You are on page 1of 196

ISSN 1411-2620

MAJALAH ILMIAH ILMU-ILMU HUMANIORA


MENTARI

DAFTAR ISI

Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi Sekolah Dasar


Melalui Permainan Rakyat, 1-12
Razali

Invasi Akasia Berduri (Acacia nilotica) (L.) Willd ex Del. di Taman


Nasional Baluran Jawa Timur dan Strategi Penanganannya, 13-38
Djufri

Perencanaan Pembelajaran, 39-56


Ramli

Strategi Dakwah Bagi Masyarakat Gampong, 57-67


Maimun Yusuf

Etos Kerja dalam Perspektif Islam, 68-84


Tarmizi Gadeng

Peranan Kampus & Mahasiswa Aceh dalam Mewujudkan


Generasi Muda Aceh Bebas Narkoba, 85-99
Rusnaidi

Narkoba dalam Pandangan Syariat Islam, 100-113


Saidi

Kedudukan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)


dalam Sistem Hukum Nasional, 114-138
Mohammad Irham

Filsafat Hukum Ketatanegaraan dalam Perspektif Islam, 139-166


Said Mahyiddim
Minority Recruitment, 167-178
Sayed Mahdi

Studi Islam Komprehensif, 179-190


Zul Azimi
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi

PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK SISWI


SEKOLAH DASAR MELALUI PERMAINAN RAKYAT

oleh
Razali
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Kuala, Banda Aceh

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat
kemampuan kemampuan motorik antara kelompok siswi yang diajarkan
dengan metode pembelajaran keseluruhan dan metode pembelajaran
bagian. Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
perbedaan tingkat kemampuan motorik antara kelompok siswi yang
diajarkan dengan permainan awo dan permainan auh-auh. Penelitian
ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 1 Kecamatan Peudada,
Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Metode penelitian adalah
eksperimen dengan rancangan desain faktorial 2 x 2. Jumlah sampel
penelitian sebanyak 40 orang yang diambil secara random, yang
terbagi dalam empat kelompok, setiap kelompok terdiri 10 orang siswa.
Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis Variansi
(ANAVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf signifikansi α =
0,05. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) secara
keseluruhan tidak terdapat perbedaan pengaruh tingkat kemampuan
motorik antara kelompok siswi yang diajarkan dengan metode
pembelajaran keseluruhan dan metode pembelajaran bagian, (2)
terdapat perbedaan pengaruh tingkat kemampuan motorik yang
signifikan antara antara kelompok siswi yang diajarkan dengan
permainan awo dan permainan auh-auh, tingkat kemampuan motorik
kelompok siswi yang diajar dengan permainan awo lebih tinggi
dibandingkan yang dengan permainan auh-auh, dan (3) terdapat
pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dengan jenis
permainan terhadap tingkat kemampuan motorik. Permainan awo
lebih efektif diajarkan dengan metode pembelajaran bagian, sedangkan
permainan auh-auh lebih efektif diajarkan dengan metode keseluruhan.

Kata kunci: kemampuan motorik, metode keseluruhan, metode bagian,


permainan awo dan permainan auh-auh

1
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12

PENDAHULUAN
Setiap bangsa memiliki corak kebudayaan yang khas.
Demikian pula bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa,
memiliki bermacam-macam corak kebudayaan yang khas di setiap
daerah. Dari sekian banyak corak kebudayaan yang khas, terdapatlah
kebudayaan yang berasal dari Propinsi Aceh. Salah satu bentuk
kebudayaan tersebut adalah permainan rakyat.
Permainan rakyat yang terdapat di daerah Aceh merupakan
khasanah budaya yang telah ada dan diterima dari generasi
sebelumnya. Permainan rakyat ini dapat dijadikan salah satu sarana
untuk sosialisasi antar anggota masyarakat. Oleh karena itu, permainan
rakyat mempunyai arti dan kedudukan tersendiri dalam masyarakat
Aceh.
Permainan rakyat sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional
dapat memberikan andil dalam memupuk dan mengembangkan
kebudayaan nasional di kalangan generasi penerus. Oleh karena itu,
perlu digali kembali dan dikembangkan agar tidak punah. Untuk
menjaga kelestarian permainan rakyat yang ada di Provinsi Aceh,
perlu diadakan penelitian tentang permainan rakyat Aceh karena: (1) di
antara beberapa jenis permainan di daerah Aceh perkembangan telah
agak merosot dan bahkan hampir punah dan (2) sangat bermanfaat
sebagai bahan perbandingan dengan jenis permainan rakyat yang
terdapat di daerah lain.
Di daerah Aceh terdapat beberapa bentuk permainan rakyat
yang dulu sering dimainkan oleh masyarakat, permainan tersebut
antara lain permainan awo, king-kingkingan, somsom bate, pet-pet, dan
auh-auh. Permainan awo dan permainan auh-auh merupakan jenis
permainan tradisional rakyat Aceh yang dapat digunakan sebagai
pilihan untuk dapat meningkatkan kebugaran jasmani dan kemampuan
motorik siswa, khususnya siswa sekolah dasar.
Dulu, permainan awo dan permainan auh-auh banyak di
mainkan anak-anak. Selain bentuknya menyenangkan berupa
permainan, tetapi juga banyak tantangan karena melibatkan dan
menuntut gerak fisik yang sangat variariatif seperti gerakan berlari,
memukul bola, berlari, menangkap bola, melempar bola atau melempar
sasaran, dan melompat. Keterampilan-keterampilan tersebut banyak
melibatkan otot-otot besar (gross motor activity). Ateng (1992:75)
menyatakan aktivitas yang dilakukan anak dengan melibatkan otot-otot
besar merupakan hal yang sangat penting untuk pertumbuhan yang baik
bagi anak-anak. Permainan awo dan permainan auh-auh adalah

2
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi

permainan yang dimainkan dengan menggunakan bola yang terbuat


dari daun kelapa yang dalam bahasa Aceh disebut dengan boh.
Permainan ini dulu sering dimainkan oleh anak-anak, khususnya
anak SD yang berada di Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen,
Provinsi Aceh. Permainan awo dan auh-auh sekarang ini hampir punah
ditelan masa. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh banyak faktor, dan
salah satunya adalah masuknya cabang olahraga lain di Indonesia,
khusus di Aceh. Apabila permainan awo dan auh-auh ini diteliti dan
digali kembali akan sangat bermanfaat bagi pembinaan olahraga di
sekolah, terutama dalam usaha meningkatkan kemampuan motorik
siswa SD. Permainan awo dan auh-auh perlu dijaga dan dilestarikan,
karena permainan tersebut merupakan aset budaya daerah dan
nasional. Permainan tersebut dapat dimasukkan dalam kurikulum
muatan lokal mata pelajaran pendidikan jasmani di SD.
Pate (1984:198) menyatakan bahwa pada masa anak-anak
sangat penting untuk memperbaiki dan menyelaraskan gerakan-gerakan
mendasar yang perlu untuk perkembangan keterampilan olahraga
selanjutnya, sehingga anak tidak mengalami kesulitan dalam
mempelajari keterampilan motorik pada tingkat yang lebih sulit
Dengan demikian, peningkatan kemampuan motorik menjadi sangat
penting, agar anak-anak dengan mudah dapat melakukan berbagai
aktivitas gerak lainnya. Namun, untuk meningkatkan kemapuan
motorik siswa SD belum saatnya diberikan latihan fisik yang terlalu
berat sebab akan menimbulkan pengaruh yang negatif pada proses
pertumbuhan.
Pate (1984:347) menambahkan, latihan fisik yang sangat
ekstrim dan dalam jangka panjang dapat berpengaruh negatif pada
pertumbuhan dan perkembangan rangka anak. Hal ini, disebabkan
mereka masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik
maupun psikologis. Lebih lanjut, Pate menyatakan bahwa pengalaman
dini dalam gerakan harus bersifat umum dan harus diberikan dalam
lingkungan bermain. Spesialisasi yang terlalu awal dapat mempunyai
pengaruh negatif pada perkembangan umum pola gerak dasar. Hal ini
didukung oleh pendapat Ateng (1992:116) yang menyatakan bahwa
metode penyajian yang paling tepat di sekolah dasar adalah latihan
dalam bentuk bermain. Dengan demikian, perlu dicari berbagai
alternatif untuk meningkatkan kualitas kemampuan motorik siswa SD
melalui berbagai bentuk permainan yang disenangi anak-anak, di
antaranya adalah melalui permainan awo dan auh-auh. Agar diperoleh
hasil keterampilan motorik yang optimal dari permainan awo dan auh-

3
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12

auh, maka diperlukan pendekatan yang tepat sesuai dengan


karakteristik keterampilan. Pendekatan tersebut antara lain memilih
metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik jenis
keterampilan yang diajarkan. Permainan awo memiliki kompleksitas
gerakan yang lebih tinggi dan sulit. Sedangkan permainan auh-auh
memiliki kompleksitas gerakan lebih rendah apabila dibandingkan
permainan awo. Magill (1985:379) menyatakan, apabila tingkat
organisasi gerakannya tinggi dan tingkat kompleksitasnya rendah,
maka lebih baik menggunakan metode keseluruhan (whole-method),
dan apabila organisasi gerakan rendah dan tingkat kompleksitasnya
tinggi lebih baik menggunakan metode bagian (part-method). Dengan
demikian, pemilihan metode pembelajaran yang tepat, diharapkan
siswa dapat bermain awo dan auh-auh dengan tidak mengalami
hambatan yang berarti, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
kemampuan motoriknya.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan masalahnya sebagai berikut: (1) apakah terdapat perbedaan
tingkat kemampuan motorik antara kelompok siswi yang diajarkan
dengan metode pembelajaran keseluruhan dan metode pembelajaran
bagian?, (2) apakah terdapat perbedaan tingkat kemampuan motorik
antara kelompok siswi yang diajarkan dengan permainan awo dan
permainan auh-auh?, dan (3) apakah terdapat pengaruh interaksi antara
metode pembelajaran dengan jenis permainan terhadap tingkat
kemampuan motorik?

PEMBAHASAN
Kemampuan Motorik
Kemampuan motorik merupakan salah satu faktor penting dalam
memanipulasi pola gerakan pada suatu objek dan sekaligus merupakan
fungsi dari pengalaman dan kematangan (Rink, 1993: 118).
Kemampuan motorik dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang
berhubungan dengan penampilan dalam melakukan keterampilan gerak
(Wall and Murray, 1994: 20). Hal yang senada juga dikatakan bahwa
kemampuan motorik adalah kemampuan umum atau kapasitas seorang
individu berdasarkan penampilan dari keterampilan gerak yang
bervariasi. Kemampuan ini diasumsikan tidak begitu saja dapat
dimodifikasi melalui latihan atau pengalaman, dan relatif stabil
sepanjang hidup individu tersebut (Burton dan Miller, 1998: 366).

Pendapat lain menyatakan bahwa kemampuan motorik adalah

4
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi

kualitas kemampuan seseorang yang dapat mempermudah dalam


melakukan keterampilan gerak. Kemampuan tersebut memberikan
kontribusi terhadap keberhasilan suatu tugas gerak yang akan dilakukan
(Kirkendall, 1980: 213).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa
kemampuan motorik adalah kemampuan yang memberi dukungan
sehingga dapat memudahkan melakukan keterampilan gerak.

Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran keseluruhan mengacu kepada teori
Gestalt. Para ahli teori Gestalt memandang bahwa belajar secara
keseluruhan merupakan hal yang penting. Kesalahan-kesalahan yang
terjadi diperbaiki dan dihaluskan melalui belajar bagian (Oxendine,
1984: 251).
Apabila prinsip psikologi Gestalt diaplikasikan dalam proses
belajar motorik, hal itu dapat dilakukan sebagai berikut: (1) aktivitas
suatu keterampilan olahraga dilakukan secara keseluruhan, bukan secara
terpisah-pisah atau bagian per bagian, (2) tugas utama guru atau pelatih
adalah memaksimalkan transfer dari latihan di antara kegiatan-kegiatan
yang dilakukan, (3) faktor insight sangat penting dalam memecahkan
masalah, dan (4) memahami hubungan antara bagian-bagian dengan
keseluruhan dalam memperagakan suatu ke-terampilan yang efektif
(Lutan, 1988: 137-138).
Salah satu faktor penting dari aplikasi prinsip psikologi Gestalt
dalam proses belajar motorik adalah faktor insight. Insight adalah
pemahaman yang diperoleh secara tiba-tiba dari hubungan antara
bagian-bagian tugas dalam gerakan dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam situasi keseluruhan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
menyatakan bahwa berpikir dan memecah-kan masalah merupakan
karakteristik yang tepat dari pengorganisasian substantif, restrukturisasi,
dan pemusatan perhatian yang memberikan insight dalam memecahkan
masalah (http://www. enabling. org/ia/gestalt/gerhards/ gtax1.htm1).
Secara umum, mengajar keterampilan lebih baik apabila
dilakukan secara keseluruhan. Karena dengan latihan secara
keseluruhan peserta dapat mengatur irama dan waktu (timing) (Rink,
2002: 33). Penggunaan metode keseluruhan menuntut individu untuk
melaksanakan tugas gerakan secara menyeluruh, tanpa melihat
komponen per bagian (Fuoss dan Troppmann, 1981: 252). Hal tersebut
senada dengan pendapat yang menyatakan bahwa belajar dengan meng-
gunakan pendekatan keseluruhan dimaksudkan agar individu melakukan

5
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12

tugas secara keseluruhan melalui demonstrasi (Oxendine, 1984: 251).


Pendapat lain menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan dengan
metode pembelajaran keseluruhan memberikan pemahaman secara
menyeluruh tentang keterampilan yang dipelajari (Rink, 2002: 33). Hal
ini sangat penting dalam belajar motorik agar pembentukan motor
program tidak terputus-putus dan di samping itu juga dapat membantu
individu merasakan gerak dari awal sampai akhir dalam satu
keterampilan yang utuh.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan metode pembelajaran keseluruhan dalam
penelitian ini adalah teknik penyajian materi pelajaran dengan cara
mengajarkan siswi langsung bermain.
Konsep belajar bagian perbagian erat kaitannya dengan teori
belajar stimulus-respons (S-R) (Oxendine, 1984: 251). Salah satu teori
S-R yang dapat diterapkan dalam belajar keterampilan motorik adalah
teori koneksionisme dari Thorndike. Teori Thorndike terkenal dengan
tiga hukum belajar, yaitu (1) hukum kesiapan (law of readiness), (2)
hukum latihan (law of exercise), dan (3) hukum efek (law of effect)
(Singer, 1980: 85). Apabila teori Thorndike diterapkan dalam belajar
keterampilan motorik, hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut: (1)
kesiapan siswa secara fisik dan mental sangat penting dalam menerima
stimulus; (2) latihan harus dilakukan dalam kondisi yang baik untuk
memperoleh hasil belajar yang efektif sehingga melakukan latihan yang
berulang-ulang (drill) sangat penting; (3) guru harus memperhatikan
rangkaian urutan gerakan yang tepat, yang berarti bahwa tugas utama
guru adalah mengorganisasi pengalaman belajar dari yang sederhana
hingga ke yang kompleks. Keterampilan harus dilatih bagian demi
bagian sehingga keseluruhan permainan pada akhirnya dapat diper-
kenalkan (Lutan, 1988: 127-128).
Salah satu faktor penting dari aplikasi teori adalah latihan yang
berulang-ulang (drill). Drill sangat diperlukan untuk memperoleh hasil
yang lebih baik karena merupakan bentuk pengulangan latihan dengan
tujuan mendapatkan efisiensi kualitas keterampilan yang lebih baik
(Piskurich, 2000: 158).
Belajar keterampilan dengan metode bagian menempatkan
latihan bagian demi bagian sebelum menggabungkan keterampilan
tersebut secara keseluruhan (Magill, 1985: 377). Belajar dengan metode
bagian dilakukan dengan cara membagi beberapa komponen yang
kemudian diajarkan satu per satu dengan mendemontrasikan atau
memberi contoh (Christina dan Corcos, 1988: 58). Apabila komponen

6
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi

yang satu sudah dikuasai, baru dilanjutkan ke komponen yang lain.


Pendapat yang senada menyatakan bahwa belajar dengan metode bagian
dilakukan dengan membagi materi berdasarkan bagian tertentu
(Oxendine, 1984: 250). Metode bagian adalah cara mengajar yang
membagi keterampilan menjadi bagian demi bagian. Caranya dimulai
dari mengajarkan bagian-bagian terkecil dari suatu keterampilan dan
pada akhirnya digabungkan menjadi suatu keterampilan yang utuh
(Sugiyanto, 2003:19).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa metode
pembelajaran bagian adalah teknik penyajian materi pelajaran dengan
cara bagian demi bagian.

Permainan Rakyat
Permainan rakyat adalah permainan yang tumbuh dan
berkembang di daerah dan masyarakat tertentu yang berbentuk
permainan tradisonal. Salah satu permainan rakyat Aceh adalah
permainan Awo. Permainan awo dapat digolongkan ke dalam permainan
bola kecil. Cholik dan Lutan (1996:69) mengatakan bahwa permainan
kecil adalah jenis permainan yang tidak mempunyai peraturan yang
baku, baik fasilitas maupun aturan permainannya. Permainan tersebut
umumnya bersifat tradisional, ada yang menggunakan alat, ada juga
tanpa menggunakan alat.
Nama permainan awo didasarkan pada jenis bola yang
digunakan di dalam permainan yaitu boh (bola). Awo memiliki arti bola
yang terbuat dari daun kelapa atau daun iboh (sejenis palem) yang
berbentuk kubus (Depdikbud, 1980/1981:89). . Permainan awo
dimainkan oleh dua regu baik anak laki-laki maupun perempuan ataupun
campuran. Tidak ada suatu ketentuan tentang jumlah pemain setiap regu,
hal ini tergantung pada jumlah anak yang terkumpul dibagi menjadi dua
regu dengan kekuatan yang relatif seimbang agar permainan dapat
berjalan lebih menarik. Setiap regu dapat terdiri atas 4, 5, 6 orang atau
lebih. Cara bermain awo mirip dengan bermain kasti.
Perkataan auh-auh berasal dari bahasa Kleut Aceh Selatan yang
artinya bola terbuat dari daun kelapa. Empat helai daun kelapa dianyam
sedemikian rupa sehingga terciptalah sebuah bola yang bentuknya
seperti kubus. Permainan ini biasanya dimainkan pada waktu upacara
perkawinan, menjelang hari raya, dan pada waktu senggang pada saat
biasanya anak-anak berkumpul.
Permainan auh-auh dimainkan oleh anak perempuan dengan
jumlah pemain 10 orang. 9 orang bertugas menangkap bola dan satu

7
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12

orang bertugas sebagai babu atau pelempar bola. Permainan auh-auh


dimainkan dengan cara anak-anak mengelilingi sebuah lingkaran, pada
lingkaran kecil di tengah-tengah lingkaran besar berdiri seorang pemain
yang disebut dengan istilah babu (pembagi bola). Tugas babu ini adalah
melempar bola ke arah pemain lainnya yang berdiri di tepi lingkaran
secara bergiliran. Apabila seorang pemain tidak dapat menangkap bola
yang dilempar tadi, maka gilirannya menjadi babu (Depdikbud,
1980/1981:37).
Keterampilan yang digunakan dalam bermain awo adalah
berlari, memukul bola, berlari, menangkap bola, melempar bola atau
melempar sasaran, dan melompat. Adapun keterampilan yang
digunakan dalam bermain auh-auh adalah melempar, menangkap,
berlari, melompat, dan menghindar.
Keterampilan motorik dalam permainan awo lebih banyak
menekankan pada ketepatan memukul bola, menangkap bola, berlari,
dan kelincahan. Adapun keterampilan motorik dalam permainan auh-
auh lebih menekankan pada ketepatan melempar dan menangkap bola,
serta kecepatan berlari.
Kemampuan berlari setiap pemain untuk permainan awo dan
permainan auh-auh berbeda fungsinya. Berlari yang dikehendaki dalam
permainan awo adalah lari secepat-cepatnya, berbelok-belok dan tidak
keluar dari lapngan permainan. Sedangkan pada permainan auh-auh,
para pemain bebas berlari ke luar lapangan permainan untuk
menghindari dari lemparan babu.
Dilihat dari jumlah pemain, permainan awo memiliki jumlah
pemain penyerang dan penjaga dalam jumlah yang seimbang, sehingga
gerakan yang dilakukan relatif seimbang atau sama antara pemain yang
satu dengan pemain lainnya. Hal ini berbeda dengan permainan auh-
auh, pemain penjaga hanya satu orang yang disebut dengan babu,
sehingga frekuensi gerak yang dilakukan pemain tidak seimbang antara
penyerang dan babu. Sebagai contoh, apabila babu mengejar salah
seorang pemain dengan berlari, maka pemain lain yang tidak dikejar
dapat saja diam, sehingga pemain yang diam tersebut memiliki frekuensi
gerakan yang relatif sedikit.
Berpijak dari landasan teori yang telah diuraikan di atas, maka
hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) secara
keseluruhan, tingkat kemampuan motorik kelompok siswi yang diajar
dengan metode keseluhan lebih baik daripada metode pembelajaran
bagian (2) secara keseluruhan, tingkat kemampuan motorik kelompok
siswi yang diajar dengan permainan awo lebih baik daripada permainan

8
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi

auh-auh, dan (3) terdapat pengaruh interaksi antara metode


pembelajaran dan jenis permainan terhadap tingkat kemampuan motorik
siswi.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 1 Kecamatan
Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Metode penelitian adalah
eksperimen dengan rancangan desain faktorial 2 x 2. Jumlah sampel
penelitian sebanyak 40 orang yang diambil secara random, yang terbagi
dalam empat kelompok, setiap kelompok terdiri 10 orang siswa.
Pengukuran kemampuan motorik menggunakan tes kemampuan
motorik yang terdiri dari tes: lari cepat 30 meter, baring duduk, lompat
jauh tanpa awalan, melempar bola kasti, dan lari lintang silang.
Sebelum instrumen tersebut digunakan, terlebih dahulu di uji
kelayakannya baik reliabilitas maupun validitasnya. Teknik analisis
yang digunakan adalah Analisis Variansi (ANAVA) dan dilanjutkan
dengan uji Tukey pada taraf signifikansi à = 0,05.
Analisis data penelitian dilakukan sebagai berikut: (1) data
mentah yang diperoleh dari pengukuran kemampuan motorik terlebih
dahulu diubah menjadi skor standar (T-skor), (2) menguji persyarat-an
analisis, yaitu uji normalitas dengan menggunakan uji Liliefors dan uji
homogenitas dengan menggunakan uji Barlett (Sudjana, 1994: 261-264),
dan (3) untuk menguji hipotesis 1 dan 4 digunakan teknik Anava
dengan taraf signifikansi α = 0,05. Karena terdapat interaksi, maka
dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey (Ferguson dan
Takane, 1989: 335).

HASIL PENELITIAN
Pengujian Persyaratan Analisis
Pengujian persyaratan analisis meliputi uji normalitas dan
homogenitas. Uji normalitas menggunakan uji Liliffors pada taraf
signifikan = 0,05, diperoleh harga Lilifors hitung (Lo) untuk seluruh
kelompok perlakuan lebih kecil dari harga Lilifors tabel (Lt). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Adapun homogenitas menggunakan uji Barlett
pada taraf signifikan = 0,05, diperoleh harga χ 2 hitung sebesar
3,18 < χ 2 tabel sebesar 7,81, sehingga hipotesis nol diterima. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa populasi mempunyai varians yang
homogen.

9
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12

Pengujian Hipotesis

1. Perbedaan Tingkat Kemampuan Motorik Kelompok Siswi yang


Diajar dengan Metode Pembelajaran Keseluruhan dan Metode
Pembelajaran Bagian
Hasil perhitungan Anava terhadap tingkat kemampuan motorik
antara kelompok siswi yang diajar dengan metode pembelajaran
keseluruhan dibandingkan dengan siswi yang diajar dengan metode
pembelajaran bagian, diperoleh harga Fhitung sebesar 1,33, sedangkan
harga Ftabel sebesar 4,11, dengan demikian harga Fhitung < harga Ftabel,
sehingga Ho diterima. Kesimpulan, secara keseluruhan tidak terdapat
perbedaan tingkat kemampuan motorik antara kelompok siswi yang
diajar dengan metode pembelajaran keseluruhan dan kelompok siswi
yang diajar dengan metode pembelajaran bagian.

2. Perbedaan Tingkat Kemampuan Motorik Kelompok Siswi yang


Diajar dengan Permainan Awo dan Permainan Auh-auh
Hasil perhitungan Anava terhadap tingkat kemampuan motorik
siswi yang dilatih dengan permainan awo dibandingkan dengan siswi
yang dilatih dengan permainan auh-auh, diperoleh harga Fhitung sebesar
15,93, sedangkan harga Ftabel sebesar 4,11, dengan demikian harga Fhitung
< harga Ftabel, sehingga Ho di tolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan pengaruh tingkat kemampuan motorik antara
kelompok siswi yang diajar dengan permainan awo danpermainan auh-
auh. Untuk mengetahui kelompok mana yang memilliki tingkat
kemampuan motorik lebih, maka dilakukan uji lanjut dengan
menggunakan uji Tukey. Hasil perhitungan dengan uji Tukey pada taraf
signifikansi = 0,05, diperoleh harga qhitung sebesar 7,18, sedangkan
harga qtabel sebesar 2,86, dengan demikian harga qhitung > harga qtabel.
Kesimpulan, secara keseluruhan tingkat kemampuan motorik kelompok
siswi yang diajar dengan permainan awo lebih baik daripada kelompok
siswi yang diajar dengan permainan auh-auh.

3. Pengarauh Interaksi antara Pembelajaran dan Jenis Permainan


terhadap Kemampuan Motorik Siswi
Berdasarkan hasil Analisis Varians pada taraf signifikan =
0,05, diperoleh hasil perhitungan Fhitung interaksi sebesar 61,09 dan Ftabel
sebesar 4,11, dengan demikian harga Fhitung > harga Ftabel, sehingga Ho di
tolak. Dengan demikian, terdapat pengaruh interaksi antara metode

10
Razali,
Peningkatan Kemampuan Motorik Siswi

pembelajaran dengan jenis permainan terhadap tingkat kemampuan


motorik siswi.
Oleh karena terdapat interaksi, maka perlu dilakukan uji lanjut
dengan uji Tukey. Hasil uji lanjut menjukkan bahwa permainan awo
lebih efektif diajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran
bagian, sedangkan permainan auh-auh lebih efektif diajarkan dengan
menggunakan metode keseluruhan.

PENUTUP
Pertama, tidak terdapat perbedaan pengaruh tingkat
kemampuan motorik antara kelompok siswi yang diajarkan dengan
metode pembelajaran keseluruhan dan metode pembelajaran bagian.
Kedua, terdapat perbedaan pengaruh tingkat kemampuan motorik yang
signifikan antara antara kelompok siswi yang diajarkan dengan
permainan awo dan permainan auh-auh, tingkat kemampuan motorik
kelompok siswi yang diajar dengan permainan awo lebih tinggi
dibandingkan yang dengan permainan auh-auh,
Ketiga, terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran
dengan jenis permainan terhadap tingkat kemampuan motorik. Hasil uji
lanjut menjukkan bahwa permainan awo lebih efektif diajarkan dengan
metode pembelajaran bagian, sedangkan permainan auh-auh lebih
efektif diajarkan dengan metode keseluruhan.

11
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 1-12

DAFTAR PUSTAKA

Burton, Allen W. and Daryl E. Miller. 1998. Movement Skill


Assessment. USA: Human Kinetics.
Cholik Mutohir, Toho dan Rusli Lutan. 1996. Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan. Jakarta: BP3GSD Ditjen Dikti Depdikbud.
Christina, Robert W. and Daniel M. Corcos. 1988. Coaches Guide to
Teaching Sport Skills. Champaign, Illinois: Human Kinetics
Books.
Ferguson, George A. and Takane, Yoshio. 1989. Statistical Analysis in
Psychology and Education. New York: McGraw-Hill-Book
Company.
Fuoss, Donald. E. and Robert J. Troppmann. 1981. Effective Coaching A
Psychologycal Approach. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Kirkendall, Don R., Joseph J. Gruber, and Robert E. Johnson. 1980.
Measurement and Evaluation for Physical Educators. Dubuque:
Wm. C. Brown Company Publisher.
Lutan, Rusli. 1985. Belajar Keterampilan Motorik: Pengantar Teori dan
Metode. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti Depdikbud.
Magill, Richard A. 1985. Motor Learning Concepts and Applications.
Iowa: W.C. Brown Publishers.
Oxendine, Joseph B. 1984. Psychology of Motor Learning. New
Jersey: Prentice Hall Inc.
Piskurich, George M. 2000. Rapid Instructional Design: Learning ID
Fast and Right. San Francisco: Jossey-Bass/ Preiffer.
Rink, Judith E. 2002. Teaching Physical Education for Learning.
Boston: McGraw-Hill.
Singer, Robert N. 1980. Motor Learning and Human Performance an
Aplication to Motor Skills and Movement Behaviors. New York:
MaCmillan Publishing Co. Inc.
Sudjana. 1994. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito.
______. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyanto. 2003. Dasar-dasar Belajar Gerak. Jakarta: Depdiknas,
Direktorat Tenaga Pendidikan.
The International Society for Gestalt Theory and its Applications. 2000.
http://www. enabling.org/ia/gestalt/gerhards/gtax1.htm1.
Wall, Jennifer and Nancy Murray. 1994. Children and Movement
Physical Education in the Elemantary School. Iowa: WCB.
Brown & Benchmark.

12
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

INVASI AKASIA BERDURI (ACACIA NILOTICA)


(L.) WILLD EX DEL. DI TAMAN NASIONAL BALURAN
JAWA TIMUR DAN STRATEGI PENANGANANNYA

oleh
Djufri
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

ABSTRACT
Acacia nilotica is a thorny wattle native species in India, Pakistan and
much of Africa. This Acacia is widely distributed in tropical and
subtropical Africa from Egypt and Mauritania to South Africa. The
invasion of A. nilotica has resulted in the reduction of savannah wide in
Baluran National Park reaching about 50%. Presure to the savannah
has a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem
in Baluran. Some efforts have been to fight against the wide-spreading
of invasion of A. nilotica for example eradication chemically use
Indamin 72 HC and 2,4 D Dinitropenol, but result is not effective. And
so it is with eradication in the mechanic use bulldozer appliance, and
cut away to burn, not yet given optimal result, proven invasion of A.
nilotica in this time not yet deductible, exactly growing wide. For the
reason, require to be looked for alternative is way of the other
eradication, so that the wide-spreading of preventable invasion A.
nilotica. Otherwise hence the possibility of big savannah exist in
National Park of Baluran metamorphose to become forest of A. nilotica.

PENDAHULUAN
Invasi adalah pergerakan satu atau lebih tumbuhan dari satu area
ke area lainnya dan pada akhirnya mereka menetap di tempat tersebut.
Proses ini berlangsung secara kompleks melalui peristiwa migrasi,
eksistensi, dan kompetisi sebagai tahapan penting dalam invasi, yang
seluruhnya terkait dengan waktu. Invasi umumnya terjadi di daerah yang
gundul, tetapi dapat juga terjadi di area yang ada tumbuhan. Invasi
merupakan bentuk permulaan suksesi yang pada akhirnya secara terus
menerus akan menghasilkan tahapan suksesi hingga terbentuk klimaks.
Biasanya invasi komunitas klimaks tidak efektif, kenyataannya invasi
biasanya terjadi pada area yang populasinya jarang, sehingga
menghasilkan tahapan perkembangan yang baru (Weaver & Frederic,
1978).

13
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

Invasi sangat efektif bila terjadi secara lokal, baik invasi semak
yang menyerang padang rumput atau pohon yang menutupi suatu
kawasan. Pada suatu komunitas umumnya dijumpai beberapa spesies
yang mempunyai kemampuan sebagai pionir. Invasi pada kawasan yang
jauh, jarang menghasilkan efek suksesional, karena spesies baru
perkembangannya berlawanan dengan spesies lokal (native species). Hal
ini sangat berbeda pada area yang baru di dekatnya. Invasi ke komunitas
yang baru dimulai dengan migrasi, lalu agresi, kompetisi, dan reaksi
(Weaver & Frederic, 1978).
Di Taman Nasional Baluran dijumpai beberapa spesies flora
eksotik, yang keberadaannya cukup mengganggu keutuhan ekosistem
asli kawasan tersebut. Salah satu spesies flora eksotik yang cukup
mengganggu keseimbangan ekosistem Baluran adalah adalah akasia
berduri (Acacia nilotica). Tumbuhan ini diintroduksi oleh pihak
pengelola ke Taman Nasional Baluran pada tahun 1969 yang semula
dimaksud sebagai sekat bakar. Namun ternyata A. nilotica merupakan
spesies yang tumbuh dan menyebar cepat sehingga mengganggu
pertumbuhan spesies lainnya, terutama pada kawasan savana.
A. nilotica yang diintroduksi ke Indonesia merupakan sub spesies
indica. Introduksi dilakukan pada tahun 1850, melalui Kebun Botani di
Calcuta (India) dengan tujuan untuk menjadikan tumbuhan ini sebagai
salah satu tumbuhan yang memiliki nilai komersial yaitu sebagai
penghasil getah (gum) yang berkualitas tinggi. Namun setelah tumbuhan
ini ditanam di Kebun Raya Bogor, ternyata produksi getahnya sangat
rendah sehingga pohon-pohon tersebut ditebang 40 tahun kemudian.
Introduksi tumbuhan ini ke Taman Nasional Baluran di Banyuwangi
Jawa Timur bertujuan sebagai sekat bakar untuk menghindari
menjalarnya api dari savana ke kawasan hutan jati (Anonim, 1999).
Namun, invasi A. nilotica di Taman Nasional Baluran telah
menyebabkan terdesaknya berbagai spesies rumput sebagai komponen
utama penyusun savana Baluran.
Invasi A. nilotica menyebabkan pertumbuhan rumput terdesak,
sehingga dipandang dari aspek ketersedian pakan bagi herbivora sudah
tidak memadai, oleh karenanya satwa mencari pakan alternatif yang lain,
salah satunya adalah daun dan biji A. nilotica. Namun sebagi sumber
pakan utama, rumput tetap tidak dapat tergantikan (Sabarno, 2002).
Fenomena ini tentunya dapat mengakibatkan terganggunya
keseimbangan ekosistem Taman Nasional Baluran, misalnya berkurang
dan menyusutnya pakan utama bagi herbivora. Kondisi ini pada
gilirannya dapat mengancam keberadaan satwa herbivora di kawasan

14
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

ini. Kondisi savana Baluran saat ini sedang mengalami proses perubahan
dari ekosistem terbuka yang didominasi suku rumupt-rumputan
(Poaceae) menjadi areal yang ditumbuhi A. nilotica. Pada tempat-tempat
tertentu pertumbuhan A. nilotica sangat rapat, sehingga membentuk
kanopi tertutup, akibatnya beberapa rumput tidak mampu hidup di
bawahnya. Kejadian ini kemungkinan disebabkan karena kompetisi
kebutuhan cahaya atau adanya zat alelopati. Untuk memperoleh jawaban
atas fenomena tersebut perlu dilakukan penelitian (Djufri, 2004).
Permasalahan timbul setelah A. nilotica tumbuh dan berkembang
sehingga hampir menginavsi seluruh areal savana Bekol, yang
merupakan sumber pakan utama bagi beberapa spesies mamalia
terestrial, seperti banteng, rusa dan kerbau liar. Tingkat percepatan
pertumbuhan A. nilotica di Baluran mencapai 100-200 hektar per tahun.
Berdasarkan data terakhir tahun 2000, A. nilotica di Taman Nasional
Baluran sudah menginvasi sekitar 50% dari luas savana atau sekitar
5000 ha (Sabarno, 2002). Dampak yang nyata yaitu berkurangnya luasan
savana sebagai sumber pakan bagi mamalia, dan menyebabkan
terjadinya kompetisi di antara satwa dalam hal mendapatkan sumber
pakan. Berkurangnya luasan savana juga mengurangi ruang gerak satwa
dalam mengasuh dan membesarkan anaknya. Apabila kondisi ekologis
ini berlangsung terus tanpa ada pengendalian, maka populasi spesies
mamalia akan terancam. Menurut Mutaqin (2002) salah satu alasan
ditetapkan Baluran sebagai Taman Nasional adalah karena adanya
savana alami yang cukup luas yaitu 10.000 ha yang dihuni oleh berbagai
spesies satwa liar langka dan dilindungi, salah satu di antaranya adalah
banteng (Bos javanicus). Oleh karena itu, keberadaan ekosistem savana
dan satwa banteng menjadi salah satu objek utama dan sekaligus sebagai
prioritas dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Baluran.

PEMBAHASAN
Pengertian Invasi
Invasi adalah perpindahan satu atau lebih spesies tumbuhan dari
satu tempat ke tempat lainnya, dan pada akhirnya mereka menetap di
tempat tersebut, proses migrasi ini berlangsung sangat kompleks. Invasi
dapat terjadi di daerah yang gundul atau di daerah yang telah ada
tumbuhannya. Sebenarnya invasi merupakan bentuk awal dari suksesi,
namun karena secara terus menerus dapat beradaptasi terhadap seluruh
fase suksesi, sehingga akhirnya dapat mencapai kondisi klimaks. Invasi
yang efektif biasanya bersifat lokal, sebagai contoh, invasi besar-besaran
kelompok semak yang masuk ke padang rumput atau spesies pohon

15
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

yang menyerang suatu komunitas. Pada setiap komunitas ditemukan


spesies yang mampu bertindak sebagai pionir, demikian juga pada
komunitas yang berdekatan karena kondisi habitat relatif sama. Invasi
jarang terjadi pada daerah yang jauh sebagai fenomena suksesi, namun
melalui invasi spesies penyerang dapat berkembang bahkan dapat
menguasai lahan yang didudukinya atau membuat daerah yang baru.
Proses invasi dimulai dari migrasi, kemudian agregasi, dan kompetisi,
selanjutnya reaksi. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi kompetisi
dan reaksi yang menyebakan terbatasnya cahaya dan air secara cepat.
Kemudian akan terjadi perkembangan vegetasi, dimana migran masuk
dan hidup dengan baik, sehingga terjadi interaksi antar penghuni,
selanjutnya menghadirkan proses yang rumit dan kompleks (Weaver dan
Frederic, 1978). Contoh yang menarik adalah invasi A. nilotica di
savana Taman Nasional Baluran yang telah merubah komunitas savana
menjadi permadani hijau berupa hutan A. nilotica dengan tingkat
kerapatan pohon bervariasi dari satu savana ke savana lainnya. Bila
kondisi ini tidak ditangani secara profesional, maka tidak diragukan lagi
savana di kawasan ini akan hilang (Djufri, 2004).
Mengapa beberapa spesies eksotik mempunyai kemampuan
untuk menginvasi dan mendominasi habitat baru sekaligus
menggantikan kedudukan spesies lokal? Salah satu penyebabnya adalah
ketidakhadiran predator, penyakit dan parasit alamiah mereka di habitat
yang baru tersebut. Kegiatan manusia dapat menyebabkan timbulnya
kondisi lingkungan yang tidak lazim, misalnya penambahan bahan
makanan, meningkatkan insiden kebakaran, dan meningkatnya daerah
terbuka, sehingga spesies-spesies eksotik lebih mudah untuk
menyesuaikan diri dari pada spesies lokal. Konsentrasi terbesar spesies
eksotik biasanya dijumpai pada habitat yang telah dirubah oleh kegiatan
manusia. Di Asia Tenggara misalnya, perusakan hutan yang terjadi terus
menerus menyebabkan hanya sejumlah kecil spesies lokal yang hidup
pada kawasan yang tersisa. Kenaikan besar-besaran spesies eksotik
Allaria officinalis yaitu tumbuhan dua tahunan (bineal) dari Eropa di
Amerika Serikat mungkin disebabkan oleh kenaikan nitrogen di udara
dan kondisi tanah yang juga telah berubah (Primack, et al., 1998).

Cara Terjadinya Invasi


Kedatangan spesies asing (exotic, invander, invasive, non-native)
ke suatu habitat baru yang kondisi lingkungannya berbeda dengan
kondisi lingkungan di daerah asalnya, tidak akan menyebabkan
terjadinya kompetisi yang kuat dengan spesies asli (indigenous, native).

16
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

Spesies asing ini biasanya hanya akan menjadi tumbuhan pengganggu di


habitat baru tersebut. Banyak spesies tumbuhan memiliki kemampuan
tinggi untuk berkecambah, tetapi nasib anakan (sapling) dan tumbuhan
dewasa selanjutnya ditentukan oleh kompetisi dengan tumbuhan lain,
serta hebivora oleh serangga dan hewan lain. Komunitas yang terbuka
umumnya lebih mudah untuk di invasi, sedangkan komunitas yang
tertutup lebih sulit di invasi. Pada komunitas terbuka seperti gurun,
padang rumput, dan hutan pinus, pengaruh lingkungan fisik-kimia
sangat kuat terhadap kehadiran populasi tumbuhan, sehingga tumbuhan
menyesuaikan diri dengan sumber daya yang ada. Habitat yang terbuka
memudahkan invasi spesies asing karena berkurangnya kompetisi, tetapi
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan perkecambahan dan
pertumbuhan suatu spesies memiliki kisaran luas. Kebutuhan primer
seperti air, pH, dan nutrien dapat menihilkan kehadiran semua spesies
invasive, kecuali sebagian kecil spesies pionir yang tetap mampu
bertahan hidup (Weaver dan Frederic, 1978).
Setelah fase permulaan invasi atau fase pionir, tumbuhan asli dan
asing dalam kondisi kritis. Komunitas spesies asli dapat diserang spesies
asing pada intensitas kompetis yang sama tingginya atau di bawahnya
atau di atasnya, hal ini juga terkait dengan bentuk habitusnya. Spesies
pohon di hutan yang berhabitus tinggi umumnya tidak segera
terpengaruh oleh serangan spesies asing, mengingat spesies asing
tersebut masih harus menghadapi tekanan lingkungan untuk
keberhasilan perkecambahan bibit, serta pertumbuhan anakan dan
dewasa. Jika habitusnya lebih besar atau tempat tumbuhnya di atas
spesies asli, seperti lumut terhadap lumut kerak, maka pendatang baru
dapat mendominasi dan segera memberikan karakter baru pada
komunitas. Pada tumbuhan berhabitus semak dan pohon, kompetisi ini
tergantung pada urutan fase bentuk hidupnya (life form). Apabila invasi
berada di bawah level existing, maka tidak akan berpengaruh terhadap
spesies asli kecuali terjadi pengembalaan secara berlebihan. Dalam hal
ini spesies asing menjadi komponen sekunder dari komunitas dan
ekosistem tetap dalam kondisi normal. Pada komunitas lumut Sphagnum
yang tumbuh di kawasan beriklim basah terdapat pengecualian. Di
tempat ini invasi di lantai hutan terjadi pada musim semi, sejalan dengan
melimpahnya air hujan (Weaver & Frederic, 1978).

Rintangan dalam Invasi


Kondisi topografi, fisik dan biologi bertindak sebagai agen
pembatas atau pelindung invasi. Misalnya pegunungan, kadar alkalin

17
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

tanah yang tinggi, atau pengembalaan hewan-hewan. Khusus untuk


topografi bersifat permanen dan biasanya menghasilkan tantangan yang
permanen pula. Faktor biologi misalnya penanaman (cultivation) dan
penyiangan (burning), biasanya bersifat sementara dan eksis hanya
beberapa tahun, atau terjadi pada satu musim. Rintangan yang bersifat
temporal biasanya sering terjadi. Pada tanah yang mengalami depresi
air, ternyata tumbuhan tetap eksis, tetapi danau yang besar merupakan
tantangan komplit untuk sebagian besar tumbuhan, mereka segera dapat
melakukan migrasi silang meskipun mereka eksis di tempat tersebut.
Pengaruh rintangan terhadap invasi memacu proses eksistensi dan
migrasi suatu spesies (Weaver & Frederic, 1978).
Rintangan geografi yang utama adalah laut, danau, sungai,
gunung, dan gurun. Semuanya berpengaruh terhadap invasi karena
semuanya merupakan faktor fisik yang paling dominan, misalnya
penyebab difisiensi air, temperatur, nutrien, dan lain-lain. Komponen
tersebut dapat melindungi spesies yang datang dan habitat yang sangat
berbeda, pada waktu yang sama, berperan sebagai media bagi generasi
tumbuhan berikutnya. Rintangan tersebut berpengaruh terhadap mesofita
dan xerofita; gurun sebagai pembatas invasi bagi tumbuhan mesik dan
hidrik, dimana mereka tertolong oleh faktor kekeringan yaitu dengan
penurunan temperatur gunung yang tinggi sebagai pembatas bagi
tumbuhan dataran rendah dan tumbuhan di daerah datar. Juga sangat
menghambat migrasi dibandingkan sebagian besar rintangan fisik yang
lainnya, karena sulit melakukan perpindahan pada kondisi kemiringan
tertentu. Beberapa daerah gundul dengan kondisi yang ekstrim
merupakan tantangan bagi invasi komunitas yang berdekatan (Weaver &
Frederic, 1978).
Rintangan biologi pada komunitas tumbuhan terjadi pada
tumbuhan dan hewan serta tumbuhan parasit, invasi pada komunitas
tumbuhan dibatasi oleh dua cara, yaitu asosiasi woodland yang
bertindak sebagai penghalang ecesis invasi spesies dari tipe asosiasi
lainnya dan menentukan perbedaan habitat fisiknya. Apakah berupa
tantangan komplit atau bersifat parsial akan bergantung pada
ketidakmiripan kedua habitat tersebut. Beberapa tumbuhan tidak mampu
untuk melakukan invasi di padang rumput walaupun sebagai spesies
semak daerah terbuka. Hutan dewasa dilaporkan memerlukan difus
cahaya, karena sinar merupakan tantangan bagi kehidupan tumbuhan
termasuk daerah payau karena pengaruh air dan kurangnya aerasi,
sehingga dapat menghambat invasi spesies woodland dan padang
rumput, hutan dan semak belukar bertindak sebagai penghalang mekanik

18
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

khususnya terhadap kehadiran gulma dan beberapa yang lainnya


disebabkan oleh angin. Komunitas yang tertutup apakah hutan, padang
rumput, atau gurun, berpengaruh terhadap penurunan laju invasi.
Asosiasi yang tertutup biasanya bertindak sebagai tantangan komplit,
walaupun lebih terbuka yang dibatasi oleh satu proporsi langsung
terhadap derajat spesies lokal (native species). Kemudian sejumlah
tahapan suksesi lebih banyak ditentukan oleh sulitnya peningkatan
invasi pada daerah yang stabil.
Manusia dan hewan mempengaruhi invasi melalui perusakan
calon individu baru (disseminuies). Baik pada daerah gundul mapun
pada fase suksesi sedang bejalan (fase seral), tikus dan burung biasanya
berperan sebagai decisive untuk merubah secara luas perkembangannya.
Manusia dan hewan bertindak sebagai tantangan melalui peristiwa
banjir, drainase, dan lain-lain, kemudian pada gilirannya sampai pada
skala kompetisi melalui penanaman, pengembalaan, parasitisme, atau
dengan cara yang lainnya.

Sejarah Invasi Acacia Nilotica di Taman Nasional Baluran


A. nilotica diperkirakan berasal dari India, Pakistan, dan juga
ditemukan di Afrika. Sekarang ini telah dikenal beberapa spesiesnya
seperti A. nilotica sub spesies indica, A.leucoploea Willd., A. famesiana
Willd. A. ferruginea DC., A. catechu Willd., A. horrida (l.f) Willd., A.
sinuata (Lour.) Merr., A. pennata Willd., dan A. senegal Willd. (Brenan,
1983). Akasia tersebar luas di Afrika tropis dan subtropis dari Mesir dan
Mauritania sampai Afrika Selatan. Beberapa spesies tersebar luas di
Asia Timur seperti Birma. A. nilotica sub spesies indica juga tumbuh di
Ethopia, Somalia, Yaman, Oman, Pakistan, India, dan Birma. Kemudian
juga berhasil ditanam di Iran, Vietnam (Ho Chi Min City), Australia
(Sydney dan Queensland) dan di Carribean (Brenan, 1983). Sub spesies
ini umum dijumpai pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi, tetapi
dapat juga tumbuh pada tanah lempung bepasir yang dalam dan di area
dengan curah hujan yang tinggi. Umumnya tumbuh di dekat jalur air
terutama di daerah yang sering mengalalami banjir. Tumbuhan ini dapat
tumbuh pada area yang menerima curah hujan kurang dari 350-1500 mm
per tahun. Spesies ini dilaporkan sangat sensitif terhadap kebekuan/digin
dan salinitas, namun dapat tumbuh pada area dimana rata-rata
temperatur bulanan sangat dingin yaitu 160C (Gupta, 1970). Menurut
Duke (1983) A. nilotica berasal dari Mesir Selatan lalu tersebar ke
Mozambique dan Natal, kemudian di introduksi ke Zanzibar, Pemba,
India dan Arab. Saat ini A. nilotica merupakan gulma yang

19
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

menimbulkan masalah serius di Afrika Selatan. Di Australia, sebagian


besar area A. nilotica dijumpai di Queensland dengan laju invasi
dilaporkan masih rendah terutama di bagian utara, New South Wales,
dan Australia Selatan. Data yang diberikan Bolton dan James (1985)
menunjukkan invasi sekitar 6,6 juta ha atau 25% dari luas padang
rumput Mitchell, dengan kepadatan pada area tersebut sekitar 0,6 juta
ha. Distribusi dan kepadatan spesies ini terus menunjukkan peningkatan
(Reynold dan Carter, 1990).
A. nilotica yang diintroduksi ke Indonesia berasal dari subspesies
indica. Introduksi dilakukan pada tahun 1850, melalui Kebun Botani di
Calcuta (India) dengan tujuan untuk menjadikan tumbuhan ini sebagai
salah satu tumbuhan yang memiliki nilai komersial yaitu sebagai
penghasil getah (gum) yang berkualitas tinggi. Namun setelah tumbuhan
ini ditanaman di Kebun Raya Bogor, ternyata produksi getahnya sangat
rendah sehingga pohon-pohon tersebut ditebang 40 tahun kemudian.
Introduksi tumbuhan ini ke Taman Nasional Baluran tidak diketahui
dengan pasti, diperkirakan pada awal tahun 1960-an atau sebelumnya.
Tujuan introduksi ini adalah sebagai sekat bakar untuk menghindari
menjalarnya api dari savana ke kawasan hutan. Pada tahun 1969
tumbuhan ini ditanam di savana Bekol dengan tujuan yang sama yaitu
sebagai sekat bakar untuk mencegah menjalarnya kebakaran dari savana
ke kawasan hutan (Balai Taman Nasional Baluran, 1999). Fisiognomi
savana Bekol disajikan pada Gambar 1.
Savana Bekol seluar 420 ha, merupakan habitat yang sangat
disukai oleh herbivora yang menjadikan savana ini sebagai tempat untuk
melakukan berbagai aktivitas. Keadaan ini memungkinkan untuk
tersebarnya biji bersama kotoran satwa yang dikeluarkan saat
beraktivitas di savana Bekol yang terbuka, dikelilingi areal yang masih
tertutup A. nilotica, sehingga masih memungkinkan tersebarnya biji-biji
A. nilotica yang berasal dari area yang terinvasi A. nilotica tingkat
pohon, melalui aliran sungai atau curah hujan yang cukup deras, ke areal
savana Bekol yang masih terbuka.

20
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

Balai Taman Nasional


Baluran (1999).

Gambar 1 . Posisi savana di Taman Nasional Baluran. (1). Savana


Karang Tekok 5675 ha, (2). Savana Labuhan Merak 850 ha, (3). Savana
Balanan 1250 ha, (4). Savana Kramat 620 ha, (5). Savana Bama, Kajang
dan Bekol 1175 ha, (6). Savana Widuri 350 ha, (7). Savana Semiang 80
ha.

