Professional Documents
Culture Documents
DAFTAR ISI
oleh
Ishak Hasan
Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
email: is_abdya@yahoo.com
ABSTRACT
111
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119
PENDAHULUAN
Pada awal tahun 2004 sebelum gempa dan tsunami menerjang
Aceh, saya dan beberapa teman di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
bersama-sama dengan jajaran Dinas Koperasi dan PKM Provinsi NAD
saat itu telah bersepakat untuk merancang sebuah program dalam rangka
pemberdayaan ekonomi masyarakat di wilayah Aceh. Program ini di
samping diharapkan berdampak positif pada ekonomi Aceh juga
diharapkan dapat berdampak positif bagi pembangunan ekonomi
nasional. Program dimaksud diberi nama dengan “Pilot Proyek
Pembangunan Koperasi Pertanian Terpusat (Farm Co-operative
Center)” di Aceh. Program ini direncanakan berlangsung dalam jangka
waktu 3 hingga 5 tahun. Dalam rangka mewujudkan program tersebut
tim dari Universitas Syiah Kuala telah mencoba menyusun beberapa
tahapan mulai dari desain program dan kegiatan sampai kepada
monitoring dan evaluasi. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) saat itu melalui Dinas Koperasi dan PKM
bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh dan didukung oleh Menteri Koordinator bidang Ekonomi Republik
Indonesia saat itu Dorodjatun Kuntjorojakti serta Panitia Anggaran
DPRD NAD hampir positif untuk dilaksanakan. Namun gagasan
pemikiran tersebut menjadi terhenti akibat bencana gempa dan tsunami
yang sangat dahsyat melanda Aceh.
Sungguhpun gagasan ini dianggap sudah agak terlambat, karena
ada beberapa negara seperti di kawasan Afrka, Asia Selatan dan
beberapa tempat lainnya di dunia, telah mempraktikkan model
pembangunan kawasan terpadu ini dalam bentuk “kawasan koperasi
pertanian terpusat”, (Cobia, 1989) dan ternyata telah berhasil
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hendaknya patut direvitalisasi
kembali dalam kegiatan aksi nyata di lapangan. Sejatinya, pilot proyek
ini diperkirakan menelan biaya yang relatif besar untuk tahap awal yang
bersumber dari uang rakyat. Menurut rencana anggaran bersumber dari
APBA, APBK, APBN, Investor (swasta), dan bantuan luar negeri
(negara donor) yang merupakan “paket rekonstruksi/recovery ekonomi
Provinsi NAD saat itu, baik dalam bentuk dana bergulir, hibah ataupun
kredit lunak.
Berdasarkan pokok-pokok pikiran yang dipaparkan oleh Dinas
Koperasi dan PKM ketika itu kepada Lembaga Penelitian Universitas
Syiah Kuala, ada beberapa sasaran yang ingin dicapai oleh pilot proyek
ini. Setidak-tidaknya ada empat sasaran yang ingin dicapai, yaitu; (1)
Mampu mendayagunakan lahan tidur produktif/potensial dengan
112
Hasan,
Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi
PEMBAHASAN
113
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119
pemasaran, antara lain seperti yang dikemukakan oleh I.G. Raka (1986):
(1) Sistem pemasaran yang tidak lancar dan terdapatnya praktek-praktek
yang merugikan dari pedagang-pedagang (monopoli pedagang,
tengkulak-tengkulak, dan lain-lain), (2) Diperlukan fasilitas-fasilitas
pengolahan, pada umumnya dalam bentuk pabrik untuk memungkinkan
penjualan langsung kepada konsumen, misalnya susu yang bermutu
tinggi, daging yang sudah siap untuk dimakann dan sebagainya. (3)
Keadaan pasar setempat tidak memuaskan, (4) Dibutuhkan barang-
barang konsumsi yang bermutu.
Selanjutnya Umar Burhan & Munawar Ismail (1988),
mengemukakan bahwa pelayanan Koperasi pemasaran terhadap
anggotanya dapat meliputi; (1) Menampung hasil produksi anggota dan
secara kolektif menjualnya ke pedagang besar, eksportir, maupun pabrik
pengolahan. Dengan cara kolektif, syarat-syarat penjualan menjadi lebih
menguntungkan, karena kekuatan tawar-menawar (bargaining power)
menjadi lebih berimbang antara pembeli atau pedagang dan Koperasi.
Syarat-syarat penjualan tersebut meliputi; harga, jangka waktu
pembayaran, pengangkutan, dan syarat-syarat kontrak pembelian. (2)
Memperpendek saluran pemasaran. Umumnya hasil-hasil produksi
produsen kecil ini melalui mata rantai yang sangat panjang. Sehingga
margin pemasaran cukup besar diterima oleh pedagang, sedangkan
produsen kecil menerima tingkat harga yang sangat rendah. Karena
biasanya semakin besar margin yang diterima oleh pedagang, semakin
kuat tekanan terhadap harga di tingkat produsen kecil, (3) Memperluas
daerah pemasaran hasil produksi, (4) Penyediaan berbagai fasilitas yang
diperlukan, seperti; pengangkutan, pabrik pengolahan, pergudangan dan
lain-lain yang diperlukan. Umumnya lokasi para produsen tidak terpusat
pada satu tempat, melainkan terpencar-pencar pada lokasi yang cukup
luas. Dengan demikian, alat angkut yang efisien akan sangat membantu
para produsen. Biaya angkut-nya menjadi lebih rendah bila dikoordinir
oleh Koperasi, jika dibandingkan dengan angkutan pribadi atau
angkutan umum. Hal ini disebabkan “utilization rate” atau daya guna
kendaraan yang dikelola Koperasi lebih tinggi dari daya guna kendaraan
pribadi.
Banyak bidang usaha dalam masyarakat membutuhkan
pemasaran secara kooperatif. Terutama bidang usaha yang bersifat
agraris. Hasil produksi pertanian, termasuk hasil-hasil peternakan dan
perikanan mempunyai ciri khusus yang mempunyai implikasi penting
dalam pemasarannya. Hal ini disebabkan karena ciri-ciri produksi
pertanian pada umumnya: “(1) diproduksi musiman, (2) selalu segar
114
Hasan,
Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi
115
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119
masyarakat adalah sisi strategis lain yang dapat dipetik dari manfaat
koperasi pertanian terpusat ini. Budaya agro-industri dan agro-bisnis ini
sangat perlu ditumbuh-kembangkan, karena masyarakat kita masih
miskin semangat kewirausahaannya. Oleh karena itu dengan adanya
kawasan koperasi pertanian terpusat ini warga masyarakat dapat
mendidik dirinya sendiri untuk menjadi masyarakat yang mandiri yang
kaya jiwa wirausahanya. Dalam kaitan ini J.A. Schumpeter (Yuyun
Wirasasmita, 2000), seorang ahli kewirausahaan berkebangsaan Jerman
penggagas jiwa wirausaha yang terkenal sangat menaruh harapan
terciptanya wirausahawan yang banyak dalam suatu bangsa. Schumpeter
meyakini bahwa “apabila suatu bangsa ingin meraih kemajuan dalam
berbagai bidang, maka bangsa itu mutlak perlu melahirkan manusia
wirausaha yang banyak”. Demikian juga dalam agama Islam yang
mengandung doktrin paripurna, seperti doktrin tentang umatan wahidan
(SDM nomor wahid), umatan wasatan (SDM penentu), umatan khairun
atau thoyyiban (SDM terunggul) (Suparma Sumahamijaya, 2003). SDM
yang berkualifikasi semacam ini tidak akan terwujud, tanpa melalui
proses pendidikan, pembinaan dan pelatihan yang terus-menerus dalam
berbagai bentuknya.
Salah satu contoh pembangunan kawasan terpadu dengan fokus
satu komidi dalam rangka menumbuhkan jiwa wirausaha, agro-industri
dan agro-bisnis sebenarnya telah dipraktekkan juga di Indonesia, khusus
untuk kawasan agro-bisnis peternakan seperti yang pernah saya teliti
dalam bentuk Disertasi di Provinsi Jawa Barat. Misalnya kawasan
peternakan Pangalengan Bandung Selatan yang digerakkan oleh
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) dan Koperasi Peternakan
Bandung Utara (KPSBU) Lembang yang saat ini memiliki jumlah
anggota yang relatif besar 5.000 dan 15.000 orang. KPBS dan KPSBU
telah memiliki sendiri sarana pendukung sebagai sebuah kawasan agro-
industri dan agro-bisnis persusuan terkemuka di Indonesia. Mulai dari
pemilikan pabrik makanan ternak, unit pengolahan susu (milk
treatment), armada angkutan susu, kantor koperasi yang sangat
representatif, jumlah sapi milik anggota yang mencapai ± 18 ribu ekor,
lembaga keuangan mikro berupa BPR, unit usaha agro-wisata, hotel
milik koperasi, beberapa buah klinik kesehatan untuk anggota, unit
usaha waserda (swalayan koperasi), unit usaha saprodi, dokter hewan
mandiri, semuanya milik bersama anggota. Demikian juga dengan
kawasan peternakan di Lembang milik Koperasi Peternakan dan Sapi
Perah Bandung Utara (KPSBU), juga memiliki sarana yang sama.
Contoh-contoh kawasan ini dapat dijadikan sebagai salah satu model
116
Hasan,
Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi
Strategi Implementasi
Dalam mewujudkan pelaksanaan gagasan tersebut maka
diperlukan strategi dan tahapan yang dilakukan. Strategi yang ditempuh
meliputi: (1) Perlu melakukan investigasi secara tepat di lapangan
tentang kebutuhan ril masyarakat, (2) Melakukan koordinasi dengan
berbagai elemen masyarakat tentang lokasi dan berbagai karakter sosial
budaya yang ada di masyarakat, (3) Merencanakan secara matang
kebutuhan pendanaan di lapangan, (4) Dukungan yang kuat dari
berbagai pihak terutama lembaga pemerintah, swasta dan lembaga-
lembaga sosial lainnya.
Dalam rangka mewujudkan strategi tersebut perlu dilakukan
tahapan yang sesuai dengan skala prioritas. Setidak-tidaknya ada enam
tahapan pembangunan Pilot Proyek Koperasi Pertanian Terpusat di
Aceh. Tahap pertama didahului oleh survei tentang kelayakan
pembangunan kawasan tersebut berdasarkan lokasi dan komoditi yang
akan dikembangkan (locus dan focus). Tahap kedua mengadakan
koordinasi dengan pemerintah Kabupaten/Kota, Camat, pemuka adat,
tokoh masyarakat, dan sosialisasi pada sasaran binaan (pekebun, petani,
peternak, dan nelayan), persiapan lahan, sarana dan prasarana, pelatihan
SDM dan memulai kegiatan awal. Tahap ketiga merupakan tahap
pelaksanaan kegiatan proyek secara penuh, Tahap kelima evaluasi dan
monitoring untuk diadakan penyesuaian (review) di lapangan, dan
Tahap keenam merupakan tahap pengembangan lanjutan serta
pengembalian pinjaman.
PENUTUP
Apabila gagasan ini dapat diwujudkan di Aceh maka sangat
tepat apabila kita dapat berangkat dari ungkapan bahwa pengalaman
adalah guru yang paling baik. Hal ini mengingat banyak proyek yang
selama ini di Aceh yang menggunakan uang rakyat kurang menuai hasil
yang memuaskan. Ungkapan ini tidak terlalu berlebihan apabila dalam
konteks ini dijadikan landasan pemikiran untuk kegiatan yang
mengatasnamakan pembangunan untuk kepentingan rakyat. Sebab sudah
terlalu panjang daftar penggunaan uang rakyat tapi sering menyimpang
dari kepentingan rakyat. Banyak sudah proyek-proyek pembangunan
yang sebelumnya dicita-citakan untuk menyejahterakan rakyat tetapi
menguap di tengah jalan tidak tentu rimbanya. Contoh kasus sudah
117
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119
DAFTAR PUSTAKA
118
Hasan,
Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi
119
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai
oleh
Djufri
Dosen FKIP Unsyiah, Banda Aceh
ABSTRACT
120
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136
PENDAHULUAN
Pantai Banda Aceh merupakan salah satu kawasan terparah
dilanda tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Akibat tsunami
tersebut membuat keadaan pantai berubah, sehingga banyak sekali
tumbuhan yang mati dan hanya beberapa jenis pohon yang masih bisa
bertahan hidup pada kondisi tersebut. Keadaan yang demikian
mempengaruhi vegetasi yang ada di sepanjang pantai Banda Aceh.
Perubahan yang dimaksud baik dalam hal komposisi, jumlah, maupun
keanekagaman jenisnya. Penelitian tentang Analisis kualitas vegetasi di
kawasan sepanjang pantai Banda Aceh sangat penting dilakukan
mengingat belum ada penelitian tentang perubahan vegetasi di sepanjang
pantai Banda Aceh Pasca tsunami Desember 2004.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini
diharapkan memberikan informasi yang mendasar tentang perubahan
kualitas vegetasi di sepajang pantai Banda Aceh pasca tsunami yang
dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan kawasan pantai ditinjau dari
aspek vegetasi. Selanjutnya data tersebut dapat digunakan sebagai
informasi awal untuk melakukan langkah-langkah yang kongkrit untuk
melakukan upaya reboisasi di kawasan sepanjang pantai Banda Aceh,
sehingga fungsi pantai dapat dipertahankan sebagaimana mestinya.
Mengingat begitu besarnya dampak tsunami terhadap vegetasi di
sepanjang pantai Banda Aceh maka dipandang perlu dilakukan riset
yang serius dan mendalam untuk memperoleh informasi tentang kualitas
vegetasi khususnya di daerah yang terkena tsunami baik ditinjau dari
aspek komposisi vegetasi penyusun pantai maupun dari aspek kualitas
vegetasi (Nilai Penting dan Indeks Keanekaragaman Spesies,).
Pengungkapan data dasar tersebut berfungsi sebagai indikator tentang
kualitas vegetasi di sepanjang pantai Banda Aceh yang bermanfaat bagi
pengembangan ilmu dasar (basic science) yang berperan sebagai fondasi
atau pilar utama pengembangan ilmu terapan (applied science) bagi
pihak-pihak yang membutuhkannya seperti Dinas Kehutanan dan
BKSDA Provinsi Aceh.
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang
komposisi vegetasi di kawasan sepanjang pantai Banda Aceh pasca
tsunami, sekaligus dilakukan analisis tentang kualitas vegetasi yang
berfungsi untuk mempertahankan daerah sekitar, terutama pasca tsunami
2004. Selain itu penelitian ini diharapkan mengungkapkan tentang
perubahan vegetasi sepanjang pantai Banda Aceh pasca tsunami.
Penelitian ini mengungkapkan informasi dasar tentang kualitas
vegetasi disepanjang pantai Banda Aceh mencakup komposisi, indeks
121
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berlangsung mulai Juli 2009 sampai Nopemebr
2009. Pengambilan sampel dilakukan di Pantai Ulee Lee (PUL) dan
Pantai Ujung Batee (PUB). Bahan dan alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah spesies tumbuhan yang ditemukan di lokasi
penelitian, alkhol 70%, kertas label, etiket gantung, herbarium press,
kaleng penyimpan herbarium, dan buku identifikasi tumbuhan.
Sebelum dilakukan pengambilan sampel, terlebih dahulu
dilakukan observasi dan pembuatan stasiun pengamatan (segmentasi).
Luas seluruh kawasan mencapai 42 ha, dari luas keseluruhan tersebut
diambil sampel 10%, penetapan ini berdasarkan pertimbangan bahwa
masing-masing stasiun pengamatan adalah homogen. Dengan demikian,
unit sampel penelitian ini adalah 4,2 ha. Dari 4,2 ha dibedakan atas 2
stasiun pengamatan berdasarkan karakter pantai yaitu (a). Pantai Ujung
Bate selanjutnya disebut PUB, dan Pantai Ule Lee selanjutnya disebut
PUL. Penelitian ini menggunakan metode kuadrat, pada unit sampel
yang luasnya 4,2 ha ditetapkan sebanyak 10 stasiun pengamatan dengan
luas setiap stasiun 0,42 ha. Selanjutnya pada setiap stasiun pengamatan
dicuplik sampel sebanyak 5 kuadrat sampel dengan demikian diperoleh
kuadrat sampel (ulangan) sebanyak 50 kuadrat. Penentuan jumlah
kuadrat dengan teknik seri tiga (Syafei, 1994), dan penentuan luas
kuadrat sampel berdasarkan teknik kurva minimum area (Barbour et al.,
1987; Setiadi, 2001). Pelaksanan teknik sampling disajikan pada
Gambar 1.
