Professional Documents
Culture Documents
cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh, seb
uah suara menyela.
Setuju. Setuju. Setuju. Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terliba
t dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal,
dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng
orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi somb
ong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perh
atikan pada berikut ini.
Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara
yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: O, Tuhan kami yang Mah
abesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, ya
ng paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, m
emuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya
sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu toko
h dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini
.
Dan sekarang, tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perb
uatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, dan sekarang ke mana dia
?
Kerja
Kerja? tanyaku mengulangi hampa.
ya.Dia pergi kerja.
Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa y
ang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasar
kan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri
dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam ce
rpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagi
an, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang dipe
rlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini b
erupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah s
urau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku . akan Tuan temui
seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ke
taatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. O
rang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali sejum at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil p
emunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan
fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pe
ngasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka m
inta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-ora
ng perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal
sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, k
adang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih
dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang
didalamnya terdapat keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala per
masalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa penjaganya .
Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu k
esucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya .
(hlm. 8)
Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan
tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, m
engapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabi
lan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita teta
pi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah d
imulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam
bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek
wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini se
perti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disa
ngkal kebenarannya. (hlm . 8)
Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat he
ndak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek su
asananya sangat tidak diharapkan.
Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang ta
ngan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengam
uk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, k
ulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 8)
Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik
Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu
yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karen
a pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyeb
utkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
Kurang ajar dia. Kakek menjawab.
Kenapa ?
Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggoroka
nnya. (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya de
ngan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku.
Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa
yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh
Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan meneka
n dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara
yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surp
rise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang te
rkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru
Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain
kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarka
n hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku ta
nya dia. Ia sudah pergi, jawab istri Ajo Sidi.
Tidak ia tahu Kakek meninggal ?
Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.
Dan sekarang, tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perb
uatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, dan sekarang ke mana Dia
?
Kerja.
Kerja ? Tanyaku mengulang hampa
Ya. Dia pergi kerja. (hlm. 16-17).
Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo
Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusah
a menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggun
g jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dala
m alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena be
nar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu dicerita
kan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang
bis. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua . Dan di pelatar
an kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua . Orang-orang memanggilnya kakek Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal . Dan biang keladi da
ri kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. B
eginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi
istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. Siapa yang meninggal? Tanyaku kaget.
Kakek.
Kakek? (hlm.16).
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku to
koh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai ber
ikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar ki
sah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau.
Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang la
in. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Aj
o Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan k
akek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: Apa ceritanya, kek ?
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku ta
nya lagi kakek : Bagaimana katanya, kek ? .(hlm.9).
Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara, kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku
yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama i
strinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keb
erlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual.
Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi dise
butkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya past
i terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.
.Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku
ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat or
ang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjad
i karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar b
aginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirn
ya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelak
u ceritanya .(hlm.8-9)
.
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerj
a.
c. Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si penga
rang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang memp
ercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan di
ri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sid
i. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kake
k hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal da
n pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi.
Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi
hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia sege
ra mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri d
igambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya ke
luarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri (hlm.10).
d. Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau men
yindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya da
n karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gambla
ng watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.
6. Titik Pengisahan
Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cer
ita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu
atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dala
m cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengara
ng terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang
bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar .(hlm.7).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerima
ku, karena aku suka memberinya uang .(hlm.8).
Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, da
n cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirin
ya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita
akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin
menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata Aku . Walaupu
n begitu kata Aku ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
Engkau ?
Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh tokoh dongengan Ajo Sidi-
,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara
pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakai
an bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seoran
g pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan
ungkapan.
Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunaka
n dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdu
lillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tu
han, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu,
Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapa
t dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru
di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarny
a pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan
kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh k
ita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya
dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terha
dap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam d
alam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta d
ibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya.
Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karen
a di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Sa
leh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (maj
as ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama
, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dom
inan dalam cerpen ini
Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seper
ti yang diucapkan tokoh aku: Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia seka
rang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi (hlm.8). Inilah sebua
h kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-ma
jas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masya
rakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini
diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya da
n masih terus dibicarakan hingga kini.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di
Kelas.
Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti la
yaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hibur
an, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, men
gembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang uni
versal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen
dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetap
an cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria ya
ng sudah ditetapkan secara umum yaitu:
a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa di
pahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya ba
hasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dal
am hal bidang keagamaan.
b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun
(baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memah
aminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya te
rdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika sis
wa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat b
ila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di
kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreat
if ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian,
agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan s
iswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan janga
n coba-coba membaca ringkasannya.
Kesimpulan
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yan
g menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesua
iannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya
.
b. Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
c. Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosi
al.
d. Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang t
elah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berup
a bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir ba
gian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Ha
ji Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai or
ang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
f. Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan
sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pe
ngarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haj
i Soleh di depan tokoh aku.
g. Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas aleg
ori, dan sinisme.
2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /lay
ak jika dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yan
g digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya p
un tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis y
ang dimunculkan, masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa
SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa y
ang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerima
nya. Selain kriteria ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembela
jaran dimulai begitu pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca rin
gkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru ha
rus kreatif ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu mem
bangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk guru
- Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra har
us pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya.
- Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa
ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian mengarahkannya ke dalam penga
laman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita itu, bahasannya benar-benar be
rdasarkan pengalaman siswa.
- Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya men
gikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana kesesuaian psikol
ogisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya yang duduk di tingkat SMU, da
n bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam cerita itu ? Tentu saja hal ini
dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.
2. Saran untuk siswa
- Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar memahami
isinya.
- Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada.
- Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar manfaat sastra bisa dirasa
kan
- Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau diskusi sastra di manapu
n.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Badudu, J.S. 1979. Sari Kesusasteraan Indonesia Jilid 2. Bandung: Pustaka Prima.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Bal
ai Pustaka.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni Budaya Jakarta: Dinas
Kebudayaan DKI Jakarta.
Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan: Pengantar teori dan sejarah. Bandung: Angkasa
.
Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Y
ayasan A3 Malang.
Hoerip, Satyagraha.1984. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakar
ta: PT Gramedia Pustaka Prima.
Lubis, Mochtar. 1980. Teknik Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa.
Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sukada, Made.1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analis
is Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa.
Suroto.1989. Teori dan Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakart
a : Erlangga.
Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.