You are on page 1of 12

Konsep Efektivitas Pembelajaran

A. Definisi Efektivitas

Efektivitas merupakan derivasi dari kata


efektif yang dalam bahasa Inggris effective didefinisikan “producing a desired or
intended result” (Concise Oxford Dictionary, 2001) atau “producing the result that is
wanted or intended” dan definisi sederhananya “coming into use” (Oxford Learner’s
Pocket Dictionary, 2003:138). Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:584)
mendefinisikan efektif dengan “ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya)” atau
“dapat membawa hasil, berhasil guna (usaha, tindakan)” dan efektivitas diartikan
“keadaan berpengaruh; hal berkesan” atau ” keberhasilan (usaha, tindakan)”.

The Liang Gie dalam Ensiklopedi Administrasi (1989:108) mendefinisikan efektivitas


sebagai berikut.

“Suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya efek atau akibat yang
dikehendaki. Jika seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang
memang dikehendaki, maka orang itu dikatakan efektif kalau memang menimbulkan
akibat dari yang dikehendakinya itu.”

Efektivitas merujuk pada kemampuan untuk memiliki tujuan yang tepat atau mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas juga berhubungan dengan masalah bagaimana
pencapaian tujuan atau hasil yang diperoleh, kegunaan atau manfaat dari hasil yang
diperoleh, tingkat daya fungsi unsur atau komponen, serta masalah tingkat kepuasaan
pengguna/client.

Selanjutnya, Steers (1985:176) menyatakan

“sebuah organisasi yang betul-betul efektif adalah orang yang mampu menciptakan
suasana kerja di mana para pekerja tidak hanya melaksanakan pekerjaan yang telah
dibebankan saja tetapi juga membuat suasana supaya para pekerja lebih bertanggung
jawab, bertindak secara kreatif demi peningkatan efisiensi dalam usaha mencapai tujuan.”

Pernyataan Steers di atas menunjukkan bahwa efektivitas tidak hanya berorientasi pada
tujuan melainkan berorientasi juga pada proses dalam mencapai tujuan. Jika definisi ini
diterapkan dalam pembelajaran, efektivitas berarti kemampuan sebuah lembaga dalam
melaksanakan program pembelajaran yang telah direncanakan serta kemampuan untuk
mencapai hasil dan tujuan yang telah ditetapkan. Proses pelaksanaan program dalam
upaya mencapai tujuan tersebut didesain dalam suasana yang kondusif dan menarik bagi
peserta didik.

Dalam ranah kajian perilaku organisasi, Steers (1985) mengemukakan tiga pendekatan
dalam memahami efektivitas. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain pendekatan
tujuan (the goal optimization approach), pendekatan sistem (sistem theory approach),
dan pendekatan kepuasan partisipasi (participant satisfaction model).
1. Pendekatan Tujuan. Suatu organisasi berlangsung dalam upaya mencapai suatu
tujuan. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini efektivitas dipandang sebagai goal
attainment/goal optimization atau pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat
pencapaian sasaran menunjukkan derajat efektivitas. Suatu program dikatakan
efektif jika tujuan akhir program tercapai. Dengan perkataan lain, pencapaian
tujuan merupakan indikator utama dalam menilai efektivitas.
2. Pendekatan Sistem. Pendekatan ini memandang efektivitas sebagai kemampuan
organisasi dalam mendayagunakan segenap potensi lingkungan serta
memfungsikan semua unsur yang terlibat. Efektivitas diukur dengan meninjau
sejauh mana berfungsinya unsur-unsur dalam sistem untuk mencapai tujuan.
3. Pendekatan Kepuasan Partisipasi. Dalam pendekatan ini, individu partisipan
ditempatkan sebagai acuan utama dalam menilai efektivitas. Hal ini didasarkan
pada asumsi bahwa keberadaan organisasi ditentukan oleh kualitas partisipasi
kerja individu. Selain itu, motif individu dalam suatu organisasi merupakan faktor
yang sangat menentukan kualitas partisipasi. Sehingga, kepuasan individu
menjadi hal yang penting dalam mengukur efektivitas organisasi.