Variabel yang diamati mencakup jumlah spesies, nilai Kerapatan
Mutlak (KM), Frekuensi Mutlak (FM), dan Dominansi Mutlak (DM).
Pengenalan spesies di lapangan mengacu pada buku Backer &
Bakhuizen (1963, 1965, 1968); Steenis (1978); dan Soerjani, dkk.
(1987).
Untuk menghitung Nilai Penting (NP) setiap spesies digunakan
rumus menurut Cox (2001); Shukla & Chandell (1982) sebagai berikut :
NP = Frekuensi Relatif (FR) + Kerapatan Relatif (KR) + Dominansi
Relatif (DR). Hasil perhitungan nilai penting selanjutnya digunakan
sebagai nilai untuk mengetahui besarnya Indeks Keanekaragaman
Spesies (H’) pada suatu komunitas dengan menggunakan rumus
berikut: (Barbour et al., 1987; Krebs, 2000).
122
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136
s
H' = −∑ ( pi ) (ln pi )
i =1
dimana :
pi = ni/N
ni = Jumlah nilai penting satu spesies
N = Jumlah nilai penting seluruh spesies
ln = Logaritme natural (bilangan alami)
5m
B 10 m
A C
2m
20 m
20 100 m
123
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai
124
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136
Ule Lee, meskipun spesies yang ditanaman bersifat tegakan murni yang
hanya terdiri dari satu spesies. Kondisi keberhasilan penanaman spesies
bakau pada kawasan ini disajikan pada Gambar 3.
Berdasarakan data pada Gambar 2 di atas dapat dikemukakan
bahwa tingkat keberhasilan penanaman bakau pada kawasan pantai Ule
Lee ini belum menunjukkan tingkat keberhasilan yang memuaskan,
karena sudah hampir 5 tahun kondisinya belum menggembirakan, baik
ditinjau dari laju pertumbuhannya, maupun luas penutupan wilayahnya
(covered). Hal ini kemungkinan disebabkan karena lemahnya
pemiliharaan terhadap tanaman bakau tersebut atau bisa juga disebabkan
karena salah dalam memilih spesies yang cocok hidup di tempat
tersebut.
Bila dikaitkan dengan kehadiran vegetasi di pantai yang
peranannya sangat penting, maka perlu dilakukan upaya yang serius
untuk melakukan rehabilitasii pantai Ujung Batee melalui penanaman
beberapa spesies yang cocok secara kontiniu dengan pengawasan dan
pemantauan yang kontiniu pula, baik oleh Dinas Konservasi Sumber
Daya (KSDA) maupun oleh Dinas Kehutanan, sehingga secara perlahan
kondisi pantai Ujung Batee dapat membaik terutama dikaitkan dengan
komponen vegetasi, sebagai salah satu komponen penting suatu pantai,
teruma ditinjau dari fungsi ekologis.
125
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai
pada saat belum terjadi tsunami. Oleh karenanya, sampai saat ini pantai
Ujung Batee masih diminati oleh masyarakat dan pada hari libur selalu
ramai dikunjungi oleh masyarakat luas. Berhubung karena kondisi
vegetasinya tidak banyak mengalami perubahan pasca tsunami, maka
secara ekologi fungsinya masih berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi
pantai Ujung Batee secara umum dapat dibedakan atas beberapa tegakan
pohon yang dominan yaitu :
Tegakan kelapa (Cocos nucifera) yang dijumpai pada lapisan paling
belakang dari tepi laut menuju badan jalan. Spesies ini memang
merupakan spesies yang lazim dijumpai di pantai. Penutupan
tegakan kelapa mencapai 50% dari luas kawasan pantai Ujung Batee
yang diteliti, yaitu sekitar 10 Ha. Fisiognomi tegakan kelapa di
wilayah studi disajikan pada Gambar 4.3. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kelapa yang tumbuh di
pantai ini sudah berusia tua, sehingga produksi buahnya sudah
sangat sedikit, dan tidak jarang kita melihat pohon kelapa yang tidak
menghasilkan buah lagi. Kepadatan rata-rata tegakan kelapa
mencapai 6-7 pohon per 10 m2. Berhubung karena kepadatan pohon
kelapa relatif rendah persatuan luas tertentu, hal tersebut
memungkinkan beberapa spesies herba dapat hidup di bawah pohon
tersebut, terutama jenis rumput-rumputan (Poaceae). Hal ini
tentunya menguntungkan karena kawasan tersebut dapat digunakan
sebagai area pengembalaan (grazing) untuk hewan ternak milik
masyarakat di sekitar pantai tersebut.
126
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136
127
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai
128
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136
NAMA NP
NO. SPESIES FAMILIA H’
DAERAH (%)
1. Casuarina cemara laut Casuarinaceae 140 -
equisetifolia 0.35567
2. Cocos nucifera kelapa Arecaceae 60 -
0.32189
3. Azadirachta nimba Meliaceae 45 -
indica 0.28457
4. Hibiscus waru laut Malvaceae 30 -
tilaceus 0.23026
5. Terminalia ketapang Combretaceae 10 -
catappa 0.11337
129
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai
Strata Perdu
Hasil pendataan strata perdu di pantai ujung batee dan nilai
kuantitatif setiap spesies disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Penting dan Indkes Keanekaragaman Spesies Perdu di
Pantai Ujung Batee
NAMA NP
NO. SPESIES FAMILIA H’
DAERAH (%)
1. Calotropis biduri Asclepiadaceae 126 -
gigantea 0.36435
130
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136
131
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai
Strata Herba
Hasil pendataan strata herba di pantai ujung batee dan nilai
kuantitatif setiap spesies disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Penting dan Indkes Keanekaragaman Spesies Herba di
Pantai Ujung Batee
NAMA NP
NO. SPESIES FAMILIA H’
DAERAH (%)
1. Ipomoea tapak kuda Convolvulaceae 67.53 -
prescapre 0.33567
2. Chloris rumput Poaceae 44.12 -
barbata angin 0.28191
3. Sporobulus cakar ayam Poaceae 12.87 -
diander 0.13509
4. Eragrostis empritan Poaceae 13.43 -
amabilis 0.13906
5. Fimbristilis rumput Poaceae 15.01 -
spathaceae sabit 0.14985
6. Panicum jajagoan Poaceae 3.12 -
repens 0.04749
7. Mimosa putri malu Mimosaceae 7.03 -
pudica 0.08796
8. Tridax cagak Asteraceae 12.12 -
procumbens langit 0.12964
9. Eleusine belulang Poaceae 22.14 -
indica 0.19235
10. Desmodium kacangan Fabaceae 10.55 -
triflorum 0.11773
11. Cyperus teki Cyperaceae 18.03 -
pygmaeus payung 0.16899
12. Leucas paci Lamiaceae 5.02 -
lavandufolia 0.06845
13. Stachytarpeta jarong Lamiaceae 6.12 -
indica lelaki 0.07940
14. Sida pulutan Malvaceae 8.05 -
rhombifolia 0.09709
132
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136
133
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai
kelompok herba tidak terlalu baik untuk menahan abrasi pantai, namun
kelompok ini berfungsi baik untuk menahan pasir, sehingga tidak mudah
diterbangkan angin, sehingga pergerakan pasir menuju daratan dapat
dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
Barbour , G.M., J.K. Burk and W.D. Pitts. Terrestrial Plant Ecology.
New York. : The Benyamin/Cummings Publishing Company.
134
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136
Reynolds, J.A. and Carter, J.O. 1990. Woody Weeds in Central Western
Queensland in : Proceedings 6 th Biennial Conference,
135
Djufri,
Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai
Shukla, R.S. & P.S. Chandel. (1982). Plant Ecology. New Delhi : S.
Chand & Company, Ltd. Ram Nagar.
136
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial
oleh
T. M. Jamil T. A.
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
PENDAHULUAN
Manusia senantiasa berusaha mencari kesempurnaan dan
kebenaran, di dorong oleh hasrat ingin tahunya yang selalu ada dan tidak
pernah padam. Melalui berbagai penelitian, banyak rahasia tersingkap
sudah. Pengetahuan orang semakin luas. Ilmu pengetahuan sebenarnya
merupakan kumpulan pengalaman dan pengetahuan sejumlah orang
yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur dan
kebenarannya sudah teruji. Maka ilmu pengetahuan mempunyai nilai
umum yang dapat dipergunakan menghadapi persoalan hidup sehari-
hari. Namun, banyak masalah belum juga terpecahkan; disamping itu
muncul masalah-masalah baru. Oleh karena itu, penelitian/ penyelidikan
lahir dari masalah kehidupan manusia sendiri yang memerlukan
pemecahan. Meskipun tidak ada cara yang sama sekali dapat
dipergunakan untuk menghilangkan ketidaktentuan (uncertainty),
namun unsur-unsur ketidak tentuan karena kurangnya informasi itu
dapat diperkecil dengan mempergunakan metode ilmiah. Metode ini
akan mengurangi bahaya berbuat salah atas pilihan dari bermacam-
macam tindakan. Riset sebenarnya merupakan penerapan atau aplikasi
dari metode ilmiah. Dengan kata lain riset sinonim dengan metode
ilmiah.
Sifat ilmiah atau tidak ilmiah erat hubungannya dengan metode
penyimpulan. Suatu tulisan disebut ilmiah bila pokok pikiran yang
dikemukakannya disimpulkan melalui suatu prosedur yang sistematis
dengan mempergunakan pembuktian-pembuktian yang cukup
meyakinkan. Bukti yang cukup meyakinkan ini biasanya merupakan
fakta-fakta yang didapat secara objektif dan berhasil lolos dari berbagai
proses pengujian. Kadar ilmiah dari suatu penelitian dapat bervariasi
bergantung pada pengalaman dan keterampilan penelitian serta besarnya
dana yang tersedia dan waktu penelitian.
137
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148
PEMBAHASAN
Pengertian Teori
Seorang ahli ilmu pengetahuan tidak hanya bertujuan
menemukan fakta atau kenyataan. Ia ingin mencari dalil, yaitu
generalisasi atau kesimpulan yang berlaku umum. Dan dengan dalil ini
ahli tersebut dapat meramalkan rangkaian peristiwa berikutnya.
Sekumpulan data baru mempunyai arti dan guna kalau tersusun
dalam satu sistem pemikiran yang disebut teori.1
Teori adalah prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta;
mungkin juga berupa dugaan yang menerangkan sesuatu seperti teori
atom, teori gravitasi, teori evolusi, dan sebagainya. Jadi teori merupakan
suatu sudut pandangan. apakah teori itu spekulasi? Sebelum dibuktikan
kebenarannya, teori memang dianggap sebagai spekulasi. Tetapi ia akan
menjadi fakta setelah pembuktian dilakukan. Bagi seorang peneliti, teori
menjadi alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Betapa teori ini
sangat penting, untuk menuntun peneliti dan ilmuwan dalam upaya
mengembangkan wawasan keilmuan, agar tak mengalami stagnasi. Oleh
karena itu (1) teori bukan spekulasi (2) teori dan fakta saling
berhubungan (3) peneliti sangat berkepentingan dengan keduanya - teori
dan fakta.
Fakta dan teori bersifat saling mendorong. Teori memberi arah
dalam proses ilmiah, sebaliknya fakta memegang peranan dalam
mengembangkan teori. Pertumbuhan ilmu pengetahuan nampak dalam
fakta-fakta baru dan teori baru. Fakta-fakta yang baru dan menyimpang
akan menciptakan teori baru; dan teori yang ada mungkin menjadi tidak
berguna lagi atau harus dirumuskan kembali. Melakukan suatu riset
tanpa interprestasi teoritis atau membuat teori tanpa riset adalah
melupakan pokok teori sebagai alat untuk mencapai suatu pemikiran
yang ekonomi.2
Untuk menemukan sebuah teori yang terbukti kebenarannya,
mula-mula dibuat teori sementara yang dipergunakannya sebagai
pedoman atau petunjuk untuk memecahkan masalah. Peneliti kemudian
mencari data untuk menguji kebenaran teori sementara yang dibuatnya
itu. Teori ini disebut hipotesis, selaku pemecahan sementara terhadap
1
Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972,
hal.53
2
J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas
Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15.
138
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial
masalah yang diteliti. Ia akan menjadi dalil atau teori setelah berulang
kali diperiksa kebenarannya.
Contoh:3
Teori : Manusia yang dibesarkan di dalam suasana yang bebas pada
umumnya lebih berkesempatan untuk berhasil maju dengan usaha
sendiri dari pada yang dididik di dalam suasana penuh tekanan dan
larangan.
Bertitik tolak pada teori ini dibuat hipotesa sebagai berikut :
Anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya tidak membebaskan
keluar rumah untuk mengunjungi berbagai peristiwa, tidak dapat
melakukan tugas luar yang diberikan oleh guru.
Dalam survai "Kesejahteraan Anak dan Pemuda Tahun 1969”,
dikemukakan anggapan dasar (postulate) sebagai titik tolak pemikiran.4
Bahwa anak-anak dan pemuda adalah tenaga yang potensial yang akan
memberikan tenaganya di hari depan untuk pembangunan sosial dan
ekonomi. Oleh karena itu haruslah mereka diberi perlindungan terhadap
penyakit kelaparan kekurangan makanan dan dislokasi-dislokasi sosial
serta disiapkan untuk pekerjaan melalui pendidikan dan latihan. Maka
dari itu tindakan-tindakan yang tepat perlu diambil untuk memenuhi
kebutuhan anak. Dalam hubungan ini para petugas perencanaan yang
menyusun pola pembangunan nasional harus memberi perhatian yang
lebih memadai dalam memenuhi kebutuhan anak-anak dan pemuda.
Hipotesa yang ditarik sejalan dengan anggapan dasar di atas:
Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan penduduk pada
umumnya (termasuk anak dan pemuda) masih sangat rendah.
Kondisi-kondisi sosial-ekonomi-budaya pada umumnya
belum memenuhi syarat-syarat yang memadai untuk
perkembangan anak dan pemuda.
Hipotesa tersebut diperoleh setelah penelitian pendahuluan
bahwa di Indonesia mayoritas penduduk berpenghasilan rendah yang
sebagian besar habis untuk makan, sehingga mereka tidak mampu untuk
menabung dan memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi
dan sebagainya.
Jadi tidak ada perbedaan pokok antara teori dan hipotesa dari
segi pemecahan masalah. Hipotesa sebagai pemecahan sementara dan
menjadi teori setelah terpecahkan. Perbedaan hipotesa, teori dan dalil
terletak pada tingkat generalitas dan kepastiannya. Teori merupakan
3
Dr. Winarno Surachmad op.cit., hal.54
4
Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian
Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.
139
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148
5
Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory,
(Homewood, II : The Dorsey Press, 1981).
140
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial
141
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148
142
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial
7
Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the
Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981),
halaman 147-165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine
Publishing Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in
Sociology, (New York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan
Ernest Nagel, The Structure of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc.,
1961). Halaman 20-26.
143
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148
8
Turner dan Beeghley, The Emergence…, halaman 534.
144
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial
145
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148
146
Jamil,
Teori dalam Penelitian Sosial
aktual. Hipotesis yang sudah siap diuji memiliki derajat abstraksi yang
rendah, sedangkan nalar hubungan kausal antar konsep memiliki derajat
abstraksi yang tinggi. Yang terakhir ini masih berupa general law,
sedangkan yang pertama sudah mengalami proses deduksi. Kedua
dimensi di atas berkaitan erat. Semakin tinggi tingkat abstraksi teori,
semakin luas pula lingkup teori tersebut. Akan tetapi semakin luas
lingkup teori belum tentu semakin tinggi tingkat abstraksinya.11
Perubahan pada tingkat abstraksi akan mempengaruhi luas sempit
lingkup teori. Akan tetapi perubahan luas lingkup teori belum tentu
mempengaruhi tingkat abstraksi.
Karena persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu
sosial, maka yang dianjurkan ialah prinsip parsimony, yaitu daya cakup
teori yang bersyarat berikut sederhana bila dibandingkan dengan teori
lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas
lingkupnya, dan dapat diuji dalam dunia nyata.
PENUTUP
11
Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program
Doktor, Universitas. Airlangga, 2008.
147
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148
DATAR PUSTAKA
Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian
Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.
Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972,
hal.53
1
J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas
Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15.
