Professional Documents
Culture Documents
DAFTAR ISI
oleh
Razali
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Kuala, Banda Aceh
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat
kemampuan kemampuan motorik antara kelompok siswi yang diajarkan
dengan metode pembelajaran keseluruhan dan metode pembelajaran
bagian. Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
perbedaan tingkat kemampuan motorik antara kelompok siswi yang
diajarkan dengan permainan awo dan permainan auh-auh. Penelitian
ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 1 Kecamatan Peudada,
Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Metode penelitian adalah
eksperimen dengan rancangan desain faktorial 2 x 2. Jumlah sampel
penelitian sebanyak 40 orang yang diambil secara random, yang
terbagi dalam empat kelompok, setiap kelompok terdiri 10 orang siswa.
Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis Variansi
(ANAVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf signifikansi α =
0,05. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) secara
keseluruhan tidak terdapat perbedaan pengaruh tingkat kemampuan
motorik antara kelompok siswi yang diajarkan dengan metode
pembelajaran keseluruhan dan metode pembelajaran bagian, (2)
terdapat perbedaan pengaruh tingkat kemampuan motorik yang
signifikan antara antara kelompok siswi yang diajarkan dengan
permainan awo dan permainan auh-auh, tingkat kemampuan motorik
kelompok siswi yang diajar dengan permainan awo lebih tinggi
dibandingkan yang dengan permainan auh-auh, dan (3) terdapat
pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dengan jenis
permainan terhadap tingkat kemampuan motorik. Permainan awo
lebih efektif diajarkan dengan metode pembelajaran bagian, sedangkan
permainan auh-auh lebih efektif diajarkan dengan metode keseluruhan.
1
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12
PENDAHULUAN
Setiap bangsa memiliki corak kebudayaan yang khas.
Demikian pula bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa,
memiliki bermacam-macam corak kebudayaan yang khas di setiap
daerah. Dari sekian banyak corak kebudayaan yang khas, terdapatlah
kebudayaan yang berasal dari Propinsi Aceh. Salah satu bentuk
kebudayaan tersebut adalah permainan rakyat.
Permainan rakyat yang terdapat di daerah Aceh merupakan
khasanah budaya yang telah ada dan diterima dari generasi
sebelumnya. Permainan rakyat ini dapat dijadikan salah satu sarana
untuk sosialisasi antar anggota masyarakat. Oleh karena itu, permainan
rakyat mempunyai arti dan kedudukan tersendiri dalam masyarakat
Aceh.
Permainan rakyat sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional
dapat memberikan andil dalam memupuk dan mengembangkan
kebudayaan nasional di kalangan generasi penerus. Oleh karena itu,
perlu digali kembali dan dikembangkan agar tidak punah. Untuk
menjaga kelestarian permainan rakyat yang ada di Provinsi Aceh,
perlu diadakan penelitian tentang permainan rakyat Aceh karena: (1) di
antara beberapa jenis permainan di daerah Aceh perkembangan telah
agak merosot dan bahkan hampir punah dan (2) sangat bermanfaat
sebagai bahan perbandingan dengan jenis permainan rakyat yang
terdapat di daerah lain.
Di daerah Aceh terdapat beberapa bentuk permainan rakyat
yang dulu sering dimainkan oleh masyarakat, permainan tersebut
antara lain permainan awo, king-kingkingan, somsom bate, pet-pet, dan
auh-auh. Permainan awo dan permainan auh-auh merupakan jenis
permainan tradisional rakyat Aceh yang dapat digunakan sebagai
pilihan untuk dapat meningkatkan kebugaran jasmani dan kemampuan
motorik siswa, khususnya siswa sekolah dasar.
Dulu, permainan awo dan permainan auh-auh banyak di
mainkan anak-anak. Selain bentuknya menyenangkan berupa
permainan, tetapi juga banyak tantangan karena melibatkan dan
menuntut gerak fisik yang sangat variariatif seperti gerakan berlari,
memukul bola, berlari, menangkap bola, melempar bola atau melempar
sasaran, dan melompat. Keterampilan-keterampilan tersebut banyak
melibatkan otot-otot besar (gross motor activity). Ateng (1992:75)
menyatakan aktivitas yang dilakukan anak dengan melibatkan otot-otot
besar merupakan hal yang sangat penting untuk pertumbuhan yang baik
bagi anak-anak. Permainan awo dan permainan auh-auh adalah
2
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi
3
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12
PEMBAHASAN
Kemampuan Motorik
Kemampuan motorik merupakan salah satu faktor penting dalam
memanipulasi pola gerakan pada suatu objek dan sekaligus merupakan
fungsi dari pengalaman dan kematangan (Rink, 1993: 118).
Kemampuan motorik dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang
berhubungan dengan penampilan dalam melakukan keterampilan gerak
(Wall and Murray, 1994: 20). Hal yang senada juga dikatakan bahwa
kemampuan motorik adalah kemampuan umum atau kapasitas seorang
individu berdasarkan penampilan dari keterampilan gerak yang
bervariasi. Kemampuan ini diasumsikan tidak begitu saja dapat
dimodifikasi melalui latihan atau pengalaman, dan relatif stabil
sepanjang hidup individu tersebut (Burton dan Miller, 1998: 366).
4
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi
Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran keseluruhan mengacu kepada teori
Gestalt. Para ahli teori Gestalt memandang bahwa belajar secara
keseluruhan merupakan hal yang penting. Kesalahan-kesalahan yang
terjadi diperbaiki dan dihaluskan melalui belajar bagian (Oxendine,
1984: 251).
Apabila prinsip psikologi Gestalt diaplikasikan dalam proses
belajar motorik, hal itu dapat dilakukan sebagai berikut: (1) aktivitas
suatu keterampilan olahraga dilakukan secara keseluruhan, bukan secara
terpisah-pisah atau bagian per bagian, (2) tugas utama guru atau pelatih
adalah memaksimalkan transfer dari latihan di antara kegiatan-kegiatan
yang dilakukan, (3) faktor insight sangat penting dalam memecahkan
masalah, dan (4) memahami hubungan antara bagian-bagian dengan
keseluruhan dalam memperagakan suatu ke-terampilan yang efektif
(Lutan, 1988: 137-138).
Salah satu faktor penting dari aplikasi prinsip psikologi Gestalt
dalam proses belajar motorik adalah faktor insight. Insight adalah
pemahaman yang diperoleh secara tiba-tiba dari hubungan antara
bagian-bagian tugas dalam gerakan dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam situasi keseluruhan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
menyatakan bahwa berpikir dan memecah-kan masalah merupakan
karakteristik yang tepat dari pengorganisasian substantif, restrukturisasi,
dan pemusatan perhatian yang memberikan insight dalam memecahkan
masalah (http://www. enabling. org/ia/gestalt/gerhards/ gtax1.htm1).
Secara umum, mengajar keterampilan lebih baik apabila
dilakukan secara keseluruhan. Karena dengan latihan secara
keseluruhan peserta dapat mengatur irama dan waktu (timing) (Rink,
2002: 33). Penggunaan metode keseluruhan menuntut individu untuk
melaksanakan tugas gerakan secara menyeluruh, tanpa melihat
komponen per bagian (Fuoss dan Troppmann, 1981: 252). Hal tersebut
senada dengan pendapat yang menyatakan bahwa belajar dengan meng-
gunakan pendekatan keseluruhan dimaksudkan agar individu melakukan
5
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12
6
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi
Permainan Rakyat
Permainan rakyat adalah permainan yang tumbuh dan
berkembang di daerah dan masyarakat tertentu yang berbentuk
permainan tradisonal. Salah satu permainan rakyat Aceh adalah
permainan Awo. Permainan awo dapat digolongkan ke dalam permainan
bola kecil. Cholik dan Lutan (1996:69) mengatakan bahwa permainan
kecil adalah jenis permainan yang tidak mempunyai peraturan yang
baku, baik fasilitas maupun aturan permainannya. Permainan tersebut
umumnya bersifat tradisional, ada yang menggunakan alat, ada juga
tanpa menggunakan alat.
Nama permainan awo didasarkan pada jenis bola yang
digunakan di dalam permainan yaitu boh (bola). Awo memiliki arti bola
yang terbuat dari daun kelapa atau daun iboh (sejenis palem) yang
berbentuk kubus (Depdikbud, 1980/1981:89). . Permainan awo
dimainkan oleh dua regu baik anak laki-laki maupun perempuan ataupun
campuran. Tidak ada suatu ketentuan tentang jumlah pemain setiap regu,
hal ini tergantung pada jumlah anak yang terkumpul dibagi menjadi dua
regu dengan kekuatan yang relatif seimbang agar permainan dapat
berjalan lebih menarik. Setiap regu dapat terdiri atas 4, 5, 6 orang atau
lebih. Cara bermain awo mirip dengan bermain kasti.
Perkataan auh-auh berasal dari bahasa Kleut Aceh Selatan yang
artinya bola terbuat dari daun kelapa. Empat helai daun kelapa dianyam
sedemikian rupa sehingga terciptalah sebuah bola yang bentuknya
seperti kubus. Permainan ini biasanya dimainkan pada waktu upacara
perkawinan, menjelang hari raya, dan pada waktu senggang pada saat
biasanya anak-anak berkumpul.
Permainan auh-auh dimainkan oleh anak perempuan dengan
jumlah pemain 10 orang. 9 orang bertugas menangkap bola dan satu
7
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12
8
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 1 Kecamatan
Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Metode penelitian adalah
eksperimen dengan rancangan desain faktorial 2 x 2. Jumlah sampel
penelitian sebanyak 40 orang yang diambil secara random, yang terbagi
dalam empat kelompok, setiap kelompok terdiri 10 orang siswa.
Pengukuran kemampuan motorik menggunakan tes kemampuan
motorik yang terdiri dari tes: lari cepat 30 meter, baring duduk, lompat
jauh tanpa awalan, melempar bola kasti, dan lari lintang silang.
Sebelum instrumen tersebut digunakan, terlebih dahulu di uji
kelayakannya baik reliabilitas maupun validitasnya. Teknik analisis
yang digunakan adalah Analisis Variansi (ANAVA) dan dilanjutkan
dengan uji Tukey pada taraf signifikansi à = 0,05.
Analisis data penelitian dilakukan sebagai berikut: (1) data
mentah yang diperoleh dari pengukuran kemampuan motorik terlebih
dahulu diubah menjadi skor standar (T-skor), (2) menguji persyarat-an
analisis, yaitu uji normalitas dengan menggunakan uji Liliefors dan uji
homogenitas dengan menggunakan uji Barlett (Sudjana, 1994: 261-264),
dan (3) untuk menguji hipotesis 1 dan 4 digunakan teknik Anava
dengan taraf signifikansi α = 0,05. Karena terdapat interaksi, maka
dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey (Ferguson dan
Takane, 1989: 335).
HASIL PENELITIAN
Pengujian Persyaratan Analisis
Pengujian persyaratan analisis meliputi uji normalitas dan
homogenitas. Uji normalitas menggunakan uji Liliffors pada taraf
signifikan = 0,05, diperoleh harga Lilifors hitung (Lo) untuk seluruh
kelompok perlakuan lebih kecil dari harga Lilifors tabel (Lt). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Adapun homogenitas menggunakan uji Barlett
pada taraf signifikan = 0,05, diperoleh harga χ 2 hitung sebesar
3,18 < χ 2 tabel sebesar 7,81, sehingga hipotesis nol diterima. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa populasi mempunyai varians yang
homogen.
9
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12
Pengujian Hipotesis
10
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi
PENUTUP
Pertama, tidak terdapat perbedaan pengaruh tingkat
kemampuan motorik antara kelompok siswi yang diajarkan dengan
metode pembelajaran keseluruhan dan metode pembelajaran bagian.
Kedua, terdapat perbedaan pengaruh tingkat kemampuan motorik yang
signifikan antara antara kelompok siswi yang diajarkan dengan
permainan awo dan permainan auh-auh, tingkat kemampuan motorik
kelompok siswi yang diajar dengan permainan awo lebih tinggi
dibandingkan yang dengan permainan auh-auh,
Ketiga, terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran
dengan jenis permainan terhadap tingkat kemampuan motorik. Hasil uji
lanjut menjukkan bahwa permainan awo lebih efektif diajarkan dengan
metode pembelajaran bagian, sedangkan permainan auh-auh lebih
efektif diajarkan dengan metode keseluruhan.
11
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12
DAFTAR PUSTAKA
12
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
oleh
Djufri
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
ABSTRACT
Acacia nilotica is a thorny wattle native species in India, Pakistan and
much of Africa. This Acacia is widely distributed in tropical and
subtropical Africa from Egypt and Mauritania to South Africa. The
invasion of A. nilotica has resulted in the reduction of savannah wide in
Baluran National Park reaching about 50%. Presure to the savannah
has a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem
in Baluran. Some efforts have been to fight against the wide-spreading
of invasion of A. nilotica for example eradication chemically use
Indamin 72 HC and 2,4 D Dinitropenol, but result is not effective. And
so it is with eradication in the mechanic use bulldozer appliance, and
cut away to burn, not yet given optimal result, proven invasion of A.
nilotica in this time not yet deductible, exactly growing wide. For the
reason, require to be looked for alternative is way of the other
eradication, so that the wide-spreading of preventable invasion A.
nilotica. Otherwise hence the possibility of big savannah exist in
National Park of Baluran metamorphose to become forest of A. nilotica.
PENDAHULUAN
Invasi adalah pergerakan satu atau lebih tumbuhan dari satu area
ke area lainnya dan pada akhirnya mereka menetap di tempat tersebut.
Proses ini berlangsung secara kompleks melalui peristiwa migrasi,
eksistensi, dan kompetisi sebagai tahapan penting dalam invasi, yang
seluruhnya terkait dengan waktu. Invasi umumnya terjadi di daerah yang
gundul, tetapi dapat juga terjadi di area yang ada tumbuhan. Invasi
merupakan bentuk permulaan suksesi yang pada akhirnya secara terus
menerus akan menghasilkan tahapan suksesi hingga terbentuk klimaks.
Biasanya invasi komunitas klimaks tidak efektif, kenyataannya invasi
biasanya terjadi pada area yang populasinya jarang, sehingga
menghasilkan tahapan perkembangan yang baru (Weaver & Frederic,
1978).
13
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
Invasi sangat efektif bila terjadi secara lokal, baik invasi semak
yang menyerang padang rumput atau pohon yang menutupi suatu
kawasan. Pada suatu komunitas umumnya dijumpai beberapa spesies
yang mempunyai kemampuan sebagai pionir. Invasi pada kawasan yang
jauh, jarang menghasilkan efek suksesional, karena spesies baru
perkembangannya berlawanan dengan spesies lokal (native species). Hal
ini sangat berbeda pada area yang baru di dekatnya. Invasi ke komunitas
yang baru dimulai dengan migrasi, lalu agresi, kompetisi, dan reaksi
(Weaver & Frederic, 1978).
Di Taman Nasional Baluran dijumpai beberapa spesies flora
eksotik, yang keberadaannya cukup mengganggu keutuhan ekosistem
asli kawasan tersebut. Salah satu spesies flora eksotik yang cukup
mengganggu keseimbangan ekosistem Baluran adalah adalah akasia
berduri (Acacia nilotica). Tumbuhan ini diintroduksi oleh pihak
pengelola ke Taman Nasional Baluran pada tahun 1969 yang semula
dimaksud sebagai sekat bakar. Namun ternyata A. nilotica merupakan
spesies yang tumbuh dan menyebar cepat sehingga mengganggu
pertumbuhan spesies lainnya, terutama pada kawasan savana.
A. nilotica yang diintroduksi ke Indonesia merupakan sub spesies
indica. Introduksi dilakukan pada tahun 1850, melalui Kebun Botani di
Calcuta (India) dengan tujuan untuk menjadikan tumbuhan ini sebagai
salah satu tumbuhan yang memiliki nilai komersial yaitu sebagai
penghasil getah (gum) yang berkualitas tinggi. Namun setelah tumbuhan
ini ditanam di Kebun Raya Bogor, ternyata produksi getahnya sangat
rendah sehingga pohon-pohon tersebut ditebang 40 tahun kemudian.
Introduksi tumbuhan ini ke Taman Nasional Baluran di Banyuwangi
Jawa Timur bertujuan sebagai sekat bakar untuk menghindari
menjalarnya api dari savana ke kawasan hutan jati (Anonim, 1999).
Namun, invasi A. nilotica di Taman Nasional Baluran telah
menyebabkan terdesaknya berbagai spesies rumput sebagai komponen
utama penyusun savana Baluran.
Invasi A. nilotica menyebabkan pertumbuhan rumput terdesak,
sehingga dipandang dari aspek ketersedian pakan bagi herbivora sudah
tidak memadai, oleh karenanya satwa mencari pakan alternatif yang lain,
salah satunya adalah daun dan biji A. nilotica. Namun sebagi sumber
pakan utama, rumput tetap tidak dapat tergantikan (Sabarno, 2002).
Fenomena ini tentunya dapat mengakibatkan terganggunya
keseimbangan ekosistem Taman Nasional Baluran, misalnya berkurang
dan menyusutnya pakan utama bagi herbivora. Kondisi ini pada
gilirannya dapat mengancam keberadaan satwa herbivora di kawasan
14
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
ini. Kondisi savana Baluran saat ini sedang mengalami proses perubahan
dari ekosistem terbuka yang didominasi suku rumupt-rumputan
(Poaceae) menjadi areal yang ditumbuhi A. nilotica. Pada tempat-tempat
tertentu pertumbuhan A. nilotica sangat rapat, sehingga membentuk
kanopi tertutup, akibatnya beberapa rumput tidak mampu hidup di
bawahnya. Kejadian ini kemungkinan disebabkan karena kompetisi
kebutuhan cahaya atau adanya zat alelopati. Untuk memperoleh jawaban
atas fenomena tersebut perlu dilakukan penelitian (Djufri, 2004).