21
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

Kondisi iklim dan alam Taman Nasional Baluran merupakan


faktor yang sangat menunjang cepatnya penyebaran serta suburnya
pertumbuhan A. nilotica. Intensitas cahaya matahari yang tinggi dan
kekeringan merupakan pendorong utama dimakannya biji-biji tumbuhan
ini oleh herbivora seperti banteng (Bos javanicus), Rusa (Cervus
timorensis), kijang (Mutiacus muntjak) dan kerbau liar (Sus sp).
Akibatnya biji-biji yang keluar bersama kotoran satwa tersebar di
seluruh kawasan yang dilintasi oleh satwa tersebut. Intensitas cahaya
matahari yang tinggi ditambah curah hujan yang cukup tinggi sepanjang
tahun telah merangsang pertumbuhan biji-biji yang dorman juga
merangsang pertumbuhan biji yang tersebar dengan herbivora.
Akibatnya pada areal savana Bekol yang kondisinya terbuka (bebas dari
A. nilotica tingkat pohon) setelah kegiatan pembongkaran dilakukan,
dalam waktu yang tidak terlalu lama akan segera ditumbuhi oleh anakan
A. nilotica. Tingkat pertumbuhan anakan di savana Bekol tergolong
sangat pesat, dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah dapat mencapai
ketinggian 100 cm. Hal ini terlihat dari kondisi savana Bekol setelah
kegiatan pencabutan anakan A. nilotica yang dilakukan pada tahun
1998/1999 seluas 175 ha, namun dalam jangka waktu yang singkat
sudah ditumbuhi kembali oleh A. nilotica dan tumbuh sangat cepat, dan
kerapatannya sekarang sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan (Balai
Taman Nasional Baluran, 1999).
Selain kedua faktor tersebut di atas, faktor lain yang
menyebabkan tingginya kerapatan anakan A. nilotica adalah karena
tingginya tingkat regenerasi dan kemampuan untuk bertahan hidup. A.
nilotica tergolong tumbuhan xerofit yaitu tumbuhan yang dapat hidup
dengan baik pada kelembaban udara yang rendah, oleh karenanya dalam
kondisi air yang terbatas (curah hujan yang rendah) tumbuhan ini
mampu melakukan regenerasi vegetatif. Hal ini dapat dilihat karena
tumbuhnya kembali tunas-tunas dorman yang terdapat di sisa-sisa
tunggak yang belum tercabut dan dibakar atau pada batang-batang
pohon yang tertinggal. Pada musim hujan pertumbuhan tunas-tunas
dorman tersebut berlangsung dengan cepat dan subur sehingga dengan
segera membentuk terubusan atau semak berduri yang rapat dan sulit
untuk ditembus dengan ketinggian mencapai 4,5 dan lebar tajuk, 1,5.

Beberapa Kelebihan Acacia Nilotica sebagai Spesies Invasif


Introduksi tumbuhan yang ditanam dengan disengaja maupun
tidak dari spesies pohon dapat menyebabkan bencana lingkungan jika
dalam introduksi tersebut tidak dilakukan Analisis Dampak Mengenai

22
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

Lingkungan (AMDAL) secara memadai, sebagaimana halnya kasus


invasi A. nilotica diringkas di bawah ini, berikut saran-saran untuk
memenimalisasi perubahan invasi yang sama dari spesies lain di
beberapa kawasan. A. nilotica dapat tersebar dengan cepat karena: (i).
Anakan dari pohon muda terlindung dari pengembalaan (grazing) karena
berduri, (ii). Perkembangan aktif oleh pengguna lahan di awal-awal
tahun, (iii). Jarak pemencarannya jauh melalui mekanisme (hewan
peliharaan, satwa liar dan banjir), sehingga penyebarannya tidak dapat
dikontrol, (iv). Produksi biji sangat besar (di atas 175.000/pohon). (v).
Biji dapat hidup untuk jangka waktu yang lama. (vi). Tumbuhan muda
tumbuh cepat. (vii). Toleran terhadap pengembalaan, kekeringan, dan
api. (viii). Merupakan pohon kecil pada habitat yang sering terbakar
akan menyerbu secara cepat, (ix). Pohon hidup untuk jangka waktu yang
panjang (30-60 tahun), dan (x). Kemungkinan dapat tumbuh pada
kisaran iklim yang ekstrem (Carter et al., 1990).
Pelajaran berharga yang dapat diambil dari invasi dan sejumlah
saran yang perlu diperhatikan bahwa semua tumbuhan introduksi harus
disaring dan diteliti secara cermat. Penyaringan tersebut termasuk
observasi di lingkungan habitat asalnya dan kawasan di tempat
introduksi meliputi: (i). Mengukur produksi biji dan lamanya hidup, (ii).
Menentukan metode pemantuan pemencaran biji, (iii). Pengujian
kerentanan perkecambahan dan pohon berukuran kecil untuk di grazing
ada atau tanpa duri, (iv). Analisis bikikilm dan tanah untuk memprediksi
potensinya di tempat yang baru, (v). Meneliti pengaruh insekta predator
tumbuhan patogen dan pengendalian tumbuhan dengan api di
lingkungan asalnya, (vi). Meneliti metode praktis untuk mengendalikan
secara kimia dan biologi terutama permasalahan sebagai gulma (Carter
et al., 1990).
Tidak dapat dipungkiri bahwa satu tumbuhan gulma biasanya
tidak mungkin untuk dieliminasi dan tindakan biasanya menyangkut
pengendalian penyebaran (sangat mahal dan sering menjadi proses yang
sia-sia). Dengan demikian, diperlukan perubahan strategi pengelolaan
baru untuk mengatasi dan menguasai pengaruh dari gulma.
Pengendalian secara biologi dapat secara sempurna, namun tidak dapat
diandalkan sebagai upaya terakhir. Para ilmuwan berkeyakinan bahwa
semua tumbuhan introduksi dianggap gulma sebelum diperoleh bukti
sebaliknya.

23
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

Upaya Penanggulangan Acacia Nilotica di Taman Nasional Baluran


Upaya penanggulangan invasi A. nilotica yang telah dilakukan
selama ini di Taman Nasional Baluran dapat dikategorikan dalam dua
kelompok yaitu: (1). Pemberantasan secara kimiawi dan (ii)
pemberantasan secara mekanik/fisik.

1. Pemberantasan secara Kimiawi


Upaya ini telah dilakukan pada tahun 1985 oleh Puslitbang
Departemen Kehutan dengan menggunakan bahan kimia jenis herbisida
sistematik yang bersifat hormon (Indamin 720 HC dan 2,4-D
Dinitropenol) dimasukkan ke dalam lubang pohon yang dibor setinggi
dada dengan kemiringan 450C (Santoso dalam Mutaqin, 2002). Selain
itu juga dilakukan uji coba penebangan batang/pohon sebatas permukaan
tanah, kemudian tonggaknya dilaburi solar/minyak tanah, luas areal
yang digunakan dalam percobaan tersebut mencapai 25 ha. Pada tahun
1996 PT Mitra Buana Mukti juga melakukan percobaan dengan cara
mengupas kulit batang sampai lapisan kambium (peneresan) secara
melingkar selebar 15 cm, kemudian pada bagian batang diteres/diolesi
larutan Xarbosida garlon 48 Ec. Sejak tahun 1999 pihak penyelenggara
pengelola juga telah berupaya melakukan uji coba pemberantasan
tegakan A. nilotica, anakan dan spesies-spesies gulma lain yang tumbuh
di areal bekas pembongkaran dengan menggunakan minyak tanah, solar,
larutan ragi dan Round Up. Uji coba ini dilakukan dengan cara
mengolesi/melaburi batang yang diteres, tunggak dan penyemprotan
daun batang dengan bahan-bahan tersebut di atas (Mutaqin 2002).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberantasan
A. nilotica secara kimiawi ini kurang efektif/berhasil dalam proses
membunuh A. nilotica. Jika metode ini diterapkan, ditinjau dari segi
biaya maupun tenaga kurang efisien, terlebih lagi bila dikaitan dengan
luasnya areal dan tingginya kerapatan tegakan yang ada., sehingga dari
segi teknis pelaksanaan di lapangan penggunaan metode kimiawi kurang
praktis, karena setiap pohon yang akan dimusnahkan harus diberi
perlakuan yang sama. Disamping itu, penggunaan bahan kimia herbisida
(di kawasan konservasi) harus mendapatkan pengawasan ekstra ketat
dan hati-hati, mengingat herbisida mempunyai efek samping yang
kemungkinan besar dapat merugikan kehidupan satwa dan lingkungan.
Hasil uji coba pemberantasan dengan menggunakan minyak
tanah, solar maupun bahan kimia Round Up (dalam jumlah tertentu)
yang dioleskan pada pohon yang diteres maupun tunggak belum dapat
membunuh pohon secara total. Bagian batang/pohon dari batas teresen

24
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

ke atas (pucuk) mati total, sedangkan batas teresan ke bawah (akar)


masih hidup. Demikian pula pengolesan tunggak hanya sebagian kecil
saja yang mati, sisanya tetap hidup terutama pada awal musim hujan
akan tumbuh tunas-tunas baru, prosentase jumlah tunggak yang mati dan
jangka waktu proses kematian sangat tergantung pada jumlah bahan
yang digunakan.
Uji coba pemberantasan dengan daun dan batang yang dilukai
pada anakan A. nilotica maupun terhadap spesies gulma dan herba lain
dengan menggunakan bahan tersebut juga tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Cara tersebut belum mampu mematikan, hanya
merontokkan daun dan mengeringkan ranting-ranting yang kecil,
sedangkan batang utama masih tetap hidup dan setelah beberapa lama
akan tumbuh tunas baru kembali. Namun demikian, hasil uji coba
penggunaan bahan tersebut dengan cara memotong terlebih dahulu
batang (pengolesan) pada anakan A. nilotica dan spesies gulma lainnya
(widuri, jarak, dan kapasan) cukup efektif dalam mematikan spesies
tersebut di atas, asal saja dilakukan pada saat cuaca terang (musim
panas).

2. Pemberantasan secara Mekanik


Pemberantasan secara mekanik sudah dilakukan sejak tahun
1989-2001, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 1. Pemberantasan
secara mekanik/fisik yang dilakukan dengan cara memotong/menebang
pohon (Tahun Anggaran 1989/1999 s/d 1990/1991) tanpa perlakuan apa-
apa pada tunggak belum memberikan dampak yang nyata terhadap
musnahnya/berkurangnya A. nilotica, justru merangsang tumbuhnya
biji-biji yang dorman dan mempercepat pertumbuhan regenerasi
vegetatif dari batang yang dilukai maupun dari tunggak yang
ditinggalkan. Dampak negatif yang paling menonjol dari kegiatan ini
adalah merajalelanya pertumbuhan tunas-tunas baru (terubusan). Satu
tunggak pohon A. nilotica bisa tumbuh 5-6 batang/cabang baru.
Demikian pula upaya pencabutan pohon dengan menggunakan katrol
(Tahun Anggaran 1992/1993) belum memberikan hasil yang optimal.
Pelaksanaan di lapangan sangat lambat karena luas area yang berhasil
dicabut tidak sebanding dengan target luas pencabutan yang telah
ditetapkan. Cara ini kurang efektif dan kurang efisien. Skenario
pemberantasan secara mekanik disajikan pada Gambar 2.

25
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

Tabel 1. Pemberantasan A. nilotica secara mekanik/fisik di Taman


Nasional Baluran Jawa Timur (Mutaqin, 2002)

Tahun Anggaran/ Lokasi


No Realisasi
Sumber Dana Savana
1. 1993/1994 (APBN) Bekol 25 ha
2. 1994/1995 (APBN) Bekol 25 ha
3. 1995/1996 (APBN) Bekol 25 ha
4. 1996/1997 (APBN) Bekol 50 ha
5. 1997/1998 (APBN) Bekol 50 ha
6. 1997/1998 (DPL) Bekol 65,54 ha
7. 1998/1999 (APBN) Drebus, Bama 50 ha
8. 1998/1999 (DR) Bama 110,06 ha
Drebus, Bama 110,06 ha
9. 1999/2000 (DIK-S-DR)
Krmat (target 135 ha)
Kramat dan
10. 2000/2001 (DIK-S-DR) 150 ha
Curah Udang

Upaya pembongkaran secara mekanik dengan alat buldoser yang


dilakukan sejak tahun 1993 s/d 2000 cukup berhasil. Luas area savana
yang berhasil dibuka mencapai 409,6 ha. Metode pemberantasan secara
mekanik dengan buldoser saat itu dianggap metode yang paling cepat
dan tepat dibandingkan dengan metode lainnya. Namun demikian,
metode tersebut berdampak negatif terhadap perubahan struktur tanah,
sehingga merangsang pesatnya pertumbuhan anakan (seedling) yang
berasal dari biji yang jatuh saat pembongkaran, biji yang dorman
maupun biji yang terbawa/berasal dari kotoran satwa. Pada areal savana
yang berbatu metode ini sulit dilaksanakan, untuk itu perlu dicarikan
metode alternatif yang dapat meminimalisasi dampak negatif yang
ditimbulkannya (Mutaqin, 2002).
Pada tahun 1997 timbul masalah baru, yaitu dengan munculnya
spesies pionir (semak perdu) pada areal bekas pembongkaran. Spesies
ini juga mengganggu/menghambat pertumbuhan rumput antara lain
widuri (Calotropis gigantea), nyawon (Vernonia cinerea), dan kapasan
(Thespesia lanpas). Areal bekas pembongkaran yang telah ditumbuhi
atau ditutupi oleh spesies pionir diperkirakan sudah mencapai 50-60%
luas areal savana yang telah dibongkar. Hal ini sebelumnya tidak pernah
dipikirkan, untuk itu pada areal bekas pembongkaran selain kegiatan
pencabutan anakan juga perlu diikuti dengan kegiatan pemberantasan
gulma.

26
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

Pengukuran Penebangan Pembong-


lokasi Acacia
karan tong-
perlakuan nilotica
gak Acacia
Savana nilotica
yang ter- Tonggak
invasi Acacia nilotica
Acacia
nilotica

Tonggak selesai
dibongkar lalu
dibakar

Lokasi setelah pembongkaran


akan terbebas dari
tegakan Acacia nilotica
untuk beberapa waktu

Gambar 2. Skenario pemberantasan Acacia nilotica secara


mekanis
Pemberantasan A. nilotica dengan sistem tebang bakar (cara
tradisional) yang dilaksanakan pada tahun 2000 memberikan hasil yang
menggembirakan dimana tunggak yang dibakar langsung mati kerena
sebagian besar tunggak yang dibakar telah habis menjadi arang/abu, akar
tertinggal mulai mengering dan sebagian ada yang membusuk sehingga
peluang untuk tumbuh kecil. Dampak negatif dari metode tebang bakar
ini kecil dibandingkan dengan metode pemberantasan secara mekanik
lainnya. Namun karena area tegakan A. nilotica yang dibakar sangat
terbatas, maka hasilnya untuk jangka panjang menjadi tidak bermakna,
karena 1-2 tahun kemudian areal ini akan diserang lagi oleh anakan A.
nilotica dengan laju pertumbuhan lebih cepat lagi dibandingkan dengan
cara yang lainnya. Sebab pembakaran dapat merangsang pertumbuhan
biji A. nilotica yang dorman di tempat tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan pada areal bekas pemberantasan
secara mekanik menunjukkan adanya pergeseran pola atau komposisi

27
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

spesies penyusun vegetasi savana dari spesies rumput musiman ke


berbagai spesies herba, perdu dan rumput menahun. Begitu areal savana
dibuka tidak langsung ditumbuhi spesies rumput melainkan anakan A.
nilotica dan beberapa spesies gulma (herba dan perdu) yang tumbuh
sampai menyebar ke seluruh areal yang terbuka, terutama setelah musim
hujan tiba (Nopember-Maret). Rumput yang tumbuh sedikit bahkan
hampir tidak ada, karena kalah bersaing dengan anakan A. nilotica dan
gulma. Berbeda dengan areal bekas pemberantasan secara tradisional
(tebang bakar) begitu musim hujan tiba langsung ditumbuhi berbagai
spesies rumput seperti bayapan (Brachiaria reptans), lamuran
(Dichantium coricosum), emprit-empritan (Eragraostis tenela), dan
berbagai spesies lainnya seperti kapasan (Thespesia lanpas) dan temblek
ayam (Lantana camara). Areal tersebut secara umum didominasi
spesies-spesies rumput. Berdasarkan hasil inventarisasi tumbuhan pionir
di areal bekas pemberantasan dengan cara tradisional (tebang bakar) di
savana Kramat ditemukan 31 spesies tumbuhan tergolong 16 familia, 5
spesies di antaranya merupakan spesies rumput yang disukai satwa
herbivora. Hasil analisis vegetasi tumbuhan pionir di areal
pemberantasan secara tradisional disajikan pada Tabel 2.
Metode pemberantasan yang dilakukan secara mekanik dengan
alat buldoser membawa dampak negatif terhadap perubahan struktur
tanah. Tanpa disadari penggunaan metode ini telah merubah posisi
lapisan tanah bagian atas (topsoil). Dampak lain dari metode ini adalah
terjadinya erosi di musim hujan, sehingga rumput yang diharapkan
tumbuh kemungkinan besar hanyut terbawa banjir, akibatnya yang
tumbuh bukan spesies rumput melainkan anakan A. nilotica dan
bermacam-macam spesies gulma. Keuntungan metode mekanik efektif
untuk membuka lahan tegakan A. nilotica.

Tabel 2. Nilai penting beberapa spesies pionir yang mampu hidup di areal
savana Kramat setelah dilakukan pemberantasan A. nilotica dengan tebang bakar
(Mutaqin, 2002)

No Spesies KR (%) FR (%) DR (%) NP


1. Brachiaria reptans 86,76 13,33 71,76 171,85
2. Thespesia lanpas 0,77 10.00 11,85 22,62
3. Ageratum conyzoides 2,52 10,00 5,41 17,93
4. Vernonia cinerea 2,90 10,00 3,67 16,57
5. Oplismenus burmanii 4,59 3,33 3,28 11,20
6. Abutilon crispum 0,14 6,67 0,76 7,57
7. Achyranthes aspera 0,23 6,67 0,49 7,39

28
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

8. Centela asiatica 0,24 6,67 0,19 7,10


9. Bidens pilosa 0,14 6,67 0,12 6,93
10. Cyperus rotundus 0,64 3,33 0,83 4,80
11. Euphorbia hirta 0,21 3,33 0,35 3,89
12. Dactyloctenium 0,09 3,33 0,38 3,80
aegyptium
13. Imperata cylindrica 0,28 3,33 0,16 3,77
14. Crotalaria setriata 0,19 3,33 0,15 3,67
15. Borreria laevis 0,14 3,33 0,14 3,61
16. Leucas javanica 0,09 3,33 0,07 3,49
17. Biphytum sensitivum 0,07 3,33 0,07
Keterangan : KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, PR = Penutupan
Relatif, dan NP = Nilai Penting

Upaya pencabutan anakan A. nilotica seharusnya dilakukan


setiap tahun, luasnya harus setara dengan luas areal yang telah
dibongkar. Dengan kata lain, luas areal pencabutan anakan pertahun
harus merupakan komulatif dari luas areal pembongkaran. Hal ini
ternyata sulit dilaksanakan mengingat terbatasnya dana. Akibatnya areal
yang telah dibongkar beberapa tahun yang lalu saat ini telah ditumbuhi
kembali oleh anakan A. nilotica bahkan ada yang sudah mencapai
tingkat sapling maupun pohon. Mengingat adanya dampak negatif dari
penggunaan metode secara mekanik tersebut, maka upaya
pemberantasan A. nilotica pada tahun 2000 dilakukan secara manual,
yaitu metode tradisional dengan cara tebang bakar. Cara ini ternyata
cukup efektif dan efisien serta berdampak positif terhadap pertumbuhan
rumput. Keberhasilan upaya pemusnahan/pemberantasan A. nilotica
dalam rangka mengembalikan fungsi savana yang terbebas dari invasi
tumbuhan eksotik tersebut relatif sangat kecil. Kondisi di lapangan, luas
areal savana yang telah dibuka/dibongkar sejak tahun 1993 s/d 2000
sudah mencapai 559,6 ha, saat ini hanya 300 ha yang masih terbuka,
sisanya sudah tertutup kembali oleh anakan A. nilotica bahkan ada yang
sudah mencapai tingkat sapling dan pohon. Dari 300 ha areal yang
terbuka tersebut telah mulai di tumbuhi anakan A. nilotica, oleh
karenanya perlu segera dilakukan upaya pencabutan kembali.

29
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

Pembersihan batang,
pencangkulan dan
pengikatan batang

Pencabutan
Seedling yang
Pengukuran
seedling
sudah dicabut,
lokasi
Anakan (seedling) yang dikumpulkan lalu
tumbuh di savana dibakar

Strategi saat ini


1. Rehabilitasi savana Savana yang ter-
Penanaman rumput pada bebas dari seedling
areal bekas pencabutan Acacia nilotica
2. Perawatan savana beberapa saat
Pembersihan/pembakaran
3. Penggunaan tenaga fung-
sional khusus untuk pera-
watan savana

Gambar 3. Mekanisme pemberantasan seedling Acacia nilotic


menggunakan metode pencabutan

Kondisi Acacia Nilotica di Savana Taman Nasional Baluran


Savana Baluran dengan luas 10.000 ha merupakan satu-satunya
padang rumput alami di pulau Jawa yang dihuni oleh beberapa spesies
satwa liar yang dilindungi. Kondisinya saat ini cukup memprihatinkan
akibat adanya invasi A. nilotica. Invasi ini telah memberikan dampak
negatif terhadap pembinaan habitat (savana), yang semula ditanam di
pinggir sebagai sekat bakar untuk menghindari/mencegah savana dari
kebakaran yang terkendali. Sekitar tahun 1980-an dampak negatif dari
introduksi A. nilotica di Taman Nasional Baluran mulai nampak, dimana

30
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

areal savana Bekol yang semula terbuka sebagian sudah mulai tertutup
oleh A. nilotica. Kehadiran spesies ini dapat menghambat bahkan dapat
mematikan rumput sebagai pakan satwa. Akibatnya ketersediaan rumput
sangat terbatas dan pada gilirannya dapat mengancam kelangsungan
hidup satwa herbivora di Taman Nasional Baluran.
Hasil penelitian Makmur pada tahun 1981 dalam Mutaqin (2002)
melaporkan bahwa kerapatan tumbuhan A. nilotica di savana Bekol
mencapai 75 batang/ha, dan lima tahun kemudian 1986 mengalami
peningkatan yang cukup pesat dimana kerapatnnya mencapai 3.337
batang/ha (Balai Taman Nasional Baluran, 1999), dan tahun 1987
tingkat kerapatan pohon terus meningkat hingga mencapai 5369
batang/ha. Namun hasil penelitian Tim Penyusun Rancangan
Pemberantasan A. nilotica tahun 2000 melaporkan bahwa kerapatan
pohon A. nilotica di savana Kramat dan Curah Udang sekitar 1245
batang/ha. Saat ini A nilotica tidak hanya tumbuh di savana Bekol,
melainkan sudah menyebar hampir ke seluruh savana di Taman
Nasional Baluran antara lain; Kramat, Derbus, Curah Udang, Talpat,
Asam Sabuk dan Balanan. Luas area yang terinvasi kurang lebih
mencapai 5000 ha (Mutaqin, 2002).

Kondisi Savana Bekol setelah Pemberantasan Acacia Nilotica


Pemberantasan A. nilotica hingga tuntas terutama dipusatkan
pada savana Bekol, yang merupakan pusat pengunjung dan pusat atraksi
satwa, guna mengembalikan kondisi savana Bekol seperti semula agar
dapat menarik bagi heribivora untuk kembali merumput dan beraktivitas
sehingga mempermudah pengunjung untuk menyaksikan areal savana
yang telah dibongkar seluas 299,5 ha. Sedangkan luas areal pencabutan
anakan A. nilotica hingga tahun 1999 seluas 185 ha, disajikan pada
Tabel 3.
Pembongkaran A. nilotica diharapkan dapat merangsang kembali
pertumbuhan rumput, namun ternyata pada areal savana terbuka (bekas
lokasi pembongkaran) hanya sedikit ditumbuhi rumput yang kalah
bersaing dengan spesies lain seperti nyawon (Vernonia cinerea),
kapasan (Thespesia lanpas), cemplak (Abutilon sp) dan biduri
(Calotropis gigantea). Penyeberan spesies tersebut sudah sangat
mengkhawatirkan karena telah mencapai luas sekitar 50 ha, dengan
kerapatan masing-masing sebagaimana yang disajikan pada Tabel 4.

31
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

Tabael 3. Luas areal pencabutan anakan A. nilotica di savana Bekol per tahun
Anggaran (APBN dan DR-BDR) (Balai Taman Nasional Baluran, 1999)

No. Tahun Luas Jenis


Anggaran Area (ha) Kegiatan
1. 1993/1994 25 Pemusnahan
1994/1995 25 Pemusnahan
2.
1994/1995 25 Pencabutan
1995/1996 25 Pemusnahan
3.
1995/1996 25 Pencabutan
1996/1997 50 Pemusnahan
4.
1996/1997 75 Pencabutan
1997/1998 125 Pencabutan
5.
1997/1998 50 Pemusnahan
6. 1998/1999 185 Pencabutan

Tabel 4. Kerapatan tumbuhan pionir di savana Bekol pada


lokasi bekas pembongkaran (Balai Taman Nasional Baluran, 1999)

No. Spesies Pionir Familia Kerapatan/ha


1. Thespesia lanpas Malvaceae 4518
2. Vernonia cinerea Asteraceae 3733
3. Calotropis gigantea Asclepiadaceae 3650
4. Abutilon sp Malvaceae 2733

Spesies semak tersebut di atas pertumbuhannya lebih cepat


dibandingkan spesies rumput, akibatnya dapat menghambat
pertumbuhan rumput. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran pola
penyusun komunitas savana Bekol dari spesies rumput ke spesies semak.
Terhambatnya pertumbuhan rumput akibat pesatnya pertumbuhan
semak, lalu ditambah lagi dengan pesatnya pertumbuhan anakan A.
nilotica tentu saja sangat mengancam eksistensi rumput sebagai
komponen utama penyusun savana di Bekol. Oleh karenanya, agar
dominasi rumput dapat dipertahankan maka diperlukan penanganan
yang serius berupa pengendalian terhadap pertumbuhan semak pionir
dan anakan A. nilotica (Balai Taman Nasional, 1999).
Pada saat ini (2005) kondisi savana Bekol seluas 420 ha
memperlihatkan karakter sebagai berikut: (a). Sekitar 150 ha berupa
savana terbuka yang tidak dijumpai adanya pohon A. nilotica, tetapi
hanya ditumbuhi oleh anakan A. nilotica, tetapi hanya ditumbuhi oleh
anakan A. nilotica yang berukuran rata-rata 25-50 cm, dengan tingkat
kerapatan berkisar 140-400 individu/10 meter persegi. Komposisi

32
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

spesies penyusun pada daearah ini mencapai 60 spesies, disajikan pada


Tabel 5. Pada daerah ini rumput bayapan (Brachiria reptans) menguasai
seluruh tempat dengan penutupan area mencapai 75%, (b). Sekitar 200
ha berupa savana yang tertutupi oleh pohon A. nilotica berumur 3-4
tahun, tinggi pohon berkisar 2,5-4 m, dengan kerapatan pohon rata-rata
sekitar 1500/ha. Komposisi spesies di daerah ini sangat terbatas karena
telah dipengaruhi oleh kerapatan pohon A. nilotica terkait dengan
intensitas sinar dan kemungkinan adanya pengaruh zat alelopati yang
diproduksi oleh A. nilotica atau karena adanya kompetisi antar spesies.
Spesies yang dijumpai di daerah ini disajikan pada Tabel 6, dan (c).
Sekitar 70 ha berupa savana yang sudah berubah fungsi menjadi hutan
A. nilotica berumur 4-5 tahun, tinggi pohon berkisar 5-7,5 meter, dengan
kerapatan pohon A. nilotica mencapai 4500/ha (Gambar 4). Di lantai
hutan A. nilotica ini relatif bersih karena hanya dijumpai beberapa
spesies saja yang mampu hidup, dan kerapatannya sangat rendah.
Misalnya gletengan (Synedrella nudiflora), kapasan (Abutilon Sp.),
bayapan (Brachiria reptans), jarong (Stachytarpeta indica) dan merakan
(Themeda arguens) (Djufri, 2005, Pengamatan Pribadi).
Berdasarkan data pada Tabel 5 dan 6 dapat dikemukakan bahwa
jumlah spesies yang hidup di savana Bekol yang terbuka jauh lebih
banyak dibandingkan savana yang ditumbuhi oleh pohon A. nilotica
dengan kerapatan 1500/ha, dan jauh lebih sedikit lagi spesies yang
mampu hidup pada savana yang telah berubah menjadi hutan A. nilotica.
Bila gejala ini terus berlangsung pada seluruh savana yang ada di Taman
Nasional Baluran, maka tidak mustahil komunitas savana akan hilang.
Konsekkuensinya adalah hilangnya spesies rumput yang menjadi pakan
utama bagi herbivora yang hidup di kawasan ini. Disamping itu, savana
yang menjadi salah satu keunikan dan andalan kawasan ini akan menjadi
terancam. Oleh karenanya, diharapkan adanya upaya yang serius dari
semua pihak terutama pihak pengelola di bawah naungan Departemen
Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) sehingga kerusakan yang
meluas akibat invasi A. nilotica dapat dicegah sedini mungkin melalui
program yang kongkrit dan komprehensif meskipun membutuhkan
tenaga dan dana yang tidak sedikit, bila kita memang sepakat bahwa
kelestarian savana di kawasan ini harus tetap dilestarikan atau ada
pemikiran lain yang beranggapan bahwa upaya penanggulangan cukup
seperti yang telah dilakukan selama ini, sembari menunggu adanya
temuan baru bahwa A. nilotica akan dapat dimanfaatkan secara lestari
(sustainable).

33
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

Gambar 4. Fisiognomi tegakan Acacia nilotica di savana Bekol


Tabel 5. Komposisi spesies yang dijumpai di savana Bekol yang terbuka (150 ha) setelah
dilakukan pembongkaran secara mekanik (Djufri, April-Juni, 2004, Pengamatan
Pribadi)

No. Nama Daerah Nama Ilmiah Familia Bentuk Hidup


1. Widoro bekol Zyzipus rotundifolia Rhamnaceae Anakan pohon
2. Akasia berduri Acacia nilotica Mimosaceae Anakan pohon
3. Pilang Acacia leprosula Mimosaceae Anakan pohon
4. Nimba Azadirachta indica Meliaceae Anakan pohon
5. Jeruk hitam Citrus Sp. Rutaceae Anakan pohon
6. Petai cina Leucaena leucocepala Mimosaceae Anakan pohon
7. Nyawon Vernonia cinerea Mimosaceae Semak
8. Kapasan Thespesia lanpas Malvaceae Semak
9. Temblek ayam Lantana camara Verbenaceae Semak
10. Biduri Calotropis gigantea Asclepiadaceae Semak
11. Rimbang Solanum torvum Solanaceae Semak
12. Kemangi Ocimum basilicum Lamiaceae Herba
13. Pegagang Centela asiatica Apiaceae Herba
14. Putri malu (merah) Mimosa pudica Mimosaceae Herba
15. Putri malu (hijau) Mimosa invisa Mimosaceae Herba
16. Kekosongan Moghania macrophylla Mimosaceae Herba
17. Tarum Indigofera sumatrana Fabaceae Herba
18. Sidagori Sida Rhombifolia Malvaceae Herba
19. Jarong lelaki Stachytarpheta indica Lamiaceae Herba
20. Jarong Achyranthes aspera maranthaceae Herba
21. Pedangan Cleome rutudisperma Capparidaceae Herba
22. Bayapan Brachiaria reptans Poaceae Herba
23. Susukan Desmodium heterophylla Fabaceae Herba
24. Ceplukan Physalis angulata Solanaceae Herba

34
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

25. Semangka gunung Melotria Sp. Cucurbitaceae Herba


26. Patikan kebo Euphorbia hirta Euphorbiaceae Herba
27. Nyawon ungu Eupatorium suaveolens Asteraceae Herba
28. Babadotan Ageratum conyzoides Asteraceae Herba
29. Belulang Eleusine indica Poaceae Herba
30. Tempuyung Emilia sonchifolia Asteraceae Herba
31. Kacangan Flemengia lineata Fabaceae Herba
32. Kacangan Cayanus cayan Fabanceae Herba
33. Pulutan Triumfetta bartramia Malvaceae Herba
34. Lamuran merah Dichantium coricosum Poaceae Herba
35. Kacangan Casia seamea Fabaceaa Herba
36. Lamuran kecil Politrias amaura Poaceae Herba
37. Merakan Themeda arguens Poaceae Herba
38. Buah perahu Salvinia pubescens Salvinaceae Herba
39. Kacangan Polygonum mucronata Fabaceae Herba
40. Jajagoan Panicum repens Poaceae Herba
41. Lamuran putih Dichantium Sp. Poaceae Herba
42. Ketulan Bidens pilosa Asteraceae Herba
43. Orok-orok Crotalaria setriata Fabaceae Herba
44. Tuton Dactyloctenium Poaceae Herba
aegyptium
45. Semacam merica Hedyotis corymbosa Rubiaceae Herba
46. Kembang telang Clitoria ternatea Fabaceae Herba
47. Orok-orok Crotalaria anagyroides Fabaceae Herba
48. Meniran Phyllanthus debilis Euphorbiaceae Herba
49. Meniran Phyllanthus urinaria Euphorbiaceae Herba
50. Paci Leucas lavandulaefolia Lamiaceae Herba
51. Teki payung Cyperus pygmaeus Cyperaceae Herba
52. Gletengan Synedrella nudiflora Asteraceae Herba
53. Kacangan Clidemia hirta Fabaceae Herba
54. Rumput gunung Oplismenus burmanii Poaceae Herba
55. Teki Cyperus rotundus Cyperaceae Herba
56. Sintrong Crassocephalum Asteraceae Herba
crepidiodes
57. Rumput pait Axonopus compressus Poaceae Herba
58. Rumput jarum Digitaria ciliaris Poaceae Herba
59. Emprit-empritan Eragrostis tenela Poaceae Herba
60. Alang-alang Imperata cylindrica Poaceae Herba

35
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

Tabel 6. Komposisi spesies yang dijumpai di savana Bekol yang ditumbuhi pohon A. nilotica
dengan Kerapatan pohon sekitar 1500/ha seluas 200 ha (Djufri, April-Juni, 2004,
Pengamatan pribadi)

No. Nama Daerah Nama Ilmiah Familia Bentuk Hidup


1. Widoro bekol Zizipus rotundifolia Rhamnaceae Anakan
pohon
2. Akasia berduri Acacia nilotica Mimosaceae Anakan pohon
3. Pilang Acacia leprosula Mimosaceae Anakan pohon
4. Nimba Azadirachta indica Meliaceae Anakan pohon
5. Jeruk hutan Citrus Sp. Rutaceae Anakan pohon
6. Petai Cina Leucaena leucocepala Mimosaceae Anakan pohon
7. Nyawon Vernonia cinerea Asteraceae Semak
8. Kapasan Thespesia lanpas Malvaceae Semak
9. Temblek ayam Lantana camara Verbenaceae Semak
10. Biduri Calotropis gigantea Asclepiadaceae Semak
11. Rimbang Solanum torvum Solanaceae Semak
12. Kemangi Ocimum basilicum Lamiaceae Herba
13. Pegagan Centela asiatica Apiaceae Herba
14. Putri malu (merah) Mimosa pudica Mimosaceae Herba
15. Putri malu (hijau) Mimosa invisa Mimosaceae Herba
16. Kekosongan Maghania macrophylla Fabaceae Herba
17. Tarum Indigofera sumatrana Fabaceae Herba
18. Sidagori Sida rhombifolia Malvaceae Herba
19. Jarong lelaki Stachytarpheta indica Lamiaceae Herba
20. Jarong Achyranthes aspera Amaranthaceae Herba
21. Pedangan Cleome rutudisperme Capparidaceae Herba
22. Bayapan Brachiaria reptans Poaceae Herba
23. Susukan Desmodium Fabaceae Herba
heterophylla
24. Ceplukan Physalis angulata Solanaceae Herba
25. Semangka gunung Melotria Sp. Cucurbitaceae Herba
26. Patikan kebo Euphorbia hirta Euphorbiaceae Herba
27. Nyawon ungu Eupatorium suaveolens Asteraceae Herba
28. Babadotan Ageratum conyzoides Asteraceae Herba
29. Belulang Eleusine indica Poaceae Herba
30. Temputung Emilia sonchifolia Asteraceae Herba

PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan berikut: (i). Mekanisme terjadinya invasi sangat kompleks,
menyangkut seluruh tahapan suksesi, sehingga tercapai kondisi klimaks.
Sebagian invasi spesies dapat menggantikan spesies lokal, (ii). A.
nilotica merupakan salah satu spesies invasif yang bersifat merusak di

36
Djufri,
Invasi Akasia Berduri

savana Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur, (iii). Upaya


penanggulangan invasi A. nilotica lebih banyak dilakukan, baik dengan
cara mekanis maupun kimia. Kegiatan pemberantasan A. nilotica secara
kimiawi kurang efektif dan efisien, dan membutuhkan biaya yang besar
dalam pengadaan bahan kimia serta tidak signifikan dengan luas areal
serta kerapatan tegakan yang harus dimusnahkan. Pemberantasan secara
mekanis dengan penebangan/pemotongan belum berhasil optimal.
Bahkan memicu pertumbuhan biji-biji yang dorman dan regenerasi
vegetatif A. nilotica. Begitu juga dengan cara pengkatrolan, karena
membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak efisien. Sedangkan
dengan cara pembongkaran menggunakan buldoser, dianggap cukup
efektif, akan tetapi dampak pembalakan lahan bekas pembongkaran
tonggak berpengaruh terhadap perubahan struktur tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Taman Nasional Baluran. 1999. Rancangan Pencabutan


Seedling/Anakan Hasil Pembongkaran secara Mekanis 150 ha di
Savana Bekol. Banyuwangi: TNB. Reboisasi TNB.
Bolton, M.P. and P.A. James. 1985. A. survey of prickly acacia (Acacia
nilotica) in five Western Queensland shires. Stock Routes and
Rural Lands Protection Board. Brisbane. Internal Report.
Nopember 1985.
Brenan, J.P.M. Manual on taxonomy of Acacia species, present
taxonomy of four species of Acacia (A. albida, A. sinegal, A.
nilotica, A. tortilis). Roma: FAO.
Carter, J.O., P. Newman, P. Tindale, D. Cowan, and P.B. Hodge. 1990.
Complementary grazing of sheep and goats on Acacia nilotica. In
Proceedings 6 th Biennial Conference. Australian Rangelands
Society. Carnovan, Western Australia, pp.271-272.
Djufri, 2004. REVIEW: Acacia nilotica (L.) Willd ex Del. dan
Permasalahannya di Taman Nasional Baluran Jawa Timur.
Biodiversitas 4 (2):96-104.
Duke. 1983. Medicinal plants of the Bible. New York: Trado-Medic
Books, Owerri.
Gupta, R.K. 1970. Resource survey of gummiferous acacia in Wstern
Rajasthan. Tropical Ecology 11. 148-161.
Mutaqin, I.Z. 2002. Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis
Asing Invasif. Dalam Upaya Penanggulangan Tanaman Eksotik

37
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 13-38

Acacia nilotica di Kawasan Taman Nasional Baluran. Jakarta,


Kantor Meneteri Negara Lingkungan Hidup.
Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P. Kramadibrata. 1998.
Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Reynolds, J.A. and J.O. Carter. 1990. Woody weeds in central western
Quensland. In Proceedings 6 th Biennial Conference, Australian
Rangelands Society. Camarvon, Western Australia pp. 304-306.
Sabarno, M.Y. 2002. Savana Taman Nasional Baluran. Biodiversitas 3
(1): 207-212.
Weaver, J.E. and E.C. Frederic. 1978. Plant Ecology. New Delhi: Tata
McGraw-Hill Publishing Company, Ltd.

38
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

PERENCANAAN PEMBELAJARAN
oleh
Ramli
Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

PENDAHULUAN
Kegiatan pembelajaran dapat dilakukan tanpa perencanaan,
tetapi hasilnya tidak maksimal. Seorang guru/dosen yang mengajar
tanpa membuat perencanaan diibaratkan dengan seseorang yang pergi ke
suatu tempat, tetapi alamat yang dituju tidak jelas. Apa yang terjadi?
Jawabannya, tidak banyak yang diperoleh apabila pembelajaran tidak
direncanakan terlebih dahulu. Agar belajar-mengajar mendapatkan hasil
maksimal, perlu dibuat perencanaan yang matang.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara bebas tanpa memiliki
perencanaan akan berdampak negative pada hasil belajar. Di dalam
perencanaan terdapat standar isi yang berhubungan erat dengan standar
kelulusan. Standar kelulusan mengilhami penyusunan indicator
pembelajaran. Selanjutnya, indikator pembelajaran dijabarkan dari
kompetensi dasar. Kompetensi dasar dan standar kompetensi telah di
atur dalam standar isi yang telah disediakan oleh Kemendiknas. Semua
hal tersebut merupakan bahan mentah dari sebuah perencanaan
pembelajaran yang dimanifestasikan ke dalam sebuah rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP). Implementasi dari semua hal yang
tersebut di atas adalah RPP yang dibuat oleh guru/dosen untuk 1 atau 2
pertemuan.
Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud membicarakan hakikat
perencanaan pembelajaran, dan cara menyiapkan perencanaan
pembelajaran yang baik agar pelaksanaannya dapat diterapkan dalam
pembelajaran. Setelah membaca tulisan ini, Anda diharapkan memiliki
kemampuan untuk (1) mendeskripsikan pengertian perencanaan
pembelajaran, (2) menjelaskan pentingnya perencanaan pembelajaran,
(3) menguraikan manfaatnya, dan (4) menyusun langkah-langkah
perencanaan pembelajaran.

39
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56

PEMBAHASAN
Pengertian Perencanaan Pembelajaran
Pembelajaran adalah terjemahan dari instruction yang banyak
dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini
dipengaruhi oleh aliran Psikologi Kognitif-Holistik yang menempatkan
siswa sebagai sumber kegiatan. Gagne (dalam Sanjaya, 2008:27)
mengatakan bahwa mengajar (teaching) adalah bagian dari
pembelajaran yang menjadikan guru berperan sebagai perancang
berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau
dimanfaatkan oleh siswa dalam mempelajari sesuatu.
Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerja sama antara
guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber daya
yang ada, baik potensi yang berasal dari siswa, guru, maupun dari
lingkungan. Sebagai suatu proses kerja sama, pembelajaran
pembelajaran tidak hanya menitikberatkan pada kegiatan guru dan
siswa saja. Akan tetapi pembelajaran adalah kegiatan yang melibatkan
guru secara bersama-sama dengan siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu, baik guru maupun
siswa dalam suatu proses pembelajaran selamanya memanfaatkan segala
potensi yang dimiliki untuk keberhasilan belajar.
Perencanaan berasal dari kata rencana yang bermakna
pengambilan keputusan tentang hal yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan. Ketika kita merencanakan sesuatu, maka pola pikir
kita diarahkan bagaimana agar tujuan itu dapat dicapai secara efektif dan
efisien. Terry (dalam Sanjaya, 2002008:24) mengungkapkan bahwa
perencanaan itu pada dasarnya adalah penetapan pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh orang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan.
Setiap perencanaan minimal harus memiliki empat unsur sebagai
berikut ini:
1. adanya tujuan yang harus dicapai,
2. adanya strategi untuk mencapai tujuan,
3. sumber daya yang mendukung,
4. implementasi setiap keputusan/rencana.
Tujuan merupakan arah yang harus dicapai. Untuk menyusun
perencanaan yang baik, diperlukan perumusan tujuan dengan sasaran

40
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

yang jelas dan terukur. Dengan adanya sasaran yang jelas, berarti ada
target yang harus dicapai. Target itulah yang selanjutnya menjadi fokus
dalam merumuskan langkah-langkah selanjutnya. Strategi berkaitan
dengan penetapan keputusan yang dipilih oleh seorang perencana
seperti, menentukan alokasi waktu, langkah-langkah yang harus
dikerjakan, penentuan kriteria keberhasilan, dan sebagainya. Sumber
daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan meliputi, sarana dan
prasarana, biaya, dan waktu. Sedangkan implementasi adalah
pelaksanaan dari strategi yang dipilih oleh perencana dan sumber daya
yang dimiliki.
Dari keempat unsur perencanaan yang dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan bahwa perencanaan bukanlah harapan yang ada
dalam angan-angan yang bersifat khayal dan tersimpan dalam benak
seseorang. Perencanaan adalah harapan dan angan-angan yang dapat
dirumuskan dengan disertai langkah-langkah untuk mencapainya,
dideskripsikan secara jelas dalam suatu dokumen tertulis, sehingga
dokumen itu dapat dijadikan pedoman oleh setiap orang yang
memerlukannya.

Pentingnya perencanaan pembelajaran


Bagi seorang profesional, merencanakan merencanakan kegiatan
sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya merupakan tahapan yang
tidak boleh dilupakan. Guru adalah profesi kependidikan yang
merupakan seorang profesional dalam bidang pembelajaran. Sebagai
seorang profesional, sama seperti pada bidang profesi lainnya, guru juga
dituntut untuk menyiapkan perencanaan dalam setiap aktivitas
pembelajarannya. Mengapa perencanaan pembelajaran dibutuhkan?
Berikut ini adalah beberapa hal yang menyebabkan perencanaan
menjadi penting dalam pembelajaran.
1. Pembelajaran adalah proses yang bertujuan. Sesederhana apapun
proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru, pembelajaran
tersebut tetap memiliki tujuan. Pada bagian awal telah dijelaskan
bahwa setiap kegiatan yang memiliki tujuan untuk dicapai haruslah
direncanakan dengan baik terlebih dahulu.
2. Pembelajaran adalah proses kerja sama. Proses pembelajaran
minimal akan melibatkan guru dan siswa. Guru perlu merencanakan
apa yang harus dilakukan oleh siswa agar dapat mencapai tujuan
pembelajaran. Di samping itu, guru juga perlu merancang perang apa

41
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56

yang akan diperaninya dalam proses pembelajaran yang akan


dilaksanakan.
3. Proses pembelajaran adalah proses yang komplek. Pembelajaran
bukan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi
juga merupakan proses pembentukan perilaku siswa. Siswa dalam
satu kelas merupakan kumpulan individu yang kompleks dengan
minat, bakat, dan motivasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu,
diperlukan perencanaan yang matang oleh guru agar materi dapat
tersampaikan dengan baik dan tepat. Guru harus memperhitungkan
segala potensi yang dimiliki siswa sebelumnya.
4. Proses pembelajaran harus berjalan dengan efektif dan efisien.
Pembelajaran akan efektif apabila sarana dan prasarana yang
tersedia mampu digunakan guru dengan sesuai dan tepat sasaran.
Efisiensi pembelajaran akan terjadi apabila pemilihan sarana dan
prasarana untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran dapat dilakukan
guru dengan tepat. Hal ini hanya akan bisa dilakukan apabila guru
terlebih dahulu melakukan perencanaan sebelum melaksanakan
pembelajaran.
Dari keempat hal yang membicarakan betapa pentingnya
perencanaan pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
adalah kegiatan yang kompleks. Oleh karena itu diperlukan perencanaan
yang matang, sehingga akan berfungsi sebagai pedoman guru dalam
menjaga kelangsungan pembelajaran tetap dalam jalur pencapaian
tujuan pembelajaran.

Manfaat perencanaan pembelajaran


Ketika kita menyusun perencanaan pembelajaran, tentu kita akan
memikirkan alternatif mana yang terbaik agar proses pembelajaran dapat
berlangsung efektif. Upaya memikirkan alternatif terbaik yang akan
digunakan dalam pembelajaran akan memberikan manfaat kepada guru
dalam melaksanakan pembelajaran. Berikut ini adalah beberapa manfaat
yang akan diperoleh guru dengan menyiapkan perencanaan
pembelajaran seperti yang dikutip dari Sanjaya (2008:33).
1. Melalui perencanaan yang matang, guru akan terhindar dari
keberhasilan yang bersifat untung-untungan. Artinya, guru akan
memiliki prediksi terhadap pelaksanaan pembelajaran, mulai dari
jalannya pelaksanaan pembelajaran hingga hasil yang akan

42
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

diperoleh. Hal ini dapat terjadi karena guru telah memikirkan


sebelumnya tentang materi pelajaran, strategi yang akan digunakan
untuk menyampaikan materi pelajaran, atau evaluasi yang akan
dilakukan setelahnya.
2. Sebagai alat untuk memecahkan masalah. Seorang perencana yang
baik akan mampu memprediksikan kesulitan yang akan dialami
dalam pelaksanaan. Oleh karena bentuk kesulitan telah diketahui, ia
dapat dengan mudah mencari solusi agar kesulitan itu dapat teratasi
dalam pembelajaran nanti.
3. Untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar secara tepat. Guru
dapat dengan mudah memilih sumber belajar dari banyak tempat
karena perkembangan teknologi yang begitu pesat sekarang ini. Dari
sejumlah sumber belajar yang tersedia dengan mudah itu, guru dapat
merencanakan dengan memilih satu yang tepat untuk digunakan
dalam proses pembelajaran.
4. Perencanaan dapat membuat pembelajaran berlangsung secara
sistematis. Artinya, guru memiliki panduan dalam melaksanakan
pembelajaran. Perencanaan yang berisi tahapan-tahapan pelaksanaan
pembelajaran itu memudahkan guru dalam melaksanakan
pembelajaran. Guru hanya harus mengikuti langkah-langkah
pembelajaran yang telah direncanakannya itu.

Menyusun langkah-langkah perencanaan pembelajaran


Perencanaan pembelajaran dibuat bukan hanya untuk
kelengkapan administrasi saja. Namun, perencanaan pembelajaran
disusun sebagai bagian tak terpisahkan dari pekerjaan profesional,
sehingga berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan
pembelajaran. Penyusunan perencanaan pembelajaran haruslah didorong
oleh kebutuhan agar pelaksanaan pembelajaran berlangsung terarah
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
a. Prinsip Penyusunan Perencanaan Pembelajaran
Sebelum menyusun perencanaan pembelajaran yang baik,
Sanjaya (2008:39) menganjurkan agar setiap guru memperhatikan
pengetahuan tentang prinsip signifikansi, relevansi, kepastian,
adaptabilitas, kesederhanaan, dan prediktif seperti yang diuraikan
berikut ini

43
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56

1. Signifikansi atau kebermaknaan. Prinsip ini menyebutkan bahwa


perencanaan pembelajaran hendaknya memiliki makna agar
pembelajaran berjalan efektif. Perencanaan pembelajaran benar-
benar disusun untuk kemudian menjadi panduan dalam pelaksanaan
pembelajaran.
2. Relevansi. Nilai relevansi dalam perencanaan pembelajaran yang
disusun memiliki kesesuaian baik internal maupun eksternal.
Kesesuaian internal adalah perencanaan pembelajaran disusun sesuai
dengan kurikulum yang berlaku. Sedangkan kesesuaian eksternal
adalah perencanaan pembelajaran yang disusun harus sesuai dengan
kebutuhan siswa.
3. Kepastian. Kepastian bermakna bahwa dalam perencanaan
pembelajaran yang berfungsi sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan pembelajaran tidak memuat banyak alternatif yang
harus dipilih lagi, akan tetapi berisi langkah-langkah pasti yang
dapat dilakukan secara otomatis.
4. Adaptabilitas. Perencanaan pembelajaran yang disusun hendaknya
memiliki prinsip lentur dan tidak kaku. Prinsip ini memungkinkan
guru melaksanakan pembelajaran dengan tidak kaku. Artinya, guru
dalam melaksanakan pembelajaran tidak harus persis sama seperti
dalam perencanaan pembelajaran, tetapi dapat meluweskan dengan
berimprovisasi sehingga pembelajaran tidak berlangsung dengan
membosankan.
5. Kesederhanaan. Perencanaan pembelajaran harus bersifat sederhana
yang artinya mudah diterjemahkan dan mudah pula
diimplementasikan.
6. Prediktif. Perencanaan pembelajaran harus mampu memperkirakan
apa yang akan terjadi, bagaimana respons atau keaktifan siswa, atau
hasil evaluasi pemberbelajaran yang akan berlangsung.
Setelah memahami prinsip-prinsip penyusunan perencanaan
pembelajaran di atas, guru diharapkan mampu menyusun perencanaan
pembelajaran yang baik dan efektif. Perencanaan pembelajaran yang
disusun berdasarkan prinsip-prinsip di atas akan menjadikan guru
mudah dalam melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga
akan dengan pasti dapat membantu siswa mencapai tujuan
pembelajaran.
b. Komponen Perencanaan Pembelajaran

44
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

Sebelum guru memulai kegiatan penyusunan perencanaan


pembelajaran, lebih dahulu harus diperhatikan komponen-komponen
yang merupakan sisi dari perencanaan pembelajaran. Komponen-
komponen ini merupakan struktur isi perencanaan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional atau sekarang
dikenal dengan Kementrian Pendidikan Nasional (Permen no. 22 Tahun
2006).
1. Standar Isi
Standar isi adalah acuan dalam pengembangan kurikulum tingkat
satuan pendidikan. Standar Isi dikembangkan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Di dalam standar isi inilah
terkandung standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
merupakan dasar penyusunan silabus dan RPP bagi guru untuk
setiap mata pelajaran.