148
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas
oleh
Ahadin
ABSTRAK
Serikat Tolong Menolong pada masyarakat alas yang ada di Desa
Terutung Pedi adalah suatu organisasi atau perkumpulan yang memiliki
fungsi untuk membantu sesama anggota dalam hal-hal seperti: pada
upacara atau pesta perkawinan, pesta pemamanen, sunat rasul, dan
pada saat terjadinya orang meninggal dunia atau kemalangan,
organisasi ini dilaksanakan atau di dirikan didasari oleh ikatan atau
adanya hubungan persaudaraan yang memiliki ikatan garis keturunan
yang berasal dari orang tua yaitu bapak dan anak laki-laki. Keberadaan
Serikat Tolong Menolong ini telah ada sejak pada zaman dahulu sampai
dengan saat ini, dan sudah merupakan akar budaya atau tradisi bagi
masyarakat alas pada umumnya dan masyarakat desa terutung pedi
pada khususnya, tradisi ini diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya dan tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat dan terus bertahan hidup, hal ini karena selalu dapat
menyesuaikan diri dengan segala bentuk perubahan dari zaman ke
zaman, dengan segala keadaan yang ada dan perkembangan maupun
perubahan dalam masyarakat, hal ini juga membuktikan bahwa ikatan
persaudaraan dalam masyarakat alas sangatlah baik dan kuat dengan
telah terujinya hubungan perkumpulan yang ada. Organisasi Serikat
Tolong Menolong ini bukan hanya menjadi hal yang dapat membantu
pada anggota dalam setiap event kegiatan dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, organisasi ini akan membuat kehidupan dalam masyarakat
menjadi lebih baik dan semua anggota masyarakat akan merasakan
suatu perlindungan, persaudaraan, kebersamaan dalam tradisi budaya
dan dalam kehidupan bermasyarakat, dengan tetap terjaganya
organisasi yang dimaksud maka dengan demikian tradisi dan adat
istiadat masyarakat alas pun diharapkan tetap terjaga kelangsungannya
dalam masyarakat yang berkembang dengan dinamis dan harmonis.
149
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160
PENDAHULUAN
Penelitian ini akan difokuskan tentang keberadaan Serikat
Tolong Menolong pada Masyarakat Alas yang ada pada desa Terutung
Pedi Kecamatan Babussalam di Kabupaten Aceh Tenggara. Yang
dimaksud dengan Serikat Tolong Menolong pada Masyarakat Alas
adalah: suatu organisasi atau perkumpulan yang berfungsi untuk saling
membantu sesama anggota dalam hal seperti: upacara perkawinan, sunat
rasul, dan kemalangan yang terjadi di dalam suatu kelompok masyarakat
yang di dasari oleh hubungan persaudaraan atau adanya pertalian
hubungan darah.
Pengertian Masyarakat dalam bahasa Inggris dipakai istilah
Society yang berasal dari bahasa Latin Socius yang berarti: kawan.
Sedangkan dalam bahasa Arab Syaraka yang memiliki arti: ikut
berpartisipasi. Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
kontiniu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Definisi ini
menyerupai suatu defenisi yang dikemukakan oleh J.L.Gillin dan
J.P.Gillin dalam buku Cultural Society (1954; hal 139), yang menuliskan
masyarakat adalah: ” The largest grouping in which common custom,
tradition, attitudes and feelings of unity are operative”.
Jadi, yang dimaksud dengan masyarakat adalah: sekumpulan
manusia yang saling bergaul, atau saling berinteraksi dalam suatu ikatan
yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat harus
memiliki pola tingkah-laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan
dalam suatu kesatuan, yang bersifat mantap dan kontiu, sudah menjadi
adat istiadat yang khas dan memiliki rasa identitas diantara para
warganya, bahwa mereka memang suatu kesatuan khusus yang berbeda
dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya.
Penelitian tentang tolong menolong dalam masyarakat telah
diteliti oleh (Damanhuri; 1996) di desa blok VI Kecamatan Simpang
Kanan Kabupaten Aceh Selatan dengan nama buwuh, yang
dimaksudkan dengan Buwuh adalah: tradisi saling memberikan bantuan
antara anggota masyarakat. Bantuan itu baik dalam bentuk uang maupun
dalam bentuk barang, yang diberikan oleh tamu kepada tuan rumah
sebagai sumbangan dalam suatu upacara pesta perkawinan, syukuran
atau khitanan. Kata buwuh ini sendiri berasal dari bahasa Jawa secara
bebas dapat diartikan dengan pemberian.
Dalam pengertian ini, buwuh berfungsi sebagai salah satu
sumber biaya untuk suatu pesta. Menurut pendapat (Clifford Geertz;
150
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian etnografi
merupakan suatu penelitian yang mengkaji prilaku manusia dalam
setting alamiah dengan penekanan pada perspektif budaya. Etnografi
adalah penelitian satu langkah di atas naturalistik. Menurut pendapat
(Spradley; 1980) etnografi adalah hasil karya yang menggambarkan
budaya atau aspek-aspek budaya, sebagai pengetahuan yang diperoleh
manusia yang di gunakan untuk menginterpretasikan dan menimbulkan
prilaku.
Perilaku yang dimaksud adalah prilaku subjek yang diteliti yaitu
tokoh masyarakat, dan seluruh masyarakat yang ada di desa Terutung
Pedi. Dalam penelitian kualitatif terdapat lima karakteristik yaitu: 1)
naturalistik adalah dijadikan sebagai sumber data langsung di mana
peneliti sebagai instrumen, bahwa setiap tindakan yang dilakukan ketika
di lakukan observasi, wawancara di mana kejadian itu berlangsung dapat
dipahami dengan baik, 2) bersifat deskriptif adalah disebabkan semua
data yang dikumpulkan cenderung berupa kata-kata atau gambar. Hasil
penelitian yang ditulis berupa kutipan-kutipan data untuk
mengilustrasikan penyajian. Seperti data yang berupa transkrip,
wawancara, catatan lapangan, memo, dan catatan lainnya, 3) penekanan
pada proses adalah seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam
151
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160
Deskripsi Latar
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Terurtung Pedi Kecamatan
Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara, dengan subjek penelitian adalah
Tokoh-tokoh Masyarakat dan seluruh Masyarakat yang ada di Desa
tersebut.
Desa ini merupakan salah satu desa yang subur yang banyak di
tanami tanaman kelapa, karet, cokelat, kopi di samping itu merupakan
lahan persawahan yang dapat dijadikan dua fungsi yaitu: pada waktu
musim tanam padi hampir semua sawah ditanami padi, pada waktu
selesai panen sawah biasanya ditanami dengan ikan mas atau ikan
mujair. Desa ini berbatasan dengan desa satu kecamatan dan desa yang
bukan satu kecamatan tetapi masih dalam satu kabupaten yaitu: sebelah
timur dengan Kampung Raja Kecamatan Babussalam, Sebelah barat
dengan Gunung Lauser, Sebelah Selatan dengan Desa Batumbulan
Kecamatan Babussalam, Sebelah Utara dengan Desa Lawe Bekung
Kecamatan Badar.
Peneliti memilih latar penelitian ini sesuai dengan pendapat
Spradley yang menyatakan ada lima kriteria dalam memilih situasi
sosial, yaitu: 1) simplicity atau kesederhanaan yang maksudnya hanya
ada satu situasi seperti desa terutung pedi kecamatan babussalam yang
berada di kabupaten Aceh Tenggara, 2) accessibility atau kemudahan
dalam hal mengakses atau kemudahan dalam memasuki latar penelitian,
3) unobstrusiveness yang berarti ketidak kentaraan atau tidak ada
halangan dalam pelaksanaan penelitian, 4) permissibleness yang
maksudnya kemudahan dalam mendapatkan izin, 5) frequently recurring
activity yang berarti kejadian tersebut berulang-ulang.
Entry
Sebelum melakukan penelitian di lapangan terlebih dahulu
peneliti meminta surat izin penelitian kepada yang berwenang, yang
ditujukan kepada kepala Desa Terutung Pedi Kecamatan Babussalam
Kabupaten Aceh Tenggara. Untuk memperoleh gambaran umum dan
152
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas
Kehadiran Peneliti
Peneliti dalam penelitian ini lebih mengutamakan suasana
keakraban dengan subjek yang penelitian dan dengan seluruh
masyarakat yang ada di lokasi penelitian, hal ini sejalan dengan
pendapat Moleong bahwa peneliti perlu membina hubungan dengan
subjek yang sedang di teliti. Hubungan ini perlu dibina berupa rapport;
yaitu hubungan antara peneliti dan subjek sudah melebur seolah-olah
tidak ada dinding pemisah di antara keduanya. Sehingga dengan
demikian, subjek tersebut dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan
atau informasi yang diperlukan.
153
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160
2. Observasi Langsung
Dengan membuat kunjungan ke lapangan peneliti menciptakan
kesempatan untuk melakukan observasi langsung. Dengan asumsi
bahwa fenomena yang akan diteliti, dan beberapa pelaku atau kondisi
lingkungan sosial yang relevan akan tersedia untuk di observasi.
Observasi mutu lingkungan sosial atau unit organisasi akan menambah
dimensi-dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena
yang akan di teliti. Observasi tersebut bisa begitu berharga sehingga
penelitan akan membantu membuat karakteristik-karakteristik bagi para
pengamat luar (Dabbs; 1982).
3. Wawancara
Metode wawancara atau metode interview, dapat mencakup
cara yang di gunakan kalau seseorang, untuk tujuan tertentu, mencoba
mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seseorang
informan, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.
Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan masyarakat yang ada di desa tempat
penelitian dan cara-cara mereka melaksanakan persatuan tolong
menolong atau tata cara membantu sesama anggota masyarakat
kelompok baik di dalam satu desa ataupun di luar desa, itulah sebabnya
data yang tidak di peroleh dari hasil observasi dapat di peroleh dari
wawancara (Paul; 1953).
Dalam penelitian ini akan dilakukan dua macam wawancara
yaitu: 1) wawancara untuk mendapatkan keterangan dan data dari
individu tertentu untuk keperluan informasi, 2) wawancara untuk
mendapatkan keterangan tentang diri pribadi, pendirian atau pandangan
dari individu yang di wawancara terhadap sejumlah informan pokok,
tidak hanya dipakai dalam hal mengumpulkan data tentang unsur-unsur
kebudayaan tertentu dalam masyarakat kecil, akan tetapi dalam hal
mengumpulkan data unsur-unsur kebudayaan kompleks dalam
masyarakat yang besar (Trembley; 1957).
Pencatatan data wawancara pada penelitian ini dilakukan
dengan dua cara yaitu: 1) pencatatan langsung, 2) pencatatan dari
ingatan. Pencatatan langsung dilakukan pada saat wawancara agar data
dari hasil wawancara yang dilakukan tetap dapat dipelihara keasliannya
dan untuk memudahkan peneliti dalam pencatatan data, dalam penelitian
ini wawancara dilakukan dalam bahasa setempat. Percatatan dari ingatan
memiliki keuntungan bagi peneliti yaitu tidak usah membawa buku
catatan pada waktu melakukan wawancara (Payue; 1949).
154
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas
155
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160
hanya terjadi pada keluarga dekat saja, di mana pelengari pun sudah
sangat jarang dikerjakan.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang berlaku di desa Terutung Pedi adalah
berdasarkan pada prinsip silsilah keturunan dari pihak bapak dam
adanya hubungan darah. Dalam masyarakat adat dan budaya bersumber
dari ajaran Agama Islam, mereka tidak boleh kawin dari satu desa yang
memiliki marga yang sama walaupun hal ini dalam ajaran agama islam
diperbolehkan. Sedangkan ada beberapa kepala keluarga yang memiliki
marga yang berbeda hal ini secara adat dan kebiasaan para anak-anak
mereka secara adat dan budaya diperbolehkan saling kawin dengan
penduduk desa.
Mengenai masalah penyelenggaraan upacara-upacara peresmian
perkawinan memiliki serangkaian upacara adat, seorang pria yang mau
kawin dengan seorang gadis pilihannya terlebih dahulu mengirimkan
utusan untuk menanyakan pinangan atau lamaran terhadap sigadis
apakah si gadis tersebut masih belum ada yang punya atau dengan kata
lain masih sendiri.
Ada juga perkawinan di mana dua orang hendak melaksanakan
perkawinan sudah terlebih dahulu berkenalan dan telah berjanji untuk
melangsungkan perkawinan. Bila si gadis belum ada yang punya dan
telah mendapatkan persetujuan dari orang tua atau wali, maka akan
ditetapkan hari untuk melakukan upacara peradatan tentang hal pinangan
di mana dalam sistem adat yang berlaku kalau laki-laki berasal dari desa
maka, petua adat akan pergi ke desa sang gadis untuk tujuan
melaksanakan adat pinangan, yang dalam hal ini akan merundingkan
masalah hal-hal seperti upah anak gadis yang dimaksud, uang adat, mas
kawin, tanggal pelaksanaan pesta dan hal-hal lainnya yang dianggap
perlu.
Sedangkan apabila sang gadis yang dimaksudkan berasal dari
desa yang bersangkutan, maka pihak keluarga sang gadis akan
melaksanakan penerimaan adat pinangan, menerima uang adat, mas
kawin, dan sesegera mungkin akan menetapkan hari pelaksanaan pesta
perkawinan, di mana pesta perkawinan akan dilaksanakan dengan
terlebih dahulu dengan adat meraleng artinya di mana keluarga dari
pihak pengantin pria datang ke pihak pengantin perempuan untuk
menjemput dengan upacara adat, dalam hal ini ada yang meminta
sebelum tamu dipersilakan untuk naik atau masuk ke rumah pengantin
perempuan terlebih dahulu melaksanakan pertandingan persahabatan
156
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas
bola kaki atau bolavoli, konon pada zaman dahulu akan juga
dilaksanakan persahabatan peulebat, artinya dilaksanakan perang
tanding satu lawan satu dengan mempergunakan sebilah pedang yang
pada perkembangan selanjutnya pertandingan ini digantikan dengan alat
sebilah bambu, setelah selesai upacara ini baru tamu akan dipersilakan
memasuki rumah pengantin wanita.
Acara pernikahan pada umumnya dilaksanakan pada saat
rombongan pengantin pria telah tiba dan biasanya acara pernikahan
dilaksanakan di dalam rumah pengantin wanita, dalam hal ini ada yang
melaksanakan tamu dan pengantin pria akan bermalam semalam di
rumah pengantin wanita, ada pula yang melaksanakan pada hari itu juga
pengantin wanita langsung di bawa ke rumah pengantin pria.
Setelah acara di rumah pengantin wanita selesai maka acara
berikutnya adalah upacara adat mengantarkan pengantin wanita atau
naruhken pengantin wanita ke rumah pengantin pria selanjutnya akan
dilaksanakan lagi beberapa kali antar antara pengantin wanita dan
pengantin pria setelah satu tahun masa pernikahan maka pada tahun
pertama dari pernikahan pengantin pria dan pengantin wanita akan ada
di rumah pengantin wanita, dalam hal ini bertujuan untuk melaksanakan
kegiatan menyambut satu Syawal, idul fitri, dan juga Idhul Adha, setelah
hal ini dilalui barulah pengantin wanita akan tetap tinggal di rumah
pengantin pria dan segala urusan adat tradisi yang akan dipakai adat
tradisi yang berlaku pada kaum pengantin pria.
157
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160
158
Ahadin,
Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas
bentuk benda seperti beras, dan dalam bentuk uang yang jumlahnya
akan ditetapkan atau disesuaikan dengan perubahan harga-harga dengan
kesepakatan bantuan ini biasanya akan dikutip oleh orang yang telah
ditetapkan.
KESIMPULAN
Keberadaan Serikat Tolong Menolong pada masyarakat Alas
merupakan suatu tradisi budaya yang telah diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya, walaupun secara pasti tidak ada yang
mengetahuinya sejak kapan tradisi ini telah ada.
Serikat Tolong Menolong yang ada di Desa Terurung Pedi
Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara telah diketahui
keberadaannya sejak pada zaman dahulu sampai pada dengan saat ini,
yang telah merupakan suatu adat budaya atau tradisi dari pada
masyarakat dengan adanya suatu perubahan-perubahan dalam
pelaksanaannya, akan tetapi tetap dapat hidup terus di dalam kehidupan
bermasyarakat di lingkungan desa. Hal ini terbukti karena serikat tolong-
menolong ini selalu dapat menyesuaikan diri dengan segala bentuk
perkembangan dan perubahan zaman, dengan segala keadaan
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.
Penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilaksanakan
tentang keberadaan serikat tolong-menolong dalam masyarakat Alas, di
mana masih banyak aspek tradisi dan budaya yang belum diteliti tentang
hal-hal yang berhubungan dengan penelitian tentang adat dan budaya
masyarakat Alas, maka bagi peneliti yang memiliki keinginan untuk
melestarikan adat budaya masyarakat Alas yang ada di Kabupaten Aceh
Tenggara merupakan suatu hal yang menarik dan perlu untuk melakukan
penelitian yang berhubungan dengan tradisi adat budaya masyarakat
Alas, agar dapat di lestarikan sampai dengan waktu yang tanpa batas.