Permasalahan timbul setelah A. nilotica tumbuh dan berkembang
sehingga hampir menginavsi seluruh areal savana Bekol, yang
merupakan sumber pakan utama bagi beberapa spesies mamalia
terestrial, seperti banteng, rusa dan kerbau liar. Tingkat percepatan
pertumbuhan A. nilotica di Baluran mencapai 100-200 hektar per tahun.
Berdasarkan data terakhir tahun 2000, A. nilotica di Taman Nasional
Baluran sudah menginvasi sekitar 50% dari luas savana atau sekitar
5000 ha (Sabarno, 2002). Dampak yang nyata yaitu berkurangnya luasan
savana sebagai sumber pakan bagi mamalia, dan menyebabkan
terjadinya kompetisi di antara satwa dalam hal mendapatkan sumber
pakan. Berkurangnya luasan savana juga mengurangi ruang gerak satwa
dalam mengasuh dan membesarkan anaknya. Apabila kondisi ekologis
ini berlangsung terus tanpa ada pengendalian, maka populasi spesies
mamalia akan terancam. Menurut Mutaqin (2002) salah satu alasan
ditetapkan Baluran sebagai Taman Nasional adalah karena adanya
savana alami yang cukup luas yaitu 10.000 ha yang dihuni oleh berbagai
spesies satwa liar langka dan dilindungi, salah satu di antaranya adalah
banteng (Bos javanicus). Oleh karena itu, keberadaan ekosistem savana
dan satwa banteng menjadi salah satu objek utama dan sekaligus sebagai
prioritas dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Baluran.
PEMBAHASAN
Pengertian Invasi
Invasi adalah perpindahan satu atau lebih spesies tumbuhan dari
satu tempat ke tempat lainnya, dan pada akhirnya mereka menetap di
tempat tersebut, proses migrasi ini berlangsung sangat kompleks. Invasi
dapat terjadi di daerah yang gundul atau di daerah yang telah ada
tumbuhannya. Sebenarnya invasi merupakan bentuk awal dari suksesi,
namun karena secara terus menerus dapat beradaptasi terhadap seluruh
fase suksesi, sehingga akhirnya dapat mencapai kondisi klimaks. Invasi
yang efektif biasanya bersifat lokal, sebagai contoh, invasi besar-besaran
kelompok semak yang masuk ke padang rumput atau spesies pohon
15
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
16
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
17
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
18
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
19
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
20
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
21
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
22
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
23
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
24
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
25
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
26
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
Tonggak selesai
dibongkar lalu
dibakar
27
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
Tabel 2. Nilai penting beberapa spesies pionir yang mampu hidup di areal
savana Kramat setelah dilakukan pemberantasan A. nilotica dengan tebang bakar
(Mutaqin, 2002)
28
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
29
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
Pembersihan batang,
pencangkulan dan
pengikatan batang
Pencabutan
Seedling yang
Pengukuran
seedling
sudah dicabut,
lokasi
Anakan (seedling) yang dikumpulkan lalu
tumbuh di savana dibakar
30
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
areal savana Bekol yang semula terbuka sebagian sudah mulai tertutup
oleh A. nilotica. Kehadiran spesies ini dapat menghambat bahkan dapat
mematikan rumput sebagai pakan satwa. Akibatnya ketersediaan rumput
sangat terbatas dan pada gilirannya dapat mengancam kelangsungan
hidup satwa herbivora di Taman Nasional Baluran.
Hasil penelitian Makmur pada tahun 1981 dalam Mutaqin (2002)
melaporkan bahwa kerapatan tumbuhan A. nilotica di savana Bekol
mencapai 75 batang/ha, dan lima tahun kemudian 1986 mengalami
peningkatan yang cukup pesat dimana kerapatnnya mencapai 3.337
batang/ha (Balai Taman Nasional Baluran, 1999), dan tahun 1987
tingkat kerapatan pohon terus meningkat hingga mencapai 5369
batang/ha. Namun hasil penelitian Tim Penyusun Rancangan
Pemberantasan A. nilotica tahun 2000 melaporkan bahwa kerapatan
pohon A. nilotica di savana Kramat dan Curah Udang sekitar 1245
batang/ha. Saat ini A nilotica tidak hanya tumbuh di savana Bekol,
melainkan sudah menyebar hampir ke seluruh savana di Taman
Nasional Baluran antara lain; Kramat, Derbus, Curah Udang, Talpat,
Asam Sabuk dan Balanan. Luas area yang terinvasi kurang lebih
mencapai 5000 ha (Mutaqin, 2002).
31
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
Tabael 3. Luas areal pencabutan anakan A. nilotica di savana Bekol per tahun
Anggaran (APBN dan DR-BDR) (Balai Taman Nasional Baluran, 1999)
32
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
33
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
34
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
35
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
Tabel 6. Komposisi spesies yang dijumpai di savana Bekol yang ditumbuhi pohon A. nilotica
dengan Kerapatan pohon sekitar 1500/ha seluas 200 ha (Djufri, April-Juni, 2004,
Pengamatan pribadi)
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan berikut: (i). Mekanisme terjadinya invasi sangat kompleks,
menyangkut seluruh tahapan suksesi, sehingga tercapai kondisi klimaks.
Sebagian invasi spesies dapat menggantikan spesies lokal, (ii). A.
nilotica merupakan salah satu spesies invasif yang bersifat merusak di
36
Djufri,
Invasi Akasia Berduri
DAFTAR PUSTAKA
37
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38
38
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
PERENCANAAN PEMBELAJARAN
oleh
Ramli
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
PENDAHULUAN
Kegiatan pembelajaran dapat dilakukan tanpa perencanaan,
tetapi hasilnya tidak maksimal. Seorang guru/dosen yang mengajar
tanpa membuat perencanaan diibaratkan dengan seseorang yang pergi ke
suatu tempat, tetapi alamat yang dituju tidak jelas. Apa yang terjadi?
Jawabannya, tidak banyak yang diperoleh apabila pembelajaran tidak
direncanakan terlebih dahulu. Agar belajar-mengajar mendapatkan hasil
maksimal, perlu dibuat perencanaan yang matang.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara bebas tanpa memiliki
perencanaan akan berdampak negative pada hasil belajar. Di dalam
perencanaan terdapat standar isi yang berhubungan erat dengan standar
kelulusan. Standar kelulusan mengilhami penyusunan indicator
pembelajaran. Selanjutnya, indikator pembelajaran dijabarkan dari
kompetensi dasar. Kompetensi dasar dan standar kompetensi telah di
atur dalam standar isi yang telah disediakan oleh Kemendiknas. Semua
hal tersebut merupakan bahan mentah dari sebuah perencanaan
pembelajaran yang dimanifestasikan ke dalam sebuah rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP). Implementasi dari semua hal yang
tersebut di atas adalah RPP yang dibuat oleh guru/dosen untuk 1 atau 2
pertemuan.
Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud membicarakan hakikat
perencanaan pembelajaran, dan cara menyiapkan perencanaan
pembelajaran yang baik agar pelaksanaannya dapat diterapkan dalam
pembelajaran. Setelah membaca tulisan ini, Anda diharapkan memiliki
kemampuan untuk (1) mendeskripsikan pengertian perencanaan
pembelajaran, (2) menjelaskan pentingnya perencanaan pembelajaran,
(3) menguraikan manfaatnya, dan (4) menyusun langkah-langkah
perencanaan pembelajaran.
39
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56
PEMBAHASAN
Pengertian Perencanaan Pembelajaran
Pembelajaran adalah terjemahan dari instruction yang banyak
dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini
dipengaruhi oleh aliran Psikologi Kognitif-Holistik yang menempatkan
siswa sebagai sumber kegiatan. Gagne (dalam Sanjaya, 2008:27)
mengatakan bahwa mengajar (teaching) adalah bagian dari
pembelajaran yang menjadikan guru berperan sebagai perancang
berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau
dimanfaatkan oleh siswa dalam mempelajari sesuatu.
Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerja sama antara
guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber daya
yang ada, baik potensi yang berasal dari siswa, guru, maupun dari
lingkungan. Sebagai suatu proses kerja sama, pembelajaran
pembelajaran tidak hanya menitikberatkan pada kegiatan guru dan
siswa saja. Akan tetapi pembelajaran adalah kegiatan yang melibatkan
guru secara bersama-sama dengan siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu, baik guru maupun
siswa dalam suatu proses pembelajaran selamanya memanfaatkan segala
potensi yang dimiliki untuk keberhasilan belajar.
Perencanaan berasal dari kata rencana yang bermakna
pengambilan keputusan tentang hal yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan. Ketika kita merencanakan sesuatu, maka pola pikir
kita diarahkan bagaimana agar tujuan itu dapat dicapai secara efektif dan
efisien. Terry (dalam Sanjaya, 2002008:24) mengungkapkan bahwa
perencanaan itu pada dasarnya adalah penetapan pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh orang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan.
Setiap perencanaan minimal harus memiliki empat unsur sebagai
berikut ini:
1. adanya tujuan yang harus dicapai,
2. adanya strategi untuk mencapai tujuan,
3. sumber daya yang mendukung,
4. implementasi setiap keputusan/rencana.
Tujuan merupakan arah yang harus dicapai. Untuk menyusun
perencanaan yang baik, diperlukan perumusan tujuan dengan sasaran
40
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
yang jelas dan terukur. Dengan adanya sasaran yang jelas, berarti ada
target yang harus dicapai. Target itulah yang selanjutnya menjadi fokus
dalam merumuskan langkah-langkah selanjutnya. Strategi berkaitan
dengan penetapan keputusan yang dipilih oleh seorang perencana
seperti, menentukan alokasi waktu, langkah-langkah yang harus
dikerjakan, penentuan kriteria keberhasilan, dan sebagainya. Sumber
daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan meliputi, sarana dan
prasarana, biaya, dan waktu. Sedangkan implementasi adalah
pelaksanaan dari strategi yang dipilih oleh perencana dan sumber daya
yang dimiliki.
Dari keempat unsur perencanaan yang dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan bahwa perencanaan bukanlah harapan yang ada
dalam angan-angan yang bersifat khayal dan tersimpan dalam benak
seseorang. Perencanaan adalah harapan dan angan-angan yang dapat
dirumuskan dengan disertai langkah-langkah untuk mencapainya,
dideskripsikan secara jelas dalam suatu dokumen tertulis, sehingga
dokumen itu dapat dijadikan pedoman oleh setiap orang yang
memerlukannya.
41
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56
42
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
43
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56
44
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
46
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
47
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56
48
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
49
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56
50
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
51
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56
52
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
53
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56
54
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
55
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56
DAFTAR PUSTAKA
56
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran
57
Yusuf,
Strategi Dakwah
oleh
Maimun Yusuf
Dosen Fadak IAIN Arraniry, Darussalam, Banda Aceh
PENDAHULUAN
Dakwah merupakan suatu keharusan dalam rangka
pengembangan agama Islam. Aktivitas dakwah yang maju akan
membawa pengaruh bagi terhadap kemajuan agama. Sebaliknya,
aktivitas dakwah yang lesu akan berakibat pada kemunduran agama.
Karena adanya hubungan timbal balik seperti itu, maka dapat dimengerti
jika agama Islam meletakkan kewajiban dakwah di atas pundak setiap
pemeluknya.
Sebagai agama dakwah, Islam melahirkan nilai dan panduan
moral yang tidak hanya melulu menganjurkan penganutnya
menyampaikan kebenaran ajaran Islam dengan ajakan lisan atau mulut
semata, tetapi juga harus dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan
nyata (amal saleh) yang berintikan “keteladanan”. Sebagai kitab dan
sumber dakwah, Alquran dan Alsunnah–menekankan kepada kaum
Muslim agar memiliki integritas diri, keserasian dan keseimbangan
antara berbicara dan bekerja, berkhutbah dan beramal, mengajak dan
merangkul sesama manusia untuk menciptakan prestasi kerja (bukan
prestise) yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia dan
lingkungannya, lahir dan batin.1
Berbagai etnis/suku bangsa di Indonesia memiliki budaya adat
istiadatnya masing-masing, yang dalam pelaksanaan berada dan
dikendalikan oleh lembaga-lembaga adat sesuai dengan kewenangan
lingkungannya, seperti nagari di Minangkabau, huta di Tapanuli, subak
di Bali, desa di Jawa dan gampong di Aceh.2 Masyarakat Aceh dikenal
1
Renungkan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Q.S. Al-Shaff/61: 2-3). Dan
hayati juga firman-Nya, “Demi Masa, sesungguhnya manusia selalu berada dalam
kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh, saling nasehat menasehati
dalam kebenaran dan diiringi dengan kesabaran. (Q.S. Alashar: 103: 1-3)
2
Badruzzaman Ismail, Membangun Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat dan
Budaya, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007), hal. 6.
57
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
PEMBAHASAN
Makna Dakwah dalam Perspektif Islam
Penggunaan kata “dakwah” dalam masyarakat Islam, terutama di
Indonesia, adalah sesuatu yang tidak asing. Arti dari kata ‘dakwah” yang
dimaksudkan adalah “seruan” dan “ajakan.” Kalau kata diberi arti
“seruan,”4 maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam atau
3
Lembaga adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh memang dibangun
berdasarkan adat dan agama Islam, sehingga antara adat istiadat dengan hukum tidak
pernah bertentangan. Selebihnya masing-masing unsur memiliki rujukannya masing-
masing sebagaimana yang termaktub dalam hadih maja, “Adat bak Po Teumereuhom
hukum bak Syiah Kuala, qanun bak Putro Phang reusam bak Laksamana”. Artinya:
adat diurus oleh Po Teumereuhom (Raja) atau Sultan, hukum diputuskan oleh Ulama
(Syiah Kuala), qanun diurus oleh permaisuri raja (Puteri Pahang), sedangkan tata cara
kehidupan dikelola oleh Panglima (Laksamana/Bentara). Muhammad Husein, Adat
Aceh, (Daerah Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 1.
4
Apabila dilihat arti kata “dakwah” atau “da’a” pada terjemahan Alquran,
paling tdaj ada sepuluh padanannya. Pertama dalam arti “menyeru” dapat dilihat dalam
58
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
seruan Islam. Demikian juga halnya kalau diberi arti “ajakan” maka
yang dimaksud adalah ajakan kepada Islam atau ajakan Islam. Islam
sebagai agama di sebut agama dakwah, maksudnya adalah agama yang
disebarluaskan dengan cara damai tidak lewat kekerasan.5
Secara terminologi dakwah itu dapat diartikan sebagai sisi positif
dari ajakan untuk menuju keselamatan dunia akhirat. Sedangkan
menurut istilah para ulama memberikan takrif (definisi) yang
bermacam-macam, antara lain:
1. Syeikh Ali Makhfudh dalam kitabnya Hidayatullah Mursyidin,
mengatakan dakwah adalah “mendorong manusia untuk berbuat
kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada
kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.”6
2. Syeikh Muhammad Khidr Husain dalam bukunya Aldakwah ila al
Ishlah mengatakan, dakwah adalah upaya untuk memotivasi orang
agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, dan melakukan amr
makruf nahi munkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.7
3. HSM. Nasruddin Latif mendefinisikan dakwah: “Setiap usaha
aktivitas dengan tulisan maupun tulisan yang bersifat yang menyeru,
mengajak, memanggil manusia manusia lainnya untuk beriman dan
menaati Allah swt. Sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat
serta akhlak islaminya.8
Q.S.3:104, kedua “memanggil” dalam Q.S. 30: 25, ketiga, “doa” dalam Q.S. 2: 186,
keempat, “dakwa” dalam Q.S. 19: 91, kelima, “harap” dalam Q.S. 25: 13, keenam,
“meminta” dalam Q.S. 47: 37, ketujuh, “keluhan” dalam Q.S. 7: 5 kedelapan,
“mengadu” dalam Q.S. 54: 10, Kesembilan, “menyembah” dalam Q.S. 72: 18,
kesepuluh, “berteriak” dalam Q.S. 84: 11. Perbedaan pendapat itu dapat dimaklumi
karena perbedaan konteks arti dan kata yang mendampingi yang membuatnya satu
idiom (arti tersendiri), juga hal itu berkaitan dengan maksud ayat. Dengan demikian.
dapat dimengerti bahwa seseorang yang akan melakukan penerjemahan terhadap
Alquran, apabila bertemu dengan kata doa, dengan segala bentuk perubahannya, tidak
bisa memahaminya dengan arti kata dalam “kamus” saja.
5
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, diterjemahkan dari
Hayat Muhammad, oleh Ali Audah, (Jakarta: Tintamas, 1984), hlm. 217
6
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat Almursyidin ila Thuruq Alwazi wa Alkhitabat
(h) (Beirut: Dar Almaarif, tt.), hlm. 17
7
Ad-Dakwah ila al-Ishlah, hlm. 7
8
Nasruddin Latif, Teori dan Praktik dakwah Islamiyah, (Jakarta: Firma Dara,
tt), hlm. 11
59
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
Masyarakat Gampong
Gampong adalah suatu kawasan (teritorial) kelompok penduduk
masyarakat yang berbatasan dengan gampong lain, memiliki
pemerintahan sendiri, memiliki tatanan aturan, ada kepengurusan dan
kekayaan sendiri. Perangkat gampong terdiri dari : keuchik, imeum
meunasah, tuha peut dan tuha lapan (sekarang ditambah sekretaris/
khatib).
