Professional Documents
Culture Documents
A. Definisi Efektivitas
“Suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya efek atau akibat yang
dikehendaki. Jika seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang
memang dikehendaki, maka orang itu dikatakan efektif kalau memang menimbulkan
akibat dari yang dikehendakinya itu.”
Efektivitas merujuk pada kemampuan untuk memiliki tujuan yang tepat atau mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas juga berhubungan dengan masalah bagaimana
pencapaian tujuan atau hasil yang diperoleh, kegunaan atau manfaat dari hasil yang
diperoleh, tingkat daya fungsi unsur atau komponen, serta masalah tingkat kepuasaan
pengguna/client.
“sebuah organisasi yang betul-betul efektif adalah orang yang mampu menciptakan
suasana kerja di mana para pekerja tidak hanya melaksanakan pekerjaan yang telah
dibebankan saja tetapi juga membuat suasana supaya para pekerja lebih bertanggung
jawab, bertindak secara kreatif demi peningkatan efisiensi dalam usaha mencapai tujuan.”
Pernyataan Steers di atas menunjukkan bahwa efektivitas tidak hanya berorientasi pada
tujuan melainkan berorientasi juga pada proses dalam mencapai tujuan. Jika definisi ini
diterapkan dalam pembelajaran, efektivitas berarti kemampuan sebuah lembaga dalam
melaksanakan program pembelajaran yang telah direncanakan serta kemampuan untuk
mencapai hasil dan tujuan yang telah ditetapkan. Proses pelaksanaan program dalam
upaya mencapai tujuan tersebut didesain dalam suasana yang kondusif dan menarik bagi
peserta didik.
Dalam ranah kajian perilaku organisasi, Steers (1985) mengemukakan tiga pendekatan
dalam memahami efektivitas. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain pendekatan
tujuan (the goal optimization approach), pendekatan sistem (sistem theory approach),
dan pendekatan kepuasan partisipasi (participant satisfaction model).
1. Pendekatan Tujuan. Suatu organisasi berlangsung dalam upaya mencapai suatu
tujuan. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini efektivitas dipandang sebagai goal
attainment/goal optimization atau pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat
pencapaian sasaran menunjukkan derajat efektivitas. Suatu program dikatakan
efektif jika tujuan akhir program tercapai. Dengan perkataan lain, pencapaian
tujuan merupakan indikator utama dalam menilai efektivitas.
2. Pendekatan Sistem. Pendekatan ini memandang efektivitas sebagai kemampuan
organisasi dalam mendayagunakan segenap potensi lingkungan serta
memfungsikan semua unsur yang terlibat. Efektivitas diukur dengan meninjau
sejauh mana berfungsinya unsur-unsur dalam sistem untuk mencapai tujuan.
3. Pendekatan Kepuasan Partisipasi. Dalam pendekatan ini, individu partisipan
ditempatkan sebagai acuan utama dalam menilai efektivitas. Hal ini didasarkan
pada asumsi bahwa keberadaan organisasi ditentukan oleh kualitas partisipasi
kerja individu. Selain itu, motif individu dalam suatu organisasi merupakan faktor
yang sangat menentukan kualitas partisipasi. Sehingga, kepuasan individu
menjadi hal yang penting dalam mengukur efektivitas organisasi.
Dari tiga pendekatan dalam menilai efektivitas organisasi di atas, bisa ditarik kesimpulan
berkenaan dengan efektivitas pembelajaran bahwa efektivitas suatu program
pembelajaran berkenaan dengan masalah pencapaian tujuan pembelajaran, fungsi dari
unsur-unsur pembelajaran, serta tingkat kepuasan dari individu-individu yang terlibat
dalam pembelajaran.
Untuk mengetahui efektivitas suatu program, perlu dilakukan penilaian terhadap manfaat
atau daya guna program tersebut. Penilaian terhadap manfaat atau daya guna disebut juga
dengan evaluasi (Stufflebeam, 1974, dalam Tayibnafis, 2000:3). Dulu, evaluasi hanya
berfokus pada hasil yang dicapai. Jadi, untuk mengevaluasi objek pendidikan, seperti
halnya pembelajaran, hanya berfokus pada hasil yang telah dicapai peserta. Akhir-akhir
ini, usaha evaluasi ditujukan untuk memperluas atau memperbanyak variable evaluasi
dalam bermacam-macam model evaluasi.
Menurut model ini, terdapat empat dimensi yang perlu dievaluasi sebelum, selama, dan
sesudah program pendidikan dikembangkan. Dimensi-dimensi tersebut antara lain
sebagai berikut.
Selain model CIPP, model lain dalam evaluasi program yang diperkenalkan Stake
(1967:72) dalam Tayibnafis (2000:21) yaitu model Countenance. Model ini menekankan
dua dasar dalam evaluasi yaitu description dan judgment, serta membedakannya dalam
tiga tahap yaitu antecedents/context, transaction/process, dan outcomes/output. Stake
menegaskan bahwa peenilaian suatu program pendidikan, dilakukan dengan
membandingkan yang relatif antarsatu program dengan yang lain, atau perbandingan
yang absolut (satu program dengan standar). Dalam model ini, antecedents (masukan),
transaction (proses), dan outcomes (hasil) dibandingkan tidak hanya untuk menentukan
apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan
dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat program.
