil
tes akhir. Adapun hasil tes akhir yang diperoleh siswa dapat dilihat pada
tabel berikut.

Tabel 4.4. Hasil Belajar Siswa melalui Penerapan Model Pembelajaran


Advance Organizer

Siswa Nilai Ketuntas Siswa Nilai Ketuntasa


an n
Siswa 1 77 Tuntas Siswa 16 72 Tuntas
Siswa 2 82 Tuntas Siswa 17 80 Tuntas
Siswa 3 80 Tuntas Siswa 18 76 Tuntas
Siswa 4 68 Tuntas Siswa 19 84 Tuntas
Siswa 5 75 Tuntas Siswa 20 82 Tuntas
Siswa 6 90 Tuntas Siswa 21 50 Belum
Siswa 7 46 Belum Siswa 22 65 Tuntas
Siswa 8 80 Tuntas Siswa 23 68 Tuntas
Siswa 9 75 Tuntas Siswa 24 66 Tuntas
Siswa 68 Tuntas Siswa 25 58 Belum
10

216
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri

Siswa 66 Tuntas Siswa 26 70 Tuntas


11
Siswa 60 Belum Siswa 27 74 Tuntas
12
Siswa 70 Tuntas Siswa 28 80 Tuntas
13
Siswa 87 Tuntas Siswa 29 68 Tuntas
14
Siswa 85 Tuntas
15
Rata-rata 72,48

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai terendah yang diperoleh


siswa melalui penerapan model pembelajaran advance organizer pada
materi segi empat adalah 46, dan nilai tertinggi adalah 90. Sedangkan
nilai rata-rata adalah 72,48. Dengan demikian maka penguasaan materi
oleh siswa berada pada tingkat sedang. Di samping itu terlihat bahwa 25
siswa (86,21%) dari 29 siswa memperoleh nilai tidak kurang dari 65.
Oleh karena itu kriteria ketercapaian tingkat ketuntasan belajar secara
klasikal juga tercapai.
Di samping hasil yang sudah dijelaskan di atas, ditemukan data
bahwa di akhir kegiatan pembelajaran siswa belum mampu menyusun
peta konsep di akhir kegiatan pembelajaran jika proses tersebut
dilakukan tanpa memberikan istilah-istilah yang harus di susun dalam
peta konsep yang sudah dibuat oleh guru. Siswa mampu menyusun peta
konsep dengan cara diberikan peta konsep ”buta”, dan nama-nama
konsep yang harus dimasukkan ke dalam jaringan peta konsep ”buta”
tersebut. Peta konsep buta adalah peta konsep yang belum dilengkapi
dengan konsep-konsep yang tersusun di dalamnya. Jadi prinsip kerja
yang dilakukan siswa adalah menyusun konsep-konsep yang diberikan
ke dalam peta konsep tersebut.

PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Penerapan model pembelajaran Advance Organizer melibatkan
siswa aktif dalam kegiatan belajar dan guru kreatif dalam kegiatan
mengajar.

217
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

2. Siswa umumnya merasa senang dan berminat untuk mengikuti


pembelajaran berikutnya dengan model pembelajaran Advance
Organizer.
3. Melalui penerapan model pembelajaran Advance Organizer,
penguasaan materi segi empat siswa mencapai tingkat sedang.
4. Penerapan model pembelajaran Advance Organizer pada materi
Segiempat telah mewujudkan tercapainya ketuntasan belajar secara
klasikal.

2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat
diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagi guru matematika disarankan untuk menggunakan model
pembelajaran ini dalam pembelajaran konsep segi empat, atau bila
memungkinkan pada pembelajaran konsep geometri yang lain.
2. Bagi peneliti lain yang berminat, dapat mencoba model
pembelajaran ini pada materi geometri yang lain, atau bila
memungkinkan pada materi matematika secara umum.

218
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri

DAFTAR RUJUKAN

Ausubel, D. P. 1963. The Psychology of Meaningfull Verbal Learning.


New York: Grune & Stratton Inc

Dewi, S. 2005. Konsepsi siswa SMP Negeri 18 Banda Aceh tentang


Segiempat, Skripsi tidak diterbitkan. Manda Aceh: FKIP
Unsyiah.

Herawati, S. 1994. Penelusuran Kemampuan Siswa SD dalam


Memahami Bangun-bangun Geometri. Tesis tidak diterbitkan.
Malang: PPS IKIP Malang.

Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Joyce, B. & Weil, M. 1980. Models of Teaching. Englewood, New


Jersey: Prentice-Hall Inc.

Orton, A. 1991. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom


Practice. (2nd Ed). London: Cassel.

Soedjadi, R. 2001. Pemanfaatan Realita dan Lingkungan dalam


Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar
Nasional Realistik Mathematics Education (RME), FMIPA
UNESA Surabaya, 24 Januari.
Suhartati. 2006. Konsepsi Siswa Kelas I SMU Di Banda Aceh Tentang
Bangun-Bangun Geometri. Mon Mata Jurnal llmu-ilmu Sosial
Bidang Pendidikan. Volume 8 No1. 16-26.

Zulhardi. 2001. Realistic Mathematics Education (RME), Teori Contoh


Pembelajaran dan Teman Belajar di Internet. Makalah disajikan
dalam Seminar Realistic Mathematics Education, UPI Bandung,
4 April.

219
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

KOMPETENSI PROFESIONAL GURU MATEMATIKA SMP


SE-KOTA BANDA ACEH

oleh
Budiman
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi profesional guru
matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi dan
mereka yang belum lulus sertifikasi. Kompetensi profesional yang
diteliti mencakup tiga aspek, yaitu kompetensi merancang RPP,
kompetensi melaksanakan pembelajaran matematika, dan kompetensi
merancang LKS. Populasi penelitian adalah guru matematika SMP se-
Kota Banda Aceh, dengan syarat SMP yang diambil adalah ada guru
yang lulus sertifikasi, dan diambil 15 SMP, dan setiap SMP diambil dua
orang guru, masing-masing 15 orang yang sudah lulus sertifikasi, dan
15 orang yang belum lulus sertifikasi. Data dikumpulkan dengan tiga
macam instrumen, yaitu: instrumen kompetensi membuat perencanaan
pembelajaran (RPP), instrumen kompetensi melaksanakan
pembelajaran, dan instrumen kompetensi membuat LKS, semuanya
dengan rentangan nilai 1 – 5. Data yang diperoleh diolah dengan
statistik deskriptif dan statistik inferensial. Data tersebut menunjukkan
bahwa semua indikator yang dinilai umumnya pada skor 3 (cukup) dan
4 (baik). Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa (1) Kompetensi
guru matematika yang sudah lulus sertifikasi dalam aspek membuat
RPP, melaksanakan pembelajaran, dan membuat LKS semuanya berada
pada tingkat baik dengan rata-rata masing-masing 3,6; 3,6 dan 3,5; (2)
Kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi dalam aspek
membuat RPP, dan melaksanakan pembelajaran, berada pada tingkat
baik dengan rata-rata masing-masing 3,6 dan 3,5, sementara
kompetensi mereka dalam membuat LKS berada pada tingkat kurang
baik dengan rata-rata 3,4; (3) Secara keseluruhan, kompetensi
profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah
lulus sertifikasi maupun yang belum lulus sertifikasi berada pada
tingkat baik, dengan rata-rata skor masing-masing 3,6 dan 3,5; dan (4)
Tidak ada perbedaan kompetensi profesional guru matematika SMP se-
Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi dengan mereka yang
belum lulus sertifikasi
Kata kunci: kompetensi, profesional, guru, sertifikasi, RPP, LKS

220
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

PENDAHULUAN
Salah satu tugas utama guru sebelum melaksanakan
pembelajaran di dalam kelas adalah membuat perangkat pembelajaran.
Guru mempersiapkan secara rinci segala sesuatu yang akan
dimanfaatkan dalam pembelajaran. Guru menyusun skenario
pembelajaran yang dituangkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP). Skenario yang dirancang tersebut memberi petunjuk pelaksanaan
pembelajaran yang menyenangkan siswa, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk kreatif, dan mampu mengembangkan kemampuan
berpikirnya, baik kemampuan berpikir tingkat rendah maupun
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Kemampuan
berpikir tingkat rendah antara lain: (1) Memberikan contoh dan non-
contoh, dan (2) Melakukan, seperti menggunting, memotong, menjiplak,
membalik, membuat bangun-bangun geometri, melakukan perhitungan
sederhana atau secara algoritmik. Kemampuan berpikir tingkat tinggi
antara lain mencakup: (1) Menghubungkan benda nyata, gambar ke
dalam idea matematika, (2) Menjelaskan idea matematika secara lisan
atau tulisan, (3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau
simbol matematis, (3) Menggunakan pola atau hubungan untuk menarik
analogi dan generalisasi, dan (4) Menerapkan strategi untuk
menyelesaikan masalah.
Dalam skenario pembelajaran, juga harus jelas tercantum bahwa
siswa diarahkan untuk aktif melakukan berbagai kegiatan fisik dan
mental untuk mencapai tujuan pembelajaran, sebagaimana disarankan
oleh Charles C. Bonwell yang dikutip oleh Depdiknas (2006:39)
“Students must do more than just listen, they must read, write, discuss,
or be engaged in solving problem. Most important, to be actively
involved, students must engage in such higher-order thinking task
analysis, synthesis, and evaluation.” Dengan demikian, dalam skenario
pembelajaran, akan tercermin kegiatan guru-siswa yang bersifat
PAKEM (pembelajaran, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan).
Perlunya kegiatan pembelajaran yang bersifat PAKEM, menurut
Johar (2007: 11-12) antara lain karena tuntutan hal-hal berikut: (1)
Asumsi dasar belajar, yang mencakup (a) Belajar merupakan proses
individual, yaitu walaupuin belajar dilaksanakan secara kooperatif dalam
satu ruang atau satu kelompok, tetapi yang diperoleh dari hasil
belajarnya tidak sama, (b) Belajar adalah membangun makna, hasil
belajar seseorang sangat bergantung pada cara orang tersebut memaknai
apa yang dihadapinya saat itu, (c) Belajar adalah proses sosial, yang
menjelaskan bahwa belajar secara kelompok dapat mendorong

221
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

seseorang mencapai potensi idealnya lebih cepat daripada yang


diperolehnya kalau belajar sendiri, (d) Belajar merupakan kegiatan
menyenangkan, yakni belajar akan terjadi kalau suasananya
menyenangkan, (e) Belajar tidak pernah berhenti, yakni belajar terjadi
sepanjang hayat, mulai dari ayunan sampai menjelang masuk liang lahat;
(2) Perubahan paradigma, yang menghendaki perubahan dari (a)
Teaching  Learning, yakni guru bukanlah orang yang paling tahu,
tetapi guru harus menempatkan dirinya sebagai fasilitator, penyedia
pengalaman belajar kepada siswanya, (b) Judgement  Continous
improvement, yang mengasumsikan bahwa asesmen yang dilakukan
guru bukan semata-mata sebagai laporan kemajuan belajar siswanya,
tetapi termasuk untuk kemajuan pengembangan belajar siswa secara
berkelanjutan.
Undang-Undang RI Nomer 20 Tahun 2003, Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI Nomer 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomer 19 Tahun
2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, mengharuskan guru
memiliki tiga hal, yaitu: (1) Memiliki kualifikasi akademik minimum
S1/D4, (2) Memiliki kompetensi, dan (2) Memiliki sertifikat pendidik
(lulus sertifikasi dalam jabatan melalui jalur Portofolio atau PLPG,
maupun sertifikasi prajabatan melalui jalur PPG 1 tahun). Beberapa
kompetensi yang dituntut agar dimiliki oleh guru antara lain (1)
Kompetensi dalam bidang studi yang akan diajarkan, (2) Kompetensi
profesional, (3) Kompetensi pedagogi, (4) Kompetensi kepribadian, dan
(5) Kompetensi sosial. Berkaitan dengan undang-undang tersebut,
Menteri Pendidikan Nasional menetapkan Peraturan Nomor 18 Tahun
2007 Tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui penilaian
portofolio, dan Peraturan Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi
Guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan. Dalam Permendiknas
tersebut, kompetensi guru yang akan dinilai tidak termasuk kompetensi
dalam bidang studi yang akan diajarkan, tetapi hanya dinilai empat
macam dan penilaiannya dilakukan melalui portofolio (Depdiknas,
2008: 2 – 3), yaitu (1) Kompetensi Pedagogik, (2) Kompetensi
Kepribadian, (3) Kompetensi Sosial, dan (4) Kompetensi Profesional.
Menurut Usman (2003), dalam kompetensi profesional
mencakup antara lain (1) Penguasaan landasan kependidikan, (2)
Kemampuan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), (3)
Kemampuan melaksanakan program pengajaran, dan (4) Kemampuan
menilai proses dan hasil mengajar yang dilaksanakan. Di samping itu,
TIMNAS KTSP (2009:42-43) menyebutkan bahwa kedalam kompetensi

222
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

profesional mencakup (1) Merancang pembelajaran, (2) Melaksanakan


pembelajaran, dan (3) Mengevaluasi hasil belajar. Salah satu komponen
dari kompetensi profesional, yaitu komponen kompetensi melaksanakan
pembelajaran, penilaiannya diserahkan kepada pengawas dan/atau
kepala sekolah.
Pengalaman penulis selama menjadi asesor, kompetensi guru
dalam melaksanakan pembelajaran yang dinilai oleh kepala sekolah
dan/atau pengawas pada umumnya “baik” atau “sangat baik”. Agaknya
hal tersebut kontradiksi dengan hasil tes yang dilaksanakan oleh
Unsyiah pada tahun 2004 yang menunjukkan bahwa rata-rata nilai
matematika guru SLTP Nanggroe Aceh Darussalam adalah 42,44, dan
khusus untuk Kota Banda Aceh, rata-rata nilai matematikanya adalah
57,35 (Dokumen Dinas Pendidikan NAD).
Sebelum melaksanakan pembelajaran, guru terlebih dahulu
mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari (1) Program
Tahunan, (2) Program Semester, (3) Silabus, (4) Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), (5) Lembar Kerja Siswa (LKS), dan (6) Alat
peraga/media pembelajaran.
Silabus merupakan penjabaran kompetensi dan tujuan kedalam
rincian kegiatan dan strategi pembelajaran, kegiatan dan strategi
penilaian, dan alokasi waktu per mata pelajaran per satuan pendidikan
dan per kelas (Siswono dkk., 2004:5). Definisi yang hampir sama
dikemukan oleh Team Fasilitator DBE 2 (2009:1), yang menyebutkan
bahwa silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau
kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar
kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, indikator,
penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Berdasarkan
definisi ini, maka silabus yang dikembangkan harus mampu menjawab
pertanyaan (1) Kompetensi apa yang harus dikuasai siswa? (2)
Bagaimana cara mencapainya? (3) Bagaimana cara mengetahui
pencapaiannya? Di samping itu, perlu juga diperhatikan bahwa silabus
yang dikembangkan harus memenuhi prinsip (1) Ilmiah, (2) Relevan, (3)
Sistematis, (4) Konsisten, (5) Memadai, (6) Aktual dan Kontekstual, (7)
Fleksibel, dan (8) Menyeluruh.
Mekanisme pengembangan silabus dilakukan seperti skema
berikut :

223
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

MEKANISME PENGEMBANGAN SILABUS


Materi Pokok/
Kegiatan
Pembelajaran Pembelajaran

Analisis
SI/SKL/ KD-Indikator Alokasi Waktu
SK-KD

Sumber Belajar
Penilaian

Sosialisasi KTSP

Sumber : TIMNAS KTSP (2009)


Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) merupakan pegangan
bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas,
laboratorium, dan/atau lapangan untuk setiap Kompetensi Dasar.
Dengan demikian, apa saja yang tertuang di dalam RPP memuat hal-hal
yang langsung berkait dengan aktivitas pembelajaran dalam upaya
pencapaian penguasaan suatu Kompetensi Dasar. Setiap guru pada
satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan
sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun guru
harus mencantumkan Standar Kompetensi yang memayungi Kompetensi
Dasar yang akan disusun dalam RPP-nya. Secara rinci, menurut BNSP
(2007: 8-11) RPP berisi komponen berikut (1) Identitas mata pelajaran,
yang meliputi satuan pendidikan, kelas, semester, program/program
keahlian, mata pelajaran atau tema, dan jumlah pertemuan, (2) Standar
kompetensi, yang berisi kualifikasi standar kemampuan minimal siswa

224
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap dan ketrampilan


yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester suatu mata
pelajaran, (3) Kompetensi dasar, yaitu sejumlah kemampuan yang
harus dikuasai siswa dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan
pengembangan indikator, (4) Indikator pencapaian kompetensi, yang
merupakan perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk
menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi
acuan penilaian mata pelajaran yang mencakup pengetahuan,
keterampilan dan sikap, dan harus dirumuskan dengan menggunakan
kata kerja operasional, (5) Tujuan pembelajaran, yang menggambarkan
proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa sesuai
dengan kompetensi dasar, (6) Materi ajar, yang berisi fakta, konsep,
prinsip dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir
sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi, (7) Alokasi
waktu, yang menjelaskan berapa jam pelajaran dibutuhkan untuk
pencapaian KD dan beban belajar, (8) Metode/model/strategi/
pendekatan pembelajaran, dimana penggunaannya dimaksudkan untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang efektif dan
menyenangkan agar siswa dapat mencapai kompetensi dasar atau
seperangkat indikator yang telah ditetapkan, (9) Langkah-langkah
kegiatan (skenario) pembelajaran, (10) Penilaian hasil belajar, dan (11)
Sumber belajar, yang pemilihannya didasarkan pada SK, KD, serta
materi ajar, kegiatan pembelajaran dan indikator.
Pada skenario pembelajaran berisi tiga kegiatan yang sinabung,
yaitu (1) Prapembelajaran, merupakan kegiatan awal dalam suatu
pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi
dan memfokuskan perhatian siswa untuk berpartisipasi aktif dalam
proses pembelajaran, (2) Kegiatan inti, merupakan proses pembelajaran
untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, dan (3) Penutup,
merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas
pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau
kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.
Kegiatan inti dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui
proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Dalam ekplorasi, kegiatan
guru adalah (1) Melibatkan siswa mencari informasi yang mendalam
dan luas tentang topik/tema materi yang akan dipelajari melalui