Gampong yang wilayah teritorial kelompok penduduk yang
berbatasan adalah kesatuan masyarakat hukum terkecil, sebagai
organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah Mukim dan
menempati wilayah tertentu.9 Gampong juga merupakan persekutuan
masyarakat hukum adat yang mirip dengan negara kecil.10 Gampong
dipimpin oleh “keuchik” sebagai ketua adat dalam “masyarakat
gampong”, yang dipilih oleh rakyatnya sendiri secara langsung. A.
Hasjmy menjelaskan bahwa gampong dinamakan juga dengan
“meunasah”. Untuk satu gampong diangkat seorang keuchik dengan
sebuah staf pembantu yang bernama “tuha peut dan seorang imam
rawatib”.11
9
Badruzzaman Ismail, Eksposa Majelis Adat Aceh Provinsi NAD, (Banda
Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007), hal. 44-45.
10
T. M. Juned, “Adat dalam Perspektif Perdebatan dan Praktek Hukum”,
dalam buku Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh, (Banda Aceh: Yayasan
Rumpun Bambu, CSSP, 2005), hal. 35.
11
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, tt.), hal. 80.
60
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
12
Badruzzaman, Eksposa Majelis.., hal. 45.
13
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Albarry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994), hal. 727.
61
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
14
M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Surakarta: Yayasan Kesejahteraan, 1984), hlm.
165.
62
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
15
Mohammad Irham, “Titik Temu FKPM dan Dakwah Islam”, dalam M.
Jamil Yusuf dkk, (Ed), Polmas dan HAM Dengan Pendekatan Dakwah dan Adat
Budaya Aceh, (Banda Aceh: Fakultas Dakwah IAIN Arraniry bekerja sama dengan
Polda NAD, 2009), hal. 76-79.
16
Pendekatan personal dilakukan Nabi sejak turunnya wahyu pertama kepada
orang-orang terdekatnya secara rahasia. Pendekatan model ini dilakukan agar tidak
menimbulkan guncangan reaksioner di kalangan masyarakat Quraisy mengingat saat
itu mereka masih berpegang teguh pada kepercayaan animisme warisan leluhur
mereka. Dakwah dengan cara ini berlangsung selama tiga tahun. Dan di antara yang
beriman pada saat itu adalah: Khadijah Bt. Khuwailid, Ali Ibn Abi Thalib, Zaid Ibn
Haritsah, Abu Bakar Asshiddiq, Utsman Ibn Affan, Zubair bn. Alarqam dan
sebagainya. Hal ini tercantum dalam Ibnu Saad, Althabaqat Alkubra, Beirut: Dar
Elfikr, 1980, hal. 199.
17
Kegiatan ini dilakukan dari rumah ke rumah, maka rumah sahabat al-Arqam
Abi Arqam dijadikan sebagai tempat pertama penyampaian dakwah Islam secara
berkelompok, selain itu ada tempat lainnya, yaitu di antaranya Assuffah, Dar Alqurra
dan Kuffah.
63
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
c. Pendekatan Diskusi
Pendekatan diskusi pada era sekarang sering dilakukan lewat
berbagai diskusi keagamaan, dai sebagai nara sumber sedangkan
mad’u berperan sebagai audience. Tujuan dari diskusi ini adalah
membahas dan menemukan pemecahan semua problematika
yang ada kaitannya dengan dakwah sehigga apa yang menjadi
permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya.
d. Pendekatan Misi
Maksud dari pendekatan misi adalah pengiriman tenaga para dai
ke daerah-daerah di luar tempat domisli.18 Kita bisa mencermati
untuk masa sekarang ini ada banyak organisasi yang bergerak di
bidang dakwah mengirimkan dai mereka untuk disebar luaskan
ke daerah-daerah yang minim para dainya, dan di samping itu
daerah yang menjadi tujuan adalah biasanya kurang memahami
ajaran-ajaran Islam yang prinsipil.
e. Pendekatan dakwah kultural
Pendekatan dakwah kultural adalah usaha-usaha dakwah Islam
yang dirintis dan dikembangkan dengan melakukan interaksi dan
adaptasi terhadap budaya dan adat istiadat yang telah lama
hidup, tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah dan daerah
tertentu. Dalam bahasa dakwah dikenal dengan “usaha
menyampaikan dakwah dengan bahasa kaumnya” atau
“berdakwah sesuai dengan kemampuan daya tangkap masyarakat
setempat” (khatibin nas ala qadri uqulihim). Pelajaran berharga
dari suksesnya eksistensi dan bertahannya Islam di Aceh adalah
karena kedatangan dakwah Islam ke Aceh tidak merusak dan
menghancurkan budaya lokal yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Aceh, tetapi justeru menggunakan instrumen adat,
budaya dan tradisi Aceh untuk menyampaikan universalitas
ajaran Islam. Sehingga sampai saat ini antara adat dan agama
Islam menjadi “organ” yang saling melengkapi dan tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh.
18
Pendekatan misi ini pernah dirintis Nabi di Makkah, tapi belum berhasil,
kemudian dikembangkan di Madinah dengan hasil yang maksimal. Pendekatan serupa
pula dilakukan secara besar-besaran pada zaman sahabat khususnya pemeintahan Umar
Ibn Khattab r.a. contoh-contoh dakwah melalui pendekatan misi ini antara lain misi
dakwah ke Yatsrib, Najed, Najran, Makkah dan sebagainya.
64
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
19
Yunan Yusuf, Dakwah bi al-Hal, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jurnal
Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2. 2001. Lihat juga, Hasim, Kamus
Istilah Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 24.
65
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
PENUTUP
Setiap Muslim diharapkan mengambil bagian dalam rangka
pelaksanaan dakwah, yakni, mengajak manusia ke jalan Allah untuk
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ajakan tersebut dapat
mengambil wujul yang formal atau tindakan-tindakan yang membawa
kemaslahatan dan patut diteladani. Kedua macam ajakan tersebut sering
dibedakan dengan istilah dakwah bi allisan dan dakwah bi alhal.
Dengan demikian setiap Muslim berpeluang untuk memberikan andilnya
dalam pelaksanaan dakwah menurut kemampuan dan bidangnya
masing-masing, terutama bagi masyarakat gampong di seluruh Aceh.
66
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67
DAFTAR PUSTAKA
67
Gadeng
, Etos Kerja dalam
oleh
Tarmizi Gadeng
Dosen FE Unmuha, Banda Aceh
PENDAHULUAN
Islam, di antara agama-agama yang ada di dunia, adalah satu-
satunya agama yang menjunjung tinggi nilai kerja. Ketika masyarakat
dunia pada umumnya menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di
tempat yang tinggi, Islam menghargai orang-orang yang berilmu, petani,
pedagang, tukang dan pengrajin. Sebagai manusia biasa, mereka tidak
diunggulkan dari yang lain, karena Islam menganut nilai persamaan di
antara sesama manusia di hadapan manusia. Ukuran ketinggian derajat
adalah ketakwaannya kepada Allah, yang diukur dengan iman dan amal
salihnya.
Dalam suasana kehidupan yang sulit dewasa ini, umat Islam
ditantang untuk bisa survive, dan membangun kembali tatanan
kehidupannya–moral, ekonomi, sosial, politik dan sebagainya untuk
membuktikan, bahwa rekomendasi Allah kepada umat Islam sebagai
khaira ummah (umat terbaik) tidak salah alamat.1 Dalam makalah ini,
penulis ingin menampilkan salah satu kajian yang boleh jadi dianggap
penting untuk didiskusikan bersama, yaitu tentang bagaimana
sebenarnya etos kerja dalam perspektif Islam? Pertanyaan dan kajian ini
penting karena ada sebagian kalangan dan analis berpendapat bahwa
etos kerja umat Islam lemah dibandingkan negara-negara non-Muslim
lainnya.
PEMBAHASAN
Pengertian Etos Kerja
Menurut kamus, perkataan “etos” yang berasal dari bahasa
Yunani (ethos) bermakna watak atau karakter. Secara lengkapnya,
pengertian etos ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta
kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang seorang
1
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang baik (ma’ruf) dan mencegah dari yang buruk (munkar) dan beriman
kepada Allah.” Q.S. Ali ‘Imran/ 3: 110.
68
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84
2
Webster’s New World Dictionary of the American Language, 1980 (revisi
baru), s.v. “ethos”, “ethical” dan “ethics”.
3
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, 1977
(terbitan Gramedia), s.v. “ethos”.
4
Ensiklopedia Nasional Indonesia, (1989), hlm. 219.
5
C. Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Book, 1973),
hlm. 127.
6
Di sisi lain, Taufik Abdullah mendefinisikan etos kerja dari aspek evaluatif
yang bersifat penilaian diri terhadap kerja yang bersumber pada identitas diri yang
bersifat sakral – yakni realitas spiritual keagamaan yang diyakininya. Taufik Abdullah,
Agama, Etos Kerja dan Pengembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 3.
Karena itu, etos tidak dapat dipisahkan dari sistem kebudayaan suatu masyarakat.
Sebagai watak dasar suatu masyarakat, etos berakar dalam kebudayaan masyarakat itu
sendiri. Kebudayaan, sebagai suatu sistem pengetahuan gagasan yang dimiliki suatu
masyarakat dari proses belajar, adalah induk dari etos itu. Maka setiap masyarakat
(yang berbeda kebudayaannya), mempunyai etos yang berbeda pula termasuk dalam
hubungannya dengan etos kerja.
7
Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, terj. Talcott
Parson, (New York: Charles Scribner’s Son, 1958). Dalam mengaitkan makna etos
kerja di atas dengan agama, maka etos kerja merupakan sikap diri yang mendasar
terhadap kerja yang merupakan wujud dari kedalaman pemahaman dan penghayatan
religius yang memotivasi seseorang untuk melakukan yang terbaik dalam suatu
pekerjaan. Dengan kata lain, etos kerja adalah semangat kerja yang mempengaruhi cara
69
Gadeng
, Etos Kerja dalam
70
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84
10
Tesis Weber ini telah menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan
sosiolog. Sebagian sosiolog mengakui kebenaran tesisnya itu, tetapi tidak sedikit yang
meragukan, bahkan yang menolaknya. Kurt Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia
adalah salah seorang yang menolak keseluruhan tesis Weber tersebut, dengan
mengatakan bahwa tidak pernah dapat ditemukan dukungan tentang kesejajaran antara
protestantisme dengan tingkah laku ekonomis. Kurt Samuelson, Religion and
Economic Action: A Critic of Max Webe, (New York: Harper Torchbook, 1964), hlm.
1-26.
11
Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta:
Paramadina, 1999), hlm. 76. Lihat juga, Nurcholish Madjid, Fatsoen Nurcholish
Madjid, (Jakarta: Republika, 2002), hlm. 24. Menurut hipotesa Weber bahwa ajaran
Protestantisme sangat bersesuaian dengan semangat kapitalisme. Weber lebih jauh
menjelaskan bahwa penganut Protestan cenderung untuk mengumpulkan kekayaan dan
mengejar sukses material sebagai bukti dari anugerah Tuhan pada mereka, dan
sekaligus sebagai konfirmasi atas status mereka sebagai orang-orang pilihan Tuhan
untuk diselamatkan di dunia dan di akhirat nanti. Sebagai konsekwensi logis dari
keyakinan tersebut, maka kaum Protestan di Jerman yang diamati Weber menampilkan
etos kerja yang unik, seperti: bekerja keras, bertindak rasional, berdisiplin tinggi,
berorientasi pada sukses material, hemat dan bersahaja, tidak mengumbar kesenangan
serta menabung dan berinvestasi.
12
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan
Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 215.
71
Gadeng
, Etos Kerja dalam
13
Fadlil Munawwar Manshur, “Profesionalisme dalam Perspektif Islam,”
dalam Edy Suandi Hamid, dkk (peny), Membangun Profesionalisme Muhammadiyah,
(Yogyakarta: LPTP PP Muhammadiyah-UAD Press, 2003), hlm. 20. Sering terdengar
pendapat yang mengatakan bahwa etos kerja masyarakat Indonesia relatif rendah
dibandingkan dengan bangsa-bangsa Asia lainnya, terutama Jepang dan Korea.
Pandangan ini antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa tingkat kemajuan ekonomi
Indonesia jauh tertinggal dibandingkan kedua bangsa tersebut di atas. Namun,
pendapat itu ada yang membantah dengan menunjukkan bagaimana kerasnya kerja
petani dan buruh di pelbagai tempat di Indonesia. Rendahnya tingkat kemajuan bangsa
Indonesia itu, menurut pendapat ini tidak terkait sama sekali dengan tinggi rendahnya
etos kerja, tetapi lebih terkait dengan politik ekonomi pembangunan. Kedua pendapat
tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, tetapi sukar untuk
disangkal bahwa tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu masyarakat juga sangat
dipengaruhi oleh etos kerja yang ada pada masyarakat itu.
72
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84
14
Ismail al-Faruqi melukiskan Islam sebagai a religion of action dan bukan a
religion faith. Oleh karena itu, Islam sangat menghargai kerja. Dalam sistem teologi
Islamkeberhasilan manusia dinilai di akhirat dari hasil amal dan kerja yang
dilaksanakannya di dunia. Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implication for Thought and Life
(Herndon, Virginia: IIIT, 1995), hlm. 75-6.
15
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, hlm. 216
16
Q.S. Al-Kahf/ 18: 110. Islam, sebagai sistem nilai dan petunjuk, misalnya,
secara tegas mendorong umatnya agar memiliki kejujuran (Q.S. 33: 23-24); mendorong
hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan (Q.S. 7: 13, 17: 29; 25: 67; 55: 7-9);
anjuran melakukan kerja sama dan tolong-menolong dalam kebaikan (Q.S. 5: 2);
kerajinan dan bekerja keras (Q.S. 62: 10); sikap hati-hati dalam mengambil keputusan
dan tindakan (Q.S. 49: 6); jujur dan dapat dipercaya (Q.S. 4: 58; 2: 283; 23: 8); disiplin
(Q.S. 59: 7); berlomba-lomba dalam kebaikan (Q.S. 2: 148; 5: 48). Prinsip-prinsip
dasar dari rangkaian sistem nilai yang terkandung dalam al-Qur’an tersebut di atas
dapat dijadikan menurut penulis, dapat dijadikan tema sentral dalam melihat persoalan
etos kerja versi ajaran Islam.
73
Gadeng
, Etos Kerja dalam
atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu
memanusiakan dirinya.17
Dalam bentuk aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah
rumusan:
KHI = T, AS (M, A, R, A)
KHI = Kualitas Hidup Islami
T = Tauhid
AS = Amal Shaleh
M = Motivasi
A = Arah Tujuan (Aim and Goal/Objectives)
R = Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir)
A = Action, Actualization.
Dari rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam
Islam (bagi kaum Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini
seorang Muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan
dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu
manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai
ibadah yang sangat luhur.”18
Sementara itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa bagi orang
yang beretos kerja Islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan
atau aqidah Islami berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran
wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem keimanan itu, menurutnya,
identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber
motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami. Etos kerja
Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal
shaleh, tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja apa pun tidak
dapat menjadi Islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman akan
merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh.
Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh
merupakan suatu rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan.19
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat dipahami
bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values)
yang terkandung dalam dan Alsunnah tentang “kerja” – yang dijadikan
sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan
17
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1995), hlm. 27.
18
Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, hlm. 28.
19
Rahmawati Caco, “Etos Kerja” (Sorotan Pemikiran Islam),” dalam Farabi
Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, (terbitan Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3, No. 2, 2006), hlm. 68-
69.
74
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84
20
Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Saw. telah
bersabda, “Apabila salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di tangannya
masih ada benih hendaklah ia tanam benih itu.” (H.R. Ahmad).
75
Gadeng
, Etos Kerja dalam
21
Sebuah hadis yang amat terkenal, “Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan
itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya (ditujukan) kepada (ridla) Allah
dan Rasul-Nya, maka ia (nilai) hijrahnya itu (mengarah) kepada (ridla) Allah dan
Rasul-Nya; dan barang siapa yang hijrahnya itu ke arah (kepentingan) dunia yang
dikehendakinya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka (nilai) hijrahnya itu pun
mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya.” (Lihat al-Sayyid ‘Abd al-Rahim
‘Anbar al-Thahthawi, Hidayat al-Bari ila Tartib al-Ahadits al-Bukhary, 2 Jilid (Kairo:
al-Maktabat al-Tijariyah al-Kubra, 1353 H), jil. 1, hlm. 220-221; dan al-Hafidh al-
Mundziry, Mukhtashar Shahih Muslim, 2 Jilid (Kuwait: Wazarat al-Awqaf wa al-
Syu’un al-Islamiyyah, 1388 H/1969 M), jil. 2, hlm. 47. (hadis No. 1080).
76
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84
22
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,
1992), hlm. 417.
23
QS, al-Najm/52:: 36-42.
24
QS, al-Kahfi/18: 110.
77
Gadeng
, Etos Kerja dalam
25
Selain itu, hasil zakat bisa pula digunakan untuk keperluan yang bersifat
produktif, seperti pemberian bantuan keuangan sebagai modal usaha bagi fakir miskin
yang mempunyai keterampilan tertentu dan mau berusaha serta bekerja keras. Hal ini
untuk membebaskan mereka dari keterpurukan taraf hidupnya sehingga bisa mandiri.
Hasil zakat bisa pula digunakan untuk mendirikan pabrik-pabrik dan proyek-proyek
yang profitable dan hasilnya disalurkan untuk pos-pos yang berhak menerimanya.
Pabrik-pabrik dan proyek lain yang dibiayai dengan hasil zakat dalam penerimaan
tenaga kerja harus memberi prioritas kepada fakir miskin yang telah diseleksi dan telah
diberikan pendidikan keterampilan yang sesuai dengan lapangan kerja yang telah
tersedia.