Model evaluasi lainnya yang cukup kemprehensif dalam menilai sebuah program
pelatihan adalah model Cascio. Marwansyah dan Mukaram (2000:78) mengemukakan
bahwa dengan model Cascio kita dapat mengukur perubahan yang terjadi dalam empat
kategori untuk mengetahui efektif tidaknya suatu pelatihan. Kategori-kategori tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Reaksi peserta terhadap pelatihan dalam bentuk pendapat dan sikap tentang
pelatih, cara penyajian materi, kegunaan dan perhatian atas materi pelatihan, serta
kesungguhan dan keterlibatan selama latihan berlangsung.
2. Hasil belajar yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap
yang terjadi pada peserta atas materi, media, dan metode belajar yang diterapkan
dalam pelatihan, baik selama pelatihan berlangsung atau sesudah pelatihan.
3. Perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil dari kehadiran dalam program
pelatihan mencakup rasa tanggung jawabnya terhadap tugas-tugas yang diberikan,
memiliki team work atau kerja sama yang kokoh, loyal dan disiplin serta memiliki
jiwa kepemimpinan.
4. Hasil yang terkait dengan peningkatan produktivitas atau kualitas organisasi
secara keseluruhan dan motivasi yang tinggi dari para lulusan pelatihan setelah
mengikuti pendidikan dan latihan, sebagai wujud tercapainya tujuan dari pelatihan
itu sendiri.
Kategori evaluasi reaksi dan belajar, lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan yang
terakhir, yaitu perubahan perilaku dan tercapainya hasil yang optimal. Perubahan perilaku
sukar untuk diidentifikasi, karena banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar program
pelatihan. Akhirnya, dampak pelatihan terhadap hasil yang dicapai merupakan ukuran
yang paling signifikan. Hal ini dapat dinilai dengan mengetahui tingkat kepuasan dunia
usaha/industri sebagai user dari lulusan.
Efektivitas dapat dicapai apabila semua unsur dan komponen yang terdapat pada sistem
pembelajaran berfungsi sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Efektivitas
pembelajaran dapat dicapai apabila rancangan pada persiapan, implementasi, dan evaluasi
dapat dijalankan sesuai prosedur serta sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Efektivitas pembelajaran dapat diukur dengan mengadaptasi pengukuran efektivitas
pelatihan yaitu melalui validasi dan evaluasi (Lesli Rae, 2001:3). Untuk mengukur
keberhasilan pembelajaran harus ditetapkan sejumlah fakta tertentu, antara lain dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
Total Quality Control atau Pengendalian Mutu Terpadu merupakan suatu sitem yang
efektif untuk mengintegrasikan usaha-usaha pengembangan kualitas, pemeliharaan
kuantitas, dan perbaikan kualitas atau mutu dari berbagai kelompok dalam organisasi,
sehingga meningkatkan produktivitas dan pelayanan ke tingkat yang paling ekonomis
yang menimbulkan kepuasan semua pelanggan (Hasibuan, 2000:219). Pengembangan
kualitas merupakan tujuan yang ingin dicapai dari program produktif. Pemeliharaan
kuantitas menyangkut jumlah input, output, dan pemberdayaannya secara seimbang.
Dasar dari konsep TQC adalah mentalitas, kecakapan, manajemen partisipatif dengan
sikap mental yang mengutamakan kualitas dan totalitas kerja. Mentalitas adalah
kesediaan bekerja sungguh-sungguh, jujur, dan bertanggung jawab dalam
mengerjakannya.
1. Adanya kerja sama dan partisipasi total. Tujuannya adalah berorientasi pada
tanggung jawab kelompok, bersedia membuat lebih/berpartisipasi dalam bidang
yang berhubungan, menciptakan kesadaran kelompok, dan saling menghargai satu
sama lain.
2. Berorientasi pada mutu. Maksudnya adalah disesuaikan dengan permintaan dan
standarnya adalah tidak ada cacat/kesalahan (zero mistakes) serta ukurannya
adalah biaya yang tidak terlalu banyak dikeluarkan.
3. Hubungan atasan dan bawahan secara harmonis. Maksudnya adalah terjalinnya
hubungan yang baik antara pihak manajemen (pimpinan sekolah dan pimpinan
program keahlian) dengan para guru, saling memotivasi dan memberikan
dukungan dalam setiap penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.
Selain faktor guru, keberhasilan proses pembelajaran banyak bertumpu pada sikap dan
cara belajar siswa, baik perorangan maupun kelompok. Selain itu, tersedianya sumber
belajar dengan memanfaatkan media pembelajaran secara tepat merupakan faktor
pendorong dan pemelihara kegiatan belajar siswa yang produktif, efektif, dan efisien.
Selain konteks, efektivitas juga dinilai dengan melihat input pembelajaran pada lembaga
pendidikan yang mencakup siswa, guru, kurikulum, metode, dan fasilitas. Selanjutnya,
input tersebut dilihat daya fungsinya dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran
harus berlangsung dengan baik, sesuai pendekatan, pola, dan prosedur yang relevan.