159
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160
DAFTAR PUSTAKA
Jin, R.K, Studi Kasus Desain dan Metode, Grafindo Persada, Jakarta,
1996.
160
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
oleh
Nyak Arif Fadhillah
Dosen Yayasan pada Unmuha, Banda Aceh
PENDAHULUAN
Beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam,
Alquran dianggap sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna.
Alquran adalah sebuah “Teks” (dengan T besar) yang mengatasi dan
melampaui “teks-teks” lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab Alquran
merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui malaikat-Nya)
kepada umat manusia. Ruh keilahian Alquranlah yang membuatnya
tahan dari pelbagai kritik dan gempuran.
Sebagai sebuah teks,1 Alquran tidak pernah kering, apalagi habis.
Teks Alquran bisa ditafsirkan secara kaya, tergantung konteks sosial-
budaya dan “hermeneutik dalam” (struktur nilai dan kesadaran)
pembacanya. Dengan demikian, persentuhan antara penafsir dengan
Alquran merupakan pergulatan yang dinamis, bahkan sering tak terduga.
Ibarat sebuah puisi dan tanda, Alquran tidak pernah berhenti dan
membeku, tetapi selalu mengajak para penafsirnya untuk mencari dan
menjelajah, suatu “peziarahan” hidup yang tak pernah usai.
Alquran dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah
peradaban Arab, bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan
bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Artinya, bahwa
dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di
atas landasan yang “teks” sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini
tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata.
Teks apa pun tidak dapat membangun peradaban dan tidak pula mampu
memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.2
1
Pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah
pemahaman yang disertai kesadaran bahwasanya kitab suci itu tidak hanya sekadar
teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang
sedang berjalan, yakni berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat-
masyarakat yang menganggapnya sakral dan normatif. William A. Graham, “Quran as
Spoken Word: an Islamic Contribution to the Understanding of Scripture”, dalam
Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Arizona: The
University of Arizona Press, 1985), hlm. 27.
161
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
2
Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas
di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain. Peradaban dibentuk oleh
interaksi dan dialektika manusia dengan realitas – dengan segala struktur yang
membentuknya: ekonomi, sosial, politik dan budaya.
3
Ketika teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan maka dapat
dipastikan tafsir dan interpretasi akan beragam, dan keragaman interpretasi ini terjadi
karena berbagai faktor. Faktor terpenting, umpamanya, adalah sifat atau watak ilmu
yang disentuh oleh teks, maksudnya, disiplin tertentu menentukan tujuan interpretasi
dan pendekatannya. Faktor kedua, adalah horizon epistemologi yang dipergunakan
oleh seorang ilmuan dalam menangani teks. Melalui horizon tersebut ia berusaha
memahami teks, atau mengusahakan teks mengungkapkan dirinya. Faktor-faktor ini
tidak berdiri sendiri, dalam pengertian satu faktor paling dominan dalam peroses
interaksi. Faktor-faktor ini bergerak secara interaktif dan dinamik dalam proses
interpretasi apa pun. Nasr Hamid Abu Zaid, terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas
Alquran Kritik terhadap Ulmul Quran, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 1-2.
4
Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku,
menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memlihara berbagai
harapan, dan memperkukuh identitas kolektif. Mohammed Arkoun, Berbagai
Pembacaan Alquran, terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), hlm. 9. Alquran juga
digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum Muslimin, serta
dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang
sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap
Muslim. W.M. Watt, Bell’s Introduction to the Qurqan, (Edinburgh: Edinburgh Univ.
Press, 1970), hlm. Xi.
5
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alquran, (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2005), hlm 1-2.
162
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
PEMBAHASAN
Alquran dan Syariah
1) Alquran
Kitab suci Islam–dalam bahasa Arab dikenal dengan berbagai
sebutan dan yang paling populer adalah Alquran, yang artinya ‘bacaan’–
disepakati oleh seluruh Muslim, tidak peduli dari golongan mazhab apa
pun, sebagai wahyu berupa “Kata-Kata Literal Tuhan” yang diturunkan
ke dalam hati, jiwa dan pikiran Nabi Muhammad melalui perantaraan
malaikat penjaga wahyu; Jibril. Baik huruf maupun arti dari teks
Alquran dipandang sakral, begitu juga segala sesuatu yang berhubungan
dengannya, seperti melantunkan ayat-ayatnya atau menulis kalimat-
kalimatnya.6
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang disebut Alquran dan
termuat dalam mushaf, adalah otentik (semuanya adalah betul-betul dari
Allah swt.), dan semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad saw. dari
Allah melalui malaikat Jibril telah termuat dalam Alquran. Keotentikan
Alquran ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian sahabat Nabi
memeliharanya sebelum dibukukan dan dikumpulkan, begitu pula
kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara
penggandaannya.
6
Alquran memiliki banyak nama, setiap nama tersebut menyampaikan aspek
Alquran dalam kenyataan. Pertama, Alquran, yang berarti bacaan, atau bisa juga
bermakna kumpulan atau pemusatan pikiran. Ia juga disebut Alfurqan, yang artinya
pembeda atau penjelas karena Alquran memberikan kriteria untuk menilai salah dan
benar, kebaikan dan kejahatan, dan yang indah dan buruk. Disebut Umm Alkitab,
maksudnya sebagai arketipe atau induk seluruh kitab, yang mengandung akar atau ide
dari segala pengetahuan. Alquran juga disebut Alhuda karena merupakan petunjuk
dalam perjalanan manusia, laki-laki dan perempuan, untuk menuju Tuhan. Bagi umat
Islam, Alquran adalah sumber segala pengetahuan fisik maupun metafisik, dasar
hukum, tuntunan tertinggi bagi perilaku etika, dan menjadi jaring, yaitu alat bagi
seorang nelayan Tuhan dalam menjerat jiwa manusia dan membawanya kembali
kepada Yang Tunggal. Seyyed Hossein Nasr, terj. Nur Asiah Fakih S. Harahap, the
heart of islam Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 31.
163
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
7
Inilah yang dimaksud Allah Swt dalam firman-Nya surat al-Hijr/15: 9:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya”. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa seluruh ayat
Alquran dari segi lafaz dan wurudnya adalah qathi (meyakinkan) serta tidak ada
keraguan di dalamnya. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), hlm. 48-49.
8
Alquran juga membahas aturan-aturan bagi individu dan masyarakat dan
merupakan sumber paling utama hukum Islam atau syariat. Selanjutnya, Alquran
164
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
b. Syariah9
Syariah secara umum dipakai dalam dua arti: arti luas dan arti
sempit.10 Dalam arti luas syariah adalah keseluruhan ajaran Islam yang
berupa norma-norma ilahiyah yang mengatur tingkah laku batin (sistem
kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit pada taraf
individual dan kolektif. Dalam arti ini syariah identik dengan din. Atas
dasar itu ilmu syariah meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan
Islam seperti kalam, tasauf, tafsir, hadis, fiqih dan usulnya, dan
seterusnya.
Dalam arti sempit, syariah dimaksudkan bagian dari ajaran Islam
yang berupa norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku konkret,
baik tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Atas dasar
165
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
itu ilmu syariah dibatasi hanya meliputi ilmu fiqih dan ushul fiqih. Arti
sempit inilah yang umum dipakai oleh para pengkaji bila mereka
menyebut kata syariah.
Syariah dalam literatur hukum Islam mempunyai tiga
pengertian,11 pertama, syariah dalam arti sumber hukum yang tidak
dapat berubah sepanjang masa. Kedua, syariah dalam pengertian sumber
hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun sumber
hukum Islam yang dapat berubah. Ketiga, syariah dalam pengertian
hukum-hukum yang digali (berdasarkan atas apa yang disebut al-
Istinbath) dari Alquran dan syariah; hukum sebagaimana yang
diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh para Sahabat, ijtihad para
mujtahid, dan hukum-hukum yang dihasilkan dengan metode qiyas dan
metode-metode hukum lainnya.
Tidak diragukan lagi bahwa syariah merupakan ruang ekspresi
pengalaman agama yang paling penting bagi kaum Muslimin dan
merupakan obyek refleksi utama mengenai Alquran dan teladan ideal
Nabi saw. (syariah). Hal ini dapat dilacak akar-akarnya ke dalam
sumber-sumber pokok ajaran Islam yang senantiasa menekankan
kepatuhan kepada hukum Allah dan tidak melampaui hudud yang telah
ditetapkan-Nya. Demikian syariah merepresentasikan sistem nilai
keagamaan yang menjadi kerangka rujukan bagi tingkah laku dan
perbuatan setiap orang Muslim.12
11
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Unisba, 1995), hlm. 10.
12
Syamsul Anwar, “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations:
Toward a Reinterpretation,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, No. 60, Th. 1997,
hlm. 131.
166
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
13
Sumber hukum dalam Islam dapat disimplifikasi menjadi hanya tiga, yaitu:
Alquran, Al-Hadis dan Ijtihad. Sumber-sumber lain semisal al-Istihsan, al-Istishab,
Maslahah al-Mursalah dan lain-lain sesungguhnya dapat diposisikan sebagai
pengejewantahan dari ijtihad. Perdefinisi, ijtihad merupakan aktivitas istinbath hukum
(penggalian hukum) dari sumber-sumbernya dengan menggunakan perangkat
metodologi ‘aqliyah, ushul fiqih. Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Shawkani,
Irshad al-Fuhul, (Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1992), hlm. 250.
14
Perintah-perintah Alquran, bagaimanapun, tidak akan dapat dimengerti
secara sempurna tanpa bantuan Sunnah dan Hadis Nabi, yang berfungsi sebagai
penjelas (tafsir) pertama Alquran. Alquran memerintahkan shalat kepada setiap
Muslim, tetapi bagaimana tata cara shalat dipelajari dari contoh yang dipraktikkan
Nabi. Oleh karena itu, setelah Alquran, Sunnah dan Hadis adalah sumber paling
penting kedua bagi syari’at. Semua mazhab hukum Islam, baik Sunni ataupun Syi’ah,
menerima kedua sumber ini sebagai sumber yang mutlak bagi hukum Islam S.H. Nasr,
the heart of islam……, hlm. 143-144.
15
Yusuf al-Qardhawi, pemikir Islam kontemporer asal Mesir, membuat
postulat 1 banding 9. Artinya, hanya 10 persen teks ajaran suci (Alquran maupun al-
Hadis) yang tidak dapat diganggu gugat karena berupa dictum-diktum aturan qath’i
yang konstan dan immutable. Segmen ini harus diterima apa adanya tanpa harus
adaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada di sekitar. Apa yang termasuk dalam
167
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
segmen ini ialah persoalan-persoalan dasar menyangkut sendi-sendi ajaran agama yang
mempunyai nilai strategis, seperti persoalan keimanan: tauhid, akhlak dan sejenisnya,
bentuk-bentuk ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Sementara selebihnya
(90 persen teks ajaran) berupa aturan-aturan operasional yang bersifat zhanni dan
adaptable. Segmen kedua ini mempunyai nilai taktis-operasional yang langsung
bersentuhan dengan fenomena sosial dan kemanusiaan. Karena wataknya yang taktis,
segmen ini menerima akses perubahan pada tataran operasionalnya sepanjang tetap
mengacu pada pesan dan tujuan moral yang terkandung dalam Alquran secara global
dan tersirat. Yusuf al-Qarhawi, al-Ijtihad wa al-Tajdid bayn al-Dhawabith al-Alquran
wa al-Hayah al-Mu’ashirah, terj. Muhammad Hussein dalam Dasar Pemikiran Hukum
Islam: Taklid vs Ijtihad, (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.t), hlm. 75.
168
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
16
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 63.
17
M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992), hlm.
31.
18
Shihab, Membumikan…., hlm. 29-30.
19
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah, 1978),
hlm. 32.
169
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
20
Khallaf, Ilmu Ushul….., hlm. 32
21
Khallaf, Ilmu Ushul…., hl, 32-33.
170
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
171
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
Sementara dari segi rinci dan tidak rincinya hukum yang terdapat
dalam Alquran, Abu Zahrah membaginya kepada beberapa macam,
sebagai berikut:22
1. Ibadah, yaitu ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan ibadah,
diungkapkan dalam Alquran secara mujmal (global) tanpa
merinci tata cara pelaksanaannya (kaifiyatnya). Misalnya,
perintah melaksanakan shalat, puasa, sedekah, zakat dan haji.
Kewajiban Shalat dijelaskan dalam Alquran, tetapi tidak
dijelaskan mengenai rukun, syarat, waktu dan tata cara
pelaksanaannya. Untuk menjelaskan ibadah ini secara rinci Allah
memberikan kewenangan kepada Nabi Muhammad saw. melalui
sunnahnya.
2. Kaffarat (Denda), kaffarat merupakan bagian dari ibadah karena
ia semacam denda terhadap perbuatan dosa (kesalahan) yang
dilakukan seseorang.23
3. Hukum Muamalat. Alquran hanya menjelaskan hukum ini dalam
bentuk prinsip-prinsip dasar. Di antara prinsip-prinsip itu,
larangan memakan harta orang lain secara batil (salah) dan
keharusan perolehan harta dengan suka sama suka (ridha). Di
samping itu, larangan berlaku zalim dan memakan harta melalui
cara yang mengandung unsur riba. Aturan-aturan yang bersifat
umum ini kemudian dirinci Nabi saw. melalui sunnahnya.
Sementara terhadap hal-hal yang tidak dirinci sunnah, para
mujtahid mempunyai peluang untuk mengembangkan sejalan
22
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (t.k. : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm.
94-95.
23
Dalam Alquran dijelaskan tiga macam kaffarat;1) Kaffarat Zihar, yaitu
suatu denda yang diberikan kepada suami karena perkataan yang diucapkan kepada
isteri, semisal’ “engkau bagiku bagaikan punggung ibuku”. Semenjak terjadinya zihar
suami tidak boleh menggali isterinya hingga ia membayar kaffarat zihar (Q.S.
Almujadilah/58: 3-4) Berdasarkan ayat ini, kaffarat bagi suami yang menzihar
isterinya adalah memerdekakan hamba sahaya, jika tidak mendapatinya ia wajib
berpuasa dua bulan berturut-turut. Apabila ia masih tidak mampu melakukan, maka ia
wajib memberi makan 60 orang miskin. 2) Kaffarat sumpah, yaitu suatu denda yang
dikenakan kepada seseorang karena melanggar sumpah. Denda tersebut berupa
pemberian makan 10 orang miskin atau pakaian mereka, atau memerdekakan hamba
sahaya (QS. Al-Maidah/5: 89). 3) Kaffarat karena membunuh orang mukmin secara
tersalah. Orang yang melakukan pembunuhan bentuk ini diwajibkan membayar diyat
(denda) dan kaffarat dengan memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak
didapati, maka puasa dua bulan berturut-turut (QS. Al-Nisa’/4: 92).
172
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
ا
" ه ا اارد اان اى
و
ا
واا# ا$%
24
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 1, Cet. Ke-2, hal. 441
173
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
25
Abd al-Wahhab al-Salam Thowilah, Atsar al-Lughah fi Ikhtilaf al-
Mujtahidin, (Kairo: Dar al-Salam t.t.), hal. 42
26
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, t,t), hlm. 3-23.
174
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
Meskipun dari sisi lafalnya suatu ayat qathi, dari sisi makna
mungkin saja zhanni sehingga bisa dikembangkan maknanya, tetapi
bukan dimaksudkan menggeser pengertian ayat tersebut. Adapun
metode mengembangkannya melalui qias, seperti halnya mengqiyaskan
keharaman khamar kepada segala jenis minuman atau narkoba yang
sengaja dibuat untuk memabukkan.
Sementara ayat-ayat zhanni dalalah merupakan lapangan ijtihad.
Ini dipahami dari definisi zhanni dalalah sebagaimana dirumuskan Abd
al-Wahhab Khallaf:27
ف * ها ا واد,
ان ول و.دل * و% "
ا/ ا$ا
01
Artinya: Nash zhanni dalalah ialah suatu lafal yang
menunjukkan suatu makna, tetapi makna itu
mengandung kebolehjadian sehingga dapat ditakwilkan
dan dipalingkan dari makna itu kepada makna yang lain.