26
Mukhtashar, Jil. 2, hlm. 246 (Hadis No. 1840).
27
Q.S, al-Isra’/17: 84.
78
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84
28
Q.S, al-Insyirah/94: 7.
29
Etos yang dominan pada komunitas (umat) ini ialah (giat) di dunia ini
aktivis, bersifat sosial dan politik, dalam hal ini lebih dekat kepada Israel kuna (zaman
para nabi, sejak Nabi Musa dan seterusnya), dari pada kepada agama Kristen mula-
mula (sebelum munculnya Reformasi di zaman Modern), dan juga secara relatif dapat
menerima etos yang dominan abad ke dua puluh. Robert N. Bellah, “Islamic Tradition
and the Problem of Modernization” dalam Robert N. Bellah, ed., Beyond Belief (New
York: Harper and Raw, 1970), hlm. 151-152.
30
Q.S, al-Jumu’ah/62: 10.
31
Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, hlm. 29-59.
79
Gadeng
, Etos Kerja dalam
32
Banyak analis yang mengatakan bahwa lemahnya perekonomian rakyat di
dunia Islam itu disebabkan oleh lemahnya etos kerja dan lemahnya etos kerja
disebabkan karena menguatnya aliran tasawuf yang lebih mementingkan aspek ibadah
yang berorientasi pada akhirat semata. Masyarakat lebih menekankan orientasinya
kepada kehidupan akhirat semata karena hal itu dianggap satu-satunya harapan dalam
situasi otoriter yang represif. M. Dawam Rahardjo,Intelektual, Intelegensia, dan
Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1999), hlm.
459. Lihat juga, Jalaluddin Rakhmat, “Kemiskinan di Negara-negara Muslim,” dalam
Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 103-108.
80
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84
81
Gadeng
, Etos Kerja dalam
PENUTUP
Sebenarnya, “etos kerja” dalam perspektif Islam adalah
seperangkat “nilai-nilai etis” yang terkandung dalam ajaran Islam –
Alquran dan Alsunnah – tentang keharusan dan keutamaan bekerja, yang
digali dan dikembangkan secara sungguh-sungguh oleh umat Islam dari
masa ke masa, dan itu sangat mempengaruhi tindakan dan kerja-
kerjanya di berbagai bidang kehidupan dalam mencapai hasil yang
diharapkan lebih baik dan produktif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam
sejelas-jelasnya memberikan inspirasi dan motivasi kepada umat Islam
agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang terbaik, dan ini
tentunya dengan tidak mengabaikan landasan etis atau prinsip-prinsip
dasar dan umum yang ada di dalam ajaran Islam. Yang perlu diingat,
etos kerja Islami dapat terhambat oleh sistem pemerintahan yang feodal,
otoriter dan represif terhadap rakyat. Oleh karena itu, etos
kepemimpinan di dunia Islam khususnya, harus dibenahi dengan
pemahaman yang utuh terhadap etos kerja dalam ajaran Islam.
Dalam implementasinya, umat Islam merumuskan tema tertentu
dalam mengembangkan etos kerjanya; ada yang menampilkan etos
“khaira ummah” sebagai dasar pijaknya, ada pula etos “keadilan”, etos
“musyawarah”, etos “ulul al-bab”, etos “imamah”, etos “tauhid yang
membebaskan”, etos “iptek”, etos “persamaan gender”, etos “HAM”,
etos “pluralisme”, dan sebagainya. Semua tema tersebut pada dasarnya
digali dari Alqurqan. Munculnya keragaman tema karena latarbelakang
umat Islam yang beragam dengan segala kepentingan yang juga berbeda,
sehingga skala prioritas yang mungkin ingin ditujunya melalui tema-
34
Pilihan Muhammadiyah dilatarbelakangi oleh semangat pembaharuannya
yang ingin menegakkan paham tauhid yang murni dengan memberantas hal-hal yang
dianggap takhayul, bid’ah dan khurafat. Kepentingan NU adalah mempertahankan
doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan kesatuan antara ulama dan umat. Sedangkan
pilihan ICMI dilatarbelakangi oleh semangat untuk menumbuhkan etos iptek yang
dinilai sebagai kunci perkembangan bangsa dan umat Islam yang dinilai terbelakang.
Dengan pilihan atas tema yang berbeda itu, berbagai masyarakat Islam di Indonesia
memperlihatkan etos yang berbeda. Yang dimaksud dengan etos di sini adalah sikap
utama yang mendasari tindakan dan kegiatan seorang dalam masyarakat. Rahardjo,
“Etos Masyarakat Utama,” dalam Intelektual, Intelegensia…, hlm. 449-450.
82
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84
DAFTAR BACAAN
83
Gadeng
, Etos Kerja dalam
84
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa
oleh
Rusnaidi
Dosen FE Unmuha, Banda Aceh
PENDAHULUAN
Secara kualitatif eksistensi mahasiswa dapat dilihat dari empat
hal. Pertama, mereka adalah kaum terpelajar atau intelektual karena
mereka sedang bergulat dengan penimbaan ilmu pengetahuan di
kampus-kampus. Kedua, mahasiswa adalah calon pemimpin. Dengan
kapasitas keilmuan dan sikap terpelajar (being educated),
memungkinkan mereka untuk menjadi pemimpin dalam segala lapisan
di masa yang akan datang. Ketiga, mahasiswa adalah penggerak
perubahan (agent of change). Hal itu dimungkinkan karena kemampuan
dan daya banding (comparative adventage) yang mereka miliki, serta
banyaknya informasi yang membuat mereka selalu melakukan dan
memprakarsai perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Keempat,
mahasiswa adalah garda depan perbaikan masyarakat karena potensi
intelektualitas, obsesi, dan cita-cita masa depan mereka.
Dengan melihat beberapa posisi mahasiswa tersebut, mahasiswa
di mana pun, termasuk mahasiswa Aceh mempunyai peran yang amat
penting dalam mewujudkan kampus dan generasi muda Aceh yang
bersih dari segala gangguan, penyakit dan berbagai sumber malapetaka
yang akan meracuni dan merusak masa depan generasi muda Aceh.
Salah satu gangguan, penyakit, dan sumber malapetaka tersebut adalah
bahaya “penyalahgunaan Narkoba”. Penyalahgunaan Narkoba dan
dampak yang ditimbulkannya selama ini telah menyedot perhatian dunia
internasional termasuk bangsa Indonesia untuk memberantasnya. Hal itu
karena perlahan tapi pasti, gerakan penyalahgunaan Narkoba akan
menghancurkan generasi terbaik sebuah setiap bangsa, termasuk
masyarakat Aceh.
Dalam kesempatan ini, penulis mendukung sepenuhnya berbagai
program dan kegiatan yang dilakukan Badan Narkotika Provinsi Aceh
untuk memberantas dan memerangi Narkoba sampai ke akar-akarnya.
Atas dasar itulah, penulis mencoba berbagi saran dan pandangan yang
dituangkan dalam makalah sederhana ini dengan judul “Peranan
85
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99
PEMBAHASAN
Pengertian dan Sejarah Narkoba
Definisi NARKOBA sesuai dengan Surat Edaran Badan
Narkotika Nasional (BNN) No. SE/03/IV/2002 merupakan akronim dari
Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif lainnya. Narkoba yaitu zat-
zat alami maupun kimiawi yang jika dimasukkan ke dalam tubuh dapat
mengubah pikiran, suasana hati, perasaan, dan perilaku seseorang.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Sedangkan bahan adiktif adalah bahan-bahan aktif
atau obat yang dalam organisme hidup menimbulkan kerja biologi yang
apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi)
yakni keinginan untuk menggunakan kembali secara terus menerus.1
Sejarah pemakaian Narkoba sudah berlangsung lama. Sekitar
5000-6000 tahun sebelum Masehi. Orang-orang Mesopotamia telah
membudidayakan tanaman poppy yang berkhasiat mengurangi nyeri dan
memberi efek nyaman (joy plant). Zat ini dalam bahasa Yunani disebut
opium atau yang dikenal sebagai candu.2
Pada tahun 1803 seorang apoteker Jerman berhasil mengisolasi
bahan aktif opium yang memberi efek narkotika dan diberi nama
Morfin. Morfin berasal dari bahasa Latin Morpheus yaitu nama dewa
mimpi Yunani. Kemudian ada juga jenis lainnnya, seperti kokain, ganja,
1
Lebih lanjut lihat Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Mengenal
Penyalahgunaan Narkoba Buku 2A Untuk Remaja/Anak Muda, (Jakarta: BNN RI,
2007), hlm 8-16.
2
Libertus Jehani & Antoro dkk (ed.), Mencegah Terjerumus Narkoba,
(Tangerang: Visi Media, 2006), hlm. 2.
86
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa
3
Di Indonesia, penggunaan obat-obatan terlaran (drug) di kalangan anak
muda semakin meningkat dan meluas. Pada akhir tahun 1960-an, penyalahgunaan
obat-obat terlarang di kalangan remaja mencapai 80.000 hingga 100.000 kasus atau
kira-kira 0,0050%, dan pada masa tahun 1995 mencapai 125.000 anak muda atau
sekitar 0, 0062% dan mayoritas di antaranya merupakan remaja di kota-kota besar
seperti Jakarta, tewas karena obata-obat terlarang, masuk penjara atau terlibat
kejahatan lain. Lihat “Global Initiative on the provention of Drug in South East Asian
Countries,” adalah makalah yang dipresentasikan oleh Delegasi Yayasan Bersama
Indonesia sebagai LSM yang bergerak dalam penanggulangan bahaya Narkotika.
Seminar IFNGO di Chiang Mai, 14-18 Maret 1996.
87
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99
4
Peraturan Perundang-undangan sekitar Narkotika & Zat Adiktif, Majalah
BERSAMA (Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama), Jakarta, 30
Agustus-September 1991, hlm. 33-36.
5
Lihat lebih lanjut UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika; UU No. 5 tahun
1997 tentang Psikotropika; Keppres No. 3 tahun 2002 tentang Minuman Beralkohol;
Keppres No. 17 tahun 2002 tentang pembentukan BNN sebagai pengganti Keppres No.
116 tahun 1999 tentang BKNN; Pernyataan Presiden RI tanggal 12 Mei tahun 2000
bahwa Narkoba sudah menjadi BENCANA NASIONAL. Data BNN RI tahun 2004,
menunjukkan bahwa 1, 5 % dari jumlah penduduk Indonesia terlibat penyalahan
Narkoba (3,2 juta orang). Data tahun 2005 menunjukkan bahwa 15 ribu orang tewas
setiap tahun akibat penyalahan Narkoba.
88
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa
6
Libertus Jehani & Antoro, Mencegah Terjerumus…, hlm. 6-8.
7
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Mengenal Penyalahgunaan
Narkoba: Buku 2B Untuk Orang tua dan Dewasa, (Jakarta: BNN RI, 2007), hlm. 19-
20.
89
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99
90
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa
8
BNN RI, Mengenal Penyalahgunaan…, hlm. 19.
91
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99
92
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa
93
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99
94
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa
95
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99
96
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa
9
Kontribusi keluarga atau orang tua siswa dalam penanggulangan Narkoba
adalah dengan meluangkan waktu untuk memonitor setiap aktivitas anaknya. Orang tua
siswa harus sering berkonsultasi dengan sekolah walaupun tidak ada hal-hal yang
mengkhawatirkan. Anak-anak perlu diajak dialog untuk mengetahui pola pikir dan
problem yang sesungguhnya mereka hadapi. Kamar tidur dan tas sekolah mereka perlu
juga diperiksa secara berkala. Tempat mangkal yang sering mereka gunakan perlu
mendapat pantauan serius dari pihak orang tua.
10
Pihak sekolah, dalam hal ini para guru, sebenarnya belum semua
mendapatkan informasi yang lengkap tentang Narkoba. Oleh karena itu, perlu ada
pelatihan bagi para guru. Kalau tidak begitu, mereka bisa dibohongi oleh murid. Bisa
saja, anak menyebut “bong” (semacam pipa untuk menghisap uap narkotik) sebagai
prakarya atau Narkoba berbentuk “pil” dibilang obat sakit perut.
97
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99
PENUTUP
Akhirnya, dapat dimengerti dan disimpulkan bahwa Narkoba
dengan beragam jenis dan modelnya, bukan hanya merusak dan
meghancurkan masa depan seseorang atau sekelompok orang semata,
melainkan berimbas dan menular pada kehancuran suatu masyarakat,
bahkan generasi bangsa. Peredaran dan daya penyebarannya memakai
strategi dan jaringan kerja yang rapi, canggih, dan profesional. Untuk
mengatasi fenomena tersebut, di mana Narkoba bukan hanya merupakan
masalah nasional, tetapi juga sebenarnya telah menjadi “musuh” dan
“bencana” internasional, maka dibutuhkan usaha-usaha kolektif dan
terpadu, dari berbagai komponen bangsa Indonesia; baik mahasiswa,
pemerintah maupun masyarakat–bekerjasama dengan warga dunia
lainnya–untuk saling bantu-membantu dalam menyelamatkan generasi
bangsa dari serangan sistemik sindikat peredaran Narkoba yang semakin
marak belakangan ini.
Berbagai upaya startegis, sistematis dan tepat sasaran juga patut
dilakukan dari setiap lingkungan kampus di Nanggroe Aceh
Darussalam, di mana peran, tindakan nyata, dan tanggung jawab
mahasiswa Aceh sangat dibutuhkan konstribusinya–dalam rangka
penyelamatan generasi muda Aceh dari serbuan penyakit dan bencana
mematikan ini–yang bernama “hantu” Narkoba!. Perang terhadap
bandar dan pengedar Narkoba mutlak diprioritaskan, tidak hanya oleh
aparat penegak hukum, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam upaya
pemberantasannya. Upaya-upaya preventif dan kuratif pun juga penting
diaktualisasikan secara seimbang dan komprehensif. Sekurang-
kurangnya, marilah kita mulai, (ibdak binafsik!)
98
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa
DAFTAR BACAAN
99
Saidi,
Narkoba dalam Pandangan Syariat Islam
oleh
Saidi
Dosen Fatar Unmuha, Banda Aceh
PENDAHULUAN
“Satu-satunya jalan agar tidak terjerumus narkoba adalah
jangan mencoba menggunakan narkoba. Yang Terbaik dalam hidup
akan hilang karena narkoba. Hidup pasti akan berakhir tetapi jangan
akhiri hidupmu dengan narkoba!” Demikian salah satu pesan dan
peringatan yang pernah penulis baca dan dengar di seputar informasi
tentang narkoba dan dampak yang ditimbulkannya. Intinya adalah,
“jangan bermain api” dengan narkoba. Cepat atau lambat narkoba akan
melumpuhkan dan memusnahkan kehidupan seorang anak manusia
dengan penderitaan dan kesengsaraan yang panjang, bukan hanya
seorang atau dua orang yang dirugikan oleh narkoba, tetapi juga dan
bahkan masa depan generasi bangsa bisa rusak dan hancur akibat
penyalahgunaan narkoba.
Kendatipun narkoba pada awalnya dikonsumsi manusia sebagai
obat dan digunakan sebagai objek penelitian di bidang ilmu
pengetahuan, namun karena kesalahan dalam penggunaannya bisa
menjadi penyakit menular yang sangat berbahaya, dan dapat menyebar
cepat melalui pergaulan, terutama di kalangan ramaja. Penyalahgunaan
narkoba merupakan masalah dan penyakit yang dapat mematikan
kreatifitas dan kesehatan kehidupan generasi muda, oleh karana itu,
bukan hanya di Indonesia, tetapi semua negara di dunia memaklumkan
perang terhadap penyalahgunaan narkoba dengan segala bencana yang
ditimbulkannya. Fakta dan data menunjukkan bahwa baik secara
kualitas maupun kuantitas narkoba secara cepat selalu mengorbankan
generasi muda.
Masalah narkotika dan obat-obatan terlarang seperti ganja,
morfin, putaw dan jenis lainnya merupakan masalah besar yang dihadapi
bangsa. Di kalangan generasi muda dan masyarakat tertentu telah
dirasuki dan bahkan dapat dikategorikan sebagai pecandu yang sulit
disembuhkan. Tindakan preventif yang harus dilakukan untuk
menghindari terjerumus dan ketergantungan generasi muda terhadap
obat-obat terlarang tersebut. Salah satunya adalah dengan pendekatan
agama. Mengenai status hukum penyalahgunaan narkoba dalam
100
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
PEMBAHASAN
Definisi dan Gejala Ketergantungan Narkoba
Narkoba adalah singkatan dari “Narkotika dan Obat-obat
terlarang,”dari pengertian tersebut dapat dipisahkan antara narkotika dan
obat-obat terlarang. Narkotika diartikan sebagai bahan-bahan pembius
atau obat-obat bius. Sedangkan obat-obat terlarang banyak jenisnya,
antara satu dan lainnya, punya pengaruh berbeda terhadap keadaan fisik
maupun mental seseorang. Istilah lain yang tidak kalah populernya
adalah “NAZA”, yaitu singakatan dari Narkotika, Alkohol, dan Zat
Adiktif lainnya.1
Jenis-jenis obat (drug atau farmakon) didefinisikan oleh WHO
sebagai “semua zat yang bila dimasukkan ke dalam tubuh suatu
makhluk, akan mengubah atau mempengaruhi satu atau lebih fungsi
kesadaran dan tingkah laku makhluk tersebut”. Dalam masalah
ketergantungan obat, biasanya yang dimaksud dengan obat ialah: zat
dengan efek yang besar terhadap susunan syaraf pusat atau fungsi
mental, seperti obat psikotropik, termasuk obat psikotomimetik
(psikedelik) dan stimulansia, morfin dan derivatnya serta obat tidur.