2. Standar Kompetensi Lulusan (SKL)


SKL meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau
kelompok mata pelajaran. SKL terbagi ke dalam tiga jenis sesuai
dengan satuan pendidikan yaitu sebagai berikut.
• SKL pada satuan pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan
dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut.
• SKL pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak
mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
• Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah
kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
sesuai dengan kejuruannya.
3. Panduan Pengembangan KTSP
45
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56

Pengembangan KTSP harus dilakukan sesuai dengan Undang-


Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 36:
• Ayat (1), Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu
pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
• Ayat (2), Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diverifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
• Pasal 36 ayat (3), Kurikulum disusun sesuai jenjang pendidikan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan:
1. peningkatan iman dan taqwa,
2. peningkatan akhlak mulia,
3. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik,
4. keragaman potensi daerah dan lingkungan tuntutan
pembangunan daerah dan nasional,
5. tuntutan dunia kerja,
6. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,
7. agama,
8. dinamika perkembangan global persatuan nasional dan nilai-
nilai kebangsaan,
4. Silabus
Silabus adalah suatu rencana yang mengatur kegiatan
pembelajaran dan pengelolaan kelas, serta penilaian hasil belajar dari
suatu mata kuliah. Silabus ini merupakan bagian dari kurikulum
sebagai penjabaran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ke
dalam materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian hasil belajar. Dengan
demikian pengembangan silabus ini minimal harus mampu
menjawab pertanyaan sebagai berikut: kompetensi apakah yang
harus dimiliki oleh peserta didik, bagaimana cara membentuk
kompetensi tersebut, dan bagaimana cara mengetahui bahwa peserta
didik telah memiliki kompetensi itu.

46
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

Silabus sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas


mata pelajaran atau tema pelajaran, SK, KD, materi pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian,
alokasi waktu, dan sumber belajar. Silabus dikembangkan oleh
satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL), serta panduan penyusunan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam pelaksanaannya,
pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara
mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau
beberapa sekolah, kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendidikan.
Pengembangan silabus disusun di bawah supervisi dinas
kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk
SD dan SMP, dan dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang
pendidikan untuk SMA dan SMK, serta departemen yang menangani
urusan pemerintahan di bidang agama untuk Ml, MTs, MA, dan
MAK.
5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RPP adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan
manajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih
kompetensi dasar yang telah dijabarkan dalam silabus. RPP ini dapat
digunakan oleh setiap pengajar sebagai pedoman umum untuk
melaksanakan pembelajaran kepada peserta didiknya, karena di
dalamnya berisi petunjuk secara rinci, pertemuan demi pertemuan,
mengenai tujuan, ruang lingkup materi yang harus diajarkan,
kegiatan belajar mengajar, media, dan evaluasi yang harus
digunakan. Oleh karena itu, dengan berpedoman RPP ini pengajar
akan dapat mengajar dengan sistematis, tanpa khawatir keluar dari
tujuan, ruang lingkup materi, strategi belajar mengajar, atau keluar
dari sistem evaluasi yang seharusnya.
RPP akan membantu si pengajar dalam mengorganisasikan
materi standar, serta mengantisipasi peserta didik dan masalah-
masalah yang mungkin timbul dalam pembelajaran. Baik pengajar
maupun peserta didik mengetahui dengan pasti tujuan yang hendak
dicapai dan cara mencapainya. Dengan demikian pengajar dapat
mempertahankan situasi agar peserta didik dapat memusatkan
perhatian dalam pembelajaran yang telah diprogramkannya.
Sebaliknya, tanpa RPP atau tanpa persiapan tertulis maupun tidak
tertulis, seorang pengajar akan mengalami kesulitan dalam proses

47
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56

pembelajaran yang dilakukannya. Seorang pengajar yang belum


berpengalaman pada umumnya memerlukan perencanaan yang lebih
rinci dibandingkan seorang pengajar yang sudah berpengalaman.
c. Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan RPP yang
memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode
pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (PP No. 19
Tahun 2005, Pasal 20). Perencanaan proses pembelajaran meliputi
silabus dan RPP yang memuat identitas mata pelajaran, standar
kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian
kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan
sumber belajar. Berikut ini akan diuraikan langkah-langkah penyusunan
silabus dan RPP.

1) Langkah Penyusunan Silabus


Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan
kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran,
dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Silabus mata
pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang
disediakan untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan
di tingkat satuan pendidikan. Penyusunan silabus dilaksanakan
bersama-sama oleh guru kelas / guru yang mengajarkan mata
pelajaran yang sama pada tingkat satuan pendidikan untuk satu
sekolah atau kelompok sekolah dengan tetap memperhatikan
karakteristik masing-masing sekolah. Implementasi pembelajaran
per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran dengan
alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum.
Adapun langkah-langkah dalam pengembangan Silabus adalah
sebagai berikut:
1. Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran sebagaimana tercantum pada struktur isi kurikulum,
dengan memperhatikan hal-hal berikut:

48
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

a. urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan / atau


tingkat kesulitan materi;
b. keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar
dalam mata pelajaran;
c. keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar
mata pelajaran.
2. Mengidentifikasi materi pokok yang menunjang pencapaian
standar kompetensi dan kompetensi dasar dengan
mempertimbangkan:
a. tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial,
dan spiritual peserta didik, b. kebermanfaatan bagi peserta
didik,
b. struktur keilmuan,
c. kedalaman dan keluasan materi,
d. relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan
lingkungan,
e. alokasi waktu
3. Mengembangkan Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar merupakan kegiatan mental dan fisik yang
dilakukan peserta didik dalam berinteraksi dengan sumber
belajar melalui pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan
mengaktifkan peserta didik. Pengalaman belajar memuat
kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Rumusan
pengalaman belajar juga mencerminkan pengelolaan pengalaman
belajar peserta didik.
4. Merumuskan Indikator Keberhasilan Belajar
Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang
menunjukkan kita-kita, perbuatan dan/atau respon yang
dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik. Indikator
dikembangkan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan,
potensi daerah dan peserta didik, dan dirumuskan dalam bentuk
kata kerja operasional yang terukur dan dapat diobservasi.
Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat
penilaian.
5. Menentukan Jenis Penilaian

49
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56

Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik


dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan
menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis maupun lisan,
pengamatan kinerja, sikap, penilaian hasil karya berupa proyek
atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
6. Menentukan Alokasi Waktu
Penentuan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar
didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata
pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah
kompetensi dasar, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan
tingkat kepentingan kompetensi dasar. Alokasi waktu yang
dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu yang
dibutuhkan oleh peserta didik untuk menguasai kompetensi
dasar.
7. Menentukan Sumber Belajar
Sumber belajar adalah rujukan, objek atau bahan yang
digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Sumber belajar dapat
berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta
lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. Penentuan sumber
belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi
dasar serta materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator
pencapaian kompetensi.

2) Langkah Penyusunan RPP


RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar
peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan
pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan
sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat,
dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam
satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP

50
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di


satuan pendidikan. Komponen-komponen yang harus terdapat dalam
suatu RPP, sesuai dengan yang dikeluarkan oleh Badan Nasional
Standar Pendidikan (BNSP) adalah sebagai berikut:
1. Identitas mata pelajaran. Identitas mata pelajaran, meliputi:
satuan pendidikan, kelas, semester, program/program keahlian,
mata pelajaran atau tema pelajaran, jumlah pertemuan.
2. Standar kompetensi. Standar kompetensi merupakan kualifikasi
kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan
penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada
suatu mata pelajaran.
3. Kompetensi dasar. Kompetensi dasar adalah sejumlah
kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata
pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator
kompetensi dalam suatu pelajaran.
4. Indikator pencapaian kompetensi. Indikator kompetensi adalah
perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk
menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang
menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator pencapaian
kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja
operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup
pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5. Tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran menggambarkan
proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta
didik sesuai dengan kompetensi dasar.
6. Materi ajar. Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan
prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir
sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.
7. Alokasi waktu. Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan
keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar.
8. Metode pembelajaran. Metode pembelajaran digunakan oleh
guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau
seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode
pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta

51
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56

didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi


yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran.
9. Kegiatan pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari
RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan awal, kegiatan
inti dan kegiatan penutup.
a) Kegiatan Awal
Pada suatu pertemuan, kegiatan awal pembelajaran ditujukan
untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian
siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
Dalam kegiatan awal, guru melakukan beberapa hal-hal berikut
ini:
• menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk
mengikuti proses pembelajaran,
• mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari,
• menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar
yang akan dicapai,
• menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian
kegiatan sesuai silabus.
b) Kegiatan Inti
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran
untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat
meliputi proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi.
1. Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, guru melakukan beberapa hal-hal
berikut ini:

52
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

• melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan


dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan
menerapkan prinsip alam jadi guru dan belajar dari aneka
sumber,
• menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media
pembelajaran, dan sumber belajar lain,
• memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta
antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber
belajar lainnya,
• melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan
pembelajaran,
• Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di
laboratorium, studio, atau lapangan.
2. Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru melakukan beberapa hal-hal
berikut ini:
• membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang
beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna,
• memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi,
dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara
lisan maupun tertulis,
• memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis,
menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut,
• memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif
dan kolaboratif,
• memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk
meningkatkan prestasi belajar,
• memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang
dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual
maupun kelompok,
• memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja
individual maupun kelompok,
• memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen,
festival, serta produk yang dihasilkan,

53
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56

• memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang


menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta
didik.
3. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru melakukan beberapa hal-
hal berikut ini:
• memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam
bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap
keberhasilan peserta didik,
• memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan
elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber,
• memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk
memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,
• memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman
yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar,
• berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam
menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi
kesulitan, dengar menggunakan bahasa yang baku dan benar.
• membantu menyelesaikan masalah,
• memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan
pengecekan hasil eksplorasi,
• memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh,
• memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau
belum berpartisipasi aktif.
c) Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru melakukan beberapa hal-hal
berikut ini:
• bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri
membuat rangkuman/simpulan pelajaran,
• melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan
yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram,
• memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil
pembelajaran,

54
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

• merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk


pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling
dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun
kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik,
• menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan
berikutnya.
10. Penilaian hasil belajar. Prosedur dan instrumen penilaian proses
dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian
kompetensi dan mengacu kepada Standar Penilaian.
11. Sumber belajar. Penentuan sumber belajar didasarkan pada
standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar,
kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.
3) Prinsip-prinsip Penyusunan RPP
1. Penyusunan RPP memperhatikan perbedaan individu peserta
didik.
RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis
kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi
belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar,
kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya,
norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.
2. Penyusunan RPP mendorong partisipasi aktif peserta didik.
Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta
didik untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif,
inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar.
3. RPP mampu mengembangkan budaya membaca dan menulis.
Proses pembelajaran dirancang untuk mengembangkan
kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan
berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan
4. RPP mengandung umpan balik dan tindak lanjut.
RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik
positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.
5. RPP memiliki keterkaitan dan keterpaduan.
RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan
keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan

55
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 39-56

pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan


sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP
disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik,
keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan
keragaman budaya.
6. RPP menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.
RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan
teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi,
sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi.

DAFTAR PUSTAKA

Dimyati. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.


Djamarah. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi
Aksara.
Sanjaya, Wina. 2010. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran.
Jakarta: Kencana.
Uno, Hamzah B. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi
Aksara.

56
Ramli,
Perencanaan Pembelajaran

57
Yusuf,
Strategi Dakwah

STRATEGI DAKWAH BAGI MASYARAKAT GAMPONG

oleh
Maimun Yusuf
Dosen Fadak IAIN Arraniry, Darussalam, Banda Aceh

PENDAHULUAN
Dakwah merupakan suatu keharusan dalam rangka
pengembangan agama Islam. Aktivitas dakwah yang maju akan
membawa pengaruh bagi terhadap kemajuan agama. Sebaliknya,
aktivitas dakwah yang lesu akan berakibat pada kemunduran agama.
Karena adanya hubungan timbal balik seperti itu, maka dapat dimengerti
jika agama Islam meletakkan kewajiban dakwah di atas pundak setiap
pemeluknya.
Sebagai agama dakwah, Islam melahirkan nilai dan panduan
moral yang tidak hanya melulu menganjurkan penganutnya
menyampaikan kebenaran ajaran Islam dengan ajakan lisan atau mulut
semata, tetapi juga harus dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan
nyata (amal saleh) yang berintikan “keteladanan”. Sebagai kitab dan
sumber dakwah, Alquran dan Alsunnah–menekankan kepada kaum
Muslim agar memiliki integritas diri, keserasian dan keseimbangan
antara berbicara dan bekerja, berkhutbah dan beramal, mengajak dan
merangkul sesama manusia untuk menciptakan prestasi kerja (bukan
prestise) yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia dan
lingkungannya, lahir dan batin.1
Berbagai etnis/suku bangsa di Indonesia memiliki budaya adat
istiadatnya masing-masing, yang dalam pelaksanaan berada dan
dikendalikan oleh lembaga-lembaga adat sesuai dengan kewenangan
lingkungannya, seperti nagari di Minangkabau, huta di Tapanuli, subak
di Bali, desa di Jawa dan gampong di Aceh.2 Masyarakat Aceh dikenal

1
Renungkan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Q.S. Al-Shaff/61: 2-3). Dan
hayati juga firman-Nya, “Demi Masa, sesungguhnya manusia selalu berada dalam
kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh, saling nasehat menasehati
dalam kebenaran dan diiringi dengan kesabaran. (Q.S. Alashar: 103: 1-3)

2
Badruzzaman Ismail, Membangun Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat dan
Budaya, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007), hal. 6.

57
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

sebagai sebuah masyarakat yang memiliki adat dan budaya yang


mengandung nilai dan kearifan yang sangat komprehensif. Dikatakan
demikian, karena kehidupan masyarakat Aceh seakan tidak lepas dari
norma adat dan kearifan budaya lokal (local wisdom) yang diwariskan
secara turun-temurun. Tatanan adat dan budaya Aceh ini merangkum
hampir semua aspek kehidupan masyarakat Aceh, bahkan sejak dulu
adat Aceh ini sudah melembaga dalam masyarakat dengan wilayah kerja
yang sangat sistematis mulai dari tingkat gampong, mukim dan sagoe.3
Dalil historis membuktikan bahwa budaya masyarakat Aceh
identik dengan budaya Islam – yang merupakan perwujudan iman dan
amal saleh. Budaya Aceh berbasis Syariat Islam karena penjelmaan
iman dan amal salih dalam kehidupan masyarakatnya. Dengan
demikian, segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan masyarakat
dalam interaksi sosial, idealnya diformat dan berwujud sesuai dengan
Syariaat Islam yang berlaku di Aceh.
Pada dasarnya, hubungan dakwah Islam dengan masyarakat
gampong di Aceh saling mengisi dan melengkapi. Kalau dicermati
dengan seksama, dari dahulu sampai sekarang, masyarakat gampong
adalah masyarakat yang paling antusias dalam menyelenggarakan
berbagai kegiatan dakwah Islam, walaupun dalam cara dan pendekatan
yang khas tradisional. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengkaji
tentang strategi dakwah bagi masyarakat gampong.

PEMBAHASAN
Makna Dakwah dalam Perspektif Islam
Penggunaan kata “dakwah” dalam masyarakat Islam, terutama di
Indonesia, adalah sesuatu yang tidak asing. Arti dari kata ‘dakwah” yang
dimaksudkan adalah “seruan” dan “ajakan.” Kalau kata diberi arti
“seruan,”4 maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam atau

3
Lembaga adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh memang dibangun
berdasarkan adat dan agama Islam, sehingga antara adat istiadat dengan hukum tidak
pernah bertentangan. Selebihnya masing-masing unsur memiliki rujukannya masing-
masing sebagaimana yang termaktub dalam hadih maja, “Adat bak Po Teumereuhom
hukum bak Syiah Kuala, qanun bak Putro Phang reusam bak Laksamana”. Artinya:
adat diurus oleh Po Teumereuhom (Raja) atau Sultan, hukum diputuskan oleh Ulama
(Syiah Kuala), qanun diurus oleh permaisuri raja (Puteri Pahang), sedangkan tata cara
kehidupan dikelola oleh Panglima (Laksamana/Bentara). Muhammad Husein, Adat
Aceh, (Daerah Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 1.
4
Apabila dilihat arti kata “dakwah” atau “da’a” pada terjemahan Alquran,
paling tdaj ada sepuluh padanannya. Pertama dalam arti “menyeru” dapat dilihat dalam

58
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

seruan Islam. Demikian juga halnya kalau diberi arti “ajakan” maka
yang dimaksud adalah ajakan kepada Islam atau ajakan Islam. Islam
sebagai agama di sebut agama dakwah, maksudnya adalah agama yang
disebarluaskan dengan cara damai tidak lewat kekerasan.5
Secara terminologi dakwah itu dapat diartikan sebagai sisi positif
dari ajakan untuk menuju keselamatan dunia akhirat. Sedangkan
menurut istilah para ulama memberikan takrif (definisi) yang
bermacam-macam, antara lain:
1. Syeikh Ali Makhfudh dalam kitabnya Hidayatullah Mursyidin,
mengatakan dakwah adalah “mendorong manusia untuk berbuat
kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada
kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.”6
2. Syeikh Muhammad Khidr Husain dalam bukunya Aldakwah ila al
Ishlah mengatakan, dakwah adalah upaya untuk memotivasi orang
agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, dan melakukan amr
makruf nahi munkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.7
3. HSM. Nasruddin Latif mendefinisikan dakwah: “Setiap usaha
aktivitas dengan tulisan maupun tulisan yang bersifat yang menyeru,
mengajak, memanggil manusia manusia lainnya untuk beriman dan
menaati Allah swt. Sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat
serta akhlak islaminya.8

Q.S.3:104, kedua “memanggil” dalam Q.S. 30: 25, ketiga, “doa” dalam Q.S. 2: 186,
keempat, “dakwa” dalam Q.S. 19: 91, kelima, “harap” dalam Q.S. 25: 13, keenam,
“meminta” dalam Q.S. 47: 37, ketujuh, “keluhan” dalam Q.S. 7: 5 kedelapan,
“mengadu” dalam Q.S. 54: 10, Kesembilan, “menyembah” dalam Q.S. 72: 18,
kesepuluh, “berteriak” dalam Q.S. 84: 11. Perbedaan pendapat itu dapat dimaklumi
karena perbedaan konteks arti dan kata yang mendampingi yang membuatnya satu
idiom (arti tersendiri), juga hal itu berkaitan dengan maksud ayat. Dengan demikian.
dapat dimengerti bahwa seseorang yang akan melakukan penerjemahan terhadap
Alquran, apabila bertemu dengan kata doa, dengan segala bentuk perubahannya, tidak
bisa memahaminya dengan arti kata dalam “kamus” saja.
5
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, diterjemahkan dari
Hayat Muhammad, oleh Ali Audah, (Jakarta: Tintamas, 1984), hlm. 217
6
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat Almursyidin ila Thuruq Alwazi wa Alkhitabat
(h) (Beirut: Dar Almaarif, tt.), hlm. 17
7
Ad-Dakwah ila al-Ishlah, hlm. 7
8
Nasruddin Latif, Teori dan Praktik dakwah Islamiyah, (Jakarta: Firma Dara,
tt), hlm. 11

59
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

Dari uraian di atas, secara holistik dan integral harus dipahami


bahwa dakwah merupakan tugas kerisalahan, yang menuntut setiap
priadi muslim untuk ikut berperan. Tugas ini termasuk persoalan penting
dalam Islam, sebagai upaya agar umat manusia masuk ke dalam jalan
Allah (sistem Islam) secara menyeluruh (kaffah). Tiga serangkai upaya
tersebut–dengan lisan tulisan, maupun dengan perbuatan nyata (aksi
sosial)–sebagai ikhtiar muslim dalam membumikan ajaran Islam
menjadi kenyataan dalam kehidupan pribadi (syakhsyiah), keluarga
(usrah), masyarakat (jamaah). Sehingga semua segi bidang kehidupan
dapat diwujudkan menjadi suatu tatanan kehidupan yang islami. Tatanan
yang diindikasikan Alquran dan Assunnah merupakan syarat tegaknya
ikhtiar realisasi Islam – amar maruf nahi munkar. Untuk mewujudkan
hal itu maka aspek organisasi dan manajerial merupakan bagian yang
tak terpisahkan dengan kegiatan dakwah.

Masyarakat Gampong
Gampong adalah suatu kawasan (teritorial) kelompok penduduk
masyarakat yang berbatasan dengan gampong lain, memiliki
pemerintahan sendiri, memiliki tatanan aturan, ada kepengurusan dan
kekayaan sendiri. Perangkat gampong terdiri dari : keuchik, imeum
meunasah, tuha peut dan tuha lapan (sekarang ditambah sekretaris/
khatib).
Gampong yang wilayah teritorial kelompok penduduk yang
berbatasan adalah kesatuan masyarakat hukum terkecil, sebagai
organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah Mukim dan
menempati wilayah tertentu.9 Gampong juga merupakan persekutuan
masyarakat hukum adat yang mirip dengan negara kecil.10 Gampong
dipimpin oleh “keuchik” sebagai ketua adat dalam “masyarakat
gampong”, yang dipilih oleh rakyatnya sendiri secara langsung. A.
Hasjmy menjelaskan bahwa gampong dinamakan juga dengan
“meunasah”. Untuk satu gampong diangkat seorang keuchik dengan
sebuah staf pembantu yang bernama “tuha peut dan seorang imam
rawatib”.11

9
Badruzzaman Ismail, Eksposa Majelis Adat Aceh Provinsi NAD, (Banda
Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007), hal. 44-45.
10
T. M. Juned, “Adat dalam Perspektif Perdebatan dan Praktek Hukum”,
dalam buku Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh, (Banda Aceh: Yayasan
Rumpun Bambu, CSSP, 2005), hal. 35.
11
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, tt.), hal. 80.

60
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

Suatu hal yang menarik dalam sistem kepemimpinan adat


gampong di Aceh adalah penataan sistem pemerintahan masyarakatnya,
di mana keuchik memegang kekuasaan berlandaskan: “mono trias
function” yaitu kemanunggalan kekuasaan keuchik dalam tiga fungsi
kekuasaan, eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Meskipun keuchik
memiliki kemanunggalan kekuasaan, namun keuchik juga bisa sangat
demokratis, karena dalam menjalankan tugasnya selalu diharuskan
bermusyawarah dengan pembantunya (imeum meunasah, tuha peut, dan
tuha lapan).12
Oleh karena itu, lembaga adat gampong sangat sesuai apabila
disebut sebagai pageu gampong (pilar-pilar demokratisasi desa) dan
menjadi perekat dalam mewujudkan kesatuan, kerja sama, kedamaian,
kerukunan, ketenteraman dan kenyamanan bagi penerapan kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakatnya.
Kendatipun demikian, yang penting untuk dicamkan, kehidupan
masyarakat adat, dapat berkembang dan meluas, bahkan menipis dan
menghilang tergantung pada dinamika kehidupan masyarakat dan
kemampuannya dalam mendayagunakan adat istiadatnya itu sesuai
perkembangan sosio budaya dan ilmu pengeahuan dan teknologi.
Sekarang ini, era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kemajuan di bidang informasi dan
komunikasi, di samping membawa banyak perubahan positif berupa
kemudahan dan kecepatan dalam mengatasi masalah, tetapi juga
membawa dampak negatif yang dapat merusak tatanan kehidupan
keluarga dan sosial kemasyarakatan dalam masyarakat gampong. Dalam
hal ini, diperlukan kesadaran ekstra dari masyarakat gampong untuk
mewaspadai berbagai unsur negatif dari dampak negatif kemajuan era
globalisasi.

Strategi Dakwah bagi Masyarakat Gampong


Secara bahasa, strategi memiliki arti, ilmu siasat perang;
muslihat untuk mencapai sesuatu.13 Dalam kajian dakwah, strategi dapat
dimaknai sebagai kiat-kiat atau langkah-langkah yang sangat
menentukan tujuan dakwah dapat diraih secara sukses dan gemilang,
dengan kata lain, capaian dakwah memberi kebahagiaan bagi manusia,
baik lahir maupun batin, baik di dunia maupun di akhirat.

12
Badruzzaman, Eksposa Majelis.., hal. 45.
13
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Albarry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994), hal. 727.

61
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

Menurut penulis, strategi dakwah dapat dibagi ke dalam dua


kategori; pertama, katagori nilai atau sumber inspirasi. Kedua, kategori
operasional atau aktualisasi. Strategi dakwah berdasarkan kategori nilai
atau inspirasi dapat ditemukan dalam surat Alnahal/16: 125 sebagai
berikut:
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S.
Alnahal/16: 125).

Ayat tersebut mengandung tiga inspirasi sebagai upaya strategis


dalam penyampaian dakwah; yaitu dengan hikmah, pengajaran yang
baik dan berdebat atau berdiskusi dengan cara yang terbaik. Berkaitan
dengan penerapan strategi tersebut, sasaran dakwah dapat dibagi kepada
tiga golongan,14 yaitu:
1. Golongan cendekiawan, yaitu golongan yang cinta kepada
kebenaran dan dapat berpikir secara kritis. Golongan ini harus
didakwahkan dengan cara bi alhikmah, yaitu dengan alasan, dalil
dan hujjah yang dapat diterima oleh akal mereka.
2. Golongan masyarakat awam, yaitu golongan masyarakat
kebanyakan. Mereka belum mampu berpikir secara kritis dan
mendalam serta belum mampu menangkap makna yang lebih
jauh. Golongan ini harus didakwahkan dengan cara memberi
pengajaran yang baik, yaitu dengan anjuran dan didikan yang
mudah mereka pahami.
3. Golongan yang tingkat kecerdasannya berada antara kaum
cendekiawan dan awam, atau golongan pertengahan. Mereka
harus didakwahkan dengan dialog, diskusi dan bertukar pikiran
(mujadalah).
Tiga golongan di atas diakui keberadaannya dalam masyarakat
Aceh dengan berbagai segmen dan latar belakang sosial. Menghadapi
bermacam-macam model masyarakat tersebut diperlukan pendekatan
dan metode yang tidak sembarangan.
Adapun strategi dakwah dalam kategori operasional dan
aktualisasi dalam menyampaikan visi dan misi dakwah Islam bagi

14
M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Surakarta: Yayasan Kesejahteraan, 1984), hlm.
165.

62
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

masyarakat gampong sebenarnya sangat sederhana, di antara beberapa


strategi dakwah yang perlu direalisasikan adalah sebagai berikut:15
a. Pendekatan Personal
Pendekatan dengan cara ini terjadi dengan cara individual, yaitu
antara dai dan madu langsung bertatap muka sehingga materi
yang disampaikan langsung diterima dan biasanya reaksi yang
ditimbulkan oleh madu akan langsung diketahui. Pendekatan
dakwah seperti ini pernah dilakukan pada zaman Rasulullah
ketika berdakwah secara rahasia.16 Meskipun demikian tidak
menutup kemungkinan di zaman era modern seperti sekarang ini
pendekatan personal harus tetap dilakukan karena mad’u terdiri
dari berbagai karakteristik. Di sinilah letak elastisitas pendekatan
dakwah.
b. Pendekatan Pendidikan
Pendekatan masa Nabi, dakwah lewat pendidikan dilakukan
beriringan dengan masuknya Islam kepada kalangan para
sahabat.17 Begitu juga pada zaman sekarang ini, kita dapat
melihat pendekatan pendidikan teraplikasi dalam lembaga-
lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah, perguruan
tinggi, universitas dan yayasan-yayasan pendidikan yang
bercorak Islam yang di dalamnya terdapat studi integratif antara
ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu umum.

15
Mohammad Irham, “Titik Temu FKPM dan Dakwah Islam”, dalam M.
Jamil Yusuf dkk, (Ed), Polmas dan HAM Dengan Pendekatan Dakwah dan Adat
Budaya Aceh, (Banda Aceh: Fakultas Dakwah IAIN Arraniry bekerja sama dengan
Polda NAD, 2009), hal. 76-79.
16
Pendekatan personal dilakukan Nabi sejak turunnya wahyu pertama kepada
orang-orang terdekatnya secara rahasia. Pendekatan model ini dilakukan agar tidak
menimbulkan guncangan reaksioner di kalangan masyarakat Quraisy mengingat saat
itu mereka masih berpegang teguh pada kepercayaan animisme warisan leluhur
mereka. Dakwah dengan cara ini berlangsung selama tiga tahun. Dan di antara yang
beriman pada saat itu adalah: Khadijah Bt. Khuwailid, Ali Ibn Abi Thalib, Zaid Ibn
Haritsah, Abu Bakar Asshiddiq, Utsman Ibn Affan, Zubair bn. Alarqam dan
sebagainya. Hal ini tercantum dalam Ibnu Saad, Althabaqat Alkubra, Beirut: Dar
Elfikr, 1980, hal. 199.
17
Kegiatan ini dilakukan dari rumah ke rumah, maka rumah sahabat al-Arqam
Abi Arqam dijadikan sebagai tempat pertama penyampaian dakwah Islam secara
berkelompok, selain itu ada tempat lainnya, yaitu di antaranya Assuffah, Dar Alqurra
dan Kuffah.

63
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

c. Pendekatan Diskusi
Pendekatan diskusi pada era sekarang sering dilakukan lewat
berbagai diskusi keagamaan, dai sebagai nara sumber sedangkan
mad’u berperan sebagai audience. Tujuan dari diskusi ini adalah
membahas dan menemukan pemecahan semua problematika
yang ada kaitannya dengan dakwah sehigga apa yang menjadi
permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya.
d. Pendekatan Misi
Maksud dari pendekatan misi adalah pengiriman tenaga para dai
ke daerah-daerah di luar tempat domisli.18 Kita bisa mencermati
untuk masa sekarang ini ada banyak organisasi yang bergerak di
bidang dakwah mengirimkan dai mereka untuk disebar luaskan
ke daerah-daerah yang minim para dainya, dan di samping itu
daerah yang menjadi tujuan adalah biasanya kurang memahami
ajaran-ajaran Islam yang prinsipil.
e. Pendekatan dakwah kultural
Pendekatan dakwah kultural adalah usaha-usaha dakwah Islam
yang dirintis dan dikembangkan dengan melakukan interaksi dan
adaptasi terhadap budaya dan adat istiadat yang telah lama
hidup, tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah dan daerah
tertentu. Dalam bahasa dakwah dikenal dengan “usaha
menyampaikan dakwah dengan bahasa kaumnya” atau
“berdakwah sesuai dengan kemampuan daya tangkap masyarakat
setempat” (khatibin nas ala qadri uqulihim). Pelajaran berharga
dari suksesnya eksistensi dan bertahannya Islam di Aceh adalah
karena kedatangan dakwah Islam ke Aceh tidak merusak dan
menghancurkan budaya lokal yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Aceh, tetapi justeru menggunakan instrumen adat,
budaya dan tradisi Aceh untuk menyampaikan universalitas
ajaran Islam. Sehingga sampai saat ini antara adat dan agama
Islam menjadi “organ” yang saling melengkapi dan tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh.

18
Pendekatan misi ini pernah dirintis Nabi di Makkah, tapi belum berhasil,
kemudian dikembangkan di Madinah dengan hasil yang maksimal. Pendekatan serupa
pula dilakukan secara besar-besaran pada zaman sahabat khususnya pemeintahan Umar
Ibn Khattab r.a. contoh-contoh dakwah melalui pendekatan misi ini antara lain misi
dakwah ke Yatsrib, Najed, Najran, Makkah dan sebagainya.

64
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

f. Pendekatan dakwah struktural


Pendekatan dakwah struktural adalah dakwah Islam yang
dikembangkan melalui kemitraan dengan para pemimpin
(keuchik, tuha peut, tuha lapan) yang memiliki kewenangan
dalam mengatur dan mengendalikan persoalan umat pada tingkat
gampong. Karena kecenderungan umat atau masyarakat adalah
mengikuti agama yang dianut oleh para pemimpin atau
penguasanya. Dalam bahasa Islam, apabila kamu melihat
kemungkaran maka rubahlah dengan tangan (kekuasaan),
apabila kamu tidak mampu, maka rubahlah dengan lisan
(ceramah dan khutbah), dan apabila kamu tidak mampu maka
gunakan hati untuk berdoa (agar kemungkaran itu segera sirna),
dan itulah selemah-lemah iman. Dalam sejarahnya, salah satu
faktor yang menyebabkan agama Islam berhasil berkembang
pesat di Aceh karena kemampuan dan kecerdikan para dai
memikat hati para sultan sehingga mereka memilih Islam atas
dasar pilihan sadar dan kebebasan, bukan karena tekanan,
paksaan dan peperangan.
g. Pendekatan dakwah bi alhal (tindakan dan kerja nyata)
Pendekatan dakwah bi al-hal adalah dakwah yang dilakukan
dengan seruan, panggilan dan ajakan dengan aksi, tindakan dan
perbuatan nyata yang sesuai dengan keadaan manusia.19 Karena
merupakan aksi atau tindakan nyata maka dakwah bi al-hal lebih
mengarah pada tindakan menggerakkan (“aksi menggerakkan”
madu) sehingga dakwah ini lebih berorientasi pada
pengembangan masyarakat.
Usaha pengembangan masyarakat Islam memiliki bidang
garapan yang luas. Meliputi pengembangan pendidikan, ekonomi
dan sosial masyarakat. Pengembangan pendidikan merupakan
bagian penting dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini
berarti bahwa pendidikan harus diupayakan untuk menghidupkan
masyarakat Aceh yang maju, efisien, mandiri, terbuka dan
berorientasi ke masa depan yang lebih berkualitas.
Dalam bidang ekonomi, pengembangannya dilakukan dengan
peningkatan minat usaha dan etos kerja yang tinggi serta
menghidupkan dan mengoptimalisasi ekonomi umat. Sementara

19
Yunan Yusuf, Dakwah bi al-Hal, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jurnal
Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2. 2001. Lihat juga, Hasim, Kamus
Istilah Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 24.

65
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

pengembangan sosial kemasyarakatan dilakukan dalam kerangka


merespons problem sosial yang timbul karena dampak
modernisasi dan globalisasi, seperti masalah pengangguran,
tenaga kerja, kemiskinan, penegakan hukum, HAM dan
pemberdayaan perempuan.
Dari beraneka ragam pendekatan dakwah Islam di atas
diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi
pembinaan sumber daya manusia masyarakat gampong. Dan inilah yang
penulis maksud dengan pendekatan integratif – memadukan berbagai
pendekatan yang multi bidang lalu disesuaikan dengan situasi dan
kondisi masalah dan tantangan aktual yang dihadapi oleh masyarakat
gampong. Sekarang ini, masyarakat di mana pun menghadapi berbagai
permasalahan yang serba kompleks. Oleh karena itu, strategi pendekatan
dakwah pun tidak harus melalui satu pendekatan semata, tetapi dengan
menggunakan berbagai pendekatan yang dapat mengatasi kompleksitas
yang dihadapi masyarakat gampong.

PENUTUP
Setiap Muslim diharapkan mengambil bagian dalam rangka
pelaksanaan dakwah, yakni, mengajak manusia ke jalan Allah untuk
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ajakan tersebut dapat
mengambil wujul yang formal atau tindakan-tindakan yang membawa
kemaslahatan dan patut diteladani. Kedua macam ajakan tersebut sering
dibedakan dengan istilah dakwah bi allisan dan dakwah bi alhal.
Dengan demikian setiap Muslim berpeluang untuk memberikan andilnya
dalam pelaksanaan dakwah menurut kemampuan dan bidangnya
masing-masing, terutama bagi masyarakat gampong di seluruh Aceh.

66
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 57-67

DAFTAR PUSTAKA

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, tt.).


Badruzzaman Ismail, Eksposa Majelis Adat Aceh Provinsi NAD, (Banda
Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007).
Badruzzaman Ismail, Membangun Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat
dan Budaya, (Banda Aceh: Majlis Adat Aceh, 2007).
Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqat al-Kubra, Beirut: Dar el –Fikr, 1980.
M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Surakarta: Yayasan Kesejahteraan, 1984).
Mohammad Irham, “Titik Temu FKPM dan Dakwah Islam”, dalam M.
Jamil Yusuf dkk, (Ed), Polmas dan HAM Dengan Pendekatan
Dakwah dan Adat Budaya Aceh, (Banda Aceh: Fakultas Dakwah
IAIN Ar-Raniry bekerja sama dengan Polda NAD, 2009).
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, diterjemahkan
dari Hayat Muhammad, oleh Ali Audah, (Jakarta: Tintamas, 1984).
Muhammad Husein, Adat Aceh, (Daerah Kebudayaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, 1970).
Nasruddin Latif, Teori dan Praktik dakwah Islamiyah, (Jakarta: Firma
Dara, tt).
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya: Arkola, 1994).
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zi wa al-
Khitabat (h) (Beirut: Dar al-Ma’arif, tt.).
T.M. Juned, “Adat dalam Perspektif Perdebatan dan Praktek Hukum”,
dalam buku Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh, (Banda
Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, CSSP, 2005).
Yunan Yusuf, Dakwah bi al-Hal, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta:
Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2. 2001.
Lihat juga, Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung: Pustaka, 1987).

67
Gadeng
, Etos Kerja dalam

ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


(Peluang dan Tantangan Profesionalisme Masyarakat Muslim
dalam Era Modern)

oleh
Tarmizi Gadeng
Dosen FE Unmuha, Banda Aceh

PENDAHULUAN
Islam, di antara agama-agama yang ada di dunia, adalah satu-
satunya agama yang menjunjung tinggi nilai kerja. Ketika masyarakat
dunia pada umumnya menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di
tempat yang tinggi, Islam menghargai orang-orang yang berilmu, petani,
pedagang, tukang dan pengrajin. Sebagai manusia biasa, mereka tidak
diunggulkan dari yang lain, karena Islam menganut nilai persamaan di
antara sesama manusia di hadapan manusia. Ukuran ketinggian derajat
adalah ketakwaannya kepada Allah, yang diukur dengan iman dan amal
salihnya.
Dalam suasana kehidupan yang sulit dewasa ini, umat Islam
ditantang untuk bisa survive, dan membangun kembali tatanan
kehidupannya–moral, ekonomi, sosial, politik dan sebagainya untuk
membuktikan, bahwa rekomendasi Allah kepada umat Islam sebagai
khaira ummah (umat terbaik) tidak salah alamat.1 Dalam makalah ini,
penulis ingin menampilkan salah satu kajian yang boleh jadi dianggap
penting untuk didiskusikan bersama, yaitu tentang bagaimana
sebenarnya etos kerja dalam perspektif Islam? Pertanyaan dan kajian ini
penting karena ada sebagian kalangan dan analis berpendapat bahwa
etos kerja umat Islam lemah dibandingkan negara-negara non-Muslim
lainnya.

PEMBAHASAN
Pengertian Etos Kerja
Menurut kamus, perkataan “etos” yang berasal dari bahasa
Yunani (ethos) bermakna watak atau karakter. Secara lengkapnya,
pengertian etos ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta
kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang seorang

1
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang baik (ma’ruf) dan mencegah dari yang buruk (munkar) dan beriman
kepada Allah.” Q.S. Ali ‘Imran/ 3: 110.

68
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84

individu atau sekelompok manusia. Dari perkataan “etos” terambil pula


perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna “akhlaq” atau
bersifat “akhlaqi”, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu
kelompok, termasuk suatu bangsa.2 Juga dikatakan bahwa “etos” berarti
jiwa khas suatu kelompok manusia,3 yang dari jiwa khas itu berkembang
pandangan bangsa tersebut tentang yang baik dan yang buruk, yakni,
etikanya.
Secara sederhana, etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar
dari suatu masyarakat. Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan
norma sosial masyarakat itu.4 Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos
menjadi landasan perilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang
terpancar dalam kehidupan masyarakat.5 Karena etos menjadi landasan
bagi kehidupan manusia, maka etos juga berhubungan dengan aspek
evaluatif yang bersifat menilai dalam kehidupan masyarakat.6 Weber
mendefinisikan etos sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan
tingkah laku seseorang, sekelompok atau sebuah institusi (guiding
beliefs of a person, group or institution). Jadi, etos kerja dapat diartikan
sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau
sekelompok orang sebagai hal yang baik dan benar dan mewujud nyata
secara khas dalam perilaku kerja mereka.7

2
Webster’s New World Dictionary of the American Language, 1980 (revisi
baru), s.v. “ethos”, “ethical” dan “ethics”.
3
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, 1977
(terbitan Gramedia), s.v. “ethos”.
4
Ensiklopedia Nasional Indonesia, (1989), hlm. 219.
5
C. Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Book, 1973),
hlm. 127.
6
Di sisi lain, Taufik Abdullah mendefinisikan etos kerja dari aspek evaluatif
yang bersifat penilaian diri terhadap kerja yang bersumber pada identitas diri yang
bersifat sakral – yakni realitas spiritual keagamaan yang diyakininya. Taufik Abdullah,
Agama, Etos Kerja dan Pengembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 3.
Karena itu, etos tidak dapat dipisahkan dari sistem kebudayaan suatu masyarakat.
Sebagai watak dasar suatu masyarakat, etos berakar dalam kebudayaan masyarakat itu
sendiri. Kebudayaan, sebagai suatu sistem pengetahuan gagasan yang dimiliki suatu
masyarakat dari proses belajar, adalah induk dari etos itu. Maka setiap masyarakat
(yang berbeda kebudayaannya), mempunyai etos yang berbeda pula termasuk dalam
hubungannya dengan etos kerja.
7
Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, terj. Talcott
Parson, (New York: Charles Scribner’s Son, 1958). Dalam mengaitkan makna etos
kerja di atas dengan agama, maka etos kerja merupakan sikap diri yang mendasar
terhadap kerja yang merupakan wujud dari kedalaman pemahaman dan penghayatan
religius yang memotivasi seseorang untuk melakukan yang terbaik dalam suatu
pekerjaan. Dengan kata lain, etos kerja adalah semangat kerja yang mempengaruhi cara

69
Gadeng
, Etos Kerja dalam

Adapun indikasi-indikasi orang atau sekelompok masyarakat


yang beretos kerja tinggi, menurut Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian
Drama, ada tiga belas sikap yang menandai hal itu: (1) Efisien; (2)
Rajin; (3) Teratur; (4) Disiplin atau tepat waktu; (5) Hemat; (6) Jujur
dan teliti; (7) Rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan; (8)
Bersedia menerima perubahan; (9) Gesit dalam memanfaatkan
kesempatan; (10) Energik; (11) Ketulusan dan percaya diri; (12) Mampu
bekerja sama; dan, (13) mempunyai visi yang jauh ke depan.8
Menurut Sarsono, Konfusionisme memiliki konsep tersendiri
berkenaan dengan orang-orang yang aktif bekerja, yang ciri-cirinya
antara lain (1) Etos kerja dan disiplin pribadi; (2) Kesadaran terhadap
hierarki dan ketaatan; (3) Penghargaan pada keahlian; (4) Hubungan
keluarga yang kuat; (5) Hemat dan hidup sederhana; (6) Kesediaan
menyesuaikan diri.9
Beberapa indikasi dan ciri-ciri dari etos kerja yang terefleksikan
dari pendapat-pendapat tersebut di atas, secara universal cukup
menggambarkan segi-segi etos kerja yang baik pada manusia, bersumber
dari kualitas diri, diwujudkan berdasarkan tata nilai sebagai etos kerja
yang diimplementasikan dalam aktivitas kerja.

Etos Kerja dalam Kajian Budaya dan Agama


Masalah etos kerja memang cukup rumit. Nampaknya tidak ada
teori tunggal yang dapat menerangkan segala segi gejalanya, juga
bagaimana menumbuhkan dari yang lemah ke arah yang lebih kuat atau
lebih baik. Kadang-kadang nampak bahwa etos kerja dipengaruhi oleh
sistem kepercayaan, seperti agama, kadang-kadang nampak seperti tidak
lebih dari hasil tingkat perkembangan ekonomi tertentu masyarakat saja.
Salah satu teori yang relevan untuk dicermati adalah bahwa etos
kerja terkait dengan sistem kepercayaan yang diperoleh karena
pengamatan bahwa masyarakat tertentu–dengan sistem kepercayaan
tertentu–memiliki etos kerja lebih baik (atau lebih buruk) dari
masyarakat lain–dengan sistem kepercayaan lain. Misalnya, yang paling
terkenal ialah pengamatan seorang sosiolog, Max Weber, terhadap

pandang seseorang terhadap pekerjaannnya yang bersumber pada nilai-nilai transenden


atau nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.
8
Gunnard Myrdal, An Approach to the Asian Drama, (New York: Vintage
Books, 1970), hlm. 62.
9
Sarsono, Perbedaan Nilai Kerja Generasi Muda Terpelajar Jawa dan Cina,
(Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Psikologi UGM, 1998), hlm. 98.

70
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84

masyarakat Protestan aliran Calvinisme, yang kemudian dia angkat


menjadi dasar apa yang terkenal dengan “Etika Protestan”.10
Para peneliti lain – mengikuti cara pandang Weber – juga
melihat gejala yang sama pada masyarakat-masyarakat dengan sistem-
sistem kepercayaan yang berbeda, seperti masyarakat Tokugawa di
Jepang (oleh Robert N. Bellah), Santri di Jawa (oleh Geertz) dan Hindu
Brahmana di Bali (juga oleh Geertz), Jainisme dan Kaum Farsi di India,
kaum Bazari di Iran, dan seorang peneliti mengamati hal yang serupa
untuk kaum Isma’ili di Afrika Timur, dan sebagainya. Semua tesis
tersebut bertitik tolak dari sudut pandang nilai, atau dalam bahasa agama
bertitik tolak dari keimanan atau budaya mereka masing-masing.11
Kesan bahwa etos kerja terkait dengan tingkat perkembangan
ekonomi tertentu, juga merupakan hasil pengamatan terhadap
masyarakat-masyarakat tertentu yang etos kerjanya menjadi baik setelah
mencapai kemajuan ekonomi tertentu, seperti umumnya negara-negara
Industri Baru di Asia Timur, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong
dan Singapura. Kenyataan bahwa Singapura, misalnya, menunjukkan
peningkatan etos kerja warga negaranya setelah mencapai tingkat
perkembangan ekonomi yang cukup tinggi. Peningkatan etos kerja di
sana kemudian mendorong laju perkembangan yang lebih cepat lagi
sehingga negara kota itu menjadi seperti sekarang.12

10
Tesis Weber ini telah menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan
sosiolog. Sebagian sosiolog mengakui kebenaran tesisnya itu, tetapi tidak sedikit yang
meragukan, bahkan yang menolaknya. Kurt Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia
adalah salah seorang yang menolak keseluruhan tesis Weber tersebut, dengan
mengatakan bahwa tidak pernah dapat ditemukan dukungan tentang kesejajaran antara
protestantisme dengan tingkah laku ekonomis. Kurt Samuelson, Religion and
Economic Action: A Critic of Max Webe, (New York: Harper Torchbook, 1964), hlm.
1-26.
11
Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta:
Paramadina, 1999), hlm. 76. Lihat juga, Nurcholish Madjid, Fatsoen Nurcholish
Madjid, (Jakarta: Republika, 2002), hlm. 24. Menurut hipotesa Weber bahwa ajaran
Protestantisme sangat bersesuaian dengan semangat kapitalisme. Weber lebih jauh
menjelaskan bahwa penganut Protestan cenderung untuk mengumpulkan kekayaan dan
mengejar sukses material sebagai bukti dari anugerah Tuhan pada mereka, dan
sekaligus sebagai konfirmasi atas status mereka sebagai orang-orang pilihan Tuhan
untuk diselamatkan di dunia dan di akhirat nanti. Sebagai konsekwensi logis dari
keyakinan tersebut, maka kaum Protestan di Jerman yang diamati Weber menampilkan
etos kerja yang unik, seperti: bekerja keras, bertindak rasional, berdisiplin tinggi,
berorientasi pada sukses material, hemat dan bersahaja, tidak mengumbar kesenangan
serta menabung dan berinvestasi.
12
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan
Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 215.

71
Gadeng
, Etos Kerja dalam

Pada dekade tahun 80-an, di kalangan cendekiawan Muslim


Indonesia pun tumbuh minat yang cukup besar untuk membuktikan
kebenaran tesis Weber di atas. Bahkan pada waktu itu pernah muncul
suatu gagasan untuk membangun suatu system teologi yang dapat
mendorong keberhasilan proses pembangunan di Indonesia. Pada saat
itu suatu gagasan yang disebut dengan “Teologi Pembangunan”, bahkan
di Kaliurang Yogyakarta, pernah diadakan seminar tenatang Teologi
Pembangunan ini.
Gagasan tentang Teologi Pembangunan ini dilandasi oleh
asumsi-asumsi: (1) sistem teologi yang dianut oleh umat Islam Indonesia
belum mampu mendorong dan membangkitkan etos kerja yang tinggi;
(2) umat Islam Indonesia mudah sekali menyerah ketika mengalami
suatu kegagalan; (3) umat Islam Indonesia bersifat pasif, fatalis dan
deterministik; serta asumsi-asumsi lainnya.13
Namun, karena masalah teologi sangat sensitif, akhirnya
gagasan-gagasan yang pernah dicetuskan itu berakhir dengan tanpa
memperoleh rumusan yang jelas dan sistematis. Kalau kita mau
mencermati dan mengkaji makna-makna yang terkandung dalam al-
Quran dan Alsunnah, maka kita akan menemukan banyak sekali bukti,
bahwa sesunguhnya ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk
bekerja keras, dan bahwa ajaran Islam memuat spirit dan dorongan pada
tumbuhnya budaya dan etos kerja yang tinggi. Kalau pada tataran
praktis, umat Islam seolah-olah beretos kerja rendah, maka bukan sistem
teologi yang harus dirombak, melainkan harus diupayakan bagaimana
cara dan metode untuk memberikan pengertian dan pemahaman yang
benar mengenai watak dan karakter esensial dari ajaran Islam yang
sesungguhnya.

13
Fadlil Munawwar Manshur, “Profesionalisme dalam Perspektif Islam,”
dalam Edy Suandi Hamid, dkk (peny), Membangun Profesionalisme Muhammadiyah,
(Yogyakarta: LPTP PP Muhammadiyah-UAD Press, 2003), hlm. 20. Sering terdengar
pendapat yang mengatakan bahwa etos kerja masyarakat Indonesia relatif rendah
dibandingkan dengan bangsa-bangsa Asia lainnya, terutama Jepang dan Korea.
Pandangan ini antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa tingkat kemajuan ekonomi
Indonesia jauh tertinggal dibandingkan kedua bangsa tersebut di atas. Namun,
pendapat itu ada yang membantah dengan menunjukkan bagaimana kerasnya kerja
petani dan buruh di pelbagai tempat di Indonesia. Rendahnya tingkat kemajuan bangsa
Indonesia itu, menurut pendapat ini tidak terkait sama sekali dengan tinggi rendahnya
etos kerja, tetapi lebih terkait dengan politik ekonomi pembangunan. Kedua pendapat
tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, tetapi sukar untuk
disangkal bahwa tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu masyarakat juga sangat
dipengaruhi oleh etos kerja yang ada pada masyarakat itu.