Dari tiga pendekatan dalam menilai efektivitas organisasi di atas, bisa ditarik kesimpulan
berkenaan dengan efektivitas pembelajaran bahwa efektivitas suatu program
pembelajaran berkenaan dengan masalah pencapaian tujuan pembelajaran, fungsi dari
unsur-unsur pembelajaran, serta tingkat kepuasan dari individu-individu yang terlibat
dalam pembelajaran.

B. Pendekatan dan Model Penilaian Efektivitas

Untuk mengetahui efektivitas suatu program, perlu dilakukan penilaian terhadap manfaat
atau daya guna program tersebut. Penilaian terhadap manfaat atau daya guna disebut juga
dengan evaluasi (Stufflebeam, 1974, dalam Tayibnafis, 2000:3). Dulu, evaluasi hanya
berfokus pada hasil yang dicapai. Jadi, untuk mengevaluasi objek pendidikan, seperti
halnya pembelajaran, hanya berfokus pada hasil yang telah dicapai peserta. Akhir-akhir
ini, usaha evaluasi ditujukan untuk memperluas atau memperbanyak variable evaluasi
dalam bermacam-macam model evaluasi.

Dalam menilai efektivitas program, Tayibnafis (2000:23-36) menjelaskan berbagai


pendekatan evaluasi, yakni sebagai berikut.

1. Pendekatan eksperimental (experimental approach). Pendekatan ini berasal dari


kontrol eksperimen yang biasanya dilakukan dalam penelitian akademik.
Tujuannya untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat umum tentang dampak
suatu program tertentu dengan mengontrol sabanyak-banyaknya faktor dan
mengisolasi pengaruh program.
2. Pendekaatan yang berorientasi pada tujuan (goal oriented approach). Pendekatan
ini memakai tujuan program sebagai kriteria untuk menentukan keberhasilan.
Pendekatan ini amat wajar dan prakits untuk desain pengembangan program.
Pendekatan ini memberi petunjuk kepada pengembang program, menjelaskan
hubungan antara kegiatan khusus yang ditawarkan dengan hasil yang akan
dicapai.
3. Pendekatan yang berfokus pada keputusan (the decision focused approach).
Pendekatan ini menekankan pada peranan informasi yang sistematik untuk
pengelola program dalam menjalankan tugasnya. Sesuai dengan pandangan ini,
informasi akan amat berguna apabila dapat membantu para pengelola program
membuat keputusan. Oleh sebab itu, evaluasi harus direncanakan sesuai dengan
kebutuhan untuk keputusan program.
4. Pendekatan yang berorientasi pada pemakai (the user oriented approach).
Pendekatan ini memfokuskan pada masalah utilisasi evaluasi dengan penekanan
pada perluasan pemakaian informasi. Tujuan utamanya adalah pemakaian
informasi yang potensial. Evaluator dalam hal ini menyadari sejumlah elemen
yang cenderung akan mempengaruhi kegunaan evaluasi, seperti cara-cara
pendekatan dengan klien, kepekaan, faktor kondisi, situasi seperti kondisi yang
telah ada (pre-existing condition), keadaan organisasi dengan pengaruh
masyarakat, serta situasi dimana evaluasi dilakukan dan dilaporkan. Dalam
pendekatan ini, teknik analisis data, atau penjelasan tentang tujuan evaluasi
memang penting, tetapi tidak sepenting usaha pemakai dan cara pemakaian
informasi.
5. Pendekatan yang responsif (the responsive approach). Pendekatan responsif
menekankan bahwa evaluasi yang berarti adalah evaluasi yang mencari pengertian
suatu isu dari berbagai sudut pandang semua orang yang terlibat, berminat, dan
berkepentingan dengan program (stakeholder program). Evaluator menghindari
satu jawaban untuk suatu evaluasi program yang diperoleh dengan memakai tes,
kuesioner, atau analisis statistik, sebab setiap orang yang dipengaruhi oleh
program merasakannya secara unik. Evaluator mencoba menjembatani pertanyaan
yang berhubungan dengan melukiskan atau menguraikan kenyataan melalui
pandangan orang-orang tersebut. Tujuan evaluasi adalah untuk memahami ihwal
program melalui berbagai sudut pandang yang berbeda.