“Opioid” ialah semua zat, asli atau sintetik, yang mempunyai efek
seperti morfin. Sedangkan narkotika sebenarnya secara farmakologik
berarti obat-obat yang menekan susunan syaraf pusat, terutama opioid;
tetapi sebagian ahli memasukkan juga tranguilaizer, neroleptika, dan
hipnotika ke dalam kelompok narkotika. Menurut peraturan di
Indonesia, dalam narkotika termasuk juga kokain dan psikotomimetika
(ganja).
Opioid Opioid yang terkenal dengan opium, morfin, heroin,
kodein, dan petidin. Efek satu dosis tunggal morfin atau opioid yang lain
ternyata tergantung pada pengalaman individu dengan obat tersebut
sebelumnya, pada kepribadiannya, adanya atau tidak adanya rasa nyeri
serta tergantung pula pada keadaan dan suasana pemakaian.
Semua jenis narkoba (Naza) tersebut diproduk dalam dua bentuk
kemasan; Pertama, diproduk khusus untuk kepentingan “obat-obatan”
dan bisa dipakai dengan resep dokter. Kedua, dikemas khusus untuk
kepentingan “bisnis”, dalam bentuk kedua ini baik proses produksinya,
1
WF. Maramis, Ilmu Kedokteran Jiwa, (Surabaya: Airlangga University Press,
1988).
101
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
2
Hurlock, EB, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1997).
3
Koesmarwanti dan Nugroho Widiyanto, Dakwah Sekolah di Era Baru,
(Karangasem: Intermedia, 2002), hal. 40-41.
102
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
4
Republika, 23 Maret 2002.
5
Visimedia, Mencegah Terjerumus Narkoba, (Tangerang: Agromedia
Pustaka, 2006), hal. 11-13.
103
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
104
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
105
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua
yang beragama Islam.6 Ahmad Zaki Yamani7 berpendapat bahwa
pengertian syariat Islam itu terbagi menjadi dua bidang, yaitu pengertian
dalam bidang yang luas dan pengertian dalam bidang yang khusus atau
sempit. Pengertian syariat Islam dalam bidang yang luas meliputi semua
hukum yang telah disusun dengan teratur oleh para ahli fiqih dalam
pendapat fiqihnya mengenai persoalan di masa mereka, atau mereka
perkirakan akan terjadi kemudian dengan mengambil dalil langsung dari
Alquran dan Hadis atau sumber hukum yang lain, seperti qiyas, ijma’,
istihsan, istishlah dan mashlahah mursalah. Sedangkan dalam
pengertian sempit, syariat Islam itu terbatas pada hukum-hukum yang
berdalilkan pasti dan tegas, tertera dalam Alquran, Hadis yang shahih
dan ditetapkan dengan ijma’.
Syariat Islam mengandung tiga dimensi, yaitu pertama, dimensi
akidah, yaitu mencakup hukum-hukum yang berhubungan dengan zat
Allah swt, sifat-sifat-Nya, iman kepada-Nya, kepada utusan-Nya, hari
kiamat dan hal-hal yang mencakup dalam ilmu kalam. Kedua, dimendi
moral, yaitu membahas secara spesifik tentang etika, pendidikan dan
pembersihan jiwa, budi pekerti yang harus dimiliki oleh seseorang dan
sifat-sifat buruk yang harus dihindari seseorang. Ketiga, dimensi hukum,
yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia seperti ibadah, muamalah,
hukuman, dan sebagainya yang termasuk dalam kajian ilmu fiqih. Dari
ketiga dimensi ini dapat diketahui bahwa syariah dapat dibedakan antara
syariah sebagai ajaran yang datang langsung dari Allah dengan undang-
undang hasil pemikiran manusia yang disebut dengan fiqih.8
Lalu pertanyaannya, bagaimana pandangan Islam terhadap
narkoba? Pada dasarnya, narkoba bukan hanya musuh Islam, namun
sudah diakui sebagai bahaya dan bencana bagi setiap masyarakat dunia
secara umum, karena melalui banyak penelitian ditemukan bahwa,
terdapat hubungan yang bermakna antara pecandu narkoba dengan
berbagai perilaku kriminal. Di dalam Alquran dan Hadis memang tidak
ditemukan istilah narkoba, yang ditemui adalah dalil sekitar khamar atau
yang memabukkan. Narkoba dan khamar berbeda dari segi bahasa,
6
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 26.
7
Ahmad Zaki Yamani, Syariat Yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, terj.
KMS Agustjik, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1978), hal. 14-15.
8
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia: Tinjauan dari Aspek
Metodologis, Legislasi, dan Yurisprudensi, (Jakarta: RajaGraffindo Persada, 2007),
hal. 42-43.
106
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
9
Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).
107
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
108
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
mudharat dan mafsadat akan ditolak dan ditentang oleh syariat Islam.
Dalam hal ini, narkoba membawa dampak yang luar biasa dalam
merusak dan menghancurkan masa depan manusia dan khususnya umat
Islam, atas dasar itu syariat Islam secara tegas dan jelas mendukung
untuk memerangi musuh bersama umat manusia ini.
Suatu kenyataan yang tidak mungkin dibantah adalah bahwa apa
yang disebut narkoba telah berada di tengah kita dan merasuk ke tengah
masyarakat, termasuk masyarakat dalam lingkungan yang selama ini
dikenal kuat adat dan taat beragama. Dengan demikian dapat diduga
bahwa yang telah terjerumus dalam penyakit masyarakat khusus ini
sebagian besar adalah umat Islam yang secara hukum Islam kepadanya
telah berlaku larangan sebagaimana disebutkan di atas.
Orang Islam yang secara hukum telah terkena kewajiban dalam
melaksanakan syariat Islam tetapi ternyata tidak menjalankan syariat
Islam itu dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, antara lain:
(1) Mereka tidak melaksanakan hukum karena mereka tidak
mengetahui sama sekali bahwa yang dikonsumsinya itu
termasuk pada apa yang selama ini diketahui keharamannya atau
dalam arti ia tidak tahu tentang keharaman narkoba itu.
(2) Mereka memang telah mengetahui keharamannya sebagaimana
yang berlaku terhadap khamar yang selama ini ia yakini
keharamannya, namun mereka tidak mengindahkan hukum dan
sanksi agama itu.
Ketidak patuhan umat dalam bentuk yang pertama dapat
disebabkan oleh kurangnya penyiaran dan penyuluhan agama yang
berkenaan dengan bentuk-bentuk tindak kejahatan atau perbuatan
maksiat. Kalau memang alasannya adalah seperti ini, berati bahwa
petugas agama, ulama dan muballigh belum menjalankan tugasnya
secara baik, sehingga banyak sasaran yang terlewatkan. Kekurangan
dalam hal ini masih mudah mengatasinya, antara lain dengan
mengintensifkan penyuluhan agama secara merata di tengah masyarakat.
Pelanggaran dalam bentuk kedua rasanya disebabkan oleh begitu
rendahnya tingkat keimanan umat sehingga mereka tidak begitu yakin
akan kebenaran agama dan oleh karenanya tidak begitu takut akan
ancaman dan sanksi agama. Pelanggaran ajaran agama dalam bentuk ini
lebih serius, karena ia telah tahu namun melanggar; bila dibandingkan
dengan yang pertama yang disebabkan pelanggaran itu disebabkan oleh
ketidaktahuannya.
Bertitik tolak dari teori bahwa kejahatan itu timbul ketika niat
dan kesempatan ada. Maka pelanggaran dalam bentuk kedua di atas
109
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
110
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
10
Keluarga sebagai pendidik utama dan pertama yang diterima anak dengan
segala daya upaya mereka mempersiapkan anaknya agar berhasil melewati masa
remaja yang penuh dengan berbagai cobaan. Ada beberapa persyaratan untuk
mewujudkan cita-cita tersebut, yaitu: 1. mengisi batin anak-anaknya dengan
penanaman iman, pembinaan amal dan akhlakul karimah. 2. menjaga keserasian
hubungan suami isteri, sehingga tidak terjadi pertengkaran di depan anak-anak, hal ini
dapat menyebabkan anak stres, cemas, kacau dan gelisah, pada akhirnya kepribadian
anak terganggu. 3. komunikasi timbal balik antara anak, anak dan anggota keluarga
secara terbuka, sopan dan harmonis. Si anak tidak segan-segan membicarakan
permasalahannya kepada orang tua, sehingga mereka betah di rumah dan tidak lari
mencari teman yang mau mendengar berbagai keluhan mereka.
11
Fungsi sekolah bukan hanya mengisi kognisi anak-anak dengan bebagai
macam ilmu pengetahuan semata, peran iman, sangat menonjol dalam mempersiapkan
generasi muda. sebaiknya semua guru bisa menghubungkan setiap keterangan dari
bidang studi yang dajarkan dengan iman dan amal shalih, agar semua ilmu
pengetahuan yang diperoleh anak tidak kering dari nilai-nilai spiritual. Di samping itu,
afeksi dan kognisi serta psikomotor anak tidak kalah pentingnya untuk mendapatkan
perhatian dan pembinaan dari guru, sehingga mereka tidak mudah terjerumus ke dunia
fantasi lewat kebahagiaan semu, termasuk narkoba.
111
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
PENUTUP
Penyalahgunaan narkoba adalah suatu kejahatan yang
membidani lahirnya bencana individual, sosial dan bahkan bangsa dan
negara–yang dampak buruknya dapat melumpuhkan dan
menghancurkan sebuah generasi bangsa. Penyalahgunaan narkoba
merupakan suatu benih kejahatan, jika benih inidibiarkan tumbuh dalam
suatu masyarakat, cepat atau lambat akan tumbuhlah cabang-cabangnya
yang lain dalam berbagai bentuk kriminal seperti, copet, pencurian,
perjudian, pergaulan bebas, perkelahian dan seterusnya. Dengan
demikian, ketenangan dan ketenteraman masyarakat pasti akan
terganggu. Karena akibat penyalahgunaan narkoba itu demikian
kompleks, maka seyogyanya semua pihak bertanggung jawab, kerja
sama, bantu-membantu dalam menanggulanginya, baik dalam bentuk
preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Dalam mengatasi problema
narkoba tersebut sebaiknya semua pihak selalu memperhatikan berbagai
pesan Islam yang terkandung dalam Alquran dan Hadis–dengan cara
merubah sikap dan perilaku mereka yang terlibat narkoba melalui
pendekatan akal sehat, menerima secara sukarela dan senang hati, sesuai
dengan ciri khas kejiwaan yang Islami, tidak dipaksakan. Cara-cara
tersebut selalu disesuaikan dengan prinsip-prinsip persuasif, motivatif,
konsultatif dan edukatif.
Kehadiran syariat Islam di muka bumi bukan untuk
menyusahkan dan membebani manusia dengan penderitaan, tetapi
bertujuan untuk memanusiakan harkat, martabat dan meninggikan
derajat manusia itu sendiri, memuliakan dan memudahkan segala urusan
manusia sesuai petunjuk syariat. Salah satu tujuan utama syariat Islam
adalah membawa kemaslahatan bagi manusia, di mana ada maslahat di
situ ada hukum Allah, umat Islam diserukan agar mampu memberikan
dan mengambil manfaat yang sebanyak-banyaknya dalam kehidupan ini
dan begitu pun sebaliknya, berupaya keras untuk menolak, menjauhi dan
menghindari berbagai kejahatan, kekejian, dan perbuatan dosa yang
merugikan diri dan lingkungannya.
Diharamkannya penyalahgunaan narkoba dalam pandangan
syariat Islam bukan tanpa alasan dan pertimbangan yang matang, kalau
narkoba itu digunakan pada jalurnya untuk kepentingan medis dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang manfaatnya banyak bagi
kemaslahatan manusia, jelas Islam mendukungnya, tetapi justeru yang
terjadi dalam fenomena yang berulangkali disaksikan, penyalahgunaan
narkoba sudah menjalar mudharat dan mafsadahnya bukan hanya
bersifat individual, tetapi juga berimbas pada kerusakan sosial dan
112
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113
DAFTAR BACAAN
113
Irham,
Kedudukan Syariat Islam
oleh
Mohammad Irham
Dosen Akfis Unmuha, Banda Aceh
PENDAHULUAN
Pada era reformasi, Pemerintah Republik Indonesia memberikan
kembali kewenangan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(selanjutnya disebut NAD) untuk melaksanakan syariat Islam.
Pemberian tersebut dikokohkan dengan payung hukum berupa UU RI
Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh
dan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Sebagai
Provinsi NAD.1
Pemberian kewenangan dalam kedua peraturan tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan langkah legalisasi (taqnin) syariat
Islam2 yang hasilnya disebut qanun3. Meskipun langkah legalisasi
1
Pemberian izin pelaksanaan syariat Islam kepada Aceh sebenarnya sudah
pernah diberikan melalui berbagai peraturan dalam sejarah perjalanan Aceh. Di
antaranya, Surat Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 Tahun 1947 yang memberi
izin kepada residen Aceh membentuk Mahkamah Syar’iyyah dengan kewenangan
penuh, meskipun hanya dalam bidang kekeluargaan saja. Peraturan lainnya. PP Nomor
29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Mahkamah Syar’iyyah. Di seluruh Aceh berikut
susunan dan kewenangannya. Demikian juga keputusan Perda Menteri RI Nomor
1/Missi/1959 yang mengganti Aceh dengan sebutan makna pemberian”Daerah
Istimewa Aceh.” Sebutan ini mengandung makna pemberian “Otonomi yang seluas-
luasnya, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan dan pendidikan.” Namun
demikian, pemberian kewenangan atau kesempatan pelaksanaan syariat Islam tersebut
dapat dikatakan sebagai “Isapan Jempol” yang tidak pernah terealisasikan dengan baik.
Keadaan seperti ini berjalan terus sampai akhirnya lahir UU Nomor 44/1999 dan UU
Nomor 18/2001. Untuk mengetahui sejarah berbagai peraturan tentang keistimewaan
untuk melaksanakan syariat Islam kepada Aceh, lihat misalnya Al Yasa Abubakar,
“Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan Prospeknya),” dalam Safwan Idris
(et.al.), Syariat di Wilayah Syariat (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam dan YUA, 2002),
hal. 26-51.
2
Taqnin menurut etimologi adalah legistilation, law making, codification
(pembuatan peraturan/undang-undang, legislasi). Hans Wehr, A Dictionary of Modern
114
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138
Writen Arabic, J. Milton Cowan (ed.), (Wesbaden: Otto Harrassowitz, 1971), hal. 791.
Sedangkan menurut terminonologi adalah upaya mengkompilasikan kaidah-kaidah
peraturan yang berkaitan dengan hukum-hukum tertentu dalam sebuah bentuk kitab
tertulis, atau dalam satu bentuk legislasi dengan melalui suatu kekuasaan tertentu. Abd
al-Hamid Mutawalli, Azmah al-Fikr al-Islamy fi al-‘Asr al-Hadith (T.tp: al-Hay’ah al-
Misriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1985), hal. 22
3
Taqnin menurut etimologi berarti rule, statude, code (peraturan, undang-
undang). Hans Wehr. A Dictionary, hal. 791. Sedangkan menurut terminologi adalah
sekumpulan kaedah yang disusun untuk mengatur urusan manusia dalam hubungan
kemasyarakatan. Kaidah tersebut harus ditaati, dihormati, dan diterapkan anggota
masyarakat, serta bagi penegak hukum dapat memaksa manusia untuk menghormati
dan menegakkan hukum tersebut. Muhammad al-Ghazali (et.al), Nizam Itsbatt al-
Da’wa wa Adillatuh fi al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun (Iskandariyyah: Dar al-Da’wah,
1996), Cet. I, hal. 28. Sedangkan pengertian Qanun di NAD akan diuraikan pada
pembahasan di belakang.
4
Pendukung legislasi memandang bahwa pelegislasian syariat Islam akan
menciptakan ketertiban hukum, mencegah kesewenang-wenangan, dan menjaga
terpengaruhinya hak dan keadilan, serta memudahkan untuk dijadikan rujukan dalam
proses peradilan. Sementara penentang legislasi syariat Islam berpendapat, bahwa
langkah tersebut dianggap membuat hukum baru yang tidak digali dari sumber al-
Kitab, al-Sunnah, dan fiqh Islami pada umumnya. Dengan demikian, legislasi itu
menyerupai hukum-hukum positif yang dipraktekkan di peradilan negara-negara
sekuler. Di antara pendukung legislasi adalah Abd a-Rahman al-Qasim. Sedangkan
penentangnya adalah al-Syaikh al-Shalihi dan al-Syaikh Abdullah al-Bassam. Polemik
tersebut menurut Ahmad Muhammad Jamal hanya bersifat lafzy (kebahasaan) semata.
Karenanya, dia menawarkan pengganti istilah taqnin al-syariah dengan Taqrib al-
syariah. Lihat Ahmad Muhammad Jamal, Qadaya Mu’asiroh fi Mahkamah al-Fikr al-
Islami (Kairo: Dar al-Sahwah, 1986), Cet. II, hal. 33-35. Menurut hemat penulis,
pengalihan istilah tersebut tidaklah mengubah esensinya. Karena istilah taqnin al-
syariah dan taqrib al-syariah merupakan upaya mewujudkan syariat Islam dalam
bentuk peraturan resmi yang dibuat kekuasaan.