27
Khallaf, Ilmu Ushul…., hal. 35
175
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
176
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
177
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
F. Nasakh Mansukh
Adanya perbedaan waktu turun, menyebabkan perlu mengetahui
mana ayat yang pertama turun dan mana ayat yang turun lebih
belakangan. Mana ayat yang diterangkan (yang pertama turun) dan mana
ayat yang menerangkan (yang turun lebih belakangan). Lebih jauh dari
itu sebagaian ulama berpendapat bahwa ayat yang turun belakangan ada
yang membatalkan (me-nasakh) ayat yang turun lebih awal.29 Menurut
28
Ahmad Von Denffer, ‘Ulum Alquran, an Introduction to Sciences of the
Qur’an, (London: The Islamic Foundation, 1985), hlm. 92-93.
29
Ulama mutaqaddimin memberi batasan nasakh sebagai dalil syar’i yang
ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut
ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum
yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum
tersebut dinyatakan tidak berlaku terus-menerus, tetapi juga mencakup pengertian
pembatasan (qaid), bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup
pengertian pengkhususan (mukhasshish) terhadap suatu pengertian umum. Bahkan juga
pengertian pengecualian (istitsna). Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut
batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan
mukhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian nasakh terbatas
hanya untuk ketentuan hukum yang dating kemudian, untuk mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan
menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. KH. Ali Yafie, “Nasikh-Mansukh
178
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
179
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
31
Perhatikan al-Quran dengan huruf kecil; ini untuk membedakannya dengan
al-Quran (dengan huruf besar) sebagaimana persepsi umumnya kaum muslimin.
Karena al-Quran menurut Syahrur berbeda dengan al-Quran menurut mereka. Fazlur
Rahman, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago:
The University of Chicago Press, 1982, hal. 27
32
Istilah-istilah ini dapat dipandang sebagai istilah kunci yang diuraikan
secara panjang lebar oleh Syarur dalam bukunya. Pendapat-pendapatnya yang
controversial banyak didasari oleh pemahamannya yang baru sama sekali terhadap
istilah-istilah tersebut dalam al-Quran. Untuk penjelasan istilah-istilah tersebut. Fazlur
Rahman, Islam dan Modernity…, hal. 49-68
180
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
33
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran, hal. 54, 90, dan 103. Wael B.
Hallaq dalam hal ini kemudian menyimpulkan bahwa fungsi kenabian adalah untuk
keagamaan (religions) sementara risalah merupakan hukum. Lihat Wael B. Hallaq. A
History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cet. 1
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 247
34
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran, hal. 44; al-Munjid,
Munaqasyat, hal. 170
35
Hallaq, A History…, hal. 246
181
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
H. Penutup
Alquran adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan
firman-firman Allah (Kalam-Allah) yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. di antara tujuan utama diturunkannya Alquran adalah
untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka
supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar tujuan itu
dapat direalisasikan oleh manusia, maka Alquran datang dengan
petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan dan konsep-konsep, baik
yang bersifat global maupun yang terinci, yang tersurat maupun yang
tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan.
Alquran sendiri menyatakan dirinya sebagai al-Kitab (kitab,
buku), hudan (petunjuk) bagi manusia pada umumnya, dan orang-orang
bertakwa pada khususnya, al-furqan (pembeda antara yang baik dan
yang buruk, antara yang nyata dan yang khayal); rahmat (rahmat), syifa
(obat penawar khususnya untuk hati yang resah dan gelisah), thibyan li
kulli syai (penjelasan bagi sesuatu) dan beberapa atribut lainnya. Nama-
nama dan berbagai julukan ini secara tersurat memberi bukti bahwa
Alquran adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan berwawasan
luas.
Kendatipun Alquran mengandung berbagai ragam masalah
ternyata pembicaraannya tentang suatu masalah tidak selalu tersusun
secara sistematis seperti halnya buku ilmu pengetahuan yang dikarang
oleh manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa Alquran kitab yang tidak
sistematis bila dilihat dari sudut metodologi ilmiah. Di samping tidak
sistematis, Alquran juga sangat jarang menyajikan sesuatu masalah
secara terinci dan detail. Pembicaraan Alquran pada umumnya bersifat
36
Muhammad Syahrur, al-Kitab…., hal. 45
182
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
DAFTAR PUSTAKA
183
Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185
Nasr, Seyyed Hossein, terj. Nur Asiah Fakih S. Harahap, the heart of
islam Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan,
(Bandung: Mizan, 2003)
184
Fadhillah,
Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, (t.k. : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.)
185
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik
oleh
Usman
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
Abstrak
Penelitian ini maksudkan untuk mendeskripsikan keefektifan penerapan
pembelajaran matematika realistik (PMR) berbasis budaya Aceh pada
materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh. Penelitian ini
termasuk jenis penelitian eksperimen semu dengan pendekatan
deskriptif. Subjek penelitian adalah siswa kelas IIA SD Negeri 54 Banda
Aceh. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: tes hasil
belajar, lembar pengamatan aktivitas siswa (LPAS), lembar
pengamatan kemampuan guru (LPKG), dan angket respon siswa.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik
deskriptif. Kriteria keefektifan PMR berbasis budaya Aceh yaitu hasil
belajar siswa tuntas, aktivitas siswa selama pembelajaran efektif,
kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, dan respon siswa
terhadap pembelajaran positif. Berdasarkan hasil analisis data dan
pembahasan hasil penelitian diperoleh pembelajaran matematika
realistik (PMR) berbasis budaya Aceh efektif untuk mengajarkan materi
pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh.
PENDAHULUAN
Proses belajar dapat terjadi di mana dan kapan saja sepanjang
hayat. Sekolah merupakan salah satu tempat proses belajar terjadi.
Sekolah merupakan tempat kebudayaan, karena pada dasarnya proses
belajar merupakan proses pembudayaan. Dalam hal ini, proses
pembudayaan di sekolah adalah untuk pencapaian akademik siswa,
untuk membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan tradisi
yang ada dalam suatu komunitas budaya, serta untuk mengembangkan
budaya dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa.
Misalnya siswa belajar matematika untuk mencapai akademik:
kemampuan bernalar matematika.
186
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194
187
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik
METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dibahas yaitu untuk
mengetahui mendeskripsikan keefektifan penerapan pembelajaran
matematika realistik berbasis budaya Aceh pada materi pengukuran di
kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh maka penelitian disebut penelitian
deskriptif. Penelitian ini juga disebut penelitian eksperimen semu karena
188
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194
T1 X T2
Keterangan:
X1 : Tes awal
T : PMR Berbasis Budaya Aceh
X2 : Tes akhir
189
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik
1), kurang baik (nilai 2), cukup baik (nilai 3), baik (nilai 4), dan
sangat baik (nilai 5). Aktivitas guru yang diamati dapat dilihat pada
LPKG mengelola pembelajaran.
190
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194
191
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik
192
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pembelajaran
matematika realistik berbasis budaya Aceh efektif untuk mengajarkan
materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Badan Aceh, karena hasil
belajar tuntas, aktivitas siswa selama pembelajaran efektif, kemampuan
guru mengelola pembelajaran efektif, dan respon siswa terhadap
pembelajaran positif.
Berdasarkan kesimpulan, penulis menyarankan kepada guru
untuk menerapkan pembelajaran matematika realistic (PMR) berbasis
budaya Aceh untuk meningkatkan ketuntasan hasil belajar siswa.
Selanjutnya guru perlu menyisipkan nilai-nilai budaya lingkungan siswa
dalam kegiatan pembelajaran, untuk menanamkan dan memperkenalkan
budaya lingkungan siswa sehingga dapat mengenal dan mengetahui
budayanya sendiri.
193
Usman,
Pembelajaran Matematika Realistik
DAFTAR PUSTAKA
194
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model
oleh
Syahjuzar
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
ABSTRAK
195
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208
PENDAHULUAN
Dalam mempelajari matematika siswa sering menghadapi
masalah, yaitu tidak berhasil menyelesaikannya soal-soal, padahal
menyelesaikan masalah dalam matematika adalah cara yang terbaik
untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah seseorang.
Disadari bahwa karena situasi pemecahan masalah merupakan suatu
tahapan saat individu dihadapkan kepada masalah ia tidak serta merta
mampu menemukan solusinya bahkan dalam proses penyelesaiannya ia
masih kebuntuan. Oleh karena itu, sangat diperlukan kemampuan untuk
individu dapat berpikir secara kritis dan kreatif untuk mencari solusi
terhadap masalah yang dihadapi.
Pembelajaran matematika penting diberikan di sekolah sebagai
wahana untuk mengembangkan kemampuan penalaran, supaya mampu
berpikir logis, sistematis, kritis, cermat dan kreatif dalam
mengkomunikasikan gagasan atau memecahkan masalah baik di sekolah
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai harapan kurikulum
satuan tingkat pendidikan (KTSP) 2006 matematika SMP menyebutkan
tujuan pelajaran matematika diajarkan di SMP adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan: (1) memahami konsep matematika, (2)
menggunakan penalaran pada pola dan sifat, (3) memecahkan masalah,
(4) mengkomunikasikan gagasan, (5) memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan.
Tujuan di atas menunjukkan bahwa siswa dituntut untuk
memahami konsep dan memecahkan masalah matematika yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kenyataan menunjukkan bahwa
pada umumnya pembelajaran matematika sampai saat ini belum
menunjukkan hasil yang optimal. Hasil penelitian di beberapa sekolah
menunjukkan pembelajaran matematika kurang melibatkan aktifitas
siswa secara optimal, kemampuan memecahkan masalah siswa masih
rendah, dan siswa kurang memahami konsep dasar matematika Sutiarso
(2000). Keadaan tersebut tentunya kurang menguntungkan bagi dunia
pendidikan, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran supaya segala kekurangan yang terjadi di sekolah
dapat diminimalisasi sehingga tuntutan dan tujuan yang diharapkan
dalam kurikulum bisa tercapai.
Salah satu cara upaya yang dilakukan yaitu mengadakan
pergeseran kondisi pembelajaran dari guru ke siswa (teacher centered ke
student centered). Berbagai model pembelajaran yang dapat melibatkan
aktivitas siswa, salah satunya adalah pembelajaran berdasarkan masalah.
Pada pembelajaran berdasarkan masalah siswa memahami konsep atau
196
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model
197
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208
METODE PENELITIAN
Subyek Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 2 Banda Aceh.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP
Negeri 2 Banda Aceh tahun ajaran 2008/2009 yang terdiri dari 6 kelas.
Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII.4 yang dipilih dari 6 kelas.
Pemilihan siswa kelas VIII.4 karena atas hasil wawancara dengan guru
bidang studi matematika kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh.
198
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model
199
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208
200
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model
201
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208
202
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model
Persentase
Kategori Pengamatan Pertemuan ke- Rata-
1 2 Rata
1. Mendengar atau memperhatikan penjelasan
guru. 16,66 16,66 16,66
2. Membaca/mencermati masalah (soal) 6,66 6,66 6,66
3. Bekerja dalam memecahkan masalah yang
meliputi: mengumpulkan informasi yang
sesuai, menemukan penjelasan, dan peme-
cahan masalah dan bekerjasama menyele- 20,00 20,00 20,00
saikan masalah dengan teman sebangku
4. Menyajikan hasil kerja 8,88 17,77 13,32
5. Berdiskusi/bertanya antar siswa/kelompok
/guru yaitu menyatakan pendapat/ide dan me- 1,11 7,77 4,44
nanggapi pertanyaan guru/teman.
6. Mengkaji/mengecek ulang proses penye- 6,66 6,66 6,66
lesaian masalah.
7. Menyimpulkan hasil pembelajaran. 15,55 15,55 15,55
8. Perilaku yang tidak relevan/sesuai dengan
KBM. 24,44 8,88 16,66
Aktivitas aktif (2, 3, 4, 5, 6 dan 7) 66,68
Aktivitas pasif (1 dan 7) 33,32
203
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208
siswa pada pertemuan kedua (RPP2) belum mencapai efektif karena ada
aspek yang tidak memenuhi kriteria efektif yaitu aspek perilaku yang
tidak relevan/sesuai dengan KBM.
Berdasarkan tabel di atas, secara umum rata-rata persentase
aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran belum mencapai efektif
karena ada aspek yang tidak memenuhi kriteria yaitu aspek perilaku
yang tidak relevan/sesuai dengan kegiatan belajar mengajar. Dengan
demikian aktifitas siswa selama pelaksanaan model pembelajaran
berdasarkan masalah belum termasuk kategori efektif.
.
c. Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran
Berdasarkan hasil pengamatan dari pengamat mengenai
kemampuan guru mengelola pembelajaran dapat dilihat pada tabel
berikut ini
204
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model
II Kegiatan Inti
Tahap 2: Mengorganisasikan siswa untuk
belajar.
Membagi siswa menjadi beberapa 3 3 3 Baik
kelompok dan meminta siswa
menyelesaikan masalah
Tahap 3: Membantu siswa memecakan 3 3 3
masalah.
1. Membimbing siswa mengumpulkan 2 3 2,5 Baik
infomasi yang sesuai, menemukan
penjelasan, dan memecahan masalah. 2 3 2,5
2. Memotivasi untuk bekerjasama/diskusi
da-lam memecahkan masalah.
3. Membimbing/mengamati siswa dalam
me-nyelesaikan masalah. 2 3 2,5 Baik
Tahap 4: mengembangkan dan
menyajikan hasil pemecahan masalah.
Membimbing siswa menyajikan hasil kerja 3 3 3
Tahap 5: menganalis dan mengevaluasi Baik
proses pemecahan masalah 2 3 2,5
1. Membantu siswa mengkaji ulang hasil
pe-mecahan masalah
2. Membimbing siswa yang belum tuntas
pe-mecahan masalahnya
205
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208
206
Syahjuzar,
Efektifitas Pelaksanaan Model
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1) Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah untuk
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah belum efektif di
kelas VIII.4 SMP Negeri 2 Banda Aceh
2) Respon siswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan
masalah di kelas VIII.4 termasuk kategori positif.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan,
penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut.
1) Model pembelajaran berdasarkan masalah dapat dilaksanakan untuk
materi lain pada pelajaran matematika dan sesuai sengan
karakteristik pembelajaran.
2) Model pembelajaran berdasarkan masalah dapat dilaksanakan untuk
mata pelajaran yang lain, untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah
3) Bagi dosen, dapat melaksanakan model pembelajaran ini dalam
kegiatan perkuliahan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan
masalah matematika.
207
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208
DAFTAR PUSTAKA
208
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri
oleh
Suhartati
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
ABSTRAK
Geometri merupakan bagian dari matematika yang selama ini mendapat
sorotan karena rendahnya prestasi yang diperoleh siswa mulai dari
siswa Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Lanjutan. Demikian juga
yang terjadi di SMP Negeri 3 Banda Aceh. Oleh karena itu, melalui
penelitian ini dicoba menerapkan model pembelajaran advance
organizer pada pembelajaran konsep segi empat dengan tujuan untuk
mengetahui dan mendeskripsikan hal-hal berikut: (1) Aktifitas guru dan
siswa dalam pembelajaran yang dilaksanakan dengan model advance
organizer, (2) Tanggapan siswa terhadap kegiatan dengan model model
advance organizer, (3) Tingkat pencapaian hasil belajar siswa tentang
konsep geometri yang diperoleh melalui pembelajaran dengan model
advance organizer, dan (4) Ketuntasan belajar siswa pada konsep
geometri yang dicapai dengan model. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: (1) Penerapan model pembelajaran Advance Organizer
melibatkan siswa aktif dalam kegiatan belajar dan guru kreatif dalam
kegiatan mengajar, (2) Siswa umumnya merasa senang dan berminat
untuk mengikuti pembelajaran berikutnya dengan model pembelajaran
Advance Organizer, (3) Melalui penerapan model pembelajaran
Advance Organizer, penguasaan materi Segi empat siswa mencapai
tingkat sedang, dan (4) Penerapan model pembelajaran Advance
Organizer pada materi Segiempat telah mewujudkan tercapainya
ketuntasan belajar secara klasikal
209
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219
PENDAHULUAN
Upaya untuk memperbaiki mutu pembelajaran matematika di
Indonesia telah lama dilakukan, tetapi keluhan tentang kesulitan belajar
matematika masih sering terdengar. Bukanlah rahasia bahwa cara
pembalajaran matematika yang dilakukan guru selama ini cenderung
hanya melahirkan hafalan dan bukan melatih olah pikir. Pembelajaran
berkisar pada chalk and talk teacher centered. Zulhardi (2001:1)
menyatakan bahwa umumnya pendekatan pembelajaran matematika di
Indonesia masih menggunakan pendekatan mekanistik yang
menekankan pada latihan mengerjakan soal dan prosedur sehingga siswa
hanya dilatih mengerjakan soal seperti mesin. Soedjadi (2001:1)
menambahkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah selama ini
terbiasa dengan aturan sajian sebagai berikut: (1) Diajarkan
teori/definisi/teorema; (2) diberikan contoh-contoh; (3) diberikan latihan
soal. Tidak heran jika kemudian pelajaran matematika menjadi sesuatu
yang membosankan. Akibat lebih lanjut sudah dapat diprediksikan
bahwa kemampuan matematika siswa menjadi rendah.