72
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84

Etos Kerja dalam Perspektif Islam


a. Pengertian Etos Kerja dalam Islam
Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan
dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya
mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos
kerja.14 Adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang
bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya
yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya
keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang
agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika
pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan
tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.
Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil
suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan
dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah swt.
Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya,
Islam adalah agama amal atau kerja (praxis).15 Inti ajarannya ialah
bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui
kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan
hanya kepada-Nya.16
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim,
menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya
yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fakir dan
zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya
sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan
dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah),

14
Ismail al-Faruqi melukiskan Islam sebagai a religion of action dan bukan a
religion faith. Oleh karena itu, Islam sangat menghargai kerja. Dalam sistem teologi
Islamkeberhasilan manusia dinilai di akhirat dari hasil amal dan kerja yang
dilaksanakannya di dunia. Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implication for Thought and Life
(Herndon, Virginia: IIIT, 1995), hlm. 75-6.
15
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, hlm. 216
16
Q.S. Al-Kahf/ 18: 110. Islam, sebagai sistem nilai dan petunjuk, misalnya,
secara tegas mendorong umatnya agar memiliki kejujuran (Q.S. 33: 23-24); mendorong
hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan (Q.S. 7: 13, 17: 29; 25: 67; 55: 7-9);
anjuran melakukan kerja sama dan tolong-menolong dalam kebaikan (Q.S. 5: 2);
kerajinan dan bekerja keras (Q.S. 62: 10); sikap hati-hati dalam mengambil keputusan
dan tindakan (Q.S. 49: 6); jujur dan dapat dipercaya (Q.S. 4: 58; 2: 283; 23: 8); disiplin
(Q.S. 59: 7); berlomba-lomba dalam kebaikan (Q.S. 2: 148; 5: 48). Prinsip-prinsip
dasar dari rangkaian sistem nilai yang terkandung dalam al-Qur’an tersebut di atas
dapat dijadikan menurut penulis, dapat dijadikan tema sentral dalam melihat persoalan
etos kerja versi ajaran Islam.

73
Gadeng
, Etos Kerja dalam

atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu
memanusiakan dirinya.17
Dalam bentuk aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah
rumusan:
KHI = T, AS (M, A, R, A)
KHI = Kualitas Hidup Islami
T = Tauhid
AS = Amal Shaleh
M = Motivasi
A = Arah Tujuan (Aim and Goal/Objectives)
R = Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir)
A = Action, Actualization.
Dari rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam
Islam (bagi kaum Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini
seorang Muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan
dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu
manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai
ibadah yang sangat luhur.”18
Sementara itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa bagi orang
yang beretos kerja Islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan
atau aqidah Islami berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran
wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem keimanan itu, menurutnya,
identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber
motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami. Etos kerja
Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal
shaleh, tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja apa pun tidak
dapat menjadi Islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman akan
merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh.
Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh
merupakan suatu rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan.19
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat dipahami
bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values)
yang terkandung dalam dan Alsunnah tentang “kerja” – yang dijadikan
sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan
17
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1995), hlm. 27.
18
Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, hlm. 28.
19
Rahmawati Caco, “Etos Kerja” (Sorotan Pemikiran Islam),” dalam Farabi
Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, (terbitan Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3, No. 2, 2006), hlm. 68-
69.

74
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84

aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka memahami,


menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dan Alsunnah tentang
dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam.

b. Prinsip-prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam


Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja,
Islam mengajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan
beberapa prinsip berikut:
1. Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan
sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam Alquran,
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan mengenainya.”(Q.S, 17: 36).
2. Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian sebagaimana
dapat dipahami dari hadis Nabi saw, “Apabila suatu urusan
diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).
3. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat
dipahami dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang telah
menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara
kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik;
kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu
tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mulk: 67: 2).
Dalam Islam, amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam
bentuk saleh sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah
berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar mutu.
4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat, oleh
karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab,
sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Katakanlah:
Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman
akan melihat pekerjaanmu.”(Q.S. 9: 105).
5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi.
Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh
sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih
sekalipun hari telah akan kiamat.20
6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia
kerjakan. Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep

20
Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Saw. telah
bersabda, “Apabila salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di tangannya
masih ada benih hendaklah ia tanam benih itu.” (H.R. Ahmad).

75
Gadeng
, Etos Kerja dalam

imbalan bukan hanya berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan dunia,


tetapi juga berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan ibadah yang
bersifat ukhrawi. Di dalam Alquran ditegaskan bahwa: “Allah
membalas orang-orang yang melakukan sesuatu yang buruk
dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orang-
orang yang berbuat baik dengan kebaika.”(Q.S. 53: 31). Dalam
hadis Nabi dikatakan, “Sesuatu yang paling berhak untuk kamu
ambil imbalan atasnya adalah Kitab Allah.” (H.R. al-Bukhari).
Jadi, menerima imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan
dengan Kitab Allah; berupa mengajarkannya, menyebarkannya,
dan melakukan pengkajian terhadapnya, tidaklah bertentangan
dengan semangat keikhlasan dalam agama.
7. Berusaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang
amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung
kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya: jika tujuannya tinggi
(seperti tujuan mencapai riza Allah) maka ia pun akan
mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah
(seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia
belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut.21
Sabda Nabi saw. itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia
tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi
rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi
rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau
niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang
dikaitkan dengan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu,
komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan
batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat
kesungguhan tertentu.

21
Sebuah hadis yang amat terkenal, “Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan
itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya (ditujukan) kepada (ridla) Allah
dan Rasul-Nya, maka ia (nilai) hijrahnya itu (mengarah) kepada (ridla) Allah dan
Rasul-Nya; dan barang siapa yang hijrahnya itu ke arah (kepentingan) dunia yang
dikehendakinya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka (nilai) hijrahnya itu pun
mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya.” (Lihat al-Sayyid ‘Abd al-Rahim
‘Anbar al-Thahthawi, Hidayat al-Bari ila Tartib al-Ahadits al-Bukhary, 2 Jilid (Kairo:
al-Maktabat al-Tijariyah al-Kubra, 1353 H), jil. 1, hlm. 220-221; dan al-Hafidh al-
Mundziry, Mukhtashar Shahih Muslim, 2 Jilid (Kuwait: Wazarat al-Awqaf wa al-
Syu’un al-Islamiyyah, 1388 H/1969 M), jil. 2, hlm. 47. (hadis No. 1080).

76
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84

8. Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah


bentuk keberadaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja,
dan kerja itulah yang membuat atau mengisi keberadaan
kemanusiaan. Jika filsuf Perancis, Rene Descartes, terkenal
dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo
sum) – karena berpikir baginya bentuk wujud manusia – maka
sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya
berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada.”22 Pandangan ini sentral
sekali dalam sistem ajaran Islam. Ditegaskan bahwa manusia
tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia
usahakan sendiri:

“Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam


lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang
setia? Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan
menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia
itu melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu
akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas
dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhan-mulah
tujuan yang penghabisan”.23

Itulah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa, kerja adalah


bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia, yakni
apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau
kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang
baik itu manusia mampu mencapai harkat yang setinggi-
tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan.
“Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka
hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat
kepada Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik,”24 (yakni,
mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada Allah, Sang Maha
Benar, al-Haqq, yang menjadi sumber nilai terdalam pekerjaan
manusia).

Dalam ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh


pengabdian yang tulus untuk mencapai keridlaan Allah dan

22
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,
1992), hlm. 417.
23
QS, al-Najm/52:: 36-42.
24
QS, al-Kahfi/18: 110.

77
Gadeng
, Etos Kerja dalam

meningkatan taraf kesejahteraan hidup umat adalah fungsi


manusia itu sendiri sebagai khalifatullah fi al-Ardl. Dalam
beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan hasilnya untuk
keperluan yang bersifat konsumtif, seperti menyantuni anak
yatim, janda, orang yang sudah lanjut usia, cacat fisik atau
mental dan sebagainya, secara teratur per bulan, atau sampai
akhir hayatnya, atau sampai mereka mampu mandiri dalam
mencukupi kebutuhan pokok hidupnya.25
9. Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang
menuturkan sabda Rasulullah saw yang berbunyi “Orang
mukmin yang kuat lebih disukai Allah”, redaksinya kira-kira
begini:
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah
‘azza wa jalla dari pada orang mukmin yang lemah, meskipun
pada kedua-duanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang
bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah,
dan janganlah menjadi lemah. Jika sesuatu (musibah)
menimpamu, maka janganlah berkata: “Andaikan aku lakukan
sesuatu, maka hasilnya akan begini dan begitu,”. Sebaliknya
berkatalah: “Ketentuan (qadar) Allah, dan apa pun yang
dikehendaki-Nya tentu dilaksanakan-Nya”. Sebab sesungguhnya
perkataan “andaikan” itu membuka perbuatan setan”.26

Dengan demikian, untuk membuat kuatnya seorang mukmin


seperti dimaksudkan oleh Nabi Saw, manusia beriman harus
bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain: “Katakan (hai
Muhammad): “Setiap orang bekerja sesuai dengan
kecenderungannya (bakatnya) ….”27 Juga firman-Nya, “Dan jika

25
Selain itu, hasil zakat bisa pula digunakan untuk keperluan yang bersifat
produktif, seperti pemberian bantuan keuangan sebagai modal usaha bagi fakir miskin
yang mempunyai keterampilan tertentu dan mau berusaha serta bekerja keras. Hal ini
untuk membebaskan mereka dari keterpurukan taraf hidupnya sehingga bisa mandiri.
Hasil zakat bisa pula digunakan untuk mendirikan pabrik-pabrik dan proyek-proyek
yang profitable dan hasilnya disalurkan untuk pos-pos yang berhak menerimanya.
Pabrik-pabrik dan proyek lain yang dibiayai dengan hasil zakat dalam penerimaan
tenaga kerja harus memberi prioritas kepada fakir miskin yang telah diseleksi dan telah
diberikan pendidikan keterampilan yang sesuai dengan lapangan kerja yang telah
tersedia.
26
Mukhtashar, Jil. 2, hlm. 246 (Hadis No. 1840).
27
Q.S, al-Isra’/17: 84.

78
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84

engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah, dan


kepada Tuhan-Mu berusahalah mendekat”.28

Karena perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert N.


Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah dalam
sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah
menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan
mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah).29 Maka adalah
baik sekali direnungkan firman Allah dalam surah al-Jumu’ah:
“Maka bila sembahyang itu telah usai, menyebarlah kamu di
bumi, dan carilah kemurahan (karunia) Allah, serta banyaklah
ingat kepada Allah, agar kamu berjaya”.30

Dari prinsip-prinsip dasar di atas, penting juga dirumuskan ciri-


ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja Islam, hal itu
akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada
suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan
bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan
memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari
manusia pilihan (khaira ummah), Toto Tasmara merinci ciri-ciri etos
kerja Muslim, sebagai berikut: (1) Memiliki jiwa kepemimpinan
(leadhership); (2) Selalu berhitung; (3) Menghargai waktu; (4) Tidak
pernah merasa puas berbuat kebaikan (positive improvements); (5)
Hidup berhemat dan efisien; (6) Memiliki jiwa wiraswasta
(entrepreneurship); (7) Memiliki insting bersaing dan bertanding; (8)
Keinginan untuk mandiri (independent); (9) Haus untuk memiliki sifat
keilmuan; (10) Berwawasan makro (universal); (11) Memperhatikan
kesehatan dan gizi; (12) Ulet, pantang menyerah; (13) Berorientasi pada
produktivitas; dan (14) Memperkaya jaringan silaturrahim.31

Problema Etos Kerja Dalam Masyarakat Islam

28
Q.S, al-Insyirah/94: 7.
29
Etos yang dominan pada komunitas (umat) ini ialah (giat) di dunia ini
aktivis, bersifat sosial dan politik, dalam hal ini lebih dekat kepada Israel kuna (zaman
para nabi, sejak Nabi Musa dan seterusnya), dari pada kepada agama Kristen mula-
mula (sebelum munculnya Reformasi di zaman Modern), dan juga secara relatif dapat
menerima etos yang dominan abad ke dua puluh. Robert N. Bellah, “Islamic Tradition
and the Problem of Modernization” dalam Robert N. Bellah, ed., Beyond Belief (New
York: Harper and Raw, 1970), hlm. 151-152.
30
Q.S, al-Jumu’ah/62: 10.
31
Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, hlm. 29-59.

79
Gadeng
, Etos Kerja dalam

Nilai kerja dalam masyarakat Islam mulai merosot akibat


berkembangnya pemerintahan feodal yang zalim. Dalam sistem
pemerintahan yang seperti itu, timbul kehidupan yang mewah di
kalangan elite bangsawan. Pemerintahan yang otoriter menyebabkan
motivasi rakyat untuk bekerja merosot. Dalam keadaan tertindas, rakyat
“lari” kepada Tuhan. Sebenarnya, tauhid yang merupakan fondasi utama
dalam ajaran Islam, bersifat membebaskan. Tauhid telah menghapus
sistem hak milik feodal, karena seluruh hak milik raja dan penguasaan
tanah oleh kaum feodal itu “diambil alih” oleh Tuhan untuk dilimpahkan
kembali kepada rakyat. Tapi rakyat yang tak bersenjata tak bisa berbuat
apa-apa. Karena itulah, yang timbul adalah aliran tasawuf.

Dalam dunia Islam di Timur Tengah, timbulnya aliran-aliran


tasawuf berkorelasi positif dengan berkembangnya pemerintahan
otoriter. Dalam keadaan yang lemah secara ekonomis, politis maupun
mental, rakyat tidak bisa mendukung pemerintahan. Itulah sebabnya
pemerintahan Islam akhirnya lemah di dalam dan hancur oleh invansi
dan akhirnya jatuh ke tangan penjajah. Runtuhnya perekonomian kaum
Muslim adalah akibat penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Mereka jatuh ke
tangan penjajah karena pemerintahannya lemah. Dan pemerintahan
lemah karena tidak didukung oleh rakyat yang lemah akibat
pemerintahan yang otoriter dan represif.32

Dewasa ini, kebanyakan negara-negara berpenduduk Islam


termasuk dalam kategori negara-negara sedang berkembang dan Dunia
Ketiga, yaitu kelompok negara-negara yang pada masa Revolusi Industri
tidak ikut serta dalam proses pembentukan Orde Dunia sekarang yang
kapitalis itu. Pada masa itu, kebanyakan dunia Islam malahan jatuh ke
tangan penjajahan dan mengalami eksploitasi ekonomi oleh system
kolonialisme. Kapitalisme, menimbulkan pertumbuhan ekonomi di satu
pihak dan keterbelakangan di lain pihak. Keterbelakangan itu terjadi
melalui mekanisme kolonialisme dan imperialisme.

32
Banyak analis yang mengatakan bahwa lemahnya perekonomian rakyat di
dunia Islam itu disebabkan oleh lemahnya etos kerja dan lemahnya etos kerja
disebabkan karena menguatnya aliran tasawuf yang lebih mementingkan aspek ibadah
yang berorientasi pada akhirat semata. Masyarakat lebih menekankan orientasinya
kepada kehidupan akhirat semata karena hal itu dianggap satu-satunya harapan dalam
situasi otoriter yang represif. M. Dawam Rahardjo,Intelektual, Intelegensia, dan
Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1999), hlm.
459. Lihat juga, Jalaluddin Rakhmat, “Kemiskinan di Negara-negara Muslim,” dalam
Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 103-108.

80
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84

Eksploitasi pada zaman penjajahan itu merupakan penjelasan


atas terjadinya kemiskinan di dunia Islam termasuk Indonesia.
Koeksidensi antara kemiskinan dan kemusliman itu menimbulkan
kesimpulan bahwa etos kerja di kalangan kaum Muslim itu rendah,
padahal dewasa ini, Dunia Ketiga tidak hanya terdiri atas dunia Islam.
Filipina juga sebuah negara yang masih terbelakang ekonominya,
padahal mayoritas penduduknya beragama Katolik. Sebab-sebab
kemiskinan itu adalah faktor-faktor yang kompleks yang terjalin dalam
sejarah dan karena itu tidak bisa semata-mata dikaitkan dengan etos
kerja.33

Harapan perkembangan dunia Islam agaknya berasal dari dunia


pendidikan. Etos kerja tidak hanya semata-mata bergantung kepada
nilai-nilai agama dalam arti sempit, tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi
oleh pendidikan, informasi, dan komunikasi. Oleh sebab itu, yang perlu
dkembangkan adalah etos ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Apabila kelak sudah banyak tenaga-tena muda terpelajar di pusat dunia
Islam, maka orientasi mereka terhadap etos industri akan berkembang.

Dalam konteks Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat


dalam Pergerakan Indonesia agaknya mengambil tema yang berbeda-
beda dari Alquran yang menyebabkan tumbuhnya etos yang berbeda di
antara mereka. Etos Masyumi adalah musyawarah dengan cita-cita
kemasyarakatan ke arah tercapainya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun
Ghafur (Negara yang Adil Makmur di bawah Ampunan Ilahi).
Muhammadiyah mengambil tema lain, yaitu yang tercantum dalam
surah Ali Imran ayat 104, sedangkan ayat yang dijadikan dasar
berorganisasi Nahdlatul Ulama (NU) adalah surah Ali Imran ayat 103.
Di kalangan cendekiawan Muslim telah berkembang etos di sekitar
konsep Ulul al-Bab, seperti yang tercantum dalam surat Ali ‘Imran ayat
190-191. Yang pertama menekankan dakwah amar ma’ruf nahy munkar,
33
Faktor yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan suatu negara itu cukup
kompleks. Dari sudut ekonomi, faktor yang paling berpengaruh adalah tingkat
investasi. Sementara itu, sumber investasi utama dunia Islam ada dua, yaitu modal dan
“bantuan” atau kredit luar negeri yang yang berasal dari negara-negara industri maju,
dan hasil penggalian kekayaan alam, terutama migas, yang eksploitasinya dilakukan
dengan modal dan teknologi asing. Sungguh pun begitu, tingkat pertumbuhan yang
tinggi itu paling tidak menunjukkan adanya etos kerja tertentu. Hal yang perlu
dipelajari bukanlah hanya soal etos kerja, melainkan bagaimana mengkombinasikan
atau mengintegrasikan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh dunia Islam sehingga
bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang optimal bagi dunia Islam. Rahardjo,
Intelektual, Intelegensia…, 461.

81
Gadeng
, Etos Kerja dalam

sedangkan yang kedua menekankan persatuan umat. Sementara itu,


ICMI (yang berdiri 7 esember 1990) menekankan peranan kelompok
pemikir dalam perkembangan masyarakat.34

PENUTUP
Sebenarnya, “etos kerja” dalam perspektif Islam adalah
seperangkat “nilai-nilai etis” yang terkandung dalam ajaran Islam –
Alquran dan Alsunnah – tentang keharusan dan keutamaan bekerja, yang
digali dan dikembangkan secara sungguh-sungguh oleh umat Islam dari
masa ke masa, dan itu sangat mempengaruhi tindakan dan kerja-
kerjanya di berbagai bidang kehidupan dalam mencapai hasil yang
diharapkan lebih baik dan produktif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam
sejelas-jelasnya memberikan inspirasi dan motivasi kepada umat Islam
agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang terbaik, dan ini
tentunya dengan tidak mengabaikan landasan etis atau prinsip-prinsip
dasar dan umum yang ada di dalam ajaran Islam. Yang perlu diingat,
etos kerja Islami dapat terhambat oleh sistem pemerintahan yang feodal,
otoriter dan represif terhadap rakyat. Oleh karena itu, etos
kepemimpinan di dunia Islam khususnya, harus dibenahi dengan
pemahaman yang utuh terhadap etos kerja dalam ajaran Islam.
Dalam implementasinya, umat Islam merumuskan tema tertentu
dalam mengembangkan etos kerjanya; ada yang menampilkan etos
“khaira ummah” sebagai dasar pijaknya, ada pula etos “keadilan”, etos
“musyawarah”, etos “ulul al-bab”, etos “imamah”, etos “tauhid yang
membebaskan”, etos “iptek”, etos “persamaan gender”, etos “HAM”,
etos “pluralisme”, dan sebagainya. Semua tema tersebut pada dasarnya
digali dari Alqurqan. Munculnya keragaman tema karena latarbelakang
umat Islam yang beragam dengan segala kepentingan yang juga berbeda,
sehingga skala prioritas yang mungkin ingin ditujunya melalui tema-

34
Pilihan Muhammadiyah dilatarbelakangi oleh semangat pembaharuannya
yang ingin menegakkan paham tauhid yang murni dengan memberantas hal-hal yang
dianggap takhayul, bid’ah dan khurafat. Kepentingan NU adalah mempertahankan
doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan kesatuan antara ulama dan umat. Sedangkan
pilihan ICMI dilatarbelakangi oleh semangat untuk menumbuhkan etos iptek yang
dinilai sebagai kunci perkembangan bangsa dan umat Islam yang dinilai terbelakang.
Dengan pilihan atas tema yang berbeda itu, berbagai masyarakat Islam di Indonesia
memperlihatkan etos yang berbeda. Yang dimaksud dengan etos di sini adalah sikap
utama yang mendasari tindakan dan kegiatan seorang dalam masyarakat. Rahardjo,
“Etos Masyarakat Utama,” dalam Intelektual, Intelegensia…, hlm. 449-450.

82
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:68-84

tema tertentu yang dianggapnya penting untuk dikembangkan dalam


konteks tuntutan dan semangat zamannya. Tujuannya tetap sama,
“hasanah” di dunia, dan “hasanah” kelak di akhirat. Ini tidak berarti
mengabaikan ayat-ayat Alquran lainnya yang tidak dirumuskan dalam
bentuk tema tertentu dimaksud. Setiap Muslim memiliki kesempatan
dalam mengakses ajaran Alquran sesuai kemampuan dan kebutuhannya.
Di sinilah kunci utama universalisme ajaran Islam – shalih likulli zaman
wa makan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

DAFTAR BACAAN

Abdullah, Taufik, Agama, Etos Kerja dan Pengembangan Ekonomi,


(Jakarta: LP3ES, 1982).
Al-Faruqi, Ismail, Al-Tawhid: Its Implication for Thought and Life
(Herndon, Virginia: IIIT, 1995).
Al-Mundziry, Al-Hafidh, Mukhtashar Shahih Muslim, 2 Jilid (Kuwait:
Wazarat al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1388 H/1969
M), jil. 2.
Al-Thahthawi, Al-Sayyid ‘Abd al-Rahim ‘Anbar, Hidayat al-Bari ila
Tartib al-Ahadits al-Bukhary, 2 Jilid (Kairo: al-Maktabat al-
Tijariyah al-Kubra, 1353 H), jil. 1.
Bellah, Robert N., “Islamic Tradition and the Problem of
Modernization” dalam Robert N. Bellah, ed., Beyond Belief
(New York: Harper and Raw, 1970).
Caco, Rahmawati, “Etos Kerja” (Sorotan Pemikiran Islam),” dalam
Farabi Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan
Dakwah, (terbitan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN
Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3, No. 2, 2006).
Echols, John M. dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia,
(terbitan Gramedia, 1977).
Ensiklopedia Nasional Indonesia, (1989).

Geertz, C., The Interpretation of Culture, (New York: Basic Book,


1973).
Madjid, Nurcholish, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat,
(Jakarta: Paramadina, 1999).
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi
dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995).

83
Gadeng
, Etos Kerja dalam

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:


Paramadina, 1992).
Manshur, Fadlil Munawwar, “Profesionalisme dalam Perspektif Islam,”
dalam Edy Suandi Hamid, dkk (peny), Membangun
Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: LPTP PP
Muhammadiyah-UAD Press, 2003).
Myrdal, Gunnard, An Approach to the Asian Drama, (New York:
Vintage Books, 1970).
Rahardjo, Dawam, M, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik
Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan,
1999).
Rakhmat, Jalaluddin, “Kemiskinan di Negara-negara Muslim,” dalam
Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1998).
Samuelson, Kurt, Religion and Economic Action: A Critic of Max Webe,
(New York: Harper Torchbook, 1964).
Sarsono, Perbedaan Nilai Kerja Generasi Muda Terpelajar Jawa dan
Cina, (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Psikologi UGM,
1998).
Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1995).
Weber, Max, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, terj.
Talcott Parson, (New York: Charles Scribner’s Son, 1958).
Webster’s New World Dictionary of the American Language, 1980.

84
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa

PERANAN KAMPUS & MAHASISWA ACEH


DALAM MEWUJUDKAN
GENERASI MUDA ACEH BEBAS NARKOBA

oleh
Rusnaidi
Dosen FE Unmuha, Banda Aceh

PENDAHULUAN
Secara kualitatif eksistensi mahasiswa dapat dilihat dari empat
hal. Pertama, mereka adalah kaum terpelajar atau intelektual karena
mereka sedang bergulat dengan penimbaan ilmu pengetahuan di
kampus-kampus. Kedua, mahasiswa adalah calon pemimpin. Dengan
kapasitas keilmuan dan sikap terpelajar (being educated),
memungkinkan mereka untuk menjadi pemimpin dalam segala lapisan
di masa yang akan datang. Ketiga, mahasiswa adalah penggerak
perubahan (agent of change). Hal itu dimungkinkan karena kemampuan
dan daya banding (comparative adventage) yang mereka miliki, serta
banyaknya informasi yang membuat mereka selalu melakukan dan
memprakarsai perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Keempat,
mahasiswa adalah garda depan perbaikan masyarakat karena potensi
intelektualitas, obsesi, dan cita-cita masa depan mereka.
Dengan melihat beberapa posisi mahasiswa tersebut, mahasiswa
di mana pun, termasuk mahasiswa Aceh mempunyai peran yang amat
penting dalam mewujudkan kampus dan generasi muda Aceh yang
bersih dari segala gangguan, penyakit dan berbagai sumber malapetaka
yang akan meracuni dan merusak masa depan generasi muda Aceh.
Salah satu gangguan, penyakit, dan sumber malapetaka tersebut adalah
bahaya “penyalahgunaan Narkoba”. Penyalahgunaan Narkoba dan
dampak yang ditimbulkannya selama ini telah menyedot perhatian dunia
internasional termasuk bangsa Indonesia untuk memberantasnya. Hal itu
karena perlahan tapi pasti, gerakan penyalahgunaan Narkoba akan
menghancurkan generasi terbaik sebuah setiap bangsa, termasuk
masyarakat Aceh.
Dalam kesempatan ini, penulis mendukung sepenuhnya berbagai
program dan kegiatan yang dilakukan Badan Narkotika Provinsi Aceh
untuk memberantas dan memerangi Narkoba sampai ke akar-akarnya.
Atas dasar itulah, penulis mencoba berbagi saran dan pandangan yang
dituangkan dalam makalah sederhana ini dengan judul “Peranan

85
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99

Kampus dan Mahasiswa Aceh dalam Mewujudkan Generasi Muda Aceh


Bebas Narkoba”. Kerja sama yang baik, kompak dan terpadu dari pihak
Pemerintah Aceh dan setiap komponen masyarakat di Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) akan sangat menentukan berhasil dan suksesnya
“aneuk nanggroe” untuk membebaskan dirinya dari belenggu dan
jeratan ‘bencana Narkoba”.

PEMBAHASAN
Pengertian dan Sejarah Narkoba
Definisi NARKOBA sesuai dengan Surat Edaran Badan
Narkotika Nasional (BNN) No. SE/03/IV/2002 merupakan akronim dari
Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif lainnya. Narkoba yaitu zat-
zat alami maupun kimiawi yang jika dimasukkan ke dalam tubuh dapat
mengubah pikiran, suasana hati, perasaan, dan perilaku seseorang.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Sedangkan bahan adiktif adalah bahan-bahan aktif
atau obat yang dalam organisme hidup menimbulkan kerja biologi yang
apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi)
yakni keinginan untuk menggunakan kembali secara terus menerus.1
Sejarah pemakaian Narkoba sudah berlangsung lama. Sekitar
5000-6000 tahun sebelum Masehi. Orang-orang Mesopotamia telah
membudidayakan tanaman poppy yang berkhasiat mengurangi nyeri dan
memberi efek nyaman (joy plant). Zat ini dalam bahasa Yunani disebut
opium atau yang dikenal sebagai candu.2
Pada tahun 1803 seorang apoteker Jerman berhasil mengisolasi
bahan aktif opium yang memberi efek narkotika dan diberi nama
Morfin. Morfin berasal dari bahasa Latin Morpheus yaitu nama dewa
mimpi Yunani. Kemudian ada juga jenis lainnnya, seperti kokain, ganja,

1
Lebih lanjut lihat Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Mengenal
Penyalahgunaan Narkoba Buku 2A Untuk Remaja/Anak Muda, (Jakarta: BNN RI,
2007), hlm 8-16.
2
Libertus Jehani & Antoro dkk (ed.), Mencegah Terjerumus Narkoba,
(Tangerang: Visi Media, 2006), hlm. 2.

86
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa

meskalin, psilosibin, kafein, nikotin dan seterusnya. Selanjutnya


dibuatlah bahan semi sintesis dari bahan-bahan tersebut. Fungsi dan
kegunaannya terus saja berkembang dan bervariasi sesuai penemuan
khasiat alami, penyebaran dan percobaan-percobaan atau campuran
sesuai kebutuhan misalnya untuk pengobatan, pengawetan, untuk ritus-
ritus kepercayaan, untuk sosialisasi diri, untuk rekreasi, dan seterusnya.
Bahan-bahan ini bersifat prikoaktif yang menyebabkan perubahan
perilaku, kesadaran, pikiran dan perasaan seperti rasa nyaman, gembira,
percaya diri dan sebagainya.
Efeknya bagi pengguna pada umumnya bersifat penenang
(depresan), perangsang (stimulan) dan pemicu khayalan (halusinogen).
Masalahnya ialah sifat adiksi fisik maupun adiksi psikis dan emosional.
Hal ini ditujukan agar badan merasa tidak nyaman bila tidak
memakainya. Pikiran kusut, kacau dan tidak berdaya terhadap tekanan.
Perasaan tidak terkendali oleh keinginan dan kerinduan yang terus-
menerus mendesak untuk menggunakannya (ketagihan) maka hidup
seseorang menjadi porak-poranda baik secara fisik, mental, emosional,
sosial dan spiritual.
Di Indonesia, data awal yang menunjukkan penyalahgunaan zat
yang dapat menimbulkan ketagihan (adiktif) itu mulai dijumpai pada
tahun 1969 di Sanatorium Dharma Wangsa, Jakarta. Sejumlah kasus pun
dijumpai di berbagai kota besar si Indonesia.3 Mereka yang telah merasa
ketagihan candu dan keturunannya serta minuman keras dan zat adiktif
lainnya itu menjadi egois dan berani berbuat apa saja untuk
memperolehnya kendatipun melawan hukum. Dengan demikian, para
pencandu itu bukan hanya membahayakan dirinya sendiri melainkan
juga membahayakan orang lain. Menghadapi kenyataan serupa itu
timbul upaya untuk menanggulanginya, baik oleh Pemerintah maupun
masyarakat.
Rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tentu saja
sangat menentang penggunaan candu dan minuman keras. Oleh karena

3
Di Indonesia, penggunaan obat-obatan terlaran (drug) di kalangan anak
muda semakin meningkat dan meluas. Pada akhir tahun 1960-an, penyalahgunaan
obat-obat terlarang di kalangan remaja mencapai 80.000 hingga 100.000 kasus atau
kira-kira 0,0050%, dan pada masa tahun 1995 mencapai 125.000 anak muda atau
sekitar 0, 0062% dan mayoritas di antaranya merupakan remaja di kota-kota besar
seperti Jakarta, tewas karena obata-obat terlarang, masuk penjara atau terlibat
kejahatan lain. Lihat “Global Initiative on the provention of Drug in South East Asian
Countries,” adalah makalah yang dipresentasikan oleh Delegasi Yayasan Bersama
Indonesia sebagai LSM yang bergerak dalam penanggulangan bahaya Narkotika.
Seminar IFNGO di Chiang Mai, 14-18 Maret 1996.

87
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99

itu, mereka mengamanatkan kehendaknya melalui Sidang Umum


Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana tertuang dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara yang mencantumkan upaya Negara
untuk mengatasi hal tersebut (GBHN 1973, 1978, 1983, 1988) 9 tahun
1976 tentang Narkotika.4

Bahaya-Bahaya Narkoba Yang Menghancurkan Generasi Muda


Aceh
Bahaya penggunaan Narkoba dapat dibedakan menjadi bahaya
dari segi hukum dan bahaya dari segi kesehatan. Seperti diketahui dari
UU Narkotika dan UU Psikotropika, semua orang yang terlibat dapat
dikenai sanksi berupa hukuman penjara, denda, bahkan sampai hukuman
mati.5
Mereka yang dapat dijerat hukum melalui undang-undang
tersebut mencakup produsen, penyalur dan pemakai dengan gradasi
(tingkatan) hukuman dan denda yang bervariasi. Bahkan orang-orang
yang mempersulit penyelidikan pun dapat dijerat hukum. Denda
maksimal yang tercantum dalam undang-undang tersebut adalah sebesar
750 juta, sedangkan hukuman maksimalnya adalah hukuman mati.
Bahaya dari segi kesehatan sangat berbeda, tergantung dari jenis
Narkoba yang digunakan. Yang pasti, semua jenis Narkoba dan obat
terlarang itu menyebabkan adiksi dan gejala putus obat apabila
dihentikan pemakaiannya. Adiksi yang ditimbulkan menyebabkan si
pemakai menjadi ketagihan dan membutuhkan obat tersebut terus-
menerus. Ketergantungan ini mengganggu kesehatan fisik dan psikisnya.
Gejala putus obat (withdrawal syndrome) adalah gejala-gejala yang
timbul akibat dihentikannya pemakaian obat terlarang tersebut. Dalam
keadaan ini maka fungsi normal tubuhnya menjadi terganggu seperti
berkeringat, nyeri seluruh tubuh, demam, mual, sampai muntah. Gejala
ini akan menghilang kalau diberikan lagi obat terlarang itu. Gejala ini

4
Peraturan Perundang-undangan sekitar Narkotika & Zat Adiktif, Majalah
BERSAMA (Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama), Jakarta, 30
Agustus-September 1991, hlm. 33-36.
5
Lihat lebih lanjut UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika; UU No. 5 tahun
1997 tentang Psikotropika; Keppres No. 3 tahun 2002 tentang Minuman Beralkohol;
Keppres No. 17 tahun 2002 tentang pembentukan BNN sebagai pengganti Keppres No.
116 tahun 1999 tentang BKNN; Pernyataan Presiden RI tanggal 12 Mei tahun 2000
bahwa Narkoba sudah menjadi BENCANA NASIONAL. Data BNN RI tahun 2004,
menunjukkan bahwa 1, 5 % dari jumlah penduduk Indonesia terlibat penyalahan
Narkoba (3,2 juta orang). Data tahun 2005 menunjukkan bahwa 15 ribu orang tewas
setiap tahun akibat penyalahan Narkoba.

88
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa

semakin lama semakin bertambah gawat. Secara farmakologik, efek


yang ditimbulkan oleh obat terlarang itu dapat dikelompokkan menjadi
depresan, stimulan dan halusinogen.
Dalam kelompok depresan, obat terlarang ini akan menyebabkan
depresi (menekan) aktivitas susunan saraf pusat. Pemakai akan menjadi
tenang pada awalnya, kemudian apatis, mengantuk dan seterusnya tidak
sadar diri. Semua gerak refleks menurun, mata menjadi sayu, daya
penilaian menurun, gangguan terhadap sistem kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah). Termasuk kelompok depresan ini ialah opioid
seperti heroin, morfin dan turunannya, sedativa seperti barbiturat dan
diazepam, nitrazepam dan turunannya.
Kelompok stimulan merupakan obat terlarang yang dapat
merangsang fungsi tubuh. Pada awalnya pemakai akan merasa segar,
penuh percaya diri, kemudian berlanjut menjadi susah tidur, perilaku
hiperaktif, agresif, denyut jantung menjadi cepat, dan mudah
tersinggung. Termasuk dalam kelompok ini contohnya adalah kokain,
amfetamin, ekstasy dan kafein.
Kelompok halusinogen merupakan kelompok obat yang
menyebabkan adanya penyimpangan persepsi termasuk halusinasi
seperti mendengar suara atau melihat sesuatu. Persepsi ini menjadi
“aneh”. Termasuk dalam kelompok ini contohnya ialah LSD, meskalin,
mariyusns/ganja. Efeknya, pemakai menjadi curiga berlebihan, mata
menjadi merah dan agresif serta disorientasi.
Cara-cara pemakaian obat terlarang tersebut di atas juga sangat
bervariasi, mulai dari cara oral sampai suntikan. Menyangkut cara
penyuntikan, bahaya yang timbul adalah kemungkinan terjadinya infeksi
pada alat suntik, tertularnya radang hati (hepatitis virus B) dan
HIV/AIDS. Sedangkan cara pemakaian yang dihirup melalui hidung
dapat menyebabkan pendarahan di hidung (epistakis).6
Berdasarkan uraian di atas dapat dimengerti bahwa Narkoba
perlu dihindari karena dapat merugikan bagi diri sipemakai dan orang
lain, yaitu:7
1. Terhadap Pribadi atau Individu
- Narkoba dapat merubah kepribadian sikorban secara drastis, seperti
berubah menjadi pemurung, pemarah, bahkan melawan terhadap apa
atau siapapun.

6
Libertus Jehani & Antoro, Mencegah Terjerumus…, hlm. 6-8.
7
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Mengenal Penyalahgunaan
Narkoba: Buku 2B Untuk Orang tua dan Dewasa, (Jakarta: BNN RI, 2007), hlm. 19-
20.

89
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99

- Menimbulkan sikap masa bodoh sekalipun terhadap dirinya, seperti


tidak lagi memperhatikan pakaian, tempat di mana ia tidur dan
sebagainya.
- Semangat belajar menjadi menurun dan suatu ketika bisa saja si
korban bersikap seperti orang gila karena reaksi dari penggunaan
Narkoba tersebut.
- Tidak ragu untuk mengadakan hubungan seks secara bebas karena
pandangannya terhadap norma-norma masyarakat, hukum, agama
sudah longgar dan rapuh.
- Menjadi pemalas bahkan hidup santai.
- Tidak segan-segan menyiksa diri karena ingin menghilangkan rasa
nyeri atau menghilangkan sifat ketergantungan terhadap obat bius.
2. Terhadap keluarga
- Tidak segan-segan mencuri uang bahkan menjual barang-barang di
rumah yang bisa diuangkan.
- Tidak menjaga sopan santun di rumah bahkan melawan orang tua.
- Kurang menghargai harta milik yang ada di rumah, mengendarai
kendaraan ugal-ugalan.
- Mencemarkan nama keluarga dan keharmonisan keluarga
sirna/terganggu.
- Kerugian material (membeli dan mengobati).
3. Terhadap Masyarakat
- Berbuat tidak senonoh (mesum) dengan orang lain, yang berakibat
tidak saja bagi dirinya sendiri melainkan mendapat hukuman
masyarakat yang berkepentingan.
- Mengambil milik orang lain demi memperoleh uang untuk membeli
atau mendapatkan Narkoba.
- Mengganggu ketertiban umum seperti mengendarai kendaraan
bermotor dengan kecepatan tinggi.
- Melakukan tindakan kekerasan, baik fisik, psikis maupun seksual.
- Menimbulkan bahaya bagi ketenteraman dan keselamatan umum
yang antara lain tidak merasa menyesal apabila berbuat kesalahan.
4. Terhadap Bangsa dan Negara
- Hilangnya generasi muda (lost generation).
- Kualitas generasi menurun
- Hilangnya rasa patriotisme atau rasa cinta pada bangsa dan pada
gilirannya mudah untuk dipengaruhi oleh keprntingan-kepentingan
yang menjadi ancaman terhadap ketahanan nasional dan stabilitas
nasional.
- Negara terjajah kembali.

90
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa

Dari berbagai macam bahaya yang ditimbulkan oleh


penyalahgunaan Narkoba dapat disimpulkan bahwa perlahan tapi pasti
nasib sebuah komunitas: dari unit terkecil seperti individu dan keluarga,
sampai kepada masyarakat, bangsa dan negara akan mengalami
kehancuran dan bencana nasional yang memalukan dan memilukan,
merusak dan bahkan menghancurkan, punah dan kehilangan generasi
adalah sesuatu yang niscaya. Dampak bencana yang disebabkan oleh
penyalahgunaan Narkoba singkatnya akan merusak dan menghancurkan
tatanan sistem dalam segala aspek dan lini kehidupan bangsa. Untuk itu
penting dilakukan tindakan serius, sistematis dan padu dalam
menemukan berbagai faktor penyebab dan langkah-langkah strategis dan
konkrit untuk mengatasinya: baik tindakan preventif maupun
pengobatan (rehabilitasi).

Peranan Mahasiswa dalam Mengatasi Penyalahgunaaan Narkoba


Pada dasarnya, Narkoba boleh digunakan untuk dua hal, yaitu:
(1) Untuk kepentingan medis, misalnya operasi, dan (2) Untuk
kepentingan ilmu pengetahuan seperti eksperimen ilmiah di
laboratorium. Penggunaan Narkoba di luar dua hal tersebut dilarang oleh
Undang-undang. Apabila seseorang menggunakan Narkoba di luar itu
tergolong penyalahgunaan dan akan mendapatkan sanksi sesuai dengan
undang-undang yang berlaku.8
Menurut penulis, Upaya-upaya pencegahan yang perlu dilakukan
oleh mahasiswa Aceh terhadap penyalahgunaan Narkoba dapat
dilakukan dengan langkah-langkah nyata dan kooperatif melalui gerakan
atau jihad intelektual; baik melalui tulisan, lisan, maupun sosialisasi
pembinaan dan pendidikan anti-Narkoba. Dapat juga dilakukan dengan
aksi-aksi nyata dalam membantu dan mendukung berbagai program
kampanye anti-Narkoba yang dilakukan oleh Badan Narkotika Provinsi
Aceh. Dalam hal ini, kerja sama antara Mahasiswa Aceh (kampus-
kampus yang ada di Aceh) dan Badan Narkotika Provinsi Aceh dalam
pemberantasan penyalahgunaan Narkoba penting dilakukan. Beberapa
langkah yang perlu dilakukan antara lain adalah sebagai berikut:

1. Melakukan pembersihan dan pemeliharaan kampus “bebas Narkoba”.


Prosesi awal yang penting dilakukan oleh mahasiswa dalam hal
pemberantasan penyalahgunaan Narkoba adalah dimulai dari lingkungan
kampus terlebih dahulu sebelum beranjak ke tempat atau lingkungan

8
BNN RI, Mengenal Penyalahgunaan…, hlm. 19.

91
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99

lainnya. Setiap mahasiswa Aceh memiliki kampus masing-masing. Di


setiap kampus tentunya memiliki organisasi-oraganisasi kemahasiswaan
yang berada dalam sebuah wadah bernama Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) yang dipimpin oleh seorang Presiden Mahasiswa. Organisasi
internal kampus inilah yang memiliki peran dan tanggung jawab moral
dalam mengatur, membina dan mengorganisir sesama mahasiswa untuk
memecahkan persoalan bersama yang dihadapi oleh masyarakat
kampus. Dalam konteks pemberantasan Narkoba, organisasi internal
kampus semisal BEM bisa melakukan kerja sama dengan Badan
Narkotika Provinsi Aceh dan LSM-LSM anti-Narkoba lainnya dalam
menentukan program-program kerja dan tindakan-tindakan prioritas
“pemberantasan Narkoba” dalam skala internal kampus. Sosialisasi
internal kampus tentang penyalahgunaan Narkoba dan bahaya-bahaya
yang ditimbulkan penting dilakukan. Pendidikan anti-Narkoba juga
perlu dipersiapkan untuk internal kampus. Dari kampus inilah nantinya
dibentuk semacam tim sosialisasi atau kampanye anti-Narkoba yang
dilakukan lewat penyadaran moral, pembinaan dan pelatihan-pelatihan
anti-Narkoba terhadap masyarakat di seluruh Nanggroe Aceh
Darussalam. Karena kampus dan mahasiswanya dikenal sebagai pusat
gerakan intelektual dan pengabdian, maka cara-cara yang bersifat
intelektual penting untuk dikedepankan.

2. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba di Rumah (Keluarga)


a. Orang Tua Harus Paham Narkoba
Membangun jalinan komunikasi intens antara orang tua dan anak
merupakan alat yang paling ampuh untuk dapat mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan. Meskipun demikian, banyak orang tua merasa ragu
mendiskusikan tentang penyalahgunaan “Narkoba” dengan anak-anak
mereka. Sebagian dari kita percaya bahwa anak-anak kita tidak akan
terlibat pada hal-hal yang terlarang tersebut. Sebagian lainnya
menundanya karena tidak mengetahui bagaimana mereka harus
mengatakannya, atau justeru merasa takut untuk memikirkan tentang hal
itu dan mendorong ke arah yang tidak diinginkan.
Suatu studi di Amerika terhadap kaum muda yang mengikuti
program rehabilitasi mengatakan bahwa mereka mengkonsumsi alkohol
atau obat-obat terlarang dua tahun sebelum orang tua mereka
mengetahuinya. Artinya, orang tua selalu terlambat mengetahui apa
yang dilakukan oleh anak-anak mereka. Hal ini bisa terjadi karena
komunikasi terhambat. Dari hasil studi tersebut ada pesan menarik untuk

92
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa

orang tua yakni pentingnya menjalin komunikasi sedini mungkin dan


sesering mungkin terhadap anak.
Anak-anak menginginkan orang tua untuk berbicara kepada
mereka mengenai Narkoba. Kalau orang tua terlihat ragu-ragu atau tidak
yakin akan pendiriannya sendiri, maka anak justeru akan tergoda
mencobanya. Orang tua perlu memperkaya diri dengan pengetahuan
mengenai Narkoba dan sampaikan pengetahuan tersebut kepada anak
dengan sikap yakin dan percaya diri.

b. Orang Tua Harus Mengawasi Kegiatan Anak


Sudah banyak buku yang menyajikan bagaimana orang tua
berperan sebagai pengawas dan mitra bagi putra-putrinya. Persoalannya
sekarang adalah bagaiama hal tersebut diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Terutama berkaitan dengan peran orang tua untuk
mengembangkan karakter anak sehingga mampu menolak tekanan
kelompok sebaya untuk memakai Narkoba.
Anak perlu dibimbing untuk mencari teman sejati, yang tidak
menjerumuskan dirinya dalam hal yang merugikan atau merusak. Anak
sepatutnya diajar dan dididik untuk menolak tawaran penyalahguanaan
Narkoba (dengan argumen yang logis) dan mengetahui jadwal kegiatan
anak dan siapa saja kawan-kawannya. Orang tua sebagai pengawas
sesungguhnya menjaga anak untuk menghindari bahaya Narkoba. Orang
tua juga harus meningkatkan perannya sebagai mitra dan pengawas.
Tetaplah bangun sampai saat anak pulang pada waktu malam.
Fungsi orang tua sebenarnya juga sebagai detektor
penyalahgunaan Narkoba. Para orang tua perlu mengetahui gejala-gejala
penyalahgunaan Narkoba agar mereka dapat segera membantu. Ada tiga
gejala sekurang-kurangnya yang menunjukkan anak itu
menyalahgunakan Narkoba, yaitu: Pertama, hadirnya perlatan Narkoba,
seperti pipa rokok yang biasa dipakai untuk menghirup kokain/heroin,
kertas linting untuk ganja atau botol kecil dan pemantik (korek) gas.
Kedua, kehadiran Narkoba itu sendiri. Ketiga, adanya bau alkohol atau
Narkoba lainnya.
Tanda-tanda lain adalah perubahan perilaku dan keadaan tubuh
anak seperti, munculnya kebosanan pada hal-hal yang pada awalnya
sering dilakukan dengan senang hati. Menurunnya prestasi di sekolah,
menjadi mudah tersinggung, malas, mengantuk, berat badan menurun
dan suka memakai baju lengan panjang untuk menyembunyikan bekas
suntikan pada lengan.

93
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99

c. Orang Tua Menjadi Pendidik Utama Anak


Orang tua merupakan panutan dalam kehidupan anak. Segala hal
yang dikatakan dan dilakukan orang tua sehubungan dengan Narkoba
akan memengaruhi sikap dan keputusan yang akan mereka ambil
mengenai Narkoba. Dalam hal ini memang keteladanan menjadi sangat
penting. Dalam penerapan peraturan di rumah, misalnya, harus berlaku
bagi setiap anggota keluarga. Bila orang tua menghendaki anak tidak
merokok, maka sebaiknya orang tua pun jangan merokok. Selain itu,
orang tua harus jujur dan mengakui kelemahan-kelemahannya kepada
anak tanpa harus merasa takut kehilangan wibawanya. Aturan yang
dibuat oleh orang tua harus konsisten, kontinyu dan konsekuen.
Pertimbangkan pendapat anggota keluarga secara umum. Aturan yang
telah ditetapkan, harus dilaksanakan oleh seluruh anggota keluarga tidak
terkecuali bagi orang tua yang telah membuat aturan.
Peran keluarga dalam mencegah penyalahgunaan Narkoba
sangat penting. Lebih baik mencegah dari pada mengobati. Narkoba
adalah obat, bahan, zat bukan makanan, yang jika diminum, dihisap,
dihirup, ditelan atau disuntikkan, berpengaruh terutama pada kerja otak
(susunan syaraf pusat) dan seringkali menyebabkan ketergantungan.

d. Orang Tua Harus Mendorong Anak Percaya Diri


Remaja yang menyalahgunakan Narkoba memiliki citra diri yang
rendah/negatif. Remaja dengan citra diri positif lebih mudah menolak
tawaran Narkoba. Orang tua membantu peningkatan percaya diri anak
antara lain, pertama, dengan memberi pujian dan dorongan untuk hal-
hal kecil atau sepele yang dilakukannya. Kedua, membantu anak
mencapai tujuannya secara realistik. Anak perlu diarahkan keinginan
dan cita-citanya sesuai dengan kemampuan dan kenyataan. Hindari
berkhayal, koreksi tindakannya, bukan pribadi atau harga dirinya.
Ketiga, memberi anak tanggung jawab yang dapat membangun
kepercayaan dirinya, sesuai dengan kemampuan dirinya. Tugas yang
diberikan kepada anak harus dikerjakannya setiap hari di rumah, seperti
membersihkan kamar tidur, menyapu ruangan, mencuci pakaian, piring
dan seterusnya.

e. Mengembangkan Nilai Positif Anak


Sejak dini anak harus dididik untuk mampu membedakan yang
baik dan buruk, yang benar dan yang salah. Hal itu memungkinkan anak
berani mengambil keputusan atas dorongan hati nuraninya, bukan
karena tekanan atau bujukan teman. Tunjukkan sikap tulus, jujur tidak

94
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa

munafik, terbuka, mau mengakui kesalahan, meminta maaf, serta tekad


orang tua untuk memperbaiki diri.

f. Mengatasi Konflik dalam Keluarga


Jangan biarkan konflik suami-isteri berlarut-larut, sebab anak
dapat merasakan suasana ketegangan orang tua. Jangan bertengkar atau
berdebat di depan anak. Jika perlu, minta pertolongan/konsultasi tenaga
profesi/ahli, atau orang yang dapat dipercaya. Ciptakan suasana damai
antara suami-isteri. Berikan contoh yang baik kepada anak. Beberapa
cara bagaimana orang tua menunjukkan contoh-contoh yang baik dan
sehat kepada anak: a). Berhati-hati tentang kebiasaan penggunaan obat
setiap badan sakit atau setiap ada masalah; 2). Memelihara dan
memperhatikan kesehatan melalui makanan yang bergizi dan olah raga
yang tertaur; 3). Menjelaskan kapan sebaiknya obat itu digunakan dan
tidak digunakan.

g. Menjadi Sahabat Anak-anak


Orang tua harus berperan menjadi teladan atau role model dalam
budaya anti-narkoba, anti kekerasan dan disiplin diri. Namun menjadi
orang tua yang juga sekaligus sahabat mampu menjadikan anak merasa
dekat dan nyaman. Orang tua seyogyanya menjadi teman diskusi dan
pendengar yang bai terhadap masalah yang dihadapi anak. Anak diajak
untuk berdialog secara terbuka dan mendalam, tentunya di saat yang
tepat. Perhatikan ekspresi wajah dan tingkah lakunya, jagalah
kerahasiaan anak serta emosi orang tua. Orang tua harus menjadi tempat
bertanya, mengikuti perkembangan anak dan permasalahannya sehingga
dapat memberikan penjelasan bila anak bertanyan, termasuk masalah
Narkoba. Teman-teman anak harus dikenali dan diajak berkomunikasi.
Bila putra-putri kita membawa teman ke rumah, bergabunglah dengan
mereka meskipun sejenak, tanpa mempermalukan anak di depan teman-
temannya. Kebiasaan ini akan membuat anak maupun teman-temannya
menjadi akrab dengan orang tua dan menganggap orang tua sebagai
bagian dari kelompok mereka. Orang tua harus mendukung kegiatan
anak di sekolah, berolah raga, menyalurkan hobi, bermain musik, dan
sebagainya, tanpa menuntut prestasi dan harus menang. Libatkan diri
dalam kegiatan anak. Anak menghargai saat orang tua melibatkan diri
dalam kegiatan mereka, tanpa terlalu banyak ikut campur dalam
keputusan yang diambil anak.