225
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

bermacam sumber, (2) Menggunakan beragam pendekatan


pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain, (3)
Memfasilitasi terjadinya interaksi antar siswa serta antara siswa dengan
guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya, (4) Melibatkan siswa
secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran, (5) Memfasilitasi siswa
melakukan percobaan di laboratorium, studio atau lapangan, (6)
Memfasilitasi siswa membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik
lisan maupun tertulis, secara individu mapun kelompok, (7)
Memfasilitasi siswa untuk menyajikan hasil kerja individual atau
kelompok, (8) Memfasilitasi siswa melakukan pameran, turnamen, dan
festival dari produk yang dihasilkan, (9) Memfasilitasi siswa melakukan
kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri.
Elaborasi adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik mengekspresikan dan mengaktualisasikan
diri melalui berbagai kegiatan dan karya yang bermakna. Pada tahap
konfirmasi, kegiatan guru adalah (1) Memberikan umpan balik positif
dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah
terhadap keberhasilan siswa, (2) Mengkonfirmasikan hasil eksplorasi
dan elaborasi siswa melalui berbagai sumber; (3) Memfasilitasi siswa
melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah
dilakukan, (3) Memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang
bermakna dalam mencapai kompetensi dasar.
Selanjutnya, BNSP (2007:11-12) mengemukakan enam prinsip
penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yaitu (1)
Memperhatikan perbedaan individu siswa, dimana Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) disusun dengan memperhatikan kemampuan awal,
tingkat kecerdasan, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, emosi, gaya
belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, budaya, norma, nilai,
lingkungan siswa, dan gender, (2) Mendorong partisipasi aktif siswa,
yaitu proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada pembelajaran
siswa untuk mendorong motivasi, minat, kreatifitas, inisiatif, inspirasi,
kemandirian, dan semangat belajar, (3) Mengembangkan budaya
membaca dan menulis, yaitu proses pembelajaran yang dirancang dapat
mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan,
dan berekspresi dalam berbagai bentuk karya tulis, (4) Memberikan
umpan balik dan tindak lanjut, yaitu dalam RPP terdapat rancangan
untuk memberikan umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan
remedial, (5) Keterkaitan dan keterpaduan, yaitu adanya keterkaitan dan
keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, indikator pencapaian
kompetensi, penilaian dan sumber belajar dalam satu keutuhan

226
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

pengalaman belajar. RPP juga mengakomodasikan keterpaduan lintas


mata pelajaran, lintas aspek belajar, lintas keragaman budaya, dan untuk
kelas awal SD/MI, juga mengakomodasikan pembelajaran tematik, dan
(6) RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi
informasi dan komunikasi secara sistematis, terintegrasi dan efektif
sesuai dengan situasi dan kondisi.
Di samping sumber belajar, guru juga mempersiapkan bahan
ajar, yaitu bahan atau materi pembelajaran yang disusun secara
sistematis yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Bahan ajar terdiri dari (1) Information sheet, (2) Operation sheet, (3)
Jobsheet, (4) Worksheet, dan (5) Handout
Lembar Kerja Siswa (worksheet) merupakan lembaran panduan
yang digunakan oleh siswa baik secara individual maupun kelompok
untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. LKS
disiapkan agar siswa dapat mengerjakan tugasnya secara terarah tanpa
supervisi langsung dari guru (DBE 2, 2009:3). Langkah-langkah
penulisan LKS menurut TIMNAS KTSP (2009:26) adalah (1)
Melakukan analisis kurikulum mencakup SK, KD, indikator dan materi
pembelajaran, (2) Menyusun peta kebutuhan LKS, (3) Menentukan judul
LKS, (4) Menulis LKS, dan (5) Menentukan alat penilaian. Lebih lanjut
disebutkan bahwa struktur LKS secara umum memuat (1) Judul, mata
pelajaran, semester, tempat, (2) Petunjuk belajar, (3) Kompetensi yang
akan dicapai, (4) Indikator, (5) Informasi pendukung, (6) Tugas-tugas
dan langkah-langkah kerja, dan (7) Penilaian.
Menurut SEAMEO SEAMOLEC (2007:1), Lembar Kerja Siswa
(LKS) yang dibuat guru diharapkan mengandung enam komponen, yaitu
(1) Tujuan, yang mendiskripsikan kompetensi yang harus dicapai siswa
setelah mengerjakan tugas yang diberikan, (2) Materi/sumber, meliputi
bahan-bahan yang diperlukan waktu mengerjakan tugas, misalnya koran,
artikel, buku matematika, objek tertentu, lembar respon siswa, film, dan
lain-lain, (3) Waktu, yaitu lamanya waktu yang disediakan untuk
menyelesaikan tugas serta kapan tugas tersebut harus dikerjakan, (4)
Cara kerja, yang menggambarkan langkah-langkah yang harus ditempuh
oleh siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, (5) Hasil yang
diharapkan, mendiskripsikan hasil belajar yang harus ditunjukkan oleh
siswa sebagai bukti bahwa siswa telah menyelesaikan tugas dan
menguasai kompetensi yang diharapkan, misalnya laporan kelompok
sebagai hasil penyelesaian suatu masalah matematika, gambar-gambar
bangun ruang, atau membuat jaring-jaring bangun ruang, dan (6) Tindak
lanjut, yaitu dalam LKS harus dicantumkan tindak lanjut dari hasil

227
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

tersebut, misalnya dipresentasikan di depan kelas, dikumpulkan untuk


dinilai oleh guru, ditukar dengan siswa atau kelompok lain, atau
dipajang di dinding kelas.
Berdasarkan RPP yang telah disusun dan perangkat
pembelajarannya, guru melaksanakan pembelajaran dengan
mengimplementasikan strategi dan model pembelajaran aktif,
mendiagnostik kesulitan belajar, serta melaksanakan program remedial
(Entang, 1995; Reys, 1998). Salah satu strategi pembelajaran yang
dianjurkan untuk diimplementasikan di SLTP dan SLTA adalah strategi
pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Menurut
Nurhadi (2002:5), pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Definisi di atas lebih menekankan pada peranan CTL sebagai
filosofi pendidikan, yang mengasumsikan bahwa peranan pendidik
adalah membantu siswa menemukan makna dalam pendidikan dengan
cara membuat hubungan dengan apa yang mereka pelajari di sekolah
dan cara-cara menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan
mereka sehari-hari (Lambas dkk., dalam MTK 23, 2004: 18-19).
Peranan kedua dari CTL adalah sebagai rangkaian kesatuan dari strategi
pendidikan, yaitu strategi pengajaran dengan CTL memadukan teknik-
teknik yang membantu siswa menjadi lebih aktif sebagai pebelajar dan
reflektif terhadap pengalamannya. Blanchard (2001) sebagaimana
dikutip Lambas dkk. (Lambas dkk, dalam MTK 23, 2004: 19)
memandang pembelajaran kontekstual sebagai suatu konsepsi yang
membantu guru menghubungkan isi materi pelajaran dengan situasi
dunia nyata yang berguna untuk memotivasi siswa dalam membuat
hubungan-hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dengan
kehidupannya sebagai anggota keluarga, masyarakat dan lingkungan
kerja.
Menurut Nurhadi (2002: 10-19), CTL memiliki tujuh komponen,
yaitu (1) konstruktivis (constructivism), (2) penyelidikan (inquiry), (3)
bertanya (questioning), (4) komunitas belajar (learning community), (5)
pemodelan (modelling), (6) refleksi (reflection), dan (7) penilaian yang
sebenarnya (authentic assessment). Cara penerapannya di ruang kelas,
menurut Nurhadi (2002: 10) adalah (1) Kembangkan pemikiran bahwa
siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan

228
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

keterampilan barunya (Students learn best by actively constructing their


own understanding), sebagaimana dikutip dari CTL Academy Fellow
(1999), (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua
topik, (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, (4)
Ciptakan komunitas belajar (belajar dalam kelompok), (5) Hadirkan
model sebagai contoh pembelajaran, (6) Lakukan refleksi diakhir
pertemuan, (7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai
cara.
Komponen konstruktivis merupakan landasan filosofi
pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks
yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Komponen ini
memiliki lima elemen, dan penerapannya dalam pembelajaran menurut
Nurhadi dkk., (2003: 39-40) muncul dalam lima langkah, yaitu (1)
Pengaktifan pengetahun yang sudah ada (activating knowledge), karena
pengetahuan awal yang dimiliki siswa akan menjadi dasar sentuhan
untuk mempelajari informasi baru, (2) Pemerolehan pengetahuan baru
(acquiring knowledge) yang dilakukan secara keseluruhan dulu,
kemudian memperhatikan detilnya, (3) Pemahaman pengetahuan
(understanding knowledge) melalui penyelidikan dan pengujian semua
hal yang memungkinkan dari pengetahuan baru itu melalui tahap-tahap
(a) Menyusun konsep sementara (hipotesis), (b) Melakukan sharing
kepada temannya agar mendapat tanggapan (validasi), dan (c) Revisi,
berdasarkan validasi tersebut, dan kemudian dikembangkan; (4)
Penerapan pengetahuan (applying knowledge), yaitu memperluas dan
memperhalus pengetahuannya dengan cara menerapkannya secara
otentik melalui pemecahan masalah (problem solving), dan (5)
Melakukan refleksi (reflecting on knowledge), yatu cara berfikir tentang
apa yang baru dipelajari atau berfikir kebelakang tentang apa-apa yang
sudah dilakukan.
Johnson (2006: 65-66) menyebutkan bahwa sisten CTL memiliki
delapan komponen yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin
satu sama lain, maka akan menghasilkan pengaruh yang melebihi hasil
yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah. Kedelapan komponen
tersebut adalah (1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
(making meaningful connections), (2) Melakukan pekerjaan yang berarti
(doing significant work), (3) Melakukan pembelajaran yang diatur
sendiri (self-regulated learning), (4) Bekerja sama (collaborating), (5)
Berfiikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), (6) Membantu
individu untuk tumbuh dan berkembang (nurturing the individual), (7)

229
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), dan (8)


Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment).
Center of Occupational Research and Development (CORD)
yang dikutip oleh Nurhadi dan kawan-kawannya (2003: 23) mengatakan
bahwa ada lima strategi bagi pendidik dalam rangka menerapkan
pembelajaran kontekstual dalam kelas yang disingkat dengan REACT,
yaitu (1) Relating, yakni belajar dikaitkan dengan konteks pemanfaatan
pengalaman kehidupan nyata, (2) Experiencing, yaitu belajar ditekankan
pada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan
(invention), (3) Applying, yaitu seseorang dikatakan belajar bila
pengetahuan tersebut dipresentasikan dalam konteks pemanfaatannya,
(4) Cooperating, yaitu belajar dalam konteks komunikasi interpersonal,
pemanfaatan bersama dan sebagainya, dan (5) Transfering, yaitu belajar
melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi atau konteks baru.
Model pembelajaran merupakan suatu konsepsi untuk mengajar
suatu topik pelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam model
pembelajaran mencakup strategi, pendekatan, metode dan teknik
pembelajaran (Lambas dkk, dalam MTK 26, 2004: 3-4). Pada setiap
model pembelajaran terdapat struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur
penghargaan (reward). Struktur tugas mengacu pada (1) cara
pembelajaran itu diorganisasikan, dan (2) jenis kegiatan yang dilakukan
oleh siswa dalam kelas. Struktur tujuan adalah jumlah saling
ketergantungan yang dibutuhkan siswa ketika mereka mengerjakan
tugas (Ibrahim dkk., 2000: 2-3).
Pada model pembelajaran terdapat empat ciri yang tidak dipunyai
oleh strategi atau metode pembelajaran, yaitu (1) rasional teoritik yang
logis yang disusun oleh penciptanya, (2) tujuan pembelajaran yang akan
dicapai, (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut
dapat dilaksanakan secara optimal, dan (4) lingkungan belajar yang
diperlukan agar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai
(Lambas dkk., dalam MTK 26, 2004: 4). Di samping itu, pada model
pembelajaran juga terdapat syntax (pola urutan), yaitu pola yang
menggambarkan urutan alur tahap-tahap keseluruhan yang pada
umumnya disertai dengan serangkaian kegiatan pembelajaran atau
kegiatan yang harus dilakukan oleh guru dan siswa.
Beberapa model pembelajaran yang dapat diimplementasikan
guru dalam proses pembelajaran antara lain adalah model pembelajaran
langsung (Kardi dan Nur, 2000), model pembelajaran kooperatif
(Ibrahim dkk, 2000), model pembelajaran berdasarkan masalah (Ibrahim

230
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

dan Nur, 2000), dan model dua tinggal dan dua tamu (model two stay
two stray) (TIMNAS KTSP, 2009: 35)
Pengimplementasian model-model pembelajaran hendaknya
disesuaikan dengan materi pelajaran, tujuan pembelajaran, lingkungan
belajar dan kondisi siswa. Misalnya model pembelajaran langsung cocok
digunakan untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar atau
topik-topik yang berkaitan dengan penggunaan alat, namun model ini
tidak cocok digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep matematika
tingkat tinggi (Lambas dkk., dalam MTK 26, 2004: 4-5).
Model pembelajaran kooperatif unggul digunakan untuk
membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Di samping itu,
pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan kepada siswa
kelompok tinggi maupun kelompok rendah yang bekerja sama
menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan
menjadi tutor bagi siswa kelompok rendah, sehingga kelompok rendah
ini akan memperoleh bantuan khusus dari teman sebaya yang
mempunyai orientasi dan bahasa yang sama, sementara kelompok tinggi
akan meningkat kemampuan akademiknya karena sebagai tutor
membutuhkan pemahaman lebih mendalam tentang hubungan konsep-
konsep yang terdapat dalam materi tertentu (Ibrahim dkk., 2000: 7).
Model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based
Instruction) lebih cocok digunakan untuk (1) membantu siswa
mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah dan
ketrampilan intelektual, (2) belajar berbagai peran orang dewasa melalui
pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan (3)
menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim, dan Nur, 2000:7).
Model two stay two stray bertujuan memberi kesempatan kepada
kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok
lain. Langkah-langkah kegiatan pada model ini menurut TIMNAS KTSP
(2009: 35) adalah (1) Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat
seperti biasa, (2) Setelah selesai, dua orang dari masing-masing bertamu
kedua kelompok yang lain, (3) Dua orang yang tinggal dalam kelompok
bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka,
(4) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan
melaporkan temuan mereka dari kelompok lain, (5) Kelompok
mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka.
Telah disebutkan bahwa dalam Standar Nasional Pendidikan,
antara lain mengharuskan guru memiliki kompetensi, dan salah satu
kompetensi tersebut adalah “kompetensi profesional”. Penelitian ini
ingin mengkaji tentang tingkat kompetensi profesional guru matematika

231
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

SMP se-Kota banda Aceh baik yang sudah lulus maupun yang belum
lulus sertifikasi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui (1) Tingkat kompetensi profesional guru matematika SMP
se-Kota Banda Aceh yang mencakup kompetensi merancang rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), kompetensi melaksanakan
pembelajaran matematika, dan kompetensi merancang Lembar Kerja
Siswa (LKS), (2) Apakah kompetensi profesional guru matematika SMP
se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi lebih baik dari mereka
yang belum lulus sertifikasi.
Temuan penelitian ini daharapkan bermanfaat (1) untuk LPTK
atau FKIP yang harus senantiasa mengetahui kompetensi lulusannya
yang ada di sekolah, dan kalau ada bidang kompetensi yang masih
lemah, misalnya kelemahan di bidang pelaksanan pembelajaran, maka
UPT Micro Teaching harus segera memperbaiki program yang selama
ini dilaksanakan, (2) untuk Dinas Pendidikan, yang sangat
berkepentingan meningkatkan kualitas guru, tetapi sampai sekarang
belum dilaksanakan secara fokus pada masalah yang sangat dibutuhkan
guru, dan (3) untuk siswa, yang sangat mengharapkan kehadiran guru
yang profesional di sekolah mereka.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berbentuk expost facto yang melibatkan guru
matematika SMP se-Kota Banda Aceh sebagai populasi. Sampel
penelitian diambil 15 SMP dengan syarat di SMP tersebut ada guru yang
sudah lulus sertifikasi. Alasannya, ada harapan bahwa guru yang telah
lulus sertifikasi tersebut akan terus memperbaiki dan menambah
wawasannya untuk mengajar lebih baik dari sebelumnya. Setiap SMP
sampel diambil dua orang guru matematika, masing-masing satu orang
yang sudah lulus sertifikasi, dan satu orang guru yang belum lulus
sertifikasi, sehingga jumlah sampel menjadi 30 orang guru.
Untuk mengumpulkan data tentang kompetensi profesional guru,
digunakan tiga instrument, yaitu (1) Instrumen kompetensi membuat
perencanaan pembelajaran (RPP), (2) Instrumen kompetensi
melaksanakan pembelajaran, dan (3) Instrumen kompetensi membuat
lembar kerja siswa (LKS). Instrumen-instrumen tersebut berbentuk uni
dimensional checklist dengan rentangan nilai 1 – 5. Dua instrument yang
pertama diambil dari instrument Sertifikasi Guru dalam Jabatan
(Depdiknas, 2008: 30 -35), dengan modifikasi seperlunya, termasuk
penambahan dua butir lainnya pada instrument pertama, dan empat butir
pada instrument kedua. Instrumen kompetensi membuat LKS, terdiri

232
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

dari tiga aspek, yaitu aspek format, aspek bahasa, dan aspek isi
(SEAMEO SEAMOLEC, 2007), juga dengan sedikit modifikasi.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data
dokumen dan data hasil observasi. Data dokumen berbentuk RPP dan
LKS yang diambil dari guru sampel. Data tentang kompetensi
melaksanakan pembelajaran diperoleh malalui observasi langsung ketika
guru sampel mengajar. Observasi ini dilaksanakan oleh peneliti sendiri
dan melibatkan 10 mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika tingkat
akhir, yaitu mahasiswa yang sedang mengikuti program Micro
Teaching, dengan harapan dapat membandingkan pengetahuan yang
sedang mereka praktekkan dengan yang dilaksanakan oleh guru di
sekolah, disamping juga untuk menambah wawasan kependidikan
lainnya bagi mahasiswa tersebut. Selama observasi, digunakan
instrumen kompetensi melaksanakan pembelajaran.
Data yang diperoleh dianalisis dengan dua cara, yaitu dengan
menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik
deskriptif digunakan untuk menentukan tingkat kompetensi profesional
(TKP) guru yang didasarkan pada kategori:
1 ≤ TKP < 1,5 Sangat tidak baik
1,5 ≤ TKP < 2,5 Tidak baik
2,5 ≤ TKP < 3,5 Kurang Baik
3,5 ≤ TKP < 4,5 Baik
4,5 ≤ TKP ≤ 5,0 Sangat baik
(Dimodifikasi dari Depdiknas, 2008).
Statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis
“Kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh
yang sudah lulus sertifikasi lebih baik dari pada mereka yang belum
lulus sertifikasi”. Pengujian dilakukan dengan uji-t (jika statistik sampel
berdistribusi normal dan homogen) pada taraf signifikansi 5% (Sudjana,
1999).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Telah disebutkan bahwa sampel penelitian ini terdiri dari 15
orang guru yang sudah lulus sertifikasi, dan 15 orang guru yang belum
lulus sertifikasi. Guru yang lulus sertifikasi tersebut terdapat
tutor/instruktur daerah, dan hasil observasi terhadap salah seorang
diantara mereka menunjukkan kompetensi melaksanakan
pembelajarannya mendekati sempurna. Demikian mengenai perangkat
pembelajaran lainnya, juga mendekati sempurna. Karena sampel
penelitian ini kecil, maka tutor tersebut dikeluarkan dari analisis data,

233
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

tetapi yang dianalisis tetap masing-masing 15 orang. Para guru tersebut


ditunjuk oleh kepala/wakil kepala sekolah. Berikut disajikan data
kompetensi guru matematika dalam aspek membuat RPP (Tabel 1dan 2).