5
Kritik dari pemikir luar Islam terhadap legislasi syariat Islam di antaranya
dilontarkan orientalis Joseph Schacht dalam artikelnya “Problems of Modern Islamic
Legislation.” Menurutnya, hukum Islam tradisional itu lebih sebagai doktrin dan
metode daripada sebagai kitab hukum (code). Secara alamiah pun, hukum Islam itu
tidak cocok untuk dilegislasikan karena akan mendistorsinya. Problema ini telah
dijawab dengan baik oleh orientalis lain, Ann Elizabeth Mayer. Menurutnya, perlu
dirumuskan kembali teori sumber hukum Islam (Theories of sources of Islamic law)
dalam khazanah ushul fiqh, dengan melihatnya dalam perspektif tingkatan sumber
hukum (hierarchy of sources of law) yang terdapat dalam sistem hukum modern.
Berdasarkan hal tersebut, pengakuan juris (fuqaha) sebagai pemegang otoritas hukum
Islam, harus diganti dengan menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai pengganti
kedudukannya. Di samping itu, fiqh yang selama ini didudukkan sebagai sumber utama
(primary source of law) diturunkan derajatnya menjadi sumber sekunder (secondary
source). Uraian lengkap analisis Mayer tersebut dapat dilihat dalam artikelnya “The
115
Irham,
Kedudukan Syariat Islam
PEMBAHASAN
Sistem Hukum Nasional
Hukum nasional adalah cerminan dari norma-norma moral
masyarakat yang diangkat menjadi norma-norma hokum sehingga
mengikat seluruh warga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Banyak teori yang dikemukakan tentang transformasi norma-norma
moral menjadi norma-norma hukum ini. Pertanyaan yang perlu dijawab
adalah: Apakah bangsa Indonesia sudah mempunyai sebuah hukum
nasional?
Dilihat dari kenyataan normatif yang ada (das sollen), maka
Indonesia memang mempunyai sebuah hukum nasional yang terdiri dari
UUD, Undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku
dalam wilayah Negara Republik Indonesia, tetapi dari segi kenyataan
alamiah (das Sein) apakah norma-norma hukum tersebut betul-betul
jalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih merupakan
persoalan besar. Masalah lainnya, hukum yang kita pandang nasional
tidak melambangkan satu kesatuan dilihat dari sejarah, asal-usul dan
filsafatnya.
Sewaktu Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
bulan Agustus 1945 satu-satunya hukum nasional yang kita miliki
adalah UUD 1945 yang disusun dalam masa relatif pendek, dan karena
itu memiliki berbagai kelemahan, sehingga pada era reformasi konstitusi
Indonesia telah tiga kali mengalami amandemen dan untuk masa
mendatang akan disempurnakan secara terus-menerus. Sementara itu,
sumber hukum yang lebih rendah berupa undang-undang, peraturan-
peraturan, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan lain-lain masih
mewarisi apa yang ditinggalkan oleh kaum kolonial. Pemerintah
kolonial juga mewariskan apa yang mereka pandang sebagai hukum
adat, di samping pengakuannya terhadap hukum Islam sebagai perdata
khusus yang berlaku bagi umat Islam. Dengan demikian, para ahli
hokum kita pada umumnya mengatakan bahwa hukum nasional
Indonesia sekarang ini bersumber atau mencerminkan tiga sistem
8
Legalisasi hukum pertama kali adalah lahirnya Majallah al-Ahkam al-
Adliyyah, pada tahun 1293 H/1876 M pada akhir masa Turki Utsmani, Abd al-Madjid
Abd al-Hamid, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Maghrib: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1994), hal.
322-323.
117
Irham,
Kedudukan Syariat Islam
hukum: Barat, Adat dan Islam.9 Ketiga sistem hukum inilah yang sedang
bertarung atau berlebur untuk membentuk suatu hokum nasional yang
lebih berciri Indonesia di masa depan.
Dari ketiga sistem hukum ini, maka hukum Islam mempunyai
peluang besar untuk mengisi hukum nasional karena beberapa
pertimbangan. Pertama, bila kita dapat sepakat dengan adat yang
mempunyai implikasi hukum, maka hukum adat di samping klaim yang
sering mengatakannya sebagai hukum yang berciri Indonesia, ia lebih
bersifat kesukuan (ethnicity), kecuali adat yang benar yang merupakan
sumber komplementer hukum Islam. Oleh karena itu, hukum adat yang
tidak mencerminkan keadilan, kemanusiaan dan kebersamaan berpotensi
untuk sektarianisme dan disintegrasi bangsa, dan dari hari ke hari
cenderung ditinggalkan masyarakat seiring dengan berkembangnya arus
migrasi, akulturasi dan modernisasi di seluruh wilayah Indonesia.
Kedua, Hukum Barat sebagai hukum asing menggambarkan
sejarah dan norma-norma bangsa Eropa yang belum tentu sejalan
dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Selain itu, hukum Barat
zaman kolonial dirancang sebagai bagian dari politik kolonial untuk
mempertahankan kekuasaan asing di bumi nusantara. Dengan
meningkatnya semangat kebangsaan di masa depan, maka hukum yang
berasal dari Barat akan diterima dengan sangat selektif, hanya bila itu
sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma bangsa Indonesia.
Ketiga, Hukum Islam mencerminkan norma-norma bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, seperti diakui Daniel S. Lev,
sebelum nusantara dipersatukan oleh sebuah Pemerintah Kolonial
Belanda, hukum Islam telah lebih dahulu menyatukan mayoritas rakyat
Indonesia.10 Segi lain yang memantapkan hukum Islam adalah sifat
diyani yang dikandungnya di samping sifat qadai 11 karena berasal dari
hukum agama yang tidak hanya mengikat manusia sebagai makhluk
sosial, tetapi lebih-lebih lagi karena berhubungan dengan keyakinan
kepada Tuhan Yang Maha Tinggi bahwa kebaikan akan dibalas dengan
kebaikan dan keburukan akan dibahas dengan keburukan, baik di dunia
9
Abdul Gani Abdullah, PengantarKompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal. 15-16.
10
Daniel S. Lev, terj. Nirwono dan A.E. Priyono, Hukum dan Politik di
Indonesia (Jakarta: LP3S, 1990), hal. 121-122.
11
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi,
1999), hal. 60-62.
118
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138
18
Campur tangan negara yang terwujud dalam bentuk peraturan tertulis
merupakan salah satu sumber Qanun (al-Masadir al-rasmiyyah). Sumber inilah yang
menjadikannya daya ikat dan daya paksa. Sedangkan sumber Qanun yang lain adalah
sumber-sumber material (al-Masadir al-Maddiyah / al-maqdu’iyyah), sumber-sumber
kesejarahan (al-masadir al-tarikhiyyah), dan sumber yang berupa pemahaman (al-
masadir al-tafsiriyyah), ‘Abd al-Hamid Mutawalli, al-Syar’iyah al-Islamiyyah ka
Masdar Asasiyy li al-Dustur (Iskandariyyah: al-Ma’arif, 1990), Cet. III, hal. 19-20.
19
Fadhil Lubis, A History of Islamic Law, hal. 14-15.
20
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 10/2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, (tt.tp).
121
Irham,
Kedudukan Syariat Islam
122
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138
21
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 11/2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam, (tt.tp).
124
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138
22
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 12/2003 Tentang Larangan Minuman Khamar dan Sejenisnya, (tt.tp).
23
Draf Rancangan Qanun tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya yang ada
di tangan penulis hanya menetapkan larangan minum khamar terbatas kepada kaum
muslimin.
127
Irham,
Kedudukan Syariat Islam
24
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 13/2003 Tentang Maisir / Perjudian, (tt.tp).
128
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138
129
Irham,
Kedudukan Syariat Islam
25
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 14/2003 Tentang Khalwat (Mesum), (tt.tp).
130
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138
28
Ibid.
132
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138
29
Syahrizal Abbas, Kedudukan Qanun Aceh dalam Sistem Hukum Nasional,
Makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional: Syariat Islam dan
134
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138
PENUTUP
Sebagai penutup ingin dikatakan bahwa pelaksanaan syariat
Islam di Aceh adalah sebuah proses. Maksudnya, upaya terus menerus
dan berkesinambungan dari semua unsur dan lapisan masyarakat untuk
melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Berhubung kita sudah
terlalu lama meninggalkan syariat Islam di satu pihak dan di pihak lain
banyak sekali perubahan yang telah terjadi di tengah masyarakat, maka
upaya merumuskan kembali peraturan-peraturan berdasarkan syariat
yang dianggap cocok dengan kebutuhan masyarakat atau sebaliknya
merumuskan perilaku dan perbuatan anggota masyarakat yang harus
diubah serta disesuaikan dengan tuntunan syariat, akan merupakan
kegiatan yang harus dilakukan secara terus-menerus dan sungguh-
sungguh.
Masa depan penerapan syariat Islam di Aceh, sesungguhnya
tidak hanya untuk kepentingan masyarakat Aceh semata, akan tetapi
juga untuk kepentingan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama
daerah-daerah yang memiliki akar keislaman yang kuat dan telah pula
mencanangkan penerapan Syariat dengan berbagai cara. Kesuksesan
penerapan syariat Islam akan menjadi pendorong gerakan yang memang
sudah tumbuh di berbagai daerah lain tersebut. Pengaruh penerapan
syariat Islam di Aceh mungkin adalah hal yang tak terduga bagi
masyarakat Aceh, akan tetapi keberhasilan penerapan syariat tersebut
akan dirasakan dan diharapkan oleh masyarakat lain. Di sinilah
pentingnya bahwa penerapan syariat Islam di Aceh harus berhasil
mencapai tujuannya yaitu merealisasikan “rahmatan lilalamin”,
menimbulkan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari, menegakkan rasa
keadilan yang merata dan pada akhirnya akan muncul kesejahteraan
Tantangan Dunia Global, Menggagas Format Penerapan Hukum Islam yang Aktual
dan Dinamis di Nanggroe Aceh Darussalam, 19-21 Juli 2007.
135
Irham,
Kedudukan Syariat Islam
DAFTAR BACAAN
136
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138
138
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
oleh
Said Mahyiddin
Dosen Unmuha, Banda Aceh
PENDAHULUAN
Sejarah menunjukkan bahwa agama sebagai tradisi dan
kebudayaan (yang dianut umatnya) memiliki kemampuan secara
multiple untuk melakukan tafsiran ulang secara terus-menerus dalam
menghadapi tuntutan perubahan zaman. Agama-agama samawi seperti
Judio-Kristen dan Islam dalam masa kontemporer mau tidak mau harus
menjawab tantangan politik seperti halnya soal kebangsaan, kenegaraan
dan demokrasi.
Agama, sebagaimana dinyatakan banyak kalangan, dapat
dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia.1 Islam,
dibandingkan dengan agama-agama lain, sebenarnya merupakan agama
yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan
utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya
yang “hadir di mana-mana” (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang
mengakui bahwa “di mana-mana” kehadiran Islam selalu memberikan
“panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.”2
Dalam konteksnya yang sekarang, tidaklah terlalu mengejutkan,
meskipun kadang-kadang mengkhawatirkan, bahwa dunia Islam
kontemporer menyaksikan sebagian kaum Muslim yang ingin
mendasarkan seluruh kerangka kehidupan sosial, ekonomi dan politik
pada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari keterbatasan-
keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya.
Ekspresi-ekspresinya dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik
yang dewasa ini popular seperti revitalisme Islam, kebangkitan Islam,
1
Argumen ini pernah dinyatakan secara cukup kuat oleh Robert N. Bellah.
Lihat tulisannya, “Islamic Tradition and the Problem of Modernization,” Robert N.
Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Tradisionalist World, Berkeley
and Los Angeles: University of California Press, 1991, h. 146. Lihat juga Leonard
Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis, Chicago and
London: University of Chicago Press, 1988, h. 4.
2
Fazlur Rahman, Islam, New York, Chicago, San Fransisco: Holt, Reinhart,
Winston, 1966, h. 241.
139
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
3
Dalam gerakan semacam ini, Mohammed Arkoun menyebut adanya dua
kelompok pendukung yang berbeda. “Mereka yang menikmati posisi sosial dan
ekonomi yang menguntungkan bersedia untuk berkompromi dan menganut pandangan-
pandangan keislaman yang konservatif, sebab mereka tidak punya akses kepada
modernitas pemikiran! Kita juga tahu bahwa mereka yang belajar ilmu-ilmu teknik
cenderung untuk mendukung gerakan fundamentalisme: mereka tidak mempunyai
kesadaran akan pandangan-pandangan kritis yang berkembang di bidang ilmu
humaniora dan sosial, khususnya sejarah.” Lihat tulisannya, The Concept of Authority
in Islamic Thought,” Klauss Ferdinand and Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and
Society, London: Curzon Press, 1988, hh. 70-71.
4
Kritik umum atas kecenderungan semacam ini juga dibahas dalam Fazlur
Rahman, Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, Chicago and
London: University of Chicago Press, 1982.
5
Arkoun, “The Concept of Authority……, hh. 72-73- dan 53.
6
Banyak karya yang dapat dirujuk mengenai masalah ini. Yang penting
mencakup: Leonard Binder, Religion end Politics in Pakistan, Berkeley and Los
Angeles; University of California Press, 1963; Mohammed Ayoub (ed.), The Politics of
140
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
Islamic Reassertion, London: Croom Helm, 1981; Edward Mortimer, Faith and
Power: The Politics of Islam, London: Faber and Faber, 1982; Fred Halliday and
Hamzah Alavi (eds.), State and Ideology in the Middle East and Pakistan, New York:
Monthly Review Press, 1988; R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution:
Fundamentalism in the Arab World, Sycracuse University Press, 1985; dan Nazih
Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, London and New
York: Routledge, 1991.
7
Lihat Ruth McVey, “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics,”
James Piscatori (ed.), Islam in the Political Proceess, hh. 199-225; W.F. Wertheim,
“Indonesian Moslems Under Sukarno dan Suharto: Majority with Minority Mentality,”
Studies on Indonesian Islam, Townsville: Occasional Paper No. 19, Centre for
Southeast Asian Studies, James Cook University of North Queensland, 1986.
8
Untuk paparan ringkas mengenai kekalahan politik Islam, lihat Donald K.
Emmerson, “Islam and Regime in Indonesia: Who’s Coopting Whom?” makalah
disampaikan dalam pertemuan tahunan American Political Sceince Association,
Atlanta, Georgia, 31 Agustus 1989.
141
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
PEMBAHASAN
Definisi Filsafat Hukum Islam
Dalam bukunya “Filsafat Hukum Islam”,9 Ismail Muhammad
Syah (Ismuha) memberikan definisi Filsafat Hukum Islam sebagai
“pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan tujuan hukum Islam, baik
yang menyangkut materinya maupun proses penentuannya.” Dari
rumusan tersebut filsafat hukum Islam mencakup dua hal pokok yang
terdiri dari filsafat tasyri dan hakikat serta rahasia hukum Islam yang
selanjutnya disebut falsafah syariah.
Sejalan dengan maksud dari definisi di atas namun lebih rinci,
Hasbi As-Shiddieqy mendefinisikan filsafat hukum Islam, “setiap
qaidah, asas atau (mabda) atau aturan-aturan yang digunakan untuk
mengendalikan masyarakat Islam. Baik kaidah itu merupakan ayat
Alquran, ataupun merupakan hadis, maupun merupakan pendapat
sahabat Nabi Muhammad dan tabiin, atau pendapat yang berkembang
pada suatu masa dalam kehidupan umat Islam atau suatu bidang-bidang
masyarakat Islam. Istilah lain dari Filsafat Hukum Islam sebagaimana
yang diuraikan Hasbi, meliputi (daa-imul ahkam, mabadiul ahkam,
ushul al-ahkam, maqashidul ahkam, mahasinul ahkam, qawqidul
ahkam, asrarul ahkam, khasa-isul ahkam, mahasinul ahkam dan
thawabiul ahkam). Ringkasnya Filsafat Hukum Islam adalah sendi-sendi
hukum, prinsip-prinsip hukum, pokok-pokok hukum (sumber-sumber
hukum), kaidah-kaidah hukum yang di atasnyalah dibina undang-undang
Islam.10
Filsafat Hukum Islam sebagaimana filsafat pada umumnya
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjangkau oleh ilmu
9
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1992, h. 3.
10
Hasbi As-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993,
h. 36-37.
142
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
hukum. Menurut Juhaya S. Praja, ada dua tugas filsafat hukum Islam
sebagaimana tugas filsafat pada umumnya, yaitu: pertama, tugas kritis
dan, kedua, tugas konstruktif. Tugas kritis filsafat hukum Islam ialah
mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah mapan di
dalam hukum Islam. Sementara tugas konstruktif filsafat hukum Islam
ialah mempersatukan cabang-cabang hukum Islam dalam kesatuan
sistem hukum Islam sehingga nampak bahwa antara satu cabang hukum
Islam dengan lainnya tak terpisahkan. Dengan demikian, pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan filsafat hukum Islam: Apa hakikat hukum
Islam; hakikat keadilan; hakikat pembuat hukum; tujuan hukum; sebab
orang harus taat pada hukum Islam; dan sebagainya.11
Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh para filosof hukum
Islam di atas, dapat dimengerti bahwa filsafat hukum Islam adalah
pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk dan segala aspek
hukum Islam yang ditelaah secara kritis, konstruktif, komprehensif dan
bertanggung jawab. Dengan demikian, bila dikaitkan dengan kajian
filsafat ketatanegaraan dalam perspektif hukum Islam, bermakna,
pengetahuan yang mempertanyakan secara kritis tentang apa
sesungguhnya hakikat bernegara menurut hukum Islam; mengapa
masyarakat Islam perlu memilih pemimpin; bagaimana nasib warga
negara bila tidak diatur oleh suatu pemerintahan, dsb.