95
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99

3. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba di Tempat Kerja


Pencegahan berbasis tempat kerja dapat diwujudkan dengan:
a. melaksanakan kampanye anti penyalahgunaan Narkoba bagi
karyawan perusahaan,
b. melaksanakan diklat bagi staf di perusahaan dan instansi-instansi
yang ada,
c. pemerintah juga perlu memotivasi pelaku usaha agar
melaksanakan kampanye anti Narkoba di perusahaan,
d. Membangun kerja sama dengan perusahaan dalam melaksanakan
pencegahan di tempat kerja

4. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba di Sekolah


Berdasarkan hasil riset, jaringan pengedaran Narkoba memiliki
sistem yang sangat rapi dan padu sehingga sulit diberantas. Sebagai
contoh, yang menjadi target utama pengedaran Narkoba di sekolah
biasanya adalah siswa “smart”, pandai bergaul, dan disegani teman-
temannya. Tempat-tempat transaksi yang biasa digunakan adalah di
WC sekolah, warung-warung kecil di sekitar sekolah, tempat parkir,
dan rumah kos. Sering terungkap pula bahwa para pengedar terdiri
dari kalangan siswa, juru parkir, satpam, tukang rokok, pedagang
makanan/minuman, alumni, dan bandar yang sengaja mangkal di
tempat parkir.
Oleh karena itu, pengedaran Narkoba di sekolah harus dilawan
dengan memakai sistem dan koordinasi yang baik dari berbagai
komponen. Adapun sekolah dapat membuat sistem melalui pendidikan,
penerapan aturan dan tata tertib yang tegas dan kondusif, membentuk
jaringan antinarkoba di lingkungan sekolah, serta melaksanakan
koordinasi dengan masyarakat, sekitar sekolah, LSM, dan aparat
kepolisian. Dari berbagai survey, dapat diketahui bahwa korban
Narkoba banyak yang pada awalnya tidak mengetahui akan bahayanya.
Oleh karena itu, pendidikan tentang pemahaman dan bahaya Narkoba
sangat penting.
Jaringan antinarkoba di sekolah perlu dibentuk sebagai tanda
bahwa sekolah sangat serius dalam menangani Narkoba. Salah satu
caranya adalah dengan memfungsikan komponen-komponen penting
yang ada di sekolah, seperti bagian kesiswaan, guru bimbingan dan
konseling, wali kelas, guru mata pelajaran terkait, OSIS, perwakilan
kelas, dan unsur-unsur penting yang strategis lainnya. Unsur luar yang

96
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa

dapat dikoordinasikan dengan jaringan ini adalah orang tua siswa,


alumni, masyarakat sekitar sekolah, LSM, medis dan kepolisian.9
Selain itu, koordinasi sekolah dengan LSM dan kepolisian tidak
hanya dilakukan pada awal-awal tahun pelajaran atau bila ada kasus
muncul. Hal ini perlu dilaksanakan secara berkala dengan harapan
memberikan warning bahwa mereka selalu diperhatikan. Sekolah harus
membuka diri untuk berkoordinasi dengan pihak kepolisian.
Di samping itu, peran aktif guru sangat menentukan untuk
menjaga dan menghindarkan seorang anak terjebak dalam pemakaian
narkoba, yakni dengan cara mengadakan pendekatan dari hati ke hati.
Pendidikan budi pekerti sepertinya perlu dihidupkan kembali guna
membina dan mengasah moral dan mental anak-anak.10

5. Peran Media Massa Dalam Pencegahan Narkoba


Media cetak dan dunia pertelevisian mempunyai peran penting
untuk terlibat dalam upaya pencegahan bahaya Narkoba. Karena pesan
yang disampaikan media setiap harinya akan memberikan daya ingat
yang cepat kepada remaja khusus anak di bawah umur yang rentan
terkena bahaya tersebut.
Pengiklanan pun memiliki tanggung jawab atas kebenaran
informasi tentang produk yang diiklankan. Termasuk ikut memberikan
arah, batasan, dan masukan pada pembuat iklan agar tidak terjadi janji
yang berlebihan atas kemampuan nyata sesuatu produk. Seberapa jauh
tanggung jawab pengiklan pada pesan-pesan iklan yang melanggar etika
akibat kesalahan informasi yang diberikan kepada perusahaan
periklanannya? Hal ini juga menjadi masalah serius.
Pola-pola kerja sama yang perlu dilakukan dengan media massa
dalam mensosialisasikan kampanye anti-narkoba antara lain: (1)
melakukan kampanye anti penyalahgunaan Narkoba melalui media

9
Kontribusi keluarga atau orang tua siswa dalam penanggulangan Narkoba
adalah dengan meluangkan waktu untuk memonitor setiap aktivitas anaknya. Orang tua
siswa harus sering berkonsultasi dengan sekolah walaupun tidak ada hal-hal yang
mengkhawatirkan. Anak-anak perlu diajak dialog untuk mengetahui pola pikir dan
problem yang sesungguhnya mereka hadapi. Kamar tidur dan tas sekolah mereka perlu
juga diperiksa secara berkala. Tempat mangkal yang sering mereka gunakan perlu
mendapat pantauan serius dari pihak orang tua.
10
Pihak sekolah, dalam hal ini para guru, sebenarnya belum semua
mendapatkan informasi yang lengkap tentang Narkoba. Oleh karena itu, perlu ada
pelatihan bagi para guru. Kalau tidak begitu, mereka bisa dibohongi oleh murid. Bisa
saja, anak menyebut “bong” (semacam pipa untuk menghisap uap narkotik) sebagai
prakarya atau Narkoba berbentuk “pil” dibilang obat sakit perut.

97
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:85-99

cetak dan elektronik; (2) mengadakan diklat bagi wartawan khusus


wartawan yang menangani masalah Narkoba; (3) membuat press release
tentang isu-isu penting seputar permasalahan Narkoba; (4)
melaksanakan press conference menyikapi masalah-masalah urgen
tentang permasalah Narkoba; (5) melakukan kerja sama dengan
wartawan agar melakukan kontrol hukum terhadap kasus-kasus
Narkoba.

PENUTUP
Akhirnya, dapat dimengerti dan disimpulkan bahwa Narkoba
dengan beragam jenis dan modelnya, bukan hanya merusak dan
meghancurkan masa depan seseorang atau sekelompok orang semata,
melainkan berimbas dan menular pada kehancuran suatu masyarakat,
bahkan generasi bangsa. Peredaran dan daya penyebarannya memakai
strategi dan jaringan kerja yang rapi, canggih, dan profesional. Untuk
mengatasi fenomena tersebut, di mana Narkoba bukan hanya merupakan
masalah nasional, tetapi juga sebenarnya telah menjadi “musuh” dan
“bencana” internasional, maka dibutuhkan usaha-usaha kolektif dan
terpadu, dari berbagai komponen bangsa Indonesia; baik mahasiswa,
pemerintah maupun masyarakat–bekerjasama dengan warga dunia
lainnya–untuk saling bantu-membantu dalam menyelamatkan generasi
bangsa dari serangan sistemik sindikat peredaran Narkoba yang semakin
marak belakangan ini.
Berbagai upaya startegis, sistematis dan tepat sasaran juga patut
dilakukan dari setiap lingkungan kampus di Nanggroe Aceh
Darussalam, di mana peran, tindakan nyata, dan tanggung jawab
mahasiswa Aceh sangat dibutuhkan konstribusinya–dalam rangka
penyelamatan generasi muda Aceh dari serbuan penyakit dan bencana
mematikan ini–yang bernama “hantu” Narkoba!. Perang terhadap
bandar dan pengedar Narkoba mutlak diprioritaskan, tidak hanya oleh
aparat penegak hukum, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam upaya
pemberantasannya. Upaya-upaya preventif dan kuratif pun juga penting
diaktualisasikan secara seimbang dan komprehensif. Sekurang-
kurangnya, marilah kita mulai, (ibdak binafsik!)

98
Rusnaidi,
Peranan Kampus&Mahasiswa

DAFTAR BACAAN

Global Initiative on the provention of Drug in South East Asian


Countries. makalah yang dipresentasikan oleh Delegasi Yayasan
Bersama Indonesia sebagai LSM yang bergerak dalam
penanggulangan bahaya Narkotika. Seminar IFNGO di Chiang
Mai, 14-18 Maret 1996.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Mengenal
Penyalahgunaan Narkoba Buku 2A Untuk Remaja/Anak Muda,
(Jakarta: BNN RI, 2007).
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Mengenal
Penyalahgunaan Narkoba: Buku 2B Untuk Orang tua dan
Dewasa, (Jakarta: BNN RI, 2007).
Keppres No. 17 tahun 2002 tentang pembentukan BNN sebagai
pengganti Keppres No. 116 tahun 1999 tentang BKNN.
Keppres No. 3 tahun 2002 tentang Minuman Beralkohol.
Libertus Jehani & Antoro dkk (ed.), Mencegah Terjerumus Narkoba,
(Tangerang: Visi Media, 2006).
Peraturan Perundang-undangan sekitar Narkotika & Zat Adiktif,
Majalah BERSAMA (Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan
Warga Tama), Jakarta, 30 Agustus-September 1991.
Pernyataan Presiden RI tanggal 12 Mei tahun 2000 bahwa Narkoba
sudah menjadi BENCANA NASIONAL.
UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika.

99
Saidi,
Narkoba dalam Pandangan Syariat Islam

NARKOBA MENURUT PANDANGAN SYARIAT ISLAM

oleh
Saidi
Dosen Fatar Unmuha, Banda Aceh

PENDAHULUAN
“Satu-satunya jalan agar tidak terjerumus narkoba adalah
jangan mencoba menggunakan narkoba. Yang Terbaik dalam hidup
akan hilang karena narkoba. Hidup pasti akan berakhir tetapi jangan
akhiri hidupmu dengan narkoba!” Demikian salah satu pesan dan
peringatan yang pernah penulis baca dan dengar di seputar informasi
tentang narkoba dan dampak yang ditimbulkannya. Intinya adalah,
“jangan bermain api” dengan narkoba. Cepat atau lambat narkoba akan
melumpuhkan dan memusnahkan kehidupan seorang anak manusia
dengan penderitaan dan kesengsaraan yang panjang, bukan hanya
seorang atau dua orang yang dirugikan oleh narkoba, tetapi juga dan
bahkan masa depan generasi bangsa bisa rusak dan hancur akibat
penyalahgunaan narkoba.
Kendatipun narkoba pada awalnya dikonsumsi manusia sebagai
obat dan digunakan sebagai objek penelitian di bidang ilmu
pengetahuan, namun karena kesalahan dalam penggunaannya bisa
menjadi penyakit menular yang sangat berbahaya, dan dapat menyebar
cepat melalui pergaulan, terutama di kalangan ramaja. Penyalahgunaan
narkoba merupakan masalah dan penyakit yang dapat mematikan
kreatifitas dan kesehatan kehidupan generasi muda, oleh karana itu,
bukan hanya di Indonesia, tetapi semua negara di dunia memaklumkan
perang terhadap penyalahgunaan narkoba dengan segala bencana yang
ditimbulkannya. Fakta dan data menunjukkan bahwa baik secara
kualitas maupun kuantitas narkoba secara cepat selalu mengorbankan
generasi muda.
Masalah narkotika dan obat-obatan terlarang seperti ganja,
morfin, putaw dan jenis lainnya merupakan masalah besar yang dihadapi
bangsa. Di kalangan generasi muda dan masyarakat tertentu telah
dirasuki dan bahkan dapat dikategorikan sebagai pecandu yang sulit
disembuhkan. Tindakan preventif yang harus dilakukan untuk
menghindari terjerumus dan ketergantungan generasi muda terhadap
obat-obat terlarang tersebut. Salah satunya adalah dengan pendekatan
agama. Mengenai status hukum penyalahgunaan narkoba dalam

100
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

berbagai jenisnya, apakah ia termasuk kepada yang dilarang agama atau


bukan? Tulisan ini akan mengkaji persoalan narkoba dari sudut pandang
syariat Islam.

PEMBAHASAN
Definisi dan Gejala Ketergantungan Narkoba
Narkoba adalah singkatan dari “Narkotika dan Obat-obat
terlarang,”dari pengertian tersebut dapat dipisahkan antara narkotika dan
obat-obat terlarang. Narkotika diartikan sebagai bahan-bahan pembius
atau obat-obat bius. Sedangkan obat-obat terlarang banyak jenisnya,
antara satu dan lainnya, punya pengaruh berbeda terhadap keadaan fisik
maupun mental seseorang. Istilah lain yang tidak kalah populernya
adalah “NAZA”, yaitu singakatan dari Narkotika, Alkohol, dan Zat
Adiktif lainnya.1
Jenis-jenis obat (drug atau farmakon) didefinisikan oleh WHO
sebagai “semua zat yang bila dimasukkan ke dalam tubuh suatu
makhluk, akan mengubah atau mempengaruhi satu atau lebih fungsi
kesadaran dan tingkah laku makhluk tersebut”. Dalam masalah
ketergantungan obat, biasanya yang dimaksud dengan obat ialah: zat
dengan efek yang besar terhadap susunan syaraf pusat atau fungsi
mental, seperti obat psikotropik, termasuk obat psikotomimetik
(psikedelik) dan stimulansia, morfin dan derivatnya serta obat tidur.
“Opioid” ialah semua zat, asli atau sintetik, yang mempunyai efek
seperti morfin. Sedangkan narkotika sebenarnya secara farmakologik
berarti obat-obat yang menekan susunan syaraf pusat, terutama opioid;
tetapi sebagian ahli memasukkan juga tranguilaizer, neroleptika, dan
hipnotika ke dalam kelompok narkotika. Menurut peraturan di
Indonesia, dalam narkotika termasuk juga kokain dan psikotomimetika
(ganja).
Opioid Opioid yang terkenal dengan opium, morfin, heroin,
kodein, dan petidin. Efek satu dosis tunggal morfin atau opioid yang lain
ternyata tergantung pada pengalaman individu dengan obat tersebut
sebelumnya, pada kepribadiannya, adanya atau tidak adanya rasa nyeri
serta tergantung pula pada keadaan dan suasana pemakaian.
Semua jenis narkoba (Naza) tersebut diproduk dalam dua bentuk
kemasan; Pertama, diproduk khusus untuk kepentingan “obat-obatan”
dan bisa dipakai dengan resep dokter. Kedua, dikemas khusus untuk
kepentingan “bisnis”, dalam bentuk kedua ini baik proses produksinya,
1
WF. Maramis, Ilmu Kedokteran Jiwa, (Surabaya: Airlangga University Press,
1988).

101
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

proses pemasarannya, maupun yang mengkonsumsinya tetap sifatnya


ilegal. Pada dasarnya narkoba adalah obat yang sangat dibutuhkan di
dunia kedokteran, tanpa adanya jenis-jenis obat tersebut, penyakit-
penyakit tertentu ada yang tidak bisa ditolong, tetapi penyalahgunaannya
itu yang menjadi masalah utama.
Sasaran utama narkoba adalah remaja, hanya sebagian kecil yang
bukan dari kelompok mereka. Menurut hasil dari suatu penelitian bahwa
64% pecandu narkoba berasal berasal dari mereka yang usia rata-rata
antara 16-18 tahun. Pertanyaannya, mengapa usia remaja menjadi
sasaran empuk dari pengedar dan pecandu Narkoba? Ditinjau dari ilmu
psikologi, usia remaja mempunyai beberapa ciri khas tertentu, yaitu: (1)
Masa remaja sebagai periode penting; (2) Masa remaja sebagai periode
peralihan; (3) Masa remaja sebagai periode perubahan; (4) Masa remaja
sebagai usia bermasalah; (5) Masa remaja sebagai masa mencari
identitas; (6) Masa remaja sebagai usia yang menakutkan; (7) Masa
remaja sebagai masa yang tidak realistis; dan 8. Masa remaja sebagai
ambang masa dewasa.2
Pada tahun 2000 saja, sekitar 70% dari 4 juta pecandu narkoba
tercatat sebagai anak usia sekolah, berusia antara 14 hingga 20 tahun.
Ketua National Drug Abuse Prevention Center (NDPC), Jesse Monintjo
(ketika itu), mengungkapkan fakta baru ini berdasarkan temuan Tim
Pokja (Kelompok Kerja) Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba yang
dibentuk oleh Direktorat Pembinaan Kesiswaan Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas). Bila temuan itu benar, berarti penderita narkoba
mengalami peningkatan sekitar 100% dalam kurun waktu empat bulan
terakhir. Data di Depdiknas terakhir pada bulan November 1999
menyatakan sekitar 2 juta siswa tersangkut urusan narkoba. Dari skala
umur telah terjadi pergeseran yang mencolok dan mengejutkan bahwa
anak sekolah menjadi konsumen terbesar narkoba. Depdiknas
mensinyalir pecandu narkoba banyak dari kalangan usia 15-27 tahun,
sedangkan jumlah total anak sekolah di Indonesia di Indonesia (dari SD
sampai perguruan tinggi/PT) tercatat sekitar 45 juta siswa.3
Sementara itu, Direktur RS Marzuki Mahdi – dr. Amir Hussein
Anwar (pada saat itu) – mengatakan bahwa ada 500 ribu pengguna
narkoba jarum suntik di Indonesia terkena HIV positif. Dalam 4 hingga

2
Hurlock, EB, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1997).
3
Koesmarwanti dan Nugroho Widiyanto, Dakwah Sekolah di Era Baru,
(Karangasem: Intermedia, 2002), hal. 40-41.

102
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

5 tahun mendatang, mereka bakal mengidap AIDS baru.4 Bayangkan


saja, bila sejak tahun 2000 hingga sekarang tahun 2009 antisipasi
terhadap narkoba tidak maksimal tentu saja prosentase korban narkoba
secara nasional bisa membludak lebih besar dan gawat lagi.
Fenomena “gunung es” yang luar biasa ini, tidak lagi hanya
menyinggung masalah moral, tetapi sudah mengarah pada upaya
menghancurkan generasi pemimpin bangsa. Data yang terkumpul
selama ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan, kalangan
mahasiswa, intelektual dan artis menduduki peringkat pertama dalam hal
pengedaran dan pemakaian narkoba. Bahkan, sekarang sindikat narkoba
sudah memperluas jaringan hingga anak-anak sekolah dasar dan
menengah.
Adapun gejala-gejala yang muncul jika seseorang kecanduan
(ketergantungan) narkoba antara lain:5
(1) Fisik
- Berat badan turun drastis
- Mata cekung dan merah, muka pucat dan bibir kehitam-hitaman
- Tangan penuh dengan bintik-bntik merah, seperti bekas gigitan
nyamuk dan ada tanda bekas luka sayatan. Goresan dan
perubahan warna kulit di tempat bekas suntikan
- Buang air besar dan kecil kurang lancar
- Sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas
(2) Emosi
- sangat sensitif dan cepat bosan
- Bila ditegur atau dimarahi dia menunjukkan sikap membangkang
- Emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul orang atau
berbicara kasar kepada anggota keluarga atau orang lain di
sekitarnya
- Nafsu makan tidak menentu
(3) Perilaku
- Malas dan sering melupakan tanggung jawab dan tugas-tugas
rutinnya
- Menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga
- Sering bertemu dengan orang yang tidak dikenal keluarga, pergi
tanpa pamit dan pulang lewat tengah malam
- Suka mencuri uang di rumah, sekolah ataupun tempat pekerjaan
dan menggadaikan barang-barang berharga di rumah

4
Republika, 23 Maret 2002.
5
Visimedia, Mencegah Terjerumus Narkoba, (Tangerang: Agromedia
Pustaka, 2006), hal. 11-13.

103
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

- Selalu kehabisan uang


- Waktunya di rumah kerap kali dihabiskan di kamar tidur, kloset,
gudang, ruang yang gelap, kamar mandi/tempat-tempat sepi
lainnya
- Takut akan air, jika terkena akan terasa sakit – karena itu mereka
jadi malas mandi
- Sering batuk-batuk dan pilek yang berkepanjangan, biasanya
terjadi pada saat gejala “putus zat”
- Sikapnya cenderung menjadi manipulatif dan tiba-tiba tampak
manis bila ada maunya, seperti saat membutuhkan uang saat beli
obat
- Sering berbohong dan ingkar janji dengan berbagai macam
alasan
- Sering menguap
- Mengeluarkan air mata berlebihan
- Mengeluarkan keringat berlebihan
- Sering mengalami mimpi buruk
- Mengalami nyeri di kepala
- Mengalami nyeri/ngilu sendi-sendi.
Semua orang pada prinsipnya ingin hidup lebih baik dan ingin
segera keluar dari masalah yang dihadapinya. Dalam hati seorang
pecandu sekalipun, ada niat juga untuk berhenti mengkonsumsi narkoba.
Ia ingin berhenti karena terdorong oleh rasa bersalah baik kepada orang
tua, saudara, kenalan, dan lingkungan sekitarnya. Ia juga punya
kerinduan seperti orang lainnya, bisa belajar atau bekerja. Namun,
lazimnya para pecandu narkoba tidak berdaya karena syarafnya sudah
terikat oleh zat adiktif. Tekad bulat dan tindakan nyata “stop narkoba”
dari dalam diri sendiri merupakan modal awal setiap pecandu untuk bisa
keluar dari jeratan dan belenggu ‘bencana’ narkoba.
Secara umum, dalam dunia kedokteran dikenal tiga tingkatan
dalam memberikan terhadap pasien narkoba, yaitu preventif, kuratif dan
rehabilitasi. Bantuan semacam ini cocok untuk mereka yang kecanduan
narkoba. Pertama, preventif/promosi kesehatan. Mencegah diri dari
suatu penyakit jauh lebih bijak dibandingkan mengobati setelah sakit.
Dengan cara seperti ini dapat mengurangi modal dan resiko. Rasulullah
bersabda: “Pencegahan pangkal dari segala pengobatan” (Hadis).
“Prevention is better than cure”, petuah ini sudah sangat dikenal oleh
ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu kedokteran. Cara semacam ini
sangat mudah karena tidak punya efek samping, baik secara fisik
maupun psikologis. Padahal Islam sangat menganjurkan umatnya untuk

104
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

mencari jalan termudah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.


Tindakan preventif atau mencegah narkoba ini, tidak hanya dengan
pendidikan kesehatan, bisa dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk
promosi, tetapi juga bisa dalam bentuk ancaman berat bagi si pelaku.
Sebenarnya bukan hukuman berat ini yang harus ditonjolkan tetapi
bagaimana cara, agar orang takut dan sadar serta tidak mau memulai
perbuatan tersebut.
Kedua, kuratif/pengobatan. Bila suatu penyakit dalam bentuk
fisik/biologis, tentu saja pengobatannya melalui berbagai macam cara
baik dalam bentuk obat, maupun operasi atau kalau perlu diamputasi.
Lain halnya dengan kecanduan narkoba, kepada mereka diberikan obat
dan dilanjutkan dengan terapi medis, dan tidak jarang si penderita baru
sembuh setelah diterapi dengan terapi spiritual. Artinya, ada usaha untuk
mengembalikan mereka ke jalan yang benar, dengan berbagai macam
cara persuasif dan bijaksana sehingga mereka secara sukarela bersedia
meninggalkan perbuatan keji tersebut. Allah berfirman dalam Alquran
surat al-Nahl ayat 125: “Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan
hikmah, pendidikan yang baik dan berdiskusilah dengan mereka secara
baik…”. Dalam Alquran surat Ali Imran Allah juga berfirman, ”Maka
karena rahmat Allah, engkau (Muhammad) dapat bertindak lemah
lembut kepada mereka, dan jika engkau berlaku kasar dan keras hati
maka mereka akan melarikan diri daripadamu. Maka maafkanlah
mereka, dan minta ampun atas dosa mereka….” Metode dan pendekatan
yang ditonjolkan dalam dua ayat di atas, adalah cara-cara yang
mengandung kelembutan dan kesejukan sehingga diharapkan mereka
yang sudah terlanjur menjadi tergugah hatinya, dan secara
sadar/sukarela kembali ke jalan yang benar.
Ketiga, rehabilitasi. Bagi orang yang sudah sembuh dari penyakit
diusahakan agar bertambah sehat; kepada mereka diberikan berbagai
latihan yang sifatnya mengarah kepada pencegahan supaya tidak
terulang kembali. Demikian halnya bagi mereka yang terlibat narkoba,
bila telah bertobat, diusahakan agar keluarga dan masyarakat dapat
menerima dan melibatkan mereka dalam berbagai aktivitas sosial, tanpa
membangkitkan masa lalunya yang penuh dengan kemesuman. Dengan
cara tersebut mereka tidak merasa terasing dan bisa hidup secara wajar
dan normal di dalam masyarakat.

Narkoba dalam Pandangan Syariat Islam


Syariat Islam adalah seperangkat peraturan berdaarkan wahyu
Allah dan Sunnah Rasulullah Saw. tentang tingkah laku manusia

105
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua
yang beragama Islam.6 Ahmad Zaki Yamani7 berpendapat bahwa
pengertian syariat Islam itu terbagi menjadi dua bidang, yaitu pengertian
dalam bidang yang luas dan pengertian dalam bidang yang khusus atau
sempit. Pengertian syariat Islam dalam bidang yang luas meliputi semua
hukum yang telah disusun dengan teratur oleh para ahli fiqih dalam
pendapat fiqihnya mengenai persoalan di masa mereka, atau mereka
perkirakan akan terjadi kemudian dengan mengambil dalil langsung dari
Alquran dan Hadis atau sumber hukum yang lain, seperti qiyas, ijma’,
istihsan, istishlah dan mashlahah mursalah. Sedangkan dalam
pengertian sempit, syariat Islam itu terbatas pada hukum-hukum yang
berdalilkan pasti dan tegas, tertera dalam Alquran, Hadis yang shahih
dan ditetapkan dengan ijma’.
Syariat Islam mengandung tiga dimensi, yaitu pertama, dimensi
akidah, yaitu mencakup hukum-hukum yang berhubungan dengan zat
Allah swt, sifat-sifat-Nya, iman kepada-Nya, kepada utusan-Nya, hari
kiamat dan hal-hal yang mencakup dalam ilmu kalam. Kedua, dimendi
moral, yaitu membahas secara spesifik tentang etika, pendidikan dan
pembersihan jiwa, budi pekerti yang harus dimiliki oleh seseorang dan
sifat-sifat buruk yang harus dihindari seseorang. Ketiga, dimensi hukum,
yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia seperti ibadah, muamalah,
hukuman, dan sebagainya yang termasuk dalam kajian ilmu fiqih. Dari
ketiga dimensi ini dapat diketahui bahwa syariah dapat dibedakan antara
syariah sebagai ajaran yang datang langsung dari Allah dengan undang-
undang hasil pemikiran manusia yang disebut dengan fiqih.8
Lalu pertanyaannya, bagaimana pandangan Islam terhadap
narkoba? Pada dasarnya, narkoba bukan hanya musuh Islam, namun
sudah diakui sebagai bahaya dan bencana bagi setiap masyarakat dunia
secara umum, karena melalui banyak penelitian ditemukan bahwa,
terdapat hubungan yang bermakna antara pecandu narkoba dengan
berbagai perilaku kriminal. Di dalam Alquran dan Hadis memang tidak
ditemukan istilah narkoba, yang ditemui adalah dalil sekitar khamar atau
yang memabukkan. Narkoba dan khamar berbeda dari segi bahasa,

6
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 26.
7
Ahmad Zaki Yamani, Syariat Yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, terj.
KMS Agustjik, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1978), hal. 14-15.
8
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia: Tinjauan dari Aspek
Metodologis, Legislasi, dan Yurisprudensi, (Jakarta: RajaGraffindo Persada, 2007),
hal. 42-43.

106
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

tetapi di antara keduanya memiliki kesamaan illat (alasan logis/sebab)


yang dampaknya yaitu–sama-sama memabukkan, karena mabuk
seseorang bisa bertindak kriminal, menuduh, menyerang, merusak,
membunuh dan sebagainya di luar batas kesadaran normalnya. Dalam
konteks ini, khamar dan narkoba dilihat kesamaan illatnya melalui
metode qiyas.
Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90-91: “Hai orang-
orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib adalah keji dari
perbuatan syetan; maka jauhilah semoga kamu mendapat
keberuntungan. Hanya sesungguhnya syetan itu bermaksud untuk
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu disebabkan
(meminum )khamar dan berjudi itu; dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan dari mengerjakan salat, maka tidakkah kamu
berhenti.”
Sementara dalam Hadis Nabi saw. dinyatakan: “Setiap yang
memabukkan adalah khamar dan setiap khamar hukumnya haram.”
Dari kedua dalil hukum tersebut, secara tegas dan jelas dinyatakan
bahwa khamar, sebagaimana juga berjudi, berhala dan bertenung adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan syetan. Oleh karena itu, Allah
memerintahkan untuk menjauhinya. Tentang apa itu khamar dijelaskan
dalam hadis Nabi yaitu segala sesuatu yang mengganggu dan
mempengaruhi fungsi akal, baik dalam bentuk cairan atau suatu benda
padat; dimasukkan ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, isapan
ataupun suntikan; dalam kenyataan sehari-hari waktu ini dikelompokkan
pada narkotika dan obat-obat terlarang serta minuman beralkohol.
Setiap pekerjaan keji (dosa) yang digambarkan dalam Islam di
atas, selalu berkonotasi negatif, baik bagi si pelaku, keluarga maupun
masyarakatnya. Dari hasil penelitian Dadang Hawari, membuktikan
bahwa penyalahgunaan narkoba menimbulkan dampak antara lain,
“merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar,
ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk,
perubahan perilaku menjadi anti sosial, kekerasan lainnya baik
kuantitatif maupun kualitatif.” Permasalahan penyalahgunaan Naza
(Narkoba) mempunyai dimensi yang luas dan kompleks; baik dari sudut
medik, psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psikososial (ekonomi, politik,
sosial budaya, kriminalitas dan lain sebagainya).9

9
Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).

107
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

Dengan demikian, bahaya narkoba itu sifatnya holistik


(menyeluruh), tidak hanya mengganggu kesehatan jasmani bagi si
pelaku, tetapi juga kesehatan rohaninya dan bahkan bisa merusak
kesehatan sosial kemasyarakatan.
Syariat Islam menolak narkoba dan minuman beralkohol yang
tersimpul dalam nama khamar sebagaimana tergambar dalam bentuk
larangan yang tercantum dalam ayat dan hadis di atas ada tujuh alasan.
Ketujuh alasan adalah: (1) Disejajarkannya khamar dengan berhala dan
tenung, dua perbuatan yang sangat bertentangan dengan akidah Islam;
(2) Dinyatakannya sebagai sesuatu yang keji yang harus dijauhi; (3)
Dinyatakannya sebagai salah satu bentuk perbuatan syetan dan
merupakan musuh agama; (4) Dilarang dengan tegas dan disuruh
menjauhinya; (5) Dinyatakan sebagai pemicu permusuhan dan
kebencian; (6) Dinyatakan sebagai penghambat mengingat Allah dan
shalat yang seharusnya tidak boleh dilalaikan seseorang; dan (7)
Ditantangnya orang yang belum mau menghentikannya.
Adapun alasan pelarangannya adalah sebagai berikut:
(1) Khamar dan Narkoba adalah sesuatu yang keji dan kotor dalam
pandangan agama, baik dalam bentuk zat maupun dalam bentuk
sifat;
(2) Khamar dan Narkoba merupakan perbuatan syetan yang akan
membawa manusia ke arah kerusakan dan kehancuran;
(3) Khamar dan Narkoba membawa dampak negatif yang besar;
baik terhadap kehidupan individual, keluarga, juga kehidupan
sosial dalam bentuk menimbulkan permusuhan dan kebencian
sesama umat; terhadap kehidupan beragama dalam bentuk
menghadang kesempatan mengingat Allah dan melakukan shalat.
Secara hukum perbuatan di atas adalah haram. Hukum ini berlaku
untuk yang mengkonsumsinya, menanam dan mengadakan bahan
bakunya, memproduksinya, mengedarkannya, memperjualbelikan,
ikut membawanya dan menyaksikan transaksinya. Sedangkan
sebagai sanksi hukumannya adalah dera atau pukulan dengan
cambuk sebanyak 40 kali terhadap pelaku.
Tujuan Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum seseungguhnya
adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Kehadiran syariat Islam
di muka bumi adalah untuk kebaikan manusia dan alam semesta. Segala
sesuatu yang membawa manfaat dan memuliakan harkat dan fitrah
manusia didukung oleh syariat Islam meskipun tidak secara langsung
tercatat dalam Alquran dan Hadis. Sebaliknya, segala sesuatu yang
direkayasa, diolah dan diproduksi oleh manusia dan itu membawa

108
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

mudharat dan mafsadat akan ditolak dan ditentang oleh syariat Islam.
Dalam hal ini, narkoba membawa dampak yang luar biasa dalam
merusak dan menghancurkan masa depan manusia dan khususnya umat
Islam, atas dasar itu syariat Islam secara tegas dan jelas mendukung
untuk memerangi musuh bersama umat manusia ini.
Suatu kenyataan yang tidak mungkin dibantah adalah bahwa apa
yang disebut narkoba telah berada di tengah kita dan merasuk ke tengah
masyarakat, termasuk masyarakat dalam lingkungan yang selama ini
dikenal kuat adat dan taat beragama. Dengan demikian dapat diduga
bahwa yang telah terjerumus dalam penyakit masyarakat khusus ini
sebagian besar adalah umat Islam yang secara hukum Islam kepadanya
telah berlaku larangan sebagaimana disebutkan di atas.
Orang Islam yang secara hukum telah terkena kewajiban dalam
melaksanakan syariat Islam tetapi ternyata tidak menjalankan syariat
Islam itu dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, antara lain:
(1) Mereka tidak melaksanakan hukum karena mereka tidak
mengetahui sama sekali bahwa yang dikonsumsinya itu
termasuk pada apa yang selama ini diketahui keharamannya atau
dalam arti ia tidak tahu tentang keharaman narkoba itu.
(2) Mereka memang telah mengetahui keharamannya sebagaimana
yang berlaku terhadap khamar yang selama ini ia yakini
keharamannya, namun mereka tidak mengindahkan hukum dan
sanksi agama itu.
Ketidak patuhan umat dalam bentuk yang pertama dapat
disebabkan oleh kurangnya penyiaran dan penyuluhan agama yang
berkenaan dengan bentuk-bentuk tindak kejahatan atau perbuatan
maksiat. Kalau memang alasannya adalah seperti ini, berati bahwa
petugas agama, ulama dan muballigh belum menjalankan tugasnya
secara baik, sehingga banyak sasaran yang terlewatkan. Kekurangan
dalam hal ini masih mudah mengatasinya, antara lain dengan
mengintensifkan penyuluhan agama secara merata di tengah masyarakat.
Pelanggaran dalam bentuk kedua rasanya disebabkan oleh begitu
rendahnya tingkat keimanan umat sehingga mereka tidak begitu yakin
akan kebenaran agama dan oleh karenanya tidak begitu takut akan
ancaman dan sanksi agama. Pelanggaran ajaran agama dalam bentuk ini
lebih serius, karena ia telah tahu namun melanggar; bila dibandingkan
dengan yang pertama yang disebabkan pelanggaran itu disebabkan oleh
ketidaktahuannya.
Bertitik tolak dari teori bahwa kejahatan itu timbul ketika niat
dan kesempatan ada. Maka pelanggaran dalam bentuk kedua di atas

109
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

akan berarti ajaran agamanya tidak mampu lagi menghilangkan niat


berbuat jahat itu. Pertanyaan selanjutnya ialah apakah menghilangkan
niat itu hanya semata tugas agama? Selama ini memang diperkirakan
demikian, namun harus pula diketahui bahwa menyadarkan umat akan
keburukan dan keharusan menjauhinya bukanlah semata tugas agama,
meskipun tugas agama dalam hal ini adalah dominan. Dalam hal ini,
peranan orang tua, sekolah, pemerintah, lembaga-lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan masyarakat itu sendiri juga sanagat menentukan.
Katakanlah dalam hal menghilangkan niat, masyarakat, termasuk
ulama mengalami kegagalan; namun kalau pihak yang satu lagi, yaitu
kesempatan melakukan kejahatan, dapat terlaksana secara baik dengan
arti kesempatan berbuat buruk dapat diperkecil atau dihilangkan,
setidaknya kejahatan itu akan berkurang, kalau tidak hilang sama sekali.
Pertanyaan selanjutnya adalah: “Apakah usaha menutup kesempatan
berbuat jahat itu” telah terlaksana dengan baik? Siapa yang harus
berbuat dalam hal ini. Selama ini dikenal usaha menutup kesempatan itu
adalah tugasnya penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim); baik melalui
tindakan preventif maupun represif. Oleh karena itu, masyarakat sering
menuding pihak penegak hukum bila terjadi suatu kejahatan. Memang
secara fungsional penegak hukum bertugas untuk itu. Namun, bukan
berarti yang lain dapat berlepas tangan. Ini adalah tugas banyak pihak;
yaitu mulai dari orang tua, para pendidik di sekolah, lingkungan
pergaulan, masyarakat dan pemerintah.
Pada dasarnya pemerintah di mana pun tidak menginginkan
generasi mudanya rusak dan hancur karena narkoba. Akan tetapi,
kesalahan dalam menetapkan kebijaksanaan yang membuat mereka
kecolongan, dalam pembinaan generasi mudanya, sehingga tidak sedikit
para remaja terlibat narkoba. Undang-undang yang berat saja tidak
cukup bagi mereka yang terlibat narkoba, kalau tidak didukung dengan
proses pelaksanaan pengadilan yang betul-betul serius, tegas dan adil,
tidak pilih kasih serta tidak memanfaatkan unsur KKN.
Suatu kenyataan bahwa narkoba adalah sebagai salah satu
penyakit masyarakat yang cukup membahayakan generasi kita
mendatang. Kita tidak akan menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini,
karena yang demikian tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu
dievaluasi kembali diri masing-masing atas kelalaian kita selama ini dan
selanjutnya secara sadar, optimis dan terarah untuk berbuat lebih baik.
Ulama dan pemuka agama harus meningkatkan peranannya dalam
membina dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat secara

110
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

umum; penting menjelaskan ajaran agama tentang narkoba secara


khusus, tentang hukum, dosa dan bahayanya bagi jasmani dan rohani.
Orang tua merupakan orang yang paling dekat dan bertanggung
jawab terhadap anak-anaknya perlu menjelaskan narkoba;10 bahaya dan
kerusakannya serta menyuruh menjauhinya. Selanjutnya meningkatkan
pengawasan terhadap anak-anaknya untuk tidak terlibat dengan narkoba.
Demikian pula para pendidik di sekolah diminta berpartisipasi aktif
dalam pemberantasan narkoba, maupun pengawasan secara ketat
menghindari keterlibatan anak didiknya dalam narkoba.11 Demikian pula
diharapkan partisipasi aktif dari masyarakat. Pemerintah bertanggung
jawab dalam pencegahan narkoba melalui peraturan perundang-
undangan yang membatasi dan menutup kemungkinan terjadinya
peredaran narkoba di daerahnya; serta peningkatan pengawasan atas
jalannya peraturan tersebut. Para penegak hukum diharapkan bekerja
keras mengawasi dan mencegah peredaran narkoba tersebut dan
menyelesaikan secara hukum pihak-pihak yang terlibat dengan tidak
pandang bulu. Hukum harus ditegakkan secara serius demi tegaknya
supremasi hukum. Pemberantasan narkoba adalah tugas semua
komponen masyarakat. Di samping itu, masing-masing pihak harus
sama-sama bekerja menghadapinya menurut cara masing-masing, juga
harus bekerja sama dan secara bersama-sama menghadapi dan
menyelesaikannya.

10
Keluarga sebagai pendidik utama dan pertama yang diterima anak dengan
segala daya upaya mereka mempersiapkan anaknya agar berhasil melewati masa
remaja yang penuh dengan berbagai cobaan. Ada beberapa persyaratan untuk
mewujudkan cita-cita tersebut, yaitu: 1. mengisi batin anak-anaknya dengan
penanaman iman, pembinaan amal dan akhlakul karimah. 2. menjaga keserasian
hubungan suami isteri, sehingga tidak terjadi pertengkaran di depan anak-anak, hal ini
dapat menyebabkan anak stres, cemas, kacau dan gelisah, pada akhirnya kepribadian
anak terganggu. 3. komunikasi timbal balik antara anak, anak dan anggota keluarga
secara terbuka, sopan dan harmonis. Si anak tidak segan-segan membicarakan
permasalahannya kepada orang tua, sehingga mereka betah di rumah dan tidak lari
mencari teman yang mau mendengar berbagai keluhan mereka.
11
Fungsi sekolah bukan hanya mengisi kognisi anak-anak dengan bebagai
macam ilmu pengetahuan semata, peran iman, sangat menonjol dalam mempersiapkan
generasi muda. sebaiknya semua guru bisa menghubungkan setiap keterangan dari
bidang studi yang dajarkan dengan iman dan amal shalih, agar semua ilmu
pengetahuan yang diperoleh anak tidak kering dari nilai-nilai spiritual. Di samping itu,
afeksi dan kognisi serta psikomotor anak tidak kalah pentingnya untuk mendapatkan
perhatian dan pembinaan dari guru, sehingga mereka tidak mudah terjerumus ke dunia
fantasi lewat kebahagiaan semu, termasuk narkoba.

111
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

PENUTUP
Penyalahgunaan narkoba adalah suatu kejahatan yang
membidani lahirnya bencana individual, sosial dan bahkan bangsa dan
negara–yang dampak buruknya dapat melumpuhkan dan
menghancurkan sebuah generasi bangsa. Penyalahgunaan narkoba
merupakan suatu benih kejahatan, jika benih inidibiarkan tumbuh dalam
suatu masyarakat, cepat atau lambat akan tumbuhlah cabang-cabangnya
yang lain dalam berbagai bentuk kriminal seperti, copet, pencurian,
perjudian, pergaulan bebas, perkelahian dan seterusnya. Dengan
demikian, ketenangan dan ketenteraman masyarakat pasti akan
terganggu. Karena akibat penyalahgunaan narkoba itu demikian
kompleks, maka seyogyanya semua pihak bertanggung jawab, kerja
sama, bantu-membantu dalam menanggulanginya, baik dalam bentuk
preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Dalam mengatasi problema
narkoba tersebut sebaiknya semua pihak selalu memperhatikan berbagai
pesan Islam yang terkandung dalam Alquran dan Hadis–dengan cara
merubah sikap dan perilaku mereka yang terlibat narkoba melalui
pendekatan akal sehat, menerima secara sukarela dan senang hati, sesuai
dengan ciri khas kejiwaan yang Islami, tidak dipaksakan. Cara-cara
tersebut selalu disesuaikan dengan prinsip-prinsip persuasif, motivatif,
konsultatif dan edukatif.
Kehadiran syariat Islam di muka bumi bukan untuk
menyusahkan dan membebani manusia dengan penderitaan, tetapi
bertujuan untuk memanusiakan harkat, martabat dan meninggikan
derajat manusia itu sendiri, memuliakan dan memudahkan segala urusan
manusia sesuai petunjuk syariat. Salah satu tujuan utama syariat Islam
adalah membawa kemaslahatan bagi manusia, di mana ada maslahat di
situ ada hukum Allah, umat Islam diserukan agar mampu memberikan
dan mengambil manfaat yang sebanyak-banyaknya dalam kehidupan ini
dan begitu pun sebaliknya, berupaya keras untuk menolak, menjauhi dan
menghindari berbagai kejahatan, kekejian, dan perbuatan dosa yang
merugikan diri dan lingkungannya.
Diharamkannya penyalahgunaan narkoba dalam pandangan
syariat Islam bukan tanpa alasan dan pertimbangan yang matang, kalau
narkoba itu digunakan pada jalurnya untuk kepentingan medis dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang manfaatnya banyak bagi
kemaslahatan manusia, jelas Islam mendukungnya, tetapi justeru yang
terjadi dalam fenomena yang berulangkali disaksikan, penyalahgunaan
narkoba sudah menjalar mudharat dan mafsadahnya bukan hanya
bersifat individual, tetapi juga berimbas pada kerusakan sosial dan

112
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:100-113

bahkan sebuah generasi bangsa. Dengan penyalahgunaan narkoba


generasi bangsa yang hari ini dipersiapkan untuk masa depan menjadi
hilang dan mengalami “penyakit kronis” akibat ketergantungannya
dengan narkoba, secara ekonomi dan moral, pelan tapi pasti, narkoba
dalam berbagai manifestasinya bisa membangkrutkan kualitas dan
kuantitas “terbaik” generasi bangsa di masa mendatang. “Mari bersama-
sama kita perangi narkoba dan memberikan solusi terbaik bagi
kemaslahatan umat!”

DAFTAR BACAAN

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia: Tinjauan dari


Aspek Metodologis, Legislasi, dan Yurisprudensi, (Jakarta:
RajaGraffindo Persada, 2007).
Ahmad Zaki Yamani, Syariat Yang Kekal dan Persoalan Masa Kini,
terj. KMS Agustjik, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1978).
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum
Islam Kontemporer, (Jakarta: Ciputat Press, 2005).
Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).
EB. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1997).
Koesmarwanti dan Nugroho Widiyanto, Dakwah Sekolah di Era Baru,
(Karangasem: Intermedia, 2002).
Visimedia, Mencegah Terjerumus Narkoba, (Tangerang: Agromedia
Pustaka, 2006).
WF. Maramis, Ilmu Kedokteran Jiwa, (Surabaya: Airlangga University
Press, 1988).