Tabel 1. Kompetensi Guru Matematika yang Sudah Lulus Sertifikasi


dalam Membuat RPP

No Interval Nilai Frekuensi Kategori


Absolut Relatif
1 1,0 ≤ RL1 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik
2 1,5 ≤ RL1 < 2,5 0 0,00 Tidak baik
3 2,5 ≤ RL1 < 3,5 5 33,33 Kurang baik
4 3,5 ≤ RL1 < 4,5 10 66,67 Baik
5 4,5 ≤ RL1 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik
Jumlah 15 100
Rata-rata 3,6 Baik

Keterangan: RL1 = Skor kompetensi guru matematika yang sudah lulus


sertifikasi dalam membuat RPP

Data di atas menunjukkan bahwa kompetensi guru matematika


dalam membuat RPP berada pada kategori “kurang baik” dan “baik”.
Masih ada 33,33 % guru yang RPP-nya masih kurang baik sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan. Secara keseluruhan, kompetensi
mereka dalam membuat RPP berada pada kategori “baik”.

Tabel 2. Kompetensi Guru Matematika yang Belum Lulus Sertifikasi


dalam Membuat RPP

No Interval Nilai Frekuensi Kategori


Absolut Relatif
1 1,0 ≤ RB1 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik
2 1,5 ≤ RB1 < 2,5 0 0,00 Tidak baik
3 2,5 ≤ RB1 < 3,5 6 40,00 Kurang baik
4 3,5 ≤ RB1 < 4,5 9 60,00 Baik
5 4,5 ≤ RB1 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik
Jumlah 15 100
Rata-rata 3,6 Baik
Keterangan: RB1 = Skor kompetensi guru matematika yang belum lulus
sertifikasi dalam membuat RPP

234
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

Penskoran terhadap RPP yang dibuat oleh guru matematika yang


belum lulus sertifikasi, menunjukkan bahwa 40% diantara mereka masih
berada dalam kategori “kurang baik” dalam membuat RPP, dan 60%
berada dalam kategori “baik”. Data juga menunjukkan bahwa tidak ada
guru yang membuat RPP secara lengkap dan sempurna, namun secara
keseluhan kompetensi mereka dalam membuat RPP berada dalam
kategori “baik” (Tabel 2).
Tabel 3 di bawah ini disajikan data tentang kompetensi guru
matematika yang sudah lulus sertifikasi dalam melaksanakan
pembelajaran.

Tabel 3. Kompetensi Guru Matematika yang Sudah Lulus Sertifikasi


dalam Melaksanakan Pembelajaran

No Interval Nilai Frekuensi Kategori


Absolut Relatif
1 1,0 ≤ RL2 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik
2 1,5 ≤ RL2 < 2,5 0 0,00 Tidak baik
3 2,5 ≤ RL2 < 3,5 5 33,33 Kurang baik
4 3,5 ≤ RL2 < 4,5 10 66,67 Baik
5 4,5 ≤ RL2 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik
Jumlah 15 100
Rata-rata 3,6 Baik

Keterangan: RL2 = Skor kompetensi guru matematika yang sudah lulus


sertifikasi dalam melaksanakan Pembelajaran
Data tersebut menunjukkan bahwa kompetensi guru matematika
yang sudah lulus sertifikasi dalam melaksanakan pembelajaran
menunjukkan situasi yang sama dengan data kompetensi membuat RPP,
walaupun orangnya berbeda. Terdapat 66,67 % di antara mereka yang
mengajar dengan baik, dan 33,33 % mengajar kurang baik, dengan rata-
rata 3,6 atau berada pada kategori “baik”
Pada Tabel 4, menunjukkan bahwa kompetensi guru matematika
yang belum lulus sertifikasi dalam melaksanakan pembelajaran
umumnya berada dalam kategori “baik” (80 %), dengan rata-rata 3,5
(baik).

235
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

Tabel 4. Kompetensi Guru Matematika yang Belum Lulus Sertifikasi


dalam Melaksanakan Pembelajaran

No Interval Nilai Frekuensi Kategori


Absolut Relatif
1 1,0 ≤ RB2 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik
2 1,5 ≤ RB2 < 2,5 0 0,00 Tidak baik
3 2,5 ≤ RB2 < 3,5 3 20,00 Kurang baik
4 3,5 ≤ RB2 < 4,5 12 80,00 Baik
5 4,5 ≤ RB2 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik
Jumlah 15 100
Rata-rata 3,6 Baik

Keterangan: RB2 = Skor kompetensi guru matematika yang belum lulus


sertifikasi dalam membuat RPP
Kompetensi dalam membuat LKS guru matematika yang sudah
lulus sertifikasi menunjukkan 26,67 % diantara mereka berada pada
kategori “kurang baik”, dimana LKS yang diperuntukkan bagi siswa
ditunjuk saja dari buku teks, sedangkan yang 73,33 % lagi sebelumnya
telah mempersiapkan LKS yang akan diberikan kepada siswanya (Tabel
5).
Tabel 5. Kompetensi Guru Matematika yang Sudah Lulus Sertifikasi
dalam Membuat LKS

No Interval Nilai Frekuensi Kategori


Absolut Relatif
1 1,0 ≤ RL3 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik
2 1,5 ≤ RL3 < 2,5 0 0,00 Tidak baik
3 2,5 ≤ RL3 < 3,5 4 26,67 Kurang baik
4 3,5 ≤ RL3 < 4,5 11 73,33 Baik
5 4,5 ≤ RL3 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik
Jumlah 15 100
Rata-rata 3,6 Baik

Keterangan: RL3 = Skor kompetensi guru matematika yang sudah lulus


sertifikasi dalam membuat LKS
Pada Tabel 6, data menunjukkan bahwa guru matematika yang
belum lulus sertifikasi masih ada 40,00 % yang LKS-nya hanya
menunjuk saja dari buku teks, dan secara keseluruhan, LKS mereka
berada pada kategori “kurang baik” dengan skor 3,4.

236
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

Tabel 6. Kompetensi Guru Matematika yang Belum Lulus Sertifikasi


dalam Membuat LKS

No Interval Nilai Frekuensi Kategori


Absolut Relatif
1 1,0 ≤ RB3 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik
2 1,5 ≤ RB3 < 2,5 0 0,00 Tidak baik
3 2,5 ≤ RB3 < 3,5 6 40,00 Kurang baik
4 3,5 ≤ RB3 < 4,5 9 60,00 Baik
5 4,5 ≤ RB3 < 5,0 0 0,00 Sangat baik
Jumlah 15 100
Rata-rata 3,4 Kurang Baik
Keterangan: RB3 = Skor kompetensi guru matematika yang belum lulus
sertifikasi dalam membuat LKS

Telah disebutkan juga bahwa kompetensi profesional guru yang


dikaji dalam penelitian ini mencakup kompetensi membuat RPP,
kompetensi melaksanakan pembelajaran, dan kompetensi membuat
LKS. Hasil pengolahan data setelah digabung ketiga aspek tersebut
menunjukkan bahwa kompetensi profesional guru matematika yang
sudah lulus sertifikasi diperoleh rata-rata 3,6 (kategori baik), sementara
kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi berada pada
kategori yang juga baik dengan rata-rata 3,5 (rentangan nilai 1 – 5).
Kalau nilai ini dikonversi ke skor pada rentangan 1 – 100, diperoleh
masing-masing 72 dan 70. Nilai ini masih belum memadai untuk
sebutan guru yang profesional.
Analisis data dengan menggunakan uji-t menghasilkan nilai t
sebesar 0,1330, sehingga dengan mengkonsultasikan ke table distribusi
t, nilai tersebut tidak signifikan pada pada taraf signifikansi α= 5%.
Dengan demikian data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
kompetensi profesional guru yang lulus sertifikasi dengan guru yang
belum lulus sertifikasi.
Walaupun tidak dikaji keseluruhan kompetensi yang seharusnya
dimiliki, tetapi telah diperoleh gambaran tentang sebagian kompetensi
profesional guru matematika SMP, bahwa pembelajaran yang
dilaksanakan selama ini masih kurang menantang siswa untuk berfikir.
Hal ini sesuai dengan hasil kajian Tim Lesson Study Universitas
Pendidikan Indonesia bahwa guru masih beranggapan tugasnya hanya
mentrasfer pengetahuan kepada siswa dengan target tersampaikannya

237
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

topik-topik yang tertulis dalam dokumen kurikulum (Hendayana, dkk,


2006: 4).
Ketika dilakukan observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran,
ternyata ada guru matematika yang salah menjelaskan matematika
kepada siswanya. Salah satu diantaranya adalah pada topik “Gradien
Garis” yang mungkin guru tersebut kurang memahami konsep atau
algoritmanya. Contoh kesalahan tersebut adalah, ketika dijelaskan
gradien garis yang melalui (5,0) dan (0,-5), guru mengatakan bahwa
gradien garis tersebut adalah –1, karena diperoleh dari atau = - 1.
Yang benar, gradien garis tersebut adalah 1, karena berdasarkan rumus
gradien garis (yang harus dibuktikan sebelumnya), diperoleh algoritma
perhitungannya:

= 1
Walaupun kompetensi dalam bidang studi bukan tujuan utama
penelitian ini, tetapi hal ini merupakan salah satu indikator yang
diselidiki, yaitu tentang “Menunjukkan penguasaan materi
pembelajaran” dari kompetensi “Pelaksanakan Pembelajaran”. Dampak
negatif dari kesalahan tersebut tentu sangat besar, antara lain dari segi
psikologis, akan membuat kebingungan siswa dalam mempelajari
matematika. Dampak lain adalah, kompetensi lulusan tidak akan
maksimal.

SIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil pengolahan data profesional guru matematika SMP se-
Kota Banda Aceh ternyata semua aspek yang dikaji, yaitu aspek
kompetensi membuat RPP, kompetensi melaksanakan pembelajaran, dan
aspek kompetensi membuat LKS, tidak mencapai pada tingkat sangat
baik. Secara keseluruhan dapat diambil beberapa simpulan berikut (1)
kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh
yang sudah lulus sertifikasi diperoleh skor rata-rata 3,6 (kategori baik),
sementara kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi juga
berada pada kategori baik dengan rata-rata 3,5 (rentangan nilai 1 – 5).
Kalau nilai ini dikonversi ke skor pada rentangan 1 – 100, diperoleh
masing-masing 72 dan 70, dan (2) Tidak ada perbedaan kompetensi
profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah
lulus sertifikasi dengan mereka yang belum lulus sertifikasi.

238
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

Berdasarkan temuan penelitian ini, berikut diberikan beberapa


saran baik untuk guru yang sudah lulus sertifikasi, maupun bagi guru
yang belum lulus sertifikasi (1) Sebagian besar guru matematika SMP
se-Kota Banda Aceh masih perlu dilatih dalam kemampuan membuat
perangkat pembelajaran, dan bidang pelaksanaan pembelajaran yang
berbentuk peer teaching, termasuk cara menyajikan konsep, algoritma
dan prosedur matematika kepada siswanya yang hierarkhis, (2)
Diharapkan kepada para guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh
untuk mengkaji dan memperdalam kembali pemahaman mereka tentang
konsep-konsep matematika yang akan diajarkan kepada siswanya, (2)
Guru yang lulus sertifikasi tidak menjamin lebih profesional dari guru
yang belum lulus sertifikasi, karena kelulusan tersebut sangat
bergantung pada banyaknya sertifikat yang “dikumpulkan” guru.
Mungkin lebih baik diberikan saja pelatihan model PLPG, dengan lama
pelatihan dikategorikan berdasarkan pengalaman mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

BNSP. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik


Indognesia, Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Depdiknas.
DBE 2, 2009. “Pengembangan Silabus” , dalam : Active Learning in
Higher Education (ALIHE)”. Banda Aceh : Team Penyusun
Bahan Pelatihan.
Depdiknas. 2006. Pedoman Pelatihan Guru Matematika-1. Jakarta:
Dirjen Dikdasmen.
Depdiknas. 2008. Panduan Penyusunan Portofolio. Jakarta: Dirjen
Dikti.
Dinas Pendidikan NAD. 2004. Dokumen Tes Guru Mata Pelajaran Se-
Nanggroe Aceh Darussalam. (Tidak Diterbitkan).
Entang, M. 1995. Diagnosis kesulitan Belajar dan Pengajaran
Remedial. Jakarta: Depdikbud.
Hendayana, Sumar, et.al. 2006. Lesson Study: Suatu Strategi untuk
Meningkatkan keprofesionalan Pendidik. Bandung: UPI Press.
Ibrahim, H. Muslimin, et.al. 2000. Pembelajaran Kooperatif, Bandung:
UNESA University Press.
Johar, Rahmah, et.al. 2007. Pembelajaran Matematika SD-1. Banda
Aceh: Universitas Syiah Kuala.

239
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

Johnson, Elaine B. 2006. Contextual Teaching and Learning:


Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan
Bermakna. Bandung: Mizan Learning Center (MLC).
Lambas, et.al. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika Jilid 3.
Jakarta: Depdiknas.
Nurhadi. 2002. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning (CTL)). Jakarta: Depdiknas.
Nurhadi, Burhanuddin Yasin, dan Agus Gerrad Senduk. 2003.
Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.
Malang: Penerbit Universitas negeri Malang.
Reys, Robert E., et.al. 1998. Helping Children Learn Mathematics.
Boston: Allyn and Bacon.
SEAMEO SEAMOLEC. 2007. Bahan Penataran pengembangan
Kurikulum Integratif (Tidak Diterbitkan).
Siegel, Sydney. 1986. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta: PT. Gramedia.
Sudjana. 1999. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
TIMNAS KTSP. 2009. Panduan Implementasi Standar Proses untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
TIMNAS KTSP. 2009. Bimbingan Teknis KTSP Kabupaten Kota”.
Jakarta: Depdiknas.
Usman, Uzer. 2003. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remadja
Rosdakarya.
Wibowo, H. Mungin Eddy. 2009. Panduan Penyusunan KTSP. Jakarta:
BNSP.

240
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF

KEMAMPUAN PREDIKSI TERHADAP PENDAPATAN


DAN ARUS KAS OPERASIONAL LANCAR UNTUK ARUS KAS
OPERASIONAL MASA DEPAN

oleh
H. Aliamin
Dosen FE Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
Jen Surya
Dosen FE Unmuha, Banda Aceh

ABSTRACT

The aim of this research is to investigate ability prediction of earnings


and current operating cash flows to future operating cash flows, the
profit report use are firms reporting positive profit and firms
reporting negative profit. There are several prior study indicates a
strengthening relationship between earnings and future operating cash
flows for both firms profit reporting and losses reporting, while
relationship between current and future operating cash flows are
neither increasing nor decreasing. The result of research indicates that
both earnings and cash flows have ability to predict future operating
cash flow for positive profit reporting. On the other hand, negative
profit reporting, earnings are not significant to predict future operating
cash flows while current operating cash flows still have ability to predict
future operating cash flows.

Key words: earnings, current operating cash flows, future operating


cash flows, positive profit reporting, negative profit
reporting

PENDAHULUAN

Sejauh ini laporan keuangan, khususnya neraca dan laporan


laba/rugi masih diyakini sebagai alat yang andal bagi para pemakainya
untuk mengurangi risiko ketidakpastian dalam pengambilan keputusan-
keputusan ekonomi. Laporan keuangan merupakan sumber informasi
yang dijadikan salah satu penilaian terhadap kinerja perusahaan, baik
manajemen, maupun keadaan perusahaan. Laba bersih dapat dijadikan

241
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

sebagai ukuran atau indikator kinerja perusahaan selama satu periode


terterntu.
Dalam FASB’s Statement of Financial Accounting concept
No.1: “Laporan keuangan seharusnya menyediakan informasi yang
berguna untuk sekarang ini kepada investor, kreditor dan pengguna
lainya dalam membuat keputusan investasi, keputusan kredit dan
keputusan-keputusan rasional lainnya, serta menilai jumlah, waktu dan
ketidakpastian dari prospektif kas yang merupakan penerimaan-
penerimaan deviden atau bunga dan hasil penjualan, penebusan hutang
dan surat-surat berharga” (FASB, 1978, paragraf 34,37)
Earnings yang dimaksud dalam judul di atas merupakan laba
yang diperoleh perusahaan setelah dikurangi pajak atau earnings,
adalah laba bersih sebelum akun-akun luar biasa (extra-ordinary
accounts) selama satu tahun buku sebagaimana tercantum dalam
“Laporan Laba Rugi”. Selain laba (earnings), investor juga
menggunakan informasi arus kas sebagai ukuran kinerja perusahaan.
Informasi pada arus kas memungkinkan pengguna laporan untuk
melihat keadaan kemampuan perusahaan menghasilkan kas. Informasi
tersebut juga dapat meningkatkan daya banding laporan kinerja operasi
perusahaan karena laporan ini meniadakan perlakuan akutansi yang
berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama (Gunawan dan
Bandi, 2000).
Beberapa studi yang mengevaluasi pengaruh faktor lingkungan
ekonomi dan sosial mendukung pernyataan tersebut. Mereka
menemukan bahwa perbedaan kultural dan ekonomi menghasilkan
perbedaan dalam hal bagaimana investor dan pengguna laporan
keuangan lainnya menilai sejumlah informasi akuntansi yang
sama. Jadi, adalah sangat mungkin bahwa tujuan pelaporan yang
sama dapat diraih dengan menggunakan jenis informasi akuntansi
yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan faktor ekonomi dan
lingkungan. Saat ini hasil empiris yang ditemukan di USA yang
mendukung pernyataan FASB bahwa laba menyediakan informasi yang
lebih baik dalam menilai arus kas masa depan dibandingkan dengan
dengan arus kas itu sendiri, namun hal ini mungkin tidak dapat
diaplikasikan di Indonesia (Supriyadi, 1999).
Sejauh ini laporan keuangan, khususnya neraca dan laporan
laba/rugi masih diyakini sebagai alat yang andal bagi para pemakainya
untuk mengurangi risiko ketidakpastian dalam pengambilan keputusan-
keputusan ekonomi. Namun, khusus mengenai laporan laba/rugi sampai
saat ini masih terdapat kontradiksi atas simpulan yang dihasilkan

242
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF

berkaitan dengan manfaat isi informasi yang dikandungnya


(Syafriadi, 2000). Namun, terdapat beberapa hasil penelitian yang
mendukung nilai relevansi. laba dalam memprediksi arus kas masa depan
perusahaan. Barth et al. (2001) serta Kim dan Kross (2002) menyatakan
bahwa laba memiliki kemampuan dalam memprediksi arus kas operasi
mendatang perusahaan, dan memiliki kemampuan yang lebih
dibandingkan dengan dengan arus kas jika laba dipecah ke dalam
beberapa komponen aktual. Bahkan, Kim dan Kross (2002) menegaskan
bahwa kemampuan laba dalam memprediksi arus kas meningkat
sepanjang waktu. Watson dan Wells (2005) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa untuk perusahaan yang berlaba, ukuran berbasis
laba lebih baik dalam menangkap kinerja perusahaan dibandingkan
dengan dengan arus kas, sedangkan untuk perusahaan yang merugi
baik laba maupun arus kas tidak dapat menangkap kinerja
perusahaan dengan baik. Dalam hal ini Kim dan Kross (2002) juga
membedakan antara perusahaan yang melaporkan laba positif dan laba
negatif. Hasilnya menyatakan bahwa hubungan antara laba dan arus kas
masa depan tetap menguat, sedangkan hubungan antara arus kas tahun
berjalan dengan arus kas masa depan tidak meningkat maupun
menurun.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan hasil penelitian mengenai
kemampuan laba dan arus kas dalam memprediksi arus kas masa depan,
maka penelitian ini bermaksud menguji kembali kemampuan tersebut
dengan mengelompokkan perusahaan yang melaporkan laba positif dan
laba negatif untuk melihat apakah akan diperoleh simpulan hasil yang
sama dengan Kim dan Kross (2002).
Tulisan ini meneliti apakah laba atau arus kas yang memiliki
kemampuan lebih baik dalam memprediksi arus kas masa depan
pada saat perusahaan melaporkan laba positif dan laba negatif.