Definisi Negara
Secara leksikal, negara mengandung arti: 1) organisasi dalam
suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati
oleh rakyat, 2) Kelompok sosial yang memiliki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasikan di bawah lembaga politik dan pemerintah
yang efektif, mempunyai kekuatan politik, berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya.12
Definisi lain tentang negaradikemukakan oleh Maclver.
Menurutnya, negara adalah suatu bentuk persekutuan dalam wilayah
kekuasaan tertentu dengan tujuan menyelenggarakan ketertiban
masyarakat berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh
pemerintah.13
11
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Lathifah Press, 2004, h.
15.
12
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h. 610.
13
Robert M. Maclver, The Modern State, London: Oxford University, 1980,
h. 22.
143
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
14
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1980, h. 95.
15
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989, h. 42-
44.
16
Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Muti’, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam:
Syakhsiyat wa Mazahib, Kairo: Dar al-Jam’iyyat, 1978, h. 215 dan 218.
17
Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1966, h.
36.
144
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
18
Perbedaan pandangan selain disebabkan oleh factor sosio-historis dan sosio
cultural – yakni perbedaan latar belakang sejarah dan sosial budaya umat Islam – juga
disebabkan oleh factor yang bersifat teologis, yaitu tidak adanya keterangan tegas
(clear-cut eksplanation) tentang negara dan pemerintahan dalam sumber-sumber Islam:
al-Qur’an dan al-Sunnah. Memang terdapat beberapa istilah yang sering dihubungkan
dengan konsep negara, seperti khalifah, dawlah, hukumah atau imamah. Namun
istilah-istilah tersebut berada dalam kategori ayat-ayat zhanniyat yang memungkinkan
penafsiran al-Qur’an tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk Negara,
konsepsi tentang kekuasaan dan kedaulatan, dan ide tentang konstitusi. Lihat
Qamaruddin Khan, al-Mawardi’s Theory of The State, (Lahore: tanpa tahun), hlm. 1.
19
Pada peristiwa yang terjadi dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’, Nabi
Muhammad Saw., diriwayatkan pernah bersabda: Man kuntu mawlahu, fahadza Ali
mawlahu, yang artinya: “Barang siapa yang menjadikan aku “mawla”nya, maka
hendaknya menjadikan Ali “mawla”-nya pula. Hadis ini terdapat dalam beberapa kitab
hadis, antara lain Musnad Ibn Hanbal, Jil. 4 dan Sanad Ibn Majah, Jil. I.
145
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1993), h. 1-2.
146
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
dari aliran ketiga ini yang terhitung cukup menonjol adalah Mohammad
Husein Haikal dan Fazlur Rahman.21
Pada titik ini, rasanya dapat ditarik kesimpulan bahwa
sesungguhnya tradisi pemikiran politik Islam itu kaya, beraneka ragam
dan lentur. Dilihat dari perspektif ini, dalam tulisannya “Islam and
Political Development,” Michael Hudson mengemukakan bahwa,
“sebenarnyapertanyaan yang patut dikemukakan bukannya yang kaku
dan salah arah karena bergaya mendikotomisasi, yakni ‘apakah Islam
dan pembangunan politik itu bertentangan atau tidak,’ melainkan
‘seberapa banyak dan pemikiran Islam yang bagaimana yang sesuai
dengan sistem politik modern?”22
Kendati Islam mengakui eksistensi bangsa dan suku bangsa,
karenanya wawasan kebangsaan tidak bertentangan dengan wawasan
keislaman, namun bentuk ekstrem dari rasa kebangsaan (nasionalisme)
yang mendasari pelembagaan negara-bangsa dapat menjadi persoalan
jika dihadapkan dengan universalisme Islam. Hal ini menjadi alasan bagi
mereka yang menolak konsep negara-bangsa, dan kemudian mencari
bentuk negara dalam khazanah budaya Islam.
Menyatakan bahwa Islam hanya berhubungan dengan kehidupan
spiritual, tanpa sangkut-paut sama sekali dengan masyarakat dan negara,
mungkin sama jauhnya dari kenyataan dengan menyatakan bahwa Islam
telah memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang
menyeluruh dan terperinci. Hukum Islam, syari’ah, dalam dua sumber
sucinya–Alquran dan Sunnah, trasisi lisan dan tindakan Nabi
Muhammad saw–bersifat permanen, tetapi aturan-aturan legalnya yang
langsung bersifat bersifat terbatas; pada saat yang sama, turunan-turunan
intelektualnya (sebagaimana yang ditunjukkan dalam berjilid-jilid karya
21
Penting untuk dicatat bahwa pendapat seperti ini juga mengakui bahwa al-
Qur’an mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis mengenai aktivitas
sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang
“keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan. Untuk itu, bagi kalangan ini,
sepanjang Negara berpegang kepada prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang
diterapkannya adalah sesuai dengan ajaran Islam. Karena wataknya yang substansialis
itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan partisipasi,
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, kecenderungan itu mempunyai
potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan
sistem politik modern, di mana negara-bangsa merupakan salah satu unsurnya. Bahtiar
Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, h. 15.
22
Michael Hudson, “Islam and Political Development,” dalam John L.
Esposito (ed.), Islam and Development, Syracuse: Syracuse University Press, 1980, h.
1-24.
147
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
148
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
149
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
2. Musyawarah/Konsultasi
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Al-Nisa’ : 59).
4. Keadilan
150
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
5. Persamaan
6. Kebebasan Beragama
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan
mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
(Al-Mumtahanah : 8-9).
151
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
24
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1993), hal. 9 – 10.
152
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
153
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
25
Istilah ini dipinjam dari masa yang diklasifikasikan oleh Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 56-89.
26
Harun, Islam…, h. 69.
27
Masykuri Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah
Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern”, Tashwirul Afkar, No. 7 (2000), h. 102.
28
Munawir, Islam…, h. 46.
29
Munawir, Islam…, h. 46.
154
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
Dari dua ayat tersebut, pada surat pertama tercantum kata khalaif
dan pada ayat kedua tercantum uli al-amr. Dengan demikian, Ibn Abi
Rabi’ melandaskan sistem pemerintahan monarki dari dua kata tersebut.
Adapun Mawardi yang terkenal dengan political scientist,30 dia
merupakan tokoh perumus konsep imamah.31 Alasan mengapa mawardi
menggagas perlunya imamah, pertama, adalah untuk merealisasi
ketertiban dan perselisihan, kedua berdasarkan kepada surat al-Nisa’ (4)
: 59. Dengan begitu, kata uli al-amr menurut mawardi adalah imamah
(kepemimpinan). Lebih dari itu, dalam karyanya al-Ahkam
Alsulthaniyyah (principles of government), mengemukakan bahwa
imamah atau khalifah adalah penggantian posisi Nabi untuk menjaga
kelangsungan agama dan urusan dunia.32 Dari definisi tersebut
mengandung tiga unsur, yaitu (1) imamah itu adalah tidak lain dari
mengganti kedudukan Nabi; (2) objek khilafah ialah menjaga agama,
dan (3) mengendalikan masyarakat.33 Untuk menjaga dua aspek tersebut,
Mawardi menawarkan enam sendi negara yaitu; pertama, agama yang
dihayati. Agama diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu dan
pengawas melekat atas hati nurani manusia, karenanya merupakan sendi
yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan negara. Kedua,
30
Munawir, Islam…, h. 47
31
Syamsul Anwar, “Al-Mawardi dan Teorinya tentang Khilafah,” Al-Jami’ah,
no. 35, 1987, h. 24.
32
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h. 5.
33
Hasbi as-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta:, Bulan
Bintang, 1991, h. 37.
155
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
34
Munawir, Islam…, h. 46.
35
Untuk mengetahui pandangan al-Mawardi tentang hal-hal tersebut, Lihat
Donald P. Little, “A New Look at Al-Ahkam al-Sulthaniyya”, The Muslim World, Vol.
LXIV, 1974, h. 1-15; Sri Mulyati, “The Theory of State of Al-Mawardi”, dalam Sri
Mulyati, dkk., Islam and Development A Politico-Religious Response, Yogyakarta:
Titian Ilahi Press,PERMIKA Montreal, LPMI, 1997, h. 8-15; Fathurrahman Djamil,
“Al-Mawardi: Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara”, dalam
Sudarnoto Abdul Hakim dkk, (peny.), Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk
70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, Yogyakarta: Lembaga Penterjemah dan
Penulis Muslim Indonesia, 1995, h. 135-166.
36
Syamsul, Al-Mawardi…, h. 26.
156
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
157
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
44
Fuad Baali, ‘Ashabiyyah,dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford
Ensyclopedia of The Modern Islamic World, 4 Vol. New York: Oxford University
Press, 1995, I : 140.
45
Fuad Baali, ‘Ashabiyyah, h. 140
46
Munawir, Islam…, h. 105.
47
Abdurrahmane Lhakhsasie, “Ibn Khaldun”, dalam Seyyed Hossein Nasr
dan Oliver (ed.), History of Islamic Filosophy, London and New York: Routledge,
1996, h. 354.
48
Gelar-gelar di atas bukanlah gelar yang muncul begitu saja, mengingat jasa-
jasanya terhadap pemikiran Islam, baik itu hukum, filsafat, pendidikan dan politik.
Untuk lebih mengetahui pemikiran al-Ghazali dan jasa-jasanya terhadap ilmu
158
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
Menurut al-Ghazali, negara bisa berdiri oleh karena dua sebab: pertama,
kebutuhan akan keturunan demi keberlangsungan hidup umat manusia,
hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan
serta keluarga; dan kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan
makanan, pakaian dan pendidikan anak.49 Karena dua hal tersebut, maka
diperlukan kerja sama dan saling membantu antar sesama manusia,
antara lain dengan membangun pagar-pagar tinggi di sekeliling pusat
perumahan, dan di sanalah lahir negara karena dorongan kebutuhan
bersama.50 Tentang bentukpemerintahan, al-Ghazali menganut sistem
teokrasi. Sebab, kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat,
melainkan dari Allah. Dalam hal ini, ia berdalil kepada dua surat al-
Qur’an yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.(al-Nisa’: 59)
dan,
pengetahuan baca Massino Campanini, “Al-Ghazali”, dalam Hossein Nasr dan Oliver
(ed), History…, hlm. 258-349. M. Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical
Norms in Ghazali and Kant, Ankara: Turkye Diyanet Vaktiyayin Kurulu’num, 1992,
khususnya Bab II dan IV; idem, Falsafah Kalam di Era Postmodernism, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995, h. 127-40.
49
Munawir, Islam…., h. 74.
50
Ibid, h. 75.
159
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
51
Al-Nisa’ (4) : 59.
52
Ali ‘Imran (3): 26.
53
Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis, terj. Imran Rosyidi,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000, h. 13.
54
Ibn Taimiyah, Al-Khilafah wa al-Mulk, Yordan: Maktabah al-Manar, 1988,
h. 23-25. Di samping karya tersebut baca juga penjelasan Ibn Taimiyah tentang
perangkat kenegaraan dalam karyanya, As-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’I wa al-
Ra’iyyah, Beirut: Dar al-Jil, 1988.
55
Analisa awal tentang Al-Farabi, baca, Deborah L, Black, “Al-Farabi”,
dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver, History.., h. 178-197.
56
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari
Chicago, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 33.
57
Munawir, Islam…, h. 50-51.
58
Sumarno, Konsepsi Negara…, h. 5.
160
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
SIMPULAN
Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari
ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan
pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak
Rasulullah saw., melakukan hijrah dari Mekkah ke Yatsrib–yang
kemudian diubah namanya menjadi Madinah–hingga saat sekarang ini
dalam wujud sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik
Islam Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah
kenegaraan. Sesungguhnya, secara umum keterkaitan antara agama dan
59
Ibid.
60
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi NilaiIslam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, h. 155; idem, “Menyegarkan
Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”, dalam Muhammad Kamal
Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, terj. Ahmadie Thaha,
Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, h. 282-285.
61
Schumann, Dilema Islam, h. 62.
161
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
negara, di masa lalu dan zaman sekarang, bukanlah hal yang baru,
apalagi hanya khas Islam.
Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan
teladannya oleh Nabi Muhammad saw., sendiri setelah hijrah dari
Makkah ke Madinah. Dari Nama yang dipilih oleh Nabi saw., bagi kota
hijrahnya itu menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi
sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi,
yang kemudian menghasilkan entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.
Negara Madinah pimpinan Nabi, pada dasarnya adalah model
bagi hubungan antara negara dan agama dalam Islam. Pengalaman
Negara Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh
tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya,
wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti
pada sistem diktatorial, melainkan kepada banyak orang melalui
musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang
dan kekuasaan tidak pada keinginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi
pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama.
Karena wujud historis terpenting dari sistem sosial-politik pengalaman
Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq Almadinah
(Piagam Madinah) yang di kalangan sarjana modern juga menjadi amat
terkenal sebagai ”Konstitusi Madinah”.
Ide pokok pengalaman Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu
tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi,
melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang
dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh
prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar
semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.
162
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
DAFTAR BACAAN
163
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
Fred Halliday and Hamzah Alavi (eds.), State and Ideology in the
Middle East and Pakistan, New York: Monthly Review Press,
1988.
Fuad Baali, ‘Ashabiyyah,dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford
Ensyclopedia of The Modern Islamic World, 4 Vol. New York:
Oxford University Press, 1995.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-
Press, 1985).
Hasbi As-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1993.
Hasbi as-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta:,
Bulan Bintang, 1991.
Ibn Khaldun, Muqaddimah , Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h. 190-1.
Ibn Taimiyah, Al-Khilafah wa al-Mulk, Yordan: Maktabah al-Manar,
1988.
Ibn Taimiyah, As-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah,
Beirut: Dar al-Jil, 1988.
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1992.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Lathifah Press, 2004.
Klauss Ferdinand and Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and Society,
London: Curzon Press, 1988.
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development
Ideologis, Chicago and London: University of Chicago Press,
1988.
Leonard Binder, Religion end Politics in Pakistan, Berkeley and Los
Angeles; University of California Press, 1963;
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernism,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
164
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan
165
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166
166
Mahdi,
Minority Recruitment
MINORITY RECRUITMENT
by
Sayed Mahdi
Lecturer of Faculty of Economics,
Syiah Kuala University, Banda Aceh
ABSTRACT
Introduction
With sweeping demographic changes occurring in the United
States, employers in all industries will need to reform and refocus their
minority hiring and recruitment practices in order to better serve their
clients. Higher education will need to be on the forefront of this
transition. The U.S. Census Bureau (2008) released projections that
minorities, currently roughly one-third of the population, are projected
to become the majority by 2042. They also project that by 2023 more
than half of children will be minorities. Though more prevalent within
some demographic areas, this will have resounding effects throughout
higher as well as K-12 education.
So where does this need to begin to ensure that minority faculty
make up more than the current 16 percent of full-time faculty in the
167
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178
168
Mahdi,
Minority Recruitment
Faculty Recruitment
One detailed example of an outlined hiring practice is that used
by Auburn University. They use a 23 point checklist, with many
chances to catch unethical recruitment. After the department justifies its
need to fill or add a position, the appropriate higher level administrators
will sign their approval. The search committee can then be selected
from among tenured faculty and start going over job description,
qualifications, and advertisement options for the position. This
information is then checked by the Dean, Provost, and by the
Affirmative Action Equal Employment Opportunity Office (AA/EEO)
(Auburn).
After this, advertisements and announcements can be sent, but no
changes can be made without the approval of the AA/EEO. Once
resumes are received applicants are sent a Voluntary Affirmative Action
Survey Card, which is returned to the AA/EEO who prepares a new
form for the committee. Applicants can only be reviewed based on
advertised criteria, and if an applicant is not chosen for an interview, a
statement indicating why they were not chosen must be submitted. It is
not sufficient for the committee to just indicate, “less qualified”
(Auburn).
After the candidates are chosen and interviewed, the search
committee chooses the candidate that they would like to select. All of
their documentation then goes to the AA/EEO. Once the department
chair makes a conditional offer, everything then must be approved again
by the Dean, Provost, and AA/EEO. Once approved by all three parties,
an official offer can be made (Auburn).
169
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178
170
Mahdi,
Minority Recruitment
forcing networks is that the current faculty must realize the importance
and purpose of reaching out to minorities in order to create diversity.
Creating an environment on campus that makes minorities feel
welcome is another way in which an institution can reach out. This can
be done with a minority faculty member on the search committee whom
is respected and visible in the community (Turner, 2002). Once
minority faculty members are hired, if they feel welcome and at home at
that institution, then by word of mouth and networking they will be able
to reach out to other scholars who may be interested in future positions.
By utilizing theses techniques that can be accomplished before any
applications begin to come in, a search committee will have a more
diverse applicant poll to review.
Present Need
With the predicted surge of minority students entering higher
education in the United States over the next two decades, there will be
an inevitable wave of retirements that will reshape higher education. As
the baby boomers close in on retirement, there will be a large void that
will need filled. The average age of retirement for the general
population is 62, but on average faculty members are retiring at the age
of 66 (Wheeler, 2008). In a report by TEAA-CREF, the first baby
boomers turn 62 this year (Wheeler, 2008). This proves that the next
decade in higher education will be a busy one for faculty search
committees.
In 2007, a faculty profile was released documenting the age of
Auburn University’s faculty. Over five percent of Auburns faculty was
over 65 while about 28 percent ranged from 55-64 (Auburn). If the
average retiring age of faculty holds true at 66, it is possible that Auburn
could see around 33 percent of its faculty depart in the next decade. The
chart below shows that they had 1,176 faculty members in 2007,
meaning they have the potential to need over 380 new faculty members
within the next 10 years.
