You are on page 1of 10

FUNGSI SERTIFIKAT HAK (MILIK)

ATAS TANAH
Posted by: marunggai on: April 27, 2009

 In: FUNGSI SERTIFIKAT HAK (MILIK) ATAS TANAH


 Comment!

FUNGSI SERTIFIKAT HAK (MILIK) ATAS TANAH

 BAGI PEMILIKNYA MENURUT UUPA

Oleh  :  Syafril, S.H., M.H.

 
I. PENDAHULUAN

            Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat dengan UUPA, merupakan peraturan

perundang-undangan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia sejak empat puluh tahun

yang silam. Tujuan dari UUPA itu sendiri sebagaimana yang dicantumkan dalam Penjelasan

Umumnya adalah :

1.      Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat

untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani,

dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;

2.      Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum

pertanahan;

3.      Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah

bagi rakyat seluruhnya.

            Berdasarkan tujuan pokok UUPA tersebut di atas diatur macam-macam hak atas tanah

yang dapat diberikan dan dipunyai oleh setiap orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama

dengan orang lain ataupun badan hukum. Menurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah yang
dapat dipunyai dan diberikan kepada setiap orang dan atau badan hukum adalah hak milik, hak

guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain sebagainya.

            Yang dimaksud dengan  hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UUPA), sedangkan hak guna usaha adalah hak untuk

mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu (paling

lama enampuluh tahun), guna perusahaan pertanian (perkebunan), perikanan atau peternakan

(Pasal 28), dan hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan  atas

tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35)

            Kalau diperhatikan, maka hak milik atas tanah memberikan kewenangan untuk

menggunakannya bagi segala macam keperluan dengan jangka waktu yang tidak terbatas,

sepanjang tidak ada larangan khusus untuk itu, sedangkan hak guna usaha hanya untuk

mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk keperluan pertanian

(perkebunan), perikanan atau peternakan. Demikian pula dengan hak guna bangunan hanya

untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah milik orang lain atau tanah yang dikuasai

langsung oleh negara.

            Menurut Boedi Harsono bahwa walaupun semua hak atas tanah memberikan kewenangan

untuk menggunakan tanah yang dihaki, tetapi sifat-sifat khusus haknya, tujuan penggunaan

tanahnya dan batas waktu penggunaannya merupakan pembeda antara hak yang satu dengan hak

yang lain. Hak milik misalnya, sebagai hak yang terkuat dan terpenuh diantara hak-hak atas

tanah yang lain, boleh digunakan untuk segala keperluan yang terbuka bila dibandingkan dengan

hak-hak atas tanah yang lain, tanpa batas waktu tertentu. Lain halnya dengan hak guna

bangunan, hanya terbuka penggunaan tanahnya untuk keperluan membangun dan memiliki

bangunan, dengan jangka waktu yang terbatas[1]


            Dari semua jenis hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, maka hak

milik merupakan hak yang penggunaannya tidak ditentukan, tetapi tidak boleh bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

            Terhadap hak-hak atas tanah tersebut di atas, undang-undang mewajibkan kepada

pemegang hak untuk mendaftarkannya. Menurut Pasal 19 UUPA, untuk menjamin kepastian

hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Pendaftaran tersebut

meliputi pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan

peralihan haknya, serta pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat. Masalahnya sekarang adalah bagaimana fugsi sertifikat hak (milik) atas

tanah bagi pemiliknya menurut UUPA?

II. PENDAFTARAN TANAH

a. Pengertian

            Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menjamin kepastian hukum

diadakan pendaftaran tanah di seluiruh wilayah R.I. menurut ketentuan yang diatur dengan

peraturan pemerintah (Pasal 19 UUPA). Adapun peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari

Pasal 19 tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

sebagai ganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961dan Peraturan Menteri Negara

Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

            Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, melipti pengumpulan,


pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam

bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk

pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak

milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

b. Azas Pendaftaran Tanah


 
       Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir

dan terbuka[2].

1.      Azas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan

pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang

berkepentingan terutama para pemegang hak atas tanah.

2.      Azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu

diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan

kepastian hukum.

3.      Azas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak yang memerlu-kan, khususnya

dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan

yang diberikan dalam rangka penyelenggaran pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh

para pihak yang memerlukan.

4.      Azas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksana-annya dan

kesinambungan dalam pemeliharaan datanya.Data yang tersedia harus menunjukkan

keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan

perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.

5.      Azas terbuka dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data

yang benar setiap saat.


 

c. Tujuan Pendaftaran Tanah.

Ada 3 (tiga) tujuan pendaftaran tanah , yaitu :

1.    Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas

suatu bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak

atas tanah yang bersangkutan

2.    Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk

pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam

mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar.

3.    Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.     

       Khusus untuk tujuan pendaftaran tanah pertama yaitu untuk memberikan jaminan

kepastian hukum, meliputi [3]:

a)      Kepastian mengenai subyek hukum hak atas tanah (orang atau badan hukum)

b)      Kepastian mengenai letak, batas, ukuran/luas tanah atau disebut kepastian mengenai

obyek hak.

c)      Kepastian hak atas tanah, yakni jenis/macam hak atas tanah yang menjadi landasan

hukum antara tanah dengan orang atau badan hukum.

d.  Kegunaan Pendaftaran Tanah.

Pendaftaran tanah mempunyai kegunaan ganda, artinya di samping berguna bagi pemegang

hak, juga berguna bagi pemerintah.