LANDASAN KEPUSTAKAAN
Earnings
Earnings dihasilkan oleh proses akuntansi dan disajikan dalam
laporan laba rugi. Generally accepted accounting principle (GAAP)
menyatakan bahwa pengakuan pendapatan terjadi pada saat transfer of
title, tanpa memperdulikan apakah perusahaan sudah atau belum
menerima pembayaran tunai (accrual basis). Biaya yang berkaitan
langsung dengan pendapatan akan diakui pada periode yang sama
dengan pengakuan pendapatan. Biaya lain yang tidak berkaitan
langsung dengan pendapatan akan diakui pada periode terjadinya.

243
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

Pandangan lain menyebutkan bahwa; earnings merupakan suatu ukuran


berapa besar harta yang masuk (pendapatan dan keuntungan) melebihi
harta yang keluar (beban dan kerugian) suatu perusahaan (Scroeder and
Clarck, 1995:131). Wallace (1997:594) menyatakan net income
merupakan pengurangan beban (kerugian) terhadap pendapatan
(keuntungan) dari semua sumber.
Income memiliki beberapa konsep, menurut Hendriksen &
Breda (1992:338) mengklasifikasikan konsep income berdasarkan
penerima income yaitu konsep value added, konsep Enterprise Net
Income, Net Income to Investor, Net Income to Shareholders, dan Net
Income to Residual Equity Holders. Dari semua konsep tersebut yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Net Income to shareholders
(laba bersih bagi pemegang saham).
Konsep laba bersih kepada pemegang saham (Net Income to
Shareholders) merupakan pandangan yang paling banyak dipakai.
Konsep ini menyatakan bahwa Net Income merupakan pengembalian
(return) kepada pemilik perusahaan sebagai hasil investasi mereka pada
suatu perusahaan, baik pemilik perusahaan dalam artian sebagai
pemilik saham preferen maupun pemilik saham biasa.

Arus Kas Operasi


Arus kas dapat dilihat dari laporan arus kas yang merupakan
aliran dana masuk dan keluar dari suatu perusahaan (Fridson,
1995:104). Maksud utama dari penyajian laporan arus kas adalah untuk
memberikan informasi yang relevan mengenai penerimaan, dan
pengeluaran kas dalam suatu perusahaan selama satu periode (Keiso &
Weygand, 1998 : 210).
Umumnya Arus kas diklasifikasikan atas 3 aktivitas yaitu :
operasi, investasi, dan keuangan, sebagaimana dinyatakan dalam
PSAK No. 2 (2004 : 2.3.09) ”Laporan arus kas harus melaporakan arus
kas selama periode tertentu dan diklasifikasi menurut aktivitas operasi,
investasi dan pendanaan”. Arus kas dari kegiatan operasi secara umum
adalah pengaruh kas dari transaksi yang termasuk dalam penentuan net
income selain aktivitas investasi dan keuangan, antara lain : penerimaan
(kas) dari penjualan barang dan jasa dan penerimaan piutang dari
pelanggan, penerimaan kas dari bunga dan dividen, pembayaran bunga
kepada pemberi pinjaman dan kreditor, dan semua pembayaran yang
bukan hasil dari transaksi yang didefinisikan sebagai kegiatan investasi
dan keuangan. Nyata bahwa arus kas operasi merupakan arus kas yang
bersumber dari operasional perusahaan. Slaughter and Tracy (2007:5)

244
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF

menyatakan “operating cash flow shows the true profitability picture of


a firm’s core operation”.
Ada dua metode yang dapat ditempuh untuk melaporkan arus
kas operasi yaitu dengan cara metode langsung dan metode tidak
langsung. Masing-masing metode tentunya memiliki keunggulan dan
kelemahan dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan dari laporan
arus kas operasi itu sendiri. Metode langsung adalah metode yang
melaporkan sumber kas operasi dan penggunaan kas operasi tersebut.
Sedangkan metode tidak langsung merupakan laporan arus kas operasi
yang dimulai dengan laba bersih dan disesuaikan dengan pendapatan
dan beban diluar dari penerimaan dan pembayaran dari kas itu sendiri.
“The direct methode reports the sources of operating cash and
uses of operating cash. The major source of operating cash is
cash received from customers. The major uses of operating cash
include cash paid to suppliers for merchandise and services and
cash paid to employees for wages. The indirect methode reports
the operating cash flow by beginning with the net income and
adjusting it for revenues and expenses that do not involve the
receipt or payment of cash” (Warren and Reeve, 2004:599).
Begitu juga menurut PSAK No. 2 (2004 : 2.5.17) perusahaan
dapat melaporkan arus kas operasi dengan salah satu metode berikut :
1. Metode Langsung (Direct method), yaitu dengan metode ini
kelompok utama dari penerimaan kas bruto dan pengeluaran kas
bruto diungkapkan.
2. Metode Tak Langsung (Indirect method,) yaitu dengan metode ini
laba atau rugi bersih disesuaikan dengan mengkoreksi pengaruh dari
transaksi bukan kas, penangguhan (deferral) atau aktual dari
penerimaan atau pembayaran kas untuk operasi masa lalu dan masa
depan, dan unsur pengahasilan atau beban yang berkaitan dengan
arus kas investasi atau pendanaan.

Penelitian Terdahulu
Manfaat laporan arus kas telah dibuktikan oleh beberapa peneliti,
salah satunya Bowen et al. (1986). Penelitian-penelitian kandungan
informasi laba telah menunjukkan hasil yang relatif konsisten, namun
penelitian kandungan informasi arus kas masih menunjukkan hasil yang
belum konklusif (Ali, 1994). Beberapa peneliti melakukan pengujian
untuk membandingkan manfaat informasi laba dan arus kas. Lee (1974)
dalam Hodgson et al. (2000) menyatakan bahwa kebutuhan
informasi investor dapat dipenuhi oleh arus kas, bukan laba akuntansi

245
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

karena laba sangat rentan terhadap praktik manipulasi dan perubahan


metode akuntansi. Menurut Syafriadi (2000) dengan mengetahui sifat
laba sebagai data seri waktu, maka perubahan laba tersebut bersifat
acak dan ada korelasi yang serial. Hal ini menunjukkan bahwa laba
memiliki potensi sebagai prediktor.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilson
(1986) dan Ali (1994), yang meneliti mengenai isi informasi
inkremental laba dengan hasil penelitian bahwa komponen laba
aktual (atau total aktual yang didefinisikan sebagai kas operasi
dikurangi laba) dan komponen dana (kas operasi) memiliki informasi
inkremental apabila dana didefinisikan sebagai kas operasi. Bowen et
al. (1986) lebih menegaskan dalam hasil penelitiannya bahwa arus kas
sebagai prediktor arus kas adalah lebih baik dibandingkan dengan
dengan laba, khususnya untuk periode prediksi satu atau dua tahun.
Finger (1994) juga menguji mengenai relevansi laba untuk kemampuannya
memprediksi laba dan arus kas masa depan, dan menyimpulkan
bahwa laba adalah signifikan sebagai prediktor laba di masa depan
sampai dengan periode delapan tahun di muka dan laba baik digunakan
secara parsial maupun bersama-sama dengan arus kas merupakan
prediktor yang signifikan juga bagi arus kas.
Arus kas dalam periode jangka pendek adalah prediktor
arus kas yang lebih baik dibandingkan dengan laba atas arus kas.
Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh Parawiyati dan Baridwan
(1998) yang juga meneliti kemampuan laba dan arus kas dalam
memprediksi laba dan arus kas perusahaan manufaktur mempublik
di Indonesia menemukan bahwa, baik dengan memasukkan faktor
deflator (consumer price index) maupun tanpa faktor deflator
tersebut, prediktor laba memberikan pengaruh yang lebih besar
dalam memprediksi laba dan arus kas untuk periode satu tahun
kedepan dibandingkan dengan prediktor arus kas. Syafriadi (2000)
meneliti kemampuan laba dan arus kas dalam memprediksi laba dan
arus kas untuk periode satu tahun ke depan dibandingkan dengan
dengan prediktor arus kas. Syafriadi (2000) yang meneliti
kemampuan laba dan arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas
menyatakan bahwa laba sebagai prediktor memang memiliki pengaruh
yang lebih erat dengan laba dibandingkan dengan dengan
prediktor arus kas dengan nilai t-hitung 3,913 yang signifikan pada
alfa 0,05 untuk prediktor laba dan 3,715 untuk prediktor arus kas yang
juga signifikan pada alfa 0,05. Sementara itu, ketika ia menguji
kemampuan laba dibandingkan dengan dengan arus kas sebagai

246
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF

prediktor arus kas, hasilnya menunjukkan bahwa prediktor laba tidak


memiliki hubungan yang erat dengan arus kas dibandingkan
dengan dengan hubungan prediktor arus kas dengan arus kas masa
depan yang signifikan pada alfa 0,05. Hasil penelitian Syafriadi (2000) ini
senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Finger (1994) dan
Bowen et al. (1986). Kusuma (2003) dalam penelitiannya menguji
nilai tambah kandungan informasi laba dan arus kas, khususnya arus kas
pada saat laba bersifat permanen. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa laba tidak mempunyai nilai tambah kandungan informasi di
luar informasi yang diberikan oleh arus kas operasi.
Arus kas operasi mempunyai nilai tambah kandungan informasi
di luar informasi yang diberikan oleh laba serta memiliki nilai tambah
kandungan informasi pada saat laba mengandung komponen transitori.
Cheng et al. (1996) juga menguji nilai tambah informasi arus kas operasi
ketika laba bersifat transitori. Secara umum hasilnya menunjukkan
bahwa nilai tambah kandungan informasi arus kas operasi menunjukkan
peningkatan ketika sifat permanen laba menurun. Nilai tambah
kandungan informasi arus kas diduga akan meningkat ketika laba
mempunyai kemungkinan besar tersentuh oleh praktik-praktik
manipulasi yang menyebabkan munculnya komponen transitori dalam
laba. Supriyadi (1999) dalam penelitiannya mengenai kemampuan laba
versus arus kas dalam memprediksi arus kas masa depan
menggunakan tiga model peramalan arus kas, yaitu cash flow model,
earnings model, dan earnings-cash flow model. Berdasarkan pengujian
hipotesisnya dinyatakan bahwa data arus kas memberikan informasi
yang lebih baik untuk meramalkan arus kas masa depan
dibandingkan dengan laba. Supriyadi juga menegaskan bahwa laba
menambah sedikit terhadap kemampuan arus kas dalam memprediksi
arus kas masa depan. Hasil yang senada juga diperoleh oleh DeFond dan
Hung (2001) yang juga menguji arus kas dan laba untuk memprediksi
arus kas masa depan antara perusahaan dengan atau tanpa
ramalan arus kas. Hasil penelitiannya mengindikasikan bahwa
laba secara signifikan memiliki sedikit kemampuan dan
arus kas secara signifikan memiliki kemampuan yang lebih besar
untuk memprediksi arus kas masa depan di antara perusahaan-
perusahaan dengan ramalan arus kas. Temuannya ini konsisten dengan
permintaan partisipan pasar akan ramalan arus kas ketika laba secara
relatif kurang informatif dan arus kas lebih informatif dalam
memprediksi arus kas masa depan. Mereka mengekspektasi
bahwa arus kas membantu partisipan pasar menginterpretasi

247
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

informasi yang terkandung dalam laba, dan menilai viabilitas


perusahaan.
Partisipan pasar mungkin menggunakan arus kas untuk
menginterpretasi informasi dalam laba, contohnya dengan
membandingkan arus kas terhadap laba bersih karena arus kas kurang
subjektif daripada aktual. Barth et al. (2001) dalam hasil penelitiannya
yang menguji kemampuan prediksi laba agregat tahun berjalan dan
masa lalu untuk arus kas periode selanjutnya mengungkapkan
bahwa laba tahun berjalan adalah signifikan dalam memprediksi arus
kas satu tahun ke depan. Hasilnya juga mengungkapkan bahwa lags of
earnings adalah signifikan dalam memprediksi arus kas periode
berikutnya. Namun, karena laba agregat tahun berjalan bukan
merupakan prediktor arus kas masa depan yang tidak bias, maka
digunakanlah peran aktual dalam memprediksi arus kas masa depan.
Hasilnya menunjukkan bahwa laba disagregat tahun berjalan secara
signifikan memiliki kemampuan prediksi yang lebih dibandingkan
dengan laba agregat tujuh tahun.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim dan
Kross (2002), bahwa kemampuan laba untuk memprediksi arus kas
operasi masa depan meningkat dan peningkatan kemampuan prediksi
ini sepanjang waktu bertahan untuk beberapa horizon peramalan.
Mereka menggunakan tiga model untuk memprediksi arus kas operasi
masa depan, yaitu earnings model, lalu earnings tersebut di
disagregasi ke dalam arus kas dan komponen aktual yang disebut
dengan full model. Untuk menilai kekuatan penjelas arus kas operasi dan
komponen aktual, full model tersebut dipecah menjadi CFO model
dan acctual model.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kekuatan penjelas
dari laba disagregat meningkat sepanjang waktu dan baik arus kas
operasi maupun aktual tampak memiliki kontribusi dalam peningkatan
ini. Rata-rata kekuatan penjelas dari laba disagregat meningkat dari
0.28 selama periode waktu 1981—1989 menjadi 0.36 dalam periode
waktu 1990—1998. Akhirnya, hasilnya menunjukkan bahwa hubungan
antara laba tahun berjalan dan arus kas masa depan menguat sepanjang
waktu. Di samping itu, uji Theil’s U untuk full model mengindikasikan
bahwa kemampuan CFO untuk memprediksi CFO satu tahun ke depan
meningkat sepanjang periode sampelnya dan laba agregat memiliki
peningkatan dalam kemampuannya untuk memprediksi arus kas operasi
masa depan. Kim dan Kross (2002) dalam penelitiannya juga
melakukan analisis sensitivitas, yaitu dengan mengelompokkan

248
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF

perusahaan menjadi perusahaan yang melaporkan laba positif dan yang


melaporkan laba negatif. Mereka ingin melihat apakah laba perusahaan
yang menderita kerugian memiliki asosiasi yang rendah dengan arus kas
masa depan dibandingkan dengan perusahaan yang melaporkan laba
positif. Hal itu penting karena Hayn (1995), dalam Kim dan Kross
(2002), menemukan bahwa perusahaan yang melaporkan kerugian
memiliki tingkat asosiasi yang rendah antara laba dan return
saham dibandingkan dengan perusahaan yang melaporkan laba
positif. Penelitian lain dilakukan oleh Watson dan Wells (2005) yang
juga menyatakan bahwa pada perusahaan yang berlaba ukuran kinerja
yang berbasis laba memiliki keterkaitan yang tinggi dengan return saham
dibandingkan dengan arus kas. Sebaliknya, pada saat perusahaan
merugi, kekuatan penjelas dari model yang digunakannya berkurang
dan terdapat koefisien negatif yang signifikan pada ukuran-ukuran
kinerja sehingga disimpulkan bahwa baik ukuran berbasis laba maupun
arus kas tidak ada yang dapat menangkap kinerja dengan baik.
Namun, hasil penelitian Kim dan Kross (2002) mengindikasikan
bahwa adanya hubungan yang menguat antara laba dan arus kas masa
depan meskipun diperoleh hasil yang lebih lemah untuk perusahaan
yang melaporkan laba. Dengan demikian, adanya perusahaan yang
berlaba ataupun merugi tidak mengubah simpulan hasilnya bahwa
hubungan antara laba dengan arus kas masa depan meningkat
sepanjang waktu. Sebaliknya, hubungan antara arus kas tahun berjalan
dengan arus kas masa depan meningkat secara signifikan untuk
perusahaan yang melaporkan rugi. Akan tetapi, signifikansi tersebut
hilang untuk perusahaan yang berlaba yang artinya hubungan antara
arus kas tahun berjalan dengan arus kas masa depan tidak meningkat
maupun menurun.

Pengembangan Hipotesis
Laba aktual didasarkan pada dua prinsip akuntansi, yakni
pengakuan pendapatan dan prinsip penandingan. Prinsip pengakuan
pendapatan meminta perusahaan untuk mengakui pendapatan ketika
telah melaksanakan semua atau satu bagian substansial dari jasa-jasa
yang harus diberikan dan penerimaan kas dari transaksi tersebut adalah
pasti. Prinsip penandingan meminta perusahaan untuk mengakui semua
biaya yang terkait dengan pendapatan dalam periode yang
sama di mana pendapatan diakui. Karena proses aktual dianggap
mengurangi masalah waktu dan masalah penandingan yang melekat di
arus kas, maka diyakini bahwa laba lebih tepat menggambarkan kinerja

249
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

perusahaan (Dechow, 1995 dalam Supriyadi, 1999). Saat ini penelitian


dalam kegunaan laba untuk keputusan investasi didasarkan pada
hipotesis bahwa laba merupakan proksi arus kas masa
depan perusahaan (Beaver, 1968; Ball dan Brown 1968; Easton 1985
dalam Supriyadi, 1999). Namun, karena manajemen biasanya
memiliki beberapa kebijakan sepanjang pengakuan aktual, laba
aktual mungkin merupakan ukuran yang mengganggu (noisy
measure) atas kinerja perusahaan. Oleh karena itu, laba menjadi
kurang andal sebagai ukuran kinerja perusahaan dibandingkan dengan
data arus kas (Supriyadi, 1999).
Perbedaan dalam faktor kultural dan ekonomi yang terjadi antara
US dan Indonesia mungkin menyebabkan nilai yang berbeda untuk
sejumlah informasi yang sama. Salah satu contoh faktor ekonomi yang
mempengaruhi nilai informasi akuntansi adalah pengaruh dari tingkat
inflasi atas informasi akuntansi yang berbasis biaya historis. Tingkat
inflasi merupakan proksi dari kondisi ekonomi yang secara luas telah
digunakan dalam studi ekonomi. Ndubizu (1992) dan Doupnik dan
Salter (1995) menemukan bukti signifikan yang mendukung efek
pengurang tingkat inflasi atas nilai informasi akuntansi di berbagai
negara. Tingginya tingkat inflasi di Indonesia pada dekade tersebut
dapat mengurangi manfaat sistem akuntansi berbasis biaya historis.
Informasi akuntansi menjadi kurang relevan jika akuntansi berbasis
historis. Tingkat inflasi yang tinggi akan menyebabkan laba berbasis
biaya historis menjadi (overstated). Sebagai akibatnya,
nilai prediktifnya menurun. Oleh karena itu, data arus kas yang
bebas dari pengaruh inflasi seharusnya memberikan indikasi arus kas
masa depan yang lebih baik daripada laba. Informasi arus kas berguna
untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas dan
setara kas serta memungkinkan para pemakai mengembangkan
model untuk menilai dan membandingkan nilai sekarang dari arus
kas masa depan dari berbagai perusahaan. Informasi tersebut
juga meningkatkan daya banding pelaporan kinerja operasi berbagai
perusahaan karena dapat meniadakan pengaruh penggunaan perlakuan
akuntansi yang berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama.
Informasi arus kas historis sering digunakan sebagai indikator dari
jumlah, waktu, dan kepastian arus kas masa depan.
Earnings umumnya mengandung komponen transitori.
Komponen transitori mungkin muncul karena berbagai macam alasan.
Salah satu di antaranya adalah karena adanya perjanjian kompensasi
atau perjanjian utang yang didasarkan pada laba akuntansi yang

250
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF

dilaporkan sehingga manajer terdorong untuk memanipulasi laba


dengan cara-cara tertentu. Adanya komponen transitori dalam
laba menyebabkan laba bersifat kurang permanen atau laba
mempunyai persistensi yang rendah (Kusuma, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, maka penulis merumuskan
hipotesis alternatif sebagai berikut:
H1 : Earnings memiliki kemampuan lebih baik untuk
memprediksi arus kas operasi masa depan dibandingkan dengan
arus kas operasi saat ini untuk perusahaan yang melaporkan laba
positif.
H2 : Earnings memiliki kemampuan lebih baik untuk
memprediksi arus kas operasi masa depan dibandingkan dengan
arus kas operasi saat ini untuk perusahaan yang melaporkan laba
negatif.