113
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

KEDUDUKAN SYARIAT ISLAM


DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)
DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

oleh
Mohammad Irham
Dosen Akfis Unmuha, Banda Aceh

PENDAHULUAN
Pada era reformasi, Pemerintah Republik Indonesia memberikan
kembali kewenangan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(selanjutnya disebut NAD) untuk melaksanakan syariat Islam.
Pemberian tersebut dikokohkan dengan payung hukum berupa UU RI
Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh
dan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Sebagai
Provinsi NAD.1
Pemberian kewenangan dalam kedua peraturan tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan langkah legalisasi (taqnin) syariat
Islam2 yang hasilnya disebut qanun3. Meskipun langkah legalisasi

1
Pemberian izin pelaksanaan syariat Islam kepada Aceh sebenarnya sudah
pernah diberikan melalui berbagai peraturan dalam sejarah perjalanan Aceh. Di
antaranya, Surat Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 Tahun 1947 yang memberi
izin kepada residen Aceh membentuk Mahkamah Syar’iyyah dengan kewenangan
penuh, meskipun hanya dalam bidang kekeluargaan saja. Peraturan lainnya. PP Nomor
29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Mahkamah Syar’iyyah. Di seluruh Aceh berikut
susunan dan kewenangannya. Demikian juga keputusan Perda Menteri RI Nomor
1/Missi/1959 yang mengganti Aceh dengan sebutan makna pemberian”Daerah
Istimewa Aceh.” Sebutan ini mengandung makna pemberian “Otonomi yang seluas-
luasnya, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan dan pendidikan.” Namun
demikian, pemberian kewenangan atau kesempatan pelaksanaan syariat Islam tersebut
dapat dikatakan sebagai “Isapan Jempol” yang tidak pernah terealisasikan dengan baik.
Keadaan seperti ini berjalan terus sampai akhirnya lahir UU Nomor 44/1999 dan UU
Nomor 18/2001. Untuk mengetahui sejarah berbagai peraturan tentang keistimewaan
untuk melaksanakan syariat Islam kepada Aceh, lihat misalnya Al Yasa Abubakar,
“Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan Prospeknya),” dalam Safwan Idris
(et.al.), Syariat di Wilayah Syariat (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam dan YUA, 2002),
hal. 26-51.
2
Taqnin menurut etimologi adalah legistilation, law making, codification
(pembuatan peraturan/undang-undang, legislasi). Hans Wehr, A Dictionary of Modern
114
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

syariat Islam masih diperdebatkan, baik dari kalangan pemikir muslim,4


maupun non-Muslim,5 namun tidak dapat disangkal bahwa legalisasi

Writen Arabic, J. Milton Cowan (ed.), (Wesbaden: Otto Harrassowitz, 1971), hal. 791.
Sedangkan menurut terminonologi adalah upaya mengkompilasikan kaidah-kaidah
peraturan yang berkaitan dengan hukum-hukum tertentu dalam sebuah bentuk kitab
tertulis, atau dalam satu bentuk legislasi dengan melalui suatu kekuasaan tertentu. Abd
al-Hamid Mutawalli, Azmah al-Fikr al-Islamy fi al-‘Asr al-Hadith (T.tp: al-Hay’ah al-
Misriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1985), hal. 22
3
Taqnin menurut etimologi berarti rule, statude, code (peraturan, undang-
undang). Hans Wehr. A Dictionary, hal. 791. Sedangkan menurut terminologi adalah
sekumpulan kaedah yang disusun untuk mengatur urusan manusia dalam hubungan
kemasyarakatan. Kaidah tersebut harus ditaati, dihormati, dan diterapkan anggota
masyarakat, serta bagi penegak hukum dapat memaksa manusia untuk menghormati
dan menegakkan hukum tersebut. Muhammad al-Ghazali (et.al), Nizam Itsbatt al-
Da’wa wa Adillatuh fi al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun (Iskandariyyah: Dar al-Da’wah,
1996), Cet. I, hal. 28. Sedangkan pengertian Qanun di NAD akan diuraikan pada
pembahasan di belakang.
4
Pendukung legislasi memandang bahwa pelegislasian syariat Islam akan
menciptakan ketertiban hukum, mencegah kesewenang-wenangan, dan menjaga
terpengaruhinya hak dan keadilan, serta memudahkan untuk dijadikan rujukan dalam
proses peradilan. Sementara penentang legislasi syariat Islam berpendapat, bahwa
langkah tersebut dianggap membuat hukum baru yang tidak digali dari sumber al-
Kitab, al-Sunnah, dan fiqh Islami pada umumnya. Dengan demikian, legislasi itu
menyerupai hukum-hukum positif yang dipraktekkan di peradilan negara-negara
sekuler. Di antara pendukung legislasi adalah Abd a-Rahman al-Qasim. Sedangkan
penentangnya adalah al-Syaikh al-Shalihi dan al-Syaikh Abdullah al-Bassam. Polemik
tersebut menurut Ahmad Muhammad Jamal hanya bersifat lafzy (kebahasaan) semata.
Karenanya, dia menawarkan pengganti istilah taqnin al-syariah dengan Taqrib al-
syariah. Lihat Ahmad Muhammad Jamal, Qadaya Mu’asiroh fi Mahkamah al-Fikr al-
Islami (Kairo: Dar al-Sahwah, 1986), Cet. II, hal. 33-35. Menurut hemat penulis,
pengalihan istilah tersebut tidaklah mengubah esensinya. Karena istilah taqnin al-
syariah dan taqrib al-syariah merupakan upaya mewujudkan syariat Islam dalam
bentuk peraturan resmi yang dibuat kekuasaan.
5
Kritik dari pemikir luar Islam terhadap legislasi syariat Islam di antaranya
dilontarkan orientalis Joseph Schacht dalam artikelnya “Problems of Modern Islamic
Legislation.” Menurutnya, hukum Islam tradisional itu lebih sebagai doktrin dan
metode daripada sebagai kitab hukum (code). Secara alamiah pun, hukum Islam itu
tidak cocok untuk dilegislasikan karena akan mendistorsinya. Problema ini telah
dijawab dengan baik oleh orientalis lain, Ann Elizabeth Mayer. Menurutnya, perlu
dirumuskan kembali teori sumber hukum Islam (Theories of sources of Islamic law)
dalam khazanah ushul fiqh, dengan melihatnya dalam perspektif tingkatan sumber
hukum (hierarchy of sources of law) yang terdapat dalam sistem hukum modern.
Berdasarkan hal tersebut, pengakuan juris (fuqaha) sebagai pemegang otoritas hukum
Islam, harus diganti dengan menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai pengganti
kedudukannya. Di samping itu, fiqh yang selama ini didudukkan sebagai sumber utama
(primary source of law) diturunkan derajatnya menjadi sumber sekunder (secondary
source). Uraian lengkap analisis Mayer tersebut dapat dilihat dalam artikelnya “The
115
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

merupakan salah satu ciri periode modern perkembangan hukum Islam


(fiqh).6 Pada periode inilah terjadi gerakan-gerakan baru di dunia Islam7
untuk menerapkan syariat sebagai ganti hukum positif, atau untuk

Shari’ah: A Metdhodology or a Body of Substantive Rules? Dalam, Nicholhas Heer


(ed.), Islamic Law and Jurisprudence (Seattle University of Washington Press, 1990),
hal. 177-198.
6
Term hukum Islam (fiqh) dapat diidentikkan dengan syariat Islam dalam
terminologi khusus, yakni syariat dalam makna sempit. Karena syariat luas mencakup
hukum keyakinan, etika, dan ‘amali (fiqh). Lihat Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-
Muqarran (Kairo: Dar al-Ta’lif, 1957), hal. 8; Muhammad al-Ghazali, Hadha Dinuna
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1997), Cet. I, hal. 205. Padahal, term fiqh itu pada masa
awal sejarah Islam mempunyai cakupan pengertian yang luas kemudian hanya terbatas
pada literatur hukum saja. Lihat, Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic
Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1994), hal. 1-10. Secara umum
mayoritas pemikir membedakan syariat dengan fiqh. Pertama, cakupan syariat lebih
luas daripada fiqh, sehingga fiqh merupakan salah satu bagian dari syariat, kedua,
syariat bersumber dari Allah, sehingga mempunyai nilai kebenaran mutlak, sedang fiqh
yang berasal dari pemikir fuqaha’, sehingga kebenarannya hanya relatif. Ketiga, syariat
bersifat universal, sedangkan fiqh hanya bersifat lokal – temporal. Dalam perjalanan
sejarah, sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam; yaitu: kitab-
kitab fiqh, fatwa ulama’, keputusan pengadilan Agama, dan peraturan perundangan di
negeri muslim. Lihat, M. Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara
Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Tititan Ilahi Press, 1998), hal. 91; Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 31-33; Marshall
G. S Hodgson hanya menyebutkan 3 (tiga) macam: fiqh, fatwa, dan qada’. Lihat dalam
bukunya. The Venture of Islam the Classical Age. Vol 1 (Chicago: The University of
Chicago Press, 1974), hal. 338. Pemikiran Hodgson tersebut dielaborasi oleh Nur
Ahmad Fadhil Lubis dengan menambahkan 2 (dua) bentuk lainnya; yakni Qanun
(Legal decision) dan Siyasah (Ruler’s statutes). Lihat dalam bukunya A History of
Islamic Law in Indonesia (Medan: IAIN Press, 2000), hal. 19.
7
Di antara bidang syariat Islam yang telah banyak dilegislasikan di dunia
Islam adalah tentang hukum keluarga. Di beberapa negara Islam, bidang hukum ini
telah banyak dilakukan pembaharuan. Lihat selanjutnya penelitian yang dilakukan
Tahir Mahmood dalam dua bukunya. Personal Law in Islamic Countries History, Text,
and Comporative Analysis (New Delhi: The Academy of Law and Relligion, 1987),
dan Family Law Reform in the Muslim World (New Delhi: the Indian Law Institute,
1972). Dari judul kedua buku tersebut, tampaknya Tahir Mahmood menyamakan
istilah Islamic countries (negara Islam) dengan Muslim World (Dunia Islam). Hal ini
kemungkinan dikarenakan adanya perkembangan makna dar Islam; apakah didasarkan
atas dijadikannya hukum Islam sebagai konstitusi negara, ataukah atas dasar sekedar
berjalannya hukum Islam di negara tersebut, ataukah berdasarkan jumlah mayoritas
penduduknya yang muslim.
116
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

menyelaraskan hukum positif agar sejalan dengan hukum syariat dengan


mengadopsi berbagai pemikiran madzhab dalam bentuk legislasi.8

PEMBAHASAN
Sistem Hukum Nasional
Hukum nasional adalah cerminan dari norma-norma moral
masyarakat yang diangkat menjadi norma-norma hokum sehingga
mengikat seluruh warga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Banyak teori yang dikemukakan tentang transformasi norma-norma
moral menjadi norma-norma hukum ini. Pertanyaan yang perlu dijawab
adalah: Apakah bangsa Indonesia sudah mempunyai sebuah hukum
nasional?
Dilihat dari kenyataan normatif yang ada (das sollen), maka
Indonesia memang mempunyai sebuah hukum nasional yang terdiri dari
UUD, Undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku
dalam wilayah Negara Republik Indonesia, tetapi dari segi kenyataan
alamiah (das Sein) apakah norma-norma hukum tersebut betul-betul
jalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih merupakan
persoalan besar. Masalah lainnya, hukum yang kita pandang nasional
tidak melambangkan satu kesatuan dilihat dari sejarah, asal-usul dan
filsafatnya.
Sewaktu Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
bulan Agustus 1945 satu-satunya hukum nasional yang kita miliki
adalah UUD 1945 yang disusun dalam masa relatif pendek, dan karena
itu memiliki berbagai kelemahan, sehingga pada era reformasi konstitusi
Indonesia telah tiga kali mengalami amandemen dan untuk masa
mendatang akan disempurnakan secara terus-menerus. Sementara itu,
sumber hukum yang lebih rendah berupa undang-undang, peraturan-
peraturan, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan lain-lain masih
mewarisi apa yang ditinggalkan oleh kaum kolonial. Pemerintah
kolonial juga mewariskan apa yang mereka pandang sebagai hukum
adat, di samping pengakuannya terhadap hukum Islam sebagai perdata
khusus yang berlaku bagi umat Islam. Dengan demikian, para ahli
hokum kita pada umumnya mengatakan bahwa hukum nasional
Indonesia sekarang ini bersumber atau mencerminkan tiga sistem

8
Legalisasi hukum pertama kali adalah lahirnya Majallah al-Ahkam al-
Adliyyah, pada tahun 1293 H/1876 M pada akhir masa Turki Utsmani, Abd al-Madjid
Abd al-Hamid, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Maghrib: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1994), hal.
322-323.
117
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

hukum: Barat, Adat dan Islam.9 Ketiga sistem hukum inilah yang sedang
bertarung atau berlebur untuk membentuk suatu hokum nasional yang
lebih berciri Indonesia di masa depan.
Dari ketiga sistem hukum ini, maka hukum Islam mempunyai
peluang besar untuk mengisi hukum nasional karena beberapa
pertimbangan. Pertama, bila kita dapat sepakat dengan adat yang
mempunyai implikasi hukum, maka hukum adat di samping klaim yang
sering mengatakannya sebagai hukum yang berciri Indonesia, ia lebih
bersifat kesukuan (ethnicity), kecuali adat yang benar yang merupakan
sumber komplementer hukum Islam. Oleh karena itu, hukum adat yang
tidak mencerminkan keadilan, kemanusiaan dan kebersamaan berpotensi
untuk sektarianisme dan disintegrasi bangsa, dan dari hari ke hari
cenderung ditinggalkan masyarakat seiring dengan berkembangnya arus
migrasi, akulturasi dan modernisasi di seluruh wilayah Indonesia.
Kedua, Hukum Barat sebagai hukum asing menggambarkan
sejarah dan norma-norma bangsa Eropa yang belum tentu sejalan
dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Selain itu, hukum Barat
zaman kolonial dirancang sebagai bagian dari politik kolonial untuk
mempertahankan kekuasaan asing di bumi nusantara. Dengan
meningkatnya semangat kebangsaan di masa depan, maka hukum yang
berasal dari Barat akan diterima dengan sangat selektif, hanya bila itu
sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma bangsa Indonesia.
Ketiga, Hukum Islam mencerminkan norma-norma bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, seperti diakui Daniel S. Lev,
sebelum nusantara dipersatukan oleh sebuah Pemerintah Kolonial
Belanda, hukum Islam telah lebih dahulu menyatukan mayoritas rakyat
Indonesia.10 Segi lain yang memantapkan hukum Islam adalah sifat
diyani yang dikandungnya di samping sifat qadai 11 karena berasal dari
hukum agama yang tidak hanya mengikat manusia sebagai makhluk
sosial, tetapi lebih-lebih lagi karena berhubungan dengan keyakinan
kepada Tuhan Yang Maha Tinggi bahwa kebaikan akan dibalas dengan
kebaikan dan keburukan akan dibahas dengan keburukan, baik di dunia

9
Abdul Gani Abdullah, PengantarKompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal. 15-16.
10
Daniel S. Lev, terj. Nirwono dan A.E. Priyono, Hukum dan Politik di
Indonesia (Jakarta: LP3S, 1990), hal. 121-122.
11
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi,
1999), hal. 60-62.
118
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

maupun di akhirat. Ini merupakan sebuah kenyataan bahwa hukum


Islam telah menjadi hukum positif Indonesia.

Definisi Syariat Islam Versi Qanun Aceh


Kewenangan pelaksanaan syariat Islam yang diberikan oleh
Pemerintah RI kepada Pemerintah NAD adalah syariat dalam arti yang
luas,12 yakni tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan (pasal
1 ayat [10] UU Nomor 44 Tahun 1999). Pengertian syariat semacam ini,
kemudian diikuti dalam peraturan-peraturan di NAD.13 Namun,
pemilahan bidang-bidang syariat Islam yang luas tersebut berbeda-
beda.14
12
Syariat Islam dalam makna luas mencakup seluruh aspek kehidupan umat
manusia. Namun dalam pembagian bidang-bidangnya para pemikir berbeda pendapat.
Ada pemikir yang membaginya menjadi 2 (dua) bidang besar, ‘aqidah dan syari’ah.
Pembagian ini di antaranya dikemukakan oleh Mahmud Saltut dalam bukunya, al-
Islam ‘Aqidah was Syari’ah (Kuwait: Dar al-Qalam, 1996). Pendapat lain memaknai
syariat Islam secara luas mencakup 3 (tiga) bidang besar: al-‘I’tiqadiyyah (keimanan),
al-Khuluqiyyah (etika), dan al-Ahkam al-‘Amallyyah (hukum-hukum perbuatan).
Sedangkan syariat Islam dalam arti sempit hanya dibatasi pada bidang-bidang hukum
perbuatan yang disebut fiqh. Lihat misalnya Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-
Muqarran (Kairo: Dar al-Ta’lif, 1957), hal. 8. Jika syariat Islam dalam arti sempit
hanya dibatasi pada fiqih, maka term fiqh pada masa awal sejarah Islam justru
mempunyai cakupan pengertian yang luas. Namun dalam perkembangan mengalami
pergeseran makna sehingga akhirnya hanya terbatas pada literatur hukum saja. Lihat
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic
Research Institute, 1994), hal. 1-10. Meskipun dalam sejarah telah terjadi pergeseran
makna syariat dan fiqh, namun secara umum mayoritas pemikir hukum Islam
membedakan syariat dengan fiqh. Pertama, cakupan syariat lebih luas daripada fiqh,
sehingga fiqh merupakan salah satu bagian dari syariat. Kedua, syariat bersumber dari
Allah sehingga mempunyai nilai kebenaran mutlak, sedang fiqh berasal dari pemikiran
fuqaha sehingga kebenarannya hanya relatif. Ketiga, syariat bersifat universal,
sedangkan fiqh hanya bersifat lokal – temporal.
13
Lihat misalnya, Pasal 1ayat (6) Perda Nomor 5 Tahun 2000; Pasal 1 ayat
(1) Qanun Nomor 10 Tahun 2002; dan Pasal 1 ayat (6) Qanun Nomor 11 Tahun 2002.
14
Dalam Pasal 1 ayat (6), Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam disebutkan bahwa pelaksanaan syariat Islam itu meliputi 13 (tiga belas)
bidang, yaitu: aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah
atau amar ma’ruf dan nahi munkar, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam,
pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat, dan mawaris. Dalam penjelasan umum
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan bidang aqidah, ibadah, dan syiar
Islam dijelaskan bahwa syariat secara umum meliputi bidang aqidah, ibadah,
muamalah, dan akhlak. Sementara bidang-bidang syariat Islam dalam Qanun Nomor
10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dibedakan menjadi tiga macam; ahwal
syakhsiyyah, mu’amalah, dan jinayah (Pasal 49 Qanun Nomor 10/2002). Meskipun
dalam penjelasan umum, point angka 4 disebutkan, bahwa bidang hukum yang menjadi
119
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

Pengaturan Pemerintah NAD terhadap seluruh bidang syariat


tersebut mencakup juga bidang aqidah dan syiar Islam, yang diatur
dalam qanun Nomor 11 Tahun 2002. Dalam qanun ini diatur mulai dari
bentuknya sampai sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Pengaturan
bidang-bidang syariat dalam qanun di NAD tersebut merupakan bentuk
campur tangan pemerintah terhadap urusan keagamaan umat.15
Sebagaimana uraian terdahulu, syariat Islam dalam pandangan
qanun NAD merupakan tuntunan ajaran Islam yang meliputi seluruh
aspek kehidupan (pasal 1 ayat [6] Perda Nomor 5 Tahun 2000, Pasal 11
Tahun 2002).16
Definisi syariat Islam dalam makna yang luas sebagaimana
dimaksudkan dalam beberapa peraturan di NAD tersebut mengandung
makna, bahwa seluruh bidang syariat Islam yang sangat luas
cakupannya akan diatur dalam sebuah qanun. Ini berarti, pemerintah
NAD akan ikut mengurusi seluruh bidang syariat Islam. Langkah
semacam ini mirip dengan pemikiran ‘Ali Jarisyah yang berpendapat
bahwa kekuasaan (baca: penguasa) dalam Islam itu harus mengurus
seluruh aspek ajaran Islam.17 Upaya taqnin di NAD tersebut didasarkan

kompetensi Mahkamah Syari’ah sebagai Peradilan Islam tersebut hanya merupakan


pembagian secara garis besar, sedangkan rinciannya akan diatur dalam Qanun
tersendiri. Pemilihan bidang syariat Islam tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi
dalam klasifikasinya.
15
Sampai saat ini, bidang-bidang syariat Islam yang telah diatur dalam Qanun
adalah bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam (Qanun Nomor 11 Tahun 2002), masalah
minuman Khamr dan sejenisnya (Qanun Nomor 12 Tahun 2003), masalah maisir/
perjudian (Qanun Nomr 13 Tahun 2003) dan masalah Khalwat / Mesum (Qanun
Nomor 14 Tahun 2003).
16
Dengan keluarnya UU Nomor 18 Tahun 2001 seluruh Perda yang ada
termasuk Perda Nomor 5 ini dinyatakan sebagai Qanun (Pasal 30 UU Nomor 18/2001).
17
Menurut Jarisyah, ajaran Islam itu meliputi 4 (empat) bidang, ‘aqidah,
akhlak, sya’air (syiar-syiar), dan al-ahkam al-amalyyah (hukum-hukum praktis).
Keempat bidang tersebut harus ditegakkan oleh penguasa dan hal inilah yang menjadi
pondasi berdirinya bangunan Islam. Uraian lebih lanjut, lihat ‘Al Jarisyah, Ushul al-
Syariyah Madmunuha wa Khasisuha, (Kairo: Dar Gharib, 1979), Cet. I, hal. 36-60.
Pemikiran senada juga dikemukakan al-Bayati. Menurutnya di antara tugas kekuasaan
legeslatif adalah melakukan legislasi, dimana Qanun yang dihasilkan itu meliputi
seluruh bidang hukum syara’ yang terbagi menjadi bidang ibadah, muamalah, dan
uqubat. Bidang muamalat. Bidang muamalat dan uqubat inilah yang mencakup semua
bidang yang termasuk dalam Qanun ‘Am (hukum publik) dan Qanun Khas (hukum
privat) dengan segala bentuk cabang-cabangnya. Munir Hamid al-Bayati, al-Dawlah
al-Qanuniyyah Muqarranah (Baghdad al-Dar al-Arabiyyah, 1979), hal. 238-239.
120
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

atas filosofi bahwa pelaksanaan syariat akan ditaati masyarakat


manakala ditegakkan dengan sanksi. Sanksi ini ada dua: sanksi ukhrawi
yang akan diterima di akhirat kelak, dan sanksi duniawi yang akan
diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Di sini penegakan hukum menuntut peranan negara. hukum
tidak berarti apa-apa bila tidak ditegakkan oleh negara.18
Syariat Islam sebagia institusi yang hidup memang meliputi
setiap aspek kehidupan manusia; keimanan, ritual, dan etika. Karena
sifat alamiahnya yang beraneka ragam itulah, negara tidak dengan
mudah dapat mengintervensi atau mengaturnya. Hal ini disebabkan
hubungan antara hukum Islam dengan masyarakat bersifat progresif dan
sangat kompleks, sehingga hubungan semacam ini sangat penting untuk
dipertimbangkan.19

Tinjauan Beberapa Qanun Aceh dalam Sistem Hukum Nasional:


Sebuah Catatan Kritis

Sepanjang tahun 2002 hingga akhir 2003, DPRD Provinsi NAD


berhasil menetapkan sejumlah qanun yang kemudian diundangkan
dalam tahun-tahun tersebut. Berikut ini adalah tinjauan atas beberapa
qanun Provinsi NAD yang bertalian dengan upaya penerapan syariat
Islam di daerah itu.
1. Qanun No. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam
Qanun ini20merupakan upaya untuk mengejawantahkan salah
satu kekhususan Aceh, yang diatur secara umum dalam pasal 1 ayat 7,
pasal 25-26 UU No. 18/2001. Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
tersebut, misalnya kewenangan Mahkamah Syariyyah… didasarkan atas
syariat Islam dalam sistem hukum nasional, tidak begitu jelas menunjuk
kepada kewenangan Mahkamah Syariyyah dalam mengadili masalah
ahwal al-syakhsiah, muamalah dan jinayah – dalam penjelasan UU

18
Campur tangan negara yang terwujud dalam bentuk peraturan tertulis
merupakan salah satu sumber Qanun (al-Masadir al-rasmiyyah). Sumber inilah yang
menjadikannya daya ikat dan daya paksa. Sedangkan sumber Qanun yang lain adalah
sumber-sumber material (al-Masadir al-Maddiyah / al-maqdu’iyyah), sumber-sumber
kesejarahan (al-masadir al-tarikhiyyah), dan sumber yang berupa pemahaman (al-
masadir al-tafsiriyyah), ‘Abd al-Hamid Mutawalli, al-Syar’iyah al-Islamiyyah ka
Masdar Asasiyy li al-Dustur (Iskandariyyah: al-Ma’arif, 1990), Cet. III, hal. 19-20.
19
Fadhil Lubis, A History of Islamic Law, hal. 14-15.
20
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 10/2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, (tt.tp).
121
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

dikategorikan jelas, yang barangkali hanya menunjuk kepada


kewenangan yang lazim dimiliki pengadilan agama, yakni masalah
keperdataan (UU No. 7/1989, Pasal 1 ayat 1-2, yang dijabarkan dalam
pasal 49 sebagai perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, serta wakaf
dan sedekah). Hal ini selaras dengan Kepres No. 11/2003, yang
mengungkapkan bahwa mahkamah tersebut hanya memiliki
kewenangan yang dimiliki sebelumnya oleh pengadilan agama.
Qanun yang disahkan pada 14 Oktober 2002 dan diundangkan
pada 6 Januari 2003 ini terdiri dari 7 bab. Bab pertama memuat tentang
ketentuan umum, bab kedua tentang susunan mahkamah; bab ketiga
tentang kekuasaan dan kewenangan mahkamah; bab keempat tentang
hukum materil dan formil; bab kelima tentang ketentuan-ketentuan lain;
bab keenam tentang peralihan; dan bab ketujuh tentang ketentuan
peralihan; dan bab ketujuh tentang ketentuan penutup.
Secara keseluruhan, berbagai ketentuan yang dirumuskan di
dalam qanun ini melampaui hal yang baru disebutkan yakni kompetensi
pengadilan agama yang lazim dalam masalah keperdataan. Bahkan
secara umum, ketentuan-ketentuan dalan qanun peradilan syariat juga
berseberangan dengan UU No. 7/1998 tentang Peradilan Agama, dalam
kasus-kasus berikut:
a. Semua pengadilan di Indonesia adalah pengadilan negara yang
harus dibentuk dengan undang-undang. Dalam undang-undang
pembentukannya, semua kewenangan, personalia maupun acara
dapat dicantumkan (lihat UU No. 14/1970, UU No. 14/1985 dan UU
No. 7/1989). Dengan demikian, pembentukan Mahkamah Syariat
yang kewenangannya melampaui atau lebih luas dari peradilan
agama, harus dibentuk dengan undang-undang, bukan dengan
peraturan daerah atau qanun.
b. Pengembangan peradilan agama kepada peradilan syariat – seperti
dinyatakan dalam qanun ini (pasal 2 ayat 3) – juga mesti ditetapkan
dengan UU, bukan dengan qanun.
c. Pembukaan kamar khusus Mahkamah Agung di Provinsi NAD
(Pasal 57) sangat sulit dilakukan. Menurut UU tentang Mahkamah
Agung berkedudukan di ibukota negara, bukan di ibukota provinsi.
Kamar baru di Mahkamah Agung dapat dibentuk khusus untuk
menampung perkara-perkara kasasi Mahkamah Syariat Tinggi NAD,
tetapi dengan mengamandemen UU tentang Mahkamah Agung
terlebih dahulu.

122
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

d. Tentang Susunan Mahkamah Syariat (Pasal 6 dan seterusnya) juga


harus ditetapkan dengan UU, bukan dengan qanun atau peraturan
daerah.
e. Tentang pembinaan dan pengawasan hakim (Pasal 11), seharusnya
dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh Menteri Kehakiman
apalagi Gubernur Aceh. Menteri Kehakiman hanya menangani
masalah administrasi saja.
f. Kasus tentang dominasi eksekutif juga terlihat dalam ketentuan
tentang kedudukan protokoler hakim yang diatur dengan keputusan
gubernur (pasal 24 ayat 1).
g. Kewenangan Mahkamah Syariat, dinyatakan mencakup ahwal al-
syakhsyiah, muamalah dan jinayah (pasal 49). Dalam penjelasan
pasal 49, dikemukakan:
- Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang ahwalul
syakhshiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 UU No.
7/1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal
tersebut, kecuali waqaf, hibah dan shadaqah.
- Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang mu’amalah
adalah sebagai berikut:
1. Jual beli, hutang piutang
2. Qiradh, salam
3. Masaqah, muzaraah, mukhabarah
4. Wakalah, syirkah
5. Ariyah, hiwalah, hajru, syufah, rahnun
6. Ihyaul mawat, ma’din, luqathah
7. Perbankan, Ijarah, takaful
8. Perburuhan
9. Harta rampasan
10. Wakaf, hibah, shadaqah, hadiyah
- Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang jinayah
adalah sebagai berikut:
1. Hudud
2. Menuduh berzina
3. Mencuri
4. Merampok
5. Minuman keras
6. Murtad
7. Pemberontak
8. Qishash
a. Hukuman membunuh dan melukai
123
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

b. Hukuman denda (diat)


9. Tazir. Hukuman yang dikenakan kepada orang yang mengerjakan
maksiat atau melanggar jinayat yang tidak dikenakan hudud, qishash
maupun denda, tetapi diserahkan kepada pertimbangan hukum
berdasarkan perbuatan dan kondisi pelaku.
Kewenangan Mahkamah Syariat di atas, dalam kenyataannya
megambil alih berbagai kewenangan lembaga peradilan lain yang
ditetapkan menurut UU. Pertanyaan yang muncul di sini adalah apakah
Mahkamah Syariat akan menggeser atau melikuidasi lembaga-lembaga
peradilan lainnya di Aceh? Kalau memang demikian, bagaimana
ketentuan tentang pengembangan Peradilan Agama menjadi Mahkamah
Syariat di atas (Pasal 2 ayat 3, pasal 3 ayat 3 ayat 1)? Semestinya yang
dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut adalah pengalihan atau
pengubahan lembaga-lembaga peradilan lainnya menjadi Mahkamah
Syariat. Kasus yang sama juga terlihat dalam ketentuan peralihan (bab
VI, pasal 58 ayat 1) yang menetapkan pengalihan Peradilan Agama
menjadi Mahkamah Syariat.
h. Tentang hukuman materil dan formil Mahkamah Syariat (bab IV)
juga semestinya ditetapkan dengan UU, bukan dengan qanun. Jika
Mahkamah Syariat berwenang menangani kasus ahwal al-
syakhsyiah, muamalah dan jinayah, ia jelas membutuhkan undang-
undang ahwal al-syakhsyiah, undang-undang muamalah, dan
undang-undang jinayah, bukan peraturan daerah atau qanun
tentangnya. Kalau tidak demikian, qanun semacam itu akan batal
demi hukum karena melanggar ketentuan undang-undang yang lebih
tinggi.

2. Qanun No. 11/2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang


Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Qanun tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang aqidah,
ibadah, dan syiar Islam21 disahkan pada 14 Oktober 2002, dan
diundangkan pada 6 Januari 2003. Kandungan utama qanun ini berupaya
memilah dan mengelaborasi lebih jauh peraturan daerah No. 5/2002,
pelaksanaan syariat Islam dibatasi pada bidang akidah, ibadah, dan syiar

21
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 11/2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam, (tt.tp).
124
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

Islam. Sebagaimana peraturan daerah No. 5/2000, qanun ini


mendefinisikan syariat Islam dalam pengertian luas: “Syariat Islam
adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan” (Pasal 1
ayat 6). Akidah didefinisikan sebagai akidah menurut paham
“Ahlussunnah wal Jamaah” (Pasal 1 ayat 7) dan ibadah dibatasi pada
shalat dan puasa di bulan Ramadan (pasal 1 ayat 8).
Pengaturan pelaksanaan syariat Islam dalam ketiga bidang
tersebut–yakni akidah, ibadah, dan syiar Islam dalam pasal 2,
dinyatakan memiliki tujuan:
a. Membina dan memelihara keimanan dan ketakwaan individu dan
masyarakat dari pengaruh ajaran sesat.
b. Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan
fasilitasnya
c. Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna
menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.
Sementara dalam pasal 3, fungsinya ditetapkan sebagai
“pedoman pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar
Islam.
Pasal 4-5 menetapkan kewajiban memelihara akidah Islam,
larangan menyebarkan paham atau aliran sesat, serta larangan keluar
dari akidah Islam (murtad) dan/atau menghina atau melecehkan agama
Islam. Implikasi hukumnya diatur dalam pasal 20–yakni ketentuan tazir
berupa penjara 2 tahun atau cambuk 12 kali untuk upaya penyebaran
paham atau aliran sesat. Sementara bagi orang murtad dan/atau
menghina atau melecehkan Islam dinyatakan akan diatur dalam qanun
tersendiri.
Pasal 6 menyerahkan kewenangan penetapan aliran/paham sesat
kepada fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi NAD.
Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan paham atau aliran sesat dalam
qanun ini tidak didefinisikan secara jelas. Dalam penjelasan pasal 2,
paham atau aliran sesat didefinisikan sebagai “pendapat-pendapat
tentang aqidah yang tidak berdasarkan kepada Alquran atau Hadits
Shahih, atau penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan metodologis
atau kedua sumber tersebut.
Kewajiban menjalankan ibadah dalam qanun ini meliputi shalat
fardlu, shalat jumat, dan puasa (bab IV). Cakupan ibadah yang
disebutkan itu jelas sangat terbatas. Demikian pula, dalam sanksi
hukumnya, hanya ditetapkan hukuman tazir berupa penjara enam bulan
atau cambuk tiga kali untuk yang tidak menjalankan shalat jumat tiga
kali berturut-turut tanpa halangan syari (Pasal 21 ayat 1), hukuman
125
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

pencabutan izin usaha untuk perusahaan angkutan yang tidak


memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penumpangnya untuk
melakukan salat farzu (pasal 21 ayat 2), dipenjara satu tahun atau denda
Rp 3 juta atau cambuk enam kali dan pencabutan izin usaha untuk
perusahaan angkutan yang tidak memberikan kesempatan fasilitas
kepada penumpangnya untuk melakukan salat farzu (pasal 21 ayat 2),
dipenjara satu tahun atau denda Rp 3 juta atau cambuk enam kali dan
pencabutan izin usaha untuk penyedia fasilita/peluang kepada kaum
muslimin untuk tidak berpuasa tanpa halangan syari (pasal 22 ayat 1),
serta empat bulan atau cambuk dua kali untuk makan minum di muka
umum pada siang hari Ramadan (pasal 22 ayat 2). Sementara hukuman
yang tidak salat farzu atau berpuasa tanpa halangan syari tidak
ditetapkan.
Sebagaimana peraturan daerah No. 5/2000, qanun ini juga
menetapkan ketentuan tentang busana islami (Pasal 13)–dijelaskan
sebagai “pakaian yang menutupi aurat yang tidak tembus pandang, dan
tidak memperlihatkan bentuk tubuh.” Sementara hukuman untuk yang
melanggarnya adalah “pidana dengan hukuman tazir setelah melalui
proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah,” tanpa
menyinggung bentuk hukumannya – misalnya penjara atau cambuk.
Wilayatul Hisbah, dalam qanun ini (pasal 1 ayat 11), dinyatakan
sebagai badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam.
Badan ini dibentuk oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta
dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau
wilayah lingkungan lainnya (pasal 14 ayat 1-2). Setelah proses tegur
atau nasehat terhadap pelaku pelanggaran ketentuan qanun, pejabat
Wilayatul Hisbah akan melimpahkan kasus pelanggaran tersebut kepada
pejabat penyidik, jika tidak terjadi perubahan pada pelaku pelanggaran
(pasal 14 ayat 3-4).
Penyelidikan, dalam pasal 15, dilakukan oleh: (a) pejabat
kepolisian Provinsi NAD, atau (b) pejabat penyidik pegawai negeri sipil
di lingkungan pemerintahan daerah yang diber kewenangan.
Selain itu, qanun ini juga memuat tentang penuntutan. Dalam
pasal 16, penuntutan umum didefinisikan sebagai jaksa atau pejabat lain
yang diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan putusan mahkamah syariat. Secara rinci, kewenangan
penuntut umum diurai dalam pasal 17, yakni menerima dan memeriksa
berkas perkara dari penyidik, mengadakan pra penuntutan bila terdapat
kekurangan pada hasil penyidikan, membuat surat dakwaan,
126
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

melimpahkan perkara ke mahkamah syariat, menyampaikan


pemberitahuan kepada terdakwa maupun saksi tentang waktu
persidangan disertai dengan surat panggilan, melakukan penuntutan
sesuai ketentuan yang berlaku, mengadakan tindakan lain dalam lingkup
tugas dan tanggung jawab pentuntut, dan melaksanakan keputusan
hakim. Sementara pasal 19 menetapkan mahkamah syariat sebagai yang
berwenang memeriksa dan memutuskan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam qanun ini.

3. Qanun No. 12/2003 tentang Larangan Minuman Khamar dan


Sejenisnya.
Qanun tentang larangan minuman khamar dan sejenisnya ini
disahkan pada 15 Juli 2003, dan diundangkan pada 16 Juli 200322 Di
dalam qanun ini, yang dimaksudkan dengan khamar dan sejenisnya
adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat
menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir” (pasal 1
ayat 20). Pasal 2 menyebutkan “segala bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang berhubungan dengan segala minuman yang
memabukkan. Tujuan pelarangannya adalah melindungi masyarakat dari
berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatna yang merusak akal,
mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang merusak akal,
mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang timbul akibat
minuman khamar dalam masyarakat, dan meningkatkan peranserta
masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan
minuman khamar dan sejenisnya (pasal 3).
Dalam pasal 4 ditetapkan bahwa minuman khamar dan
sejenisnya adalah haram, dan setiap orang dilarang mengkonsumsi
minuman khamar dan sejenisnya (pasal 4). Ambisi qanun ini adalah
larangan yang menyeluruh, tidak sebatas konsumsi khamar dan
sejenisnya, serta berlaku untuk seluruh warga Aceh, baik muslim
maupun non-muslim.23 Seperti tampak pada pasal 6 ayat 1, setiap orang
atau badan hukum dan badan usaha dilarang memproduksi,
menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut,
menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan

22
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 12/2003 Tentang Larangan Minuman Khamar dan Sejenisnya, (tt.tp).
23
Draf Rancangan Qanun tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya yang ada
di tangan penulis hanya menetapkan larangan minum khamar terbatas kepada kaum
muslimin.
127
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya. Selain itu di dalam


pasal 6 ayat 2 dikatakan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang
turut serta/membantu menyediakan, menjual, memasukkan
mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan,
dan memproduksi minuman khamar dan sejenis ini juga berlaku bagi
badan hukum dan badan usaha yang dimodali atau memperkerjakan
tenaga asing (Pasal 7). Selain itu qanun no. 12 ini juga melarang instansi
yang berwenang menerbitkan izin usaha hotel, losmen, wisma, bar,
restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat
lain dilarang melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan
sejenisnya. (pasal 8).
Bagi pelanggar pasal 5 di atas, pasal 26 menetapkan bahwa
ancaman hukuman yang diberikan adalah hukumam hudud 40 kali
cambukan. Bagi pelanggaran terhadap pasal 6–8, ancaman hukumannya
adalah uqubat tazir berupak kurungan paling lama satu tahun dan paling
singkat tiga bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75 Juta dan paling
sedikit Rp 25 juta. Khusus bagi pengulangan pelanggaran yang terancam
hukuman dalam pasal 26, ditetapkan bahwa hukumannya dapat
ditambah sepertiga dari ‘uqubat maksimal (pasal 29).
Bab lima, yang mengatur tentang pengawasan dan pembinaan,
serta bab 6 tentang penyidikan dan penuntutan memiliki kandungannya
yang senada qanun no. 11 tentang pelaksanaan syariat Islam bidang
aqidah, ibadah, dan syiar Islam.

4. Qanun No. 13/2003 Tentang Maisir (Perjudian)


Qanun tentang maisir (perjudian) ini disahkan pada 15 Juli 2003,
dan diundangkan pada 16 Juli 2003.24 Dalam qanun ini perjudian atau
maisir didefinisikan sebagai kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat
taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang
mendapatkan bayaran” (pasal 1 ayat 20). Cakupan larangan maisir
adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang
mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemuzaratan bagi
pihak-pihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat
dalam taruhan tersebut.

24
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 13/2003 Tentang Maisir / Perjudian, (tt.tp).
128
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

Dalam pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pelarangan maisir adalah


memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan, mencegah anggota
masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada maisir,
melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan
dan/atau perbuatan maisir, serta meningkatkan peran serta masyarakat
dalam pencegahan dan pemberantasan perbuatan maisir.
Qanun ini mengharamkan maisir (pasal 4) dan melarang setiap
orang melakukan perbuatan maisir (pasal 5). Selain itu, setiap orang atau
badan usaha dilarang menyelenggarakan dan / atau memberikan fasilitas
kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir, dan setiap orang
atau badan hukum atau badan usaha dilarang melindungi perbuatan
maisir (pasal 6 ayat 1-2). Selain itu, instansi pemerintah dilarang
memberi izin usaha penyelenggaraan maisir (pasal 7), dan setiap orang
atau kelompok atau institusi masyarakat berkewajiban mencegah
terjadinya perbuatan maisir (pasal 8), dengan melaporkan kepada
pejabat yang berwenang secara lisan atau tertulis (pasal 9).
Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal 5 diancam
dengan ‘uqubat berupa cambuk di depan umum maksimal 12 kali,
minimal 6 kali (pasal 23 ayat 1). Sementara setiap orang atau badan
hukum atau badan usaha noninstansi pemerintah yang melanggar
ketentuan pasal 6 dan 7 diancam dengan uqubat atau denda maksimal
Rp 35 juta, minimal Rp 15 juta (pasal 23 ayat 2).
Sehubungan dengan pelaksanaan hukuman, dalam pasal 30
disebutkan bahwa hukuman cambuk dilaksanakan dengan menggunakan
cambuk dari rotan sepanjang satu meter, diameternya antara 0.75 cm
sampai satu sentimeter, dan tidak mempunyai ujung ganda. Hukuman
dilakukan di tempat umum dengan disaksikan banyak orang dan dihadiri
jaksa serta dokter yang ditunjuk. Ditentukan juga bahwa kadar
cambukan tidak melukai serta dilakukan pada bagian tubuh kecuali
kepala, muka, leher, dada, dan kemaluan. Selain itu, disebutkan bahwa
terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga dan
tanpa diikat, dengan mengenakan baju tipis yang menutup aurat.
Terhukum perempuan dicambuk dalam posisi duduk dan ditutupi kain di
atasnya. Bila perempuan itu hamil pencambukan dilakukan 60 hari
setelah melahirkan. Dalam pasal 31 disebutkan bahwa apabila selama
pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum
berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, pencambukan dapat ditunda
dan sisa cambukan akan dilakukan di lain waktu yang memungkinkan.

129
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

Bab 5 tentang pengawasan dan pembinaan, serta bab 6 tentang


penyidikan dan penuntutan memiliki kandungan yang senada dengan
dua qanun sebelumnya – yakni qanun No. 11 dan qanun No. 12 di atas.

5. Qanun No. 14 / 2003 Tentang Khalwat (Mesum)


Dalam qanun ini,25 khalwat/mesum didefinisikan sebagai
perbuatan bersunyi-sunyi antara dua mukallaf atau lebih yang berlainan
jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. (Pasal 1 ayat
20). Cakupan larangan khalwat/mesum adalah segala kegiatan,
perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina (pasal 2).
Tujuan pelarangannya adalah untuk menegakkan syariat Islam dan adat
istiadat yang berlaku dalam masyarakat, melindungi masyarakat dari
berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan,
meningkatkan peranserta masyarakat dalam mencegah dan memberantas
terjadinya perbuatan khlawat/mesum dan menutup peluang terjadinya
kerusakan moral (Pasal 3).
Qanun yang disahkan 15 Juli 2003 dan diundangkan pada 16 Juli
Tahun yang sama ini menetapkan khalwat/mesum hukumnya haram
(pasal 4). Setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum (pasal 5).
Selain itu setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur
pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas
kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan khalwat/mesum
(pasal 6). Setiap orang baik individu maupun kelompok, ditetapkan
berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan khalwat/mesum (pasal 7)
Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 4, diancam dengan
uqubat tazir berupa cambuk paling banyak 9 kali, paling sedikit 3 kali,
dan atau denda paling banyak Rp 10 juta, paling sedikit Rp 2,5 juta
(pasal 22 ayat 1). Sementara yang mencederai pasal 5 diancam dengan
uqubat tazir berupa kurungan paling lama 6 bulan, paling singkat 2
bulan, dan atau denda paling banyak Rp 15 juta dan paling sedikit 5 juta
(pasal 22 ayat 2). Bagi yang melakukan pelanggaran lebih dari satu kali,
maka hukumannya dapat ditambah seperti cambuk dalam qanun
khalwat/mesum serupa dengan ketentuan yang ada dalam qanun maisir.
Demikian pula ketentuan dalam bab 5 tentang pengawasan dan

25
Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 14/2003 Tentang Khalwat (Mesum), (tt.tp).
130
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

pembinaan serta bab 6 penyidikan dan penuntutan senada dengan qanun-


qanun sebelumnya.

Peranan Dinas Syariat Islam dalam Prosesi Penerapan Syariat


Dinas Syariat Islam NAD telah menyusun serangkaian program
yang diharapkan menjadi jembatan bagi terwujudnya visi dan msi Dinas
Syariat Islam. Program-program ini dapat dikategorikan sebagai
program umum, program khusus dan program prioritas. Secara rinci,
Program Umum Dinas Syariat Islam meliputi:26
1. Pengembangan dan pelaksanaan syariat Islam yang bertujuan untuk
mewujudkan pelaksanaan syariat Islam seara kaffah dalam
masyarakat
2. Pembangunan Masyarakat Mulia Sejahtera (PMMS) yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum dhuafa melalui
pelaksanaan syariat Islam
3. Pembangunan Pesantren Darul Aitam yang bertujuan mendukung
kelancaran jalannya program pendidikan agama serta mewujudkan
keseimbangan antara imtaq dan Iptek.
4. Pembangunan Islamic Centre untuk mewujudkan pusat pengkajian
dan pengembangan keislaman serta pelaksanaan syariat Islam
5. Pemberdayaan guru mengaji (minyeuk panyot) dengan tujuan
menghidupkan dan menggairahkan kembali pengajian gampong.
Sementara itu, program khusus yang dicanangkan Dinas Syariat
Islam tahun 2002 adalah:27
1. Pembinaan masyarakat di daerah perbatasan dengan pengiriman 90
dai di tiga kabupaten perbatasan
2. Pembuatan baliho di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara dengan
pesan informasi “Anda memasuki wilayah pelaksanaan syariat Islam
Nanggroe Aceh Darussalam
3. Ikut serta dalam program Gema Assalam dengan membina dan
membekali pendamping sehingga menjadi penggerak kegiatan
peribadatan dan membantu menciptakan suasana yang lebih Islami
di tempat tugas masing-masing,
4. Menyiapkan qanun prioritas untuk digunakan Mahkamah Syariah,
yaitu qanun tentang larangan minuman keras, qanun tentang
larangan perjudian dan qanun tentang larangan khalwat.
26
M. Saleh Suhaidy, “Tentang Dinas Syariat Islam: Apa dan Untuk Apa?”,
dalam Shafwan Idris, et.al, Syariat di Wilayah Syariat, (Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam dan YUA, 2002), hal. 267-270.
27
Suhaidy, Dinas Syariat…, hal. 269.
131
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

Dari sejumlah program umum dan program khusus ini, Dinas


Syariat Islam mempunyai sejumlah program prioritas yang meliputi:28
1. Mendorong terbentuknya Dinas Syariat Islam di Kabupaten dan
Kota
2. Pembentukan Mahkamah Syariah–penyiapan qanun tentang
kelembagaannya, qanun-qanun untuk hukum material dan hukum
formilnya
3. Pemantapan pengamalan zakat–penjelasan dan sosialiasi makna
Badan Baitul Mal dan Badan Amil Zakat, aturan tentang tanggung
jawab kewenangan, tugas-tugas serta pembinaannya yang meliputi
Badan Amil Zakat Gampong, kabupaten/kota dan provinsi
4. Pemberantasan KKN, judi, miras/narkoba serta khalwat bekerjasama
dengan instansi terkait dan melibatkan masyarakat komponen
masyarakat secara lebih aktif
5. Mengusahakan terciptanya suasana dan lingkungan belajar yang
islami di seluruh Aceh dengan menetapkan jam belajar gampong,
melalui koordinasi dengan Dinas Pendidikan
6. Mendorong dan membantu fasilitas guna menjadikan meunasah
sebagai pusat kegiatan peribadatan dan kemasyarakatan serta
memeratakan (membudayakan) pengamalan salat farzu berjamaah di
awal waktu di setiap muenasah (gampong) dan disemua instansi
pemerintahan serta sekolah (madrasah)
7. Sosialisasi pelaksanaan syariat Islam secara kaffah, terutama melalui
mass media, meliputi perluasan wawasan masyarakat, mempertebal
keimanan, menyemarakkan pengamalan ibadah, serta menghidupkan
toleransi intern dan antarumat beragama
8. Menetapkan pakaian dinas pegawai negeri dan seragam sekolah
yang lebih islami, serta membantu dan mendorong masyarakat agar
mengenakan busana yang lebih islami
9. Mendorong dan membantu masyarakat menggunakan kalender
hijriah huruf Arab Melayu yang benar dan indah untuk menciptakan
suasana yang lebih religius dan Islami.
Akhirnya dengan sejumlah program serta tiga tahapan
pengembangan masyarakat–tawin, tanzim, dan taudi–kiranya syariat
Islam akan kembali diterima secara kaffah oleh masyarakat Aceh
sebagai sarana bagi bangkit dan berulangnya peradaban Aceh yang
islami.

28
Ibid.
132
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

Kedudukan Syariat Islam di NAD dalam Sistem Hukum Nasional


Indonesia sebagai negara hukum memiliki sistem hukum yang
dikenal dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional adalah
system hukum yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Sistem
hukum nasional adalah sistem hukum yang berdasarkan pada konstitusi
UUD 1945. Sistem hukum nasional terdiri atas subsistem hukum antara
lain; subsistem peraturan perundang-undangan, subsistem legislasi,
subsistem pendidikan hukum, subsistem penegakan hukum dan lain-lain.
Subsistem ini memiliki fungsi masing-masing dan membentuk satu-
kesaruan yang dikenal dengan sistem hukum.
Pada masa Orde Baru, hukum nasional dipahami dalam konteks,
unifikasi hukum yang rigid dan ketat. Keragaman hukum tidak diakui,
sehingga hanya ada satu hukum yang mengabdi kepada kepentingan
nasional. Pemahaman hukum yang sempit tentang hukum nasional
ternyata tidak tepat lagi pada era sekarang. UUD 1945 dalam beberapa
kali amandemennya telah mengakui adanya keragaman dan kesatuan-
kesatuan hukum masyarakat di daerah. Artinya, keberadaan ‘hukum
lokal’ mendapat pengakuan dari konstitusi dan merupakan bagian dari
hukum nasional. UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh
adalah perundang-undangan nasional dan menjadi bagian dalam sistem
hukum nasional. Secara yuridis undang-undang ini dibentuk berdasarkan
konstitusi UUD 1945. Meskipun UU No. 11 Tahun 2006 mengatur
otonomi yang luas bagi Aceh dalam menyelenggarakan pemerintahan
secara khusus, namun ia tetap menjadi bagian dari sistem hukum
nasional. Oleh karena itu, pembentukan peraturan organik dalam rangka
menyelenggarakan undang-undang pemerintahan Aceh adalah bagian
dari peraturan perundang-undangan nasional dalam bingkai sistem
hukum nasional.
Qanun Aceh memiliki perbedaan dari segi kekuatan hukumnya
bila dibandingkan dengan peraturan daerah yang ada di seluruh
Indonesia. Meskipun qanun Aceh adalah produk perundang-undangan di
daerah, namun ia memilki karakteristik dan kekuatan tersendiri. Qanun
Aceh yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dapat
dibatalkan oleh presiden melalui Peraturan Presiden (Perpres) bila
bertentangan dengan kepentingan umum, bertentangan dengan hirarki
perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan antar sesama
qanun. Namun, qanun yang mengatur tentang penyelenggaraan
kehidupan masyarakat Aceh, seperti qanun syariat Islam dapat
dibatalkan melalui mekanisme (yudicial review) di Mahkamah Agung.
133
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materi (yudicial review)


terhadap peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di
bawah undang-undang seperti peraturan pemerintah (PP), peraturan
presiden (Perpres) dan lain-lain.
Qanun Aceh juga diberikan kekuatan yuridis untuk mengatur
materi-materi muatan, yang tidak dapat diatur dalam peraturan daerah
pada umumnya. Materi muatan ancaman pidana misalnya, hanya boleh
diatur dengan peraturan daerah berupa ancaman pidana maksimal 6
bulan penjara atau denda maksimal 50 juta rupiah. Dalam pasal 143 UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa
Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam
bulan) penjara atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah). Namun, untuk Qanun Aceh dikecualikan dari ketentuan
tersebut. Aturan pidana cambuk yang diatur dalam Qanun Aceh adalah
produk peraturan perundang-undangan di daerah, namun ia diberikan
kekuasaan untuk mengatur ancaman pidana melampaui apa yang
biasanya diatur oleh peraturan daerah pada umumnya. Kekuasaan yang
dimiliki Qanun Aceh untuk mengatur materi tertentu, bukanlah sesuatu
yang menyimpang atau keluar dari hukum nasional. Ia tetap menjadi
bagian hukum nasional karena kekuasaan itu diberikan kepada Qanun
atas perintah undang-undang yang notabenenya adalah produk hukum
nasional.
Berdasarkan logika yuridis di atas, dapat dipahami bahwa
ketentuan hukuman cambuk misalnya, yang diatur dalam Qanun Aceh
yang ada selama ini adalah bagian dari hukum nasional karena
keberadaannya diperintahkan secara implisit oleh undang-undang
nasional, baik UU No. 18 Tahun 2001 (sebelum dicabut), maupun
berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Jadi
secara yuridis, keberadaan hokum cambuk di Aceh cukup kuat, karena
memiliki landasan yuridis, yaitu UU N0. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Namun, yang menjadi persoalan utama adalah
konstruksi teoritis hukuman cambuk sebagai bentuk hukuman dalam
hukum syariat Islam, dan penegakan hukuman cambuk di Aceh yang
kelihatannya sebagian kalangan menganggap ‘belum’ memenuhi rasa
keadilan masyarakat.29

29
Syahrizal Abbas, Kedudukan Qanun Aceh dalam Sistem Hukum Nasional,
Makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional: Syariat Islam dan
134
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

Keberadaan qanun Aceh dalam sistem peraturan perundang-


undangan di Indonesia, merupakan bentuk pengakuan pemerintah
terhadap realitas hukum di daerah. Otonomi khusus merupakan payung
bagi keberadaan qanun di Aceh dalam percaturan perundang-undangan
Indonesia. Bahkan konstitusi mengamanatkan bahwa system
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas perjuangan
masyarakat Aceh yang memilki ketahanan dan daya juang tinggi.

PENUTUP
Sebagai penutup ingin dikatakan bahwa pelaksanaan syariat
Islam di Aceh adalah sebuah proses. Maksudnya, upaya terus menerus
dan berkesinambungan dari semua unsur dan lapisan masyarakat untuk
melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Berhubung kita sudah
terlalu lama meninggalkan syariat Islam di satu pihak dan di pihak lain
banyak sekali perubahan yang telah terjadi di tengah masyarakat, maka
upaya merumuskan kembali peraturan-peraturan berdasarkan syariat
yang dianggap cocok dengan kebutuhan masyarakat atau sebaliknya
merumuskan perilaku dan perbuatan anggota masyarakat yang harus
diubah serta disesuaikan dengan tuntunan syariat, akan merupakan
kegiatan yang harus dilakukan secara terus-menerus dan sungguh-
sungguh.
Masa depan penerapan syariat Islam di Aceh, sesungguhnya
tidak hanya untuk kepentingan masyarakat Aceh semata, akan tetapi
juga untuk kepentingan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama
daerah-daerah yang memiliki akar keislaman yang kuat dan telah pula
mencanangkan penerapan Syariat dengan berbagai cara. Kesuksesan
penerapan syariat Islam akan menjadi pendorong gerakan yang memang
sudah tumbuh di berbagai daerah lain tersebut. Pengaruh penerapan
syariat Islam di Aceh mungkin adalah hal yang tak terduga bagi
masyarakat Aceh, akan tetapi keberhasilan penerapan syariat tersebut
akan dirasakan dan diharapkan oleh masyarakat lain. Di sinilah
pentingnya bahwa penerapan syariat Islam di Aceh harus berhasil
mencapai tujuannya yaitu merealisasikan “rahmatan lilalamin”,
menimbulkan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari, menegakkan rasa
keadilan yang merata dan pada akhirnya akan muncul kesejahteraan

Tantangan Dunia Global, Menggagas Format Penerapan Hukum Islam yang Aktual
dan Dinamis di Nanggroe Aceh Darussalam, 19-21 Juli 2007.
135
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

masyarakat. Meskipun tujuan ini berjangka panjang, akan tetapi


hendaknya dalam jangka singkat diperlukan agar hasilnya harus
dirasakan oleh masyarakat. Sebaliknya, apabila penerapan syariat Islam
sampai pada hasil yang sebaliknya, tentu akibatnya juga akan dirasakan
oleh tidak hanya masyarakat Aceh. Di sinilah pentingnya mengingatkan
bahwa upaya penerapan syariat Islam adalah sebagai jihad bersama tidak
saja masyarakat Aceh, tetapi masyarakat lainnya di Indonesia.