1.      Kegunaan bagi pemegang hak [4]:

a)      Dengan diperolehnya sertifikat hak atas tanah dapat memberikan rasa aman karena

kepastian hukum hak atas tanah;


b)      Apabila terjadi peralihan hak atas tanah dapat dengan mudah dilaksanakan;

c)      Dengan adanya sertifikat, lazimnya taksiran harga tanah relatif lebih tinggi dari pada

tanah yang belum bersertifikat;

d)      Sertifikat dapat dipakai sebagai jaminan kredit;

e)      Penetapam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak akan keliru.

2.  Kegunaan bagi pemerintah :

a)      Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah berarti akan menciptakan

terselenggarakannya tertib administrasi di bidang pertanahan, sebab dengan

terwujudnya tertib administrasi pertanahan akan memperlancar setiap kegiatan yang

menyangkut tanah dalam pembangunan di Indonesia[5].

b)      Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, merupakan salah satu cara untuk

mengatasi setiap keresahan yang menyangkut tanah sebagai sumbernya, seperti

pendudukan tanah secara liar, sengketa tanda batas dan lain sebagainya[6].

e. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah..

Pelaksanaan pendaftaran meliputi kegiatan tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data

pendaftaran tanah

1.      Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :

a)      Pengumpulan dan pengolahan data fisik

b)      Pembuktian hak dan pembukuannya

c)      Penerbitan sertifikat.

d)      penyajian data fisik dan data yuridis.

e)      Penyimpanan daftar umum dan dokumen.

2.   Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi :


a)      Pendaftaran peralihan hak dan pembeban hak.

b)      Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya

       Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara

sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah

pendaftaran tanah yang didasarkan pada suatu rencana kerja pemerintah dan dilaksanakan

dalam suatu wilayah yang ditetapkan oleh Menteri, sedangkan pendaftaran tanah secara

sporadik adalah pendaftaran tanah yang dilakukan atas permintaan atau permohonan pihak

yang berkepentingan.

       Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan

pendaftaran tanah sedangkan masyarakat (pemegang hak atas tanah) berkewajiban untuk

mendaftarkan hak atas tanah tersebut (Pasal 23, Pasal 32 dan {Pasal 38 UUPA).

III. SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH

            Undang-undang tidak memberikan pengertian yang tegas mengenai sertifikat hak atas

tanah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat adalah adalah surat tanda

bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah,

hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang

masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kalau dilihat Pasal 19

ayat (2) huruf c UUPA, maka sertifikat itu merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai

alat bukti yang kuat.

            Selanjutnya Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat

merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data
fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut

sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

            Selain pengertian sertifikat yang diberikan oleh undang-undang secara otentik, ada juga

pengertian serttifikat yang diberikan oleh para sarjana. Salah satunya adalah K. Wantjik Saleh

yang menyatakan bahwa sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid

menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang entuknya ditetapkan oleh

Menteri[7].

            Dari pengertian di atas penulis berpendapat bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak

yang dijilid dan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang

kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, dimana data tersebut sesuai

dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

            Dari uraian di atas, maka sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat, berarti bahwa

selama tidak dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus

diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang

tercantum dalam buku sertifikat  harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan

surat ukur yang bersangkutan karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.

Dengan demikian sertifikat sebagai akte otentik, mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna, dalam arti bahwa hakim harus terikat dengan data yang disebutkan dalam sertifikat itu

selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.

            Mengapa sertifikat sebagai alat bukti yang kuat, tidak sebagai alat bukti mutlak? Hal ini

berkaitan dengan sistem publikasi yang dianut oleh hukum pertanahan Indonesia baik Peraturan

Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yakni

sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat
tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Jadi tidak sistem

publikasi positif, karena menurut sistem publikasi positif adalah apa yang tercantum dalam buku

pendaftaran tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian

yang mutlak Pihak ketiga (yang beriktikad baik) yang bertindak atas dasar bukti-bukti tersebut

tidak mendapat perlindungan, biarpun kemudian ternyata bahwa keterangan-keterangan yang

tercantum di dalamnya tidak benar[8].

            Menurut Boedi Harsono, sistem pendaftaran tanah Indonesia ialah sistem publikasi

negatif dengan tendens positif. Pengertian negatif adalah keterangan-keterangan yang ada itu jika

ternyata tidak benar masih dapat diubah dan dibetulkan, sedangkan pengertian dengan tendens

positif adalah bahwa para petugas pendaftaran tanah tidak bersikap pasif, artinya mereka tidak

menerima begitu saja apa yang diajukan dan dikatakan oleh pihak-pihak yang meminta

pendaftaran. petugas pelaksana diwajibkan untuk mengadakan pembuktian seperlunya (terhadap

hak-hak atas tanah yang didaftar tersebut) untuk mencegah kekeliruan[9].

Demikian pula pendapat Parlindungan bahwa pengertian negatif tidak berarti Kantor Pendaftaran

Tanah (Kantor Pertanahan, penulis) akan gegabah menerima permohonan pendaftaran tanah,

tetapi selalu harus melalui suatu pemeriksaan, sehingga kadangkala pendaftaran (tanah) di

Indonesia sekarang ini adalah pendaftaran yang negatai bertendensi positif[10].

IV. KESIMPULAN

            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fugsi sertifikat hak atas tanah (hak milik)

menurut UUPA merupakan alat bukti yang kuat bagi pemiliknya, artinya bahwa selama tidak

dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus

diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang
tercantum dalam buku sertifikat  harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan

surat ukur yang bersangkutan karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.

Dengan demikian sertifikat sebagai akte otentik, mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna bagi pemiliknya, dimana hakim harus terikat dengan data yang disebutkan dalam

sertifikat itu selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.

You might also like