Selain itu, kepuasan dari subjek yang terlibat merupakan hal penting dalam menilai
efektivitas, sebab subjek inilah (siswa dan guru) yang merupakan pelaku utama dari
proses pembelajaran.
Daya fungsi dari input dalam proses pembelajaran akan sangat menentukan hasil dari
pembelajaran. Hasil yang diharapkan dalam hal ini adalah meningkatnya kompetensi
siswa. Keberhasilan pembelajaran dalam meningkatkan kompetensi siswa merupakan
dimensi utama dalam menilai efektivitas pembelajaran. Tingkat keberhasilan
pembelajaran ini dilihat dari berbagai sudut pandang baik dari sisi siswa sebagai subjek,
persepsi guru, dan kepuasan dunia usaha/industri sebagai pengguna hasil/lulusan.
Daftar Bacaan
BAB I
PENDAHULUAN
Dari segi bahasa, pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan
bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Dalam
bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan pendidik. Kata
tersebut seperti teacher yang diartikan guru atau pengajar dan tutor yang berarti guru
pribadi atau guru yang mengajar di rumah. Selanjutnya dalam bahasa Arab dijumpai akta
ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib.
Beberapa istilah tentang pendidik tersebut mengacu kepada seseorang yang memberikan
pengetahuan, ketrampilan atau pengalaman kepada orang lain. Kata-kata yang bervariasi
tersebut menunjukkan adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan dimana
pengetahuan dan ketrampilan tersebut diberikan. Jika pengetahuan dan ketrampilan
tersebut diberikan di sekolah disebut teacher, di perguruan tinggi disebut lecturer atau
professor, di rumah-rumah secara pribadi disebut tutor, di pusat-pusat latihan disebut
instructor atau trainer dan di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan agama
disebut educator.
Dengan demikian, kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang
melakukan kegiatan dan memberikan pengetahuan, ketrampilan, pendidikan,
pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan ini bisa siapa saja dan
dimana saja. Di rumah orang yang melakukan tugas tersebut adalah kedua orangtua.
Karena secara moral dan teologi merekalah yang diserahi tanggung jawab mendidik
anaknya. Selanjutnya di sekolah tugas tersebut dilakukan oleh guru, dan di masyarakat
dilakukan oleh organisasi-organisasi kependidikan dan sebagainya. Atas dasar ini, maka
yang termasuk dalam pendidikan itu bisa kedua orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan
sebagainya.
BAB II
GURU DALAM PENDIDIKAN AGAMA (ISLAM)
Ilmu datang dari Allah. Pandangan yang menembus langit ini tidak boleh tidak telah
melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan
guru amat tinggi dalam Islam.
C. Tugas Guru dalam Islam
Mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat telah sepakat
bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu
sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan
dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.
Dalam Al-Qur'an juga dijelaskan tentang tugas seorang pendidik atau guru. Al-Qur'an
telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam pendidikan dan fungsi
fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya. Isyarat tersebut,
salah satunya terdapat dalam firman-Nya berikut ini :
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-
penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya.”
Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang
diemban oleh Rasulullah Saw. adalah mengajarkan al-kitab, hikmah dan penyujian diri
sebagaimana difirmankan Allah ini :
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al
Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”.
Dalam literatur yang ditulis oleh ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur
dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat
disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru,
misalnya sebagai berikut :
1. Guru harus mengetahui karakter murid.
2. Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya.
3. Guru harus mengamalkan ilmunya.
D. Syarat Guru dalam Pendidikan Islam
Syarat terpenting bagi guru dalam Islam ialah sebagai berikut :
1. Umur, harus sudah dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan
seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung-jawab. Itu
hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa.
2. Kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat
membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang
gila berbahaya dalam mendidik dan tidak bisa bertanggung-jawab.
3. Keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik
(termasuk ilmu mengajar)
Ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru. Orangtua di rumah sebenarnya perlu
sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya diharapkan ia
akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah.
4. Harus berkepribadian muslim, berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain
mengajar. Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam meningkatkan mutu mengajar.
Selain itu juga harus berkepribadian muslim.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam bab ini telah dibicarakan : (1) pengertian guru, (2) kedudukan guru, (3) tugas guru,
(4) syarat guru, dan (5) sifat guru menurut pandangan Islam. Secara sederhana guru ialah
pendidik yang mengajar di kelas. Islam mendudukkan guru pada martabat yang tinggi,
setingkat di bawah martabat nabi dan rasul. Tugas guru ialah mendidik dengan cara
mengajar, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain. Syarat guru ialah dewasa, sehat
lahir batin, ahli, dan berkepribadian muslim. Sifat guru ialah semua sifat yang
mendukung (melengkapi) syarat tersebut. Diantara sifat-sifat itu, sifat kasih sayang amat
diutamakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid. Jakarta : Raja
Grafindo.
Abdurrahman An-Nahlawi. 1996. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.
Jakarta : Gema Insani.
Mohd. Athiyah Al-Abrasyi. 1993. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan
Bintang.