DAFTAR BACAAN

‘Abd al-Hamid Mutawalli, al-Syar’iyah al-Islamiyyah ka Masdar


Asasiyy li al-Dustur (Iskandariyyah: al-Ma’arif, 1990).
Abd al-Hamid Mutawalli, Azmah al-Fikr al-Islamy fi al-‘Asr al-Hadith
(T.tp: al-Hay’ah al-Misriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1985).
Abd al-Madjid Abd al-Hamid, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Maghrib: Dar
al-Afaq al-Jadidah, 1994).
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence
(Islamabad: Islamic Research Institute, 1994).
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence
(Islamabad: Islamic Research Institute, 1994).
Ahmad Muhammad Jamal, Qadaya Mu’asiroh fi Mahkamah al-Fikr al-
Islami (Kairo: Dar al-Sahwah, 1986), Cet. II, hal. 33-35.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 1995).
Al Jarisyah, Ushul al-Syariyah Madmunuha wa Khasisuha, (Kairo: Dar
Gharib, 1979), Cet. I. Munir Hamid al-Bayati, al-Dawlah al-
Qanuniyyah Muqarranah (Baghdad al-Dar al-Arabiyyah,
1979).
Al Yasa Abubakar, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan
Prospeknya),” dalam Safwan Idris (et.al.), Syariat di Wilayah
Syariat (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam dan YUA, 2002).
Analiansyah, “Benarkah Hukum Islam itu Kejam,?” Serambi Indonesia,
7 Oktober 2002.
Ann Elzhabeth Mayer, “The Shari’ah: A Metdhodology or a Body of
Substantive Rules? Dalam, Nicholhas Heer (ed.), Islamic Law
and Jurisprudence (Seattle University of Washington Press,
1990).

136
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009:114-138

Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun


Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10/2002 Tentang
Peradilan Syariat Islam, (tt.tp).
Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11/2002 Tentang
Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam, (tt.tp).
Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12/2003 Tentang
Larangan Minuman Khamar dan Sejenisnya, (tt.tp).
Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13/2003 Tentang
Maisir / Perjudian, (tt.tp).
Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14/2003 Tentang
Khalwat (Mesum), (tt.tp).
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writen Arabic, J. Milton Cowan
(ed.), (Wesbaden: Otto Harrassowitz, 1971).
Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-Muqarran (Kairo: Dar al-Ta’lif,
1957).
Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-Muqarran (Kairo: Dar al-Ta’lif,
1957).
Idem. Family Law Reform in the Muslim World (New Delhi: the Indian
Law Institute, 1972).
Iskandar Ibrahim “HaruskahIman dan Ibadah Dipublikasikan?” Serambi
Indonesia, 27 Oktober 2002.
M. Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan
Liberasi (Yogyakarta: Tititan Ilahi Press, 1998).
Mahmud Saltut, al-Islam ‘Aqidah was Syari’ah (Kuwait: Dar al-Qalam,
1996).
Marshall G. S Hodgson, The Venture of Islam the Classical Age. Vol 1
(Chicago: The University of Chicago Press, 1974).
Muhammad al-Ghazali (et.al), Nizam Itsbatt al-Da’wa wa Adillatuh fi
al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun (Iskandariyyah: Dar al-Da’wah,
1996), Cet. I.
Muhammad al-Ghazali, Hadzha Dinuna (Damaskus: Dar al-Qalam,
1997), Cet. I.
Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia
(Medan: IAIN Press, 2000).
Suara Indonesia Baru, 5 Mei 2003
137
Irham,
Kedudukan Syariat Islam

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries History, Text, and


Comporative Analysis (New Delhi: The Academy of Law and
Relligion, 1987).
Titin Zakiah, “Mengritisi Mahkamah Syariah di NAD,” Serambi
Indonesia, 21 dan 22 Oktober 2002.
Daniel S. Lev, terj. Nirwono dan A.E. Priyono, Hukum dan Politik di
Indonesia (Jakarta: LP3S, 1990).
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi,
1999).

138
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

FILSAFAT HUKUM KETATANEGARAAN


DALAM PERSPEKTIF ISLAM

oleh
Said Mahyiddin
Dosen Unmuha, Banda Aceh

PENDAHULUAN
Sejarah menunjukkan bahwa agama sebagai tradisi dan
kebudayaan (yang dianut umatnya) memiliki kemampuan secara
multiple untuk melakukan tafsiran ulang secara terus-menerus dalam
menghadapi tuntutan perubahan zaman. Agama-agama samawi seperti
Judio-Kristen dan Islam dalam masa kontemporer mau tidak mau harus
menjawab tantangan politik seperti halnya soal kebangsaan, kenegaraan
dan demokrasi.
Agama, sebagaimana dinyatakan banyak kalangan, dapat
dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia.1 Islam,
dibandingkan dengan agama-agama lain, sebenarnya merupakan agama
yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan
utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya
yang “hadir di mana-mana” (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang
mengakui bahwa “di mana-mana” kehadiran Islam selalu memberikan
“panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.”2
Dalam konteksnya yang sekarang, tidaklah terlalu mengejutkan,
meskipun kadang-kadang mengkhawatirkan, bahwa dunia Islam
kontemporer menyaksikan sebagian kaum Muslim yang ingin
mendasarkan seluruh kerangka kehidupan sosial, ekonomi dan politik
pada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari keterbatasan-
keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya.
Ekspresi-ekspresinya dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik
yang dewasa ini popular seperti revitalisme Islam, kebangkitan Islam,

1
Argumen ini pernah dinyatakan secara cukup kuat oleh Robert N. Bellah.
Lihat tulisannya, “Islamic Tradition and the Problem of Modernization,” Robert N.
Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Tradisionalist World, Berkeley
and Los Angeles: University of California Press, 1991, h. 146. Lihat juga Leonard
Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis, Chicago and
London: University of Chicago Press, 1988, h. 4.
2
Fazlur Rahman, Islam, New York, Chicago, San Fransisco: Holt, Reinhart,
Winston, 1966, h. 241.

139
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

revolusi Islam, atau fundamentalisme Islam.3 Sementara ekspresi-


ekspresi itu didorong oleh niat yang tulus, tidak dapat dipungkiri bahwa
semuanya itu kurang dipikirkan secara matang dan pada kenyataannya
lebih banyak bersifat apologetik.4 Gagasan-gagasan pokok mereka
seperti dikemukakan oleh Mohammed Arkoun, “tetap terpenjara oleh
citra kedaerahan dan etnografis, terbelenggu oleh pendapat-pendapat
klasik yang dirumuskan secara tidak memadai dalam bentuk slogan-
slogan ideologis kontemporer.” Lebih lanjut, “artikulasi mereka masih
tetap didominasi oleh kebutuhan ideologis untuk melegitimasi rezim-
rezim masyarakat Islam dewasa ini.”5
Adalah sebuah fenomena yang mengejutkan bahwa sejak
berakhirnya kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, Negara-
negara Muslim (misalnya Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan,
Malaysia, Aljazair) mengalami kesulitan dalam upaya mereka
mengembangkan sintesis yang memungkinkan (viable) antara praktik
dan pemikiran politik Islam dengan negara di daerah mereka masing-
masing. Di negara-negara tersebut, hubungan politik antara Islam dan
negara ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan
permusuhan. Sehubungan dengan posisi Islam yang menonjol di
wilayah-wilayah tersebut, yakni karena kedudukannya sebagai agama
yang dianut sebagian besar penduduk, tentu saja menimbulkan tanda
tanya. Kenyataan inilah yang telah menarik perhatian sejumlah
pengamat politik Islam untuk mengajukan pertanyaan, apakah Islam
sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, di mana gagasan negara-
bangsa merupakan salah satu unsur pokoknya.6

3
Dalam gerakan semacam ini, Mohammed Arkoun menyebut adanya dua
kelompok pendukung yang berbeda. “Mereka yang menikmati posisi sosial dan
ekonomi yang menguntungkan bersedia untuk berkompromi dan menganut pandangan-
pandangan keislaman yang konservatif, sebab mereka tidak punya akses kepada
modernitas pemikiran! Kita juga tahu bahwa mereka yang belajar ilmu-ilmu teknik
cenderung untuk mendukung gerakan fundamentalisme: mereka tidak mempunyai
kesadaran akan pandangan-pandangan kritis yang berkembang di bidang ilmu
humaniora dan sosial, khususnya sejarah.” Lihat tulisannya, The Concept of Authority
in Islamic Thought,” Klauss Ferdinand and Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and
Society, London: Curzon Press, 1988, hh. 70-71.
4
Kritik umum atas kecenderungan semacam ini juga dibahas dalam Fazlur
Rahman, Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, Chicago and
London: University of Chicago Press, 1982.
5
Arkoun, “The Concept of Authority……, hh. 72-73- dan 53.
6
Banyak karya yang dapat dirujuk mengenai masalah ini. Yang penting
mencakup: Leonard Binder, Religion end Politics in Pakistan, Berkeley and Los
Angeles; University of California Press, 1963; Mohammed Ayoub (ed.), The Politics of

140
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

Di Indonesia, dalam hal hubungannya politik dengan negara,


sudah lama Islam mengalami jalan buntu. Baik pemerintahan Presiden
Soekarno maupun Presiden Soeharto memandang partai-partai politik
yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial,
yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama
karena alasan ini, sepanjang lebih empat dekade, kedua pemerintah di
atas berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan partai-partai Islam”.
Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal
menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945
(menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an dalam
perdebatan-perdebatan di Majelis Konstituante mengenai masa depan
konstitusi Indonesia), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka
berkali-kali disebut “kelompok minoritas atau “kelompok luar”.7 Pendek
kata, seperti telah dikemukakan para pengamat lain, Islam politik telah
berhasil dikalahkan–baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat
pemilihan umum maupun secara simbolik.8 Yang lebih menyedihkan
lagi, Islam politik seringkali menjadi sasaran ketidak-percayaan,
dicurigai menentang ideologi Pancasila. Dalam soal ini cukuplah
dikatakan bahwa saling curiga antara Islam dan negara berlangsung di
sebuah negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Pertanyaan untuk persoalan di atas adalah: mengapa hal
demikian yang terjadi? Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan
ketegangan seperti itu? Adakah jalan keluar darinya, yakni jalan
penyelesaian yang mengubah hubungan politik antara Islam dan negara
dari saling memusuhi dan mencurigai menjadi harmonis dan saling
menguntungkan? Untuk membantu mencari jalan keluar atas persoalan

Islamic Reassertion, London: Croom Helm, 1981; Edward Mortimer, Faith and
Power: The Politics of Islam, London: Faber and Faber, 1982; Fred Halliday and
Hamzah Alavi (eds.), State and Ideology in the Middle East and Pakistan, New York:
Monthly Review Press, 1988; R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution:
Fundamentalism in the Arab World, Sycracuse University Press, 1985; dan Nazih
Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, London and New
York: Routledge, 1991.
7
Lihat Ruth McVey, “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics,”
James Piscatori (ed.), Islam in the Political Proceess, hh. 199-225; W.F. Wertheim,
“Indonesian Moslems Under Sukarno dan Suharto: Majority with Minority Mentality,”
Studies on Indonesian Islam, Townsville: Occasional Paper No. 19, Centre for
Southeast Asian Studies, James Cook University of North Queensland, 1986.
8
Untuk paparan ringkas mengenai kekalahan politik Islam, lihat Donald K.
Emmerson, “Islam and Regime in Indonesia: Who’s Coopting Whom?” makalah
disampaikan dalam pertemuan tahunan American Political Sceince Association,
Atlanta, Georgia, 31 Agustus 1989.

141
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

tersebut, penulis akan mencoba menemukan jawabannya dengan


mengkaji hubungan Islam dan negara dalam perspektif Filsafat Hukum
Islam–melacak akar-akar sejarah, prinsip-prinsip ketatanegaraan,
mekanisme, aturan main, tujuan dan hakikat bernegara dalam hukum
Islam.

PEMBAHASAN
Definisi Filsafat Hukum Islam
Dalam bukunya “Filsafat Hukum Islam”,9 Ismail Muhammad
Syah (Ismuha) memberikan definisi Filsafat Hukum Islam sebagai
“pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan tujuan hukum Islam, baik
yang menyangkut materinya maupun proses penentuannya.” Dari
rumusan tersebut filsafat hukum Islam mencakup dua hal pokok yang
terdiri dari filsafat tasyri dan hakikat serta rahasia hukum Islam yang
selanjutnya disebut falsafah syariah.
Sejalan dengan maksud dari definisi di atas namun lebih rinci,
Hasbi As-Shiddieqy mendefinisikan filsafat hukum Islam, “setiap
qaidah, asas atau (mabda) atau aturan-aturan yang digunakan untuk
mengendalikan masyarakat Islam. Baik kaidah itu merupakan ayat
Alquran, ataupun merupakan hadis, maupun merupakan pendapat
sahabat Nabi Muhammad dan tabiin, atau pendapat yang berkembang
pada suatu masa dalam kehidupan umat Islam atau suatu bidang-bidang
masyarakat Islam. Istilah lain dari Filsafat Hukum Islam sebagaimana
yang diuraikan Hasbi, meliputi (daa-imul ahkam, mabadiul ahkam,
ushul al-ahkam, maqashidul ahkam, mahasinul ahkam, qawqidul
ahkam, asrarul ahkam, khasa-isul ahkam, mahasinul ahkam dan
thawabiul ahkam). Ringkasnya Filsafat Hukum Islam adalah sendi-sendi
hukum, prinsip-prinsip hukum, pokok-pokok hukum (sumber-sumber
hukum), kaidah-kaidah hukum yang di atasnyalah dibina undang-undang
Islam.10
Filsafat Hukum Islam sebagaimana filsafat pada umumnya
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjangkau oleh ilmu

9
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1992, h. 3.
10
Hasbi As-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993,
h. 36-37.

142
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

hukum. Menurut Juhaya S. Praja, ada dua tugas filsafat hukum Islam
sebagaimana tugas filsafat pada umumnya, yaitu: pertama, tugas kritis
dan, kedua, tugas konstruktif. Tugas kritis filsafat hukum Islam ialah
mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah mapan di
dalam hukum Islam. Sementara tugas konstruktif filsafat hukum Islam
ialah mempersatukan cabang-cabang hukum Islam dalam kesatuan
sistem hukum Islam sehingga nampak bahwa antara satu cabang hukum
Islam dengan lainnya tak terpisahkan. Dengan demikian, pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan filsafat hukum Islam: Apa hakikat hukum
Islam; hakikat keadilan; hakikat pembuat hukum; tujuan hukum; sebab
orang harus taat pada hukum Islam; dan sebagainya.11
Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh para filosof hukum
Islam di atas, dapat dimengerti bahwa filsafat hukum Islam adalah
pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk dan segala aspek
hukum Islam yang ditelaah secara kritis, konstruktif, komprehensif dan
bertanggung jawab. Dengan demikian, bila dikaitkan dengan kajian
filsafat ketatanegaraan dalam perspektif hukum Islam, bermakna,
pengetahuan yang mempertanyakan secara kritis tentang apa
sesungguhnya hakikat bernegara menurut hukum Islam; mengapa
masyarakat Islam perlu memilih pemimpin; bagaimana nasib warga
negara bila tidak diatur oleh suatu pemerintahan, dsb.

Definisi Negara
Secara leksikal, negara mengandung arti: 1) organisasi dalam
suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati
oleh rakyat, 2) Kelompok sosial yang memiliki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasikan di bawah lembaga politik dan pemerintah
yang efektif, mempunyai kekuatan politik, berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya.12
Definisi lain tentang negaradikemukakan oleh Maclver.
Menurutnya, negara adalah suatu bentuk persekutuan dalam wilayah
kekuasaan tertentu dengan tujuan menyelenggarakan ketertiban
masyarakat berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh
pemerintah.13

11
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Lathifah Press, 2004, h.
15.
12
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h. 610.
13
Robert M. Maclver, The Modern State, London: Oxford University, 1980,
h. 22.

143
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

Dalam hukum internasional, Negara sebagai kesatuan politik


sekurang-kurangnya harus memiliki empat unsur, seperti dirumuskan
dalam Konvensi Montevideo yang dikutip oleh F. Isywara sebagai
berikut: 1) penduduk yang tetap, 2) wilayah tertentu, 3), pemerintah, 4)
kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lain.14
SementaraBudiarjo menyebutkan bahwa minimal ada empat unsur, yaitu
penduduk, wilayah, pemerintah dan kedaulatan.15
Dalam literatur klasik Islam ditemui pula beberapa rumusan
mengenai unsur-unsur negara. Di antaranya, rumusan Ibn Abi Rabi’
menyebutkan paling sedikit ada lima unsur yang harus dimiliki oleh
negara, yaitu wilayah, penduduk, pemerintah, keadilan, dan adanya
pengelolaan negara.16 Al-Mawardi juga menulis ada lima unsur pokok
dalam suatu negara, yaitu (1) agama sebagai landasan negara dan
persatuan rakyat, (2) wilayah, (3) penduduk, (4) pemerintah yang
berwibawa, dan (5) keadilan atau keamanan.17
Pada prinsipnya kedua rumusan tersebut memiliki kesamaan,
yaitu sama-sama memandang wilayah, penduduk, pemerintahan dan
keadilan sebagai unsur asasi dalam sebuah Negara. Bedanya, al-
Mawardi menyebutkan agama sebagai salah satu unsur, sedangkan Ibn
Abi Rabi’ menyebutkan unsur pengelolaan negara. Meskipun begitu,
bukankah menurut al-Mawardi agama diperlukan justeru sebagai
landasan pengelolaan Negara. Dengan demikian, pendapat keduanya
tidak berbeda.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa negara adalah
lembaga sosial yang diadakan manusia dalam rangka memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya yang vital. Suatu negara paling sedikit harus
memiliki tiga unsur, yaitu wilayah, penduduk dan pemerintah. Dari
ketiga unsur tersebut terlihat bahwa pemerintah merupakan unsur
terpenting dari suatu negara. Alasannya, sekalipun telah ada sekelompok
individu yang mendiami suatu wilayah, belum juga dapat diwujudkan
suatu negara jika tidak terdapat segelintir orang yang berwenang
mengatur dan menyusun hidup bersama itu.

14
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1980, h. 95.
15
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989, h. 42-
44.
16
Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Muti’, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam:
Syakhsiyat wa Mazahib, Kairo: Dar al-Jam’iyyat, 1978, h. 215 dan 218.
17
Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1966, h.
36.

144
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

Islam dan Negara: Sebuah Dialektika Pemikiran


Konsepsi tentang Islam, negara, dan pemerintahan telah
menimbulkan diskusi panjang di kalangan pemikir Muslim dan
memunculkan perbedaan pandangan yang cukup panjang dan tidak
hanya berhenti pada tataran teoritis konsepsional, tetapi juga memasuki
wilayah politik praktis, sehingga acapkali membawa pertentangan dan
perpecahan di kalangan umat.18
Perbedaan tentang negara dan pemerintahan dalam Islam dapat
dilacak sejak Nabi Muhammad saw., wafat. Dalam hal ini terdapat
perbedaan pandangan tentang masalah suksesi kepemimpinan yang
terjadi di sekitar kewafatan Nabi Muhammad. Walaupun sebagian umat
Islam (kelompok Syi’ah) meyakini bahwa Nabi Muhammad saw., telah
mewariskan kepemimpinannya kepada Ali Ibn Abi Thalib melalui
peristiwa Ghadir Khum,19 namun sebagian besar yang lain (kelompok
Sunni) menganggap bahwa peristiwa tersebut tidak berhubungan dengan
suksesi kepemimpinan, dan Nabi Muhammad tidak menentukan modus
suksesi kepemimpinan.
Perbedaan pandangan tentang negara dan pemerintahan di
kalangan pemikir dan ulama Islam, juga disebabkan oleh perbedaan
persepsi mereka tentang esensi kedua konsep tersebut. Sebagian
memandang bahwa keduanya–negara dan pemerintahan berbeda secara
konseptual: pemerintahan adalah corak kepemimpinan dalam mengatur
kepentingan orang banyak (berhubungan dengan metode atau strategi
politik), sedangkan negara merupakan institusi politik sebagai wadah
penyelenggaraan pemerintahan (berhubungan dengan bentuk atau format
politik). Sebagai konsekuensinya, pembicaraan tentang negara dan
pemerintahan dapat dilakukan secara terpisah seperti membicarakan

18
Perbedaan pandangan selain disebabkan oleh factor sosio-historis dan sosio
cultural – yakni perbedaan latar belakang sejarah dan sosial budaya umat Islam – juga
disebabkan oleh factor yang bersifat teologis, yaitu tidak adanya keterangan tegas
(clear-cut eksplanation) tentang negara dan pemerintahan dalam sumber-sumber Islam:
al-Qur’an dan al-Sunnah. Memang terdapat beberapa istilah yang sering dihubungkan
dengan konsep negara, seperti khalifah, dawlah, hukumah atau imamah. Namun
istilah-istilah tersebut berada dalam kategori ayat-ayat zhanniyat yang memungkinkan
penafsiran al-Qur’an tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk Negara,
konsepsi tentang kekuasaan dan kedaulatan, dan ide tentang konstitusi. Lihat
Qamaruddin Khan, al-Mawardi’s Theory of The State, (Lahore: tanpa tahun), hlm. 1.
19
Pada peristiwa yang terjadi dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’, Nabi
Muhammad Saw., diriwayatkan pernah bersabda: Man kuntu mawlahu, fahadza Ali
mawlahu, yang artinya: “Barang siapa yang menjadikan aku “mawla”nya, maka
hendaknya menjadikan Ali “mawla”-nya pula. Hadis ini terdapat dalam beberapa kitab
hadis, antara lain Musnad Ibn Hanbal, Jil. 4 dan Sanad Ibn Majah, Jil. I.

145
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

strategi dan penyelenggaraan dan pengisian pemerintahan tanpa


mempersoalkan bentuk negara. Sebagian yang lain memandang bahwa
tidak ada perbedaan di antara keduanya, sehingga pembicaraan tentang
pemerintahan tidak terlepas dari pembicaraan tentang negara.
Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran
tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan.20 Aliran pertama
berpendirian bahwa Islam bukanlah semata agama dalam pemikiran
Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan,
sebaliknya Islam adalah satu agama yang lengkap dengan pengaturan
bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.
Para penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa Islam
adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula
antara lain system ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam
bernegara, menurut aliran ini, umat Islam hendaknya kembali kepada
sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru
sistem ketatanegaraan Barat. Aliran ini juga berpendapat, bahwa sistem
ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah system
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan oleh empat al-
Khulafa’ al-Rasyidun. Tokoh-tokoh utama dari aliran ini antara lain
Syeikh Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, Syeikh Muhammad Rasyid
Ridha dan Maulana A.A. Almaududi.
Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan
kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul
biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal
mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan
menjunjung tinggi budi pekerti luhur; dan Nabi tidak pernah
dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu Negara. Tokoh-
tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain Ali Abdul Raziq dan Thaha
Husein.
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama
yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem
ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam
adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan
antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa
dalam Islam tidak terdapat system ketatanegaraan tetapi terdapat
seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh-tokoh

20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1993), h. 1-2.

146
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

dari aliran ketiga ini yang terhitung cukup menonjol adalah Mohammad
Husein Haikal dan Fazlur Rahman.21
Pada titik ini, rasanya dapat ditarik kesimpulan bahwa
sesungguhnya tradisi pemikiran politik Islam itu kaya, beraneka ragam
dan lentur. Dilihat dari perspektif ini, dalam tulisannya “Islam and
Political Development,” Michael Hudson mengemukakan bahwa,
“sebenarnyapertanyaan yang patut dikemukakan bukannya yang kaku
dan salah arah karena bergaya mendikotomisasi, yakni ‘apakah Islam
dan pembangunan politik itu bertentangan atau tidak,’ melainkan
‘seberapa banyak dan pemikiran Islam yang bagaimana yang sesuai
dengan sistem politik modern?”22
Kendati Islam mengakui eksistensi bangsa dan suku bangsa,
karenanya wawasan kebangsaan tidak bertentangan dengan wawasan
keislaman, namun bentuk ekstrem dari rasa kebangsaan (nasionalisme)
yang mendasari pelembagaan negara-bangsa dapat menjadi persoalan
jika dihadapkan dengan universalisme Islam. Hal ini menjadi alasan bagi
mereka yang menolak konsep negara-bangsa, dan kemudian mencari
bentuk negara dalam khazanah budaya Islam.
Menyatakan bahwa Islam hanya berhubungan dengan kehidupan
spiritual, tanpa sangkut-paut sama sekali dengan masyarakat dan negara,
mungkin sama jauhnya dari kenyataan dengan menyatakan bahwa Islam
telah memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang
menyeluruh dan terperinci. Hukum Islam, syari’ah, dalam dua sumber
sucinya–Alquran dan Sunnah, trasisi lisan dan tindakan Nabi
Muhammad saw–bersifat permanen, tetapi aturan-aturan legalnya yang
langsung bersifat bersifat terbatas; pada saat yang sama, turunan-turunan
intelektualnya (sebagaimana yang ditunjukkan dalam berjilid-jilid karya

21
Penting untuk dicatat bahwa pendapat seperti ini juga mengakui bahwa al-
Qur’an mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis mengenai aktivitas
sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang
“keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan. Untuk itu, bagi kalangan ini,
sepanjang Negara berpegang kepada prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang
diterapkannya adalah sesuai dengan ajaran Islam. Karena wataknya yang substansialis
itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan partisipasi,
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, kecenderungan itu mempunyai
potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan
sistem politik modern, di mana negara-bangsa merupakan salah satu unsurnya. Bahtiar
Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, h. 15.
22
Michael Hudson, “Islam and Political Development,” dalam John L.
Esposito (ed.), Islam and Development, Syracuse: Syracuse University Press, 1980, h.
1-24.

147
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

fiqih) dan kumulasi tingkah laku masyarakat-masyarakat Muslim


sepanjang abad dan ditempat-tempat yang berbeda (seperti ditunjukkan
dalam catatan-catatan sejarah) bisa berubah dan luas cakupannya. Kedua
bagian itu kadang-kadang bercampur dan membingungkan, bukan saja
dalam pandangan beberapa pengamat dan sarjana non-Muslim,
melainkan juga dalam pandangan beberapa juru bicara Islam yang
bersemangat.23
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa paling tidak terdapat
tiga paradigma dalam pandangan Islam tentang negara. Pertama, adalah
paradigma integratif, yaitu adanya integrasi antara Islam dan Negara.
Wilayah agama juga meliputi politik atau Negara. Karenanya, menurut
paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus. Pemerintahan negara didasarkan atas “kedaulatan Ilahi”
(divine sovereignty), karenanya memang kedaulatan itu berasal dan
berada di “tangan” Tuhan. Negara dalam paradigma ini, dalam
prakteknya cenderung menisbatkan diri dengan Islam secara formal,
yaitu dengan menyebut diri sebagai negara Islam.
Kedua, paradigma simbiotik, yang memandang bahwa agama
dan negara berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal
ini, agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya, negara membutuhkan agama karena dengan
agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Dalam kenyataan empiris, penisbatan Islam dengan negara dapat bersifat
formal maupun substansial, yaitu dengan memberi tempat bagi agama
dalam konstitusi dan kehidupan bernegara. Negara dapat mengambil
bentuk monarki (konstitusional) maupun republik dan lain-lain.
Ketiga, paradigma instrumental, yaitu bahwa negara merupakan
instrument atau alat bagi pengembangan agama dan realisasi nilai-nilai
agama. Paradigma ini bertolak dari satu anggapan bahwa Islam hanya
membawa prinsip-prinsip dasar tentang kehidupan bernegara dan tidak
menentukan bentuk tunggal. Dalam paradigma ini agama tidak
berhubungan formal dan institusional dalam Negara dan menolak
pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi
Islam akan bentuk tertentu daripada negara. Negara dalam paradigma
ini, dapat berperan untuk memberikan kontribusi nilai etik dan moral
bagi perkembangan kehidupan politik dan kehidupan kenegaraan.
Paradigma ini tidak terlalu peduli kepada bentuk negara,
konstitusi maupun modus suksesi, berdasarkan pada suatu anggapan
23
Fathi Osman, “Parameters of the Islamic State,” Arabia: The Islamic World
Review, No. 17, Januari 1983, h. 10.

148
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

bahwa Islam tidak menentukan format tunggal tentang itu. Sebagai


gantinya paradigma ini mementingkan substantifikasi Islam- yaitu
melakukan pemaknaan nilai-nilai Islam secara hakiki – ke dalam proses
politik dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari
perspektif paradigma ini, aktivitas politik umat Islam berada pada
tataran kultural, yaitu mengembangkan landasan budaya bagi
terwujudnya masyarakat utama sesuai nilai-nilai Islam.

Prinsip-Prinsip Hukum Islam dalam Ketatanegaraan


Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang mengandung
petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara. Di antara ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan
manusia di bumi dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; seperti prinsip-
prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan kepada pemimpin,
keadilan, persamaan dan kebebasan beragama:

1. Kedudukan Manusia di Bumi

Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan


kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut
kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran : 26).

Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. dan kepada Allah-lah


dikembalikan segala urusan. (Al-Hadid : 5).

Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan


dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-An’Am
: 165).

Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka


bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu
berbuat. (Yunus : 14).

149
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

2. Musyawarah/Konsultasi

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya


dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan
dari rezki yang kami berikan kepada mereka. (Al-Syura : 38).

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut


terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian
apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (Ali Imran : 159).

3. Ketaatan Kepada Pemimpin

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Al-Nisa’ : 59).

4. Keadilan

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat


kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Al-Nahl : 90).

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat. (Al-Nisa’ : 58).

150
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

5. Persamaan

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat : 13).

6. Kebebasan Beragama

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya


Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat
Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Al-Baqarah : 256).

Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang


yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya
? (Yunus : 99).

Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat


(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang
lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka
Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-
orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Ali Imran : 64)

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan
mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
(Al-Mumtahanah : 8-9).

151
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

Piagam Madinah dan Sejarah Pembentukan Negara Islam


Umat Islam memulai hidup bernegara setelah nabi hijrah ke
Yatsrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Di Yatsrib
atau Madinah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas
dan merdeka di bawah pimpinan Nabi, dan terdiri dari para pengikut
nabi yang datang dari Makkah (Mhuajirin) dan penduduk Madinah yang
telah memeluk Islam, serta yang telah mengundang nabi untuk hijrah ke
Madinah (Anshar). Tetapi umat Islam di kala itu bukan satu-satunya
komunitas di Madinah. Di antara penduduk Madinah terdapat pula
komunitas-komunitas lain yaitu orang-orang Yahudi dan sisa suku-suku
Arab yang belum mau menerima Islam dan masih tetap memuja berhala.
Dengan kata lain umat Islam di Madinah merupakan bagian dari suatu
masyarakat majemuk.24
Tidak lama setelah nabi menetap di Madinah, atau menurut
sementara ahli sejarah belum cukup dua tahun dari kedatangan nabi di
kota itu, beliau mempermaklumkan satu piagam yang mengatur
kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan
komponen-komponen masyarakat yang majemuk di Madinah. Piagam
tersebut lebih dikenal sebagai Piagam Madinah. Banyak di antara
pemimpin dan pakar ilmu politik Islam beranggapan bahwa Piagam
Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam
yang pertama dan yang didirikan oleh Nabi di Madinah.
Secara garis besar yang, butir-butir penting yang telah diletakkan
oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk
masyarakat majemuk di Madinah adalah:
1. Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi
merupakan satu komunitas.
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara
anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lain
didasarkan atas prinsip-prinsip: (a) Bertetangga baik; (b) Saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama; (c) Membela mereka
yang teraniaya; (d) Saling menasehati; (e) menghoramati kebebasan
beragama.
Satu hal yang patutu dicatat bahwa Piagam Madinah, yang oleh
banyak pakar politik didakwakan sebagai konstitusi negara Islam yang
pertama itu, tidak menyebut agama negara.

24
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1993), hal. 9 – 10.

152
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, yang menjadi persoalan


adalah tidak meninggalkan satu Sunnah tentang bagaimana sistem
penyelenggaraan negara itu, misalnya bagaimana sistem pengangkatan
kepala negara, siapa yang berhak menetapkan undang-undang, kepada
siapa kepala negara bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk
pertanggungan jawab tersebut. Karena ketidakjelasan ini, timbullah
praktik sistem kenegaraan dalam sejarah Islam yang berubah-ubah.
Dalam Masa Khulafaul-Rasyidin terlihat kebijakan yang bervariasi satu
sama lain, terutama sekali menyangkut masalah suksesi. Misalnya,
ketika Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan
melalui satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi
saw., wafat. Umar ibn Khaththab mendapat kepercayaan sebagai
khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu musyawarah
terbuka, tetapi melalui penunjukan dan wasiat pendahulunya, Abu
Bakar, kendatipun Abu Bakar pernah mendiskusikan dengan sahabatnya
yang lain secara tertutup. Usman ibn Affan menjadi khalifah ketiga
melalui pemilihan oleh sekelompok orang yang telah ditetapkan oleh
Umar ibn Khaththab sebelum ia wafat. Sementara Ali ibn Abi Thalib
diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan.
Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah telah jauh
berubah dari ajaran yang sebenarnya bila dibandingkan dengan praktik
masa Nabi Saw., dan Khulafa’ al-Rasyidin. Pada masa ini hampir tidak
ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan, terutama dalam hal suksesi.
Tradisi suksesi telah berubah dari praktik msyawarah menjadi sistem
penunjukan terhadap anaknya atau keturunannya yang lain. Tidak jarang
terjadi perebutan kekuasaan melalui kekerasan senjata. Demikian pula
praktik sistem kenegaraan di masa Bani Abbasiyah, tidak banyak
perbedaannya dengan masa Bani Umayyah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannyaoleh Nabi
Muhammad Saw., sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Dari
Nama yang dipilih oleh Nabi Saw., bagi kota hijrahnya itu menunjukkan
rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu
menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian
menghasilkan entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.

Teori Ketatanegaraan dalam Islam


Dalam bagian ini, pemaparan tentang teori kenegaraan dalam
Islam akan diuraikan berdasarkan sejarah dan tokoh yang mewarnai
pada masa tersebut. Untuk itu terbagi ke dalam tiga periode, yaitu

153
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

periode klasik: 650-1250 M, periode pertengahan: 1250-1800 M, dan


periode modern: 1800 M.25 Penulis dalam hal ini, hanya
mempresentasikan pandangan para ulama dan pemikir Islam di zaman
klasik dan pertengahan, dengan tujuan untuk menggali khazanah
pemikiran mereka tentang negara dalam perspektif Islam.
Dalam hal ini, zaman klasik dan dan pertengahan disatukan
dalam satu bagian tersendiri. Hal tersebut karena, pelacakan dilakukan
bukan berdasarkan zaman atau waktu tokoh politik hidup akan tetapi
mengikuti pola sejauh mana tingkat keterlibatan tokoh tersebut dalam
pemerintahan sehingga pandangannya sedikit banyak dipengaruhi oleh
aktivitas mereka.
Pembagian yang diterapkan di sini adalah berdasarkan pada
keterkaitan dalam pemerintahan, yang terbagi ke dalam: (1) mereka
yang terlibat langsung dalam pemerintahan, seperti Ibn Abi Rabik Al-
Mawardi dan Ibn Khaldun, (2) mereka yang berada di luar kekuasaan,
tetapi sering berpartisipasi dalam bentuk kritik terhadap kekuasaan
seperti Alqhazali dan Ibn Taimiyah, dan (3) mereka yang terlepas dari
konteks politik yang ada, sehingga bersifat spekulatif, seperti al-
Farabi.26
Ibn Abi Rabik adalah seorang politikus yang hidup pada masa
dinasti Abbasiyyah mendukung bentuk pemerintahan monarki. Dalam
pandangan Ibn Abi Rabik, monarki atau kerajaan di bawah pimpinan
seorang raja serta penguasa tunggal, sebagai bentuk terbaik.27 Alasan
yang dikemukakan oleh Ibn Abi Rabi’ adalah keyakinannya bahwa
dengan banyak kepala, maka politik negara akan terus kacau dan sukar
membina persatuan.28 Untuk urusan agama, Ibn Abi Rabik mengatakan
bahwa Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja dengan segala
keutamaan, telah memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya dan
mempercayakan hamba-hamba-Nya kepada mereka.29 Untuk
menguatkan pendapatnya, Ibn Abi Rabik mengutip dua ayat Alquran
yang artinya:

25
Istilah ini dipinjam dari masa yang diklasifikasikan oleh Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 56-89.
26
Harun, Islam…, h. 69.
27
Masykuri Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah
Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern”, Tashwirul Afkar, No. 7 (2000), h. 102.
28
Munawir, Islam…, h. 46.
29
Munawir, Islam…, h. 46.

154
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

”Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa


di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (al-An’m : 16

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(al-
Nisa’: 59)

Dari dua ayat tersebut, pada surat pertama tercantum kata khalaif
dan pada ayat kedua tercantum uli al-amr. Dengan demikian, Ibn Abi
Rabi’ melandaskan sistem pemerintahan monarki dari dua kata tersebut.
Adapun Mawardi yang terkenal dengan political scientist,30 dia
merupakan tokoh perumus konsep imamah.31 Alasan mengapa mawardi
menggagas perlunya imamah, pertama, adalah untuk merealisasi
ketertiban dan perselisihan, kedua berdasarkan kepada surat al-Nisa’ (4)
: 59. Dengan begitu, kata uli al-amr menurut mawardi adalah imamah
(kepemimpinan). Lebih dari itu, dalam karyanya al-Ahkam
Alsulthaniyyah (principles of government), mengemukakan bahwa
imamah atau khalifah adalah penggantian posisi Nabi untuk menjaga
kelangsungan agama dan urusan dunia.32 Dari definisi tersebut
mengandung tiga unsur, yaitu (1) imamah itu adalah tidak lain dari
mengganti kedudukan Nabi; (2) objek khilafah ialah menjaga agama,
dan (3) mengendalikan masyarakat.33 Untuk menjaga dua aspek tersebut,
Mawardi menawarkan enam sendi negara yaitu; pertama, agama yang
dihayati. Agama diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu dan
pengawas melekat atas hati nurani manusia, karenanya merupakan sendi
yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan negara. Kedua,

30
Munawir, Islam…, h. 47
31
Syamsul Anwar, “Al-Mawardi dan Teorinya tentang Khilafah,” Al-Jami’ah,
no. 35, 1987, h. 24.
32
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h. 5.
33
Hasbi as-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta:, Bulan
Bintang, 1991, h. 37.

155
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

penguasa yang berwibawa. Dengan wibawanya dia dapat


mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda dan membina negara
untuk mencapai sasaran-sasarannya yang luhur dan menjaga agama yang
dihayati, melindungi jiwa dan kehormatan warga negara, serta menjaga
mata pencaharian mereka. Penguasa itu ialah imam dan khalifah. Ketiga,
keadilan yang menyeluruh. Dengan menyeluruhnya keadilan akan
tercipta keakraban antara sesama warga negara, menimbulkan rasa
hormat dan ketaatan kepada pemimpin, menyemarakkan kehidupan
rakyat dan membangun minat rakyat untuk berkarya dan berprestasi.
Keempat, keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan
rakyat dapat menikmati ketenangan batin dan dengan tidak adanya rasan
takut akan berkembang inisiatif dan kegiatan serta daya kreasi rakyat.
Meratanya keamanan adalah akibat menyeluruhnya keadilan. Kelima,
kesuburan tanah yang berkesinambungan. Dengan kesuburan tanah
kebutuhan rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang lain
dapat dipenuhi, dan dengan demikian dapat menghindarkan perebutan
dengan segala akibat buruknya. Keenam, harapan kelangsungan hidup.
Dalam kehidupan manusia terdapat kaitan erat antara kelangsungan
generasi dengan generasi yang lain.34 Dari enam sendi di atas, tampak
bahwa bentuk negara yang ditawarkan Mawardi tidak begitu jelas.
Dengan kata lain, sikap Mawardi dapat diartikan bahwa baik sumber
awal praktek politik Islam maupun fakta sejarah, memang dia tidak
menemukan bentuk pemerintahan yang baku yang dapat dikatakan
sebagai bentuk pemerintahan yang islami. Namun, ia menawarkan
perangkat kenegaraan mulai dari pemilihan kepala negara, menteri, dan
tata cara pemberhentian mereka.35 Oleh karena itu, ada yang
berpendapat bahwa pandangan tersebut mendekati apa yang sekarang
dikenal dengan konsep welfare state (negara yang memberi pelayanan
kepada masyarakat).36 Menurut Mahmud A. Faksh, Almawardi
menggambarkan bahwa pemerintahan Islam yang ideal adalah 30 tahun

34
Munawir, Islam…, h. 46.
35
Untuk mengetahui pandangan al-Mawardi tentang hal-hal tersebut, Lihat
Donald P. Little, “A New Look at Al-Ahkam al-Sulthaniyya”, The Muslim World, Vol.
LXIV, 1974, h. 1-15; Sri Mulyati, “The Theory of State of Al-Mawardi”, dalam Sri
Mulyati, dkk., Islam and Development A Politico-Religious Response, Yogyakarta:
Titian Ilahi Press,PERMIKA Montreal, LPMI, 1997, h. 8-15; Fathurrahman Djamil,
“Al-Mawardi: Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara”, dalam
Sudarnoto Abdul Hakim dkk, (peny.), Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk
70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, Yogyakarta: Lembaga Penterjemah dan
Penulis Muslim Indonesia, 1995, h. 135-166.
36
Syamsul, Al-Mawardi…, h. 26.

156
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

dalam periode ”Republik” setelah Nabi.37 Jadi, menurut Mawardi,


pemerintahan para Sahabat Nabi yakni, Abu Bakar, Umat Ibn
Alkhathab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib merupakan
pemerintahan yang bercorak republik. Pendapat ini didukung oleh
Masykuri Abdillah yang mengatakan bahwa pada masa al-Khulafaul-
Rasyidun (11-41 H/632-661 M), bentuk negara lebih tepat disebut
republik, karena sistem pemilihan kepala negara dilakukan dengan cara
pemilihan/pengangkatan oleh rakyat atau wakilnya berdasarkan kualitas
individual, bukan berdasarkan kriteria kekeluargaan secara turun
temurun.38
Sementara itu, Ibn Khaldun seorang qadhi kenamaan yang juga
seorang pengikut filosof Muslim, Ibn Rusyd,39 dalam hal negara ia
membedakan antara masyarakat (society) dan negara. Menurutnya,
manusia memiliki wazi (kharisma) dan mulk kekuasaan.40 Karena
mempunyai dua hal tersebut, yaitu kharisma dan kekuasaan maka
disebut negara. Negara ini muncul dari masyarakat yang menetap yang
telah membentuk sivilisasi atau peradaban (umran, madaniah,
hadharah) bukan lagi yang masih berpindah-pindah mengembara seperti
kehidupan nomad di padang pasir.41
Lebih lanjut, berdasarkan kekuasaan, Ibn Khaldun membagi tipe
negara ke dalam dua kelompok yaitu: 1) negara yang berciri kekuasaan
(mulk thabiiy), dan 2) negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi).
Dari dua tipologi tersebut, tipe pertama ditandai oleh kekuasaan yang
sewenang-wenang (despotisme) dan cenderung kepada ”hukum rimba”.
Adapun tipe kedua terbagi lagi ke dalam tiga macam yaitu: 1) negara
hukum atau nomokrasi (siyasah diniyah), 2) negara hukum sekuler
(siyasah aqliyah),dan, 3) negara ala ”Republik” Plato (siyasah
madaniyah)42 Dari ketiga tipe negara tersebut, menurut Ibn Khaldun
negara ideal adalah siyasah diniyyah atau nomokrasi Islam.43
37
MahmudA. Faksh, “Theories of State in Islamic Political Thought”, Journal
of South Asian And Middle Eastern Studies, Vol. VI, No. 3, 1983, 63-64.
38
Masykuri, Gagasan…, h. 99.
39
A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung:
Mizan, 1993, 67; idem, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, Sebuah Refleksi,
Bandung: Pustaka, 1995, h. 116.
40
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat,Bandung: Mizan, 1998, h.
Andi Faisal Bakti, “The Political Thought and Communication of Ibn Khaldun,” dalam
Yudian Wahyudi dkk, The Dynamics of Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998, h. 235.
41
Deliar, Pemikiran.., h. 71.
42
Ibn Khaldun, Muqaddimah , Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h. 190-1.
43
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.10.

157
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

Di samping teori di atas, Ibn Khaldun menguraikan teori


Ashabiyyah (group feeling), yakni rasa satu kelompok. Teori tersebut
menurut Fuad Baali, sangat dekat dengan ide Emile Durkheim yaitu
kesadaran kolektif (conscience collective).44 Dengan begitu, maka corak
ashabiyyah sama dengan dawlah yang berarti negara dalam arti
dinasti.45 Munawir Sjadzali46 menyimpulkan bahwa pertama, teori
ashabiyyah merupakan solidaritas kelompok yang terdapat dalam watak
manusia. Dasarnya dapat bermacam-macam: ikatan darah atau
persamaan keturunan, bertempat tinggal berdekatan atau bertetangga,
persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang
dilindungi, kedua, adanya solidaritas kelompok yang kuat merupakan
suatu keharusan bagi bangunnya suatu dinasti atau negara besar, ketiga,
seorang kepala negara atau raja, agar mampu mengendalikan secara
efektif ketertiban negara dan melindunginya, baik terhadap gangguan
dari dalam maupun dari luar dan kekuatan fisik yang memadai. Oleh
karena itu, dari berbagai ashabiyyah atau solidaritas kelompok yang
terdapat di negara itu, kepala negara atau raja harus berasal dari
solidaritas yang paling dominan, dan keempat, banyak dinasti atau
negara besar yang dibangun dari atau karena agama, kekuasaan yang
dimiliki oleh penguasa atau raja itu berkat adanya solidaritas atau
keunggulan.47
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang penguasa menurut
filsafat politik Ibn Khaldun, maka dibutuhkan tiga hal. Pertama,
mengenal tujuan dengan baik, yaitu bahwa orang harus tahu ke arah
mana masyarakat dibimbing. Kedua, mengenal kondisi aktual tentang
komunitas politik, tempat seorang negarawan mengenal seni politiknya.
Ketiga, penguasaan seni memerintah dapat berasal dari pengalaman
menjalankan kekuasaan.
Lebih lanjut, Alghazali merupakan teolog, ahli hukum, pemikir
orisinil, ahli tasawuf terkenal dan mendapat julukan Hujjah Alislam.48

44
Fuad Baali, ‘Ashabiyyah,dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford
Ensyclopedia of The Modern Islamic World, 4 Vol. New York: Oxford University
Press, 1995, I : 140.
45
Fuad Baali, ‘Ashabiyyah, h. 140
46
Munawir, Islam…, h. 105.
47
Abdurrahmane Lhakhsasie, “Ibn Khaldun”, dalam Seyyed Hossein Nasr
dan Oliver (ed.), History of Islamic Filosophy, London and New York: Routledge,
1996, h. 354.
48
Gelar-gelar di atas bukanlah gelar yang muncul begitu saja, mengingat jasa-
jasanya terhadap pemikiran Islam, baik itu hukum, filsafat, pendidikan dan politik.
Untuk lebih mengetahui pemikiran al-Ghazali dan jasa-jasanya terhadap ilmu

158
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

Menurut al-Ghazali, negara bisa berdiri oleh karena dua sebab: pertama,
kebutuhan akan keturunan demi keberlangsungan hidup umat manusia,
hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan
serta keluarga; dan kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan
makanan, pakaian dan pendidikan anak.49 Karena dua hal tersebut, maka
diperlukan kerja sama dan saling membantu antar sesama manusia,
antara lain dengan membangun pagar-pagar tinggi di sekeliling pusat
perumahan, dan di sanalah lahir negara karena dorongan kebutuhan
bersama.50 Tentang bentukpemerintahan, al-Ghazali menganut sistem
teokrasi. Sebab, kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat,
melainkan dari Allah. Dalam hal ini, ia berdalil kepada dua surat al-
Qur’an yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.(al-Nisa’: 59)
dan,

Katakanlah: ”Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berokan


kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut
kerajaan dari orang yang engkau kehendaki...(Ali ’Imran : 26).

Ayat pertama sudah tentu menyangkut masalah uli al-amr,


sedangkan ayat kedua berkenaan dengan istilah malik, mulk. Tampaknya
kedua kata tersebut diartikan dengan istilah raja dan kerajaan. Di sinilah
letak pandangan Alghazali bahwa bentuk pemerintahan adalah teokrasi.
Adapun Ibn Taimiyah menganggap bahwa mendirikan suatu
pemerintahan untuk mengelola urusan umat merupakan kewajiban
agama yang paling agung, karena agama tidak mungkin tegak tanpa
pemerintahan. Alasan lain adalah Allah memerintahkan amr maruf dan
nahi munkar serta misi atau tugas tersebut tidak mungkin dilaksanakan

pengetahuan baca Massino Campanini, “Al-Ghazali”, dalam Hossein Nasr dan Oliver
(ed), History…, hlm. 258-349. M. Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical
Norms in Ghazali and Kant, Ankara: Turkye Diyanet Vaktiyayin Kurulu’num, 1992,
khususnya Bab II dan IV; idem, Falsafah Kalam di Era Postmodernism, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995, h. 127-40.
49
Munawir, Islam…., h. 74.
50
Ibid, h. 75.

159
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

kekuatan atau kekuasaan pemerintah.51 Dalam konteks ini Ibn Taimiyah


sebagai orang puritan yang menganggap al-Qur’an dan Hadis satu-
satunya referensi bagi setiap formulasi pemikiran,52 yang karenanya
pemikiran Ibn Taimiyah banyak mengacu kepada dua sumber tersebut.
Lebih lanjut, dalam pandangan Ibn Taimiyah, pemerintahan di
masa Nabi dinamakan khilafah dan sesudahnya disebut dengan kerajaan.
Akan tetapi, Ibn Taimiyah tetap membolehkan kerajaan dengan istilah
khilafah (jawaz tasmiyyah al-muluk al-khilafah).53 Dengan kata lain,
bagi Ibn Taimiyah raja-raja yang berkuasa boleh menggunakan istilah
atau gelar khalifah. Hal ini dapat dipahami sebab, tampaknya, bagi Ibn
Taimiyah yang penting ada seorang pemimpin negara ketimbang tidak
ada. Dengan begitu, maka Ibn Taimiyah mendukung adanya negara
monarki dan republik asalkan pemimpinnya menjaga agama dan
keadilan.54
Selain para ulama dan pemikir Muslim tersebut, adalah al-
Farabi,55 seorang filosof yang sering dikenal dengan sebutan ”Guru
Kedua” (al-Muallim al-Tsani) setelah Aristoteles, sang ”Guru Pertama”
(al-Muallim al-Awwal), menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk
sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk
bermasyarakat, karena tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya
sendiri tanpa bantuan atau kerja sama dengan pihak lain.56
Al-Farabi dengan konsepnya Negara Utama (al-Madinah al-
Fadhilah) yang secara filosofis mengacu kepada negara kesatuan yang
dibangun pada masa Nabi di Madinah.57 Kecuali itu, konsep penting al-
Farabi adalah sebagai pencetus negara kemasyarakatan yang bercorak
federasi (colevistic state).58 Di samping konsep tersebut, Alfarabi
menawarkan tiga macam masyarakat yang sempurna. Pertama,

51
Al-Nisa’ (4) : 59.
52
Ali ‘Imran (3): 26.
53
Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis, terj. Imran Rosyidi,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000, h. 13.
54
Ibn Taimiyah, Al-Khilafah wa al-Mulk, Yordan: Maktabah al-Manar, 1988,
h. 23-25. Di samping karya tersebut baca juga penjelasan Ibn Taimiyah tentang
perangkat kenegaraan dalam karyanya, As-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’I wa al-
Ra’iyyah, Beirut: Dar al-Jil, 1988.
55
Analisa awal tentang Al-Farabi, baca, Deborah L, Black, “Al-Farabi”,
dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver, History.., h. 178-197.
56
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari
Chicago, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 33.
57
Munawir, Islam…, h. 50-51.
58
Sumarno, Konsepsi Negara…, h. 5.