Figure 1
171
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178
100% = 1,176
33.7%
28.3%
22.6%
10.2%
5.1%
0.1%
Below 25 25-34 35-44 45-54 55-64 65+
172
Mahdi,
Minority Recruitment
173
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178
institution’s faculty is, the more perspectives students have exposure to.
Students who have this exposure to different minority’s perspectives can
take different views and ideas and become more complex thinkers
(Turner).
Beyond the classroom learning aspect, it is also important to
understand some of the characteristics that employers are looking for
when hiring recent college graduates. In a survey conducted by Peter D.
Hart Research Associates, Inc. on behalf of the AACU, 76% were
looking for employees with teamwork skills and the ability to
collaborate with other in a diverse group setting (AACU). The survey
was conducted in 2006 and involved 305 employers with 25 or more
employees. It reported that 25% or more of new hires held a bachelors
degree from a four year institute. That 76% who were looking for
employees that could function appropriately in a diverse group also falls
inline with the 72% of the employers who were looking for candidates
with knowledge of global issues and developments and their
implications on the future (AAUP). It is easy to see, demographic
changes aside, that diversity in the classroom is an important key to a
students learning and ability to step outside their realm of familiarity. It
also speaks to the importance of preparing students, minority or not, for
future employment in today’s changing market.
Reverse Discrimination
While there may be a need and purpose for hiring more diverse
faculty members, there are things which a search and selection
committee must avoid. Some opponents of affirmative action will argue
that strides have been made since the Civil Rights Act of 1967 and that
there is not a need for the process. This may be further argued as
President-elect Barrack Obama gets ready to step into the White House.
Reverse discrimination cases have been heard inside court rooms
numerous times since the implementation of affirmative action. The key
for institutions is to take the right steps to prevent themselves from any
legal conflict.
In 1999, Virginia Tech made an unprecedented decision in
academia and took faculty hiring practices away from the faculty and
gave them to the Dean. Two years prior to this move, 35% of all hires
in arts and sciences were either women or minority. In the spring of
2002, 88% of all new hires in arts and sciences were women or minority
(Wilson, 2002). Some said that Virginia Tech needed to take these
drastic steps to break up the “genteel Southern institution” (Wilson,
174
Mahdi,
Minority Recruitment
2002). Robert B. Clegg, who at the time was a lawyer for the Center for
Equal Opportunity, a research group that opposes affirmative action,
said there is nothing wrong with the dean being involved in the hiring
process. He did state however, “But if your motive for doing that is to
give a preference to some groups and to discriminate against others, then
you’re breaking the law” (Wilson, 2002).
So what do institutions need to do to ensure that they are not
basing a decision solely on race? In two cases over the last decade
involving the University of Michigan and their admissions decisions, the
court has ruled that Michigan had successfully demonstrated that one of
its core missions was to enhance student learning by having a diverse
student body (Bernard, 2006). If institutions are going to continue
hiring minority faculty to create a more diverse atmosphere, they must
be able to show that their decisions are based on the mission of the
institution, and document why their candidate does this as opposed to
another candidate. In essence, if their goal is diversity, they must be
able to demonstrate that the applicant in question is going to be able to
educate and prepare their students for an intricate, diverse world.
Conclusion
Employment in the United States has come a long way since the
Civil Rights Act of 1967. With the coining of the phrase “affirmative
action” by President John F. Kennedy, to the creation of the United
States Equal Employment Opportunity Commission, progress has been
made to create a more diverse workplace throughout the country. Have
we come far enough though in over 40 years? With the changing
demographics that will be sweeping the country in the next two decades,
it is safe to say that the United States will soon be considerably diverse.
To create a diverse workplace in the future without an affirmative action
agenda, students at all levels must be experience different views to
become more complex thinkers in order to deal with a changing global
economy.
That said, with the apparent statistics it would be all too easy to
say that institutions should hire minority faculty whenever a position
opens. Yet as competing countries continue to grow within the higher
education system, institutions need to hire the most educated, prepared,
and dedicated faculty available, regardless of race, gender, age, or
religion. There is an obvious need for minority faculty, but there is an
even greater need to mentor minority students, and all students, so they
can advance their education and become part of a competitive applicant
100%
175= 1,176
33.7%
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178
pool. If this can occur in the present, in the next 2 decades affirmative
action can become a side issue, and instead of focusing on one’s
physical traits, higher education institutions can concentrate on
programs that will make professors better at preparing students for their
futures.
Appendix A
Figure 1
176
Mahdi,
Minority Recruitment
References
American Association of State Colleges and Universities (2006).
Faculty Trends and Issues. Retrieved: November 12, 2008.
www.aascu.org.
Association of American Colleges and Universities (2006). Peter D.
Hart Research Associates, Inc. How Should Colleges Prepare
Students to Succeed in Today’s Global Economy? Retrieved:
November 10, 2008. www.aacu.org.
Auburn University Office of Affirmative Action/EEO. Faculty
Recruitment Checklist. Retrieved: November 11, 2008.
http://www.auburn.edu/administration/aaeeo/.
Auburn University AA/EEO Major Laws. Retrieved: November 12,
2008.
http://www.auburn.edu/administration/aaeeo/majorlaws/constit
ution.html.
Bernard, Pamela J. (2006). When Seeking a Diverse Faculty, Watch
Out for Legal Minefields. The Chronicle of Higher Education.
53 (6).
Jaschik, Scott. (2006). New Approaches to Faculty Hiring. Inside
Higher Ed. Retrieved: November 12, 2008.
http://www.insidehighered.com.
Kennedy, John F. (1961). Establishing the President’s Committee on
Equal Employment Opportunity. Executive Order 10925.
Retrieved: November 11, 2008.
National Center for Education Statistics (2008). Digest of Educational
Statistics: 2007. Retrieved: November 12, 2008.
http://nces.ed.gov.
Penn State University Budget Office. Retrieved: November 20, 2008.
http://www.budget.psu.edu.
Steele, Bill (2006). In a Seller’s Market, Cornell Needs to Recruit
Hundreds of New Faculty, Putting Years-long Pressure on
Budget. Retrieved: November 18, 2008. http://www.news.-
cornell.edu/stories/Oct06/DC.faculty.ws.html.
177
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178
178
Azimi,
Studi Islam Komprehensif
oleh
Zul Azimi1
PENDAHULUAN
Untuk memahami ajaran Islam memang diperlukan metodologi.
Metodologi yang tepat akan mengantarkan umat Islam terhadap
pemahaman yang utuh dan integral terhadap Islam itu sendiri.
Sebaliknya, memahami Islam secara parsial (sepotong-
sepotong/sepihak) akan menimbulkan penilaian yang berat sebelah alias
tidak seimbang.
Metodologi ibarat kunci yang bisa membuka pintu rumah, pintu
mobil, atau pintu lemari. Tanpa kunci kita tidak akan mampu membuka
pintu rumah dan melihat isinya. Tanpa kunci kita tidak bisa menjalankan
mobil dan mengantarkan kemana arah yang kita tuju. Tanpa metodologi
kita tidak mampu melihat isi ajaran Islam dengan baik. Tanpa
metodologi pula kita tidak akan mampu sampai kepada tujuan
pemahaman Islam secara efektif, efisien dan cerdas.
Seseorang yang hanya memahami Islam hanya dari sudut
pandang fiqih semata akan menimbulkan ketidakutuhan dalam menilai
ajaran Islam, seolah-olah Islam itu hanya berisi hukum-hukum saja.
Islam juga agama yang berbicara tentang sains, teknologi, sejarah,
pemikiran, ekonomi, politik, dakwah, teologi, tasawuf, filsafat,
pendidikan, serta aspek-aspek lainnya.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana memposisikan Islam
sebagai sasaran penelitian? Atho Mudzhar2 berpendapat bahwa kajian
tentang Islam secara garis besar dapat mengambil dua bentuk kajian:
pertama, kajian terhadap Islam sebagai wahyu; kedua, kajian tentang
Islam sebagai produk sejarah.
1
Penulis adalah alumni Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry NAD. Saat ini
sebagai direktur Lembaga Sosial Kemasyarakatan “Saleum”, berdomisili di Sigli
(Aceh Pidie).
2
Lihat Atho Mudzar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 19-23.
179
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190
PEMBAHASAN
Karakteristik Ajaran Islam
Istilah “karakteristik ajaran Islam” terdiri dari dua kata:
karakteristik dan ajaran Islam. Kata karakteristik dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai karakter
atau sifatnya yang khas.5 Islam dapat diartikan agama yang diajarkan
Nabi Muhammad saw., yang berpedoman pada kitab suci Alquran dan
diturunkan ke dunia ini melalui wahyu Allah swt.6 Ensiklopedi Islam
Indonesia, mendefinisikan bahwa Islam adalah agama tauhid yang
ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw., selama 23 tahun di Makkahdan
Madinah yang inti sari Islam berserah diri atau taat sepenuh hati pada
kehendak Allah swt., demi terciptanya kepribadian yang bersih,
3
Dikutip oleh Mastuhu dan Deden Ridwan dalam Tradisi Baru Penelitian
Agama Islam, (Jakarta: Nuansa, 1998), hal. Vi.
4
Waardenburg mengajukan tiga lingkup kajian yang dapat dilakukan dalam
studi Islam. Pertama, studi normatif terhadap Islam, yang umumnya dikerjakan kaum
Muslim sendiri untuk menemukan kebenaran relijius meliputi studi-studi: tafsir, hadis,
fiqih, dan kalam. Kedua, studi non-normatif terhadap Islam, biasanya dilakukan di
universitas-universitas dan meliputi baik apa yang dianggap kaum Muslim sebagai
Islam yang benar , maupun Islam yang hidup (living Islam), yakni ekspresi-ekspresi
relijius kaum Muslim yang faktual. Lingkup kedua ini bisa dilakukan baik oleh Muslim
maupun non-Muslim. Ketiga, studi non-normatif terhadap aspek-aspek kebudayaan
dan masyarakat Muslim, dalam pengertian yang lebih luas dapat meliputi: telaah Islam
dari sudut sejarah dan sastra atau antropologi budaya dan sosiologi, serta tidak spesifik
bertitik tolak dari sudut agama.
5
Badudu dan Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan,
1996), hal. 617.
6
Pusat Depennas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai Pustaka,
1994), hal. 444.
180
Azimi,
Studi Islam Komprehensif
7
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 443.
8
Taufiq H. Idris, Kebudayaan Mengenal Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983),
hal. 24.
181
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190
9
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Graffindo Persada,
2002), hal. 79.
10
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana
Pustaka, 2005), hal. 2.
182
Azimi,
Studi Islam Komprehensif
dan fungsi dalam masyarakat.11 Oleh karena itu, studi Islam menjadi
penting karena agama, termasuk Islam, memerankan sejumlah peran dan
fungsi di masyarakat.
Dalam pengantar simposium nasional yang diselenggarakan oleh
Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana (FKMP) IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tanggal 6 Agustus 1998 di Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM), Harun Nasution12 mengatakan bahwa persoalan
yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama
–terutama dari sisi etika dan moralitasnya–kurang mendapat tempat
yang memadai.
Situasi keberagamaan di Indonesia cenderung menampilkan
kondisi keberagamaan yang legalistik-formalistik. Agama “harus”
dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul
formalisme keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk” daripada
“isi”. Kondisi seperti itu menyebabkan agama kurang dipahami sebagai
seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan
manusia dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Di samping
itu, formalisme gejala keagamaan yang cenderung individualistik
daripada kesalehan sosial, mengakibatkan munculnya sikap kontra
produktif seperti nepotisme, kolusi, dan korupsi.13
Harun Nasution berpandangan bahwa orang yang bertakwa
adalah orang yang melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi cegahan-
Nya. Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang dekat
dengan Tuhan; dan yang dekat dengan Yang Maha Suci adalah “suci”;
orang-orang sucilah yang mempunyai moral yang tinggi. Gambaran
yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut mendapat sambutan
cukup serius dari Masdar F. Masudi. Masdar F. Masudi14 mengatakan
bahwa kesalahan kita, sebagai umat Islam Indonesia, adalah
mengabaikan agama sebagai sistem etika dan moral yang relevan bagi
kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal
budi. Karena itulah, kita tersentak ketika temuan memperlihatkan
kepada dunia sesuatu yang sangat ironi: negara Indonesia yang
penduduknya 100% beragama, mayoritas beragama Islam (sekitar 90%)
11
Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, (Bandung: Al-Fabeta, 1993),
hal. 79.
12
Harun Nasution, “Format Baru Gerakan Keagamaan”, makalah disampaikan
dalam pembukaan simposium Nasional di PPIM IAIN Jakarta, 1998, hal. 1.
13
Harun Nasution, “Format Baru Gerakan Keagamaan”, hal. 1-2.
14
Masdar F. Mas’udi, “Agama Sumber Etika Negara-Negara: Perlu
Pemikiran Ulang”, makalah disampaikan dalam simposium Nasional di PPIM IAIN
Jakarta, 1998, hal. 1-3.
183
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190
184
Azimi,
Studi Islam Komprehensif
Sudah jelas bagi kaum Muslim bahwa Islam adalah wahyu Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai pedoman untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Dilihat dari sejarahnya,
wahyu itu bersifat mutawatir (kabar yang dapat dipercaya dan diyakini
kebenarannya). Dari kenyataan sejarah cukup banyak para Sahabat yang
meriwayatkannya dari Nabi, kemudian para tabiin (para pengikut
Sahabat), bahkan generasi sesudahnya.
Keorisinalan sejarah Alquran diyakini keasliannya oleh kaum
Muslimin. Para orientalis pun mengakui bahwa Alquran adalah benar
yang dibaca oleh Nabi Muhammad dulu; hanya mereka tidak
menyebutkan sebagai wahyu Allah sebagaimana kaum Muslimin
mengakuinya. Namun mereka mengakui bahwa Alquran adalah bacaan
Nabi Muhammad yang ditulis oleh Zaid ibn Tsabit kemudian
dikumpulkan oleh Abu Bakar dan diperbanyak salinannya oleh Usman
ibn Affan.
Ringkasan yang disebut wahyu dalam Islam adalah ayat-ayat
dalam bahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi. Kalau ayat-ayat itu
diganti dengan kata lain walaupun hanya diganti dengan sinonimnya itu
sudah bukan wahyu lagi. Demikian pula kalau diubah susunan kata-
katanya meskipun susunan kata-kata itu adalah dengan menggunakan
bahasa Arab, itu juga bukan firman Allah. Mengapa? Di dalamnya
sudah ada campur tangan manusia. Adapun terjemahan adalah hasil
pemikiran manusia.15
2. Islam Aktual
Islam aktual memahami ekspresi relijius para penaganutnya
dalam bentuk pengamalan. Dari sudut pandang ini tampak corak dan
ragam pengamalan yang berbeda-beda di satu tempat dengan yang
lainnya. Namun corak pengamalan itu terbatas pada hal yang bukan
prinsip melainkan menyangkut sesuatu yang biasa disebut furu
(cabang).
Di damping ajaran yang bersifat doktrin, Islam juga merupakan
agama yang dapat diteliti dari berbagai sudut pandang seperti
sejarahnya, akidahnya, hukumnya, filsafatnya, moral dan sosiologinya,
dan sebagainya. Dari sudut pandang doktrin, Islam adalah agama yang
diwahyukan Allah, agama satu-satunya yang benar dan diterima di sisi
Allah sesuai dengan Surat Ali Imran ayat 19. Tetapi dipandang dari
15
Harun Nasution, “Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: sebuah
Perspektif”, dalam Mastuhu dan Deden Ridwan (Ed). Tradisi Baru Penelitian Agama
Islam, Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998), hal. 10.
185
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190
16
Mudzhar, Pendekatan studi…, 30-32.
186
Azimi,
Studi Islam Komprehensif
187
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190
PENUTUP
Dalam situasi global seperti di zaman ini, agama diharapkan
dapat memberikan jawaban terhadap berbagai masalah, baik yang
berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, politik, keamanan maupun
kemakmuran, dan lain sebagainya. Hal ini antara lain karena diyakini
bahwa agama mengandung nilai-nilai universal dan absolut yang
mampu memberikan resep-resep mujarab (solusi) yang tidak ada habis-
habisnya.
Namun demikian, untuk sampai kepada keadaan di mana agama
mampu bersentuhan dengan berbagai persoalan aktual yang berkaitan
dengan berbagai dimensi kehidupan tersebut diperlukan pendekatan-
17
A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), hal. 38-44.
188
Azimi,
Studi Islam Komprehensif
pendekatan baru yang lebih relevan. Dalam kaitan itu, agama tidak
cukup dipahami dari satu pendekatan saja, seperti yang selama ini
dilakukan, melainkan harus dipahami dan dianalisis dengan
menggunakan berbagai pendekatan yang komprehensif, aktual dan
integral. Seseorang yang ingin memahami agama dalam hubungannya
dengan berbagai masalah tersebut perlu melengkapi diri dengan ilmu-
ilmu bantu seperti filsafat, sejarah, antropologi, sosiologi, sains dan
teknologi dan sebagainya.
Ilmu-ilmu keislaman yang selama ini terkesan jumud (stagnan),
sebenarnya tetap dapat diaktualisasikan dan dikembangkan sesuai
dengan tuntutan zaman, sepanjang yang mengembangkan ilmu-ilmu
keislaman tersebut melengkapi dirinya dengan ilmu-ilmu bantu, dan
menguasai teori-teori penelitian lengkap dengan metodologinya, baik
secara teoritis maupun praktis. Memahami agama Islam yang ideal
seperti disebutkan di atas perlu dilakukan, karena suatu sikap
keberagamaan yang benar harus bertolak dari pemahaman yang benar
terhadap agama tersebut.
189
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190
DAFTAR PUSTAKA
190