METODE PENELITIAN

Sampel dan Data


Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh
perusahaan nonfinansial mempublik yang terdaftar di Bursa Efek
Jakarta dari tahun 2001 sampai tahun 2006. Selanjutnya sampel akan
dipilih dengan teknik purposive sampling dengan kategori
ketersediaan data yang lengkap dari sampel tersebut dan akan
dikelompokkan menjadi perusahaan yang melaporkan laba positif dan
laba negatif. Data yang digunakan merupakan data sekunder dan data
laba sebelum pos-pos luar biasa dan arus kas operasi perusahaan
yang diperoleh dari laporan keuangan yaitu laporan laba rugi dan
laporan arus kas. Di samping itu, juga data total aset dari tiap-tiap
perusahaan yang akan digunakan sebagai faktor pengurang.

Pengukuran Variabel

a. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah arus kas dari
aktivitas operasi perusahaan periode setelah tahun amatan. Arus kas dari
aktivitas operasi ini merupakan ikhtisar penerimaan dan pembayaran kas
yang menyangkut operasi perusahaan. Jumlah arus kas yang berasal
dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukan
apakah dari operasinya perusahaan dapat menghasilkan arus kas
yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan

251
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

operasi perusahaan, membayar dividen, dan melakukan investasi baru


tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar. Arus kas operasi ini
dapat diukur dalam cara Dechow et al. (1998), yakni:
CFO = income before depreciation - interest expense + interest
revenue - taxes - ∆WC
di mana
∆WC = perubahan dalam piutang, persediaan, dan aktiva
lancar lainnya dikurangi perubahan dalam utang, utang pajak,
utang lancar lainnya, dan pajak ditangguhkan.

b. Variabel Independen
Variabel independen yang digunakan adalah arus kas operasi
tahun berjalan dan laba bersih sebelum pos-pos luar biasa tahun
berjalan. Semua variabel akan dibagi dengan total aset dari
perusahaan terkait pada periode amatan.

3.3. Model Penelitian


Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan
earnings model dan CFO model yang digunakan oleh Kim dan Kross
(2002), yakni sebagai berikut:
CFOit+1 = α0 + α1 Eit + α2 CFOit + et

Keterangan :
CFOit+1 = arus kas operasi perusahaan i pada tahun t+1

α0 = koefisien konstanta

α1, α2 = koefisien variabel independen

Eit = laba sebelum pos-pos luar biasa perusahaan i


pada tahun t
CFOit = arus kas operasi perusahaan i pada tahun t

et = variabel gangguan

Metode Analisis Data


Untuk menganalisis model di atas digunakan teknik
regresi linier berganda. Analisis regresi akan diujikan dua kali untuk
kelompok perusahaan yang melaporkan laba positif dan yang

252
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF

melaporkan laba negatif. Selanjutnya akan dihitung nilai F-test dan t-


test tiap-tiap variabel independen untuk kedua kelompok
perusahaan. Dari hasil uji t akan dapat dilihat variabel independen (laba
bersih dan arus kas operasi tahun berjalan) manakah yang paling berkaitan
erat dan signifikan terhadap variabel dependen (arus kas operasi periode
setelah tahun amatan) pada perusahaan yang berlaba positif dan
perusahaan yang berlaba negatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengujian Hipotesis Pertama


Statistik deskriptif untuk kelompok perusahaan berlaba positif
terdapat dalam tabel 2. Hasil analisis regresi untuk pengujian
hipotesis pertama dapat 2 dilihat pada tabel 3. Dari hasil tersebut
dapat dilihat bahwa nilai adjusted R adalah sebesar 0,231.
Sebaliknya, nilai F hitung adalah sebesar 82,725 dan nilainya
signifikan secara statistik pada alfa 0,05 sehingga model regresi dapat
digunakan untuk memprediksi arus kas masa depan.
Berdasarkan uji t, dapat dilihat bahwa variabel laba sebelum pos-
pos luar biasa dan arus kas operasi tahun berjalan secara statistik
signifikan pada alfa 0,05 dengan nilai t hitung 5,073 untuk laba sebelum
pos-pos luar biasa dan 9,312 untuk arus kas operasi tahun berjalan. Jadi,
disimpulkan bahwa laba dan arus kas operasi tahun berjalan memiliki
kemampuan dalam memprediksi arus kas operasi masa depan.

Hasil Pengujian Hipotesis Kedua


Statistik deskriptif untuk kelompok perusahaan berlaba negatif
disajikan dalam tabel 4 dan hasil regresinya disajikan dalam tabel 5.
Dari hasil regresi data regresi, diperoleh adjusted R 2 sebesar 0,084.
Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan adjusted R 2 untuk
kelompok perusahaan berlaba positif. Namun, nilai tersebut signifikan
secara statistik pada alfa 0,05. Dengan demikian, variasi arus
kas operasi masa depan dapat dijelaskan oleh variabel laba sebelum pos-
pos luar biasa dan arus kas operasi tahun berjalan sebesar 8,4%. Nilai F
hitungnya adalah sebesar 8,907 yang jauh lebih kecil dibandingkan
dengan kelompok perusahaan berlaba positif, namun nilai F hitung
tersebut juga signifikan secara statistik pada alfa 0,05 sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua variabel independen signifikan secara statistik
dalam mempengaruhi variabel dependen. Sebaliknya, dalam uji t
untuk mengetahui sumbangan variabel bebas secara individu diperoleh t

253
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

hitung 1,189 untuk laba sebelum pos-pos luar biasa dan nilai t ini tidak
signifikan secara statistik karena probabilitas signifikansi untuk laba ini
jauh di atas 0,05. Untuk variabel arus kas operasi tahun berjalan
diperoleh t hitung 4,019 dan nilai ini signifikan secara statistik pada
alfa 0,05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis
alternatif kedua ditolak, yang artinya earnings tidak memiliki
kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan arus kas operasi tahun
berjalan dalam memprediksi arus kas operasi masa depan untuk
kelompok perusahaan yang berlaba negatif.

SIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa arus kas operasi
tahun berjalan memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan
dengan earnings dalam memprediksi arus kas operasi masa depan,
baik untuk kelompok perusahaan berlaba positif maupun berlaba
negatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan arus kas
operasi tahun berjalan yang lebih baik dibandingkan dengan
laba dalam memprediksi arus kas operasi masa depan. Hal ini senada
dengan hasil yang diperoleh oleh Syafriadi(2000), Supriyadi (1999),
DeFond dan Hung (2001). Penelitian ini memiliki keterbatasan, yakni
tidak semua data perusahaan nonfinansial berhasil diperoleh
sehingga untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan data
yang lebih lengkap lagi. Selain itu, dalam melakukan penelitian
berikutnya dapat menggunakan model yang lain, seperti memecah laba
menjadi beberapa komponen aktual dan diujikan lagi apakah arus
kas operasi tahun berjalan tetap memiliki kemampuan yang lebih baik
dibandingkan dengan laba disagregat dalam memprediksi arus kas
operasi masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ashiq. 1994. “The Incremental Information Content of Earnings,


Working Capital from Operations and Cash Flows”.
Journal of Accountimg Research. Vol. 32, No. 1, pp.
61—73.
Barth, Mary E, Donald P. Cram dan Karen K. Nelson. 2001. “Accruals
and the Prediction of Future Cash Flows”. The
Accounting Review. Vol. 76; pp. 27—58.
Bowen, Robert M., David Burgstahler, dan Lane A. Daley. 1986.

254
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF

“Evidence on The Relationship Between Earnings and Various


Measures of Cash Flows”. The Accounting Review. (LXI)
No. 4. pp 713—725.
Cheng, C.S.A., Chao-Shin Liu, dan Thomas F.S. 1996. “Earnings
Permanence and the Incremental Information Content of
Cash Flows from Operations”. Journal of Accounting
Research. Vol. 34, No.1, Spring, 173—181.
Dechow, P.M., S.P. Kothari dan R.L. Watts. 1998. “The Relation
Between Earnings and Cash Flows”. Journal of Accounting and
Economics 25. pp. 133—168.
DeFond, Mark dan Mingyi Hung. 2001. An Empirical Analysis of
Analysts’ Cash Flow Forecast. http://papers.ssrn.com/sol3/-
papers.cfm?abstract_id=265773
Doupnik, T.S., dan F.B. Salter. 1995. “External Environment,
Culture, and Accounting Practice: a Preliminary Test of a
General Model of International Accounting Development”. The
International Journal of Accounting. (30). Pp. 189—207.
FASB. 1987. Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 1.
Finger, Catherine A. 1994. “The Ability of Earnings to Predict Future
Earnings and Cash Flow”. The Journal Accounting Research.
Vol. 32, No.2. Autumn. Pp. 210—223.
Fridson, Martin S. (1995). Financial Statement Analysis. 2nded. New
York : John Wiley and Sons, Inc.
Gunawan dan Bandi,.2000. Analisis Kandungan Informasi Laporan
Arus Kas, Simposium Nasional Akuntansi III, 697-718
Hendriksen, Eldon S. dan Michael F, Van Breda (1992). Accounting
Theory. Fifth Edition Boston : Richard D. Irwin, Inc.
Hodgson, A., Peta S., dan Clarke. 2000. “Earnings, Cashflows, and
Returns: Functional Relations and the Impact of Firm Size”.
Accounting and Finance. 40. pp. 51—73.
Ikatan Akuntan Indonesia (2002). Standard Akuntansi Keuangan.
Jakarta : Penerbit Salemba Empat.
Kieso, Donald E dan Jerry J Weygandt (1998). IntermediaAccounting.
Ninth Edition. New York : John & Sons, Inc
Kim, Myung-Sun dan William Kross. 2002. The Ability of Earnings to
Predict Future Operating Cash Flows Has Been Increasing - Not
Decreasing.http://papers.ssrn.com/sol3/Delivery.cfm/SSRN_ID30
3283_code0203 16500.pdf?abstractid=303283&mirid=1
Kusuma, Poppy Dian Indira. 2003. “Nilai Tambah Kandungan
Informasi Laba dan Arus Kas Operasi”. SNA VI, h. 304—315.

255
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

Ndubizu, G.A. 1992. “Accounting Disclosure Methods and


Economic Development: Criterion for Globalizing Capital
Markets”. The International Journal of Accounting (27). pp.
151—163.
Parawiyati dan Zaki Baridwan. 1998. “Kemampuan Laba dan Arus Kas
dalam Memprediksi Laba dan Arus Kas Perusahaan Go Publik di
Indonesia”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 1 No. 1, h.1-11.
Scroeder, Richard G. dan Myrtle Clark (1998). Accounting Theory-
Text and Reading. 6th Edition. Canada : John Willey & Sons,
Inc.
Supriyadi. 1999. “The Predictive Ability of Earnings Versus Cash Flow
Data to Predict Future Cash Flows: a Firm-Specific Analysis”.
Gadjah Mada International Journal of Business. Vol. 1,
September, h. 113—132.
Syafriadi, Hepi. 2000. “Kemampuan Earnings dan Arus Kas dalam
Memprediksi Earnings dan Arus Kas Masa Depan: Studi di
Bursa Efek Jakarta”. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol. 2, No.
1, April, h. 76—88.
Wallace, Wanda A. (1997). Financial Accounting. 3rd ed. Cincinati :
South Western Publishing.
Watson, Jodi dan Peter Wells. 2005. The Association Between Various
Earnings and Cash Flow Measures of Firm Performance and
Stock Returns: Some Australian Evidence.
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=815365.
Wilson, P.G. (1986).” The Alternative Information Content of Accrual and
Cash Flow: Combined Evidence at The Earnings Anouncement
Annual Reports Release Date”. The Accounting research. Vol.24,
Supplement, pp.165-200.

256
Mahdi,
The Functions of Fund Raising

THE FUNCTIONS OF FUND RAISING IN THE DEVELOPMENT


OF STRATEGIC PLANNING PROCESS

by
Sayed Mahdi
Lecturer Faculty of Economics, Syiah Kuala University, Banda Aceh

ABSTRACT

Artikel ini mendeskripsikan peran pentingnya strategi penggalangan


dana dalam dunia perguruan tinggi yang dominan di praktekkan di
Universitas Amerika dalam menbackup strategi pengembangan kampus.
Kesuksesan dalam penggalangan dana juga di kaitkan dengan
ketepatan strategi perencanaan yang di terapkan. Penelitian ini juga
mendeskripsikan penerapan penerapan strategi terkini dalam
penggalangan dana yang di implementasikan di berbagai perguruan
tinggi Amerika, yang diharapkan bisa di terapkan di dalam
pengembangan perguruan tinggi di Aceh. Hasil dari artikel ini,
menyarankan para perencana strategis dalam dunia perguruan tinggi
untuk mempertimbangkan ketersediaan dana terutama ketika
memutuskan membangun kampus baru, penyediaan bantuan keuangan
untuk mahasiswa, perekrutan dan mempertahankan dosen, dan
menjamin terciptanya kesehatan keuangan yang stabil untuk masa
depan kampus melalui penggalangan dana abadi.

Keyword : strategic planning, fund raising, higher education.

INTRODUCTION
The intentional Plan for the U.S. Department of Education for
fiscal years 2007-12 has three goals, with the third specific to higher
education. That goal is to, “Ensure the accessibility, affordability, and
accountability of higher education, and better prepare students and
adults for employment and future learning” (p.4). The underlying main
denominator to pursue this goal is money, and how and where the
money comes from, is a major driver when creating strategic plans in
higher education.
University endowments enjoyed remarkable returns in the
1990’s. Economist Donald Frey (2002) revealed that the decade of the
1990s “returned an average 12.9% annual rate with an average inflation
rate of only 2.9%” (p.109). Additionally, alumni gifts accounted for

258
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

27% of all voluntary support of higher education in the fiscal year of


1992-93 (Okunade, 1996). Colleges that claimed endowments over $1
billion enjoyed median rate of returns over one year of 21% (Schworm,
2008). However, these robust returns were celebrated before the stock
market and housing crisis of fiscal year 2009. In October 2008 The
University of Texas at Austin shockingly reported an endowment
decline of $1 billion dollars and gives total responsibility for this to the
worldwide economic meltdown (Associated Press, October 31, 2008).
The landscape of giving could get worse, according to a study by
Okunade; findings revealed that alumni giving increases when there is a
strong confidence in the economy (1996).
College endowments were mainly built from the generous
donations of alumni and friends of universities and from corporations
and foundations. A study conducted by the Ford Foundation (1969)
revealed that donors “were primarily concerned with program support
regardless of the level of spending required and that many donors of
large gifts have left no evidence of a desire that spending should be less
than the total return on invested funds” (Frey, 202, p. 111). If donor
intent is to invest in programs and support for the university, do strategic
planners reflect this interest when planning for the future of the said
university? The rationale for this paper is to investigate how fund
raising and donations help dictate a university’s strategic plan and how
fund raising is involved within the strategic planning process.
Fund raising in higher education has become the lifeblood of
universities. In 2007 the University of Pittsburgh reported that only
23% of revenues came from student tuition, while 5% came from gifts
and pledges and 3.6% of revenues came from endowment earnings with
the bulk of spending from grants and contracts (University of Pittsburgh
Factbook, 2008). The University of Pittsburgh is in the midst of a $2
billion campaign and recently completed its best fund raising year to
date (Office of Institutional Advancement, University of Pittsburgh,
2008). Fund raising can help to decrease the burden of using tuition
dollars to fund building projects and student programs and rely more on
large donations and endowment returns. Fund raising has evolved from
the responsibility of the university president to that of large staffs
dedicated solely to raising money for the university (Cook & Lasher,
1996).

259
Mahdi,
The Functions of Fund Raising

Planning
Peterson (1997) explains that contextual planning is,
not seen as unrelated to or inconsistent with effective
long-range or strategic planning approaches. It is seen as
an extension to our understanding of planning
necessitated by and related to the changing nature of our
institutional environment and our system of industry.
(Peterson, 1997, p.60)

Contextual planning typically takes place during periods of


change. Changes in higher education can range from demographic,
socioeconomic, enrollment, and national and world economy issues.
Such changes influence the type of strategic planning an institution
engages in. Peterson (1997) discusses that 1975 through 1990 strategic
planning was influenced by “economic constraints; new alternative
plans for public funds; and real decline in the number of traditional
college-aged students” (p.62). Each of these issues call for increased
fund raising efforts and should be reflected and discussed at length in
the strategic planning process.
Contextual planning should be utilized through the current
economic crisis to take both a proactive and reactive position. Higher
education must first react to the economy on several fronts.
Endowments have suffered large declines in the stock market, state
funding is decreasing for many institutions, fewer students will be able
to afford the high cost of education, and student loans will be harder to
secure. However, planning can be proactive if institutions examine the
environment and begin to plan for new fund raising opportunities to
survive the current crisis and plan for a stable future. A certain threat to
institutions during difficult economic times is the dependency on
endowments. Liefner (2003) surmised that “University administrators
should define the basic goals of their institutions and propose how they
can fulfill their mission under the given, historically developed, and
culturally accepted framework that revolves around the endowment, the
reputation, the regional industrial potential, etc” (p.487). Heavy
dependence on shrinking endowments is a potential disaster during a
stock market crisis unless the funds are invested ultra conservatively.
To appropriately prepare for the future, institutions must
“identify major directions that will promote institutional health and
viability” (Schmidtlein & Milton, 1988, p.109). These directions will
likely be fueled by the funds that are currently available and how much

260
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

can be raised to fulfill these goals. According to Liefner (2003), sources


of income and how funds are budgeted vary drastically from institution
to institution. Higher education is not a one size fits all scenarios; there
are both public and private institutions, for-profit and vocational schools
- each with different funding needs and funding sources. These
differences will be exemplified in this paper by investigating situations
at Harvard University, Virginia Wesleyan College, Robert Morris
University, Virginia Polytechnic Institute and State University (Virginia
Tech) and The University of Pittsburgh.