160
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

masyarakat sempurna besar, yaitu gabungan banyak bangsa yang


sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama. Kedua,
masyarakat sempurna sedang yaitu masyarakat yang terdiri dari satu
bangsa yang menghuni di satu wilayah di bumi ini.Ketiga, masyarakat
sempurna kecil yaitu masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu
kota. Tampaknya, masyarakat yang ketigalah yang dinamakan dengan
Negara Utama. Sebab ketika Nabi mendirikan negara hanya dalam satu
cakupan kota, Yastrib (Madinah). Karena itu, pemikiran Alfarabi
mengacu pada konsep republik. Sebab, corak pemerintahan pada masa
Nabi adalah republik.
Dari uraian di atas, satu hal yang penting dicatat bahwa tidak ada
ulama yang mempersoalkan apakah Islam mempunyai konsep tentang
negara atau tidak. Akan tetapi, bagaimanapun mereka telah berbuat,
artinya sejumlah orang dan masyarakat Muslim telah mendirikan negara
dan mengadopsi hukum-hukum Allah yang ditafsirkan dari Alquran dan
Hadis Nabi.59 Sehingga, benar apa yang dikatakan oleh Nurcholish
Madjid, bahwa formalisasi negara Islam adalah produk isu modern.60
Dalam bahasa Olaf Schumann, ”masalah negara Islam”, atau dawlah
islamiyyah memang merupakan masalah masa kini dan baru timbul
ketika umat Islam dan pemukanya terpaksa memikirkan kembali paham
dan bentuk negara yang mereka anggap cocok dengan Islam, akan tetapi
yang sekaligus tahan uji terhadap kepentingan-kepentingan zaman
modern.61

SIMPULAN
Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari
ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan
pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak
Rasulullah saw., melakukan hijrah dari Mekkah ke Yatsrib–yang
kemudian diubah namanya menjadi Madinah–hingga saat sekarang ini
dalam wujud sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik
Islam Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah
kenegaraan. Sesungguhnya, secara umum keterkaitan antara agama dan

59
Ibid.
60
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi NilaiIslam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, h. 155; idem, “Menyegarkan
Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”, dalam Muhammad Kamal
Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, terj. Ahmadie Thaha,
Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, h. 282-285.
61
Schumann, Dilema Islam, h. 62.

161
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

negara, di masa lalu dan zaman sekarang, bukanlah hal yang baru,
apalagi hanya khas Islam.
Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan
teladannya oleh Nabi Muhammad saw., sendiri setelah hijrah dari
Makkah ke Madinah. Dari Nama yang dipilih oleh Nabi saw., bagi kota
hijrahnya itu menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi
sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi,
yang kemudian menghasilkan entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.
Negara Madinah pimpinan Nabi, pada dasarnya adalah model
bagi hubungan antara negara dan agama dalam Islam. Pengalaman
Negara Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh
tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya,
wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti
pada sistem diktatorial, melainkan kepada banyak orang melalui
musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang
dan kekuasaan tidak pada keinginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi
pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama.
Karena wujud historis terpenting dari sistem sosial-politik pengalaman
Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq Almadinah
(Piagam Madinah) yang di kalangan sarjana modern juga menjadi amat
terkenal sebagai ”Konstitusi Madinah”.
Ide pokok pengalaman Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu
tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi,
melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang
dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh
prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar
semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.

162
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

DAFTAR BACAAN

A. Syafii Maarif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, Sebuah


Refleksi, Bandung: Pustaka, 1995.
A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia,
Bandung: Mizan, 1993.
Abdurrahmane Lhakhsasie, “Ibn Khaldun”, dalam Seyyed Hossein Nasr
dan Oliver (ed.), History of Islamic Filosophy, London and
New York: Routledge, 1996.
Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
Andi Faisal Bakti, “The Political Thought and Communication of Ibn
Khaldun,” dalam Yudian Wahyudi dkk, The Dynamics of
Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Deborah L, Black, “Al-Farabi”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver,
History of Philosophy, London and New York: Routledge,
1996.
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat,Bandung: Mizan, 1998.
Donald K. Emmerson, “Islam and Regime in Indonesia: Who’s
Coopting Whom?” makalah disampaikan dalam pertemuan
tahunan American Political Sceince Association, Atlanta,
Georgia, 31 Agustus 1989.
Donald P. Little, “A New Look at Al-Ahkam al-Sulthaniyya”, The
Muslim World, Vol. LXIV, 1974.
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1980.
Fathi Osman, “Parameters of the Islamic State,” Arabia: The Islamic
World Review, No. 17, Januari 1983.
Fathurrahman Djamil, “Al-Mawardi: Mekanisme Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Negara”, dalam Sudarnoto Abdul Hakim
dkk, (peny.), Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk
70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, Yogyakarta: Lembaga
Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of Intellectual
Tradition, Chicago and London: University of Chicago Press,
1982.
Fazlur Rahman, Islam, New York, Chicago, San Fransisco: Holt,
Reinhart, Winston, 1966, h. 241.

163
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

Fred Halliday and Hamzah Alavi (eds.), State and Ideology in the
Middle East and Pakistan, New York: Monthly Review Press,
1988.
Fuad Baali, ‘Ashabiyyah,dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford
Ensyclopedia of The Modern Islamic World, 4 Vol. New York:
Oxford University Press, 1995.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-
Press, 1985).
Hasbi As-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1993.
Hasbi as-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta:,
Bulan Bintang, 1991.
Ibn Khaldun, Muqaddimah , Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h. 190-1.
Ibn Taimiyah, Al-Khilafah wa al-Mulk, Yordan: Maktabah al-Manar,
1988.
Ibn Taimiyah, As-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah,
Beirut: Dar al-Jil, 1988.
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1992.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Lathifah Press, 2004.
Klauss Ferdinand and Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and Society,
London: Curzon Press, 1988.
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development
Ideologis, Chicago and London: University of Chicago Press,
1988.
Leonard Binder, Religion end Politics in Pakistan, Berkeley and Los
Angeles; University of California Press, 1963;
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernism,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

M. Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in


Ghazali and Kant, Ankara: Turkye Diyanet Vaktiyayin
Kurulu’num, 1992.
MahmudA. Faksh, “Theories of State in Islamic Political Thought”,
Journal of South Asian And Middle Eastern Studies, Vol. VI,
No. 3, 1983.
Massino Campanini, “Al-Ghazali”, dalam Hossein Nasr dan Oliver (ed),
History of Philosophy, London and New York: Routledge,
1996.

164
Mahyiddin,
Filsafat Hukum Ketatanegaraan

Masykuri Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam:


Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern”, Tashwirul
Afkar, No. 7 (2000).
Michael Hudson, “Islam and Political Development,” dalam John L.
Esposito (ed.), Islam and Development, Syracuse: Syracuse
University Press, 1980.
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989.
Mohammed Arkoun, The Concept of Authority in Islamic Thought,”
Klauss Ferdinand and Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and
Society, London: Curzon Press, 1988.
Mohammed Ayoub (ed.), The Politics of Islamic Reassertion, London:
Croom Helm, 1981. Edward Mortimer, Faith and Power: The
Politics of Islam, London: Faber and Faber, 1982.
Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Muti’, al-Fikr al-Siyasi fi al-
Islam: Syakhsiyat wa Mazahib, Kairo: Dar al-Jam’iyyat, 1978.
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari
Chicago, Jakarta: Paramadina, 2000.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993).
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993).
Musnad Ibn Hanbal, Jil. 4
Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World,
London and New York: Routledge, 1991.
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan
Umat Islam Indonesia”, dalam Muhammad Kamal Hassan,
Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, terj.
Ahmadie Thaha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987.
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi NilaiIslam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina,
1998.
Olaf Schumann, Dilema Islam Kontemporer Antara Masyarakat Madani
dan Negara Islam, Paramadina, Vol.I, No. 2, 1999.
Qamaruddin Khan, al-Mawardi’s Theory of The State, (Lahore: tanpa
tahun), hlm. 1.
R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution: Fundamentalism in the Arab
World, Sycracuse University Press, 1985.
Robert M. Maclver, The Modern State, London: Oxford University,
1980.

165
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 139-166

Robert N. Bellah, “Islamic Tradition and the Problem of


Modernization,” dalam Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essays
on Religion in a Post-Tradisionalist World, Berkeley and Los
Angeles: University of California Press, 1991.
Ruth McVey, “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics,”
James Piscatori (ed.), Islam in the Political Proceess.
Sanad Ibn Majah, Jil. I.
Sri Mulyati, “The Theory of State of Al-Mawardi”, dalam Sri Mulyati,
dkk., Islam and Development A Politico-Religious Response,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press,PERMIKA Montreal, LPMI,
1997.
Syamsul Anwar, “Al-Mawardi dan Teorinya tentang Khilafah,” Al-
Jami’ah, no. 35, 1987.
Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis, terj. Imran Rosyidi,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
W.F. Wertheim, “Indonesian Moslems Under Sukarno dan Suharto:
Majority with Minority Mentality,” Studies on Indonesian
Islam, Townsville: Occasional Paper No. 19, Centre for
Southeast Asian Studies, James Cook University of North
Queensland, 1986.

166
Mahdi,
Minority Recruitment

MINORITY RECRUITMENT

by
Sayed Mahdi
Lecturer of Faculty of Economics,
Syiah Kuala University, Banda Aceh

ABSTRACT

Keberdaan tenaga kerja unggul dalam sebuah perguruan tinggi


menjadi tolak ukur keberhasilan kampus dalam jangka panjang.
Karyawan atau staff pengajar yang unggul bisa menjadikan nilai
competitive bagi sebuah perguruan tinggi, di mana para pesaing sulit
untuk meniru keunggulan tersebut dalam jangka pendek. Oleh karena
itu, dalam article ini menjelaskan model dan kebijakan perkrutan
karyawan dalam industri perguruan tinggi Amerika, terutama untuk
tenaga pengajar dari golongan minoritas.. Disamping itu, artikel ini
juga menjelaskan hubungan positif yang di kaitkan dengan aspek hukum
dalam bidang ketenaga kerjaan dengan process seleksi tenaga pengajar
dari golongan minoritas.yang di harapkan bisadi implementasikan
dalam dunia perguruan tinggiAceh.

Keywords: Minority recruitment, affirmative action and faculty


recruitment.

Introduction
With sweeping demographic changes occurring in the United
States, employers in all industries will need to reform and refocus their
minority hiring and recruitment practices in order to better serve their
clients. Higher education will need to be on the forefront of this
transition. The U.S. Census Bureau (2008) released projections that
minorities, currently roughly one-third of the population, are projected
to become the majority by 2042. They also project that by 2023 more
than half of children will be minorities. Though more prevalent within
some demographic areas, this will have resounding effects throughout
higher as well as K-12 education.
So where does this need to begin to ensure that minority faculty
make up more than the current 16 percent of full-time faculty in the

167
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178

coming years (National Center for Education Statistics, 2008)? It first


must start with the understanding of affirmative action and the employee
selection process. By understanding these two aspects and incorporating
them together in a successful way, higher education as a whole can
better sever their clients.

History of Affirmative Action


There have been many reforms and Act’s that have changed the
legal way to hirer and handle employees in the United States. The Equal
Pay Act of 1963 prohibits discrimination of wages on the basis of sex.
The Age Discrimination in Employment Act of 1967 (reformed in 1974)
prohibits discriminating against individuals over the age of 40 in
employment decisions. The most important of these is the Civil Rights
Act of 1967, which prohibited discrimination on the basis of race, color,
religion, sex/gender, or national origin. This was advanced by the Civil
Rights Act of 1968 which provides criminal penalties for discrimination
in hiring (Auburn).
Affirmative action promotes access to employment for
historically depressed groups. The phrase “affirmative action” was first
used in President John F. Kennedy’s Executive Order 10925 stating that
employers must “take affirmative action to ensure that applicants are
employed, and that employees are treated during employment, without
regard to their race, creed, color, or national origin.” The phrase was
also reiterated and later used in Lyndon Johnson's 1965 Executive Order
11246.

U.S. Equal Employment Opportunity Commission


In 1965, the United States Equal Employment Opportunity Commission
(EEOC) was created to help shape the law and educate the public. This
took place until 1972 when Congress gave litigation enforcement
authority to the EEOC. Today, the EEOC enforces laws, provides
oversight, and coordinates all equal employment opportunity policies.
One thing prohibited by the Civil Rights Act of 1964 is discrimination
of employment on the basis of race and color. This protects all
individuals seeking employment with an employer whom has 15 or
more employees (EEOC).
When recruiting for a position, job requirements must be
consistent for persons of all races and colors. It is illegal to solicit
applications only from sources where potential workers are all of the
same race or color. Also, requiring applicants to have a certain

168
Mahdi,
Minority Recruitment

educational background that is unimportant to their job performance is


prohibited. An employer can request information regarding race and
color on the application if its purpose is for affirmative action tracking,
but they are not allowed to base any decisions on that information. The
EEOC suggests that if this information is requested, it be kept separate
from the application when it is being reviewed. If it is not handled this
way, and members of a racial group are not offered employment, it
could suggest discrimination (EEOC).
This can be a cause for concern among employers who have to
be worried about being sued. This is not to say that they cannot hire a
more qualified candidate that is not a minority. Where it becomes a
problem is if there is a less qualified, non-minority hired over a more
qualified minority; in that case charges could be filed.

Faculty Recruitment
One detailed example of an outlined hiring practice is that used
by Auburn University. They use a 23 point checklist, with many
chances to catch unethical recruitment. After the department justifies its
need to fill or add a position, the appropriate higher level administrators
will sign their approval. The search committee can then be selected
from among tenured faculty and start going over job description,
qualifications, and advertisement options for the position. This
information is then checked by the Dean, Provost, and by the
Affirmative Action Equal Employment Opportunity Office (AA/EEO)
(Auburn).
After this, advertisements and announcements can be sent, but no
changes can be made without the approval of the AA/EEO. Once
resumes are received applicants are sent a Voluntary Affirmative Action
Survey Card, which is returned to the AA/EEO who prepares a new
form for the committee. Applicants can only be reviewed based on
advertised criteria, and if an applicant is not chosen for an interview, a
statement indicating why they were not chosen must be submitted. It is
not sufficient for the committee to just indicate, “less qualified”
(Auburn).
After the candidates are chosen and interviewed, the search
committee chooses the candidate that they would like to select. All of
their documentation then goes to the AA/EEO. Once the department
chair makes a conditional offer, everything then must be approved again
by the Dean, Provost, and AA/EEO. Once approved by all three parties,
an official offer can be made (Auburn).

169
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178

With just a short summary of Auburn University’s policy for


hiring faculty, it is clear to see the checks that are in place involving
their Affirmative Action Equal Employment Opportunity Office. One
thing that Auburn could do that is not detailed is include staff and/or
students on the search committee. This may bring more diversity and
different view points to the search. However, by following the steps
they outline, they are able to go though the right channels in order to
avoid legal action against them. If any legal issues ever do come up,
they have the documentation on file to counter any accusation.

Strategies for Minority Recruitment


So how does an institution insure that they have enough minority
candidates in their applicant poll? Many colleges take the approach of
waiting for applicants to apply and then consider them (Jaskchik, 2006).
There are many steps that can be taken to attract minority candidates to
apply. These can come in the form of the locations chosen for
advertisement, networking, and creating an atmosphere that will attract
minority faculty.
One good way of advertising for a position to target a particular
group is to maintain contacts among minority interest groups involved in
higher education. One example of these are The Compact for Faculty
Diversity which helps to support students of color as they complete their
degrees (Turner, 2002). Another example would be The Hispanic
Theological Initiative which helps support Hispanic scholars looking for
faculty positions (Turner, 2002). Also, some more well known
organizations such as The Association of American Colleges and
Universities (AACU) and The American Association of University
Professors (AAUP) each reach out an promote diversity and could
attract more candidates of color (Turner, 2002).
There are many more organizations that exist to support diversity
in faculty and help locate current faculty and graduating students. The
University of Michigan lists nine websites that they post positions on
that are geared at attracting minorities (Michigan). By utilizing these
types of sources, an institution could post positions and connect with
many perspective candidates at a very low cost, if any.
Another way to attract minority faculty is through networking.
Many times, everyday communication determines who finds out about
open positions. One way this can be accomplished is by connecting
with minority faculty members at other campuses and creating networks,
or even through the community (Turner, 2002). One obstacle with

170
Mahdi,
Minority Recruitment

forcing networks is that the current faculty must realize the importance
and purpose of reaching out to minorities in order to create diversity.
Creating an environment on campus that makes minorities feel
welcome is another way in which an institution can reach out. This can
be done with a minority faculty member on the search committee whom
is respected and visible in the community (Turner, 2002). Once
minority faculty members are hired, if they feel welcome and at home at
that institution, then by word of mouth and networking they will be able
to reach out to other scholars who may be interested in future positions.
By utilizing theses techniques that can be accomplished before any
applications begin to come in, a search committee will have a more
diverse applicant poll to review.

Present Need
With the predicted surge of minority students entering higher
education in the United States over the next two decades, there will be
an inevitable wave of retirements that will reshape higher education. As
the baby boomers close in on retirement, there will be a large void that
will need filled. The average age of retirement for the general
population is 62, but on average faculty members are retiring at the age
of 66 (Wheeler, 2008). In a report by TEAA-CREF, the first baby
boomers turn 62 this year (Wheeler, 2008). This proves that the next
decade in higher education will be a busy one for faculty search
committees.
In 2007, a faculty profile was released documenting the age of
Auburn University’s faculty. Over five percent of Auburns faculty was
over 65 while about 28 percent ranged from 55-64 (Auburn). If the
average retiring age of faculty holds true at 66, it is possible that Auburn
could see around 33 percent of its faculty depart in the next decade. The
chart below shows that they had 1,176 faculty members in 2007,
meaning they have the potential to need over 380 new faculty members
within the next 10 years.

Figure 1

171
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178

100% = 1,176
33.7%

28.3%

22.6%

10.2%

5.1%

0.1%
Below 25 25-34 35-44 45-54 55-64 65+

Auburn University is not alone in having a large number of


faculties that will be exiting the work force. In 2007, Penn State
University had a total number of 5,335 faculty members in all of their
schools. Between those 5,335, 14.6 percent of those faculty members
were 60 years of age or older (Penn State). This means if the average
age of retirement holds true, Penn State could need to recruit around 780
new faculty members within the next six years, and even more from
losing other faculty members. In 2006, it was predicted that Cornell
University would need to hire around 400 new faculty members in the
next five years. The chart below shows the average age of the faculty at
Cornell and again reinforces the changes that will soon impact higher
education as a whole.
Figure 2

172
Mahdi,
Minority Recruitment

The American Association of State Colleges and Universities


stated in 2006, “Higher Education faculty is aging and there will be a
major bulge in retirements over the next decade. Tomorrow’s faculty
will be more female, more diverse racially and ethnically, and will bring
different expectations to their careers.” In 2006, 38 percent of full-time
faculty was made up of women compared to 27 percent in 1987. At this
time, 80 percent of full-time faculties were white, compared to 1987
when 89 percent of full-time faculties were white (AAACU). This
statement and the figures shown reinforces the notion that higher
education is moving in a different direction.

Student Learning and Diversity


The changing demographics in the United States should not be
the only reason to promote diversity, nor should minorities
automatically be hired for diversity sake. Pamela Bernard, the vice
president and the general council at Duke University feels that “if
students are to become global citizens, thinkers who can comprehend
and act on the myriad issues that our world faces, they must interact
with people who challenge their views” (Duke). The more diverse an

173
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178

institution’s faculty is, the more perspectives students have exposure to.
Students who have this exposure to different minority’s perspectives can
take different views and ideas and become more complex thinkers
(Turner).
Beyond the classroom learning aspect, it is also important to
understand some of the characteristics that employers are looking for
when hiring recent college graduates. In a survey conducted by Peter D.
Hart Research Associates, Inc. on behalf of the AACU, 76% were
looking for employees with teamwork skills and the ability to
collaborate with other in a diverse group setting (AACU). The survey
was conducted in 2006 and involved 305 employers with 25 or more
employees. It reported that 25% or more of new hires held a bachelors
degree from a four year institute. That 76% who were looking for
employees that could function appropriately in a diverse group also falls
inline with the 72% of the employers who were looking for candidates
with knowledge of global issues and developments and their
implications on the future (AAUP). It is easy to see, demographic
changes aside, that diversity in the classroom is an important key to a
students learning and ability to step outside their realm of familiarity. It
also speaks to the importance of preparing students, minority or not, for
future employment in today’s changing market.

Reverse Discrimination
While there may be a need and purpose for hiring more diverse
faculty members, there are things which a search and selection
committee must avoid. Some opponents of affirmative action will argue
that strides have been made since the Civil Rights Act of 1967 and that
there is not a need for the process. This may be further argued as
President-elect Barrack Obama gets ready to step into the White House.
Reverse discrimination cases have been heard inside court rooms
numerous times since the implementation of affirmative action. The key
for institutions is to take the right steps to prevent themselves from any
legal conflict.
In 1999, Virginia Tech made an unprecedented decision in
academia and took faculty hiring practices away from the faculty and
gave them to the Dean. Two years prior to this move, 35% of all hires
in arts and sciences were either women or minority. In the spring of
2002, 88% of all new hires in arts and sciences were women or minority
(Wilson, 2002). Some said that Virginia Tech needed to take these
drastic steps to break up the “genteel Southern institution” (Wilson,

174
Mahdi,
Minority Recruitment

2002). Robert B. Clegg, who at the time was a lawyer for the Center for
Equal Opportunity, a research group that opposes affirmative action,
said there is nothing wrong with the dean being involved in the hiring
process. He did state however, “But if your motive for doing that is to
give a preference to some groups and to discriminate against others, then
you’re breaking the law” (Wilson, 2002).
So what do institutions need to do to ensure that they are not
basing a decision solely on race? In two cases over the last decade
involving the University of Michigan and their admissions decisions, the
court has ruled that Michigan had successfully demonstrated that one of
its core missions was to enhance student learning by having a diverse
student body (Bernard, 2006). If institutions are going to continue
hiring minority faculty to create a more diverse atmosphere, they must
be able to show that their decisions are based on the mission of the
institution, and document why their candidate does this as opposed to
another candidate. In essence, if their goal is diversity, they must be
able to demonstrate that the applicant in question is going to be able to
educate and prepare their students for an intricate, diverse world.

Conclusion
Employment in the United States has come a long way since the
Civil Rights Act of 1967. With the coining of the phrase “affirmative
action” by President John F. Kennedy, to the creation of the United
States Equal Employment Opportunity Commission, progress has been
made to create a more diverse workplace throughout the country. Have
we come far enough though in over 40 years? With the changing
demographics that will be sweeping the country in the next two decades,
it is safe to say that the United States will soon be considerably diverse.
To create a diverse workplace in the future without an affirmative action
agenda, students at all levels must be experience different views to
become more complex thinkers in order to deal with a changing global
economy.
That said, with the apparent statistics it would be all too easy to
say that institutions should hire minority faculty whenever a position
opens. Yet as competing countries continue to grow within the higher
education system, institutions need to hire the most educated, prepared,
and dedicated faculty available, regardless of race, gender, age, or
religion. There is an obvious need for minority faculty, but there is an
even greater need to mentor minority students, and all students, so they
can advance their education and become part of a competitive applicant

100%
175= 1,176
33.7%
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178

pool. If this can occur in the present, in the next 2 decades affirmative
action can become a side issue, and instead of focusing on one’s
physical traits, higher education institutions can concentrate on
programs that will make professors better at preparing students for their
futures.

Appendix A
Figure 1

Distribution of Full-time Faculty by Age for Auburn University


2005-2006, Source: www.auburn.edu/administration
Appendix B
Figure 2

176
Mahdi,
Minority Recruitment

Average Age of Faculty at Cornell, Source: http:// www. news. cornell.


edu

References
American Association of State Colleges and Universities (2006).
Faculty Trends and Issues. Retrieved: November 12, 2008.
www.aascu.org.
Association of American Colleges and Universities (2006). Peter D.
Hart Research Associates, Inc. How Should Colleges Prepare
Students to Succeed in Today’s Global Economy? Retrieved:
November 10, 2008. www.aacu.org.
Auburn University Office of Affirmative Action/EEO. Faculty
Recruitment Checklist. Retrieved: November 11, 2008.
http://www.auburn.edu/administration/aaeeo/.
Auburn University AA/EEO Major Laws. Retrieved: November 12,
2008.
http://www.auburn.edu/administration/aaeeo/majorlaws/constit
ution.html.
Bernard, Pamela J. (2006). When Seeking a Diverse Faculty, Watch
Out for Legal Minefields. The Chronicle of Higher Education.
53 (6).
Jaschik, Scott. (2006). New Approaches to Faculty Hiring. Inside
Higher Ed. Retrieved: November 12, 2008.
http://www.insidehighered.com.
Kennedy, John F. (1961). Establishing the President’s Committee on
Equal Employment Opportunity. Executive Order 10925.
Retrieved: November 11, 2008.
National Center for Education Statistics (2008). Digest of Educational
Statistics: 2007. Retrieved: November 12, 2008.
http://nces.ed.gov.
Penn State University Budget Office. Retrieved: November 20, 2008.
http://www.budget.psu.edu.
Steele, Bill (2006). In a Seller’s Market, Cornell Needs to Recruit
Hundreds of New Faculty, Putting Years-long Pressure on
Budget. Retrieved: November 18, 2008. http://www.news.-
cornell.edu/stories/Oct06/DC.faculty.ws.html.

177
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 167-178

The U.S. Equal Employment Opportunity Commission (2008).


Race/Color Discrimination. Retrieved: November 12, 2008.
http://www.eeoc.gov/types/race.html.
Turner, Caroline. (2002). Diversifying the Faculty: A Guidebook for
Search Committees. Washington, DC: Association of American
Colleges and Universities. University of Michigan Human
Resources. Retrieved: November 13, 2008.
http://www.hr.umich.edu.
U.S. Census Bureau (2008). An Older and More Diverse Nation by
Midcentury. Retrieved: November 12, 2008.
http://www.census.gov.
Wheeler, David L. (2008). Colleges Explore New Ways to Manage
Retirements. The Chronicle of Higher Education. 54 (40).
Wilson, Robin (2002). Stacking the Deck for Minority Candidates? The
Chronicle Of Higher Education. 48 (44).

178
Azimi,
Studi Islam Komprehensif

STUDI ISLAM KOMPREHENSIF


(Sebuah Upaya untuk Memahami Islam dalam Berbagai Aspeknya)

oleh
Zul Azimi1

PENDAHULUAN
Untuk memahami ajaran Islam memang diperlukan metodologi.
Metodologi yang tepat akan mengantarkan umat Islam terhadap
pemahaman yang utuh dan integral terhadap Islam itu sendiri.
Sebaliknya, memahami Islam secara parsial (sepotong-
sepotong/sepihak) akan menimbulkan penilaian yang berat sebelah alias
tidak seimbang.
Metodologi ibarat kunci yang bisa membuka pintu rumah, pintu
mobil, atau pintu lemari. Tanpa kunci kita tidak akan mampu membuka
pintu rumah dan melihat isinya. Tanpa kunci kita tidak bisa menjalankan
mobil dan mengantarkan kemana arah yang kita tuju. Tanpa metodologi
kita tidak mampu melihat isi ajaran Islam dengan baik. Tanpa
metodologi pula kita tidak akan mampu sampai kepada tujuan
pemahaman Islam secara efektif, efisien dan cerdas.
Seseorang yang hanya memahami Islam hanya dari sudut
pandang fiqih semata akan menimbulkan ketidakutuhan dalam menilai
ajaran Islam, seolah-olah Islam itu hanya berisi hukum-hukum saja.
Islam juga agama yang berbicara tentang sains, teknologi, sejarah,
pemikiran, ekonomi, politik, dakwah, teologi, tasawuf, filsafat,
pendidikan, serta aspek-aspek lainnya.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana memposisikan Islam
sebagai sasaran penelitian? Atho Mudzhar2 berpendapat bahwa kajian
tentang Islam secara garis besar dapat mengambil dua bentuk kajian:
pertama, kajian terhadap Islam sebagai wahyu; kedua, kajian tentang
Islam sebagai produk sejarah.

1
Penulis adalah alumni Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry NAD. Saat ini
sebagai direktur Lembaga Sosial Kemasyarakatan “Saleum”, berdomisili di Sigli
(Aceh Pidie).
2
Lihat Atho Mudzar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 19-23.

179
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190

Dalam ungkapan yang berbeda, Jacques Waardenburg3


menyatakan bahwa studi-studi keislaman melingkupi studi mengenai
Islam sebagai agama dan tentang aspek-aspek keislaman dari
kebudayaan masyarakat Muslim. Lebih lanjut Waardenburg
menjelaskan bahwa untuk meneliti Islam harus dibedakan antara Islam
normatif yang berupa preskripsi-preskripsi, norma-norma, dan nilai-nilai
yang termuat dalam petunjuk suci (Alquran & Alsunnah) dan, Islam
aktual, berupa semua bentuk gerakan, praktek dan gagasan yang pada
kenyataannya eksis dalam masyarakat Muslim dalam waktu dan tempat
yang berbeda-beda.4

PEMBAHASAN
Karakteristik Ajaran Islam
Istilah “karakteristik ajaran Islam” terdiri dari dua kata:
karakteristik dan ajaran Islam. Kata karakteristik dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai karakter
atau sifatnya yang khas.5 Islam dapat diartikan agama yang diajarkan
Nabi Muhammad saw., yang berpedoman pada kitab suci Alquran dan
diturunkan ke dunia ini melalui wahyu Allah swt.6 Ensiklopedi Islam
Indonesia, mendefinisikan bahwa Islam adalah agama tauhid yang
ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw., selama 23 tahun di Makkahdan
Madinah yang inti sari Islam berserah diri atau taat sepenuh hati pada
kehendak Allah swt., demi terciptanya kepribadian yang bersih,

3
Dikutip oleh Mastuhu dan Deden Ridwan dalam Tradisi Baru Penelitian
Agama Islam, (Jakarta: Nuansa, 1998), hal. Vi.
4
Waardenburg mengajukan tiga lingkup kajian yang dapat dilakukan dalam
studi Islam. Pertama, studi normatif terhadap Islam, yang umumnya dikerjakan kaum
Muslim sendiri untuk menemukan kebenaran relijius meliputi studi-studi: tafsir, hadis,
fiqih, dan kalam. Kedua, studi non-normatif terhadap Islam, biasanya dilakukan di
universitas-universitas dan meliputi baik apa yang dianggap kaum Muslim sebagai
Islam yang benar , maupun Islam yang hidup (living Islam), yakni ekspresi-ekspresi
relijius kaum Muslim yang faktual. Lingkup kedua ini bisa dilakukan baik oleh Muslim
maupun non-Muslim. Ketiga, studi non-normatif terhadap aspek-aspek kebudayaan
dan masyarakat Muslim, dalam pengertian yang lebih luas dapat meliputi: telaah Islam
dari sudut sejarah dan sastra atau antropologi budaya dan sosiologi, serta tidak spesifik
bertitik tolak dari sudut agama.
5
Badudu dan Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan,
1996), hal. 617.
6
Pusat Depennas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai Pustaka,
1994), hal. 444.

180
Azimi,
Studi Islam Komprehensif

hubungan yang harmonis, dan damai sesama manusia serta sejahtera


dunia dan akhirat.7
Ajaran Islam mengandung berbagai arti pula, yaitu sebagai
berikut:
1. Menurut dan menyerahkan. Orang yang memeluk Islam adalah
orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan menurut segala
ajaran yang telah ditentukan-Nya.
2. Sejahtera, tidak tercela, tidak cacat, selamat, tenteram, dan
bahagia. Ini berarti bahwa setiap Muslim adalah orang yang
sejahtera, tenteram, selamat, dan bahagia, baik di dunia maupun
di akhirat dengan tuntutan ajaran Rabbul’alamin.
3. Mengaku, menyerahkan, dan menyelamatkan. Ini berarti bahwa
orang yang memeluk Islam itu adalah orang yang mengaku
dengan sadar adanya Allah swt, kemudian ia menyerahkan diri
pada kekuasaan-Nya dengan menurut segala titah dan firman-
Nya sehingga ia selamat di dunia dan di akhirat.
4. Damai dan sejahtera. Artinya bahwa Islam adalah agama yang
membawa kepada kedamaian dan perdamaian. Membawa
kesejahteraan dunia dan akhirat. Orang yang memeluk Islam
adalah orang yang menganut ajaran perdamaian dan
mencerminkan jiwa perdamaian dalam segala tingkah laku dan
perbuatan.8
Dari segi bahasa (etimologi) Islam berasal dari bahasa Arab,
yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan
damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang
berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Juga berarti memelihara
dalam keadaan sentosa, menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
karakteristik ajaran Islam adalah suatu karakter yang harus dimiliki oleh
setiap umat Muslim dengan berpedoman kepada Alquran dan Hadis
dalam berbagai bidang ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial,
ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memiliki ciri-ciri khas tersendiri.
Secara sederhana, karakteristik ajaran Islam dapat diartikan
menjadi suatu ciri yang khas atau khusus yang mempelajari tentang
berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam berbagai
bidang agama, muamalah (kemanusiaan), yang di dalamnya termasuk

7
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 443.
8
Taufiq H. Idris, Kebudayaan Mengenal Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983),
hal. 24.

181
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190

ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan


hidup dan disiplin ilmu.9

Kajian Keislaman dalam Sejarah


Ilmu-ilmu keislaman banyak dirumuskan pada abad ke-2, 3 dan
4 Hijriyah atau abad 8, 9, dan 10 Masehi. Pada abad tersebut supremasi
keilmuan memperoleh kemajuan luar biasa. Lahirnya sejumlah ahli-ahli
di bidang ilmu-ilmu keislaman memperlihatkan ramainya percaturan dan
pembahasan ilmiah di bidang ini. Pada periode ini telah muncul para
mujtahid besar yang mungkin tidak dapat ditandingi mujtahid periode
manapun.
Demikian pula peletakan dasar-dasar metodologi hampir seluruh
disiplin ilmu agama dirumuskan di masa ini. Teori tentang penelitian
hadis Nabi muncul dan berkembang sejalan dengan pelacakan sabda-
sabda Nabi yang berserakan di berbagai tempat oleh para peneliti yang
tekun menghimpun dan menganalisisnya. Penetapan hukum Islam yang
menuntut ijtihad maksimal juga mendorong munculnya metodologi
istinbath atau penetapan hukum untuk kemaslahatan kaum Muslimin.
Metodologi menafsirkan Alquran menjadi sesuatu yang harus dan wajib
diikuasai setiap orang yang akan menafsirkan Alquran.
Dari pembahasan aspek metodologi inilah kemudian muncul
ilmu-ilmu bantu yang menjadi pedoman bagi para peneliti ilmu-ilmu
keislaman seperti ulumul Hadis, ulumul Alquran, ushul fiqih, ilmu
tajwid, ilmu lughah dan lain-lain. Dari lahirnya metodologi inimuncul
ilmu-ilmu yang menjadi produk penelitian dimaksud. Di kelompok
ilmu-ilmu keislaman berkembang ilmu yang berhubungan dengan
Alquran, Hadis, Fiqih, Kalam, Tasawwuf, dan Tarikh. Perkembangan
ilmu-ilmu keislaman tersebut didukung oleh pembahasan dan penetapan
metodologi yang sistematis dan mapan.10

Signifikansi Studi Islam


Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan Universal
Cultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa ‘segala
sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya’. Karena
sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan
eksistensinya, berarti ia mempunyai dan memerankan sejumlah peran

9
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Graffindo Persada,
2002), hal. 79.
10
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana
Pustaka, 2005), hal. 2.

182
Azimi,
Studi Islam Komprehensif

dan fungsi dalam masyarakat.11 Oleh karena itu, studi Islam menjadi
penting karena agama, termasuk Islam, memerankan sejumlah peran dan
fungsi di masyarakat.
Dalam pengantar simposium nasional yang diselenggarakan oleh
Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana (FKMP) IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tanggal 6 Agustus 1998 di Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM), Harun Nasution12 mengatakan bahwa persoalan
yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama
–terutama dari sisi etika dan moralitasnya–kurang mendapat tempat
yang memadai.
Situasi keberagamaan di Indonesia cenderung menampilkan
kondisi keberagamaan yang legalistik-formalistik. Agama “harus”
dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul
formalisme keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk” daripada
“isi”. Kondisi seperti itu menyebabkan agama kurang dipahami sebagai
seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan
manusia dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Di samping
itu, formalisme gejala keagamaan yang cenderung individualistik
daripada kesalehan sosial, mengakibatkan munculnya sikap kontra
produktif seperti nepotisme, kolusi, dan korupsi.13
Harun Nasution berpandangan bahwa orang yang bertakwa
adalah orang yang melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi cegahan-
Nya. Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang dekat
dengan Tuhan; dan yang dekat dengan Yang Maha Suci adalah “suci”;
orang-orang sucilah yang mempunyai moral yang tinggi. Gambaran
yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut mendapat sambutan
cukup serius dari Masdar F. Masudi. Masdar F. Masudi14 mengatakan
bahwa kesalahan kita, sebagai umat Islam Indonesia, adalah
mengabaikan agama sebagai sistem etika dan moral yang relevan bagi
kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal
budi. Karena itulah, kita tersentak ketika temuan memperlihatkan
kepada dunia sesuatu yang sangat ironi: negara Indonesia yang
penduduknya 100% beragama, mayoritas beragama Islam (sekitar 90%)
11
Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, (Bandung: Al-Fabeta, 1993),
hal. 79.
12
Harun Nasution, “Format Baru Gerakan Keagamaan”, makalah disampaikan
dalam pembukaan simposium Nasional di PPIM IAIN Jakarta, 1998, hal. 1.
13
Harun Nasution, “Format Baru Gerakan Keagamaan”, hal. 1-2.
14
Masdar F. Mas’udi, “Agama Sumber Etika Negara-Negara: Perlu
Pemikiran Ulang”, makalah disampaikan dalam simposium Nasional di PPIM IAIN
Jakarta, 1998, hal. 1-3.

183
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190

dan para pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar agama ternyata


menduduki peringkat terkemuka di antara negara-negara yang paling
“korup” di dunia.
Dari gambaran umat Islam Indonesia di atas, dapat diketahui
bahwa agama Islam di Indonesia belum sepenuhnya dipahami dan
dihayati oleh umat Islam. Oleh karena itu, signifikansi studi Islam di
Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman
masyarakat Muslim Indonesia secara khusus, dan masyarakat beragama
pada umumnya. Adapun perubahan yang diharapkan adalah format
formalisme keagamaan Islam diubah menjadi format agama yang
substantif. Sikap eksklusivisme kita ubah menjadi sikap universalisme,
yakni agama yang tidak mengabaikan nilai-nilai spiritualitas dan
kemanusiaan karena pada dasarnya agama diwahyukan untuk manusia.
Di samping itu, studi Islam diharapkan dapat melahirkan suatu
komunitas yang mampu melakukan perbaikan secara intern dan ekstern.
Secara intern, komunitas itu diharapkan dapat mempertemukan dan
mencari jalan keluar dari konflik intra-agama Islam; tampaknya konflik
internal umat Islam yang didasari dengan organisasi formal keagamaan
belum sepenuhnya final. Studi Islam diharapkan melahirkan suatu
masyarakat yang siap hidup toleran (tasamuh) dalam wacana pluralitas
agama, sehingga tidak melahirkan Muslim ekstrem yang membalas
kekerasan agama dengan kekerasan pula; pembakaran masjid dibalas
dengan pembakaran gereja. Oleh karena itu, dalam situasi hidup
keberagamaan di Indonesia, studi agama–terutama Islam, karena
merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk–sangat penting
dilakukan.

Islam Normatif & Islam Aktual


1. Islam Normatif
Islam dari segi normatif memiliki pedoman yang jelas yakni
wahyu berupa Alquran dan sabda Nabi berupa hadis, yang menjelaskan
pesan-pesan Alquran lebih detail. Memahami Islam secara normatif
berarti menggali, memahami, menghayati dan mengamalkan pesan-
pesan Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadis Nabi saw. Kajian
terhadap Islam sebagai wahyu Allah bukan bertujuan mempertanyakan
kebenaran Alquran dan ajaran-ajarannya, melainkan mempertanyakan
bagaimana mempelajari cara membaca Alquran, bagaimana memahami
ayat-ayat yang diturunkan, apa hubungan ayat yang satu dengan yang
lainnya atau surat yang satu dengan yang lainnya, kenapa bahasa
Alquran memakai istilah ini bukan itu, dan lain sebagainya.

184
Azimi,
Studi Islam Komprehensif

Sudah jelas bagi kaum Muslim bahwa Islam adalah wahyu Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai pedoman untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Dilihat dari sejarahnya,
wahyu itu bersifat mutawatir (kabar yang dapat dipercaya dan diyakini
kebenarannya). Dari kenyataan sejarah cukup banyak para Sahabat yang
meriwayatkannya dari Nabi, kemudian para tabiin (para pengikut
Sahabat), bahkan generasi sesudahnya.
Keorisinalan sejarah Alquran diyakini keasliannya oleh kaum
Muslimin. Para orientalis pun mengakui bahwa Alquran adalah benar
yang dibaca oleh Nabi Muhammad dulu; hanya mereka tidak
menyebutkan sebagai wahyu Allah sebagaimana kaum Muslimin
mengakuinya. Namun mereka mengakui bahwa Alquran adalah bacaan
Nabi Muhammad yang ditulis oleh Zaid ibn Tsabit kemudian
dikumpulkan oleh Abu Bakar dan diperbanyak salinannya oleh Usman
ibn Affan.
Ringkasan yang disebut wahyu dalam Islam adalah ayat-ayat
dalam bahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi. Kalau ayat-ayat itu
diganti dengan kata lain walaupun hanya diganti dengan sinonimnya itu
sudah bukan wahyu lagi. Demikian pula kalau diubah susunan kata-
katanya meskipun susunan kata-kata itu adalah dengan menggunakan
bahasa Arab, itu juga bukan firman Allah. Mengapa? Di dalamnya
sudah ada campur tangan manusia. Adapun terjemahan adalah hasil
pemikiran manusia.15

2. Islam Aktual
Islam aktual memahami ekspresi relijius para penaganutnya
dalam bentuk pengamalan. Dari sudut pandang ini tampak corak dan
ragam pengamalan yang berbeda-beda di satu tempat dengan yang
lainnya. Namun corak pengamalan itu terbatas pada hal yang bukan
prinsip melainkan menyangkut sesuatu yang biasa disebut furu
(cabang).
Di damping ajaran yang bersifat doktrin, Islam juga merupakan
agama yang dapat diteliti dari berbagai sudut pandang seperti
sejarahnya, akidahnya, hukumnya, filsafatnya, moral dan sosiologinya,
dan sebagainya. Dari sudut pandang doktrin, Islam adalah agama yang
diwahyukan Allah, agama satu-satunya yang benar dan diterima di sisi
Allah sesuai dengan Surat Ali Imran ayat 19. Tetapi dipandang dari

15
Harun Nasution, “Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: sebuah
Perspektif”, dalam Mastuhu dan Deden Ridwan (Ed). Tradisi Baru Penelitian Agama
Islam, Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998), hal. 10.

185
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190

sudut penganutnya, Islam dapat diteliti dari berbagai sudut pandang,


misalnya bagaimana ketaatan penganutnya terhadap agamanya. Dari
segi ini, meminjam istilah Atho Mudzhar, Islam dapat dipandang
sebagai “produk budaya, produk sejarah, gejala sosial dan lain-lain.”
Islam sebagai “produk budaya” akan memberi corak yang
berbeda antara satu daerah dengan daerah lain karena masing-masing
penganut di masing-masing wilayah berbeda-beda. Corak Islam yang
dianut di Timur Tengah akan berbeda dengan yang dianut orang-orang
di Jawa Tengah; upacara-upacara orang Islam di Saudi Arabia di
samping memiliki kesamaan dengan negara Muslim lain tentu memiliki
ciri khas yang berbeda dengan tradisi Islam di berbagai belahan bumi
ini; cara merayakan hari-hari besar di Iran akan jauh berbeda dengan
teman-teman kita di Padang Pariaman, misalnya. Tradisi berlebaran di
Indonesia dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri jauh lebih
semarak dari pada di Makkah dan Madinah. Tradisi Idul Adha yang di
Indonesia biasa-biasa saja tapi justeru di Arab Saudi lebih semarak dan
sakral.
Sekurang-kurangnya, terdapat lima gejala yang perlu
diperhatikan apabila kita hendak mempelajari suatu agama: Pertama,
scripture atau naskah-naskah atau sumber-sumber ajaran agama
tersebut. Kedua, para penganut, pemimpin atau pemuka agama, yakni
sikap, perilaku dan penghayatan agama para penganutnya. Ketiga, ritus-
ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat seperti salat, haji, puasa,
perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat (sarana) seperti masjid, gereja,
lonceng, peci, sorban, dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi
keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan,
seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Gereja Katolik,
Gereja Protestan, Syiah, Ahmadiyah dan lain-lain.16
Islam sebagai produk sejarah memberikan gambaran kepada kita
bahwa wajah Islam yang kita lihat dan saksikan sehari-hari tidak
seluruhnya sama dan sebangun dengan Islam yang ada pada zaman
Nabi. Teologi Syiah, Mutazilah bahkan Ahlus Sunnah wa al-Jamaah,
yang menjadi anutan banyak pemeluk Islam di dunia, adalah produk
sejarah. Konsep Khulafa al-Rasyidin, ijtihad empat mazhab fikih, dan
konsep tasawwuf al-Ghazali adalah produk sejarah.
Dalam hal Islam sebagai produk budaya dan sejarah,
memberikan gambaran kepada kita bahwa campur tangan manusia
dalam membedah dan memformulasikan ajaran, mazhab, pendapat dan

16
Mudzhar, Pendekatan studi…, 30-32.

186
Azimi,
Studi Islam Komprehensif

renungannya demikian–dominan. Mereka sama-sama mendasarkan


pendapatnya atas teks wahyu dan sunnah Nabi. Peran ijtihad dalam hal
ini demikian besar. Hasil ijtihad kalau benar-benar didasarkan atas teks
yang mutawatir dengan tujuan mencari kebenaran demi kemaslahatan
umat dinilai sebagai berpahala. Ada dalil yang populer menyatakan,
“barang siapa berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala,
sebaliknya barang siapa berijtihad dan hasilnya tidak benar maka ia
tetap memperoleh satu pahala.”

Memahami Islam secara Komprehensif


Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar orang
berpendapat tentang Islam, atau menyaksikan orang yang mengamalkan
ajaran Islam. kadang-kadang kita menyaksikan ada yang pendapatnya
ekstrim, ada yang longgar, bahkan ada yang serba boleh. Ada juga
penilaian orang luar Islam terhadap Islam yang terkesan miring bahkan
negatif, di samping tidak sedikit yang netral dan fair. Hal ini terlihat
misalnya dalam tradisi orientalisme, yang melihat Islam secara
mendalam namun ia bukan Muslim.
Untuk memahami ajaran Islam secara utuh (komprehensif)
memang tidak dapat hanya dengan mengandalkan satu cara atau
pendekatan semata. Orang memahami Islam dari sudut tafsir Alquran
saja, tanpa mempertimbangkan hal-hal yang lain, maka keislamannya
dianggap parsial (sepihak). Demikian juga mengamalkan Islam dari
sudut hukum fikih semata, juga akan tidak utuh.
Dengan demikian, untuk dapat memahami Islam secara benar
dapat ditempuh beberapa cara:
Pertama, Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, yaitu
Alquran dan Alsunnah. Kekeliruan memahami Islam adalah karena
orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang
telah jauh dari bimbingan Alquran dan Alsunnah atau melalui
pengenalan dari kitab-kitab fikih dan tasawwuf yang semangatnya sudah
tidak sesuai dengan perkembangan zaman;
Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak parsial;
artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang
bulat. Memahami Islam secara parsial (sepotong-sepotong) akan
membahayakan, akan menimbulkan sikap skeptis, bimbang, dan tidak
pasti;
Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh
para ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana Islam, karena pada
umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik, yaitu

187
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190

pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap


Alquran dan Sunnah Rasul dengan pengalaman yang dihadapi setiap
saat. Namun bukan berarti perpustakaan ulama besar ini tidak ada
kekurangannya. Mereka pada umumnya hidup pada abad klasik yang
secara sosio kultur tidak sama dengan kondisi saat ini. Pengenalan akan
karya-karya mereka sekurang-kurangnya sebagai bahan studi banding
dan tidak diperlakukan sebagai hal yang taken for granted (diambil
begitu saja).
Keempat, memahami Islam tidak boleh hanya dihampiri dengan
satu pendekatan saja, sebab hal itu akan menimbulkan ketidakutuhan.
Misalnya memandang Islam dari sudut tasawwufnya saja; hal ini akan
menimbulkan konsekwensi bahwa segala sesuatu di luar itu kurang
dianggap penting. Hal lainnya bahwa pengutamaan pendekatan hanya
pada tasawwuf semata akan menimbulkan kepincangan pada aspek
muamalah karena boleh jadi orang hanya mengutamakan kesalehan
individual sementara kesalehan sosial kemasyarakatan diabaikan.
Demikian pula bila memahami Islam hanya dari sudut sejarahnya atau
sosial budayanya akan berakibat pada longgarnya ikatan norma agama
karena selalu dikaitkan dengan kenyataan sosial budaya penganutnya.
Dalam hal pendekatan pemahaman Islam secara bulat dan utuh,
A. Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI, mengajukan beberapa cara
yaitu pertama, ketahui siapa Tuhan yang menjadi pusat penyembahan;
kedua, pelajari kitab sucinya yaitu Alquran; Ketiga, pelajari pribadi Nabi
Muhammad; Keempat, teliti suasana dan situasi di mana Nabi
Muhammad bangkit; kelima, pelajari orang-orang terkemuka seperti
sahabat-sahabat Nabi yang setia.17

PENUTUP
Dalam situasi global seperti di zaman ini, agama diharapkan
dapat memberikan jawaban terhadap berbagai masalah, baik yang
berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, politik, keamanan maupun
kemakmuran, dan lain sebagainya. Hal ini antara lain karena diyakini
bahwa agama mengandung nilai-nilai universal dan absolut yang
mampu memberikan resep-resep mujarab (solusi) yang tidak ada habis-
habisnya.
Namun demikian, untuk sampai kepada keadaan di mana agama
mampu bersentuhan dengan berbagai persoalan aktual yang berkaitan
dengan berbagai dimensi kehidupan tersebut diperlukan pendekatan-
17
A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), hal. 38-44.

188
Azimi,
Studi Islam Komprehensif

pendekatan baru yang lebih relevan. Dalam kaitan itu, agama tidak
cukup dipahami dari satu pendekatan saja, seperti yang selama ini
dilakukan, melainkan harus dipahami dan dianalisis dengan
menggunakan berbagai pendekatan yang komprehensif, aktual dan
integral. Seseorang yang ingin memahami agama dalam hubungannya
dengan berbagai masalah tersebut perlu melengkapi diri dengan ilmu-
ilmu bantu seperti filsafat, sejarah, antropologi, sosiologi, sains dan
teknologi dan sebagainya.
Ilmu-ilmu keislaman yang selama ini terkesan jumud (stagnan),
sebenarnya tetap dapat diaktualisasikan dan dikembangkan sesuai
dengan tuntutan zaman, sepanjang yang mengembangkan ilmu-ilmu
keislaman tersebut melengkapi dirinya dengan ilmu-ilmu bantu, dan
menguasai teori-teori penelitian lengkap dengan metodologinya, baik
secara teoritis maupun praktis. Memahami agama Islam yang ideal
seperti disebutkan di atas perlu dilakukan, karena suatu sikap
keberagamaan yang benar harus bertolak dari pemahaman yang benar
terhadap agama tersebut.

189
Mentari Vol. 12 No. 1, Januari 2009: 179-190

DAFTAR PUSTAKA

A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan


Bintang, 1991).
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Graffindo
Persada, 2002).
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
Badudu dan Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1996).
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005).
Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, (Bandung: Al-Fabeta,
1993).
Harun Nasution, “Format Baru Gerakan Keagamaan”, makalah
disampaikan dalam pembukaan simposium Nasional di PPIM
IAIN Jakarta, 1998.
Harun Nasution, “Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: sebuah
Perspektif”, dalam Mastuhu dan Deden Ridwan (Ed). Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antardisiplin Ilmu,
(Bandung: Nuansa, 1998).
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Djambatan, 1992).
Masdar F. Mas’udi, “Agama Sumber Etika Negara-Negara: Perlu
Pemikiran Ulang”, makalah disampaikan dalam simposium
Nasional di PPIM IAIN Jakarta, 1998.
Mastuhu dan Deden Ridwan dalam Tradisi Baru Penelitian Agama
Islam, (Jakarta: Nuansa, 1998).
Pusat Depennas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai
Pustaka, 1994).
Taufiq H. Idris, Kebudayaan Mengenal Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,
1983).

190

You might also like