Menurut Herawati (1994:110) di antara bahan-bahan kajian
matematika, geometri merupakan bagian dari matematika yang selama
ini mendapat sorotan karena rendahnya prestasi yang diperoleh siswa
mulai dari siswa Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Atas.
Soedjadi (dalam Sukayati, 2000:2) menyatakan bahwa saat ini terdapat
kelemahan penguasaan materi ajar pada siswa di antaranya adalah pada
pemahaman geometri. Hasil penelitian Suhartati (2005,72) menunjukkan
bahwa 73,5% dari 136 siswa SMA di Banda Aceh tidak dapat
membedakan contoh dengan noncontoh konsep segi tiga dan segi empat.
Dewi (2005,43) menemukan 56,67% dari 30 siswa SMP di Banda Aceh
hanya mempunyai nama konsep dan gagal membedakan contoh dan non
contoh segi empat. Collier (dalam Sunardi, 2000:413) menyatakan
bahwa geometri merupakan isu abadi dalam pendidikan matematika dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Pada dasarnya geometri di sekolah terdiri dari geometri ruang
dan geometri bidang. Karakteristik yang menonjol pada geometri adalah
keterkaitan yang kuat antara satu konsep dengan konsep yang lain.
Hirarki penyajian materi sangat mempengaruhi proses belajar geometri.
Hal ini disebabkan adanya tingkatan-tingkatan konsep pada materi
geometri, sehingga dalam belajar geometri materi prasyarat harus
dipelajari terlebih dahulu.
Melihat karakteristik dari geometri, maka pembelajaran yang
diperlukan adalah pembelajaran yang dapat membantu siswa
210
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri
211
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219
212
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas I SMP Negeri 3
Banda Aceh. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-3 yang dipilih
berdasarkan pertimbangan guru matematika yang mengajar di kelas
yang dimaksud.
Ada tiga jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu: (1)
Aktifitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran, diperoleh
melalui pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan Lembar Observasi; (2)
Respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang diperoleh melalui
Angket Respon Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran; (3) Hasil belajar
siswa setelah kegiatan pembelajaran, diperoleh melalui tes setelah
kegiatan pembelajaran berlangsung.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian dilakukan analisis data
sebagai berikut: (1) data hasil observasi dianalisis untuk
mendeskripsikan kegiatan guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, (2) data hasil angket dianalisis dengan mencari persentase
jawaban siswa untuk setiap butir yang ditanyakan dalam angket, dan (3)
tingkat penguasaan siswa ditentukan dengan menggunakan kriteria rata-
rata tingkat penguasaan siswa yang dikemukakan oleh Suherman
(1993:125) yaitu tingkat penguasaan 90% - 100% (sangat tinggi), 80% -
89% (tinggi), 65% - 79% (sedang), 55% - 64% (rendah), dan 0%-55%
(sangat rendah), (4) untuk criteria ketuntasan belajar yaitu seorang siswa
dikatakan telah tuntas belajar apabila telah memiliki daya serap 65% ke
atas, dan ketuntasan klasikal tercapai jika paling sedikit 85% siswa di
kelas tersebut telah tuntas belajar.
213
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219
214
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri
215
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219
216
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Penerapan model pembelajaran Advance Organizer melibatkan
siswa aktif dalam kegiatan belajar dan guru kreatif dalam kegiatan
mengajar.
217
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219
2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat
diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagi guru matematika disarankan untuk menggunakan model
pembelajaran ini dalam pembelajaran konsep segi empat, atau bila
memungkinkan pada pembelajaran konsep geometri yang lain.
2. Bagi peneliti lain yang berminat, dapat mencoba model
pembelajaran ini pada materi geometri yang lain, atau bila
memungkinkan pada materi matematika secara umum.
218
Suhartati,
Pembelajaran Konsep Geometri
DAFTAR RUJUKAN
219
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
oleh
Budiman
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi profesional guru
matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi dan
mereka yang belum lulus sertifikasi. Kompetensi profesional yang
diteliti mencakup tiga aspek, yaitu kompetensi merancang RPP,
kompetensi melaksanakan pembelajaran matematika, dan kompetensi
merancang LKS. Populasi penelitian adalah guru matematika SMP se-
Kota Banda Aceh, dengan syarat SMP yang diambil adalah ada guru
yang lulus sertifikasi, dan diambil 15 SMP, dan setiap SMP diambil dua
orang guru, masing-masing 15 orang yang sudah lulus sertifikasi, dan
15 orang yang belum lulus sertifikasi. Data dikumpulkan dengan tiga
macam instrumen, yaitu: instrumen kompetensi membuat perencanaan
pembelajaran (RPP), instrumen kompetensi melaksanakan
pembelajaran, dan instrumen kompetensi membuat LKS, semuanya
dengan rentangan nilai 1 – 5. Data yang diperoleh diolah dengan
statistik deskriptif dan statistik inferensial. Data tersebut menunjukkan
bahwa semua indikator yang dinilai umumnya pada skor 3 (cukup) dan
4 (baik). Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa (1) Kompetensi
guru matematika yang sudah lulus sertifikasi dalam aspek membuat
RPP, melaksanakan pembelajaran, dan membuat LKS semuanya berada
pada tingkat baik dengan rata-rata masing-masing 3,6; 3,6 dan 3,5; (2)
Kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi dalam aspek
membuat RPP, dan melaksanakan pembelajaran, berada pada tingkat
baik dengan rata-rata masing-masing 3,6 dan 3,5, sementara
kompetensi mereka dalam membuat LKS berada pada tingkat kurang
baik dengan rata-rata 3,4; (3) Secara keseluruhan, kompetensi
profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah
lulus sertifikasi maupun yang belum lulus sertifikasi berada pada
tingkat baik, dengan rata-rata skor masing-masing 3,6 dan 3,5; dan (4)
Tidak ada perbedaan kompetensi profesional guru matematika SMP se-
Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi dengan mereka yang
belum lulus sertifikasi
Kata kunci: kompetensi, profesional, guru, sertifikasi, RPP, LKS
220
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
PENDAHULUAN
Salah satu tugas utama guru sebelum melaksanakan
pembelajaran di dalam kelas adalah membuat perangkat pembelajaran.
Guru mempersiapkan secara rinci segala sesuatu yang akan
dimanfaatkan dalam pembelajaran. Guru menyusun skenario
pembelajaran yang dituangkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP). Skenario yang dirancang tersebut memberi petunjuk pelaksanaan
pembelajaran yang menyenangkan siswa, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk kreatif, dan mampu mengembangkan kemampuan
berpikirnya, baik kemampuan berpikir tingkat rendah maupun
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Kemampuan
berpikir tingkat rendah antara lain: (1) Memberikan contoh dan non-
contoh, dan (2) Melakukan, seperti menggunting, memotong, menjiplak,
membalik, membuat bangun-bangun geometri, melakukan perhitungan
sederhana atau secara algoritmik. Kemampuan berpikir tingkat tinggi
antara lain mencakup: (1) Menghubungkan benda nyata, gambar ke
dalam idea matematika, (2) Menjelaskan idea matematika secara lisan
atau tulisan, (3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau
simbol matematis, (3) Menggunakan pola atau hubungan untuk menarik
analogi dan generalisasi, dan (4) Menerapkan strategi untuk
menyelesaikan masalah.
Dalam skenario pembelajaran, juga harus jelas tercantum bahwa
siswa diarahkan untuk aktif melakukan berbagai kegiatan fisik dan
mental untuk mencapai tujuan pembelajaran, sebagaimana disarankan
oleh Charles C. Bonwell yang dikutip oleh Depdiknas (2006:39)
“Students must do more than just listen, they must read, write, discuss,
or be engaged in solving problem. Most important, to be actively
involved, students must engage in such higher-order thinking task
analysis, synthesis, and evaluation.” Dengan demikian, dalam skenario
pembelajaran, akan tercermin kegiatan guru-siswa yang bersifat
PAKEM (pembelajaran, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan).
Perlunya kegiatan pembelajaran yang bersifat PAKEM, menurut
Johar (2007: 11-12) antara lain karena tuntutan hal-hal berikut: (1)
Asumsi dasar belajar, yang mencakup (a) Belajar merupakan proses
individual, yaitu walaupuin belajar dilaksanakan secara kooperatif dalam
satu ruang atau satu kelompok, tetapi yang diperoleh dari hasil
belajarnya tidak sama, (b) Belajar adalah membangun makna, hasil
belajar seseorang sangat bergantung pada cara orang tersebut memaknai
apa yang dihadapinya saat itu, (c) Belajar adalah proses sosial, yang
menjelaskan bahwa belajar secara kelompok dapat mendorong
221
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
222
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
223
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
Analisis
SI/SKL/ KD-Indikator Alokasi Waktu
SK-KD
Sumber Belajar
Penilaian
Sosialisasi KTSP
224
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
225
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
226
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
227
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
228
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
229
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
230
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
dan Nur, 2000), dan model dua tinggal dan dua tamu (model two stay
two stray) (TIMNAS KTSP, 2009: 35)
Pengimplementasian model-model pembelajaran hendaknya
disesuaikan dengan materi pelajaran, tujuan pembelajaran, lingkungan
belajar dan kondisi siswa. Misalnya model pembelajaran langsung cocok
digunakan untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar atau
topik-topik yang berkaitan dengan penggunaan alat, namun model ini
tidak cocok digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep matematika
tingkat tinggi (Lambas dkk., dalam MTK 26, 2004: 4-5).
Model pembelajaran kooperatif unggul digunakan untuk
membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Di samping itu,
pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan kepada siswa
kelompok tinggi maupun kelompok rendah yang bekerja sama
menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan
menjadi tutor bagi siswa kelompok rendah, sehingga kelompok rendah
ini akan memperoleh bantuan khusus dari teman sebaya yang
mempunyai orientasi dan bahasa yang sama, sementara kelompok tinggi
akan meningkat kemampuan akademiknya karena sebagai tutor
membutuhkan pemahaman lebih mendalam tentang hubungan konsep-
konsep yang terdapat dalam materi tertentu (Ibrahim dkk., 2000: 7).
Model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based
Instruction) lebih cocok digunakan untuk (1) membantu siswa
mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah dan
ketrampilan intelektual, (2) belajar berbagai peran orang dewasa melalui
pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan (3)
menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim, dan Nur, 2000:7).
Model two stay two stray bertujuan memberi kesempatan kepada
kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok
lain. Langkah-langkah kegiatan pada model ini menurut TIMNAS KTSP
(2009: 35) adalah (1) Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat
seperti biasa, (2) Setelah selesai, dua orang dari masing-masing bertamu
kedua kelompok yang lain, (3) Dua orang yang tinggal dalam kelompok
bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka,
(4) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan
melaporkan temuan mereka dari kelompok lain, (5) Kelompok
mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka.
Telah disebutkan bahwa dalam Standar Nasional Pendidikan,
antara lain mengharuskan guru memiliki kompetensi, dan salah satu
kompetensi tersebut adalah “kompetensi profesional”. Penelitian ini
ingin mengkaji tentang tingkat kompetensi profesional guru matematika
231
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
SMP se-Kota banda Aceh baik yang sudah lulus maupun yang belum
lulus sertifikasi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui (1) Tingkat kompetensi profesional guru matematika SMP
se-Kota Banda Aceh yang mencakup kompetensi merancang rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), kompetensi melaksanakan
pembelajaran matematika, dan kompetensi merancang Lembar Kerja
Siswa (LKS), (2) Apakah kompetensi profesional guru matematika SMP
se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi lebih baik dari mereka
yang belum lulus sertifikasi.
Temuan penelitian ini daharapkan bermanfaat (1) untuk LPTK
atau FKIP yang harus senantiasa mengetahui kompetensi lulusannya
yang ada di sekolah, dan kalau ada bidang kompetensi yang masih
lemah, misalnya kelemahan di bidang pelaksanan pembelajaran, maka
UPT Micro Teaching harus segera memperbaiki program yang selama
ini dilaksanakan, (2) untuk Dinas Pendidikan, yang sangat
berkepentingan meningkatkan kualitas guru, tetapi sampai sekarang
belum dilaksanakan secara fokus pada masalah yang sangat dibutuhkan
guru, dan (3) untuk siswa, yang sangat mengharapkan kehadiran guru
yang profesional di sekolah mereka.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berbentuk expost facto yang melibatkan guru
matematika SMP se-Kota Banda Aceh sebagai populasi. Sampel
penelitian diambil 15 SMP dengan syarat di SMP tersebut ada guru yang
sudah lulus sertifikasi. Alasannya, ada harapan bahwa guru yang telah
lulus sertifikasi tersebut akan terus memperbaiki dan menambah
wawasannya untuk mengajar lebih baik dari sebelumnya. Setiap SMP
sampel diambil dua orang guru matematika, masing-masing satu orang
yang sudah lulus sertifikasi, dan satu orang guru yang belum lulus
sertifikasi, sehingga jumlah sampel menjadi 30 orang guru.
Untuk mengumpulkan data tentang kompetensi profesional guru,
digunakan tiga instrument, yaitu (1) Instrumen kompetensi membuat
perencanaan pembelajaran (RPP), (2) Instrumen kompetensi
melaksanakan pembelajaran, dan (3) Instrumen kompetensi membuat
lembar kerja siswa (LKS). Instrumen-instrumen tersebut berbentuk uni
dimensional checklist dengan rentangan nilai 1 – 5. Dua instrument yang
pertama diambil dari instrument Sertifikasi Guru dalam Jabatan
(Depdiknas, 2008: 30 -35), dengan modifikasi seperlunya, termasuk
penambahan dua butir lainnya pada instrument pertama, dan empat butir
pada instrument kedua. Instrumen kompetensi membuat LKS, terdiri
232
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
dari tiga aspek, yaitu aspek format, aspek bahasa, dan aspek isi
(SEAMEO SEAMOLEC, 2007), juga dengan sedikit modifikasi.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data
dokumen dan data hasil observasi. Data dokumen berbentuk RPP dan
LKS yang diambil dari guru sampel. Data tentang kompetensi
melaksanakan pembelajaran diperoleh malalui observasi langsung ketika
guru sampel mengajar. Observasi ini dilaksanakan oleh peneliti sendiri
dan melibatkan 10 mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika tingkat
akhir, yaitu mahasiswa yang sedang mengikuti program Micro
Teaching, dengan harapan dapat membandingkan pengetahuan yang
sedang mereka praktekkan dengan yang dilaksanakan oleh guru di
sekolah, disamping juga untuk menambah wawasan kependidikan
lainnya bagi mahasiswa tersebut. Selama observasi, digunakan
instrumen kompetensi melaksanakan pembelajaran.
Data yang diperoleh dianalisis dengan dua cara, yaitu dengan
menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik
deskriptif digunakan untuk menentukan tingkat kompetensi profesional
(TKP) guru yang didasarkan pada kategori:
1 ≤ TKP < 1,5 Sangat tidak baik
1,5 ≤ TKP < 2,5 Tidak baik
2,5 ≤ TKP < 3,5 Kurang Baik
3,5 ≤ TKP < 4,5 Baik
4,5 ≤ TKP ≤ 5,0 Sangat baik
(Dimodifikasi dari Depdiknas, 2008).
Statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis
“Kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh
yang sudah lulus sertifikasi lebih baik dari pada mereka yang belum
lulus sertifikasi”. Pengujian dilakukan dengan uji-t (jika statistik sampel
berdistribusi normal dan homogen) pada taraf signifikansi 5% (Sudjana,
1999).
233
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
234
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
235
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
236
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
237
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
= 1
Walaupun kompetensi dalam bidang studi bukan tujuan utama
penelitian ini, tetapi hal ini merupakan salah satu indikator yang
diselidiki, yaitu tentang “Menunjukkan penguasaan materi
pembelajaran” dari kompetensi “Pelaksanakan Pembelajaran”. Dampak
negatif dari kesalahan tersebut tentu sangat besar, antara lain dari segi
psikologis, akan membuat kebingungan siswa dalam mempelajari
matematika. Dampak lain adalah, kompetensi lulusan tidak akan
maksimal.