Harvard University
It is not surprising that collegiate fund raising began at Harvard
University in 1640 with the college’s first president, Henry Dunster
(Cook& Lasher, 1996). Today, Harvard boasts an unprecedented
endowment of $34 billion (Chronicle of Higher Education Facts &
Figures, 2008). This achievement did not come without its tolls.
Harvard may boast financial strength and can look to the future without
the same monetary concerns that smaller and less financially stable
universities have. However, a reason cited for a leave of absence by
past Harvard President Neil Rudenstine in 1994 was stress from fund
raising (Cook, 1997).
With its massive endowment and a long history of prestige,
Harvard University may appear to have endless opportunities to
continue its success. In a speech to the strategic plan steering
committee, Harvard President Faust charged the strategic planning
steering committee “to guide a planning initiative that will lead to the
transformation of certain physical spaces in Cambridge so that they
support and enhance our sense of engagement and community”
(“Harvard University Speeches and Publications,” 2008). The
transformation on campus that President Faust is charging the strategic
planning steering committee with will financially be significant. The
Strategic Planning Committee must determine if existing monies are
available for this initiative, or if a fund raising campaign is necessary to
complete the task.
The Chronicle of Higher Education reported in December 2007
that Harvard planned to “raise its spending on student aid to $120
million from $98 million annually” (Hoover, p.4). According to
Harvard’s web site, the university has a needs based policy for financial
aid and that approximately 70% of enrolled students receive some type
of financial aid (“Harvard University Admissions,” 2008). Additionally,

261
Mahdi,
The Functions of Fund Raising

families with earnings under $60,000 per year are not responsible for
contributing to their child’s tuition costs at Harvard. Moreover, the
Harvard Strategic Advisory Group on Education (SAGE) placed the
issue of student debt reduction for medical school students as one of
their primary strategic directions. This strategic priority will be met by a
$3 million increase in scholarships to Harvard Medical School students;
an increase of 40% over the current funding levels (“Harvard Medicine
Strategic Planning”, 2008). This is another example of how fund raising
and the need for scholarships at Harvard University help to drive
strategic priorities.

Virginia Wesleyan College


Enhancing alumni loyalty was an objective resulting from the
Strategic Planning Committee of Virginia Wesleyan College in the
academic year of 1999-2000
(Ridley & Boone, 2001). To achieve this objective, an Alumni Loyalty
Task Force was created. The task force defined alumni loyalty through
the following ways:
a. understands and appreciates the value of a liberal education,
b. valued the education received and believed it was of high quality
and an excellent investment,
c. was satisfied with experience as a student,
d. had a minimum of unresolved issues and efforts made on his/her
behalf,
e. appreciates current benefits of being an alumnus/alumna and
takes advantage of them,
f. believes his/her degree (if applicable) is highly regarded,
g. maintains ties with VWC to extent of ability (distance and
opportunity),
h. supports VWC in appropriate ways (Ridley & Boone, p. 2,
2001).
For the purpose of this paper the focus will remain on point “H”,
supports VWC in appropriate ways. Ridley and Boone (2001) explained
that loyalty comprised of “labors of love as well as sums written on bank
drafts” (p.13). The appointed Task Force investigated the meaning of
alumni loyalty, surveyed a population of alumni for feedback on their
student and alumni experience, and finally submitted a report to the
Strategic Planning Committee with recommendations and findings. The
Strategic Planning Committee then included this information in their

262
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

final plan. The Alumni Loyalty Task Force was instrumental in


developing a context for this area of the strategic plan.
The Alumni Loyalty Task Force is an illustration of how
strategic plans include alumni giving as one factor for consideration.
Focusing on alumni loyalty is important for many reasons; however,
donation potential is a large area of focus. A study by Clotfelter (2003)
revealed that student satisfaction with their university equated to larger
charitable gifts to the institution as an alumnus (p.22). When the
experience was positive, the donation was higher. In fact, the report
concluded that those with a positive student experience donated 2.6
times more than those that reported a mediocre or unsatisfactory
experience (Monks, 2003). The Task Force will not only look at the
loyalty of their alumni, but how that loyalty translates to monetary gifts
to the institution.

Robert Morris University


Robert Morris University (RMU) is a small private college
located in Western Pennsylvania that was founded in 1921. RMU
operates on a slim financial budget with heavy dependence on student
tuition (92% of the operating budget) and small earnings from a $21
million endowment. Due to their small endowment and annual financial
dependence on student tuition, a strategic initiative that resulted from
their strategic plan is to embark upon a $40 million capital campaign
(Majka, 2008).
Increasing an endowment and decreasing dependence on student
tuition are two very strong initiatives for a strategic plan. Endowments
are built on alumni donations, corporations and foundations, annual and
planned gifts. This RMU strategic initiative is an excellent case for
how fund raising drives a strategic plan by placing monetary needs to
offset dependence on student tuition as on of its highest priorities.

Virginia Tech
Virginia Tech is a public land grant university with an
enrollment of over 25,000. The 2006-12 strategic plan for Virginia Tech
is titled “Invent the Future: Quality, Innovation, Results.” Virginia
Tech’s plan includes three scholarship domains: learning, discovery, and
engagement, and three foundation strategies: development of the
organization, investment in the campus infrastructure, and effective
resource development, allocation and management (“Virginia
Polytechnic Institute and State University web site”, strategic plan,

263
Mahdi,
The Functions of Fund Raising

2008). Each foundation strategy includes action steps for achieving the
goals. Examples of strategic goals that will require fund raising
strategies are:
a. Enhance health, safety, and security operations
b. Increase funding from private and other sources
c. Maintain competitive tuition and fee package
d. Practice effective debt management
e. Utilize strategies to aggressively grow the endowment
f. Utilize alternative fund sources
g. Work with governor, legislators, General Assembly staff, and
SCHEV to increase state runding
(http://www.president.vt.edu/strategicplan/.).
Each of the above goals will require thoughtful and substantive fund
raising efforts to achieve. The goal to “practice effective debt
management” can be achieved when costs are offset by major gifts that
are designated to create or enhance campus buildings; the goal to
“maintain competitive tuition and fee package” can be achieved when
more scholarships are available, and finally, the goal of aggressively
growing the endowment helps to support the university in perpetuity.
The need for fund raising is evident throughout Virginia Tech’s
strategic plan. In fact, Virginia Tech created a roadmap to accompany
the strategic plan that shows how the strategies from the plan are linked
to financial planning and outcomes. This flowchart connects each of the
strategic initiatives to a six year financial plan cycle. The plan informs
the annual budget process and outlines each initiative in a way that is
linked back to the resource decisions. Each annual initiative will either
“accelerate or decelerate planned initiatives to match available resources
– dollars, space, or other infrastructure.” Additionally, each decision
must “accomplish internal reallocations to support strategic plan goals”
(“Virginia Polytechnic Institute and State University web site”, strategic
plan roadmap, 2008). The Virginia Tech roadmap is an excellent way to
illustrate the importance of budget allocations and resources necessary
within a strategic plan.

The University of Pittsburgh


The University of Pittsburgh is in the midst of a $2 billion
campaign. As of September 30, 2008, the campaign total is $1.295
billion raised partially from 75,073 alumni donors. World of Giving
(Fall 2008) magazine reports that the number of faculty chairs available
increased by 203% as a result of the campaign thus far. In the same

264
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

magazine, it is reported that 11 percent of university’s budget comes


from the Commonwealth of Pennsylvania. However, the University
Times (September 2008) has reported that a budget cut of 4.25 percent is
likely in fiscal year 2009. This reduction must be recovered and fund
raising efforts will have to increase to recoup the loss.
A strategic long term goal of the University of Pittsburgh, as
reported to the Middle States Commission on Higher Education 2007
reaffirmation of accreditation periodic review report, is to, “Offer truly
superb undergraduate experiences in a research university of nationally
recognized stature” (p.13). Additionally, in 1996, the Board of Trustees
charged the University with improving undergraduate education at the
University of Pittsburgh. Part of this charge included a goal of
improving the quality of student life. This goal was accomplished
through the hiring of a new Dean of Students in 2005, Dr. Kathy
Humphrey. Under Dr. Humphrey’s leadership, a strategic plan was
developed for the Office of Student Affairs, which:
supports the academic mission of the university by enhancing
student learning, development of experiential learning
opportunities, and working with members of the university
community to develop programs and services that will add
considerable value to the learning experiences that emanate
from the classroom. (University of Pittsburgh, Periodic Review
Report to the Middle States Commission on Higher Education,
p.22)

Changes that have resulted from this strategic goal have included
the addition of leadership development programs (Office of Cross
Cultural and Leadership Development), an enhanced Student Union with
study rooms, entertainment centers, eateries, living and learning
communities in residence halls and a First Year Experience program
(“University of Pittsburgh”, Office of Student Life, 2008). New
programs and facility are outcomes of the strategic plan and support
Schmidtlein and Milton’s (1988) belief that a crucial focus of strategic
planning is “on enhancing institutional adaptation to the external
environment” (p.109).
The University of Pittsburgh of Pittsburgh is a large, complex
system with a structure that may be defined as loosely coupled, meaning
that what affects one part of the University does not necessarily affect
another. According to Peterson (1997), a loosely coupled organization
must maintain flexibility to compete in changing environments (p.65).

265
Mahdi,
The Functions of Fund Raising

Perhaps this is one reason why different parts of the university, ranging
from student affairs to the individual schools and colleges, maintain
separate strategic plans and have distinct fund raising goals apart from
that of the University as a whole.

Scanning the Environment


Environmental scanning is one of the first and most important
steps to a strategic planning process. One technique used in
environmental scanning, cross-impact analysis, is similar to a method
used in fund raising known as “feasibility studies”. The cross-impact
analysis was created by Olaf Helmer in 1950 and it “builds on the
convergence of opinions obtained through a Delphi process by
considering interactions between trends and events” (Whiteley, Porter,
Morrison, & Moore, 1989-90, p.346). One might compare a feasibility
study to a cross-impact analysis because the main purpose of conducting
a feasibility study is to interview potential donors to determine their
intents on donating to a university and what other environmental and
personal factors may inhibit their donations. The results of feasibility
studies often are the determining factor for pursuing or not pursuing a
capital campaign or major fund raising initiative. Whiteley et al. (1989-
90) surmises that “only through interaction of trends and events does the
richness of the scenario emerge” (p.346) when properly employing a
cross-impact analysis. This is true of feasibility studies as well. If
trends, such as how an economy recovers from a depression, were
ignored during a feasibility study, an incorrect scenario would be
presented to the planners. This is only one example of many factors that
fund raisers must take into account in addition to the donor interview.
Morrison and Wilson (1997) stated that there are three pieces of
the external environment necessary for scanning – the market
environment, the industry environment, and the macro-environment.
Donors and potential donors to a university may be described as part of
the market environment due to their commitment and affiliation to the
specific institution. These donors are then divided into subgroups of
major donors, restricted and unrestricted annual giving donors,
corporations and foundations, and planned giving donors. Once the
university’s strategic plan identifies areas that require budget needs
necessary from outside revenue sources, scanning in each donor area
must take place to determine the potential for raising funds specific to
that area. This process must be included in the first stages of
environmental scanning or in conjunction with all scanning efforts to

266
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

properly advise the planners of all funding possibilities. Ignoring donor


scanning could upset or misadvise the entire planning process.
While most environmental scanning focuses on journals,
newspapers, television and radio, scanning potential donors involves tax
and property records, tracing family roots and histories, public records,
personal debts, number of school-aged children, and learning what other
organizations the donor has supported. By examining each of these
areas fund raising professionals can assess how much a donor might
commit to a university and in what time frame the commitment can be
made. Scanning donor potential is crucial for planning for a capital
campaign.

Capital Campaigns
Harvard is the epitome of financial stability in higher education
and is used here only as an example of extreme success. According to
Breneman (1994), most universities did not begin aggressively fund-
raising until the 1980s. Research conducted by Cook (1997) revealed
that “9% of the public and 37% of the private institutions initiated
campaigns between 1974 and 1979” (p.59). According to the Chronicle
of Higher Education in 2007 there were 28 universities across the
country in the midst of a capital campaign with a goal of raising $1
billion or more (Strout, 2007). What role does capital campaigns play in
strategic planning? Capital campaigns allow institutions to remain
competitive by raising large funds designated for future endeavors such
as new buildings, endowed chairs, scholarships, and athletic facilities to
name a few. Planning for new facilities is typically the result of a
strategic plan, and the funding is often included in a capital campaign
allocation.
Over 40 years ago, Yale launched what at the time was the
largest fund-raising campaign with a goal of $388 million. Instead of
offering a time period for reaching this incredible goal, Yale decided to
make their aggressive fund raising efforts permanent (Samuelson, 1967).
This ideology has extended to fund raising practices nationwide – a
never ending continuum of aggressive efforts to build billion dollar
endowments.
Capital campaigns allow universities to not only enlarge and
enhance campus buildings, but also enhance academic programs by
providing supplementary funding for additional faculty, creating state-
of-the-art laboratories and providing the newest technology, and
endowing chairs ensuring support in perpetuity for the program.

267
Mahdi,
The Functions of Fund Raising

Bradburd and Mann (1993) describe that a measure of wealth in higher


education is viewed as “resources that allow an institution to set its level
of tuition and fees below the operating cost of educating a student”
(p.476). Capital campaigns create that sense of wealth by growing
endowments that produce high rates of return through the interest and
applying that wealth to programs that support academia and the
university’s mission.

The U.S. News & World Report Factor


Ronald Ehrenberg (2002) describes the U.S. News & World
Report (USNWR) as the “gold standard of the ranking business” (p.146).
Several factors are used in the ranking categories that determine the
overall rank of an institution. One such category is “alumni giving”.
This category accounts for 5% of the weight and is calculated by an
average alumni giving rate (America’s Best Colleges, 2001). Although
overall this weight is minor compared to the other categories,
universities often use USNWR as a solicitation tool for attracting new
donors. USNWR produces an annual survey to higher education
institutions that has a category where it ranks institutions on alumni
giving alone. Some institutions have been known to cloud their
achievements in this category by asking alumni for gifts of only $1, for
the sole purpose of increasing alumni participation (Golden, 2007).
However, some institutions are scrambling to increase their overall
USNWR ranking because it is a strategic priority of that institution.
A national liberal arts college (name disclosed by agreement)
was charged with improving their USNWR rankings as part of its
strategic planning process (Ehrenberg, 2002). To achieve this strategic
goal, the university added to their strategic plan the goal to increase
faculty salaries, a category which affects rankings. This is a key
example of how improving USNWR rankings can become a strategic
priority, driving decisions that will ultimately contribute to increased
rankings. A decrease of alumni participation in the annual fund can
ultimately lead to a decline in USNWR rankings.
To combat the strain of receiving participation gifts from young
alumni who are just starting out in their careers and often strapped with
student loans, some institutions have instituted creative accounting
systems to count donor participation. For example, Albion College
counted senior class gifts as multi-year donors (Golden, 2007). This
system was unknown to research staff of USNWR and ultimately gave
the school higher points in the alumni giving category. Albion’s

268
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

strategy was a result of a trustee directive to increase the participation of


alumni giving. This pressure was compounded when one of Albion’s
trustees challenged the college to increase the giving rate to 50%; a goal
that if accomplished he would then donate $1.5 million to the school to
institute a lecture series (Golden, 2007, p.5).
Improving an institution’s rankings may often appear in the
strategic plan of colleges and universities nation wide. Regardless of the
tactics and objectives needed to achieve increases, fund raising and
increasing alumni giving participation can make or break the placement
on the sometimes coveted USNWR list. In an interview with the
Chronicle of Higher Education (2007), US News executive editor, Brian
Kelly, alluded that a new category for the rankings might be added.
This new component would award points for schools that “deliver a
superior education at a low cost” (p.A14). Should this happen, perhaps
strategic plans for some institutions will focus more on affordability and
the cost of education?
William Massy (1994) wrote that “prestige has come to be
viewed as a surrogate for higher education’s contribution to society”
(p.379). Massy surmised that prestige in higher education opened doors
to recruiting the best faculty, attracting the brightest and top students,
and attracting financial support from donors and grants. Ranking,
prestige and money too often become the focus when creating
institutional goals. While money and prestige can attract top faculty that
produce research and attract grants, it doesn’t always translate to
excellent teaching and mentoring for students.

Planning Approaches and Implementation


An article on NetMBA.com, operated by the Internet Center for
Management and Business Administration, Inc., explained a flowchart
model of the strategic planning process as: mission →objectives →
situation analysis →strategy formulation→ implementation → control.
When considering fund raising in the overall depiction of a strategic
plan for higher education one must pay close attention to the
implementation stage. According to NetMBA.com, this stage includes
marketing, research and development, procurement, production, human
resources and information systems (http://www.netmba.com/-
strategy/process/). Fund raising initiatives may be seen in the marketing,
procurement and production stages.
Fund raising and marketing are very closely related and
complement one another. Money cannot be raised without a solid

269
Mahdi,
The Functions of Fund Raising

marketing plan to tell the story of the institution. Some examples of


how this can be done through campus signage, monuments, radio and
television advertisements, the internet, and through personal stories and
conversations. David R. Majka, Director of Institutional Research
Robert Morris University (RMU), provided an excellent example of how
marketing is used in a strategic plan when he discussed how RMU
placed banners on the entrance to campus that listed the strategic
directions of the university. A similar approach was employed at the
University of Pittsburgh when the institution placed banners throughout
the campus that read, “Building Our Future Together”. This slogan is
also the name of the University’s $2 billion capital campaign.
Consistency in university marketing and fund raising helps to tell a story
and bring awareness of the impact of donating to a university.
The functional stage of procurement during implementation is,
in other words, the process of securing funds. This is where the
financial commitment is made and the action of transferring or pledging
funds is secured. The last stage, production, involves using the secured
funds to implement the designated project. For example, the Swanson
School of Engineering on the University of Pittsburgh campus is
currently being constructed as a result of a multi-million dollar donation
from a University of Pittsburgh alumnus.
The strategic planning process noted by NetMBA is only one
example of a strategic planning process. Another process developed by
Robert Kaplan and David Norton (1999) is known as “The Balanced
Scorecard Approach” (p.6). This approach involves both financial and
non-financial issues that measure performance. While this approach is
more related to a business model, and not higher education, fund raising
would be placed under the financial category and the measures would
most likely include total donors, amount of money raised, amount of
money pledged, return on endowment, and overhead fund raising costs.
A plan that is specific to higher education might look like the
model proposed by the Center for Organizational Development and
Leadership at Rutgers University. This approach involves leadership,
communication and assessment. In each of these imperatives, the role
fund raising can be applied. A capital campaign typically employs a
chair, and in most cases, this position is given to a prestigious alumnus
that has a long donor history with the institution. The capital campaign
chair is used in all marketing materials for the campaign, is often the
signatory for donor solicitation letters, and will often accompany gift
officers on donor visits and when asking for major gifts. The role of the

270
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

chair is not only to serve as a leader for the campaign, but to assist in
fund raising efforts and to make what is called a “leadership gift”,
known also as the first large gift that “kicks off” a capital campaign.
The communication imperative is also important in fund raising.
The University is responsible for reporting all financials and sharing
such information with its stakeholders – students, parents, government,
faculty and staff, and the community. Communicating how donations
are used and where the funds are allocated is important for reputation
and accountability.
Finally, fund raising should always be involved in assessment. It
is important to evaluate the entire fund raising process – beginning with
the feasibility study, to the prospect research stage, to the donor “ask”,
and through to procurement and production. This information is vital
for many reasons. One very important rationale is donors cannot be
treated as mere sources of income and should not constantly be solicited
for funds by various components of the university. Gift officers need to
work together to coordinate solicitations. It is also important to assess
how the funds were used and if the best return is produced.
Different approaches will be used in different institutions;
however, fund raising will remain a constant in each approach and
should remain on the forefront of every plan and through the
implementation.
Conclusion
It cannot be argued that fund raising isn’t one of the most
important actions and drivers of a strategic plan. Without fund raising
efforts a university would be hard pressed to survive in today’s
environment. Strategic Planners must consider the availability of funds
when deciding upon new campus buildings, providing financial support
for students, recruiting and retaining faculty, and creating financial
stability for the future of the university through endowments.
University Advancement staff should be an active part of
strategic planning process so they can best assist in the strategic
directions dictated by the plan. New sources for support must constantly
be researched and pursued in order to compete aggressively in the field.
The current financial crisis will dramatically impact the landscape of
fund raising but it cannot be a deterrent to providing the much needed
support to provide quality higher education to the public. Strategic
plans will have to accommodate for these new challenges, but it cannot
settle for mediocrity. Large campaigns with equally large goals will

271
Mahdi,
The Functions of Fund Raising

remain necessary to maintain quality higher education to students


worldwide.