Evaluasi dilakukan dengan pendekatan kualitatif/naturalistik. Pengumpulan data


dilakukan dengan observasi dan wawancara, sedangkan instrumen tes atau kuesioner
dilakukan sebagai data pendukung serta interpretasi data dilakukan secara impresionistik.
Evaluator mengobservasi, merekam, menyeleksi, mengecek pengetahuan awal
(preliminary understanding) peserta program, dan mencoba membuat model yang
mencerminkan pandangan berbagai kelompok. Elemen penting dalam pendekatan ini
adalah pengumpulan dan penyintesisan data dengan tidak menghindari pengukuran dan
teknik analisis data. Dengan jalan ini, evaluator mencoba responsif terhadap orang-orang
yang berkepentingan pada hasil evaluasi, bukan pada permintaan desain penelitian atau
teknik pengukuran.

Selain melalui pendekatan-pendekatan di atas, efektivitas pembelajaran dapat ditinjau


dengan menggunakan berbagai model evaluasi. Salah satu model yang populer adalah
model CIPP (Context, Input, Process, Product) yang diajukan oleh Stufflebeam
(1972:73) dalam Tim MKDK Kurikulum dan Pembelajaran (2001:40). Model ini bertitik
tolak pada pandangan bahwa keberhasilan program pendidikan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain sebagai berikut:

1. Karakterisitk peserta didik dan lingkungan,


2. tujuan program dan peralatan yang dipakai, dan
3. prosedur dan mekanisme pelaksanaan program.

Menurut model ini, terdapat empat dimensi yang perlu dievaluasi sebelum, selama, dan
sesudah program pendidikan dikembangkan. Dimensi-dimensi tersebut antara lain
sebagai berikut.

1. Konteks (context), merupakan situasi atau latar belakang yang memengaruhi


tujuan dan strategi yang dikembangkan, misalnya: kebijakan departemen atau unit
kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja, dan masalah
ketenagaan yang dihadapi unit kerja.
2. Masukan (input), mencakup bahan, peralatan, dan fasilitas yang disiapkan untuk
keperluan program, misalnya: dokumen kurikulum dan bahan ajar yang
dikembangkan, staf pengajar yang bertugas, sarana/prasarana yang tersedia, dan
media pendidikan yang digunakan.
3. Proses (process), merupakan pelaksanaan nyata dari program pendidikan di
kelas/lapangan yang meliputi: pelaksanaan proses pembelajaran, pelaksanaan
evaluasi, dan pengelolaan program.
4. Hasil (product), yaitu keseluruhan hasil yang dicapai oleh program. Hasil utama
yang diharapkan dari program produktif adalah meningkatnya kompetensi siswa
sesuai bidang keahliannya.

Selain model CIPP, model lain dalam evaluasi program yang diperkenalkan Stake
(1967:72) dalam Tayibnafis (2000:21) yaitu model Countenance. Model ini menekankan
dua dasar dalam evaluasi yaitu description dan judgment, serta membedakannya dalam
tiga tahap yaitu antecedents/context, transaction/process, dan outcomes/output. Stake
menegaskan bahwa peenilaian suatu program pendidikan, dilakukan dengan
membandingkan yang relatif antarsatu program dengan yang lain, atau perbandingan
yang absolut (satu program dengan standar). Dalam model ini, antecedents (masukan),
transaction (proses), dan outcomes (hasil) dibandingkan tidak hanya untuk menentukan
apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan
dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat program.

Model evaluasi lainnya yang cukup kemprehensif dalam menilai sebuah program
pelatihan adalah model Cascio. Marwansyah dan Mukaram (2000:78) mengemukakan
bahwa dengan model Cascio kita dapat mengukur perubahan yang terjadi dalam empat
kategori untuk mengetahui efektif tidaknya suatu pelatihan. Kategori-kategori tersebut
adalah sebagai berikut.

1. Reaksi peserta terhadap pelatihan dalam bentuk pendapat dan sikap tentang
pelatih, cara penyajian materi, kegunaan dan perhatian atas materi pelatihan, serta
kesungguhan dan keterlibatan selama latihan berlangsung.
2. Hasil belajar yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap
yang terjadi pada peserta atas materi, media, dan metode belajar yang diterapkan
dalam pelatihan, baik selama pelatihan berlangsung atau sesudah pelatihan.
3. Perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil dari kehadiran dalam program
pelatihan mencakup rasa tanggung jawabnya terhadap tugas-tugas yang diberikan,
memiliki team work atau kerja sama yang kokoh, loyal dan disiplin serta memiliki
jiwa kepemimpinan.
4. Hasil yang terkait dengan peningkatan produktivitas atau kualitas organisasi
secara keseluruhan dan motivasi yang tinggi dari para lulusan pelatihan setelah
mengikuti pendidikan dan latihan, sebagai wujud tercapainya tujuan dari pelatihan
itu sendiri.