238
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240
DAFTAR PUSTAKA
239
Budiman,
Kompetensi ProfesionalGuru Matematika
240
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF
oleh
H. Aliamin
Dosen FE Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
Jen Surya
Dosen FE Unmuha, Banda Aceh
ABSTRACT
PENDAHULUAN
241
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256
242
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF
LANDASAN KEPUSTAKAAN
Earnings
Earnings dihasilkan oleh proses akuntansi dan disajikan dalam
laporan laba rugi. Generally accepted accounting principle (GAAP)
menyatakan bahwa pengakuan pendapatan terjadi pada saat transfer of
title, tanpa memperdulikan apakah perusahaan sudah atau belum
menerima pembayaran tunai (accrual basis). Biaya yang berkaitan
langsung dengan pendapatan akan diakui pada periode yang sama
dengan pengakuan pendapatan. Biaya lain yang tidak berkaitan
langsung dengan pendapatan akan diakui pada periode terjadinya.
243
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256
244
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF
Penelitian Terdahulu
Manfaat laporan arus kas telah dibuktikan oleh beberapa peneliti,
salah satunya Bowen et al. (1986). Penelitian-penelitian kandungan
informasi laba telah menunjukkan hasil yang relatif konsisten, namun
penelitian kandungan informasi arus kas masih menunjukkan hasil yang
belum konklusif (Ali, 1994). Beberapa peneliti melakukan pengujian
untuk membandingkan manfaat informasi laba dan arus kas. Lee (1974)
dalam Hodgson et al. (2000) menyatakan bahwa kebutuhan
informasi investor dapat dipenuhi oleh arus kas, bukan laba akuntansi
245
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256
246
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF
247
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256
248
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF
Pengembangan Hipotesis
Laba aktual didasarkan pada dua prinsip akuntansi, yakni
pengakuan pendapatan dan prinsip penandingan. Prinsip pengakuan
pendapatan meminta perusahaan untuk mengakui pendapatan ketika
telah melaksanakan semua atau satu bagian substansial dari jasa-jasa
yang harus diberikan dan penerimaan kas dari transaksi tersebut adalah
pasti. Prinsip penandingan meminta perusahaan untuk mengakui semua
biaya yang terkait dengan pendapatan dalam periode yang
sama di mana pendapatan diakui. Karena proses aktual dianggap
mengurangi masalah waktu dan masalah penandingan yang melekat di
arus kas, maka diyakini bahwa laba lebih tepat menggambarkan kinerja
249
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256
250
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF
METODE PENELITIAN
Pengukuran Variabel
a. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah arus kas dari
aktivitas operasi perusahaan periode setelah tahun amatan. Arus kas dari
aktivitas operasi ini merupakan ikhtisar penerimaan dan pembayaran kas
yang menyangkut operasi perusahaan. Jumlah arus kas yang berasal
dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukan
apakah dari operasinya perusahaan dapat menghasilkan arus kas
yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan
251
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256
b. Variabel Independen
Variabel independen yang digunakan adalah arus kas operasi
tahun berjalan dan laba bersih sebelum pos-pos luar biasa tahun
berjalan. Semua variabel akan dibagi dengan total aset dari
perusahaan terkait pada periode amatan.
Keterangan :
CFOit+1 = arus kas operasi perusahaan i pada tahun t+1
α0 = koefisien konstanta
et = variabel gangguan
252
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF
253
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256
hitung 1,189 untuk laba sebelum pos-pos luar biasa dan nilai t ini tidak
signifikan secara statistik karena probabilitas signifikansi untuk laba ini
jauh di atas 0,05. Untuk variabel arus kas operasi tahun berjalan
diperoleh t hitung 4,019 dan nilai ini signifikan secara statistik pada
alfa 0,05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis
alternatif kedua ditolak, yang artinya earnings tidak memiliki
kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan arus kas operasi tahun
berjalan dalam memprediksi arus kas operasi masa depan untuk
kelompok perusahaan yang berlaba negatif.
DAFTAR PUSTAKA
254
Alimin dan Surya,
Ability Prediction of Earning and Current OCF
255
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256
256
Mahdi,
The Functions of Fund Raising
by
Sayed Mahdi
Lecturer Faculty of Economics, Syiah Kuala University, Banda Aceh
ABSTRACT
INTRODUCTION
The intentional Plan for the U.S. Department of Education for
fiscal years 2007-12 has three goals, with the third specific to higher
education. That goal is to, “Ensure the accessibility, affordability, and
accountability of higher education, and better prepare students and
adults for employment and future learning” (p.4). The underlying main
denominator to pursue this goal is money, and how and where the
money comes from, is a major driver when creating strategic plans in
higher education.
University endowments enjoyed remarkable returns in the
1990’s. Economist Donald Frey (2002) revealed that the decade of the
1990s “returned an average 12.9% annual rate with an average inflation
rate of only 2.9%” (p.109). Additionally, alumni gifts accounted for
258
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274
259
Mahdi,
The Functions of Fund Raising
Planning
Peterson (1997) explains that contextual planning is,
not seen as unrelated to or inconsistent with effective
long-range or strategic planning approaches. It is seen as
an extension to our understanding of planning
necessitated by and related to the changing nature of our
institutional environment and our system of industry.
(Peterson, 1997, p.60)
260
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274
Harvard University
It is not surprising that collegiate fund raising began at Harvard
University in 1640 with the college’s first president, Henry Dunster
(Cook& Lasher, 1996). Today, Harvard boasts an unprecedented
endowment of $34 billion (Chronicle of Higher Education Facts &
Figures, 2008). This achievement did not come without its tolls.
Harvard may boast financial strength and can look to the future without
the same monetary concerns that smaller and less financially stable
universities have. However, a reason cited for a leave of absence by
past Harvard President Neil Rudenstine in 1994 was stress from fund
raising (Cook, 1997).
With its massive endowment and a long history of prestige,
Harvard University may appear to have endless opportunities to
continue its success. In a speech to the strategic plan steering
committee, Harvard President Faust charged the strategic planning
steering committee “to guide a planning initiative that will lead to the
transformation of certain physical spaces in Cambridge so that they
support and enhance our sense of engagement and community”
(“Harvard University Speeches and Publications,” 2008). The
transformation on campus that President Faust is charging the strategic
planning steering committee with will financially be significant. The
Strategic Planning Committee must determine if existing monies are
available for this initiative, or if a fund raising campaign is necessary to
complete the task.
The Chronicle of Higher Education reported in December 2007
that Harvard planned to “raise its spending on student aid to $120
million from $98 million annually” (Hoover, p.4). According to
Harvard’s web site, the university has a needs based policy for financial
aid and that approximately 70% of enrolled students receive some type
of financial aid (“Harvard University Admissions,” 2008). Additionally,
261
Mahdi,
The Functions of Fund Raising
families with earnings under $60,000 per year are not responsible for
contributing to their child’s tuition costs at Harvard. Moreover, the
Harvard Strategic Advisory Group on Education (SAGE) placed the
issue of student debt reduction for medical school students as one of
their primary strategic directions. This strategic priority will be met by a
$3 million increase in scholarships to Harvard Medical School students;
an increase of 40% over the current funding levels (“Harvard Medicine
Strategic Planning”, 2008). This is another example of how fund raising
and the need for scholarships at Harvard University help to drive
strategic priorities.
262
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274
Virginia Tech
Virginia Tech is a public land grant university with an
enrollment of over 25,000. The 2006-12 strategic plan for Virginia Tech
is titled “Invent the Future: Quality, Innovation, Results.” Virginia
Tech’s plan includes three scholarship domains: learning, discovery, and
engagement, and three foundation strategies: development of the
organization, investment in the campus infrastructure, and effective
resource development, allocation and management (“Virginia
Polytechnic Institute and State University web site”, strategic plan,
263
Mahdi,
The Functions of Fund Raising
2008). Each foundation strategy includes action steps for achieving the
goals. Examples of strategic goals that will require fund raising
strategies are:
a. Enhance health, safety, and security operations
b. Increase funding from private and other sources
c. Maintain competitive tuition and fee package
d. Practice effective debt management
e. Utilize strategies to aggressively grow the endowment
f. Utilize alternative fund sources
g. Work with governor, legislators, General Assembly staff, and
SCHEV to increase state runding
(http://www.president.vt.edu/strategicplan/.).
Each of the above goals will require thoughtful and substantive fund
raising efforts to achieve. The goal to “practice effective debt
management” can be achieved when costs are offset by major gifts that
are designated to create or enhance campus buildings; the goal to
“maintain competitive tuition and fee package” can be achieved when
more scholarships are available, and finally, the goal of aggressively
growing the endowment helps to support the university in perpetuity.
The need for fund raising is evident throughout Virginia Tech’s
strategic plan. In fact, Virginia Tech created a roadmap to accompany
the strategic plan that shows how the strategies from the plan are linked
to financial planning and outcomes. This flowchart connects each of the
strategic initiatives to a six year financial plan cycle. The plan informs
the annual budget process and outlines each initiative in a way that is
linked back to the resource decisions. Each annual initiative will either
“accelerate or decelerate planned initiatives to match available resources
– dollars, space, or other infrastructure.” Additionally, each decision
must “accomplish internal reallocations to support strategic plan goals”
(“Virginia Polytechnic Institute and State University web site”, strategic
plan roadmap, 2008). The Virginia Tech roadmap is an excellent way to
illustrate the importance of budget allocations and resources necessary
within a strategic plan.
264
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274
Changes that have resulted from this strategic goal have included
the addition of leadership development programs (Office of Cross
Cultural and Leadership Development), an enhanced Student Union with
study rooms, entertainment centers, eateries, living and learning
communities in residence halls and a First Year Experience program
(“University of Pittsburgh”, Office of Student Life, 2008). New
programs and facility are outcomes of the strategic plan and support
Schmidtlein and Milton’s (1988) belief that a crucial focus of strategic
planning is “on enhancing institutional adaptation to the external
environment” (p.109).
The University of Pittsburgh of Pittsburgh is a large, complex
system with a structure that may be defined as loosely coupled, meaning
that what affects one part of the University does not necessarily affect
another. According to Peterson (1997), a loosely coupled organization
must maintain flexibility to compete in changing environments (p.65).
265
Mahdi,
The Functions of Fund Raising
Perhaps this is one reason why different parts of the university, ranging
from student affairs to the individual schools and colleges, maintain
separate strategic plans and have distinct fund raising goals apart from
that of the University as a whole.
266
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274
Capital Campaigns
Harvard is the epitome of financial stability in higher education
and is used here only as an example of extreme success. According to
Breneman (1994), most universities did not begin aggressively fund-
raising until the 1980s. Research conducted by Cook (1997) revealed
that “9% of the public and 37% of the private institutions initiated
campaigns between 1974 and 1979” (p.59). According to the Chronicle
of Higher Education in 2007 there were 28 universities across the
country in the midst of a capital campaign with a goal of raising $1
billion or more (Strout, 2007). What role does capital campaigns play in
strategic planning? Capital campaigns allow institutions to remain
competitive by raising large funds designated for future endeavors such
as new buildings, endowed chairs, scholarships, and athletic facilities to
name a few. Planning for new facilities is typically the result of a
strategic plan, and the funding is often included in a capital campaign
allocation.
Over 40 years ago, Yale launched what at the time was the
largest fund-raising campaign with a goal of $388 million. Instead of
offering a time period for reaching this incredible goal, Yale decided to
make their aggressive fund raising efforts permanent (Samuelson, 1967).
This ideology has extended to fund raising practices nationwide – a
never ending continuum of aggressive efforts to build billion dollar
endowments.
Capital campaigns allow universities to not only enlarge and
enhance campus buildings, but also enhance academic programs by
providing supplementary funding for additional faculty, creating state-
of-the-art laboratories and providing the newest technology, and
endowing chairs ensuring support in perpetuity for the program.
267
Mahdi,
The Functions of Fund Raising
268
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274
269
Mahdi,
The Functions of Fund Raising
270
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274
chair is not only to serve as a leader for the campaign, but to assist in
fund raising efforts and to make what is called a “leadership gift”,
known also as the first large gift that “kicks off” a capital campaign.
The communication imperative is also important in fund raising.
The University is responsible for reporting all financials and sharing
such information with its stakeholders – students, parents, government,
faculty and staff, and the community. Communicating how donations
are used and where the funds are allocated is important for reputation
and accountability.
Finally, fund raising should always be involved in assessment. It
is important to evaluate the entire fund raising process – beginning with
the feasibility study, to the prospect research stage, to the donor “ask”,
and through to procurement and production. This information is vital
for many reasons. One very important rationale is donors cannot be
treated as mere sources of income and should not constantly be solicited
for funds by various components of the university. Gift officers need to
work together to coordinate solicitations. It is also important to assess
how the funds were used and if the best return is produced.
Different approaches will be used in different institutions;
however, fund raising will remain a constant in each approach and
should remain on the forefront of every plan and through the
implementation.
Conclusion
It cannot be argued that fund raising isn’t one of the most
important actions and drivers of a strategic plan. Without fund raising
efforts a university would be hard pressed to survive in today’s
environment. Strategic Planners must consider the availability of funds
when deciding upon new campus buildings, providing financial support
for students, recruiting and retaining faculty, and creating financial
stability for the future of the university through endowments.
University Advancement staff should be an active part of
strategic planning process so they can best assist in the strategic
directions dictated by the plan. New sources for support must constantly
be researched and pursued in order to compete aggressively in the field.
The current financial crisis will dramatically impact the landscape of
fund raising but it cannot be a deterrent to providing the much needed
support to provide quality higher education to the public. Strategic
plans will have to accommodate for these new challenges, but it cannot
settle for mediocrity. Large campaigns with equally large goals will
271
Mahdi,
The Functions of Fund Raising
REFERENCES
272
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274
273
Mahdi,
The Functions of Fund Raising
274
Razali,
Tahapan Belajar Motorik
oleh
Razali
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Belajar motorik merupakan bagian dari belajar secara umum. Tujuan dari
belajar motorik adalah untuk menguasai berbagai keterampilan motorik dan
mengembangkan agar keterampilan yang dikuasai dapat dilakukan untuk
menyelesaikan tugas-tugas gerak dalam rangka mencapai sasaran tertentu. Misalnya,
dalam belajar suatu keterampilan, si pelaku harus berusaha untuk menguasai
keterampilan motorik tersebut sesuai dengan cabang olahraga yang dipelajari, dan
kemudian memanfaatkannya agar keterampilan motorik tersebut bisa diterapkan
dalam bermain atau bertanding.
Di dalam berusaha me1nguasai keterampilan motorik diperlukan suatu proses
belajar, yaitu proses belajar motorik. Proses belajar motorik pada hakikatnya berbeda
dengan proses belajar kognitif dan proses belajar afektif. Perbedaan tersebut terletak
pada aspek dominan keterlibatannya di dalam proses belajar itu sendiri. Belajar
motorik adalah belajar yang lebih menekankan pada aktivitas gerak tubuh, belajar
kognitif adalah belajar yang lebih menekankan pada aktivitas berpikir, dan belajar
afektif adalah belajar yang lebih menekankan pada aktivitas emosi dan perasaan.
Terdapat tiga tahapan dalam belajar motorik, yaitu: (1) tahap kognitif, (2)
tahap asosiatif, dan (3) tahap otonom. Pada tahapan kognitif, guru mempunyai tugas
yang sangat berat yaitu memperkenalkan kepada peserta didik sesuatu hal yang baru
dan berusaha untuk mengendalikan proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat
menguasai hal-hal yang baru dalam batas tertentu. Pada tahap asosiatif, guru
memiliki tugas untuk menambah dan memperhalus keterampilan motorik peserta
didik. Sedangkan pada tahap otonom, guru berusaha menstabilkan kemampuan-
kemampuan motorik yang telah didapat oleh peserta didik serta mengembangkan
kempuan tersebut dalam berbagai situasi yang bervariasi
1
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288
2
Razali,
Tahapan Belajar Motorik
berasal dari dalam diri individu maupun dari luar. Hasil akhir yang diharapkan adalah
kemampuan merespon yang diaktualisasikan dalam bentuk gerakan yang benar atau
terampil. Seseorang dikatakan terampil apabila telah menguasai faktor-faktor internal
dari suatu keterampilan dan dapat dilakukan secara teratur dan tepat waktu. Ketika
seorang anak mempelajari suatu keterampilan gerak, perubahan nyata yang terjadi
adalah meningkatnya mutu keterampilan. Hal tersebut dapat diukur dengan beberapa
cara, misalnya dengan menetapkan kriteria dan kemudian melihat skor yang
dihasilkan, sehingga keberhasilan melakukan gerakan yang semula belum dikuasai
dapat diketahui. Dapat juga dikatakan bahwa seseorang telah berhasil dalam belajar
motorik apabila orang tersebut telah memperlihatkan suatu perubahan tingkah laku
gerak yang lebih baik dibanding dengan sebelumnya.