REFERENCES

Associated Press (2008, October 31). UT Endowment fund takes $1


billion hit in financial crisis. Retrieved November 5, 2008 at
http://www.chron.com/disp/story.mpl/front/6088139.html.
A summary of best practice approaches in strategic planning processes.
Retrieved May 2007 from http://www.cfar.com/Documents/-
BestPract.pdf.
Barlow, K. State money woes threaten cut in Pitt appropriation.
University Times (41) 3.
Bradburd, R.M. & Mann, D.P. (1993). Wealth in Higher Education
Institutions. The Journal of Higher Education, 64, (4), 472-493.
Breneman, D.W. Liberal arts colleges: thriving, surviving, or
endangered? Washington, D.C.: The Brookings Institution,
1994.
Chronicle of Higher Education (2008). Facts & Figures. College and
University
Endowments, 2007-2008. Retrieved November 5, 2008 at
http://chronicle.com/premium/stats/endowments/results.php?ye
ar=2008&sort=market&stat
Clotfelter, C. (2003). Alumni giving to elite private colleges and
universities. Economics of Education Review, 22 (3).
Cook, B. (1997). Fund raising and the college presidency in an era of
uncertainty: from 1975 to the present. The Journal of Higher
Education, 68 (1), 53-86.
Cook, B. & Lasher, W.F. (1996). Toward a theory of fund raising in
higher education. The Review of Higher Education, 20, (1), 33-
51.
Ehrenberg, R.G. (2002). Reaching for the bras ring: the U.S. News &
World Report Rankings and competition. The Review of
Higher Education, 26 (2), 145-162.
Frey, D. (2002). University endowment returns are underspent – Higher
Education-Statistical Data Included. Challenge, 43 (4), 109-
121.
Golden, D. (2007, March 2). Math lessons: to boost donor numbers,
colleges adopt new tricks; sinking alumni stats, zeal for

272
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

rankings spur rate inflation. Retrieved November 11, 2008. The


Wall Street Journal. pp. A1.
Harvard University web site. Retrieved November 8, 2008 at
http://www.president.harvard.edu/speeches/faust/080424_opens
paces.html
Harvard University web site. Retrieved November 8, 2008 at
http://hms.harvard.edu/public/strategy/21Mar2008.shtml.
Liefner, I. (2003). Funding, resource allocation, and performance in
higher education systems. Higher Education, 46 (4), 469-489.
Majka, D. Presentation to University of Pittsburgh graduate class:
Strategic Planning in Higher Education. Presented on
November 10, 2008.
Massy, W.F. (1994). Measuring Performance: How colleges and
universities can set meaningful goals and be accountable. In
ASHE Reader on Planning and Institutional Research. (pp.378-
392): Peterson’s Guides: Princeton: New Jersey.
Morrison, J.L. & Wilson, I. Analyzing environments and developing
scenarios in uncertain times. Retrieved May 2007 from
http://horizon.unc.edu/courses/papers/JBChapter.html.
Office of Institutional Advancement, University of Pittsburgh.
Campaign Update, Electronic Mail, received November 5, 2008
at http://ia-campaignupdate.createsend2.com/t/1/e/qlto/ilatryk/.
Okunade, A.A. (1996). Graduate school alumni donations to academic
funds: Micro-data evidence. American Journal of Economics
and Sociology, 55, 213-229.
Peterson, M. Using contextual planning to transform institutions. In
M.W. Peterson, D.D.
Dill, and L.A. Mets (Ed.), (1997) Planning and Management for a
Changing Environmnet, Jossey-Bass.
Ridley, D.R. & Boone, M.M. (2001). Alumni loyalty: A survey
investigation. Reports-Research (143). Virginia Wesleyan
College.
Samuelson, R.J. (1967). Yale launches marathon campaign. Science,
New Series, 158 (3809), 1658-1659.
Schmidtlein, F. A., & Milton, T. H. (2000). College and university
planning: Perspectives from a nation-wide study. In M. W.
Peterson (Ed.), ASHE Reader on Planning and Institutional
Research (pp. 107-119): Pearson Custom Publishing.
Schworm, P. Harvard’s endowment surpasses $34 billion. Stock market
fuels investment

273
Mahdi,
The Functions of Fund Raising

gains for elite colleges and universities. Retrieved November 5, 2008 at


http://www.boston.com/news/local/articles/2008/01/24/harvard
s_endowment_surpasses_3 The Boston Globe.
Strategic Planning in Higher Education: A Guide for Leaders. The State
University of New Jersey, Rutgers. Department of University
Relations. RU-0304-0296/1M.
Strout, E. (2007) What’s the Big Idea? Chronicle of Higher Education
(22), A21
The strategic planning process. Retrieved May 2007 from
http://www.netmba.com/strategy/process/.
University of Pittsburgh 2008 Fact Book. Retrieved October 28, 2008 at
www.ir.pitt.edu/factbook/fbweb08.pdf.
University of Pittsburgh Office of Student Life Retrieved November 11,
2008 at http://www.sorc.pitt.edu/
University of Pittsburgh Periodic Review Report. Retrieved October 8,
2008. Presented by
Chancellor Mark A. Nordenberg to Middle States Commission on
Higher Education, June 1, 2007.
U.S. Department of Education, Strategic Plan for Fiscal Years 2007-12,
Washington, D.C., 2007.
Van Der Werf, M. (2007, May). Rankings methodology hurts public
institutions. The Chronicle of Higher Education (53) 38, A13.
Virginia Polytechnic Institute and State University web site. Accessed
on September 1, 2008 at http://www.president.vt.edu/-
strategicplan/.
Whitely, M. A., Porter, J. D., Morrison, J. L., & Moore, N. (2000).
Developing Scenarios: linking environmental scanning and
strategic planning. In M. W. Peterson (Ed.), ASHE Reader on
Planning and Institutional Research (pp. 107-119): Pearson
Custom Publishing.
World of Giving. (Fall, 2008). Campaign Update. Department of
University Marketing Communications.

274
Razali,
Tahapan Belajar Motorik

TAHAPAN BELAJAR MOTORIK DAN IMPLIKASINYA DALAM


PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI

oleh
Razali
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

ABSTRAK

Belajar motorik adalah belajar yang difokuskan pada penguasaan keterampilan


gerak melalui respons-respons masculer sebagai hasil dari latihan .Dalam belajar
motorik, materi yang dipelajari adalah pola-pola gerak keterampilan tubuh, misalnya
gerakan-gerakan dalam olahraga Hal ini menunjukkan bahwa ranah kemampuan
yang paling intensif keterlibatannya dalam belajar motorik adalah ranah psikomotor.
Namun, bukan berarti ranah kognitif dan afektif tidak terlibat di dalam belajar
motorik. Kedua ranah tersebut tetap terlibat meskipun tidak merupakan unsur
sasaran sentral. Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam belajar motorik
adalah tahapan belajar motorik. Tahapan belajar motorik terdiri atas tahap kognitif
(cognitive stage), tahap asosiatif (associative stage), dan tahap otonom (autonomous
stage). Ketiga tahap ini harus mendapat perhatian lebih serius dalam belajar motorik
agar hasil yang dicapai sesuai dengan harapan dengan waktu yang lebih efisien.

Kata kunci: tahap kognitif, tahap asosiatif, tahap otonom

PENDAHULUAN
Belajar motorik merupakan bagian dari belajar secara umum. Tujuan dari
belajar motorik adalah untuk menguasai berbagai keterampilan motorik dan
mengembangkan agar keterampilan yang dikuasai dapat dilakukan untuk
menyelesaikan tugas-tugas gerak dalam rangka mencapai sasaran tertentu. Misalnya,
dalam belajar suatu keterampilan, si pelaku harus berusaha untuk menguasai
keterampilan motorik tersebut sesuai dengan cabang olahraga yang dipelajari, dan
kemudian memanfaatkannya agar keterampilan motorik tersebut bisa diterapkan
dalam bermain atau bertanding.
Di dalam berusaha me1nguasai keterampilan motorik diperlukan suatu proses
belajar, yaitu proses belajar motorik. Proses belajar motorik pada hakikatnya berbeda
dengan proses belajar kognitif dan proses belajar afektif. Perbedaan tersebut terletak
pada aspek dominan keterlibatannya di dalam proses belajar itu sendiri. Belajar
motorik adalah belajar yang lebih menekankan pada aktivitas gerak tubuh, belajar
kognitif adalah belajar yang lebih menekankan pada aktivitas berpikir, dan belajar
afektif adalah belajar yang lebih menekankan pada aktivitas emosi dan perasaan.
Terdapat tiga tahapan dalam belajar motorik, yaitu: (1) tahap kognitif, (2)
tahap asosiatif, dan (3) tahap otonom. Pada tahapan kognitif, guru mempunyai tugas
yang sangat berat yaitu memperkenalkan kepada peserta didik sesuatu hal yang baru
dan berusaha untuk mengendalikan proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat
menguasai hal-hal yang baru dalam batas tertentu. Pada tahap asosiatif, guru
memiliki tugas untuk menambah dan memperhalus keterampilan motorik peserta
didik. Sedangkan pada tahap otonom, guru berusaha menstabilkan kemampuan-
kemampuan motorik yang telah didapat oleh peserta didik serta mengembangkan
kempuan tersebut dalam berbagai situasi yang bervariasi

1
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288

HAKIKAT BELAJAR MOTORIK


Pembahasan mengenai belajar motorik akan diawali dengan pembahasan
tentang pengertian belajar, karena pengertian belajar motorik tidak terlepas dari
pengertian belajar pada umumnya. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang
sifatnya relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau pengalaman (Morgan and
Robinson, 1989:112). Menurut Good and Brophy (1990:124) belajar dapat
didefinisikan sebagai suatu proses perubahan yang sifatnya relatif permanen
menyangkut tentang pengertian, kepribadian, pengetahuan, informasi, kecakapan,
dan kemampuan melalui pengalaman.
Secara lebih luas belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang kompleks,
yang tidak hanya berkaitan dengan kegiatan berpikir dan mencari pengetahuan, tetapi
juga berhubungan dengan gerak tubuh dan emosi, serta perasaan. Belajar dapat terdiri
atas belajar kognitif apabila lebih menekankan pada aktivitas berpikir, belajar afektif
apabila lebih menekankan pada aktivitas emosi dan perasaan, serta belajar gerak atau
belajar motorik apabila lebih menekankan pada aktivitas gerak tubuh (Sugiyanto,
1998:268).
Kegiatan belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri individu.
Kegiatan ini pada hakikatnya memperlihatkan suatu perubahan tingkah laku.
Perubahan tersebut diperoleh dari latihan dan pengalaman. Seseorang dikatakan telah
berhasil belajar tentang sesuatu apabila pada dirinya terdapat perubahan tingkah laku
yang lebih baik dari sebelumnya mengenai hal yang dipelajarinya, misalnya dari
yang tidak dapat membaca menjadi dapat membaca, dari yang tidak dapat menulis
menjadi dapat menulis.
Berdasarkan pengertian belajar tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa
belajar dapat membawa perubahan-perubahan pada individu yang belajar. Perubahan
tersebut tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga
berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, dan penyesuaian diri. Jelasnya
menyangkut segala aspek organisme dan tingkah laku pribadi seseorang.
Belajar motorik adalah belajar dengan seperangkat proses yang dihubungkan
dengan latihan atau pengalaman sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan yang
bersifat relatif permanen dalam memberikan respons (Schmid, 2002: 3). Siedentop
(1994: 291) menyatakan bahwa belajar motorik adalah suatu proses perubahan yang
sifatnya relatif permanen dalam unjuk kerja keterampilan motorik sebagai hasil dari
pengalaman dan latihan. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Drowatzky
(1981:17) bahwa belajar motorik merupakan belajar yang diwujudkan melalui
respons-respons otot yang diekspresikan dalam gerakan tubuh atau bagian tubuh.
Dalam belajar motorik, materi yang dipelajari adalah pola-pola gerak
keterampilan tubuh, misalnya gerakan-gerakan dalam olahraga (Sugiyanto,
1998:268). Hal ini menunjukkan bahwa ranah kemampuan yang paling intensif
keterlibatannya dalam belajar motorik adalah ranah psikomotor. Namun, bukan
berarti ranah kognitif dan afektif tidak terlibat di dalam belajar motorik. Kedua ranah
tersebut tetap terlibat meskipun tidak merupakan unsur sasaran sentral.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tentang belajar motorik yang telah
diuraikan di atas, terdapat beberapa hal yang harus dipahami bahwa:
Pertama, belajar motorik merupakan suatu proses bukan hasil. Berdasarkan
teori belajar information processing, belajar motorik terjadi karena adanya informasi
yang masuk kemudian diolah dan diaktualisasikan dalam bentuk gerak.
Kedua, hasil belajar merupakan kemampuan merespons yang diaktualisasikan
dalam bentuk gerak. Proses belajar motorik melibatkan berbagai komponen baik yang

2
Razali,
Tahapan Belajar Motorik

berasal dari dalam diri individu maupun dari luar. Hasil akhir yang diharapkan adalah
kemampuan merespon yang diaktualisasikan dalam bentuk gerakan yang benar atau
terampil. Seseorang dikatakan terampil apabila telah menguasai faktor-faktor internal
dari suatu keterampilan dan dapat dilakukan secara teratur dan tepat waktu. Ketika
seorang anak mempelajari suatu keterampilan gerak, perubahan nyata yang terjadi
adalah meningkatnya mutu keterampilan. Hal tersebut dapat diukur dengan beberapa
cara, misalnya dengan menetapkan kriteria dan kemudian melihat skor yang
dihasilkan, sehingga keberhasilan melakukan gerakan yang semula belum dikuasai
dapat diketahui. Dapat juga dikatakan bahwa seseorang telah berhasil dalam belajar
motorik apabila orang tersebut telah memperlihatkan suatu perubahan tingkah laku
gerak yang lebih baik dibanding dengan sebelumnya.
Ketiga, kemampuan atau perubahan yang dihasilkan bersifat relatif permanen.
Pada dasarnya manusia menyimpan informasi pengalaman gerak masa lampau dalam
ingatannya. Simpanan elemen-elemen gerak serta kaitannya antara satu gerak dengan
gerak lainnya disebut dengan skema gerak (movement scheme). Teori skema gerak
menjelaskan bahwa program gerak yang disimpan dalam ingatan bukanlah rekaman
khusus gerakan yang harus dilaksanakan, melainkan seperangkat skema umum yang
dapat mengarahkan kinerja (performance). Tujuan belajar motorik selain untuk
menguasai suatu keterampilan juga agar keterampilan yang telah dikuasai dapat
melekat pada dirinya. Perlu diingat bahwa manusia memiliki kemampuan yang
terbatas, baik dari segi fisik, psikologis maupun sosiologis sehingga seseorang tidak
akan dapat menguasai suatu keterampilan motorik selamanya. Menguasai suatu
keterampilan motorik dalam waktu tertentu berarti seseorang yang harus mampu
mengingat proses gerakan yang dilakukan serta secara fisik mampu dilakukan. Teori
tentang lupa (Theories of retention and forgetting) menjalaskan bahwa kemampuan
manusia untuk mengingat sangat terbatas dan semakin lama semakin berkurang
bahkan bisa hilang atau lupa sama sekali (Singer, 1980).
Keempat, kemampuan gerak sebagai akibat dari latihan dan pengalaman.
Keterampilan gerak yang dikuasai bukan karena pengaruh perkembangan,
pertumbuhan ataupun kematangan, melainkan keterampilan tersebut dipelajari melalui
suatu proses. Belajar motorik adalah suatu proses bukan hasil, proses bisa berupa
latihan yang dikondisikan maupun tidak, dan pengalaman masa lalu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Rahantoknam (1988: 22) yang menyatakan bahwa hasil belajar
diperoleh dari kondisi latihan atau pengalaman, bukan karena proses kematangan dan
fluktuasi fisiologis.
Kelima, perubahan bisa ke arah negatif. Pada hakikatnya seseorang yang
mempelajari keterampilan motorik ingin meningkatkan keterampilannya atau
mempertahankan keterampilan yang telah dikuasainya, namun hasil belajar tidak
selalu mengarah ke perbaikan. Singer (1980:33) menjelaskan bahwa hasil belajar
keterampilan motorik mengikuti empat bentuk kurva belajar seperti gambar berikut
ini.

Hasil Belajar
Bentuk kurva belajar gerak

Keterangan:
A=A B negatif
Kurva peningkatan C D
B = Kurva linear
Percobaan

3
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288

C = Kurva berbentuk S
D = Kurva peningkatan positif

Sumber: Robert N. Singer, Motor Learning and Human Performance: An Aplication


to Motor Skill and Movement Behavior (New York: Macmilland
Publishing Co, Inc., 1980:33).