Kategori evaluasi reaksi dan belajar, lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan yang
terakhir, yaitu perubahan perilaku dan tercapainya hasil yang optimal. Perubahan perilaku
sukar untuk diidentifikasi, karena banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar program
pelatihan. Akhirnya, dampak pelatihan terhadap hasil yang dicapai merupakan ukuran
yang paling signifikan. Hal ini dapat dinilai dengan mengetahui tingkat kepuasan dunia
usaha/industri sebagai user dari lulusan.

C. Konsep Pembelajaran yang Efektif

Pembelajaran dikatakan efektif apabila dalam proses pembelajaran setiap elemen


berfungsi secara keseluruhan, peserta merasa senang, puas dengan hasil pembelajaran,
membawa kesan, sarana/fasilitas memadai, materi dan metode affordable, guru
profesional. Tinjauan utama efektivitas pembelajaran adalah outputnya, yaitu kompetensi
siswa.

Efektivitas dapat dicapai apabila semua unsur dan komponen yang terdapat pada sistem
pembelajaran berfungsi sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Efektivitas
pembelajaran dapat dicapai apabila rancangan pada persiapan, implementasi, dan evaluasi
dapat dijalankan sesuai prosedur serta sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Efektivitas pembelajaran dapat diukur dengan mengadaptasi pengukuran efektivitas
pelatihan yaitu melalui validasi dan evaluasi (Lesli Rae, 2001:3). Untuk mengukur
keberhasilan pembelajaran harus ditetapkan sejumlah fakta tertentu, antara lain dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini.

1. Apakah pembelajaran mencapai tujuannya?


2. Apakah pembelajaran memenuhi kebutuhan siswa dan dunia usaha?
3. Apakah siswa memiliki keterampilan yang diperlukan di dunia kerja?
4. Apakah keterampilan tersebut diperoleh siswa sebagai hasil dari pembelajaran?
5. Apakah pelajaran yang diperoleh diterapkan dalam situasi pekerjaan yang
sebenarnya?
6. Apakah pembelajaran menghasilkan lulusan yang mampu berkerja dengan efektif
dan efisien? (diadaptasi dari Rae, 2001:5)

Efektivitas pembelajaran merupakan permasalahan yang kompleks dan multidimensional.


Penyelenggaraan program produktif sebagai bagian dari proses pendidikan dan latihan
harus dipandang sebagai suatu kekuatan yang komprehensif dan utuh. Oleh karena itu,
selain melakukan evaluasi intensif terhadap pelaksanaan pembelajaran produktif, perlu
diterapkan konsep Total Quality Control (TQC) dalam pelaksanaan pembelajaran.

Total Quality Control atau Pengendalian Mutu Terpadu merupakan suatu sitem yang
efektif untuk mengintegrasikan usaha-usaha pengembangan kualitas, pemeliharaan
kuantitas, dan perbaikan kualitas atau mutu dari berbagai kelompok dalam organisasi,
sehingga meningkatkan produktivitas dan pelayanan ke tingkat yang paling ekonomis
yang menimbulkan kepuasan semua pelanggan (Hasibuan, 2000:219). Pengembangan
kualitas merupakan tujuan yang ingin dicapai dari program produktif. Pemeliharaan
kuantitas menyangkut jumlah input, output, dan pemberdayaannya secara seimbang.

Dasar dari konsep TQC adalah mentalitas, kecakapan, manajemen partisipatif dengan
sikap mental yang mengutamakan kualitas dan totalitas kerja. Mentalitas adalah
kesediaan bekerja sungguh-sungguh, jujur, dan bertanggung jawab dalam
mengerjakannya.

Selanjutnya, Hasibuan (2000:218) menyebutkan beberapa mentalitas dasar TQC yang


harus dijadikan parameter dalam mengukur tingkat efektivitas pelatihan, antara lain
sebagai berikut.