Ketiga, kemampuan atau perubahan yang dihasilkan bersifat relatif permanen.
Pada dasarnya manusia menyimpan informasi pengalaman gerak masa lampau dalam
ingatannya. Simpanan elemen-elemen gerak serta kaitannya antara satu gerak dengan
gerak lainnya disebut dengan skema gerak (movement scheme). Teori skema gerak
menjelaskan bahwa program gerak yang disimpan dalam ingatan bukanlah rekaman
khusus gerakan yang harus dilaksanakan, melainkan seperangkat skema umum yang
dapat mengarahkan kinerja (performance). Tujuan belajar motorik selain untuk
menguasai suatu keterampilan juga agar keterampilan yang telah dikuasai dapat
melekat pada dirinya. Perlu diingat bahwa manusia memiliki kemampuan yang
terbatas, baik dari segi fisik, psikologis maupun sosiologis sehingga seseorang tidak
akan dapat menguasai suatu keterampilan motorik selamanya. Menguasai suatu
keterampilan motorik dalam waktu tertentu berarti seseorang yang harus mampu
mengingat proses gerakan yang dilakukan serta secara fisik mampu dilakukan. Teori
tentang lupa (Theories of retention and forgetting) menjalaskan bahwa kemampuan
manusia untuk mengingat sangat terbatas dan semakin lama semakin berkurang
bahkan bisa hilang atau lupa sama sekali (Singer, 1980).
Keempat, kemampuan gerak sebagai akibat dari latihan dan pengalaman.
Keterampilan gerak yang dikuasai bukan karena pengaruh perkembangan,
pertumbuhan ataupun kematangan, melainkan keterampilan tersebut dipelajari melalui
suatu proses. Belajar motorik adalah suatu proses bukan hasil, proses bisa berupa
latihan yang dikondisikan maupun tidak, dan pengalaman masa lalu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Rahantoknam (1988: 22) yang menyatakan bahwa hasil belajar
diperoleh dari kondisi latihan atau pengalaman, bukan karena proses kematangan dan
fluktuasi fisiologis.
Kelima, perubahan bisa ke arah negatif. Pada hakikatnya seseorang yang
mempelajari keterampilan motorik ingin meningkatkan keterampilannya atau
mempertahankan keterampilan yang telah dikuasainya, namun hasil belajar tidak
selalu mengarah ke perbaikan. Singer (1980:33) menjelaskan bahwa hasil belajar
keterampilan motorik mengikuti empat bentuk kurva belajar seperti gambar berikut
ini.
Hasil Belajar
Bentuk kurva belajar gerak
Keterangan:
A=A B negatif
Kurva peningkatan C D
B = Kurva linear
Percobaan
3
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288
C = Kurva berbentuk S
D = Kurva peningkatan positif
Input = Input
Pengolahan
Informasi
4
Pengolahan Pembanding
Informasi
Kesalahan
Razali,
Tahapan Belajar Motorik
5
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288
kognitif (cognitive stage), tahap asosiatif (associative stage), dan tahap otonom
(autonomous stage).
1) Tahap Kognitif
Tahap kognitif merupakan fase awal dalam belajar keterampilan gerak. Pada
tahap ini si pelaku mulai berpikir tentang cara melakukan gerakan suatu keterampilan
(pembentukan motor plan). Si pelaku lebih banyak memikirkan gerakan mana yang
harus dilakukan daripada berpikir tentang bagaimana cara melakukannya. Oleh karena
itu, penyampaian informasi tentang tugas yang dipelajari harus jelas. Instruksi,
demontrasi, dan informasi lisan lainnya yang jelas akan sangat bermanfaat bagi siswa
dalam melakukan aktivitas.
Alat analisis yang sangat dominan dalam penerimaan informasi adalah mata.
Oleh karena itu, dalam memberikan informasi tentang apa dan bagaimana gerakan
yang akan dilakukan sebaiknya diiringi dengan contoh melalui demontrasi gerakan
sehingga lebih konkret. Selain itu, keterlibatan pikiran masih cukup besar sehingga
menuntut banyak perhatian. Untuk itu, guru harus menghindari pemberian informasi
yang terlalu banyak dan secara bersamaan.
Informasi yang ditangkap oleh indera kemudian diproses dalam mekanisme
perseptual. Mekanisme perseptual berfungsi untuk menangkap makna informasi. Dari
fungsi ini pelaku dapat memperoleh gambaran tentang gerakan yang dipelajari.
Belajar motorik pada tahap ini adalah penguasaan keterampilan motorik dalam
bentuk kasar. Seseorang yang berada pada tahap ini hanya mampu melakukan gerakan
gerakan-gerakan yang dituntut apabila situasi dan kondisi sangat mendukung (Kiram,
1992:69). Misalnya, seorang yang belajar menangkap bola dalam permainan bola
basket, si pelaku hanya dapat melakukan teknik menangkap bola dengan benar
apabila bola yang diberikan secara perlahan-lahan serta tepat pada posisinya.
Dengan demikian, situasi dan kondisi yang mendukung tersebut harus
dibangun dan dipertahankan sedemikian rupa sampai suatu teknik atau keterampilan
yang dipelajari dapat dikuasai. Apabila kondisi tersebut di atas tidak dibangun dan
dipertahankan sedemikian rupa, individu yang belajar pada tahap ini akan kembali
mengalami kesulitan dalam mempelajari bentuk keterampilan yang diajarkan.
Jika dilihat dari segi koordinasi gerakan, individu yang belajar pada tahap ini
baru mampu memperlihatkan struktur dasar gerakan dalam bentuk yang kasar.
Misalnya, dalam melakukan gerakan lay up, bagian-bagian strukturnya belum benar
sehingga pelaksanaan gerakan secara keseluruhan terlihat belum lancar. Misalnya,
langkah ketiga dalam gerakan lay up belum dapat dilakukan secara lancar, sering
terhenti pada langkah kedua, sehingga gerakan tiga langkah tersebut kadang-kadang
menjadi empat langkah. Selain itu, penempatan kaki juga masih sering keliru,
maksudnya kaki manakah yang lebih baik untuk menolak pada saat shooting pada
langkah ketiga. Demikian juga dengan panjang langkah yang sering kurang tepat
sebagai akibat dari keragu-raguan.
Berikutnya, jika dilihat dari segi irama gerakan, individu yang belajar gerak
pada tahap ini masih belum sempurna, bahkan kadang-kadang terlihat tidak
beraturan. Hal demikian dapat mengakibatkan individu cepat lelah karena irama
gerakan tidak terkoordinasi dengan baik.
Kesalahan-kesalahan seperti dikemukakan di atas adalah wajar karena
individu yang berada pada tahap ini belum memiliki pengalaman motorik untuk itu.
Akibatnya, pelaksanaan gerakan sering dilakukan dengan penuh ragu-ragu.
2) Tahap Asosiatif
6
Razali,
Tahapan Belajar Motorik
Tahap selanjutnya dalam belajar motorik adalah tahap asosiatif atau disebut
juga dengan tahap menengah. Pada tahap ini sudah terjadi peningkatan penguasaan
koordinasi gerakan secara halus, dalam arti kualitas gerakan yang dilakukan sudah
meningkat apabila dibandingkan dengan tahap kognitif.
Selanjutnya, efisiensi gerakan juga sudah mulai meningkat sehingga
pengeluaran energi semakin berkurang. Kesalahan gerakan semakin jarang terjadi dan
bahkan apabila situasi dan kondisi tempat pelaksanaan gerakan sama dengan situasi
dan kondisi pada tahap pertama, tugas gerakan yang dituntut dapat dilakukan dengan
mudah.
Pada tahap ini masalah-masalah yang menyangkut dengan pemahaman telah
terpecahkan. Fokus sekarang telah berpindah pada pengorganisasian pola gerakan
yang lebih efektif agar dapat menghasilkan gerakan yang lebih baik. Oleh karena itu,
tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap pendalaman terhadap materi yang diajarkan.
Hal ini berarti bahwa pada tahap ini dituntut aktivitas belajar yang tinggi. Sebagai
konsekuensinya, perlu perhatian yang penuh dari guru baik kepada peserta didik
maupun kepada proses pembelajaran itu sendiri.
Jika dilihat dari segi koordinasi gerakan, individu yang belajar pada tahap ini
sudah mampu melakukan koordinasi gerakan secara halus dengan penuh kepastian
walaupun belum konsisten. Demikian pula, jika dilihat dari segi irama gerakan, pada
tahap ini telah terjadi perbaikan-perbaikan yang cukup berarti. Irama gerakan yang
kaku dan tersendat seperti pada tahap kognitif sudah tidak terlihat lagi. Perbaikan
irama gerakan merupakan salah pengaruh dari semakin meningkatnya peran dan
fungsi alat penerimaan informasi kinestetik.
Kemajuan lain yang dicapai pada tahap ini adalah semakin meningkatnya
kecepatan individu dalam mengkonstruksi gerakan-gerakan yang akan dilakukan.
Peningkatan tersebut tidak hanya terjadi pada peningkatan kecepatan dalam
mengkonstruksi gerakan, tetapi juga pada semakin lengkapnya kontruksi gerakan
yang dapat dibangun. Hal ini disebabkan oleh adanya bantuan yang diperoleh dari
simpanan motorik yang telah dimilikinya.
Pemeliharaan dan peningkatan motivasi belajar peserta didik perlu mendapat
perhatian guru. Pada tahap ini terjadi suatu fase yang disebut dengan keadaan
stagnasi, yang merupakan suatu fase yang memperlihatkan bahwa peserta didik
mengalami kemajuan yang lambat dan bahkan kadang-kadang tidak memperlihatkan
kemajuan belajar sama sekali.
Ciri lain pada tahap ini adalah semakin meningkatnya peran dan fungsi alat
penerima informasi kinestetik atau penerimaan informasi melalui otot. Untuk itu,
pemberian bantuan dalam pelaksanaan gerakan serta koreksi-koreksi terhadap
kesalahan gerakan sudah dapat dilayani melalui alat penerimaan informasi kinestetik,
misalnya memberikan bantuan atau koreksi gerakan dengan memegang bagian-bagian
yang dikoreksi. Pemberian bantuan atau koreksi gerakan melalui alat penerima
informasi kinestetik dapat membantu peserta didik dalam meningkatkan peran
kinestetik untuk perbaikan perasaan gerakan.
3) Tahap Otonom
Tahap otonom adalah tahap terakhir dari belajar motorik. Rink (2002:25)
menyebutkan tahap ini sebagai tahap otomatis (automatic stage). Tahap ini baru
terjadi setelah si pelaku belajar berulang-ulang. Karena kemampuan otonom
merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam penguasaan keterampilan motorik
olahraga.
Tahap otonom diberi nama demikian karena pada saat melakukan gerakan
7
Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288
tidak ada lagi pengaruh dari kegiatan lain yang terjadi secara simultan. Beberapa ahli
menilai gejala seperti ini dapat terjadi karena adanya program gerak yang telah
terbentuk. Program gerak adalah suatu rangkaian mekanisme yang dapat mengontrol
terbentuknya gerak. Program gerak inilah yang mengontrol aksi seseorang pada saat
bergerak dalam waktu yang relatif lama.
Dalam tahap otonom, seorang individu yang ingin melaksanakan serangkaian
gerakan atau tindakan motorik tidak lagi melaluinya lewat proses penyusunan
program gerakan. Program gerakan itu sendiri sudah siap pada pusat ingatan motorik.
Apabila stimulus yang datang sesuai dengan program gerakan yang telah tersimpan
sebagai ingatan motorik, individu tersebut hanya tinggal merealisasikannya.
Contohnya dapat dilihat dalam gerakan kaki dan ayunan tangan pada saat seseorang
berjalan. Yang terlihat adalah orang tersebut seolah-olah tidak memikirkan lagi kaki
mana yang harus melangkah terlebih dahulu dan tangan mana yang harus
mengiringinya. Gerakan tersebut terjadi dengan demikian serasi dan harmonis.
Demikian pula dalam cabang olahraga bola basket, keterampilan lay up
shooting yang diperagakan oleh pemain kelas dunia seolah-olah memperlihatkan
bahwa gerakan yang mereka lakukan merupakan gerakan refleks. Sebenarnya gerakan
tersebut bukan gerakan refleks, melainkan gerakan-gerakan yang telah mencapai
tingkat otomatisasi. Mengingat sulitnya mengubah bentuk gerakan yang salah setelah
gerakan menjadi otomatis, sejak awal individu sudah harus diarahkan melakukan
gerakan-gerakan yang benar secara teknis dan mekanis agar setelah mencapai tahap
otomatisasi, gerakannya benar-benar efisien. Perlu diingat bahwa gerakan yang
otomatis tidak sama dengan gerakan yang efisien. Gerakan yang otomatis belum tentu
efisien. Gerakan yang salah secara mekanis pun dapat menjadi otomatis apabila terus
dilakukan berulang-ulang. Hanya gerakan yang benar dan dilakukan secara ototmatis
baru dapat menjadi gerakan yang efisien.
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah setiap orang yang melakukan latihan
akan memasuki tahap otomatisasi? Jawabannya adalah tidak selalu. Terbentuknya
kemampuan otomatisasi hanya mungkin bila individu yang bersangkutan benar-benar
telah menjiwai dan memiliki bermacam-macam bentuk gerakan dalam suatu cabang
olahraga.
KESIMPULAN
Belajar motorik adalah: (1) suatu proses bukan hasil, belajar motorik terjadi
karena adanya informasi yang masuk kemudian diolah dan diaktualisasikan dalam
bentuk gerak, (2) hasil belajar merupakan kemampuan merespons yang
diaktualisasikan dalam bentuk gerak, (3) kemampuan atau perubahan yang
dihasilkan bersifat relatif permanen, (4) kemampuan gerak sebagai akibat dari
latihan dan pengalaman. Keterampilan gerak yang dikuasai bukan karena pengaruh
perkembangan, pertumbuhan ataupun kematangan, melainkan keterampilan tersebut
dipelajari melalui suatu proses, dan (5) perubahan sebagai hasil belajar dapat ke arah
negatif.
Terdapat tiga tahapan belajar motorik, yaitu: (1) tahap kognitif (cognitive
stage), adalah tahap awal dalam belajar keterampilan gerak. Pada tahap ini si pelaku
mulai berpikir tentang cara melakukan gerakan suatu keterampilan pembentukan
8
Razali,
Tahapan Belajar Motorik
(motor plan). Belajar motorik pada tahap ini adalah penguasaan keterampilan motorik
dalam bentuk kasar, (2) tahap asosiatif (associative stage) adalah tahap kedua dari
belajar motorik. Pada tahap ini sudah terjadi peningkatan penguasaan koordinasi
gerakan secara halus, dalam arti kualitas gerakan yang dilakukan sudah meningkat
apabila dibandingkan dengan tahap kognitif, dan (3) tahap otonom adalah tahap
terakhir dari belajar motorik. Tahap ini baru terjadi setelah si pelaku belajar
berulang-ulang. Karena kemampuan otonom merupakan tingkat kemampuan tertinggi
dalam penguasaan keterampilanmotorik olahraga.
DAFTAR PUSTAKA
Bompa, O. Tudor. Power Training for Sport, Plyometrics for Maximum, Power
Development. Canada: York University, 1994
Burton, Allen W. and Daryl E. Miller. Movement Skill Assessment. USA: Human
Kinetics, 1998
Drowatzky, John N. Motor Learning Principles and Practice. Minneapolis,
Minnesota: Burgess Publishing Company, 1981
Good, Thomas L. and Jere E. Brophy. Educational Psychology, A Realistic
Approch. New York and London: Longman, 1990
Kehoe, Thomas David. Motor Learning Theory. 1997 (http://www.casafutura-
tech.com/ Book/Sciebce/motor.html)
Kiram, Yanuar. Belajar Motorik. Jakarta: Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan
Ditjen Dikti Depdikbud, 1992.
Rahantoknam, B Edward. Belajar Motorik Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti
Depdikbud, 1988.
Schimidt, Richard A. Motor Learning and Performance from Principles to Practice.
Illionis: Human Kineticks Publishers Inc., 1991
Siedentop, Daryl. Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. Mountain
View, California: Mayfield Publishing Company, 1994.
Singer, Robert N. Motor Learning and Human Performance an Aplication to Motor
Skills and Movement Behaviors. New York: MaCmillan Publishing Co.
Inc., 1980.
Sugiyanto, dkk. Perkembangan dan Belajar Motorik. Jakarta: Depdikbud, 1998.