Kurva peningkatan negatif (A) menunjukkan peningkatan keberhasilan


negatif, yaitu latihan awal menghasilkan prestasi yang cepat, akan tetapi kenaikan
prestasi makin berkurang dan akhirnya menjadi stabil. Kurva linear (B) menunjukan
bahwa keberhasilan selalu berbanding lurus dengan jumlah percobaan, artinya
perkembangan maju dengan mantap. Kurva berbentuk S (C) menunjukan bahwa
keberhasilan awalnya berkurang, kemudian diikuti peningkatan prestasi yang
menanjak dan diakhiri oleh peningkatan yang kurang. Kurva peningkatan positif (D)
menunjukan peningkatan keberhasilan dari awal kurang menonjol akan tetapi lama
kelamaan prestasi makin baik dan terus, hal ini berlawanan dengan gambar kurva A.
Sasaran belajar motorik dalam pendidikan jasmani meliputi dua aspek;
pertama untuk meningkatkan kemampuan fisik dan kedua untuk meningkatkan
kualitas gerak tubuh. Untuk meningkatkan kemampuan fisik, kegiatan yang dilakukan
mengacu pada prinsip-prinsip latihan fisik (physical training), untuk meningkatkan
kualitas gerak kegiatan yang dilakukan mengacu pada prinsip-prinsip belajar motorik
(motor learning).
Dalam pelaksanaannya, antara kegiatan fisik yang bertujuan meningkatkan
kemampuan fisik dan kegiatan fisik yang bertujuan meningkatkan kualitas gerak
seringkali sukar dilihat perbedaannya, apalagi yang melihat adalah orang awam
dibidang olahraga. Hal ini memang wajar karena untuk mencapai tujuan yang berbeda
tersebut bisa dilakukan dalam bentuk kegiatan yang sepintas lalu tampak sama.
Misalnya seseorang yang sedang bermain bolabasket, orang akan sulit untuk
membedakan apakah orang tersebut sedang berlari dan melempar bola dengan tujuan
untuk meningkatkan kemampuan fisik atau untuk meningkatkan kualitas gerak, atau
tujuan meningkatkan kemampuan fisik dan kualitas gerak sekaligus. Untuk dapat
membedakan tujuan apa yang hendak dicapai perlu memperhatikan intensitas
kegiatannya serta tingkat konsentrasi perhatian terhadap bentuk gerakan tubuh yang
dilakukan.
Berbicara tentang belajar motorik, tidak terlepas dari sistem pengontrolan
gerak, yaitu pengontrolan gerak tertutup (close-loop) dan pengontrolan gerak terbuka
(open-loop). Dalam sistem gerak tertutup umpan balik dimanfaatkan untuk
mengevaluasi salah atau benar suatu gerakan, artinya gerakan yang telah dilakukan
dibandingkan dengan suatu patokan atau kriteria acuan. Dengan demikian pada tahap
awal belajar mahasiswa menggunakan pengetahuan tentang hasil (knowledge of
result). Sedangkan dalam sistem gerak terbuka umpan balik dimanfaatkan untuk
mengevaluasi gerakan pada saat mempelajari gerakan, atau dengan kata lain proses
pemberian umpan balik menggunakan pengetahuan proses pada saat melakukan
kesalahan dalam mempelajarai gerak (knowledge of performance) atau disebut juga
umpan balik intrinsik (Schmidt, 1991: 229).
Gambar berikut adalah sistem pengontrolan gerak terbuka (open loop) dan
tertutup (close loop).

Input = Input
Pengolahan
Informasi
4
Pengolahan Pembanding
Informasi
Kesalahan
Razali,
Tahapan Belajar Motorik

Sumber: Richardt A. Schmidt, Motor Learning & Performance (Illinois, Campaign:


Human Kinetic Book, 1991:49).

Sehubungan dengan sistem kontrol gerak tersebut di atas, dinyatakan bahwa


umpan balik atau feedback dalam belajar keterampilan dapat diberikan dalam bentuk
pengetahuan tentang gerak atau kemampuan tentang hasil.
Dalam belajar motorik, gerakan yang baik akan memberikan hasil yang baik,
tetapi hasil yang baik belum tentu merupakan akibat dari gerakan yang baik.
Pendapat lain menambahkan apabila teknik baik maka gerakan akan lebih efisien
(Bompa, 1985:56). Maksudnya, apabila penguasaan teknik sudah baik maka di dalam
melakukan gerakan akan lebih menghemat tenaga dan hasilnya akan baik dan benar
sehingga gerakan tersebut dinamakan berhasil. Karena di dalam proses pembelajaran
olahraga dapat saja terjadi bahwa teknik jelek hasilnya baik bila diukur dengan
penilaian tentang hasil.

Berdasar pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan


belajar motorik adalah seperangkat proses latihan yang dapat menghasilkan
perubahan-perubahan yang sifatnya relatif permanen sebagai akibat pengalaman dan
latihan dalam bentuk keterampilan gerak.

TAHAPAN BELAJAR MOTORIK DAN IMPLIKASINYA DALAM


PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI
Pengertian gerak (movement) dan motorik (motor) sering dianggap sama,
padahal menurut Burton dan Miller (1998:43) kedua istilah tersebut merupakan dua
buah konsep yang berbeda. Namun demikian, kedua istilah tersebut saling terkait dan
tak dapat dipisahkan karena terdapat hubungan sebab akibat.
Istilah motor itu sendiri mengisyaratkan adanya gerak otot, yang seakan-akan
hanya sedikit melibatkan aspek kognitif. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa
keterampilan-keterampilan yang dilakukan biasanya merupakan sesuatu yang
kompleks dan melibatkan pendeteksian terhadap rangsangan dan pengambilan suatu
keputusan yang semuanya dilakukan dalam tingkat yang tinggi, dan respons nyata
hanyalah berbentuk satu gerakan dari aktivitas secara keseluruhan.
Motorik mengandung arti sebagai suatu peristiwa laten yang meliputi
keseluruhan proses pengendalian dan pengaturan fungsi-fungsi organ tubuh, baik
fisiologis maupun psikis, sehingga terjadinya gerakan (Kiram, 1992:49). Peristiwa-
peristiwa laten yang tidak dapat diamati tersebut meliputi penerimaan
informasi/stimulus, pemberian makna terhadap informasi, pengolahan informasi,
proses pengambilan keputusan, dan dorongan untuk melakukan berbagai bentuk aksi-
aksi motorik, yang keseluruhannya merupakan peristiwa psikis. Adapun kemudian
dilanjutkan dengan peristiwa fisiologis, yang meliputi pemberian, pengaturan, dan
pengendalian impuls kepada organ-organ tubuh yang terlibat dalam melaksanakan
aksi-aksi motorik. Hasil dari kedua peristiwa laten tersebut adalah gerak yang dapat
diamati dengan mata telanjang. Pengertian dapat diamati adalah perpindahan benda
tersebut dapat diukur dalam satuan waktu dan ruang.
Dalam pendidikan jasmani dan olahraga, gerak dapat diartikan sebagai
perubahan tempat, posisi, dan kecepatan tubuh atau bagian tubuh manusia yang
terjadi dalam suatu dimensi ruang dan waktu. Gerak dapat diamati secara objektif,
misalnya perubahan tempat, posisi, dan kecepatan tubuh atau bagian tubuh pada saat
melompat, berjalan, berlari, dan berenang.
Belajar motorik menurut Kehoe (2002:1) terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap

5
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288

kognitif (cognitive stage), tahap asosiatif (associative stage), dan tahap otonom
(autonomous stage).

1) Tahap Kognitif
Tahap kognitif merupakan fase awal dalam belajar keterampilan gerak. Pada
tahap ini si pelaku mulai berpikir tentang cara melakukan gerakan suatu keterampilan
(pembentukan motor plan). Si pelaku lebih banyak memikirkan gerakan mana yang
harus dilakukan daripada berpikir tentang bagaimana cara melakukannya. Oleh karena
itu, penyampaian informasi tentang tugas yang dipelajari harus jelas. Instruksi,
demontrasi, dan informasi lisan lainnya yang jelas akan sangat bermanfaat bagi siswa
dalam melakukan aktivitas.
Alat analisis yang sangat dominan dalam penerimaan informasi adalah mata.
Oleh karena itu, dalam memberikan informasi tentang apa dan bagaimana gerakan
yang akan dilakukan sebaiknya diiringi dengan contoh melalui demontrasi gerakan
sehingga lebih konkret. Selain itu, keterlibatan pikiran masih cukup besar sehingga
menuntut banyak perhatian. Untuk itu, guru harus menghindari pemberian informasi
yang terlalu banyak dan secara bersamaan.
Informasi yang ditangkap oleh indera kemudian diproses dalam mekanisme
perseptual. Mekanisme perseptual berfungsi untuk menangkap makna informasi. Dari
fungsi ini pelaku dapat memperoleh gambaran tentang gerakan yang dipelajari.
Belajar motorik pada tahap ini adalah penguasaan keterampilan motorik dalam
bentuk kasar. Seseorang yang berada pada tahap ini hanya mampu melakukan gerakan
gerakan-gerakan yang dituntut apabila situasi dan kondisi sangat mendukung (Kiram,
1992:69). Misalnya, seorang yang belajar menangkap bola dalam permainan bola
basket, si pelaku hanya dapat melakukan teknik menangkap bola dengan benar
apabila bola yang diberikan secara perlahan-lahan serta tepat pada posisinya.
Dengan demikian, situasi dan kondisi yang mendukung tersebut harus
dibangun dan dipertahankan sedemikian rupa sampai suatu teknik atau keterampilan
yang dipelajari dapat dikuasai. Apabila kondisi tersebut di atas tidak dibangun dan
dipertahankan sedemikian rupa, individu yang belajar pada tahap ini akan kembali
mengalami kesulitan dalam mempelajari bentuk keterampilan yang diajarkan.
Jika dilihat dari segi koordinasi gerakan, individu yang belajar pada tahap ini
baru mampu memperlihatkan struktur dasar gerakan dalam bentuk yang kasar.
Misalnya, dalam melakukan gerakan lay up, bagian-bagian strukturnya belum benar
sehingga pelaksanaan gerakan secara keseluruhan terlihat belum lancar. Misalnya,
langkah ketiga dalam gerakan lay up belum dapat dilakukan secara lancar, sering
terhenti pada langkah kedua, sehingga gerakan tiga langkah tersebut kadang-kadang
menjadi empat langkah. Selain itu, penempatan kaki juga masih sering keliru,
maksudnya kaki manakah yang lebih baik untuk menolak pada saat shooting pada
langkah ketiga. Demikian juga dengan panjang langkah yang sering kurang tepat
sebagai akibat dari keragu-raguan.
Berikutnya, jika dilihat dari segi irama gerakan, individu yang belajar gerak
pada tahap ini masih belum sempurna, bahkan kadang-kadang terlihat tidak
beraturan. Hal demikian dapat mengakibatkan individu cepat lelah karena irama
gerakan tidak terkoordinasi dengan baik.
Kesalahan-kesalahan seperti dikemukakan di atas adalah wajar karena
individu yang berada pada tahap ini belum memiliki pengalaman motorik untuk itu.
Akibatnya, pelaksanaan gerakan sering dilakukan dengan penuh ragu-ragu.

2) Tahap Asosiatif

6
Razali,
Tahapan Belajar Motorik

Tahap selanjutnya dalam belajar motorik adalah tahap asosiatif atau disebut
juga dengan tahap menengah. Pada tahap ini sudah terjadi peningkatan penguasaan
koordinasi gerakan secara halus, dalam arti kualitas gerakan yang dilakukan sudah
meningkat apabila dibandingkan dengan tahap kognitif.
Selanjutnya, efisiensi gerakan juga sudah mulai meningkat sehingga
pengeluaran energi semakin berkurang. Kesalahan gerakan semakin jarang terjadi dan
bahkan apabila situasi dan kondisi tempat pelaksanaan gerakan sama dengan situasi
dan kondisi pada tahap pertama, tugas gerakan yang dituntut dapat dilakukan dengan
mudah.
Pada tahap ini masalah-masalah yang menyangkut dengan pemahaman telah
terpecahkan. Fokus sekarang telah berpindah pada pengorganisasian pola gerakan
yang lebih efektif agar dapat menghasilkan gerakan yang lebih baik. Oleh karena itu,
tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap pendalaman terhadap materi yang diajarkan.
Hal ini berarti bahwa pada tahap ini dituntut aktivitas belajar yang tinggi. Sebagai
konsekuensinya, perlu perhatian yang penuh dari guru baik kepada peserta didik
maupun kepada proses pembelajaran itu sendiri.
Jika dilihat dari segi koordinasi gerakan, individu yang belajar pada tahap ini
sudah mampu melakukan koordinasi gerakan secara halus dengan penuh kepastian
walaupun belum konsisten. Demikian pula, jika dilihat dari segi irama gerakan, pada
tahap ini telah terjadi perbaikan-perbaikan yang cukup berarti. Irama gerakan yang
kaku dan tersendat seperti pada tahap kognitif sudah tidak terlihat lagi. Perbaikan
irama gerakan merupakan salah pengaruh dari semakin meningkatnya peran dan
fungsi alat penerimaan informasi kinestetik.
Kemajuan lain yang dicapai pada tahap ini adalah semakin meningkatnya
kecepatan individu dalam mengkonstruksi gerakan-gerakan yang akan dilakukan.
Peningkatan tersebut tidak hanya terjadi pada peningkatan kecepatan dalam
mengkonstruksi gerakan, tetapi juga pada semakin lengkapnya kontruksi gerakan
yang dapat dibangun. Hal ini disebabkan oleh adanya bantuan yang diperoleh dari
simpanan motorik yang telah dimilikinya.
Pemeliharaan dan peningkatan motivasi belajar peserta didik perlu mendapat
perhatian guru. Pada tahap ini terjadi suatu fase yang disebut dengan keadaan
stagnasi, yang merupakan suatu fase yang memperlihatkan bahwa peserta didik
mengalami kemajuan yang lambat dan bahkan kadang-kadang tidak memperlihatkan
kemajuan belajar sama sekali.
Ciri lain pada tahap ini adalah semakin meningkatnya peran dan fungsi alat
penerima informasi kinestetik atau penerimaan informasi melalui otot. Untuk itu,
pemberian bantuan dalam pelaksanaan gerakan serta koreksi-koreksi terhadap
kesalahan gerakan sudah dapat dilayani melalui alat penerimaan informasi kinestetik,
misalnya memberikan bantuan atau koreksi gerakan dengan memegang bagian-bagian
yang dikoreksi. Pemberian bantuan atau koreksi gerakan melalui alat penerima
informasi kinestetik dapat membantu peserta didik dalam meningkatkan peran
kinestetik untuk perbaikan perasaan gerakan.

3) Tahap Otonom
Tahap otonom adalah tahap terakhir dari belajar motorik. Rink (2002:25)
menyebutkan tahap ini sebagai tahap otomatis (automatic stage). Tahap ini baru
terjadi setelah si pelaku belajar berulang-ulang. Karena kemampuan otonom
merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam penguasaan keterampilan motorik
olahraga.
Tahap otonom diberi nama demikian karena pada saat melakukan gerakan

7
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288

tidak ada lagi pengaruh dari kegiatan lain yang terjadi secara simultan. Beberapa ahli
menilai gejala seperti ini dapat terjadi karena adanya program gerak yang telah
terbentuk. Program gerak adalah suatu rangkaian mekanisme yang dapat mengontrol
terbentuknya gerak. Program gerak inilah yang mengontrol aksi seseorang pada saat
bergerak dalam waktu yang relatif lama.
Dalam tahap otonom, seorang individu yang ingin melaksanakan serangkaian
gerakan atau tindakan motorik tidak lagi melaluinya lewat proses penyusunan
program gerakan. Program gerakan itu sendiri sudah siap pada pusat ingatan motorik.
Apabila stimulus yang datang sesuai dengan program gerakan yang telah tersimpan
sebagai ingatan motorik, individu tersebut hanya tinggal merealisasikannya.
Contohnya dapat dilihat dalam gerakan kaki dan ayunan tangan pada saat seseorang
berjalan. Yang terlihat adalah orang tersebut seolah-olah tidak memikirkan lagi kaki
mana yang harus melangkah terlebih dahulu dan tangan mana yang harus
mengiringinya. Gerakan tersebut terjadi dengan demikian serasi dan harmonis.
Demikian pula dalam cabang olahraga bola basket, keterampilan lay up
shooting yang diperagakan oleh pemain kelas dunia seolah-olah memperlihatkan
bahwa gerakan yang mereka lakukan merupakan gerakan refleks. Sebenarnya gerakan
tersebut bukan gerakan refleks, melainkan gerakan-gerakan yang telah mencapai
tingkat otomatisasi. Mengingat sulitnya mengubah bentuk gerakan yang salah setelah
gerakan menjadi otomatis, sejak awal individu sudah harus diarahkan melakukan
gerakan-gerakan yang benar secara teknis dan mekanis agar setelah mencapai tahap
otomatisasi, gerakannya benar-benar efisien. Perlu diingat bahwa gerakan yang
otomatis tidak sama dengan gerakan yang efisien. Gerakan yang otomatis belum tentu
efisien. Gerakan yang salah secara mekanis pun dapat menjadi otomatis apabila terus
dilakukan berulang-ulang. Hanya gerakan yang benar dan dilakukan secara ototmatis
baru dapat menjadi gerakan yang efisien.
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah setiap orang yang melakukan latihan
akan memasuki tahap otomatisasi? Jawabannya adalah tidak selalu. Terbentuknya
kemampuan otomatisasi hanya mungkin bila individu yang bersangkutan benar-benar
telah menjiwai dan memiliki bermacam-macam bentuk gerakan dalam suatu cabang
olahraga.

KESIMPULAN

Belajar motorik adalah: (1) suatu proses bukan hasil, belajar motorik terjadi
karena adanya informasi yang masuk kemudian diolah dan diaktualisasikan dalam
bentuk gerak, (2) hasil belajar merupakan kemampuan merespons yang
diaktualisasikan dalam bentuk gerak, (3) kemampuan atau perubahan yang
dihasilkan bersifat relatif permanen, (4) kemampuan gerak sebagai akibat dari
latihan dan pengalaman. Keterampilan gerak yang dikuasai bukan karena pengaruh
perkembangan, pertumbuhan ataupun kematangan, melainkan keterampilan tersebut
dipelajari melalui suatu proses, dan (5) perubahan sebagai hasil belajar dapat ke arah
negatif.
Terdapat tiga tahapan belajar motorik, yaitu: (1) tahap kognitif (cognitive
stage), adalah tahap awal dalam belajar keterampilan gerak. Pada tahap ini si pelaku
mulai berpikir tentang cara melakukan gerakan suatu keterampilan pembentukan

8
Razali,
Tahapan Belajar Motorik

(motor plan). Belajar motorik pada tahap ini adalah penguasaan keterampilan motorik
dalam bentuk kasar, (2) tahap asosiatif (associative stage) adalah tahap kedua dari
belajar motorik. Pada tahap ini sudah terjadi peningkatan penguasaan koordinasi
gerakan secara halus, dalam arti kualitas gerakan yang dilakukan sudah meningkat
apabila dibandingkan dengan tahap kognitif, dan (3) tahap otonom adalah tahap
terakhir dari belajar motorik. Tahap ini baru terjadi setelah si pelaku belajar
berulang-ulang. Karena kemampuan otonom merupakan tingkat kemampuan tertinggi
dalam penguasaan keterampilanmotorik olahraga.

DAFTAR PUSTAKA

Bompa, O. Tudor. Power Training for Sport, Plyometrics for Maximum, Power
Development. Canada: York University, 1994
Burton, Allen W. and Daryl E. Miller. Movement Skill Assessment. USA: Human
Kinetics, 1998
Drowatzky, John N. Motor Learning Principles and Practice. Minneapolis,
Minnesota: Burgess Publishing Company, 1981
Good, Thomas L. and Jere E. Brophy. Educational Psychology, A Realistic
Approch. New York and London: Longman, 1990
Kehoe, Thomas David. Motor Learning Theory. 1997 (http://www.casafutura-
tech.com/ Book/Sciebce/motor.html)
Kiram, Yanuar. Belajar Motorik. Jakarta: Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan
Ditjen Dikti Depdikbud, 1992.
Rahantoknam, B Edward. Belajar Motorik Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti
Depdikbud, 1988.
Schimidt, Richard A. Motor Learning and Performance from Principles to Practice.
Illionis: Human Kineticks Publishers Inc., 1991
Siedentop, Daryl. Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. Mountain
View, California: Mayfield Publishing Company, 1994.
Singer, Robert N. Motor Learning and Human Performance an Aplication to Motor
Skills and Movement Behaviors. New York: MaCmillan Publishing Co.
Inc., 1980.
Sugiyanto, dkk. Perkembangan dan Belajar Motorik. Jakarta: Depdikbud, 1998.

You might also like