1. Adanya kerja sama dan partisipasi total. Tujuannya adalah berorientasi pada
tanggung jawab kelompok, bersedia membuat lebih/berpartisipasi dalam bidang
yang berhubungan, menciptakan kesadaran kelompok, dan saling menghargai satu
sama lain.
2. Berorientasi pada mutu. Maksudnya adalah disesuaikan dengan permintaan dan
standarnya adalah tidak ada cacat/kesalahan (zero mistakes) serta ukurannya
adalah biaya yang tidak terlalu banyak dikeluarkan.
3. Hubungan atasan dan bawahan secara harmonis. Maksudnya adalah terjalinnya
hubungan yang baik antara pihak manajemen (pimpinan sekolah dan pimpinan
program keahlian) dengan para guru, saling memotivasi dan memberikan
dukungan dalam setiap penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.

Kesiapan guru dalam penguasaan bidang keilmuan yang menjadi kewenangannya,


merupakan modal dasar bagi terlaksananya pembelajaran yang efektif. Guru yang
profesional dituntut untuk memiliki persiapan dan penguasaan yang cukup memadai, baik
dalam bidang keilmuan maupun dalam merancang program pembelajaran yang disajikan.
Selain itu, pelaksanaan pembelajaran menggambarkan dinamika kegiatan belajar siswa
yang dipandu dan dibuat dinamis oleh guru. Untuk itu, guru semestinya memiliki
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan dalam mengaplikasikan metodologi dan
pendekatan pembelajaran secara tepat. Kompetensi profesional dari guru perlu
dikombinasikan dengan kemampuan dalam memahami dinamika perilaku dan
perkembangan yang dijalani oleh para siswa.

Beberapa aspek yang menjadi orientasi ke arah pencapaian efektivitas pembelajaran


dalam perspektif guru dipaparkan oleh Djam’an Satori, et al. (2003:44-52) sebagai
berikut.

1. Apresiasi Guru Terhadap Pengembangan Kurikulum dan Implikasinya. Guru


dituntut mempunyai kemampuan dalam pengembangan kurikulum secara dinamik
sesuai dengan potensi sekolah dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip di bawah
ini. (a) Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestika. (b) Kesamaan
memperoleh kesempatan bagi semua siswa.(c) Kesiapan menghadapi abad
pengetahuan dan tantangan teknologi informasi. (d) Pengembangan keterampilan
hidup. (e) Berpusat pada anak sebagai pembangun pengetahuan. (f) Penilaian
berkelanjutan dan komprehensif.
2. Kreativitas Guru dalam Aplikasi Teknologi Pembelajaran. Guru dituntut
mempunyai pemahaman konsep teoretis dan praktis berkenaan dengan desain,
pengembangan, pemakaian, manajemen, dan evaluasi pembelajaran serta
pengelolaan sumber belajar. Pembelajaran yang memiliki efektivitas tinggi
ditunjukkan oleh sifatnya yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik.
Pembelajaran bukan sekadar transformasi dan mengingat, juga bukan sekadar
penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan, akan tetapi
lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga
tertanam dalam jiwa anak dan berfungsi sebagai muatan nurani dan hayati serta
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik. Bahkan
pembelajaran lebih menekankan pada peserta didik agar mau belajar bagaimana
cara belajar yang produktif.

Selain faktor guru, keberhasilan proses pembelajaran banyak bertumpu pada sikap dan
cara belajar siswa, baik perorangan maupun kelompok. Selain itu, tersedianya sumber
belajar dengan memanfaatkan media pembelajaran secara tepat merupakan faktor
pendorong dan pemelihara kegiatan belajar siswa yang produktif, efektif, dan efisien.

Memelihara suasana pembelajaran yang dinamis dan menyenangkan merupakan kondisi


esensial dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini, perlu ditanamkan persepsi positif
pada setiap diri siswa, bahwa kegiatan pembelajaran merupakan peluang bagi mereka
untuk menggali potensi diri sehingga mampu menguasai kompetensi yang diperlukan
untuk kehidupannya kelak.

Dilihat dari perspektif perkembangan kebutuhan pembelajaran dan aksesbilitas dunia


usaha/industri, sekurang-kurangnya ada tiga dimensi pokok yang menjadi tantangan bagi
SMK dalam penyelenggaraan pembelajaran yang efektif. Demnsi-dimensi tersebut antara
lain sebagai berikut.

1. Implementasi program pendidikan dan pelatihan harus berfokus pada


pendayagunaan potensi sumber daya di sekolah, sambil mengoptimalkan
kerjasama secara intensif dengan institusi pasangan (misalnya: dunia usaha,
industri, asosiasi profesi, balai pelatihan industri, balai pelatihan tenaga kerja dan
lain sebagainya).
2. Pelaksanaan kurikulum harus berdasarkan pendekatan yang lebih fleksibel sesuai
dengan tren perkembangan dan kemajuan teknologi agar kompetensi yang
diperoleh peserta didik selama dan sesudah mengikuti program pendidikan dan
pelatihan, memiliki daya adaptasi yang tinggi.
3. Program pendidikan dan pelatihan sepenuhnya harus berorientasi mastery
learning (belajar tuntas) dengan melibatkan peran aktif-partisipatif para
stakeholders pendidikan.
Efektivitas pada lembaga pendidikan, dalam hal ini SMK, dapat dinilai dengan melihat
ketepatan kebijakan yang ditetapkan sekolah dan kesesuaiannya dengan standar yang
ditetapkan departemen/dinas terkait serta kesesuaiannya dengan kondisi dan kebutuhan
riil di lapangan. Kebijakan tersebut menyangkut penetapan visi, misi, tujuan, dan strategi
yang dikembangkan. Selain itu, faktor sosialisasi kebijakan, pemahaman seluruh anggota
organisasi, serta penciptaan iklim kerja yang kondusif juga perlu diperhatikan. Faktor-
faktor tersebut merupakan elemen konteks dalam penilaian efektivitas. Dalam konteks
pembelajaran, tujuan merupakan patokan dan arah yang harus dijadikan pedoman dalam
mengendalikan proses pembelajaran.

Selain konteks, efektivitas juga dinilai dengan melihat input pembelajaran pada lembaga
pendidikan yang mencakup siswa, guru, kurikulum, metode, dan fasilitas. Selanjutnya,
input tersebut dilihat daya fungsinya dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran
harus berlangsung dengan baik, sesuai pendekatan, pola, dan prosedur yang relevan.
Selain itu, kepuasan dari subjek yang terlibat merupakan hal penting dalam menilai
efektivitas, sebab subjek inilah (siswa dan guru) yang merupakan pelaku utama dari
proses pembelajaran.

Daya fungsi dari input dalam proses pembelajaran akan sangat menentukan hasil dari
pembelajaran. Hasil yang diharapkan dalam hal ini adalah meningkatnya kompetensi
siswa. Keberhasilan pembelajaran dalam meningkatkan kompetensi siswa merupakan
dimensi utama dalam menilai efektivitas pembelajaran. Tingkat keberhasilan
pembelajaran ini dilihat dari berbagai sudut pandang baik dari sisi siswa sebagai subjek,
persepsi guru, dan kepuasan dunia usaha/industri sebagai pengguna hasil/lulusan.

Daftar Bacaan

Djohar, As’ari. (2002). Pengembangan Model Kurikulum Berbasis Kompetensi Sekolah


Menengah Kejuruan (Studi pada SMK Program Keahlian Teknik Mesin Perkakas).
Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Ekasari. (2005). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pendidikan dan
Pelatihan Produktif Bidang Keahlian Seni Tari SMK Negeri 10 Bandung. Tesis Magister
pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Gie, The Liang. (1989). Ensiklopedi Administrasi. Jakarta: PT. Air Agung Putra.
Handoko, T. Hani. (2001). Manajemen, Edisi 2. Yogyakarta : BPFE UGM.
Iman, Muis Saad. (2004). Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta: Safira Insania Press.
Isjoni. (2003, 4 November). SMK dan Permasalahanya. Artikel Pendidikan Network
[online], halaman 1. Tersedia: http://re-searchengines.com/isjoni3.html. [8 Desember
2007]
Iskandar, Suryana. (2006). Pembelajaran Mata Pelajaran Kompetensi Kejuruan
Kurikulum SMK Program Keahlian Mekanik Otomotif (Studi Implementasi Kurikulum
Sekolah Menengah Kejuruan Berbasis Kompetensi di Kota Bandung). Tesis Magister
pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Jubaedah, Yoyoh (2005). Telaah Implementasi Pendekatan Competency Based Training
Berdasarkan Standar Kompetensi Nasional pada Kegiatan Pembelajaran di Sekolah
Menengah Kejuruan Program Keahlian Pariwisata. Tesis Magister pada PPS UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
Kartadinata, Sunaryo. (2007). Tingkatkan Kualitas SDM melalui Pendidikan Kejuruan.
Pikiran Rakyat (24 Oktober 2007)
Marwansyah, & Mukaram. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Pusat
Penerbit Admistrasi Niaga Politeknik Negeri Bandung.
Robbin, Stephen P. (2001). Orgazinational Behaviour. New Jersey: Pearson Educational
International.
Oxford University. (2001). Concise Oxford Dictionary, Tenth Edition. [CD-ROM].
Oxford: Oxford University Press.
Oxford University. (2003). Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Third Edition. Oxford:
Oxford University Press
Samani, Muchlash. (2000). Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan. Makalah pada
Diskusi di Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang Depdiknas, Jakarta, 23 Oktober 2000.
Satori, Djam’an, et all. (2003). Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa
Barat. Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
Steers, Richard M. et al. (1985). Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Sukmadinata, Nana. S. (2002). Pengendalian Mutu Sekolah Menengah: Konsep, Prinsip,
dan Instrumen. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sumber gambar: http://mipsos.files.wordpress.com/2009/02/oa1xxx682.jpg
17 Februari 2010

GURU DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

Dari segi bahasa, pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan
bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Dalam
bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan pendidik. Kata
tersebut seperti teacher yang diartikan guru atau pengajar dan tutor yang berarti guru
pribadi atau guru yang mengajar di rumah. Selanjutnya dalam bahasa Arab dijumpai akta
ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib.
Beberapa istilah tentang pendidik tersebut mengacu kepada seseorang yang memberikan
pengetahuan, ketrampilan atau pengalaman kepada orang lain. Kata-kata yang bervariasi
tersebut menunjukkan adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan dimana
pengetahuan dan ketrampilan tersebut diberikan. Jika pengetahuan dan ketrampilan
tersebut diberikan di sekolah disebut teacher, di perguruan tinggi disebut lecturer atau
professor, di rumah-rumah secara pribadi disebut tutor, di pusat-pusat latihan disebut
instructor atau trainer dan di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan agama
disebut educator.
Dengan demikian, kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang
melakukan kegiatan dan memberikan pengetahuan, ketrampilan, pendidikan,
pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan ini bisa siapa saja dan
dimana saja. Di rumah orang yang melakukan tugas tersebut adalah kedua orangtua.
Karena secara moral dan teologi merekalah yang diserahi tanggung jawab mendidik
anaknya. Selanjutnya di sekolah tugas tersebut dilakukan oleh guru, dan di masyarakat
dilakukan oleh organisasi-organisasi kependidikan dan sebagainya. Atas dasar ini, maka
yang termasuk dalam pendidikan itu bisa kedua orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan
sebagainya.

BAB II
GURU DALAM PENDIDIKAN AGAMA (ISLAM)

A. Definisi Guru dalam Pendidikan Islam


Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan
anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung-jawab adalah orangtua (ayah
dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, karena
kodrat yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu ia
ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan
kedua orangtua yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan
anaknya.
Kemudian pendidik dalam Islam adalah guru. Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia
yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang
berarti pengajar.
Dalam bahasa Arab istilah yang mengacu kepada pengertian guru lebih banyak lagi
seperti al-alim (jamaknya ulama) atau al-mu’allim, yang berarti orang yang mengetahui
dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk menunjuk pada hati guru. Selain
itu ada pula sebagian ulama yang menggunakan istilah al-mudarris untuk arti orang yang
mengajar atau orang yang memberi pelajaran. Selain itu terdapat pula istilah ustadz untuk
menunjuk kepada arti guru yang khusus mengajar bidang pengetahuan agama Islam.
Jadi, guru yang dimaksud disini ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid,
biasanya guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah.
B. Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam
Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat
tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan
kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian?
Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat
menghargai pengetahuan.
Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu
sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar dan
mengajar, yang belajar adalah calon guru, dan yang mengajar adalah guru. Maka, tidak
boleh tidak, Islam pasti memuliakan guu. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan
pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan mengajar, tidak terbayangkan adanya
belajar dan mengajar tanpa adanya guru. Karena Islam adalah agama, maka pandangan
tentang guru, kedudukan guru, tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.
Ada penyebab khas mengapa orang Islam amat menghargai guru, yaitu pandangan bahwa
ilmu (pengetahuan) itu semuanya bersumber pada Tuhan :
......... .........
“Tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami”

Ilmu datang dari Allah. Pandangan yang menembus langit ini tidak boleh tidak telah
melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan
guru amat tinggi dalam Islam.
C. Tugas Guru dalam Islam
Mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat telah sepakat
bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu
sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan
dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.
Dalam Al-Qur'an juga dijelaskan tentang tugas seorang pendidik atau guru. Al-Qur'an
telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam pendidikan dan fungsi
fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya. Isyarat tersebut,
salah satunya terdapat dalam firman-Nya berikut ini :

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-
penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya.”

Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang
diemban oleh Rasulullah Saw. adalah mengajarkan al-kitab, hikmah dan penyujian diri
sebagaimana difirmankan Allah ini :

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al
Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”.

Dalam literatur yang ditulis oleh ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur
dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat
disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru,
misalnya sebagai berikut :
1. Guru harus mengetahui karakter murid.
2. Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya.
3. Guru harus mengamalkan ilmunya.
D. Syarat Guru dalam Pendidikan Islam
Syarat terpenting bagi guru dalam Islam ialah sebagai berikut :
1. Umur, harus sudah dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan
seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung-jawab. Itu
hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa.
2. Kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat
membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang
gila berbahaya dalam mendidik dan tidak bisa bertanggung-jawab.
3. Keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik
(termasuk ilmu mengajar)
Ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru. Orangtua di rumah sebenarnya perlu
sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya diharapkan ia
akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah.
4. Harus berkepribadian muslim, berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain
mengajar. Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam meningkatkan mutu mengajar.
Selain itu juga harus berkepribadian muslim.

E. Sifat Guru dalam Pandangan Islam


Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana yang telah dibebankan
Allah kepada Rasul dan pengikutnya, maka dia harus memiliki sifat-sifat berikut ini :
1) Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani sebagaimana dijelaskan Allah. Jika
seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan
menjadikan anak didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-
Nya.
2) Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan.
Artinya, aktifitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan
keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhaan Allah serta
mewujudkan kebenaran.
3) Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
4) Ketika menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki
kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
5) Seorang guru harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan dan kajiannya.
6) Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran
yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran.
7) Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya
sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa.
8) Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi perkembangan dan
psikologi pendidikan sehingga ketika dia mengajar, dia akan memahami dan
memperlakukan anak didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan psikologisnya.
9) Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu
memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap anak
didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir mereka.
10) Seorang guru dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.

F. Kewajiban Guru dalam Pendidikan Islam


Kewajiban yang harus diperhatikan oleh guru menurut pendapat Imam Ghazali yaitu :
1) Harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti
anak sendiri.
2) Tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud dengan
mengajar mencari keridhaan Allah.
3) Mencegah murid dari sesuatu akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran dan jangan
dengan cara terus terang, dengan jalan halus dan jangan mencela.
4) Supaya diperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka
menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat
tangkapannya.
5) Jangan timbulkan rasa benci pada diri murid mengenai suatu cabang ilmu yang lain.
6) Sang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya.

BAB III
KESIMPULAN

Dalam bab ini telah dibicarakan : (1) pengertian guru, (2) kedudukan guru, (3) tugas guru,
(4) syarat guru, dan (5) sifat guru menurut pandangan Islam. Secara sederhana guru ialah
pendidik yang mengajar di kelas. Islam mendudukkan guru pada martabat yang tinggi,
setingkat di bawah martabat nabi dan rasul. Tugas guru ialah mendidik dengan cara
mengajar, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain. Syarat guru ialah dewasa, sehat
lahir batin, ahli, dan berkepribadian muslim. Sifat guru ialah semua sifat yang
mendukung (melengkapi) syarat tersebut. Diantara sifat-sifat itu, sifat kasih sayang amat
diutamakan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid. Jakarta : Raja
Grafindo.
Abdurrahman An-Nahlawi. 1996. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.
Jakarta : Gema Insani.
Mohd. Athiyah Al-Abrasyi. 1993. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan
Bintang.

You might also like